PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG"

Transkripsi

1 SKRIPSI PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) DENGAN SINAPIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN Oleh: GALIH IKA SAFITRI F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 Galih Ika Safitri. F Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Brazilein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dengan Sinapic acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman. Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah RINGKASAN Pigmen brazilein adalah pigmen yang berasal dari kayu secang (Caesalpinia sappan L.) yang sangat berpotensi digunakan sebagai pewarna alami. Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh ph, suhu dan pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta metal. Pada ph 2-5 pigmen brazilein berwarna kuning sedangkan pada ph 6-7 berwarna merah, dan pada ph 8 ke atas berwarna merah keunguan. Salah satu upaya untuk meningkatkan kestabilan pigmen terhadap degradasi adalah dengan kopigmentasi. Kopigmentasi adalah fenomena terjadinya interaksi antara pigmen dengan kopigmen yang merupakan senyawa tidak berwarna yang secara alami terdapat pada tanaman. Kopigmen yang paling sering digunakan adalah golongan flavonoid termasuk di dalamnya adalah flavon, flavonol, dan juga asam fenolik. Penelitian kali ini menggunakan sinapic acid sebagai kopigmen. Interaksi komponen-komponen tersebut dapat terjadi secara self association, intramolecular copigmentation, intermolecular copigmentation, ataupun metal complexation. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kopigmentasi pewarna alami brazilein kayu secang dengan sinapic acid terhadap kualitas dan stabilitas warna merah pada model minuman. Aplikasi dilakukan pada model minuman ph netral yang pada ph tersebut brazilein menunjukkan warna merah. Selanjutnya waktu paruh dan hasil analisis dengan chromameter dari berbagai konsentrasi kopigmen pada model minuman dibandingkan. Ekstraksi brazilein dari kayu secang menggunakan etanol 50% menghasilkan serbuk berwarna merah yang apabila dilarutkan dengan air ph netral akan berwarna merah. Ekstrak akan berwarna kuning apabila dilarutkan dengan etanol. Rendemen yang diperoleh dari ekstraksi adalah sebesar 9.24% dengan kadar air sebesar 8.30%. Berdasarkan analisis total brazilein yang dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, diperoleh nilai total brazilein yang terkandung dalam ekstrak secang adalah g/g ekstrak. Kopigmentasi brazilein dengan sinapic acid pada model minuman yang dipanaskan pada suhu 40, 50, 60, 70, dan 80 o C menunjukkan bahwa penambahan sinapic acid pada model minuman dapat meningkatkan retensi warna dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid (efek hiperkromik). Dari nilai k menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suhu pemanasan, degradasi semakin cepat terjadi. Berdasarkan waktu paruh menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sinapic acid maka waktu paruh semakin tinggi yang artinya laju degradasi warna pada model minuman semakin rendah. Pengamatan stabilitas pemanasan kopigmentasi model minuman brazilein dengan sinapic acid menggunakan chromameter menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi sinapic acid yang diberikan menyebabkan warna model minuman memiliki nilai ketajaman warna (C) yang meningkat jika dibandingkan dengan model minuman dengan konsentrasi sinapic acid yang lebih kecil dan warna lebih cepat bergeser menjadi merah kekuningan seiring dengan waktu pemanasan (efek

3 batokromik). Namun apabila dilihat dari parameter hue, pada model minuman yang dikopigmentasi dengan perbandingan 1:5 menunjukkan warna merah yang relatif lebih stabil terhadap pemanasan dibandingkan dengan model minuman yang lainnya. Semakin tinggi suhu pemanasan menyebabkan model minuman semakin cepat mengalami perubahan warna menjadi kekuningan yang mulai teramati pada model minuman 1:10 dengan pemanasan suhu 50 o C. Dari segi perubahan warna secara keseluruhan ( E), model minuman dengan kopigmentasi lebih cepat mengalami perubahan warna karena terjadinya efek hipekromik dan batokromik yang menyebabkan adanya perubahan pada warna kromatis a dan b. Pengamatan stabilitas model minuman dengan sinar UV menunjukkan bahwa nilai retensi warna dan waktu paruh terbesar adalah pada model minuman 1:5. Model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid menunjukkan adanya pergeseran warna menjadi kekuningan yang mulai teramati pada model minuman 1:15 dengan semakin meningkatnya konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Warna kekuningan tersebut muncul setelah dilakukan paparan sinar UV. Kopigmentasi dengan perbandingan molar 1:5 menghasilkan data yang paling baik dari stabilitas warna maupun dari nilai k. Berdasarkan penelitian ini, kopigmentasi optimum brazilein dengan sinapic acid untuk meningkatkan stabilitas warna terhadap pemanasan dan sinar UV adalah dengan perbandingan konsentrasi brazilein:sinapic acid 1:5. Namun, untuk diaplikasikan pada minuman secara komersial, pewarna brazilein dengan kopigmentasi sinapic acid masih kurang begitu aplikatif karena stabilitasnya masih sangat rendah. Kopigmentasi merupakan cara yang cukup berpotensi untuk meningkatkan stabilitas brazilein, perlu dipilih jenis kopigmen yang tidak menimbulkan efek batokromik pada minuman ph netral sehingga tidak terjadi perubahan warna.

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) DENGAN SINAPIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN SKRIPSI Sebagai salah satu ayarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: GALIH IKA SAFITRI F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH KOPIGMENTASI PEWARNA ALAMI BRAZILEIN KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) DENGAN SINAPIC ACID TERHADAP STABILITAS WARNA PADA MODEL MINUMAN SKRIPSI Sebagai salah satu ayarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: GALIH IKA SAFITRI F Dilahirkan pada tanggal 9 Juli 1987 di Kediri Tanggal lulus : 19 November 2009 Menyetujui, Bogor, 17 Desember 2009 Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. Dosen Pembimbing Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP

6 RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 9 Juli 1987 sebagai anak pertama dari pasangan Suhimin dan Sri Hartati. Bangku sekolah penulis dimulai dari TK Dharmawanita, SD Negeri Tertek 05, dan SLTP Negeri 2 Pare, SMA Negeri I Pare, kemudian penulis diterima menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Selama belajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, penulis mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan di antaranya adalah menjadi panitia Indonesian Food Expo (Ifoodex) tahun Penulis juga menjadi panitia Politic Expose 2006, panitia MPF 2007, Pengurus FBI Fateta , selain itu penulis juga aktif sebagai pengurus organisasi LS. Bina Desa BEM KM IPB. Kegiatan Praktik Lapang yang dilakukan penulis adalah di PG. Gondang Baru Klaten. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Brazilein Kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dengan Sinapic acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.

7 KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Brazilein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dengan Sinapic acid terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalas amal pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak, Ibu, Tanto, dan Fian di Kediri, yang telah memberikan begitu banyak kasih sayang, dukungan moril maupun materiil. Terima kasih atas semua doanya sehingga penulis tetap bersemangat dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M. Si. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, motivasi, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 3. Terima kasih kepada Dr. Ir. Sukarno, M. Sc. dan Ir. Elvira Syamsir, M. Si. atas waktu dan kesediaannya sebagai dosen penguji serta masukan-masukan yang sangat berarti demi perbaikan skripsi ini. 4. Teman-teman Tim Rocang (Rosela-secang): Arya, Ola, Galih Eka, dan Santi terima kasih atas segala kerja sama, dukungan, kekompakan dan bantuan. Hidup Tim Rocang. 5. Riffal Setyoaji, terima kasih atas semangat dan nasehat yang selalu diberikan sehingga penulis selalu bersemangat dan tak kenal putus asa. 6. Pak Rojak, Pak Wachid, Pak Sidik, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mba Darsih, Bu Rubiah, Mas Edi, Pak Adi, Bu Antin atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswi. Tidak lupa, kepada para teknisi LJA: i

8 Mbak Yane, Mbak Yuli, Mbak Siti, Mbak Ririn terima kasih karena telah memberi bantuan kepada penulis selama penelitian. 7. Ike, Nunu, Mbak salwa, Mbak Age, Mbak Bina, Mbak Ela, Icha, Anna, Mega, Upik, Sari, Marsya, Dini, dan Pristy penghuni Wisma Sunda Karya tercinta terima kasih atas persaudaraan yang indah sehingga selalu memberikan kehangatan dan keceriaan di hati penulis. 8. Teman-teman terbaikku Mbak Icha, Reriel, Retno, Ike, Mike, Difa sebagai tempat berbagi suka-duka. Terima kasih atas bantuan, semangat doa dan nasehat berharganya. 9. Seluruh teman-teman ITP 42, kenangan indah, suka-duka selama ini takkan pernah penulis lupakan. 10. Seluruh dosen dan staf Departemen ITP yang telah memberikan ilmu dan nasehat-nasehat kepada penulis. 11. Pustakawan-pustakawan PITP, PAU, dan LSI, terimakasih atas segala bantuannya. 12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu- persatu, terima kasih atas bantuan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhir kata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat dan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan. Bogor, Desember 2009 Galih Ika Safitri ii

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN DAN SASARAN... 3 C. MANFAAT... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Kayu Secang... 4 B. Pewarna Makanan... 6 C. Brazilein... 7 D. Kopigmentasi... 9 E. Sinapic acid F. Minuman Ringan G. Warna III. BAHAN DAN METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN Ekstraksi Brazilein Karakterisasi Ekstrak Secang a. Analisis Kadar Air Ekstrak Metode Oven b. Analisis Total Brazilein Pembuatan Model Minuman dan Kopigmentasi Analisis Stabilitas Model Minuman a. Pengujian Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Pemanasan dan Sinar UV Stabilitas terhadap Pemanasan iii

10 2. Stabilitas terhadap sinar UV b.pengamatan Kualitas Warna yang Diukur Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis c. Pengamatan Kualitas Warna yang Diukur menggunakan Chromameter IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Ekstrak Secang B. Karakteristik Ekstrak Secang C. Pengaruh Kopigmentasi dengan Sinapic acid terhadap Stabilitas Pemanasan Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Spektrofotometer Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Chromameter D. Pengaruh Kopigmentasi dengan Sinapic acid terhadap Stabilitas Sinar UV Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Spektrofotometer Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Chromameter V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Interpretasi warna hue pada peta warna kromasitas Munsell Tabel 2. Hasil karakterisasi ekstrak secang Tabel 3. Interpretasi warna hue model minuman dengan pemanasan Tabel 4. Interpretasi warna hue model minuman dengan paparan sinar UV v

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Strutur brazilin, brazilein, dan sinapic acid... 3 Gambar 2. Tumbuhan secang... 4 Gambar 3. Struktur kimia brazilin (a) dan brazilein (b)... 8 Gambar 4. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin Gambar 5. Sinapic acid Gambar 6. Kerangka penelitian Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen brazilein Gambar 8. Peta warna kromasitas munsell Gambar 9. Ekstrak secang bubuk Gambar 10. Kurva standard brazilein Gambar 11. Kurva hubungan retensi absorbansi model minuman dan waktu. 28 Gambar 12. Kurva hubungan nilai ln retensi absorbansi model minuman dan waktu pengamatan pada berbagai suhu Gambar 13. Grafik hubungan nilai k rata-rata dari berbagai model minuman dengan pemanasan pada berbagai suhu Gambar 14. Diagram hubungan waktu paruh dari berbagai model minuman dengan pemanasan pada berbagai suhu Gambar 15. Gambar model minuman dengan pemanasan suhu 40 o C Gambar 16. Kurva nilai L chromameter model minuman dengan pemanasan 36 Gambar 17. Kurva nilai a chromameter model minuman dengan pemanasan 38 Gambar 18. Kurva nilai b chromameter model minuman dengan pemanasan 39 Gambar 19. Kurva nilai C model minuman dengan pemanasan Gambar 20. Kurva nilai E model minuman dengan pemanasan Gambar 21. Kurva nilai retensi model minuman dengan Sinar UV Gambar 22. Diagram perbandingan nilai k spektrofotometer model minuman dengan sinar UV Gambar 23. Diagram perbandingan waktu paruh model minuman dengan - sinar UV Gambar 24. Kurva nilai L chromameter dengan sinar UV Gambar 25. Kurva nilai a chromameter dengan sinar UV Gambar 26. Kurva nilai b chromameter dengan sinar UV vi

13 Gambar 27. Gambar model minuman dengan sinar UV Gambar 28. Kurva nilai E model minuman U2 dengan paparan sinar UV Gambar 29. Metal complexation brazilein dengan Al (III) Gambar 30. Kopigmentasi intermolekular antosianin Gambar 31. Ilustrasi kemungkinan kopigmentasi intermolekular brazileinsinapic acid vii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Ekstraksi brazilein dari kayu secang Lampiran 2. Kadar air ekstrak secang Lampiran 3. Data analisis total brazilein Lampiran 4. Penentuan konsentrasi brazilein-sinapic acid dalam minuman.. 63 Lampiran 5. Formulasi model minuman dan ph Lampiran 6. Kurva panjang gelombang maksimum brazilein dengan pelarut etanol 96% Lampiran 7. Kurva panjang gelombang maksimum model minuman Lampiran 8. Nilai absorbansi model minuman dengan pemanasan Lampiran 9. Nilai retensi absorbansi (A/Ao) model minuman dengan pemanasan Lampiran 10. Nilai ln At/Ao model minuman dengan pemanasan Lampiran 11. Nilai k model minuman dengan pemanasan Lampiran 12. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:0 dengan pemanasan Lampiran 13. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:5 dengan pemanasan Lampiran 14. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:10 dengan pemanasan Lampiran 15. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:15 dengan pemanasan Lampiran 16. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:20 dengan pemanasan lampiran 17. Nilai L, a, b, E, hue, dan chroma purity model minuman formula 1:21 dengan pemanasan Lampiran 18. Nilai absorbansi model minuman dengan paparan sinr UV Lampiran 19. Nilai retensi absorbansi (A/Ao) model minuman dengan paparan sinar UV Lampiran 20. Nilai ln At/Ao model minuman dengan paparan sinar UV Lampiran 21. Nilai E model minuman dengan sinar UV Lampiran 22. Nilai k model minuman dengan paparan sinar UV viii

15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Warna merupakan sumber estetika yang penting dalam membentuk sebuah penampilan produk pangan. Warna sangat menentukan respon penerimaan dari konsumen sehingga penggunaan pewarna dalam pembuatan produk pangan sangat digemari. Terdapat kecenderungan untuk menggunakan pewarna sintesis karena terbukti memiliki kelebihan dalam hal kestabilan, kepraktisan, dan kemudahan dalam penggunaan maupun dalam mendapatkannya. Namun ternyata, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap keamanan penggunaan pewarna sintesis ditemukan dampak-dampak negatif bagi kesehatan. Pada tahun 1986 tercatat sekitar 40 jenis pewarna pangan yang diizinkan oleh US-FDA, dan dapat digolongkan ke dalam 9 jenis dyes dan 7 lakes dan sisanya terdiri atas pewarna alami dan pewarna identik alami (Cahyadi, 2006). Jika ditemukan ada resiko dalam penggunaannya bagi kesehatan, maka akan dilarang dalam penggunaannya. Saat ini banyak penelitian yang berupaya untuk menggali sumbersumber pewarna alami yang stabil dan pastinya aman digunakan karena tidak menimbukan efek samping bagi kesehatan. Sumber-sumber zat pewarna alami tersebut dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan (DeMan,1985). Pigmen alami yang berasal dari tanaman pada umumnya aman tergantung dari keberadaannya dalam tanaman yang dapat dimakan dan tidak perlu menjalani tes toksikologi seperti yang biasanya dilakukan pada pewarna sintesis ( Lee dan Schwartz, 2006) Pigmen brazilein yang merupakan pigmen yang berasal dari kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sangat berpotensi digunakan sebagai pewarna alami. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah dan Indriati (2003) menunjukkan bahwa pigmen brazilein pada kayu secang memiliki kestabilan warna merah pada ph netral (6-7), bergeser kearah merah keunguan pada ph lebih tinggi (8) dan kuning pada ph yang lebih rendah (2-5). Selain itu, dari segi keamanan, uji toksisitas akut (LD 50 ), proliferasi sel limfosit dan sel kanker K-562 tikus secara in-vitro menunjukkan bahwa pigmen brazilein aman bagi kesehatan (Min et al., 2006). 1

16 Pigmen brazilein juga mudah berinteraksi dengan senyawa organik lainnya. Sinapic acid digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis asam fenolat yang digunakan sebagai senyawa kopigmen. Penambahan senyawa kopigmen dimaksudkan untuk mengurangi reaksi degradasi brazilein pada ph netral. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Adawiyah et al. (2008), kopigmentasi yang memberikan hasil terbaik (peningkatan warna merah) terjadi saat menggunakan sinapic acid dan rosmarinic acid. Selama penyimpanan terjadi peningkatan warna kromatis a dan b yang keduanya digambarkan menggunakan parameter ketajaman warna (C=chroma purity). Perbedaan signifikan terlihat pada perlakuan pemanasan 80 dan 100 o C dimana penggunaan sinapic acid memberikan nilai ketajaman yang paling tinggi dibandingkan dengan asam fenolik lainnya. Sehingga penelitian ini mengarah pada penggunaan sinapic acid sebagai kopigmen yang potensial digunakan. Pemberian konsentrasi kopigmen yang tepat merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari konsentrasi kopigmen yang tepat yang dilakukan pada model minuman ph netral. Penurunan laju degradasi pigmen brazilein karena penambahan kopigmen ditunjukkan dengan adanya peningkatan waktu paruh. Waktu paruh dihitung berdasarkan kinetika reaksi ordo 1. Semakin rendah waktu paruh maka semakin cepat zat tersebut terdegradasi. Dengan penambahan kopigmen yaitu senyawa sinapic acid diharapkan mampu untuk meningkatkan waktu paruh degradasi warna pigmen brazilein. Sinapic acid yang disebut juga sinapinic acid tergolong dalam fenilpropanoid atau asam fenolat. Nama lain Sinapic acid adalah 3-(4-hydroxy- 3,5-dimethoxyphenyl)prop-2-enoic acid, 3,5-Dimethoxy-4-hydroxycinnamic acid, dan 4-Hydroxy-3,5-dimethoxycinnamic acid. Struktur molekul sinapic acid adalah C 11 H 12 O 5, massa molarnya g/mol, dan titik lelehnya adalah C. Sinapic acid banyak ditemukan pada biji-bijian spesies Brassica juncea seed (canola) sejenis sawi-sawian yang bijinya dimanfaatkan untuk diambil minyaknya. Berikut adalah gambar struktur brazilin, brazilein, dan sinapic acid. 2

17 a.brazilin b.brazilein c.sinapic acid Gambar 1. Struktur brazilin, brazilein (Wongsooksin et al., 2008), dan sinapic acid (Marinova et al., 2003) Penelitian dimulai dengan mengekstrak brazilein, kemudian membuat seri pencampuran model minuman dengan berbagai perbandingan molaritas sinapic acid, pengujian stabilitas terhadap panas dan UV, sehingga energi aktifasi dapat dihitung. Model minuman 1:0 adalah model minuman yang menggunakan pewarna brazilein tanpa kopigmentasi sinapic acid. Penurunan laju degradasi warna dapat diamati dengan membandingkan energi aktifasinya dari parameter pengamatan dengan menggunakan spektrofotometer dan perubahan warna dari parameter pengamatan dengan menggunakan chromameter. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kopigmenasi pewarna alami brazilein kayu secang dengan sinapic acid terhadap kualitas dan stabilitas warna merah pada model minuman. Aplikasi dilakukan pada model minuman ph netral karena pada ph tersebut brazilein menunjukkan warna merah. Selanjutnya akan dibandingkan pola degradasi warnanya pada berbagai konsentrasi kopigmen. C. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan alternatif pewarna merah alami yang relatif aman bila dibandingkan dengan pewarna sintesis dan memiliki stabilitas yang baik untuk diaplikasikan pada produk pangan. 3

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Secang (Caesalpinia sappan L.) termasuk famili Leguminoseae yang termasuk tanaman perdu yang memanjat atau pohon kecil, berduri banyak, tingginya mencapai 5-10 m (Gambar 2). Caesalpinnia sappan disebut juga Biancaea sappan, dinamai sappan wood karena asli dari india Selatan dan Asia, dan dinamai brazil wood karena ditemukan juga di daerah Brazil. Menurut Heyne (1987), taksonomi tanaman secang adalah : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledone Sub class : Aympetale Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Caesalpinia Species : Caesalpinia sappan L. Gambar 2. Tumbuhan secang Asal usul daerah asli kayu secang belum diketahui secara pasti. Namun ada yang menganggap berasal dari daerah bagian tengah dan selatan India, Brazil, kemudian ke Burma, Thailand, Indo-Cina dan Cina Selatan hingga ke Asia Tenggara (Washiyama et al., 2009; Oliveira et al., 2002). Tumbuhan ini telah dibudidayakan dan telah dapat tumbuh secara alami di banyak tempat di Malesia (Indonesia, Filippina, Papua New Guinea) dan juga di India, Sri 4

19 Lanka, Taiwan, Kepulauan Solomon, dan Hawaii. Di Indonesia, kayu secang banyak tumbuh di pekarangan daerah Jawa, juga dijumpai di pegunungan berbatu pada daerah yang tidak terlalu dingin di Sulawesi Selatan. Kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan ketinggian tempat rendah dan sedang. Di semenanjung Malaysia, pohon ini tumbuh dengan sangat baik pada tepi-tepi sungai yang berpasir. Pohon ini tidak toleran pada tanah-tanah yang terlalu basah. Pohon kayu secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan tahunan mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah C, dan dengan kisaran ph tanah adalah Tumbuhan ini banyak dijumpai pada dataran rendah hingga ketinggian 1700 m dpl (Heyne, 1987). Bagian secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potonganpotongan atau serutan kayu. Kepingan serutan ini sangat bervariasi warnanya dari kuning hingga merah. Kayu secang bila dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang menarik, dan diketahui bahwa brazileinlah yang menimbulkan warna tersebut. Bagian kayu secang mengandung brazilin, brazilein, sappanchalcone, caesalpin J, caesalpin P, protosappanin A, protosappanin B, homoisoflavonoid β-sitosterol, monohidroksibrazilin, benzil dihidrobenzofuran. Selain itu juga mengandung sappanol, episappanol, 3-deoksisappanol, 3-0-metilsappanol, 3-0- metilepisappanol, 3-0-metilbrazilin, 4-0-metilepisappanol, sappanon β, 3- deoksisappanon β, dibenzoksosin, 10-0-metilsappanion β, dll (Pawar et al., 2008). Hingga akhir abad ke 19, Kayu secang telah dimanfaatkan sebagai sumber pewarna merah untuk tekstil karena mengandung brazilein sebagai pigmen berwarna merah. Dalam perdagangan internasional brazilein dikenal dengan nama natural red no.24 sebagai pewarna tekstil, namun laporan mengenainya masih sangat sedikit. Pemanfaatannya sebagai bahan pewarna pangan hanya berlangsung untuk skala kecil. Di Filipina, biji-biji Secang dimanfaatkann sebagai sedatif. Di Indonesia, kayu Secang dimanfaatkan sebagai pewarna merah minuman. Di Filipina, Indonesia dan India, kayu 5

20 Secang dimanfaatkan sebagai sumber obat. Biji tumbuhan ini berfungsi sebagai bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati tuberkolosis, diare, dan disentri. sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pematangan buah pepaya dan mangga. Tumbuhan ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Sedangkan di Sulawesi Selatan serutan kayu secang dibuat minuman seperti teh yang berkhasiat menguatkan lambung. B. Pewarna Makanan Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan ataupun substansi lain yang berasal dari tanaman, tumbuhan, mineral, atau zat sintetis yang ketika ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dapat memperoleh warna yang diinginkan (Gloria, 2006). Tujuan penambahan zat pewarna ke dalam makanan dan minuman antara lain adalah untuk memperbaiki penampakan makanan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh penampakan warna yang seragam pada komoditi, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang lebih menarik dari aslinya, untuk memberi identitas produk, dan sebagai indikator visual dari kualitas. Zat warna makanan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu zat warna alami, zat warna identik alami dan zat warna sintesis ( Bauernfeind, 1981). Saat ini industri-industri pangan lebih banyak menggunakan zat warna sintesis daripada zat warna alami karena zat warna sintesis memiliki kestabilan pigmen yang lebih tinggi, lebih praktis, mudah didapat, dan lebih murah tentunya. Mula-mula para ahli teknologi tidak memikirkan bahwa pewarna buatan atau sintesis ada yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dalam kenyataannya bahkan ada yang bersifat karsinogenik. Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2006). Pewarna alami adalah zat warna dari sumber nabati, hewani, atau mineral. Dalam daftar FDA, pewarna alami dan pewarna identik alami tidak 6

21 memerlukan sertifikat kemurnian kimiawi. Pewarna alami disebut noncertified colorant yaitu pewarna yang berasal dari hewan, tanaman, atau mineral tanpa disertifikasi karena biasanya mengandung komponen yang kompleks (Somogyi, 2006). Contoh pewarna alami yang sering digunakan antara lain: antosianin, karotenoid, dan klorofil. Pewarna identik alami adalah pigmen yang diproduksi secara sintesis yang dibuat dengan struktur kimianya identik dengan pewarna alami, jadi bukan dengan cara isolasi atau ekstraksi (Cahyadi, 2006). Jenis yang banyak diproduksi adalah karotenoid murni antara lain cantho-xanthin (merah), apokaroten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum penggunaan, terkecuali betakaroten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas. Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian yang disebut proses sertifikasi sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut sebagai permitted color atau certified color. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut. Namun sebagian besar industri pangan menggunakan pewarna sintesis ini dalam produknya karena memiliki kelebihan diataranya praktis, mudah didapat, dan stabil. Beberapa pewarna sintesis dapat memberikan efek negatif pada kesehatan konsumen, diantaranya dapat menimbulkan reaksi alergi, hiperaktif pada anak-anak, dan kanker pada tikus percobaan. C. Brazilein Brazilein merupakan hasil oksidasi dari brazilin yaitu komponen utama yang diisolasi dari tanaman secang (Caesalpinia sappan L.). Brazilin tidak hanya dihasilkan dari Caesalpinia sappan namun juga dari beberapa spesies tanaman Caesalpinia seperti Caesalpinia echinata, Caesalpinia crista, dan Haematoxylum camphecianum (Oliveira et al., 2002). Brazilin merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika teroksidasi akan menghasilkan brazilein yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Ye Min et al.,2006). Brazilin mempunyai warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni, 7

22 dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis. Asam tidak berpengaruh terhadap brazilin tetapi alkali dapat membuatnya bertambah merah. Sepertihalnya dengan brazilin yang berbentuk kristal, brazilein merupakan kristal berwarna merah kecoklatan yang terekstrak dari kayu secang. Brazilein dapat terekstrak dalam jumlah yang banyak selama ekstraksi maupun penyimpanan brazilin (Kim et al., 1997). Paparan udara dan cahaya pada brazilin dapat menyebabkan teroksidasinya gugus hidroksil dari brazilin menjadi gugus karbonil. Kedua komponen brazilin dan brazilein merupakan tetrasiklik dengan dua cincin aromatik, satu piron, dan satu cincin lima karbon (Oliveira et al., 2002). Struktur brazilin dan brazilein tampak pada Gambar 3 berikut ini: Gambar 3. Struktur kimia brazilin (a) dan brazilein (b) (Wongsooksin et al., 2008) Spektrum brazilein menunjukkan absorbsi maksimum pada panjang gelombang 445 dan 556 nm (Kim et al., 1997). Perubahan menjadi kemerahan bila dibandingkan dengan brazilin disebabkan karena adanya peningkatan delokalisasi elektron karena keberadaan gugus karbonil. Pada struktur brazilein hanya atom pada posisi C6a dan atom oksigen pada pirone yang mempunyai sp 3 hibrid dan bagian dari molekul tersebut tidak planar, namun mempunyai andil dalam delokalisasi elektron. Begitu juga dengan brazilin yang juga mempunyai sp 3 karbon pada atom C9, juga tidak bersifat planar pada bagian molekul tersebut. Perbedaan struktur tersebut juga meningkatkan perbedaan warna dari dua senyawa tersebut (Oliveira et al., 2002). 8

23 Brazilein termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai homoisoflavonoid (Wongsookin et al., 2008). Brazilein mudah larut dalam pelarut polar termasuk air, memiliki titik leleh 150 o, memiliki ph , dan berwarna kuning-merah. Pigmen brazilein dapat berfungsi sebagai analgesic, antiinflamasi, antioksidan, antidiabetes, antimikroba, penghambat aktivitas inos, antiaterogenik, pengatur haid, obat diare dan disentri, serta jamu bersalin (Lim, 1997; Bae et al.,2005). Pigmen brazilein memiliki berat molekul sebesar g/mol. Brazilein telah lama digunakan sebagai pewarna merah untuk keramik, tekstil, dan sangat berpotensi digunakan untuk mewarnai makanan. Namun stabilitasnya sangat rendah. Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh ph, suhu dan pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta metal. Pada ph 2-5 pigmen brazilein berwarna kuning sedangkan pada ph 6-7 berwarna merah, dan pada ph 8 ke atas berwarna merah keunguan (Adawiyah dan Indriati, 2003). Brazilein memiliki efek kesehatan yang sangat baik. Berdasarkan penelitian-penelitian yag telah dilakukan menunjukkan bahwa brazilein D. Kopigmentasi Pada tahun 1916, Willstätter and Zollinger mengamati warna pigmen anggur yang berubah warna dari biru ungu menjadi merah kebiruan dengan penambahan asam tanat dan asam galat. Fenomena tersebut dinyatakan sebagai kopigmentasi. Dengan kopigmentasi tersebut stabilitas antosianin dapat ditingkatkan. Mekanisme kopigmentasi yang paling penting adalah interaksi antara molekul-molekul sehingga terjadi pembentukan kompleks secara intermolekuler dan intramolekuler. Kopigmentasi dapat terjadi dengan cara intermolekuler, intramolekuler, asosiasi secara individu (self association), dan kompleks dengan metal. Kopigmentasi juga dapat didefinisikan sebagai interaksi antara pigmen dan kopigmen. Sejauh ini penelitian mengenai antosianin baru diamati pada antosianin. Mekanisme tersebut pada antosianin digambarkan oleh Rein (2005) seperti dapat dilihat pada Gambar 4. 9

24 Gambar 4. Mekanisme reaksi kopigmentasi pada antosianin (Rein, 2005) Fenomena kopigmentasi teramati sebagai pergeseran panjang gelombang maksimum yang dikenal dengan nama efek bathokromik ( λmax). Pada antosianin teramati pergeseran warna dari merah menjadi merah kebiruan (bluing effect) akibat adanya kopigmentasi. Efek lain yang teramati adalah efek hiperkromik ( A) yaitu terjadinya peningkatan intensitas warna setelah kopigmentasi. Kopigmen didefinisan sebagai suatu senyawa yang tidak berwarna atau berwarna tapi sangat tipis, pada umumnya agak kekuningan, atau molekul berwarna yang terdapat secara alami pada sel tanaman disekitar antosianin. Dengan adanya interaksi dengan senyawa kopigmen tersebut, intensitas warna pigmen akan meningkat (hiperkromik) atau terjadi pergeseran panjang gelombang maksimum (batokromik). Senyawa yang umum menjadi kopigmen adalah senyawa dari golongan flavonoid, polifenol, alkaloid, asam amino, dan asam organik. Dari jenis flavonol, rutin adalah kopigmen yang menghasilkan kopigmentasi kuat. Sinapic acid dapat meningkatkan intensitas warna merah pada malvin ph 3.6. Jenis kopigmen lain yang sudah banyak diteliti adalah asam fenolat. Rein dan Heinonen (2004) menggunakan asam ferulat, sinapic acid dan rosmarinic acid untuk memperbaiki kualitas jus berry. Sinapic acid merupakan salah satu jenis asam fenolik sebagai kopigmen yang paling efisien selain ferulic acid untuk meningkatkan intensitas warna dan menggeser panjang gelombang maksimum (Asen et al., 1972). Kopigmentasi intermolekular, mekanismenya pertama kali dinyatakan sebagai suatu pembentukan komplek yang lemah. Pemikiran kemudian 10

25 berkembang menjadi suatu interaksi antara antosianin yang berwarna dengan kopigmen yang tidak berwarna yang tidak terikat secara kovalen pada molekul antosianin. Ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik telah disinyalir sebagai tenaga penggerak utama pada kopigmentasi intermolekular. Kopigmentasi intermolekular pada antosianin terjadi karena terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus keto dari antosianin dengan gugus hidroksil dari kopigmen. Kopigmentasi intermolekular bersifat lemah karena hanya terjadi kompleks dengan ikatan hidrogen. Suatu kopigmen dengan semakin banyak gugus hidroksil akan semakin kuat membentuk kompleksnya, dengan bertambahnya gugus metoksil akan mengurangi efek kopigmentasi. Kopigmentasi intramolekular didefinisikan sebagai suatu interaksi antara pigmen dan kopigmen dimana kopigmen menjadi bagian dari molekul antosianin atau pigmen yang dikopigmentasi. Ikatan yang terjadi antara pigmen dan kopigmen terjadi secara ikatan asilasi kovalen. Kopigmentasi intramolekular ini bersifat lebih kuat daripada kopigmentasi intermolekular. Mekanisme kopigmentasi yang lain adalah kopigmentasi secara selfassociation yang teramati pada antosianin yang konsentrasinya ditingkatkan dari 10-4 menjadi 10-2 dimana terjadi perubahan serapan panjang gelombang maksimum dari 507 menjadi 502 nm dan terjadi peningkatan intensitas warna dilihat dari absorbansinya (Asen et al., 1972). Mekanisme kopigmentasi jenis ini dianalogikan seperti adanya interaksi antara antosianin-antosianin yang bertumpuk-tumpuk (Hoshino et al., 1980). Mekanisme kopigmentasi yang lain adalah pembentukan kompleks dengan logam. Kopigmentasi yang terakhir tersebut kurang begitu menarik dalam bidang pangan karena pada umumnya kontaminasi produk oleh metal justru dihindari. Berdasarkan kerangka teoritis yang dilihat dari sifat fisik terutama warna dan pendekatan struktur kimia maka proses kopigmentasi memungkinkan untuk dilakukan pada pigmen secang (brazilein) dengan tujuan utama meningkatkan stabilitas terhadap pemanasan dan sinar UV. E. Sinapic Acid Sinapic acid disebut juga sinapinic acid yang tergolong dalam fenilpropanoid yaitu asam hidroksisinamat. Asam-asam hidroksisinamat 11

26 umumnya terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk ester. Asam-asam tersebut dapat dibebaskan dengan hidrolisis basa. Nama lain Sinapic acid adalah 3-(4-hydroxy-3,5- dimethoxyphenyl)prop-2-enoic acid, 3,5-Dimethoxy-4-hydroxycinnamic acid, dan 4-Hydroxy-3,5-dimethoxycinnamic acid. Struktur molekul sinapic acid adalah C 11 H 12 O 5, massa molarnya g/mol, dan titik lelehnya adalah C. Sinapic acid banyak ditemukan pada biji-bijian spesies Brassica juncea seed (canola) sejenis sawi-sawian yang bijinya dimanfaatkan untuk diambil minyaknya. Gambar 5. Sinapic acid (Marinova et al., 2003) Penambahan senyawa kopigmen dimaksudkan untuk mengurangi reaksi degradasi brazilein pada ph netral. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Adawiyah et al. (2008), kopigmentasi yang memberikan hasil terbaik (peningkatan warna merah) terjadi saat menggunakan sinapic acid dan rosmarinic acid. Selama penyimpanan terjadi peningkatan warna kromatis a dan b yang keduanya digambarkan menggunakan parameter ketajaman warna (C=chroma purity). Perbedaan signifikan terlihat pada perlakuan pemanasan 80 dan 100 o C dimana penggunaan sinapic acid memberikan nilai ketajaman yang paling tinggi dibandingkan dengan asam fenolik lainnya. Sehingga penelitian ini mengarah pada penggunaan sinapic acid sebagai kopigmen yang potensial digunakan. F. Minuman Ringan Minuman ringan didefinisikan sebagai minuman tak beralkohol yang mengandung sirup, essens, atau konsentrat buah yang dicampur dengan air atau air karbonat ( carbonated water ) dengan proporsi tertentu ( Thorner dan Herzberg, 1978). Green (1981) menggolongkan minuman ringan menjadi tiga 12

27 kategori, yaitu : minuman berkarbonat baik mengandung asam atau tidak, minuman berflavor buah atau tidak, dan golongan yang mencakup sari buah dan golongan sparkling water seperti air soda. Bahan-bahan yang menyusun minuman ringan antara lain adalah air, pemanis, asam, pewarna, dan pengawet. Air yang digunakan harus bebas dari kontaminan dan harus memiliki kekeruhan yang rendah (Thorner dan Herzberg, 1978). Pemanis yang digunakan pada minuman ringan berupa gula atau pemanis buatan. Gula yang digunakan antara lain adalah gula kristal, gula invert, maupun gula cair (Woodroof dan Philips, 1981). Penambahan pewarna ke dalam minuman dilakukan untuk meningkatkan daya tarik bagi konsumen serta untuk memperoleh warna yang seragam. Sedangkan zat pengawet dalam minuman ringan dimaksudkan untuk mengawetkan produk. Pengawet yang biasa digunakan adalah natrium benzoat dimana pengawet ini memiliki keefektifan pada ph Penambahan sukrosa pada minuman ringan umumnya adalah sebesar 10-13% (Woodroof & Phillips,1981). Model minuman dibuat untuk menggambarkan minuman yang sebenarnya, namun berbeda. G. Warna Warna suatu bahan pangan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter, spektrofotometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Spektrofotometer biasa digunakan untukl mengukur konsentrasi suatu zat dalam larutan dengan prinsip penyerapan warna pada panjang gelombang tertentu. Hasil dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dinyatakan dalam nilai absorbansi. Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik untuk mendeskripsikan warna secara akurat agar terjadi persamaan persepsi. Sistem notasi warna yang banyak digunakan adalah sistem notasi Hunter yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, b. Pengukuran warna model minuman dilakukan dengan alat Minolta Chroma Meters CR-310. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999). Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan atau gelap sampel dan memiliki skala 13

28 dari 0 sampai 100 dimana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dimana a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru, dimana b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70. Pengukuran warna dengan sistem Munsell dilakukan dengan mengukur komponen warna berdasarkan besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menyatakan gelap dan terangnya warna. C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu sampel yang dihitung dengan rumus a 2 +b 2. Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat semakin tua karena intensitasnya yang meningkat. Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna objek ke dalam diagram warna Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b dan a atau hue = (arctan (b/a)) sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Dengan memasukkan derajat hue ke dalam diagram warna (peta warna kromasitas Munsell) maka dapat ditentukan secara objektif apakah sampel tersebut berwarna merah, hijau, dsb. Nilai E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai E menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan semakin besar (Hutching, 1999). E dihitung dengan rumus L 2 + a 2 + b 2. 14

29 III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic acid yang dibeli dari Sigma Aldrich sebagai senyawa kopigmen. Bahan baku pembuatan minuman adalah sukrosa dan air, tween 80, dan NaHCO 3. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk keperluan analisis dan ekstraksi adalah etanol PA 96% yang dibeli dari Ruang Stok Laboratorium departemen ITP untuk analisis total brazilein, etanol teknis 96% yang dibeli dari Toko Kimia Cahyana, etanol teknis 50%, aquades, dan kertas saring Whatman Nomor 1. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah disc mill, evaporator vakum, penyaring vakum, water bath, termometer, refrigerator, timbangan analitik, pisau, chromameter, botol kaca bertutup, spektrofotometer, aluminium foil, dan alat- alat gelas. B. Metode Penelitian Tahap yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain: ekstraksi pigmen brazilein dari kayu secang, karakterisasi ekstrak secang, pembuatan model minuman dan kopigmentasi, serta pengujian stabilitas model minuman terhadap panas dan sinar UV seperti yang tampak pada Gambar 6 dibawah ini: Ekstraksi pigmen brazilein Karakterisasi ekstrak Pembuatan model minuman dan kopigmentasi Pengujian stabilitas panas dan UV Gambar 6. Kerangka penelitian 15

30 1. Ekstraksi Brazilein Ekstraksi brazilein dari kayu secang dilakukan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Kristie (2008). Metode tersebut merupakan modifikasi metode yang dilakukan oleh Min et al. (2006) dengan modifikasi pada pelarutnya. Ekstraksi brazilein dilakukan dengan tahap seperti pada Gambar 7 di bawah ini: Kayu secang digiling dengan disc mill Dipanaskan dengan etanol 50% suhu 80 o C selama 30 3x dengan rasio kayu dan pelarut 10 kali Dipisahkan dengan ampas kayu secang Filtrat disaring dengan kertas whatman nomor 1 Selanjutnya dikeringkan dengan vakum evaporator 50 o C Ekstrak secang Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen brazilein Selanjutnya, setelah dilakukan ekstraksi brazilein terhadap kayu secang, dilakukan penghitungan rendemen ekstrak terhadap berat kayu yang di ekstrak. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel kayu secang berdasarkan berat basah. Penentuan rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus dibawah ini: Rendemen ekstrak = Berat ekstrak (g) x 100% Berat sampel (g) 16

31 2. Karakterisasi Ekstrak Secang a. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1999) Analisis kadar air dilakukan terhadap ekstrak brazilein yang sudah dikeringkan. Analisis ini dilakukan dengan cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g sampel yang sudah dihomogenkan dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 6 jam. Didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang beratnya. Kadar air dihitung dengan persamaan: Kadar air (%bb) = W3 x 100% W1 Dengan, W1 adalah berat sampel dan W3 adalah kehilangan berat. b. Analisis Total Brazilein (Metode Spektrofotometri) Analisis total brazilein menggunakan standard brazilein yang diperoleh dari pemurnian ekstrak secang menggunakan HPLC untuk menentukan kurva standard. Cairan standard brazilein dengan pelarut etanol 95% diperoleh dari sampel penelitian yang dilakukan sebelumnya. Larutan stok brazilein murni dibuat dengan melarutkan 10 mg standard brazilein dalam 10 ml etanol 95% untuk selanjutnya dibuat seri pengenceran 0.3 mg/10ml, 0.4mg/10ml, 0.5mg/10ml, 0.6mg/10ml, 0.8mg/10ml, 0.9mg/10ml, 1.0mg/10ml. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer 20D dengan panjang gelombang 445 nm (Oliveira et al., 2001). Penentuan panjang gelombang 445 nm juga dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang gelombang maksimum pada ekstrak brazilein yang dilarutkan dengan pelarut etanol 95%. Untuk sampel brazilein, dilakukan pengenceran ekstrak dengan berat tertentu menggunakan etanol 95% sampai 10 ml kemudian diukur pada absoransi 445 nm. Apabila sampel terlalu pekat, maka dapat dilakukan pengenceran. Pengukuran dilakukan secara duplo dengan dua kali ulangan. 17

32 Absorbansi yang diperoleh dengan pengukuran spektrofotometri dimasukkan ke dalam persamaan linier kurva standard sehingga diperoleh konsentrasi larutan sampel dalam [ ] mg/10 ml. Selanjutnya, perhitungan total brazilein dilakukan dengan rumus: Total brazilein = [ ] mg/10ml x 10 ml x FP mg ekstrak 3. Pembuatan Model Minuman dan Kopigmentasi Penelitian bertujuan melihat adanya pengaruh stabilitas pewarna alami brazilein dengan pengkompigmentasian sinapic acid yaitu berkurangnya reaksi degradasi warna pada ph netral. Brazilein dilarutkan dalam minuman dengan konsentrasi akhir 1.8 x 10-4 M sedangkan sinapic acid dilarutkan pada konsentrasi tertentu sehingga model minuman akhir memiliki perbandingan konsentrasi atau molar brazilein- sinapic acid 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25. Berat ekstrak yang dilarutkan disesuaikan dengan kandungan total brazilein yang dikandungnya dalam tiap gram ekstrak. Pelarutan sinapic acid dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan air, tween 80 sebanyak 0,25% dari volume model minuman akhir kemudian dipanaskan sampai sinapic acid larut. Model minuman ringan dibuat dengan melarutkan gula pasir, larutan ekstrak secang dengan konsentrasi tertentu, larutan sinapic acid dan air tanpa penambahan asam apapun karena menggambarkan minuman dengan ph netral. Agar ph minuman yang terbentuk seragam, maka ditambahkan NaHCO 3 untuk menaikkan ph menjadi netral. Selanjutnya dibuat model minuman dengan menambahkan air sampai konsentrasi gula mencapai 10% dan konsentrasi pewarna secang dan sinapic acid sesuai dengan perbandingan yang diinginkan. Selain dibuat model minuman dengan kopigmentasi, dibuat juga model minuman tanpa kopigmentasi sinapic acid sebagai kontrol yang selanjutnya disebut 1:0. 18

33 4. Analisis Stabilitas Model Minuman a. Pengujian Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Pemanasan 1. Stabilitas terhadap Pemanasan Model minuman 1:0 maupun model minuman yang telah dikopigmentasi sinapic acid (perbandingan 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25) dimasukkan ke dalam botol berwarna sebanyak masing-masing 10 ml. Botol-botol tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 40 C, 50ºC, 60ºC, 70ºC, dan 80 C. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap absorbansi model minuman dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 535 nm dan parameter L, a, b dengan menggunakan chromameter. Pengamatan dilakukan setiap 75 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 40ºC, setiap 60 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 50 C, setiap 45 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 60ºC, setiap 30 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 70ºC, dan setiap 15 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 80 C. 2. Stabilitas terhadap Sinar UV Model minuman 1:0 maupun model minuman yang telah dikopigmentasi sinapic acid (perbandingan 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25) dimasukkan ke dalam botol bening sebanyak masing-masing 10 ml. Botol-botol tersebut disusun dalam ruang kaca bertutup berukuran 90 x 60 x 45 cm yang disinari dengan lampu UV berkekuatan 20 Watt. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap absorbansi model minuman dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 535 nm dan parameter L, a, b dengan menggunakan chromameter. Pengamatan stabilitas terhadap UV dilakukan terhadap model minuman yang telah diberi paparan sinar UV dengan waktu kontak 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 jam. 19

34 b. Perhitungan Stabilitas Berdasarkan Retensi Warna Menggunakan Spektrofotometer Pengamatan stabilitas diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis melalui parameter A atau absorbansi pada λ max (535 nm) lalu dibuat kurva retensi warna. Nilai retensi warna menunjukkan jumlah kandungan brazilein yang tersisa di dalam model minuman sesudah atau selama pemanasan. Degradasi warna dapat diestimasi dari persamaan linier kurva yang menghubungkan ln At/Ao (ln retensi) dengan waktu (pemanasan). Pada penelitian ini menggunakan persamaan reaksi ordo 1. Penurunan rumus reaksi ordo satu yang didasarkan konsep integrasi kalkulus maka dihasilkan persamaan: ln C/Co = -kt... (1) Karena dalam penelitian ini menggunakan spektrofotometer sehingga memperoleh nilai absorbansi yang berbanding lurus dengan konsentrasi, maka perhitungan persamaan Arrhenius menggunakan Absorbansi sebagai pengganti nilai C (konsentrasi). Persamaannya akan menjadi sebagai berikut: -ln (A/Ao) = kt + I... (2) Dalam penelitian ini diperoleh persamaan seperti di atas dengan memplotkan nilai ln (A/Ao) atau ln retensi warna dengan waktu dalam menit. Persamaannya memiliki nilai intersep (dilambangkan dengan I) yang akan berpengaruh pada nilai waktu paruh (t 1/2 ). Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan suatu zat bereaksi hingga diperoleh konsentrasi setengah konsentrasi awal. Pada penelitian ini yang dimaksud waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan agar mencapai retensi warna 50% (degradasi brazilein yang ditunjukkan oleh retensi warna). Waktu paruh diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: Ln (A/Ao) = -kt + I Ln ( 1/2 / 1 ) = -k(t 1/2 ) + I k(t 1/2 ) = I - ln (1/2) 20

35 k(t 1/2 ) = I - (ln 1- ln 2) k(t 1/2 ) = I - (0 ln 2) k(t 1/2 ) = I + ln 2 t 1/2 = (I + ln 2)... (3) k c. Pengamatan Kualitas Warna yang Diukur Menggunakan Chromameter Pengamatan kualitas warna dengan Chromameter CIE Lab Minolta CR 310 dilakukan pada model minuman 1:0, 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, dan 1:25 yang dipanaskan pada suhu 40, 50, 60, 70, 80 o C setiap waktu tertentu. Parameter yang diamati adalah nilai L (kecerahan), a (merah hijau), dan b (kuning biru), C, hue, dan E. C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu sampel yang dihitung dengan rumus a 2 +b 2. Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna objek ke dalam diagram warna Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b dan a atau hue = (arctan (b/a)) sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Dengan memasukkan derajat hue ke dalam diagram warna (peta warna kromasitas Munsell) maka dapat ditentukan secara objektif apakah sampel tersebut berwarna merah, hijau, dsb. Gambar 8. Peta Warna Kromasitas Munsell Dalam peta warna kromasitas tersebut terdapat pembagian wilayah-wilayah warna seperti pada Tabel 1. Peta warna kromasitas 21

36 tersebut diinterpretasikan berdasarkan warna yang terlihat pada setiap derajat nilai huenya, dimana setiap derajat nilai hue tertentu akan memiliki warna tertentu. Tabel 1. Interpretasi warna hue pada peta warna kromasitas Munsell Nilai o hue Daerah Kisaran Warna 342 o -18 o Red Purple 18 o -54 o Red 54 o -90 o Yellow Red 90 o -126 o Yellow 126 o -162 o Yellow Green 162 o -198 o Green 198 o -234 o Blue Green 234 o -270 o Blue 270 o -306 o Blue Purple 306 o -342 o Purple Nilai E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai E menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan semakin besar (Hutching, 1999). E dihitung dengan rumus L 2 + a 2 + b 2. 22

37 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Ekstrak Secang Ekstraksi adalah proses penarikan komponen zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standard baku yang diinginkan (Hariyati, 2005). Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, serta kelarutan dalam pelarut yang diinginkan. Struksur kimia akan mempengaruhi kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang akan digunakan. Ekstraksi dilakukan untuk mempermudah analisis senyawa yang diinginkan karena lebih ringan dalam hal bobot, lebih mudah dalam penyimpanan, dan bersifat murni atau tidak tercampur dengan komponen yang lain. Brazilin dan brazilein termasuk ke dalam senyawa flavonoid (Suradikusumah, 1989). Flavonoid dalam jaringan tanaman dapat diekstrak dengan menggunakan air, metanol, dan etanol (Suradikusumah, 1989). Ekstraksi brazilein dari kayu secang biasa dilakukan menggunakan pelarut metanol. Namun karena pertimbangan toksisitas metanol maka penggunaan etanol menjadi pilihan terbaik untuk mendapatkan rendemen yang tinggi. Penggunaan etanol sebagai pelarut dalam ekstraksi brazilein kayu secang dilakukan oleh Min et al. (2006). Penggunaan metode ekstraksi pada penelitian ini dilakukan atas dasar penelitian penelitian yang dilakukan sebelumnya. Seperti yang dilakukan Kristie (2008), metode ekstraksi secang menggunakan pelarut etanol 50% dan pemanasan pada suhu 80 o C selama 30 menit adalah metode yang cukup efektif untuk memperoleh ekstrak brazilein dari kayu secang dengan warna merah yang cerah. Larutan ekstrak brazilein dalam etanol 50% memiliki warna kuning kemerahan karena etanol bersifat asam dengan ph sekitar 5.5. Komponen yang terdapat dalam larutan ekstrak tersebut antara lain adalah 23

38 brazilin dan brazilein. Penguapan pelarut dilakukan dengan menggunakan vacuum evaporator pada suhu 50 o C. Penggunaan vacuum evaporator memiliki tujuan untuk mencegah kerusakan terhadap komponen-komponennya, terutama komponen brazilein. Setelah larutan ekstrak tersebut mengering, didapatkan ekstrak serbuk secang yang berwarna merah kecoklatan, warna merah akibat dari komponen utama yang terdapat pada ekstrak adalah brazilein yang merupakan pigmen berwarna merah. Gambar 9 menunjukkan penampakan secara visual ekstrak secang menggunakan pelarut etanol 50%. Gambar 9. Ekstrak secang bubuk Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel berdasarkan berat basah. Rendemen secang yang diperoleh dari ekstraksi secang dalam penelitian ini adalah sebesar 9.24%. Jumlah tersebut tergolong lebih besar dibandingkan dengan ekstraksi secang yang pernah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi karena banyaknya padatan yang masih lolos kertas saring Whatman nomor 1 sehingga menambah bobot ekstrak. Jadi hal tersebut menyebabkan total padatan yang terkandung pada ekstrak secang lebih banyak. Dalam ekstrak secang tersebut diperkirakan terdapat resin kayu yang tidak dapat larut dalam air. Sehingga dalam melakukan ekstraksi kayu secang, sebelum dilakukan penyaringan dengan kertas Whatman no.1 sebaiknya dilakukan sentrifugasi terlebih dahulu untuk mengurangi padatan yang tidak larut tersebut, selain itu sebaiknya dicoba untuk menggunakan kertas saring dengan ukuran pori lebih kecil. B. Karakteristik Ekstrak Secang Karakteristik yang diukur meliputi kadar air dan total brazilein. Kadar air ekstrak dianalisis karena merupakan parameter yang penting dalam 24

39 penyimpanan. Sedangkan analisis total brazilein dalam ekstrak dilakukan untuk mengetahui jumlah brazilein yang terdapat dalam ekstrak. Data ini diperlukan untuk menghitung nilai molar larutan yang dapat dibuat dalam kopigmentasi dengan sinapic acid. Data hasil karakterisasi ekstrak secang terlihat pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Hasil karakterisasi ekstrak secang Karakter Ekstrak Secang Nilai Kadar Air (bb) 8.30% Total Brazilein g/g Berdasarkan data yang diperoleh seperti yang tampak pada Tabel 2, kadar air serbuk ekstrak secang adalah 8.30% (bb). Ekstrak secang bubuk disimpan dalam suhu refrigerator untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. Kadar air ekstrak secang tersebut masih sesuai dengan standard ekstrak tumbuhan yaitu di bawah 10% karena menghindari dari pertumbuhan jamur (Soetarno dan Soediro, 1997). Pengukuran Total Brazilein menggunakan kurva standard dengan metode spektrofotometri yang dibuat dari larutan stok brazilein hasil pemurnian ekstrak secang dengan metode HPLC. Gambar 10 adalah gambar kurva standard brazilein yang memiliki kelinieran dan persamaan y = 0.662x Gambar 10. Kurva standard brazilein 25

40 Total brazilein ekstrak secang adalah g/g, diperoleh dari pengukuran absorbansi sampel dan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva standard tersebut. Yang dan Choi (2007) mengatakan bahwa produksi massa dari brazilein murni dengan rendemen yang tinggi sekitar 8% brazilein mungkin dilakukan dengan metode ekstraksi konvensional seperti yang dilakukan oleh Kim et al. (1997) dengan membuat larutan ekstrak kristal secang yang dibiarkan pada suhu ruang selama satu bulan. Brazilein yang merupakan hasil oksidasi brazilin akan semakin bertambah jumlahnya apabila ekstrak kayu secang diekspos oleh udara dan cahaya (Oliveira, 2002). Pada penelitian ini, rendemen brazilein murni adalah 3.67% dari kayu secang, yang dihitung dengan mengalikan total brazilein per gram ekstrak dengan jumlah ekstrak yang diperoleh kemudian dibagi dengan berat kayu secang yang diekstrak. Metode ekstraksi yang berbeda akan menyebabkan jumlah brazilein yang terekstrak juga berbeda sehingga akan mempengaruhi total brazilein yang diperoleh. Komponen lain yang terdapat pada ekstrak secang bubuk adalah brazilin, tanin, resin, asam galat, resorsin, saponin, fitosterol, dan air (Heyne, 1987). C. Pengaruh Kopigmentasi dengan Sinapic Acid terhadap Stabilitas Pemanasan Pengujian pengaruh pemanasan terhadap stabilitas model minuman dilakukan dengan memanaskan model minuman dalam botol berwarna pada suhu , 60, 70, dan 80 o C. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan waterbath karena suhu dapat dikontrol dan merata ke seluruh bagian sampel serta mudah dalam pengambilan sampel. Absorbansi sampel diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis Spectronic 20D. Panjang gelombang maksimum model minuman adalah 535 nm yaitu panjang gelombang untuk kisaran warna merah yang dicari dengan melakukan pengukuran serapan maksimum model minuman. Warna model minuman yang dihasilkan berbeda dengan warna yang dihasilkan saat analisis total brazilein. Pada saat analisis total brazilein dengan pelarut etanol 95%, warna yang dihasilkan adalah kuning oranye dan memiliki serapan panjang gelombang maksimum 445 nm. Menurut Oliveira (2002), brazilein 26

41 mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 445 nm dengan pelarut etanol. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum brazilein dengan pelarut etanol dengan menggunakan spektrofotometer (Lampiran 6). Untuk keperluan analisis stabilitas model minuman diperlukan penggunaan panjang gelombang yang tepat pada alat spektrofotometer. Hasil scanning pada model minuman menunjukkan adanya pergeseran serapan panjang gelombang maksimum pada 535 nm karena model minuman yang ber-ph netral mempunyai warna visual merah (Lampiran 7). 1. Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Spektrofotometer Model minuman yang diamati meliputi 1:0 (kontrol); 1:5; 1:10; 1:15; 1:20; 1:25 yang memiliki ph berkisar antara serta berwarna merah. Asen (1976) mengatakan bahwa pada kopigmentasi antosianin sebaiknya konsentrasi antosianin yang dikopigmentasi lebih dari 3.5 x 10-5 M agar pengamatan terjadinya kopigmentasi menjadi lebih mudah. Oleh karena itu pada penelitian kali ini menggunakan konsentrasi brazilein sebesar 1.8 x 10-4 M agar pengamatan perubahan warna akibat kopigmentasi juga semakin mudah dilakukan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer sehingga diperoleh data absorbansi setiap waktu pengamatan. Pada penelitian ini, sebelum dipanaskan, model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid mempunyai nilai absorbansi yang semakin rendah dengan semakin banyaknya konsentrasi sinapic acid yang diberikan, hal ini diakibatkan oleh sinapic acid yang bersifat asam dimana pada suasana alkalin bentuk dari sinapic acid ester akan berwarna oranye (Velasco et al.,1998). Dari data absorbansi tersebut kemudian diperoleh nilai retensi tiap waktu dari masing masing sampel yang dihitung dengan rumus A/Ao Gambar 11). Nilai retensi warna menggambarkan sisa kehilangan warna akibat proses pemanasan yang dilakukan pada model minuman. Penggunaan nilai retensi warna dapat menggambarkan perbandingan pada berbagai 27

42 perlakuan model minuman dan dapat menghindarkan bias akibat adanya perbedaan nilai absorbansi awal. Gambar 11. Kurva hubungan retensi absorbansi model minuman dan waktu pengamatan pada berbagai suhu Berdasarkan kurva retensi warna (Gambar 11), secara umum nilai retensi warna model minuman cenderung naik pada awal pemanasan kemudian menurun dari waktu ke waktu. Namun kenaikan nilai retensi pada awal pemanasan tidak terjadi pada model minuman 1:0 (tidak dikopigmentasi dengan sinapic acid atau kontrol) hal ini terjadi karena ada efek kopigmentasi. Penambahan sinapic acid akan menaikkan nilai absorbansi pada awal pemanasan dan kemudian akan lebih melindungi brazilein dari reaksi degradasi oleh panas. Mekanisme degradasi masih belum diketahui secara jelas karena belum ada penelitian tentang degradasi 28

43 brazilein. Jika dilihat dari nilai retensi warnanya, model minuman 1:0 (kontrol) memiliki nilai retensi warna yang lebih rendah dibandingkan model minuman yang dikopigmentasi. Kenaikan nilai retensi pada awal pemanasan semakin tinggi dengan semakin banyaknya konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Penurunan nilai retensi warna juga semakin besar dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan yang ditunjukkan dengan semakin curamnya kurva nilai retensi karena reaksi kerusakan brazilein akan lebih cepat dengan peningkatan suhu pemanasan. Penampakan kurva terlihat berbeda pada model minuman yang dipanaskan pada suhu 80 o C, yaitu kenaikan nilai retensi warna pada awal pemanasan yang tidak menunjukkan pola yang jelas. Pemanasan pada suhu yang tinggi cenderung menyebabkan brazilein, sinapic acid, dan komponen lain yang terdapat dalam model minuman tidak stabil sehingga kecenderungan yang terjadi menjadi sulit dibaca. Pemanasan dengan suhu 50 dan 70 o C pada model minuman perbandingan brazilein- sinapic acid 1:25 mengalami kenaikan nilai retensi yang tajam pada awal pemanasan. Penambahan NaHCO 3 pada penelitian ini berfungsi sebagai buffer. Namun NaHCO 3 kurang begitu tahan terhadap panas, karena pada suhu yang tinggi atau dalam waktu pemanasan yang lama NaHCO 3 akan terurai menjadi senyawa lain dan tidak bisa berfungsi sebagai buffer ph netral lagi. Hal ini mempengaruhi kestabilan model minuman pada pemanasan dengan suhu tinggi. Seperti pada pembuatan roti, pada suhu yang tinggi NaHCO 3 akan terurai menjadi Na dan CO 2. Pada penelitian ini masih perlu dikaji senyawa apa yang mungkin terbentuk dari kopigmentasi brazilein tersebut, mengingat ingredien yang bercampur di dalam model minuman seperti gula, NaHCO 3, tween 80 serta air memiliki mekanisme masing-masing terhadap panas. Pada antosianin, kopigmentasi dipengaruhi oleh konsentrasi kopigmen, yakni semakin tinggi konsentrasi kopigmen yang diberikan maka efek kopigmentasi akan semakin terlihat (Rein et al., 2005). Hal tersebut juga mungkin terjadi pada kopigmentasi brazilein dengan sinapic acid yang dibuktikan dengan data di atas. Kopigmentasi pada antosianin juga 29

44 dipengaruhi oleh temperatur, yakni semakin tinggi temperatur maka akan semakin menutupi efek kopigmentasi (Bakowska et al., 2003; Rein et al., 2005). Struktur molekul brazilein dan antosianin yang sama-sama merupakan golongan flavonoid kemungkinan memiliki kecenderungan yang sama terhadap efek kopigmentasi. Kinetika kimia digunakan untuk membandingkan kinetika degradasi dari masing-masing model minuman baik 1:0 maupun model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid. Kinetika kimia biasa digunakan untuk mengetahui proses, formula, dan fortifikasi yang paling optimum dalam produk pangan serta untuk meminimalisir terjadinya kerusakan atau perubahan penampakan dalam produk pangan ( Heldman dan Lund, 2007). Kinetika kimia adalah suatu ilmu yang membahas tentang laju (kecepatan) dan mekanisme reaksi. Berdasarkan penelitian yang mula mula dilakukan oleh Wilhelmy terhadap kecepatan inversi sukrosa, ternyata kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi / tekanan zat zat yang bereaksi. Pada penelitian ini juga menggunakan kinetika kimia untuk mengetahui stabilitas model minuman sebelum dan setelah dikopigmentasi dengan sinapic acid dengan berbagai konsentrasi penambahan sinapic acid. Dengan demikian dapat diketahui laju reaksi degradasi warna dari model minuman. Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi atau tekanan dari produk atau reaktan terhadap waktu. Kinetika kimia suatu reaksi dapat menggambarkan perilaku terjadinya suatu reaksi dalam pangan. Reaksi kimia atau bisa disebut mekanisme reaksi dapat terjadi melalui satu tahap atau dapat pula terjadi dalam beberapa tahap seperti yang biasa terjadi pada suatu sistem pangan. Sebagian besar reaksi yang terjadi di dalam sistem pangan mengikuti reaksi ordo satu (Heldman dan Lund, 2007). Dalam penelitian ini menggunakan kinetika reaksi ordo 1 karena sebagian besar penelitian kinetika kimia pada pigmen juga menggunakan kinetika reaksi ordo 1 (Heldman dan Lund, 2007). Pada penelitian ini, pengamatan kinetika reaksi dimulai pada waktu setelah tidak terjadi kenaikan nilai retensi warna atau dimulai pada waktu 30

45 degradasi warna mulai terjadi yang ditandai dengan menurunnya retensi warna. Dari kurva hubungan nilai ln At/Ao dengan waktu (Gambar 12) diperoleh nilai k yang menunjukkan kecepatan reaksi terjadi. Persamaan linier yang diperoleh merupakan fungsi ln. Sehingga slope atau kemiringan yang diperoleh merupakan minus nilai k dari setiap sampel pada suhu tertentu. Gambar 12. Kurva hubungan nilai ln retensi absorbansi model minuman dan waktu pengamatan pada berbagai suhu Persamaan linier dari kurva nilai ln retensi tersebut juga menunjukkan pada ordo reaksi yang keberapa reaksi suatu sistem tersebut berlangsung. Apabila kelinieran (nilai R 2 menunjukkan derajat kelinieran kurva) semakin mendekati nilai 1 maka kelinieran kurva semakin besar. 31

46 Kelinieran yang sangat tinggi maka memang benar bahwa reaksi tersebut berlangsung mengikuti ordo 1. Pada kurva hubungan ln retensi dan waktu terlihat bahwa kurva memiliki kelinieran yang tinggi (Lampiran 11). Hal ini semakin memperkuat bahwa laju reaksi degradasi brazilein mengikuti mekanisme reaksi ordo 1. Berdasarkan kurva nilai ln retensi dan waktu di atas, terlihat bahwa semakin tinggi suhu pemanasan kurva semakin curam sehingga nilai k semakin besar. Dari kurva diatas maka diperoleh nilai k yang perbandingannya disajikan dalam Gambar 13. Gambar 13. Diagram hubungan nilai k rata-rata dari berbagai model minuman dengan pemanasan pada berbagai suhu Berdasarkan Gambar 13 di atas secara umum terlihat bahwa semakin besar suhu pemanasan semakin besar pula nilai k yang ditandai dengan semakin curamnya kurva ln retensi warna. Nilai k merupakan konstanta laju suatu reaksi, semakin tinggi nilai k maka semakin cepat suatu reaksi terjadi (dalam penelitian ini adalah reaksi degradasi brazilein warna merah). 32

47 Pada pemanasan suhu yang rendah seperti suhu 40 o C, semakin banyak penambahan sinapic acid nilai k semakin rendah yang berarti degradasi brazilein semakin rendah karena adanya efek kopigmentasi. Pada suhu 50 o C, pemberian sinapic acid dengan konsentrasi yang lebih tinggi tidak memberikan pengaruh yang signifikan hal ini tampak pada nilai k yang tidak berbeda pada model minuman 1:5, 1:20, dan 1:25. Pada model minuman dengan pemanasan suhu 60 o C pemberian sinapic acid dengan konsentrasi perbandingan 1:10, 1:15, 1:20, 1:25 tidak memberikan perbedaan yang jauh. Pada pemanasan dengan suhu 70 o C menunjukkan bahwa dengan pemberian konsentrasi perbandingan 1:20 nilai k terlihat paling rendah. Pada pemanasan suhu 80 o C nilai k model minuman 1:0 lebih kecil daripada model minuman yang dipanaskan pada suhu 70 o C, hal ini terjadi karena pada suhu 80 o C kestabilan brazilein rendah dan mungkin telah ada reaksi dengan komponen-komponen lain. Selain itu, pada suhu 80 o C kecenderungan tidak memperlihatkan pola yang jelas karena ketidakstabilan tersebut. Penambahan sinapic acid sebagai kopigmen dapat memperkecil nilai k model minuman pada pemanasan suhu rendah yaitu 40, 50, dan 60 o C, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi seperti suhu 70 dan 80 o C pola nilai k yang terbentuk kurang begitu jelas. Pada suhu 70 o C, pola nilai k yang terbentuk antar model minuman sudah menampakkan pola yang kurang begitu jelas ditunjukkan dengan kenaikan nilai k model minuman 1:25 melebihi nilai k pada model minuman 1:20 dan 1:15. Apalagi pada suhu 80 o C, pemberian sinapic acid malah memperbesar nilai k melebihi nilai k model minuman 1:0. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan sinapic acid pada model minuman dapat memperkecil laju degradasi brazilein apabila dipanaskan pada suhu yang rendah. Menurut Wilska dan Korzhukowska (1996), peningkatan suhu akan menutupi efek kopigmentasi. Dalam penelitian ini efek kopigmentasi juga teramati paling baik pada pemanasan suhu rendah. Pengamatan stabilitas warna model minuman selain menggunakan nilai k dapat juga dilakukan dengan membandingkan waktu paruh (t 1/2 ). 33

48 Waktu paruh (t 1/2 ) adalah waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi reaktan tinggal separuhnya. Pada reaksi orde satu, waktu paruh dinyatakan sebagai k=0.693/t 1/2 untuk reaksi yang intersepnya nol. Pada penelitian ini karena intersep mempengaruhi waktu paruh maka t 1/2 = (I + ln 2)/k. Hal ini didasarkan pada kurva ln retensi pada Gambar 12 dimana semakin tinggi konsentrasi sinapic acid kurva yang terbentuk semakin bergeser ke atas sehingga akan mempengaruhi waktu paruh. Semakin tinggi intersep kurva juga akan semakin memperbesar waktu paruhnya. Waktu paruh model minuman dengan pemanasan diperlihatkan pada Gambar 14 dan Lampiran 11. Gambar 14. Diagram hubungan waktu paruh dari berbagai model minuman dengan pemanasan pada berbagai suhu Berdasarkan Gambar 14 di atas, terlihat bahwa semakin tinggi suhu pemanasan waktu paruh semakin kecil yang artinya brazilein semakin cepat terdegradasi dengan semakin tingginya suhu pemanasan. Penambahan sinapic acid sebagai kopigmen semakin meningkatkan waktu paruhnya, yang artinya dengan penambahan sinapic acid akan semakin meningkatkan kestabilan degradasi brazilein terhadap pemanasan. Semakin tinggi konsentrasi sinapic acid yang ditambahkan semakin memperbesar waktu paruh degradasi brazilein. Pada suhu 80 o C waktu paruh model minuman 1:0 34

49 lebih tinggi daripada model minuman 1:5 dan model minuman 1:25 waktu paruhnya lebh rendah daripada model minuman 1:20, hal ini diakibatkan karena model minuman yang tidak stabil pada pemanasan suhu yang tinggi. Pengamatan dengan spektrofotometer diperkuat oleh pengamatan model minuman secara visual. Penampakan sampel secara visual kurang lebih tampak seperti dalam foto yang dapat memperkuat data absorbansi dimana pada awal pemanasan terjadi peningkatan serapan terhadap warna merah. Foto sampel dengan pemanasan pada suhu 40 o C menunjukkan bahwa setelah dipanaskan pada awal pemanasan sampel akan berubah menjadi lebih merah. Namun setelah pemanasan berlanjut terus warna merah semakin berubah menjadi kuning. Model minuman 1:0 tampak lebih pudar daripada model minuman yang dikopigmentasi pada pengamatan menit ke :0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 1:0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 1:0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 0 menit 75 menit 525 menit Gambar 15. Gambar model minuman dengan pemanasan suhu 40 o C Fenomena yang sama juga terjadi pada model-model minuman yang dipanaskan pada suhu 50, 60, 70, dan 80 o C, walaupun pada suhu yang lebih tinggi perubahan warna lebih cepat terjadi. 2. Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Chromameter yang Chromameter adalah alat yang digunakan untuk mengukur warna terpantul dari permukaan sampel secara tristimulus. Data chromameter yang diperoleh adalah nilai L, a, dan b. Nilai L atau lightness menunjukkan kecerahan sampel yang mempunyai nilai 0 sampei 100. Nilai L semakin besar menandakan kecerahan sampel semakin meningkat. Nilai a menunjukkan nilai derajat warna merah-hijau. Nilai a semakin positif 35

50 menunjukkan warna merah dan negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki nilai dari -80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat warna kuning biru yang memiliki nilai dari -70 sampai 70. Nilai b positif menunjukkan warna kuning, sedangkan nilai b yang negatif menunjukkan warna semakin biru. Peta warna kromasitas menggambarkan warna yang dinyatakan dalam nilai a dan b. Pengamatan Stabilitas warna model minuman dengan chromameter dilakukan dengan membandingkan nilai L, a, b, C, hue, dan E. Perbandingan nilai L pada sampel dengan berbagai konsentrasi kopigmen dan suhu pemanasan disajikan pada gambar kurva di bawah ini: Gambar 16. Kurva nilai L chromameter model minuman dengan pemanasan 36

51 Berdasarkan data chromameter seperti yang tampak pada Gambar 16 menunjukkan bahwa secara umum nilai L semakin naik seiring dengan waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan, kurva yang terbentuk semakin curam yang artinya kecerahan semakin cepat meningkat. Kenaikan yang terjadi tidak terlalu signifikan terutama pada model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid, hal ini ditunjukkan dengan kecilnya nilai L yang hanya berkisar antara L pada model minuman yang dikopigmentasi lebih kecil daripada model minuman yang tidak dikopigmentasi (1:0 atau kontrol). Naiknya nilai L menunjukkan bahwa warna menjadi semakin pudar dengan terjadinya peningkatan kecerahan warna model minuman. Derajat kecerahan paling besar (L) terjadi pada model minuman 1:0. Hal ini menunjukkan bahwa kopigmentasi brazilein dengan sinapic acid akan menurunkan nilai kecerahan pada model minuman. Selain pengamatan dengan menggunakan nilai L, pengamatan dengan chromameter juga disajikan dalam bentuk nilai a. Nilai a merupakan derajat warna merah sampel. Semakin tinggi nilai a maka semakin tinggi derajat kemerahan, semakin rendah nilai a maka derajat hijau semakin tinggi. a merupakan perubahan nilai a dari awal hingga akhir pemanasan. Pada Gambar 17 terlihat bahwa secara umum nilai a pada model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid lebih tinggi daripada model minuman 1:0. Seiring dengan waktu pemanasan, nilai a semakin menurun. Terjadinya penurunan warna merah akibat adanya degradasi brazilein menjadi senyawa yang tidak berwarna merah karena pemanasan akan semakin menurun dengan adanya sinapic acid. Hal ini menunjukkan terjadinya efek kopigmentasi yang akan meningkatkan intensitas warna merah pada sampel (hiperkromik). Intensitas warna merah bertambah pada sampel yang mengalami kopigmentasi dengan sinapic acid, terutama pada sampel yang perbandingan sinapic acid dan brazilein 1:5. 37

52 Gambar 17. Kurva nilai a chromameter model minuman dengan pemanasan Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa peningkatan intensitas warna merah tidak berbanding lurus dengan semakin meningkatnya konsentrasi sinapic acid yang ditambahkan. Hal ini karena ada faktor lain yang mempengaruhi reaksi kopigmentasi pada model minuman ini seperti penambahan NaHCO 3 atau kemungkinan adanya efek batokromik model minuman akibat adanya kopigmentasi yang bisa terlihat dari nilai b. Berdasarkan data chromameter nilai b yang ditunjukkan oleh Gambar 18, terlihat bahwa nilai b semakin naik seiring dengan waktu pemanasan. Nilai b menunjukkan derajat kuning biru sampel. Semakin positif (naik) suatu nilai b maka sampel semakin berwarna kuning dan 38

53 sebaliknya bila semakin negatif (menurun) maka sampel semakin berwarna biru. Nilai b semakin cepat meningkat dengan semakin tinggi suhu yang perlakuan. Selain itu nilai b juga semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi kopigmen sinapic acid yang diberikan sehingga dapat dikatakan bahwa nilai b semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Naiknya nilai b tersebut dapat disebabkan karena terbentuknya komponen hasil degradasi brazilein yang berwarna kuning. Peningkatan nilai kuning (nilai b) pada sampel dapat juga disebabkan karena terjadinya reaksi kopigmentasi brazilein dan sinapic acid yang menggeser nilai merah menjadi warna kuning kecoklatan (batokromik). Gambar 18. Kurva nilai b chromameter model minuman dengan pemanasan 39

54 Peningkatan nilai kuning (nilai b) pada sampel selain dapat disebabkan oleh reaksi kopigmentasi brazilein dan sinapic acid yang menggeser nilai merah menjadi warna kuning kecoklatan (batokromik), faktor lain yang disinyalir dapat menyebabkan peningkatan warna kuning adalah reaksi antara komponen-komponen yang terdapat pada model minuman, yaitu gula, tween 80, dan NaHCO 3. Seperti yang dikatakan oleh Woodroof dan Phillips (1981), NaHCO 3 apabila bercampur dengan gula dalam suatu minuman yang dipanaskan akan terbentuk reaksi pencoklatan melalui degradasi gula pereduksi. Hal tersebut juga mempengaruhi perubahan warna menjadi kuning kecoklatan pada model minuman brazilein-sinapic acid. Pengamatan warna dengan melihat nilai L, a, dan b saja kurang begitu bisa memperlihatkan warna yang sesungguhnya, oleh karena itu penampakan warna dengan chromameter akan dilakukan dengan mengolah data a dan b menjadi nilai C, o hue, dan E. C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu sampel yang dihitung dengan rumus a 2 +b 2. Gambar 19 menunjukkan data chroma purity yang memperkuat pengamatan stabilitas model minuman dengan menggunakan spektrofotometer. Parameter chroma purity juga digunakan oleh Adawiyah et al. (2008) untuk menggambarkan stabilitas degradasi brazilein yang dikopigmentasi dengan berbagai asam fenolat. Pada penelitian ini, terjadi perubahan pada parameter warna kromatis a dan b yang ditunjukkan dengan nilai C perubahan nilai C. 40

55 Gambar 19. Kurva nilai C (Chroma purity) model minuman dengan pemanasan Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa setelah pemanasan dalam beberapa waktu, terjadi peningkatan nilai C seiring dengan semakin meningkatnya penambahan konsentrasi sinapic acid. Dengan demikian penambahan sinapic acid akan meningkatkan ketajaman warna kromatis yaitu nilai a dan b nya. Parameter lain yang digunakan untuk melihat stabilitas warna model minuman adalah dengan melihat nilai huenya. Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna objek ke dalam diagram warna Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b dan a sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Berdasarkan data nilai 41

56 o hue (Lampiran 12-17) terlihat bahwa nilai o hue semakin bertambah seiring dengan lamanya waktu pemanasan. Hal ini terjadi pada seluruh model minuman baik 1:0 maupun pada model minuman yang dikopigmentasi. Peningkatan nilai o hue tersebut disebabkan karena adanya degradasi brazilein yang akan merubah warna model minuman. Pada model minuman, pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan nilai hue lebih cepat terjadi. Meningkatnya suhu mempercepat terjadinya reaksi, demikian juga dengan reaksi degradasi brazilein yang akan semakin cepat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Pada pemanasan suhu yang sama 1:0 memiliki nilai o hue yang lebih cepat meningkat. Pada model minuman yang dikopigmentasi dengan perbandingan 1:5 memperlihatkan nilai o hue yang lebih rendah daripada 1:0 dan model minuman kopigmentasi lainnya kecuali pada model minuman 1:5 yang dipanaskan pada suhu 80 o C. Nilai hue dinyatakan dalam suatu derajat hue ( o hue) dimana pada setiap derajat tertentu menyatakan warna visual yang dilihat. Nilai hue tersebut kemudian diubah ke dalam kisaran warna hue yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sebenarnya (Tabel 3). Dari data nilai hue pada Tabel 3, terlihat bahwa seiring dengan pemanasan terjadi pergeseran dari merah ungu (RP) ke merah kuning (YR). Perubahan menjadi warna kekuningan mulai teramati pada pemanasan menit ke-425 suhu 50 o C model minuman 1:10. Pada pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi menunjukkan bahwa perubahan warna menjadi kekuningan semakin cepat terjadi terutama pada model minuman yang dikopigmentasi dengan konsentrasi sinapic acid lebih tinggi. Semakin tinggi suhu pemanasan menyebabkan terjadinya reaksi degradasi brazilein semakin cepat terjadi. Reaksi yang terjadi bisa saja bukan reaksi degradasi namun bisa juga reaksi kopigmentasi antara brazilein dengan sinapic acid sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran warna (efek batokromik). Seiring dengan lamanya pemanasan akan merubah model minuman yang tadinya berwarna merah menjadi berwarna kuning kecoklatan. Perubahan tersebut disinyalir karena adanya degradasi dari 42

57 brazilein menjadi komponen lain, namun belum diketahui secara pasti jenis senyawa hasil degradasi tersebut. Tabel 3. Interpretasi warna hue model minuman dengan pemanasan Suhu ( o C) Waktu 1:00 1:05 1:10 1:15 1:20 1:25 0 RP RP RP RP RP RP RP RP RP RP R R 225 R RP R R R R 375 R RP R R R R 525 R R R R R R 0 RP RP RP RP RP RP 60 R RP RP RP R R 180 RP RP R R R R 300 R R R R R YR 420 R R YR YR YR YR 0 RP RP RP RP RP RP 45 RP RP R R R R 135 R R R YR YR YR 225 YR YR YR YR YR YR 315 YR YR YR YR YR YR 0 RP RP RP RP RP RP 30 RP RP RP R R R 90 R R R YR R YR 150 R YR YR YR YR YR 210 YR YR YR YR YR YR 0 R R R R R R 15 R R YR R YR YR 45 R YR YR YR YR YR 75 R YR YR YR YR YR 105 R YR YR YR YR YR Namun dari data di atas juga terlihat bahwa model minuman yang diberi perlakuan kopigmentasi dengan sinapic acid pada perbandingan 1:5 memiliki warna merah keunguan yang relatif bisa bertahan terhadap perubahan warna selama pemanasan dibandingkan dengan model minuman yang dikopigmentasi dengan konsentrasi sinapic acid lebih besar. Pada 43

58 kopigmentasi dengan konsentrasi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa warna model minuman semakin cepat bergeser ke arah kekuningan. Intensitas warna kuning semakin meningkat seiring dengan meningkatnya waktu pemanasan, dan semakin cepat seiring dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa warna coklat pada model minuman juga dapat disebabkan oleh reaksi pencoklatan NaHCO 3 dengan gula. Pengamatan perubahan warna secara keseluruhan dari model minuman bisa dinyatakan dengan E. Seperti tampak pada Gambar 20 di bawah ini: Gambar 20. Nilai E model minuman dengan pemanasan 44

59 E dicari dengan rumus ( L) 2 +( a) 2 +( b) 2 yang menunjukkan perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai E menunjukkan perubahan warna semakin besar. Perubahan warna atau E semakin besar dan cepat terjadi pada model minuman yang dipanaskan dengan suhu yang semakin tinggi. Pada pemanasan suhu 40 o C model minuman 1:0 memiliki laju perubahan E lebih cepat daripada model minuman yang dikopigmentasi, namun sebaliknya pada suhu-suhu pemanasan yang lebih tinggi justru model minuman yang dikopigmentasi yang mengalami perubahan warna lebih besar. Hal tersebut adalah karena perubahan warna pada model minuman yang dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi terlihat adanya perubahan pada parameter a dan b yang lebih signifikan baik karena adanya pengaruh kopigmentasi (hiperkromik dan batokromik). Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan chromameter, penambahan sinapic acid akan meningkatkan ketajaman warna (C) dari model minuman. Hal ini sesuai dengan pengamatan model minuman dengan menggunakan spektrofotometer yaitu intensitas warna akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi sinapic acid. Dari pengamatan stabilitas warna model minuman menggunakan chromameter juga dapat terlihat adanya pergeseran warna model minuman dari merah menjadi merah kekuningan dan selanjutnya akan menjadi kuning kecoklatan seiring dengan lamanya waktu pemanasan. Perubahan warna dari merah ke kuning akan semakin cepat terjadi dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan dan konsentrasi sinapic acid yang diberikan (efek batokromik). D. Pengaruh Kopigmentasi Dengan Sinapic acid Terhadap Stabilitas Sinar UV Pengujian pengaruh paparan sinar UV terhadap stabilitas model minuman dilakukan dengan memberi paparan sinar UV dengan lampu UV pada model minuman dalam botol bening pada suhu ruang. Sampel ditempatkan di dalam ruang kaca yang ditutup kain gelap agar sinar UV tidak menyebar ke luar. Pengamatan yang dilakukan pada sampel meliputi absorbansi sampel menggunakan spektrofotometer, pengamatan visual 45

60 didokumentasikan dengan melakukan pemotretan setiap waktu pengamatan, dan pengukuran warna menggunakan chromameter. Absorbansi sampel diamati dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D pada panjang gelombang 535nm, yaitu panjang gelombang untuk kisaran warna merah. Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera digital, sedangkan pengukuran data chroma dilakukan dengan menggunakan Chromameter Lab Minolta CR310. Model minuman diamati stabilitasnya menurut parameter absorbansi, nilai L, a, dan b. Pengamatan dilakukan setiap 3 jam sekali dalam jangka waktu 15 jam. Karena setiap 3 jam perubahan warna model minuman sudah terlihat. Setiap 3 jam data yang diambil adalah data absorbansi, foto, dan chromameter. 1. Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Spektrofotometer Pengamatan model minuman dengan paparan sinar UV menunjukkan bahwa penambahan sinapic acid sebagai kopigmen pada model minuman menyebabkan terjadinya kenaikan nilai absorbansi (hiperkromik). Nilai absorbansi yang semakin meningkat dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid. Kenaikan nilai absorbansi paling tinggi terjadi pada model minuman 1:25. Penambahan sinapic acid pada model minuman dapat secara signifikan menaikkan nilai absorbansi (terjadi efek hiperkromik). Namun kenaikan absorbansi tidak tampak berbeda nyata pada perbandingan konsentrasi brazilein-sinapic acid 1:5; 1:10; 1:15; 1:20. Pengamatan model minuman paparan sinar UV dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan dengan menghitung nilai retensi warnanya. Kurva retensi warna model minuman yang tampak pada Gambar 21, menunjukkan bahwa seiring dengan waktu paparan sinar UV menyebabkan retensi warna model minuman semakin menurun. Retensi warna paling kecil terjadi pada model minuman 1:0 (kontrol) dan retensi paling besar terjadi pada model minuman 1:5. Dengan demikian tampak bahwa model minuman dengan kopigmentasi 1:5 adalah paling baik (stabil) karena kurva terlihat paling datar diantara kurva yang lainnya. 46

61 Gambar 21. Kurva nilai retensi (A/Ao) model minuman dengan sinar UV Sepertihalnya dengan model minuman dengan perlakuan pemanasan, model minuman dengan penyinaran sinar UV juga menggunakan kinetika reaksi ordo 1 untuk menggambarkan perilaku degradasi selama penyinaran UV. Dari nilai retensi tersebut diambil nilai ln-nya kemudian diplotkan dengan waktu. Kemiringan kurva linier merupakan nilai minus k dari model minuman. Kelinieran kurva menunjukkan nilai yang besar yaitu berkisar antara yang menunjukkan bahwa kinetika reaksi dengan penyinaran UV pada model minuman mengikuti ordo 1. Gambar 22. Diagram perbandingan nilai k spektrofotometer model minuman dengan sinar UV 47

62 Semakin tinggi nilai k menunjukkan semakin cepat laju degradasi terjadi. Dari Gambar 22 tampak bahwa kopigmentasi dengan brazilein dapat menurunkan nilai k. Namun dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid menyebabkan nilai k semakin naik juga. Kopigmentasi dengan nilai k terendah adalah model minuman 1:5. Gambar 23. Diagram perbandingan waktu paruh spektrofotometer model minuman dengan sinar UV Berbeda dengan model minuman dengan perlakuan pemanasan yang waktu paruh akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi sinapic acid model minuman, Berdasarkan Gambar 23 pada model minuman dengan perlakuan dengan sinar UV waktu paruhnya akan semakin menurun dengan semakin banyaknya konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Model minuman 1:5 memiliki waktu paruh selama jam sedangkan model minuman 1:0 sebesar jam, hal ini menunjukkan adanya peningkatan waktu paruh dengan adanya kopigmentasi. Model minuman 1:5 merupakan model minuman yang paling stabil apabila dilihat dari waktu paruhnya karena model minuman dengan konsentrasi sinapic acid justru memiliki waktu paruh yang lebih kecil. 48

63 2. Pengamatan Stabilitas Model Minuman dengan Menggunakan Chromameter Data Chromameter seperti yang tampak pada Gambar 24 menunjukkan bahwa di bawah sinar UV nilai L cenderung konstan setelah pengamatan 3 jam. Nilai L yang cenderung konstan tersebut menunjukkan bahwa warna kecerahan sampel tidak banyak mengalami perubahan karena paparan sinar UV. Nilai kecerahan 1:0 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kecerahan sampel yang dikopigmentasi dengan sinapic acid. Gambar 24. Kurva nilai L chromameter model minuman dengan paparan sinar UV Data chromameter seperti tampak pada Gambar 25 menunjukkan bahwa dengan perlakuan sinar UV nilai a semakin menurun seiring dengan waktu pengamatan kecuali pada model minuman 1:25 yang nilai a-nya turun kemudian cenderung konstan pada pengamatan setelah menit ke-180. Menurunnya nilai a menunjukkan bahwa semakin berkurangnya derajat warna merah dan menuju kearah kehijauan. Nilai a semakin positif menunjukkan derajat warna merah yang semakin tinggi, semakin negatif nilai a maka derajat warna hijau semakin besar. Terjadinya penurunan warna merah bisa disebabkan karena terdegradasinya brazilein menjadi senyawa yang tidak berwarna merah karena paparan sinar UV atau juga karena pengaruh kompleks brazilein- sinapic acid yang menggeser warna ke arah lain. Untuk mengetahui mekanisme degradasi brazilein karena paparan 49

64 sinar UV juga masih perlu dilakukan lebih lanjut. Intensitas warna merah bertambah pada sampel yang mengalami kopigmentasi dengan sinapic acid, terutama pada sampel yang perbandingan sinapic acid dan brazilein sampai perbandingan 1:5. Pada sampel kopigmentasi dengan perbandingan 1:15 dan 1:20 memiliki nilai a yang tidak jauh berbeda dengan 1:0. Sedangkan pada sampel kopigmentasi dengan perbandingan 1:25 memiliki nilai a yang lebih rendah daripada 1:0. Hal ini menunjukkan terjadinya efek kopigmentasi yang akan meningkatkan intensitas warna merah pada sampel namun hanya sampai pada perbandingan 1:10 yang masih menunjukkan warna merah yang baik. Faktor lain yang dapat mempengaruhi reaksi kopigmentasi pada model minuman ini adalah seperti penambahan NaHCO 3 yang dapat terjadi reaksi pencoklatan dengan gula. Gambar 25. Kurva nilai a chromameter model minuman dengan paparan sinar UV Data chromameter seperti tampak pada Gambar 26 menunjukkan bahwa dengan perlakuan sinar UV nilai b cenderung konstan seiring dengan waktu pengamatan. Namun terjadi peningkatan nilai b dengan semakin meningkatnya konsentrasi kopigmen sinapic acid yang diberikan. Peningkatan nilai kuning (nilai b) pada sampel disebabkan karena terjadinya reaksi kopigmentasi brazilein dan sinapic acid yang menggeser nilai merah menjadi warna kuning kecoklatan. Hal ini dapat disimpulkan karena nilai b 50

65 semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Gambar 26. Kurva nilai b chromameter model minuman dengan paparan sinar UV Pengamatan warna dengan melihat nilai L, a, dan b saja kurang begitu bisa memperlihatkan warna yang sesungguhnya, oleh karena itu penampakan warna dengan chromameter akan dilakukan dengan mengolah data a dan b menjadi nilai o hue dan E. Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna objek ke dalam diagram warna Lab. Hue adalah invers tangen perbandingan b dan a sehingga yang diperoleh adalah sudut dari diagram warna. Hue merupakan besaran yang menentukan warna disebut merah, hijau, dsb. Nilai hue tersebut kemudian diubah ke dalam kisaran warna hue yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sebenarnya. Dari data interpretasi derajat hue terlihat bahwa seiring dengan paparan sinar UV tidak terjadi perubahan warna. Pada model minuman 1:0 dan 1:5 terjadi perubahan dari RP menjadi R. Sedangkan mulai pada model minuman 1:15 tampak adanya pergeseran warna menjadi yellow-red (batokromik). Efek batokromik semakin terlihat dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid. 51

66 Tabel 4. Interpretasi warna hue model minuman dengan paparan sinar UV Waktu 1:00 1:05 1:10 1:15 1:20 1:25 0 RP RP RP R R YR 180 RP RP R R R YR 540 R R R YR YR YR 900 R R R YR YR YR Terlihat bahwa kisaran warna hue tersebut, pada sampel yang diberi perlakuan kopigmentasi dengan sinapic acid pada perbandingan 1:0 dan 1:5 memiliki warna merah keunguan yang relatif bisa bertahan terhadap perubahan warna selama pemaparan dengan sinar UV. Berdasarkan data chromameter tersebut kopigmentasi dengan konsentrasi 1:10; 1:15; 1:20; dan 1:25 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi kopigmen yang ditambahkan warna model minuman semakin cepat menjadi kuning yang ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai o hue (Lampiran 21). Penampakan visual ditunjukkan oleh gambar model minuman dalam foto. Dari kiri ke kanan pada tiap-tiap foto adalah model minuman 1:0, 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, dan 1:25. Pada gambar tampak bahwa model minuman dengan kopigmentasi memiliki intensitas warna merah yang lebih baik daripada 1:0 setelah diberi paparan dengan sinar UV selama 15 jam. 1:0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 1:0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 1:0 1:5 1:10 1:15 1:20 1:25 0 menit 6 jam 15 jam Gambar 27. Gambar model minuman dengan paparan sinar UV Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa setelah sterilisasi dilakukan (0 menit) model minuman 1:0 memiliki kecerahan yang lebih 52

67 rendah bila dibandingkan dengan model minuman yang dikopigmentasi. Setelah paparan sinar UV, kecerahan sampel semakin meningkat dan warna merah sampel juga semakin pudar. Hal ini sesuai dengan pengamatan parameter warna dengan chromameter. Namun dari foto tersebut perbedaan warna antara model minuman yang dikopigmentasi kurang begitu bisa terlihat. Gambar 28. Nilai E model minuman dengan paparan sinar UV Perubahan warna secara keseluruhan ditampilkan dalam Gambar 28. Dari waktu ke waktu warna mengalami perubahan. Pada akhir pengamatan, perubahan warna paling besar terjadi pada model minuman 1:20. Model minuman 1:25 sebenarnya juga mengalami perubahan yang signifikan pada pengamatan menit ke 180, namun kemudian turun pada pengamatan selanjutnya sehingga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan warna semakin besar terjadi dengan semakin banyak konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Penyinaran dengan sinar UV juga diduga dapat mempengaruhi reaksi kopigmentasi, selain itu reaksi-reaksi radikal dapat terjadi selama penyinaran dengan sinar UV. Menurut Marcovic et al. (2005), kopigmentasi sinapic acid dengan malvin efektif terjadi pada ph 3,6. Pada ph tersebut terdapat kemiripan struktur antara antosianin dengan brazilein yaitu sama-sama terdapat dua cincin aromatik dan pirone. Perbedaannya adalah pada brazilein terdapat cincin yang terdiri dari 5 atom karbon. Sehingga kemungkinan reaksi kopigmentasi pada brazilein-sinapic acid sama atau paling tidak mirip 53

68 dengan reaksi kopigmentasi antosianin yaitu mengikuti mekanisme intermolecular copigmentation. Sejauh ini belum banyak penelitian mengenai reaksi kopigmentasi pada brazilein. Penelitian yang sudah dilakukan oleh Wongsookin (2008) menyatakan bahwa pembentukan kompleks antara brazilein dan alum (Al(III)) dapat menyebabkan efek batokromik dari spektrum absorbsi maksimum 446 nm menjadi 509 nm. Dengan meningkatnya konsentrasi alum maka kesensitifitasan efek batokromik semakin terlihat. Pada penelitian yang dilakukan Wongsookin (2008) tersebut terjadi kopigmentasi dengan mekanisme metal complexation diamana ion aluminium dapat saling berbagi elektron dengan atom oksigen pada gugus karbonil brazilein yang tampak pada Gambar 29. Gambar 29. Metal complexation brazilein dengan Al(III) (Wongsookin, 2008) Mekanisme kopigmentasi antara brazilein dengan sinapic acid mesih belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan adalah karena terbentuknya kompleks lemah antara brazilein dan sinapic acid seperti pada mekanisme kopigmentasi intramolekular pada antosianin (Gambar 30). Gambar 30. Kopigmentasi intermolekular antosianin (Rein, 2005) 54

69 Fenomena kopigmentasi intermolekul terjadi karena adanya pembentukan komplek yang lemah (Robinson dan Robinson, 1931). Selanjutnya kopigmentasi intermolekul didefinisikan sebagai interaksi antara antosianin yang berwarna dengan kopigmen yang tidak berwarna, dimana tidak terjadi ikatan kovalen pada molekul antosianin (Brouillard, 1983). Pada brazilein dan sinapic acid kemungkinan kopigmentasi akan terjadi seperti ilustrasi Gambar 31. Gambar 31. Ilustrasi kemungkinan kopigmentasi intermolekular brazileinsinapic acid Mekanisme yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, perlu adanya penelitian empirik yang valid. Sinapic acid adalah asam fenolik yang sensitif terhadap sinar ultraviolet B dan dapat menjadi komponen screening terhadap sinar UV (Bohm, 1998). Sinar ultraviolet diklasifikasikan ke dalam 3 jenis berdasarkan panjang gelombangnya, yaitu: UV A ( nm), UV B ( nm), dan UV C (<280nm). Sinar UV A adalah sinar yang paling banyak sampai ke bumi dan selanjutnya disusul oleh UV B. Biasanya sinar UV A dan UV B berperan dalam degradasi warna pada produk pangan. 55

70 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Ekstraksi brazilein dari kayu secang menggunakan etanol 50% menghasilkan serbuk berwarna merah kecoklatan yang apabila dilarutkan dengan air ph netral akan berwarna merah. Ekstrak akan berwarna kuning apabila dilarutkan dengan etanol. Rendemen yang diperoleh dari ekstraksi adalah sebesar 9.24% dengan kadar air sebesar 8.30%. Berdasarkan analisis total brazilein yang dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, diperoleh nilai total brazilein yang terkandung dalam ekstrak secang adalah g/g ekstrak. Kopigmentasi brazilein dengan sinapic acid pada model minuman yang dipanaskan pada suhu 40, 50, 60, 70, dan 80 o C menunjukkan bahwa penambahan sinapic acid pada model minuman dapat meningkatkan retensi warna dengan bertambahnya konsentrasi sinapic acid (efek hiperkromik). Dari nilai k menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suhu pemanasan, degradasi semakin cepat terjadi. Berdasarkan waktu paruh menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sinapic acid maka waktu paruh semakin tinggi yang artinya laju degradasi warna pada model minuman semakin rendah. Pengamatan stabilitas pemanasan kopigmentasi model minuman brazilein dengan sinapic acid menggunakan chromameter menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi sinapic acid yang diberikan menyebabkan warna model minuman memiliki nilai ketajaman warna (C) yang meningkat jika dibandingkan dengan model minuman dengan konsentrasi sinapic acid yang lebih kecil dan warna lebih cepat bergeser menjadi merah kekuningan seiring dengan waktu pemanasan (efek batokromik). Namun apabila dilihat dari parameter hue, pada model minuman yang dikopigmentasi dengan perbandingan 1:5 menunjukkan warna merah yang relatif lebih stabil terhadap pemanasan dibandingkan dengan model minuman yang lainnya. Semakin tinggi suhu pemanasan menyebabkan model minuman semakin cepat mengalami perubahan warna menjadi kekuningan yang mulai teramati pada model minuman 1:10 dengan pemanasan suhu 50 o C. Dari segi perubahan warna secara keseluruhan ( E), model minuman dengan kopigmentasi lebih cepat mengalami perubahan warna karena terjadinya efek hipekromik dan 56

71 batokromik yang menyebabkan adanya perubahan pada warna kromatis a dan b. Pengamatan stabilitas model minuman dengan sinar UV menunjukkan bahwa nilai retensi warna dan waktu paruh terbesar adalah pada model minuman 1:5. Model minuman yang dikopigmentasi dengan sinapic acid menunjukkan adanya pergeseran warna menjadi kekuningan yang mulai teramati pada model minuman 1:15 dengan semakin meningkatnya konsentrasi sinapic acid yang diberikan. Warna kekuningan tersebut muncul setelah dilakukan paparan sinar UV. Kopigmentasi dengan perbandingan molar 1:5 menghasilkan data yang paling baik dari stabilitas warna maupun dari nilai k. Berdasarkan penelitian ini, kopigmentasi optimum brazilein dengan sinapic acid untuk meningkatkan stabilitas warna terhadap pemanasan dan sinar UV adalah dengan perbandingan konsentrasi brazilein:sinapic acid 1:5. Namun, untuk diaplikasikan pada minuman secara komersial, pewarna brazilein dengan kopigmentasi sinapic acid masih kurang begitu aplikatif karena stabilitasnya masih sangat rendah. Kopigmentasi merupakan cara yang cukup berpotensi untuk meningkatkan stabilitas brazilein, perlu dipilih jenis kopigmen yang tidak menimbulkan efek batokromik pada minuman ph netral sehingga tidak terjadi perubahan warna. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang metode analisis total brazilein agar kopigmentasi yang dilakukan tepat menggunakan perbandingan molar. Penggunaan asam sebagai kopigmen justru akan mengubah warna brazilein yang tadinya merah menjadi kuning kembali, maka perlu dicari alternatif lain kopigmen menggunakan bahan yang tidak bersifat asam. Analisis mekanisme degradasi dan komponen hasil degradasi yang terbentuk setelah pemanasan dan penyinaran UV pada brazilein juga sangat perlu dilakukan agar dapat diketahui mekanisme pencegahan degradasi yang paling tepat. Selain itu analisis toksisitas juga perlu dilakukan pada brazilein yang telah mengalami kopimentasi. 57

72 DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D. R., Hanifah L. N., Didah N., Amelia K., Hesti Laporan Akhir Kopigmentasi Brazillein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Dalam Upaya Meningkatkan Spektrum dan Stabilitasnya Sebagai Pewarna Alami Untuk Produk Pangan. LPPM IPB Adawiyah, D. R. and Indriati Color stability of natural pigment from secang woods (Caesalpinia sappan L.). Proceeding of the 8th Asean Food Conference; Hanoi 8 11 October Asen, S., Stewart, R.N., and Norris, K.H Copigmentation of anthocyanins in plant tissues and its effect on color. In: Rein, M Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanins. Helsinky University. Helsinky. Bae, I.K., Hye, Y. M., Ah, R. M., Eun, K. S., and Sang, K. L Suppression of lipopolysaccharide-induced expression of inducible nitric oxide synthase by brazilin in RAW macrophage cells. Eu J of Pharm 513: Bakowska, A., Kucharska, A.Z., and Oszmianski, J The effects of heating, UV irradiation, and storage on stability of the anthocyanin-polyphenol copigment complex. Food Chem 81: Bauernfeind, J. C Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursors. Academic Press, New York and London. Bohm, B. A Introduction to Flavonoid. Harwood academic publisher. Amsterdam. Brouillard, R The in vivo expression of anthocyanin color in plants. In: Rein, M Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanins. Helsinky University. Helsinky. Cahyadi, W Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta. DeMan, J.M Principles of Food Chemistry. The AVI Publishing Company, Inc. Westport Connecticut. Gloria, M. B. A in: Y. H. Hui (ed) Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. Taylor & Francis. Boca Raton. Green, L. F Introduction. In: Development in Soft Drink Technology. Houghton, H. W. (ed). Applied Science Publisher. New Jersey. 58

73 Hariyati, S Standardisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah satu Tahapan Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. InfoPOM, 6:1-5. Heldman, D. R. and Daryl B. L Handbook of Food Engineering. Marcel Dekker, Inc. New York. Heyne, K Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Hoshino, T., Matsumoto, U., and Goto T The stabilizing effect of the acyl group on the copigmentation of acylated anthocyanins with C- glucosylflavonones. In: Rein, M Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanins. Helsinky University. Helsinky. Hutching, J. B Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen Publishers, Inc. Maryland. Kim, D. S., Nam, I. B., Sei, R. O., Keun, Y. J., Im, S. L., and Hyeong, K. L NMR Assignment of Brazilein. Phytochem, 46: Kristie, A Efek Pencampuran Ekstrak Zat Warna Kayu Secang dengan Beberapa Sumber Antosianin terhadap Kualitas Warna Merah dan Sifat Antimikrobanya. Fateta. IPB. Bogor. Skripsi. Lee, J. H. and Steven J. S Pigments in plants food. In: Y. H. Hui (ed) Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. Taylor & Francis. Boca Raton. Lim, D.K., Choi, and Shin Antioxidative activity of some solvent extract from Caesalpinia sappan L. Korean J. Food Sci Technol 28 : Markovic, J. M. D., Nadezda A. P., and Jelisaveta M. B The copigmentation effect of sinapic acid on malvin: a spectroscopic investigation on colour enhancement. J of Photochem and Photobio 78: Marinova, E. M., Nedyalka, V. Y Antioxydant activity and mecanism of action of some phenolic acid at ambient ang high temperatures. Food Chem. 81: Min, Y., Wei, D. X., Fan, L., Zheng, M., Yu, N. Z., Hui, S., and Li, J. D Brazilin an important immunosuppresive componen fromcaesalpinia sappan L. J. Int. Immunopharm. 6 : Oliveira, L. F. C., Howell G. M. E., Eudes S. V., and M. Nesbitt Vibrational spectroscopic study of brazilin and brazilein, the main constituents of brazilwood from Brazil. Vibrational Spectroscopy 28:

74 Pawar, C. R., Amol, D. L., and Sanjay, J. S Phytochemical and pharmacological aspects of Caesalpinia sappan. J of Pharm Research 1: Rein, M Copigmentation reactions and color stability of berry anthocyanins. Helsinky University. Helsinky. Robinson, G. M., and Robinson, R Survey of anthocyanins.in: Rein, M Copigmentation Reactions and Color Stability of Berry Anthocyanins. Helsinky University. Helsinky. Soetarno, S. and Soediro Standardisasi Mutu Simplisia dan Ekstrak Bahan Obat Tradisional. Presidium Temu Ilmiah nasional Bidang Farmasi. Somogyi, L. P Food additives. In: Y. H. Hui (ed) Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. Taylor & Francis. Boca Raton. Suradikusumah, E Kimia Tumbuhan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thorner, M.E. and R.J. Herzberg Non-Alcoholic Food Service Handbook. AVI Publishing Company. Westport. Connecticut. Velasco, L., Bertrand, M., and Christian, M Nondestructive assessment of sinapic acid esters in Brassica species: 1. Analysis by near infrared reflectance spectroscopy. J. Crop. Sci. 38: Washiyama, M., Yohei, S., Tomokazu, H., and Seiji, N Anti-inflamatory constituent of sappan lignum. Biol. Pharm. Bull. 32: Wilska-Jeszka, J., and Korzuchowska, A Anthocyanins and chlorogenic acid copigmentation. Influence on the color of strawberry and chokeberry juices. Food Res Tech 203: Wongsookin, K., Saowanee, R., Malee, T., Vichitr, R., and John, B. B Study of an Al(III) complex with the plant dye brazilein from Caesalpinia sappan Linn. J. Sci. Technol. 15(2): Woodroof, J. G. and Phillips, G. F Beverages : Carbonated and Non Carbonated. AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Yang, H. O. And Choi, Y. H A mass production method of brazilein from Caesalpinia sappan L. http: // pctdb/ en/wo. jsp?wo= &IA=KR &DISPLAY=STATUS[2 April 2008). 60

75 61

76 Lampiran

77 Lampiran 1. Ekstraksi brazilein dari kayu secang Kayu secang digiling dengan disc mill Diekstraksi dengan etanol 50% 30 menit suhu 80 o C Disaring Filtrat 1 Ampas 1 Diekstraksi dengan etanol 50% 30 menit suhu 80 o C Disaring Filtrat 2 Ampas 2 Diekstraksi dengan etanol 50% 30 menit suhu 80 o C Disaring Filtrat 3 Ampas 3 Dibuang Filtrat dan 3 di campur. disaring dengan kertas Whatman no 1 Dievaporasi dengan vacum evaporator 50 o C Ekstrak secang serbuk

78 Lampiran 2. Kadar air ekstrak secang Ulangan Bobot cawan kosong (g) Isi basah (g) Cawan + Isi kering (g) Kadar air bb(%) RSD analisis RSD hitung Lampiran 3. Data analisis total brazilein Ulangan Berat Absorbansi sampel (g) A1 A2 Ratarata Total brazilein (g/g) Ratarata total brazilein (g/g) RSD an RSD hit Lampiran 4. Penentuan konsentrasi brazilein-sinapic acid dalam minuman Ekstrak secang : Model minuman 12 mg ekstrak secang/100 ml air aqua Total brazilein : g/g x 120 mg = 5.19 mg brazilein Mol : 5.19 mg x/ g/mol = 1.8 x 10-5 mol Molaritas : 1.8 x 10-5 mol x (1000/100) = 1.8 x 10-4 M Sinapic acid : Perbandingan molaritas brazilein dan sinapic acid = 1:0, 1:5, 1:10. 1:15, 1:20, 1:25 Brazilein:sinapic acid 1:1 = 1.8 x 10-5 mol x g/mol = g

79 Lampiran 5. Formulasi model minuman dan ph Sampel Brazilein Sinapic Gula Tween Air aqua * NaHCO 3 ph acid 80 1:0 12 mg 0 10 g 0.25 ml 100 ml :5 12 mg g 10 g 0.25 ml 100 ml g :10 12 mg g 10 g 0.25 ml 100 ml g :15 12 mg g 10 g 0.25 ml 100 ml g :20 12 mg g 10 g 0.25 ml 100 ml g :25 12 mg g 10 g 0.25 ml 100 ml g 7.19 * penambahan NaHCO 3 bervariasi tergantung dari nilai ph sampai mendekati 7 Lampiran 6. Kurva panjang gelombang maksimum brazilein dengan pelarut etanol 96% Absorbansi 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0, Panjang gelombang(nm) Lampiran 7. Kurva panjang gelombang maksimum model minuman

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG

Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Pewarna Alami untuk Pangan KUNING MERAH SECANG Secang atau Caesalpinia sappan L merupakan tanaman semak atau pohon rendah dengan ketinggian 5-10 m. Tanaman ini termasuk famili Leguminoceae dan diketahui

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang 20 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, 22 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Limbah Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu

I. PENDAHULUAN. pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Warna merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan mutu suatu produk pangan. Menurut Jettanapornsumran (2009), warna menjadi salah satu karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstraksi dan Karakterisasi Antosianin IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PIGMEN Ekstraksi adalah proses penarikan komponen dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pada umumnya ekstraksi zat warna dari bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat

I. PENDAHULUAN. Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sejak ditemukannya zat pewarna sintetik serta terbatasnya jumlah dan mutu zat pewarna alami, penggunaan pigmen sebagai zat warna alami semakin menurun (Samun,

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah duwet yang diperoleh dari Jember Jawa Timur. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah etanol, aquadest,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian (Ruang Analisis Pati dan Karbohidrat), Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan pewarna makanan yang bersumber dari bahan alami sudah sejak lama digunakan, namun dengan ditemukannya pewarna sintetik yang relatif mudah diproduksi dan memiliki

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DAN PEWARNA ALAMI KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L) TERHADAP STABILITAS WARNA SARI BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L) Oleh : RISKA PRATAMA KUSUMAWATI F24103129

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Jurnal Gradien Vol. 12 No. 2 Juli 2016: 1187-1191 Pengaruh Boraks, Asam dan Basa Terhadap Pergeseran Panjang Gelombang Ekstrak Air Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) Dwita Oktiarni *, Siti Nur Khasanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa dan tekstur. Selama proses pengolahan pangan warna suatu bahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Warna memainkan peranan penting dalam persepsi dan penerimaan konsumen terhadap makanan. Burrows (2009) menyebutkan bahwa warna menjadi faktor kualitas utama dan paling

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan dan Maksud Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual

4. PEMBAHASAN 4.1. Warna Larutan Fikosianin Warna Larutan secara Visual 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi fikosianin dari spirulina yang digunakan sebagai pewarna alami pada minuman. Fikosianin ini memberikan warna biru alami, sehingga tidak memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi, diantaranya mengandung vitamin C, vitamin A, sejumlah serat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah pisang merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan buah yang lain. Buah pisang memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya mengandung

Lebih terperinci

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F

SKRIPSI. KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F SKRIPSI KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ANTOSIANIN PADA BUAH DUWET (Syzygium cumini) Oleh BEATRICE BENNITA LEIMENA F24103029 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KARAKTERISASI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai Mei 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Daya Larut 4. PEMBAHASAN Pembuatan minuman serbuk daun katuk dan jambu biji merah merupakan sebuah penelitian pengembangan produk yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai fungsional pada bahan alami dengan lebih mudah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Temulawak Terpilih Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel, yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini melibatkan pengujian secara kualitatif dan kuantitatif. Pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahap penyiapan sampel, tahap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Riset Kimia Makanan dan Material serta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah aktivitas antioksidan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian,

BAB III MATERI DAN METODE. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian, 11 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian, Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.229

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH

KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH KAJIAN AWAL AKTIFITAS ANTIOKSIDAN FRAKSI POLAR KELADI TIKUS (typhonium flagelliforme. lodd) DENGAN METODE DPPH Dian Pratiwi, Lasmaryna Sirumapea Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi TiO2 Dalam penelitian ini digunakan TiO2 yang berderajat teknis sebagai katalis. TiO2 dapat ditemukan sebagai rutile dan anatase yang mempunyai fotoreaktivitas

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

METODOLOGI. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian 18 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium PT. Hale International dan Laboratorium Analisis Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.Penelitian dilakukan mulai bulan Januari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kandungan Klorofil Pada Ekstrak Sebelum Pengeringan dan Bubuk Klorofil Terenkapsulasi Setelah Pengeringan Perhitungan kandungan klorofil pada ekstrak sebelum pengeringan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Furfural Bonggol jagung (corn cobs) yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur 4-5 hari untuk menurunkan kandungan airnya, kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Kimia, Laboratorium Riset Kimia Lingkungan, dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Biokimia Zat Gizi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan eksperimental. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Pembuatan minuman instan daun binahong dilakukan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Uji aktivitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Tepung Kentang Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kentang merah dan kentang. Pembuatan tepung kentang dilakukan dengan tiga cara yaitu tanpa pengukusan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 17-20 Juni 2013 di Laboratorium Uji Mineral 1 Politeknik Kampar. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 2013

PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 2013 1 PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P00147 Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 13 2, bis(4 HIDROKSI KLORO 3 METOKSI BENZILIDIN)SIKLOPENTANON DAN 2, bis(4 HIDROKSI 3 KLOROBENZILIDIN)SIKLOPENTANON

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT

Pewarna Alami untuk Pangan MERAH BIT MERAH BIT Bit atau Beta vulgaris merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di Eropa dan sebagian Asia serta Amerika Serikat. Daun tanaman bit banyak dimanfaatkan sebagai sayur. Namun tanaman ini dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi 30 BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Kimia Terpadu Universitas Muhammadiyah Riau dan di Laboratorium Patologi, Entimologi dan Mikrobiologi

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III METODE PENELITIAN. penelitian Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III METODE PENELITIAN. penelitian Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Analitik dan laboratorium penelitian Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, mulai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium Jasa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tumbuhan ini bervariasi, mulai dari 50 cm hingga 5 meter, bahkan di Papua

TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tumbuhan ini bervariasi, mulai dari 50 cm hingga 5 meter, bahkan di Papua II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Pandan Buah pandan tersusun dalam karangan berbentuk bulat, seperti buah durian. Ukuran tumbuhan ini bervariasi, mulai dari 50 cm hingga 5 meter, bahkan di Papua

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Kasma Rusdi (G11113006) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014 Abstrak Warna hijau pada daun merupakan salah

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemanas listrik, panci alumunium, saringan, peralatan gelas (labu Erlenmayer, botol vial, gelas ukur,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2015 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Radikal bebas adalah sebuah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson dan Thompson, 2000)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Termasuk penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini terdapat kontrol sebagai acuan antara

Lebih terperinci

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN

Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Company LOGO ZAT WARNA /PIGMEN Banyak sekali faktor yang menentukan kualitas produk akhir. Kualitas bahan pangan juga ditentukan oleh faktor sensoris (warna, kenampakan, citarasa, dan tekstur) dan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN

BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN 39 BAB 3 METODE DAN BAHAN PENELITIAN 3.1. Alat-alat dan bahan 3.1.1. Alat-alat yang digunakan - Spektrofotometri Serapan Atom AA-6300 Shimadzu - Lampu hallow katoda - PH indikator universal - Alat-alat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR FLAVONOID TOTAL PADA RIMPANG, BATANG, DAN DAUN BANGLE (Zingiber purpureum Roscoe)

ANALISIS KADAR FLAVONOID TOTAL PADA RIMPANG, BATANG, DAN DAUN BANGLE (Zingiber purpureum Roscoe) ANALISIS KADAR FLAVONOID TOTAL PADA RIMPANG, BATANG, DAN DAUN BANGLE (Zingiber purpureum Roscoe) Irma Erika Herawati 1*, Nyi Mekar Saptarini 2, Nurussofiatur Rohmah Urip 1 1 Jurusan Farmasi Universitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian. 12 I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis, dan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI LAPORAN PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH

UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI LAPORAN PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI LAPORAN PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH UJI SENSITIVITAS PEREAKSI PENDETEKSI KUNING METANIL DI DALAM SIRUP SECARA SPEKTROFOTOMETRI CAHAYA TAMPAK Oleh: Novi Yantih

Lebih terperinci

FORMULASI SARI BUAH JERUK PONTIANAK

FORMULASI SARI BUAH JERUK PONTIANAK SKRIPSI FORMULASI SARI BUAH JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var. microcarpa) DENGAN APLIKASI METODE LYE PEELING SEBAGAI UPAYA PENGHILANGAN RASA PAHIT PADA SARI BUAH JERUK Oleh DIAN ANDRIANI F24103111 2008

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2014 yang sebagian besar dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satunya adalah buah kersen atau biasa disebut talok. Menurut Verdayanti (2009),

I. PENDAHULUAN. satunya adalah buah kersen atau biasa disebut talok. Menurut Verdayanti (2009), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu sumber makanan yang kaya akan berbagai macam vitamin, mineral dan zat-zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Di sekitar kita banyak sekali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam

I. PENDAHULUAN. sehingga memberikan kesegaran bagi konsumen. Warna yang beraneka macam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es lilin merupakan suatu produk minuman yang banyak disukai anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan es lilin memiliki rasa yang manis dan dingin sehingga memberikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan tahapan isolasi selulosa dan sintesis CMC di Laboratorium Kimia Organik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rencangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) disusun secara faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri

Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 2: Cara uji kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NaOH PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU

PENGARUH KONSENTRASI NaOH PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU PENGARUH KONSENTRASI NaOH PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Drs. Syamsu herman,mt Nip : 19601003 198803 1 003 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004,

Lebih terperinci

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN Tanggal Praktikum : Jumat, Oktober 010 Tanggal Pengumpulan Laporan : Jumat, 9 Oktober 010 Disusun oleh Nama : Annisa Hijriani Nim

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental, karena penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh/hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Lebih terperinci

FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL

FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL KANDUNGAN β-karoten, SIFAT FISIK DAN KIMIA SERTA MUTU ORGANOLEPTIK PADA WORTEL (Daucus carota L.) ORGANIK DAN NON-ORGANIK SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN ASTARI APRIANTINI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS

Lebih terperinci