ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK PADA PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK PADA PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011"

Transkripsi

1 ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PUBLIK PADA PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011 Nurul Ainul Mardiyah Program Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan mengukur efisiensi pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Provinsi di Indonesia pada tahun Efisiensi merupakan salah satu indikator kinerja dalam sebuah instansi, terlebih pada pemerintah provinsi di era desentralisasi seperti saat ini. Efisiensi pemerintah provinsi dalam penelitian ini diukur dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) berorientasi output. Input yang diambil adalah belanja daerah dan sumber daya manusia, sedangkan output yang diteliti melipuki indikator kesehatan, pendidikan, dan musgravian. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat 20 provinsi di Indonesia yang sudah mencapai efisiensi penuh secara relatif dan 13 provinsi yang tidak mencapai efisiensi penuh. Penelitian ini juga melihat persebaran daerah yang efisien dan yang tidak efisien dilihat dari sisi besar kecil APBD, banyak sedikit jumlah penduduk, letak geografis, serta dibandingkan dengan jenis opini BPK. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa bagi provinsi-provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh perlu memfokuskan pembangunan pada sektor kesehatan dan peningkatan PDRB per kapita. Kata kunci: Desentralisasi, efisiensi, pengeluaran publik, DEA, belanja daerah, SDM PNS, indikator kesehatan, indikator pendidikan, indikator Musgravian. Abstract The principle objective of this paper is to measure the efficiency of Provincial Government in Indonesia in the year 2011 regarding local government public spending. Efficiency is one of the key indicator to assess local government performance. Efficiency of the provincial government in this research is measured by of Data Envelopment Analysis (DEA) method especially output oriented. It is used some indicators as inputs such as local expenditures and the number of PNS. As outputs, we talk about indicators such as indicators of health, education, and indicators that refer to musgravian. As the result of this research, in 2011 there were 20 provinces in Indonesia that could reach full efficiency and 13 provinces in Indonesia that did not reach full efficiency. This study also elaborated the distribution of efficient and inefficient provinces in terms of the size of budget managed, the population, geographic area, and also opinion result form BPK. Furthermore, this DEA method also provides a projection to inefficient provinces, so that this research concluded that the provinces that did not reach full efficiency should focus on the development of the health sector and also try to increase their PDRB per capita. Keywords: Desentralization, efficiency, public spending, DEA, Local Goverment Expenditure, Public Servant, Health Indicator, Educational Indicator, Musgravians Indicator.

2 LATAR BELAKANG Sejak tahun 1999 sistem keuangan daerah di Indonesia beralih konsep dari sentralisasi pemerintahan ke sistem desentralisasi. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Seiring berjalannya waktu, konsep dalam kedua undang-undang tersebut mengalami perkembangan dan evaluasi. Sehingga, pada tahun 2004 dikeluarkan lagi dua paket undang-undang untuk memperbaharui kedua undang-undang di atas yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun Arah dari perubahan konsep keuangan daerah ini adalah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerahterutama terkait fungsi alokasi yang lebih efisien untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah karena Pemerintah Daerah lebih dekat dan lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu de yang berarti lepas, dan conterum yang berarti pusat. Jadi, berdasarkan istilah, desentralisasi memiliki arti lepas dari pusat, sedangkan otonomi berasal dari bahasa yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Di Indonesia dalam perkembangannya otonomi selain mengandung arti perundangan juga mengandung arti pemerintahan. Oleh karena itu, dalam membahas desentralisasi secara tidak langsung juga membahas mengenai otonomi. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan apalagi dalam kerangka negara kesatuan (Fahmi, 2009). Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat/instrumen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan partisipatif (Tanzi, 2002). Desentralisasi sesungguhnya bukan tujuan melainkan sebuah instrumen untuk mencapai tujuan. Bird (1999) mengemukakan bahwa desentralisasi memiliki banyak tujuan, sehingga mungkin saja terdapat risiko munculnya harapan yang berlebihan dari kebijakan desentralisasi tersebut. Dillinger (1994) dalam penelitiannya terkait desentralisasi menemukan bahwa pemicu dilakukannya kebijakan ini adalah keinginan untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik. Sehingga, harapan akan membaiknya layanan publik dan berkurangnya kemiskinan merupakan hal yang sangat wajar.

3 Dalam kaitannya dengan efisiensi, desentralisasi menjadi perdebatan tersendiri di kalangan para ahli, apakah desentralisasi itu menyebabkan anggaran pemerintah daerah menjadi lebih efisien atau sebaliknya. Litvack et al (1998), mengutip argumen yang dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Weingast (1995), dan Breton (1996), menyatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum di Indonesia, yaitu Pemerintah Daerah. Desentralisasi fiskal sendiri diharapkan memberikan dampak terhadap alokasi pengeluaran belanja pemerintah berupa meningkatnya efisiensi pengeluaran dan juga tidak kalah pentingnya meningkatnya kinerja dan efisiensi sektor publik (Adam dkk., 2008). Namun, Utama (2011) mengatakan bahwa di Indonesia keterkaitan desentralisasi fiskal dengan efisiensi ini masih jauh dari harapan. Indikasi tersebut antara lain adalah proporsi alokasi belanja pemerintah daerah yang masih didominasi kepentingan operasional rutin pemerintahan dalam bentuk belanja pegawai dan belanja barang, dibanding alokasi belanja untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan yang langsung menyentuh kebutuhan publik. Utama (2011) berpendapat hal ini terjadi karena kelemahan perencanaan belanja pemerintah daerah yang mengakibatkan terjadinya underfinancing atau overfinancing. Underfinancing membuat pemerintah daerah kesulitan memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik, sedangkan overfinancing akan membuat pemerintah daerah tidak efisien dalam mengelola belanja daerahnya. De Mello dkk.(2000), Enikopolov dkk., (2006), dan Zhang (1996) menjelaskan desentralisasi memiliki dampak positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, kebijakan fiskal, dan desain dana perimbangan yang lebih menekankan pada kebijakan pengurangan kesenjangan antar daerah. Untuk mengetahui apakah desentralisasi fiskal di Indonesia berdampak pada peningkatan kinerja dan efisiensi pengeluaran publik perlu dilakukan pengukuran kinerja dan efisiensi pengeluaran publik. Pengukuran ini dilakukan dengan mengembangkan serangkaian indikator yang objektif serta relevan untuk mengukur prestasi daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Terutama dikaitkan dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Selanjutnya, untuk mengetahui provinsi yang relatif efisien dan

4 provinsi mana yang relatif tidak efisien maka akan dilakukan analisis efisiensi berdasarkan indikator-indikator kinerja antar provinsi di Indonesia. Kurnia (2006) menjabarkan efisiensi menjadi tiga, yaitu efisiensi produksi, efisiensi alokasi, dan efisiensi fiskal. Efisiensi produksi adalah efisiensi yang berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai output tertentu. Dalam hubungannya dengan desentralisasi fiskal, efisiensi produksi bisa dicapai karena sumber daya yang ada dialokasikan ke berbagai pengeluaran sehingga menghasilkan output yang paling maksimal. Pengukuran dan perbandingan relatif efisiensi produksi ini bisa dilakukan secara langsung dengan kategori-kategori tertentu yang akan dilihat seperti tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Efisiensi alokasi adalah efisiensi yang menyangkut kesesuaian pengeluaran belanja dengan preferensi masyarakat daerah. Pengukuran efisiensi ini sulit dilakukan secara langsung karena ukuran preferensi marginal masyarakat sulit ditentukan (Kurnia, 2006). Adapun efisiensi fiskal adalah efisiensi yang menyangkut sumber penerimaan pemerintah daerah (Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan) untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah. Pengukuran efisiensi terhadap pengelolaan anggaran pemerintah daerah sangat penting karena merupakan salah satu instrumen untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah (Hamzah, 2008). Pertiwi (2007) dalam penelitiannya memberikan sebuah pandangan tentang efisiensi pemerintah daerah di provinsi Jawa Tengah dalam indikator pendidikan dan kesehatan, penelitiannya menghasilkan sebuah simpulan bahwa untuk indikator kesehatan dan pendidikan belum mencapai titik yang efisien di Jawa Tengah. Berbagai penelitian lain mengenai efisiensi pemerintah daerah di Indonesia telah dilakukan antara lain oleh Harun (2004), Kurnia (2006), dan Pertiwi (2007). Penelitian oleh Harun dilakukan pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan metode rasio sederhana. Kurnia dan Pertiwi menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) untuk meneliti pemerintah kabupaten/ kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Penelitianpenelitian tersebut bersifat lokal dalam provinsi tertentu di Indonesia, karena yang menjadi fokus adalah pemerintah kabupaten/ kota. Peneliti lain seperti Pamula (2012) sudah memperluas lingkup penelitian menjadi 33 Provinsi di Indonesia. Namun, Pamula tidak fokus hanya pada metode DEA yang digunakan, tetapi juga menggunakan

5 analisis Public Sector Performance (PSP) sehingga hasil DEA tidak dianalisis terlalu mendalam. Penelitian ini mencoba melengkapi penelitian terdahulu mengenai analisis efisiensi pemerintah daerah di Indonesia dengan mengambil skala nasional yaitu 33 provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga akan fokus menggunakan metode DEA untuk menganalisis efisiensinya sehingga akan memberikan kajian DEA secara lebih lengkap sampai dengan proyeksi yang disarankan kepada masing-masing daerah. Adapun fokus penelitian yang akan diambil adalah pada indikator kesehatan, pendidikan, dan indikator musgravian (sosio-ekonomi) tahun Maka, berdasarkan uraian di atas penulis menganggap perlu meneliti apakah tujuan dari otonomi daerah dan desentralisasi telah tercapai yakni efisiensi pada pengeluaran publik pemerintah provinsi di Indonesia. Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan penelitian yang ingin dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana tingkat efisiensi pemerintah provinsi di Indonesia pada tahun 2011 jika dilihat dari indikator-indikator Kesehatan, Pendidikan, Stabilitas Ekonomi, Distribusi Ekonomi, dan Kinerja Ekonomi dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki, yaitu Belanja Daerah dan Jumlah SDM PNS. Kemudian yang kedua adalah bagaimanakah persebaran provinsi berdasarkan tingkat efisiensi jika dilihat dari APBD, banyaknya jumlah penduduk, letak geografis, serta jenis opini BPK terhadap laporan keuangan tahun Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat efisiensi pemerintah provinsi di Indonesia dalam mengelola pengeluaran publik daerahnya. Selain itu penelitian ini juga bertujan untuk menganalisis persebaran provinsi yang efisien bila dianalisis berdasarkan besar kecilnya APBD yang dikelola, banyak sedikitnya jumlah penduduk, geografis provinsi-provinsi tersebut, serta dibandingkan dengan jenis opini BPK yang diterima tahun TINJAUAN TEORITIS Pengukuran kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk menilai apakah program/kegiatan yang telah direncanakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana tersebut, dan yang lebih penting adalah apakah telah mencapai keberhasilan yang telah ditargetkan pada saat perencanaan (Nordiawan dan Hertianty, 2010).

6 Terdapat tiga hal yang dapat diukur dalam proses pengukuran kinerja, salah satu pendekatan yang digunakan adalah sebuah konsep yang dikenal dengan value for money, yaitu indikator yang memberikan informasi apakah anggaran (dana) yang dibelanjakan menghasilkan satu nilai tertentu bagi masyarakatnya. Dalam konsep ini indikator yang dimaksud adalah ekonomi, efisien, dan efektif. Dalam mengukur kinerja dan efisiensi, perlu ditetapkan indikator-indikator yang menjadi acuan tentang sebuah nilai efisiensi dan hasil kienrja tersebut, pemerintah lewat badan koordinasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merilis indikator kesejahteraan sosial, diantaranya Indikator Kesehatan, Indikator Pendidikan, Indikator Infrastruktur Dasar, dan Indikator Ketahanan Pangan. Musgrave (1958) dalam penelitian nya menyatakan bahwa desentraliasasi memfokuskan pada memaksimalkan kesejahteraan sosial yang digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi yang efisien, dan distribusi yang sama (Abdullah, 2005). Kurnia (2006) menggunakan kombinasi dari dua indikator, yakni indikator sosio-ekonomi yang diwakili oleh kesehatan dan pendidikan serta indikator yang digunakan oleh musgrave. Pertiwi (2007) menggunakan 2 indikator dalam penelitian nya terkait efisiensi, yakni indikator kesehatan dan pendidikan. Dalam kaitannya dengan pengeluaran belanja pemerintah daerah, ada tiga jenis efisiensi yang terkait, yaitu efisiensi produksi, efisiensi alokasi, dan efisiensi fiskal (Wescott, 2002). Efisiensi produksi adalah efisiensi yang menyangkut biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output tertentu. Efisiensi alokasi adalah efisiensi yang menyangkut kesesuaian pengeluaran belanja dengan preferensi masyarakat. Efisiensi fiskal adalah efisiensi yang menyangkut sumber penerimaan pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran belanja pemerintah daerah. Begitu pentingnya mengetahui efisiensi kinerja suatu organisasi/entitas bisnis, sehingga telah banyak dikembangkan metode pengukuran efisiensi. Secara garis besar metode tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu metode parametrik dan metode nonparametrik.metode parametrik yaitu Stochastic Frontier Approach (SFA), Distribution Free Aproach (DFA), dan Thick Frontier Aproach (TFA), sedangkan dua metode nonparametrik adalah Data Envelopment Analysis (DEA) dan Free Disposable Hull (FDH). Dalam pengukuran efisiensi pengeluaran pemerintah daerah ada tiga

7 metode yang lazim digunakan, terdiri atas satu metode parametrik (SFA) dan dua metode non parametrik (DEA dan FDH) (Mahabir, 2011). DEA dikembangkan pertama kali oleh Farrel (1957) yang mengukur efisiensi teknik satu input dan satu ouput menjadi multi input dan multi ouput. Farrel(1957) menggunakan kerangka nilai efisiensi relatif sebagai rasio input (single virtual input) dengan output (single virtual output) (Giuffrida dan Gravelle, 2001; Lewis et, al. 1999; Post dan Spronk, 1999). DEA merupakan sebuah metode optimasi program matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu Decision Making Unit (DMU) dan membandingkan secara relatif terhadap DMU yang lain. (Charnes et, al. 1978; Banker et, al. 1984). DEA bisa dikatakan sebagai metodologi nonparametrik yang didasarkan pada linear programming dan digunakan untuk menganalisis fungsi produksi melalui suatu pemetaan frontier produksi (Anderson, 2004). Aplikasi model DEA ini telah dipakai dalam berbagai macam disiplin ilmu dan berbagai kegiatan operasional (Cooper, Seiford, dan Tone, 2000). Pada dasarnya prinsip kerja model DEA adalah membandingkan data input dan output dari suatu organisasi data (decision making unit atau DMU) dengan data input dan output lainnya pada DMU yang sejenis. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu nilai efisiensi (Hadinata dan Manurung, 2006). DEA dianggap sebagai penyempurna dari metode rasio dan regresi berganda. Metode rasio hanya menggunakan satu input dan satu output, sedangkan DEA bisa multi input dan multi output. Selain itu tidak membutuhkan asumsi dalam bentuk fungsi produksi dalam membentuk frontier produksinya seperti halnya regresi berganda. Jadi hal ini dapat mengeliminasi kesalahan dalam spesifikasi fungsi produksi. Eipstein dan Henderson (1989) juga menambahkan pendapatnya tentang keuntungan metode non parametrik ini dibanding metode parametrik lainnya, yaitu pendekatan ini dapat mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi. Sehingga dengan metode ini dapat diketahui penyebab ketidakefisienan yang terjadi serta solusi untuk mencapai tingkat keefisienan yang lebih tinggi. DEA pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978). Selanjutnya dikembangkan model lain oleh Banker, Charnes, dan Cooper pada tahun

8 1984. Pertama kali model CCR diajukan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun Pada model ini diperkenalkan suatu ukuran efisiensi untuk masing-masing decision making unit (DMU) yang merupakan rasio maksimum antara output yang terbobot dengan input yang terbobot juga. Masing-masing pembobotan ini akan bernilai kurang dari atau sama dengan satu. Dengan demikian akan mereduksi multiple inputs dan multiple outputs ke dalam satu virtual input dan virtual output. Pada model DEA CCR atau sering dikenal dengan nama constant return to scale, perbandingan nilai output dan input bersifat konstan, penambahan nilai input dan output sebanding. Pada tahun 1984, Banker, Charnes, dan Cooper mengembangkan lagi metode DEA untuk mengakomodasi perubahan rasio antara input dan output yang lebih flexibel. Pada model DEA BCC yang juga dikenal dengan nama variabel return to scale, peningkatan input dan output tidak berproporsi sama. Peningkatan proporsi bisa bersifat increasing return to scale (IRS) atau bisa juga bersifat decreasing return to scale (DRS). Penelitian tentang pengukuran efisiensi telah dilakukan sejak lama. Awal penggunaan efisiensi frontier dilakukan oleh Farrel (1957) yang meneliti tentang efisiensi produktivitas. Penelitiannya menunjukkan bahwa efisiensi produktivitas terdiri atas dua faktor yaitu efisiensi teknis dan efisiensi biaya. Penelitian Farrel ini adalah awal mula munculnya metode-metode pengukuran efisiensi frontier sebagaimana DEA oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978). Mahabir (2008) menggunakan FDH untuk mengukur efisiensi pada Pemerintah Negara Bagian di Afrika Selatan. Hasil penelitiannya antara lain menyimpulkan bahwa kebanyakan negara bagian tidak efisien dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Mereka seharusnya bisa menghemat sumber daya-nya (input) sebesar 60-70% dan tetap dapat mencapai output seperti yang didapatkan. Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan telah terjadi inefisiensi sebesar 60-70% di beberapa negara bagian di Afrika Selatan dalam kurun waktu penelitian yaitu tahun 2005/2006 sampai dengan 2008/2009. DEA sendiri digunakan oleh banyak peneliti untuk mengukur efisiensi berbagai sektor pemerintahan dan swasta, penelitian di sektor swasta antara lain seperti perbankan, layanan publik, dan lain sebagainya. Bhagavath (2009) meneliti tentang

9 efisiensi dalam bidang transportasi di India. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dari 44 cabang perusahaan transportasi milik pemerintah di India hanya 8 perusahaan yang efisien, sehingga kebanyakan cabang masih bisa mencapai tingkat efisiensi yang jauh lebih tinggi lagi. Di bidang pemerintahan, DEA digunakan oleh Ogawa dan Tanahashi (2008) untuk mengukur efisiensi Pemerintah Daerah di setiap regional di Jepang. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa meskipun sudah diterapkan New Public Management, masih terjadi inefisiensi sebesar 14% secara umum. Lebih lanjut, masih dari Jepang, Suzuki dan Nijkamp (2008) mengembangkan metode DEA ini dan menghasilkan kesimpulan bahwa dengan metode ini setiap Pemerintah Daerah dapat mengidentifikasi faktor apa saja yang membuat pengelolaan pemerintahannya kurang efisien. Di Indonesia, DEA digunakan antara lain oleh Hadinata dan Manurung (2006) serta Arwinardi (2008) untuk mengukur efisiensi dunia perbankan dan keuangan di Indonesia. Demikian juga yang dilakukan oleh Soetanto dan Ricky (2010) yang menggunakan DEA sebagai metode pengukuran efisiensi 10 bank terbaik di Indonesia. Menurut mereka metode ini merupakan metode alternatif yang dapat menutupi kelemahan metode lain seperti IBLI index dan CAMEL. Peneliti sebelumnya seperti Kurnia (2006) yang meneliti tentang pengukuran kinerja dan efisiensi sektor publik menggunakan metode public sector efficiency (PSE) maupun FDH di Jawa tengah memperoleh hasil dalam penghitungan efisensi bahwa besarnya alokasi pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah tidak berkorelasi dengan efisiensi dalam penggunaannya. Pertiwi (2007) yang meneliti efisiensi pengeluaran pemerintah daerah menggunakan metode DEA di Jawa Tengah memperoleh hasil tingkat efisiensi pengeluaran pendidikan pada tahun 1999 di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah cenderung belum efisien. Tahun 2002 tingkat efisiensi pengeluaran pendidikan meningkat dari tahun sebelumnya (1999) namun masih belum dapat dikategorikan efisien. Selain itu terjadi perbedaan tingkat efisiensi pada pengeluaran pemerintah daerah baik di sektor pendidikan dan kesehatan pada tahun 1999 dan Hal ini

10 berarti pemerintah daerah di masing masing daerahnya telah melakukan perbaikan kinerja pemerintahan meskipun belum optimal. Pada lingkup Pemerintah Provinsi, Harun pada tahun 2004 pernah meneliti efisiensi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan metode rasio sederhana. Kesimpulan yang didapatkan adalah pada kurun waktu penelitian yaitu tahun 1996 sampai dengan 2000 tingkat efisiensi mencapai 49% yang dianggap tergolong efisien. Sedangkan tingkat efektivitas mencapai 112% yang berarti dapat disimpulkan bahwa pengelolan keuangan di DKI Jakarta sangat efektif. METODE PENELITIAN Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Metode ini memungkinakan penggunaan multi input dan multi output. Data diolah dengan bantuan software DEA dan Excel Solver sesuai dengan referensi dari William W. Cooper, Lawrence M. Seiford, dan Kaoru Tone (2006). Adapun orientasi yang dipilih dalam analisis DEA dalam penelitian ini adalah orientasi output, yakni sebuah perspektif yang melihat efisiensi sebagai peningkatan output secara proporsional dengan menggunakan tingkat input yang sama( Indrawati, 2010). Orientasi Output ini dipilih karena akan lebih mudah bagi sebuah instansi utnuk memperbaiki tingkat capaian outputnya dibanding meminimalisasi penggunaan inputnya.maka secara umum, teknik analisis yang digunakan adalah analisis tingkat efisiensi Pemerintah Provinsi di Indonesia dan Analisis persebaran Pemerintah Provinsi berdasarkan efisiensi yang dicapai. Dalam analisis pertama penulis akan menjabarkan efisiensi dan mencermati provinsi-provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh, serta proyeksi perbaikan yang disarankan oleh DEA Solver terkait daerah-daerah yang belum mencapai efisiensi penuh. Dalam analisis kedua penulis akan melihat persebaran provinsi berdasarkan besarnya APBD, banyaknya jumlah penduduk, letak geografis, dan hasil opini BPK yang diperoleh provinsi tersebut. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini berupa indikator input dan output. Adapun hubungan antara indikator input dan output yang penulis gunakan dalam

11 mengukur efisiensi Pemerintah Daerah di Indonesia dapat terlihat dalam gambar sebagai berikut: Konstruksi Hubungan Input-Output yang Digunakan INPUT OUTPUT Indikator Sosial Ekonomi (Kurnia, 2006;Pamula, 2012) Kesehatan Realisasi Belanja Daerah Pendidikan (Kurnia, 2006) Jumlah SDM (PNS) Indikator Musgravian (Harun, 2004;Sunarto, 2010) (Kurnia, 2006;Pamula, 2012) Stabilitas Ekonomi Distribusi Ekonomi Kinerja Ekonomi Salah satu keunggulan metode DEA dibandingkan metode lainnya adalah fleksibilitas pemilihan input dan output sesuai dengan tujuan dari pengukuran (Ariwinardi, 2008). Namun, untuk mendapatkan hasil yang akurat dan relevan, dasar dari pemilihan input dan output harus secara kuat mewakili faktor-faktor yang mempengaruhi dalam operasional DMU (Decision Making Unit) yang diukur. Dalam penelitian ini ada dua indikator input yang digunakan yaitu Realisasi Belanja Daerah dan a. Jumlah PNS pada Pemerintah Provinsi. Realisasi belanja daerah merupakan salah satu faktor yang penulis ambil sebagai input karena dana merupakan faktor utama bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan pembangunan. Seberapa besar komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja pemerintah daerah (Kurnia, 2006). Hal lain yang tidak kalah penting sebagai yang digunakan sebagai input adalah jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sumber daya manusia (SDM). Bagaimanapun, SDM juga memiliki peranan penting dalam menyukseskan program Pemerintah Daerahnya. Dalam mendukung peningkatan pelayanan prima harus didukung pula oleh aparat pemerintahannya (Sunarto, 2010). Maka, dalam konteks pemerintahan pada sebuah provinsi, SDM dapat direpresentasikan

12 dari jumlah PNS yang ada di Pemerintah Provinsi tersebut. Oleh karena itu, besarnya realisasi belanja daerah berikut jumlah PNS tiap provinsi dijadikan input dalam penelitian ini. Indikator output di atas terdiri atas dua indikator sosio ekonomi yaitu kesehatan dan pendidikan, serta tiga indikator Musgravian yakni, stabilitas ekonomi, distribusi ekonomi, dan kinerja ekonomi. Indikator kesehatan dan pendidikan ini merupakan fokus utama peningkatan kesejahteraan di Indonesia pada umumnya serta Pemerintah Provinsi pada khususnya. Indikator Musgravian digunakan karena pada dasarnya desentralisasi memfokuskan pada memaksimalkan kesejahteraan sosial yang digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi distribusi yang efisien, dan kinerja ekonomi (Musgrave, 1958 dalam Schneider 2003). Indikator kesehatan yang digunakan adalah angka kelahiran ditolong tenaga medis dan kepemilikan fasilitas jamban privat di dalam rumah. Sedangkan indikator pendidikan diwakili oleh angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf. Mengenai indikator musgravian, penulis menggunakan beberapa indikator output yaitu kovarians PDRB, koefisien gini, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, dan PDRB per kapita. PEMBAHASAN Penulis menggunakan BCC orientasi output dalam penelitian ini karena bagi provinsi yang kurang efisien akan lebih mudah memperbaiki efisiensinya dengan cara maksimalisasi output daripada minimalisasi input. Untuk pengukuran yang berorientasi pada output, penekanannya adalah pada proses perbaikan dengan cara memaksimalkan capaian output DMU. Jika dengan perbaikan penambahan capaian output ini masih belum mencapai efisiensi frontier 100%, maka bisa juga dilakukan proyeksi tambahan dengan cara minimalisasi input. Akan tetapi, untuk BCC-Output ini, fokus utamanya adalah penambahan capaian output untuk perbaikannya. Berdasarkan pengolahan data dengan DEA Solver, didapatkan 20 provinsi yang mencapai efisiensi penuh yaitu 100%, sedangkan 13 provinsi lainnya belum mencapai efisiensi frontier (data lebih lanjut, lihat lampiran) Berikut capaian efisiensi yang disajikan dalam tabel sebagai berikut.

13 Provinsi Tidak Efisien No DMU Efisiensi 1 Papua 80,50% 2 Sulawesi Selatan 90,10% 3 Kalimantan Barat 93,79% 4 Jawa Timur 94,93% 5 Jawa Tengah 95,36% 6 Jawa Barat 97,35% 7 Lampung 97,40% 8 Nusa Tenggara Barat 97,61% 9 Aceh 98,07% 10 Jambi 98,48% 11 Sumatera Barat 98,62% 12 Sumatera Utara 99,33% 13 Kalimantan Selatan 99,48% Sumber: Data Olah Provinsi Papua dalam merupakan provinsi yang memiliki nilai efisiensi yang paling rendah sebesar 80,50%. Artinya, dengan Input Realisasi Belanja Daerah lebih dari 6,3 T dan jumlah SDM (PNS) mencapai orang, efisiensi output yang dicapai oleh Papua dalam indikator-indikator yang dijadikan acuan hanya mencapai sebesar 80,50%. Angka ini merupakan efisiensi relatif dibanding dengan provinsi lain yang bisa mencapai batas efisiensi maksimum (efficiency frontier). Dengan memperhatikan tabel di atas, dapat terlihat bahwa ada dua indikator yang secara rata-rata sudah mendekati dengan proyeksi, yaitu Angka Pengangguran Terbuka (APT) dan Kovarians PDRB (KovarPDRB). APT secara rata-rata bagi provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh hanya perlu diturunkan 0,41%, jika rata-rata sebelum proyeksi adalah 5,79, maka APT setelah proyeksi secara rata-rata hanya sebesar 5,38% saja. Sedangkan untuk tingkat stabilitas ekonomi provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh hanya perlu mengurangi kovar PDRB sebesar 0,01157, sehingga diharapkan setelah proyeksi nilai rata-ratanya turun dari nilai sebelum

14 proyeksi 0,01851 menjadi 0, Jika kita mencermati maksimalisasi output yang masih mempunyai rata-rata selisih cukup besar dengan proyeksi yang disarankan, ada tiga indikator yang harus menjadi perhatian, yaitu JMBN, AKTM, dan PDRBKap. Pada dua indikator kesehatan, rata-rata provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh disarankan untuk meningkatkan capaian indikator tersebut secara cukup besar. Kepemilikan jamban privat disarankan meningkat sebesar 10,37% dari sebelumnya ratarata baru mencapai 62,14% diharapkan rata-rata mencapai 72,51%. Angka Kelahiran Ditolong Tenaga Medis diharapkan meningkat sebesar 8,87% dari rata-rata semula 79,62% diharapkan mencapai rata-rata angka 88,49%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terutama bagi provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh tersebut dapat memberikan perhatian khusus pada sektor kesehatan. Selisih proyeksi lain yang cukup besar dengan proyeksi adalah pada indikator PDRB per kapita. Bagi provinsi yang belum mencapai efisiensi penuh, disarankan untuk fokus meningkatkan PDRB per kapita dengan nilai rata-rata mendekati 19 juta rupiah sehingga PDRB per kapita secara rata-rata bagi 13 provinsi tersebut meningkat dari semula 19 juta rupiah menjadi 38 juta rupiah. Setelah mendapatkan skor efisiensi relatif dari DEA Solver penulis mencoba mengelompokkan hasil perolehan skor dengan capaian hasil skor efisiensi >80%, skor efisiensi > 90%, dan skor efisiensi 100%). Dari hasil pengelompokkan hasil skor efisiensi dapat dikategorikan 20 provinsi di Indonesia masuk ke dalam kategori efisiensi 100%, 12 provinsi masuk kategori skor efisiensi 90%-99%, dan 1 provinsi masuk kategori efisiensi < 90%. Dari faktor APBD, ditentukan bahwa provinsi yang mengelola APBD di atas rata-rata dianggap provinsi dengan APBD besar, sebaliknya bagi provinsi yang mengelola APBD di bawah rata-rata dianggap sebagai provinsi dengan APBD kecil. Pada statistik deskriptif sebelumnya sudah disebutkan bahwa rata-rata APBD adalah 4,01 Milyar/tahun. Maka provinsi yang mengelola APBD lebih dari rata-rata hanya berjumlah 9 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Aceh, Papua, Sumatera Utara, dan Riau. Selain 9 provinsi tersebut, yaitu 24 provinsi lainnya dapat dikatakan sebagai provinsi yang mengelola APBD kecil.

15 Jika kita cermati persebaran tersebut dalam bentuk bagan akan terlihat seperti dalam gambar sebagai berikut. 7 0 Besar, efisiensi 100% 3 Besar, efisiensi % 1 Besar, efisiensi < 90% Kecil, efisiensi 100% 17 Kecil, efisiensi 90-99% Sebaran DMU Berdasarkan APBD Data di atas menunjukkan bawah dari 9 provinsi yang mengelola APBD besar, 3 provinsi (9,09%) mencapai efisiensi 100%, 5 provinsi (15,15%) mencapai tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan 1 provinsi (3,03%) hanya mencapai tingkat efisiensi < 90%.. Sedangkan pada provinsi yang mengelola APBD kecil yaitu sejumlah 24 provinsi, terdapat 17 provinsi (51,52%) yang mencapai efisiensi 100% dan 7 provinsi (21,21%) mencapai tingkat efisiensi antara 90%-99%. Tidak ada satu provinsi pun yang mengelola APBD kecil yang mendapatkan tingkat efisiensi < 90%. Jika dilihat dari porsi bagan, dapat terlihat bahwa dari seluruh provinsi di Indonesia paling banyak adalah provinsi yang mengelola APBD kecil dan mencapai efisiensi penuh. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa provinsi dengan APBD kecil lebih banyak yang kinerjanya lebih efisien dibanding dengan provinsi yang mempunyai APBD lebih besar. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan APBD yang besar relatif lebih sulit dalam pengelolaannya untuk menjaga efisiensi penggunaannya. Rata-rata jumlah penduduk provinsi di Indonesia adalah jiwa. Oleh karena itu, provinsi yang mempunyai jumlah penduduk di atas rata-rata tersebut akan digolongkan sebagai provinsi dengan jumlah penduduk banyak. Sebaliknya provinsi yang mempunyai jumlah penduduk di bawah rata-rata tersebut akan diasumsikan sebagai provinsi dengan jumlah penduduk sedikit.

16 Ikhtisar di atas dapat diterjemahkan dalam sebuah bagan agar lebih jelas perbandingannya sebagaimana dalam gambar sebagai berikut Banyak, efisiensi 100% Banyak, efisiensi 90-99% 0 Banyak, efisiensi < 90% 17 Sedikit, efisiensi 100% Sebaran DMU Berdasarkan Jumlah Penduduk Seperti terlihat dalam gambar di atas, dari 9 provinsi yang mempunyai penduduk banyak, 3 provinsi (9,09%) mencapai efisiensi 100%, 6 provinsi ( 18,18%) mencapai tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan tidak ada satu provinsi pun yang mempunyai jumlah penduduk banyak yang mencapai tingkat efisiensi < 90%. Sedangkan pada provinsi yang mempunyai jumlah penduduk sedikit yaitu sejumlah 24 provinsi, 17 provinsi (51,52%) mencapai efisien penuh 100%, 6 provinsi (18,18%) mencapai tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan 1 provinsi (3,03%) mencapai tingkat efisiensi < 90%. Persentase terbanyak adalah pada provinsi berpenduduk sedikit dan mencapai efisiensi penuh, yaitu sebanyak 51,52%. Sehingga, dapat dikatakan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk lebih sedikit relatif lebih efisien dalam pengelolaan kinerjanya dibanding dengan provinsi dengan penduduk yang banyak. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk yang banyak belum bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber daya tetapi justru menjadi beban bagi provinsi tersebut. Sesuai dengan pembagian geografis Barat-Timur yang dijelaskan sebelumnya, maka dari 33 provinsi di Indonesia akan dibagi menjadi 17 provinsi di wilayah barat dan 16 provinsi di wilayah timur. Tabel di atas diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut.

17 4 1 9 Barat, efisiensi 100% Barat, efisiensi 90-99% 11 Barat, efisiensi < 90% 8 Timur, efisiensi 100% 0 Sebaran DMU Berdasarkan Geografis Barat-Timur Pada 17 provinsi yang berada di wilayah Barat, terdapat 9 provinsi (27,27%) yang dapat meraih efisiensi penuh 100% dan 8 provinsi (24,24%) yang mencapai efisiensi antara 90%-99%, serta tidak ada satu pun provinsi di wilayah barat yang meraih tingkat efisiensi < 90%. Untuk 16 provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia, ada 11 provinsi (33,33%) mencapai efisiensi penuh, 4 provinsi (12,12%) mencapai tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan, dan 1 provinsi (3,03%) hanya mencapai tingkat efisiensi < 90%. Pada bagan di atas dapat terlihat cukup merata persebaran antara provinsi wilayah barat yang mencapai efisiensi penuh (27,27%), provinsi wilayah barat yang dinyatakan efisien (24,24%), dan provinsi wilayah timur yang mencapai efisiensi penuh (33,33%). Secara umum, dapat disimpulkan bahwa perseberan provinsi yang lebih efisien tidak berbeda jauh antara wilayah barat dan wilayah timur. Opini BPK dibagi menjadi empat macam, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Namun, pada penelitian ini peneliti hanya akan melihat perbedaan persebaran berdasarkan opini WTP-WDP dengan opini lainnya. Jumlah provinsi yang memperoleh opini WTP maupun WDP pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2011 sebanyak 29 provinsi, sedangkan yang mendapat opini lainnya ada 4 provinsi, sebagaimana ditampilkan pada gambar sebagai berikut.

18 WTP- WDP, efisiensi 100% WTP- WDP, efisiensi 90-99% WTP- WDP, efisiensi < 90% Opini Lainnya, efisiensi 100% Bagan Sebaran DMU Berdasarkan Opini BPK Dari hasil penelitian di atas didapat bahwa dari 29 provinsi yang memperoleh opini WTP maupun WDP, terdapat 17 provinsi (51,52%) yang berhasil mencapai efisiensi penuh 100%, 12 provinsi (36,36%) meraih tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan tidak ada provinsi WTP-WDP yang mencapai tingkat efisiensi < 90%. Adapun dari 4 provinsi yang dinyatakan mendapat opini BPK lainnya (selain WTP-WDP), dapat dirinci bahwa 3 provinsi (9,09%) mencapai efisien penuh, tidak ada provinsi yang meraih tingkat efisiensi antara 90%-99%, dan terdapat 1 provinsi yang hanya mencapai tingkat efisiensi < 90%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa porsi terbanyak, persebarannya ada pada provinsi yang mencapai efisiensi penuh dan mendapat opini WTP-WDP dibanding dengan provinsi yang mendapatkan opini lainnya. Persentasenya mencapai 51,52% dari 33 provinsi di Indonesia. KESIMPULAN Nilai efisiensi rata-rata untuk seluruh provinsi di Indonesia dengan pemodelan BCC Output sebesar 92,21%. Pada tahun 2011, dari 33 Provinsi di Indonesia, 20 provinsi terbukti secara empiris sudah mencapai efisiensi penuh (100%) dalam pengelolaan kinerjanya sedangkan 13 provinsi lain yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua. Provinsi-provinsi yang belum mencapai efisiensi 100% rata-rata perlu meningkatkan capaian dalam indikator kesehatan dan PDRB perkapita.

19 Pada sebaran tingkat efisiensi jika dilihat dari jumlah APBD yang dikelolanya, provinsi dengan APBD yang lebih kecil cenderung lebih banyak mencapai efisiensi penuh. Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan APBD yang besar relatif lebih sulit dalam pengelolaannya untuk menjaga efisiensi penggunaannya. Pada sebaran tingkat efisiensi jika dilihat dari jumlah penduduk yang dimilikinya, provinsi dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit relatif lebih banyak yang efisien. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk yang banyak belum bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber daya tetapi justru menjadi beban bagi provinsi tersebut. Pada sebaran geografis Indonesia wilayah barat dan Indonesia wilayah timur jumlah provinsi yang efisien dan tidak efisien cukup berimbang. Pada sebaran tingkat efisiensi jika dilihat dari opini audit BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi dengan membedakan opini WTP-WDP dengan opini lainnya, didapat kesimpulan bahwa provinsi yang memperoleh opini WTP-WDP lebih banyak yang efisien dibanding dengan provinsi yang memperoleh opini lainnya. SARAN Nilai efisiensi yang didapatkan melalui metode DEA ini dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Pusat dalam mengevaluasi kinerja Pemerintah Provinsi di Indonesia. Evaluasi tersebut sebaiknya fokus pada output yang ditargetkan, mencakup indikatorindikator pada bidang yang berkaitan langsung dengan masyarakat, dibandingkan dengan input yang ada, misalnya APBD atau SDM yang dimiliki. Bagi Pemerintah Daerah sendiri dapat menganalisis perbaikan-perbaikan yang bisa dilakukan dengan memfokuskan pada hal-hal yang sudah dijabarkan pada proyeksi hasil DEA ini. Kecuali untuk Pemerintah Provinsi yang sudah mencapai efisien relatif minimal dapat mempertahankan pencapaiannya saat ini, dan tidak menutup kemungkinan tetap dapat ditingkatkan lagi. Dengan adanya nilai efisiensi ini masyarakat dapat langsung mengetahui dan mengawasi apakah kinerja Pemerintahan Provinsi di Indonesia apakah program kerjanya sudah tercapai berupa output dibandingkan dengan input yang ada. Analisis DEA ini meneliti pada Pemerintah Provinsi di Indonesia, untuk pemerintah yang lebih berkaitan langsung dengan otonomi daerah, penulis menyarankan

20 agar model penelitian ini diterapkan pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Indonesia. Terkait dengan pemodelan yang digunakan dalam DEA ini, penulis menyarankan peneliti selanjutnya menggunakan kajian ilmiah para ahli untuk menentukan batasan pembobotan input dan output sehingga dapat digunakan pemodelan DEA lain yang dapat memberikan hasil yang lebih baik. KEPUSTAKAAN Ariwinardi, Fajar. Pengukuran Kinerja Bank-bank di Indonesia menggunakan metode Data Envelopment Analysis. Jakarta, 2008 Charnes A., W.W. Cooper, dan E.E Rhodes. Measuring the Efficiency of Decision Making Units. European Journal of Operation Research Cooper, William, Lawrence M. Seiford, Kaoru Tone. Data Envelopment Analysis. A Comprehensive Text with Models, Applications, References and DEA Solver Software. Springer, 2007 Farrel, M. J. The measurement of Productivity Efficiency, Journal of the Royal Statistical Society Hadinata, Ivan dan Adler Manurung. Penerapan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mengukur efisiensi kinerja dan reksadana saham. Finansial Bisnis, Kurnia, Ahmad Syakir. Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode Free Disposable Hull. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 2006 Mahabir, J. Measuring the efficiency of Local Goverment Expenditure: an FDH analysis of South African Municipalities, Chapter 8 in Financial and Fiscal Comission. Midrand Nordiawan, Deddi, dan Ayuningtyas Hertianti. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat, 2010 Pamula, Yanitra Ega,. Efisiensi sektor Publik Pendekatan Data Envelopment Analysis Indonesia Semarang, 2012 Pertiwi, Lela Dina,. Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 2007.

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS PROGRAM STUDI S 1 DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

ANALISIS EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS PROGRAM STUDI S 1 DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Analisis Efisiensi dan... (Atika Widadty) 1 ANALISIS EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS PROGRAM STUDI S 1 DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANALYSIS EFFICIENCY AND PRODUCTIVITY STUDI PROGRAM S

Lebih terperinci

Pengukuran Efisiensi Menggunakan Allocation Model Dalam Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Pada Divisi Doorlock PT. XYZ

Pengukuran Efisiensi Menggunakan Allocation Model Dalam Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Pada Divisi Doorlock PT. XYZ . Pengukuran Efisiensi Menggunakan Allocation Model Dalam Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Pada Divisi Doorlock PT. XYZ Aditiya Eko Saputro 1, Faula Arina 2, Ratna Ekawati 3 Jurusan Teknik Industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pemerintahaan di bawahnya, yaitu pemerintah daerah (Kiz-Katos dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pemerintahaan di bawahnya, yaitu pemerintah daerah (Kiz-Katos dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi berperan penting dalam agenda reformasi kelembagaan di seluruh belahan dunia. Tekanan internal dan eksternal mendorong banyak negara berkembang untuk

Lebih terperinci

Oleh: Nurul Budi Murtini Drs. Sulistiyo, MT

Oleh: Nurul Budi Murtini Drs. Sulistiyo, MT Pemilihan Supplier Menggunakan Fuzzy-DEA (studi kasus PT elba Fitrah Mandiri Sejahtera Surabaya) Supplier Selection using Fuzzy-DEA (a case study at PT elba Fitrah Mandiri Sejahtera Surabaya) Oleh: Nurul

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI KINERJA MENGGUNAKAN MODEL DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) PADA PT XYZ

ANALISIS EFISIENSI KINERJA MENGGUNAKAN MODEL DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) PADA PT XYZ ANALISIS EFISIENSI KINERJA MENGGUNAKAN MODEL DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) PADA PT XYZ ZA IMATUN NISWATI 081385659518 zaimatunnis@gmail.com Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Matematika

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.12 No.3 Tahun 2012

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.12 No.3 Tahun 2012 ANALISIS EFISIENSI BELANJA DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAMBI TAHUN 2011 Fathiyah 1 Abstract Analysis of Jambi Provincial Government Expenditure In 2011 performed using Analysis of Variance, Growth Ratio

Lebih terperinci

1. Pendahuluan ANALISIS PENGARUH TINGKAT EFISIENSI TENAGA KESEHATAN TERHADAP ANGKA PENEMUAN KASUS TUBERKULOSIS (TB) PARU DI GORONTALO

1. Pendahuluan ANALISIS PENGARUH TINGKAT EFISIENSI TENAGA KESEHATAN TERHADAP ANGKA PENEMUAN KASUS TUBERKULOSIS (TB) PARU DI GORONTALO Prosiding SNaPP2015 Kesehatan pissn 2477-2364 eissn 2477-2356 ANALISIS PENGARUH TINGKAT EFISIENSI TENAGA KESEHATAN TERHADAP ANGKA PENEMUAN KASUS TUBERKULOSIS (TB) PARU DI GORONTALO 1 Kholis Ernawati, 2

Lebih terperinci

Seminar Nasional Waluyo Jatmiko II FTI UPN Veteran Jawa Timur

Seminar Nasional Waluyo Jatmiko II FTI UPN Veteran Jawa Timur Pengukuran Efisiensi pada Bagian Produksi Genteng di PT. Wisma Wira Jatim Surabaya dengan Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Farida Pulansari ST.MT Teknik Industri FTI-UPN Veteran Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serangkaian deregulasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) telah membawa

I. PENDAHULUAN. serangkaian deregulasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) telah membawa I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perbankan nasional sebagai salah satu media lalu lintas keuangan global, memegang peranan penting bagi stabilitas sistem keuangan nasional. Melalui serangkaian deregulasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bank-bank besar di Jepang masih beroperasi di atas skala efisiensi minimum, hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bank-bank besar di Jepang masih beroperasi di atas skala efisiensi minimum, hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Penelitian yang dilakukan Drake dan Hall (2003) di Jepang dengan menggunakan pendekatan nonparametrik (DEA) menujukkan hasil bahwa merger bank-bank besar di

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Program Linear Program linear merupakan model matematik untuk mendapatkan alternatif penggunaan terbaik atas sumber-sumber organisasi. Kata sifat linear digunakan untuk

Lebih terperinci

Suharno 1 dan Lilis Siti Badriah 1

Suharno 1 dan Lilis Siti Badriah 1 DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH DAERAH DAN KINERJA SEKTOR PUBLIK ( STUDI EMPIRIS WILAYAH BANJARNEGARA, PURBALINGGA, BANYUMAS, & CILACAP ) Suharno 1 dan Lilis Siti Badriah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan intermediasi memandang bahwa sebuah lembaga keuangan

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan intermediasi memandang bahwa sebuah lembaga keuangan BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Ruang lingkup pada penelitian ini ialah menganalisis pengaruh efisiensi kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keinginan setiap masyarakat agar terciptanya tata pemerintahan yang baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus berusaha memperbaiki

Lebih terperinci

APLIKASI DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) UNTUK PENGUKURAN EFISIENSI AKTIVITAS PRODUKSI.

APLIKASI DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) UNTUK PENGUKURAN EFISIENSI AKTIVITAS PRODUKSI. OPEN ACCESS MES (Journal of Mathematics Education and Science) ISSN: 2579-6550 (online) 2528-4363 (print) Vol. 2, No. 2. April 2017 APLIKASI DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) UNTUK PENGUKURAN EFISIENSI AKTIVITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industri perbankan merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara. Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 salah satu

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGELOLAAN EKONOMI DAERAH DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI DI DAERAH. Disusun Oleh: Ivantia S. Mokoginta Miryam L.

EFISIENSI PENGELOLAAN EKONOMI DAERAH DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI DI DAERAH. Disusun Oleh: Ivantia S. Mokoginta Miryam L. Perjanjian No: III/LPPM/2014-03/46-P EFISIENSI PENGELOLAAN EKONOMI DAERAH DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI DI DAERAH Disusun Oleh: Ivantia S. Mokoginta Miryam L. Wijaya Lembaga Penelitian dan Pengabdian

Lebih terperinci

EVALUASI DUA TAHAP EFISIENSI CABANG BANK MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

EVALUASI DUA TAHAP EFISIENSI CABANG BANK MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) EVALUASI DUA TAHAP EFISIENSI CABANG BANK MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Oleh : Vivit Ninda Mayangsari (1207 100 030) Dosen Pembimbing: Drs. Sulistiyo,, MT 1 Latar Belakang Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.. Landasan Teori a. Saham Saham merupakan bukti kepemilikan sebagian dari perusahaan (Hartono, 2008: 25). Pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan yang mewakilkan kepada

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA UNIT USAHA MENGGUNAKAN MODEL CCR (STUDI KASUS PADA APOTEK KIMIA FARMA SEMARANG) Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang

ANALISIS KINERJA UNIT USAHA MENGGUNAKAN MODEL CCR (STUDI KASUS PADA APOTEK KIMIA FARMA SEMARANG) Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang ANALISIS KINERJA UNIT USAHA MENGGUNAKAN MODEL CCR (STUDI KASUS PADA APOTEK KIMIA FARMA SEMARANG) Laily Rahmania 1, Farikhin 2, Bayu Surarso 3 1,2,3 Jurusan Matematika FSM Universitas Diponegoro Jl. Prof.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

PENGUKURAN EFISIENSI BANK BUMN DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS

PENGUKURAN EFISIENSI BANK BUMN DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS PENGUKURAN EFISIENSI BANK BUMN DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS Bayu Sulistyono bay.sulistyono@gmail.com Magister Manajemen, Universitas Mercubuana Jakarta, Indonesia Abstrak

Lebih terperinci

CLASTERING PROGRAM STUDI TEKNIK DENGAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

CLASTERING PROGRAM STUDI TEKNIK DENGAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) CLASTERING PROGRAM STUDI TEKNIK DENGAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Joni Mustofa, Budi Santoso Teknik Industri FTI-UPNV Jatim e-mail: iyonakajoni@gmail.com ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan hal yang tidak bias dipisahkan dari berbagai penelitian yang dilakukan. Objek penelitian merupakan sebuah sumber yang dapat memberikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intermediasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Jika fungsi

BAB I PENDAHULUAN. intermediasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Jika fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga keuangan bank maupun non bank di Indonesia telah menjadi ujung tombak perekonomian negara di mana keduanya mempunyai peranan penting sebagai lembaga intermediasi

Lebih terperinci

EFISIENSI INDUSTRI MIKRO DAN KECIL DI INDONESIA DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) ABSTRAK

EFISIENSI INDUSTRI MIKRO DAN KECIL DI INDONESIA DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) ABSTRAK EFISIENSI INDUSTRI MIKRO DAN KECIL DI INDONESIA DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Lely R 1, dan Malik Cahyadin 2 1, 2 Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik di Indonesia yang mendapatkan perhatian besar adalah Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. Ini dikarenakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat

Lebih terperinci

Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Peningkatan Efisiensi

Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Peningkatan Efisiensi JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., (0) ISSN: 0-97 Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Reza P. Adhi, Eko Budi Santoso Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah memberikan agenda baru dalam pemerintahan Indonesia terhitung mulai tahun 2001. Manfaat ekonomi diterapkannya otonomi daerah adalah pemerintah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai efisiensi dari DMU,

BAB III METODOLOGI. Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai efisiensi dari DMU, BAB III METODOLOGI III. 1 Metode Pengukuran Efisiensi Perbankan Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai efisiensi dari DMU, hal ini terbukti dari jumlah penelitian yang berjumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berbagai perubahan pada sektor perbankan di Indonesia seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Berbagai perubahan pada sektor perbankan di Indonesia seperti BAB 1 PENDAHULUAN Berbagai perubahan pada sektor perbankan di Indonesia seperti restrukturisasi perbankan, privatisasi, dan pengaturan kehati-hatian bank dilakukan untuk membenahi sektor perbankan. Berbagai

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

Pengukuran Tingkat Efisiensi Pelayanan Unit Hemodialisis di Rumah Sakit H1 dan H2 dengan Data Envelopment Analysis (DEA)

Pengukuran Tingkat Efisiensi Pelayanan Unit Hemodialisis di Rumah Sakit H1 dan H2 dengan Data Envelopment Analysis (DEA) JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-928X D-219 Pengukuran Tingkat Efisiensi Pelayanan Unit Hemodialisis di Rumah Sakit H1 dan H2 dengan Data Envelopment Analysis (DEA) Riza

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.KERANGKA PENELITIAN Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada kebutuhan untuk melengkapi analisis benchmarking yang telah dilakukan sebelumnya oleh BUMIDA untuk menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA TAHUN ANGGARAN

ANALISIS BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA TAHUN ANGGARAN ANALISIS BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA TAHUN ANGGARAN 2012-2014 ANALYSIS OF REGIONAL EXPENDITURE IN MINAHASA LOCAL GOVERNMENT FISCAL YEAR 2012-2014 Oleh: Indra Christian Lontaan 1 Sonny

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Kabupaten Kuningan merupakan Kabupaten yang terletak di bagian timur Jawa Barat yang berada pada lintasan jalan regional penghubung kota Cirebon dengan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Efisiensi merupakan indikator penting dalam mengukur kinerja keseluruhan dari aktiva suatu perusahaan. Efisiensi sering diartikan bagaimana suatu perusahaan dapat berproduksi

Lebih terperinci

Kata Kunci : Data Envelopment Analysis, Technical Efficiency, Scale Effficiency

Kata Kunci : Data Envelopment Analysis, Technical Efficiency, Scale Effficiency PENGUKURAN EFISIENSI JASA PELAYANAN STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) DENGAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) (Studi Kasus : SPBU G, SPBU K, SPBU S, SPBU J) Moses L. Singgih dan Viki Chandra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA SKRIPSI

PENGARUH FAKTOR KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA SKRIPSI PENGARUH FAKTOR KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA SKRIPSI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini berpengaruh pada pola pikir masyarakat yang semakin maju diikuti dengan makin tingginya kepekaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sumanth (1984) dalam bukunya menjelaskan bahwa efisiensi berhubungan dengan seberapa baik kita menggunakan sumber daya yang ada untuk mendapatkan suatu hasil. Secara matematis efisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Industri perbankan memegang peranan yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Bank merupakan lembaga keuangan terpenting, dan sangat

PENDAHULUAN Industri perbankan memegang peranan yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Bank merupakan lembaga keuangan terpenting, dan sangat ANALISIS KINERJA EFISIENSI TEKNIS BANK PEMBANGUNAN DAERAH (BPD) DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) Safira Rahmannia Jurusan Ekonomi Akuntansi, Universitas Gunadarma safir.rahma@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia memasuki era otonomi daerah dengan diterapkannya Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menekankan pada pengujian teori melalui variable-variabel penelitian dengan

BAB III METODE PENELITIAN. menekankan pada pengujian teori melalui variable-variabel penelitian dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu metode yang menekankan pada pengujian teori melalui variable-variabel penelitian dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Anggaran Organisasi Sektor Publik Bahtiar, Muchlis dan Iskandar (2009) mendefinisikan anggaran adalah satu rencana kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang selama ini menganut sistem sentralistik berubah menjadi sistem desentralistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Peningkatan Efisiensi

Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Peningkatan Efisiensi JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., (0) ISSN: 7-59 (0-97 Print) C-8 Pengembangan Kawasan Andalan Probolinggo- Pasuruan-Lumajang Melalui Pendekatan Reza P. Adhi dan Eko Budi Santoso Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut. 3. Bagi masyarakat, memberikan informasi yang jelas tentang pengelolaan keuangan di Provinsi Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 4. Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah Pengelolaan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KINERJA BANK-BANK DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS TESIS

PENGUKURAN KINERJA BANK-BANK DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS TESIS PENGUKURAN KINERJA BANK-BANK DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE DATA ENVELOPMENT ANALYSIS TESIS FAJAR ARIWINADI 0606160493 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JAKARTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran tingkat kesehatan bank dikenal dengan metode CAMEL (Capital

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran tingkat kesehatan bank dikenal dengan metode CAMEL (Capital BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan dalam mengukur tingkat kesehatan bank di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Dari mulai Surat Edaran Bank Indonesia No.26/BPPP/1993

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

Jurnal Administrasi Negara

Jurnal Administrasi Negara STIA LAN Jurnal Administrasi Negara,Volume 21 Nomor 1, April 2015 / 1-5 Jurnal Administrasi Negara PENGARUH OPTIMALISASI MANAJEMEN ASET DAERAH TERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH KOTA MAKASSAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Di

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan terpenting dan sangat mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Di Indonesia, bank mempunyai

Lebih terperinci

9 Universitas Indonesia Efisiensi relatif..., RR. Retno Wulansari, FE UI, 2010.

9 Universitas Indonesia Efisiensi relatif..., RR. Retno Wulansari, FE UI, 2010. BAB 2 DEA : ALAT ANALISIS UNTUK MENGKAJI EFISIENSI RELATIF 2.1. Evaluasi Kinerja Suatu unit kerja/organisasi pada suatu entitas pemerintahan akan dapat diukur kinerjanya berdasarkan kegiatan yang telah

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI

KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil) Vol.3 Oktober 2009 KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI 1 Prasetyo Fitri Rizki 2 Mohammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada waktu itu bank- bank sentral

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada waktu itu bank- bank sentral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agustus 2007 dapat dikatakan sebagai awal resmi dimulainya krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Pada waktu itu bank- bank sentral harus turun tangan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA MANADO

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA MANADO ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA MANADO EFFECTIVENESS AND EFFICIENCY ANALYSIS OF BUDGETING OF DEVELOPMENT PLANNING AGENCY

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut bab 1 pasal 1 UU No. 10 tahun 1998, tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, bank didefinisikan sebagai berikut: Bank adalah badan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. intermediasi. Aset, deposito dan beban personalia sebagai faktor input serta Kredit

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. intermediasi. Aset, deposito dan beban personalia sebagai faktor input serta Kredit BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menganalisis efisiensi teknik bank persero dengan pendekatan intermediasi. Aset, deposito dan beban personalia sebagai faktor input

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan salah satu faktor yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2010:161), objek penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Lebih terperinci

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI JAGUNG MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) DI DESA MAINDU, KECAMATAN MONTONG, KABUPATEN TUBAN

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI JAGUNG MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) DI DESA MAINDU, KECAMATAN MONTONG, KABUPATEN TUBAN Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) Volume 2, Nomor 3 (2018): 244-254 ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e) ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI JAGUNG MENGGUNAKAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN

PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN PENGARUH BELANJA MODAL, PENGANGGURAN DAN PENDUDUK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PASAMAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan prima seharusnya dapat menjawab keluhan-keluhan tersebut, dimana

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan prima seharusnya dapat menjawab keluhan-keluhan tersebut, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melalui reformasi anggaran sudah dilakukan oleh pemerintah, tuntutan agar terwujudnya pemerintah yang amanah dan didukung oleh instansi pemerintah yang efektif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Pemilihan Sampel Penelitian menggunakan sampel data sekunder yang diperoleh melalui akses data terhadap Laporan tahunan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... i ii iii v BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 5 1.3 Tujuan Penelitian... 5 1.4 Manfaat Penelitian...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DENGAN PENDEKATAN VALUE FOR MONEY PADA PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DENGAN PENDEKATAN VALUE FOR MONEY PADA PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI ANALISIS KINERJA KEUANGAN DENGAN PENDEKATAN VALUE FOR MONEY PADA PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI ISNA ARDILA (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) AYU ANINDYA PUTRI (Alumni Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH ANALISA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL ILMIAH ANALISA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN ARTIKEL ILMIAH ANALISA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN 2009-2013 Disusun oleh : Amanda Rizka Hendyta 128694038 S1 Akuntansi 2012 A FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Lebih terperinci