Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6"

Transkripsi

1 Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 Stereocompilation of Topographic Features Scale 1:25,000 Using TerraSAR-X and SPOT-6 Image Data Danang Budi Susetyo 1*), M. Fifik Syafiudin 1, dan Aji Putra Perdana 1 1 Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Jawa Barat *) danang.budi@big.go.id ABSTRAK Informasi geospasial dasar yang disajikan dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) di antaranya diperoleh melalui metode kompilasi unsur secara tiga dimensi dari data radar dan citra optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, breakline, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan atau bangunan serta interpretasi penutup lahan. Metode digitasi secara tiga dimensi atau stereoplotting (stereokompilasi) dilakukan pada skala menengah (1: dan 1:25.000). Metode ini membentuk model tiga dimensi menggunakan data Orthorectified Radar Image (ORRI) atau citra optis dengan stereomate yang dibentuk dari data ORRI dan Digital Surface Model (DSM). Model tiga dimensi yang terbentuk selanjutnya digunakan untuk melakukan plotting secara tiga dimensi, sehingga dihasilkan unsur rupabumi yang memiliki nilai ketinggian berdasarkan datum tertentu. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi dan ekstraksi informasi rupabumi pada skala 1: menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Data hasil ekstraksi dikelola dengan skema basis data rupabumi di Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial. Kata kunci: stereokompilasi, stereoplotting, unsur rupabumi, skala 1:25.000, TerraSAR-X, citra SPOT-6 ABSTRACT Basic geospatial information that is presented in Indonesia Topographic Map can be threedimensionally extracted from either radar or optical images using stereo-compilation technique. Radar image is mainly used for extracting 3D features (hypsography), such as masspoints, breaklines, or streams, whereas the optical image is used for delineating 2D features (planimetric) such as road or building, and land use / land cover. Three-dimensional digitization method or stereoplotting (stereocompilation) are used to medium scale (e.g., 1:50,000 and 1:25,000). This method generates three dimension model using Orthorectified Radar Image (ORRI) or optical image data with stereomate formed from ORRI and Digital Surface Model (DSM) data. That three dimensional model then used for plotting in three dimensions, so it produces topographic features that have elevation values from specific datum. This paper discusses about stereocompilation and topographic information extraction at scale 1:25,000 using TerraSAR-X and SPOT-6. Data extraction will then be managed with database scheme in Central for Topographic Mapping and Toponym, Geospatial Information Agency. Keywords: stereocompilation, stereoplotting, topographic features, scale 1:25,000, TerraSAR-X, SPOT-6 image 1. PENDAHULUAN Peta dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 terdiri atas garis pantai, hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umum, dan penutup lahan. Selain nama rupabumi dan batas wilayah yang didapatkan saat survei lapangan, untuk pemetaan tiga dimensi fitur-fitur tersebut dihasilkan melalui tahapan stereoplotting. Sumber datanya adalah dapat berupa citra radar maupun optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, garis punggung bukit, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan dan bangunan serta interpretasi penutup lahan. Keuntungan menggunakan stereoplotting interaktif adalah diperoleh data 3D dengan akurasi tinggi serta objek-objek yang diinginkan (Pranadita dan Harintaka, 2013). Proses stereokompilasi diawali dari pembentukan model 3D yang digunakan untuk proses stereoplotting. Data dasar yang digunakan berbeda untuk masing-masing level skala, di mana peta RBI skala besar menggunakan foto udara, sedangkan peta RBI skala menengah menggunakan data radar (Synthetic Aperture Radar/SAR). Salah satu data radar yang dapat digunakan untuk pemetaan RBI adalah TerraSAR-X, yang terdiri dari Orthorectified Radar Image (ORRI) dan Digital Surface Model (DSM). Data radar digunakan -247-

2 Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.) karena tidak terpengaruh dengan kondisi awan saat akuisisi. Meski demikian, secara visual data radar tidak dapat digunakan untuk interpretasi penutup lahan atau ekstraksi unsur planimetris (seperti jalan dan bangunan) secara mendetail, sehingga perlu digunakan citra optis untuk membantu keperluan tersebut. Peta RBI skala 1: dapat menggunakan citra SPOT-6 untuk ekstraksi unsur planimetris dan interpretasi penutup lahan. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi unsur rupabumi skala 1: menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Pembahasan lebih spesifik kepada konsep data radar untuk ekstraksi unsur rupabumi, mulai dari akuisisi data, pembentukan model 3D, hingga teknis penarikan unsur pada tahap stereoplotting berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1: Tahapan Stereokompilasi Tahun METODE 1. Akuisisi data radar Tahap ini menjelaskan bagaimana data radar diakuisisi sehingga siap digunakan untuk pemetaan. Akuisisi tidak dilakukan langsung oleh BIG, sehingga penjelasan mengenai tahap ini sifatnya hanya sebatas konsep. 2. Pembentukan model 3D Tahap ini menjelaskan konsep pembentukan model 3D menggunakan data radar untuk pada akhirnya digunakan dalam proses stereokompilasi. 3. Stereokompilasi Stereokompilasi dijelaskan dengan mengacu pada skema basisdata rupabumi tahun Pedoman yang digunakan adalah Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1: Tahapan Stereokompilasi Tahun HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Akuisisi data radar Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara side-looking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi. Gambar 1. Geometri SAR (Hupton, 2009) Satelit TerraSAR-X pertama kali diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Baikonur, Kazakhstan menggunakan wahana peluncur Dnepr-1 milik Rusia/Ukraina sebagai misi lanjutan dari radar X-SAR dan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang dilakukan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Italian Space Agency (ASI) pada tahun 1994 dan Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan data X-band SAR untuk kepentingan ilmiah (seperti hidrologi, klimatologi, oseanografi, monitoring lingkungan, monitoring bencana, hingga kartografi) dan mendirikan pasar Earth Observation (EO) komersial di Eropa (Werninghaus & Buckreuss, 2012). TerraSAR-X dapat dioperasikan dalam mode spotlight, stripmap, dan scansar. Ketiga mode tersebut berpengaruh terhadap cakupan area dan resolusi spasial dari data yang dihasilkan. Airbus Defence and Space(2014) menjelaskan ketiga mode tersebut sebagai berikut: - Spotlight -248-

3 Mode spotlight dapat dibagi menjadi tiga tipe: SpotLight (SL), High Resolution SpotLight (HS), dan Staring SpotLight (ST). SpotLight memiliki cakupan area 10 km x 10 km (lebar x panjang), High Resolution SpotLight 5-10 km x 5 km (lebar x panjang), sedangkan Staring SpotLight tergantung pada incident angle, di mana makin besar incident angle makin proporsional geometri cakupan area yang didapatkan (misalnya dengan incident angle 20 cakupan areanya/lebar x panjang adalah 7,5 km x 2,5 km, sedangkan jika incident angle-nya 60 maka cakupan areanya menjadi 4 km x 3,7 km). Secara resolusi spasial ketiga tipe tersebut juga memberikan hasil yang berbeda, dimana Staring SpotLight menghasilkan resolusi 0,25 m, High Resolution SpotLight 1 m, dan SpotLight 2 m. - Stripmap Resolusi spasial yang didapatkan menggunakan model stripmap adalah 3 m, dengan cakupan area mencapai 30 km x 50 km (lebar x panjang). Mode ini digunakan oleh ERS-1 dan beberapa satelit radar lainnya. - ScanSAR Sama seperti spotlight, mode scansar juga dapat dibagi menjadi beberapa tipe: ScanSAR (SC) dan Wide ScanSAR (WS). ScanSAR memiliki cakupan area 100 km, dengan resolusi spasial mencapai 18,5 m. Wide ScanSAR memiliki cakupan area 270 km dengan resolusi spasial 40 m. Gambar 2. Mode akuisisi TerraSAR-X (Airbus Defence and Space, 2014) Konsep pembentukan DEM menggunakan data SAR adalah menggunakan dua image pada cakupan area yang sama namun diakuisisi dengan sudut perekaman yang berbeda. Secara umum, pembentukan DEM menggunakan data SAR harus melalui beberapa proses, yaitu registrasi image, filtering dan kalkulasi interferogram, phase unwrapping, dan transformasi phase-to-height (Crosetto, 2002). Gambar 3. Pembentukan DEM menggunakan data SAR (INTERMAP, 2009) Pembentukan DSM TerraSAR-X dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu interferometry dan radargrammetry. Interferometry menggunakan perbedaan fase dari dua image dengan geometri yang sama, dengan repeat pass selama 11 hari atau single pass secara simultan, sedangkan radargrammetry -249-

4 Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.) menggunakan dua image dengan perbedaan geometri akuisisi atau merupakan rekonstruksi 3D (Meyer, 2011). SAR interferometry lebih akurat dibandingkan radargrammetry, namun radargrammetry mengatasi kelemahan dari interferometry terkait diskoneksi temporal akibat dari repeat pass selama 11 hari (Kiefl, Koppe, & Hennig, 2010). Terkait data untuk pemetaan RBI, DSM yang digunakan terdiri dari dua metode tersebut. Gambar 4. Metode pembentukan DSM pada TerraSAR-X: (a) Radargrammetry, (b) Interferometry (Meyer, 2011). 3.2 Pembentukan model 3D Data ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI untuk membentuk model 3D. Prinsipnya berkebalikan dengan metode fotogrammetri. Jika dalam fotogrammetri diukur paralaks antara dua foto yang kemudian dikonversi menjadi informasi ketinggian, maka pembentukan model 3D dari data radar adalah dengan mendapatkan paralaks dari ketinggian pada DSM untuk ditambahkan ke ORRI untuk menghasilkan stereomate. Stereomate tersebut akan menjadi pasangan dari citra ORRI yang diolah pada workstation stereo fotogrammetri untuk membentuk model 3D (Mulyana, 2007). Gambar 5. (a) Data ORRI, (b) Data DSM Selain membentuk model 3D antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6 dengan stereomate. Model 3D tersebut digunakan untuk melakukan plotting unsur-unsur planimetris serta penutup lahan, sehingga secara teknis model dari radar dan citra digunakan secara bergantian untuk saling melengkapi. Ketelitian geometrik di sini harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap ketelitian topografi yang dihasilkan dari model 3D yang bersumber dari citra optis, sehingga citra SPOT-6 harus terlebih dahulu diregistrasikan ke ORRI. Metodenya dapat berupa image to image dengan mengacu pada titik-titik ikat yang terlihat jelas di kedua citra (misal persimpangan jalan atau pojok bangunan) dan terdistribusi merata dalam 1 Nomor Lembar Peta (NLP) citra

5 3.3 Streokompilasi Setelah model 3D terbentuk, stereoplotting dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010). Proses stereokompilasi mengacu pada fitur-fitur yang perlu diekstrak berdasarkan skema basisdata rupabumi. Fitur-fitur tersebut tertuang dalam Daftar Kode Unsur Rupabumi yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG. Tahap stereokompilasi dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Perairan Plotting unsur perairan diawali dari segmen terluar dari pulau yang dipetakan, yaitu garis pantai. Seperti halnya sungai, garis pantai juga mengacu pada data ORRI, yang berarti garis pantai yang di-plotting tersebut adalah muka laut berdasarkan kenampakan di citra. Garis pantai tersebut merupakan muka laut sesaat karena bersumber dari citra, bukan muka laut rata-rata yang bersumber dari pengukuran pasang surut air laut. Setelah garis pantai selesai di-plotting, selanjutnya dapat dilakukan plotting unsur sungai. Plotting sungai diawali dari segmen sungai yang bermuara ke pantai. Plotting sungai dilakukan dari hulu ke muara, agar tidak terjadi kesalahan posisi saat membentuk titik gasetir hulu dan muara sungai. Hasil akhir basisdata perairan (setelah ditambahkan dengan hasil survei lapangan) adalah sungai yang dapat diidentifikasi orde sungainya, sehingga sejak stereoplotting sudah dapat dilakukan pemilihan level sungai untuk mengidentifikasi hirarki dari segmen sungai pada sebuah jaringan (Sen dan Gokgoz, 2012). Hal tersebut juga untuk mengantisipasi sungai yang menggantung jika data tersebut dilakukan generalisasi (Susetyo, Nuraeni, dan Perdana, 2016). Terkait geometri, yang perlu diperhatikan adalah lebar dari sebuah segmen sungai. Lebar sungai minimal yang ditetapkan untuk di-plotting menjadi sungai dua garis adalah 0,5 mm atau 12,5 m pada skala 1: Angka 0,5 mm merujuk pada ketelitian horizontal terendah yang dapat ditoleransi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2014 tentang Ketelitian Peta Dasar. Sungai dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai sungai dua garis, dengan garis tepi sungai dan garis tengah sungai disimpan dalam kode unsur yang berbeda. Sungai dua garis lebih diprioritaskan untuk diplotting setelah garis pantai. Setelah sungai dua garis selesai di-plotting, selanjutnya adalah sungai satu garis (sungai dengan lebar kurang dari 12,5 m), alur sungai, kanal, dan terakhir saluran irigasi/drainase. Ketinggian unsur perairan yang di-plotting mengacu pada nilai muka air unsur tersebut. Misalkan, ketika melakukan plotting pada sungai dua garis, maka ketinggian garis tepi sungai adalah ketinggian muka air pada perbatasan sungai dan daratan. Hal itu menyebabkan nilai elevasi vertex di kanan dan kiri sungai seharusnya relatif sama. Begitu pula pada danau atau rawa, karena nilai elevasi muka air sama, maka nilai elevasi vertex di garis pembentuk danau atau rawa juga harus sama. b. Hipsografi Plotting unsur hipsografi dimulai dari breakline. Breakline digunakan sebagai batas saat terjadi perubahan ketinggian yang ekstrem, seperti garis tepi galian/timbunan, garis lembah, garis patahan tebing, dan garis punggung bukit. Plotting unsur breakline utamanya dilakukan pada daerah bergunung atau berbukit untuk menampilkan relief topografi pada daerah tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan breakline diperlukan pada daerah yang datar. Setelah breakline selesai di-plotting, selanjutnya dilakukan plotting terhadap unsur masspoint. Masspoint adalah titik-titik DEM yang menggambarkan topografi secara umum, sehingga plotting masspoint akan sangat menentukan kualitas DTM yang dihasilkan. Plotting masspoint dilakukan secara random,dengan kerapatan bergantung pada detail objeknya. Jika topografi objek yang di-plotting bergunung atau berbukit, maka masspoint di-plotting secara rapat (hingga kerapatan 10 m), sedangkan jika topografinya datar, maka masspoint di-plotting dapat secara jarang (hingga kerapatan 100 m). Plotting masspoint harus memperhatikan garis-garis yang membatasinya, yaitu sungai dan breakline. Masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi logis. Masspoint juga tidak boleh berada di dalam perairan. Selain itu, nilai elevasi juga harus diperhatikan, dimana masspoint tidak boleh lebih rendah daripada sungai dan tidak boleh lebih tinggi daripada breakline. Unsur hipsografi, baik masspoint maupun breakline di-plotting di atas tanah (bare earth). Jika plotting dilakukan di atas wilayah yang tertutup vegetasi atau bangunan, maka ketinggian tanah mengacu pada area terbuka di sekitarnya, untuk kemudian diturunkan terhadap permukaan vegetasi atau bangunan di wilayah tersebut

6 Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1: Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.) c. Transportasi dan utilitas Prinsip plotting unsur jalan hampir sama dengan plotting unsur sungai. Plotting unsur jalan dimulai dari kelas jalan yang diidentifikasi sebagai kelas jalan yang tertinggi, sehingga jalan yang di-plotting terlebih dahulu adalah jalan arteri, kemudian jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, dan terakhir jalan setapak. Aturan secara geometri juga sama antara jalan dengan sungai, yaitu jalan dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai jalan dua garis, dengan garis tepi jalan di-plotting terlebih dahulu, baru kemudian centerline jalan. Selain jalan, unsur-unsur transportasi lain seperti landas pacu, air strip, dermaga, atau jembatan juga diplotting berdasarkan kenampakan pada model. Aturan geometrinya sama seperti jalan, dengan mengacu pada angka 0,5 mm. Jika geometri unsur-unsur tersebut segmennya lebih dari 12,5 m x 12,5 m maka diplotting sebagai garis, sedangkan jika kurang dari 12,5 m x 12,5 m maka di-plotting sebagai titik. Unsur utilitas yang terlihat di model juga harus dilakukan plotting. Unsur utilitas tersebut adalah unsur yang membentuk jaringan instalasi, seperti jaringan kabel transmisi listrik, tiang listrik, jaringan kabel telepon, menara telepon, atau saluran air hujan. Unsur utilitas yang berupa bangunan tempat jaringan utilitas tersebut dikelola, seperti kantor PLN, kantor PAM, atau kantor POS dan objek-objek yang tidak terlihat di atas tanah seperti jaringan kabel transmisi listrik bawah tanahdan jaringan kabel telepon bawah tanah ditambahkan dari hasil survei lapangan. d. Bangunan dan fasilitas umum Unsur bangunan dan fasilitas umum juga menggunakan acuan 12,5 m x 12,5 m untuk menentukan geometri unsur tersebut menjadi garis atau titik. Bangunan dengan geometri lebih dari 12,5 m x 12,5 m di-plotting menggunakan garis tepi bangunan, sedangkan bangunan yang geometrinya kurang dari luasan tersebut kode unsurnya menyesuaikan fungsi bangunan tersebut yang didapatkan dari hasil survei lapangan. Selain di-plotting secara individual, bangunan dan fasilitas umum pada peta RBI skala 1: juga dapat di-plotting sebagai blok permukiman.sesuai dengan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan, permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sekumpulan objek bangunan yang terkumpul menjadi satu dan memiliki pola tertentu dapat di-plotting sebagai permukiman. e. Vegetasi dan lahan terbuka Poligon penutup lahan dalam basisdata RBI dihasilkan dari garis penutup lahan, perairan, dan transportasi. Garis penutup lahan di-plotting menggunakan garis batas area vegetasi dan lahan terbuka, yaitu garis untuk membatasi kenampakan penutup lahan berbeda yang tidak dibatasi oleh fitur sungai maupun jalan. Gambar 6. Contoh hasil stereokompilasi berdasarkan kenampakan di citra Hasil stereoplotting berbentuk titik dan garis. Unsur garis dari masing-masing unsur selanjutnya dibentuk poligon. Poligon perairan dibentuk dari garis perairan, poligon transportasi dibentuk dari garis transportasi, poligon bangunan dibentuk dari garis bangunan, dan poligon penutup lahan dibentuk dari garis penutup lahan, sungai, dan jalan. Sebelum dibentuk poligon, terlebih dahulu harus dibuat titik label yang merepresentasikan masing-masing penutup lahan. Titik label tersebut nantinya digunakan untuk mengisi -252-

7 atribut pada poligon yang terbentuk, sekaligus dapat digunakan sebagai petunjuk dalam peta manuskrip yang dibawa saat survei lapangan. 4. KESIMPULAN Pemetaan rupabumi skala 1: diawali dari akuisisi data radar, pembentukan model 3D, dan stereokompilasi. Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara sidelooking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi. Data radar dalam bentuk ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk model 3D. Prinsipnya adalah membentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI. Model 3D tersebut kemudian digunakan untuk melakukan stereoplotting, dengan dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010). 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial, khususnya kepada Kepala Bidang dan Tim RBI Skala Kecil dan Menengah (SKM) yang telah membantu penulis dalam mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini, baik ide, data, dokumen, dan pembelajaran yang membuat penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan dokumentasi ilmiah dari kegiatan yang sudah dilaksanakan di PPRT untuk digunakan dalam melakukan pengembangan metode ke depan. DAFTAR PUSTAKA Airbus Defence and Space. (2014). TerraSAR-X Image Product Guide: Basic and Enhanced Radar Satellite Imagery. Aprilana. (2010). Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1 : Daerah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rekayasa, XIV(4): Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014 Tentang Ketelitian Peta Dasar. Cibinong. Badan Informasi Geospasial. (2016). Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1: Tahapan Stereokompilasi. Cibinong. Diunduh dari Badan Standardisasi Nasional. (2010). SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta. Crosetto, M. (2002). Calibration and Validation of SAR Interferometry for DEM Generation. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, (DECEMBER 2002). Hupton, J.R. (2009). Three-Dimensional Target Modeling with Synthetic Aperture Radar. California Polytechnic State University. INTERMAP. (2009). Interferometric Synthetic Aperture Radar. Venezia. Kiefl, N., Koppe, W., dan Hennig, S.D. (2010). Terrasar-X Stereo Digital Elevation Models for Complex Terrain Conditions in Alpine Regions and Its Suitability for Orthorectification Purposes of Optical and Sar Imagery. In ISPRS TC VII Symposium (Vol. XXXVIII, pp ). Vienna, Austria. Meyer, N. (2011). DEM products from TerraSAR-X & TanDEM-X. Mulyana, A.K. (2007). Analisis Tekstur Citra IFSAR untuk Ekstraksi Fitur Rupabumi. In Ekstraksi Unsur Rupabumi dan Studi Deformasi dari Citra Radar dan ASTER (pp. 1 12). Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Pranadita, S., dan Harintaka. (2013). Pembuatan Model Elevasi Digital dari Stereoplotting Interaktif Foto Udara Format Sedang dengan Kamera Digicam. Jurnal Ilmiah Geomatika, 19(2): Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Jakarta. Sen, A., dan Gokgoz, T. (2012). Clustering Approaches for Hydrographic Generalization. In GIS Ostrava. Ostrava. Susetyo, D.B., Nuraeni, D., dan Perdana, A.P. (2016). Aturan Topologi untuk Unsur Perairan dalam Skema Basis data Spasial Rupabumi Indonesia. In SEMINAR NASIONAL II Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Werninghaus, R., dan Buckreuss, S. (2012). The TerraSAR-X Mission and System Design. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 60(5):1 4. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah -253-

ATURAN TOPOLOGI UNTUK UNSUR PERAIRAN DALAM SKEMA BASIS DATA SPASIAL RUPABUMI INDONESIA

ATURAN TOPOLOGI UNTUK UNSUR PERAIRAN DALAM SKEMA BASIS DATA SPASIAL RUPABUMI INDONESIA ATURAN TOPOLOGI UNTUK UNSUR PERAIRAN DALAM SKEMA BASIS DATA SPASIAL RUPABUMI INDONESIA Danang Budi Susetyo, Dini Nuraeni, Aji Putra Perdana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25 REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25.000 BERDASARKAN PERATURAN KEPALA BIG NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG KETELITIAN PETA DASAR (Studi Kasus: Pekerjaan Pemetaan RBI Aceh Paket

Lebih terperinci

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara) Geoid Vol. No., Agustus 7 (8-89) ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) Agung Budi Cahyono, Novita Duantari Departemen Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1: Daerah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan

Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1: Daerah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.4 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Oktober Desember 2010 Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1:25.000 APRILANA Jurusan Teknik Geodesi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017 KAJIAN TEKNIS KONTROL KUALITAS TAHAP STEREOKOMPILASI PADA PEMBUATAN PETA RUPABUMI INDONESIA SKALA 1 : 5000 DENGAN MENGGUNAKAN DATA REVIEWER Diana Nukita, Sawitri Subiyanto, Haniah *) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai aktivitas manusia memungkinkan terjadinya perubahan kondisi serta menurunnya kualitas serta daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan rumah berbagai

Lebih terperinci

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Dasar Hukum FUNGSI RDTR MENURUT PERMEN PU No 20/2011 RDTR dan peraturan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA DAN PELAKSANAAN PLA

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA DAN PELAKSANAAN PLA BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA DAN PELAKSANAAN PLA A. Sejarah PT. Visinusa Indopratama PT. Visinusa Indopratama adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa survey dan pemetaan. Berdirinya perusahaan

Lebih terperinci

Isfandiar M. Baihaqi

Isfandiar M. Baihaqi ASPEK PERPETAAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Isfandiar M. Baihaqi 0813

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

Status Data RBI Skala 1: dan 1: Tahun Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial KEBIJAKAN SATU PETA

Status Data RBI Skala 1: dan 1: Tahun Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial KEBIJAKAN SATU PETA Status Data RBI Skala 1:50.000 dan 1:25.000 Tahun 2017 Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial KEBIJAKAN SATU PETA Landasan Hukum Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas gunung api dapat dipelajari dengan pengamatan deformasi. Pemantauan deformasi gunung api dapat digolongkan menjadi tiga kategori berbeda dari aktifitas gunung

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging C182 Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging Juwita Arfaini, Hepi Hapsari Handayani Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rp) 1) Skala 1:10.000, 7 (tujuh) layer Per Nomor (NLP) ,00. Per Km² 20.

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rp) 1) Skala 1:10.000, 7 (tujuh) layer Per Nomor (NLP) ,00. Per Km² 20. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL I.

Lebih terperinci

Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim. BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim. BADAN INFORMASI GEOSPASIAL Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BADAN INFORMASI GEOSPASIAL www.big.go.id Menjamin Ketersediaan dan Akses IG yang bisa dipertanggung-jawabkan Single Reference demi padunya

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

Model Elevasi Digital Permukaan Bumi (DEM)

Model Elevasi Digital Permukaan Bumi (DEM) Model Elevasi Digital Permukaan Bumi (DEM) APLIKASI LANJUT MATERI PEMBUATAN PROFIL DAN KONTOUR Lokasi manakah yang masih bisa dikembangkan untuk lokasi permukiman? Berapa luas hutan yang masih ada? 1 PETA

Lebih terperinci

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG KONSEP ONE MAP POLICY 1 Standard Referensi Satu georeferensi yang sama Satu Pedoman yang sama Geoportal Basisdata Standar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metodelogi pelaksanaan pekerjaan pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 menggunakan Data IFSAR Dalam Rangka Pembangunan Basisdata Spasial Nasional Terpadu untuk Percepatan Rencana Tata

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK)

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PUSAT PEMETAAN RUPABUMI DAN TOPONIM BADAN INFORMASI GEOSPASIAL SATUAN KERJA SEKRETARIAT UTAMA PPK DEPUTI BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL DASAR I PEMBUATAN UNSUR PETA RUPABUMI INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, wwwbpkpgoid PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 27 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Survei: Sebuah Perjalanan Mengenal Nusantara

Survei: Sebuah Perjalanan Mengenal Nusantara Survei: Sebuah Perjalanan Mengenal Nusantara Negara ini luas. Indonesia, dengan segala kekayaannya, hamparan pulau ini layaknya sebuah surga untuk mereka yang merasa memilikinya. Penjelajahan mengelilingi

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

Eko Yudha ( )

Eko Yudha ( ) Eko Yudha (3507 100 045) Fenomena letusan Gunung Berapi Teknologi InSAR Terjadinya perubahan muka tanah (deformasi) akibat letusan gunung Berapi Penggunaan Teknologi InSAR untuk pengamatan gunung api Mengetahui

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI IV.1 Sekilas Tentang Gunung Api Batur Area yang menjadi kajian (studi) untuk dilihat sinyal deformasinya (vertikal) melalui Teknologi InSAR selama kurun waktu

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010 TUGAS AKHIR atau SKRIPSI Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

EKSTRAKSI MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI WILAYAH KOTA PEKANBARUUNTUK ANALISIS HIDROGRAF SATUAN SINTETIK

EKSTRAKSI MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI WILAYAH KOTA PEKANBARUUNTUK ANALISIS HIDROGRAF SATUAN SINTETIK EKSTRAKSI MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI WILAYAH KOTA PEKANBARUUNTUK ANALISIS HIDROGRAF SATUAN SINTETIK Fatiha Nadia 1), Manyuk Fauzi 2), dan Ari Sandhyavitri 2) 1 Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-399 PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

Ilustrasi: Proses Produksi

Ilustrasi: Proses Produksi Safety and Silently Ilustrasi: Perangkat RIMS dapat dibawa oleh tim kecil (BACKPACK). Surveyor akan merancang JALUR TERBANG sesuai kondisi dan arah angin. Wahana udara dirangkai di lapangan >> diterbangkan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015 KAJIAN TEKNIS PENERAPAN GENERALISASI PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI) DARI SKALA 1: 50.000 MENJADI SKALA 1:250.000 Nisrina Niwar Hisanah, Sawitri Subiyanto, Arief Laila Nugraha *) Program Studi Teknik Geodesi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM Klasifikasi Dari hasil confusion matrix didapatkan ketelitian total hasil klasifikasi (KH) untuk citra Landsat 7 ETM akuisisi tahun 2009 sebesar 82,19%. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan citra

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA Model 3D CGIS untuk Visualisasi Wilayah Kota Silvester Sari Sai PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA Silvester Sari Sai Dosen Teknik Geodesi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo Penetapan Batas Daerah Secara Kartometrik Menggunakan Citra Spot Antara Kabupaten (Kalimantan Utara) Dengan Kabupaten Kutai Timur Dan Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) Arrafi Fahmi Fatkhawati Arrafi.fahmi.f@mail.ugm.ac.id

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI Dyah Wuri Khairina dyah.wuri.k@mail.ugm.ac.id Taufik Hery Purwanto taufikhery@mail.ugm.ac.id Abstract

Lebih terperinci

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1)

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1) Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur Ari Wahono 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data digital yang merepresentasikan bentuk topografi suatu wilayah dalam tiga dimensi (3D). Aplikasi Model Elevasi Digital antara

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MUKA LAUT RATA-RATA DARI CITRA MULTI PASUT

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MUKA LAUT RATA-RATA DARI CITRA MULTI PASUT Ekstraksi Garis Pantai Muka Laut Rata-Rata dari Citra Multi Pasut..(Amhar, F., Subagio, H. dan Sumaryono) EKSTRAKSI GARIS PANTAI MUKA LAUT RATA-RATA DARI CITRA MULTI PASUT (Extraction of Mean Sea Level

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 25/PRT/M/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT PROSEDUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA Yastin David Batara (1) (1) Pengajar Teknik Geodesi Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Banjarmasin

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Pengertian GPS Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang berfungsi dengan baik. Sistem ini menggunakan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMETAAN DENGAN SENSOR RADAR DI TENGAH TAWARAN SISTEM PEMETAAN BERBIAYA RENDAH. Abstrak

TEKNOLOGI PEMETAAN DENGAN SENSOR RADAR DI TENGAH TAWARAN SISTEM PEMETAAN BERBIAYA RENDAH. Abstrak TEKNOLOGI PEMETAAN DENGAN SENSOR RADAR DI TENGAH TAWARAN SISTEM PEMETAAN BERBIAYA RENDAH Catur Aries Rokhmana *) *) Teknik Geodesi dan Geomatika - Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) HASIL INTEGRASI DATA LiDAR DAN DATA SURVEI HIDROGRAFI Studi Kasus Pelabuhan Jayapura

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) HASIL INTEGRASI DATA LiDAR DAN DATA SURVEI HIDROGRAFI Studi Kasus Pelabuhan Jayapura Pembuatan Model 3 Dimensi (3D) Hasil Integrasi Data LiDAR dan Data Survei Hidrografi... (Aditya dkk.) PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) HASIL INTEGRASI DATA LiDAR DAN DATA SURVEI HIDROGRAFI Studi Kasus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah semakin maju, hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan peta yang saat ini berbentuk digital. Peta permukaan bumi

Lebih terperinci

PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI

PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI Dalam rangka upaya peringatan dini untuk bencana tsunami, beragam peta telah dibuat oleh beberapa instansi pemerintah, LSM maupun swasta.

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) G153 Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) Fristama Abrianto, Lalu Muhamad Jaelani Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

GENERALISASI UNSUR TRANSPORTASI PADA PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1: MENJADI 1:50.000

GENERALISASI UNSUR TRANSPORTASI PADA PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1: MENJADI 1:50.000 Seminar Nasional Peran Geografi Dalam Mendukung Kedaulatan Pangan 2015 GENERALISASI UNSUR TRANSPORTASI PADA PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25.000 MENJADI 1:50.000 Generalization of Transportation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia wilayahnya membentang dari 6⁰ Lintang Utara sampai 11⁰08 Lintang Selatan dan 95⁰ Bujur Timur sampai 141⁰45 Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. geologi secara detail di lapangan dan pengolahan data di studio dan laboratorium.

BAB I PENDAHULUAN. geologi secara detail di lapangan dan pengolahan data di studio dan laboratorium. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian pada tugas akhir ini berjudul Geologi dan Analisis Struktur Untuk Karakterisasi Sesar Anjak Daerah Cijorong dan Sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017 ANALISIS AKURASI TERHADAP PENGGUNAAN DATA POINT CLOUDS DARI FOTO UDARA DAN LAS LIDAR BERBASIS METODE PENAPISAN SLOPE BASED FILTERING DAN ALGORITMA MACRO TERRASOLID Dani Nur Martiana, Yudo Prasetyo, Arwan

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO Pengantar Teknologi FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO http://www.dinus.ac.id Informasi (Teori) Minggu ke-11 Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom Definisi GIS

Lebih terperinci

Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare dan Rumpin

Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare dan Rumpin Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 07 Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh dan Rumpin Study of Antenna Scheduling and Use Priority Review at Remote

Lebih terperinci

KAJIAN DISTRIBUSI SPASIAL DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BERBASIS DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

KAJIAN DISTRIBUSI SPASIAL DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BERBASIS DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH KAJIAN DISTRIBUSI SPASIAL DEBIT ALIRAN PERMUKAAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BERBASIS DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH Bambang Trisakti, Kuncoro Teguh, dan Susanto Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DI PESISIR TENGGARA BALI (STUDI KASUS KABUPATEN GIANYAR DAN KLUNGKUNG)

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DI PESISIR TENGGARA BALI (STUDI KASUS KABUPATEN GIANYAR DAN KLUNGKUNG) EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DI PESISIR TENGGARA BALI (STUDI KASUS KABUPATEN GIANYAR DAN KLUNGKUNG) I Nengah Jaya Nugraha, I Wayan Gede Astawa Karang, I.G.B. Sila Dharma Fakultas

Lebih terperinci