MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM"

Transkripsi

1 Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2016 Vol. 1, No. 1, Hal 1-7 MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM Taufik Kasturi, Ph.D Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembicara Undangan Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia Abstrak Konsep kesejahteraan psikologis dikembangkan oleh para ahli psikologi dari konsep kebahagiaan. Konsep ini sebenarnya bukanlah konsep baru, karena para filosof dan ilmuwan zaman dahulu sudah cukup serius mendiskusikannya. Namun demikian para ilmuwan saat ini, mengkonseptualisasikan konsep kesejahteraan psikologis dengan membedakannya dengan kesejahteraan fisik atau materi, gabungan dari keduanya yaitu kesejahteraan fisik dan psikologis disebut dengan kebahagiaan. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan psikologis. Faktor-faktor apa yang dapat meningkatkannya. Bagaimana pandangan ilmuwan-ilmuwan Islam untuk meningkatkan ksejahteraan psikologis? Berdasarkan penjabaran dari makalah ini bahwa bagi seorang muslim kesejahteraan psikologis dapat diperoleh melalui taqwa, yaitu menjauhi segala larangan dan mengerjakan segala perintah Allah SWT. Kata kunci: kesejahteraan psikologis, kebahagiaan, taqwa Pendahuluan Pada tahun 2011, IPSOS Global sebuah perusahaan riset di Toronto Kanada bekerja sama dengan majalah What Make You Happy membuat penelitian tentang kebahagiaan di 24 negara. Survey yang dilakukan terhadap responden dewasa menunjukkan hasil yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Berdasarkan regional, Indonesia merupakan negeri yang paling bahagia, di mana lebih dari separuh warga yang disurvey (51%) mengaku bahwa mereka Sangat Bahagia. Peringkat selanjutnya diikuti oleh India dan Mexico (43%), Brazil dan Turkey (30%), Australia dan Amerika (28%), dan setrusnya. Sementara Negara yang paling tidak bahagia diraih oleh Hungaria (6%), Korea Selatan (7%), Rusia (8%), Spanyol (11%), Italia (13%), Polandia dan perancis masing-masing 15%, dan seterusnya. Sebagai sebuah penelitian tentu ada keterbatasannya. Namun bila kita ingin menggunakan hasil penelitian di atas untuk memahami tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia, tentunya hasilnya sangat menggembirakan. Bila dibandingkan dengan Negara-negara yang kurang bahagia, ada data yang menarik untuk dikaji. Yaitu Negara-negara yang mengaku kurang bahagia adalah Negara-negara maju atau kaya. Hungaria merupakan salah satu Negara kaya dan maju di Eropa, sedangkan Korea Selatan merupakan Negara kaya dan [1]

2 maju di Asia. Realitas di atas sangat kontradiksi dengan di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia dengan status sebagai Negara berkembang justru menduduki peringkat teratas. Bila kita mempercayai hasil survey di atas, banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam pengukuran kebahagiaan. Antara lain: kebahagiaan bagi masyarakat dunia ketiga adalah simple, banyak alasan atau hal yang bisa membuat rakyat Indonesia bahagia, sementara untuk masyarakat modern kebahagiaan harus memiliki capaian yang luar biasa. Konsep Kebahagiaan dalam Sejarah Dalam kehidupan sehari-hari, orang biasanya menyebut kesejahteraan psikologis dengan istilah kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sendiri telah didiskusikan secara menarik sejak ribuan tahun silam, pada masa Yunani Kuno. Yaitu zaman para pemikir seperti Sokrates, Epikuros, Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Mereka mengkaji konsep kebahagiaan secara berbeda tergantung dari sudut pandang yang mereka anggap tepat untuk membidiknya. Dari sekian pemikir, Sokrates menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah diksusi kebahagiaan. Menurutnya kebahagiaan dapat diraih melalui usaha-usaha manusia. Ia juga mengatakan bahwa setiap manusia memiiki tujuan hidup yang sama yaitu meraih kebahagiaan yang disebutnya sebagai eudaimonia. Secara harfiah eudaimonia dapat diartikan sebagai jiwa yang baik. Eudaimonia dapat diraih oleh manusia apabila manusia telah memiliki pengetahuan tentang itu, sehingga dari pengetahuan tersebut manusia akan berperilaku baik pula. Perilaku-perilaku buruk pada manusia disebabkan karena manusia tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang baik. Pengetahuan tentang kebaikan menjadi sumber kebahagiaan. Manusia akan mencapai kebahagiaan apabila mereka memahami prinsip kebaikan. Dari keyakinannya itu Sokrates merekomendasikan kepada para pemimpin Negara bahwa selain memimpin suatu Negara para pemimpin juga harus memperhatikan kebahagiaan rakyatnya. Dengan kata lain kebahagiaan rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah. Sokrates menyimpulkan tujuan utama kehidupan manusia untuk membangun jiwanya sebaik mungkin. Sayangnya penjelasan Sokrates berhenti sampai di situ, mestinya Sokrates mengelaborasi lebih jauh apa yang dimaksud jiwa yang baik dan bagaimana cara membangunnya? Tidak mendetailnya penjelasan di atas menyebabkan murid-muridnya menjabarkan pendapatnya sendiri-sendiri di mana yang satu bertentangan dengan yang lain. Menurut salah satu muridnya, Antithenes, kebahagiaan itu sifatnya metafisik maka hal-hal metafisik yang harus ditingkatkan. Untuk meraih kebahagiaan manusia harus meninggalkan kesenangan-kesenangan materiil menuju kesenangan-kesenangan yang lebih hakiki yaitu imateriil. [2]

3 Murid Sokrates lainnya yaitu Plato, membicarakan tentang keadilan psikis yaitu bagaimana seseorang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan fisiknya seperti makan dan minum dengan kebutuhan psikologisnya seperti ketenangan, kenyamanan, dan bebas dari konfik, atau bagiaman setiap bagian jiwa dapat menyeimbangkan fungsinya. Namun Plato tidak secara kongkrit menjelaskan bagaimana hubungan antara keadilan sosial, keadilan psikologis, dan kebahagiaan. Apakah keduanya menjadi prasyarat kebahagiaan, ataukah pelengkap kebahagiaan? Sama halnya seperti gurunya, Plato berpandangan bahwa the good life (eudomonegnia) atau kebahagiaan dapat dicapai dengan cara hidup secara berkomunitas atau bernegara, sehingga agar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan lebih berbahagia, maka perlu diciptakan pemerintahan yang baik pula. Menurut Plato, kedua pihak saling mempengaruhi. Tatanan pemerintahan yang baik dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang tenteram dan sejahtera, sebaliknya kesejahteraan masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan diri pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Konsepsi kehidupan yang baik dijelaskan oleh Plato dari teorinya tentang ide. Menurutnya, pada hakekatnya manusia memiliki kerinduan untuk kembali ke negeri asalnya yaitu pulang ke kerajaan ideide. Kondisi tersebut dapat dicapai bila manusia memiliki akal budi (kualitas diri) yang baik. Akal budi akan membuat manusia mampu menguasai dirinya sendiri, sehingga manusia memiliki ketenangan hidup. Untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia juga harus memenuhi hidupnya dengan keutamaan-keutamaan, yaitu: kebijaksanaan, keberanian, memahami diri sendiri, dan keadilan. Manusia yang telah memiliki keempat keutamaan tersebut ruhnya akan bisa memasuki alam-alam ruh (ruhani), sehingga manusia akan memiliki kualitas hidup yang baik yang membedakannya dengan manusia-manusia lainnya. Pandangan-pandangan Plato selanjutnya diteruskan oleh muridnya yaitu Aristoteles. Menurut Aristoteles happiness depends on ourselves, bila manusia ingin meraihnya maka ia akan mendapatkannya dengan cara melakukan usaha-usaha menuju kesana yaitu melalui cultivation of virtues (penanaman kebaikan-kebaikan). Menurutnya tujuan kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tahapan tertinggi yang bisa dicapai oleh hidup manusia. Bila manusia telah bahagia maka telah lengkaplah kebutuhan hidupnya, sehingga bila benarbenar telah mencapai kebahagiaan manusia tidak lagi memerlukan hal-hal lainnya. Aristoteles berkeyakinan melalui penggunaan rasio manusia akan meraih kebahagiaan (kebahagiaan personal). Metode perenungan pikiran merupakan sarana untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pikiran yang terlatih melalui perenunganperenungan akan menentukan arah kehidupan manusia. Kajian-kajian tentang kebahagiaan ini selanjutnya berkembang, seiring dengan semakin jelinya para peneliti mengkaji konsep kebahagiaan. Konsep kebahagiaan pun berkembang dengan berbagai istilah antara lain: psychological well being, subjective well being, emotional well being, dan sebagainya. Beberapa istilah tersebut sebenarnya tidak memiliki perbedaan signifikan dengan konsep kebahagiaan, namun demikian penjelasan para ahli lebih memperdalam ruang kajian mengenai kebahagiaan ini. Dalam makalah ini kajian akan difiokuskan pada konsep kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan Psikologis dalam Konsep Menurut Ryff (1989), psychological well being yaitu terpenuhinya kondisi-kondisi psikologis pada beberapa dimensi utama [3]

4 yaitu: penerimaan diri, hubungan-hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, pemahaman lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Kesejahteraan psikologis bukanlah variable tunggal, para ahli memiliki sebutan yang berbeda-beda untuk indicator yang relative sama ini, diantaranya yaitu Subjective Well- Being (SWB) dan Emotional Well-Being (EWB). Para ahli menganggap subjective well being adalah term ilmiah yang ditujukan untuk menggambarkan orang-orang yang mengalami kebahagiaan (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000), meliputi kebahagiaan, kepuasan hidup, kehadiran emosi-emosi yang positif, dan sebaliknya ketiadaan emosi-emosi negatif (Myers & Diener, 1995). Subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif tentang kehidupan yang berisi emosi-emosi yang menyenangkan (Lyubomirsky dkk, 2005), termasuk didalamnya pemahaman individu terhadap konsep-konsep kehidupan, kepuasan dalam pernikahan dan pekerjaan (Diener, 2003). Dengan kata lain individu yang sudah mencapai well-being adalah mereka yang telah memahami tujuan hidup dan kehidupan, memiliki kontrol diri dan sosial yang baik sehingga dapat memandang hidup dan kehidupan di sekitarnya secara lebih positif, baik itu kondisi kehidupan yang menguntungkan ataupun tidak menguntungkan untuknya. Emotional well being merefer pada kualitas emosional individu dalam kehidupan sehari-hari terutama berkaitan dengan bahagia, stres, sedih, marah, dan afeksi yang membuat seseorang nyaman dan tidak nyaman (Kahneman & Deaton, 2010). Emosi-emosi positif menjadi triger meningkatnya emotional well being (Fredricson & Joiner, 2002), tidak hanya berpengaruh pada kondisi-kondisi saat ini, bahkan kemungkinan dapat meningkatkan kenyamanan pada masa-masa yang akan datang. Emosi-emosi positif dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sehingga membuka diri individu untuk menerima atau berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi senang akan mudah menerima masukan dari orang lain daripada pada kondisi sedang sedih. Mahasiswa yang baru saja lulus ujian akan mudah untuk mengeluarkan uang dengan tujuan syukuran, beberapa orang bahkan bisa secara royal membelanjakan uangnya untuk menyenangkan teman-temannya. Mereka mengaku tidak begitu bermasalah mengeluarkan uangnya karena sedang bahagia. Emosi-emosi positif berdampak pada perilaku-perilaku yang positif, sebaliknya emosi-emosi negatif berdampak pada perilaku negatif. Orang yang sedang kehilangan uang akan terlihat murung, sehingga keberadaan orang lain kurang menarik perhatiannya, bahkan bila orang lain tidak hati-hati bisa terkena marahnya. Implikasi menurunnya EWB berkaitan dengan persoalan-persoalan kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan. Kondisi-kondisi tersebut pada gilirannya berpengaruh pada kesehatan fisik seperti gangguan pencernaan, kesulitan tidur, dan kekurangan tenaga (lemas). Sebaliknya meningkatnya EWB berdampak positif pada kondisi-kondisi psikologis, seperti kemampuan pemecahan masalah, harga diri, konsep diri, performansi, dan produktivitas kerja, bahkan berpengaruh pada bertambahnya usia individu. Kesejahteraan Psikologis dalam Dimensi Untuk mengukur sejauhmana tingkatan kesejahteraan psikologis seseorang maka kita perlu mengenal dimensi-dimensinya. Dalam makalah ini qakan dijelaskan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989), meliputi: self-acceptance, positive relationships, autonomy, environmental mastery, personal growth, and purpose in life. 1) Self-acceptance, yaitu penerimaan individu terhadap kondisi dirinya apa [4]

5 adanya, di dalamnya meliputi sikapsikap positif terhadap kondisi diri, baik itu kondisi yang menguntuntungkannya maupun yang dirasa kurang menguntungkannya. Penerimaan diri merupakan bentuk pengakuan akan kekuasaan Allah kepada hambanya, yaitu individu menganggap apapun yang diberikan oleh Penciptanya kepadanya adalah sesuatu yang positif, karena Allah adalah Sang Maha Perencana. 2) Positive relationships, merupakan bentuk dari kecerdasan spiritual. Individu memiliki kemampuan untuk menjalin interaksi dengan orang lain, interaksi dengan orang lain ini didasari oleh sikap-sikap positif dan empati terhadap kondisi orang lain. Dalam dimensi ini individu tidak bersikap egoistic, dimana interaksi dengan orang lain semata-mata bertujuan untuk kesejahteraan dirinya, namun lebih jauh dari itu interaksi dengan orang lain dibangun untuk mkesejahteraan orang itu. 3) Autonomy, bentuk dari individu yang sejahtera secara psikologis yaitu memiliki kemandirian dalam bersikap, mengambil keputusan, dan dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang otonom dalam pengambilan keputusan tidak membutuhkan dukungan orang lain, karena individu memiliki keyakinan akan pandangannya. Tidak terlalu memikirkan apapun pandanganpandangan orang tentang dirinya. 4) Environmental mastery, yaitu menggambarkan kemampuan manajerial seseorang terhadap dirinya untuk bisa mengatur lingkungannya atau hal-hal di luar dirinya secara efektif. Individu seperti ini memiliki ketertarikan terhadap lingkungan sekitarnya namun bukan sekedar berpartisipasi untuk meramaikannya, melainkan memiliki kemampuan untuk mengendalikan lingkungannya itu dalam genggamannya, dan menselaraskan dengan kondisi psikologisnya. 5) Personal growth, yaitu pribadi yang selalu tumbuh dari pengalamanpengalaman hidup sebelumnya, senantiasa belajar dari kesalahan, memiliki dorongan memperbaiki diri, dan beradaptasi dengan persoalanpersoalan hidup yang dihadapi. Kondisi-kondisi itu dilakukan secara kontinyu disepanjang hidupnya. 6) Purpose in life, tujuan hidup menjadi pembeda antara individu yang satu dengan yang lain. Orang yang memiliki tujuan hidup maka memiliki targettarget yang hendak dicapai dalam hidupnya, baik itu dimulai dari target jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki memperkuat tujuan-tujuan hidupnya. Orang yang memiliki tujuan dalam hidupnya menganggap positif apapun tujuantujuan yang bisa dicapainya, artinya individu menganggap keseluruhan hidupnya adalah bermakna buatnya. Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Berdasarkan hasil-hasil riset di bidang ilmu psikologi, para ahli merumuskan faktorfaktor yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis, antara lain: kemampuan financial, lingkungan pekerjaan, keluarga, dan tingkat pendidikan (Mirowsky & Ross, 2005), dan kualitas kepribadian (Ryff, 1989). Ryff menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Ternyata tipe extroversion, conscientiousness, low neuroticism berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis. Aspek yang dipengaruhi oleh ketiga factor tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life. Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap [5]

6 positive relationships with others, sementara itu low neuroticism akan mempengaruhi autonomy. Selanjutnya Ryff juga mengatakan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman baru akan berpengaruh kuta terhadap personal growth. Apabila kita menggunakan teori Ryff di atas, maka bila ingin meningkatkan kesejahteraan psikologis, maka factorfaktor tersebut di ataslah yang perlu untuk ditingkatkan. Meningkatnya factor-faktor selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Sesuai dengan pendapat Ryff di atas, apabila individu memiliki keterbukaan diri dan ceria sehingga mudah pula baginya bergaul dengan orang lain (extraversions), dan ramah (agreeableness) maka individu akan memiliki penerimaan diri yang baik (good self-acceptance) serta memiliki kemampuan dalam membangun hubungan dengan orang lain, dan pemahaman lingkungan social yang baik pula (good environment mastery). Sementara itu individu yang memiliki sikap hati-hati (agreeableness) dan memiliki tingkatan kecemasan yang rendah (low neuroticism) akan meningkatkan penguasaan terhadap lingkungan (environment mastery) dan kejelasan dalam tujuan hidupnya (purpose in life), dan membuat individu lebih mandiri (autonomy). Selain ilmuwan-ilmuwan psikologi, ilmuwan-ilmuwan Islam pun telah menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis ini. Dalam makalah ini akan disebutkan dua diantaranya, yaitu: Ibnu Miskawaih ( ) dan Imam Al Ghazali ( ). Menurut Ibnu Miskawaih kebahagiaan (alsa adah) terdiri atas dua jenis, yaitu: kebahagiaan materi (jism al-sa adah) dan kebahagiaan psikologis (nafs al sa adah). Kebahagiaan materi pada dasarnya bukan kebahagiaan, karena individu bahagia hanya sebatas pada hal-hal material saja, Ibnu Miskawaih menyebutnya sebagai kebahagiaan yang menipu. Namun demikian kebanyakan manusia ketika menyebutkan dirinya bahagia sering terjebak dengan kebahagiaan materi ini. Adapun kebahagiaan yang sejati menurut Ibnu Miskawaih adalah kebahagiaan jenis kedua yaitu kebahagiaan psikologis. Konsep kebahagiaan psikologis ini mirip dengan kesejahteraan psikologis (true happiness), menurut Ibnu Miskawaih kebehagiaan jenis ini akan dapat membawa manusia ke derajat para malaikat. Sejalan dengan Ibnu Miskawaih, Abu Hamid Al Ghazali atau yang lebih dikenal dengan Imam Ghazali telah menulis sebuah karya monumental, yaitu buku Kimia Kebahagiaan (The Alchemy of Happiness) setebal lebih dari 6000 halaman (4 volume). Menurut Al Ghazali kebahagiaan itu berasal dari transformasi diri, dan terletak pada pemahaman dirinya. Kata al Ghazali, barangsiapa yang dapat memahami dirinya, maka sungguh ia akan bahagia. Mengapa demikian? Karena pemahaman diri dapat menjadi cermin dari pengalaman-pengalaman hidupnya di masa lalu, masa sekarang, dan teropongan individu pada masa yang akan datang. Individu akan benar-benar mencapai taraf kebahagiaan apabila ia dapat membersihkan hatinya dari debu-debu racun sehingga bersih seperti cermin, itu berarti cahaya Allah telah masuk kedalam dirinya. Al-Ghazali menekankan, hanya sedikit orang yang mampu mencapai puncak kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta ala, seperti para Nabi dan orang-orang shalih (juga muslih). Kebahagiaan yang mereka miliki merupakan kebahagiaan sejati. Standar kebahagiaan mereka tentunya berbeda dengan jenis kebahagiaan yang dimiliki oleh orang-orang awam yang cenderung masih merupakan kebahagiaan material. Kebahagiaan mereka tercapai apabila telah berhasil menunaikan suatu tugas atau berhasil dalam dakwahnya karena kelak mereka meyakini akan [6]

7 mendapatkan buah dari jerih payahnya itu. Kata Al Ghazali inilah yang disebut kebahagiaan sejati. Kesimpulan Kesejahteraan subjektif bisa diraih apabila individu hidup dengan menggunakan jalan seperti yang telah ditempuh oleh para Nabi, wabil khusus nabiyullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Yaitu hidup dengan limpahan maghfirah, hidayah, dan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta ala. Maghfirah yaitu ampunan Allah yang akan membuka pintu-pintu nikmat lainnya, hidayah adalah petunjuk Allah sehingga individu senantiasa berada di jalannya, sedangkan taufiq adalah bertemunya antara keinginan hamba dengan keinginan Allah, atau kondisi di mana seorang mukmin menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan kata lain kesejahteraan psikologis bagi seorang mukmin akan dapat dicapai apabila ia bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta ala. Referensi Al-Ghazali, A. H. (2009). The Alchemy of Happiness. London: WLC Books Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2003). Personality, culture, and subjective well being: emotional and cognitive evaluations of life. Anual Review of Psychology, 54, Fredrickson, B.L., & Joiner, T. (2002). Positive emotions trigger upward spirals toward emotional well-being, Psychological Science, 13, Kahneman, D. & Deaton, A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 7 September 2010 Mirowsky J, Ross CE. Education, Learned Effectiveness, and Health. Review of Education, 3, Myers, D.G., & Diener, E. (1995). Who is happy? Psychological Science, 6, Ryff, C.D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well- Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, Seligman, M.E.P., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology: an introduction. American Psychologist, 55, [7]

8 [8]

9 Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2016 Vol. 1, No. 1, Hal 9-17 IDENTIFIKASI PENYEBAB SKIZOFRENIA: STUDI KASUS DI KABUPATEN TRENGGALEK Shidqi Irbah 1 Universitas Negeri Malang irbahshidqi@gmail.com Mar atus Ratna Kurnia 2 Universitas Negeri Malang atus.ratna@gmail.com Abstrak Salah satu tantangan Indonesia pada abad 21 adalah meningkatnya jumlah penderita skizofrenia hingga mencapai 1% dari total populasi warga negara Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program Indonesia sehat mental mulai tahun 2014, namun hal ini tidak diiringi dengan menurunnya jumlah penderita skizofreniadi Indonesia. Salah satu wilayah dengan jumlah penderita skizofrenia terbanyak adalah kabupaten Trenggalek. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang menjadi penyebab gangguan skizofrenia yang dialami oleh masyarakat di Kabupaten Trenggalek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan teknik studi kasus kolektif. Studi kasus kolektif bertujuan untuk menarik kesimpulan mengenai penyebab skizofrenia di kabupaten Trenggalek. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penyebab utama skizofrenia di kabupaten Trenggalek adalah masalah kehidupan sosial yang dipikirkan terlalu mendalam. Permasalahan utama tersebut antara lain patah hati, keinginan yang tidak terpenuhi, ketidakharmonisan keluarga, serta faktor turunan dari ayah. Kata Kunci: masalah kehidupan, penyebab skizofrenia,skizofrenia, studi kasus, Trenggalek PENDAHULUAN Salah satu tantangan terbesar Indonesia pada abad 21 ialah meningkatnya penderita skizofrenia hingga mencapai 1% dari total populasi warga negara Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program Indonesia sehat mental 2014, namun hingga saat ini jumlah penderita kesehatan jiwa terus naik (Jawapos.com, 2014). Pada tahun 2011 terdapat pasien, setahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi pasien. Tahun ini, hingga semester I (Januari-Juni) sudah terdapat pasien (Jawapos.com, 2014). Trenggalek merupakan kabupaten dengan tingkat skizofrenia yang cukup tinggi. Di Trenggalek hanya terdapat satu puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa yaitu puskesmas Karanganyar (ANTARA News, 2013). Penderita skizofrenia di Kabupaten Trenggalek mencapai 250 penderita dari total jiwa penduduk (Kompas.com, 2012). Namun berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 27/02/2015 di puskesmas pembantu penanganan gangguan jiwa Puskesmas Karanganyar, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek terdapat 1047 penderita gangguan jiwa yang ditangani di puskesmas-puskesmas se-kabupaten Trenggalek. Dari 1047 penderita 996 pasien merupakan penderita skizofrenia. Selain itu di Trenggalek, jumlah penderita gangguan jiwa yang di pasung mencapai 60 orang yang tersebar di 12 kecamatan [9]

10 (ANTARA News, 2013). Kecamatan yang ditemukan memiliki kasus penderita gangguan kejiwaan paling tinggi ialah Kecamatan Suruh dengan jumlah 24 orang dan 5 diantaranya sudah dalam kondisi akut (Kompas.com, 2012). Selain itu, tipografi kabupaten Trenggalek yang terdiri dari gunung dan pantai membuat akses menuju pusat kesehatan cukup sulit. Disisi lain, kabupaten Trenggalek juga memiliki tingkat perekonomian yang sedang berkembang sehingga kesadaran akan kesehatan jiwa masih kurang. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat sehingga besar penderitanya tidak dapat pulih kembali seperti kondisi sebelum individu mengalaminya (Yosep, dkk., 2009). Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran, dan kognisi (Carson dan Butcher dalam Wiramihardja, 2007). Halusinasi merupakan suatu gejala yang khas pada skizofrenia (Uhlhass & Nizette dalam Suryani, 2014), yang mana individu tidak dapat membedakan antara stimulasi internal dan eksternal. Individu seolah-olah melihat atau mendengar sesuatu yang pada kenyataannya tidak ada. Perspektif Terkait Skizofrenia Perspektif Biologis Beberapa studi terkait skizofrenia menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan masalah pada unsur kimia di otak, termasuk neurotransmiter dopamin dan glutamat (Liputan6.com, 2013). Perspektif biologi tersebut mengacu pada terlalu aktifnya reseptor dopamin di otak. Satu kemungkinan adalah reaktivitas berlebihan dari reseptor dopamin untuk menghasilkan pola perilaku yang lebih mencolok (Nevid, 2005). Dibandingkan peningkatan, reaktivitas dopamin mungkin berhubungan dengan beberapa simptom negatif skizofrenia (Earnst & Kring dalam Nevid, 2005). Dalam perspektif biologi juga menyebutkan adanya faktor genetis sebagai penyebab adanya skizofrenia (Wiramihardja, 2007). Dimana jika pada populasi normal prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1%, maka pada keluarga skizofrenia prevelansi ini meningkat (Fausiah dan Widury, 2007). Perspektif Psikodinamik Pandangan psikodinamik menyebutkan bahwa defensi kuat yang dilakukan oleh individu dapat memicu regresi sebagai pencetus utama skizofrenia (Lubis, 2011). Hal tersebut terjadi karena konflik antara ego dan dunia luar. Freud (Fausiah dan Widury, 2007) menyebutkan bahwa kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Studi lain oleh Yosep, dkk (2009) menyebutkan adanya pengalaman traumatis seperti cita-cita yang tidak tercapai, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, orang tua galak/pola asuh otoriter, dan mendapat perilaku kekerasan sebagai penyebab skizofrenia. Perspektif Psikososial Perubahan sosial, insdustrialisasi dan urbanisasi memiliki andil besar terhadap skizofrenia (Fausiah dan Widury, 2007). Dibandingkan dengan orang-orang tanpa skizofrenia, orang-orang dengan skizofrenia lebih memiliki kemungkinan besar untuk hidup dalam lingkungan yang secara penuh dengan stres (stressfull), seperti dalam lingkungan kota yang miskin dan status jabatan rendah atau pengangguran (Dohrenwend dkk, dalam Wiramihardja, 2007). Pandangan psikososial juga menyebutkan bahwa beberapa pasien sizofrenia berasal dari keluarga dengan disfungsi. Sikap keluarga yang patologis secara signifikan meningkatkan stres emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia (Fausiah dan Widury, 2007), antara lain: (1) doublebind, anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orang tua berkaitan perilaku, sikap, maupun perasaannya. (2) Schisms and skewed families, terdapat perpecahan antara orang tua dan anak, sehingga salah [10]

11 satu orang tua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga yang skewed, hubungan skewed melibatkan perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah satu orang tua. (3) Pseudomutual and Pseudohostile Families, keluarga mensuppress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau pseudobostik secara konsisten. (4) Ekspresi Emosi, orang tua atau pengasuh memperlihatkan sikap terlalu banyak mengkritik, kejam, dan sangat ingin ikut campur urusan anak. Banyak penelitian menunjukkan keluarga dengan ekspresi yang tinggi meningkatkan tingkat relapse pada pasien skizofrenia. Perspektif Kognitif Para ahli kognitif berpendapat bahwa simptom-simptom seperti delusi, dibangun oleh orang dengan skizofrenia sebagai upaya untuk menjelaskan persepsi dan pengalaman aneh (Garety dalam Wiramihardja, 2007). Sebagai contoh, seseorang yang mendengar suara-suara aneh dan mengalami halusinasi perabaan, bahwa sesuatu menangkap lengannya, mungkin mengkomunikasikan pengalaman ini kepada anggota keluarga lain. Anggota keluarga lain mungkin menolak kebenaran pengalaman tersebut, untuk kemudain menarik diri atau menjauhinya. Sehingga orang dengan skizofrenia menjadi percaya bahwa kekuatan asing telah berkonspirasi bersama anggota keluarganya melawan dia, dan sebuah sistem kepercayaan yang benarbenar paranoid telah lahir (Wiramihardja, 2007). Perspektif ini juga memandang adanya pola belajar dimana orang mungkin belajar untuk menghasilkan perilaku skizofrenik ketika terdapat lebih banyak kemungkinan untuk diberi imbalan daripada perilaku normal (Nevid, 2005). Dukungan pandangan ini ditemukan dalam penelitian tentang operant conditioning dimana perilaku aneh dibentuk dengan imbalan (Nevid, 2005). Dimana kebanyakan orang mempelajari pengalaman menghadapi stimulus dan mendapatkan keuntungan (reward) karena melakukan tindakan-tindakan adaptif. Orang-orang skizofrenia tidak menerima latihan dasar ini sehingga hasilnya penderita skizofrenia hadir menghadapi stimulus tidak relevan dan tidak tahu cara memberikan respon kepada orang lain yang secara sosial dapat diterima (Wiramihardja, 2007). Perspektif Diatesis-Stres Paul Meehl mengungkapkan bahwa orang-orang tertentu menujukkan predisposisi genetis terhadap skizofrenia dan ditampilkan dalam bentuk perilaku hanya jika diasuh dalam lingkungan yang penuh dengan stres (Meehl dalam Nevid, 2005). Pandangan ini beranggapan individu mungkin memiliki kerentangan spesifik (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stres, akan memungkinkan berkembangnya simptom skizofrenia (Fausiah dan Widury, 2007). Stresor atau diatesis ini mungkin bersifat biologis, lingkungan, atau keduanya. Bukti lain menunjukkan bahwa stres psikososial, seperti kritik yang berulang-ulang dari anggota keluarga, memperburuk simtomsimtom pada orang yang menderita skizofrenia, meningkatkan risiko kambuh (King & Dixon dalam Nevid, 2005). METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model studi kasus. Studi kasus diartikan sebagai suatu model penelitian kualitatif yang terperinci tentang individu atau suatu unit sosial tertentu selama kurun waktu tertentu. Secara lebih dalam, studi kasus merupakan suatu model yang bersifat komprehensif, intens, memerinci, dan mendalam, serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer (Herdiansyah, 2015). Creswell (Herdiansyah, 2010) mengatakan bahwa ciri khas studi kasus adalah adanya sistem yang saling terkait, sehingga keterkaitan atau hubungan kausal antara aspek atau faktor yang membentuk sebuah [11]

12 fenomena merupakan sesuatu yang penting untuk dijelaskan dalam studi kasus. Bentuk studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus kolektif. Studi kasus ini dilakukan untuk menarik kesimpulan atau generalisasi atas fenomena atau populasi dari kasus-kasus tersebut (Herdiansyah, 2015). Bentuk ini dipilih karena fenomena skozifrenia yang ada di Kabupaten Trenggalek merupakan sebuah kasus khusus yang unik dan endemik di wilayah tersebut namun dialami oleh banyak penduduknya, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yakni peneliti ingin menarik benang merah maupun kesimpulan mengenai hal-hal yang menjadi penyebab penduduk setempat mengalami skizofrenia. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara kualitatif dengan model wawancara mendalam. Wawancara mendalam yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang mendalam mengenai latar belakang keluarga, awal mula penderita didiagnosis mengalami skizofrenia, proses rehabilitasi, serta hal-hal yang membuat penderita relapse dengan gangguan skizofrenianya. Pemilihan partisipan dalam penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Partisipan dalam penelitian ini adalah delapan keluarga dari penderita skizofrenia yang tersebar di tiga kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari informan yang bertindak sekaligus menjadi partisipan dikarenakan partisipan utama yaitu penderita skizofrenia tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Analisis data dalam penelitian ini dapat dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya (Creswell dalam Herdiansyah, 2010). Sedangkan uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik traingulasi (Moleong, 2011). HASIL DAN ANALISA Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan dua tema besar antara lain latar belakang keluarga penderita skizofrenia serta awal mula penderita didiagnosis menderita skizofrenia. Latar Belakang Keluarga Penderita Skizofrenia Hampir seluruh keluarga penderita skizofrenia yang ada di kabupaten Trenggalek berasal dari keluarga tidak mampu. Informasi ini diperoleh dari kepala Poli Jiwa yang ada di Puskesmas Karanganyar sebagai satu-satunya puskesmas yang menjadi rujukan masalah gangguan psikologis di Kabupaten Trenggalek. Rata-rata keluarga penderita skizofrenia tersebut bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Sedangkan mata pencaharian penderita skizofrenia sebelum mengalami gangguan bervariasi. Ada yang berprofesi sebagai tenaga kerja wanita di Taiwan, karyawan swasta, serta buruh tani. Setelah didiagnosis menderita skizofrenia, penderita mengalami hendaya dalam melaksanakan tugas sehari-hari sehingga penderita menghabiskan waktu di rumah. Identifikasi Penderita Skizofrenia Dalam penelitian ini ditemukan dua tema utama yaitu kehidupan sosial yang terlalu dipikirkan secara mendalam dengan beberapa sub tema antara lain patah hati, keinginan yang tidak dipenuhi, serta keluarga yang tidak harmonis dan tema kedua ialah biologis dengan sub tema teurunan dari ayah. Patah Hati Keadaan yang membuat individu mengalami tekanan batin dan kekecewaan mendalam dengan kehidupan percintaan (MR-CK-W3). Rasa cinta partisipan terhadap kekasih yang sangat dalam namun tidak mendapatkan restu dari orang tua. Namun terdapat keinginan dari keluarga untuk segera menikah tetapi karena efek patah hati tersebut penderita menolak untuk menikah, sehingga membuat penderita memikirkan hal tersebut secara mendalam (MA-CK-W6). Penderita disukai oleh laki-laki yang tidak [12]

13 diinginkannya dengan latar belakang cinta segitiga. Penderita mencintai lelaki yang tidak direstui oleh ayah penderita, namun di sisi lain, penderita disukai lelaki yang tidak dicintainya. Keadaan tersebut menjadi hal yang sangat dipikirkan secara mendalam oleh penderita hingga tertekan (MR-CK- W8). Keinginan Yang Tidak Dipenuhi Penderita sudah bekerja di Perseroan Terbatas (PT), namun memiliki banyak keinginan yang tidak dapat dipenuhi dengan hasil jerih payahnya. Keinginankeinginan tersebut bersifat gengsi dan merupakan tuntutan dari lingkungan sehingga penderita harus meminta kepada orang tua (MR-CK-W4). Namun karena penderita merasa malu untuk meminta kepada orang tua, sehingga membuat penderita tidak berhasil untuk mewujudkan keinginannya tersebut dan dipikirkan secara mendalam. Tuntutan lingkungan kerja untuk membeli motor dengan brand tertentu tidak diwujudkan oleh penderita. Lingkungan kerja terus memberi tuntutan untuk segera membeli motor tersebut sehingga penderita merasa gengsi apabila tidak segera memiliki motor tersebut. Penderita memiliki pola perilaku impulsi dimana penderita suka seenanknya sendiri, tidak mau mengalah, dan mudah sekali tersinggung apabila keinginannya tidak dituruti (MR-CK-W1). Namun hal tersebut tidak diiringi dengan usaha yang keras. Sehingga keinginan tersebut tidak pernah terwujud nyata. Berbagai tuntutan lingkungan akan kebutuhan-kebutuhan imaginer yang harus dipenuhi menumbuhkan pikiran irasional pada penderita sehingga penderita memikirkan hal-hal tersebut terlalu mendalam namun tidak pernah diwujudkan. Pola perilaku tersebut terus berulang dan menjadi tekanan tersendiri bagi penderita (MR-CK- W4). Keluarga yang Tidak Harmonis Keluarga yang seharusnya menjadi sosok individu untuk berbagi suka cita malah menjadi pelecut adanya stresor dalam hidup. Hal ini mengacu pada adanya mertua yang menuntut banyak kepada penderita sehingga memunculkan tekanantekanan tersendiri dan trauma yang menumbuhkan defensi. Mertua dan suami memiliki kuasa besar terhadap penderita (MR-CK-W2). Dengan kekuasaan tersebut, mertua dan suami memberikan banyak tekanan-tekanan kepada penderita sehingga menumbuhkan stresor-stresor baru bagi penderita. Kemudian dengan latar belakang yang suka memendam masalah, penderita hanya dapat melampiaskan stres tersebut dengan mengaji. Hal tersebut membuat penderita tidak dapat menyalurkan stresornya sehingga membentuk defensi dan trauma pada individu yang dapat merentankan ego serta menumbuhkan patologi pada penderita. Penderita tidak hanya memiliki mertua yang galak selain itu, mertua juga menuntut banyak pada penderita (MR-CK-W5). Tuntutan-tuntutan seperti membelikan anak motor dan senantiasa tampil elegan di depan orang lain. Hal tersebut mungkin dapat dianggap ringan bagi sebagian orang, namun penderita tidak dapat mewujudkannya dalam kehidupan nyata dan dipikirkan secara mendalam oleh penderita sehingga menumbuhkan patologi bagi penderita. Keturunan Dari Ayah Faktor genetis ini mengacu pada aspek keturunan yang diturunkan oleh orang tua pada penderita. Dimana ayah dari penderita mengalami gangguan mental yang sama (MR-CK-W7). Penderita awalnya tidak mengalami gangguan mental hingga dewasa, namun karena turunan dari ayahnya membuat penderita terganggu mentalnya. Penderita sering kali mengerang dan menangis tanpa sebab serta sewaktuwaktu berteriak-teriak, dan sering kali dalam keadaan telanjang. DISKUSI Latar Belakang Keluarga Penderita Skizofrenia Sejauh ini latar belakang keluarga penderita skizofrenia memberikan sumbangsih besar terhadap apa yang mengalami penderita. Dimana hampir seluruh keluarga penderita skizofrenia yang [13]

14 ada di kabupaten Trenggalek berasal dari keluarga tidak mampu. Informasi ini diperoleh dari kepala Poli Jiwa yang ada di Puskesmas Karanganyar sebagai satusatunya puskesmas yang menjadi rujukan masalah gangguan psikologis di Kabupaten Trenggalek. Rata-rata keluarga penderita skizofrenia tersebut bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Sedangkan mata pencaharian penderita skizofrenia sebelum mengalami gangguan bervariasi. Ada yang berprofesi sebagai tenaga kerja wanita di Taiwan, karyawan swasta, serta buruh tani. Setelah didiagnosis menderita skizofrenia, penderita mengalami hendaya dalam melaksanakan tugas sehari-hari sehingga penderita menghabiskan waktu di rumah. Dalam sudut pandang diatesis-stres menyebutkan bahwa sumber-sumber stres lain yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan skizofrenia pada orangorang yang memiliki kerentanan genetis mencakup faktor-faktor psikososial yang berhubungan dengan kemiskinan, makanan dan sanitasi buruk, perumahan yang miskin, dan perawatan kesehatan yang tidak adekuat. Hal tersebut akan sangat mungkin menjadi stresor pada individu dan pada individu dengan kerentanan spesifik (diatesis), akan memungkinkan berkembangnya simtom skizofrenia. Karena komponen biologikal dan psikologikal sangat mungkin menjadi stresor. Hal lain menunjukkan bahwa anakanak akan sangat mungkin terserang skizofrenia karena salah satu atau kedua orang tua mengalami skizofrenia (Nevid, 2005). Identifikasi Penderita Skizofrenia Faktor Patah Hati Seseorang dapat menderita skizofrenia karena berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain masalah pada unsur kimia di otak (Liputan6.com), pengalaman traumatis seperti cita-cita yang tidak tercapai, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, orang tua galak/polaasuh otoriter, dan mendapat perilaku kekerasan (Yosep, dkk, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan Erlina, dkk (2010) dikatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang menderita skizofrenia sebesar 72%. Namun, hasil tersebut berbeda dengan kondisi yang ada di kabupaten Trenggalek. Di kabupaten Trenggalek, jenis kelamin perempuan justru lebih rentan untuk mengalami skizofrenia. Hal ini dikarenakan penyebab yang paling dominan adalah masalah patah hati. ( ) nggeh mbak, dadose riyen niku nate ditresnani tiyang jaler, namung mboten angsal kaleh bapak, nah terus dados pikiran to (...) (MR-CK-W3). Patah hati merupakan fenomena yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang. Namun apabila perasaan tersebut terlalu dipikirkan secara mendalam dapat merusak fungsi ego karena mengalami konflik dengan dunia luar. Kerusakan ini terjadi karena ego dibanjiri oleh dorongandoronagn sekual primitif atau agresif atau impul-impuls yang berasal dari id. Kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Ego sendiri memiliki kemampuan dasar untuk menghayati afek sebagai keadaan ego dasariah serta menjembatani hubungan antara diri dengan dunia luar. Sehingga cedera pada ego dapat membawa penderita pada jarak antara realitas menuju ke keadaan keadaan regresi, yaitu kemunduran pada kemampuan dasar ego. Regresi ini sangat lazim sekali disebut sebagai mekanisme defensi individu dalam menghadapi permasalahan yang ada dan untuk menghindarkan ansietas dengan mendorong konflik atau ingatan yang mencemaskan ke dalam alam nirsadar (Lubis, 2011). ( ) awalnya karena cinta, karena disukai lelaki yang tidak diinginkan ( ) (MA-CK-W6). Materi yang biasanya diproses secara nirsadar, seketika menyeruak ke permukaan kesadaran penuh, bahkan tanpa disensor, [14]

15 tanpa dipertanyakan realitasnya atau tanpa dipertanyakan hubungannya yang logis dan berarti antara bagian ide dan perasaan yang timbul. Hal ini tampak sebagai apa yang disebut proses pemikiran primer yang dalam dan mengambang ke permukaan kesadaran, namun tanpa pengolahan dan penyaringan. Sehingga ideide muncul secara halusinatorik, delusional, atau bahkan lebih jauh lagi di- desimbolisasi seperti dalam bentuk somatisasi. Dengan keadaan penderita yang terbatas dan tidak mencukupi untuk membangun arti sehingga defensi-defensi tersebut hadir bukan untuk menghalangi materi yang mengancam, namun defensi yang gigih hadir untuk mempertahankan dunia sebagaimana penderita mengkonstruksinya khususnya untuk dirinya. Sehingga defensi-defensi tersebut menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai realitas dan menyebabkan halusinasi serta waham. Defensi yang mengandung impuls-impuls primitif membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh dan tidak sesuai secara sosial (Nevid, 2005). (...) sering berhalusinasi dan apabila bercerita tidak masuk akal (...) (MA-CK-W8). Faktor Belajar Aspek lain yang ditemukan dalam identifikasi penyebab skizofrenia ialah keinginan yang tidak terwujud. Prinsipprinsip conditioning dan belajar observasi memegang peranan dalam perkembangan beberapa bentuk perilaku skizofrenik. Pandangan ini menunjukkan bahwa perilaku aneh dibentuk dengan imbalan. (...) meminta motor namun terlalu dipikir karena gengsi (...) (MR-CK- W4). (...) suka seenanknya sendiri, tidak mau mengalah, dan mudah sekali terseinggung jika tidak dituruti keinginannya (...) (MR-CK-W1). Terlihat bahwa penderita tidak diajarkan bagaimana cara berperilaku yang adaptif dalam mendapatkan sesuatu hal yang diinginkannya. Dimana pola perilaku yang selalu ingin menang sendiri dan tidak memperdulikan orang lain muncul karena keluarga tidak mengajari cara berperilaku yang adaptif dalam merespon keadaan yang ada. Hal tersebut terjadi karena hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa kanak-kanak individu belajar dari model yang buruk. (...) semua barang dipecahkan, dirusak, suka memumukul-mukul dan mengamuk (...) (MR-CK-W4). (...) mendorong ibu hingga jatuh dan memukul bapak hingga memar hanya untuk meminta uang (...) (MR-CK-W4). Penderita skizofrenia belajar untuk menghasilkan perilaku skzofrenik ketika terdapat lebih banyak kemungkinan untuk diberi imbalan daripada perilaku maladaptifnya. Sehingga pola-pola perilaku tersebut muncul lantaran penderita skizofrenia ingin mendapat imbalan atas perilaku maladaptif yang dilakukannya. Faktor Keluarga Selain karena aspek belajar, peneliti menemukan bahwa efek keluarga berperan besar dalam membentuk individu menjadi skizofrenia, yaitu ketidakharmonisan keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi sosok individu untuk berbagi suka cita malah menjadi pelecut adanya stresor dalam hidup. Hal ini mengacu pada adanya mertua yang menuntut banyak kepada penderita sehingga memunculkan tekanantekanan tersendiri dan trauma. Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap terlalu banyak mengkritik, kejam dan sangat ingin ikut campur urusan anak. Banyak peneliti menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi tinggi meningkatkan relapse pada penderita skizofrenia. Mertua dan suami memiliki kuasa besar terhadap penderita. Dengan kekuasaan tersebut, [15]

16 mertua dan suami memberikan banyak tekanan-tekanan kepada penderita sehingga menumbuhkan stresor-stresor baru bagi penderita. Orang dengan skizofrenia yang memiliki keluarga dengan ekspresi emosi tinggi cenderung menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk. (...) sudah menikah tetapi mertua dan suami galak (...) (MR-CK-W2). (...) mertua kaya, namun menuntut banyak (...) (MR-CK-W5). Penderita tidak hanya memiliki mertua yang galak selain itu, mertua juga menuntut banyak pada penderita. Segala bentuk tekanan yang diberikan oleh keluarga membuat penderita menjadi semakin tertekan. Dalam model diatesisstres, pola-pola interaksi dan komunikasi emosional yang terganggu dalam keluarga menunjukkan suatu sumber stres potensial yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia. Faktor Genetis Tema terakhir yang ditemukan peneliti dalam identifikasi penyebab skizofrenia di Kabupaten Trenggalek ialah faktor biologis. Dimana keadaan biologis menjadi pelecut terjadinya skizofrenia pada penderita. Faktor genetis ini mengacu pada aspek keturunan yang diturunkan oleh ayah pada penderita. Semakin dekat hubungan genetis antara orang yang didiagnosis skizofrenia dan anggota keluarganya, semakin besar kecenderungan (concordance rate) mengidap skizofrenia. ( ) awalnya tiba-tiba mengerang, menangis-nangis, dan keturunan dari bapaknya ( ) (MR-CK-W7). Penderita awalnya tidak mengalami gangguan mental hingga dewasa, namun karena turunan dari ayahnya membuat penderita terganggu mentalnya. Penderita sering kali mengerang dan menangis tanpa sebab serta sewaktu-waktu berteriak-teriak, dan sering kali dalam keadaan telanjang. Sejauh ini belum diketahu terdapat gangguan apa pada sang ayah, namun dari riwayat hidup sang ayah, telah diketahui bahwa sang ayah sempat mengalami hal yang sama dengan penderita saat ini. Sehingga hal tersebut sangat mungkin diturunkan secara genetis oleh sang ayah kepada anaknya. KESIMPULAN Terdapat dua faktor yang menjadi penyebab skizofrenia di Kabupaten Trenggalek, yaitu faktor psikososial serta faktor biologis. Aspek penyebab utama faktor psikososial tersebut ialah patah hati, keinginan yang tidak terpenuhi, serta ketidakharmonisan keluarga yang membuat penderita memikirkan hal tersebut secara mendalam sehingga menyebabkan defensi dan trauma. Penyebab lain ialah faktor biologis, dimana sang ayah memiliki riwayat gangguan mental yang serupa sehingga menyebabkan skizofrenia pada anak. SARAN Masalah kesehatan mental merupakan masalah yang penting terutama di Kabupaten Trenggalek karena Kabupaten Trenggalek hanya memiliki 1 puskesmas sebagai pelayanan kesehatan jiwa. Oleh karena itu, berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti memeberkan saran (1) menambah jumlah puskesmas di Kabupaten Trenggalek agar masyarakat yang telah menderita skizofrenia mendapat penanganan yang baik. (2) perlu adanya psikoedukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat sekitar tentang skizofrenia, agar memiliki pengetahuan yang cukup dalam menghadapi penderita skizofrenia serta sebagai usaha dalam deteksi dini masalah kejiwaan. (3) bagi peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian serupa dengan beberapa aspek penelitian lain agar dapat menjadi rujukan dalam mengatasi masalah serupa. [16]

17 DAFTAR RUJUKAN Fausiah, Fitri., Widury, Julianti Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-Press. Herdiansyah, H Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Jawapos.com Gangguan Jiwa Terus Naik. Online: l/7989/gangguan-jiwa-terus-naik. diakses pada 27 Maret Kompas.com Wajarkah Populasi Orang Gila di Trenggalek. Online: 2/10/07/ /Wajarkah.Populasi.Orang.Gila.di.Trenggalek. diakses pada 27 Maret Liputan6.com Skizofrenia, Gangguan Jiwa Akibat Fungsi Otak Terganggu. Online: 6/skizofrenia-gangguan-jiwa-akibatfungsi-otak-terganggu. diakses pada 27 Maret Lubis, D, Bachtiar Understanding That Heals: Mengerti yang Menyembuhkan. Malang: Alta Pustaka Moleong, Lexy, J Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nevid, Jeffrey, S., dkk Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Rubbyana, Urifah Hubungan Antara Strategi Koping dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Skizofrenia Remisi Simptom. Surabaya: Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental. Sadock, K Sinopsis Psikiatri: Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi Ke-7 Jilid dua. Jakarta: Binarupa Aksara. Sadock, BJ. Sadock, VA Synopsis of Psychiatry Edisi Ke-9. Philadhelpia: Lippincott Williams and Wilkins Publiser. Sugiyono Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Wibisono, Kunto Online: penderitagangguan-jiwa-diindonesia-dipasung. diakses pada 2 Juni Wiramihardja, Sutardjo, A Pengantar Psikologi Abnormal.Bandung: Refika Aditama. Yosep, Iyus., dkk Pengalaman Traumatis Penyebab Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi.Bandung: MKB [17]

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM

MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2016 Vol. 1, No. 1, Hal 1-7 MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM Taufik Kasturi, Ph.D taufik@ums.ac.id

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11 MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 11 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang menginginkan kesejahteraan didalam hidupnya, bahkan Aristoteles (dalam Ningsih, 2013) menyebutkan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan utama dari eksistensi

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga menimbulkan beberapa macam penyakit dari mulai penyakit dengan kategori ringan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan orang-orang yang memiliki gangguan komunikasi, halusinasi dan delusi yang berlebihan, salah satu diantaranya

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajad Sarjana S-1 Diajukan oleh: Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati F100110101

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang paling sering dialami oleh masyarakat (Lubis, 2009). Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Konsep tentang manusia bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa manusia adalah

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang individu mulai menghadapi konflik sejak ia lahir dalam dunia. Setiap orang mempunyai cara bermacam-macam untuk menghadapi konflik yang mereka hadapi,

Lebih terperinci

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ESTI PERDANA PUSPITASARI F 100 050 253 FAKULTAS

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini beragam sekali masalah yang dihadapi manusia, baik itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal dari dalam dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga bisa menjadi sebuah impian setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhlik hidup ciptaan Allah SWT. Allah SWT tidak menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup ciptaan Allah yang lain adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan suatu sindrom penyakit klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Gangguan psikologis ini adalah salah satu jenis gangguan yang

Lebih terperinci

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang bahagia. Mencari kebahagiaan dapat dikatakan sebagai fitrah murni setiap manusia. Tidak memandang jenis kelamin,

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia.

Lebih terperinci

The Genain Quadruplets: Kembar Empat yang Mengalami Gangguan Jiwa

The Genain Quadruplets: Kembar Empat yang Mengalami Gangguan Jiwa The Genain Quadruplets: Kembar Empat yang Mengalami Gangguan Jiwa Kembar empat dan semuanya mengalami gangguan jiwa?? Memangnya ada?? Benar, ini adalah peristiwa langka. Menurut Rosenthal -seorang peneliti--

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya maupun lingkungan luarnya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Dadang yang awalnya ingin melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara serentak batal menikah, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai

Lebih terperinci

Konsep Wellbeing dalam Psikologi Positif. Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi

Konsep Wellbeing dalam Psikologi Positif. Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Konsep Wellbeing dalam Psikologi Positif Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi Keluarkan selembar kertas dan jawab saya akan merasa bahagia saat saya Manakah orang yang lebih bahagia? Mana yang bisa membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : Dewi Sumpani F 100 010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan dambaan setiap manusia. Kesehatan menjadi syarat utama agar individu bisa mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya. Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan professional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut

Lebih terperinci

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2014 adalah kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi perilaku, yaitu bagaimana prestasi kerja yang ditampilkan oleh individu baik proses maupun hasilnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi hidup manusia menurut WHO, sehat diartikan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan ini, tentunya seseorang pasti pernah mengalami beberapa masalah. Sesuatu dirasakan atau dinilai sebagai suatu masalah ketika kenyataan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kekalutan emosi, instropeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi. Masa remaja adalah masa pemberontakan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1. Kesimpulan Bab ini berusaha menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan di bab pendahuluan yaitu melihat gambaran faktor-faktor yang mendukung pemulihan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan jiwa,dan memiliki sikap positif untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia menginginkan apa yang disebut dengan kebahagiaan dan berusaha menghindari penderitaan dalam hidupnya. Aristoteles (dalam Seligman, 2011: 27) berpendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang sangat diinginkan oleh semua orang. Setiap orang memiliki harapan-harapan yang ingin dicapai guna memenuhi kepuasan dalam kehidupannya. Kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. ( Yosep, 2007 ). Harga

Lebih terperinci

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas 1 /BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara - negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir terdapat perkembangan yang signifikan dari kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan publik menyangkut

Lebih terperinci

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak BAB I PENDAHULUAN 1,1. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu ¹Hemas Farah Khairunnisa, ²Fanni Putri Diantina 1,2 Fakultas

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Disusun oleh : CAHYO FIRMAN TRISNO. S J 200 090

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Abnormal

Pengantar Psikologi Abnormal Pengantar Psikologi Abnormal NORMAL (SEHAT) sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum ABNORMAL (TIDAK SEHAT) tidak sesuai dengan kategori umum. PATOLOGIS (SAKIT) sudut pandang medis; melihat keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik maupun psikologis. Sementara anak cenderung di dominasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik maupun psikologis. Sementara anak cenderung di dominasi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan individu yang berbeda dengan orang dewasa, baik secara fisik maupun psikologis. Sementara anak cenderung di dominasi oleh pola pikir yang bersifat

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN

KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN KEMANDIRIAN PADA ANAK TENGAH DARI LATAR BELAKANG BUDAYA YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI HALAMAN SAMPUL DEPAN Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan)

Lebih terperinci