PERNYATAAN MENGENAI TESlS DAN SUMBER INFORMASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERNYATAAN MENGENAI TESlS DAN SUMBER INFORMASI"

Transkripsi

1 DAMPAK PEMANENAN KAYU DAN PERLAKUAN SlLVlKULTUR TEBANG PlLlH TANAM JALUR (TPTJ) TERHADAP POTENSI KANDUNGAN KARBON DALAM VEGETASI HUTAN ALAM TROPIKA (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) AJUN JUNAEDI SEKOLAHPASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESlS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Terhadap Potensi Kandungan Karbon Dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber inforrnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2007 Ajun Junaedi NIM

3 AJUN JUNAEDI. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh ELlAS sebagai ketua dan ANDRY INDRAWAN sebagai anggota. Perubahan iklim global yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir akan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Hutan alam tropika memiliki peran yang sangat penting dalam menekan efek kenaikan gas rumah kaca tersebut melalui penyerapan karbon dalam bentuk akumulasi biomassa. Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur sangat mempengaruhi potensi cadangan karbon vegetasi yang ada di dalam hutan. Untuk itu penelitian ini ingin mengkaji seberapa besar dampak kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ temadap perubahan potensi cadangan karbon vegetasi di atas perrnukaan tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk membandingkan perubahan komposisi dan struktur vegetasi akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ pada areal bekas tebangan umur 0, 2, 3, 4 tahun dengan hutan primer; (2) untuk membandingkan potensi cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ umur 0,2,3,4 tahun dengan hutan primer. Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) PT Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah pada areal bekas tebangan TPTJ umur 0,2,3,4 tahun dan hutan primer. Potensi cadangan karbon vegetasi di duga dari besamya biomassa vegetasi, dimana 50% dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Pendugaan biomasa vegetasi menggunakan persamaan Allometrik yang dibuat oleh Ketterings et. a1 (2001). Hasil penelitian ini menunjukkan tejadinya perubahan komposisi dan strumur vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ dibandingkan dengan hutan primer yang diindikasikan dengan berkurangnya jumlah jenis yang ditemukan, terjadinya penggantian dominansi tingkat puhon dan perubahan struktur vegetasi. lndeks keanekaragaman jenis di areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara 2,14 sampai 2,86 lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer (2,15 sampai 3,07). Komposisi jenis pohon kelompok Dipterocarpaceae di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih rendah (23.14%) dibandingkan dengan hutan primer (31,46%). Secara umum di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer sebagian besar vegetasi didominasi oleh jenis Non Komersial. Cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah di areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara (57,68-107,71 ton Clha) lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer (229,33 ton Cha). Cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ menunjukkan trend yang semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Vegetasi tingkat pohon merupakan komponen penyusun cadangan karbon terbesar, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan TPTJ. Tidak adanya korelasi yang kuat antara indeks keanekaragaman jenis dengan potensi cadangan karbon vegetasi di atas pennukaan tanah dengan nilai r = 0,43, sehingga indeks keanekaragaman jenis tidak bisa digunakan untuk menduga besarnya potensi cadangan karbon. Kata Kunci : dampak pemanenan kayu, TPTJ, potensi karibon, hutan alam trqoka

4 ABSTRACT AJUN JUNAEDI. The Impact of Timber Harvesting and TPTJ (Selected Logging and Strip Planting) Silviculture System on Carbon Content Potency in Tropical Forests (A Case Study in IUPHHK Areas of PT Sari Bumi Kusuma, Central Kalimantan). Under direction of Elias and Andry Indrawan. Timber harvesting and TPTJ silviculture treatment have a significant impact on carbon stock potency in tropical natural forests. The aims of this study are, therefore: (1) to compare the alteration of both species composition and forest structure as a result of timber harvesting activities and TPTJ silviculture treatment in tropical natural forests in areas of TPTJ 0, 2, 3, 4 years and virgin forests; (2) to compare carbon potency of tropical natural forest vegetation in the areas of TPTJ 0, 2, 3, 4 years and virgin forests. The research was conducted in IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Seruyan Unit Central Kalimantan. The potency of vegetation carbon was estimated from the amount of vegetation biomass. Such estimation was made by using Allometric equation according to Ketterings et a/, (2001). The result of this study indicated that the impact of both timber harvesting and TPTJ silviculture treatment leads to the alteration of not only species composition but also forest structure in TPTJ areas. Vegetation carbon stock above the ground in TPTJ areas ranges between 57,68 and 107,71 ton Cha, significantly lower than that in virgin forests (229,33 ton Cha). Furthermore, the carbon stock in TPTJ areas shows a raising trend in line with the age of TPTJ areas. Keywords: timber harvesting impact, TPTJ, can5on potency, tropical natural forests

5 @ Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 7. Dilarang mengutip sebagian atau selumh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan krifk atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan mempenbanyak sebagian atau selumh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

6 DAMPAK PEMANENAN KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR TEBANG PlLlH TANAM JALUR (TPTJ) TERHADAP POTENSI KANDUNGAN KARBON DALAM VEGETASI HUTAN ALAM TROPIKA (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan ~engah) AJUN JUNAEDI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Tesis Nama NIM : Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) : Ajun Junaedi : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Elias Ketua Prof. Dr. Ir. Andw Indrawan, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Tanggal Ujian : 7 September 2007 Tanggal Lulus : 1 8 SEP 2007

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Judul dari tesis ini adalah "Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah)". Tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait, khususnya bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan hutan alam (Departemen Kehutanan) dan para pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan tesis ini diantaranya : 1. Prof. Dr. Ir. Elias dan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan rnasukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku penguji luar komisi dalam ujian tesis 3. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan IPB beserta staf pengajar dan staf pegawai yang telah rnemberikan sumbangsih yang sangat besar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Sekolah Pascasa rjana IPB 4. Segenap pimpinan dan staf Alas Kusuma Group di Pontianak yang telah memberikan ijin lokasi dalam penelitian ini, khususnya kepada Bapak Ir. Gusti Hardiansyah, M.Sc.QAM 5. Segenap pimpinan dan staf PT Sari Bumi Kusuma yang berada di Camp Nuak, khususnya Camp TPTJ Km lstri (Sri Dinia Purnamawati, S.Hut) dan anak (Tammara Audina Putri) yang tercinta yang selama ini dengan sabar memberikan dorongan dan semangat dan selalu berdoa terus menerus agar penulis dapat menyelesaikan studi di IPB 7. Bapak (Madhari) dan Ibu (Yustati) (almarhumah), adik-adikku yang tersayang serta seluruh keluarga yang tidak bisa disebutkan satu per satu disini yang selalu memberikan domngan, semangat dan berdoa tidak putus-putusnya demi tercapainya cita-dta penulis

9 8. Sedek Karepesina, SP., M.Si; Ramadhan Fitri, S.Hut, M.Si; Aah Ahmad Almulqu, S.Hut; Nesa Rosalia, S.Hut dan teman-teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB lainnya, khsususnya mahasiswa llmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) angkatan 2005 yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak. Bogor, September 2007 Ajun Junaedi

10 Penulis dilahirkan di Ciomas, Bogor pada tanggal 14 Nopember 1971 dari ayah Madhari dan ibu Yustati (Almarhumah). Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bogor, kemudian melanjutkan studi program sa rjana pada Fakultas Kehutanan lnstitut Pertanian Bogor Jurusan Teknologi Hasil Hutan dan lulus pada Tahun Setelah lulus dari program sarjana penulis beke rja di perusahaan swasta yang bergerak dibidang kehutanan sampai tahun Pada tahun 1999 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Hutan Universitas Palangka Raya, KalimantanTengah. Tahun 1998 penulis menikah dengan Sri Dinia Purnamawati, S.Hut dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Tammara Audina Putri. Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi llmu Pengetahuan Kehutanan.

11 DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAM PI RAN... PENDAHULUAN Halaman Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Kerangka Pemikiran... 3 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 Hipotesis... 5 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Alam Tropika... 6 Dampak Pemanenan Kayu terhadap Kerusakan Vegetasi di Hutan Alam Tropika... 8 Dampak Perlakuan Silvikultur TPTJ Terhadap Vegetasi Hutan Alam Tropika... 9 Pendugaan Biomassa dan Karbon daiam Komunitas Hutan Potensi Stok Karbon di Hutan Alam Tropika KEADAAN UMUM LOKASI PENELlTlAN Letak dan Luas Pengelolaan Hutan Kondisi Fisik Lokasi Kondisi Vegetasi METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan WaMu Penelitian... Bahan dan Alat... Data yang Dikumpulkan... Prosedur Pengumpulan Data di Lapangan... Analisis Vegetasi... Pendugaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah... Analisis Data... Komposisi dan Struktur Vegetasi... lndeks Keanekaragaman Jenis... lndeks Kesamaan Komunitas... Penentuan Biomassa Vegetasi di Atas Permukaan Tanah... Penentuan Karbon Vegetasi di Atas Permukaan Tanah... Analisis Statistik... HASlL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan StruMur Vegetasi Komposisi Vegetasi StruMur Vegetasi xii xiv xv

12 Halaman lndeks Keanekaragaman Jenis... lndeks Kesamaan Komunitas... Biomassa Vegetasi di Atas Perrnukaan Tanah... Biomassa Vegetasi Tingkat Pohon... Biomassa Vegetasi Tingkat Tiang... Biomassa Vegetasi Tingkat Pancang... Biomassa Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Tingkat Semai... Karbon Vegetasi di Atas Perrnukaan Tanah... Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon... Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Tiang... Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pancang... Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Tingkat Semai... Hubungan lndeks Keanekaragaman Jenis dengan Potensi Cadangan Karbon Vegetasi... KESlMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Persamaan allometrik untuk menduga biomassa di hutan tropika berdasarkan perbedaan curah hujan Tahapan kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Rekapitulasi data curah hujan bulanan di camp TPTJ periode tahun 2003 sampai Jumlah jenis tumbuhan bawah, semai dan pancang yang di temukan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Jumlah jenis tingkat tiang dan pohon yang ditemukan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks Nilai Penting (INP) sepuluh jenis pohon dominan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Kerapatan tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Kerapatan tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangantptj Kerapatan tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Kerapatan tingkat semai di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Kerapatan tumbuhan bawah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks keanekaragaman jenis tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah di areal TPTJ dan hutan primer lndeks kesamaan komunitas tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks kesamaan kornunitas tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks kesamaan komunitas tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks kesamaan komunitas tingkat semai di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lndeks kesamaan komunitas tumbuhan bawah di kkasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ... 49

14 Halaman 20. Biomassa dan serasah halus di hutan tropika basah di Malaysia dan Pulau lrian Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan biornassa vegetasi tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat sernai dan turnbuhan bawah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan karbon vegetasi di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Cadangan karbon di atas permukaan tanah sebelum dan setelah kegiatan pernanenan hutan di Asia dan Indonesia Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ... 63

15 DAFTAR GAMBAR Halaman la. Flow chart dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ terhadap potensi cadangan karbon di atas permukaan tanah... 4 I b. Flow chart pendugaan potensi cadangan karbon dalam vegetasi Hutan alam tropika Peta lokasi penelitian Teknis penerapan sistem TPTJ di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Lokasi penelitian berdasarkan ketinggian dari permukaan laut PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 0 tahun PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 2 tahun PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 3 tahun PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 4 tahun PCP analisis vegetasi pada lokasi hutan primer Desain pengambilan contoh vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah dalam PCP pada setiap lokasi penelitian I1. Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter di setiap lokasi Penelitian Perubahan cadangan karbon akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ Persentse laju peningkatan cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ Grafik hubungan cadangan karbon vegetasi dan indeks keanekaragaman jenis... 64

16 DAFTAR LAMPIRAN Halarnan 1. Daftar narna jenis pohon yang diternukan di lokasi penelitian Daftar nama jenis turnbuhan bawah yang ditemukan di lokasi penelitian Daftar narna jenis pohon dan kerapatan kayu dalam kategori sedang Rekapitulasi data analisis vegetasi pada lokasi penelitian Data hasil analisis laboratorium biomassa dan karbon vegetasi tingkat semai dan turnbuhan bawah di hutan primer Data hasil analisis laboratorium biomassa dan karbon vegetasi tingkat semai dan turnbuhan bawah di areal bekas tebangan 0 tahun 7. Data hasil analisis laboratoriurn biomassa dan karbon vegetasi tingkat semai dan turnbuhan bawah di areal bekas tebangan 2 tahun 8. Data hasil analisis laboratoriurn biomassa dan karbon vegetasi tingkat semai dan turnbuhan bawah di areal bekas tebangan 3 tahun Data hasil analisis laboratorium biornassa dan karbon vegetasi tingkat semai dan turnbuhan bawah di areal bekas tebangan 4 tahun Rekapitulasi cadangan biomassa dan karbon vegetasi di lokasi penelian... I I. Hasil analisis sidik ragam cadangan karbon di semua lokasi penelitian pada taraf nyata 5 %...

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Isu lingkungan mengenai perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca (C02, CH4, N20, HFCs) ke lapisan atmosfir merupakan salah satu isu penting yang mendapat sorotan dunia saat ini. Laju kenaikan konsentrasi gas rumah kaca dapat mengakibatkan pemanasan global di muka bumi. Pemanasan global dapat diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi secara perlahan yang berakibat pada pe~bahan iklirn global di muka bumi yang berdampak negatiif terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Peningkatan efek dari gas rumah kaca tersebut mendapat perhatian yang cukup serius dari negara-negara di dunia. Pada tahun 1997 melalui Protokol Kyoto (PK) telah disepakati bahwa negara-negara maju diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca paling sedikii 5% dari tingkat emisi tahun 1990 dalam periode komitmen pertama yaitu tahun (Mudiyarso 2003). Penekanan emisi boleh dilakukan di negara lain melalui makanisme Protokol Kyoto yaitu Emission Trading (ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM). Mekanisme PK yang dilakukan di negara berkembang adalah CDM dimana dalam mekanisme ini negara maju melaksanakan proyek penekanan emisi atau peningkatan serapan gas rumah kaca di negara berkembang. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang dimasukan dalam skerna CDM yang diharapkan dapat menekan laju kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Diantara beberapa gas rumah kaca tersebut, C02 memiliki jumlah yang paling berlirnpah. Ekosistem hutan memainkan peranan penting dalam mengurangi perubahan iklim. Peran sektor kehutanan, khususnya hutan tropis dalam menekan efek kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (Con) adalah melalui penyerapan karbon dalarn bentuk akumulasi biomassa. Biornassa vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat menjaga dan memberikan keseimbangan siklus karbon di muka bumi (Elias 2002). ~elain berfungsi sebagai penyerap karbon, hutan juga sebagai sumber emisi karbon melalui proses respirasi. AMfis kehutanan sangat mempengaruhi potensi cadangan karbon yang ada di dalam hutan. Diantara beberapa aktifitas kehutanan yang mempengaruhi

18 potensi cadangan karbon hutan adalah kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropika di lndonesia yang dilakukan oleh para pemegang ljin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) berperan sebagai faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya cadangan karbon di hutan alam tropika. Kegiatan pemanenan kayu dan sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan lestari merupakan dua kegiatan yang tidak bisa dipisahkan. Sampai saat ini sistem silvikultur yang digunakan di hutan alam tropika lndonesia adalah sistem silvikultur TPTl (Tebang Pilih Tanam Indonesia), sistem silvikultur TPTll (Tebang Pilih Tanam lndonesia Intensif) dan sistem silvikultur TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur). Sistem silvikultur TPTJ adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm diikuti dengan permudaan buatan dalam jalur. Sistem silvikultur TPTJ dilaksanakan pada kawasan hutan alam produksi yang termasuk kategori hutan tanah kering dataran rendah dan di kawasan lain yang memungkinkan sesuai Ketetapan Menteri Kehutanan N0.435iKpts-Ili1997. Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam, antara lain mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah. Hasil penelitian (Bertault and Sist, 1997; Elias, 1998) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu dengan sistem TPTl mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35%. Lasco (2002) menyatakan bahwa amfias pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktiitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67%. Penelitian mengenai keberadaan potensi cadangan karbon di hutan alam tropis akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ sangat penting untuk dilakukan. Hal ini untuk mengkaji seberapa besar dampak kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ terhadap potensi cadangan karbon vegetasi.

19 Perumusan Masalah Laju deforestasi hutan alam tropika di Indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, ha1 ini berpengaruh terhadap proses penyerapan C02 dari atmosfir yang dapat mempengaruhi kondisi iklim global, yaitu menimbulkan efek gas rumah kaca. Pohon-pohon di dalam hutan menggunakan C02 dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O2 dan energi. Sebagian energi hasil fotosintesis tersebut disimpan dalam bentuk biomassa vegetasi. Brown (1997) menyatakan bahwa 50% dari biomassa vegetasi tersusun atas karbon. Kegiatan pemanenan kayu dan tindakan-tindakan silvikultur di hutan alam yang sampai saat ini dilakukan oleh pemegang IUPHHK mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan berakibat terhadap kemampuan vegetasi hutan tersebut untuk menyerap ataupun melepaskan karbon ke atmosfir. Brown et a/. (1999) menyatakan bahwa penyimpanan karbon pada vegetasi hutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu diantaranya iklim, topografi, karakteristik lahan, komposisi dan jenis tanaman dan perbedaan siklus pertumbuhan tanaman. Sedangkan Proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya intensitas pemanenan hutan serta proses dekomposisi (Ojima et a/. 1996). Atas dasar uraian perrnasalahan yang dikemukakan di atas maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu di jawab dalam penelitian ini : 1. Seberapa besar terjadinya perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan alam akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ pada areal bekas penebangan umur 0, 2, 3, 4 tahun jika dibandingkan dengan vegetasi hutan primer? 2. Berdasarkan inforrnasi dari jawaban permasalahan 1 di atas, seberapa besar perbedaan potensi cadangan karbon vegetasi hutan alam pada areal bekas penebangan umur 0,2,3,4 tahun dan areal hutan primer? Kerangka Pemikiran Aktifias pemanenan kayu dan perlakuan silvikubr merupakan faktor yang berperan pnting dalam menentukan potensi cadangan karbon. Komposisi dan struldur hutan alam b-opika yang berubah akan berakibat terhadap potensi penyerapan karbon oleh vegetasi hutan. Gambar la dan 1 b menjelaskan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

20 Pelepasan Karbon ii f I Hutan Alam Atmosfir 4 Tropika i i Penyerapan Karbon * Pemanenan Kayu dan Pelepasa Ka -bon Perlakuan Silvikultur TPTJ dan Penyerap n k :arbon I Perlakuan Silvikultur TPTJ I Perubahan Komposisi dan Perubahan Struktur Vegetasi Hutan Potensi Cadangan Karbon di atas Permukaan Tanah Gambar la Flow chart dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikuitur TPTJ terhadap potensi cadangan karbon di atas perrnukaan tanah. VegM Tingkat Sernai dan Tumbuhan Bawah Berdiiter 2 5 crn Secara Langsung T Pendugaan Biornassa Secara Tidak Langsung (Non Desfn~Mif) dengan Persamaan Allometrik : Biomassa = f (Diameter) I Tanah di Hutan Alam Tropika + Potensi Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Alam Tropika Gambar lb Flow chart pendugaan potensi cadangan karbon dalam vegetasi hutan alam tropika.

21 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk membandingkan perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ di hutan alam tropika pada areal bekas tebangan umur 0, 2, 3, 4 tahun dengan hutan primer; (2) untuk membandingkan potensi cadangan karbon vegetasi hutan alam tropika pada areal bekas tebangan umur 0,2,3,4 tahun dengan hutan primer. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data kuantitaffl mengenai perubahan komposisi dan struktur vegetasi dan besarnya potensi cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah akibat kegiatan pemanenan kayu dan tindakan silvikultur TPTJ. Dengan tersedianya data ini diharapkan dapat dijadikan dasar acuan dalam perencanaan pengelolaan hutan yang lestari. Hipotesis Berdasarkan tujuan yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan beberapa hipotesis berikut ini : 1. Terjadi perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ di hutan alam tropika. 2. Tejadi perbeciaan potensi cadangan karbon vegetasi di hutan alam primer dan areal bekas penebangan TPTJ.

22 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Alam Tropika Menurut Soerianegara dan lndrawan (1988), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Departemen kehutanan (1992) mendefiniskan hutan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem. Hutan alam tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat effi (Schimper 1903, diacu dalam Mabberiey 1992). Hutan alam tropika merupakan habitat yang paling kaya serta kompleks. Hutan ini terdapat di wilayah tropika dengan suhu relatii seragam berkisar antara C, serta curah hujan yang tinggi berkisar antara 2000 mm mm per tahunnya (Ewusie 1990). Richard (1995); Whitemore (1998), diacu dalam Turner (2001) menyatakan bahwa tipe vegetasi yang ada di hutan alam tropika merupakan tipe vegetasi daerah equator yang essensial dan merupakan biornassa yang hygrofilik (suka air). Whitemore (1986) mengernukakan bahwa hutan hujan tropika adalah suatu komunitas yang komplek dengan kerangka utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Adanya kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luar, cahaya yang kurang, kelembaban yang tinggi dan suhu yang rendah. Berdasarkan luasannya hutan alam tropika di lndonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutanhutan ini memiliki kekayaan yang unik. Menurut Forest Watch lndonesia (2001) bahwa tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Papua.

23 Hutan alam tropika di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi karena memiliki I persen spesies tumbuhan yang terdapat di dunia, 10 persen spesies mamalia dan 16 persen spesies burung (Forest Watch lndonesia 2001). Keberadaan hutan alam tropika merupakan bagian yang terpenting dalam menunjang kehidupan secara keseluruhan. Hutan tropika merupakan jalur hijau sepanjang equator + 10' LUILS, atau kira-kira hanya 8% dari seluruh daratan di bumi, tetapi merupakan habitat dari lebih 50% tumbuhan kayu yang ada. Selain itu hutan tropika merupakan ekosistem yang paling komplek dan paling tinggi keaneragamannya (Soerjani 1990). Ciri-ciri hutan alam tropika menurut Richard (1966)- diacu dalam Turner (2001) adalah sebagai berikut : a. Hutan alam tropika terdiri dari banyak jenis tumbuhan berkayu dan umumnya kaya akan jenisjenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang besar b. Mempunyai banyak jenis kodominan, tetapi dapat juga hanya terdiri dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis tersebut memperlihatkan gambaran umum yang sama yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tiak bercabang c. Umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan, sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu dan permudaan atau tunas-tunas dari jenis jenis pohon lapisan bawah d. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis-jenis efifit, tumbuhan pemanjat, palma dan pandan e. Merupakan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa, masingmasing jenis tumbuh-tumbuhan di dalamnya mempunyai sifat-sifat hidup yang berbeda, tetapi dengan kondisi edafis dan Wimatdogi tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang seimbang Saat ini keberadaan hutan alam tropika di lndonesia sudah sangat mengkhawatirkan, laju deforestasi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kerusakan hutan alam tropika ini dikarenakan para pengelola hutan dalam melakukan pengelolaan hutan tidak menerapkan prinsip pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Pengelolaan hutan alam tropika yang dilakukan oleh para pemegang ljin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dilakukan di areal hutan produksi. Sampai saat ini sistem silvikultur yang digunakan deh pemegang

24 IUPHHK dalam pengelolaan hutan alam tropika menggunakan sistem silvikultur TPTI. Sistem silvikultur TPTl merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan alam tropika Indonesia pada hutan tak seumur, bertujuan untuk mewujudkan hutan dengan komposisi dan struktur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya (Departemen Kehutanan 1999). Selain TPTl Departemen Kehutanan juga memperkenalkan sistem silvikultur TPTJ. Sistem silvikultur TPTJ tersebut pernah diterapkan di PT Sari Bumi Kusuma dan PT Erna Djuliawati. Dampak Pemanenan Kayu Terhadap Kerusakan Vegetasi di Hutan Alam Tropika Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropika salah satunya adalah dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan seperti vegetasi tegakan tinggal. Kerusakan tersebut dapat berupa tumbang atau roboh, luka-luka pada batang, kerusakan tajuk, kerusakan terhadap anakan alam (vegetasi tingkat semai). Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan vegetasi tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Tingkat kerusakan tegakan tinggai di hutan alam tropika dapat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Kegiatan pemanenan kayu dengan sistem Convensional Logging mengakibatkan kerusakan yang besar pada tegakan tinggal dan tanah (Pinard et a/. 1995; Hendrison 1990; Elias 1995). Sistem pemanenan dengan teknik Reduced Impact Logging dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal sampai 48% dan kerusakan tanah dapat ditekan sampai 50%, areal yang terbuka akibat pembuatan jalan hutan dapat ditekan sebesar 68% (Sukanda 2002). Kerusakan tegakan tinggal di hutan alam akibat kegiatan pemanenan dengan sistem Convensional Logging (CL) disebabkan oleh kegiatan penyaradan, yaitu pohon rebah 88,32%, condong 4,47%, luka batangkulit 4,47%, tusak tajuk, banir dan batang 2,74% (Eiias 1993). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan yang menyebabkan

25 kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Bertault dan Sist 1997; Elias 1998). Menurut hasil penelitian FA0 (1998) di hutan hujan tropika Afrika dan Amerika Selatan menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan teknik pemanenan konvensional (Convensional Logging) dapat merusak tegakan tinggal dan kerusakan tanah yang cukup besar berkisar yaitu antara 5-50%. Di hutan hujan tropis Amazon di Brasil menurut hasil penelitian Johns et a/. (1996) menunjukkan bahwa sistem pemanenan kayu dengan teknik Reduced Impact Logging dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal dan secara ekonomi volume kayu per ha yang dihasilkan sangat menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan teknik Convensional Logging. Hasil penelitian ClFOR (1998) di beberapa negara di dunia seperti Malaysia, Brazil, Indonesia, Cameroon, Bolivia, Tanzania dan Zambia menunjukkan bahwa kerusakan tegakan tinggal dan tanah akibat kegiatan pemanenan hutan di hutan hujan tropika dapat ditekan sampai 25% dengan menggunakan teknik Reduced Impact Logging. Dam pa k Perlakuan Silvikultur TPTJ Terhadap Vegetasi Hutan Alam Tropika Sistem silvikultur TPTJ adalah sistem tebang pilih yang menebang pohon dengan diameter minimal 40 crn (40 cm Up) yang diikuti dengan permudaan buatan dengan sistem jalur. Pada sistem silvikultur ini terdapat jalur bersih selebar 3 m untuk kegiatan penanaman pohon semi toleran dengan jarak tanam 5 m x 5 rn dan jarak antar jalur penanaman adalah 25 m. Sutisna (2001) menyatakan bahwa tujuan dari penerapan sistem silvikultur TPTJ adalah agar kegiatan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara lebih intensif dengan melakukan tindakan-tindakan silvikultur melalui sistem jalur sehingga pernbinaan dan pengawasan hutan lebih te rjarnin. Sedangkan sasaran dari sistem TPTJ ini adalah untuk mengatur pemanfaatan kayu yang optimal pada hutan alam produksi, meningkatkan potensi hutan baik jenis komersial terutama jenis Dipterocarpaceae yang diharapkan dapat menjamin kontinuitas produksi, memudahkan pelaksanaan pemeriksaan, pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan pembinaan hutan di lapangan.

26 Dampak dari penerapan sistem silvikultur TPTJ menurut Suparna dan Purnomo (2004), diacu dalarn Parnoengkas (2006) adalah sebagai berikut : 1. Pada tahap awal kegiatan, tingkat keterbukaan tajuk dan kerusakan tanah akan lebih besar 2. Terjadi perubahan struktur dan komposisi jenis akibat adanya penanaman dalam jalur Alrasyid (2000) menyatakan bahwa akibat kegiatan penebangan dengan limit diameter 40 cm, setelah 3 bulan terjadi penurunan potensi hutan cukup drastis. Rata-rata jumlah bidang dasar pohon per ha turun sebesar 54,6% dan volume tegakan per ha turun sebesar 63,4%. Pada tingkat perrnudaan jumlahnya mengalami penurunan drastis, namun masih dalam kategori cukup. Sedangkan kerusakan tegakan tinggal untuk tingkat pohon dan tiang rata-rata mencapai 52,3% dan 60,3%, kerusakan ini umumnya disebabkan kegiatan penebangan dan penyaradan. Sedangkan dampak penerapan sistem silvikultur TPTJ menyebabkan proporsi jenis komersial tingkat pohon mencapai 36% di areal TPTJ lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer 39%. Sedangkan untuk tingkat permudaan, komposisi jenis komersial dari kelompok Non Dipterocarpaceae merupakan jenis dominan baik di areal TPTJ maupun di hutan primer (Pamoengkas 2006). Pendugaan Biomassa dan Karbon dalam Komunitas Hutan Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut mien et al. (1984), diacu dalam Rizon (2005) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (tonlha). Kusmana (1993) menyatakan bahwa biomassa dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih lanjut dinyatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem pr~du~frtas, umur tegakan dan distribusi organik. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan stnrmur tegakan. FaMor iklim seperti

27 curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana 1993). Menurut Brown (1997) untuk menduga biomassa dari pohon dapat menggunakan dua pendekatan yaitu (1) berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (tonlha); (2) berdasarkan pendekatan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan Allometrik. Metode ini menggunakan biomassa sebagai fungsi dari diameter pohon dengan persamaan sebagai berikut : Dimana : Y = biomassa pohon (Kg) Biomassa di atas tanah (Y) = a D~ D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta. Persamaan regresi biomassa hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total seluruh pohon untuk kelas diameter. Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan persamaan allometrik untuk menduga biomassa vegetasi di atas perrnukaan tanah di hutan alam tropika. Pada Tabel 1 berikut ini disajikan beberapa persamaan allometrik yang telah dibuat untuk menduga biomassa di hutan alam tropika berdasarkan perbedaan curah hujan. Tabel I Persamaan allometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropika berdasarkan perbedaan curah hujan 7rah Persamaan Albrnetrik Deteminasi Koefisien (R2) mrnltahun Sumber Brown (1 997) W= ~'~ 0190 Brown (1997) w = p D~ H 0.90 Brown et. a1 (1 997) W=O,11 pd.@ 0-90 Ketterings et. a1 (2001) > 4000 W = 0,037 D'.'~ H 0.90 Brown (1997) Sumber : Hairiah et a/. (2001) Keterangan : W = biomassa pohon (Kg/pohon) D = diameter pohon setinggi dada (130 an) dari perrnukaan tanah (crn) H = tinggi pdkm (m) p = kerapatan kayu (@an"> Chapman (1976), diaw dalam Onrizal (2004) mengelompkkan metode pendugaan biomassa di atas perrnukaan tanah ke dalam dua kategori, yaitu (1) metode pemanenan yang terdiri atas (a) metode pemanenan individu

28 tanaman, (b) metode pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata, dan (2) metode pendugaan tidak langsung yang terdiri dari (a) metode hubungan Allometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yaitu dengan cara menggunakan seperangkat elektroda yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah menurut Hairiah et a/. (2001) bisa diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi pohon yang berdiameter 2 5 cm, sedangkan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah) menggunakan metode secara langsung. Brown (1997) menyatakan bahwa pada pendugaan cadangan biomassa atau karbon berdasarkan diameter vegetasi, pengukuran diameter vegetasi bervariasi yaitu untuk daerah kering dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 crn dan untuk daerah yang beriklim basah, batas minimum pengukuran diameter yang digunakan 2,5-10 crn, tetapi secara umum biasa digunakan ukuran diameter minimum 5 cm. Pendugaan biomassa menggunakan metode non destructive dengan allometrik bisa lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas bisa dijadikan contoh. Metode dapat mengurangi kesalahan seperti yang ditemukan dengan metode destructive. Menurut Mudiyarso et a/. (1994) bila memungkinkan persamaan yang digunakan untuk menduga biomassa seharusnya dikembangkan untuk setiap lokasi, spesies, atau group dari spesies dan untuk pohon-pohon yang mempunyai umur dan ukuran yang sama. Potensi kandungan karbon di hutan alam dapat diduga dengan rnenggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dad biomassa hutan tersusun atas karbon. Hal ini juga diperkuat oleh pemyataan Brown et al. (1999) yang menyatakan bahwa 50% dari biomassa hutan adalah karbon yang terdiri dari biomassa di atas permukaan tanah dan di bawah perrnukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup, semak, pancang, tiang dan pohon. Lebih lanjut menurut Jetkins et a/. (2002), diacu dalam Rion (2005) bahwa kandungan karbon dapat diduga melalui persarnaan allometrik dari biomassa pohon yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon.

29 Potensi Stok Karbon Di Hutan Alam Tropika Hutan merupakan reservoir dari karbon yang cukup besar yaitu sekitar 350 GTC (Giga Ton Carbon) dari 550 GTC yang ada di biota daratan. Rosot karbon di hutan akan berpengaruh terhadap perubahan neraca karbon di hutan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi sumber karbon di hutan (Channel 1996). Penyerapan karbon oleh hutan ditentukan melalui proses penangkapan dalam proses fotosintesis dan pelepasan karbon melalui respirasi. Karbon yang ditangkap dan dilepaskan akan mempengaruhi produktiitas ekosistem bersih (NEP). hutan adalah pound karbon/ha/tahun. Menurut Johnsen et a/. (2001) besarnya NEP oleh Suhendang (2002) menyatakan bahwa sumberdaya hutan di lndonesia memiliki potensi tinggi dalam ha1 keanekaragaman hayati dan potensi penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di lndonesia yang luasnya 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sekiar 15,05 milyar ton karbon. Lokasi utama cadangan karbon di hutan alam tropika yaitu di atas permukaan tanah (vegetasi hutan) dan di dalam perrnukaan tanah (Van Nodrwijk et a/, 1997). Lasco (2002) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara ton Cha untuk vegetasi dan ton aha untuk tanah. Sedangkan menurut Murdiyarso et a/. (1994) bahwa hutan tropis di lndonesia diperkirakan mempunyai cadangan karbon berkisar antara ton C/ha. Akumulasi kandungan biomassa hutan dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu dan perlakuan silvikuttur yang digunakan. Kandungan biomassa di hutan hujan tropika Asia Tenggara berkisar antara tonha (berat kering oven) termasuk biomassa akar (Pinard and Putz 1997). Proses peiepasan cadangan karbon ke atmosfir dipengaruhi oteh beberapa faktor diantaranya intensitas pemanenan hutan dan proses dekomposisi (Ojima et a/. 1996). Hasil penelitian Van Noordwjik et a/. (1997) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan alam Jambi dapat melebihi 50 ~g/m=, dimana 80% cadangan karbon terdapat pada pohon, 10% pada pohon yang sudah mati dan 10% berada pada tanah. Sedangkan pada hutan sekunder 10 tahun, penurunan cadangan biomassa tertihat sangat nyata yang berakibat cadangan karbonnya semakin menurun drastis.

30 KEADAAN UMUM LOKASI PENELlTlAN Letak dan Luas Letak lokasi penelitian di dalam areal ljin Usaha Pernanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat '00" '00" BT dan 00 36'00"-01010'00" LS. Batas areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Hutan Lindung Sebelah Timur : Areal IUPHHK Kayu Waja dan Taman Nasional Bukit Baka Sebelah Selatan : IUPHHK PT. Meranti Mustika dan IUPHHK PT. Ema Djuliawati Sebelah Barat : IUPHHK PT. Ema Djuliawati Secara administrasi Kehutanan areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan termasuk kedalarn wilayah KPH Kotawaringin Timur, BKPH Sampit, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah dan berdasarkan kelompok hutannya, areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan terletak pada kelompok hutan Sungai Seruyan Hulu. IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan berdasarkan administrasi pemerintahan, termasuk dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalirnantan Tengah. Luas areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 201Kpts tentang pemberian HPHTl dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur seluas ha yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) Ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) ha. Berikut peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

31 Gambar 2 Peta lokasi penelitian?eta LOKASl HCHll PT. SARI BUYI KUSUMA CROVINH KALIMANTAN TENBAH

32 Pengelolaan Hutan PT. Sari Bumi Kusuma telah merniliki SK lzin Pengusahaan Hutan yang terdiri dari Tahap I dan Tahap II sebagai berikut : 1. SK Menteri Kehutanan No. 666/Um/10/1979 tentang Pemberian HPH dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) atas areal seluas Ha kepada PT. Sari Bumi Kusuma di Propinsi Kalirnantan Tengah, tertanggal 16 OMober SK Menteri Kehutanan No. 201IKpts tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman lndustri (HPHTI) dengan Sistem Tebang Pilih dan Tanarn Jalur (TPTJ) atas areal seluas Ha kepada PT. Sari Bumi Kusuma, di Propinsi Kalimantan Tengah, tertanggal27 Februari IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma (SBK) telah memiliki industri sendiri yaitu jenis lndustri plywood dan penggergajian yang berlokasi di daerah Kumpai dan Pontianak. Kapasitas produksi industri plywood dan penggergajian tersebut adalah sebesar m310g/tahun. Suplai bahan baku industri tersebut berasal dari PT. Suka Jaya Makmur sebanyak m3/tahun, PT. Harjohn Timber Ltd. sebanyak m310g/tahun dan dari PT. SBK m3/tahun. Sistem silvikultur TPTJ merupakan sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya penanaman secara jalur pada areal bekas penebangan dengan jarak tanam 5 meter dalam jalur tanaman dan 25 meter antar jalur. Sebanyak 80 bibit meranti ditanam per ha tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya bibit alam yang tersedia pada areal bekas tebangan tersebut. Lebar jalur tanam secara bertahap akan diperlebar sesuai dewan perkembangan tanaman mulai dari Tahun I sampai dengan Tahun N dengan maksimal lebar jalur tanam adalah 10 meter. Adapun model jalur tanam TPTJ ditunj- pada Gambar 3.

33 Sumber : Pamoengkas (2006) Gambar 3 Teknis penerapan sistem TPTJ di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Adapun tahapan kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tahapan kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) No. 1 Tahapan Kegiatan - - Rancangan Penataan Areal Kerja dan Risalah Pembukaan Wilayah Hutan Pengadaan Bibit Penebangan dan Pembuatan Jalur Bebas Naungan Penyiapan Jalur Bersih Penanaman Pemeliharaan Tanaman Perlindungan Tanaman Waktu Pelaksanaan T-2 T-I T-1 T+O T+O T+O T + 1 sld panen Terus menenrs tiap tahun sam~ai Danen Kondisi Fisik Lokasi Pada penelitian ini dibuat 10 PCP (Petak Contoh Pengamatan) yang berada pada ketinggian meter dari permukaan laut, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Kemiringan lapangan PCP ini berada pada kelerengan 35-40%. Kondisi kelerengan di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma sebagian besar berada pada kelas lereng landai (8-15%) sampai curam (25-40%). Untuk kelompok hutan yang terletak di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut kondisinya bergelombang berat dan berlereng te rjal. Sedangkan untuk areal

34 di bawah 500 meter di bawah permukaan laut umumnya bergelombang ringan sampai sedang. / H) / ABTO 1 ABT2 1 ABT3 (ABT41 Lokasi Penelin Keterangan : HP = Hutan primer ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun PCP l = Petak Contoh Pengamatan I PCP II = Petak Contoh Pengamatan II Gambar 4 Lokasi penelitian berdasarkan ketinggian dari permukaan laut Data curah hujan di areal PT. Sari Bumi Kusuma dari tahun disajikan pada Tabel 3. Total curah hujan dari tahun berkisar antara mmltahun atau rata-rata sekitar 242,2-282,5 mmlbulan dengan kategori sangat basah dan berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson termasuk dalam kategori tipe iklim A. Sedangkan berdasarkan peta Geologi Kalimantan Tengah skala 1: , formasi geologi yang mendominasi areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma adalah lonalit, granodiorit, granit, sedikit diorit kuarsa, diorit dan garbo. Jenis tanah di areal tersebut berdasarkan peta Tanah Kalimantan Tengah skala 1 : dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1983 terdiri atas Kambisol Distrik, Podsolik Kandik dan Oksisol Haplik yang menurut terminologi dalam SK Mentan No seluruhnya adalah Podsolik (Anonimous 2004, diacu dalam Pamoengkas 2006). Debit sungai pada kelompok hutan /unit Sungai Seruyan Hulu sekitar 2,51 m3/detik (pada Sungai Derap) sampai 5,72 m3/detik (pada anak Sungai Seruyan Hulu). Kandungan sedimen pada kelompok hutantunit Sungai Seruyan

35 berkisar 7-27 mglliter sehingga kondisi perairannya tergolong layak untuk minum. Tabel 3 Rekapitulasi data curah hujan bulanan di camp TPTJ periode tahun No. Bulan Januari Curah Hujan Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Total Kategori Kategori Kategori (mm) (mm) (mm) Tahun 2006 Total (mm) Kategori Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November 12 Desember 141 BB 290 BB 218 BB 280 BE3 Total 3261 Q=O,OO 2909 Q=O,lO 3084 Q=O,OO 3390 Q=0,22 Rata-mta 271,75 242, ,50 Sumber : Camp Binhut dan Lingkungan PT Sari Bumi Kusuma Keterangan : BB : Bulan Basah BK : Bulan Kering BL : Bulan Lembab Kategori Curah Hujan berdasarkan kriteria menurut Schmidt-Ferguson Kondisi Vegetasi Tipe hutan pada areal ke ja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma termasuk tipe Hutan Hujan Tropika Basah dataran rendah. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan primer didominasi oleh Kamper (Hopea mengarawan), Ubah (Eugenia sp), Meranti merah (Shorea lepmsula) dan Medang (Lifsea ha), sedangkan jenisjenis dorninan di areal bekas tebangan TPTl adalah Meranti merah (Shorea lepmsula), Medang (Litsea tima), Ubah (Eugenia sp.), Kelampai (Elatemspermurn tapos) dan Menjalin (Xanthophyllum excelsum). Jenis-jenis seperti Ubah (Eugenia sp.), Medang (Litsea firma), Meranti merah (Shorea lepmsula) merupakan jenis dominan di areal TPTJ.

36 METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan, yaitu tahap pertama pengambilan data di lapangan selama dua bulan mulai bulan Januari sampai Pebruari 2007 dan tahap kedua dilakukan di laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, lnstiiut Pertanian Bogor, yaitu bulan Maret 2007 untuk menganalisis biomassa tumbuhan bawah dan tingkat semai. Bahan dan Alat Bahan penelitian yang juga merupakan objek dari penelitian ini adalah areal bekas tebangan TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) yang berumur 0 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun dan hutan primer. Pemilihan hutan primer daiam penelitian ini dimaksudkan sebagai pembanding terhadap areal bekas tebangan TPTJ. Untuk itu asumsi-asumsi yang digunakan adalah kondisi awal areal bekas tebangan TPTJ (sebelum dilakukan kegiatan penebangan) memiliki kesamaan tipe vegetasi, iklim, tanah dan kondisi topografi dengan hutan primer. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu alat yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan meliputi : kompas, haga hypsometer, pita diameter pohon, tali tambang, golok, tally sheet, amplop, timbangan duduk 300 gr, karung, kantong plastik, spidol bennrama, label kertas, cat wama merah dan kuas cat. Sedangkan alat yang diperlukan dalam analisis biomassa vegetasi tumbuhan bawah dan vegetasi tingkat semai di laboratorium meliputi timbangan analitik dengan ketelitian 0,01 g, cawan porselen, eksikator dan oven. Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data komposisi dan struktur vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ umur 0, 2, 3, 4 tahun dan hutan primer yang mencakup kerapatan relatii, frekuensi relatif, dominansi relatif suatu jenis yang kemudian didapatkan lndeks Nilai Penting (INP). Peubah yang diukur untuk mengetahui kornposisi dan struktur

37 vegetasi tersebut adalah nama jenis, jumlah jenis, jumlah individu untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. Sedangkan untuk tingkat pohon yang berdiameter r 5 cm, peubah yang diukur adalah nama jenis, jumlah jenis, jumlah individu, diameter dan tinggi pohon 2. Data biomassa tingkat semai dan tumbuhan bawah yang diukur dengan menggunkan metode secara langsung (destrumif) di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer 3. Data biomassa tingkat pohon yang berdiameter 2 5 cm yang dukur dengan menggunakan metode secara tidak langsung (non destrumif) di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer 4. Data kandungan karbon tingkat semai dan tumbuhan bawah di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer 5. Data kandungan karbon tingkat pohon yang berdiameter 2 5 cm di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer 6. Data sekunder (data pendukung) yang meliputi data keadaan umum lokasi penelitian dan data curah hujan Prosedur Pengumpulan Data di Lapangan Lokasi penelitian ini terdiri dari 5 lokasi, yaitu di areal bekas tebangan TPTJ umur 0, 2, 3, 4 tahun dan hutan primer. Pada setiap lokasi tersebut masingrnasing dibuat 2 unit Petak Contoh Pengamatan (PCP) berukuran 100 m x 100 m sehingga jumlah total PCP yang dibuat sebanyak 10 unit atau seluas 10 Ha. Analisis Vegetasi Sistem silvikultur TPTJ di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma secara teknis di lapangan terdapat jalur bersih dan jalur antara. Pada tahap awl, jalur tanarn dibuat 3 meter yang merupakan jalur bersih dan bebas naungan, sedangkan jalur antara (jalur kotor) dengan lebar 22 meter merupakan tegakan alam. Pembuatan lebar jalur bersih atau bebas naungan dilakukan secara bertahap dengan tahapan sebagai berikut : a. Pada umur penebangan 0 tahun (tahun berjalan), lebar jalur bersih atau lebar jalur tanam 3 m b. Pada umur penebangan 2 tahun, lebar jalur bersih atau bebas naungan 4 rn c. Pada umur penebangan 3 tahun, lebar jalur bersih atau bebas naungan 6 m d. Pada umur penebangan 4 tahun, lebar jalur bersih atau bebas naungan 10 m

38 Kegiatan analisis vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ dalam penelitian ini dilakukan di jalur antara. Sedangkan metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode nested sampling, dimana pada setiap PCP di buat petak ukurpetak ukur yang didalam petak ukur tersebut dibuat sub-sub petak ukur. Vegetasi yang diamati meliputi tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah. Penempatan PCP dilakukan dengan metode purposive sampling. Ukuran petak ukur yang dibuat untuk pengamatan tingkat pohon disesuaikan dengan lebar jalur bersih atau jalur bebas naungan, yaitu di areal bekas tebangan umur 0 tahun ukuran petak ukur 25 m x 22 m; areal bekas tebangan 2 tahun ukuran petak ukur 25 m x 21 m; areal bekas tebangan 3 tahun ukuran petak ukur 25 m x 19 m dan areal bekas tebangan 4 tahun ukuran petak ukur 25 m x 15 m dan di areal hutan primer ukuran petak ukur 25 m x 25 m. Sedangkan untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah ukuran petak ukur di semua lokasi penelitian adalah sama, yaitu masing-masing berukuran 10 m x 10 m; 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m. Desain PCP untuk analisis vegetasi di setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5-9 : Keterangan : Jalur tanam Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (25 m x 22 m), tiang (10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m), semai dan tumbuhan bawah (2 rn x 2 m) Gambar 5 PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 0 tahun

39 Keterangan : Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (25 m x 21 m), tiang (10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m), semai dan tumbuhan bawah (2mx2m) ---- Jalur tanam Gambar 6 PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 2 tahun - Keterangan : Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (25 m x 19 m), tiang (10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m), semai dan tumbuhan bawah (2mx2m) Jalur tanam Gambar 7 PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 3 tahun

40 Keterangan : Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (25 m x 15 m), tiang (10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m), semai dan tumbuhan bawah (2mx2m) --- Jalur tanam Gambar 8 PCP analisis vegetasi pada areal bekas tebangan 4 tahun u Keterangan : Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (25 m x 25 m), tiang (10 m x 10 m), pancang (5 m x 5 m), semai dan tumbuhan bawah (2mx2m) Gambar 9 PCP analisis vegetasi pada lokasi hutan primer

41 Ketentuan pengambilan data analisis vegetasi di lapangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tingkat pohon adalah tumbuhan berkayu dengan batas diameter 2 20 cm (pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian 1,3 m dari perrnukaan tanah). Peubah yang diukur meliputi diameter, tinggi, nama jenis, jumlah jenis 2. Tingkat tiang adalah tumbuhan berkayu dengan batas diameter cm. Peubah yang diukur meliputi diameter, tinggi, nama jenis, jumlah jenis 3. Tingkat pancang adalah tumbuhan berkayu yang memiliki tinggi > 1,5 m dengan diameter < 10 cm. Dalam penelitian ini vegetasi tingkat pancang yang di ukur adalah yang memiliki diameter 5-9,9 cm. Peubah yang diukur meliputi nama jenis, jumlah individu, diameter, tinggi 4. Tingkat semai adalah anakan pohon dengan jumlah daun lebih dari 2 helai daun dengan ketinggian sampai dengan 150 cm. Peubah yang diukur meliputi jumlah individu dan nama jenis 5. Tumbuhan bawah adalah tumbuhan penutup tanah meliputi rumput, paku, talas atau tumbuhan herba rendah, semak belukar dengan tinggi < 1,5 m. Peubah yang diukur meliputi jumlah individu dan nama jenis Pendugaan Biomassa di Atas Pennukaan Tanah Biomassa di atas perrnukaan tanah daiam penelitian ini diukur dengan menggunakan metode tidak langsung (non destmktif) dan metode langsung (destruktif) (Hairiah et a/. 2001). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi pohon yang berdiameter 2 5 cm, sedangkan untuk menduga biomassa vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah menggunakan metode secara langsung. Berikut prosedur pendugaan biomassa dalam penelitian ini : 1. Metode secara tidak langsung (non destmmir) untuk menduga biomassa vegetasi pohon yang berdiameter setinggi dada (dbh) r 5 cm dengan menggunakan persamaan Allometrik. Model persamaan Allometrik yang digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh Ketterings et a/. (2001), dimana biomassa pohon merupakan fungsi dari diameter dan kerapatan kayu. Data kerapatan kayu setiap jenis pohon bersumber dad literatur review yang sudah ada, yaitu wood density database ( yang memuat * 4000 jenis data kerapatan kayu diseluruh dunia. Data kerapatan kayu yang diiunakan merupakan data kerapatan kayu kategori sedang

42 (medium). Dari data diameter hasil analisis vegetasi untuk setiap jenis pohon pada setiap PCP masing-masing dihitung biornassanya yang kernudian dibagi dengan luas PCP sehingga diperoleh data biomassa rata-rata per hektar. Metode secara langsung (destruktif) digunakan untuk rnenduga biornassa vegetasi tingkat sernai dan turnbuhan bawah. Metode secara langsung ini dilakukan dengan cara rnengarnbil secara langsung vegetasi tingkat sernai dan tumbuhan bawah. Pengarnbilan contoh vegetasi tingkat sernai dan turnbuhan bawah untuk rnenentukan biomassa ini dilakukan pada petak ukur berukuran 1 rn x 1 rn yang diternpatkan dalarn PCP di setiap lokasi penelitian. Petak ukur tersebut diternpatkan di dalarn PCP sebanyak 4 ternpat secara sisternatik. Desain pengarnbilan contoh untuk rnenentukan biornassa tingkat sernai dan turnbuhan bawah dapat dilihat pada Garnbar 10. Keterangan Petak ukur 1 m x 1 m untuk Pengambilan Contoh Vegetvi Tingkat Semai dan Tumbuhan Bawah Gambar 10 Desain pengambilan contoh tingkat sernai dan turnbuhan bawah dalarn PCP di setiap lokasi penelitian Sernua vegetasi tingkat sernai dan turnbuhan bawah yang ada dalarn petak ukur 1 rn x 1 rn diarnbil dan ditirnbang untuk rnendapatkan bobot basah Wb). Dari bobot basah total tersebut kernudian diarnbil sub sarnpel masing-masing * 200 g (BBc), baik turnbuhan bawah rnaupun vegetasi tingkat sernai. Contoh sub sample yang & 200 g tersebut kemudian dibawa ke laboratoriurn untuk dikering ovenkan pada suhu 80'~ selama 48 jam. Kernudian contoh sub sample tersebut ditimbang untuk rnendapatkan bobot contoh kering (BKc).

43 Analisis Data Komposisi dan Struktur Vegetasi Untuk mengetahui perubahan komposisi dan struktur vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ umur 0, 2, 3, 4 tahun dan hutan primer dianalisis dengan menggunakan lndeks Nilai Penting (INP). Untuk mendapatkan INP tersebut data dari hasil analisis vegetasi perlu dihitung kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif (Sorianegara dan lndrawan 1988). Berikut persamaanpersamaan untuk mendapatkan INP : a) Kerapatan suatu jenis (K) K= individu suatu jenis Luas petak contoh b) Kerapatan relatif suatu jenis (KR) c) Frekuensi suatu jenis (F) KR = K suatu jenis ~100% K seluruh jenis F= plot ditemukannya suahl jenis Jumlah seluruh plot d) Frekuensi relatif suatu jenis (FR) e) Dominansi suatu jenis (0) 9 Dominansi relatif suatu jenis (DR) g) lndeks Nilai Penting (INP) FR = Frekuensi dari suatu jenis x 100% Frekuensi dari seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis D= Luas petak contoh Dominansi suatu jenis DR = x 100% Dominansi seluruh jenis INP =KR +FR+DR

44 lndeks Keanekaragaman Jenis Untuk menghitung indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer menggunakan rumus Magurran (I 987) : Dimana : H' = lndeks kenakeragaman jenis Shannon-Wiener N = C seluruh individu ni = C individu suatu jenis pada petak ukur ke-i Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Nilai indeks kesamaan komunitas digunakan untuk membandingkan komunitas di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer yang dihitung dengan menggunakan rumus Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974); Cox (1972) : Dimana : IS w a b = koefisien masyarakat atau lndeks Kesamaan Komunitas = jumlah nilai yang sama dan nilai terendah (S) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan (INP) = jumlah nilai kuantiiatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama (INP) = jumlah nilai kuantiiatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua (INP) Penentuan Biomassa Vegetasi di Atas permukaan Tanah Penentuan biomassa secara langsung dari pohon yang berdiameter 2 5 cm dalam penelitian ini menggunakan pendekatan persamaan Allometrik yang dibuat oleh Ketterings et a/. (2001), dimana biomassa merupakan fungsi dari diameter dan kerapatan kayu. Berikut persamaan Allometrik yang digunakan : W = 0,11 p D~~~~ Dimana : W D p = biomassa berat kering pohon (kg) = diameter pohon setinggi dada (an) = kerapatan kayu (g/cm3) Setiap jenis pohon yang berdiameter 2 5 cm hasil dari analisis vegetasi di setiap lokasi penelitian dihitung biomassanya dengan menggunakan persamaan

45 tersebut. Sedangkan kerapatan jenis kayu untuk setiap jenis pohon diambil dari literatur review yang sudah dikemas. Sedangkari untuk penentuan biomassa vegetasi tumbuhan bawah dan tingkat semai dilakukan dengan menggunakan metode secara langsung (destrumif). Data hasil analisis laboratorium terhadap contoh uji yang diambil di lapangan kemudian dimasukan ke dalam rumus sebagai berikut : Fk= - BKc x 100% BBc Dimana : Wk = Bobot kering biomassa (Kg) Wb = Bobot basah biomassa (Kg) BBc = Bobot basah contoh (gr) BKc = Bobot kering contoh (gr) Fk = Faktor konversi bobot basah ke bobot kering Penentuan Karbon Vegetasi di Atas Permukaan Tanah Penentuan besamya kandungan karbon vegetasi di atas permukaan tanah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ umur 0,2,3 dan 4 tahun diduga dengan menggunakan rumus Brown (1997), dimana 50% dari kandungan biomassa vegetasi hutan tersusun atas karbon. Berikut rumus persamaan untuk menentukan besamya kandungan karbon vegetasi di atas permukaan tanah : Karbon = 50% x W Dimana : W = biomassa vegetasi hutan (Kgiha) Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh lokasi penelitian (hutan primer, areal bekas tebangan umur 0, 2, 3, 4 tahun) terhadap potensi cadangan karbon di analisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rumus: Dimana : i = 1,2,3,4,5 danj=1,2 Y4 = cadangan karbon pada lokasi ke-i dan ulangan ke-j p = rataanumum

46 'ci - pengaruh lokasi ke-i E~ = pengaruh acak pada lokasi ke-i dan ulangan ke-j Apabila hasil dari analisis tersebut berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah dengan menggunakan Uji Perbandingan Berganda Duncan. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara potensi cadangan karbon vegetasi dengan indeks keanekaragaman jenis dianalisis dengan menggunakan regresi linier sederhana dengan rumus : Yi =a+bxi Dimana : i = 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 Yi = cadangan karbon ke-i Xi = indeks keanekaragaman jenis vegetasi ke-i a = intersep b = kemiringanlgradien Pengolahan data analisis statistik dalam penelitian ini menggunakan program SPSS versi 13.

47 HASlL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Struktur Vegetasi Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), istilah komposisi dinyatakan sebagai kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor-faktor tersebut membentuk suatu tegakan klimak. Sedangkan struktur vegetasi menyangkut susunan bentuk dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi komplek yang dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi vertikal dan horizontal (Richard 1966, diacu dalam Kongse 1995). Komposisi Vegetasi Komposisi vegetasi penyusun tegakan hutan dalam penelitian ini meliputi jumlah jenis dan kondisi dominansi dari suatu jenis yang dinyatakan dalam bentuk lndeks Nilai Penting (INP). Jumlah jenis tegakan tinggal (tingkat semai, pancang, tiang, pohon) dan tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan primer berkisar antara jenis dan di areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara jenis. Data jumlah jenis tumbuhan bawah, semai dan pancang yang di temukan di lokasi penelitian tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah jenis tumbuhan bawah, semai dan pancang yang ditemukan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Turnbuhan Sernai Jumlah Pancan Jumlah 'OkaSi Bawah Dipt NDK NK Jenis Dipt. NDK NK Jenis HP ABT ABT ABT ABT Keterangan : Dipt. = Diptemrpaceae NDK = Non Dipterocarpaceae Komersial NK = Non Komersial HP = Hutan Primer ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun Pada Tabel 4 di atas menunjukkan jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Dengan kata lain perlakuan sistem silvikultur TPTJ memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap

48 perkembangan tumbuhan bawah, dimana pada sistem silvikultur TPTJ adanya kegiatan pembuatan jalur bebas naungan dan jalur bersih yang memungkinkan intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan menjadi semakin banyak. Kondisi tersebut berkaitan dengan sifat dari tumbuhan bawah yang pada umumnya memerlukan sinar matahari yang cukup banyak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Adapun jenis-jenis tumbuhan bawah yang mendominasi di areal bekas tebangan TPTJ adalah Alang-alang (Imperata cylindrica), Pakis besi (Lygodium scandes), Lengkuas hutan (Languas galanga), Asam sengayau (Alpinia sp.). Jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di hutan primer rata-rata lebih sedikit dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ, terkecuali di ABT 0 tahun. Hal ini disebabkan pada ABT 0 tahun, pemulihan pertumbuhan tumbuhan bawah masih belum stabil akibat barn saja dilakukan kegiatan pemanenan kayu, seperti kegiatan penyaradan dan penebangan yang menyebabkan tumbuhan bawah banyak mengalami kerusakan dan bahkan menyebabkan kematian. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Rotan (Calamus sp.), Lirik, Asam sengayau (AQinia sp.), Alang-alang (Imperata cylindrica), Akar kais (Uncaria cerdata), Pakis tanah (Lygodium scandes), Pakis kijang (Blechum orientale), Akar temedu (Sphatholobus sp.), Lengkuas hutan (Languas galanga), Asarn songat, Rumput embun, Pandan (Pandanus vinacens), dan lain sebagainya. Untuk perrnudaan tingkat semai, jumlah jenis yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ, yaitu di ABT 0 tahun sampai ABT 3 tahun cenderung meningkat dan mengalami penumnan jumlah jenis yang ditemukan di ABT 4 tahun. Penurunan jumlah jenis yang ditemukan di ABT 4 tahun disebabkan akibat terbentuknya celah atau rumpang yang semakin lebar yang menyebabkan te jadinya perubahan iklim mikro yang drastis sehingga hanya jenisjenis semai intoleran (memeriukan cahaya yang cukup banyak dalam pertumbuhannya) yang mampu hidup pada celah atau rumpang yang lebar. MacKinnon et al. (2000) menyatakan bahwa pengaruh penebangan menyebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan meningkat sampai QO%, sehingga berakibat tehadap pembahan iklim mikro yang menimbulkan banyaknya kematian jenis semai yang masih muda, khususnya jenisjenis sernai yang bersifat toleran. Kondisi tersebut terlihat dari jenisjenis semai Non Komersial yang sebagian

49 besar bersifat intoleran lebih banyak ditemukan dibanding dengan jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae. Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa rata-rata jumlah jenis tingkat semai yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan di ABT 2 dan ABT 3 tahun. Sedangkan berdasarkan kelompok jenis yang ditemukan, baik di areal bekas tebangan TPTJ maupun hutan primer di dominasi oleh jenis Non Komersial. Namun untuk kelompok Dipterocarpaceae yang ditemukan, baik di areal bekas tebangan TPTJ maupun di hutan primer tidak menunjukkan perbedaan yang siginifikan. Pada areal bekas tebangan TPTJ, jumlah jenis tingkat pancang yang ditemukan secara umum mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan, terkecuali di ABT 4 tahun. Rata-rata jumlah jenis tingkat pancang yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Sedangkan untuk jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpacea yang diiemukan pada areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih sedikii dibandingkan dengan hutan primer dan untuk kelompok Non Dipterocarpaceae Komersial yang ditemukan, jumlahnya relatii sama. Secara umum jumlah jenis Non Komersial yang diiemukan di areal bekas tebangan TPTJ lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer. Keberadaan jumlah jenis tingkat tiang dan pohon yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah jenis tingkat tiang dan pohon yang ditemukan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Di t. Tiang Jumlah Pohon Jumlah NDK NK Jenis Dipt. NOK NK Jenis Keterangan : Dipt. = Diptematpaceae ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahon NDK = Non Dipterocarpaceae Komersial ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun NK =NonKmial ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun HP = Hutan FWmer ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun Pada Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa jumlah jenis tingkat tiang yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ cenderung bersifat fluktuatif. Akan tetapi jika dibandingkan dengan hutan primer, rata-rata jumlah jenis tingkat tiang

50 yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ jumlahnya lebih banyak. Sedangkan untuk jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae yang ditemukan di hutan primer dan di areal bekas tebangan TPTJ jumlahnya relatif sama. Jumlah jenis tingkat pohon yang ditemukan di hutan primer seperti yang terlihat pada Tabel 5 di atas lebih banyak (46 jenis ) dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (26-35 jenis). Terjadi penurunan jumlah jenis yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ akibat adanya kegiatan penebangan pohon dengan limit diameter 2 40 cm dan kegiatan penebangan pohon dalam pembuatan jalur bersih dan jalur bebas naungan yang menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan menjadi berkurang. Pada Tabel 5 di atas juga terlihat rata-rata jumlah jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae yang ditemukan di areal bekas tebangan TPTJ lebih sedikii dibandingkan dengan hutan primer. Suhendang et a/. (1993) menyatakan bahwa kegiatan penebangan pohon di hutan alam dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah jenis yang ditemukan, semakin intensif penebangan pohon yang dilakukan menyebabkan jumlah jenis yang hilang akan semakin besar. Gambaran kondisi dominansi dari suatu jenis di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ ditampilkan dalam bentuk lndeks Nilai penting (INP) tingkat pohon. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa jenis-jenis yang mempunyai peranan pada suatu komunitas dicirikan oleh nilai penting yang tinggi karena rnerupakan jumlah dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi relati (DR). Berdasarkan data pada Tabel 6 terlihat bahwa di lokasi hutan primer, ABT 2 tahun, ABT 3 dan ABT 4 tahun jenis pohon yang mendominasi adalah jenis Ubah (Eugenia sp.) dengan INP menduduki rangking pertama yaitu masingmasing sebesar 57.39%; 38.96%: 59.67% dan 38,33%. Sedangkan di ABT 0 tahun, jenis pohon yang mendominasi adalah jenis Jabon (Anthocephalus chinensis) dengan INP sebesar 68,59%. Jabon (Anthocephalus chinensis) rnerupakan salah satu jenis pohon pionir yang biasanya banyak tumbuh di areal bekas tebangan dan perladangan (Manan 1998). Lebih lanjut menurut Manan (1998) jenis-jenis pohon pionir lainnya seperti Trema Orientalis, Macaranga spp., Laban (Vitex spp.), Rasamala (Schima walichir), Tembesu (Fragrae hgran), Sungkai (Peronema canescens) merupakan jenis yang banyak tumbuh di areal bekas tebangan dan perladangan.

51 Jenis-jenis tersebut merupakan jenis pohon yang berumur pendek dan segera digantikan oleh jenis lain yang lebih toleran, seperti jenis-jenis pohon dari kelompok Dipterocarpaceae. Berikut sepuluh rangking terbesar nilai INP tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 lndeks Nilai Penting (INP) sepuluh jenis pohon dominan di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Nama Lokal Kelompok lndeks Nilai Penting (Oh) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 Bangkirai DK 19,76 (4) 11,11 (7) Bintangur NDK - - 7,81 (9) - Brangkasai NDK 730 (7) - - Garung NK 17,87 (6) 6.34 (10) - 11,20 (6) Geronam NK 15,24 (7) (9) Jabon NK 68,59 (1 - - Jelutung NK - - 7,74 (9) Kampili NK 8,96(6) (7) - Ka puak NK Kelampai NK ,99 (2) Kemayau NK (8) 10,lO (8) - Kempas NK (8) 8.23 (7) 15,24 (6) 11,08 (8) Kumpang NK 7,13 (8) (6) 17,75 (5) Mahabai NK (9) Medang NDK 15,14 (4) 23,63 (4) 2838 (3) 29,52 (3) (3) Menjalin NK 6,a (10) (10) - Mentawa NK 6,84 (9) Meranti merah DK 48,75 Q) (2) (2) (2) 2534 (4) Meranti putih DK (3) (5) Nyatoh NDK (5) - - Ubah NK (I) (3) 64,95 (1) 4934 (1) (1) Ulin NK (5) 21,51 (5) (4) - Segulang NK - 7,88 (10) Tengkawang NK (10) Keterangan : DK = Dipterocarpaceae Komersial ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun NDK = Non Dipterocarpaceae Komersial AET 2 Areal 6ekas Tebangan 2 Tahun NK = Non Komersial ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun HP = Hutan Primer ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ( ) =Nomot Rangking Pada Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa tejadi penggantian dominansi jenis pohon di ABT 0 tahun jika dibandingkan dengan hutan primer. Penggantian dominansi ini diduga akibat tejadinya perubahan kondisi lingkungan yang menrpakan salah satu darnpak dari kegiatan pemanenan kayu dengan sistem

52 silvikultur TPTJ. Dimana pada areal bekas tebangan TPTJ dengan terbentuknya celah atau rumpang akibat kegiatan penebangan dan pembuatan jalur bersih dan bebas naungan yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, seperti intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan akan lebih banyak dibandingkan dengan vegetasi hutan rapat (hutan primer). Kondisi seperti ini rnemberikan peluang pada jenis-jenis yang intoleran atau pionir dengan cepat rnenguasai daerah tersebut. Berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan tersebut, Richard et a/. (1 998), diacu dalam MacKinnon et al. (2000) mengatakan bahwa spesies yang toleran (rnemerlukan cahaya yang sedikit dalam pertumbuhannya) biasanya dapat dengan cepat termusnahkan akibat perubahan kondisi lingkungan tersebut dan akhimya mengakibatkan perubahan kornposisi jenis dari suatu kornunitas, sedangkan jenis turnbuhan semak belukar dan jenis- jenis pionir dapat tumbuh dengan cepat sebagai reaksi terhadap meningkatnya intensitas cahaya matahari yang rnasuk. Jika diperhatikan pada Tabel 6 di atas terlihat bahwa jenis Medang (Litsea firma), Meranti rnerah (Shorea leprosula) dan Ubah (Eugenia sp.) merupakan jenis-jenis pohon yang selalu ada di semua lokasi penelitian. Sedangkan untuk jenis pohon kodominan di lokasi hutan primer, ABT 0, ABT 2, ABT 3 tahun yang diternukan adalah jenis Meranti rnerah (Shorea lepmsula), terkecuali di ABT 4 tahun jenis kodorninannya adalah jenis Kelampai (Elatemspemum tapos). Jenis-jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian yang terrnasuk jenis Kornersial dari kelompok Dipterocarpaceae adalah jenis Meranti merah (Shorea lepmsula), Meranti kuning (Shorea johorensis), Meranti putih (Shorea hopeifolia), Merawan (Hopea mengerawan), Bangkirai (Shorea laevifolia), Resak (Vatica sp.). Untuk jenis Komersial dari kelornpok Non Dipterocarpaceae yang ditemukan adalah Medang (Litsea ha), Nyatoh (Palaquium sp.), Bintangur (Callophyllum inophyllum), Gerunggang (Cratoxylon sumatranurn), Rengas (Gluta mnghas), Kulim (Scorodocarpus bomeensis). Sedangkan untuk jenis Non Komersial yang banyak diiemukan di lokasi peneliiian adalah Ubah (Eugenia sp.), Garung (Macaranga hypoleuca), Mahabai (Polyalthia hypdeuca), Kumpang (Mynsfica sp.), Sampak (Aglalia sp.), Kemayau (Dacryodes mstata), Karnpili (Quemus lineata), Kempas (Koompassia malaccensis), Segulang (Evodia celebica), Menjalin (Xanthophfllum excelsum),

53 Geronam (Ochanostachis amenfaceae), Jabon (Anthocephalus chinensis) dan lain sebagainya. Struktur Vegetasi Struktur vegetasi hutan dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto 1981). Struktur vegetasi yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi kerapatan vegetasi per satuan luas dan struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter. Berikut data kerapatan tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ. Tabel 7 Kerapatan tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Jenis Komersial (N/ha) Jenis Non Total Lokasi Non Komersial (Nha) Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Total (Nha) (Nlha) HP ABT ABT 2 31 ABT 3 27 ABT 4 31 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Kerapatan tingkat pohon per hektar di areal bekas tebangan TPTJ pada Tabel 7 di atas menunjukkan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Hutan primer memiliki kerapatan tingkat pohon yang lebih tinggi (174 pohodha) dibandingkan areal bekas tebangan TPTJ ( pohonlha). Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ menyebabkan terjadinya penurunan kerapatan tingkat pohon. Penurunan kerapatan tingkat pohon tersebut te rjadi akibat intensitas kegiatan penebangan pohon yang sangat besar dengan batas diameter pohon yang ditebang 2 40 cm dan akibat kegiatan penebangan pohon dalam pembuatan jalur bersih dan jalur bebas naungan. Rata-rata kerapatan tingkat pohon jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae di hutan primer (55 pohonlha) atau 31,61% lebih tinggi dibandingkan di areal bekas tebangan TPTJ (rata-rata 23,14%). Pada areal bekas tebangan TPTJ kerapatan jenis kelornpok Dipterocarpaceae dan Non

54 Dipterocarpaceae tidak menunjukkan peningkatan yang konsisten seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Sedangkan kerapatan tingkat pohon jenis Non Komersial rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Komersial, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan. Hasil penelitian Pamoengkas (2006) juga menunjukkan kondisi yang sama, dimana kerapatan tingkat pohon jenis Non Komersial sebagian besar memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Komersial, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan TPTJ pada umur 0 sampai 5 tahun. Kerapatan tingkat tiang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kerapatan tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangantptj Lokasi Jenis Komersial (Nlha) Non Dipterocarpaceae Diaterocamaceae,. Total HP ABT ABT ABT I00 Jenis Non Kornersial (NIha) ABT Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Total (Nlha) Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa kerapatan tingkat tiang di hutan primer (654 batanglha) lebih tinggi dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan sistem silvikultur TPTJ menyebabkan jumlah individu per satuan luas tingkat tiang mengalami penurunan. Alrasyid (2000) menyatakan bahwa dampak dari kegiatan penebangan dengan limit diameter 2 40 crn mengakibatkan te jadinya penurunan jumlah tingkat permudaan secara drastis, rata-rata kerusakan tingkat tiang mencapai 63,4%. Kerapatan tingkat tiang di areal bekas tebangan TPTJ bersifat fluktuatif, yaitu tidak menunjukkan peningkatan yang konsisten dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Pada areal bekas tebangan TPTJ, rata-rata kerapatan tingkat tiang jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae (44 indiiidulha) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Dipterocarpaceae di hutan primer (110 individujha). Sedangkan kerapatan tingkat tiang jenis Komersial dari kelompok Non Oipterocarpaceae pada areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih

55 rendah dibandingkan dengan jenis Komersial dari kelompok Non Dipterocarpaceae. Kondisi tersebut diduga akibat kemampuan pertumbuhan jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae yang tidak dapat bersaing dengan kelompok Non Dipterocarpaceae dan Non Komersial yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kelompok Dipterocarpaceae menjadi tertekan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pamoengkas (2006), dimana kerapatan tingkat tiang dari kelompok Dipterocarpaceae di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan Non Dipterocarpaceae. Secara umum rata-rata kerapatan tingkat tiang untuk jenis Komersial di areal TPTJ lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis Non Komersial. Untuk permudaan tingkat pancang dalam penelitian ini data yang dikumpulkan hanya vegetasi tingkat pancang yang berdiameter 5-9,9 cm. Berikut data kerapatan tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ dtampilkan pada Tabel 9. Tabel 9 Kerapatan tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Jenis Komersial (Nha) Jenis Non OkaSi Dipterocarpaceae Non Total Kornersial Total (Nlha) Dipte~~arpaceae (-1 HP 300 ABT ABT ABT 3 88 ABT Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pancang di hutan primer lebih tinggi, yaitu sebanyak 2500 individma dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (rata-rata 1488 individuha). Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan periakuan silvikultur menyebabkan kerapatan individu tingkat pancang mengalami penurunan hampir 50%. Sedangkan pada areal bekas tebangan TPTJ kerapatan terendah (1 138 individuha) terdapat pada ABT 0 tahun dan tertinggi pada ABT 4 tahun (1714 indiiiduka). Kerapatan tingkat pancang di areal bekas tebangan TPTJ menunjukkan peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Peningkatan kerapatan tingkat pancang di areal bekas tebangan TPTJ tersebut

56 disebabkan karena tingkat pancang masih dalam keadaan mengalami proses terjadinya suksesi sekunder. Sedangkan rata-rata kerapatan jenis Komersial (Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae) tingkat pancang secara umum lebih rendah dibandingkan jenis Non Komersial, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan TPTJ. Data kerapatan permudaan tingkat semai di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kerapatan tingkat semai di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Jenis Komersial (Nlha) Jenis Non Total L0kas.i Dipterocarpaceae Non Total Komersial Dipterocarpaceae (Nha) HP ABT ABT ABT ABT Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun ABT 3 ABT 4 (Nka) = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun Data pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa kerapatan tingkat semai di hutan primer (27813 individulha) rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (30332 individulha). Perlakuan sistern silvikurur TPTJ memberikan pengaruh yang cukup baik bagi pertumbuhan tingkat semai yang sebagian besar di dominasi jenis jenis Non Komersial (pionir). Sedangkan kerapatan tingkat semai di areal bekas tebangan TPTJ tidak menunjukkan peningkatan yang konsisten seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Kerapatan tingkat semai dari kelompok Dipterocarpaceae di hutan primer rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Non Dipterocarpaceae. Akan tetapi kerapatan tingkat semai jenis Komersial di areal bekas tebangan TPTJ lebih rendah dibandingkan jenis Non Komersial. Mackinnon et a/. (2000) menyatakan bahwa apabila hutan yang diiebang pilih tidak mengalami gangguan lebih lanjut, regenerasi alami akan te jadi walaupun lambat, dimana semai yang banyak memerlukan banyak cahaya (pionir) akan tumbuh di tempat-tempat yang tidak ada naungan tajuk pohon. Lebih lanjut Mackinnon et a/. (2000) menyatakan hutan yang beregenerasi di areal bekas tebangan akan memiliki kornposisi jenis yang berbeda dengan tegakan aslinya. Hal ini terjadi pada penelitian ini, dimana kornposisi jenis

57 Komersial di hutan primer memiliki kerapatan individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Non Komersial, sedangkan di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata kerapatan jenis Non Komersial lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Komersial. Sehingga dapat dikatakan terjadi perubahan komposisi jenis vegetasi tingkat semai akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan sistem silvikultur TPTJ. Kondisi kerapatan tumbuhan bawah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ dapat dilihat pada Tabel 1 1. Tabel 11 Kerapatan tumbuhan bawah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Kerapatan (NJha) ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ' Data Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan tumbuhan bawah di hutan primer lebih rendah dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ, terkecuali di ABT 0 tahun. Rendahnya kerapatan tumbuhan bawah di ABT 0 tahun tersebut kemungkinan disebabkan karena banyaknya tumbuhan bawah yang mengalami kerusakan bahkan mengalami kematian akibat kegiatan pemanenan kayu yang baru saja dilakukan sehingga berpengaruh terhadap jumlah kerapatan. Pada areal bekas tebangan TPTJ kerapatan tumbuhan bawah semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. MacKinnon et a/. (2000) mengemukakan bahwa pada areal bekas kegiatan penebangan biasanya akan terbentuk rumpang atau celah yang menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan tumbuhan bawah lebih cepat karena dirangsang pertambahan penyinaran cahayd matahari. Hal tersebut berkaitan dengan sifat dari tumbuhan bawah yang memiliki sifat intoleran (memerlukan cahaya) yang cukup banyak dalam pertumbuhannya sehingga dengan semakin besar celah atau rumpang tersebut menyebabkan sinar matahari yang masuk ke lantai hutan akan semakin banyak.

58 Struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 12 Struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Kelas diameter (cm) Kerapatan vegetasi (Nlha) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Data pada Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi di semua lokasi penelitian menyebar dalam setiap kelas diameternya. Vegetasi di hutan primer sebagian besar didominasi oleh vegetasi yang berdiameter kecil. Begitu juga pada vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ, dimana rata-rata vegetasi yang berdiameter kecil memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan vegetasi yang berdiameter besar. Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ (Gambar 11) menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi menurun secara eksponensial dari vegetasi yang berdiameter kecil ke vegetasi yang berdiameter besar, dimana vegetasi yang berdiameter kecil tersebut dapat menjamin kelangsungan tegakan dimasa mendatang. Bila dilihat dari segi kerapatan vegetasi pada setiap kelas diameter, maka terlihat struktur vegetasi di hutan primer telah mengalami perubahan yang signifikan akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ. Whitmore (1984) menyatakan bahwa kegiatan penebangan pohon yang intensif berpengaruh serius terhadap struktur vegetasi hutan.

59 lcebs diameter (cm) Keterangan : HP = Hutan Primer (Model struktur vegetasi : Y = Exp(-0,236D)) ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ( Y = 8861 Exp(-0,199D)) ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun ( Y = Exp (-0,225D)) ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun (Y = Exp (-0,214D)) ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ( Y = Exp (-0,249D)) Gambar 11 Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter di setiap lokasi penelitian lndeks Keanekaragaman Jenis lnformasi keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat penting untuk diketahui, ha1 ini berkaitan dengan sifat keanekaragaman yang bersifat dinamik yang senantiasa mengalami perubahan akibat pertumbuhan dan perkembangan maupun gangguan dari alam maupun manusia (Mackinnon et a/. 2000). Berikut data indeks keanekaragaman jenis disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 lndeks keanekaragaman jenis tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah di areal TPTJ dan hutan primer Lokasi lndeks Keanekaragaman Jenis (H') Tumbuhan Bawah Semai Pancang Tiang Pohon ABT 0 2,28 2,45 2, ,39 ABT ,58 2,41 2,28 2,44 ABT 3 2,57 2,63 2, ,77 ABT 4 2,64 2,14 2,41 2,19 2,86 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun

60 Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman jenis di hutan primer berkisar antara 2,15-3,07 lebih tinggi dibandingkan dengan di areal bekas tebangan TPTJ (2,14-2,86). Menurut Magurran (1987) menyatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (HI) umumnya berada pada kisaran antara 1 sampai dengan 3,5. Jika nilai H' mendekati 3,5 maka tingkat keanekaragaman jenis semakin tinggi. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ menyebabkan terjadinya perubahan indeks keanekaragaman jenis. Hal ini terlihat dari keanekaragaman jenis tingkat pohon di hutan primer rata-rata lebih tinggi (H' = 3,07) dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (2,39-2,86). Namun keanekaragaman jenis vegetasi tingkat pohon di areal bekas tebangan TPTJ menunjukkan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Kondisi tersebut disebabkan karena vegetasi tingkat pohon di areal bekas tebangan TPTJ sedang mengalami proses suksesi. Odum (1993) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung menjadi tinggi di dalam suatu komunitas yang lebih tua dan lebih rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Jika dibandingkan dengan hutan primer, rata-rata nilai indeks keanekaragaman jenis tingkat semai, pancang dan tiang di areal bekas tebangan TPTJ tidak menunjukkan perbedaan yang siginifikan, yaitu berkisar antara 2,14-2,53. Sedangkan indeks keanekagaman jenis tumbuhan bawah di areal bekas tebangan TPTJ cenderung mengalami peningkatan seiring dengan sernakin meningkatnya umur areal bekas tebangan. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dibatasi oleh kondisi lingkungan. McNaughton dan Wolf (1990) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara gangguan lingkungan, tekanan fisiologis yang ditimbulkan oleh lingkungan. Selain itu akibat gangguan yang sangat berat seperti kegiatan penebangan menyebabkan keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas akan diduduki oleh jenis-jenis yang mempunyai siklus hidup yang pendek, pertumbuhan yang cepat dan memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi.

61 lndeks Kesarnaan Komunitas Untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi jenis antar lokasi penelitian maka dilakukan analisis kesamaan komunitas (Indeks Similiarity atau IS). Soerianegara dan lndrawan (1988) menyatakan bahwa lndeks Kesamaan Komunitas (IS) menunjukkan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua contoh yang dibandingkan. Nilai IS berkisar antara 0% sampai dengan 100%, makin dekat 100% menunjukkan dua tegakan yang dibandingkan adalah makin bersamaan dan makin mendekati 096, komposisi jenisnya makin berlainan. Hasil perhitungan indeks kesamaan komunitas tingkat pohon di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 lndeks kesamaan komunitas tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi lndeks Kesamaan Komunitas (%) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 HP , ,32 ABT 0 0,oo 47,69 61, ABT 2 0,oo ABT 3 0,Oo 62,W ABT Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa komunitas tingkat pohon di areal bekas tebangan TPTJ memiliki kesamaan komunitas yang wkup tinggi (rata-rata 57,69%). Sekiiar 57,69% komposisi jenis vegetasi tingkat pohon di hutan primer dan areal bekas tebangan adalah sama. Menurut Sutisna (1985), diacu dalam lndrawan (2000) menyatakan bahwa kesamaan komunitas dikatakan tinggi apabila memiliki nilai indeks kesamaan kornunitas > 50%. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan periakuan silvikultur TPTJ mengakibatkan perbedaan komunitas tingkat pohon sebesar 42,30%. Sedangkan kesamaan komunitas antar areal bekas tebangan TPTJ itu sendiri menunjukkan bahwa perbandingan antara ABT 0 terhadap ABT 2 tahun dan ABT 4 tahun memiliki kesamaan komunitas yang rendah (< 50%). Rendahnya kesamaan komunitas di ABT 0 tahun tersebut disebabkan oleh kegiatan penebangan kayu yang barn saja dilakukan, khususnya penebangan pohon-pohon jenis Komersial dengan limit diameter 2 40 em.

62 Tabel 15. Data nilai indeks kesamaan komunitas tingkat tiang disajikan pada Tabel 15 lndeks kesarnaan komunitas tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi lndeks Kesamaan Komunitas (%) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 HP 0,OO 61,24 76,52 68,42 68,41 ABT 0 0,OO 51,81 69, ABT 2 0,OO 78,32 72,57 ABT 3 0,OO 70,4 ABT 4 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Data pada Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa hutan primer memiliki kesamaan komunitas tingkat tiang rata-rata sebesar 68,64% dengan areal bekas tebangan TPTJ. Sedangkan ABT 2 tahun memiliki kesamaan komunitas tingkat tiang yang paling tinggi (76,52%) terhadap hutan primer dibandingkan dengan ABT 0, ABT 3 dan ABT 4. Hal ini diduga kemungkinan vegetasi tingkat tiang di ABT 2 tahun memiliki komposisi jenis yang hampir sama dengan hutan primer sebelum adanya kegiatan penebangan. Kesamaan komunitas tingkat tiang antar areal bekas tebangan TPTJ paling tinggi terdapat pada ABT 3 dengan ABT 2 tahun,. yaitu sebesar 78,32% dan tingkat kesamaan komunitas paling rendah terdapat pada ABT 2 dengan ABT 0 tahun (51,81016). Akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa kesamaan komunitas vegetasi tingkat tiang antar areal bekas tebangan TPTJ wkup tinggi (>50%). Dengan kata lain lebih dari 50% komposisi jenis di areal bekas tebangan TPTJ memiliki komunitas yang sama. Data indeks kesamaan komunitas tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 16. 0,OO

63 Tabel 16 lndeks kesamaan komunitas tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi lndeks Kesamaan Komunitas (%) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 HP 0,OO 69, ,57 66,97 ABT 0 0,OO 54,32 68,13 64,57 ABT 2 0,o ,33 ABT ,29 ABT 4 0,OO Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pancang di areal bekas tebangan TPTJ memiliki kesamaan komunitas sebesar 65,63% dan termasuk dalam kategori cukup tinggi. Sedangkan komposisi jenis tingkat pancang di ABT 3 tahun paling mendekati hutan primer (72,57%) dan yang terendah tingkat kesamaannya terdapat di ABT 2 tahun (53,66%). lndeks kesamaan komunitas tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ tersebut bersifat fluktuatif, tidak adanya kecenderungan peningkatan kesamaan komunitas dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Sedangkan kesamaan komunitas antar areal bekas tebangan TPTJ rata-rata memiliki kesamaan komunitas > 50%. Menurut lndrawan (2000) komunitas tingkat pancang merupakan komunitas yang masih berada pada keadaan suksesi sekunder menuju hutan klimaks, tingginya nilai IS pada hutan bekas tebangan (> 50%) menunjukkan bahwa komunitas tingkat pancang mendekati nilai IS pada hutan primer dan akan mengarah pada hutan primer. Kesamaan komunitas tingkat semai di hutan primer dengan areal bekas tebangan TPTJ rata-rata cukup tinggi (72,76%). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas permudaan tingkat semai di areal bekas tebangan TPTJ hampir mendekati di hutan primer. Begitu juga yang terjadi diantara areal bekas tebangan TPTJ yang memiliki nilai indeks kesamaan komunitas cukup tinggi, terkecuali di ABT 0 tahun yang memiliki kesamaan komunitas paling rendah yaitu 52,17%. Data indeks kesamaan komunitas vegetasi tingkat semai di hutan primer dan di areal bekas tebangan TPTJ dapat dilihat pada Tabel 17.

64 Tabel 17 lndeks kesamaan komunitas tingkat semai di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi lndeks Kesamaan Komunitas (%) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 HP 0,OO ,56 74,88 74,26 ABT 0 0,OO 60,99 63,90 52,17 ABT 2 0,OO 68, ABT 3 0,OO 63,04 ABT 4 0,00 Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Sedangkan indeks kesamaan komunitas tumbuhan bawah di lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18. Dimana hutan primer memiliki kesamaan komunitas tumbuhan bawah yang rendah (rata-rata 44,66%) terhadap areal bekas tebangan TPTJ. Rendahnya kesamaan komunitas tumbuhan bawah tersebut diduga akibat rapatnya vegetasi di hutan primer yang menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan tumbuhan bawah menjadi terharnbat. Sedangkan kesamaan komunitas antar areal bekas tebangan TPTJ itu sendiri nilainya berfluktuasi. Pada Tabel 18 juga menunjukkan bahwa indeks kesamaan komunitas paling tinggi terdapat di ABT 4 dan ABT 2 tahun, yaitu 70,84% dan yang terendah terdapat di ABT 4 dengan ABT 0 tahun (3944%). Tabel 18 lndeks kesamaan komunitas tumbuhan bawah di lokasi hutan primer dan bekas tebangan TPTJ Lokasi lndeks Kesarnaan Komunitas (%o) HP ABT 0 ABT 2 ABT 3 ABT 4 HP 0,Oo 28,69 =.m 32, ABT ABT , ABT ,50 ABT 4 0,Oo Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 =Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Biomassa Vegetasi di Atas Permukaan Tanah Pendugaan cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah pada penelitian ini menggunakan pendekatan diameter pohon dan kerapatan jenis kayu. Data kerapatan kayu untuk setiap jenis pohon dapat dilihat pada Lampiran 3.

65 Hasil perhitungan potensi cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara 11 5,36-458,67 tonlha, seperti yang tercantum pada Tabel 19. Tabel 19 Potensi cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Biomassa (tonlha) Persentase HP 458,67 100,OO ABT 0 115,36 25,15 ABT 2 152,66 33,28 ABT 3 210,83 45,96 ABT 4 215,43 46,97 Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Data Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa hutan primer memiliki potensi cadangan biomassa vegetasi paling tinggi dibandingkan di areal bekas tebangan TPTJ, yaitu sebesar 458,67 tontha. Kondisi ini dikarenakan hutan primer yang masih utuh dan belum terganggu oleh kegiatan pernanenan dan perlakuan silvikultur serta kegiatan kehutanan lainnya, sehingga cadangan biomassa yang berada di dalam hutan tidak hilang. Besamya biornassa vegetasi di atas permukaan tanah jumlahnya bervariasi dari tonlha sesuai dengan tipe hutannya (Proctor et a/. (1983), diacu dalarn Mackinnon et a/. (2000)). Berikut potensi biomassa dan serasah halus di hutan tropika di Malaysia berdasarkan forrnasi hutan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Biomassa dan serasah halus di hutan tropika basah di Malaysia dan Pulau lrian Luas petak Biomassa di atas bawah Biomassa tanah di Forrnasi hutan contoh Da) Serasah tanah (tlha) (#ha)., (tom) Hutan tropika basah dataran rendah sdalu hiyau Pasoh, Malaysia 0,l ,5 10,50 Mulu. Sarawak ,5 Gigir punggung yang lebar 1,o 650 Alluvium lembah 1,o 250 Hutan di atas batu kapur 1,O Hutan kerangas 1.o Hutan troqlka basah pegunungan Seluruh Pulau lrian Sumber : Prodor et a/. (1983); Whitemore (1984); Koto et a/. (1978); Edward dan Grubb (ISTI)

66 Dari data Tabel 20 di atas, biomassa di atas permukaan tanah di hutan dataran rendah Pasoh Malaysia jumlahnya berkisar antara tonlha lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan primer hasil studi ini. Sedangkan jika dibandingkan dengan hutan tropika pegunungan di seluruh Pulau Irian, jumlah biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan primer PT. Sari Bumi Kusuma ini lebih tinggi (458,67 tonlha). Jika dilihat pada Tabel 19 di atas, potensi cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah pada areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ mengakibatkan terjadinya penurunan cadangan biomassa yang sangat besar. Kehilangan cadangan biomassa di areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara 53,03-74,85%. Pada ABT 0 tahun kehilangan cadangan biomassa vegetasi di atas perrnukaan tanah paling besar dibandingkan dengan ABT 2, ABT 3 dan ABT 4 tahun yaitu sekitar 74,85%. Kehilangan cadangan biomassa yang sangat besar ini diakibatkan intensitas kegiatan pemanenan kayu dengan sistem silvikultur TPTJ yang sangat tinggi, dimana pohon-pohon jenis komersial yang memiliki diameter 40 cm ke atas sesuai dengan persyaratan sistem silvikultur TPTJ ditebang dan diangkut ke luar hutan. Hal ini mengakibatkan biomassa terbawa dari dalam hutan ke tempat lain. Mackinnon et a/. (2000) mengemukakan bahwa sebagian besar zat hara tumbuhan di tahan di dalam biomassa di atas tanah dan bukan di dalam tanah, oleh karena itu biomassa akan hilang bila hutan ditebang atau dibakar. Lebih lanjut Whitemore (1984) menyatakan bahwa hampir tiga per empat biomassa terdapat di dalam kayu. Akan tetapi cadangan biomassa di areal bekas tebangan TPTJ mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan dari 0 sampai dengan 4 tahun, yaitu sekiar 25,15% menjadi 46,97%. Kondisi tersebut diakibatkan adanya perbaikan komposisi jenis dan struktur vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ, seperti kerapatan vegetasi yang semakin meningkat, pertambahan diameter vegetasi yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Kusmana (1993) menyatakan bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Selain itu variasi besamya biomassa juga dipengaruhi oleh faktor iklim, yaitu curah hujan dan suhu (Kusmana et a/. 1992).

67 Biomassa Vegetasi Tingkat Pohon Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon yang dikelompokan berdasarkan jenis Komersial (Dipterocarpacea dan Non Dipterocarpaceae) dan jenis Non Komersial di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Biomassa (tonlha) Jenis Komersial Non Di~terocar~aceae ~i~~~~~~~~~~~~~~ Total Jenis Non Komersial Total ABT 0 15,57 3,86 19,43 63,51 82,94 (1 8,77%) (4,65%) (23,43%) (76,57%) ABT 2 20,19 13,89 34,m 77,89 111,97 (17.81%) (1 2,26%) (30.07%) (69,93%) ABT ,71 171,43 (8,51%) (036%) (9,17%) (90,83%) ABT 4 42,15 (23,09%) (15,18%) 69,85 (38,27%) 112,69 (61,73%) 182,s Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kurung menunjukkan petsentase Pohon merupakan vegetasi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap cadangan biomassa di atas permukaan tanah, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan TPTJ. Data Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa : kontribusi biomassa tingkat pohon terhadap biomassa total di hutan primer sekiiar 82,20%. Begitu juga di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata vegetasi tingkat pohon menyumbangkan biomassa sekitar 71,89-84,73% dari total biomassa di setiap areal bekas tebangan. Tingginya biomassa pada vegetasi tingkat pohon ini dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi per unit area dan besamya ukuran diameter tingkat pohon di masing-masing lokasi. Hutan primer memiliki biomassa tingkat pohon yang paling tinggi (377 tonlha) dibandingkan areal bekas tebangan TPTJ. Kondisi tersebut jika dikaitkan dengan kerapatan vegetasi per hektar, hutan primer memiliki kerapatan 174 pohoniha dengan ukuran rata-rata diameter 41,68 cm (kisaran diameter cm) yang lebih besar dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ. Pada areal bekas tebangan TPTJ, biomassa vegetasi tingkat pohon semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas

68 tebangan. Hal ini terkait dengan semakin membaiknya pertumbuhan vegetasi pohon yang dicirikan ukuran diameter pohon dan luas bidang dasar pohon per unit area yang semakin bertambah. Luas bidang dasar vegetasi pohon di hutan primer rata-rata lebih tinggi (38,88 m2/ha) dibandingkan di areal bekas tebangan TPTJ yang masing-masing sebesar 8,02 m2/ha (ABT 0); 9,68 m2/ha (ABT 2); 17,31 m2/ha (ABT 3) dan 18,60 m2/ha (ABT 4). Porte et a/. (2002), diacu dalam Salim (2005) mengemukakan bahwa semakin meningkat umur suatu tegakan, diameter pohon akan semakin besar yang mengakibatkan biomassa juga semakin besar. Cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap biomassa total di hutan primer, yaitu 204,22 tonha (54,17%). Sedangkan kontribusi biomasa jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae di areal bekas tebangan TPTJ (16,24%) rata-rata lebih rendah.dibandingkan dengan hutan primer. Kontribusi biomasa jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae cenderung berfluktuasi seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Namun secara umum kontribusi biomassa dari jenis Non Komersial di areal bekas tebangan TPTJ lebih tinggi dibandingkan jenis Komersial. Biomassa Vegetasi Tingkat Tiang Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat tiang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat tiang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Biornassa (tonlha) Jenis Komersial Jenis Non Non Dipt-rpaceae Dipterocarpaceae Total Komersial HP 10,99 8, (21,31%) (16.29%) (37.60%) (62,400X) ABT , (1 228%) (2035%) (33.1 *o) (66,811 ABT ,Q4 (2%66%) (10,39?!) (34,05%) (65.95%) ABT ,57 3, (623%) (6.04%) (12.27%) (87,73%) ABT O, ,68 17,88 (18,68%) (4.81%) (23,49%) (76.51%) Keterangan - : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kurung menunjukkan persentase

69 Hasil perhitungan cadangan biomassa tingkat tiang pada Tabel 22 di atas menunjukkan bahwa rata-rata potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat tiang di areal bekas tebangan TPTJ (17,88-27,22 tonlha) lebih rendah dibandingkan hutan primer (51,57 tonlha). Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat tiang di areal bekas tebangan TPTJ besarnya berfluktuasi, dimana pada ABT 4 tahun memiliki cadangan biomasa yang paling rendah (17,88 tonlha) dibandingkan dengan di areal bekas tebangan lainnya. Jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae tingkat tiang di areal bekas tebangan TPTJ, rata-rata memiliki cadangan biomassa yang lebih tinggi (kontribusi 6,23-23,66%) dibandingkan kelompok Non Dipterocarpaceae yaitu sekitar 4,81-20,95%. Kondisi tersebut hampir sama dengan di hutan primer, dimana cadangan biomassa vegetasi tingkat tiang kelompok Dipterocarpaceae lebih tinggi dibanding Non Dipterocarpaceae (kontribusi 21,31%). Sedangkan jika dibandingkan antara jenis Komersial dan Non Komersial, rata-rata biomassa jenis Non Komersial vegetasi tingkat tiang di lokasi penelitian lebih tinggi dari jenis Komersial dengan kontribusi 62,40% di hutan primer dan sekitar 65,95-87'73% di areal bekas tebangan. Biomassa Vegetasi Tingkat Pancang Hasil perhitungan potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara 8,46-29,14 tonha lebih rendah dibandingkan dengan biomassa tingkat tiang dan pohon. Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pancang di areal bekas tebangan TPTJ cenderung berfluktuasi, tidak menunjukkan peningkatan yang konsisten seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan, seperti yang terlihat pada Tabel 23. Peningkatan cadangan biomassa tersebut seiring dengan semakin meningkatnya kerapatan vegetasi tingkat pancang per hektar. Sedangkan hutan primer memiliki cadangan biomassa tingkat pancang paling tinggi (29,14 tonha) dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ. Besarnya biomassa vegetasi tingkat pancang jenis Komersial dari kelompok Dipterocatpaceae cenderung berfluktuasi, dimana ABT 2 tahun memiliki kontribusi biomassa yang paling tinggi dibandingkan dengan areal bekas tebangan lainnya. Sedangkan kontribusi biomassa jenis Non Komersial, baik di areal bekas tebangan TPTJ maupun di hutan primer rata-rata lebih tinggi

70 dibandingkan dengan jenis Komersial. Data potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pancang di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pancang di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Biomassa (tonlha) Jenis Komersial Jenis Non Non Di~terocaWaceae ~i~~~~~~~~~~~ Total Komersial Total HP 4, ,59 29,14 (1 4,17%) (35,76%) (49,93%) (50,07%) ABT 0 0,21 0, ,50 8,46 (2,48%) (8,87%) (11,35%) (88,65%) ABT 2 2, ,90 7, (21,49%) (1 738%) (39,37%) (60,55%) ABT ,53 1,88 10,lO (1 I,27%) (4,42%) (15,69%) (84.31%) ABT 4 0,47 2,69 3,16 10, (3,29%) (I 8,84%) (22,13%) (78,22%) Keterangan : HP = Hutan Primer ABT 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABT 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABT 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABT 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kurung menunjukkan persentase Biomassa Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Tingkat Semai Potensi cadangan biomassa tumbuhan bawah dan tingkat semai di semua lokasi penelitian berkisar antara 0,96-1,53 tonlha. Berikut data potensi cadangan biomassa vegetasi tumbuhan bawah dan vegetasi tingkat semai di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Biomassa (ton/ha) Tumbuhan Bawah Semai Total HP 0,68 0, ABT 0 0, ABT 2 0, ,05 ABT 3 0,74 0,67 1,41 ABT 4 0,78 0, Keterangan : HP =Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Penebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Penebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Penebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Penebangan 2 Tahun Data Tabel 24 menunjukkan bahwa cadangan biomassa tumbuhan bawah di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer (0,68 tonha). Brown dan Lugo (1990), diacu dalam Brown (1997) mengemukakan bahwa biomassa tumbuhan bawah di hutan sekunder atau hutan

71 bekas tebangan lebih besar dibandingkan biomassa di hutan primer dan ha1 ini juga tergantung pada umur hutan dan pembukaan tajuknya. Lebih lanjut menurut Brown (1 997) menyatakan bahwa besarnya biomassa tumbuhan bawah di hutan primer S 3 %. Cadangan biomassa tumbuhan bawah di areal bekas tebangan TPTJ secara umum menunjukkan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Peningkatan cadangan biomassa tersebut terkait erat dengan perkembangan dan pertumbuhan tumbuhan bawah yang semakin. meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Begitu juga cadangan biomassa tingkat semai, dimana hutan primer memiliki cadangan biomassa yang lebih rendah yaitu sebesar 0,29 tonlha dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ. Sedangkan cadangan biomassa tingkat semai di areal bekas tebangan TPTJ menunjukkan peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Karbon Vegetasi di Atas Pennukaan Tanah Model pendugaan cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah pada penelitian ini menggunakan pendekatan non-destruktif dengan mengasumsikan 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon (Brown 1997). Sehingga cadangan karbon berkorelasi positii dengan besarnya biomassa, yaitu dengan semakin besar potensi cadangan biomassa di atas permukaan tanah, maka cadangan karbon akan semakin tinggi. Hasil pemiungan cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Potensi cadangan karbon vegetasi di lokasi hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Potensi karbon (ton Cha) Persentase C (Oh) ABT 0 57, ABT ABT ABT 4 107,71 46,97 Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun

72 Data Tabel 25 di atas menunjukkan bahwa potensi cadangan karbon di hutan primer sebesar 229,33 ton Clha, hampir sama dengan cadangan karbon di hutan Dipterocarpaceae yang tidak ditebang di Filipina, yaitu sekitar 258 ton Clha dan sekitar 34% karbon terdapat dalam bentuk karbon organik tanah (Lasco et a/. 2006). Mudiyarso et a/. (1995), diacu dalam Rahayu et a/. (2005) menyatakan bahwa hutan di Indonesia mempunyai potensi cadangan karbon berkisar antara ton Clha. Lebih lanjut menurut Rahayu et a/. (2005) mengemukakan bahwa hutan primer di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur memiliki potensi cadangan karbon sebesar 230 ton Clha. Potensi cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara ton Clha untuk vegetasi dan ton Clha cadangan karbon dalam tanah (Lasco 2002). Jika dibandingkan dengan beberapa hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hutan primer dari hasil penelitian ini memiliki potensi cadangan karbon yang tergolong cukup tinggi. Sedangkan potensi cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ menunjukkan trend yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan, yaitu berkisar antara 57,68-107,71 ton Clha. Peningkatan cadangan karbon tersebut terkait erat dengan proses terjadinya suksesi sekunder pada vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ. Hal ini terlihat dengan semakin membaiknya komposisi dan struktur vegetasi, seperti kerapatan vegetasi yang semakin rapat yang berpengaruh terhadap kemampuan vegetasi tersebut dalam menyerap C02 di atmosfir, pertambahan diameter pohon yang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Pertambahan diameter pohon yang semakin rneningkat mengakibatkan jumlah biomassa yang tersimpan dalam pohon tersebut juga akan semakin besar, dengan demikian cadangan karbon yang tersimpan juga akan semakin besar. Menurut Johnson et a/. (2001), diacu dalam Salim (2005) menyatakan bahwa kandungan kahn di atas permukaan tanah pada hutan primer dan hutan sekunder dapat benrariasi berdasarkan umur tegakan. Dari data Tabel 25 di atas menunjukkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikuitur TPTJ mengakibatkan potensi cadangan karbon vegetasi di atas perrnukaan tanah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hutan primer. Penurunan cadangan karbon yang sangat drastis tejadi pada ABT 0 tahun, dimana cadangan karbonnya hanya sebesar 57,68 ton C/ha (25,15%) dan diperkirakan sek'iar 171,65 ton CIha (74,85%)

73 cadangan karbon hilang. Lasco et a/. (2006) melaporkan bahwa dampak dari kegiatan penebangan pohon di hutan primer Philliphina mengakibatkan cadangan karbon turun sebesar 50% (198 ton Clha). Gambar 12 menunjukkan perubahan potensi cadangan karbon akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ di setiap lokasi penelitian. HP ABTO ABT2 ABT3 AN4 I Lokasi Peneltiin! Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Gambar 12 Perubahan cadangan karbon akibat kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ Sebagai perbandingan, berikut data perubahan cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah sebelum dan sesudah adanya kegiatan penebangan di Asia dan lndonesia pada Tabel 26. Tabel 26 Cadangan karbon di atas permukaan tanah sebelum dan setelah kegiatan pemanenan hutan di Asia dan lndonesia Potensi Cadangan C (tonlha) Tipe hutan dan Cadangan karbon wilayahlnegara Hutan tidak Bekas tebangan tegakan tinggal(%) terganggu Hutan daun IebarIAsia 98,2* 46,6* 47 Hutan daun jarumlasia 72,5* Hutan terbuka1asia 39,5* lndonesia lndonesia Indonesia Sumber : Lasco (2002) * = asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon

74 Pada Tabel 26 di atas menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan kayu di Asia berperan dalam menurunkan cadangan karbon vegetasi di atas perrnukaan tanah sebesar 22-67% dan di Indonesia potensi penurunan cadangan karbon dengan sistem silvikultur TPTl (Tebang Pilih Tanam Indonesia) sebesar 25-62%. Sedangkan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan cadangan karbon dengan sistem silvikultur TPTJ sebesar 53,03-74,85% lebih tinggi dibandingkan dengan di areal bekas tebangan yang menggunakan sistem silvikultur TPTI. Penurunan cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah yang besar pada sistem silvikultur TPTJ tersebut diakibatkan karena terjadinya kegiatan penebangan pohon dengan limit diameter 2 40 cm, juga karena kegiatan penebangan pohon dalam pembuatan jalur bersih dan jalur bebas naungan sehingga cadangan karbon yang hilang akan menjadi lebih besar. Laju peningkatan cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah di areal bekas tebangan TPTJ terjadi secara konsisten. Rata-rata peningkatan cadangan karbon berkisar antara 25,15-46,97% seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan TPTJ. Berdasarkan hasil penelitian Rahayu et a/. (2005) menunjukkan bahwa pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur TPTl umur 0-10 tahun di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur cadangan karbon di atas permukaan tanah meningkat sampai 90%. Persentase laju peningkatan cadangan karbon di setiap areal bekas tebangan TPTJ dapat dilihat pada Gambar 13. ABTO-ABT2 ABT2-ABT3 ABT3-ABT4 Lokasi penelitian Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Gambar 13 Persentase laju peningkatan cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ

75 Pada Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa kisaran laju peningkatan cadangan karbon pada ABT 0 ke ABT 2 tahun sekitar 18,65 ton Clha atau sekitar 8,12%; ABT 2 ke ABT 3 tahun sekitar 29,09 ton Clha atau 12,69% dan pada ABT 3 ke ABT 4 sekitar 2,29 ton Clha atau l,o1 h. Kisaran laju peningkatan cadangan karbon pada ABT 2 ke ABT 3 paling tinggi dibandingkan ABT 0 ke ABT 2 dan ABT 3 ke ABT 4. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara potensi cadangan karbon di hutan primer dengan areal bekas tebangan TPTJ pada taraf nyata 5%. Sedangkan potensi cadangan karbon antar areal bekas tebangan TPTJ tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Data hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 1 1. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon Hasil perhitungan potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon pada penelitian ini berkisar antara 41,47 ton Clha sampai 188,50 ton Clha. Hutan primer memiliki cadangan karbon pohon terbesar (188,50 ton Clha) dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (kisaran 41,47-91,27 ton Clha). Data potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Potensi karbon (ton Ctha) Jenis Komersial Non Jenis Non Di~ttm~ce8e DiptecOCarp-e Total Komersial HP , (54.17%) (11.59%) (65.76%) (34.24%) ABT (18,79%) (4,=%) (23,44%) (76.56%) ABT 2 10,lO (1 8.04%) ABT ,86 (8,52%) (0,65%) (9.1 7%) (90.83%) Total 188,50 41, ABT ,85 34, ,27 (23,1 O?h) (15,17%) (3827%) (61.73%) Keterangan : HP =Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kwung menujukkan pemntase Vegetasi tingkat pohon merupakan komponen utama penyusun cadangan karbon di atas perrnukaan tanah, baik di hutan primer maupun di areal bekas tebangan TPTJ. Pada Tabel 27 terlihat bahwa vegetasi tingkat pohon di hutan

76 primer memberikan kontribusi sekitar 82,20 h karbon dari total karbon di hutan primer, sedangkan di areal bekas tebangan TPTJ masing-masing sebesar 71,89% (ABT 0); 7334% (ABT 2 ); 81,31% (ABT 3) dan 84,74% (ABT 4) dari karbon total masing-masing lokasi. Hasil penelitian Rahayu et a/. (2005) menyatakan bahwa potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di hutan primer, hutan bekas tebangan dan agroforestry umur?i - 30 tahun menyumbangkan sekitar 90% dari total korban vegetasi di atas permukaan tanah. Kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon yang sangat besar ini dikarenakan adanya hubungan yang positif dengan ukuran diameter pohon, jadi semakin besar ukuran diameter pohon menyebabkan cadangan karbon akan semakin tinggi. Rusolono (2006) menyatakan bahwa pendugaan cadangan karbon dengan pendekatan strumur tegakan horizontal (distribusi pohon berdasarkan kelas diameter) cukup terandalkan untuk menjelaskan persediaan karbon (~~=80%) untuk tegakan agroforestry mumi. Potensi cadangan karbon berdasarkan pengelompokan jenis menunjukkan bahwa potensi cadangan karbon tingkat pohon jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae di hutan primer, rata-rata lebih tinggi yaitu sebesar 102,11 ton Cha (54,17%) dibandingkan kelompok Non Dipterocarpaceae dan jenis Non Komersial yang masing-masing sebesar 21,84 ton Cha (1 1 39%) dan 64,55 ton Cha (3424%). Sedangkan pada areal bekas tebangan TPTJ rata-rata potensi cadangan karbon jenis Non Komersial (51,22 ton Cha) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Komersial(17,39 ton Cha). Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Tiang Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang di hutan primer rata-rata lebih tinggi (25,78 ton Clha) dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (11'76 ton Cha) dengan kontribusi sebesar 11,24% dari cadangan total karbon di hutan primer. Sedangkan di areal bekas tebangan TPTJ kontribusi cadangan karbon dari masing-masing cadangan karbon totalnya adalah 19,19% (ABT 0), 17,83% (ABT 2); 12,33% (ABT 3); 8,30% (ABT 4). Secara umum kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang di sernua lokasi peneliian ini rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi tingkat pohon. Data potensi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ disajikan pada Tabel 28.

77 Tabel 28 Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Potensi karbon (tonc/ha) Jenis Komersial Jenis Non Non Di~terocar~aceae ~i~~~~~~~~~~~~~~ Total Komersial HP 5,50 4,20 9,70 16,08 25,78 (21 34%) (16,29%) (27,63'/0) (62,37%) ABT 0 1,41 2,40 3,81 7,67 11,48 (12,28%) (20,91%) (33,19%) (66,81%) ABT 2 3, ,61 (23.66%) (1 0,43%) (34,09%) (65.91%) ABT 3 ABT 4 1, ,lO 634 8,94 (18,68%) (4,81%) (23.49%) (76,51%) Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kurung menujukkan persentase Pada areal bekas tebangan TPTJ potensi cadangan karbon tingkat tiang semakin meningkat pada ABT 0 sampai ABT 3 tahun. Sedangkan di ABT 4 tahun kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang terjadi penurunan, ha1 ini disebabkan karena vegetasi tingkat tiang di ABT 4 tahun memiliki kerapatan yang paling rendah yaitu 397 pohon per ha dibandingkan di lokasi areal bekas tebangan lainnya. Setiawan (2007) menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah cadangan karbon pada areal hutan kota Bandar Lampung dengan meningkatkan kerapatan pohon dan memberi kesempatan pada pohon yang ada dalam komunitas tersebut dapat tumbuh hingga mencapai diameter maksimum. Kontribusi potensi cadangan karbon vegetasi tingkat tiang jenis- Non Komersial di setiap lokasi penelitian ini, rata-rata lebih tinggi dibandingkan jenis Komersial. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pancang Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang di setiap lokasi penelitian berkisar antara 4,23-14,57 ton Cha. Hutan primer memiliki potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang paling tinggi (14,57 ton Cha) dibandingkan areal bekas tebangan TPTJ, seperti yang terlihat pada Tabel 29. Tingginya cadangan karbon di hutan primer ini disebabkan karena memiliki kerapatan vegetasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ. Sedangkan di areal bekas tebangan TPTJ, cadangan karbon tingkat

78 pancang besarnya berfluktuasi, tidak menunjukkan peningkatan yang konsisten seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Data potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Potensi karbon (ton Clha) Jenis Kornersial Jenis Non Non Di~terocar~aceae Dipterocarpaceae Total Komersial Total HP 2,07 5,21 7,28 7,29 (14,21%) (3586%) (49,97%) (50,03%) 14,57 ABT , ,75 (2,37%) (8.98%) (1135%) (88,65%) 4,23 ABT ,ll ,76 (21.58%) (17,87%) (39,45%) (60,55%) 6,21 ABT 3 0,68 0,26 0,94 5,05 (11,35%) (4.34%) (15,69%) (84,31%) 599 ABT 4 0, ,58 5,16 (3,56%) (19,88%) (23,44%) (76,50%) 6,74 Keterangan : HP = Hutan Primer ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 0 = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Angka dalam kuwng menunjukkan persentase Sedangkan kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang di hutan primer sebesar 6,35% dari karbon total di hutan primer dan di areal bekas tebangan TPTJ kontribusi cadangan karbon dari karbon total masing-masing lokasi sebesar 7,33% (ABT 0); 8,13% (ABT 2); 5,68% (ABT 3); 6,25% (ABT 4). Seperti halnya pada vegetasi tingkat tiang, kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat pancang jenis Komersial dari kelompok Dipterocarpaceae di areal bekas tebangan TPTJ cenderung lebih kecil (kisaran 2,37-21,58%) dibandingkan kelompok Non Dipterocarpaceae (kisaran ,77%). Demikian juga kontribusi cadangan karbon jenis Nan Komersial di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Komersial. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Tingkat Semai Hasil perhitungan potensi cadangan karbon tumbuhan bawah dan vegetasi tingkat semai dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 30.

79 Tabel'30 Potensi cadangan karbon vegetasi tumbuhan bawah dan tingkat semai di hutan primer dan areal bekas tebangan TPTJ Lokasi Potensi karbon (ton Cha) Tumbuhan Bawah Semai Total HP ABT 0 ABT ,53 ABT 3 0, ,71 ABT 4 0,39 0,37 0,76 Keterangan : HP ABP 0 = Hutan Primer = Areal Bekas Tebangan 0 Tahun ABP 3 = Areal Bekas Tebangan 3 Tahun ABP 4 = Areal Bekas Tebangan 4 Tahun ABP 2 = Areal Bekas Tebangan 2 Tahun Pada Tabel 30 di atas menunjukkan bahwa hutan primer memiliki potensi cadangan karbon tumbuhan bawah lebih rendah- (0,34 ton Clha) dibandingkan di areal bekas tebangan TPTJ. Hal ini disebabkan akibat pengaruh rapatnya vegetasi pohon di hutan primer yang menyebabkan kemampuan vegetasi tumbuhan bawah untuk menyerap C02 di atmosfir menjadi lebih sedikii, sehingga berpengaruh terhadap besamya potensi cadangan karbon yang tersimpan pada vegetasi tumbuhan bawah tersebut. Hasil penelitian Setiawan (2007) di hutan kota Bandar Lampung melaporkan bahwa pada vegetasi pohon dengan penutupan tajuk rapat menyebabkan cadangan karbon tumbuhan bawah lebih kecil yaitu 0,68 ton Clha dan potensi cadangan karbon semakin tinggi pada vegetasi dengan penutupan tajuk yang semakin jarang. Potensi cadangan karbon vegetasi tingkat semai di areal bekas tebangan TPTJ cenderung semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Sedangkan potensi cadangan karbon tingkat semai di hutan primer lebih rendah (0,15 ton Cha) dibandingkan dengan di areal bekas tebangan TPTJ. Secara umum dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh sistem silvikultur TPTJ dapat meningkatkan potensi cadangan karbon vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Kontribusi cadangan karbon vegetasi tumbuhan bawah dan tingkat semai tdari cadangan karbon total di hutan primer sangat kecil sekiiar 0,21%. Begitu juga di areal bekas tebangan TPTJ (ABT 0, ABT 2, ABT 3, ABT 4 tahun) masinginasing kontribusinya sebesar 0,87%; 0,69%; 0,67%; 0,71%. Hasil

80 penelitian Van Noordjwik et a/. (2002) di hutan sekunder Lampung menyatakan bahwa kontribusi nekromassa (kayu kering), tumbuhan bawah dan serasah hanya memberikan kontribusi cadangan karbon sebesar 8%. Lebih lanjut hasil penelitian Rahayu et a/. (2005) di Kalimantan Timur mengemukakan bahwa cadangan karbon tumbuhan bawah, nekromassa (kayu kering) dan serasah menyumbangkan sekitar 10% dari total karbon di hutan primer, areal bekas penebangan dan agroforestry umur tahun. Hubungan lndeks Keanekaragaman Jenis dengan Cadangan Karbon Vegetasi Hasil analisis regresi linier sederhana menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi yang kuat antara indeks keanekaragaman jenis dengan besamya potensi cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah dengan koefisien korelasi (r) = 0,43 yang berarti parameter indeks keanekaragaman jenis tidak dapat digunakan untuk menduga besamya potensi cadangan karbon vegetasi. Berikut grafik hasil analisis regresi sederhana yang ditampilkan pada Gambar 14. Gambar 14 Grafik hubungan cadangan karbon vegetasi dan indeks keanekaragaman jenis

81 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Terjadi perubahan komposisi dan struktur vegetasi di areal bekas tebangan TPTJ dibandingkan dengan hutan primer yang diindikasikan dengan semakin berkurangnya jumlah jenis yang ditemukan, terjadinya penggantian dominansi vegetasi tingkat pohon dan perubahan struktur vegetasi hutan. Sedangkan indeks keanekaragaman jenis di hutan primer berkisar antara 2,15-3'07 lebih tinggi jika dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ, yang berkisar antara 2,14-2, Kontribusi kelompok Dipterocarpaceae tingkat pohon di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata sebesar 23,14% lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer sebesar 31,46%. Sedangkan kontribusi jenis Non Komersial di areal bekas tebangan TPTJ dan hutan primer rata-rata lebih tinggi dibandingkan jenis Komersial. 3. Potensi cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan primer (458,67 ton /ha) rata-rata lebih tinggi dibandingkan di areal bekas tebangan TPTJ (rata-rata 173,57 tonha) dengan kisaran 1 15, tonha. Cadangan biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di areal bekas tebangan TPTJ cenderung mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. 4. Kontribusi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon di hutan primer sekitar 82,20% dari biomassa total di hutan primer dan di areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara 71,89-84,73% lebih tinggi dibandingkan kontribusi vegetasi tingkat perrnudaan (tiang, pancang, semai) dan tumbuhan bawah. Rata-rata cadangan biomassa jenis Non Komersial di areal bekas tebangan TPTJ lebih tinggi dibandingkan jenis Komersial pada vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang. 5. Hutan primer memiliki potensi cadangan karbon sebesar 229,33 ton Cha lebih tinggi dibandingkan dengan areal bekas tebangan TPTJ (rata-rata 86,79 ton Cha) dengan kisaran 57,68-107,71 ton Cha. 6. Persentase penurunan potensi cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah akibat kegiatan pemanenan kayu dan periakuan silvikultur TPTJ sebesar 53,03-74,85%. Namun potensi cadangan k a h vegetasi di areal

82 bekas tebangan TPTJ semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. 7. Rata-rata kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di semua lokasi penelitian lebih besar dibandingkan vegetasi tingkat tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah, yaitu di hutan primer rata-rata kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon sebesar 82,20% dari karbon total di hutan primer dan di areal bekas tebangan TPTJ rata-rata 78,04%. Sedangkan kontribusi cadangan karbon vegetasi tingkat permudaan (tiang, pancang, semai) dan tumbuhan bawah rata-rata lebih rendah dibanding vegetasi tingkat pohon. 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara potensi cadangan karbon di hutan primer dengan potensi cadangan karbon di areal bekas tebangan TPTJ pada taraf nyata 5%. 9. lidak adanya korelasi yang kuat antara potensi cadangan karbon vegetasi di atas permukaan tanah dan indeks keanekaragaman jenis di semua lokasi penelitian, dengan koefisien korelasi (r) = 0,43. Saran 1. Untuk meningkatkan keberadaan jenis di areal bekas tebangan TPTJ, khususnya di jalur antara di perlukan pengayaan jenis-jenis Dipterocarpacea yang lebih intensif. 2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan karbon setiap jenis pohon, sebaiknya dimulai dari jenis-jenis pohon dominan di hutan tropika.

83 DAFTAR PUSTAKA Alrasyid Uji coba silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di kelompok hutan Seruyan, Kalimantan Tengah. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Perkebunan. Bulletin Hutan 623. Bertault JG and Sist P An experimental comparison of different harvesting intensities with reduced impact logging and conventional logging in East Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 94 : Brown S Estimating biomass and biomass change of tropical forest: A Primer. Rome, Italy, FA0 Forestry Paper. 134p. Brown S, Hall CAS, Kanbe W, Raich J, Trexler MC and Woomer P Tropical forest : their past, present and potensial future role in terestrial carbon budget. J. Water, Air and Soil Publication 70 : Channel Forest as carbon sink mitigating the greenhouse effect the commenwealth. Forestryreview 75 ; 1: CIFOR Buying carbon to promote reduced impact logging. htm 126 April Cox GW Laboratory manual of general ecology. Second edition. Dubuque Iowa: W. MC. Publikasi. Departemen Kehutanan Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia Panduan Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Elias A case study on forest harvesting damage, structure and composition dynamic change in the residual stand for Dipterocarp forest in East Kalimantan, Indonesia. Paper Presented on IUFRO XX Wodd Congres ; Tampere Finland, 6-12 August Convensional versus reduced impact wood harvesting in tropical - - natural forest in Indonesia. A Paper Submifted to XI world forestry Congres ; Antalya Turkey, October Reduced impact logging in the tropical natural forest in Indonesia. Forest Harvesting Case Study. Rome : Food Agriculture Organitation of the United Nation Reduced impact logging. Bogor : IPB Press. Ewusie JY Pengantar ekologi tropika. Te jemahan dari Element of Tropical Ecology. Bandung: lnstitut Teknologi Bdndung. Food Agriculture Organitation Reduced impact logging. ile=docrep/o05/ac805f3ac805eof htm (RIL). [26 April Forest Watch Indonesia Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C: Global Forest Watch.

84 Hairiah K, Van Noordwijk M, Sitompul SM and Palm C Methods for sampling carbon stocks above and below ground. AS6 Lecture Note 46. Bogor: ICRAF. Hendrison J Damage controlled logging in managed rain forest in Suriname. Netherland: Wageningen Agricultur University. 204p. lndrawan A Perkernbangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam sistem Tebang Pilih Tanam lndonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor. Johnsen K, Wear HD, Oren R, Teskey RO, Sanches F, Will R, Butnor J, Markewitz D, Ritcher Dl Allen HL, Seiler J, Ellswot Dl Maier C, Katul G, Dougherty DM Carbon sequestration and southern pine forest. J. For. 99 ; 4 : John JS, Barreto PI Uhl C Logging damage during planned and unplaned logging operation in the eastern Amazon. Forest ecology and Management 89 : Ketterings QM, Coe R, Van Noordjwik M, Ambagau Y and Palm CA Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecoiogy and Management 120 : Kongse MA Pengaruh penebangan terhadap komposisi jenis dan struktur hutan rawa gambut : studi kasus di HPH PT Kosmar Timur Raya, Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Program Pascasa rjana, lnstitut Pertanian Bogor. Kusmana C, Sabiham S, Abe K, and Watanabe H An estimation of above ground tree biomass of a mangrove forest in East Sumatera, Indonesia. Tropic 1 (4): Kusmana C A study on mangrove forest management base on ecological data in East Sumatera, lndonesia [disertation]. Japan: Kyoto University, Faculty of Agricultural. Lasco RD Forest carbon budget in Southeast Asia following harvesting and land cover change. Science in China(series C) 45 : Lasco RD, Mac Dicken, KG Pulhin, FG Guilermo, RF Sales dan RVO Cruz Carbon stock assesment of select'ielly logged diterocarp forest and wood processing mill in the Phillipine. Journal of Tmpical Forest Science 18 (4) : Maberley DJ Tropical rain forest ecology. New York: Chapman and Hall, Inc. Mackinnon K, Hatta GI Halirn H dan Arthur M Ekologi Kalimantan. Edisi Ill. Jakarta: Prenhallindo. Magurran AE Ecologycal diversity and its measurement. Princeton. University. Manan S Hutan rimbawan masyarakat Bogor: IPB Press. Marsono D dan Sastrosumarto S Pengaruh struktur, komposisi dan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan HPH. Makalah lokakarya sistem sihrikultur TPI. Bogor.

85 McNoughton SS dan Wolf LL Ekologi umum. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mueller-Dombois D dan Ellenberg H Aims and methode of vegetation. New York: Wiley International Ed. John Wiley & Sons. Mudiyarso Dl Hairiah dan Van Noordjwik M Modelling and measuring soil organics matter dynamics and greenhouse gas emission after forest conversion. Report of a workshop training course, Bogor: 8-15 August Mudiyarso D Protokol Kyoto implikasinya bagi negara berkembang. Jakarta: Kompas. Odum EP Dasar-dasar ekologi. Penerjemah: T Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ojima Dl Asfawa W, Tedla A and Atsedu M Effect of long-term cultivation and grazing on soil carbon storage and plant biomassa. A simulation approach to two case studies from Ethiopia. The Enviromental Professional 18: Onrizal Model penduga biomassa dan karbon tegakan hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasa jana, lnstitut Pertanian Bogor. Pamoengkas P Kajian aspek vegetasi dan kualitas tanah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur VPTJ) di areal HPH PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogoc Program Pascasajana, lnstitut Pertanian Bogor. Pinard AM, Putz FE, Tay J and Sulivan TE Creating timber harvest guidelines for a Reduced Impact Logging. Project in Malaysia. Peer Reviewed. Repronted from the Journal of Forestry 93 : Rahayu S, Betha L dan Van Noordwjik M Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur. Word Agroforestry. Centre. Rizon M Profil kandungan karbon pada setiap fase pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat menjadi repong damar [tesis]. Bogor: Program Pascasa jana, lnstitut Pertanian Bogor. Rusolono T Model pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestry untuk pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon [disertasi]. Bogor: Program Pascasajana, lnstitut Pertanian Bogor. Salim Profil kandungan karbon pada tegakan puspa (Schima wallichii Korth) [tesis]. Bogor: program Pascasa jana, lnstii Pertanian Bogor. Setiawan A Nilai konversi keanekaragaman dan rosot karbon pohon pada ruang terbuka hijau kota : studi kasus pada ruang terbuka hijau kota Bandar Lampung [disertasi]. Bogor: Program Pascasa jana, lnstii Pertanian Bog or. Soerianegara I dan lndrawan A Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, lnstutut pertanian Bogor. Soejani Penebangan hutan tropik dan pennasalahannya. Makaiah Sukarela pada Kongres Kehutanan Indonesia. Jakarta: OMober 1990.

86 Suhendang E, Soerianegara 1 dan Bahruni Menguak permasalahan pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Suhendang Pengantar ilmu kehutanan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Sukanda Kajian teknis dan ekonomis penerapan reduced impact logging (Studi kasus di PT Gunung Meranti Kalirnantan Tengah). [26 April Sutisna M Silvikultur hutan alam di Indonesia. Samarinda: Direktorat Pernbinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Turner IM The ecology of trees in the tropical rain forest. Cambridge University Press. Van Noordjwik M, Subekti R, Kurniatun HI Wulan YC Carbon stock assesment for aforest-to-coffee conversion landscape in SumberJaya (Larnpung Indonesia): from allornetric equation to land use change analysis. In: Impact of land use change on the terrestrial carbon cycle in the Asian Pasific Region. Science in China 45: Whitemore TC Vegetation map of Malesia, at scale 1 : 5 million. Oxford, UK: Clarendon Press Tropical rain forest of the far east. Oxford: Oxford University An introduction to tropical rain forest. Oxford UK: Clarendon Press.

87 LAMPI RAN

88 Lampiran 1 Daftar nama jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian No. Nama Lokal Nama Latin Famili I Ara Balik angin Bangkirai Bekarut Belantik Benuang Birung Berangan Bintangur Brangkasai Cempaka Durian EmbaklKapul Ficus indica Lour. Cmton argymtus Blume. Shorea laevifolia Ridley. Baningtonia sp. JR Frost & G Frost. Cococems sumatmna J.J.S. Octomeles sumatmna Miq. Alangium javanicum Blume Wangerin. Castanopsis argentea Blume. Calophyllum inophyllum Lour. Pometia pinnata JR Forster & JG Forster Elmerillia ovalis (Miq) Dandy Durio dulds Becc. Baccauma sp. Lour. Engkabang - Shoma pinanga R. Scheffer. - Garung Ge~flggang Geronam Jabon Juhing Jelutung Jangkang Kulim Kelampai Kemayau Kumpang Kapuak Kampili Kempas Keranji Keruing Kedondong Macamnga hypdeuca Thouars. Cmtoxy/on sumatranum Blume. Ochanostachys amentacea Mast. Anthocephalus chinensis Dillenia sp. Lour. Dyem costdata Miq (Hookf) Xylopia sp. Lour. Scomdocarpus bomeensis (Baill) Becc. Elatempermum tapos Blurne. Daciyodes rostata H J.L Myrstica sp. Gronov. Artocarpus tamamn Becc. Quems lineata Blume. Koompassia malaccensis Maingay ex Benth. Dialium sp. Lour. Dipterntopus sp. CF Gaerth. Canarium denticulahrm Blume. Kelat Eugenia kum& F.M Bailey. Medang m a fim (Blume) Hook f. Mangris Koonzpassia exceka Bea: Vanb). - Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Lechythidaceae Euphorbiaceae Datiscaceae Alangiaceae Olacaceae Guttiferae Sapindaceae Magnoliaceae Bombacaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Euphoriiaceae Guttiferae Olacaceae Rubiaceae Dilleniaceae Apocynaceae Annonaceae Olacaceae Euphorbiaceae Buerseraceae Myristicaceae Maraceae Fagaceae Fabaceae Caesalpiniaceae Oipterocarpaceae Burseraceae M m Lauraceae Fabaceae

89 Lampiran? (Lanjutan) No. Nama Lokal Nama llmiah Famili Mahabai Menjalin Meranti Kuning Merkubung Melapi Polyalthia hypoleuca Hook f. Thouars. Xanthophyllum excelsum (Blume) Miq. Shorea johorensis Roxb. Ex C.F Gaerth. Macaranga gigantea Reichb F & Zoll Muel Arg. Hopea sp. Roxb. Annonaceae Polygalaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae 40 Meranti merah Shorea lepmsula Miq. Dipterocarpaceae 41 Meranti putih Shorea hopeifolia (Helm). Dipterocarpaceae 42 Mersawa Anisoptera costata Korth. Dipterocarpaceae 43 Merawan Hopea sp. Roxb. Dipterocarpaceae 44 Mentawa Attocarpus elasticus Rein W. Ex Blurne. Moraceae 45 Manyarn Glichidion sp. Hook f. Euphorbiaceae 46 Nyatoh Palaquium sp. Blanco. Sapotaceae 47 Pudu Attocarpus comando Miq. Moraceae 48 Pulai Alstonia scholaris L. R. Br. Apocynaceae 49 Pandau Randia sp. Rubiaceae 50 Pihik Attocarpus sp.jr Forst & G Forst. Moraceae 51 Petai Palkia speciosa Hassk. Mirnosaceae 52 Rarnbutan Nephelium sp. Lour. Sapindaceae 53 Rengas Gluta mnghas Lour. Anacardiaceae Resak Sinduk Vatica mssak Korth Blurne. Scorodocapus sp. (Baill) Becc. Dipterocarpaceae - Olacaceae 56 Sindur Sinduta velutna JG Baker. Legurninosae 57 Sarnpak Aglaia sp. Lour. Meliaceae 58 Sirnpur Dillenia eximia Miguel. Dilleniaceae 59 Sirnpotir Kingodendm sp. Harms. Leguminosae Segulang Tengkawang Evodia celebica Hats. Sho~a sfenoptera Burck. Rutaceae Dipterocarpaceae 62 Tirnau Cratoxyllon affmmsc~ns Blume. Guttiferae 63 Ternbesu Fagraea fragrans Roxb. Loganiaceae 64 Ubah Eugenia sp. Lour. Myrtaceae 65 Ulin Eusydemylon zwageri Teijsm & Binn. Lauraceae

90 Lampiran 2 Daftar nama jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi penelitian No. 1 Nama Lokal Akar gitah Nama Latin Aniseia martinansi Family Convolvulaceae Kelompok Pemanjat Akar kais Akar kilat Akar melaban Uncaria cardata Aglaia sp. - Rubiaceae Meliaceae - Pemanjat Pemanjat Akar temedu Alang-alang Asam sengayau Asam songat Sphafholobus sp. lmperata cilindrica Alpinia sp. - Leguminosae Graminae Zingiberaceae - Pemanjat Semak Herba Kantong semar Keladi hutan Kemunting Lengkuashutan Lirik Nephenthes sp. Alocasia longiloba Melastroma malabbathricum Languasgalanga - Nephentaceae Araceae - Zingiberaceae - Pemanjat Herba Pernak Herba - 14 Pakis kawat Lycopodium cemuum Labill. Lycopodiaceae Pakupakuan 15 Pakis tanah Lygodum scandes Swartz. Schizaeaceae Pakupakuan 16 Pakis kijang Blechum orientale Labill. Blechnaceae Pakupakuan 17 Palm hutan Stenochlaena pelustris Pteridaceae Palmae Pandan Pinang Pandanus vinacens Linn. Areca catecu Linn. Palmae Palmae Palem Palem - 20 Rotan Rumputembun Rumput kosa Salak hutan Calamus sp. Mart. - - Salacca conferta Arecaceae - - Arecaceae Palem - - Palmae

91 75 Lampiran 3 Daftar nama jenis pohon dan kerapatan kayu dalam kategori sedang No Nama Lokal Ara Balik angin Bangkirai Bekarut Belantik Benuang Birung Berangan Bintangur Brangkasai Cempaka Durian ErnbaWKapul Engkabang Garung Gerunggang Geronam Jabon Juhing Jelutung Jangkang Kulirn Kelampai Kemayau Kumpang Kapuak Kampili Kernpas Keranji Keruing Kedondong Kelat Medang Nama llmiah Ficus indica Lour. Croton argyratus Blume. Shorea laevifolia Ridley Barnngtonia sp. JR Frost & G Frost Cococeros sumatrana J. J.S Octomeles sumatrana Miq. Alangium javanicum Blume Wangerin. Ochanostachys sp. Blurne. Calophyllum inophyllum Lour. Pometia pinnata JR Forster & JG Forster Elmenllia ovalis (Miq) Dandy Dudo dulds Becc. 5acmuma sp. Lour. Shoma pinanga R. Scheffer. Macamnga hypoleuca Thouars. Cmtoxylon sumafrenum Blurne. Ochanostachys amentacea Mast. Andhocephalus chinensis Dillenia sp. Lour. Dyem costulata Miq (Hook.9 Xflopra sp. Lour. Sco-lpus Becc. bomeensis (Baill) Elaterospemm tapos Blume. Dacryodes mstata H.J.L. Myristica sp. Gronov. Artocarpus tamamn Becc. Quemus lineata Blume. Koompassia malaccensis Maingay ex Benth Dialium sp. Lour. LXptmaws sp. CF Gaetth. Canarium dentidatum Blume. Eugenia kuranda F.M Bailey. Litsea fima plume) Hook f. Famili Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Lechythidaceae Euphorbiaceae Datiscaceae Alangiaceae Olacaceae Guttiferae Sapindaceae Magnoliaceae Bornbacaceae Euphdaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Guttiferae Olacaceae Rubiaceae Dilleniaceae Apoqwceae Annonaceae Olacaceae Euphorbiaceae Buerseraceae Myristicaceae Moraceae Fagaceae Fabaceae Caesalpiniaceae Diptenxarpaceae Burseraceae Myrtaceae Lauraceae Kerapatan Kayu (g/cm3) 0,48 0,63 0,91 0,65 0,46 0,32 0,85 0,91 0, ,43 0,48 0,79 0,63 0,45 0,47 0, , , ,70 0, ,70 0, , ,

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Pengelolaan Hutan Pengusahaan hutan atas nama PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh izin konsesi pengusahaan hutan sejak tahun 1978 sejak dikeluarkannya Forest

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELlTlAN

METODOLOGI PENELlTlAN METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

Aah Ahmad Almulqu *, Elias **, Prijanto Pamoengkas ** *

Aah Ahmad Almulqu *, Elias **, Prijanto Pamoengkas ** * DAMPAK PEMANENAN KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) TERHADAP POTENSI KARBON DALAM TANAH DI HUTAN ALAM TROPIKA (STUDI KASUS DI AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK)

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI

BAB III KONDISI UMUM LOKASI BAB III KONDISI UMUM LOKASI 3.1 Letak Geografis dan Luas Areal Berdasarkan letak geografis, areal PT. SBK blok sungai Delang terletak pada posisi 01 24-01 59 Lintang Selatan dan 114 42-111 18 Bujur Timur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) The Effect of Reduced Impact Timber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013. 30 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pekon Gunung Kemala Krui Kabupaten Lampung Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Lebih terperinci

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) ARIEF KURNIAWAN NASUTION DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa TINJAUAN PUSTAKA Produksi Biomassa dan Karbon Tanaman selama masa hidupnya membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di petak tebang Q37 Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2011 IUPHHK-HA PT. Ratah Timber, Desa Mamahak Teboq,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di IUPHHK HA (ijin usaha pemamfaatan hasil hutan kayu hutan alam) PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI Oleh: Novida H. Simorangkir 1212011120 FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 ABSTRAK

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK SKRIPSI Tandana Sakono Bintang 071201036/Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS OLEH : KlSSlNGER PROGRAM PASCASARJAVA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KISSINGER.

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 KAJIAN ASPEK VEGETASI DAN KUALITAS TANAH SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (STUDI KASUS DI AREAL HPH PT. SARI BUMI KUSUMA, KALIMANTAN TENGAH) PRIJANTO PAMOENGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Luas Areal Yang Terbuka 5.1.1. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan penebangan Dari hasil pengukuran dengan menggunakan contoh pengamatan sebanyak 45 batang pohon pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan.

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan adalah suatu wilayah yang ditumbuhi pepohonan, juga termasuk tanaman kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT SKRIPSI MHD. IKO PRATAMA 091201072 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Pendugaan Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total berat kering bahan-bahan organik hidup yang terdapat di atas dan juga di bawah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci