BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana"

Transkripsi

1 19 BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA 2.1. Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP mengatur pelaksanaan permintaan Otopsi sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pemeriksaan oleh kedokteran forensic atau yang ahli tentang itu terhadap korban yang luka, korban yang meninggal atau melakukan bedah mayat untuk kepentingan proses peradilan adalah merupakan tugas sepanjang diminta oleh pihak-pihak yang terkait. 14 Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat 14 Waluyadi, Op.Cit. hlm. 11.

2 20 diberikan pada saat terjadi tindak pidana akan diterangkan harus diberikan secara tertulis, yang disebut dengan Visum et Repertum. Ahli kedokteran kehakiman dalam memberikan bantuannya dapat berupa: Pemeriksaan di tempat kejadian perkara; 2. Pemeriksaan korban yang luka; 3. Pemeriksaan mayat; 4. Pemeriksaan korban yang sudah dikubur yang digalih kembali; 5. Pemeriksaan barang bukti; 6. Memberikan kesaksian dalam siding pengadilan. Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut: a. Diminta oleh penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan; b. Demi untuk kepentingan pengadilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permuntaan tersebut dilakukan oleh penyidik harus secara tertulis dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan, misalnya apakah untuk pemeriksaan luka (pemeriksaan luar) atau pemeriksaan mayat (pemeriksaan dalam) dengan pemeriksaan bedah mayat (autopsy) 16. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan yang bentuknya dapat berupa keterangan yang lazim disebut Visum et Repertum. 15 Ibid, hlm Koesparmono Irsan, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Gramata Publishing, 2016, Bekasi, hlm. 245.

3 21 Laporan atau Visum et Repertum dibuat oleh ahli yang bersangkutan, mengingat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan/pekerjaan. Pasal 134 KUHAP (1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. Pasal 135 KUHAP Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan 134 ayat (1). Pasal 133 sampai dengan pasal 135 KUHAP, pada tingkat pemeriksaan oleh penyidik dalam penyidikan, maka kata-kata dokter, peranan dokter (dokter bukan ahli kedokteran kehakiman) masih penting dan perlu serta dibutuhkan dalam tugas operasional di lapangan, terutama di daerah-daerah yang belum ada dokter ahli kedokteran kehakiman (para ahli lainnya) R. Soeparmono, op.cit., hlm.65

4 22 Pasal 133 ayat (2) KUHAP sangat penting bagi pengadilan, artinya keterangan ahli akan sangat membantu bagi terbukti atau tidaknya suatu perkara, mengingat bilamana laporan hasil pemeriksaan dalam Visum et Repertum dianggap sebagai hasil alat bukti yang sah dan ini hanya mungkin bilamana misalnya, terhadap bedah mayat forensic dilakukan secara lengkap luar dan dalam dan prospek bagi masa depan dengan laboratorium yang lengkap dan modern, dapat dengan pasti secara akurat, ditentukan sebab-sebab kematian seseorang. 18 Pasal ini mengartikan jika suatu kematian Nampak disebabkan oleh kekerasan, suatu bedah mayat forensic selalu harus dilakukan, kecuali jika ada bukti yang meyakinkan ditemukan, bahwa kematian disebabkan oleh bunuh diri. Penjelasan pasal 133 ayat (2) KUHAP dinyatakan: keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Pasal 120 KUHAP dihubungkan dengan pasal 133 KUHAP jo. penjelasan pasal 135 KUHAP jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, akan Nampak sebagai bentuk keterangan ahli (deskundige verklaring) atau keterangan (verklaring) bagi dokter bukan ahli kedokteran kehakiman karena dituangkan secara tertulis dalam bentuk laporan yang dilakukan dengan mengingat sumpah jabatan atau pekerjaan tersebut Ibid., hlm IR. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, 2016, Jakarta, hlm 60.

5 23 Penjelasan pasal 135 KUHAP, penggalian mayat termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan. Pedoman pelaksanaan KUHAP pada hlm. 43 dijelaskan perihal bantuan dokter bedah mayat, yaitu: b. Kewenangan penyidik untuk meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau keterangan kepada dokter yang bukan dokter ahli kedokteran kehakiman, dalam hal penyidik menangani korban yang luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ataupun bila diperlukan penggalian maya dari semua jenis tempat dan cara penguburan; Diajukan dengan surat perintah yang menyebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pmeriksaan bedah mayat; Mayat yang dikirimkan diberi label yang memuat identitasnya, dilak dan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain mayat; c. Jika bedah mayat yang akan diminta atau memerlukan penggalian mayat, penyidik wajib memberitahukan lebih dahulu kepada keluarga korban, dan apabila keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlunya diberlakukan pembedahan tersebut ataupun penggalian mayat tersebut; d. Permintaan bedah mayat dan pengiriman mayat kepada dokter segera dilakukan apabila: 1. Dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga, atau 2. Pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan.

6 24 Penggunaan istilah keterangan ahli dalam penjelasan pasal 133 KUHAP hanya khusus dipergunakan pada keterangan yang diberikan hanya oleh ahli kedokteran kehakiman saja, pada tahap tingkat pemeriksaan penyidik. Pasal 134 ayat (3) KUHAP yang mengatur tentang mayat (jenazah) dan keperluan bedah mayat (otopsi) menentukan, apabila dalam dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga (korban) atau pihak yang perlu diberitahu atau tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) KUHAP. Pasal 120 KUHAP (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. (2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya kecuali bila disebabkan karena harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dan menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangannya secara lisan di persidangan, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi: Ahli kedokteran forensic (pengertian khusus); atau 20 Ibid. 64

7 25 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensic; 3. Ahli lainnya (pengertian umum) yaitu keterangan yang diberikan setiap orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria pasal 1 butir 28 KUHP; 4. Saksi ahli (getuige diskundige). Pasal 179 KUHAP: (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Setiap saksi atau ahli yang dipanggil secara sah untuk menghadap ke persidangan, maka ia wajib untuk hadir. Saksi yang tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk menyangka, bahwa saksi itu tidak mau hadir, maka hakim ketua siding dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan dengan sebuah penetapan dan berlaku pula bagi orang ahli Ibid, hlm.101

8 26 Keterangan ahli itu harus dinyatakan atau diberikan di siding pengadilan. Ada dua kelompok ahli, kalau ditinjau dari sudut pandang alat bukti da pembuktian, yaitu: 1. Ahli Kedokteran Kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan. 2. Ahli pada umumnya, yakni orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. 22 Pasal ini merupakan penegasan kembali ketentuan pasal 120 KUHAP tentang bentuk keterangan yang diberikan adalah menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pasal 180 ayat (1) KUHAP Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan saksi ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Pemeriksaan ulang atau penelitian ulang dapat diperlukan/diperintahkan oleh hakim kepada saksi ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut 23. Majelis hakim menganggap perlu untuk menentukan keaslian suatu intan yang menjadi pokok perkaranya, maka majelis hakim dapat meminta keterangan dari seseorang yang 22 Koesparmono Irsan dan Armansyah, Op.Cit, hlm I Ketut Murtika, Op.Cit. hlm. 66.

9 27 khusus (ahli) intan. Terdakwa atau penasihat hukumnya berkeberatan dengan hasil keterangan ahli tersebut, maka majelis hakim dapat memerintahkan agar dilakukan penelitian ulang. 24 Pasal 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Mayat apabila dibiarkan bukan hanya membusuk, akan tetapi sudah merupakan keharusan bahwa mayat harus selekasnya dikubur. Seseorang yang mati karena menjadi korban kejahatan atau setidak-tidaknya patut diduga sebagai akibat kejahatan, maka keberadaan mayat yang menjadi barang bukti yang akan dijakikan dasar diperolehnya alat bukti. Peristiwa pidana yang menyebabkan matinya orang sementara alat bukti yang lain yaitu seseorang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau dialami sendiri maka saksi diam (physical evidence) diharapkan mampu mengungkapkan semua misteri yang ada di dalamnya 25. Seseorang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk peradilan, dipidana dengan pidana. Pasal 224 KUHP Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang 24 Soeparmon, Op.Cit. hlm Waluyadi, Op.Cit,, hlm.53.

10 28 yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan penjara paling lama Sembilan Bulan. Peraturan perundang-undangan tidak menegaskan dengan tegas bahwa dokter wajib memberikan bantuan dalam kaitannya dengan proses keadilan, apabila diminta 26. Pasal 224 KUHPidana menegaskan bahwa apabila saksi, ahli, atau juru bahasa dengan sengaja tidak hadir, maka dapat dipidana, dengan kata lain, kesan tidak wajib tersebut akan menjadi wajib. Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan pasal ini adalah menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Dunia ilmu yang dikenal dengan system/stelsel negatief wettelijk dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Pasal ini diperlukan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seorang adalah: 27 b. Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya); c. Keyakinan; d. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi; e. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat. 26 Ibid. hlm R. Soeparmono, Op.Cit. hlm. 115

11 29 Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI : ketentuan pasal 183 KUHAP bertujuan untuk menemukan dan mewujudkan pencapaian minimal batas pembuktian guna menentukan nilai kekuatan pembuktian yang dapat atau tiddak mendukung keterbuktian kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.konsekuensinya adalah pada suatu kasus perkara tindak pidana, maka untuk mencapai batas minimal pembuktian yang mampu mewujudkan nilai kekuatan pembuktian, tidak mutlak harus bersumber dari saksi korban, apabila dalam peristiwa yang didakwakan kepada terdakwa terdapat cukup saksi-saksi dan alat-alat bukti lain yang memenuhi syarat-syarat formal dan materiel di luar saksi korban, sehingga sama sekali tidak mengurangi tercapainya batas minimal pembuktian (korban telah meninggal). Pasal 184 KUHAP (1) Alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Visum et Repertum yang merupakan suatu keterangan dari seorang ahli (dokter), termasuk alat bukti suart, sedangkan alat bukti keterangan ahli, ialah apa yang ahli nyatakan di siding pengadilan.; yang dapat juga sudah diberikan pada

12 30 waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan 28. Visum et Repertum merupakan surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara IKAHI dengan IDI, dalam tahun 186 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan dari ahli lainnya. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP). Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti urat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan 29, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau siapa pelakunya. Kasus kematian tidak wajar, atau yang diduga karena tindak pidana, ketiga alat bukti ini bisa didapatkan dari hasil Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah istilah asing, namun telah digunakan sebagai bahasa kedokteran kehakiman. Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung yaitu pada staatblad Lembaran Negara tahu 1973 No Abdul Mun im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum, Sagung Seto, Jakarta, hlm Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit. hlm.264.

13 31 Pasal 1 Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di negeri Belanda ataupun di Indonesia merupakan alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa. Pasal 2 Pada dokter yang tidak pernah mengucakan sumpah jabatan baik di Negeri Belanda ataupun Indonesia sebagai tersebut dalam pasal 1 di atas, dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut: saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan memuat pernyataanpernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaikbaiknya. Semoha Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan batin. Isi staatblad ini mengandung makna: 1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah khusus ayat (2) dapat membuat Visum et Repertum. 2. Visum et Repertum mempunyai daya bukti yang sah/alat bukti yang sah dalam perkara pidana.

14 32 3. Visum et Repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-benda/korban yang diperiksa. Pasal 1 Lembaran Negara tahun1937 Nomor 350, Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah sepanjang Visum et Repertum tersebut memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksanya. 30 Pendapat seorang ahli tidak selalu sama dengan ahli lainnya walaupun pendapat-pendapat ahli tersebut didasarkan pada data pemeriksaan yang sama. Hakim kadang kala menolak bagian pendapat dan kesimpulan dari seorang ahli yang ditulis dalam Visum et Repertum. Hakim tidak menolak bagian yang memuat keterangan segala apa yang dilihat dan didapat seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya yakni memeriksa dan meneliti barang bukti yang ada. Pemeriksaan perkara di pengadilan apabila masih terdapat keraguan-keraguan terhadap sebab luka atau sebab kematian, meski sudah ada Visum et Repertum, selalu ada kemungkinan untuk memanggil dokter pembuat Visum et Repertum itu ke muka persidangan untuk mempertanggung-jawabkan pendapatnya Pengaturan Otopsi Menurut Ilmu Kedokteran Hak dan kewajiban seorang dokter terhadap pasien adalah Undang-undang praktek kedokteran RI nomor 29 thn 2004 mengatur tentang hak dan kewajiban dokter: 30 I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op.Cit., hlm I Ketut Murtika, Djoko Prakoso, dikutip dari Handoko Tjondroputranto, Kedudukan dan Peranan Ahli Lain dalam Rangka Pembuatan Visum et Repertum, Lembaga Kriminologi UI, hlm.25.

15 33 a. Hak Dokter terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan sebagai berikut : 1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standart profesi dan standar prosedur operasional. 2) Memberikan pelayanan medis menurut standart profesi dan standart prosedur operasional. 3) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan keluarganya 4) Menerima imbalan jasa b. Kewajiban Dokter terdapat dalam Pasal 51 Undang-Undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan: 1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. 2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia 4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila Ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan 5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Apabila hak dan kewajiban tidak di penuhi maka akibat hukumnya adalah:

16 34 1) Dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika yang akan diteruskan oleh Majelis Kehormatan disiplin kedokteran Indonesia kepada organisasi profesi. 2) Keputusan dari Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah mengikat dokter, dokter gigi, dan konsil Kedokteran Indonesia sesuai dengan pasal 69 UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. 3) Keputusan bisa berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin seperti pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek, dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. 4) Untuk indikator seorang dokter disebut malpraktek adalah dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, aborsi ilegal, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dan sebagainya. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke

17 35 arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi) Pandangan Hukum Islam tentang Otopsi Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup. Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah

18 36 otopsi sebagai salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti. Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk membuktikan ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung dan nyata. Al-qur an Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS.Al Baqoroh : 173). a. Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang. b. Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya. c. Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga wajib. d. Kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu. e. Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum.

19 37 Bagian ini akan dilakukan pembahasan tentang status hukum bedah mayat dalam perspektif Hukum Islam. Beberapa hal pokok hukum agama Islam tentang mayat : 1. Islam menyuruh menghormati mayat. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat Agama Islam melarang merusak tubuh mayat dan melanggar kehormatanya 3. Agama Islam mengutamkan kepentingan orang hidup dari pada memelihara keutuhan tubuh mayat Menurut Imam Ahmad bin Hambal Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup. Menurut Imam Syafi I, Seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam perut si mayat itu ada barang berharga. Menurut Imam Malik Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang diperkirakan masih hidup.

20 38 Menurut Imam Hanafi Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu. Tanggal telah dikeluarkan Fatwa No.: 4/yahun 1955 dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak, Kementerian Kesehatan RI, perihal soal bedah mayat yang telah memustuskan: 32 I. Bedah mayat itu boleh/mubah hukumnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakan keadilan diantara umat mausia; II. Membatasi kemubahan itu sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 32 R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, CV Mandar Maju, 2016, Bandung, hlm. 86.

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna PENGANTAR MEDIKO-LEGAL Budi Sampurna PROFESI KEDOKTERAN SUMPAH HIPOKRATES : LARANGAN-LARANGAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN (Hindari perbuatan amoral / non standar) UTAMAKAN KEBEBASAN PROFESI RAHASIA KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindaraan terjadi melalui

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEPANJEN NO. 607/Pid.B/2014/PN.Kpn) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

RELEVANSI Skm gatra

RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER DIVISI BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL FK USU RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan surat-surat

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN KASUS DUGAAN PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum 41 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum terhadap hilangnya nyawa akibat penganiayaan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh: Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.*) 1. Pendahuluan Dalam penerapan dan penegakan hukum, khususnya

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN

Lebih terperinci

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes visum et Repertum Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati

Lebih terperinci

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN RAHASIA KEDOKTERAN Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN Dokter harus sadar bahwa masyarakat kita sekarang ini sudah kritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.352, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Tata Cara. Penanganan. Kasus. Pelanggaran Disiplin. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D 101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 ANALASIS ATAS PERMINTAAN PENYIDIK UNTUK DILAKUKANNYA VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan penyidik

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015 KETERANGAN SAKSI AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Christian Kabangnga 2 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini ada;lah untuk mengetahui bagaimana kedudukan keterangan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang pelah diuraikan sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Jurnal Skripsi TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : 1.Laurensius Geraldy Hutagalung Dibimbing

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.617, 2015 KKI. Pelanggaran Disiplin. Dokter dan Dokter Gigi. Dugaan. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tulisan ini dibuat untuk menjawab beberapa permasalahan hukum yakni, Seberapa pentingkah peran otopsi dalam menentukan sebab kematian dari korban kejahatan? Apakah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016 PERAN FORENSIK DALAM KASUS MALPRAKTEK MENURUT PASAL 133 KUHAP 1 Oleh : Ridwan Darma 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran ilmu kedokteran forensik dalam mengusut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017 PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Syarifah Hidayah

Lebih terperinci

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010 TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010 Suyanti 1, Antik Pujihastuti 2 Mahasiswa APIKES Mitra Husada Karanganyar 1, Dosen APIKES Mitra Husada

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Sidik Jari Dalam Perspektif Hukum Positif membuktikan suatu

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penyelesaian hukum.melalui makalah ini, anda harus mampu: 15.1 Memahami upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah apa

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2 Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262] UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262] BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 38 Barang siapa karena kealpaannya : a. tidak menyampaikan Surat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 I. PEMOHON dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. KUASA HUKUM Sumali, S.H. dkk II. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN - sebanyak 11 (sebelas) norma

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci