BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jauh berbeda dengan pergerakan gigi secara fisiologis seperti migrasi atau erupsi gigi.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jauh berbeda dengan pergerakan gigi secara fisiologis seperti migrasi atau erupsi gigi."

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pergerakan Gigi Secara Ortodonti Menurut Graber (2000), pergerakan gigi secara ortodonti pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pergerakan gigi secara fisiologis seperti migrasi atau erupsi gigi. Akan tetapi, selama perawatan ortodonti, gigi bergerak lebih cepat dibandingkan pergerakan selama gigi erupsi, sehingga penanda remodeling tulang terlihat lebih jelas dan lebih dapat diukur. Remodeling tulang yang terjadi pada perawatan ortodonti merupakan reaksi jaringan pendukung gigi terhadap tekanan yang diberikan. Peristiwa remodeling tulang alveolar terjadi berdasarkan konsep resorpsi dan aposisi tulang secara terus menerus oleh osteoklas dan osteoblas. Tekanan yang diberikan pada gigi akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus perubahan seluler pada pergerakan gigi (Proffit, 2007). Peristiwa ini akan menyebabkan perubahan komposisi pada cairan sulkus gingiva (CSG) yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi prostaglandin dan berbagai sitokin mediator inflamasi (Khrisnan, 2006). Hal ini menjadikan CSG sebagai salah satu alat bantu diagnosa yang dapat digunakan untuk melihat perubahan seluler yang terjadi selama pergerakan gigi secara ortodonti. Pergerakan gigi dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah usia dan kepadatan tulang (Graber, 2000), hormon, dan kondisi metabolisme tulang (Yee, 2007). Selain itu diketahui bahwa konsumsi obat-obatan, pemberian suplemen yang

2 mengandung hormon pertumbuhan juga akan mempengaruhi kecepatan pergerakan gigi (Varble, 2009). Usia berperanan penting dalam perawatan ortodonti. Perawatan dengan piranti cekat dapat dimulai segera setelah foramen apikal terbentuk sempurna. Perawatan yang memerlukan modifikasi pertumbuhan dapat dimulai tanpa harus menunggu masa tumbuh kembang selesai, sementara apabila diindikasikan perawatan secara bedah, maka perawatan yang akan dilakukan haruslah menunggu hingga masa tumbuh kembang selesai. Pada anak perempuan, puncak pertumbuhan terjadi sesaat sebelum terjadi menarche, sementara pada anak laki-laki berjalan lebih lambat (Proffit, 2007) Biomekanika pergerakan gigi Pergerakan gigi terjadi akibat tekanan pada gigi. Tekanan ini akan direspon oleh gigi dan jaringan pendukungnya melalui reaksi biologis yang kompleks sehingga menyebabkan jaringan pendukung gigi mengalami remodeling. Ligamen periodontal memegang peranan penting dalam proses pergerakan gigi secara ortodonti karena kemampuannya dalam merespon kekuatan mekanik yang diterimanya akan menyebabkan adanya remodeling tulang alveolar sehingga memungkinkan gigi untuk bergerak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan optimal yang dikenakan pada gigi akan menyebabkan daerah ligamen periodontal yang mengalami regangan akan terjadi aposisi tulang sedangkan pada daerah yang mengalami tekanan akan terjadi resorpsi tulang (Profit, 2007; Mulyani, 1994). Berbagai teori mengenai pergerakan gigi telah banyak dikemukakan. Teori tekanan-regangan menyatakan bahwa pergerakan gigi terjadi akibat adanya aktivitas

3 osteoklastik pada sisi yang mengalami tekanan dan terjadi aktivitas osteoblastik pada sisi yang mengalami regangan. Pada teori ini, perubahan aliran darah pada ligamen periodontal terjadi akibat pemberian tekanan yang stabil yang menyebabkan gigi bergerak pada posisinya dalam ligamen periodontal untuk kemudian menekan suatu area dan meregang di daerah yang lain (Gambar 2.1). Aliran darah berkurang pada area dimana ligamen priodontal tertekan dan meningkat pada area dimana ligamen periodontal meregang. Tekanan dan regangan pada ligamen periodontal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus perubahan seluler pada pergerakan gigi. Secara garis besar yang terjadi menurut teori tekanan-regangan adalah adanya perubahan aliran darah karena terjadi tekanan pada ligamen periodontal, kemudian terjadi pembentukan atau pelepasan pesan kimia, dan terjadi aktivitas sel yang dipicu oleh perubahan kimia (Proffit dkk, 2007 ; Khrisnan, 2009). Selain teori tekanan-regangan, teori lain mengenai pergerakan gigi adalah teori piezoelektrik. Piezoelektrik adalah suatu fenomena yang terlihat pada matriks inorganik yang berkristal, dimana deformasi struktur kristal akan menghasilkan suatu aliran listrik karena adanya perpindahan elektron pada kristal-kristal tersebut. Bila suatu daya dikenakan pada tulang sehingga menyebabkan tulang melengkung (bending), maka akan terlihat sinyal piezoelektrik. Teori piezoelektrik tidak dapat menjelaskan lebih dalam mengenai pergerakan gigi, karena jenis daya yang digunakan dalam merangsang pergerakan gigi secara ortodonti tidak menghasilkan tekanan yang menghasilkan sinyal listrik. Sebaliknya, teori tekanan-regangan lebih dapat menerangkan pergerakan gigi

4 secara ortodonti karena teori ini merupakan stimulus bagi diferensiasi seluler berdasarkan pesan kimiawi (Proffit, dkk, 2007). A B Gambar 2.1. Gambaran histologis jaringan periodontal saat diberikan tekanan mekanik. A. Ligamen periodontal dalam keadaan normal, B. Pemberian tekanan yang ringan akan menyebabkan ligamen periodontal mengalami konstriksi (Proffit, 2007) Menurut sudut pandang klinis ortodonti, pergerakan gigi secara ortodonti terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase displacement, fase delay, dan fase acceleration and linear. Fase pertama merupakan reaksi awal gigi terhadap daya yang diberikan dimana reaksi akan terjadi dalam hitungan detik, dan mencerminkan pergerakan gigi yang terjadi diantara pergerakan viskoelastisitas ligamen periodontal. Fase kedua atau fase delay ditandai dengan tidak adanya pergerakan secara klinis. Pada fase kedua ini tidak terdapat pergerakan, namun terjadi remodeling secara luas pada semua jaringan pendukung gigi. Fase ketiga ditandai dengan pergerakan gigi secara cepat. Pergerakan gigi pada fase ini dimulai dengan adaptasi jaringan pendukung ligamen periodontal dan perubahan tulang alveolar (Huang, dkk, 2005). Burstone (cit Sigh, 2007) membagi pergerakan gigi ke dalam 3 fase, yaitu fase inisial, fase lag, dan fase post-lag. Fase pertama dimulai segera setelah dilakukan

5 aplikasi daya dan ditandai dengan sedikit pergerakan gigi di dalam soketnya. Fase ini terjadi dalam hitungan detik. Fase kedua merupakan fase dimana komponen seluler di sekitar daerah yang terlibat teraktivasi agar terjadi pergerakan gigi. Pemberian daya yang ringan akan menyebabkan fase ini berlangsung singkat. Fase ketiga atau fase post lag ditandai dengan pergerakan yang dimediasi oleh osteoklas. Fase ini berlangsung kurang lebih 2 hari setelah pemberian daya. Pada fase ketiga, bila daya yang diberikan melampaui besar daya yang dapat diterima oleh pembuluh darah kapiler, maka untuk dapat terjadi pergerakan gigi, daerah yang mengalami hialinisasi haruslah dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan pergerakan gigi pada aplikasi daya yang ringan. Secara singkat, fase pergerakan gigi terdapat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Respon tubuh terhadap pemberian tekanan mekanis (Singh, 2007) Fase Waktu Perubahan yang terjadi < 1detik Fase inisial Cairan ligamen periodontal tertekan, tulang alveolar melengkung dan terbentuk sinyal piezoelektrik 1-2 detik 3-5 detik Cairan ligamen periodontal terlihat seiring dengan pergerakan gigi di dalam ligamen periodontal Pembuluh darah pada ligamen periodontal akan tertekan pada sisi yang mengalami tekanan dan dilatasi pada sisi yang tertarik, serat ligamen periodontal dan sel akan mengalami distorsi Fase Lag 4 jam Peningkatan kadar camp, diferensiasi selular yang dimulai pada ligamen periodontal

6 Fase post lag 2 hari Terjadi pergerakan gigi yang ditandai dengan remodeling tulang pada soketnya oleh osteoklas dan osteoblas Mustofa dkk (1983, cit Yee, 2007) mengajukan model hipotetik pergerakan gigi yang terdiri dari dua teori yang bersama-sama menginduksi pergerakan gigi (Gambar 2.2). Jalur pertama menggambarkan respon biologis tulang, yang biasanya dihubungkan dengan pertumbuhan dan remodeling normal tulang, sementara jalur kedua menggambarkan respon inflamasi lokal yang berhubungan dengan pergerakan gigi secara ortodonti. Jalur pertama yaitu bahwa tekanan ortodonti membuat vektor-vektor tekanan dan regangan yang menyebabkan tulang membengkok, penghimpunan polarisasi bioelektrik dan akhirnya terjadi remodeling. Sistem messenger I mengubah aktivitas sel melalui membran plasma, bergabung dengan sinyal-sinyal elektrik, bereaksi pada jalur nukleotida siklik di permukaan sel, dan menyebabkan perubahan-perubahan pada tahap II messenger interseluler. Efek ini pada akhirnya akan mengarah ke proliferasi, diferensiasi, dan aktivitas sel. Jalur pertama ini juga menjelaskan arah atau kontrol pergerakan gigi dengan melihat perubahan bentuk antara konkaf dan konveks dari tulang alveolar yang meregang. Polarisasi elektrik matriks, misalnya daerah dengan elektrik netral atau positif akan mendorong aktivitas osteoklas sementara daerah dengan elektrik negatif akan mendorong aktivitas osteoblas yang mungkin akan mengubah polarisasi sel membran dan mendorong terjadinya peningkatan level camp.

7 Jalur kedua menjelaskan pergerakan gigi secara ortodonti sebagai suatu respon inflamasi klasik yang terjadi setelah dilakukan aplikasi tekanan. Tekanan ortodonti akan memicu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan infiltrasi seluler yang mendorong terjadinya proses inflamasi. Limfosit, monosit, dan makrofag akan memasuki jaringan dan meningkatkan sintesis prostaglandin dan sekresi enzim hidrolitik. Peningkatan lokal prostaglandin akan meningkatkan konsentrasi camp seluler yang kemudian meningkatkan aktivitas osteoklastik (Gambar 2.2) (Mustofa, dkk, 1983, cit Yee, 2007). Gambar 2.2. Jalur pergerakan gigi (Mustofa dkk, 1983, cit Yee, 2007) Proses inflamasi akut pada fase awal pergerakan gigi secara ortodonti pada dasarnya adalah peristiwa eksudatif, dimana plasma dan lekosit keluar dari kapiler-

8 kapiler daerah paradental yang mengalami regangan. Beberapa hari kemudian akan diganti oleh inflamasi kronik yang ditandai oleh sel-sel fibroblas, endotel dan sel-sel sumsum tulang alveolar. Inflamasi kronis ini akan terus terjadi hingga waktu aktivasi berikutnya. Fase inflamasi akut akan kembali terjadi pada saat dilakukan aktivasi piranti, bersamaan dengan fase inflamasi kronis yang sedang berlangsung (Khrisnan, 2006) Mekanisme Selular Remodeling Tulang dan Jaringan Periodontal Siklus remodeling tulang akan memakan waktu sekitar 4 bulan yang ditandai dengan resorpsi yang cepat dan diikuti pembentukan tulang yang lambat. Pada individu yang sehat, resorpsi tulang selalu diikuti dengan pembentukan tulang dalam jumlah yang sama sehingga tidak terdapat kehilangan massa tulang. Hal inilah yang akan menjaga integritas tulang (Nanda, 2005). Menurut Proffit (2007), agar gigi dapat bergerak, haruslah terdapat osteoklas yang menghancurkan tulang pada area yang berdekatan dengan bagian ligamen periodontal yang tertekan. Osteoblas diperlukan untuk membentuk tulang baru pada daerah yang mengalami regangan. Pada tahap awal, pergerakan gigi ortodonti selalu melibatkan respon inflamasi akut yang ditandai dengan dilatasi periodontal dan migrasi leukosit keluar dari kapiler. Migrasi sel ini menghasilkan berbagai sitokin, molekul sinyal biokimia, yang berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung dengan sel origin. Sitokin, bersama dengan molekul sinyal lokal atau sistemik lain, menimbulkan sintesis dan sekresi berbagai substan oleh sel target, termasuk prostaglandin, growth factor, dan sitokin (Khrisnan, 2006).

9 Metabolisme tulang merupakan suatu proses kompleks yang bergantung pada interaksi antara RANK ligand (Receptor activator of nuclear factor - κβ ligand), RANK (Receptor activator of nuclear factor-κβ), dan osteoprotegrin (OPG). RANK ligand (RANK-L) adalah salah satu mediator resorpsi tulang yang paling penting yang diekspresikan oleh osteoblas, limfosit-t, sel dendritik, dan sel tumor. RANK -L akan berikatan dengan RANK dan berada pada pada sel prekursor osteoklas yang mendorong terjadinya perkembangan dan aktivasi osteoklas (Gambar 2.3). Gambar 2.3. Remodeling tulang secara fisiologis. Terlihat interaksi antara osteoklas dan osteoblas dengan OPG, RANK ligand, dan RANK (Juhasz-Boss dkk, 2003) Remodeling Tulang Kemampuan tulang untuk beradaptasi terhadap beban mekanis terjadi melalui proses berkesinambungan antara pembentukan dan resorpsi tulang. Bila proses ini terjadi pada lokasi yang berbeda, maka morfologi tulang akan berubah sehingga proses ini disebut dengan modeling tulang. Pada keadaan yang homeostatis, proses resorpsi

10 dan aposisi terjadi secara seimbang. Dalam keadaan ini, tulang lama akan digantikan oleh tulang yang baru secara terus menerus. Hal ini akan menyebabkan integritas tulang tetap terjaga, dan tidak terjadi perubahan bentuk secara keseluruhan. Keadaan ini disebut remodeling tulang (Frost, 1990, cit Ruimerman, 2005). Dari sudut pandang ortodonti, modeling merupakan peristiwa penting pada pertumbuhan normal struktur kraniofasial dan juga perubahan dalam ukuran dan bentuk tulang alveolar. Remodeling merupakan mekanisme reparatif dan meliputi serangkaian peristiwa selular yang terjadi secara terus menerus. Remodeling merupakan satu-satunya mekanisme fisiologis dalam menjaga dan memperbaiki struktur tulang (Huang, dkk, 2005). Tulang terdiri dari tiga jenis sel, yaitu osteoklas, osteoblas dan osteosit. Sel utama dalam tulang yang mengatur pergantian matriks tulang adalah osteoklas dan osteoblas. Osteoklas berasal dari stem sel hematopoetik dan bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang. Osteoblas membentuk matriks yang kemudian mengalami mineralisasi apabila terdapat regulasi yang baik. Matriks yang mengalami remineralisasi ini dapat diresorpsi oleh osteoklas bila terjadi aktivasi osteoklas. Konsep utama dari remodeling tulang didasarkan pada hipotesis bahwa prekursor osteoklas akan diaktivasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi osteoklas, sehingga kemudian akan terjadi proses resorpsi tulang. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pembentukan tulang. Remodeling tulang diregulasi oleh berbagai hormon, sitokin, dan growth factor (Boyle, et a, 2003 cit Juhaszboss, dkk 2012 ; Hill, 1998). Salah satu hormon yang berperan dalam regulasi tulang adalah hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan merupakan regulator penting pada pertumbuhan

11 dan perkembangan skeletal paska kelahiran dan mendorong terjadinya diferensiasi dan proliferasi. Hormon pertumbuhan ini bekerja secara langsung maupun tidak langsung terhadap tulang. Hormon pertumbuhan juga terbukti berperan dalam stimulasi pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas (Ong, dkk, 2001). Hormon pertumbuhan berperan dalam remodeling tulang melalui interaksi yang kompleks dari sirkulasi hormon pertumbuhan, Insulin-like Growth Factors (IGFs), dan IGF-binding protein (IGFBPs). Penuaan akan berhubungan dengan penurunan massa tulang trabekular dan kortikal dan juga dengan memburuknya struktur tulang. Kadar serum hormon pertumbuhan dan IGFs menurun seiring dengan meningkatnya usia (Ueland, 2005). Menurut Varble (2009), hormon pertumbuhan akan mempengaruhi kadar TGF-β1 melalui jalur direk dan indirek. Selain hormon pertumbuhan, hormon lain yang berperan dalam remodeling tulang adalah calcitonin, paratiroid hormon (PTH), dan 1,25-dihidroxy vitamin D. Ketiga hormon ini penting dalam meregulasi konsentrasi kalsium. Plasma PTH dapat meningkatkan regulasi tulang sementara 1,25-dihidroxy vitamin D berperan pada absorpsi kalsium dan penting untuk diferensiasi osteoklas dan osteoblas dan dapat menstimulasi resorpsi dan pembentukan tulang pada beberapa percobaan klinis. Hormon lain yang juga penting untuk remodeling tulang adalah estrogen. Pada keadaan dimana terjadi defisiensi estrogen, tulang akan kehilangan keadaan homeostatisnya dengan lebih banyak terjadi resorpsi dibandingkan pembentukan tulang dan massa tulang akan berkurang (Raisz, 1999).

12 2.1.4 Retraksi Kaninus Perawatan ortodonti biasanya dicapai dalam beberapa tahap. Umumnya, tahapan tersebut adalah tahap leveling dan aligning, tahap penutupan ruang, dan terakhir tahap penyelesaian. Tahapan penutupan ruang biasanya dilakukan pada kasus yang memerlukan pencabutan (Proffit, 2007). Pencabutan yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti adalah pencabutan premolar pertama. Penutupan ruangan pada perawatan dengan pencabutan premolar pertama dapat dilakukan melalui 2 cara. Cara pertama adalah dengan melakukan retraksi 6 gigi anterior secara bersamaan dan cara kedua adalah dengan melakukan retraksi kaninus ke arah distal terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan retraksi 4 gigi anterior lainnya (Uribe dkk, 2003). Menurut Proffit (2007) besar gaya yang diperlukan untuk mendapat pergerakan translasi pada saat melakukan retraksi kaninus adalah 70g hingga 120g. Jenis daya yang dihasilkan dipengaruhi oleh besar gaya, perbandingan momen, serta bahan dan alat yang digunakan untuk melakukan retraksi kaninus tersebut. Penutupan ruangan dalam perawatan ortodonti umumnya dilakukan melalui mekanisme sliding. Cara ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti penggunaan closed coil spring, elastomerik, dan metode tie back. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik mengenai kecepatan penutupan ruangan dengan menggunakan metode-metode tersebut (Yee, 2007). 2.2 Pertumbuhan Kompleks Kraniofasial Pertumbuhan terjadi karena proses modeling dari tulang. Menurut Frost (1990, cit Ruimerman, 2005) modeling diartikan bahwa tulang mengalami perubahan bentuk.

13 Pertumbuhan secara sederhana diartikan sebagai penambahan ukuran, akan tetapi konsep tersebut tidaklah tepat, karena tumbuh harus dipahami dalam 3 aspek, yaitu bertambah dalam ukuran, differential growth, dan negative growth. Gambaran dari 3 aspek pertumbuhan tersebut terlihat pada kurva Scammon (Gambar 2.4) (Jacobson, 2006). Aspek bertambah dalam ukuran terjadi pada pertumbuhan tubuh secara umumnya. Pertumbuhan kepala menggambarkan aspek differential growth. Ukuran kepala bayi bertambah setelah dewasa, tetapi bila dibandingkan dengan ukuran tubuh secara keseluruhan, kepala dewasa akan tampak berkurang ukurannya bila dibandingkan dengan kepala bayi. Aspek ketiga, yaitu negative growth digambarkan oleh jaringan limfoid. Jaringan limfoid pada orang dewasa akan berkurang jumlah dan ukurannya dibandingkan pada anak-anak, sehingga dikatakan jaringan limfoid mengalami negative growth. Gambar 2.4. Kurva Scammon. Pertumbuhan berbagai organ tubuh diperlihatkan oleh kurva Scammon. Aspek bertambah secara ukuran digambarkan oleh perubahan tubuh secara keseluruhan (general), sementara kurva

14 pertumbuhan neural menggambarkan aspek differential growth, dan aspek negative growth digambarkan oleh pertumbuhan jaringan limfoid (Jacobson, 2006). Pada tahap seluler, pertumbuhan memiliki tiga kemungkinan. Yang pertama adalah peningkatan ukuran sel itu sendiri yang disebut hipertrofi. Kemungkinan kedua adalah pertambahan jumlah sel, yang disebut hiperplasia. Kemungkinan ketiga adalah sel akan mensekresi ekstraseluler material yang akan meningkatkan ukuran sel tersebut tanpa bergantung pada jumlah sel itu sendiri (Proffit, 2007). Pada manusia, kecepatan pertumbuhan yang paling cepat terjadi pada permulaan diferensiasi seluler pada masa embrio dan terus meningkat hingga lahir. Pertumbuhan setelah kelahiran tidak terjadi dengan kecepatan yang datar. Ada saat dimana terjadi peningkatan pertumbuhan dengan cepat yang disebut growth spurt. Growth spurt penting karena pada saat inilah perawatan yang memerlukan modifikasi pertumbuhan dapat dilakukan, sedangkan perawatan yang memerlukan tindakan bedah harus ditunda hingga masa tersebut selesai (Singh, 2007). Menurut Proffit (2007), growth spurt akan terjadi bersamaan maturitas seksual. Pada anak perempuan, menarche merupakan indikator maturitas seksual yang juga menandakan terjadinya growth spurt dan terjadi rata-rata pada usia 13 tahun. Singh (2007) mengatakan bahwa pada sebagian besar kasus, growth spurt merupakan waktu yang terbaik untuk memprediksi hasil perawatan, tujuan perawatan dan lama waktu perawatan.

15 Menurut Bhalajhi (2004), growth spurt pada anak laki-laki biasanya akan terjadi pada usia 14 sampai 16 tahun. Pada orang dewasa yang sudah melewati masa growth spurt, perawatan yang mengharapkan untuk mendapat keuntungan dari sisa pertumbuhan sudah tidak dapat dilakukan lagi. Namun, Proffit (2007) mengatakan bahwa pada orang dewasa, masih terdapat sedikit pertumbuhan wajah. Pertumbuhan fisik manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hormon. Bishara (2001) mengatakan bahwa, mungkin hampir semua produk kelenjar endokrin akan mempengaruhi pertumbuhan. Hormon pertumbuhan yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari penting untuk pertumbuhan postnatal. Hormon pertumbuhan mengatur kecepatan sintesis protein yang penting untuk proliferas sel kartilago, dengan demikian memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan tulang dan juga pertumbuhan tinggi badan. Fungsi pertumbuhan dari hormon pertumbuhan akan menjadi tidak efektif bila epifisis telah menutup. Hormon lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon thyrotrophic, hormon sex, dan sekresi parathormon. Berbeda dengan pertumbuhan yang didasarkan pada konsep pertambahan ukuran maupun jumlah sel, perkembangan lebih mengacu kepada kondisi psikologis dan perilaku seseorang. Pertumbuhan kompleks kraniofasial secara sederhana terbagi menjadi 4 daerah yang tumbuh berbeda. Pertama adalah cranial vault atau atap kranial, kemudian basis kranial, kompleks nasomaksila, dan terakhir adalah mandibula. Pertumbuhan dari atap kranial sangat berhubungan dengan pertumbuhan dari otak. Pada basis kranial, pertumbuhan terjadi melalui osifikasi endochondral tulang.

16 Kompleks nasomaksila mengalami pertumbuhan melalui dua mekanisme, yaitu remodeling permukaan dan aposisi tulang pada sutura yang menghubungkan maksila dengan kranium dan basis kranial. Maksila pada kompleks nasomaksila akan bertumbuh ke depan dan ke bawah. Serupa dengan kompleks nasomaksila yang bertumbuh ke depan dan ke bawah, mandibula juga akan tumbuh ke depan dan ke bawah dalam hubungannya dengan basis kranial. Namun, pertumbuhan mandibula bukan merupakan hasil pembesaran yang simetris dari mandibula, karena kondil dan ramus akan mengalami elongasi pada arah superior dan posterior, bersamaan dengan memanjangnya korpus mandibula (Proffit, 2007, Singh, 2007) Indikator Maturitas Skeletal Menurut Bishara (2001), sisa pertumbuhan yang masih ada pada seseorang dapat dilihat dengan menggunakan radiografi hand wrist atau dengan menggunakan radiografi sefalometri untuk melihat melalui analisa servikalis vertebra. Dasar pengukuran umur skeletal melalui radiografi yaitu adalah perbedaan pusat osifikasi yang terlihat dan matur pada saat yang berbeda. Urutan, kecepatan, dan waktu kemunculan dan perkembangan osifikasi dari berbagai pusat osifikasi akan terjadi melalui rangkaian yang dapat diprediksi. Cara yang mudah untuk menentukan maturitas skeletal adalah dengan menggunakan servikalis vertebra. Hassel dan Farman (1995) mengembangkan suatu sistem untuk menentukan maturitas skeletal berdasarkan bentuk servikalis vertebra yang akan berubah pada setiap tahap perkembangan skeletal. Bentuk badan vertebral dari C3 dan C4 akan berubah dari bentuk seperti baji menjadi bentuk yang lebih

17 panjang diikuti bentuk persegi. Batas inferior vertebra datar sewaktu belum matur dan kemudian akan berubah menjadi konkaf atau cekung sewaktu telah matur. Konkafitas batas inferior ini juga akan terlihat berurutan mulai dari C2 ke C3 ke C4 seiring dengan terjadinya maturitas skeletal. Berdasarkan hal ini, Hassel dan Farman membagi tahap perkembangannya menjadi 6 tahap. Tahapan pertama menurut Hassel dan Farman disebut tahap inisiasi. Pada tahap ini, mulai terjadi pertumbuhan dewasa. Besar pertumbuhan yang masih dapat diharapkan pada tahap ini adalah sebesar %. Batas inferior C2, C3, dan C4 datar atau rata. Bentuk vertebra tampak seperti baji, dan batas superior meruncing dari posterior ke anterior. Tahap kedua adalah tahap akselerasi. Percepatan pertumbuhan dimulai pada tahap ini, dengan besar pertumbuhan yang masih dapat diharapkan adalah sebesar 60-80%. Batas inferior C2 dan C3 mulai menjadi konkaf. Tahap ketiga adalah transisi yang berhubungan dengan perccepatan pertumbuhan yang mengarah kepada puncak kecepatan penambahan tinggi badan. Pada tahap ini diharapkan masih terdapat 25-65% pertumbuhan dapat terjadi. Tahap ini ditandai dengan kecekungan mulai jelas terlihat pada batas inferior C2 dan C3, dan pada C4 mulai menjadi konkaf. Badan C3 dan C4 berbentuk persegi panjang. Tahap keempat disebut perlambatan (deceleration). Tahap ini berhubungan dengan perlambatan pertumbuhan dengan hanya sekitar 10-25% pertumbuhan yang dapat diharapkan. Batas inferior C2, C3 dan C4 mulai jelas terlihat berbentuk konkaf, dan badan C3 dan C4 mulai berbentuk persegi.

18 Tahap kelima adalah maturasi. Pada tahap ini terjadi maturasi dari vertebra dan hanya sekitar 5-10% pertumbuhan yang masih dapat terjadi. Kecekungan terlihat jelas pada batas inferior C2, C3 dan C4. Bentuk badan C3 dan C4 semakin persegi. Tahap 6 adalah penyelesaian (completion). Sudah tidak ada lagi pertumbuhan yang dapat diharapkan dan kecekungan yang lebih dalam terlihat pada C2, C3 dan C4. Badan C3 dan C4 telah lebih berbentuk persegi dengan dimensi vertikal yang lebih besar dibanding dimensi horizontalnya. 2.3 Cairan Sulkus Gingiva (CSG) Penelitian terbaru mengenai pergerakan gigi secara ortodonti telah sampai kepada detail mengenai mekanisme molekuler, seluler, dan reaksi jaringan terhadap gaya ortodonti. Cairan sulkus gingiva (CSG) memiliki peranan penting dalam mekanisme pergerakan aktif gigi yang disebabkan oleh gaya mekanis, seperti yang telah didokumentasikan oleh berbagai peneliti. Selama beberapa tahun terakhir, CSG telah digunakan sebagai media untuk mengukur berbagai jenis molekul dan bakteri yang terdapat dalam rongga mulut dan daerah ligamen periodontal. CSG adalah suatu eksudat osmotis yang memediasi proses inflamasi yang terdapat pada sulkus gingiva, dimana volumenya cenderung untuk meningkat bila terdapat proses inflamasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. CSG merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu klinisi dalam menegakkan diagnosa, karena kandungannya tergantung pada keadaan klinis. Pada keadaan inflamasi, volume CSG akan meningkat (Meeran, 2011), akan tetapi

19 peningkatan aliran tidak menggambarkan aktivitas penyakit periodontal (Carranza dkk, 2002). Junior dkk (2011) mengatakan bahwa kekurangan utama penggunaan CSG sebagai alat bantu analisa adalah jumlahnya yang sedikit saat dilakukan pengambilan. Normalnya, pada jaringan periodontal yang sehat, volume yang dapat dikumpulkan hanya sebanyak 5µl. Sedikitnya volume yang diperoleh akan membatasi jumlah analit yang dapat diperiksa kadarnya. Volume pada CSG menggambarkan volume sisa dan influx cairan selama cairan dikumpulkan. Pada populasi yang sehat, volume sisa dan kecepatan aliran CSG relatif stabil dari waktu ke waktu. Derajat inflamasi akan mempengaruhi volume sisa, kecepatan CSG, dan waktu yang diperlukan oleh CSG untuk memenuhi sulkus gingiva yang sehat ataupun poket periodontal. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah CSG yang dikumpulkan dengan derajat inflamasi secara klinis. Penting bagi peneliti untuk memperhatikan hal-hal berikut : selalu menjaga kesehatan jaringan paradental; lebih memperhatikan pemilihan lokasi, durasi, jumlah dan interval pengambilan CSG; berhati-hati dalam mempersiapkan lokasi pengambilan sampel, menyimpan dan penatalaksanaan sampel; dan terakhir mempertimbangkan status kesehatan dan tahap perkembangan subyek penelitian (Khrisnan, 2009) Komposisi Cairan Sulkus Gingiva Selain volume, komposisi CSG juga menggambarkan kondisi sistemik ataupun lokal dari individu yang bersangkutan. Berbagai penelitian untuk mengetahui perubahan seluler yang terjadi sebagai respon jaringan terhadap daya ortodonti dilakukan dengan mengumpulkan CSG dan melihat kandungan selulernya. Barbieri dkk

20 (2013) melihat peningkatan kadar RANK, OPN, OPG dan TGF-β1 pada awal pergerakan ortodonti dengan menggunakan CSG sebagai medianya. Wilson (2010) menggunakan CSG untuk melihat berbagai sitokin yang terlibat pada proses inflamasi dan penanda metabolisme tulang saat dilakukan pergerakan gigi secara ortodonti. Surlin dkk (2012) juga menggunakan CSG sebagai alat bantu untuk melihat kadar MMP8, MMP9 dan TIMP1 pada pasien pengguna piranti ortodonti yang mengalami pembesaran gingiva. Komposisi cairan gingiva dapat dibedakan menjadi protein, antibodi, antigen, enzim, dan komponen seluler. Komponen selular dari CSG terdiri dari bakteri, sel epitel deskuamasi, dan leukosit yang bermigrasi melalui sulkular epitelium. CSG juga berisi berbagai elektrolit seperti potasium, sodium dan kalsium (Carranza dkk, 2002). Secara garis besar, studi mengenai penanda spesifik pada CSG yang dihubungkan dengan pergerakan gigi terbagi menjadi : penanda yang merupakan hasil metabolik dari remodeling paradental, penanda yang merupakan mediator inflamasi dan patientresponse modifiers, dan penanda yang merupakan enzim atau inhibitor enzim dari pasien sendiri (Khrisnan, 2009) Metode Pengumpulan Cairan Sulkus Gingiva Pengumpulan cairan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, meliputi prosedur yang non-invasif. Metode pengumpulannya memerlukan kesabaran dari klinisi, cara pengumpulannya menggunakan loop platinum, filter-paper strip, pembilasan gingiva dan pipet mikro. Cara yang terakhir lebih menguntungkan karena mudah untuk disimpan, kuantisasi, dan mudah untuk dilakukan pengujian dengan

21 metode elektroforesis ataupun secara kimiawi (Waddington dan Embery, 2001). Namun, metode pengumpulan yang lebih sering digunakan adalah dengan menggunakan filter-paper strip (Khrisnan, 2009). Pendekatan yang digunakan saat ini adalah intra-sulkuler dengan dua metode standar (Gambar 2.5). Cara pertama adalah dengan memasukkan ujung kertas saring hingga terasa mencapai retensi yang minimum. Cara kedua adalah dengan meletakkan kertas pada permukaan sulkus gingiva atau pada jarak yang telah ditentukan sebelumnya, misalnya 1mm dari sulkus. Cara yang pertama cenderung untuk meningkatkan volume cairan yang dikumpulkan karena akan menyebabkan iritasi mekanis lokal atau trauma dan hasilnya akan meningkatkan permeabilitas vaskular lokal. Pada keadaan dimana struktur paradental sehat atau pada keadaan dimana saku periodontal minimal, kedua metode akan memberikan hasil yang sama (Carranza dkk, 2002). Gambar 2.5. Metode intra sulkuler. A. Kertas saring dimasukkan hingga terasa mencapai ujung sulkus. B. Kertas saring hanya diletakkan pada permukaan sulkus (Carranza dkk, 2002) Djaja (2009) melakukan pengumpulan CSG dengan menggunakan kertas saring Whatmann 3MM yang dimasukkan pada sulkus gingiva sedalam 1 mm pada bagian

22 mesial dan distal kaninus yang sedang diretraksi dan didiamkan selama 1 menit. Pada penelitian ini, kertas saring yang terkontaminasi darah sewaktu dilakukan pengambilan CSG tidak digunakan sebagai sampel. Cara lain untuk mengumpulkan CSG adalah menggunakan kertas saring dengan metode intracrevicular superficial. Metode ini dipilih oleh Hadi (2009) karena tidak invasif sehingga lebih aman dan mudah terserap. Yang perlu diingat adalah, penting bagi peneliti untuk mengukur kedalaman poket dengan menggunakan probe untuk melihat adanya kerusakan jaringan periodontal dan melakukan pembersihan debris sebelum melakukan pengambilan CSG (Yamaguchi, dkk 2006). Susilowati (2011) melakukan penelitian untuk melihat dinamika ekspresi gen MMP-8 dan TIMP-1 pada cairan sulkus gingiva pasien yang dirawat dengan piranti ortodonti cekat dan lepasan. Metode pengumpulan CSG yang digunakan adalah dengan menggunakan paper point yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva yang telah dikeringkan sebelumnya. Cara ini dilakukan untuk menghindari kontaminasi CSG dengan saliva. Junior dkk (2011) melakukan pengambilan CSG dengan menggunakan kertas saring yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva sedalam 1-2mm (Gambar 2.6). CSG diambil setelah dilakukan pembuangan plak supragingival, kemudian daerah pengambilan diisolasi dengan menggunakan cotton roll untuk menghindari kontaminasi saliva. Kertas saring diletakkan selama 30 detik pada sisi mesial dan distal gigi yang akan diperiksa.

23 Gambar 2.6. Pengumpulan CSG saat retraksi kaninus. A. Kertas saring dimasukkan pada sisi mesial atau sisi regangan. B. Kertas saring dimasukkan pada sisi distal atau sisi tekanan, dimasukkan sejauh 1-2mm dan dibiarkan selama 30 detik (Junior dkk, 2011) 2.4. Transforming Growth Factor β (TGF-β) Resorpsi dan pembentukan tulang tidak terlepas dari peranan berbagai sitokin dan growth factor. Growth factor (GF) merupakan polipeptida kecil yang dihasilkan oleh berbagai sel seperti fibroblas dan osteoblas yang kemudian disimpan pada matriks ekstra seluler dalam bentuk laten. Ada lima tipe utama dari growth factor yang berperan pada pergerakan gigi secara ortodonti dan modeling tulang alveolar, yaitu : transforming growth factor β, fibroblast growth factor (FGF) dan insulin-like growth factor (IGF), growth factor untuk sel mesenkim yaitu dalam bentuk platelet derived growth factor (PDGF), dan connective tissue growth factor (CTGF). Diantara berbagai growth factor yang ada, TGF-β diduga berperan sebagai faktor coupling selama remodeling tulang. Sumber utama bagi TGF-β adalah tulang dan platelet. TGF-β mengikat monosit dan fibroblas dan pada uji in vitro menstimulasi angiogenesis. TGFβ banyak terdapat pada matriks tulang dan diyakini merupakan regulator lokal yang

24 penting dari osteoblas dan osteoklas selama remodeling tulang (Nishimura, 2009; Krishnan, 2009). TGF-β adalah salah satu growth factor yang multifungsi, yang dihasilkan oleh berbagai sel pada tulang, termasuk osteoklas, osteoblas, dan fibroblas. TGF-β memberikan efek anabolik pada sel osteogenik. TGF-β merupakan produk dari sel pembentuk tulang yang disimpan pada matriks tulang. Pada pelepasannya selama resorpsi tulang, TGF-β memberikan efek parakrin untuk meningkatkan proliferasi osteoblas. TGF-β juga bekerja sebagai faktor autokrin untuk meningkatkan sintesa kolagen, alkalin fosfatase, dan osteopontin pada osteoblas. TGF-β meningkatkan sintesa PGE2 dan PDGF pada sel osteoblastik, karena itulah diperkirakan bahwa efek anabolik lokal dari TGF-β pada tulang mungkin sebagian dimediasi oleh PGE2 dan PDGF. TGF-β juga menghambat degradasi matriks melalui regulasi autokrin-negatif dari osteoklas. Selain itu, TGF-β juga meningkatkan ekspresi connexin dan komunikasi antar sel pada sel osteogenik (Garrant, 2003). TGF-β mengontrol sebagian besar proses seluler, termasuk proliferasi, diferensiasi, produksi matriks ekstra seluler, motalitas, dan kelangsungan hidup sel. Fungsi ini diterjemahkan melalui fungsi jaringan seperti embriogenesis dan pada manusia dewasa, proses ini dicapai melalui keseimbangan antara proliferasi dan diferensiasi. Bila keseimbangan ini terganggu, maka jalur TGF-β akan mengalami malfungsi sehingga terjadi gangguan sistem imun, fibrosis, dan metastasis kanker (Al- Salihi, dkk, 2012).

25 TGF-β memiliki andil pada proses terjadinya beberapa penyakit. Blobe, dkk (2000) mengatakan bahwa pada sel kanker, produksi TGF-β meningkat, yang kemudian akan meningkatkan kemampuan invasif dari sel dengan cara meningkatkan aktivitas proteolitik dan meningkatkan ikatannya ke molekul sel. Salah satu fungsi utama TGF-β adalah untuk membatasi proliferasi epitel dan menghentikan pertumbuhan pre-malignan. Akan tetapi, percobaan pada tikus membuktikan bahwa TGF-β bukanlah merupakan regulator universal dari proliferasi, namun, efek antiproliferasi tersebut akan muncul bila terdapat kerusakan jaringan atau tekanan onkogenik (Padua, 2009). Quinn dkk (2001) mengatakan bahwa ada dua cara kerja TGF-β pada pembentukan osteoklas, yaitu melalui mekanisme indirek yang melibatkan efek inhibitor pada ekspresi osteoblas RANKL dan yang lain melalui mekanisme direk yang mempengaruhi respon osteoclastogenik dari populasi prekursor hematopoetik itu sendiri. Hormon pertumbuhan diketahui meningkatkan jumlah TGF-β1 baik pada jalur direk ataupun indirek. Pada individu penderita akromegali dengan kadar hormon pertumbuhan yang lebih tinggi akibat tumor pituitari, kadar TGF-β1 ditemukan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Efek eksogen hormon pertumbuhan pada percobaan in vitro menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi pada mrna dan protein TGF-β1. Pada hewan coba, suplemen hormon pertumbuhan meningkatkan kecepatan pergerakan gigi secara ortodonti dibandingkan kelompok kontrol (Varble, 2009).

26 Penelitian in vivo pertama mengenai kadar growth factor dalam pergerakan gigi secara ortodonti dilakukan oleh Uematsu dkk (1996) yang melihat kadar TGF-β1 pada sisi yang tertekan saat dilakukan retraksi kaninus ke distal. Hasilnya adalah bahwa kadar TGF-β1 paling tinggi pada 24 jam pertama, kemudian menurun dengan cepat pada 168 jam setelah pemberian tekanan mekanis. Hasil penelitian Uematsu dkk (1996) ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barbieri dkk (2013). Penelitian Barbieri dkk (2013) juga mendapati kadar TGF-β1 pada sisi yang tertekan meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, Uematsu dkk (1996) dan Barbieri dkk (2013) menyimpulkan bahwa TGF-β1 menginduksi proses resorpsi tulang. Percobaan Tang dkk (2009) secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa TGF-β1 yang aktif akan dilepaskan selama resorpsi tulang untuk mengatur pembentukan tulang. Hal ini dilakukan dengan cara mendorong migrasi bone marrow stromal cells ke daerah yang mengalami resorpsi TGF-β2 TGF-β memiliki tiga isoform, yaitu TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3 yang dihasilkan oleh proses splicing yang berbeda, dimana TGF-β1 merupakan bentuk yang paling banyak terdapat dalam tulang, dan paling banyak diteliti menyangkut remodeling dan perkembangan tulang. TGF-β1 memiliki peran spesifik dalam meregulasi remodeling tulang dengan menghubungkan resorpsi dan aposisi tulang (osteoporosis). Selama masa perkembangan, TGF-β1 dan TGF-β3 lebih dulu terlihat selama terjadinya

27 morfogenesis, sedangkan TGF-β2 terlihat setelahnya, yaitu pada saat terjadinya diferensiasi epitel (Blobe, dkk, 2000). TGF-β2 merupakan bagian dari TGF-β superfamily, yang terdiri dari dua subfamili, yaitu subfamilia TGF-β, Activin, Nodal, dan subfamilia BMP (Bone Morphogenic Protein), GDF (Growth and Differentiation Factor), dan MIS (Muellerian Inhibiting Substance) (Kanaan, 2010). TGF-β2 merupakan growth factor multifungsi yang berperan dalam mengontrol berbagai fungsi biologis. Li dkk (2008) menyatakan bahwa TGF-β2 mungkin berperan dalam tahap inisiasi gigi, morfogenesis epitel, pembentukan matriks dentin, dan diferensiasi ameloblas. Sementara menurut Buss dkk (2007), TGF-β2 akan membantu proses perbaikan sel yang mengalami luka. Kapetanakis dkk (2010) menemukan bahwa kadar TGF-β2 meningkat pada pasien dengan osteoarthritis. Peningkatan kadar TGF-β2 juga berhubungan dengan tingkat keparahan osteoarthritis. Pada tikus transgenik yang menunjukkan ekspresi berlebih dari TGF-β, terjadi perubahan pada keseimbangan antara pembentukan dan resorpsi tulang dan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada tulang trabekular. Selain itu, ekspresi berlebih dari TGF-β2 ditemukan menyebabkan peningkatan pembentukan matriks tulang, akan tetapi hal ini terjadi bukan karena efek TGF-β terhadap osteoblas, namun lebih disebabkan karena respon homeostatis terhadap peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan oleh TGF-β (Erlebacher, dkk 1998). Selain itu, Erlebacher, dkk (1996) menemukan bahwa ekspresi berlebih dari TGF-β2 pada tikus transgenik akan

28 mengakibatkan kehilangan massa tulang yang berlebihan seperti pada keadaan osteoporosis. Filvaroff, dkk (1999) pada percobaannya terhadap tikus transgenik menemukan hasil yang berbeda dengan Erlebacher, dkk (1998) yaitu bahwa bila terdapat hambatan reseptor TGF-β2 pada osteoblas, akan mendorong terjadinya penurunan remodeling tulang dan peningkatan kekuatan dan massa tulang trabekular. Dong, dkk (2003) menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara konsentrasi TGF-β2 dengan karakteristik mekanis dari tulang cancellous yang menunjukkan bahwa TGF-β2 merupakan faktor penting yang mempengaruhi massa dan kekuatan tulang. Hasil yang cukup penting dari penelitian ini adalah bahwa massa tulang dan kandungan TGF-β2 memiliki korelasi negatif, sehingga pada tikus dengan konsentrasi TGF-β2 yang lebih tinggi akan diikuti dengan kehilangan massa tulang secara progresif. Peranan TGF-β, khususnya TGF-β2 dalam regulasi tulang belum sepenuhnya jelas. Menurut Nishimura (2009) masih tetap belum diketahui apakah TGF-β2 juga menunjukkan aktivitas yang sama dengan TGF-β1 pada stem sel sumsum tulang Aktivasi TGF-β Signalisasi TGF-β dimulai saat ligand berikatan dengan reseptornya. Ada sekitar 42 jenis ligand untuk TGF-β, yang dibagi ke dalam 2 grup utama : famili TGF-β dan famili Bone Morphogenetic Protein (BMP). Proses untuk berikatan dengan ligan akan menginduksi pembentukan kompleks quartener dari reseptor transmembran serin

29 threinin kinase. Reseptor ini terbagi menjadi tipe I (ALK1-7) dan tipe II (ACVR-IIA, ACVR-IIB, BMPR-II, AMHR-II dan TGF-βR-II). Transducer intraseluler pada jalur aktivasi ini adalah protein SMAD. SMAD terbagi menjadi subgrup spesifik : reseptorregulasi (R-SMADs), co-smad, dan SMADs Inhibitor. Pada saat berikatan dengan ligand, reseptor tipe II akan memfosforilasi dan mengaktivasi reseptor tipe I. Reseptor tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi R-SMADs pada terminal-c. Reseptor tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi pembentukan kompleks R-SMAD dengan SMAD4 dan translokasi nukleus, yang kemudian bersama dengan kofaktor nukleus akan mengikat DNA dan meregulasi transkripsi. Secara umum, reseptor TGF-β akan diaktivasi melalui SMAD 2 dan 3, sementara BMP akan diaktivasi melalui SMAD 1, 5, dan 8 (Al-Shalihi, dkk 2012). Gambaran skematik mengenai aktivasi TGF-β ada pada Gambar 2.7. Gambar 2.7. Gambaran skematik aktivasi TGF-β melalui jalur SMAD (Kanaan, 2010)

30 2.5 ELISA ELISA atau enzym-linked immunosorbent assay adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengukur konsentrasi molekul tertentu seperti misalnya hormon di dalam suatu cairan seperti serum atau urin. ELISA adalah uji serologis yang umum digunakan diberbagai laboratorium imunologi karena memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas tinggi. Prinsip dasar ELISA adalah menggunakan enzim untuk berikatan dengan antigen dan antibodi. Enzim akan mengubah substrat yang tidak berwarna menjadi produk berwarna, yang menandakan adanya ikatan antigen:antibodi. Jumlah antibodi yang berikatan dengan antigen sebanding dengan antigen yang terlihat dan ditetapkan melalui spektrofotometri (Gambar 2.8). Secara sederhana, uji ELISA terbagi atas 3 metode dasar, yaitu direct ELISA, indirect ELISA, dan terakhir sandwich ELISA, yang kesemuanya disebut uji kompetitif atau inhibitor. i ii iii iv v Gambar 2.8. Gambaran cara kerja ELISA secara skematik. (i) Antigen ditambahkan pada fasa padat dan akan berikatan dengan antibodi yang melapisi sumur secara pasif selama inkubasi. (ii) Setelah inkubasi, antigen lain yang tidak berikatan akan terbuang melalui proses pembilasan. (iii) Antibodi spesifik yang telah berikatan dengan antigen kemudian akan ditambahkan konjugat dan diinkubasi. (iv) Konjugat akan berikatan dengan ikatan antigen dan antibodi. Konjugat yang tidak berikatan akan dibuang melalui

31 proses pembilasan. (v) Ditambahkan larutan substrat dan enzim akan mempercepat reaksi untuk memberikan warna pada produk. Rekasi kemudian dihentikan dengan menggunakan stop solution dan warna dilihat dengan menggunakan spektrofotometer (Crowther, 2001).

32 2.6 Kerangka Teori Tekanan mekanik terhadap gigi Pergerakan gigi Teori piezoelektrik Teori tekanan-tarikan Teori bone bending Aktivasi matriks inorganik Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan Tulang alveolar melengkung Kalsium regulator : PTH, hormon tiroid, estrogen, vitamin Proses remodeling yang diawali oleh proses inflamasi Peningkatan PGE2, IL-1β,IL8, TNF α, MMP 8, sitokin pro inflamatori Perubahan seluler Perubahan molekuler osteoblas osteoklas RANKL OPG Growth Factor Formasi Resorpsi PDGF, TGF, IGF, CTGF, FGF

33 2.7 Kerangka Konsep Tekanan mekanik terhadap gigi sebesar 100g Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan Proses inflamasi yang dimediasi oleh mediator inflamasi Perubahan seluler Perubahan molekuler osteoblas osteoklas OPG RANKL Growth Factor Fase inisial/fase lag/fase post lag TGF-β2 2.8 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan kadar antara kelompok usia tahun dan tahun akibat pemberian tekanan mekanis 2. Terdapat perbandingan beda kadar TGF-β2 antara kelompok usia tahun dengan kelompok usia tahun. 3. Terdapat peningkatan kadar TGF-β2 akibat pemberian tekanan mekanis pada 24 jam setelah, dan 72 jam setelah diberikan tekanan mekanis pada kelompok usia tahun dan kelompok usia tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan ortodonti sudah semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa kebutuhan akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minat dan kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut semakin meningkat yaitu tidak lagi terbatas pada tumpatan dan pencabutan gigi, namun salah satunya adalah perawatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan ortodontik berhubungan dengan pengaturan gigi geligi yang tidak teratur

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan ortodontik berhubungan dengan pengaturan gigi geligi yang tidak teratur 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Perawatan ortodontik berhubungan dengan pengaturan gigi geligi yang tidak teratur dengan cara menggerakkan gigi geligi tersebut ke tempat yang ideal. Pergerakan gigi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan pendukung gigi disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang kedokteran gigi. Indikasi pencabutan gigi bervariasi seperti pernyakit periodontal,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indikator Pertumbuhan Wajah Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi. Maturitas merupakan karakteristik dari percepatan pertumbuhan hingga masa remaja

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan menopause sebagai berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum akhir tahun 1960-an perawatan ortodonti pada pasien dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum akhir tahun 1960-an perawatan ortodonti pada pasien dewasa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum akhir tahun 1960-an perawatan ortodonti pada pasien dewasa tidaklah umum dan bahkan ditolak. Beberapa dekade terakhir banyak orang dewasa berminat mencari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, 9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause Seiring dengan bertambahnya usia, banyak hal yang terjadi dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada manusia. Namun, pada suatu saat perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mekanime patologi. Penyembuhan tulang atau union dapat dinilai dari

BAB I PENDAHULUAN. mekanime patologi. Penyembuhan tulang atau union dapat dinilai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyembuhan tulang adalah proses metabolisme fisiologi yang kompleks pada tulang fraktur melibatkan macam variasi zat biokimia, seluler, hormonal dan mekanime patologi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan dari perhitungan jumlah fibroblas dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mempertahankan gigi selama mungkin di dalam rongga mulut merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu konservasi gigi. Idealnya gigi dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Biologis Pada Pergerakan Gigi Secara Ortodonti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Biologis Pada Pergerakan Gigi Secara Ortodonti BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mekanisme Biologis Pada Pergerakan Gigi Secara Ortodonti Perawatan ortodonti dilakukan berdasarkan suatu prinsip bahwa bila suatu tekanan diberikan cukup lama pada gigi, terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal (Berg, 1986). Adanya perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal (Berg, 1986). Adanya perbedaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu faktor yang penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal (Berg, 1986). Adanya perbedaan asupan nutrisi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lunak dan tulang penyangga gigi dengan prevalensi dan intensitas yang masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lunak dan tulang penyangga gigi dengan prevalensi dan intensitas yang masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan suatu peradangan, degenerasi jaringan lunak dan tulang penyangga gigi dengan prevalensi dan intensitas yang masih tinggi. Menurut WHO

Lebih terperinci

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 Dilepas ke sirkulasi seluruh tubuh Mengatur fungsi jaringan tertentu Menjaga homeostasis Berada dalam plasma, jaringan interstitial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal banyak diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman, 1996; Teronen dkk., 1997).

Lebih terperinci

ABSTRAK/EKSEKUTIF SUMMARY Penelitian Disertasi Doktor (PDD)

ABSTRAK/EKSEKUTIF SUMMARY Penelitian Disertasi Doktor (PDD) ABSTRAK/EKSEKUTIF SUMMARY Penelitian Disertasi Doktor (PDD) Judul : PEMBERIAN ASUPAN IKAN TERI (stolephorus sp) TERHADAP PROSES OSTEOGENESIS MELALUI EKSPRESI OSTEOPROTEGERIN DAN KOLAGEN TIPE I PADA DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM Kebiasaan merokok sejak lama telah diasosiasikan sebagai penyebab berbagai macam perubahan dalam rongga mulut, seperti kaitannya dengan kanker mulut dan penyakit

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga mulut dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, prevalensi penyakit periodontal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA mulut. 7 Gingiva pada umumnya berwarna merah muda dan diproduksi oleh pembuluh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit periodontal adalah inflamasi yang dapat merusak jaringan melalui interaksi antara bakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Poket periodontal merupakan gejala klinis utama dari penyakit periodontal. Poket infraboni dan poket suprabonimerupakan dua tipe poket periodontal yang dikenal, supraboni

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian luka pada kecelakaan seiring waktu semakin meningkat. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO) melaporkan kecelakaan lalu lintas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal adalah peradangan yang terjadi pada jaringan pendukung gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ortodontik berdasarkan kebutuhan fungsional dan estetik. Penggunaan alat

BAB I PENDAHULUAN. ortodontik berdasarkan kebutuhan fungsional dan estetik. Penggunaan alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan meningkatnya gaya hidup dan perubahan pandangan mengenai konsep estetika, masyarakat dewasa ini memilih perawatan ortodontik berdasarkan kebutuhan

Lebih terperinci

Klasifikasi Penyakit Periodontal Periodontitis Kronis Periodontitis kronis merupakan kasus yang paling banyak ditemui dalam kasus penyakit

Klasifikasi Penyakit Periodontal Periodontitis Kronis Periodontitis kronis merupakan kasus yang paling banyak ditemui dalam kasus penyakit Klasifikasi Penyakit Periodontal Periodontitis Kronis Periodontitis kronis merupakan kasus yang paling banyak ditemui dalam kasus penyakit periodontal. Periodontitis kronis sangat erat hubungannya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

Aspek biologis pergerakan gigi ortodontik

Aspek biologis pergerakan gigi ortodontik Aspek biologis pergerakan gigi ortodontik Patricia Iskandar RSIA Catherine Booth Makassar ABSTRACT Orthodontic tooth movement occurs because of remodeling of paradental tissues, both in bone and periodontal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses kesembuhan fraktur dimulai segera setelah tulang mengalami kerusakan, apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis dan biologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker leher kepala merupakan kanker yang terdapat pada permukaan mukosa bagian dalam hidung dan nasofaring sampai trakhea dan esophagus, juga sering melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka pencabutan gigi di Indonesia relatif masih tinggi. Rasio penambalan dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar daripada

Lebih terperinci

pergerakan gigi isiologis merupakan gerakan gigi secara alami yang terjadi selama dan setelah erupsi. gerakan gigi isiologis melipui:

pergerakan gigi isiologis merupakan gerakan gigi secara alami yang terjadi selama dan setelah erupsi. gerakan gigi isiologis melipui: biology of tooth movement (biologi perger akan gigi) perawatan ortodonik ini dimungkinkan disebabkan oleh fakta bahwa seiap kali gaya lama diterapkan pada gigi, remodeling tulang muncul di sekitar gigi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Poket periodontal didefinisikan sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologis, merupakan gejala klinis paling penting dari penyakit periodontal. Pendalaman sulkus

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS TINJAUAN TEORI 1. Definisi Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. komponen dasar yaitu bracket, achwire, dan auxilliary, ketiga komponen ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. komponen dasar yaitu bracket, achwire, dan auxilliary, ketiga komponen ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Teknik perawatan ortodontik dengan alat cekat merupakan perawatan ortodontik yang sudah banyak dilakukan. Alat cekat mempunyai tiga komponen dasar yaitu bracket,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung relatif tinggi pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 dianalisis menggunakan uji statistik analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan dengan taraf kepercayaan 5%. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proliferasi Sel Tingkat Proliferasi Sel Berdasarkan

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit gigi dan mulut termasuk ke dalam sepuluh besar penyakit yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup

Lebih terperinci

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan bisa menyebabkan hilangnya gigi. Faktor-faktor yang memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang berkembang dari interaksi antara sel epitel rongga mulut dan sel bawah mesenkim. Setiap gigi berbeda secara anatomi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Trombosit merupakan salah satu komponen sel darah yang tidak berinti dalam jumlah normal 150-450x10 9 sel/l. Ukuran sel ini bervariasi dengan rerata diameter 8-10 fl

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kedokteran gigi erat sekali kaitannya dengan penyakit yang dapat berujung pada kerusakan atau defek pada tulang alveolar, salah satunya adalah periodontitis. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai perawatan jaringan periodontal dengan tujuan untuk menghilangkan poket BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Regenerasi jaringan periodontal merupakan tujuan utama terapi periodontal (Uraz dkk., 2013). Salah satu tindakan terapi periodontal ialah bedah periodontal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara sinar X dengan sel akan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara sinar X dengan sel akan terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Radiasi sinar X dapat memberikan efek terhadap sistem kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara sinar X dengan sel akan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 10-15%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 10-15% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan satu dari dua penyakit rongga mulut terbesar di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 10-15% populasi di dunia menderita

Lebih terperinci

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Secretory Leukocyte Protease Inhibitor (SLPI) MENURUNKAN ESKPRESI IL-1β MELALUI PENGHAMBATAN EKSPRESI SELULER NF-Kβ PADA PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Rattus Novergicus ABSTRAK

Lebih terperinci

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Terdiri dari beberapa proses seperti: 1. Perubahan anatomis dan fisiologis miometrium Pertama, terjadi pemendekan otot polos miometrium

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Pada penelitian perubahan lengkung oklusal akibat kehilangan gigi posterior ini, didapat sebanyak 103 jumlah sampel kemudian dipilih secara purposive sampling dan didapat sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodonsium yang menutupi gigi dan berfungsi sebagai jaringan penyangga gigi. Penyakit periodontal yang paling sering

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang bermetabolisme secara aktif dan terintegrasi. Tulang merupakan material komposit,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang bermetabolisme secara aktif dan terintegrasi. Tulang merupakan material komposit, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Fisiologi Penyembuhan pada Fraktur. Tulang adalah suatu jaringan biologis yang bersifat dinamis dan terdiri dari sel-sel yang bermetabolisme secara aktif dan terintegrasi. Tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41,4% dan osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun laki-laki,

BAB I PENDAHULUAN. 41,4% dan osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun laki-laki, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Para ahli tulang Indonesia sepakat bahwa dengan meningkatnya harapan hidup rakyat Indonesia penyakit kerapuhan tulang akan sering dijumpai. Sejak tahun 1990 sampai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Penyebab Kehilangan Gigi Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan penyakit periodontal. Faktor bukan penyakit seperti gaya hidup dan faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keparahannya berbanding lurus dengan dosis dan memiliki ambang batas. Jika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keparahannya berbanding lurus dengan dosis dan memiliki ambang batas. Jika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Radiasi sinar X terhadap jaringan biologis dapat memberikan efek deterministik dan stokastik. Efek deterministik merupakan efek yang keparahannya berbanding

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi dan sepsis termasuk salah satu dari penyebab kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menembus gingiva sampai akhirnya mencapai dataran oklusal. 5-7 Pada manusia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menembus gingiva sampai akhirnya mencapai dataran oklusal. 5-7 Pada manusia BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Proses erupsi gigi adalah suatu proses fisiologis berupa proses pergerakan gigi yang dimulai dari tempat pembentukkan gigi di dalam tulang alveolar kemudian gigi menembus gingiva

Lebih terperinci

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Nekrosis jaringan pulpa dan penyakit periodontal, misalnya, dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang

Lebih terperinci