final. Menurut Mustadir (2013) Sederhana dan mudah! Itulah nafas utama dari

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "final. Menurut Mustadir (2013) Sederhana dan mudah! Itulah nafas utama dari"

Transkripsi

1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam rangka penyederhanaan dan memberikan kemudahan dalam perhitungan kewajiban perpajakan, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang mulai diberlakukan sejak 1 Juli Peraturan tersebut mengenai Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omset tertentu, yaitu dengan omset dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar. Dengan adanya peraturan baru tersebut diharapkan bisa memaksimalkan penerimaan pajak, meningkatkan kesadaran dan peduli akan membayar pajak selain itu juga masyarakat dapat dengan mudah ikut serta berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Segmentasi dari PP 46 ini menjadi sangat besar, yaitu mencakup seluruh pengusaha kecil dan menengah. Tarif dari PP 46 adalah 1% dari omset yang dibayarkan setiap bulan, dan pajak yang dikenakan termasuk ke dalam jenis pajak final. Menurut Mustadir (2013) Sederhana dan mudah! Itulah nafas utama dari PP 46 Tahun Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 46 Tahun 2013, sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target perpajakan dalam ketentuan baru ini adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp 4,8 miliar dalam PP tersebut yang masih dalam lingkup pengertian UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha dengan peredaran maksimal Rp 50 miliar dalam setahun (Tambunan, 2013). Perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu 1

2 menggunakan pembukuan dan pencatatan. Pengusaha kecil seperti UMKM seringkali memiliki pencatatan akuntansi yang sederhana. Praktek akuntansi keuangan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih rendah dan memiliki banyak kelemahan (Suhairi, 2004, dalam Putra, 2012). Biasanya pembukuan UMKM dilakukan dengan cara-cara sederhana dan tidak detail (Krisdiartiwi, 2008, dalam Putra, 2012). Sebagian besar UMKM menggunakan sistem manual untuk mencatat transaksi bisnis dan membuat laporan. Mereka berpendapat bahwa bisnis mereka hanya membutuhkan pencatatan dan pelaporan yang sederhana. Sistem yang manual lebih sederhana daripada sistem komputerisasi yang membutuhkan keahlian khusus dan biayanya yang lebih mahal (Kurniawati dkk, 2013). Dengan melihat pencatatan yang masih sederhana tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan yang paling mendekati dalam penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pelaku UMKM khususnya dalam hal ini yaitu usaha mikro adalah dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Menurut Supramono (2009 : 47) bahwa wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan harus memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 miliar. Dengan demikian jelas bahwa pelaku Usaha Mikro memenuhi syarat untuk menggunakan norma penghitungan. Perhitungan pajak dengan norma penghitungan dilihat merupakan yang paling tepat dan sederhana bagi pelaku Usaha Mikro karena untuk menentukan penghasilan kena pajak tidak perlu menghitung penghasilan bruto dikurangkan dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha, tetapi hanya dengan mengalikan peredaran bruto selama satu tahun dengan angka presentase norma penghitungan 2

3 penghasilan neto. Angka presentase norma penghitungan berbeda-beda berdasarkan jenis usaha dari wajib pajak. Sehingga untuk setiap jenis usaha jumlah besaran kewajiban perpajakannya bisa berbeda-beda. Norma penghasilan neto dan PP 46 keduanya menggunakan omset sebagai dasar pengenaan pajak. Akan tetapi untuk norma penghasilan harus dikalikan dengan presentase norma dan dikurangkan dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Masalah dalam penelitian ini adalah dengan adanya peraturan perhitungan pajak yang keduanya berdasarkan omset tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan, sehingga peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui kesetaraan perhitungan kewajiban perpajakan antara norma penghitungan pajak penghasilan neto yang mendekati dengan karakteristik kesederhanaan pencatatan pelaku Usaha Mikro dan PP 46 Tahun Persoalan penelitian yang hendak diteliti adalah apakah PP 46 Tahun 2013 memberatkan dalam besaran pajak terutang bagi pelaku Usaha Mikro jika dibandingkan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto? Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kesetaraan dan kesesuaian penerapan PP 46 Tahun 2013 dengan tujuannya untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam perhitungan kewajiban perpajakan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omset tertentu apakah sudah tepat dan sesuai diterapkan bagi Usaha Mikro. Selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah wawasan bagi mahasiswa serta masyarakat mengenai PP 46 Tahun

4 KERANGKA TEORITIS Pajak Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Pudyatmoko (2005), mengingat bahwa pajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wajib pajak yang tidak ada kontraprestasi secara langsung, maka suatu pungutan pajak harus memenuhi asas-asas sebagai berikut : 1. Asas legal, dimana berdasar asas ini setiap pungutan pajak harus didasarkan pada Undang-Undang. Oleh karena itu setiap peraturan perpajakan, baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah maupun peraturan yang lebih rendah tingkatannya, harus ada referensinya dalam Undang-Undang. 2. Asas kepastian hukum, dimana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan, kebingungan, harus jelas dan mempunyai satu pengertian sehingga tidak bersifat ambigu. 3. Asas efisien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu suatu jenis pungutan pajak harus efisien, 4

5 jangan sampai biaya-biaya pungutannya justru lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penerimaan dari pajak itu sendiri. 4. Asas non-distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam masyarakat, terutama distorsi ekonomi. Pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi sumber-sumber daya, dan inflasi. 5. Asas adil, hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini ada dua kriteria yang lazim digunakan untuk melihat apakah alokasi beban pajak telah mencerminkan aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsip benefit (benefit principle). Norma Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000 disebutkan bahwa wajib pajak yang dapat menghitung penghasilan neto menggunakan norma penghitungan adalah : Wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sebagaimana dimaksud wajib memberitahukan mengenai penggunaan norma penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak bersangkutan. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka presentase norma penghitungan penghasilan neto 5

6 dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun. Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang oleh wajib pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung penghasilan kena pajak dengan mengurangkan penghasilan tidak kena pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud. Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka untuk mencari besarnya pajak penghasilan terutang dapat dirumuskan sebagai berikut : Angka presentase norma x omset/tahun PKP x tarif progresif pasal 17 penghasilan neto (Penghasilan Tidak Kena Pajak) PKP (Penghasilan Kena Pajak) Pajak yang terutang Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) 46 tahun 2013 atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi 6

7 Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud adalah : Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Besarnya tarif pajak penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen). Pengenaan pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto usaha dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian diatas, maka untuk menghitung dengan menggunakan PP 46 Tahun 2013 dapat dirumuskan sebagai berikut : Pajak terutang 1% x omset per bulan Dari pengertian penghitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46 Tahun 2013 diatas maka dapat terlihat jelas perbedaannya. PP 46 menggunakan perhitungan dengan omset, padahal sebenarnya profit margin dari masing-masing jenis usaha pada Usaha Mikro itu berbeda. Jika dilihat dari asas pemungutan pajak 7

8 yaitu asas keadilan, apakah memang ada keadilan jika menggunakan perhitungan pajak dari PP 46 yang didasarkan pada omset. Usaha Mikro Usaha Mikro sebagaimana dimaksud Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Bab I Pasal 1 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut : i. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau ii. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp (tiga ratus juta rupiah). Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun kategori berdasarkan jumlah tenaga kerja. Menurut BPS, usaha mikro adalah entitas bisnis yang memiliki 1-4 tenaga kerja. METODE PENELITIAN Usaha mikro adalah usaha yang sederhana dengan omset yang didapat dalam satu tahun paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). Dengan adanya PP 46 diduga usaha mikro adalah usaha yang terkena dampak paling besar dibandingkan usaha kecil dan menengah dengan melihat omset yang sedikit tersebut maka kemungkinan penghasilan yang didapat juga sedikit. Sehingga apabila perhitungan pajak hanya berdasarkan omset saja maka pajak yang terutang akan memberatkan bagi usaha mikro. Dengan alasan tersebut yang 8

9 menjadi obyek penelitian dalam penelitian ini adalah usaha mikro yang ada di kota Salatiga. Jenis data yang digunakan adalah data primer. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa dilakukan peneliti. Data tersebut diperoleh langsung dari pemilik Usaha Mikro. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis deskriptif kuantitatif. Untuk menjawab persoalan penelitian, peneliti mengambil responden dari usaha mikro dengan jenis usaha dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang berbeda karena perbedaan presentase norma dari jenis usaha diduga bisa menjadi faktor penyebab ketidaksetaraan perhitungan pajak. Usaha mikro yang diambil adalah usaha mikro dari usaha perdagangan dan jasa. Oleh karena kewajiban perpajakan timbul dari penghasilan diatas Rp ,00 (seratus juta rupiah) maka responden diambil dari usaha mikro yang mempunyai omset di atas Rp ,00 (seratus juta rupiah). Responden dalam penelitian ini diambil secara acak. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan responden yang diambil dalam penelitian ini : PEMBAHASAN Tabel 1 Responden Dalam Penelitian Jenis Usaha Jumlah K/0 K/1 K/2 K/3 Perdagangan Jasa Sumber : hasil penelitian Perhitungan pajak dengan menggunakan norma penghasilan dan PP 46 keduanya menggunakan omset sebagai dasar pengenaan pajak. Akan tetapi norma penghasilan menggunakan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebagai 9

10 pengurang penghasilan kena pajak, sedangkan PP 46 tidak dan hanya mengalikan omset dengan satu tarif yaitu 1% (satu persen). Untuk rincian perhitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46 dapat dilihat di lampiran 2. Adapun analisis perhitungan pajak norma penghasilan neto dengan PP 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut : Tabel 2 Perhitungan Pajak Untuk K/1 Perhitungan Pajak Jenis Usaha Omset Norma Penghasilan PP 46 Perdagangan Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Jasa Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Tabel 2 menunjukkan perbandingan perhitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak usaha perdagangan dengan PTKP K/1 menunjukkan bahwa pajak yang dihitung dengan PP 46 kewajiban perpajakannya lebih besar daripada perhitungan dengan norma penghasilan. Hal ini membuktikan bahwa ada ketidaksetaraan dalam perhitungan pajak norma penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dengan PTKP K/1. Akan tetapi berbeda dengan usaha jasa dengan PTKP K/1 perhitungan pajaknya lebih besar menggunakan norma penghasilan daripada dengan PP 46. Hal ini disebabkan untuk usaha perdagangan presentase normanya berkisar antara 15% sampai dengan 25% (lihat lampiran 2). Sedangkan untuk usaha jasa presentase normanya 28% sampai dengan 29% sehingga walaupun ada PTKP sebagai pengurang penghasilan kena pajak akan tetapi pajaknya tetap lebih besar menggunakan norma penghasilan. 10

11 Tabel 3 Perhitungan Pajak untuk K/2 Perhitungan Pajak Jenis Usaha Omset Norma Penghasilan PP 46 Perdagangan Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Jasa Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Tabel 3 menunjukkan perbandingan perhitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak untuk usaha perdagangan dengan PTKP K/2 menunjukkan bahwa pajak yang dihitung dengan PP 46 kewajiban perpajakannya lebih besar daripada dengan norma penghasilan. Perhitungan pajak usaha jasa K/2 dengan omset Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah) pajaknya lebih besar dengan PP 46 daripada dengan norma penghasilan. Berbeda untuk usaha jasa K/2 dengan omset Rp ,00 (dua ratus sembilan puluh tiga juta rupiah) dan omset Rp ,00 (dua ratus Sembilan puluh tujuh juta rupiah) yang perhitungan pajaknya lebih besar menggunakan norma penghasilan daripada dengan PP 46. Jadi semakin besar omset dari usaha jasa maka perhitungan pajak dengan norma penghasilan akan semakin besar. 11

12 Tabel 4 Perhitungan Pajak untuk K/3 Perhitungan Pajak Jenis Usaha Omset Norma Penghasilan PP 46 Perdagangan Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Jasa Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Tabel 4 menunjukkan perbandingan perhitungan pajak dengan norma penghasilan dan PP 46 untuk usaha perdagangan dan jasa. Perhitungan pajak usaha perdagangan PTKP K/3 menunjukkan bahwa pajak yang dihitung dengan PP 46 lebih tinggi daripada perhitungan dengan norma penghasilan. Begitupula perhitungan pajak usaha jasa PTKP K/3 menunjukkan pajak lebih besar dihitung dengan PP 46 daripada dengan norma penghasilan. Sedangkan perhitungan pajak usaha jasa dengan PTKP K/1 dan K/2 perhitungan pajak dengan norma penghasilan lebih besar daripada menggunakan PP 46. Hal ini dikarenakan usaha jasa K/3 omsetnya dibawah Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah), sehingga hanya dikenakan satu kali tarif progresif yaitu 5% (lima persen). Untuk usaha jasa PTKP tidak terlalu mempengaruhi kesetaraan perhitungan norma penghasilan dan PP 46. Yang menyebabkan PP 46 dan norma penghasilan berbeda adalah berdasarkan besaran omset. Semakin besar omset usaha jasa maka semakin besar kewajiban perpajakannya. Jadi usaha jasa dengan omset yang besar lebih diuntungkan dengan adanya perhitungan pajak dengan PP 46 jika dibandingkan dengan norma penghasilan. PP 46 sesuai dengan asas legal dan kepastian hukum, hal ini ditunjukkan dengan penjelasan yang terdapat dalam PP 46 dengan jelas mengatur mengenai 12

13 penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajaknya. Dengan adanya batasan di bawah Rp 4,8 miliar maka segmentasi dari pajak tersebut akan menjadi semakin banyak, sehingga pendapatan pajak juga akan semakin besar. Dengan demikian maka PP 46 memenuhi asas efisien tetapi tidak memenuhi asas non-distorsi dan asas adil. Hal ini terbukti dengan adanya ketidaksetaraan dalam perhitungan pajak norma penghasilan dan PP 46. Menurut Prasetiyo (2009), besar kecilnya pajak yang harus dibayarkan selalu menjadi beban bagi wajib pajak dan dapat mengurangi penghasilan wajib pajak sehingga besar kecilnya beban pajak yang harus dibayarkan bergantung pada penghasilan wajib pajak. PP 46 memberatkan untuk usaha perdagangan sehingga hal itu akan menimbulkan adanya distorsi ekonomi. Tidak semua jenis usaha diuntungkan dengan adanya PP 46, hal ini tidak sesuai dengan asas keadilan pajak. PP 46 memang memberi kemudahan dalam perhitungan pajak karena hanya menggunakan satu tarif untuk semua jenis usaha, akan tetapi dari sisi keadilan pajak tidak terpenuhi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. PP 46 jika dibandingkan dengan norma penghasilan neto memberatkan untuk usaha perdagangan, karena usaha perdagangan memiliki presentase norma 15% sampai dengan 20%. Sehingga apabila dibandingkan dengan PP 46 akan terjadi ketidaksetaraan yang memberatkan wajib pajak. 2. PTKP tidak menentukan tingkat kesetaraan perhitungan pajak norma panghasilan dan PP 46. Usaha jasa dengan omset besar menguntungkan 13

14 menggunakan PP 46 karena pajaknya lebih kecil daripada dengan norma penghasilan. 3. Tujuan dari PP 46 yaitu untuk penyederhanaan dan kemudahan perhitungan pajak memang tercapai, namun asas pemungutan pajak yaitu asas non-distorsi dan asas keadilan pajak tidak terpenuhi.. Saran Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah bahwa ada ketidaksetaraan perhitungan pajak norma penghasilan dan PP 46. Salah satu alternatif yang bisa digunakan agar PP 46 tidak memberatkan wajib pajak yaitu dengan memberikan pilihan kepada wajib pajak mengenai cara perhitungan pajaknya. Misalnya wajib pajak boleh memilih menghitung dengan norma penghasilan atau PP 46. Jika menggunakan norma penghasilan maka wajib pajak tersebut harus melaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak 3 bulan sejak awal tahun yang bersangkutan, wajib pajak juga harus melakukan pencatatan agar bisa diketahui berapa omset yang diterima dalam satu tahun. Selain itu wajib pajak harus mengetahui berapa presentase norma untuk jenis usahanya. Akan tetapi apabila wajib pajak tidak ingin kesulitan dalam menghitung pajak maka bisa menggunakan PP 46 dengan satu tarif yaitu 1% (satu persen) dengan kewajiban pajak yang lebih besar daripada dengan norma penghasilan tetapi mudah dalam perhitungannya. Jadi masing-masing penggunaan aturan dalam perhitungan pajak memiliki konsekuensinya masing-masing tergantung bagaimana pilihan wajib pajak. Dengan cara tersebut diharapkan bisa memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pajak tanpa memberatkan wajib pajak karena wajib pajak memilih sendiri cara perhitungan dengan konsekuensinya. 14

15 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian terletak pada data dan informasi yang didapatkan. Data omset yang diperoleh bisa saja tidak akurat karena responden hanya memberikan informasi mengenai perkiraan omset dalam satu bulan. Selain itu dalam penelitian ini tidak melakukan wawancara secara mendalam kepada responden mengenai pendapat responden terkait PP 46, sehingga tidak bisa mengetahui bagaimana pendapat responden sebagai wajib pajak terhadap PP 46 sebagai kebijakan baru tersebut. 15

16 DAFTAR PUSTAKA Hidayat, I.P Akuntansi Untuk Usaha Kecil Menengah pada tanggal 21 Oktober Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000 Krisdiartiwi, M Pembukuan Sederhana untuk UKM. Yogyakarta : Media Pressindo. Kurniawati, E.P and Putri, E.P Accounting for Small and Medium Enterprises (SMEs). Kurniawati, E.P, Kurniawan, E.Y and Mira, K Accounting Information for Business Decision Making and Performance Asessment in Small and Medium Enterprises (SMEs). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Prasetiyo, S Pengaruh Faktor Tax Payer Terhadap Persepsi Kesadaran Pembayaran Pajak Penghasilan (Studi Kasus pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Salatiga). Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Pudyatmoko, S Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : Penerbit ANDI. Putra, H.A and Kurniawati, E.P Penyusunan Laporan Keuangan Untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Berbasis Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Proceeding Call for Paper. Tambunan, R Ketentuan Terbaru Pajak Penghasilan Atas UMKM : Sederhana Tapi Tidak Adil. pada 4 Juli

17 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Supramono, Damayanti, T.W Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta : Penerbit ANDI. Zain, M Manajemen Perpajakan, Edisi 2 : Salemba Empat. 17

18 LAMPIRAN I Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERlMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak PenghasiIan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Peraturan Pemerintah Tahun 2009 tentang penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tarobahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424); MEMUTUSKAN: 18

19 Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASlLAN DARI USAHA YANG DlTERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKl PEREDARAN BRUTO TERTENTU. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Pasal 2 (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. (3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; c. olahragawan; d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; f. pengarang, peneliti, dan penerjemah; g. agen iklan; h. pengawas atau pengelola proyek; i. perantara; j. petugas penjaja barang dagangan; k. agen asuransi; dan l. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. (4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya: a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. 19

20 (5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 3 (1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. (2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari: a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri; c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. (3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan. (4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalamt Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan. (5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan. Pasal 4 (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1%(satu persen). (2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha. (3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 5 (1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp ,000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, 20

21 Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Perighasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 6 (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain. (2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas. (3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Pasal 7 (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. (1) Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya. Pasal 8 (1) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak; b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimakaud pada huruf a; c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Pasal 9 (1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 21

22 (2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan. (3) Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut: a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut. b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. (4) Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. (5) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Pasal 10 (1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. (2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak. Pasal 11 Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya. Pasal 12 22

23 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri. (2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 13 Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Iampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai: Pasal 14 a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1); b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan c. Tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, Pasal 15 (1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak berikutnya. (2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun Pasal 16 (1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN (2) Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari Pasal 17 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK 23

24 INDONESIA, ttd. MUHAMAD CHATIB BASRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR

25 LAMPIRAN II Perhitungan Pajak Norma Penghasilan dan PP 46 Tahun Jenis usaha : perdagangan susu segar Status : K/1 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 20% (dua puluh persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : perdagangan ikan hias Status : K/1 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 15% (lima belas persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : perdagangan makanan Status : K/1 (Rp ,00) Omset Tarif norma : Rp ,00/tahun : 20% (dua puluh persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak Pajak Terutang : 5 % x ( ) Pajak terutang : 1% x

26 4. Jenis usaha : perdagangan ikan hias Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 15% (lima belas persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : perdagangan susu segar Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 20% (dua puluh persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : perdagangan makanan ringan Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 25% (dua puluh lima persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x

27 7. Jenis usaha : perdagangan makanan Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 20% (dua puluh persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : perdagangan makanan Status : K/3 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 20% (dua puluh persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : jasa pelayanan fotocopy Status : K/1 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : (5 % x ) + (15% x ) : Rp ,00/tahun : 29% (dua puluh sembilan persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x

28 10. Jenis usaha : jasa menjahit Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 28% (dua puluh delapan persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : jasa fotocopy Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : (5 % x ) + (15% x ) : Rp ,00/tahun : 29% (dua puluh sembilan persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : jasa fotocopy Status : K/2 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : (5 % x ) + (15% x ) : Rp ,00/tahun : 29% (tiga puluh satu persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x

29 13. Jenis usaha : jasa menjahit Status : K/3 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5% x : Rp ,00/tahun : 28% (dua puluh delapan persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x Jenis usaha : jasa menjahit Status : K/3 (Rp ,00) Omset Tarif norma Pajak Terutang : 5 % x : Rp ,00/tahun : 28 % (dua puluh delapan persen) Norma Penghasilan Neto PP 46/ % x PTKP Penghasilan Kena Pajak ( ) Pajak terutang : 1% x

30 LAMPIRAN III Kuesioner Penelitian Kuesioner Penelitian Bapak/Ibu yang saya hormati, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan untuk mengisi kuesioner di bawah ini. Kuesioner ini disebarkan dalam rangka untuk menyelesaikan penelitian yang berjudul Analisis Kesetaraan Perhitungan Pajak Norma Penghasilan dengan PP 46 Tahun 2013 pada UMKM di Kota Salatiga. Atas kerjasama dari Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Petunjuk pengisian : Berilah tanda ( ) pada kolom jawaban yang menurut anda sesuai dengan jawaban anda. 1. Nama Pemilik : 2. Alamat : 3. Jenis Usaha : perdagangan jasa 4. Status Perkawinan : kawin belum kawin 5. Jumlah Tanggungan/anak : 6. Penjualan dalam satu tahun : 30

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

No II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, se

No II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, se TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5424 EKONOMI. Pajak. Penghasilan. Usaha. Peredaran Bruto. Tertentu. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar

BAB II LANDASAN TEORI. Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar 11 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Landasan Teori II.1.1 Wajib Pajak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yang menjadi Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN DENGAN

Lebih terperinci

No dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengik

No dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengik TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6120 KEUANGAN. PPH. Penghasilan. Diperlakukan. Dianggap. Harta Bersih. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 202) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN 2013 A. Pengaturan PPh UMKM di Indonesia 1. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) UMKM adalah unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

BAB I P E N D A H U L U A N. dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. BAB I 1 P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional pada dasarnya diselenggarakan untuk masyarakat dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Adriani (2002:4) yaitu: Iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajaknya menurut peraturan-peraturan dengan

Lebih terperinci

PRES I DEN REPUELIK INDONESIA IENTANG. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2OO8 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

PRES I DEN REPUELIK INDONESIA IENTANG. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2OO8 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun PRES I DEN REPUELIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2018 IENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DiPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.106, 2013 EKONOMI. Pajak. Penghasilan. Usaha. Peredaran Bruto. Tertentu. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, perpajakan telah menjadi sumber penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah membuahkan hasilnya.kontribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pajak menurut UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2 September 2013 A. Umum SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN

Lebih terperinci

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Yth. 1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; 2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 3. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) mensukseskan pembangunan nasional secara merata untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) mensukseskan pembangunan nasional secara merata untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Sebagai Negara yang berkembang, Indonesia terus melaksanakan pembangunan dalam pencapaian target yang direncanakan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Sistem Pembukuan Pembukuan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh lembaga, perusahaan, atau pengusaha skala kecil dan menengah dalam mengatur keuangannya,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo, 6 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Lebih terperinci

Heltyova Purba. Erly Suandy. Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari 43-44, Yogyakarta

Heltyova Purba. Erly Suandy. Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari 43-44, Yogyakarta ANALISIS PERBEDAAN PAJAK PENGHASILAN TERUTANG BERDASARKAN NORMA PENGHITUNGAN DENGAN PPH FINAL WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI USAHAWAN DI BIDANG USAHA PERDAGANGAN PADA KPP PRATAMA INDRAMAYU Heltyova Purba Erly

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam menjalankan peran pemerintahan. Pajak menjadi pemegang andil terbesar dalam pembangunan di seluruh

Lebih terperinci

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya setipa masyarakat yang hidup di suatu negara memiliki potensi untuk menjadi wajib pajak.

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-545/PJ/2000 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK 3.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek Penulisan pelaksanaan kerja praktek pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN DATA

BAB III GAMBARAN DATA BAB III GAMBARAN DATA A. Pengertian Pajak Pengertian Pajak menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 I. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN,

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Pengertian PPh PASAL 21/26 TATA CARA PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DIATUR DALAM PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR : PER-31/PJ/2012 PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) 1. PT ABC mempekerjakan Tuan A (Status K3, tanpa NPWP) seorang tukang bangunan, untuk mengganti lantai keramik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan infrastruktur, program pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, disusun

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan infrastruktur, program pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, disusun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia, merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti; pembangunan infrastruktur,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 198/PMK.03/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 198/PMK.03/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 198/PMK.03/2013 TENTANG PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 398, 2017 KEMENKEU. Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.03/2017 TENTANG TATA

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

BAB VI ASPEK KEUANGAN

BAB VI ASPEK KEUANGAN BAB VI ASPEK KEUANGAN Bagian ini menjelaskan tentang kebutuhan dana, sumber dana, proyeksi neraca, proyeksi laba rugi, proyeksi arus kas, dan penilaian kelayakan investasi. Proyeksi keuangan ini akan dibuat

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN Thomas Sumarsan Goh Dosen FE Universitas Methodist Indonesia ABSTRAK PPh Pasal 21 merupakan salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Pajak Penghasilan Pasal 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

PER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI

PER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI PER - 52/PJ/2009 PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASI Contributed by Administrator Thursday, 24 September 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1468, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Dana Bagi Hasil. Pph. Pasal 25. Pasal 29. Orang Pribadi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/PMK.07/2013 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. No.33, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN

Lebih terperinci

ALBERTUS MAGNUS GALIH SWASTYANANTO ERLY SUANDY

ALBERTUS MAGNUS GALIH SWASTYANANTO ERLY SUANDY PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI USAHAWAN TERHADAP DIBERLAKUKANNYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. 46 TAHUN 2013 DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ALBERTUS MAGNUS GALIH SWASTYANANTO ERLY SUANDY

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN DASAR-DASAR PERPAJAKAN A. Definisi dan Unsur Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121/PMK.011/2013 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi BAB II DASAR TEORI A. Pengertian pajak Menurut Soemahamidjaja dalam Suandy (2009: 9) pajak adalah iuran wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah kewajiban warga negara yang merupakan wujud. langsung oleh wajib pajak dan bersifat memaksa. Saat ini peranan pajak

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah kewajiban warga negara yang merupakan wujud. langsung oleh wajib pajak dan bersifat memaksa. Saat ini peranan pajak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah kewajiban warga negara yang merupakan wujud pengabdian terhadap negara yang timbal baliknya tidak dapat dirasakan secara langsung oleh wajib pajak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Penghasilan 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan sumber terpenting dalam penerimaan negara dan dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh,

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila yang di dalamnya telah diatur pelaksanaan pembangunan nasional secara berencana, menyeluruh, terpadu,

Lebih terperinci

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202, 2017 KEUANGAN. PPH. Penghasilan. Diperlakukan. Dianggap. Harta Bersih. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6120) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum 6 BAB II LANDASAN TEORETIS 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum Undang-undang pajak, sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, yang dikutip dari buku Perpajakan karangan Dr. Mardiasmo, MBA,. Ak (2011:1): Pajak adalah

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-02/PJ/2015 TENTANG PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PASAL 31E AYAT (1) UNDANG- UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup rakyat, dan untuk memajukan bangsa. Pengeluaran-pengeluaran negara

BAB I PENDAHULUAN. hidup rakyat, dan untuk memajukan bangsa. Pengeluaran-pengeluaran negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam suatu negara dibutuhkan adanya sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara dalam rangka pembangunan, memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat, dan untuk

Lebih terperinci

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM Disusun oleh : 1. Nanda Rosyid F0311082 2. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 3. Nur Chayati

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1570, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Dana Bagi Hasil. Pajak. Alokasi. Perkiraan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 202/PMK.07/2013 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2012:7) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undangundang

Lebih terperinci

2013, No

2013, No 2013, No.984 10 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA

Lebih terperinci

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESI PENELITIAN. pemerintah kepada masyarakat guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESI PENELITIAN. pemerintah kepada masyarakat guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESI PENELITIAN 1.1 Landasan Teori dan Konsep 1.1.1 Pengertian Pajak Menurut UU KUP No. 28 Tahun 2007 pada pasal 1 angka 1 bahwa secara garis besar, pajak dapat didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pajak langsung, dan pajak tidak langsung. Contoh pajak langsung adalah

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pajak langsung, dan pajak tidak langsung. Contoh pajak langsung adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang utama, dimana sekitar tujuh puluh persen pembiayaan negara kita saat ini bersumber dari penerimaan pajak.

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan

2018, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan No.180, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. SPT. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 /PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan 7 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Teortitis 2.1.1. Definisi UMKM Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disingkat UMKM), definisi UMKM adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/PMK.03/2007

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/PMK.03/2007 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 182/PMK.03/2007 TENTANG TATA CARA PELAPORAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA BAGI WAJIB PAJAK DENGAN KRITERIA TERTENTU YANG DAPAT MELAPORKAN BEBERAPA MASA PAJAK

Lebih terperinci

Repositori STIE Ekuitas

Repositori STIE Ekuitas Repositori STIE Ekuitas STIE Ekuitas Repository Final Assignment - Diploma 3 (D3) http://repository.ekuitas.ac.id Final Assignment of Accounting 2015-12-22 Tinjauan Atas Penerapan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

Keputusan Dirjen Pajak KEP-537/PJ./2000 tgl 29 Desember 2000

Keputusan Dirjen Pajak KEP-537/PJ./2000 tgl 29 Desember 2000 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 537/PJ./2000 TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan), Anda harus mampu: 1.1 Memahami Definisi PPh Pasal 25, Subjek

Lebih terperinci

79/PMK.03/2010 PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKU

79/PMK.03/2010 PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKU 79/PMK.03/2010 PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKU Contributed by Administrator Monday, 05 April 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB II NORMA PENGHITUNGAN DAN PAJAK PENGHASILAN FINAL

BAB II NORMA PENGHITUNGAN DAN PAJAK PENGHASILAN FINAL BAB II NORMA PENGHITUNGAN DAN PAJAK PENGHASILAN FINAL 2.1. Perpajakan Pengertian pajak menurut UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan tata cara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengembangkan dan mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik. Pembangunan

Lebih terperinci

PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) FINAL TERHADAP USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) BERDASARKAN PP NO 46 TAHUN 2013

PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) FINAL TERHADAP USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) BERDASARKAN PP NO 46 TAHUN 2013 PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) FINAL TERHADAP USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) BERDASARKAN PP NO 46 TAHUN 2013 Deddy Dariansyah S Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Bahasa dan Seni

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009 TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Pajak Penghasilan Pasal 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

FORMAT SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK: KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

FORMAT SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK: KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2013, No.1556 10 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 198/PMK.09/2013 TENTANG PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 /PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009 TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain: BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah. Beradasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan. Umum dan Tata Cara Perpajakan di Pasal 1 sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan. Umum dan Tata Cara Perpajakan di Pasal 1 sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tinjauan Umum Mengenai Pajak 2.1.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di Pasal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 Adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu pajak atas penghasilan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA

PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA APBN/APBD DIKELOLA INSTANSI PEMERINTAH PUSAT INSTANSI PEMERINTAH DAERAH LEMBAGA NEGARA BENDAHARA /PEMEGANG KAS WAJIB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pengaruh Pengertian pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991;747) yaitu: Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut

Lebih terperinci