Persilangan Reguler PERSILANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Persilangan Reguler PERSILANGAN"

Transkripsi

1 PERSILANGAN Persilangan adalah perkawinan individu dari populasi yang berbeda (galur, bangsa, atau spesies). Ini merupakan metode ke dua untuk mengeksploitasi variasi genetika, sedangkan seleksi merupakan metode pertama. Hewan yang berasal dari hasil persilangan disebut crossbred, yang berbeda dengan hewan yang berasal dari perkawinan dalam populasi, yang disebut straightbred atau purebred. Banyak orang mengira persilangan dalam konteks persilangan antar galur inbred, sebagian karena kesuksesan yang dicapai oleh metode pemuliaan ini pada tanaman, khususnya jagung. Tetapi seperti dijelaskan pada Bab 13, perkembangan galur inbred pada hewan kurang bermanfaat dan mahal, dan oleh karena itu jarang digunakan sekarang, kecuali mungkin oleh satu atau dua organisasi pemulia unggas. Alih-alih, persilangan pada hewan umumnya dilakukan antar populasi yang belum inbred tetapi yang telah diisolasi satu sama lain selama waktu yang bervariasi. Tujuan bab ini adalah untuk menjelaskan metode utama persilangan yang digunakan secara praktis, dan mengomentari implikasi dari setiap metode. Persilangan Reguler Persilangan reguler atau sistematis terjadi jika persilangan yang sama dibuat secara reguler, dengan tujuan menghasilkan suatu tipe keturunan tertentu. Persilangan reguler bisa menguntungkan ditinjau dari dua hal. Pertama, keturunan crossbred biasanya menunjukkan heterosis atau hybrid vigour untuk sifat-sifat tertentu. Heterosis terjadi jika performans ratarata keturunan crossbred unggul terhadap performans rata-rata kedua tetuanya. Beberapa tipe heterosis telah dikenal, termasuk parental heterosis (maternal atau paternal), yang merujuk pada performans hewan sebagai tetua, dan Persilangan - 303

2 individual heterosis, yang merujuk pada performans non-tetua. Jumlah heterosis untuk sifat tertentu dapat sangat bervariasi, yang tergantung pada lingkungan dan pada populasi yang disilangkan. Akan tetapi, secara umum, (1) heterosis terbesar diperoleh pada sifat-sifat yang sangat terkait dengan reproduksi dan viabilitas, dan (2) semakin besar keragaman genetika antar dua populasi hewan terdomestikasi, semakin besar heterosis pada persilangan diantara mereka. Alasan terhadap kesimpulan ini dapat diringkas sebagai berikut. Heterosis terjadi hanya jika terdapat aksi gen non-aditif (dominan dan/atau epistasis) pada lokus yang mempengaruhi sifat tersebut; dan semakin besar perbedaan frekuensi gen antara dua populasi yang disilangkan, semakin besar hiterosisnya. Mengingat dari Bab 13 bahwa depresi silang dalam terjadi hanya jika terdapat aksi gen non-aditif, tidak mengherankan untuk menyimpulkan secara umum bahwa sifat-sifat yang sama yang menunjukkan heterosis juga menunjukkan depresi silang dalam. Keuntungan kedua dari persilangan reguler adalah bahwa complementarity bisa terjadi. Ini merujuk pada keuntungan tambahan yang diperoleh dari persilangan dua populasi, yang bukan akibat dari heterosis tetapi dari suatu kejadian dimana dua atau lebih sifat saling berkomplemen satu sama lain. Sebagai contoh, anggap dua populasi babi, satu (A) dengan sifat rasio konversi pakan yang tinggi tetapi jumlah anak sekelahiran rendah. Anggap bahwa pejantan dari A dikawinkan secara reguler dengan induk dari B untuk menghasilkan babi crossbred yang hanya dipelihara sebagai penghasil daging. Walaupun tidak ada heterosis untuk sifat rasio konversi pakan, dalam arti walaupun performans rata-rata babi crossbred tersebut persis di antara rata-rata performans dua populasi tetuanya, dan jika jumlah sekelahiran induk B sama ketika dikawinkan dengan pejantan A atau B, keuntungan keseluruhan dari sistem semacam ini tampaknya jauh lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan populasi A atau B secara sendiri-sendiri, karena jumlah total babi yang dihasilkan sama seperti dari populasi yang paling prolifik tersebut, B, tetapi rasio konversi pakan setiap ekor babi lebih tinggi daripada rasio konversi pakan babi dari perkawinan B B. Persilangan tertentu menunjukkan lebih banyak complementarity dari yang lain, tergantung pada sejauh mana populasi tersebut berbeda dalam performans reproduktif dan dalam sifat-sifat produksinya, dan juga tergantung pada arah persilangan yang diinginkan. Poin terakhir dapat diilustrasikan dengan mencatat bahwa ada complementarity yang lebih besar jika populasi paling prolifik digunakan sebagai sumber induk daripada sebagai sumber pejantan. Ada dua metode persilangan reguler. Persilangan spesifik Pengantar ke Genetika Veteriner

3 Bentuk paling sederhana dari persilangan spesifik adalah persilangan dua arah (two-way cross), dimana hewan dari satu populasi, A, dikawinkan secara reguler dengan hewan dari populasi ke dua, B: A B (AB) Pada diagram ini, A dan B adalah tetua straightbred, dan (AB) merupakan keturunan crossbred, yang dikenal sebagai keturunan first-cross atau F1 (filial pertama). Kadang-kadang tetua jantan dalam persilangan tersebut selalu berasal dari satu populasi dan tetua betina selalu berasal dari populasi lainnya, sehingga memperoleh keuntungan maksimum dari complementarity. Jika ini terjadi, dua populasi tetua tersebut masing-masing dinamakan galur pejantan (sire line) dan galur induk (dam line). Jelas sekali, untuk mempertahankan galur-galur tersebut secara terpisah, baik jantan maupun betina harus dikawinkan dalam galur pejantan dan dalam galur induk, tetapi hanya satu dari jenis kelamin dari setiap galur (jantan dalam galur pejantan, dan betina dalam galur induk) memberi konstribusi dalam persilangan. Persilangan spesifik dua arah tersebut menghasilkan keturunan yang 100% heterozigot, dalam arti kata bahwa mereka mempunyai satu gen dari setiap populasi tetuanya pada setiap lokus. Dengan demikian, mereka menunjukkan 100% heterosis individu. Akan tetapi, persilangan dua arah tidak memberikan kesempatan bagi pemulia memperoleh keuntungan dari heterosis maternal atau paternal, karena tetua dalam persilangan dua arah tersebut bukan crossbred; mereka selalu berupa straightbred. Untuk mengeksploitasi heterosis maternal dan/atau paternal, tipe persilangan lain harus digunakan. Satu di antaranya adalah persilangan balik (backcross), yang melibatkan perkawinan hewan crossbred dari persilangan dua arah dengan satu di antara bangsa tetuanya: (AB) A atau (AB) B (AB)A (AB)B Dengan persilangan balik, tetua crossbred tersebut 100% heterozigot, dan oleh karena itu menunjukkan 100% heterosis parental. Akan tetapi, keturunan backcross tersebut merupakan hasil penggabungan gamet yang mengandung semua, katakan, gen A (dari bangsa tetua) dan gamet yang mengandung ratarata separuh gen A dan separuh gen B (dari tetua crossbred). Ini berarti bahwa Persilangan - 305

4 rata-rata pada separuh lokusnya keturunan backcross mempunyai dua gen A, yaitu yang bersifat homozigot untuk gen dari populasi A, dan pada separuh lokus lainnya, mereka mempunyai satu gen A dan satu gen B, yaitu bahwa mereka bersifat heterozigot. Dengan kata lain, keturunan backcross secara ratarata 50% kurang heterozigot daripada keturunan persilangan pertama, AB. Akibatnya, mereka menunjukan secara rata-rata hanya 50% heterosis individu. Cara yang lebih baik untuk mengeksploitasi heterosis adalah menggunakan persilangan tiga arah (three-way cross), dimana hewan persilangan pertama, AB, dikawinkan dengan hewan dari populasi ke tiga, C. Sekali lagi, karena pada umumnya ini lebih menguntungkan untuk meningkatkan kemampuan reproduktif betina, persilangan tiga arah biasanya dalam bentuk sebagai berikut. (AB) C (AB)C Persilangan ini memungkinkan pemanfaatan heterosis maternal secara penuh karena induk tersebut 100% heterozigot. Ini juga memungkinkan pemanfaatan heterosis individu secara penuh karena keturunan tersebut juga 100% heterozigot, dengan AC pada separuh lokusnya, dan BC pada separuh lainnya, secara rata-rata. Perlu dicatat juga bahwa walaupun keturunan persilangan pertama maupun keturunan persilangan tiga arah menunjukkan pemanfaatan heterosis individu secara penuh, dalam arti kata bahwa mereka 100% heterozigot, mereka mungkin tidak menunjukkan jumlah heterosis yang sama. Alasan untuk ini adalah bahwa persilangan yang berbeda dilibatkan dalam tiap kasus dan, seperti dicatat sebelumnya, jumlah heterosis lebih besar pada beberapa persilangan daripada pada persilangan lainnya. Karena berhasil mengeksploitasi heterosis pada tetua betina dan pada hewan komersial fase pertumbuhan, dan karena hal itu juga memungkinkan eksploitasi complementarity, persilangan tiga arah tersebut digunakan secara luas di seluruh dunia. Bentuk terakhir persilangan spesifik adalah persilangan empat arah, dimana keturunan crossbred dari dua persilangan dua arah yang terpisah dikawinkan untuk menghasilkan keturunan komersial: A B (AB) (CD) (AB)(CD) C D Pengantar ke Genetika Veteriner

5 Karena tetua jantan maupun betina dari keturunan komersial adalah crossbred, persilangan ini memungkinkan eksploitasi heterosis paternal dan maternal secara penuh, sebagaimana juga heterosis individu. Sekali lagi, perlu dicatat bahwa jumlah heterosis individu yang sebenarnya dalam keturunan komersial mungkin tidak sama dengan jumlah heterosis individu yang diperoleh dalam, misalnya, kedua tipe keturunan persilangan pertama tersebut. Persilangan rotasi Pada semua bentuk persilangan spesifik, kedua tetua keturunan komersial adalah straightbred atau merupakan keturunan crossbred dari tetua straightbred. Itu berarti bahwa pemulia komersial yang ingin menghasilkan hanya keturunan komersial final harus memperoleh semua pengganti pemuliaan, baik jantan maupun betina, dari sumber lain. Keharusan memasukkan semua pengganti pemuliaan dari populasi lain tidak selalu diharapkan, ditinjau dari sudut pandang manajemen umum dan, khususnya pada kasus babi dan unggas, ditinjau dari segi penyakit. Ini juga mengurangi ketertarikan para pemulia dari kemungkinan pemuliaan apapun paling tidak dari beberapa penggantinya. Persilangan rotasi (rotational crossing) merupakan bantuk lain dari persilangan reguler yang mengatasi beberapa kesulitan itu. Biasanya ini melibatkan penggunaan jantan dari dua atau tiga populasi yang berbeda, yang berurutan secara reguler. Jika persilangan rotasi dilanjutkan pada kelompok komersial selama beberapa tahun, dan jika semua betina pengganti dikawinkan dalam kelompok tersebut, semua betina akan segera menjadi crossbred, yang mengandung proporsi gen yang beragam dari dua atau tiga populasi asal pejantan diperoleh. Secara simbolis kita mempunyai situasi seperti diilustrasikan pada Tabel Kelemahan utama dari persilangan rotasi adalah bahwa persilangan itu tidak dapat mengeksploitasi complementarity, karena populasi yang terlibat dalam persilangan tidak terbatas penggunaannya untuk tujuan tunggal, sebagaimana terjadi dalam persilangan spesifik. Oleh karena itu, persilangan rotasi merupakan pola/sistem yang jauh lebih menarik dimana populasi yang tersedia untuk persilangan tidak atau sedikit menampilkan complementarity, tetapi tidak menunjukkan adanya heterosis yang bermanfaat secara ekonomis. Tabel Dua bentuk paling umum persilangan rotasi (rotational crossing), bersama dengan proporsi gen dari tiap bangsa tetua, dan heterozigositas rata-rata, pada turunan crossbred dalam generasigenerasi awal, dan pada ekuilibrium. Persilangan - 307

6 Dua bangsa Tiga bangsa Proporsi gen dari Proporsi gen dari A B Heterozigosita s rata-rata 1 A B C Heterozigosita s rata-rata 1 A B A B [AB] A 1/2 1/2 1 [AB] C 1/2 1/2 0 1 [AB)A] B 3/4 1/4 1/2 [(AB)C] A 1/4 1/4 1/2 1 [((AB)A)B] A 3/8 5/8 3/4 [((AB)C)A] B 5/8 1/8 1/4 3/ 4 Ekuilibrium pada generasi: t 1/3 2/3 2/3 1/7 2/7 4/7 6/ 7 t + 1 2/3 1/3 2/3 2/7 4/7 1/7 6/ 7 t + 2 1/3 2/3 2/3 4/7 1/7 2/7 6/ 7 1 Heterozigositas rata-rata ternak dalam kurung kuadrat, relatif ke individu persilangan pertama. Perbandingan antara bentuk persilangan reguler yang berbeda Karena jumlah heterosis sangat berkorelasi dengan rataan heterozigot, cara termudah untuk mendapatkan perbandingan menyeluruh dari semua tipe persilangan reguler adalah membandingkannya dalam hal heterozigositas. Ini dikerjakan pada Tabel Untuk dapat mengilustrasikan implikasi praktis dari informasi yang diringkas pada Tabel 18.2, kita sekarang akan mempertimbangkan beberapa contoh spesies tertentu dari hewan domestik. Tabel Fraksi heterosis, seperti ditunjukkan oleh heterozigositas rata-rata, yang diharapkan dalam tipe paling umum dari persilangan Pengantar ke Genetika Veteriner

7 reguler. Tipe persilangan Fraksi heterosis Individual Maternal Paternal Straightbred Persilangan dua-bangsa A B Silang balik AB (A or B ) 1/2 1 0 (A or B ) AB 1/2 0 1 Persilangan tiga bangsa AB C C AB Persilangan empat bangsa AB CD Persilangan rotasi 2 bangsa pejantan 2/3 2/3 0 3 bangsa pejantan 6/7 6/7 0 Pada sapi pedaging, penentu penting tingkat keuntungan adalah sifat gabungan 'berat pedet yang disapih per induk yang dikawini'. Gambar 18.1 menunjukkan pengaruh heterosis pada sifat ini, seperti diketahui pada suatu program persilangan berskala besar yang melibatkan Hereford, Angus, dan Shorthorn yang dilakukan di USA. Secara rata-rata, terdapat 8,5% heterosis individu dan 14,8% heterosis maternal, yang memberikan peningkatan total sebesar 23,3% pada sifat berat pedet yang disapih per induk yang dikawini. Ini merupakan keuntungan yang berarti. Persilangan - 309

8 ,8 Percentage increase ,5 8,5 0-4 Straightbred cows Straightbred calves Straightbred cows Crossbred calves Crossbred cows Crossbred calves Gambar Heterosis pada berat pedet yang disapih per induk yang dikawinkan, sebagai hasil mengawinkan induk straightbred ke pejantan dari bangsa yang berbeda (tengah), atau mengawinkan induk F1 ke pejantan dari bangsa ke tiga (kanan). Hasil-hasilnya diperoleh dari semua persilangan yang relevan di antara sapi Hereford, Angus, dan Shorthorn. Dengan melihat hasil ini, dan derajat heterosigositas pada Tabel 18.1, dimungkinkan untuk menghitung keuntungan dari bentuk lain persilangan reguler di antara tiga bangsa yang sama tersebut. Ini ditunjukkan pada Tabel Sekali lagi, kita dapat menyimpulkan bahwa keuntungan finasial dan keuntungan praktis dari persilangan cukup berarti (substansial). Kesimpulan yang sama juga diperoleh dari program persilangan pada domba dan babi, yang hasil-hasilnya disajikan pada Tabel Jika menginterpretasikan hasil-hasil ini, kita harus ingat dua hal. Pertama, performans persilangan tertentu antar bangsa tertentu kadangkadang jauh lebih baik atau jauh lebih buruk daripada gambaran rata-rata yang disajikan pada Tabel 18.3, yang sebaiknya hanya digunakan sebagai petunjuk umum saja. Ke dua, sifat-sifat yang dipertimbangan pada Tabel 18.3 sangat berkaitan dengan reproduksi dan/atau variabilitas dan oleh karenanya menunjukkan heterosis yang rendah, dan beberapa sifat (seperti sifat-sifat Pengantar ke Genetika Veteriner

9 karkas) tidak menunjukkan heterosis sama sekali. Tabel Penampilan yang diperoleh dan diharapkan dari berbagai tipe persilangan reguler pada sapi, domba, dan babi. Tipe persilangan reguler Heterosis yang dimanfaatkan 1 Berat pedet yang disapih per induk yang dikawinkan 2 Berat cempe yang disapih per induk yang dikawinkan 2 Genjik yang disapih per induk per tahun 2 Straightbred nil Persilangan dua bangsa I Silang balik (1/2)I + M Persilangan tiga bangsa C AB I + P AB C I + M Rotasi dua bangsa (2/3)I + (2/3)M Rotasi tiga bangsa (6/7)I + (6/7)M Lain-lain AB AB (1/2)I + M + P I = heterosis individual; M = heterosis maternal; P = heterosis paternal. 2 sebagai persentase dari penampilan straightbred. Persilangan untuk Menghasilkan Sintetik Alternatif lain persilangan reguler adalah membentuk satau atau beberapa persilangan antara dua atau lebih populasi agar supaya menghasilkan suatu populasi tunggal hewan yang mengandung campuran gen dari setiap populasi. Suatu populasi tunggal yang merupakan campuran beberapa populasi dinamakan sintetik atau komposit. Pada saat sintetik telah terbentuk, tujuan utamanya adalah meningkatkannya secepat mungkin dengan menyeleksinya, mengikuti prosedur pada Bab 16. Pada banyak situasi, hasil seleksi dalam suatu populasi sintetik adalah suatu bangsa baru. Sebagai contoh, Santa Gertrudis, Jamaican Hope, Norwegian Red dan White, Luing, Australian Milking Zebu, Australian Friesian Sahiwal, dan Belmont Red merupakan semua bangsa sapi yang dibentuk melalui seleksi dalam populasi sintetik, dan contoh yang sama dapat ditemukan pada spesies lain dari hewan domestik. Beberapa sintetik didasarkan hampir seluruhnya hanya pada satu bangsa tradisional, dan dibentuk dengan hewan-hewan terseleksi dari sejumlah galur yang berbeda dalam bangsa tersebut. Lainnya, banyak Persilangan - 311

10 populasi ayam pedaging saat ini yang dipertahankan oleh perusahaan pembibitan, merupakan campuran dari beberapa bangsa yang berbeda, yang tiap-tiap bangsanya diperkirakan mempunyai sedikitnya beberapa sifat yang diharapkan berkaitan dengan tujuan pemulia. Suatu kombinasi yang populer dalam pembentukan sintetik pada sapi adalah kombinasi Bos taurus dengan Bos indicus, agar supaya menghasilkan bangsa baru yang mampu meningkatkan produksinya di bawah kondisi tropis dan semi-tropis. Tujuannya biasanya adalah menggabungkan kemampuan produksi yang baik dari bangsa-bangsa Bos taurus dengan toleransi panas dan daya tahan penyakit dari bangsa-bangsa Bos indicus. Tentu saja, jika kita kembali ke masa lampau, terbukti bahwa banyak bangsa-bangsa yang terbentuk yang kita ketahui saat ini bermula sebagai sintetik dari satu bentuk atau bentuk lainnya. Pada beberapa kasus, fase persilangan berlangsung lama sekali. Tetapi, lebih cepat atau lebih lambat, dalam banyak kasus, sintetik yang dihasilkan berakhir dan bangsa baru mulai muncul. Semakin banyak, telah diketahui bahwa mengakhiri sintetik selamanya bukan merupakan pilihan terbaik. Sebaliknya, dalam banyak kasus, menguntungkan untuk memasukkan variasi genetika baru dari waktu ke waktu, dan ini terus dilakukan dalam banyak kasus. Petunjuk penting untuk diikuti dalam persilangan untuk menghasilkan sintetik adalah: (1) Yakinkan bahwa hewan yang digunakan dalam persilangan aslinya mempunyai rataan nilai pemuliaan setinggi mungkin untuk sifat-sifat yang relevan (tidak ada gunanya memulai pembuatan sintetik dengan hewan-hewan inferior); (2) Maksimalkan keragaman nilai pemuliaan di antara hewan-hewan pembentuk sintetik, dengan menggunakan hewan tak berkerabat sebanyak mungkin dari tiap-tiap populasi yang berkontribusi, dengan tetap ingat kriteria sebelumnya bahwa mereka sebaiknya mempunyai rataan nilai pemuliaan setinggi mungkin. Dengan memperhatikan heterosis, harapan tersederhana adalah bahwa jika ada n populasi yang berkontribusi sama dalam pembentukan sintetik, maka (1-1/n) dari heterosis tersebut yang terdapat pada F1 (keturunan persilangan pertama) dipertahankan pada F2 (keturunan hasil perkawinan di antara F1), dan pada generasi berikutnya. Akan tetapi, jika sintetik tidak dipertahankan pada ukuran yang cukup, atau jika seleksi dalam sintetik tersebut sangat kuat, depresi silang dalam bisa menghilangkan heterosis yang ada. Keuntungan utama sintetik adalah bahwa hanya satu populasi harus dipertahankan, bukan dua atau lebih populasi tetua yang diperlukan dalam program persilangan reguler. Grading-up Pengantar ke Genetika Veteriner

11 Grading-up melibatkan keturunan backcross dari satu populasi ke populasi lainnya, dengan tujuan memasukkan gen baru ke dalam salah satu populasi, atau dengan mengganti satu populasi untuk populasi lainnya. Memasukkan gen baru Sebagai contoh, anggap, bahwa beberapa pemulia ingin menciptakan galur tidak bertanduk (polled) dari bangsa sapi bertanduk, dan mempunyai satu hewan mutan yang heterozigot untuk gen tidak bertanduk dominan, P, pada penyingkirannya. Hewan tidak bertanduk tersebut tidak perlu harus memiliki bangsa yang sama yang akan digunakan untuk menghasilkan galur tidak bertanduk tersebut; kebutuhan utamanya adalah dapat menghasilkan keturunan fertil jika dikawinkan dengan hewan dari bangsa itu. Program pemuliaan yang akan diikuti dalam memasukkan gen tidak bertanduk ke bangsa bertanduk dinamakan introgesi (introgression), dan diilustrasikan pada Tabel Prosedur ini sangat mudah. Yang diperlukan adalah untuk semua keturunan bertanduk disingkirkan setiap tahun sehingga hanya ada keturunan tidak bertnaduk saja yang akan dikawinkan kembali dengan bangsa bertanduk. Kebutuhan yang sangat penting adalah bahwa jumlah ternak yang besar dan representatif dari bangsa bertanduk sebaiknya tersedia dalam program silang balik, untuk meyakinkan bahwa galur tidak bertanduk mempunyai variasi genetika sebanyak bangsa bertanduk asalnya. Pada banyak situasi, dan khususnya jika petunjuk di atas telah diikuti, tiga atau empat persilangan, yaitu persilangan asli dan dua atau tiga silang balik, sudah cukup untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sampai tahap ini, proporsi gen rata-rata dari bangsa bertanduk pada galur baru adalah 7/8 (dua silang balik) 15/16 (tiga silang balik) dan keturunan tidak bertanduk tidak dapat dibedakan lagi dari hewan bangsa bertanduk, khususnya jika ada seleksi di antara keturunan tidak bertanduk untuk sifat-sifat yang terkait dengan bangsa bertanduk, selama grading-up. Tahap akhir program grading-up untuk pemasukan gen baru tergantung pada apakah gen tersebut dominan atau resesif. Jika itu resesif, galur baru dapat dibentuk langsung dari semua keturunan yang menunjukkan sifat tersebut, mereka semua akan membiakkan benar-benar untuk gen resesif tersebut. Akan tetapi, jika gen tersebut dominan, misalnya gen tidak bertanduk, semua keturunan menunjukkan sifat tersebut adalah heterozigot dan oleh karenanya tidak akan membiak benar-benar untuk sifat itu. Jadi, langkah berikutnya adalah mengatur perkawinan antar hewan hewan heterozigot ini, dan pada generasi berikutnya membedakan carrier dan noncarrier, dengan tujuan mengidentifikasi dan menyingkirkan semua carrier. Kebutuhan umum untuk ini telah dijabarkan di Bab 11. Tabel Penggunaan grading-up untuk menciptakan galur tidak bertanduk dari bangsa bertanduk. Persilangan - 313

12 Generasi Program perkawinan Proporsi gen rata-rata dari bangsa bertanduk dalam keturunan tidak bertanduk 0 tidak bertanduk bertanduk t turunan tidak bertanduk terseleksi bertanduk turunan tidak bertanduk terseleksi bertanduk turunan tidak bertanduk terseleksi bertanduk 1/2 = (1/2) 1 3/4 = 1 - (1/2) 2 7/8 = 1 - (1/2) (1/2) t Penciri DNA yang terkait gen tertentu dapat membantu selama tahap akhir pemasukan gen tersebut jika gen yang dimasukkan bersifat dominan. Jika gen tersebut bersifat resesif, penciri yang terkait akan sangat bermanfaat selama tahap silang balik dalam upaya mengidentifikasi gen carrier yang dimasukkan tersebut. Pada prakteknya, banyak program pemasukan gen melibatkan pengenalan sifat-sifat kuantitatif yang diinginkan daripada gen tunggal saja. Sebagai contoh, ada keinginan kuat untuk memasukkan sifat banyak anan (high fucundity) dari babi China ke babi Eropa. Sudah barang tentu, prinsip yang sama juga berlaku dalam memasukkan sifat kuantitatif sebagaimana seperti pada gen tunggal. Dan jika jumlah penciri DNA tersedia secara cukup, mereka sangat membantu upaya mengidentifikasi segmen tertentu dari kromosom yang akan dimasukkan, yaitu segmen kromosom yang membawa gen banyak anak dari babi China. Pada kenyataannya, penggunaan penciri DNA dalam pemasukan tampaknya merupakan satu di antara aplikasi praktis penciri DNA dalam pemuliaan hewan. Substitusi bangsa Akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an memberi kesaksian mendunianya bangsa sapi Eropa yang sudah cukup lama terbentuk, seperti Charolais dan Simmental. Sejumlah ternak dan banyak dosis semen dari sejumlah bangsa tersebut diekspor ke banyak negara yang sebelumnya tidak mengenal bangsa itu, dan di tiap-tiap negara suatu kompetisi dimulai untuk membentuk kelompok bangsa murni (purebreed) dari bangsa migran ini sesegera mungkin, dengan menggunakan prosedur grading-up seperti yang diilustrasikan pada Tabel Pengantar ke Genetika Veteriner

13 Tabel Grading-up ke bangsa migran, M, dari ternak bangsa lokal, L Generasi Program perkawinan Penandaan (grade) ternak dalam kurung kuadrat Proporsi gen migran pada ternak dalam kurung kuadrat Min. 1 Rataan Max. 1 0 L M 1 [LM] M 1/2 bred 1/2 1/2 1/2 2 [(LM)M] M 3/4 bred 1/2 3/4 1 3 [((LM)M)M] M 7/8 bred 1/2 7/8 1 4 [(((LM)M)M)M] M 15/16 bred 1/2 15/ etc. 31/32 bred 1/2 31/ Dengan asumsi tidak ada pindah silang (crossing-over) Pada tahap-tahap awal pembentukan suatu bangsa menggunakan grading-up semacam ini, banyak kontroversi sering muncul seperti jumlah silang balik yang sebaiknya dilakukan sebelum keturunan berhak diregistrasi secara resmi sebagai purebred'. Kontroversi semacam itu mengilustrasikan kurangnya pemahaman yang baik terhadap prinsip genetika suatu grading-up. Hal terpenting untuk diketahui tentang grading-up adalah bahwa, kecuali half-bred, ada keragaman di antara keturunan dari semua generasi lain, dengan memperhatikan proporsi gen lokal dan gen migran. Sebagai contoh, adalah mungkin bahwa suatu bangsa yang disebut bangsa tiga per empat mempunyai lebih dari 31/32 gen migran. Kemungkinan yang sama, itu mungkin hanya mempunyai sedikit lebih dari 1/2 gen migran. Alasan untuk ini adalah bahwa pembentukan gamet dalam half-bred dan pada semua persilangan berikutnya menimbulkan spektrum tipe gamet yang berbeda, yang secara teori berkisar dari satu gamet yang mengandung hanya gen lokal, sampai satu gamet yang semuanya berisi gen migran (tanpa memperhatikan efek pindah silang/crossing-over). Jadi, seperti ditunjukkan pada Tabel 18.5, proporsi gen migran dalam bangsa tiga per empat dan semua persilangan berikutnya dapat berkisar dari ½ sampai 1, jika kita mengesampingkan efek pindah silang. Proporsi gen migran dalam setiap persilangan adalah rata-rata, yang merupakan proporsi yang digunakan untuk menjelaskan persilangan itu; dan penyimpangan ekstrim dari proporsi tersebut tampaknya kurang dari penyimpangan kecil. Persilangan - 315

14 Tetapi kenyataan tersebut tetap bahwa pada saat pemulia mencapai silang balik ke dua atau ke tiga, mereka mungkin mempunyai keturunan dengan proporsi gen migran berkisar dari mendekati ½ sampai mendekati 1. Sekarang, walaupun pemulia tidak dapat menunjukkan secara tepat proporsi gen migran yang ada pada hewan tertentu hanya dengan melihatnya, mereka dapat meyakinkan bahwa, rata-rata, hewan yang penampilannya terkait lebih dekat dengan bangsa migran tampaknya mempunyai rata-rata proporsi gen migran lebih besar, dalam semua tingkatan. Dan jika pemulia melakukan seleksi untuk hewan yang menunjukkan penampilan seperti bangsa migran selama program grading-up-nya, pada saat itu mereka mencapai silang balik ke dua, yaitu 7/8 keturunan terseleksinya akan mempunyai proporsi gen migran yang jauh lebih besar daripada 7/8, dan mungkin lebih tinggi dari 31/32. Sekarang, sudah jelas mengapa kontroversi mengenai jumlah silang balik yang diperlukan merupakan hal yang tak bermanfaat, walaupun tujuan utama program grading-up adalah memperoleh proporsi gen migran setinggi mungkin dalam kelopok hewan tertentu. Tetapi ada alasan yang lebih penting mengapa debat tersebut tak bermakna. Itu adalah bahwa pemulia akan meningkatkan sifat-sifat yang penting secara ekonomis lebih cepat jika mereka menghentikan grading-up setelah silang balik pertama atau silang balik ke dua, dan hanya terkonsentrasi pada seleksi yang berlanjut. Dengan cara ini, gen migran dimungkinkan untuk menemukan proporsi optimumnya untuk sistem produksi tertentu. Silang balik yang berkelanjutan menghilangkan semua gen lokal, dan mencapai tidak lebih dari replika hewan migran yang telah hidup 15 atau 20 tahun lalu. Program seperti itu menunjukkan bahwa hewan lokal sama sekali tidak mempunyai apapun untuk ditawarkan melalui cara adaptasi lingkungan lokal (baik secara alami maupun manajerial) yang seringkali berbeda dengan hewan yang hidup di negara asal bangsa migran. Kenyataannya, sudah barang tentu, hewan lokal biasanya lebih adaptif terhadap lingkungan lokalnya, dan oleh karena itu mereka mempunyai beberapa gen yang seharusnya membuat kontribusi yang bermanfaat bagi bangsa baru yang sedang dikembangkan. Kita dapat menyimpulkan bahwa silang balik berkelanjutan dalam program grading-up tidak perlu dan tidak diharapkan. Preservasi Bangsa-bangsa Langka dan tak Diinginkan Satu isu penting muncul dalam situasi di mana suatu bangsa yang bersifat asli (native) pada area tertentu tampak tidak mempunyai kegunaan lagi pada area tersebut atau area lainnya, dan akibatkanya berada dalam keadaan bahaya ke arah kepunahan. Pertanyaan umum yang dimunculkan oleh situasi ini adalah apakah bangsa seperti itu perlu dipreservasi (dipertahankan keberadaannya di bumi) Pengantar ke Genetika Veteriner

15 Alasan yang mendukung terhadap preservasi adalah bahwa kita tidak tahu jenis hewan macam apa yang dibutuhkan di masa mendatang, dan bahwa oleh karena itu kita sebaliknya mempertahankan semua variasi genetika yang tersedia sebagai suatu jaminan terhadap masa depan yang belum diketahui tersebut. Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan bahwa pemulia yang ingin hidup dari ternaknya tidak dapat melihat terlalu jauh ke masa mendatang; mereka menghargai upaya preservasi, tetapi tidak dapat memenuhi biaya yang relatif tinggi untuk melakukan preservasi populasi yang tampaknya mereka tidak dapat memanfaatkan selama masa hidupnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan, tanggung jawab finansial untuk preservasi terhadap bangsa-bangsa yang tidak diinginkan seringkali jatuh pada sektor publik atau pada organisasi yang dibentuk secara spesifik untuk tujuan itu. Baik pada level internasional seperti FAO, dan pada level lokal seperti Rare Breeds Trust di United Kingdom, upaya bersama dibuat untuk mengumpulkan data yang relevan bagi bangsa-bangsa yang tampak terancam kepunahan, dan bertindak, dimana mungkin, untuk menyelamatkannya. Di Irlandia, misalnya, program konservasi untuk bangsa sapi Kerry telah berlangsung sejak tahun Ini mencakup subsidi pemerintah bagi setiap anak sapi yang didaftarkan, bantuan pemerintah untuk mempertahankan taman nasional bagi kelompok besar sisanya, dan akses ke perangkat lunak untuk perhitungan hubungan antara perkawinan potensial, dengan tujuan mengurangi tingkat silang dalam. Yang menarik, dua area yang mungkin sangat perlu mendapat perhatian masing-masing berada pada akhir spektrum peningkatan ternak. Pada satu akhir spektrum kita mempunyai keragaman besar populasi yang teradaptasi secara lokal (seringkali di negara berkembang) yang terancam dari pemasukan bangsa-bangsa atau galur-galur berkualitas dari negara maju. Pada akhir spektrum lainnya kita mempunyai semakin banyak jumlah galur seleksi unggas yang dibuang ketika pemulia unggas independen lainnya belum diambil alih oleh perusahaan perbibitan multinasional dan seringkali lebih besar. Tidak ada pemecahan yang mudah terhadap masalah ini. Akan tetapi, menyenangkan melihat aktivitas yang semakin meningkat dalam konservasi di seluruh dunia, yang dipelopri oleh Program Sumberdaya Genetika Ternak Global FAO (FAO's Global Animal Genetic Resources Programme), dan menyadari bahwa semakin banyak orang menjadi peduli dan akibatknya memberi lebih banyak pemikiran terhadap penyelesaian yang mungkin. Bacaan Lebih Lanjut Teori Cunningham, E. P. (1987). Crossbreeding - the Greek temple model. Journal of Animal Breeding and Genetics, 104, Cunningham, E. P. and Connolly, J. (1989). Efficient design of crossbreeding experiments. Theoretical and Applied Genetics, 78, Persilangan - 317

16 Dempfle, L. (1990). Conservation, creation, and utilization of genetic variation. Journal of Dairy Science, 73, Hill, W. G. (1993). Variation in genetic composition in backcrossing programs. Journal of Heredity, 84, Kinghorn, B. P., Shepherd, R. K., and Banks, R. G. (1989). A note on the formation of optimal composite populations. Theoretical and Applied Genetics, 78, Solkner, J. (1993). Choice of optimality criteria for the design of crossbreeding experiments. Journal of Animal Science, 71, Solkner, J. and James, J.W. (1990). Optimum design of crossbreeding experiments. Journal of Animal Breeding and Genetics, 107, 61-7; ; Swan, A. A. and Kinghorn, B. P. (1992). Evaluation and exploitation of crossbreeding in dairy cattle. Journal of Dairy Science, 75, Persilangan dalam praktek Cundiff, L. V., Nunezdominguez, R., Dickerson, G. E., Gregory, K. E., and Koch, R. M. (1992). Heterosis for lifetime production in Hereford, Angus, Shorthorn, and Crossbred cows. Journal of Animal Science, 70, Derouen, S. M., Franke, D. E., Bidner, T. D., and Blouin, D. C. (1992). 2-breed, 3- breed, and 4-breed rotational crossbreeding of beef cattle--carcass traits. Journal of Animal Science, 70, Gregory, K. E., Cundiff, L. V., and Koch, R. M. (1992). Effects of breed and retained heterosis on milk yield and 200-day weight in advanced generations of composite populations of beef cattle. Journal of Animal Science, 70, Haley, C. S., Dagaro, E., and Ellis, M. (1992). Genetic components of growth and ultrasonic fat depth traits in Meishan and Large White pigs and their reciprocal crosses. Animal Production, 54, Kuhlers, D. L., Jungst, S. B., and Little, J. A. (1994). An experimental comparison of equivalent terminal and rotational crossbreeding systems in swine--sow and litter performance. Journal of Animal Science, 72, Morris, C. A., Cullen, N. G., Hickey, S. M., and Amyes, N. C. (1993). Evaluation of 3-breed composites alongside Angus controls for growth, reproduction, maternal, and carcass traits. New Zealand Journal of Agricultural Research, 36, Pitchford, W. S. (1993). Growth and lambing performance of ewes from crosses between the Dorset Horn, Merino and Corriedale. Livestock Production Science, 33, Thorpe, W., Kangethe, P., Rege, J. E. O., Mosi, R. O., Mwandotto, B. A.J., and Njuguna, P. (1993). Crossbreeding Ayrshire, Friesian, and Sahiwal Cattle for milk yield and preweaning traits of progeny in the semiarid tropics Pengantar ke Genetika Veteriner

17 of Kenya. Journal of Dairy Science, 76, Touchberry, R. W. (1992). Crossbreeding effects in dairy cattle--the Illinois experiment, Journal of Dairy Science, 75, Wohlfarth, G. W. (1993). Heterosis for growth rate in common carp. Aquaculture, 113, Zarnecki, A., Norman, H. D., Gierdziewicz, M., and Jamrozik, J. (1993). Heterosis for growth and yield traits from crosses of Friesian strains. Journal of Dairy Science, 76, Introgresi Hillel, J., Schaap, T., Haberfeld, A., Jeffreys, A. J., Plotzky, Y., Cahaner, A., and Lavi, U. (1990). DNA fingerprints applied to gene introgression in breeding programs. Genetics, 124, Hillel, J., Gibbins, A. M. V., Etches, R. J., and Shaver, D. M. (1993). Strategies for the rapid introgression of a specific gene modification into a commercial poultry flock from a single carrier. Poultry Science, 72, Hospital, F., Chevalet, C., and Mulsant, P. (1992). Using markers in gene introgression breeding programs. Genetics, 132, Konservasi Hall, S. J. G. and Ruane, J. (1993). Livestock breeds and their conservation--a global overview. Conservation Biology, 7, Hare, D. (1992). Conservation of Canadian animal genetic resources. Canadian Veterinary Journal, 33, Hodges, J. (1992). A global programme for animal genetic resources. Livestock Production Science, 32, Joftus, R. and Scherf, B. (ed.) (1993). World watch list for domestic animal diversity. FAO, Rome. Obata, T. and Takeda, H. (1993). Germplasm conservation of Japanese native livestock breeds (horses, cattle and goats). Japan Agricultural Research Quarterly, 27, O'Huigin, C. and Cunningham, E. P. (1990). Analysis of breeding structure of the Kerry breed. Journal of Animal Breeding and Genetics, 107, Reents, R., Meinikmann, H., and Glodek, P. (1992). Preservation of a genetic resource population of Old German Black and White cattle (DSR). Archiv Fur Tierzucht, 35, Trail, J. C. M., Dieteren, G. D. M., and Teale, A. J. (1989). Trypanotolerance and the value of conserving livestock genetic resources. Genome, 31, Travis, J. (1992). 3rd World--S(ave) O(ur) S(heep). Science, 255, 678. Persilangan - 319

PERSILANGAN. Macam perkawinan ternak :

PERSILANGAN. Macam perkawinan ternak : PERSILANGAN Macam perkawinan ternak : Perkawinan secara acak (Random Matting) Apabila dalam satu perkawinan, peluang yg dimiliki pejantan maupun betina untuk kawin dan dikawini sama besar, maka sistem

Lebih terperinci

SELEKSI ANTAR POPULASI

SELEKSI ANTAR POPULASI SELEKSI ANTAR POPULASI Seleksi buatan terjadi ketika manusia memilih mengawinkan dari hewan tertentu dan bukan dari lainnya. Pilihan tersebut dapat dibuat antar populasi dan/atau dalam populasi. Pada seleksi

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom Bangsa Famili Subfamili Ordo Subordo Genus Spesies : Animalia : Caprini : Bovidae :Caprinae : Artiodactyla : Ruminansia : Capra : Capra sp.

Lebih terperinci

DASAR SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN

DASAR SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN DASAR SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN KETERKAITAN SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN Seleksi (indv./populasi) (generasi n) Pengaturan Sistem Perkawinan: 1.Inbreeding (berkerabat dekat, moyang bersama) 2.Outbreeding

Lebih terperinci

PERSILANGAN. Oleh : Setyo Utomo

PERSILANGAN. Oleh : Setyo Utomo PERSILANGAN Oleh : Setyo Utomo PERSILANGAN 2 SEL KELAMIN YANG BERBEDA FERTILISASI 2n CHROMOSOME TERKUMPUL BERBAGAI MACAM KARAKTER / SUSUNAN GENOTIPE BANGSA A BANGSA B BANGSA C BANGSA ADA TUJUAN TERTENTU

Lebih terperinci

P = G + E Performans? Keragaman? Dr. Gatot Ciptadi PERFORMANS. Managemen. Breeding/ Repro. Nutrisi

P = G + E Performans? Keragaman? Dr. Gatot Ciptadi PERFORMANS. Managemen.  Breeding/ Repro. Nutrisi P = G + E Performans? Breeding/ Repro Keragaman? Nutrisi PERFORMANS Managemen Dr. Gatot Ciptadi Email: ciptadi@ub.ac.id, ciptadi@yahoo.com gatotciptadi.lecture.ub.ac.id www.bankselgamet.com PROBLEMATIKA

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT P a g e 1 MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT TERNAK DOMBA POTONG EKOR GEMUK (DEG) DAN DOMBA EKOR TIPIS (DET )DI INDONESIA UNTUK SIFAT PRODUKSI DAGING MELALUI

Lebih terperinci

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) MARIA ASTUTI Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Sapi Peranakan Ongole (PO) pada tahun 1991 populasinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

KERAGAMAN KUANTITATIF

KERAGAMAN KUANTITATIF KERAGAMAN KUANTITATIF Mayoritas sifat-sifat yang menarik dalam program pemuliaan hewan bervariasi secara kontinyu dalam arti bahwa hewan tersebut tidak dapat diklasifikasikan menjadi kelas-kelas yang berbeda.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal.

Lebih terperinci

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama PEMBAHASAN UMUM Potensi pengembangan itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan. Populasi itik yang cukup besar dan penyebarannya hampir disemua provinsi

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK: Pengantar heritabilitas dan ripitabilitas

PARAMETER GENETIK: Pengantar heritabilitas dan ripitabilitas PARAMETER GENETIK: Pengantar heritabilitas dan ripitabilitas Pendahuluan: Timbulnya keragaman berbagai sifat kuantitatif Derajat keragaman yang dihitung ( Rataan, varians dan SD) BERAPA BAGIAN DARI PERBEDAAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal L. HARDI PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO. Box 221, Bogor 16002 (Diterima dewan redaksi 18 Desember 2006) ABSTRACT PRASETYO, L.H.

Lebih terperinci

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH Lusty Istiqomah Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK)-LIPI Jln. Jogja Wonosari Km. 31, Gading, Playen, Gunungkidul,

Lebih terperinci

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN ARTIKEL ILMIAH Oleh Ikalia Nurfitasari NIM 061810401008 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2012 ARTIKEL ILMIAH diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

Pengertian : ilmu aplikasi dari genetika dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak ilmu yang mempelajari cara peningkatan produktivitas dan

Pengertian : ilmu aplikasi dari genetika dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak ilmu yang mempelajari cara peningkatan produktivitas dan Pengertian : ilmu aplikasi dari genetika dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak ilmu yang mempelajari cara peningkatan produktivitas dan sekaligus populasi ternak melalui perbaikan mutu genetik

Lebih terperinci

PRINSIP DAN APLIKASI OUTBREEDING

PRINSIP DAN APLIKASI OUTBREEDING PRINSIP DAN APLIKASI OUTBREEDING Resume : Efek Genetik Out breeding dan heterosis Jenis dan Manfaat Outbreeding Jenis OB: 1. Out Breed: 1 bangsa, beda lokasi asal 2. Outcross/ cross breed: persilangan

Lebih terperinci

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

STRATEGI DAN MANAJEMEN PEMULIAAN (LAPANG DAN RISET STASIUN) Tim Pengajar: Dr.Gatot Ciptadi Fapet UB/LSIH UB

STRATEGI DAN MANAJEMEN PEMULIAAN (LAPANG DAN RISET STASIUN) Tim Pengajar: Dr.Gatot Ciptadi Fapet UB/LSIH UB STRATEGI DAN MANAJEMEN PEMULIAAN (LAPANG DAN RISET STASIUN) Tim Pengajar: Dr.Gatot Ciptadi Fapet UB/LSIH UB KETERKAITAN SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN Seleksi (indv./populasi) (generasi n) Pengaturan Sistem

Lebih terperinci

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG)

Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Implementasi New Tech Anim Breeding: Analisis teknis dan ekonomis peningkatan kualitas genetik dan produksi ternak (KA,IB,TE, RG) Program alternatif PT Program Alternatif PT: Inseminasi Buatan, TE, Kloning

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang TINJAUAN PUSTAKA SistematikaTernak Kambing Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besarbagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Domba Domba merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak ruminansia kecil, hewan pemamah biak dan merupakan hewan mamalia. Disamping sebagai penghasil daging

Lebih terperinci

Gambar 1. Itik Alabio

Gambar 1. Itik Alabio TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah

Lebih terperinci

SUSTAINABILITY OF LIVESTOCK PRODUCTION

SUSTAINABILITY OF LIVESTOCK PRODUCTION SUSTAINABILITY OF LIVESTOCK PRODUCTION SYSTEM ISU-ISU TEKNIK DAN PERTIMBANGAN KEBIJAKAN UTAMA KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAN PETERNAKAN BERKELANJUTAN STRATEGI UNTUK PENGEMBANGAN SEKTOR PETERNAKAN/PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo:

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo: TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Kelinci Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo: Lagomorpha, Genus: 1.Lepus (22 species)=genuine Hare, 2.Orictolagus (1 species)=o. Cuniculus/European

Lebih terperinci

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL. Oleh: Sohibul Himam Haqiqi FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008 CROSSBREEDING PADA SAPI FH DENGAN BANGSA SAHIWAL Oleh: Sohibul Himam Haqiqi 0710510087 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008 PENDAHULUAN Saat ini jenis sapi perah yang ada di Indonesia

Lebih terperinci

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR

PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR (Research on the Genetic Potential of Ongole and Brahman Cattle in East Sumba, East Nusa Tenggara) SUMADI 1

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) Irwan Cahyo Utomo 1, Gatot Ciptadi 2 and Moch. Nasich 2 1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung GENETIC AND PHENOTYPIC CORRELATION BETWEEN BIRTH WEIGHT AND WEANING WEIGHT ON MADURA CATTLE Karnaen Fakulty of Animal Husbandry Padjadjaran University, Bandung ABSTRACT A research on estimation of genetic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba Garut merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu dilestarikan sebagai sumber

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER NURGIARTININGSIH, V. M. A. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ABSTRAK Penelitian tentang potensi genetik galur murni Boer dilaksanakan di Laboratorium Lapang

Lebih terperinci

APAKAH INI DITURUNKAN?

APAKAH INI DITURUNKAN? APAKAH INI DITURUNKAN? Apakah ini diturunkan? Ini merupakan pertanyaan umum yang diungkapkan dalam kaitannya dengan banyaknya macam kelainan/ cacat. Sayangnya, jawaban untuk sebagian besar cacat adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.

Lebih terperinci

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi Susu Sapi Perah Nasional Industri persusuan sapi perah nasional mulai berkembang pesat sejak awal tahun 1980. Saat itu, pemerintah mulai melakukan berbagai usaha

Lebih terperinci

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A. 1. Pokok Bahasan : Jenis dan tipe ayam komersial A.2. Pertemuan minggu ke : 6 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Ayam tipe petelur 2. Ayam tipe pedaging 3. Ayam tipe dwiguna

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO BAB 11 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud

Lebih terperinci

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) BENNY GUNAWAN dan TIKE SARTIKA Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi 21

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO BAB 10 ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO Nilai genetik dan rata-rata populasi ditentukan dengan menggunakan data kajian pada ternak sapi PO. Data fenotip yang dimaksud

Lebih terperinci

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya Tropical Animal Husbandry Vol. (1), Januari 013: 8-33 ISSN 301-991 Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya K. Satriavi, Y. Wulandari, Y.B.P.

Lebih terperinci

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN Dasar Genetik Tanaman Penyerbuk Silang Heterosigot dan heterogenous Satu individu dan individu lainnya genetis berbeda Keragaman

Lebih terperinci

MODUL PROGRAM KEAHLIAN BUDIDAYA TERNAK KODE MODUL SMKP2J01-03BTE

MODUL PROGRAM KEAHLIAN BUDIDAYA TERNAK KODE MODUL SMKP2J01-03BTE MODUL PROGRAM KEAHLIAN BUDIDAYA TERNAK KODE MODUL 03BTE PEMBIBITAN TERNAK DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PROYEK PENGEMBANGAN SISTEM DAN STANDAR PENGELOLAAN SMK DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN JAKARTA

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT

KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT (Production Performance Puberty Age of Calf from Crossing of PO X Simmental X Limousine

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

GEN TUNGGAL DALAM POPULASI

GEN TUNGGAL DALAM POPULASI GEN TUNGGAL DALAM POPULASI Cacat gen tunggal sangat jarang dan sehingga tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Akan tetapi, kadang-kadang cacat karena gen tunggal mencapai frekuensi tinggi di antara

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA GENETIK UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TERNAK JAFENDI H. PURBA SIDADOLOG Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Jl. Agro Karangmalang, Yogyakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KOEFISIEN HETEROSIS ANTARA KAMBING BOERAWA DAN SABURAI JANTAN PADA BOBOT SAPIH DI KECAMATAN SUMBEREJO KABUPATEN TANGGAMUS

PERBANDINGAN KOEFISIEN HETEROSIS ANTARA KAMBING BOERAWA DAN SABURAI JANTAN PADA BOBOT SAPIH DI KECAMATAN SUMBEREJO KABUPATEN TANGGAMUS PERBANDINGAN KOEFISIEN HETEROSIS ANTARA KAMBING BOERAWA DAN SABURAI JANTAN PADA BOBOT SAPIH DI KECAMATAN SUMBEREJO KABUPATEN TANGGAMUS Muhammad Harowi a, Sulastri b, dan M. Dima Iqbal Hamdani b a The Student

Lebih terperinci

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN (Study Breed influence to the Productivity of Beef Cattle Calf from Artificial Insemination) MATHEUS SARIUBANG,

Lebih terperinci

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Media Akuakultur Vol. 10 No. 2 Tahun 2015: 65-70 SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Didik Ariyanto Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Jl. Raya 2 Pantura Sukamandi, Patokbeusi, Subang 41263, Jawa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID TERMINOLOGI P individu tetua F1 keturunan pertama F2 keturunan kedua Gen D gen atau alel dominan Gen d gen atau alel resesif Alel bentuk alternatif suatu gen yang terdapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA

KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA Genetika merupakan salah satu bidang ilmu biologi yang mempelajari tentang pewarisan sifat atau karakter dari orang tua kepada anaknya. Ilmu genetika modern meliputi beberapa

Lebih terperinci

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA ISSN 1411 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 8, No. 1, 2006, Hlm. 56-60 56 FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA FERTILITY AND

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan ternak unggas yang cukup popular di masyarakat terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang mungil yang cocok untuk dimasukkan

Lebih terperinci

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT Erwin Jatnika Priyadi*, Sri Bandiati Komar Prajoga, dan Deni Andrian Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas

Lebih terperinci

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR L.H. PRASETYO dan T. SUSANTI Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi ABSTRACT

Lebih terperinci

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2 II. KOMPONEN VARIAN SIFAT KUANTITATIF Kuswanto, 2012 1.Statistik sifat kuantitatif Karena sifat kuantitatif akan membentuk distribusi kontinyu dari penotip, maka sifat-sifat tersebut dianalisis dengan

Lebih terperinci

Pemuliaan Tanaman dan Hewan

Pemuliaan Tanaman dan Hewan Pemuliaan Tanaman dan Hewan Apakah kamu tahu bahwasanya dewasa ini makin banyak macam-macam tanaman dan hewan apa itu pemuliaan tanaman dan hewan? Berbagai macam tanaman dan hewan yang memiliki bibit unggul

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS Subandriyo dan Luis C. Iniguez (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan/Small Ruminant-CRSP) PENDAHULUAN Sekitar 50% dari populasi domba

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

KOMPARASI ESTIMASI PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI BALI BERDASARKAN SELEKSI DIMENSI TUBUHNYA WARMADEWI, D.A DAN IGN BIDURA

KOMPARASI ESTIMASI PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI BALI BERDASARKAN SELEKSI DIMENSI TUBUHNYA WARMADEWI, D.A DAN IGN BIDURA 1 KOMPARASI ESTIMASI PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI BALI BERDASARKAN SELEKSI DIMENSI TUBUHNYA WARMADEWI, D.A DAN IGN BIDURA Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar-Bali e-mail: dewiayuwarmadewi@yahoo.co.id

Lebih terperinci

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) MARIA ASTUTI Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Sapi Peranakan Ongole (PO) pada tahun 1991 populasinya

Lebih terperinci

Systems of Animal Breeding (Sistem Perkawinan Inbreeding)

Systems of Animal Breeding (Sistem Perkawinan Inbreeding) Systems of Animal Breeding (Sistem Perkawinan Inbreeding) Straight breeding: Purebred breeding Inbreeding Outcrossing Grading up Cross breeding: Two-breed crosses Three-breed crosses Rotation breeding

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH DALAM PEMULIAAN OLEH ADI RINALDI FIRMAN

ISTILAH-ISTILAH DALAM PEMULIAAN OLEH ADI RINALDI FIRMAN ISTILAH-ISTILAH DALAM PEMULIAAN OLEH ADI RINALDI FIRMAN 1. ANALISIS KORELASI Mempelajari hubungan antara dua sifat yang diamati atau mengukur keeratan (derajat)hubungan antara dua peubah. 2. ANALISIS REGRESI

Lebih terperinci

IIA. MENDELIAN GENETICS

IIA. MENDELIAN GENETICS MK. GENETIKA (Biologi sem 4) IIA. MENDELIAN GENETICS Paramita Cahyaningrum Kuswandi* FMIPA UNY 2012 Email* : paramita@uny.ac.id 2 Introduction I. Monohybrid Cross II. Dihybrid Cross III. Trihybrid Cross

Lebih terperinci

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian I. PENDAHULUAN Populasi penduduk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING (The Growth of Starter and Grower of Alabio and Peking Reciprocal Crossbreed Ducks) TRIANA SUSANTI 1, S. SOPIYANA 1, L.H.

Lebih terperinci

Bibit sapi potong - Bagian 2: Madura

Bibit sapi potong - Bagian 2: Madura Standar Nasional Indonesia Bibit sapi potong - Bagian 2: Madura ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

Lebih terperinci

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Program Studi : Teknologi Produksi Ternak Capaian Pembelajaran : 1. Mampu mengidentifikasi dan menganalisis masalah, menemukan solusi alternatif dan menyeleksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO (Breeding Program of Ma Ducks in Bptu Pelaihari: Selection of Alabio Parent Stocks) A.R. SETIOKO

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KORELASI SIFAT BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN LITTER SIZE PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE, LOKAL DAN PERSILANGAN

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KORELASI SIFAT BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN LITTER SIZE PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE, LOKAL DAN PERSILANGAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KORELASI SIFAT BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN LITTER SIZE PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE, LOKAL DAN PERSILANGAN SKRIPSI Oleh : AHMAD AWALUDDIN 100306056 PROGRAM STUDI PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK: PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI

KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK: PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK: PERTIMBANGAN, KRITERIA, METODA DAN STRATEGI SUBANDRIYO Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav-E59, Bogor 16151 ABSTRAK Konservasi sumberdaya

Lebih terperinci

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN Reproduction Potency and Output Population of Some Cattle Breeds In Sriwedari Village,

Lebih terperinci

Ukuran Populasi Efektif, Ukuran Populasi Aktual dan Laju Inbreeding Per Generasi Itik Lokal di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam ABSTRACT

Ukuran Populasi Efektif, Ukuran Populasi Aktual dan Laju Inbreeding Per Generasi Itik Lokal di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam ABSTRACT Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2012 Vol. 14 (3) ISSN 1907-1760 Ukuran Populasi Efektif, Ukuran Populasi Aktual dan Laju Inbreeding Per Generasi Itik Lokal di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam

Lebih terperinci