IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K)"

Transkripsi

1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang Sejarah Berdirinya Lokasi PKL Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali awalnya merupakan Satker Pengembangan Kawasan Perikanan dan Kelautan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya dibawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dibangun di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Tahun 2009, Satker Pengembangan Kawasan Perikanan dan Kelautan ini berubah menjadi Broodstock Center Udang Vanname (BCUV) Karangasem, Bali sebagai instalasi dibawah pengelolaan dan pengawasan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang berlokasi di Penarukan, Situbondo, Jawa Timur. Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini merupakan suatu instansi yang berada di bawah Balai Budidaya Laut Lombok. Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini dibangun bersadar Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No. 325/DPR.0/HK.150S4/1/2007. Tahun 2011 Broodstock Udang Vanname (BCUV) Karangasem, Bali bergabung dengan satu wadah bersama Instalasi Balai Budidaya Laut Lombok yang berlokasi di Tigaron, Karangasem, Bali yang khusus menangani kekerangan (Abalon dan tiram mutiara) dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.28/MEN/2010 tanggal 9 Desember 2010 berdiri sendiri menjadi Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K)

2 24 Karangasem Bali sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dibawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan tugas pokok melaksanakan produksi induk udang unggul dan kekerangan dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Indonesia. Peresmian Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali dilaksanakan oleh Bapak Presiden RI ke 6 yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara bersama Bapak Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Gubernur Bali, Bupati Karangasem dan para undangan dari berbagai instansi Letak dan Keadaan Lokasi Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) berlokasi di Bali dengan dua lokasi yang berbeda. Lokasi hatchery udang berada di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali sedangkan Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara berlokasi di Dusun Tigaron, Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Lokasi Praktek Kerja Lapang ini dapat dilihat pada lampiran 1. Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara ini dibangun di atas tanah dengan luas sebesar 1,124 Ha. Batas-batas yang berbatasan langsung dengan lokasi hatchery ini yaitu : Utara : Laut Bali Selatan : SMAN 1 Kubu dan kantor polisi hutan Kubu. Timur : Lahan dan tambak udang milik warga Tigaron Barat : makam warga dusun Tigaron.

3 Tugas dan Fungsi Berdasarkan Surat dan Keputusan Menteri kelautan dan Perikanan No. KEP.28/MEN/2010 tgl. 9 Desember 2010, BPIU2K Karangasem, Bali memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: Tugas Pokok yaitu melaksanakan Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BPIU2K Karangasem Bali menyelenggarakan fungsi antara lain pelaksanaan uji mutu, uji lingkungan dan uji penyakit, pengelolaan produksi calon induk, induk udang unggul dan kekerangan, pengelolaan data dan sistem informasi, pengelolaan sarana dan prasarana, pelayanan teknis, pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan, serta pelaksanaan urusan tata usaha BPIU2K. Visi yang dimiliki yaitu menjadi institusi pelayanan prima dalam pengembangan akuakultur yang berdaya saing, berkelanjutan dan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi andalan. Misi yang akan dijalankan yaitu menyediakan induk udang dan kekerangan yang unggul dan berkualitas bagi para pembudidaya di seluruh wilayah Indonesia dengan harga relatif murah serta mensukseskan pembenihan dalam budidaya abalon dan tiram mutiara dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.28/MEN/2010 pada tanggal 09 Desember 2010 tentang organisasi dan tata kerja Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K)

4 26 Karangasem terdiri dari Kepala balai mempunyai tugas merumuskan kegiatan, mengkordinasikan dan mengarahkan tugas penerapan teknik pembenihan dan pembudidaya udang dan kekerangan serta pelestarian sumberdaya induk atau benih udang dan kekerangan dengan prosedur dan peraturan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan tugas dengan dibantu oleh sub bagian tata usaha, seksi pengendalian mutu dan pengelolaan produksi, seksi sarana dan prasarana, seksi data dan informasi dan kelompok jabatan fungsional. Struktur organisasi Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam Unit Kekerangan Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem-Bali terdapat dua divisi yaitu divisi kerang abalon dan divisi tiram mutiara. Dalam dua devisi ini terdapat 9 pekerja yaitu: Koordinator Unit Kekerangan Teknisi Abalon Teknisi Abalon Teknisi Mesin dan Listrik Teknisi Pakan Alami Teknisi Tiram Mutiara Anggota devisi Tiram Mutiara Anggota devisi Tiram Mutiara : Ir. I Wayan Astawa Giri : Ahmad Faisal Ramadhan, S.Pi : I Kadek Suarjana : I Gede Sridana : I Nyoman Sumerada : Gigih Tjatur Soelistyo, Amd.Pi : Haerati, Amd.Pi : I Ketut Sugiantika Seksi Kebersihan : I Komang Ariasa (Sumber : Tata Usaha BPIU2K Karangasem, Bali)

5 27 Tabel 2. Jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dan status pekerjaan di Unit Kekerangan (Sumber : Tata Usaha BPIU2K Karangasem, Bali). No. Tingkat Pendidikan Status Jumlah orang S1 D3 SLTA PNS Kontrak Kontrak Sarana dan Prasarana Sarana Sarana merupakan segala sesuatu yang secara langsung menunjang berlangsungnya kegiatan pembenihan abalon. Pada Unit Pembenihan Abalon dan Tiram Mutiara Karangasem Bali terdapat berbagai sarana yang digunakan adalah sebagai berikut: A. Sistem Penyediaan Listrik Sistem penyediaan tenaga listrik yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali, berasal dari perusahaan listrik milik negara (PLN) Kabupaten Karangasem yang memiliki daya 41 kvol Ampere. Listrik dengan daya tersebut selain digunakan untuk kegiatan pembenihan tiram mutiara maupun abalon juga digunakan untuk kebutuhan di luar kegiatan pembenihan, seperti sebagai sumber listrik untuk kegiatan sehari-hari, berbagai peralatan, mesin dan sarana umum, juga sebagai penerangan pada beberapa tempat di sekitar balai yaitu jalan, kantor, hatchery, laboratorium, asrama dan aula. Gambar sistem penyediaan listrik dapat dilihat pada lampiran 4.

6 28 B. Sistem Penyediaan Air Laut Sistem penyediaan air laut dilakukan dengan sistem sentral atau terpusat yang diambil dari dua titik dari Laut Bali dengan menggunakan pompa merk Ebara. Titik pertama sejauh 100 m dari garis pantai kemudian disalurkan menggunakan pipa dengan diameter 10 cm dan kedua sejauh 80 m dengan diameter pipa 15 cm. Air laut selanjutnya disalurkan ke tandon air volume 80 ton dan didalam tandon dilakukan filterisasi. Filter yang pertama menggunakan saringan dan kedua menggunakan dakron, selanjutnya air tersebut disalurkan ke devisi tiram mutiara dan divisi abalon. Gambar sumber penyediaan air laut dapat dilihat pada lampiran 4. C. Sistem Penyediaan Air Tawar Air tawar yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali berasal dari sumur bor belakang hatchery abalon. Air tawar tersebut dialirkan dengan bantuan pompa air. Air tawar tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari misalnya untuk keperluan kantor, asrama, mencuci alat-alat budidaya, dan untuk keperluan hatchery. Gambar sistem penyediaan air tawar dapat dilihat dilampiran 4. D. Sistem Aerasi Sistem aerasi yang digunakan adalah blower berkekuatan rpm, 7,5 HP yang dialirkan melalui pipa paralon ke bak pembenihan, bak induk, bak kultur pakan alami dan sebagai penunjang suplai aerasi digunakan juga blower 100 watt yang di letakkan di beberapa titik tempat di hatchery tiram mutiara, hatchery

7 29 abalon dan ruang kultur pakan alami. Gambar sistem aerasi dapat dilihat di lampiran 4. E. Bak Pemeliharaan Induk Di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali induk abalon dipelihara pada hatchery menggunakan bak fiber dengan ukuran 200x100x60 cm 3 sebanyak 16 buah dan diisi air dengan volume 900 liter. Setiap bak pemeliharaan induk tersebut diberi keranjang berukuran 60x30x35 cm 3 sebanyak empat buah dan didalam keranjang tersebut dilengkapi shelter yang terbuat dari potongan pipa paralon PVC sebagai tempat berlindung dan menempel. Bak juga dilengkapi seding net sebagai penutup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto dkk. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian shelter dan keranjang merupakan fasilitas terkontrol dalam budidaya dan berfungsi sebagai tempat bersembunyi abalon. Gambar bak pemeliharaan induk dapat dilihat pada lampiran 4. F. Bak Pemijahan Bak pemijahan yang digunakan di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali adalah toples plastik berbentuk lingkaran dengan kapasitas 16 L sebanyak 5 buah. Setiap bak plastik yang telah tersedia dilengkapi pipa aerasi dan termometer. Induk jantan diletakkan pada bak pemijahan yang berbeda dengan induk betina dengan tujuan agar tidak terjadi spawning yang tidak diinginkan. Gambar bak pemijahan abalon dapat dilihat pada lampiran 4.

8 30 G. Bak Pemeliharaan Larva dan Benih Bak pemeliharaan larva dan benih abalon dilengkapi dengan pemasangan plate yang sudah disiapkan seminggu sebelum penebaran larva dan diawali dengan menumbuhkan diatom. Bak yang digunakan untuk menumbuhkan diatom jenis Nitzscia sp. adalah bak beton dengan volume 8 m 3, sedangkan bak penebaran benih terdiri dari dua jenis yaitu bak fiber dan bak beton dengan volume 2 m 3. Masing-masing bak pemeliharaan diberi aerasi untuk suplay oksigen. Gambar bak pemeliharaan larva dan benih dapat dilihat pada lampiran 4. Hal ini sesuai dengan penelitian Susanto dkk. (2010) yang menyatakan bahwa pemeliharaan larva dilakukan pada bak bak beton yang dilengkapi dengan aerasi dan tempat tumbuhnya mikroalga (feeding plate) dari bahan atap plastik lengkung sebagai penydiaan pakan veliger sampai spat. H. Bak Penyimpanan Pakan Bak penyimpanan pakan abalon adalah bak fiber sama seperti bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk dan benih abalon dengan ukuran 200x100x60 cm 3. Pakan abalon di BPIU2K Karangasem Bali berupa rumput laut jenis Gracillaria crassa, Ulva lactuca dan Ulva reticulata. Pakan yang baru diambil dari laut langsung dimasukkan dalam bak fiber beraerasi agar tidak busuk. Cara mencegah kebusukan rumput laut adalah dengan mengaduk bak dengan kayu minimal sehari satu kali.

9 Prasarana Prasarana yang dimiliki oleh Unit Kekerangan Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali antara lain : kantor, mess operator, guest house, aula, rumah jaga, rumah pompa, dan sarana ibadah. Prasarana penunjang untuk melaksanakan kegiatan produksi kekerangan abalon dan tiram mutiara seperti instalasi pemipaan laut dalam (Deep Sea Water) sejauh m dari pantai dengan kedalaman 9 m, rumah genset, satu unit laboratorium abalon, satu unit laboratorium tiram mutiara, laboratorium lingkungan hidup, rumah pompa dengan 3 unit pompa dan tiga tandon air laut dengan kapasitas 27 ton dengan rincian dapat dilihat pada lampiran Proses Kegiatan Pembenihan Pemeliharaan Induk Pemeliharaan induk abalon (H. squamata) di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dimulai dari persiapan bak dengan cara menguras air dalam bak fiber kemudian dinding dan dasar bak disikat agar bersih dari kotoran, lumut dan hewan kecil yang menempel pada bak. Bak yang telah disikat dibilas dengan air hingga bersih, selanjutnya dikeringkan selama 2 hari agar kolam steril dari hama dan penyakit. Bak yang sudah dikeringkan, diisi dengan air laut dengan volume 900 liter disertai dengan sistem pergantian air mengalir (flow through) selama 24 jam yang dilengkapi dengan sistem aerasi dengan 4 titik yang tersebar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan dkk. (2006) yang menyatakan bahwa bak yang digunakan untuk memelihara induk adalah bak fiber yang dapat

10 32 menampung air hingga 1,5 m 3 silengkapi saluran inlet dan outlet serta 4 titik aerasi selain itu pergantian air dilakukan selama 24 jam dengan jumlah 100% per hari. Dalam bak pemeliharaan induk dilengkapi keranjang yang berfungsi tempat tinggal induk abalon. Setiap bak diisi minimal 2 keranjang ukuran 60x30x35 cm 3 dengan menambahkan shelter yang terbuat dari pipa PVC diameter 8 cm dengan panjang ± 30 cm untuk menghindarkan abalon keluar dari bak pemeliharaan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Rusdi dkk. (2014), yang mengemukakan bahwa setiap keranjang ditambahkan pipa PVC diameter 12 cm dan panjang 45 cm yang berfungsi sebagai substrat abalon. Kegiatan selanjutnya adalah penebaran induk dalam keranjang. Abalon dapat menjadi induk dengan umur minimal 1,5 tahun serta berukuran 5 cm. Dalam satu keranjang diisi sebanyak ekor abalon dan diberi 2 shelter. Keranjang pemeliharaan induk abalon jantan dibedakan dengan keranjang induk betina agar tidak terjadi spontanious spawning. Tabel 3. Jumlah Induk jantan dan Induk betina di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K). Tanggal Jumlah Jantan Jumlah Betina 14 November ekor 375 ekor 26 Desember ekor 304 ekor 16 Januari ekor 296 ekor Tabel 4. Ukuran rata-rata berat induk jantan dan induk betina di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K). Jenis Kelamin Induk Berat Badan Panjang Cangkang Jantan 43,53 g 6,3 cm Betina 65,14 g 7,1 cm

11 33 Dari tabel tersebut terlihat bahwa induk jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan induk betina. Hal ini sesuai pendapat Setyono (2009), yaitu abalon jantan lebih kecil dari betina karena abalon jantan menggunakan lebih banyak mengeluarkan energi untuk proses reproduksi dan setelah pemijahan abalon tidak nafsu makan sehingga menjadi kurus. Tingkat kelulushidupan dalam pemeliharaan induk abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali tergolong tinggi yaitu sebesar 81,16% dengan rincian dapat dilihat pada lampiran 12. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamzah dkk. (2012) bahwa kelulushidupan abalon mencapai 70-80% Pengadaan Induk Induk abalon yang ada di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali berasal dari tangkapan alam oleh nelayan di pantai Pekutatan, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Negara, Provinsi Bali. Induk diperoleh dari pengepul dengan harga satu induk berkisar Rp 5.000,- sedangkan untuk calon induk dipatok harga sekitar Rp 3.000,- per ekor. Induk dapat diperoleh melalui pemesanan karena nelayan hanya mengambil abalon apabila ada pesanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyono (2009) menyatakan bahwa induk abalon dapat diperoleh melalui hasil tangkapan di daerah Lombok, Bali, Sulawesi dan Papua.

12 Pakan Induk Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali menggunakan 3 jenis makroalga sebagai pakan induk yaitu Gracilaria crassa, Ulva reticulata dan Ulva lactuca. Makroalga ditampung di bak fiber volume 900 liter berbentuk oval dengan penyimpanan maksimal 2 minggu. Gambar 6. Ulva lactuca (a), Ulva reticulata (b) dan Gracillaria crassa (c) (Dokumentasi PKL, 2015) Jumlah pakan yang digunakan untuk abalon sekitar 1.000gram/hari. Dosis pemberian pakan induk abalon untuk setiap bak dapat dilihat pada lampiran 8. Perbandingan G. crassa dan U. reticulata untuk pakan induk abalon yaitu 2 : 1. Pemberian pakan dilakukan denan frekuensi tiga kali seminggu dengan jumlah pakan yang diberikan sekitar gram per bak. Pakan yang akan diberikan pada induk abalon direndam dengan air tawar selama 15 menit agar hewan dan kotoran yang menempel pada pakan tersebut bisa hilang. Pemberian pakan G. crassa, U. reticulata dan U. lactuca untuk induk abalon sama dengan metode Setyono (2006) yaitu meletakkan makroalga di antara pipa pipa shelter agar mempermudah abalon untuk makan di satu titik. Makroalga ini diambil dari alam di pantai Sangalangit di Desa Grogak, Gondol dengan kedalaman mencapai dua meter.

13 Kematangan Gonad Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) menyeleksi induk abalon dengan cara membuka pada bagian posterior antara otot kaki dan cangkang dengan spatula dan mengukur panjang cangkang yang lebih dari 5 cm dan berat badan yang besar, kondisi cangkang yang tidak cacat dan warna gonad dalam organ pencernaan. Testis abalon yang matang gonad berwarna krem dan ovarium berwarna keabuabuan. Kematangan gonad induk dilakukan melalui pemberian pakan yaitu U. lactuca. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdi dkk. (2010) bahwa kandungan protein dan lemak pada U. lactuca sebesar 17,74% dan 2,73% lebih tinggi dibandingkan dengan G. crassa yaitu 9,48% dan 1,52%. Protein merupakan salah satu sumber asam amino untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan gonad sedangkan lemak selain berfungsi sebagai sumber energi juga mengandung vitamin larut lemak dan asam lemak essensial yang sangat dibutuhkan untuk perkembangn gonad abalon. Gambar induk abalon matang gonad dapat dilihat pada lampiran 6. Tabel 5. Hasil data jumlah induk matang gonad di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali. Jenis Tingkat Kematangan Gonad Kelamin 0 I II III Jantan 5 ekor 17 ekor 82 ekor - Betina 12 ekor 63 ekor 257 ekor -

14 Pemijahan Abalon A. Persiapan Bak Bak yang digunakan untuk pemijahan adalah bak dari toples dengan diameter 20 cm dan volume 16 L sebanyak 5 buah dan toples persegi empat sebanyak 3 buah. Bak tersebut dialiri dengan air laut dan diberi aerasi. Hal ini dipertegas oleh Litaay (2005), menyatakan bahwa induk dipijahkan dalam bak pemijahan dan dilengkapi sengan sistem air mengalir. Bak penampungan telur dilengkapi dengan egg collector berupa wadah plastik dilengkapi dengan plankton net dengan mesh size 60 atau 80 μm pada outlet. Ruangan pemijahan dikondisikan dalam keadaan gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyono (2009), bahwa pemijahan abalon dapat terjadi pada bulan gelap sehingga membuat kondisi ruangan gelap merupakan salah satu alternatif pemijahan abalon. B. Seleksi Induk Induk abalon jantan dan betina yang dipijahkan berukuran 6-7 cm dengan berat antara 43,53-65,15 gram. Semakin besar ukuran induk yang digunakan akan semakin baik karena fekunditasnya juga semakin tinggi. Setyono (2003), menyatakan bahwa kriteria induk abalon yang baik yaitu organ tubuh tidak terluka dan utuh, ukuran panjang cangkang ± 5 cm. Proses satu kali pemijahan abalon di BPIU2K Karangasem hanya menggunakan 8-10 ekor induk karena apabila dalam satu siklus pemijahan menggunakan induk dengan jumlah banyak akan menghasilkan keturunan kerdil dan kualitasnya kurang baik.

15 37 Proses seleksi induk dilakukan dengan membuka cangkang induk kemudian melihat kematangan gonad induk yaitu warna kuning untuk induk jantan dan warna hijau kebiruan untuk induk betina. Perbandingan yang digunakan untuk pemijahan induk jantan dan betina adalah 1:2, hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan dkk. (2006), bahwa jumlah induk betina harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah induk jantan karena induk jantan dapat mengeuarkan sperma berulang-ulang kali sedangkan induk betina hanya mengeluarkan telur sekali dalam satu siklus pemijahan. C. Pemijahan dengan Rangsangan Suhu Proses pemijahan abalon di (BPIU2K) Karangasem yaitu dengan metode rangsangan suhu menggunakan pure oksigen. Rangsangan suhu dilakukan karena suhu dapat mempengaruhi sistem metabolisme tubuh yaitu berperan dalam merangsang kematangan gonad sehingga terjadi pemijahan (Andriyono, 2013). Dalam proses pemijahan ini terdapat beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah rangsangan suhu induk abalon dengan cara mengeluarkan induk ke udara terbuka selama 30 menit. Hal ini bertujuan agar induk abalon stress sehingga merangsang abalon untuk memijah. Tahap kedua adalah memasukkan induk ke dalam bak pemijahan volume 16 L yang telah berisi air laut baru dengan sistem sirkulasi air dengan suhu 29 o C. Proses pemijahan dimulai dari pukul WITA. Induk jantan berjumlah 4 ekor dan betina berjumlah 8 ekor ditempatkan pada bak pemijahan berbeda. Tahapan ketiga adalah memberi oksigen melalui aerasi dengan kecepatan 5L/menit pada masing-masing bak pemijahan selama 3 jam, hal ini bertujuan

16 38 untuk menurunkan suhu sebesar 3 o C yaitu suhu awal 29 o C menjadi 26 o C. selama 2 jam kemudian dinaikkan lagi seperti suhu awal menjadi 29 o C.Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdi dkk (2010), yang menyebutkan bahwa metode rangsangan pemijahan induk abalon dengan pemberian oksigen murni melalui aerasi selama 3 jam lebih efektif untuk merangsang pemijahan H. squamata. Pemijahan tersebut dilakukan dalam ruang gelap dan tenang yang didasarkan pada pola tingkah laku pemijahan induk di alam yaitu mencari celah karang sera bebatuan berwarna gelap untuk mengeluarkan telurnya (Priyambodo dkk., 2005). Berdasarkan hasil pengamatan, sel telur induk abalon berwarna hijau kebiruan dan mengendap di dasar serta di dinding bak sedangkan sperma induk abalon berwarna putih. Fertilisasi telur abalon dilakukan dengan cara mengambil sperma dari bak kemudian mencampurkannya dengan sel telur di dalam bak berkapasitas 20 L. Telur yang telah terbuahi akan mengendap, kemudian telur yang mengendap tersebut disifon dan pindahkan dalam bak plastik lainnya. Telur yang telah dipindahkan, dicuci hingga lima kali dengan air laut agar sperma yang tersisa dapat terbuang habis. D. Embriogenesis Telur yang sudah terfertilisasi akan mengalami proses embriogenesis. Pembelahan sel telur tahap I (dua sel) terjadi pada menit setelah pembuahan. Pembelahan sel tahap II (empat sel) terjadi pada 60 menit setelah pembuahan, kemudian berkembang menjadi fase morula awal pada menit ke 90. Fase morula terjadi pada menit ke 120. Fase grastula akhir terjadi pada waktu tiga jam setelah pembuahan. Trochophore aktif bergerak di dalam sel telur (chorion) terlihat 4,5

17 39 jam setelah pembuahan. Telur menetas menjadi veliger 5-6 jam setelah pembuahan (Setyono, 2009). Stadia larva melayang berlangsung sejak trochophore menetas hingga tiga hari. Larva akan menempel dan bermetamorfosa, memulai hidupnya sebagai hewan bentik. Untuk data embriogenesis dapat dilihat pada lampiran ke 10. Dalam sekali siklus pemijahan, tidak semua telur dapat menetas dengan sempurna dan terdapat telur yang mengalami abnormalitas. Abnornalitas dapat terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan, oleh karena itu segala fasilitas dan teknik yang digunakan dalam pemijahan harus diperhatikan (Sarida, 2008). 4.5 Pemanenan Telur Pemanenan telur dilakukan pada pukul WITA. Diameter telur berbeda-beda. Perbedaan ini diduga karena ukuran tubuh induk (panjang cangkang) yang dipijahkan lebih kecil yaitu berkisar antara 3-4 cm untuk induk jantan dan 3,6-5 cm untuk induk betina, sehingga berpengaruh pada diameter telur. Diameter telur berkisar μm. Alat yang digunakan untuk pemanenan telur adalah saringan dengan ukuran mata jaring 80µm dan 200µm. Penyiponan dilakukan untuk mengambil telur yang melayang. Telur yang dihasilkan dalam satu kali proses pemijahan adalah telur dan perhitungannya dapat dilihat pada lampiran ke 12. Menurut Setyono (2004), induk abalon dapat menghasilkan puluhan ribu hingga jutaan telur dalam sekali siklus pemijahan.

18 Hatching Rate (HR) dan Survival Rate (SR) Hatching rate merupakan daya tetas telur yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan. Jumlah telur yang dihasilkan oleh induk abalon dalam sekali memijah jumlahnya sangat besar tetapi tidak seluruhnya bisa bertahan hidup hingga stadia larva. Dalam Praktek Kerja Lapang didapatkan jumlah telur menetas sebesar telur dari 4 induk betina dan 8 induk jantan dengan HR sebesar 71, 19%. Hasil perhitungan Hatching Rate dapat digunakan untuk menghitung Survival Rate benih. Survival Rate benih yang dihasilkan dalam sekali siklus pemijahan adalah 85,65%. Hal ini sesuai dengan pendapat Soleh dan Suwono (2008), menyatakan bahwa Survival Rate rata-rata abalon yang dipijahkan dengan metode rangsangan suhu berkisar antara 80-86%. 4.6 Pemeliharaan Larva Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali menggunakan bak beton untuk media pemeliharaan larva. Hal ini bertujuan agar suhu tetap konstan dan abalon cepat tumbuh karena sinar matahari yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bak fiber. Bak beton diberi plate yang sudah tertata rapi kemudian masukkan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. dengan perbandingan pemberian 1:1 yang sudah dikultur selama seminggu untuk menumbuhkan diatom. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyono (2004), bahwa sebelum penebaran larva dibutuhkan waktu seminggu untuk persiapan bak agar dapat ditumbuhi pakan alami.

19 41 Larva abalon yang sudah di tebar di bak, sistem aerasinya diperkecil agar kandungan oksigen terlarutnya tidak berlebihan. Selain itu debit airnya dikurangi agar larva yang masih mengapung tidak terbawa air. Beberapa hari setelah ditebar trochophore masih memanfaatkan cadangan makanan (yolk sack) dan setelah 4 hari, trochophore akan memakan diatom yang menempel pada plate-plate yang telah disediakan. Seleksi atau greeding pertama dilakukan pada benih berumur 1,5 bulan untuk memisahkan benih yang berukuran 0,5 mm dengan benih yang tumbuh kerdil. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiyono (2011), yang menyatakan bahwa seleksi benih pertama dilakukan pada umur 1,5 bulan. Seleksi bertujuan untuk memisahkan ukuran abalon. Juvenil berukuran lebih dari 5 mm diambil dan ditempatkan dalam bak pemeliharaan lain yang telah ditumbuhi diatom dan diberi tambahan Gracillaria sp. dan Ulva sp. dengan kepadatan rendah Pemberian Pakan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. Abalon merupakan organisme herbivora yang mengkonsumsi mikroalga (diatom) pada fase larva (Dwiyono dan Setyono, 2011). Pada fase trochophore sampai mencapai spat saat larva mulai menempel pada substrat dan plate masih memanfaatkan pakan alami yang menempel pada tempat tersebut. Pakan alami lain yang diberikan untuk larva abalon adalah Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. yang dihasilkan dari kultur pakan skala laboratorium. Jumlah pakan yang diperlukan larva sebesar 2,5 liter Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. per hari untuk ekor larva abalon.

20 42 Pakan alami yang dikultur di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan Karangasem, Bali adalah jenis Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. Kultur yang dilakukan di balai ini merupakan kultur skala laboratorium. Dalam sekali kultur diperlukan Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. masing-masing sebanyak 1 liter dengan kepadatan 50 juta sel/ml. Bibit Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. berasal dari hasil isolasi yang dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali. Tahapan yang dilakukan dalam kultur Chaetoceros sp. dan Nitzschia sp. adalah inokulum dimasukkan ke dalam toples volume 15 L yang sudah disemprot dengan alkohol dengan perbandingan air media dengan bibit plankton adalah 50:50 atau 30:70. Tahap selanjutnya dilakukan pemupukan menggunakan pupuk KW21 dan silikat dengan dosis masing-masing 0,5 ml/l. Aerasi dinyalakan secukupnya dan diinkubasi dengan suhu ruangan mencapai C. Kira-kira setelah 4-5 hari kemudian mencapai populasi optimum, kultur tersebut siap dipanen dan untuk pakan larva abalon. Penebaran Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. di BPIU2K Karangasem Bali dilakukan dengan cara menuangkan Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. yang telah dikultur dalam laboratorium kemudian didiamkan beberapa jam. Pendiaman ini bertujuan untuk menyamakan suhu antara Nitzschia sp. dan Chaetoceros sp. dengan suhu bak pemeliharaan. Jika volume maksimal air 1500 liter maka bibit yang akan ditebar sebanyak liter.

21 Pengelolaan Kualitas Air Selama kegiatan praktek kerja lapang rata-rata salinitas sebesar ppt, oksigen terlarut 4,87-5,24 ppm, ph 7 dan suhu C. Dengan rincian dapat dilihat pada lampiran 9. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Hamzah (2012), kondisi lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan abalon di dalam bak adalah antara 26 o C-28,5 o C, salinitas antara ppt, oksigen terlarut antara 4,6-7,1 ppm dan ph antara 7,5-8,7. Pergantian air pada bak dilakukan agar bak yang digunakan bersih dan terjaga dari penyakit dan sesuatu yang dapat menyebabkan turunnya kualitas air pada bak pemeliharaan induk dan benih. Menurut Setyono (2011), air yang digunakan dalam proses pemeliharaan abalon adalah air yang telah melalui berbagai tahapan penyaringan. Air yang masuk melalui saluran inlet sebagai media yang sudah melalui proses filtrasi berasal dari tandon dan rumah pompa terlebih dahulu baru dialiri pada bak pemeliharaan induk maupun bak pemeliharaan larva. 4.8 Pengendalian Hama dan Penyakit Hama dan penyakit yang menyerang abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem Bali adalah kompetitor seperti siput serta kepiting menjadi predator larva dan calon induk abalon yang masuk melalui pakan yang kurang bersih. Hal ini sesuai dengan pendapat Sofyan dkk. (2006) yang menyatakan bahwa predator seperti kepiting dan rajungan sering memangsa abalon yang masih muda. Pergerakan larva abalon yang lambat memudahkan predator memangsa larva abalon.

22 44 Menurut Setyono (2009), larva yang tidak normal terlihat dari kurangnya respon terhadap cahaya dan terjadi perubahan warna pada cangkang abalon. Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan pengontrolan yang rutin dan menjaga kualitas air yang ada dalam bak pemeliharaan larva dan benih abalon. 4.9 Hambatan pada budidaya abalon Hambatan yang sering dihadapi di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali adalah penyediaan pakan alami untuk larva abalon masih belum stabil. Pertumbuhan diatom masih sangat lambat dan terkadang terkalahkan oleh lumut yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan larva Kelayakan Usaha Pembenihan Abalon (H. squamata) Analisis usaha perikanan merupakan cara untuk mengetahui tingkat kelayakan dari suatu jenis usaha yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan, pengembalian investasi maupun titik impas. Perhitungan analisis usaha pembenihan abalon di Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem, Bali dilakukan dengan sistem perkiraan dikarenakan produksi benih abalon digunakan untuk desiminasi di daerah Buleleng dan belum dilakukan produksi penjualan secara rutin. Perkiraan analisis usaha abalon meliputi: Modal usaha pembenihan abalon terdiri dari modal investasi dan modal kerja. Modal investasi yang digunakan sebesar Rp ,- dengan perinciannya dapat dilihat pada lampiran 13. Biaya produksi pada usaha

23 45 pembenihan ini meluputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang digunakan dalam waktu satu tahun sebesar Rp ,- sedangkan biaya variabel sebesar Rp ,- dengan demikian total biaya produksi yang digunakan adalah sebesar Rp ,-. Besarnya nilai R/C atau Revenue Cost Ratio akan menunjukkan tingkat keuntungan yang dicapai. Apabila R/C ratio lebih dari 1,0 (satu), maka usaha yang dijalankan adalah layak untuk diusahakan atau dapat diteruskan dan dalam pembenihan abalon R/C yang dihasilkan adalah sebesar 1,61 ini berarti usaha pembenihan abalon layak untuk di jalankan. Break Even Point (BEP) merupakan suatu teknik analisa untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan yang mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan atau pendapatan (revenue). Break Even Point (BEP) produksi yang dihasilkan dalam pembenihan abalon adalah 327,67 kg dan Break Even Point (BEP) harga sebesar Rp /kg. Perhitungan Payback Period (PP) pada lampiran 13 memperlihatkan bahwa keseluruhan modal yang digunakan dalam pembenihan abalon dapat dikembalikan dalam jangka waktu 1,6 tahun atau 19,2 bulan.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah mengetahui teknik kultur Chaetoceros sp. dan Skeletonema sp. skala laboratorium dan skala massal serta mengetahui permasalahan yang

Lebih terperinci

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) 1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT

PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT MARULI TUA SIHOMBING Dibimbing oleh : ANDRI HENDRIANA, S.Pi, M.Si PROGRAM KEAHLIAN

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Lombok, Dusun Gili Genting, Kecamatan

Lebih terperinci

Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial

Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial 1. Mengidentifikasi potensi dan peran budidaya perairan 2. Mengidentifikasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN ABALON (HALIOTIS SQUAMATA) HASIL DOMESTIKASI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN ABALON (HALIOTIS SQUAMATA) HASIL DOMESTIKASI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN ABALON (HALIOTIS SQUAMATA) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada kelompok

Lebih terperinci

PRAKTEK KERJA LAPANG

PRAKTEK KERJA LAPANG TEKNIK PEMELIHARAAN INDUK UNGGUL ABALON (Haliotis squamata) DI BALAI PRODUKSI INDUK UDANG UNGGUL DAN KEKERANGAN (BPIU2K) KABUPATEN KARANGASEM, PROVINSI BALI PRAKTEK KERJA LAPANG PROGRAM STUDI BUDIDAYA

Lebih terperinci

PEMBENIHAN TERIPANG PUTIH (Holothuria scabra)

PEMBENIHAN TERIPANG PUTIH (Holothuria scabra) PEMBENIHAN TERIPANG PUTIH (Holothuria scabra) 1. PENDAHULUAN Teripang atau juga disebut suaal, merupakan salah satu jenis komoditi laut yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek yang baik dipasaran

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer)

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) 1. PENDAHULUAN Kakap Putih (Lates calcarifer) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak disukai masyarakat dan mempunyai niali ekonomis yang tinggi. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Gedung IV Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April hingga

Lebih terperinci

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi 1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PROSES DAN INFRASTRUKTUR HATCHERY UDANG AIR PAYAU (Windu, Vannamei dan Rostris) Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK)

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN IPTEK PERIKANAN TAHUN ANGGARAN 2017 Pengadaan Pakan Ikan Tuna Sirip Kuning, Kerapu Sunu Dan Bandeng Pada Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

PEMBENIHAN TIRAM MUTIARA Pinctada maxima METODE DONOR SPERMA DAN THERMAL SHOCK DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

PEMBENIHAN TIRAM MUTIARA Pinctada maxima METODE DONOR SPERMA DAN THERMAL SHOCK DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT PEMBENIHAN TIRAM MUTIARA Pinctada maxima METODE DONOR SPERMA DAN THERMAL SHOCK DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Astriwana, Bayu Prasetya Wibowo, Gia Marta Novia Departemen Budidaya Perairan-Fakultas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 23 Agustus 2013, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Jl. Peta No. 83, Bandung, Jawa Barat 40232, selama 20 hari pada bulan Maret April 2013. 3.2 Alat dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan September 2009 bertempat di Laboratorium Sistem Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen

Lebih terperinci

APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima)

APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima) Aplikasi perbaikan manajemen dalam perbenihan tiram mutiara...(ida Komang Wardana) APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima) Ida Komang Wardana, Sari Budi Moria Sembiring,

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, dimulai dengan pemeliharaan udang vaname ke stadia uji, persiapan wadah dan media, pembuatan pakan meniran, persiapan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian

III. METODE PENELITIAN. Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei Juni 2014, di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. 3.2 Alat dan Bahan Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PROSES DAN INFRASTRUKTUR HATCHERY IKAN KERAPU (Epeinephelus, Cromileptes, dll) Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) IKAN KERAPU Ikan kerapu merupakan komoditas eksport yang bernilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) Oleh Adi Hardiyanto, Marwa dan Narulitta Ely ABSTRAK Induk ikan mandarin memanfaatkan pakan untuk reproduksi. Salah satu

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan, pencapaian produksi udang nasional

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M : LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS NAMA KELAS : IMADUDIN ATHIF : S1-SI-02 N.I.M : 11.12.5452 KELOMPOK : G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat

Lebih terperinci

Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia SNI 7311:2009 Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 7311:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas laut kurang lebih 5,8 juta km serta perairan pantai sepanjang 81.000 km memiliki potensi yang besar pada sektor perikanan. Sektor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Materi Penelitian

METODE PENELITIAN. Materi Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2006, di PT Centralpertiwi Bahari yang berlokasi di Desa Suak, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.

Lebih terperinci

METODOLOGI. = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah dari pengamatan σ i ε ij

METODOLOGI. = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah dari pengamatan σ i ε ij II. METODOLOGI 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Balai Benih Ikan Air Tawar (BBIAT), Kecamatan Mempaya, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Waktu penelitian dimulai dari April

Lebih terperinci

ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus :

ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus : ke dalam bak filter. Berdasarkan Anonim (2011 ) waktu tinggal dapat dihitung dengan rumus : DT = Dimana : DT = detention time atau waktu tinggal (menit) V = volume wadah (liter) Q = debit air (liter/detik)

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Usaha Pembenihan Ikan Bawal Di susun oleh: Nama : Lisman Prihadi NIM : 10.11.4493 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010 / 2011 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan bawal merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Mei 2013 dilaksanakan di Hatchery Ciparanje, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar SNI : 01-6137 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.4-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1

Lebih terperinci

VI. ANALISIS ASPEK-ASPEK NON FINANSIAL

VI. ANALISIS ASPEK-ASPEK NON FINANSIAL VI. ANALISIS ASPEK-ASPEK NON FINANSIAL 6.1. Aspek Pasar Pasar merupakan suatu sekelompok orang yang diorganisasikan untuk melakukan tawar-manawar, sehingga dengan demikian terbentuk harga (Umar 2007).

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar SNI : 02-6730.3-2002 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar Prakata Standar produksi benih kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING)

PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING) PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING) DISUSUN OLEH : TANBIYASKUR, S.Pi., M.Si MUSLIM, S.Pi., M.Si PROGRAM STUDI AKUAKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK. drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com

BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK. drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK drh. Adil Harahap dokadil.wordpress.com BUDIDAYA LELE DENGAN SISTEM BIOFLOK WADAH BENIH AIR PERLAKUAN BIOFLOK PAKAN BOBOT WADAH / KOLAM WADAH / KOLAM Syarat wadah: Tidak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Desa Hanura, Kecamatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan. B. Alat dan Bahan Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT MARULI TUA SIHOMBING

PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT MARULI TUA SIHOMBING i PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN ABALON Haliotis squamata DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT LOMBOK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT MARULI TUA SIHOMBING PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN PERIKANAN

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Oleh : Rangga Ongky Wibowo (10.11.4041) S1Ti 2G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012 Kata Pengantar... Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Persiapan Wadah dan Media Budidaya Persiapan wadah dimulai dengan pembuatan wadah dan pemasangan sistem.wadah budidaya yang digunakan adalah ember dengan ketinggian 17 cm dan

Lebih terperinci

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA 419 Pendederan ikan beronang dengan ukuran tubuh benih... (Samuel Lante) ABSTRAK PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA Samuel Lante, Noor Bimo Adhiyudanto,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Hatchery Ciparanje dan Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Penelitian

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar SNI : 01-6133 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan April 2013 hingga Mei 2013 bertempat di laboratorium budidaya perikanan Ciparanje Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD.

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu nr. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada tanggal 10 sampai dengan 28 Desember 2003.

Lebih terperinci

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA BBPBAT Sukabumi 2007 Daftar Isi 1. Penduluan... 1 2. Persyaratan Teknis... 2 2.1. Sumber Air... 2 2.2. Lokasi...

Lebih terperinci

PEMBENIHAN KERANG ABALONE Haliotis squamata DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

PEMBENIHAN KERANG ABALONE Haliotis squamata DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT PEMBENIHAN KERANG ABALONE Haliotis squamata DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Gia Marta Novia, Firawaty Sylvia Syam, Hanna Friska Marpaung 2 ) Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di Kolam Percobaan Babakan, Laboratorium Pengembangbiakkan dan Genetika Ikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014, III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014, bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Universitas

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Kolam Budidaya Ikan Ciburial, Sumedang selama kurang lebih dua bulan, yaitu sejak April - Juni 2011. 2.2 Alat dan Bahan 2.2.1 Wadah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Hatchery Ciparanje Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April sampai Mei 2013. Tahapan yang

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non pangan

NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non pangan Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina Sebagai bahan baku industri non pangan INFORMASI UMUM NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar SNI : 01-6141 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar Daftar isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi...

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN INDUK IKAN NILA JANTAN PANDU DAN INDUK IKAN NILA BETINA KUNTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah 1. Persiapan kolam Di Desa Sendangtirto, seluruh petani pembudidaya ikan menggunakan kolam tanah biasa. Jenis kolam ini memiliki

Lebih terperinci

monovalve dan menutupi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya berbentuk

monovalve dan menutupi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya berbentuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abalon merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia dikenal dengan nama kerang mata tujuh atau siput lapar kenyang dimana beberapa jenis merupakan komoditi ekonomis (Litaay,

Lebih terperinci

USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan)

USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan) USAHA PEMBENIHAN IKAN (salah satu faktor penentu di dalam usaha budidaya ikan) Melalui berbagai media komunikasi pemerintah selalu menganjurkan kepada masyarakat untuk makan ikan. Tujuannya adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI TAUFAN S FISH FARM

V. DESKRIPSI TAUFAN S FISH FARM V. DESKRIPSI TAUFAN S FISH FARM 5.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan Taufan Fish Farm berlokasi di Jl. Raya Bogor Km. 7, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Taufan s Fish Farm merupakan perusahaan perseorangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata,

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata, IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 di Laboratorium Pendidikan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 7.1 Penggunaan Input Produksi Pembenihan Ikan Patin Secara umum input yang digunakan dalam pembenihan ikan patin di Kota Metro dapat dilihat pada Tabel berikut ini: Tabel

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember 2011, bertempat di laboratorium ikan Clownfish Balai Besar Pengembangan

Lebih terperinci

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG Latar Belakang Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dibudidayakan hampir di seluruh

Lebih terperinci

Modul Praktikum Plankton Budidaya Daphnia sp. Tim Asisten Laboratorium Planktonologi FPIK UNPAD

Modul Praktikum Plankton Budidaya Daphnia sp. Tim Asisten Laboratorium Planktonologi FPIK UNPAD 2014 Modul Praktikum Plankton Budidaya Daphnia sp. Tim Asisten Laboratorium Planktonologi FPIK UNPAD I. Pendahuluan Daphnia adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar yang mendiami kolam-kolam, sawah,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperkaya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian BBIP Lamu, merupakan calon Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)/Instalasi Pembenihan dibawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT

AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT UNDERSTANDING POND AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT Soil Profile Soil Triangle Clear plastic liner tube & sediment removal tool Sediment Sampler Soil acidity tester Food web in Aquaculture

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan 2.2 Prosedur Kerja Persiapan Wadah Ukuran dan Padat Tebar

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan 2.2 Prosedur Kerja Persiapan Wadah Ukuran dan Padat Tebar II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan dan masing-masing menggunakan delapan ulangan, yaitu : 1) Perlakuan A dengan warna

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan tempat Penelitian teknologi budidaya sepenuhnya meggunakan pakan komersil pada kolam air tenang (teknologi 1) dan teknlogi budidaya menggunakan pakan pengganti berupa

Lebih terperinci