KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA"

Transkripsi

1 KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri Dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Taufan H. Sugara NIM G

3 ABSTRACT TAUFAN H. SUGARA. Characterization Antibacterial Compounds from Ethyl Acetat Fraction of Bandotan Leaf (Ageratum conyzoides L.) Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO and MUHAMMAD HANAFI. Utilization of Ageratum conyzoides L. leaf for wound healing and digestion disorders are often associated with its antibacterial activities. However, information of this plant as antibacterial agent still limited on the polar and nonpolar fraction. Therefore, the objective of this study was to evaluate and identify the antibacterial activity of semipolar fraction extract of A. conyzoides L. leaves to Staphylococcus aureus and Eschericchia coli. Overall antibacterial activity results of ethyl acetate extract, fractions and subfractions Ageratum conyzoides L. leaves showed broad-spectrum antibacterial activity because it can prevent bacterial growth of S. aureus and E. coli. Subfractions 4b has the highest antibacterial activity for S. aureus compared to other subfractions. The minimum inhibition concentration for subfractions 4b against S. aureus was 25 mg/ml and 50 mg/ml for E. coli. Based on UV-Vis spectrophotometer, infra red and gas chromatograpy-mass spectroscopy, this fraction contain coumarin compounds, 2 chromen (prekosen II and 7-methoxy-2,2-dimethyl-6-vinyl-2H-chromene), and 2 derivative palmitic acid (9, 12-heksadecanoic acid and 9,12 octadecanoic acid, neophytadiene and 5,11,14,17-methyl eicosatetraenoate. Keywords: A. conyzoides leaf, ethyl asetat fraction, antibacteria.

4 RINGKASAN TAUFAN H. SUGARA. Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, IRMA HERAWATI SUPARTO, dan MUHAMMAD HANAFI. Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.). Tanaman bandotan umumnya digunakan oleh masyarakat untuk obat luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pengembangan penelitian tentang aktivitas antibakteri dari tanaman bandotan sangatlah penting dan dapat dikaitkan dengan pemanfaatannya sebagai obat luka secara tradisional. Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja sehingga pencarian senyawa aktif dari fraksi semi polarnya perlu dilakukan. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Etil asetat adalah salah satu pelarut semipolar yang paling sering digunakan dan diketahui mampu memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.). Sebanyak 1,5 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat dan daun bandotan kering diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen terbaik sehingga diperoleh beberapa fraksi. Masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian difraksinasi dan diuji antibakteri kembali. Subfraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi kemudian ditentukan nilai Minimum Inhibition Concetration (MIC) dan diidentifikasi senyawa aktifnya menggunakan spektrofotometer ultraviolet visible (UV-Vis), spektrofotometer infra merah (IR), dan kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS). Ekstraksi maserasi daun bandotan menggunakan pelarut heksana dan etil asetat diperoleh ekstrak heksana sebanyak 75,95 g dan ekstrak etil asetat sebanyak 71,50 g. Hasil analsis fitokimia terhadap daun bandotan menunjukkan adanya senyawa-senyawa flavonoid, steroid, p-hidrokuinon, terpenoid dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut juga terdapat pada ekstrak etil asetat, kecuali senyawa tanin yang menunjukkan hasil negatif. Senyawa tanin merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar dan hanya dapat larut dalam pelarut dengan tingkat

5 kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat. Hasil fraksinasi dengan menggunakan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik diperoleh total fraksi sebanyak 8 fraksi. Fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan senyawa tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 mg/ml terhadap S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masingmasing ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya. Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Bakteri Gram negatif memiliki membran phospolipid bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antibakteri. Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawasenyawa yang yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan dan semua fraksinya memiliki spektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa fraksi 1-6 tergolong sebagai antibakteri yang memiliki aktivitas kuat karena menghasilkan rata-rata diameter zona hambat diatas 10 mm. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh fraksi 4 karena menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi yaitu sebesar 16 mm untuk S. aureus dan 14 mm untuk E. coli. Meskipun diameter zona hambat yang dihasilkan hampir sama dengan fraksi 3, tetapi diameter zona hambat fraksi 3 terhadap E. coli lebih rendah yaitu sebesar 11,5 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan fraksi 4 sebagai fraksi teraktif. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksifraksinya lebih rendah bila dibandingkan dengan diameter zona hambat dari kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan aktivitas antibakteri kloramfenikol dengan senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi-fraksinya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya diameter zona hambat yang dihasilkan meskipun ii

6 iii konsentrasi yang digunakan lebih kecil. Efektifitas antibakteri dipengaruhi oleh senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti ph dan kadar air. Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Mekanisme kerja kloramfenikol adalah dengan mengganggu sintesis protein pada bakteri. Fraksinasi terhadap fraksi 4 dengan eluen kloroform-metanol (9:1) sebagai eluen terbaik menghasilkan lima subfraksi. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap kelima subfraksi menunjukkan bahwa subfraksi 4b memiliki aktivitas tertinggi karena menghasilkan diameter hambat sebesar 14,5 mm terhadap S. aureus dan 10 mm terhadap E. coli. Diameter zona hambat subfraksi 4a terhadap S. aureus sama dengan subfraksi 4b, tetapi daya hambatnya terhadap E. coli lebih rendah yakni sebesar 8 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan subfraksi 4b sebagai subfraksi teraktif. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4b-4e lebih rendah bila dibandingkan dengan fraksi 4. Terjadinya penurunan aktivitas antibakteri ini diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada subfraksi 4a-e bekerja secara sinergis dan ditunjukkan dengan besarnya diameter hambat yang dihasilkan pada uji aktivitas antibakteri fraksi 4. Dengan kata lain, pemisahan fraksi 4 menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil menyebabkan senyawa-senyawa yang bekerja secara sinergis sebagai antibakteri menjadi terpisah sehingga daya aktivitas antibakteripun mengalami penurunan. Penentuan nilai MIC pada subfraksi 4b menggunakan variasi konsentrasi 500, 250, 125, 175, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap kedua bakteri uji. Semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka diameter zona hambat yang terbentuk akan semakin besar. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 25 mg/ml dan nilai MIC untuk E. coli adalah sebesar 50 mg/ml. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terendah dari subfraksi 4b yang dapat menghambat pertumbuhan masing-masing bakteri uji. Hasil identifikasi subfraksi 4b dengan menggunakan UV-Vis, IR dan GC- MS diperoleh dugaan senyawa yang terkandung pada subfraksi 4b berupa senyawa kumarin, 2 senyawa kromen (prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6- vinil-2h-kromen), 2 senyawa turunan asam palmitat (asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat), senyawa triterpen (neopitadien) dan senyawa metil- 5,11,14,17-eikosatetraenoat. Kata kunci: daun bandotan, fraksi etil asetat, antibakteri

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KARAKTERISASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TANAMAN BANDOTAN (AGERATUM CONYZOIDES L) TAUFAN HARI SUGARA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr. Irmanida Batubara, S.Si, M.Si

10 Judul Tesis Nama NIM : Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L.) : Taufan Hari Sugara : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS Anggota Dr. Muhammad Hanafi Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pascasarjana Kimia Dekan Sekolah Prof. Dr. Ir. Purwantiningsih Sugita, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 27 Juni 2011 Tanggal Lulus:

11 HALAMAN PERSEMBAHAN Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS, dan Bapak Dr. Muhammad Hanafi selaku pembimbing dan telah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran staf Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia- Puspitek, Serpong dan Laboratorium Kimia Analitik-Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan izin dan membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Istri, dan anakku serta segenap keluarga besar di Kota Bogor dan Kota Mataram atas segala doa dan dukungannya. Tidak lupa juga ucapan terima kasih kepada rekan-rekan di asrama mahasiswa Nusa Tenggara Barat-Bogor serta semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wataala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2010 ini ialah antibakteri. Tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.) sebagai salah satu tanaman obat Indonesia biasanya digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan tanaman tersebut seringkali dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri. Hingga tahun 2011, penentuan senyawa aktif antibakteri pada daun tanaman bandotan hanya dilakukan pada fraksi polar dan nonpolarnya saja. Dengan demikian, perlu dilakukan penentuan senyawa aktif dari fraksi semipolar daun tanaman tersebut untuk mendukung alasan penggunaannya sebagai tanaman obat tradisional. Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sebagai bagian dari proses belajar yang tiada henti. Karenanya penulis sangat mengharapkan kritik, saran, maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2011 Taufan H. Sugara

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 16 Nopember 1982 dari Bapak H. Hamzah M. Sehab, SH dan Ibu Hj. Yuriwati, S.Pd. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Mataram dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana sains di Universitas Negeri Surabaya pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis menyelesaikan studi pada tahun 2006 dan setahun kemudian diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana IPB di Departemen Kimia. Selama menempuh program studi S2, penulis pernah mendapat beasiswa pendidikan dari Pemerintah Propinsi NTB. Penulis pernah membuat karya ilmiah berjudul isolasi senyawa pektin dari kulit buah manggis dan disampaikan pada seminar nasional dengan tema Globalisasi Hasil-Hasil Penelitian Dalam Mengembangkan Profesionalisme di Bidang Kimia Menuju Kualitas Berstandar Internasional pada bulan Desember 2007 di Surabaya.

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn)... 4 Fitokimia Bandotan... 5 Bakteri Uji... 7 Antibakteri... 8 Ekstraksi Fraksinasi Senyawa Aktif Spektrofotometer Ultraviolet Spektrofotometer Inframerah Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air Ekstraksi Sampel Uji Fitokimia Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Uji Aktivitas Antibakteri Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Daun Bandotan Analisis Fitokimia Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) Identifikasi Senyawa Aktif SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi xii xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi Hasil uji fitokimia simplisia dan ekstrak kasar etil asetat daun bandotan Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot pada eluen kloroform : metanol (9 : 1) Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi-fraksi yang terkandung di dalamnya Hasil pengujian spektrofotometer UV-Vis Bilangan gelombang dan gugus fungsi hasil spektrofotometer FT-IR Puncak-puncak hasil analisis GC-MS... 35

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman bandotan Struktur beberapa senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman bandotan Staphylococcus aureus Escherichia coli Hasil analisis KLT pada ekstrak etil asetat daun bandotan Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat Rendemen hasil fraksinasi F Aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e Diameter zona hambat pada penentuan nilai MIC Struktur senyawa-senyawa yang dihasilkan Struktur eskoparon dan ageratokromon... 38

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 9 Diagram alir penelitian Penggabungan fraksi-fraksi hasil fraksinasi ekstrak etil asetat Penentuan eluen terbaik untuk fraksinasi F Penggabungan subfraksi hasil fraksinasi F Hasil uji aktivitas antibakteri subfraksi F Hasil penentuan nilai MIC subfraksi F4b Spektrum UV-Vis Spektrum IR Kromatogram GC Spektrum MS... 60

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Secara turun-temurun masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman yang hidup di alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat-obatan. Salah satu tanaman obat yang cukup dikenal di masyarakat adalah tanaman bandotan (Ageratum conyzoides). Khasiat herba bandotan antara lain untuk pengobatan luka, gatal-gatal, flu, demam, diare, radang usus, dan rematik (Sukamto 2007; Hasim 2005). Diantara khasiat tanaman bandotan tersebut, yang paling umum digunakan masyarakat adalah untuk pengobatan luka dan gangguan pencernaan. Penggunaan daun tanaman ini pada luka dipercaya dapat menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan. Oladejo et al. (2003) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka adalah dengan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang terdapat pada kulit dan rongga hidung yang seringkali menjadi penyebab terjadinya infeksi luka pada permukaan kulit (Todar 2002). Seperti halnya infeksi pada luka, gangguan pencernaan juga dapat disebabkan oleh bakteri. Pelzcar & Chan (1986) menyebutkan bahwa bakteri Escherichia coli merupakan salah satu penyebab utama terjadinya infeksi pada saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala diare. Pengobatan infeksi oleh bakteri secara tradisional dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman. Tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti terpena, sterol, flavonoid, alkaloid, benzofuran, chromen, chromon, kumarin, minyak atsiri, dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat dan salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Oladejo et al. (2003) menerangkan bahwa pengembangan penelitian tentang alasan pemanfaatan tanaman bandotan sebagai obat luka dan gangguan pencernaan dapat dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai antibakteri. Penelitian tentang kajian pemanfaatan tanaman bandotan sebagai antibakteri sebelumnya telah dilakukan dengan memanfaatkan akar, batang dan daunnya. Ekstrak polar dari seluruh bagian tanaman bandotan seperti ekstrak

19 2 metanol (Almagboul et al. 1985; Oladejo et al. 2003), ekstrak etanol (Widodo et al. 2007), dan ekstrak air (Yamamoto et al. 1991; Okwori et al. 2007; Mustafa et al 2005) diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri yang diujikan. Ekstrak heksana yang merupakan ekstrak nonpolar juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji (Okwori et al. 2008). Sampai saat ini, pencarian senyawa aktif antibakteri dari tanaman bandotan hanya terbatas pada fraksi polar dan non polar saja. Secara ilmiah, fraksi semipolar juga mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Berdasarkan prinsip like disolve like, senyawasenyawa metabolit sekunder hanya dapat dipisahkan dari bagian tanaman menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Etil asetat adalah salah satu pelarut semi polar yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar. Hasil uji pendahuluan diketahui bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan mengandung senyawa fenol, terpena dan sterol yang kemungkinan berpotensi sebagai antibakteri. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan karakterisasi senyawa aktif dari fraksi etil asetat daun bandotan yang berpotensi sebagai antibakteri sekaligus memberikan informasi ilmiah yang dapat mendukung alasan penggunaan daun tanaman tersebut sebagai obat tradisional. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter dan aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.). Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang senyawa aktif dalam fraksi semi polar tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L) yang tidak dapat larut dalam pelarut polar dan non polar.

20 3 2. Mengetahui potensi yang dimiliki senyawa aktif tersebut sebagai antibakteri untuk mendukung alasan penggunaan daun tanaman bandotan sebagai tanaman obat tradisional.

21 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.) Tanaman bandotan merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda, diantaranya di Jawa disebut babadotan, di Sumatera dikenal sebagai daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi sekitar cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mudah tumbuh dimana saja dan sering dianggap sebagai gulma bagi para petani. Batang bulat berambut, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bulat telur dengan pangkal membulat, ujung runcing dan berwarna hijau dengan panjang 1-10 cm dan lebar 0,5-6 cm (Sukamto 2007). Bentuk fisik tanaman bandotan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Tanaman bandotan Tanaman bandotan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, superdivisi Spematophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Astericae, ordo Asterales, familia Asteraceae, genus Ageratum, spesies Ageratum conyzoides. L. Tumbuhan ini di berbagai daerah Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan, di Sumatera dikenal daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh dimana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Sukamto 2007). Meskipun tanaman ini sering dipandang sebagai gulma, namun di balik itu Ageratum dapat pula digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan digunakan untuk pupuk dimana dapat meningkatkan hasil produksi tanaman padi (Sukamto 2007).

22 5 Tanaman bandotan sejak dahulu telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara beriklim tropis dan subtropis (Mustafa et al. 2005). Keseluruhan tumbuhan ini bisa dijadikan obat, mulai dari akar hingga bagian di atas tanah (herba). Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan. Herba ini rasanya sedikit pahit dan pedas. Bandotan berkhasiat stimulan untuk mengobati kolik, flu, demam, antidisentri diare, rematik, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik), dan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Ming 1999; Hasim 2005; Anonim 2008). Igoli (2005) menambahkan, tanaman bandotan merupakan tanaman obat tradisional di wilayah Nigeria yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Fitokimia Bandotan Tumbuhan memproduksi dua jenis senyawa, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer merupakan produk essensial yang terdapat pada semua makhluk hidup yang digunakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak, misalnya protein, lemak, dan asam nukleat. Metabolit sekunder merupakan produk khas yang ditemukan pada tumbuhan tertentu saja. Naim (2004) menyatakan bahwa tanaman memiliki suatu kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk mensintesis senyawa-senyawa aromatik, kebanyakan dari senyawa tersebut adalah kelompok senyawa fenol. Pada banyak kasus, senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, insekta, dan herbivora (Naim 2004). Tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan, keberadaan senyawa-senyawa metabolit sekunder ini dapat dikatakan sebagai faktor penentu tanaman dapat dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Tanaman bandotan sebagai salah satu tanaman obat tradisional diketahui mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008).

23 6 Banyaknya senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam bandotan menyebabkan tanaman ini memiliki banyak sekali manfaat. Beberapa peneliti hingga saat ini juga telah berhasil mengembangkan pemanfaatan tanaman bandotan, diantaranya sebagai insektisida alami (Calle et al. 1990; Amelot et al. 2003), biolarvasida (Moehammadi 2005), antimalaria (Ehiagbonare 2007), antijamur (Widodo et al. 2007), dan sebagai antibakteri (Almagboul et al. 1985; Ekundayo et al. 1988; Oladejo et al. 2003; Mustafa et al 2005; Widodo et al. 2007). Calle et al. (1990) berhasil mengisolasi senyawa golongan kromen (prekosen I dan prekosen II) dari ekstrak petroleum eter A. conyzoides yang dapat menghambat hormon juvenil dalam serangga. Borthakur dan Baruah (1987), diacu dalam Utami dan Robara (2008) berhasil mengisolasi prekosen II dari ekstrak heksana pucuk daun A.conyzoides yang memiliki aktivitas antijamur. Wiedenfeld dan Roder (1991), diacu dalam Ming (1999) telah berhasil mengisolasi 1,2- desipropirrolizidin, likopsamin dan intermedin yang bersifat hepatotoksik. Berapa senyawa metabolit sekunder lain yang pernah diidentifikasi terdapat pada tanaman bandotan, yaitu senyawa heksametoksiflavon (Horri et al. 1993), 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen (Katepa et al. 1998), β-sitosterol dan stigmasterol (Dubey et al. 1989, diacu dalam Kamboj & Saluja 2008). Struktur kimia dari senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 2. O HO friedelin β-sitosterol stigmasterol HO HO O O O O OH HO N kumarin heksametoksiflavon likopsamin O O O O O O 7-metoksi-2,2-dimetil prekosen 1 prekosen 2-6-vinil-2H-kromen Gambar 2 Struktur kimia beberapa senyawa metabolit sekunder dari tanaman bandotan O

24 7 Bakteri Uji Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri yaitu S. aureus dan E. coli. Alasan penggunaan kedua bakteri tersebut adalah untuk melihat aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat dan masing-masing fraksi terhadap bakteri gram postif dan bakteri gram negatif. S. aureus adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif. Staphylococus aureus S. aureus adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah (Gambar 3). Gambar 3 Staphylococcus aureus ( S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu C, ph optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. Bakteri ini diisolasi dari luka bernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Pelczar & Chan 1986). S. aureus dapat menyebabkan beberapa infeksi yang serius seperti radang paru-paru (pneumonia), radang otot, dan pembengkakan otak bagian luar (Todar 2002). Bakteri ini juga bersifat patogen terhadap manusia dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada kulit seperti bisul dan luka gores.

25 8 Escherichia coli E. coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli merupakan bakteri dengan struktur dinding sel yang relatif tipis dan berlapis tiga, dinding selnya memiliki kandungan lipida tinggi dengan kandungan peptidoglikan relatif rendah dan tidak memiliki asam terikoat. Membran luar bakteri gram negatif mempunyai peranan sebagai barier masuknya senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik (Alokomi et al. 2000). Bakteri ini memiliki bentuk batang (basil) dengan ukuran lebar 0,5 nm dan panjang 1,0-3,0 nm serta tidak berkapsul (Gambar 4). Gambar 4 Escherichia coli ( Bakteri yang kurang rentan terhadap penisilin ini merupakan bakteri fakultatif anaerobik dengan suhu dan ph optimum pertumbuhan yang sama seperti S. aureus. Nama bakteri ini diambil dari nama seorang bakteriologist yang juga berhasil membuktikan bahwa diare dan gastroenteritis disebabkan oleh bakteri E. coli. Antibakteri Antibakteri adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan atau reproduksi bakteri. Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila antibakteri hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila antibakteri efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu saja (Dwijoseputro 1990). Cara kerja antibakteri ada yang bersifat mematikan

26 9 bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri disebut sebagai bakteriostatik (Shcunack et al. 1990). Kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan ph (Pelzcar & Chan 1986). Stout dalam Maryuni (2008) mengelompokkan antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah, sedang, kuat dan sangat kuat (Tabel 1). Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout Aktivitas Diameter Zona Hambat (mm) Rendah < 5 Sedang 5-10 Kuat Sangat Kuat >20 Sumber : Stout dalam Maryuni (2008) Konsentrasi terendah dari suatu antibakteri untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri masing-masing dikenal sebagai Minimum Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC). Efektivitas antibakteri semakin baik apabila nilai MIC dan MBC rendah. Efektivitas antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti ph dan kadar air. Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial, akaloid, pektin dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil. Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Menurut Pelczar dan Chan (1986), penghambatan aktivitas bakteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat.

27 10 Ekstraksi Dalam proses ekstraksi, hal utama yang harus diperhatikan adalah pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstraksi. Prinsip yang mendasari pemilihan pelarut pada proses ekstraksi adalah kaidah like dissolve like, yang artinya kepolaran senyawa yang dianalisis harus sama dengan kepolaran pelarutnya. Umumnya ekstraksi dilakukan untuk pemisahan dalam laboratorium, misalnya pemisahan senyawa-senyawa organik (fase organik) dari larutan berair (fase air) dengan menggunakan pelarut yang tidak dapat bercampur (Harvey 2000). Dalam pemilihan pelarut yang akan dipakai, harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah kepolaran dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH, COOH, dan juga gugus fungsi lainnya. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstraksi, maka dengan mudah dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran metabolit dan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar akan larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik maka akan semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya Pelarut Titik didih ( 0 C) Tetapan dielektrik Air Asam format Asetonitril Metanol Etanol Aseton Metil klorida Asam asetat Etil asetat Dietil eter Heksana Benzena , ,3 20,7 9,08 6,15 6,02 4,34 2,02 2,28 Sumber :

28 11 Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non-polar (heksana atau benzena) lalu dengan pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak kasar yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semi polar dan senyawa polar (Hostetmann et al. 1997). Ekstrasi dengan pelarut non-polar biasanya diperlukan untuk penghilangan lemak sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dengan demikian, ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak (Harborne 1996). Dalam proses ekstraksi untuk memisahkan senyawa flavonoid dari bahan tanaman umumnya digunakan pelarut yang bersifat polar seperti etanol dan metanol. Senyawa flavonoid yang bersifat polar akan larut dalam pelarut metanol dan etanol karena memiliki sifat kepolaran yang sama. Selain larut dalam pelarut polar, beberapa senyawa flavonoid juga diketahui dapat dipisahkan dengan pelarut semi polar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat kepolaran dari senyawa tersebut yang cendrung larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah. Fraksinasi Senyawa Aktif Pada tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum dilakukan adalah teknik kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan di dalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fasa diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1996; Hostettmann et al. 1997) Pada saat ini, kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling banyak digunakan untuk tujuan kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. Pemisahan dengan kromatografi dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa sifat umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas, dan volatilitas (Gritter et al. 1991). Keuntungan penggunaan kromatografi antara lain waktunya singkat, cukup efektif dan dapat melakukan pemisahan yang tidak mungkin dilakukan dengan metode lain (Nur & Adijuawana 1989).

29 12 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi menyerupai ekstraksi dalam hal partisi di antara 2 fase, tetapi berbeda dalam hal terlibatnya perpindahan senyawa dari fase diam ke fase gerak dan kembali ke fase diam. Senyawa yang terserap lebih kuat pada fasa diam (mempunyai nilai Rf lebih rendah) akan lebih sedikit yang mengalami migrasi sepanjang fasa diam. Pemisahan selektif komponen-komponen dalam suatu senyawa terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut sepanjang fasa diam. KLT termasuk dalam kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fasa stationer/diam. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa. Komponen fasa gerak dapat berupa larutan murni dan dapat pula gabungan beberapa larutan. Beberapa keuntungan KLT antara lain waktu operasi yang cepat, peralatan sederhana dan mudah disiapkan serta banyaknya parameter percobaan yang dapat divariasikan untuk mendapatkan efek pemisahan yang terbaik. KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai macam senyawa. Senyawa-senyawa tersebut antara lain ion-ion anorganik, kompleks senyawa organik dengan anorganik dan senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun hasil sintetik. Fasa gerak biner yang paling sering digunakan pada pemisahan secara KLT dalam berbagai perbandingan yaitu, heksana etil asetat, heksana aseton, dan kloroform etanol. Penambahan sedikit asam asetat atau dietilamina berguna untuk memisahkan berturut-turut senyawa asam dan senyawa basa (Khopkar 1990). Kromatografi Kolom (KK) Prinsip dasar dari kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis sama, yaitu partisi komponen-komponen yang merupakan suatu tipe kesetimbangan dimana komponen-komponen akan terbagi diantara fase diam dan fase gerak. Perbedaan dari kedua kromatografi ini terletak pada jumlah sampel yang dapat dipisahkan. Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dengan menggunakan material terpadatkan (adsorben) pada sebuah kolom gelas vertikal. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya sampel yang akan dipisahkan.

30 13 Sampel yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan melalui bagian atas kolom sambil dialiri eluen terbaiknya. Masing-masing komponen akan teradsorbsi pada fase diam dan bergerak keluar dari kolom secara perlahan. Perbedaan kekuatan adsorbsi komponen-komponen tersebut oleh fase diam berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam kolom. Komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama (Gritter et al. 1991). Spektrofotometer UV-Vis (Ultraviolet-Visible) Spektrofotometer Ultraviolet digunakan untuk identifikasi senyawa kimia karena banyak senyawa-senyawa kimia menunjukkan sifat khusus pada daerah UV. Spektrum UV senyawa-senyawa kimia dalam tumbuhan dapat ditentukan dengan contoh yang sangat sedikit dan dengan konsentrasi yang sangat encer serta blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan tersebut. Spektroskopi menggunakan prinsip difraksi dan interferensi untuk memisahkan cahaya yang dihasilkan oleh suatu objek menjadi garis-garis warna berbeda yang dikenal sebagai spektrum. Ketika elektron pada atom mendapatkan energi baik melalui tumbukan dengan elektron lain atau melalui pengaruh gelombang elektromagnetik (seperti cahaya). Energi tinggi yang digunakan pada spektrofotometer UV-Vis menyebabkan terjadinya eksitasi elektron dari energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron-elektron tersebut akan turun kembali dengan cepat ke keadaan awalnya dengan melepaskan energi yang sebanding dengan beda energi antara dua tingkat energi atom dan menghasilkan puncak pada panjang gelombang tertentu. Munculnya puncak-puncak tersebut dapat menggambarkan ikatan-ikatan yang terdapat pada cuplikan molekul sampel uji. Cahaya ultraviolet mempunyai panjang gelombang nm dengan energi kkal/mol, sedangkan cahaya tampak menggunakan cahaya dengan panjang gelombang nm dan tingkat energi sebesar kkal/mol. Spektrum UV-Vis sangat lebar dan umumnya hanya memperlihatkan beberapa puncak saja yaitu pada panjang gelombang maksimum (Hart 2003).

31 14 Spektrofotometer Inframerah Spektrofotometer inframerah merupakan salah satu instrumen analitik yang telah populer digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsional suatu senyawa. Disamping itu spektra infra merah dapat memberikan informasi yang sangat karakteristik untuk setiap senyawa. Oleh karena itu, kemampuan teknik infra merah dalam analisis kualitatif tidak diragukan lagi asalkan didukung oleh interpretasi data hasil pengamatan dengan benar. Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kisaran panjang gelombang yang digunakan adalah cm -1 (Silverstein et al. 2005). Panjang gelombang radiasi infra merah lebih panjang dibandingkan dengan radiasi UV/tampak yang berkisar antara nm. Hal ini menyebabkan energi elektromagnetik infra merah tidak mampu untuk mengeksitasi elektron, tetapi mampu menyebabkan atom-atom atau gugus atom bervibrasi. Keadaan vibrasi memiliki sifat karakteristik dan terkuantisasi, yaitu hanya akan terjadi bila molekul mengabsorbsi energi yang sesuai. Hal ini menyebabkan absorpsi energi tidak terjadi secara kontinyu tetapi sebagai deretan puncak-puncak tertentu. Spektrum IR pada prinsipnya dihasilkan dengan cara melewatkan radiasi IR ke contoh kemudian diproses dengan menggunakan interferometer. Keadaan ini secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram (Sudjadi 1983). Absorpsi molekul pada daerah inframerah umumnya disebabkan oleh perubahan tingkat energi vibrasi (Nur & Adijuwana 1989). Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Bilangan gelombang dari beberapa gugus fungsi. Gugus Fungsi C-H aromatik alkana alkena aldehid C=C alkena aromatik C=O aldehid keton asam karboksilat Bilangan gelombang (cm -1 )

32 15 O-H bebas ikatan hidrogen asam karboksilat C-N amina (alipatik) amina aromatik) Gugus Fungsi Bilangan gelombang (cm -1 ) C-O alkoho, eter, ester, asam karbiksilat N-H strech bend Sumber: Silverstein et al. (2005) Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS) Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS) merupakan salah satu teknik pemisahan dan identifikasi suatu senyawa yang telah berhasil dikembangkan dengan menggabungkan dua instrumen dengan dasar analisis yang berbeda tetapi saling menunjang. Keuntungan dalam penggunaan alat ini adalah dalam menentukan komponen dan komposisi suatu zat menjadi lebih mudah dan sederhana (Agusta 2000). Prinsip dari alat ini adalah menggabungkan dua instrumen dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi. Teknik spektroskopi massa tidak berdasarkan pengukuran radiasi elektromagnetik, melainkan molekul-molekul ditembak dengan berkas elektron berenergi tinggi dan hasilnya direkam sebagai spektrum dari pecahan-pecahan ion bermuatan positif yang disebut spektrum massa. Terpisahnya pecahan-pecahan ion positif didasarkan pada massanya.

33 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai November 2010 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB dan Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI-Serpong, karakterisasi senyawa aktif dengan spektrofotometer UV-VIS dan FT-IR dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor, analisis dengan GC-MS dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes-POLRI dan uji antibakteri di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada proses ekstraksi dan fraksinasi adalah peralatan ekstraksi maserasi, rotari evaporator, plat KLT, kolom kromatografi, peralatan untuk uji antibakteri dan peralatan untuk karakterisasi senyawa aktif digunakan spektrofotometer UV-VIS Shimadzu Pharmaspec 1700 Double Beam, spektrofotometer FT-IR Bruker jenis Tensor 37, spektroskopi massa (MS) Agilent 7890A dan Gas kromatografi (GC) Agilent 5975C dengan jenis kolom HP-5MS (panjang 30 m dan diameter 0,25 mm). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba bandotan dengan tinggi ± cm yang kemudian diambil daunnya. Herba bandotan diperoleh di sekitar Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pelarut-pelarut organik antara lain heksana, etil asetat (EtOAc), metanol (MeOH), dan kloroform (CHCl 3 ), pereaksi-pereaksi untuk uji fitokimia, bakteri S. aureus ATCC dan E. coli ATCC Persiapan Sampel dan Penentuan Kadar Air (AOAC 1970) Tanaman bandotan segar dikeringkan dan dipisahkan daunnya dari bagian lainnya. Daun bandotan yang telah kering kemudian digiling/dihaluskan hingga diperoleh serbuk daun bandotan dengan ukuran 100 mesh. Sebelum ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan penentuan kadar air sampel dengan cara 2-3 g sampel kering dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama

34 17 30 menit. Setelah itu, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya. Pemanasan sampel diulangan sampai diperoleh bobot yang konstan. Ekstraksi Sampel Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode umum menurut Harborne (1996), yaitu ekstraksi dan fraksinasi suatu senyawa dari jaringan tumbuhan berdasarkan tingkat kepolaran dengan menggunakan maserasi. Sebanyak 2 kg sampel kering dimaserasi dengan heksana (3 x 24 jam) untuk menghilangkan kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam sampel. Setelah dilakukan penyaringan dan pengeringan, residu yang dihasilkan dimaserasi kembali dengan etil asetat (3 x 24 jam), lalu filtratnya dipekatkan dengan menggunakan vakum penguap putar pada suhu 40 o C - 50 o C sehingga diperoleh ekstrak kasar etil asetat. Ekstrak kasar etil asetat yang dihasilkan di atas dan sampel sebelum diekstraksi, diuji kandungan fitokimianya. Ekstrak kasar etil asetat hasil ekstraksi kemudian difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan eluen yang menunjukkan pemisahan yang paling baik sehingga diperoleh beberapa fraksi. Masing-masing fraksi dilakukan uji antimikroba untuk mendapatkan fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi kemudian dipisahkan dan dilakukan pengujian antibakteri kembali. Setelah dilakukan beberapa kali fraksinasi dan diketahui fraksi terakhir yang masih memiliki aktivitas sebagai antibakteri, kemudian dilanjutkan dengan elusidasi struktur senyawanya menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR, dan GC-MS. Uji Fitokimia (Harborne 1987) Alkaloid Sebanyak 0,3 g sampel dilarutkan dalam 10 ml kloroform-amonia lalu disaring. Filtrat hasil penyaringan ditambahkan beberapa tetes H2SO 4 2M, kemudian dikocok sehingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (tidak berwarna) dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan pereaksi Mayer, Dragendorff,

35 18 dan Wagner. Hasil endapan putih dengan pereaksi Mayer, endapan merah jingga dengan pereaksi Dragendroff, dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka sampel tersebut positif mengandung alkaloid. Flavonoid dan Senyawa Fenolik Sebanyak 0,5 g sampel ditambah metanol 30% sampai terendam kemudian dipanaskan. Filtratnya ditambahkan NaOH 10% dan H 2 SO 4. Warna merah yang terbentuk karena penambahan NaOH 10% menunjukkan terdapatnya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H 2 SO 4 pekat menunjukkan terdapatnya senyawa flavonoid (Harborne 1988). Saponin Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtratnya yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup selama 10 menit, terbentuknya busa yang stabil menandakan adanya saponin. Tanin Sebanyak 0,5 g sampel di dalam gelas piala ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat yang dihasilkan pada item 3, ditambahkan FeCl 3 1%. Identifikasi tanin yang positif ditandai dengan adanya warna biru tua atau hijau kehitaman. Triterpenoid-Steroid Sebanyak 0,5 g sampel ditambahkan 5 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan eter dan dikocok. Lapisan eter dipisahkan dan ditambahkan pereaksi Liebermenn-burchad (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat). Adanya warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid. Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT digunakan dalam menentukan eluen terbaik untuk fraksinasi dan penggabungan fraksi hasil fraksinasi. Plat KLT yang digunakan adalah plat alumunium silika gel F254. Sampel ditotolkan dengan menggunakan pipa kapiler

36 19 pada plat KLT yang telah ditandai garis awal dan garis akhirnya. Pelarut dimasukkan dalam bejana tertutup dan dibiarkan hingga uapnya jenuh, kemudian plat KLT dimasukkan dalam bejana dan ditutup kembali. Setelah pelarut naik dan sampai garis akhir, maka plat KLT segera dikeluarkan dan dikeringkan. Plat KLT yang telah kering kemudian diamati di bawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm. Penentuan eluen terbaik dilakukan dengan membandingkan jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dari beberapa sistem pelarut yang digunakan. Eluen yang menghasilkan jumlah spot terbanyak dan pola pemisahan terbaik selanjutnya digunakan pada proses fraksinasi. Sedangkan penggabungan fraksi hasil fraksinasi dilakukan dengan melihat kemiripan pola spot yang terbentuk pada masing-masing fraksi tersebut. Kromatografi Kolom Sampel sebanyak 2 gram dilarutkan dalam pelarut etil asetat kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Eluen terbaik yang telah ditentukan dituangkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom kromatografi. Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung pada tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Setelah proses fraksinasi selesai, kemudian dilanjutkan pada tahap penggabungan fraksi dengan menggunakan KLT. Fraksi-fraksi dengan pola spot yang sama digabung menjadi satu fraksi. Dengan demikian diperoleh jumlah fraksi total yang terdapat pada sampel. Uji Aktivitas Antibakteri (Haswirna 2006) Pembuatan Media Trypton Soy Agar (TSA) dan Persiapan Suspensi Bakteri Sebanyak 40 g TSA (tryptone soy agar) dilarutkan dalam 1 liter aquades lalu dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik sampai homogen. Setelah homogen larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 20 ml, kemudian ditutup dengan kapas. Media disterilkan dengan otoklaf pada tekanan 1,5 atm dengan suhu C selama 15 menit. Tabungtabung tersebut dimiringkan sebelum mengeras dan dibiarkan selama 24 jam. Media ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri.

37 20 Bakteri diperoleh dari laboratorium mikrobiologi PAU-IPB, yaitu bakteri S. aureus ATCC dan E. coli ATCC Bakteri S. aureus dan E. coli dibiakkan pada media yang telah disiapkan. Sebanyak 1 ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media yang telah disiapkan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0 C. Pengujian Aktivitas Antibakteri Biakan bakteri yang diperoleh kemudian diencerkan menggunakan metode Mc. Farland 0,5 hingga diperoleh bakteri uji dengan konsentrasi 1 x Sebanyak 100 µl bakteri yang telah diencerkan, kemudian dituangkan dalam cawan petri yang telah berisi media TSA dan disebar dengan batang kaca penyebar kemudian dibiarkan memadat. Setelah padat, media agar dilubangi dengan pipet berdiameter ± 5,5 mm. Sampel yang telah diencerkan dengan pelarut etil asetat kemudian diteteskan pada sumuran sebanyak 20 µl dengan konsentrasi 300 mg/ml untuk diuji aktivitas antibakterinya. Media uji selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37 0 C kemudian diamati aktivitas antibakterinya. Ekstrak dinyatakan positif sebagai antibakteri apabila mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan terbentuknya zona hambatan berupa areal bening di sekitar sumuran. Besarnya hambatan dapat diukur dengan diameter area bening dikurangi dengan diameter sumuran dan dibandingkan dengan kloramfenikol dengan konsentrasi 0,4 mg/ml (sebagai antibiotik standar). Semakin besar diameter zona bening yang terbentuk, semakin aktif zat uji tersebut sebagai antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak bakteri yang dihambat pertumbuhannya oleh zat uji tersebut. Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibition Consentration) (Haswirna 2006) Nilai MIC adalah konsentrasi terendah yang mematikan bakteri yang diinokulasikan ke dalam media. MIC ditentukan dengan menggunakan metode broth dillution menggunakan kaldu TSB (Tryptone Soy Broth). Penentuan nilai MIC dilakukan setelah diketahui bahwa fraksi etil asetat daun tanaman bandotan memiliki aktivitas antibakteri. Biakan bakteri uji sebanyak 1 ose dimasukkan ke dalam 10 ml media cair TSB lalu diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu 37 0 C. Sebanyak 50 µl biakan bakteri kemudian dicampurkan ke

38 21 dalam 20 ml media TSA bersuhu ± 45 0 C lalu dibiarkan sampai memadat. Media agar yang telah memadat dilubangi dengan pangkal pipet tetes (diameter ± 5,5 mm). Variasi konsentrasi yang digunakan untuk menentukan MIC adalah 500, 250, 100, 75, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Sebanyak 50 µl sampel dimasukkan pada lubang media TSB yang telah diinkubasi dengan bakteri uji, kemudian diinkubasi kembali selama 24 jam pada suhu 37 0 C. Setelah inkubasi selesai, dilakukan pengamatan terhadap adanya pertumbuhan bakteri. Konsentrasi fraksi etil asetat tanaman bandotan yang menyebabkan bakteri tidak tumbuh pada subkultur merupakan konsentrasi yang dipilih sebagai nilai MIC.

39 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Daun Bandotan Ekstraksi maserasi serbuk daun bandotan kering dengan kadar air 9,52 % menggunakan pelarut heksana dan etil asetat sebanyak tiga kali pengulangan. Rendemen ekstrak heksana diperoleh seberat 75,95 g dan ekstrak etil asetat seberat 71,50 g. Rendemen eksrak etil asetat yang diperoleh hampir sama dengan jumlah rendemen ekstrak heksana. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat semipolar pada daun tanaman bandotan hampir sama dengan kandungan senyawa yang bersifat nonpolar. Perendaman dengan heksana bertujuan untuk memisahkan lemak dan senyawa-senyawa nonpolar pada sampel sebelum diekstraksi maserasi dengan pelarut etil asetat. Adanya lemak dan minyak dalam sampel dapat mengganggu pada saat dilakukan kromatografi dan fraksinasi. Metode maserasi adalah salah satu cara untuk memisahkan senyawa metabolit sekunder dari sampel tanaman dengan perendaman menggunakan pelarut organik tanpa pemanasan. Metode maserasi dipilih selain karena sederhana dalam perlakuannya juga bertujuan untuk menghindari rusaknya senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam daun bandotan yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Prinsip dasar dari proses ekstraksi adalah like disolve like, artinya senyawa non polar yang terkandung dalam sampel tanaman hanya akan larut dalam pelarut non polar dan demikian pula untuk senyawa-senyawa yang bersifat polar dan semi polar (Harborne 1986). Analisis Fitokimia Hasil analsis fitokimia terhadap daun bandotan menunjukkan adanya senyawa-senyawa flavonoid, steroid, p-hidrokuinon, terpenoid, dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut juga terdapat pada ekstrak etil asetat, kecuali senyawa tanin yang menunjukkan hasil negatif. Hasil uji fitokimia terhadap daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetatnya disajikan pada Tabel 4.

40 23 Tabel 4 Hasil uji fitokimia daun bandotan dan ekstrak kasar etil asetat Jenis metabolit sekunder Daun bandotan Ekstrak kasar etil asetat alkaloid - - Flavonoid p-hidrokuinon Terpenoid ++ + Steroid Saponin - - Tanin Keterangan: tanda (+) menunjukkan bahwa sampel mengandung unsur senyawa dan tanda (-) menunjukkan sampel tidak mengandung unsur senyawa Adanya senyawa flavonoid, p-hidrokuinon, terpenoid dan steroid pada daun tanaman bandotan sesuai dengan hasil yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menyebutkan bahwa tanaman bandotan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, terpena, kromen, kromon, benzofuran, kumarin, minyak atsiri, sterol dan tanin sehingga tanaman ini dipercaya memiliki banyak manfaat yang salah satunya adalah sebagai antibakteri (Ming 1999; Kamboj & Saluja 2008). Analisis fitokimia dilakukan terhadap serbuk daun bandotan dan ekstrak etil asetat yang dihasilkan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus membandingkan kandungan senyawa metabolit sekunder sebelum dan setelah proses ekstraksi maserasi dilakukan. Perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder dari kedua sampel tersebut terletak pada senyawa tanin. Senyawa tanin merupakan senyawa polifenol yang bersifat polar dan hanya dapat larut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang sesuai. Perbedaan tingkat kepolaran etil asetat dan senyawa tanin menyebabkan senyawa ini tidak dapat larut pada pelarut etil asetat. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif. Analisis ini sangat berguna untuk menentukan golongan utama senyawa aktif dalam sampel tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri. Bioaktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam bahan. Perbedaan kandungan senyawa kimia menunjukkan perbedaan aktivitas farmakologis dari tanaman.

41 24 Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Fraksinasi Senyawa Aktif Sebelum proses fraksinasi dilakukan, terlebih dahulu ditentukan eluen yang menghasilkan pola pemisahan terbaik untuk digunakan pada proses fraksinasi. Kombinasi pelarut yang digunakan sebagai eluen adalah kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 dan kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 (Harborne 1986). Sebanyak 1,5 g ekstrak dilarutkan dalam 0,5 ml etil asetat. Larutan ekstrak tersebut kemudian ditotolkan pada plat silika gel 60 F 254 kemudian diletakkan pada masing-masing sistem eluen. Pengamatan terhadap plat KLT dari masing-masing eluen disajikan pada Gambar 5. spot 1 spot 2 spot 3 spot 4 spot 5 spot 6 spot 7 a b spot 8 Gambar 5 Hasil analisis KLT (a) kloroform : asam asetat : air = 90 : 45 : 6 (b) kloroform : metanol = 9 : 1 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eluen kloroform : asam asetat : air dengan perbandingan 90 : 45 : 6 hanya menghasilkan 6 spot dengan pola pemisahan yang kurang baik. Eluen kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 menghasilkan pola pemisahan yang lebih baik dan jumlah spot yang dihasilkan juga lebih banyak, yaitu 8 spot. Jumlah spot dan pola pemisahan yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat kepolaran dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan memiliki tingkat kepolaran yang tidak terlalu tinggi dan sesuai dengan tingkat kepolaran kloroform : metanol. Eluen kloroform : asam asetat : air memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi sehingga menghasilkan jumlah spot lebih

42 25 sedikit dan pola pemisahan yang kurang baik. Nilai Rf dari masing-masing spot untuk eluen kloroform : metanol (9 : 1) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari masing-masing spot pada eluen kloroform : metanol (9:1). Spot Warna pada cahaya tampak Warna pada UV (λ = 254 nm) Rf 1 Hijau Kehitaman Merah Kehitaman 0,95 2 Hijau Tua Merah Kehitaman 0,84 3 Hijau Muda Hijau Tua 0,73 4 Hijau Muda Hijau Tua 0,59 5 Kuning Muda Hijau Muda 0,44 6 Tidak Berwarna Kuning 0,33 7 Tidak Berwarna Kuning Muda 0,23 8 Tidak Berwarna Kuning Muda 0,10 Spot pertama berwarna hijau kehitaman merupakan spot paling atas pada plat KLT dengan nilai Rf sebesar 0,95. Sedangkan spot terakhir tidak berwarna dan memiliki nilai Rf sebesar 0,10. Perbedaan nilai Rf menunjukkan adanya perbedaan sifat kepolaran dari masing-masing senyawa yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan. Senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah akan teradsorbsi paling lemah oleh adsorben dan lebih dahulu bergerak naik membentuk spot paling atas (nilai Rf tinggi). Kemudian diikuti oleh senyawa dengan tingkat kepolaran lebih tinggi dan akan membentuk spot yang lebih rendah (nilai Rf rendah). Setelah diketahui eluen terbaik untuk pemisahan fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan, kemudian dilanjutkan pada proses pemisahan menggunakan kromatografi kolom. Ekstrak kasar etil asetat daun bandotan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi kemudian kolom dialiri eluen yang akan digunakan. Fraksi-fraksi yang keluar dari kolom ditampung pada tabung reaksi dengan jumlah 5 ml untuk tiap-tiap tabungnya. Jumlah tabung yang diperoleh dari hasil kromatografi kolom adalah sebanyak 150 tabung. Kemudian dilanjutkan penggabungan fraksi-fraksi yang memiliki kesamaan pola spot menjadi satu fraksi (Lampiran 2). Jumlah fraksi yang dihasilkan dari proses penggabungan adalah sebanyak 8 fraksi dengan jumlah rendemen yang berbeda-beda. Bobot rendemen dari masing-masing fraksi disajikan pada Gambar 6.

43 26 bobot rendemen (g) 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 15,14 22,21 21,19 20,44 5,79 4,50 1, fraksi Gambar 6 Rendemen hasil fraksinasi ekstrak etil asetat 0,93 Keterangan : Fraksi 1 (tabung 1-10) Fraksi 5 (tabung 65-97) Fraksi 2 (tabung 11-17) Fraksi 6 (tabung ) Fraksi 3 (tabung 18-37) Fraksi 7 (tabung ) Fraksi 4 (tabung 38-64) Fraksi 8 (tabung ) Hasil pengukuran bobot rendemen fraksi 1-4 memiliki jumlah rendemen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan empat fraksi lainnya. Tingginya rendemen fraksi 1-4 menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat lebih banyak mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang cenderung rendah. Fraksi 1-4 merupakan fraksi yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi 5-8. Tingkat kepolaran yang rendah menyebabkan fraksi-fraksi tersebut terabsorbsi lebih lemah oleh absorben sehingga akan keluar lebih dahulu dari kolom kromatografi. Secara keseluruhan, bobot rendemen tertinggi diperoleh pada fraksi 2 yaitu sebesar 0,45 mg, sedangkan rendemen terendah diperoleh pada fraksi 8 sebesar 0,02 mg. Fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian diuapkan pelarutnya dengan rotavapor dan diuji aktivitas antibakterinya. Setelah diketahui fraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi, proses pemisahan dengan kromatografi kolom diulangi kembali untuk mendapatkan rendemen yang lebih banyak. Hal ini bertujuan agar jumlah rendemen yang dihasilkan dapat mencukupi hingga tahap akhir proses penelitian. Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap pelarut etil asetat, ekstrak etil asetat, delapan fraksi yang dihasilkan, dan kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 6 berikut ini.

44 27 Tabel 6 Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksifraksi yang terkandung di dalamnya pada konsentrasi 300 mg/ml ZONA HAMBAT (mm) Sampel S. aureus E. coli Pengulangan Pengulangan I II Rata-rata I II Rata-rata Pelarut etil asetat Ekstrak Etil asetat 14,0 14,0 14,0 11,0 11,0 11,0 Fraksi 1 12,0 12,0 12,0 11,0 12,0 11,5 Fraksi 2 13,0 12,0 12,5 11,0 11,0 11,0 Fraksi 3 15,0 16,0 15,5 11,0 12,0 11,5 Fraksi 4 16,0 16,0 16,0 13,0 13,0 13,0 Fraksi 5 12,0 12,0 12,0 14,0 14,0 14,0 Fraksi 6 11,0 12,0 11,5 11,0 10,0 10,5 Fraksi 7 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 Fraksi 8 10,0 9,0 9,5 10,0 9,0 9,5 Klroramfenikol (0,4 mg/ml) 18,0 19,0 18,5 20,0 20,0 20,0 Pelarut etil asetat yang diujikan terhadap kedua bakteri uji tidak menunjukkan aktivitas zona hambat. Hal ini membuktikan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksi-fraksinya disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri dan bukan pengaruh dari pelarut etil asetat. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat daun bandotan memiliki aktivitas antibakteri seperti ekstrak polar dan non polarnya. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat terhadap S. aureus sebesar 14 mm dan terhadap E. coli sebesar 11 mm. Besarnya diameter zona hambat ekstrak etil asetat hampir sama dengan diameter zona hambat ekstrak air, metanol dan heksana. Okwori et al. (2007) menyebutkan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak air, metanol dan heksan daun tanaman bandotan terhadap S. aureus berturut-turut dalam kisaran 7-15 mm, mm dan 9-16 mm, sedangkan diameter hambat terhadap E. coli sebesar 6-12 mm, mm dan 7-16 mm.

45 28 Uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etil asetat dan fraksi 1-8 menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang cenderung lebih besar terhadap S. aureus dibandingkan dengan diameter zona hambat pada E. coli, kecuali pada fraksi 5. Besarnya diameter zona hambat terhadap S. aureus menunjukkan bahwa bakteri Gram positif ini lebih sensitif terhadap masingmasing fraksi. Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni (2008), Rahmawati (2008) dan Sisilia (2009) juga menunjukkan bahwa S. aureus lebih sensitif dibandingkan dengan E. coli. Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan negatif diduga berasal dari perbedaan morfologi struktur dinding sel antara keduanya. Menurut Hodges (2002), bakteri Gram negatif memiliki membran fospolipida bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antimikroba. Hal ini menyebabkan dinding sel bakteri Gram negatif dapat bertindak sebagai penghalang terjadinya difusi dan membuatnya kurang sensitif terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal dengan lapisan peptidoglikon luar yang tidak efektif menahan permeabilitas (Pelczar & Chan 1986). Berbeda dengan ketujuh fraksi lainnya, fraksi 5 menghasilkan diameter zona hambat yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan dengan S. aureus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada fraksi 5 mengandung senyawasenyawa yang memiliki efektifitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif dibandingkan gram positif. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun bandotan dan semua fraksinya memiliki spektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa fraksi 1-6 tergolong sebagai antibakteri yang memiliki aktivitas kuat karena menghasilkan rata-rata diameter zona hambat diatas 10 mm. Stout dalam Maryuni (2008) menjelaskan pengelompokkan antibakteri ke dalam empat kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah (<5 mm), sedang (6-10), kuat (11-20) dan sangat kuat (>20 mm).

46 29 Dari delapan fraksi yang ada, dipilih satu fraksi yang memiliki aktivitas tertinggi untuk dilakukan fraksinasi kembali. Fraksinasi ini bertujuan untuk mengetahui senyawa yang paling berperan memberikan aktivitas antibakteri pada ekstrak etil asetat dan fraksi yang terkandung di dalamnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh fraksi 4 karena menghasilkan diameter zona hambat paling tinggi yaitu sebesar 16 mm untuk S. aureus dan 14 mm untuk E. coli. Meskipun diameter zona hambat yang dihasilkan hampir sama dengan fraksi 3, tetapi diameter zona hambat fraksi 3 terhadap E. coli lebih rendah yaitu sebesar 11,5 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan menjadi dasar pemilihan fraksi 4 sebagai fraksi teraktif. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan fraksifraksinya lebih rendah bila dibandingkan dengan diameter zona hambat dari kloramfenikol sebagai antibakteri standar. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan aktivitas antibakteri kloramfenikol dengan senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat daun bandotan dan fraksi-fraksinya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya diameter zona hambat yang dihasilkan meskipun konsentrasi yang digunakan lebih kecil. Menurut Pelczar dan Chan (1986), efektifitas antibakteri dipengaruhi oleh senyawa antibakteri, suhu, waktu inkubasi, jenis, jumlah, dan umur bakteri, serta sifat kimia subtrat seperti ph dan kadar air. Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Mekanisme kerja kloramfenikol adalah dengan mengganggu sintesis protein pada bakteri (Schunack 1990). Fraksinasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi 4 Fraksinasi Senyawa Aktif Pemisahan fraksi teraktif bertujuan untuk memisahkan subfraksi yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi dengan subfraksi lainnya yang memiliki aktivitas lebih rendah atau tidak memiliki aktivitas sama sekali. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi kolom dengan terlebih dahulu mencari eluen terbaiknya. Beberapa perbandingan eluen yang digunakan antara lain butanol : asam asetat : air (4:2:5; 4:1:6; 4:2:6), etil asetat : metanol : kloroform : air (40:22:20: 10), etil asetat : aseton : asam asetat : air (60:20:10:10), dan kloroform : metanol (9:1) (Harborne 1986). Dari beberapa eluen yang

47 30 digunakan tersebut, jumlah spot terbanyak dengan pemisahan terbaik diperoleh pada eluen kloroform : metanol (9:1) dengan jumlah 10 spot (Lampiran 3). Setelah diketahui eluen terbaiknya, kemudian dilakukan fraksinasi kembali menggunakan kromatografi kolom. Fraksinasi menghasilkan 96 subfraksi dan setelah dilakukan penggabungan diperoleh subfraksi total sebanyak 5 subfraksi (Lampiran 4). Bobot rendemen dari masing-masing subfraksi disajikan pada Gambar 7 berikut ini. Bobot rendemen (g) 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1,16 0,74 0,67 0,52 0,46 a b c d e Subfraksi 4 Gambar 7 Rendemen Hasil Fraksinasi F4 Keterangan: Subfraksi 4a (tabung 1-10) Subfraksi 4d (tabung 50-73) Subfraksi 4b (tabung 11-28) Subfraksi 4e (tabung 74-96) Subfraksi 4c (tabung 29-49) Pengukuran terhadap bobot rendemen yang dihasilkan, diketahui bahwa subfraksi 4b menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 1,16 g atau (28,90 %). Kemudian bobot rendemen yang lebih rendah secara berturut-turut terdapat pada subfraksi 4c, a, d dan e sebesar 0,74 g, 0,67 g, 0,52 g dan 0,46 g. Subfraksi 4b merupakan gabungan dari senyawa-senyawa dengan nilai Rf 0,68-0,92. Pada saat pemisahan fraksi 4 menggunakan eluen kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1, senyawa-senyawa yang memiliki nilai Rf 0,68-0,92 tersebut keluar secara bersamaan dan ketika penggabungan fraksi masuk dalam subfraksi 4b. Hal ini menyebabkan rendemen pada subfraksi 4b menjadi lebih tinggi dibandingkan empat subfraksi lainnya.

48 31 Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap kelima subfraksi yang dihasilkan untuk mengetahui subfraksi dengan aktivitas antibakteri tertinggi. Hasil uji aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran 5. Diameter zona hambat (mm) ,5 14,5 13, ,5 a b c d e Subfraksi 4 S. aureus E. coli Gambar 8 Aktivitas antibakteri subfraksi 4a-e Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan dari masing-masing subfraksi. Subfraksi 4a, 4b dan 4c menghasilkan rata-rata diameter zona hambat yang sama terhadap S.aureus, yaitu sebesar 14,5 mm sampai 13,5 mm, tetapi diameter zona hambat subfraksi 4a dan 4c terhadap E. coli lebih rendah, yaitu 8 mm dibandingkan subfraksi 4b sebesar 10 mm. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4b dibandingkan dengan empat subfraksi lainnya menjadi alasan pemilihan subfraksi 4b sebagai subfraksi teraktif untuk selanjutnya ditentukan nilai MIC dan kandungan senyawa aktifnya. Kelima subfraksi yang diperoleh memiliki tingkat aktivitas antibakteri dalam kategori kuat, sedang, dan lemah. Subfraksi 4a sampai 4c memiliki aktivitas yang kuat terhadap bakteri S. aureus, sedangkan subfraksi 4d dan 4e memiliki aktivitas dalam kategori sedang. Apabila dilihat aktivitasnya terhadap bakteri E. coli, tingkat aktivitas semua subfraksi yang dihasilkan termasuk dalam kategori sedang kecuali fraksi 4e yang tingkat aktivitasnya lemah. Diameter zona hambat yang dihasilkan oleh subfraksi 4a-e lebih rendah bila dibandingkan dengan fraksi 4. hal ini menunjukkan bahwa fraksi 4 memiliki aktifitas antibakteri yang lebih baik dari subfraksi-subfraksi yang terkandung di

49 32 dalamnya. Terjadinya penurunan aktivitas antibakteri ini diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat subfraksi 4a-e bekerja secara bersama-sama dan ditunjukkan dengan besarnya diameter hambat yang dihasilkan pada uji aktivitas antibakteri fraksi 4. Dengan kata lain, pemisahan fraksi 4 menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil menyebabkan senyawa-senyawa yang bekerja secara sinergis sebagai antibakteri menjadi terpisah sehingga daya aktivitas antibakterinyapun mengalami penurunan. Penentuan Nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) Penentuan nilai MIC pada subfraksi 4b menggunakan variasi konsentrasi 500, 250, 125, 175, 50, 25, 10, dan 5 mg/ml. Variasi konsentrasi yang digunakan menghasilkan respon yang berbeda-beda terhadap kedua bakteri uji. Diameter zona hambat dari berbagai konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 6. Diameter zona hambat (mm) ,5 14,5 12, ,5 3,5 6,5 2, Konsentrasi (mg/ml) S. aureus E. coli Gambar 9 Diameter zona hambat pada penentuan nilai MIC Pada Gambar 9 terlihat adanya hubungan antara konsentrasi ekstrak yang digunakan terhadap diameter zona hambat yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka diameter zona hambat yang terbentuk akan semakin besar. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus adalah sebesar 25 mg/ml dan nilai MIC untuk E. coli adalah sebesar 50 mg/ml. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terendah dari subfraksi 4b yang dapat menghambat pertumbuhan masing-masing bakteri uji. Penelitian yang dilakukan oleh Okwori et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai MIC ekstrak air, metanol, dan heksan daun tanaman

50 33 bandotan terhadap S. aureus adalah sebesar 100 mg/ml, 50 mg/ml dan 6,3 mg/ml, sedangkan nilai MIC untuk bakteri E. coli sebesar 50 mg/ml, 100 mg/ml dan 12,5 mg/ml). Nilai MIC yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai MIC hasil penelitian yang dilakukan oleh Okwori et al. (2007). Dengan demikian, diketahui bahwa sensitivitas antibakteri pada subfraksi 4b lebih baik bila dibandingkan dengan ekstrak air, metanol dan heksan. Nilai MIC untuk bakteri S. aureus yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri E. coli juga menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih rentan terhadap subfraksi 4b dibandingkan dengan bakteri E.coli. Nilai MIC subfraksi 4b terhadap kedua bakteri uji jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai MIC kloramfenikol. Perbedaan nilai MIC ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tingkat efektifitas dari subfraksi 4b dengan kloramfenikol. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kloramfenikol merupakan senyawa antibakteri dengan efektifitas yang tinggi sehingga pada konsentrasi sangat rendah sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Penentuan nilai Minimum Inhibition Concentration (MIC) bertujuan untuk mengetahui konsentrasi/kadar minimum yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau membunuhnya (bakterisida) dan menentukan dosis yang diperlukan untuk mengendalikan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pada konsentrasi yang tinggi senyawa antibakteri yang bersifat bakteriostatik juga dapat bertindak sebagai bakterisida (Schunack et al. 1990). Nilai MIC suatu antimikroba berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji, hal ini berarti bahwa suatu bakteri dikatakan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu senyawa antimikroba bila memiliki nilai MIC yang rendah. Nilai MIC akan berbeda-beda untuk setiap kombinasi antara mikroba dan antimikroba yang digunakan. Identifikasi Senyawa Aktif Identifikasi senyawa aktif dilakukan terhadap fraksi yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri tertinggi, yaitu fraksi 4b. Identifikasi senyawa aktif menggunakan instrumen spektrofotometer UV-Vis, IR dan GC-MS.

51 34 Hasil Identifikasi Spektrofotometer UV-Vis Hasil analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis terhadap fraksi 4b menghasilkan 7 puncak serapan (Lampiran 7). Puncak-puncak tersebut muncul pada panjang gelombang 666,0; 604,0; 533,0; 504,0; 429,0; 372,0 dan 266,0 nm (Tabel 7). Tabel 7 Hasil Pengujian Spektrofotometer UV-Vis Puncak Panjang Gelombang (nm) Absorban 1 666,0 2, ,0 0, ,0 0, ,0 0, ,0 2, ,0 1, ,0 1,917 Munculnya puncak pada panjang gelombang 266,0 nm menunjukkan adanya eksitasi dari π π* yang merupakan kromofor yang khas untuk sistem ikatan rangkap yang terkonjugasi (-C=C-C=C-) atau pada cincin aromatik. Munculnya serapan pada panjang gelombang 372 nm menunjukkan adanya eksitasi n- π* yang memperlihatkan adanya konjugasi (-C=C-C=O-). Hasil Identifikasi Spektrofotometer FT-IR Hasil pengujian dengan spektrofotometer FT-IR terhadap fraksi 4b diperoleh beberapa pita serapan pada bilangan gelombang sebagai penciri gugus fungsi yang ada (Lampiran 6). Bilangan gelombang dan gugus fungsi hasil spektrofotometer FT-IR disajikan pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Bilangan gelombang dan gugus fungsi hasil spektrofotometer FT-IR Gugus Fungsi Bilangan Bilangan Gugus Fungsi Gelombang Gelombang OH (stretching) 3402,57 CH2 1461,06 CH (stretching aromatik) 3009,49 CH3 1372,84 CH (stretching alifatik) 2926,29 C-O-C (stretching) 1254,98 CH (stretching alifatik) 2854,04 CH (bending) 1049,57 C=O-OR 1734,77 CH (bending) aromatik 755,78 C=C (aromatik) 1507,32 CH 2 (rocking) 721,94

52 35 Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1507,32 cm -1 menunjukkan adanya ikatan C=C aromatik (ring stretching), adanya pita serapan pada 3009,49 cm -1 menunjukkan adanya CH aromatik (stretching) dan munculnya pita serapan pada daerah sidik jari 755,78 cm -1 sebagai CH aromatik (bending). Munculnya pita-pita serapan tersebut menunjukkan bahwa pada subfraksi 4b mengandung senyawa dengan cincin aromatik. Selain senyawa-senyawa dengan cincin aromatik, pada subfraksi 4b juga diketahui mengandung senyawa alifatik berantai panjang. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya serapan pada bilangan gelombang 2926,29 cm ,04 cm -1 menunjukkan adanya CH alifatik (stretching), adanya gugus CH alifatik (bending) pada serapan 1049,57 cm 1, adanya gugus CH 2 (bending) pada serapan 1461,06 cm -1, adanya gugus CH 3 pada serapan 1372,84 cm -1. Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 3402,57 cm -1 menunjukkan adanya gugus OH stretching dan adanya out-of-plane bonding dari OH pada serapan 920 cm -1 yang mengindikasikan adanya senyawa turunan asam karboksilat. Serapan pada bilangan gelombang 1734,77 cm -1 menunjukkan adanya ikatan C=O-OR dari senyawa ester. Hasil Identifikasi GC-MS Puncak Dari hasil kromatogram GC-MS fraksi 4b, terdapat 7 puncak dengan waktu retensi berturut-turut pada 7,818; 9,462; 9,638; 10,679; 11,559; 12,675 dan 12,717. Kromatogram hasil analisis GC-MS disajikan pada Lampiran 7 dan 8, sedangkan data puncak-puncak hasil analisis GC-MS dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini. Waktu Retensi (menit) Tabel 9 Puncak-puncak hasil analisis GC-MS Area (%) Dugaan Senyawa dan Kemiripan (%) 1 7,817 11,801 2H-1-benzopiran-2-one-(CAS) kumarin ,465 14,488 2H-1-benzopiran, 6,7-dimetoksi-2,2- dimetil-ageratokromon ,636 8,084 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen ,676 6,068 2,6,10-trimetil,14-etil-14-pentadecne (neopitadien) ,561 31,618 asam heksadekanoat (CAS) ,674 8,362 asam 9,12-oktadekanoat-(CAS) ,719 19,579 metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat 90

53 36 Puncak yang paling dominan yaitu puncak ke 5 dengan luas 31,618 %, kemudian diikuti puncak-puncak lainnya yang lebih rendah yaitu puncak ke 7, 2, 1, 6, 3 dan 4 dengan luas area 19,579 %; 14,488 %; 11,801 %; 8,362 %; 8,084 % dan 6,068 %. Dari data kromatogram MS diketahui bobot molekul dan pola ionisasi dari masing-masing senyawa yang dihasilkan. Data hasil analisis GC-MS kemudian dibandingkan dengan bobot molekul dan pola pemisahan elektron yang terdapat pada sumber data yang ada untuk memprediksi kemungkinan senyawa yang dihasilkan. Hasil analisis kromatogram GC-MS menunjukkan bahwa puncak 1 dengan bobot molekul 146 diduga sebagai senyawa 2H-1-benzopiran-2-one-(CAS) kumarin dengan tingkat kemiripan 95 %, puncak 2 dengan bobot molekul 220 sebagai senyawa 2H-1-benzopiran, 6,7-dimetoksi-2,2-dimetil-ageratokromon dengan tingkat kemiripan 93 %, puncak 3 dengan bobot molekul 216 sebagai senyawa 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen dengan tingkat kemiripan 83 %. Puncak 4, 5, 6, 7 dengan bobot molekul 278, dan 278 diperkirakan sebagai senyawa 2,6,10-trimetil,14-etil-14-pentadecne (neopitadien), asam heksadekanoat (CAS), asam 9,12-oktadekanoat (CAS) dan metil-5,11,14,17- eicosatetraenoat dengan tingkat kemiripan secara berturut-turut 94 %, 96 %, 97 %, 90 %. Struktur senyawa-senyawa tersebut disajikan pada Gambar 10. O O O O 2H-1-benzopiran-2-one- (CAS)/kumarin 2H-1-benzopiran, 6,7-dimetoksi -2,2-dimetil-ageratokromen O O O 7-metoksi-2,2-dimetil -6-vinil-2H-kromene 2,6,10-trimetil, 14-etilen -14-pentadecne (neophitadien) O O OH asam heksadekanoat (CAS) OH asam 9,12-octadekanoat (CAS) O methyl-5,11,14,17-eikosatetraenoat Gambar 10 Struktur senyawa-senyawa dari subfraksi 4b O

54 37 Dugan adanya ketujuh senyawa tersebut diperkuat pula dengan data hasil analisis spektrofotometer UV-Vis dan IR. Senyawa kumarin, ageratochromen dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen merupakan senyawa-senyawa dengan cincin aromatik. Adanya senyawa-senyawa tersebut didukung oleh data hasil analisis IR dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1507,32 cm - 1 menunjukkan adanya ikatan C=C aromatik (ring stretching), adanya pita serapan pada 3009,49 cm -1 menunjukkan adanya CH aromatik (stretching) dan munculnya pita serapan pada daerah sidik jari 755,78 cm -1 sebagai CH aromatik (bending). Serapan pada bilangan gelombang 1254 cm -1 menunjukkan adanya ikatan asimetri C-O-C (stretching) sekaligus memperkuat keberadaan senyawa ageratokromen dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen. Senyawa asam heksadekanoat (CAS), 2,6,10-trimetil,14-etil-14- pentadecne (neopitadien), asam 9,12-oktadekanoat-(CAS) dan metil-5,11,14,17- eicosatetraenoat merupakan senyawa-senyawa alifatik berantai panjang. Pada data analisis spektrofotometer IR, adanya senyawa-senyawa tersebut ditunjukkan dengan munculnya pita serapan pada panjang gelombang 2926,29 cm -1 dan 2854,04 cm -1 menandakan adanya CH alifatik (stretching), adanya gugus CH alifatik (bending) pada serapan 1049,57 cm 1, adanya gugus CH 2 (bending) pada serapan 1461,06 cm -1, adanya gugus CH 3 pada serapan 1372,84 cm -1. Senyawa asam 9,12-oktadekanoat dan asam heksadekanoat merupakan senyawa alifatik berantai panjang yang memiliki gugus asam karboksilat pada salah satu ujung rantainya. Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 3402,57 cm -1 dan 920 cm -1 menunjukkan adanya gugus OH stretching dan adanya out-of-plane bonding OH dari asam karboksilat. Hal ini memperkuat dugaan adanya senyawa asam 9,12-oktadekanoat dan asam heksadekanoat. Senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat merupakan senyawa yang memiliki ikatan C=O-OR ester. Adanya ikatan C=O-OR ester dari senyawa eicosatetraenoat ditandai dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1734,77 cm -1 dari spektrofotometer UV-Vis. Hasil identifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR dan GC-MS menunjukkan bahwa subfraksi 4b mengandung senyawa kumarin, 2 senyawa kromen (prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen), 2 senyawa

55 38 turunan asam palmitat (asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat), senyawa triterpen (neopitadien) dan senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat. Senyawa yang paling dominan terdapat pada subfraksi 4b adalah senyawa asam heksadekanoat, kemudian diikuti oleh senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat, prekosen II, kumarin, asam 9,12-oktadekanoat, 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2Hkromen dan neopitadiene. Dari ketujuh senyawa tersebut yang telah diketahui memiliki aktivitas antibakteri adalah senyawa kumarin, asam heksadekanoat, asam 9,12-oktadekanoat, neopitadien dan senyawa metil-5,11,14,17- eikosatetraenoat. Senyawa kumarin dan turunannya banyak memiliki aktivitas biologis diantaranya sebagai antikoagulan darah, antibiotik dan ada juga yang menunjukkan aktivitas menghambat efek karsinogenik (Copriady et al. 2005). Kamboj dan Saluja (2008) melaporkan bahwa beberapa senyawa kromen sebagai senyawa fenolik telah berhasil diisolasi dari tanaman bandotan, diantaranya adalah senyawa prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen akan tetapi masih belum diketahui aktivitasnya sebagai antibakteri. Senyawa fenolik lain yang memiliki struktur sangat mirip dengan prekosen II adalah eskoparon. Senyawa ini merupakan senyawa utama yang terkandung dalam ekstrak tanaman Artemesia capillaris yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Seo et al. 2010). Struktur senyawa eskoparon dan Ageratokromon disajikan pada Gambar 11 berikut ini. O O O O O O O eskoparon 2H-1-benzopyran, 6,7-dimetoksi -2,2-dimetil-ageratokromen Gambar 11 Struktur eskoparon dan ageratokromon Senyawa asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat-(CAS) merupakan turunan dari asam palmitat. Asam palmitat dan senyawa-senyawa turunannya sebelumnya telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen. Elnaby (2010) melaporkan bahwa ekstrak tanaman alga

56 39 memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan komponen utama yang terkandung di dalamnya yaitu senyawa asam heksadekanoat. Senyawa neopitadien merupakan senyawa yang masuk dalam golongan terpenoid. Meskipun kelompok terpenoid diketahui banyak memiliki aktivitas biologis, tetapi aktivitas antibakteri senyawa neopitadien masih belum diketahui. Afolayan et al. (2009) menyebutkan bahwa minyak esensial dari tanaman Chrysocoma caliata yang memiliki aktivitas antibakteri banyak mengandung senyawa terpenoid yang salah satu komponen minornya adalah neopitadien. Senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat merupakan turunan senyawa eikosanoid. Meskipun senyawa ini belum diketahui aktivitasnya sebagai antibakteri, tetapi senyawa ini diketahui berperan sebagai mediator dalam proses nodulasi pada sel serangga dan hewan invertebrata sebagai salah satu cara pertahanan sel terhadap infeksi oleh bakteri (Miller et al. 1994). Kwon et al. (2007) menambahkan bahwa salah satu cara serangga dan hewan invertebrata melawan infeksi bakteri adalah pertahanan sel melalui pembentukan nodule dengan bantuan senyawa eicosanoid 2 jam setelah sel terinfeksi bakteri.

57 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa ekstrak etil asetat sebagai ekstrak semipolar, fraksi dan subfraksi dari daun tanaman bandotan memiliki aktivitas antibakteri berspektrum luas seperti ekstrak polar dan non polarnya. Subfraksi 4b yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi memiliki nilai MIC terhadap bakteri S. aureus adalah 25 mg/ml dan 50 mg/ml terhadap E. coli. Hasil identifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR dan GC- MS menunjukkan bahwa subfraksi 4b mengandung senyawa kumarin, 2 senyawa kromen (prekosen II dan 7-metoksi-2,2-dimetil-6-vinil-2H-kromen), 2 senyawa turunan asam palmitat (asam heksadekanoat dan asam 9,12-oktadekanoat), senyawa triterpen (neopitadien) dan senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat. Dari ketujuh senyawa tersebut, senyawa kumarin, asam heksadekanoat, asam 9,12-oktadekanoat, neopitadien dan senyawa metil-5,11,14,17-eikosatetraenoat yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Saran Perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut untuk mengetahui senyawa yang paling berperan dalam menciptakan aktivitas antibakteri pada ekstrak etil asetat daun tanaman bandotan.

58 DAFTAR PUSTAKA Afolayan AJ, Ashafa AOT Chemical composition and antimicrobial activity of essential oil from Chrysocoma ciliata L. leaves. J. of Medicinal Plants Research 3(5): Agusta A Minyak atsiri tumbuhan tropika Indonesia. Bandung: ITB-Press. Alokomi HL et al Lactid acid permeabilizes gram-negatif bacteria by disrupting the outer membrane. J. Applied Environment Microbiology 66: Almagboul AZ, Farroq AA, Tyagi BR Antimicrobial activiy of certain Sudanese plant used in folkloric medicine: screening for antibacterial activity, part II. Fitoterapia 56: Amelot MEA, Avendano M, Aubert L, Avila JL Repellency and feeding deterrence activity of Ageratum conyzoides against the stored grain pests tribolium castaneum and sitophilus oryzae. active plant parts and composition. Scientific Journal from The Experimental Faculty of Sciences, La Universidad del Zulia 11: [AOAC] Official methods of analysis of the association of officia analytical chemist. Virginia: AOAC. Branen AL, Davidson PM Antimicrobial in food. New York: Marcell Dekker. Brock TD, Madigan MT Biology of microorganisme. New Jersey: Prentice- Hall International. Calle J et al Insectisida activity of the petroleum ether extract of Ageratum conyzoides L. Revista Colombiana de quimica 19: Copriady J, Yasmi E Hidayati Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kumarin dari Kulit Buah Jeruk Purut (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2(1): Dwidjoseputro D Dasar-dasar mikrobiologi. Ed. ke-11. Jakarta: Djambatan. Ehiagbonare JE Vegetatif propagation on some key malaria medicinal plants in Nigeria. Scientific Research and Essay 2: Elnaby HA Bacteria-Algae Interaction in Abu-Qir Ecosystem and Some Applied Aspec of Alga Extracs. J. of applied science research, 6(4):

59 42 Fardiaz S et al Analisis mikrobiologi pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Gritter RJ. et al Penghantar kromatografi Ed ke-2. Padmawinata K, penerjemah;. Bandung. ITB. Terjemahan dari: Introduction of chromatography. Harborne JB Metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical methodes. Harjadi W Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia. Hart H, Craine LE, Hart DJ Kimia Organik. Volume 11. Achmadi SS, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Harvey D Modern anlytical chemistry. McGraw-Hill. Hasim Mengembangkan potensi bakteri bandotan. [23 Mei 2005]. Haswirna CS Isolasi dan identifikasi senyawa antibakteri daun terong pungo (solanum sp) hasil penapisan tanaman dan hewan obat Aceh [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hodges S Pharmaceutical Applications of Microbiological Techniques In: Pharmaceutics: The Science of Dosage Desaign. Aulton, ME Ed. 2nd Edn. Harcourt Publisher Ltd. London.pp:606. Horrie T, Tominaga H, Kawamura Y Revised structure of a natural flavone from Ageratum conyzoides. Phytochemistry 32: Hostetman KJ, Wolfender L, Rodrigue ZS Rapid detection and subsequent isolation of bioactive constituents of crude plant extract. Planta Med 63: Igoli JO, Ogaji OG, Tor-Anyiin TA, Igoli NP Traditional medicine practice among the igede people of Nigeria, part II. African journal of traditional 2:

60 43 Kamboj A, Saluja AK Ageratum conyzoides L.: A review on its phytochemical and pharmacological profile. International journal of green pharmacy : Khopkar SM Konsep dasar kimia analitik. A. Saptorahardjo, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Basic Concept of Analytical Chemistry. Kim JM et al Antibacterial Activity of Carvacrol, Citral and Geraniols againts Salmonella typhimurium in Culture Medium and Fish Cubes. J. Food Sci. 60(6): Kwon HS, Stanley DW, Miller JS Bacteria Challenge and Eicosanoids act in Plasmocyte Spreading. Entomologia Experimentalis et Aplicata 124: Maryuni AE Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antibakteri Minyak Atsiri Daun Zodia (Evodia sp) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miller JS, Nguyen TA, Samuelson WS Eicosanoids Mediate Insect Nodulation Respon to Bacteria Infection. Proc. Natl. Acad. Science USA. Vol. 91: Ming LC Ageratum conyzoides: A tropical source of medicinal and agricultural product. J. Janick, ASHS Press, Alexandria, VA. Moehammadi N Potensi biolarvasida ekstrak herba Ageratum conyzoides Linn. dan daun Saccopetalum horsfieldii Benn. terhadap nyamuk Aedes Aegypti L. Hayati 10:1-4. Mustafa MR, Mahmood AA, Sidik K, Noor SM Evaluation of wound healing of Ageratum conyzoides L. extract in combination with honey in rats as animal model. International J of Molecular and Advance Science 1: Naim R Senyawa antimikroba dari tanaman. [15 sept 2004]. Nur MA, Adijuwana H Teknik spektroskopi dalam analisis biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor. Okwori et al Antibacterial activities of Ageratum conyzoides extract on selected bacterial pathogens. The internet journal of microbiology TM ISSN:

61 44 Oladejo OW et al Enhancement of cutaneous wound healing by methanolic extract Of Ageratum Conyzoides in the wistar rat. African Journal of Biomedical research 6: Pelczar MJJr, Chan ECS Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1, 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Prescott MJ et al Microbiology. Mc. Grow Hill Book Co., New York. Rahmawati F Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun Miana (Coleus scuatellariodes L. Benth) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Schunack W et al Senyawa obat Ed. Ke-2. Watimena Jr & Soebito S, penerjemah; Yogyakarta: UGM Press. Sclegel HG, Schmidt K Mikrobiologi umum. Tedjo RM, Baskoro, penerjemah: Yogyakarta: UGM Press. Seo KS, Jeong HJ, Yun KW Antimicrobial activity and chemical component of two plant, Artemisia capillaris and Artemisia iwayomogi, used as Korean herbal injin. Journal of Ecology and Field Biologi 33(2): Silverstein RM, Webster FX, Kiemle DJ Spectrofotometric identification of organic coumpounds. New York. John Whiley & Sons, Inc. Sisilia L Aktivitas Antibakteri Zat Ekstraktif Kulit Kayu Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudjadi Penentuan sturuktur senyawa organik. Bandung: Ghalia Indonesia. Sukamto Badotan Ageratum conyzoides tanaman multi fungsi yang menjadi inang potensial virus tanaman. Warta Puslitbangbun 13: Desember Todar K Staphylococus aureus. [Terhubung berkala]. [4 feb 2008]. Utami N, Robara M Identifikasi senyawa alkaloid dari ekstrak heksan daun Ageratum conyzoides. Linn. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat. Lampung, Jurusan Kimia FMIPA UNILA. hlm

62 45 Widodo GP, Yulinah E, Sukrasno, Adnyana IK Isolation of antifungal and antibacterial compounds from etanol extract of Ageratum conyzoides leaves (Ageratum conyzoides. L). Acta Pharmaceutica 31(2):86-88 Yamamoto et al Pharmacological screening of Ageratum conyzoides L. (Mentrasto). Mem. Inst. Oswaldo Cruz 86:

63 Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Sampel Daun Bandotan Ekstrak Kasar Etil Asetat Uji Fitokimia dan Kadar Air Perendaman dg heksan Ekstraksi maserasi dengan pelarut etil asetat Diuapkan dengan rotary evaporator Uji Fitokimia Uji antibakteri Fraksinasi Fraksi 1 Fraksi 2 dst Fraksi Teraktif Uji antibakteri Fraksinasi Fraksi a Fraksi b dst Fraksi Teraktif Senyawa aktif Antibakteri Uji Aktivitas Antibakteri Penentuan Nilai MIC Karakterisasi senyawa aktif dengan UV-Vis, IR dan GC-MS

64 Lampiran 2. Penggabungan fraksi-fraksi hasil fraksinasi ekstrak etil asetat (kloroform : metanol = 9 : 1) Keterangan: fraksi 1 = tabung 1-10 fraksi 5 = tabung fraksi 2 = tabung fraksi 6 = tabung fraksi 3 = tabung fraksi 7 = tabung fraksi 4 = tabung fraksi 8 = tabung

65 48 Lampiran 3. Penentuan eluen terbaik untuk fraksinasi F4 Spot 1 Spot 2 Spot 3 Spot 4 Spot 5 Spot 6 Spot 7 Spot 8 Spot 9 Spot 10 Keterangan : a. Butanol : As. Asetat : Air 4 : 2 : 5 b. 4 : 1 : 6 c. 4 : 2 : 6 d. Etil asetat : Metanol : Kloroform : Air 40 : 22 : 20 : 10 e. Etil asetat : Aseton : As. Asetat : Air 60 : 20 : 10 : 10 f. Kloroform : Metanol 9 : 1

66 Lampiran 4. Penggabungan subfraksi hasil fraksinasi F4 (kloroform : metanol = 9 : 1) Keterangan: fraksi 1 = tabung 1-9 fraksi 4 = tabung fraksi 2 = tabung fraksi 5 = tabung fraksi 3 = tabung 25-49

67 50 Lampiran 5. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Subfraksi F4 ZONA HAMBAT (mm) S. aureus E. coli Sampel Pengulangan Pengulangan Rata-rata Rata-rata I II I II Fraksi 4a , Fraksi 4b , Fraksi 4c , Fraksi 4d Fraksi 4e ,5 Lampiran 6. Hasil penentuan nilai MIC subfraksi F4b Bakteri Konsentrasi Diameter Hambat (mm) Ulangan Uji (mg/ml) 1 2 rata-rata S. aureus , , , , E. coli , , ,

68 Lampiran 7. Spektrum UV-Vis 51

69 Lampiran 8. Spektrum FT-IR

70 53 Lampiran 9. Kromatogram GC Waktu (menit) Abundance Kelimpahan 7.82 TIC: SAMPEL.D Jenis kolom : HP-5MS Panjang kolom : 30 m Diameter kolom : 0,5 mm Film : 0,25µm Temperatur limit : C Isi kolom : 5% difenil & 95% Metilpolisiklosan Merek GC-MS : GC Agilent serie 5975C MS Agilent serie 7890A Gas pembawa : Helium Laju alir : 1,0 ml/menit Suhu ruang injeksi : C Suhu oven : suhu awal 70 0 C dan C Suhu interfac : C Suhu quadropole : C Volume injeksi : 2 µl Injektor : HP-5MS Waktu (menit) Time--> Waktu (menit)

71 54

72 55

73 56

Gambar 1 Tanaman bandotan

Gambar 1 Tanaman bandotan TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides Linn.) Tanaman bandotan merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tanaman ini di berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda, diantaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka

Lebih terperinci

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06 6 HASIL Kadar Air dan Rendemen Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Sampel Sampel daging buah sirsak (Anonna Muricata Linn) yang diambil didesa Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, terlebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Sebanyak 5 kg buah segar tanaman andaliman asal Medan diperoleh dari Pasar Senen, Jakarta. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia secara

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Februari sampai Juni 2014. Lokasi penelitian dilakukan di berbagai tempat, antara lain: a. Determinasi sampel

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(1), 88-96, 2016

Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(1), 88-96, 2016 Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Daun Tanaman Bandotan (Ageratum conyzoides L) Anti Bacteria Activity of Ethyl Acetate Fraction Bandotan leaf (Agerantum conyzoides L) *, Tun Tedja Irawadi,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di 30 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 - Januari 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun salam (Syzygium polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu, dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cibarunai, Kelurahan Sarijadi, Bandung. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan Mei 2011 di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor (IPB),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat 1. Alat Destilasi 2. Batang Pengaduk 3. Beaker Glass Pyrex 4. Botol Vial 5. Chamber 6. Corong Kaca 7. Corong Pisah 500 ml Pyrex 8. Ekstraktor 5000 ml Schoot/ Duran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus April 2013, bertempat di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus April 2013, bertempat di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus 2012 -April 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Sampel Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar Bringharjo Yogyakarta, dibersihkan dan dikeringkan untuk menghilangkan kandungan air yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Maret 2013 di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis Roem) yang diperoleh dari daerah Tegalpanjang, Garut dan digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Persentase inhibisi = K ( S1 K

HASIL DAN PEMBAHASAN. Persentase inhibisi = K ( S1 K 7 Persentase inhibisi = K ( S1 S ) 1 K K : absorban kontrol negatif S 1 : absorban sampel dengan penambahan enzim S : absorban sampel tanpa penambahan enzim Isolasi Golongan Flavonoid (Sutradhar et al

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Pengumpulan Bahan Tumbuhan yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah daun steril Stenochlaena palustris. Bahan penelitian dalam bentuk simplisia, diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br)

IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br) IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN DALAM SELADA AIR (Nasturtium officinale R.Br) Hindra Rahmawati 1*, dan Bustanussalam 2 1Fakultas Farmasi Universitas Pancasila 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa Roxb.) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Rambut jagung (Zea mays L.), n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, gliserin, larutan kloral hidrat 70%, air, aqua destilata, asam hidroklorida, toluena, kloroform, amonia,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri  Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) terbentuknya warna merah karena penambahan H 2 SO 4. Uji Saponin. Sebanyak.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 ml akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel PBAG di lingkungan sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan daerah Cipaku.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Temulawak Terpilih Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel, yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Ampas Teh Hijau Metode Difusi Agar Hasil pengujian aktivitas antibakteri ampas teh hijau (kadar air 78,65 %

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tanaman dengan kode AGF yang diperoleh dari daerah Cihideng-Bandung. Penelitian berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah bagian daun tumbuhan suren (Toona sinensis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah bagian daun tumbuhan suren (Toona sinensis 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek penelitian ini adalah bagian daun tumbuhan suren (Toona sinensis Roem.). Determinasi tumbuhan ini dilakukan di Laboratorium Struktur

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan karakteristik dilakukan untuk mengetahui kebenaran identitas zat yang digunakan. Dari hasil pengujian, diperoleh karakteristik zat seperti yang tercantum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1. Uji fitokimia daun tumbulian Tabernaenwntana sphaerocarpa Bl Berdasarkan hasil uji fitokimia, tumbuhan Tabemaemontana sphaerocarpa Bl mengandung senyawa dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. Letak Indonesia yang dilewati oleh garis katulistiwa berpengaruh langsung terhadap kekayaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pipisan, Indramayu. Dan untuk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Kandungan zat ekstraktif dari pohon faloak pada penelitian ini diperoleh melalui metode maserasi bertingkat menggunakan aseton sebagai pelarut awal, dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di 21 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan September 2015 di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pemisahan senyawa total flavanon 4.1.1.1 Senyawa GR-8 a) Senyawa yang diperoleh berupa padatan yang berwama kekuningan sebanyak 87,7 mg b) Titik leleh: 198-200

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juni 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juni 2012 di Laboratorium Biomasa Terpadu Universitas Lampung. 3.2. Alat dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang diperoleh dari daerah Soreang dan Sumedang. Tempat penelitian menggunakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang diperoleh dari daerah Soreang dan Sumedang. Tempat penelitian menggunakan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek atau bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tanaman AGF yang diperoleh dari daerah Soreang dan Sumedang. Tempat penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret Juli 2014, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret Juli 2014, bertempat di 19 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret 2014 - Juli 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Pengumpulan dan Persiapan Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus champeden Spreng yang diperoleh dari Kp.Sawah, Depok, Jawa Barat,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA ANTRAQUINON PADA FRAKSI KLOROFORM AKAR KAYU MENGKUDU ( Morinda Citrifolia, L) ABSTRAK

IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA ANTRAQUINON PADA FRAKSI KLOROFORM AKAR KAYU MENGKUDU ( Morinda Citrifolia, L) ABSTRAK IDENTIFIKASI GOLONGAN SENYAWA ANTRAQUINON PADA FRAKSI KLOROFORM AKAR KAYU MENGKUDU ( Morinda Citrifolia, L) Gloria Sindora 1*, Andi Hairil Allimudin 1, Harlia 1 1 Progam Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

3 Percobaan dan Hasil

3 Percobaan dan Hasil 3 Percobaan dan Hasil 3.1 Pengumpulan dan Persiapan sampel Sampel daun Desmodium triquetrum diperoleh dari Solo, Jawa Tengah pada bulan Oktober 2008 (sampel D. triquetrum (I)) dan Januari 2009 (sampel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. Jurnal yang berjudul Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Tembelekan. Oleh Darmawati M. Nurung NIM:

LEMBAR PENGESAHAN. Jurnal yang berjudul Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Tembelekan. Oleh Darmawati M. Nurung NIM: LEMBAR PENGESAHAN Jurnal yang berjudul Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Tembelekan Oleh Darmawati M. Nurung NIM: 441 410 004 1 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID DALAM DAUN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.)

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.) Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.) Gambar 1. Tumbuhan gambas (Luffa acutangula L. Roxb.) Gambar 2. Biji Tumbuhan Gambas (Luffa acutangula L. Roxb.) Lampiran 2. Gambar Mikroskopik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi senyawa flavonoid murni dari kayu akar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi senyawa flavonoid murni dari kayu akar IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Senyawa Fenolik Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi senyawa flavonoid murni dari kayu akar tumbuhan kenangkan yang diperoleh dari Desa Keputran Sukoharjo Kabupaten

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1. PEMBAHASAN Pengaruh Pencucian, Delignifikasi, dan Aktivasi Ampas tebu mengandung tiga senyawa kimia utama, yaitu selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Menurut Samsuri et al. (2007), ampas tebu mengandung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor.

Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor. Lampiran 1. Surat Identifikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-Bogor. 60 Lampiran 2. Gambar tumbuhan buni dan daun buni Gambar A. Pohon buni Gambar B.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA AKTIF DAUN SENGGANI (Melastoma candidum D.Don) TERHADAP Bacillus Licheniformis.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA AKTIF DAUN SENGGANI (Melastoma candidum D.Don) TERHADAP Bacillus Licheniformis. AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA AKTIF DAUN SENGGANI (Melastoma candidum D.Don) TERHADAP Bacillus Licheniformis Ari Eka Suryaningsih 1), Sri Mulyani 1), Estu Retnaningtyas N 2) 1) Prodi P.Kimia Jurusan PMIPA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia FMIPA dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat - Beaker glass 1000 ml Pyrex - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex - Maserator - Labu didih 1000 ml Buchi - Labu rotap 1000 ml Buchi - Rotaryevaporator Buchi R 210 - Kain

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Tumbuhan labu dideterminasi untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tumbuhan yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan bahwa tanaman yang diteliti adalah Cucubita

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA DALAM FRAKSI NON-POLAR DARI TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA DALAM FRAKSI NON-POLAR DARI TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk) PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN PAMERAN Tumbuhan obat indonesia xxviii ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA DALAM FRAKSI NON-POLAR DARI TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk) Diah Widowati dan Faridah

Lebih terperinci

ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.) SKRIPSI PUTRI N E NAIBORHU

ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.) SKRIPSI PUTRI N E NAIBORHU ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI DAUN TUMBUHAN BANGUN-BANGUN (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.) SKRIPSI PUTRI N E NAIBORHU 090802051 DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya 1 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1. Subjek Penelitian Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya hambat Streptococcus mutans secara in vitro maka dilakukan penelitian pada plate

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia BAB 3 PERCOBAAN Pada bab ini dibahas tentang langkah-langkah percobaan yang dilakukan dalam penelitian meliputi bahan, alat, pengumpulan dan determinasi simplisia, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia,

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai 40 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali menunjukkan bahwa sampel tumbuhan yang diambil di

Lebih terperinci