BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
|
|
- Irwan Sumadi
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tulisan ini dibuat untuk menjawab beberapa permasalahan hukum yakni, Seberapa pentingkah peran otopsi dalam menentukan sebab kematian dari korban kejahatan? Apakah keluarga korban kejahatan yang meninggal dunia seharusnya dapat menolak permohonan otopsi dalam rangka pembuktian? Apa yang dimaksud dengan Perlu dalam peraturan atau petunjuk internal kepolisian mengenai Otopsi. Setelah melakukan analisis terhadap pertanyaan hukum yang telah dipaparkan diawal penulis dapat menyimpulkan, untuk menjawab pertanyaan hukum pertama yakni seberapa pentingkah peran otopsi dalam menentukan sebab kematian dari korban kejahatan. Dalam suatu perkara pidana, yang pertama kali dilakukan oleh para polisi adalah menyelidik. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan 94
2 menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan pidana. Dalam proses penyelidikan, polisi akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah perkara tersebut merupakan perkara pidana atau bukan perkara pidana. Pada penyelidikan akan dilanjutkan dengan penyidikan yang mana kewenangan dari penyidik lebih luas lagi karena telah memuat upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya sebelum akhirnya penyidik menyusun sebuah surat Berita Acara Pemeriksaan yang nantiknya akan diperiksa Jaksa dan dijadikan surat dakwaan. Sehingga Berita Acara Pemerikasaan penting dilakukan secara teliti dan menyeluruh agar nantinya Surat Dakwaan yang dibuat lengkap dan memperkecil kemungkinan adanya NO atau eksepsi obscuur libel (dakwaan kabur) terhadap surat dakwaan tersebut. Otopsi diletakkan pada proses penyidikan karena untuk otopsi sendiri memiliki persamaan-persamaan dengan penggeledahan khususnya penggeledahan rongga badan yang merupakan salah satu upaya paksa yang ada pada tahapan penyidikan. Selanjutnya dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan di Pasal 10 mengenai keperluan administrasi penyidikan pada nomor 50 dan 51 menyebutkan surat permintaan bantuan laboratorium foresik dan surat hasil pemeriksaan laboratorium forensik termasuk dalam bagian administrasi penyidikan. Berkaitan dengan pertanyaan hukum pertama, Otopsi memiliki banyak fungsi bagi untuk mengungkap kebenaran. Dengan dilakukannya otopsi maka dapat 95
3 berkaitan pula dengan locus delicti dan tempus delicti dari perkara tersebut yang merupakan sangat penting dalam sebuah kasus pidana. Locus delicti dibutuhkan untuk mengetahui yurisdiksi hukum yang berada di wilayah manakah yang berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut sementara tempus delicti berlaku untuk menentukan hukum apakah yang berlaku pada saat kejadian tersebut berlangsung. Karena seseorang harus dihukum sesuai dengan apa yang dilakukannya menurut hukum yang berlaku pada saat peristiwa tersebut berlangsung. Pada Pasal 133 KUHAP mengatakan bahwa petugas mempunyai kewenangan untuk meminta bantuan forensik berupa otopsi terhadap korban baik luka, keracunan atau mati karena peristiwa yang merupakan tindak pidana. Dalam suatu peristiwa tindak pidana terkadang ada kasus yang tidak dapat dipecahkan hanya melalui pemeriksaan luar. Apalagi ketentuan hukum acara pidana di Indonesia mengharusskan adanya minimal 2 barang bukti dan keyakinan hakim. Dalam hal ini dengan dilakukannya Otopsi maka sebab kematian dari korban dapat diketahui secara jelas. Hasil otopsi yang berupa surat nantinya akan dibacakan oleh dokter forensik dan menjadi keterangan ahli. Selain itu, hasil otopsi juga akan menambah keyakinan hakim yang juga merupakan hal yang penting dalam persidangan. Jika terhadap mayat tidak dilakukan otopsi maka tidak jelas pula penyebab kematian dari orang tersebut. Mengingat asas in dubio pro reo yang di kenal di Indonesia, yakni jika ada keragu-raguan maka harus diputus hal-hal yang menguntungkan terdakwa. Maka keberadaan otopsi ini sangatlah penting dalam proses penyidikan dan pembuktian. 96
4 Sementara untuk menjawab pertanyaan hukum yang kedua yaitu mengenai apakah diperbolehkan bagi keluarga untuk menolak otopsi yang hendak dilakukan terhadap korban kejahatan yang tekah dipertanyakan dalam pertanyaan hukum kedua yaitu apakah keluarga korban kejahatan yang meninggal dunia seharusnya dapat menolak permohonan otopsi dalam rangka pembuktian? Hal ini tidak ada aturannya secara tertulis dalam rumusan pasal di KUHP dan KUHAP. Hanya saja dalam Pasal 134 KUHAP dirasakan ada ambiguitas sehingga banyak yang beranggapan bahwa izin dari keluarga merupakan hal yang penting dalam melakukan otopsi. Dalam ayat (1) dari pasal 134 KUHAP juga menyisipkan kata dalam hal sangat diperlukan di mana untuk pembuktian bedah mayat tidak mungkin dapat dihindari lagi tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana dan apa yang dimaksud keadaan yang tidak dapat dihindari. Dalam Pasal 134 KUHAP sama sekali tidak ada takaran yang pasti terhadap kasus sehingga penyidik menilai kasus-kasus secara subjektif mengenai kasus mana yang perlu dilakukan otopsi terhadapnya atau yang tidak perlu dilakukan otopsi. Dalam Pasal 134 KUHAP tepatnya padal ayat 3 secara tersirat seakan memperbolehkan untuk tidak dilakukannya otopsi karena dengan rumusan pasal ini tidak mengatur jika adanya tanggapan dari keluarga namun tanggapan tersebut adalah penolakan. Pasal ini hanya mengatur jika tidak ada tanggapan dari keluarga maka otopsi akan dilakukan. Dengan adanya ketidak jelasan ini maka masih banyak yang beranggapan bahwa penolakan otopsi yang dilakukan oleh keluarga dapat dilakukan. Padahal perlu diingat bahwa dalam Hukum Pidana yang 97
5 merupakan Hukum Publik yang berarti Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Sifat hukum publik adalah: 1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya; 2. Penuntutan menurut hukum pidana, tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah di rugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa 3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan pada hubungan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seorang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserahkan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentingan umum. Dengan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa kewenangan korban diserap habis oleh negara sehingga seharusnya tidak perlu ada izin keluarga terlebih dahulu untuk negara melakukan suatu hal berkaitan dengan penyelesaian kasus pidana karena negaralah yang mewakili korban bukanlagi korban itu sendiri atau keluarga korban. 98
6 Berkaitan dengan pertanyaan hukum terakhir, Penulis tidak menemukan peraturan yang secara jelas mengatakan penolakan keluarga dalam rangka dilakukannya otopsi dapat menghambat jalannya otopsi. Secara umum peraturanperaturan internal kepolisian hanya memuat prosedur yang harus dipenuhi ketika hendak dilakukannya otopsi. Hanya satu peraturan kapolri yang mengatur tentang penolakan keluarga terhadap otopsi yakni Instruksi Kapolri Nomor Pol : Ins/E/20/IX/75. Dalam Instruksi Kapolri ini dengan tegas menyatakan bahwa setiap kasus yang korbannya meninggal dunia harus dilakukan Otopsi dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan hanya pemeriksaan luar saja. Namun kenyataanya banyak sekali kasus dimana kepada mayat korban hanya dilakukan pemeriksaan luar saja. Hal ini tidak bisa dipermasalahkan karena kekuatan dari Instruksi Kapolri ini pun tidak memaksa penyidik sehingga jikalau Instruksi ini diabaikan pun penyidik dapat melanjutkan penyidikan. Dalam Butir 6 diperjelas bahwa keluarga yang keberatan jika dilakukan otopsi maka perlu untuk diberi tahu perihal perlu dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan dan bila keluarga masih menolak untuk dilakukannya otopsi maka Pasal 222 KUHP dapat ditegakkan.namun, pada prakteknya meskipun ada penolakan dari keluarga yang menghalangi proses otopsi tetap saja Pasal 222 KUHP tidak pernah ditegakkan karena masalah yang subjektif yaitu rasa kemanusiaan. 99
7 Alasan yang biasa digunakan oleh keluarga dalam penolakan otopsi adalah alasan karena agama. Untuk agama Islam ada anggapan bahwa memecahkan tulang mayat sama saja dengan memecahkan tulangnya semasa hidup. Namun perihal ini telah dikeluarkan sebuah fatwa oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI Nomor 4 Tahun Fatwa tersebut menjelaskan bahwa untuk kepentingan peradilan maka otopsi diperbolehkan untuk dilakukan. Sehingga untuk yang beragama islam tidak diperkenankan untuk menggunakan alasan keagamaan. Walaupun dalam fatwa itu sendiri tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai darurat yang tercantum dalam fatwa tersebut namun jika penyidik telah meminta izin dilakukannya otopsi dapat dianggap bahwa hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat untuk saat ini belum ada peraturan yang memberikan syarat atau kriteria mengenai kasus-kasus yang harus dilakukan otopsi. Sementara untuk pertanyaan hukum nomer tiga yaitu, Apa yang dimaksud dengan Perlu dalam peraturan atau petunjuk internal kepolisian mengenai Otopsi dan praktinya di lapangan, Melalui Interview yang telah dilakukan, petugas menentukan apakah otopsi harus dilakukan secara subyektif perkasusnya dan sama sekali tidak ada kriteria khusus dalam peraturan kepolisian mengenai keadaan seperti apa saja sehingga bisa diajukan otopsi. Penulis juga tidak menemukan peraturan internal kepolisian Indonesia yang mengatur keadaan seperti apa yang bisa diajukan otopsi. Bisa dikatakan bahwa 100
8 tidak ada peraturan kepolisian yang memberikan arti kata perlu atau dibutuhkan untuk dilakukan otopsi. Seringkali peraturan kapolri sendiri tidak dilaksanakan dalam praktek contohnya dalam kasus Mirna Salihin dimana seharusnya sampel yang diambil dari korban keracunan sudah tertulis standarnya di Peraturan Kapolri terdapat tata cara pemeriksaan barang bukti keracunan pada paragraf 3 pasal 59 (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia namun yang diambil hanya sampel lambung saja. Sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti penyebab kematian Mirna Salihin. Dalam praktek terjadi pula oknum polisi yang meminta biaya otopsi kepada keluarga korban. Hal ini menyebabkan keluarga semakin enggan untuk mempersilahkan anggota keluarganya yang meninggal secara tidak wajar untuk dilakukan otopsi. Dengan adanya perlakuan ini pula dapat memberikan kesan bahwa kekuatan mengikat otopsi sendiri lemah karena jika keluarga tidak bisa membayar maka otopsi bisa untuk tidak dilakukan. Keluarga seakan diberikan pilihan untuk menolak dilakukannya otopsi. Seperti yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa otopsi sangat dibutuhkan dalam hal oembuktian dimana banyak sekali hal-hal yang dapat diungkap dan diketahui dalam hasil otopsi. 101
9 Sementara itu, pihak yang berwenang untuk mengajukan otopsi adalah penyidik yang akan diajukan ke dokter forensik. Dalam hal ini, penyidik pula yang akan menentukan apakah terhadap mayat untuk suatu kasus tertentu harus dilakukan otopsi atau tidak. Namun, dengan adanya fakta bahwa fungsi otopsi itu sangat banyak untuk mengungkap kebenaran dan juga dengan adanya KUHAP yang menyatakan bahwa otopsi harus dilakukan sebagaimana tertulis dalam pasal 133 KUHAP serta instruksi kepolisian yang mengharuskan dilakukannya otopsi terhadap korban kejahatan yang meninggal dunia maka dapat disimpulkan bahwa otopsi sebenarnya adalah mutlak untuk dilakukan dan prosesnya tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Adapun pemberitahuan secara persuasif terhadap keluarga hanya berfungsi agar keluarga memahami dengan betul proses otopsi serta fungsi-fungsi dari otopsi tersebut dan jika setelah cara persuasif tersebut dilakukan keluarga tetap menolak, tetap saja penyidik dapat melakukan proses otopsi tersebut. Namun, seperti yang telah dijelaskan diatas pula dapat dilihat bahwa rumusan hukum pada KUHAP dan peraturan kapolri itu sendiri tidak begitu jelas sehingga banya yang menafsirkan bahwa proses otopsi dapat ditolak oleh pihak keluarga korban. Sehingga walaupun otopsi itu merupakan proses yang wajib dilakukan malah banyak sekali untuk tidak dilakukan pada faktanya dengan berbagai alasan. Sehingga dalam hal ini, penting untuk dilakukannya perbaikan aturan khususnya mengenai otopsi ini. 102
10 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan oleh penulis mengenai permasalahan yang telah dibahas adalah : Mengingat banyaknya kegunaan otopsi dalam proses acara pidana, perlu adanya revisi KUHAP mengenai pengaturan otopsi yang menjadi multi tafsir ini. Namun, mengingat untuk perubahan undang-undang harus dilalui dengan proses yang panjang dan lama maka dapat dikeluarkan peraturan kapolri yang secara khusus mengatur mengenai otopsi secara khusus dan lengkap sehingga memudahkan petugas untuk menjalankan tugasnya. Salah satunya mengeai tindakan persuasif yang diberikan kepada keluarga korban memang perlu diberikan namun keputusan yang diberikan keluarga korban setelah dilakukannya tindakan persuasif harus tidak mempengaruhi proses otopsi yang akan dilakukan. Selanjutnya diharapkan kedepannya penyidik dan petugas lainnya menghormati pula peraturan kapolri yang ada mengenai tata cara dan syarat penyidikan dan pembuktian sehingga ketika kasus sudah sampai ke kejaksaan tidak kekurangan suatu apapun karena bisa jadi ada kesalahan atau kekurang telitian jaksa untuk memeriksa kelengkapan khususnya barang bukti. Walaupun peraturan kapolri memang tidak mengikat, diharapkan polisi menghormati peraturan kapolri yang telah dibuat khususnya mengenai forensik yang kerap kali diabaikan oleh pihak penyidik. Perlu adanya hukuman bagi petugas yang tidak menjalankan tugasnya sesuai prosedur tanpa ada alasan yang kuat. 103
11 Untuk persoalan penolakan keluarga, jika sudah ada perubahan peraturan kapolri dan atau KUHAP maka persolan penolakan keuarga dapat diselesaikan. Selain itu Perlu dipertanyakan apa kekuatan hukum dari surat penolakan otopsi. Jika memang otopsi harus dilakukan maka sudah seharusnya surat penolakan otopsi tersebut dihapuskan atau tidak diberikan dengan mudah karena surat itu justru akan menimbulkan asumsi untuk masyarakat bahwa penolakan otopsi boleh dilakukan oleh keluarga. Perlu adanya peraturan yang berisikan mengenai syarat-syarat atau kriteria seperti apa yang wajib dilakukan otopsi secara jelas seperti yang dilakukan negara-negara lain yang telah disebutkan sebelumnya walaupun nantinya penyidiklah yang akan menentukan apakah terhadap mayat tersebut perlu untuk dilakukan. Norma yang dimaksud dapat dituliskan sebagai berikut: Otopsi wajib dilakukan manakala bahwa penyebab kematian hanya dapat diperoleh secara meyakinkan melalu otopsi. Dengan rumusan pasal yang tegas seperti ini tentunya akan mempercepat proses penyidikan dan juga memperkecil kemungkinan adanya oknum-oknum yang berusaha mencari celah. Seperti oknum polisi yang mencoba memungut dana dari otopsi akan lebih sulit karena jika dalam keadaan tertentu mayat tersebut harus segera diotopsi dan tidak menunggu lama, oknum polisi tersebut tidak akan bisa menunggu keputusan atau bayaran dari keluarga korban. 104
12 105
13 DAFTAR PUSTAKA BUKU DAN JURNAL Abdul Mun im Idries., Indonesian X-Files, PT Mizan Publika, Jakarta, Abdul Munim Idries, et al, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan, Sagung Seto : Jakarta Adami Chamzawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, JCT Simorangkir, et al, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jawa Barat, KOMPOLNAS, Djokosuseno Research Center (FH UI), Revisi KUHAP mengenai Upaya Paksa (1), Jakarta, Desember Musa Perdanakusumah, Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan, PT. Sinar Grafika, Jakarta Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, PT. Sinar Grafika : Jakarta,
14 R. Abdussalam, et al, Buku Pintar Forensik (Pembuktian Ilmiah), PTIK Press, Jakarta R.Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Cv. Mandar Maju, Bandung,2011. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170;Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LAN-LAIN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Instruksi Kapolri No Pol : Ins/E/20/IX/75 107
15 2014 Louisiana Laws Revisied Statutes TITTLE 13 Courts and Judicial Procedure, RS 13:5713-Duty to hold autopsies, investigations, etc. New York State Law SUMBER DARI INTERNET https//law.justia.com/codes/louisiana/2014.code-revisedstatutes/title-13/rs
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut penulis sampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciPERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI
PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciPERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK
Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan
Lebih terperinciLex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016
PERAN FORENSIK DALAM KASUS MALPRAKTEK MENURUT PASAL 133 KUHAP 1 Oleh : Ridwan Darma 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran ilmu kedokteran forensik dalam mengusut
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.
22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan
Lebih terperinciBagian Kedua Penyidikan
Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan
Lebih terperinciKEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA
KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.
Lebih terperinciPERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)
PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI) Oleh : Putu Dian Asthary I Gst Agung Ayu Dike Widhyaastuti Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Udayana ABSTRAK Makalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini
Lebih terperinciTINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN
SKRIPSI/ PENULISAN HUKUM TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : Laurensius Geraldy Hutagalung NPM
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2
KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah
Lebih terperinciNILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1
NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciPengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum
VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
Lebih terperinciMEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN
MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan
Lebih terperinciMANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu
MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan
BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan kuantitas kejahatan. Seiring dengan adanya perkembangan tindak
Lebih terperinciPERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindaraan terjadi melalui
Lebih terperinciPemeriksaan Sebelum Persidangan
Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan
Lebih terperinciTinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP A. Simpulan
BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Kesesuaian hasil pemeriksaan laboratorium forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas korban pembunuhan berencana terhadap Pasal 184 KUHAP adalah hasil pemeriksaan
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada
Lebih terperinciPERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum
41 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum terhadap hilangnya nyawa akibat penganiayaan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut
Lebih terperinciLex Privatum, Vol.IV/No. 5/Juni/2016. FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2
FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi Otopsi Forensik
Lebih terperinciPRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.
PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciLex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013
FUNGSI PENYELIDIKAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Rovan Kaligis 2 ABSTRAK Keinginan Masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tertib dan damai dalam hidup bermasyarakat terus diupayakan,
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciLex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015
KETERANGAN SAKSI AHLI KEDOKTERAN JIWA DALAM PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Christian Kabangnga 2 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini ada;lah untuk mengetahui bagaimana kedudukan keterangan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia
Lebih terperinciKONSEP MATI MENURUT HUKUM
KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi
Lebih terperinciHukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual
Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
Lebih terperinciLex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017
VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Deysky Neidi Gagundali 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciKAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM
KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,
Lebih terperinciBAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui
BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
Lebih terperinciPENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA
PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciKEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need
Lebih terperinciselalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai
Lebih terperinciLex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016
PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan
Lebih terperinciALUR PERADILAN PIDANA
ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang
Lebih terperinciFUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D
FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D 101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,
BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visum et Repertum 2.1.1. Pengertian Visum et Repertum Secara harfiah kata Visum et Repertum berasal dari kata visual (melihat) dan reperta (temukan), sehingga Visum et Repertum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang
Lebih terperinci