STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG"

Transkripsi

1 STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG Nanang Herdiana 1 dan Teten R. Saefuloh 1 1 Balai Penelitian Kehutanan Palembang Emai: nanang_herdiana@yahoo.co.id ABSTRAK Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (WAR) di Provinsi Lampung merupakan kawasan konservasi yang menerapkan agroforestry sejak tahun Hal tersebut dilakukan sebagai upaya rehabilitasi dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.dalam perkembangannya, adanya larangan penebangan/penjualan kayu dari kawasan, maka masyarakat mulai mengembangkan jenis tanaman penghasil HHBK, baik getah maupun buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang terbentuk pada kebunyang dikelola oleh masyarakat di Tahura WAR. Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan Juli Agustus 2015 pada kebun masyarakat di empat lokasi (Sumber Agung, Kebagusan, Bogorejo dan Batu Menyan). Pengukuran vegetasi menggunakan Metode Garis Berpetak pada 5 plot yang dibangun pada masing-masing lokasi.parameter vegetasi yang dianalisis meliputi: Indek Nilai Penting, Indeks Keragaman Jenis dan Indeks Kesamaan.Hasil Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis dominan yang ditunjukkan oleh nilai INP tertinggi pada masing-masing lokasi relatif beragam. Di Sumber Agung, pada tingkat semai didominasi oleh karet dan kopi (54,78 % dan 53, 91 %), tingkat tiang dan pohon juga jenis karet (110,94 % dan 107,08%). Tegakan di Kebagusan, pada tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis karet (55,22%, 88,01% dan 78,61%), sedangkan tingkat pancang didominasi oleh coklat (101,85%). Karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon (142,73% dan 89,20%), sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat (43,42% dan 114,47%). Vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon di Batu Menyan adalah duku (71,24% dan 109,59%), jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang (64,81%) dan coklat mendominasi pada tingkat pancang (111,47%). Keragaman jenis pada keempat lokasi tersebut termasuk rendah dengan nilai indeks keragaman berkisar antara 0,51-0,87. Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun Rejo dengan indeks kesamaan sebesar 66,17%, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya, baik dengan Sumber Agung (34,45%), Bogorejo (35,67%) maupun Kebagusanm (35,77%). Kata kunci: agroforestri, Indeks Keragaman Jenis, Indeks Kesamaan, Indeks Nilai Penting, jenis tanaman I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang muncul akibat peningkatan jumlah penduduk adalah kebutuhan lahan untuk pemenuhan pangan. Kondisi tersebut memaksa masyarakat memanfaatkan areal di sekitar tempat tinggalnya, termasuk areal yang merupakan kawasan hutan, seperti yang terjadi di Tahuran Wan Abdul Rahman (WAR) di Provinsi Lampung yang merupakan kawasan konservasi dan telah dimulai sejak tahun 1959.Sebagai upaya rehabilitasi kawasan dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar, pengelola Tahura WAR menerapkan sistem agroforestri sejak tahun Solusi ini menjadi salah satu jalan keluar atas permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan lahan yang tidak tepat dan sekaligus mengatasi masalah pangan (Hairiah et al., 2003). Upaya tersebut relatif berhasil, terlihat dari semakin baiknya kualitas tutupan di kawasan Tahura dan memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi. Dalam perkembangannya, adanya larangan penebangan/penjualan kayu dari kawasan mendorong masyarakat untuk mengembangkan jenis tanaman penghasil HHBK, baik getah maupun buah.sampai saat ini, praktek agroforestri tersebut telah dilakukan oleh sejumlah petani pada beberapa lokasi yang menyebar dengan luasan yang bervariasi. Kondisi tersebut akan berimplikasi Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

2 terhadap perbedaan komposisi jenis, struktur dan populasi vegetasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang terbentuk pada tegakan agroforestri (kebun Campuran) yang dikelola masyarakat pada empat lokasi di Tahura Wan Abdul Rahman (WAR). II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada tegakan agroforestri yang dikelola oleh masyarakat pada empat lokasi di Tahura Wan Abdul Rahman (WAR). Tahura WAR terletak di Propinsi Lampung dengan luas Ha dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 742/Kpts-II/92 tanggal 21 Juli Secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kedodong, Gedong Tataan dan Padang Cermin Kota Madya Bandar Lampung, sedangkan pengelolaannya di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang. Tahura WAR memiliki topografi bergelombang ringan sampai berat dan sebagian datar. Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson, Tahura WAR Rachman termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 24 C-26 C (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2009). Objek penelitian adalah tanaman pola agroforestri yang dikelola secara individual oleh petani pada empat lokasi yaitu: Sumber Agung, Kebagusan, Bogorejo dan Batu Menyan. Pada masing-masing lokasi dibangun plot pengamatan seluas 0,04 ha yang diulang sebanyak 5 kali, sehingga secara keseluruhan dibangun 20 plot pengamatan. Pengukuran vegetasi menggunakan Metode Garis Berpetak (nested sampling) yang mengacu pada Indriyanto (2006). Pengambilan data berlangsung mulai dari bulan Juli Agustur Untuk mengetahui struktur dan komposiai tegakan dilakukan analisis terhadap data vegetasi. Parameter yang dihitung meliputi: Indeks Nilai Penting (INP). Perhitungan INP dilakukan dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Kusmana (1997). Indeks Keragaman Jenis. Menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988). Indeks Kesamaan. Menggunakan Indeks Kesamaan (SI) menurut Mueller dan Ellenberg (1974). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis tanaman yang dikembangkan dalam praktek agroforestri oleh masyararakat padaempatlokasidi Tahura Wan Abdul Rahman cukup beragam. Berdasarkan pengamatan dan pengukuran lapangan (Tabel 1), jenis vegetasi penyusun agroforestri antara lain: Sumber Agung sebanyak 21 jenis, Kebagusan sebanyak 20 jenis, Bogorejo sebanyak 16 jenis dan Batu Menyan sebanyak 22 jenis.dari berbagai jenis vegetasi tersebut, jika dikelompokan berdasarkan komoditas atau nilai manfaat yang dihasilkan, maka jenis tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat dapat dikelompokan menjadi: tanaman penghasil buah (kopi, coklat, kemiri, duku, durian, nangka, mangga, jambu, rambutan, alpukat, pala dan lainnya), tanaman penghasil kayu (jati, mahoni, cempaka, duren), tanaman penghasil getah (karet), tanaman pakan ternak (kaliandra, kemlandingan) dan tanaman penaung (gamal, dadap). 324 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

3 Tabel 1. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul RahmanTahun No Jenis Sumber Agung (%) Kebagusan (%) Bogorejo (%) Batu Menyan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon 1 Alpukat 4,27 9,89 9,49 17,00 7,75 21,63 53,72 2 Aren 12,26 11,09 3 Cengkeh 7,99 41,15 8,61 50,67 47,04 32,49 22,42 4,04 4 Cempaka 16,645 5 Coklat 3,72 92,68 60,16 11,54 101,85 104,000 18,89 114,47 56,630 21,08 111,39 6 Dadap 6,19 8,75 8,47 12,45 7 Duku 71,24 44,98 50,84 109,59 8 Duren 12,26 22,46 33,86 52,32 8,12 21,29 8,56 65,70 16,76 14,29 16,864 33,66 3,72 56,38 19,09 9 Gamal 11,56 11,80 10 Jambu Air 9,42 13,56 11 Jati 16,85 12 Jengkol 4,87 3,41 19,94 9,28 18,63 34,16 13 Jeruk 4,66 14 Kaliandra 3,77 15 Karet 54,78 75,17 110,94 107,08 55,22 91,36 88,07 78,61 23,26 45,68 142,728 69,20 13,26 38,52 64,81 16 Kayu Afrika 4,93 17 Kelapa 7,44 5,37 24,09 4,34 22,51 18,36 18 Kemiri 3,49 85,68 4,49 17,67 9,02 43,68 19 Kemlandingan 7,57 8,75 20 Kopi 53,91 8,55 6,78 71,92 16,44 6,05 43,42 79,53 9,38 49,76 9,02 21 Mangga 3,41 6,63 3,72 10,29 22 Melinjo 4,99 36,82 98,45 3,59 6,28 9,72 13,49 47,305 26,81 4,11 4,91 9,73 52,28 23 Nangka 10,41 6,96 8,87 9,31 5,15 15,79 24 Pala 14,18 10,75 13,88 25 Petai 3,72 4,81 8,97 3,59 11,09 9,46 5,41 6,85 23,483 17,34 3,72 14,82 26 Pinang 17,41 19,15 21,413 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

4 No Jenis Sumber Agung (%) Kebagusan (%) Bogorejo (%) Batu Menyan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon 27 Rambutan 3,41 8,99 5,55 16,55 28 Rotan 3,72 29 Salam 3,72 30 Sawo 5,63 31 Sonokeling 25,46 4,40 12,09 40,15 7,98 6,48 Sumber: Hasil olah data primer, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

5 Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi penyusun agroforestry (Tabel 1), menunjukkan bahwa secara umum jenis vegetasi dominan penyusun tegakan relatif tidak berbeda. Jenis vegetasi dominan di Sumber Agung untuk tingkat semai adalah karet dan kopi dengan nilai INP masing-masing sebesar 54,78 % dan 53, 91 %. Karet juga mendominasi untuk tingkat tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 110,94 % dan 107,08%. Selain itu, jenis melinjo juga turut mendominasi untuk tingkat pohon dengan nilai INP sebesar 98,45%. sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh jenis coklat dengan nilai INP sebesar 92,68 %. Tegakan di Kebagusan didominasi oleh vegetasi karet, terutama untuk tingkat semai, tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 55,22%, 88,01% dan 78,61%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh coklat dengan nilai INP sebesar 101,85%. Seperti halnya pada dua lokasi sebelumnya, jenis karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 142,73% dan 89,20%, sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat dengan nilai INP masing-masing sebesar 43,42% dan 114,47%. Vegetasi dominan di Batu Menyan relatif berbeda, jenis duku menjadi vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 71,24% dan 109,59%, jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang dengan nilai INP sebesar 64,81% dan coklat mendominasi pada tingkat pancang dengan nilai INP sebesar 111,47%. Berdasarkan pengamatan dan perhitungan di atas, jenis tanaman penghasil buah dan getah menjadi tanaman paling dominan, sehingga praktek agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat di Tahura Wan Abdul Rahman tersebut bisa dikatagorikan sebagai agroforestri Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pengembangan HHBK tersebut tidak lepas dari aturan atau larangan penebangan untuk pemanfaatan kayu, sehingga masyarakat memilih jenis HHBK. Adanya beberapa jenis tanaman penghasil kayu yang tumbuh di kebun masyarakat, misalnya jati atau cempaka, merupakan tanaman hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh pengelola Tahura pada beberapa tahun yang lalu. Dominansi jenis vegetasi atau tanaman menunjukkan preferensi masyarakat dalam memilih jenis komoditas yang dikembangkan. Secara umum terlihat bahwa pertimbangan kesesuaian tempat tumbu tidak semata-mata menjadi acuan dalam pemilihan jenis, tetapi nilai ekonomi menjadi faktor yang lebih menentukan dalam pemilihan jenis komoditas. Hal tersebut terlihat dari dominasi tanaman perkebunan komersil yang dikembangkan oleh masyarakat di keempat loasi pengamatan, seperti karet, coklat dan kopi. Berdasarkan Tabel 2, keragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan pada ke empat lokasi termasuk rendah, dengan nilai Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wienner (H ) berkisar antara 0,553 0,872. Indeks keanekaragaman menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas (Heddy, 1994 dalam Wahyudi, Harianto dan Darmawan, 2014). Rendahnya nilai keragaman tersebut disebabkan oleh komposisi tegakan yang disusun oleh sedikit jenis dan didominasi oleh beberapa jenis komersil saja, misalnya karet, kopi atau coklat. Tabel 2. No Indeks keragaman jenis penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul Rahman.Tahun 2015 Lokasi Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon 1 Sumber Agung 0,59 0,70 0,73 0,67 2 Kebagusan 0,61 0,57 0,59 0,55 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

6 No Lokasi Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon 3 Bangunrejo 0,83 0,55 0,51 0,58 4 Batu Menyan 0,68 0,66 0,87 0,70 Sumber: Hasil olah data primer (2015) Tabel 3. No Indeks kesamaan vegetasi penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul RahmanTahun Lokasi Sumber (%) Agung Kebagusan (%) Bangunrejo (%) 1 Sumber Agung 53,28 45,23 34,45 2 Kebagusan 53,28 66,17 35,77 3 Bangunrejo 45,23-66,17-35,67 4 Batu Menyan 34,45 35,77 35,67 Sumber: Hasil olah data primer (2015) Batu Menyan (%) Nilai kesamaan vegetasi penyusun agroforestri di antara keempat lokasi pengamatan bervariasi antara 34,45 66,17 % (Tabel 3). Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun rejo, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya. Pada dasarnya keempat lokasi tersebut relatif memiliki kesamaan pemilihan jenis yang dikembangkan, semuanya menuju tegakan yang lebuh sederhana dengan jenis dominan tanaman komersil perkebunan berupa karet, kopi dan coklat. Tegakan di Bangunrejo dan Kebagusan merupakan tegakan yang paling cepat berkembang dan telah mendekati kondisi perkebunan, sedangkan lokasi lainnya (Sumber Agung dan Batu Menyan) sedang menuju ke arah tersebut, sehingga kesamaan antar lokasi tersebut cukup tinggi. Untuk mengetahui stratifikasi vegetasi penyusun agroforestri pada keempat lokasi pengukuran dapat dilihat dari struktur vertikal tegakan yang terbangun. Struktur vertikal tersebut terkait erat dengan pengasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu terutama tinggi maksimum yang dapat dicapai pohon dan lapisan tajuk di atas permukaan tanah (Muhadiono, 2010). Struktur vertikal yang teramati pada plot pengamatan menunjukkan adanya perbedaan ketinggian pohon. Mills et al. (1993) membagi interval ketinggian pohon pembentuk stratifikasi dibagi menjadi 2-10 m, m dan m. Berdasarkan klasifikasi tersebut, ketinggian pohon yang ditemukan hanya ada 2 tingkat dan tidak dijumpai pohon dengan ketinggian di atas 20 m. Strata atas didominasi oleh karet, jati, cempaka atau tanaman buah-buahan (duren, duku), sedangkan di bagian tengah disusun oleh tanaman coklat atau kopi (tingkat pertumbhan pancang dan tiang). Selain itu, dijumpai juga vegetasi penutup permukaan tanah (strata paling bawah), berupa tanbaman pertanian dan perdu. Pengaturan strata tersebut menunjukkan adanya upaya pembagian pemnafaatan ruang tumbuh dan sumber daya lingkungan setempat (Suryanto, Tohari dan Sabarnurdin, 2005). IV. KESIMPULAN 328 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

7 1. Jenis dominan yang ditunjukkan oleh nilai INP tertinggi pada masing-masing lokasi relatif beragam. Di Sumber Agung, pada tingkat semai didominasi oleh karet dan kopi (54,78 % dan 53, 91 %), tingkat tiang dan pohon juga jenis karet (110,94 % dan 107,08%). Tegakan di Kebagusan, pada tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis karet (55,22%, 88,01% dan 78,61%), sedangkan tingkat pancang didominasi oleh coklat (101,85%). Karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon (142,73% dan 89,20%), sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat (43,42% dan 114,47%). Vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon di Batu Menyan adalah duku (71,24% dan 109,59%), jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang (64,81%) dan coklat mendominasi pada tingkat pancang (111,47%). 2. Keragaman jenis pada keempat lokasi tersebut termasuk rendah dengan nilai indeks keragaman berkisar antara 0,51-0, Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun Rejo dengan indeks kesamaan sebesar 66,17%, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya, baik dengan Sumber Agung (34,45%), Bogorejo (35,67%) maupun Kebagusanm (35,77%). DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Buku Informasi Tahura. Buku. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan. Hairiah, K., M. A. Sardjono dan M. S. Sabarnurdin Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Bogor. Indriyanto Ekologi Hutan. Bumi Aksara Jakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kusmana, C Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds Statistical Ecology, A Prime on Method and Computing. John Willey and sons. New York. Mills, L. S., Fredrikson R. J., Moorhead B.B Characteristics of old growth forests associated with northern spoted owls in Olimpic National Park. Journal of Wildlife Management. Vol. 1, 1993 : Mueller, D. dan H. Ellenberg Aim and Method of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York Chichester Brisbane - Toronto. Muhadiono Ekologi vegetasi. Laboratorium Ekologi Fakuktas Kehutanan IPB. Bogor. Suryanto, P., Tohari dan S. Sabarnurdin Dinamika sistem berbagi sumberdaya dalam agroforestri: Dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 2, 2005: Wahyudi, A., Sugeng P., Harianto, dan A. Darmawan Keanekaragaman jenis pohon di hutan pendidikan konservasi terpadu Tahura Wan Abdul Rachman. Jurnal Sylva Lestari Vol. 2 No. 3: Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

8 PRODUKTIVITAS DAN SISTEM PERAKARAN JELUTUNG RAWA (Dyera polyphylla) DI LAHAN AGROFORESTRI Dewi Alimah, Junaidah, dan Marinus K. Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dewi_alimah@yahoo.com ABSTRAK Jelutung rawa (Dyera polyphylla) adalah salah satu jenis tanaman yang potensi untuk dikembangkan di lahan rawa gambut. Informasi sistem perakaran jelutung rawa sangat diperlukan untuk mendukung budidaya jelutung rawa dengan pola agroforestri. Informasi ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk menentukan tanaman pertanian yang cocok ditanam secara bersama-sama dengan jelutung rawa. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui produktivitas tegakan jelutung rawa berusia 5 dan 6 tahun dan (2) mengetahui panjang, kedalaman, dan berat kering akar lateral jelutung rawa. Penelitian ini menggunakan metode purpossive sampling. Jumlah plot pengamatan jelutung rawa adalah 10 petak terdiri dari 5 petak umur 5 tahun dan 5 petak umur 6 tahun. Ukuran petak pengamatan adalah 50x15 m dengan jarak tanam jelutung rawa 3x5 m. Parameter yang diamati adalah dimensi pohon jelutung rawa (tinggi dan diameter), panjang akar, kedalaman akar, dan berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut turut berkisar antara 6,05 9,57 cm dan 4,25 9,00 m. Sementara itu, jelutung rawa umur 5 tahun di lokasi yang sama memiliki diameter batang dan tinggi batangberturut turut berkisar antara 5,01 6,69 cm dan 3,93 6,22 m. Berat kering akar terbanyak ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah. Berat kering akar jelutung rawa umur 5 dan 6 tahun secara berturutturut adalah 7,16 g dan 10,15 g. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran. Hal ini menunjukkan bahwa perakaran jelutung yang ditanam di lahan rawa gambut pada umumnya merupakan perakaran dalam. Kata kunci : jelutung rawa, gambut, perakaran, produktivitas I. PENDAHULUAN Kalimantan Tengah memiliki sekitar 3 juta ha lahan gambut atau sekitar 13,5% dari lahan gambut di seluruh Indonesia. Wilayah ini memiliki permasalahan gambut paling besar bila dibandingkan dengan Sumatera dan Papua sebagai wilayah yang juga memiliki sebaran gambut. Permasalahan utama lahan gambut di Kalimantan Tengah berupa kebakaran hutan, pembalakan liar, dan drainase yang berlebihan. Kebakaran di lahan gambut yang terjadi secara berulang ulang telah berpengaruh terhadap kegiatan pembangunan dan kesempatan ekonomi di wilayah tersebut (CKPP, 2008). Laju degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut di Kalimantan saat ini mencapai 1 juta ha/tahun (Miettinen et. al., 2011).Salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat diterapkan untuk kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang bersentuhan dengan masyarakat adalah sistem agroforestri. Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut (Harun, 2011). Sistem agroforestri dicirikan dengan keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama. Menurut Wijayanto dan Rahmi (2013), pengelolaan sistem agroforestri selalu dihadapkan pada berbagai tantangan seperti tingkat naungan yang cukup tinggi dan kemungkinan terjadinya kompetisi ruang, air, nutrisi, dan kelembaban. Pemilihan jenis tanaman tumpang sari yang sesuai dengan tanaman pokok menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kesesuaian dapat dilihat dari kondisi fisiologis pohon seperti tajuk dan perakaran yang berpengaruh terhadap pengaturan jarak tanam yang ideal. Selanjutnya, jarak tanam ini berkaitan 330 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

9 dengan ketersediaan cahaya yang dapat menembus kanopi tanaman utama dan ketersediaan ruang untuk perakaran. Di Kalimantan Tengah telah dilakukan pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa (Dyera polyphylla) untuk pemulihan lahan gambut terdegradasi. Penelitian mengenai sistem perakaran jelutung rawa untuk dapat mengetahui jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran jelutung rawa perlu dilakukan. Menurut Tata et al. (2015), jelutung rawa memiliki akar napas (pneumatofor), dimana akar jenis ini cenderung menjulang di atas tanah sehingga pengusahaannya dalam penerapan agroforestri perlu diperhatikan.penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui produktivitas tegakan jelutung rawa berusia 5 dan 6 tahun dan (2) mengetahui panjang, kedalaman, dan berat kering akar lateral jelutung rawa. II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober 2011 di di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. B. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jelutung rawa berumur 5 dan 6 tahun dengan jarak tanam 3 5 m. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, cangkul, pita ukur, label, dan alat tulis. C. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkanterdiriatas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan seperti pengukuran dimensi tanaman pokok, pengukuran persentase penutupan tajuk, pengukuran panjang akar horizontal dan kedalaman akar, pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah plot penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data profil lokasi penelitian seperti data letak, luas, pola penggunaanlahan, topografi, jenis tanah, kondisi iklim, dan sejarah pengelolaan lahan. Data sekunder ini diperoleh dari studi literature, wawancara dengan pemilik lahan dan pembekal setempat dan hanya digunakan sebagai data pendukung untuk data primer. D. Metode Kerja Penentuan peletakan plot contoh. Tanaman jelutung rawa yang diukur dipilih dengan kriteria pertumbuhan baik dan bebas dari hama dan penyakit. Plot contoh yang digunakan berbentuk persegi sebanyak 10 petak dengan ukuran m yang terdiri dari 5 petak umur 5 tahun (petak A,B,C,D dan E) dan 5 petak umur 6 tahun (petak F, G, H, I dan J). Dalam setiap plot contoh terdapat 50 batang pohon jelutung. Metode yang digunakan adalah purpossive sampling. Pengukuran dimensi pohon. Pengukuran dimensi pohon (tinggi, diameter, dan tajuk) dilakukan pada setiap plot contoh. Tinggi pohon diukur dengan menggunakan alat berupa haga hypsometer, diameter pohon diukur dengan menggunakan pita ukur, dan lebar tajuk diukur dengan menggunakan kompas dan pita ukur. Pengukuran tajuk dilakukan dengan mengukur lebar tajuk pada arah Barat Timur (BT) dan lebar tajuk pada arah Utara Selatan (US). Pengukuran panjang akar dan kedalaman akar. Pengamatan dilakukan pada radius 50 dan 150 cm dari pangkal batang dengan kedalaman 15 dan 30 cm dari permukaan tanah. Apabila pada kedalaman tersebut ditemukan adanya akar dari tanaman pokok, maka pengukuran dihentikan. Namun jika tidak ditemukan adanya akar tanaman pokok, maka pengukuran dilakukan pada setiap jarak 50 cm berikutnya ke arah kanan dan kiri dari penggalian sebelumnya, dengan cara penggalian lagi sampai ditemukan adanya akar tanaman pokok. Sampel akar yang diperoleh dikeringkan hingga mencapai berat kering konstan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

10 Diameter pohon (cm) Tinggi (m) Analisis data. Data hasil pengukuran dimensi pohon, lebar tajuk dan sistem perakaran dimasukkan ke dalam tabel untuk mempermudah pengolahan dan analisis data. Pengelohan data dilakukan dengan menggunakan microsoft excel. Data yang diperoleh dari hasil lapangan dan ditunjang dengan literatur yang ada dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Dari analisis tersebut diharapkan dapat diketahui tanaman pertanian yang sesuai dengan tegakan jelutung rawa monokultur dan campuran. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produktivitas Jelutung Rawa Pada Plot Agroforestri di Kelurahan Kalampangan Plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan mewakili tipologi lahan gambut dalam yang dikelola oleh masyarakat transmigran. Derajat keasaman (ph) tanah pada lokasi penelitian berada pada kisaran 3,86-5,8 (bagian permukaan), suhu rata-rata tanah 29,2 0 C dan suhu udara rata-rata di siang hari mencapai 34 0 C. Tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk jenis glei humus dan organosol dengan struktur tanah topsoil berlapis gambut tebal. Tekstur tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk dalam bahan organik gambut belum masak. topografi wilayah datar (kemiringan 0 3 %) dan ketinggian tempat m dpl (Kelurahan Kalampangan, 2010). Produktivitas jelutung rawa di plot agroforestri diketahui dengan melakukan pengukuran dimensi pohon yang meliputi pengukuran diameter dan tinggi pohon. Produktivitas jelutung rawa umur 6 dan 5 tahun pada plot agroforestri di Desa Kalampangan disajikan pada Gambar 1 dan Gambar ,79 9,57 7,5 6,24 6,05 A B C D E ,64 4,85 4,49 4,25 A B C D E Petak Petak Gambar 1. Rata rata diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan 332 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

11 Lebar Tajuk (m) Lebar Tajuk (m) Diamater (cm) Tinggi (m) ,3 6,69 5,01 5,53 5, ,27 6,22 4,19 5 3, H I J K L Petak 0 H I J K L Petak Gambar 2. Rata rata diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 5 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan Jelutung Rawa Umur 6 Tahun 3,00 2,77 2,54 2,58 2,50 2,00 1,85 1,50 1,45 1,47 1,20 1,20 1,20 1,28 1,00 0,50 0,00 A B C D E Petak Jelutung Rawa Umur 5 Tahun 2,50 2,00 1,93 1,77 1,82 1,64 1,50 1,35 1,43 1,15 1,20 1,23 1,07 1,00 0,50 0,00 H I J K L Petak Lebar tajuk arah US Lebar tajuk arah BT Lebar tajuk arah US Lebar tajuk arah BT Gambar 3. Rata rata lebar tajuk jelutung rawa umur 5 dan 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut turut berkisar antara 6,05 9,57 cm dan 4,25 9,00 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terendah terdapat pada Petak E secara berturut turut sebesar 6,05 cm dan 4,25 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun tertinggi terdapat pada Petak D secara berturut turut sebesar 9,57 cm dan 9 m. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 5 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut turut berkisar antara 5,01 6,69 cm dan 3,93 6,22 m. Rerata pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5 tahun terendah terdapat pada Petak J sebesar 5,01 cm sementara rerata pertumbuhan tinggi batang terendah terdapat pada Petak L sebesar 3,93 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 5 tahun tertinggi terdapat pada Petak I secara berturut turut sebesar 6,69 cm dan 6,22 m. Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tajuk jelutung rawa umur 6 tahun terlebar dapat dilihat pada Petak D, dimana lebar tajuk baik itu arah Utara (U) Selatan (S) maupun arah Barat (B) Timur Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

12 (T) nilai rata-rata lebih dari 2,5 m. Sementara itu, lebar tajuk jelutung rawa umur 6 tahun pada petak lainnya berkisar antara 1,20 2,54 m. Pada jelutung rawa umur 5 tahun, tajuk terlebar dijumpai pada Petak I (1,82 1,93) sedangkan lebar tajuk jelutung rawa umur 5 tahun pada petak lainnya berkisar antara 1,07 1,77 m. Pada petak-petak pengamatan, dibawah tegakan jelutung rawa ada yang ditanami dengan tanaman semusim dan ada yang tidak ditanami. Tanaman semusim yang ditanam antara lain : kacang panjang, cabe, daun bawang, sawi, dan jagung yang ditanam secara sistem jalur dan bergantian. Pertumbuhan tanaman jelutung rawa pada petak yang ditanami dengan tanaman semusim dengan tanpa ditanami adalah beragam. Namun secara umum dapat disebutkan bahwa penanaman tanaman semusim pada plot agroforestri tidak banyak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman jelutung rawa. B. Panjang, Kedalaman,dan Berat Kering Perakaran secara Lateral Pada penelitian ini pengamatan mengenai sistem perakaran jelutung rawa didekati dengan besarnya nilai berat kering akar pada radius dan kedalaman tertentu. Menurut Suryanto dkk (2005), berat kering akar menggambarkan laju pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran. Sementara itu, penentuan radius digunakan sebagai penanda dari luas permukaan akar. Menurut O Toole dan Chang (1979), luas permukaan akar digunakan sebagai indikator kemampuan sistem perakaran dalam menyerap air dan hara dan perkembangan sistem perakaran. Hasil pengamatan panjang dan kedalaman perakaran horisontal serta berat kering akar tanaman jelutung rawa pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Panjang dan Kedalaman Perakaran serta Berat Kering Akar Jelutung Rawa Pada Plot Agroforestri di Kelurahan Kalampangan Umur Tanaman (Tahun) Kode Sampel Berat Kering Akar (gr) Keterangan A15 10,15 Plot jelutung rawa tidak 6 A30 3,16 dikombinasi dengan B15 3,94 tanaman pertanian B30 0 A15 7,16 Plot jelutung rawa 5 A30 0,84 dikombinasi dengan B15 0,91 tanaman pertanian B30 0 Keterangan : A15 = radius 0,5m daripangkalbatang, kedalaman 15 cm daripermukaantanah A30 = radius 0,5m daripangkalbatang, kedalaman 30 cm daripermukaantanah B15 = radius 1,5m daripangkalbatang, kedalaman 15 cm daripermukaantanah B30 = radius 1,5m daripangkalbatang, kedalaman 30 cm daripermukaantanah Pada Tabel 1 diketahui bahwa kedalaman perakaran horisontal pohon jelutung rawa pada umur 5 dan 6 tahun sudah dapat dijumpai pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah. Panjang perakaran secara horisontal pada pohon jelutung rawa sudah ditemukan pada radius 0,5 1,5 m dari pangkal batang. Pada jelutung rawa baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, berat kering akar terbanyak ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah secara berturut turut sebesar 10,15 g dan 7,16 g. Pada radius yang sama dengan kedalaman 30 cm dari permukaan tanah, berat akar mengalami penurunan jumlah dan kembali naik beratnya pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah, yaitu 3,94 g untuk jelutung rawa umur 6 tahun dan 0,91 g untuk jelutung rawa umur 5 tahun. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, terutama pada radius 1,5 m dari pangkal 334 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

13 batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran. Hal ini menunjukkan bahwa perakaran jelutung yang ditanam di lahan rawa gambut pada umumnya merupakan perakaran dalam. Hal ini sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsure hara pada tanah gambut sehingga tanaman jelutung beradaptasi dengan cara membentuk perakaran dalam guna mencari unsure hara yang dibutuhkannya yang jauh dari permukaan tanah. Pada Tabel 1 juga diketahui bahwa perakaran jelutung rawa umur 6 tahun cenderung memiliki berat kering akar lebih banyak daripada jelutung rawa umur 5 tahun. Salah satu faktor penyebabnya adalah umur. Semakin tua umur tanaman, sistem perakaran lebih lebar dan dalam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perakaran jelutung rawa umur 6 tahun cenderung lebih panjang bila dibandingkan dengan perakaran pada jelutung rawa umur 5 tahun. Namun, pengamatan pada jelutung rawa umur 5 tahun diketahui bahwa pada radius 0,5 1,5 m dari pangkal batang dekat permukaan tanah terdapat banyak rambut-rambut akar meskipun tidak panjang. Keberadaan rambut-rambut akar ini menunjukkan adanya respon perakaran terhadap adanya tanaman semusim dan pemupukan yang diberikan pada tanaman semusim. Petak umur 5 tahun pada saat pengamatan masih aktif ditanami dengan tanaman semusim. Dengan adanya pemupukan, merangsang sistem perakaran jelutung rawa untuk mengambil unsur hara yang diberikan pada tanaman pertanian (pemupukan). Pada tahun ke-6 terjadi penurunan produktivitas lahan untuk tanaman pertanian. Selain karena adanya penurunan kualitas lahan agroforestri pasca penanaman tanaman semusim, penurunan produktivitas juga disebabkan oleh sistem perakaran tanaman jelutung rawa. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan petani diperoleh informasi bahwa pada umur 6 tahun perakaran jelutung rawa berada pada radius sekitar 1-1,5 m dari pangkal batang namun belum muncul ke permukaan tanah. Pada tahun ke-6 ini, sebagian lahan pertanian mereka yang digunakan untuk menanam jelutung rawa tidak bisa lagi ditanami dengan tanaman semusim secara maksimal karena perakaran tanaman jelutung yang mulai mengganggu pertumbuhan tanaman semusim. Hal inilah yang menyebabkan petani berinisiatif memberi jarak +1 m antara tanaman pertanian dan tanaman jelutung rawa pada awal penanaman. Menurut Murniati (2010), jelutung rawa umur 12 tahun mempunyai perakaran yang menjalin dan muncul di atas permukaan tanah. Berkurangnya luasan lahan pertanian yang dikelola menurunkan produktivitas lahan sebesar 20%. Pengurangan produktifitas lahan ini mulai terjadi pada tahun ke-4. Pada tahun pertama sampai dengan ke tiga, penamanan tanaman semusim dan tanaman berkayu masih dilakukan secara bersama-sama pada 1 unit lahan. Untuk memperoleh hasil maksimal dari penanaman pola agroforestri berbasis jelutung rawa, penanaman yang dilakukan harus dengan bergiliran. Masyarakat di Kelurahan Kalampangan sendiri telah melakukan pola penanaman pergiliran tanaman pertanian dan secara tumpang sari. Setiap jenis tanaman mempunyai umur panen yang berbeda-beda sehingga dalam 1 tahun frekuensi penanaman setiap jenis tanaman berbeda-beda. Dalam 1 unit lahan, petani mengelola berbagai jenis tanaman pertanian yang mempunyai umur panen berbeda-beda mulai dari umur panen + 20 hari sampai dengan + 6 bulan dengan masa bera 1-2 minggu. Tujuan pola tanam tersebut adalah petani bisa mendapatkan hasil panen setiap bulan. Jenis tanaman yang ditanam dalam unit lahan bisa berubah dalam 1 periode penanaman. Selain dipengaruhi oleh permintaan konsumen, pola tanam seperti ini juga bertujuan agar tanaman tidak rentan terhadap serangan hama dan penyakit, mempertahankan produktivitas tanaman pertanian, dan mempertahankan kesuburan tanah. Pada tahun pertama sampai dengan tahun ke-6 petani bisa menanam tanaman semusim seperti : cabe, daun bawang, sawi, dan jagung. Namun pada umur selanjutnya, perlu introduksi jenis lain yang tahan terhadap naungan dan memiliki sistem perakaran yang dalam sehingga tidak tergangu dengan sistem perakaran jelutung rawa yang semakin membesar. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

14 IV. KESIMPULAN 1. Produktivitas tanaman jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan berkisar antara 6,05 9,57 cm untuk diamater batang dan 4,25 9,00 m untuk tinggi batang. Sementara itu, jelutung rawa umur 5 tahun di lokasi yang sama memiliki diameter batang dan tinggi batang berturut turut berkisar antara 5,01 6,69 cm dan 3,93 6,22 m. 2. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, berat kering akar terbanyak ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah secara berturut turut sebesar 10,15 g dan 7,16 g. Pada radius yang sama dengan kedalaman 30 cm dari permukaan tanah, berat akar mengalami penurunan jumlah dan kembali naik beratnya pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah, yaitu 3,94 g untuk jelutung rawa umur 6 tahun dan 0,91 g untuk jelutung rawa umur 5 tahun. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, terutama pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran. 3. Jenis tanaman semusim yang bisa ditanam di bawah tegakan jelutung rawa sampai dengan tahun ke-6 antara lain : cabe, daun bawang, sawi, dan jagung DAFTAR PUSTAKA Harun, M. K Analisis Pengembangan Jelutung dengan Sistem Agroforestri untuk Memulihkan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis. Institute Pertanian Bogor. Bogor. Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project (CKPP) Tanya dan Jawab Seputar Gambut di Asia Tenggara, Khususnya di Indonesia. Palangkaraya. Miettinen, J., J. Wang, A. Hooijer, and S. Liew Peatland Conversion and degradation processes in insular southeast asia : a case study in jambi, indonesia. Land degradation and Development 24 : Murniati Arsitektur pohon, Distribusi Perakaran, dan Pendugaan Biomassa Pohon Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam,VII(2) : O toole, J.C., dan T.T. Chang Drought Resistance in Cereal: Rice a Case Study. John Willey and Sons. New York. USA. Suryanto, P., Tohari, dan M.S. Sabarnurdin Dinamika Sistem Berbagi Sumberdaya (Resouces Sharing) Dalam Agroforestri: Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. JurnalIlmu Pertanian Vol. 12(2) : Tata, H.L., Bastomi, M. Sofiyuddin, E. Mulyoutami, A. Perdana, dan janudianto Jelutung Rawa : Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. 336 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

15 STATUS PRAKTEK PERLADANGAN BERPINDAH MASYARAKAT ADAT SAAT INI DI WILAYAH PEGUNUNGAN MERATUS LOK SADO KALIMANTAN SELATAN Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru admin@foreibanjarbaru.or.id ABSTRAK Wilayah Loksado berada di bagian hulu DAS Amandit pegunungan Meratus Kalimantan Selatan. Selain kondisi alam yang masih menyisakan ekosistem hutan alam tropika primer, juga sebagai wilayah bermukimnya kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus. Wilayah ini terus dikembangkan menjadi suatu tempat tujuan wisata alam, wisata budaya dan penghasil jasa lingkungan di dalam kerangka pengelolaan KPHL Model Hulu Sungai Selatan. Mengingat sampai saat ini praktek perladangan berpindah masih tetap berjalan di dalam kehidupan masyarakat adat setempat,kekhawatiran masyarakat luas terhadap ancaman kelestarian ekosistem di wilayah tersebut semakin menguat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang sejauhmana perubahan-perubahan pola perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat adat sampai saat ini dan faktor-faktor yang mendasarinya. Penelitian bersifat qualitatif melalui observsi lapangan dan wawancara mendalam dengan beberapa pemilik lahan dan ketua adat di beberapa kampung adat. Pembangunan infrastruktur daerah, terutama jaringan transportasi, pasar dan tempat-tempat wisata sangat mempengaruhi keputusan para pemilik lahan dalam hal pemilihan dan pengalokaasian jenis komoditi yang akan ditanam di lahan miliknya. Semakin tinggi aksesibilitas dan jarak terhadap pusat pemasaran dan objek wisata, pertimbangan nilai ekonomi (pasar) dari komoditi yang dikembangkan menjadi semakin dominan. Perubahan ini secara bertahap telah mengarahkan para pemilik lahan untuk memperpendek umur siklus perladangan, meningkatkan intensifikasi pengelolaan, dan menambah keragaman jenis komoditinya. Perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan sebagai suatu dasar pertimbangan yang sangat berharga bagi para pengambil keputusan dalam merancang suatu model pembangunan dan pengembangan yang selaras dengan prinsip-prinsip kelestarian ekologis, ekonomi dan eksistensi budaya masyarakat adat setempat. Kata kunci : perladangan berpindah, masyarakat adat, degradasi lahan, deforestasi. I. PENDAHULUAN Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan fase tanam atau fase produksi dan masa bera. Fase tanam adalah fase dimana terjadi pembukaan areal hutan melalui penebangan, pembaharan dan pembesihan, kemudian penanaman tanaman pangan untuk periode 1-2 tahun. Setelah fase tanam tersebut, kemudian berlanjut dengan fase pemberaan. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tumbuhan pionir berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga membentuk kembali vegetasi hutan (sekunder), yang siap dibuka kembali untuk tanaman baru (Mulyoutami et al., 2009). Bentuk perladangan seperti ini merupakan bentuk perladangan yang paling dikenal oleh masyarakat luas sampai saat ini. Oleh karena itu, munculnya stigma bahwa perladangan berpindah merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi, dan degaradasi lahan, menjadi sangat rasional. Realitasnya, stigma tersebut tidak seluruhnya benar, karena sistem berladang berpindah tidak hanya seperti yang dikemukakan di atas, tetapi terdiri ratusan bahkan ribuan bentuk. Hampir semua sistem pertanian di Asia saat ini berasal dari sistem perladangan. Perubahan yang terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali. Proses perubahan ini terus berjalan sesuai dengan ragam faktor penggeraknya (Fox et al., 2000). Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

16 Perladangan bagi masyarakat adat dayak Loksado, merupakan salah satu subsistem dari sistem pengelolaan lahan yang diusahakannya. Secara tradisional, berladang merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari (subsisten), dimana jenis tanamannya hanya berupa tanaman semusim seperti padi, dan sayursayuran, dan tidak untuk dijual. Sedangkan bentuk penggunaan lahan lainnya adalah kebun yang berfungsi sebagai sumber matapencaharian utama, terdiri dari kebun-kebun karet, kayu manis, kemiri, bambu dan kebun campuran. Sejak dibangunnya jaringan transportasi antara kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan kabupaten Kotabaru selama dekade yang lalu, tingkat aksesibilitas wilayah menjadi semakin tinggi, maka pertimbangan nilai ekonomi (pasar) dari masyarakat adat terhadap komoditi yang dikembangkan menjadi semakin dominan, dengan kata lain terjadi perubahan orientasi dari subsisten ke komersial, terutama di daerah yang dekat dengan jaringan jalan raya. Perubahan tercermin dari peningkatan keragaman komoditi ladang, intensifikasi pengelolaan dan perpendekan masa bera (Asysyifa, 2012). Perubahan ini diperkuat oleh Fitria et al. (2012) dan Hardiyanti et al. (2006), bahwa selama dua dekade tersebut telah terjadi pengurangan signifikan dari tutupan hutan alam primer, penambahan areal perladangan, kebun kayu dan pemukiman. Secara geografis, wilayah Lokasado erupakan wilayah pegunungan yang berada di bagian hulu dan menjadi awal dari aliran salah satu sungai besar di Kalimantan Selatan yaitu Sungai Amandit. Kehawatiran masyarakat luas terhadap kemungkinan hilangnya hutan alam primer yang masih tersisa, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas pengelolaan lahan masyarakat setempat saat ini menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang sejauhmana perubahan pola perladangan dan pertanian secara umum yang dilakukan masyarakat adat Lokasado sesuai dengan tingkat aksesibilitas wilayahnya. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Loksado, kabupaten Hulu Sungai Selatan, perovinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis letak antara '16,2" '56,4" BT dan 2 42'30,5" '31,3" LS. Kecamatan loksado terletak di bagian Timur Kabupeten Hulu Sungai Selatan atau tepat pada pegunungan meratus. Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Tengah, sebelah Selatan dengan kabupaten Tapin, sebelah Timur dengan kabupaten Tanah Bumbu dan kabupaten Banjar. Wilayah kecamatan Loksado termasuk daerah pegunungan dengan ketinggian meter dari permukaan laut, tingkat kelerengan antara 25% sampai lebih dari 40%. Loksado adalah salah satu kecamatan dari 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kandangan), berjarak 39 km dari kota Kandangan atau 174 km dari kota di Banjarmasin. Aksesibilitas wilayah ini sudah semakin terbuka sejak pemerintah provinsi pada tahun 1993 mulai membangun jaringan jalan yang menghubungkan secara langsung kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kota Kandangan) dengan kabupaten Kotabaru. Memiliki luas wilayah 228 Km 2 yang terbagi menjadi 13 desa, di setiap desa terdiri dari beberapa kampung adat ( Balai ), dan masing-masing Balai dihuni oleh keluarga (umbun). Balai-balai yang masih ada terdapat di Loksado saat ini adalah 43 Balai, yang pada 5 tahun sebelumnya terdapat 45 Balai. Setiap balai diketuai oleh seorang Pengulu (Kepalai balai adat). Setiap pengulu berada di bawah pimpinan satu ketua adat yang disebut Demang. Peneltian ini dilakukan di beberapa Balai Adat yang berada di dalam dan atau berbatasan dengan kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung Model Hulu Sungai Selatan. Pemilihan Balai adat didasarkan pada : (1) jarak dari pusat kota kecamatan Loksado, (2) jarak dari jalan raya, (3) tipe jalan akses dan (4) keberadaan para pedagang pemgumpul yang datang dari luar Balai. Balai-Balai Adat yang dipilih adalah : Balai Adat Kedayang, Sungai Binti, Haratai, Tenginau, Tumingki, Bidukun dan Padang Malino. Berdasarakan ke-empat kriteria tersebut, tingkat aksesibitas balai dikelompokan sebagai berikut: 338 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

17 A. Tinggi : wilayah adat dengan jarak 0-4 km ke jalan raya, jalan mampu dimasuki kendaraan roda 4, dan adanya para pedagang pemgumpul memasuki wilayah. Balai adat yang masuk kelompok ini adalah Balai Bidukun dan Balai Padang B. Sedang : Wilayah dengan jarak 0-4 km dari Pasar atau jalan raya, jalan akses hanya mampu dimasuki kendaraan roda dua, dan adanya para pedangang pengumpul memasuki wilayah. Balai yang masuk kelompok ini adalah Haratai, Tumingki, dan Tenginau, C. Rendah : Wilayah dengan jarak > 4 km dari pasar atau jalan raya, jalan hanya mampu dimasuki kendaraan roda dua secara terbatas, dan tidak ada pedagang pengumpul memasuki wilayahnya. Balai yang masuk kelompok ini adalah Kedayang, dan Sungai Binti. B. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para responden. Sebagai responden utama adalah masing-masing kepala balai adat (Pengulu) dan 2 orang anggotanya pada setiap balai adat. Wawancara juga dilakukan kepada para pegurus masyarakat adat yaitu Ketua Adat (Damang), Wakil Damang, dan sekeretaris Damang, serta ketua Damang Provinsi. Wawancara meliputi beberapa aspek-aspek yang menyangkut pola pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adat yang meliputi : pola berladang dan berkebun, pilihan dan tujuan komoditi yang dikembangkannya. Hasil wawancara di setiap balai adat, selanjutnya divalidasi kembali melalui diskusi dengan seluruh jajaran masyarakat adat dalam satu forum diskusi. C. Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif naratif, yang diarahkan pada hubungan antara tingkat aksesibilitas wilayah balai adat dengan keragaman komoditi pertanian yang dikembangkan dan pola perladangannya. Dengan asumsi bahwa sistem pertanian (pola tanam, jenis dan fungsi komoditi) yang dilakukan masyarakat adat setempat pada awalnya adalah sama, maka keragaman yang terjadi pada setiap balai adat dianggap sebagai pengaruh dari faktor aksesibilitas lahan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk penggunaan lahan di seluruh wilayah adat Loksado yang dikelola oleh setiap anggota masyarakat adat, secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga bentuk penutupan lahan, yaitu: ladang, kebun, dan hutan sekunder (jurungan). Setiap anggota masyarakat memiliki ketiga bentuk lahan tersebut, dalam luasan dan proporsi yang berbeda-beda, sebagai hasil warisan para pendahuluanya. Jurungan merupakan lahan semak-belukar atau hutan sekunder sebagai lahan yang diberakan (abandoned) setelah perladangan dan diperuntukan untuk berladang kembali. Ladang adalah lahan terbuka yang ditanami oleh jenis-jenis tanaman pangan terutama padi dan tanaman semusim lainnya, berfungsi sebagai sumber penghasil bahan pangan, terutama padi. Secara tradisi dan sudah menjadi kewajiban adat bahwa menanam padi harus dilakukan setiap tahun, untuk tetap menjamin tersedianya bahan pangan, walau persediaan padi hasil berladang tahun-tahun sebelumnya masih tersedia. Padi yang dikonsumsi pada tahun berjalan, umumnya merupakan hasil panen 3-5 tahun sebelumnya. Kebun merupakan lahan yang ditumbuhi tanaman tahunan, seperti karet, kayu manis, kemiri, dan kebun campuran. Hasil dari kebun ini sebagai sumber matapencaharian utama. Oleh karena itu, masyarakat adat Loksado sebenarnya bukan petani perladangan berpindah, tetapi sebagai petani tanaman industri dan holtikultur, terutama terutama karet, kayu manis dan kemiri. Dari segi praktek pengelolaan lahan, masyarakat adat Loksado tersebut menerapkan model pengelolaan lahan manfaat ganda (multiple use land management), dimana setiap satu jenis manfaat diusahakan secara terpisah dan membentuk suatu mosaik tipe penggunaan lahan. A. Perladangan Tahapan dalam kegiatan berladang dikenal dengan 6 M yaitu menebas, menebang, membakar, menanam, merumput dan memanen. Khusus untuk kegiatan membakar lahan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

18 (manyalukut), harus selalu dilakukan secara gotong royong dari semua anggota kampung adat. Setiap tahapan kegiatan tersebut tidak lepas dari ritual adat Kaharingan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat Dayak memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang pantang dilanggar terkait dengan perladangan. Kegiatan berladang dilakukan pada lahan jurungan. Jika tidak akan dijadikan kebun, maka berladang hanya 1 tahun. Jika jurungan ini akan dijadikan kebun, maka masa berladang berlangsung selam 2-3 tahun, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemeliharaan tanaman muda komoditi kebun. Pembukaan kembali lahan jurungan untuk pembuatan ladang, menurut aturan adat sedikitnya harus berumur 8 tahun atau lebih. Saat ini, umur jurungan yang dijadikan ladang sebagaian besar antara 6-8 tahun, terutama di lokasi balai adat beraksesibilitas tinggi dan sedang. Kondisi ini menunjukan sudah terjadi adanya penurunan masa bera. Keragaman jenis dan fungsi komoditi yang ditanam pada ladang saat ini sudah terjadi perbedaan yang jelas diantara setiap kampung adat sesuai dengan tingkat aksesibilitasnya. Semakin tinggi aksesibilitas kampung adat maka akan semakin tinggi keragaman jenis komoditi yang ditanam, begitupun mengenai fungsi peruntukannya, semakin tinggi tingkat aksesibilitas maka fungsi ekonomi (mata pencaharian) semakin kuat. Misalnya, komoditi beras yang selama ini hanya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, di kampung adat dengan aksesibilitas sedang sampai tinggi, beras sudah menjadi komoditi komersial. Kejadian serupa juga terjadi pada komoditi sayur-sayuran. Jumlah jenis komoditi yang ditanam pada ladang petani juga semakin beragam pada kampung yang tingkat aksesibilitasnya tinggi (Tabel 1). Fakta ini menguatkan bahwa telah terjadi pula perubahan mindset terhadap fungsi ladang. Ladang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pangan untuk konsumsi sendiri, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari sumber matapencahriannya. B. Pengelolaan Kebun Jenis utama komoditi perkebunan yang dikembangkan secara tradisi oleh semua anggota masyarakat adat adalah sama, yaitu: Karet, Kayu Manis, Kemiri dan Bambu, Dari segi fungsi jenis komoditi kebun yang ditanam masyarakat di seluruh wilayah adat relatif sama, semuanya ditujukan sebagai mata pencaharian utama. Pada wilayah aksesibilitas rendah tanaman buah-buahan hanya untuk dikonsumsi sendiri, tetapi mulai wilayah dengan aksesibiliitas sedang dan tinggi sudah berkembang menjadi komoditi komersial. Pada wilayah dengan aksesibilitas tinggi, keragaman jenis komoditi komersial sudah berkembang seperti dengan adanya beragam jenis tanaman seperti pisang, sawit, dan jenis penghasil kayu seperti jabon dan sengon. Pengaruh aksesibilitas sangat terlihat jelas dengan betambahnya keragaman jenis yang ditanam, dan perubahan-perubahan jenis komoditi kebun pada proses peremajaan kembali kebun. Tabel 1. Beberapa jenis komoditi utama hasil pertanian dan tujuan pemanfaatannya di setiap tingkat aksesibilitas balai adat. KOMODITI Kedayang S.Binti Haratai Tenginau Tumingki Bidukun Padang Ladang 1. Padi K K K K, E K, E K, E K, E 2. Ketan K K K K K E, K E, K 3. Jagung E, K E, K 4. Lombok - - E, K E, K E, K E, K E, K 5. K. tanah - - K, E K, E K, E E, K E, K 6. Sayur2-an K K K, E K, E K, E E, K E, K Kebun 1. Karet E E E E E E E 2.Kayu Manis E E E E E E E 3. Kemiri E E E E E E E 340 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

19 4. Buah2-an K K K, E K, E K, E K, E K, E 5. Pisang E E 6. Sawit E E 7. Sengon E,K 8. Jabon E,K K = konsumsi sendiri (subsisten), E= ekonomi (sumber matapencaharian) Pada lahan peremajaan komoditi kebun, kegiatan berladang dilakukan pada periode 1-3 tahun, kecuali pada peremajaan kebun kayu manis. Peremajaan tidak selalu dengan jenis yang sama, tetapi banyak terjadi perubahan jenis komoditi, saat ini umumnya terjadi perubahan karet menjadi kayu manis dan kemiri serta jenis pohon penghasil buah lainnya. Pertimbangan utama perubahan tersebut sebagai akibat dari harga komoditi karet yang rendah, dan pertimbangan kecepatan untuk mendapatkan hasil panen. Jenis karet lokal mulai menghasilkan setelah berumur 8 tahun, sedangkan kemiri dan kayu manis sudah bisa dipanen muai umur 4 dan 6 tahun. Pertimbangan lain dari peremajaan kebun karet tua menjdi komoditi lain didasarkan pada pengalaman masyarakat setempat bahwa, pertumbuhan karet tidak akan tumbuh baik jika lahan sebelumnya adalah karet tua, sehingga harus dirubah dulu ke jenis lain. Khusus untuk kayu manis, peremajaan dilakukan secara langsung pada titik-titik tanaman dimana pohon dipanen, karena pola pemanenan kayu manis di Loksado lebih mengarah kepada sistem pemanenan tebang pilih, walau pada awalnya kebun kayu manis dibangun dalam satu waktu tanam (satu umur). Oleh karena itu, kebun-kebun kayu manis banyak dijumpai dalam bentuk tegakan tak seumur (uneven aged stands). Pola perubahan komoditi kebun seperti di atas, umum terjadi di wilayah balai adat dengan tingkat aksesibilitas rendah dan sedang (kelompok B dan C), dimana dari segi jenis komoditi, di wilayah adat tersebut tidak terjadi perubahan jumlah jenis komoditi yang dikembangkannya. Perubahan yang terlihat jelas terjadi di wilayah balai adat dengan tingkat aksesibilitas tinggi (Kelompok A). Lahan-lahan yang sebelumnya berupa kebun karet tua dan kebun campuran sudah banyak dirubah dengan beberapa komoditi baru seperti pisang dan sawit, serta jenis-jenis komoditi kehutanan seperti Sengon dan Jabon. C. Pembahasan Perubahan-perubahan praktek pengelolaan lahan (berladang dan berkebun) yang terlihat jelas hanya sampai pada wilayah adat dengan tingkat aksesibilitas sedang dan tinggi, baik dalam aspek orientasi tujuan pengelolaan maupun dalam keragaman komoditinya. Pada wilayah kampung adat dengan tingkat aksesibilitas rendah, perubahan hanya terjadi pada komoditi kebun yang memiliki nilai jual lebih tinggi dan daur panen yang lebih capat, walaupun bukan komoditi baru. Jarak, topografi dan kualitas jalan angkutan menjadi faktor penghambat utama baik bagi para petani maupun bagi para pedagang pengumpul dalam melakukan transaksi hasil komoditi pertanianya. Kondisi ini berimplikasi pada kesulitan masyarakat setempat dalam meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan meningkatnya kebutuhan hidup. Temuan di lapangan menunjukan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terahir, sudah terjadi pengosongan dua balai adat, dimana mereka telah pindah ke daerah-daerah baru yang berdekatan dengan jaringan jalan utama. Keberadaan jalan memiliki dampak yang sangat jelas, yaitu meningkatkan akses pasar untuk komoditi hasil pertanian daerah yang sebelumnya terpencil. Selain itu, pembangunan jalan juga akan menjadi suatu insentif bagi pembukaan-pembukaan lahan baru, termasuk membuka areal hutan alam yang masih tersedia untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan penggunaan lahan lainnya (Chomitz and Gray, 1996). Fenomena ini pun sudah dan sedang terjadi di lokasi penelitian, sebagaimana yang dilaporkan oleh Fitria et al. (2012) bahwa telah terjadi pengurangan luas tutupan hutan primer yang sangat signifikan selama dua dekade terahir, yaitu dari ha (1992) menjadi ha (2010) dan meluasnya lahan-lahan hutan sekunder, semak belukar dan perkebunan. Selain itu, perubahan pola pertanian masyarakat adat Loksado sebagai dampak dari keterbukaan wilayah, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

20 seperti yang dilaporkan oleh Asysyifa (2012) dan hasil penelitian ini hanya berdampak sampai pada radius sekitar 4 km dari pusat pemasaran dan jalan raya. Implikasi bagi pengambil keputusan dalam kebijakan pembangunna dan pengembangan wilayah, adalah kebijakan sebaiknya merupakan hasil kompromi antara kepentingan peningkatan perekonomian masyarakat setempat di satu fihak, dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di lain fihak. Kebijakan pengalihan model perladangan berpindah ke model pertanian menetap, yang talah sering dilakukan pemerintah, selama ini selalu mengalami kegagalan dan berujung konflik (Fox et al., 2000). Salah satu saran yang dikemukakan oleh Chomitz dan Gray (1996) adalah kebijakan harus lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas jaringan jalan dan infrastruktur di wilayah padat penduduk dan aktifitas pasar, daripada membangun jaringan jalan baru ke arah pedalaman yang tingkat kepadatan penduduknya rendah dan mendekati kawasan hutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa intensifikasi pengelolaan lahan pertanian masyarakat secara bertahap akan terkonsentrasi ke arah pemukiman dan jaringan jalan, karena komoditi tanaman pertanian yang berorientasi ekonomi sangat memerlukan penaganan dan curahan tenaga yang lebih intensif, dan biaya angkutan yang lebih efisien. Hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukan kecendrungan yang serupa. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan keterbatasan lahan di masa yang akan datang, kebijakan yang tidak membangun jaringan jalan baru ke arah pedalaman mendekati kawasan hutan alam dan hanya memfokuskan pada peningkatan kualitas jalan (roda 4) yang telah ada di sekitar pusat aktifitas masyarakat (pasar), dipandang sebagai suatu kebijakan jangka panjang yang sangat adil dalam mendukung tercapainya peralihan sistem perladangan bergilir/berpindah ke sistem pertanian menetap dan secara bersamaan mendukung peyelamatan keberadaan salah satu ekosistem hutan hujan tropika yang masih tersisa. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Perubahan-perubahan dalam sistem perladangan dan pengelolaan lahan pertanian secara umum sebagai akibat dari kebadaan jalan transportasi dan pasar hanya terjadi pada kampungkampung adat dalam radius 4 km. Perubahan yang sangat jelas adalah pergeseran fungsi ladang yang sebelumnya hanya sebagai penghasil bahan pangan untuk konsumsi sendiri, telah berkembang menjadi salah satu sumbermata pencaharian, yang dicirikan dengan semakin beragamnya komoditi tanaman pangan dan holtikultur, selain perubahan komoditi kebun ke komoditi yang dipandang lebih cepat menghasilkan dan lebh tinggi nilai jualnya. Implikasi bagi para pemangku kebijakan pembangunan daerah adalah dengan lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas jaringan jalan yang telah ada di sekitar pusat aktifitas masyarakat daripada membangun jaringan transportasi baru ke arah pedalaman. Kebijakan ini dipandang sebagai kebijakan hasil kompromi antara pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA Asysyifa, Karakteristik sistem perladangan suku dayak meratus kecamatan loksado kalimantan selatan. Jurnal Hutan Tropis Borneo (25): Chomitz K.M., and Gray D. A., Roads, land use, and deforestation: a spatial model applied to belize. The World Bank Economic Review 3(10): Fithria A., Gunawansyah, Badaruddin & Hafizianor., Perubahan penutupan lahan di sub-sub das amandit. Jurnal Hutan Tropis 13 (2): Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

21 Fox j, D. Minh Truong, A. T. Rambo, Ng.P. Tuyen, Le Trong Cuc and S.Leisz, Shifting Cultivation: A New Old Paradigm for Managing Tropical Forests. BioScience (2000) 50 (6): Hardiyanti F.S., Taufik K., Gandharum L. & Rambo, Pemantauan kerusakan ingkungan wilayah Meratus, Kalimantan Selatan dari citra landsat-tm dengan kajian geografis. Jurnal 'PenginderaanJauh 3(1): Mulyoutami, E., van Noordwijk, M., Sakuntaladewi, N. dan Agus, F Perubahan Pola Perladangan: Pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Offce. 101p. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

22 KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DAN POLA AGROFORESTRI DI KELURAHAN KALAMPANGAN KOTA PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH Daniel Itta, Asysyifa, Trisnu Satriadi Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Dhanit_141@yahoo.com ABSTRAK Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m (Widjaya Adhi et al., 1992 ). Lahan gambut yang dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono, 2003). Kendala yang dihadapi dalam budidaya sayuran di lahan gambut dangkal adalah : kandungan Fe dan Al tertukar tinggi, ph tanah mencapai 3.1, kandungan K, Ca dan Mg sangat rendah (Hilman et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan dan pola agroforestri lahan gambut. Metode penelitian adalah metode survei langsung dilapangan dengan pengambilan sampel tanah dengan mempergunakan ring sampel dan ditentukan secara purposive. Sampel tanah yang telah diambil kemudian dianalisis dalam laboratorium tanah. Untuk mengukur sifat kimia tanah dengan menggunakan metode Walkley dan Black. Sifat fisika tanah dianalisis berdasarkan Method of soil Analisis Part 1. Physical and Mineralogical Methods. Penetuan pola agroforestri melalui pendekatan menghitung nilai NPV dan B/C ratio. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, untuk tanaman jagung,sawi,cabai dan bawang prei ternyata persyaratan temperatur, tekstur, KTK, C, ESP, bahaya erosi, lereng dan batuan dipermukaan masuk dalam golongan sangat sesuai, sedangkan curah hujan, drainase, KB, masuk dalam golongan cukup sesuai dan kedalam gambut, dan ph masuk kategori S3 (sesuai marginal). Kesimpulan hasil analisis kesesuaian lahan maka lahan gambut untuk budidaya tanaman jelutung masuk kategori sesuai (S1) dan untuk tanaman semusim masuk dalam kategori cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas. Pola agroforestri empat kombinasi tanaman yang terbaik adalah jelutung,jagung,sawi dan bawang peri. Keberadaan tanaman di lahan gambut karena adanya keseimbangan alami dimana ada daya dukung dan kesesuaian jenis tanaman, yang disebabkan adanya penambahan input berupa bahan anorganik. Namun konsekuensinya bahwa adanya penambahan input akan mempercepat proses dekomposisi sehingga menyebabkan terbentuknya asam-asam organik seperti CO 2, NH 4 dan menyebabkan terjadinya subsiden. Kata kunci : Karakteristik, lahan, gambut, Agroforestri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m (Widjaya Adhi et al., 1992 ). Lahan gambut yang dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono, 2003). Kendala yang dihadapi dalam budidaya sayuran di lahan gambut dangkal adalah : kandungan Fe dan Al tertukar tinggi, ph tanah mencapai 3.1, kandungan K, Ca dan Mg sangat rendah (Hilman et al., 2003). B. Tujuan Penelitian Mengidentifikasi karakteristik lahan gambut dan menganalisis pola agroforestri yang memberikan nilai manfaat. 344 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

23 II. METODE PENELITIAN Data yang diperluhkan berupa data primer data sehunder. Metode pengambilan tanah dengan menggunakan ring sampel. Jumlah sampel sebanyak 6 yang lokasi pengambilannya ditentukan secara purposive pada lokasi penelitian. Sampel tanah yang telah diambil kemudian dianalisis dalam laboratorium tanah dengan menggunakan metode berdasarkan unsur yang akan dianalisis. Data sekunder diperoleh melalui tinjauan pustaka pada instansi Dinas Tansmigrasi, Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan serta Balai Penelitian Hutan Banjarbaru Data tanah yang terkumpul dianalisis dalam laboratorium. Unsur yang akan dianalisis berupa sifat kimia tanah dan sifat fisika tanah. Untuk mengukur sifat kimia tanah dengan menggunakan metode Walkley dan Black yang dikemukakan oleh Nelson and Sommer. Sifat fisika tanah yang meliputi tekstur tanah dianalisis berdasarkan Method of soil Analisis Part 1. Physical and Mineralogical Methods. Untuk mengukur total nitrogen dengan menggunakan metode Kjehdahl yang dikemukakan oleh Bremer and Malvaney, sedangkan untuk menganalisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan Methods of Soil Part 2: Chemical and Microbiological Properties yang dikemukakan oleh Rhoades (1982). Untuk menentukan pola agroforestri maka dianalisis melalui pendekatan analisis finalsial dengan menghitung NPV dan B/C ratio. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lahan Gambut di Kelurahan Kalampangan Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran lansung dilapangan serta hasil analisis laboratorium, maka karakteristik lahan gambut eks Transmigrasi di Kelurahan Kalampangan disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Karakteristik Lahan Gambut di Kelurahan Kalampangan Kota Palangka Raya. N0 Karakteristik Lahan Hasil pengukuran Keterangan 1 Temperatur Pengukuran 2 Curah hujan rata-rata ( ) 280.mm Analisis 3 Drainase Baik Pengamatan 4 Tekstur Agak halus Analisis Lab 5 Kedalaman gambut > 200 cm Pengukuran 6 Kematangan gambut Saprik,Hemik Pengamatan 7 KTK liat (cmol) 38,89 Analisis Lab 8 Kejenuhan Basa (%) 21,62 Analisis Lab 9 Ph 5,14 Analisis Lab 10 C organik 16,69 Analisis Lab 11 Salinitas 0 Pengamatan 12 Lereng (%) 0-3 Pengukuran 13 Bahaya erosi Ringan Pengamatan 14 Batuan di permukaan 0 Pengamatan Sumber : Pengolahan data primer 2012 Berdasarkan Tabel 1, type iklim pada lokasi penelitian termasuk type A menurut Smith dan Ferguson, artinya daerah basah. Lokasi penelitian mempunyai kedalaman gambut lebih dari tiga meter artinya tergolong gambut dalam. Karakteristik fisik gambut mengandung kadar air tanah berkisar antara % dari berat keringnya (Mutalib et al.,1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan bulk density (BD) menjadi rendah, gambut menjadi Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

24 lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al.,1997; Wijaya Adhi,1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g g cm-3 tergantung pada tingkai dekomposisinya. Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja Adhi, Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,1996) Secara umum sifat tanah gambut antara lain : a. Kandungan bahan organik yang tinggi karena tanah berasal dari sisa tanaman mati dalam keadaan penggenangan permanen. b. Kadar hara makro tidak seimbang. c. Kadar hara mikro sangat rendah. d. Daya menahan air sangat besar dan jika mengalami kekeringan, tanah mengalami pengerutan. e. Jika dilakukan pembuangan air (drainase) permukaan tanah mengalami penurunan (subsiden) Untuk menentukan jenis tanaman apa yang sesuai dengan karakteristik lahan eks Transmigrasi di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangkaraya maka hasil analisis dan pengamatan langsung di lapangan dibandingkan dengan standar kesesuaian lahan untuk masing-masing tanaman, baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman semusim. B. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman 1. Tanaman Jagung Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman jagung ternyata persyaratan temperatur, tekstur, KTK, C, ESP, bahaya erosi, lereng dan batuan dipermukaan masuk dalam golongan sangat sesuai, sedangkan curah hujan, drainase, KB, masuk dalam golongan cukup sesuai dan kedalam gambut, dan ph masuk kategori S3 (sesuai marginal). 2. Tanaman Sawi Tanaman sawi berdasarkan kesesuaian lahan termasuk kategori S3, namun bisa ditingkatkan ke kategori S2 (cukup sesuai) dengan jalan pemberian kapur, abu dan pupuk kandang. Perubahan dari kategori S3 menjadi S2 maka dapat disimpulkan bahwa untuk tanaman jagung cukup sesuai di usahakan di lahan gambut yang tebal dengan beberapa faktor pembatas. Unsur yang dapat dilakukan perbaikan seperti menaikkan ph, perbaikan drainase, dan penurunan KB melalui penambahan bahan organik. 3. Cabai Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman cabai ternyata persyaratan temperatur, KTK, C, ESP, bahaya erosi,lereng dan batuan dipermukaan masuk dalam golongan sangat sesuai, sedangkan curah hujan, drainase, tektur, KB masuk dalam golongan cukup sesuai dan kedalam gambut dan ph masuk kategori S3 (sesuai marginal). 4. Tanaman Bawang Prei Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan pada untuk tanaman bawang prei ternyata persyaratan temperatur, CH, KTK, C, ESP, bahaya erosi, lereng dan batuan dipermukaan masuk 346 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

25 dalam golongan sangat sesuai, sedangkan drainase, tekstur dan KB masuk dalam golongan cukup sesuai dan kedalam gambut dan ph masuk kategori S3 (sesuai marginal) C. Jenis Vegetasi yang Ditemukan di Lokasi Penelitian Jenis vegetasi yang berada dilokasi penelitian lahan eks Transmigrasi di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis Vegetasi yang ditemukan di lahan gambut di Kelurahan Kalampangan Kota Palangkaraya. N0 Nama Daerah Nama Botani 1 Jelutung Dyera lowii 2 Galam Eugenia sp 3 Rambutan Nephelium lappeceum 4 Durian Durio Zebethinus Murr 5 Salak Salaacca zalacca Voss 6 Rumput liana Nephenthes melamphora BI 7 Rumput rawa Cyperus umbellatus Thw 8 Tai-tai Lithocarpus lucidus Boeri 9 Paku merambat Stenochlaena palustris 10 Paku tanah Nephrolepis exaltata 11 Pandan duri Pandanus sp 12 Pasir-pasir Urandra secondiflora O.Ktze 13 Pisang-pisang Mezzatia parvifolia Becc Tanaman Native 14 Jagung Zea mays 15 Sawi Brassica rugosa FRAIN 16 Cabai Capsicum annuum 17 Bawang prei Allium porrum 18 Kacang panjang Vigna sinensis ENDL Sumber : Pengelolaan data primer tahun 2013 Lahan gambut eks transmigrasi di desa Kalampangan berdasarkan peta penutupan lahan merupakan semak belukar, artinya lahan tersebut sudah terbuka. Berdasarkan kenyataan tersebut untuk menghutankan kembali dan disamping itu masyarakat transmigrasi dapat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhannya maka diterapkan suatu pola Agroforestri. Melalui pola Agroforestri dapat memperbaiki iklim mikro dengan adanya tanaman kehutanan (tanaman tahunan). Gambar 1. Penyiapan lahan untuk tanaman sela diantara tegakan Jelutung Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

26 D. Pola Agroforestri Tabel 3. Pola Agroforestri Empat Kombinasi Tanaman Di Lahan Gambut Eks Transmigrasi di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kalteng. N0 Jenis Tanaman Pendapatan Biaya Nilai Manfaat B/C (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) 1 Jelutung + Jg + S + C ,5 2 Jelutung + Jg + S + BP ,5 3 Jelutung + Jg + C + BP ,1 4 Jelutung + S + C + BP ,250 4,0 Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan Tabel 3 di atas pola agroforestri dengan kombinasi empat jenis tanaman (inter planting), yang memberikan nilai manfaat besar setelah dikurangi dengan biaya adalah pola agroforestri jelutung + jagung + sawi + bawang prei dengan nilai manfaat ekonomi untuk satu kali musim panen adalah sebesar Rp /ha/musim, dengan nilai B/C > 1 yaitu 4,5 yang artinya menguntungkan. Gambar 2. Tanaman Jelutung dengan jagung Gambar 3. Tanaman Jelutung, Sawi, Bawang Prei 348 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

27 IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Kawasan gambut yang tebal seharusnya masih virgin, yang hanya diperuntukan sebagai kawasan konservasi, tetapi kenyataannya sudah terbuka karena dimanfaatkan oleh masyarakat. Karakteristik lahan gambut yang berada di eks transmigrasi sudah mengalami perubahan sifat fisik dan kimia, karena sifatnya yang rapuh (fragile). Adanya kegiatan di lahan gambut tebal maka maknanya sudah berubah pada tingkat kematangan yaitu bersifat saprik dimana sudah mengalami perombakan (dekomposisi) sehingga nilai KTK meningkat. Konsekuensi bahwa akan terjadi pemadatan yang berdampak kepada penurunan permukaan lahan gambut (subsiden). Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memanfaatkan kawasan gambut yang tebal karena sangat rentan. 2. Pola agroforestri pada lahan gambut dengan empat kombinasi tanaman sela, dan yang memberikan nilai manfaat tinggi adalah kombinasi antara Jelutung, Jagung, Sawi dan Bawang Prei B. SARAN 1. Pemanfaatan lahan gambut yang tebal perlu pengetahuan tentang teknik pertanian yang benar dan perlu kehati-hatian, sehingga tidak menimbulkan dampak lingkungan. Sistem pengelolaannya mengacu kepada system Relay planting dimana system ini, lahan gambut tidak terbuka semua sehingga dapat mengurangi peningkatan emisi CO 2. Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu dalam keadaan terbuka yang memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan pola tanam yang memungkinkan lahan gambut tidak terbuka semuanya saat penggantian tanaman berikutnya. 2. Pemilihan jenis tanaman di lahan gambut selalu berpedoman kepada kemampuan tanaman beradaptasi dengan lingkungan gambut, sehingga diharapkan mampu untuk berproduksi (mampu memberikan nilai ekonomi). Karena alam memberikan insentive untuk kebutuhan manusia maka perlu pengelolaan yang arif dan bijaksana sehingga keseimbangan alam tetap terjaga untuk mempertahankan kelestariannya sebagai fungsi produksi dan fungsi ekologis. DAFTAR PUSTAKA Hilman, Y., A. Muharam, A. Dimyati Teknologi agro-produksi dalam pengelolaan lahan gambut. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pertnian Lahan Gambut. Pontianak Desember Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Bagdan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 15 hal. Kristijono, A Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Agro-Industri : Tantangan dan Peluang. Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Gambut.Pontianak Desember Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 11 hal. Lahjie, AM Teknik Agroforestri. Universitas Mulawarman Samarinda. Notohadiprawiro, T., Etika Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan. Lokakarya Pengelolaan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan Gambut. Palangkaraya: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL). Nuzakiah,S.dan Achmad I Potensi dan Kendala Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balitra) Kalimantan Selatan. Agroscientiae.11(1):37-42 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

28 Subagyo, Marsoedi dan Karama, S., Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian dalam Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian pada Lahan Gambut, 26 September Bogor. Wijaya.Adhi, I.P.G,. K. Nugroho, D. Ardi S., A.S.Karama Sumberdaya Lahan Rawa Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam : Sutjipto, P. dan Mahyudin Syam. (eds). Pengebangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Bogor, 3-4 Maret P Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

29 AGROFORESTRI KOMPLEKS DI BANTAENG SULAWESI SELATAN : PENTINGNYA PERAN PETANI SEBAGAI AGEN PENYANGGA KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN Dienda C.P. Hendrawan, Degi Harja, Subekti Rahayu, Betha Lusiana, Sonya Dewi World Agroforestry Centre (ICRAF) d.hendrawan@cgiar.org ABSTRAK Sistem agroforestri dianggap mampu menjalankan sebagian fungsi ekologi hutan, termasuk dalam mempertahankan keanekaragaman hayati tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh intervensi manusia/petani dalam mempertahankan keanekaragaman hayati tumbuhan di lahan pertanian. Koleksi data mencakup 133 plot dari 30 orang petani yang tersebar di 15 desa di Kabupaten Bantaeng. Petak contoh berukuran 50 m x 40 m ditempatkan pada masing-masing unit pengelolaan lahan contoh untuk pengamatan tingkat pohon, sub-petak berukuran 10 m x 10 m, 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m masingmasing sebanyak tiga buah dibuat secara bersarang untuk pengamatan tiang, pancang dan semai. Semua jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dicatat dan ditanyakan asal-usul bibit atau benihnya kepada pemilik lahan. Plot petani yang diamati terdiri atas 48% agroforestri kompleks, 33% agroforestri sederhana, 8% agroforestri kayu dan 11% tumbuhan semusim. Regenerasi alami merupakan mekanisme yang banyak dijumpai di lahan agroforestri kompleks (42%) dan lahan agroforestri kayu (33%), sedangkan tumbuhan di lahan agroforestri sederhana (37%) dan tumbuhan semusim (54%) berasal dari pembibitan. Secara keseluruhan 54% tumbuhan di lahan petani hadir karena intervensi manusia, sementara 46% karena faktor alami. Dari seluruh plot yang diamati, ditemukan 114 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, 3 spesies diantaranya termasuk komoditas utama di Bantaeng, yaitu Theobroma cacao, Ceiba pentandra, dan Coffea arabica. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tertinggi berada pada penggunaan lahan agroforestri kompleks dengan kisaran (1.9), sedangkan pada hutan alami berkisar antara (2.5). Hasil studi menunjukkan bahwa agoroforestri kompleks di Kabupaten Bantaeng mampu menyangga hingga 75% keanekaragaman hayati hutan. Kata kunci: agroforestri, intervensi manusia, jenis tumbuhan, regenerasi alami, Bantaeng I. PENDAHULUAN Keanekaragaman tumbuhan suatu lahan perkebunan dan pertanian merupakan komponen yang sangat penting dalam berbagai aspek seperti ketahanan pangan, perubahan iklim dan juga jasa lingkungan lainnya. Saat ini, penelitian-penelitian terkait sistem pertanian dan perkebunan yang sudah ada, sebagian besar terfokus terhadap ilmu sosialnya, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu alam seperti keanekaragaman dan fungsi tumbuhan pada umumnya masih kurang digali secara mendalam. Padahal kontribusi sistem pertanian terhadap keanekaragaman hayati di suatu lansekap perlu diketahui, agar potensi agrodiversitas, atau keanekaragaman tumbuhan pada suatu lahan agroforestri dapat dimanfaatkan dengan lebih baik (Guitart et al., 2012). Keanekaragaman tumbuhan pada lahan agroforestri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kesesuaian tumbuhan dengan kondisi lahan. Selain itu, faktor intervensi dari petani dalam manajemen lahan juga menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap keragaman tumbuhan (Ordonez et al. 2014). Faktor lingkungan, biologis, budaya, sosial ekonomi merupakan hal-hal yang mempengaruhi petani dalam menentukan manajemen lahan, termasuk dalam menentukan jenis tumbuhan yang akan dijadikan sebagai komoditas dan berapa proporsi dari komoditas tersebut terhadap komoditas lainnya (Sthapit, et. al., 2006). Unit analisis yang digunakan dalam penelitian itu yaitu unit sistem pertanian atau farming system(seluruh lahan yang dikelola oleh satu orang), dengan dasar pemikiran bahwa cara pengelolaan lahan pada satu orang yang memiliki beberapa lahan akan sama untuk setiap lahan yang dia miliki. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

30 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa penting peran petani sebagai pengelola lahan dalam menentukan kondisi lahan, khususnya keanekaragaman hayati tumbuhan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan, khususnya untuk praktisi dalam bidang pertanian dan perkebunan serta untuk bidang perencanaan dan pengelolaan lahan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantaeng yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, bantaeng berada di 05 o 21'23" - 05 o 35'26" Lintang Selatan dan 119 o 51'42"- 120 o 5'26" Bujur Timur. Bantaeng berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut dengan luas hamparan 395 km 2 dan kepadatan populasi sebanyak 446 jiwa / km 2. Lokasi petani dan lahan yang di survey berada di 15 desa yang tersebar di seluruh Bantaeng, yaitu Desa Pattaneteang, Kampala, Kayu Loe, Onto, Campaga, Pajukukang, Bonto Manai, Kaloling, Bonto Lojong, Pabumbungan, Pattalasang, Bonto Bulaeng, Bonto Karaeng, Bonto Salluang, dan Tanah Loe. B. Wawancara Petani Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data tentang petani dan jumlah lahan yang dimilikinya, serta asal tumbuhan yang ada di setiap lahannya. Dalam penelitian ini, dipilih 30 orang petani responden yang tinggal di 15 desa berbeda secara acak, 2 petani responden untuk tiap desa. Setiap petani diwawancara mengenai jumlah lahan yang dikelola, status kepemilikan, sejarah lahan, asal-usul tumbuhan, produksi komoditas dan kondisi lahan. Asal-usul tumbuhan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu terjadi secara alami dan prefernsi petani pengelola. Tumbuhan yang sudah ada sebelum lahan digarap dan tumbuhan yang berasal dari anakan alami dikelompokkan sebagai tumbuhan yang keberadaannya terjadi karena faktor alami, sementara tumbuhan yang berasal dari pemberian atau bantuan, pembibitan, dan dibeli, dikelompokkan sebagai tumbuhan yang keberadannya terjadi karena faktor preferensi dari petani sebagai pengelola lahan. C. Survei Vegetasi Selanjutnya, setiap lahan yang dimiliki oleh masing-masing petani disurvei untuk mengumpulkan data mengenaii jenis-jenis vegetasi yang dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh petani dengan membuat petak pengamatan seperti pada Gambar 1. Sementara, jenis vegetasi lain tidak dimanfaatkan atau tumbuhan liar yang biasanya dibuang oleh petani pengelola tidak diamati. 40x50 m, Diameter > 10 cm 10x10 m, Diameter 5 10 cm 5x5 m, Tinggi > 2 m, Diameter < 5 cm 2x2 m, Tinggi < 2 m Gambar 1. Skema petak pengamatan vegetasi 352 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

31 Dalam satu lahan, dibuat petak utama sebesar 40 m x 50 m untuk mengamati pohon berdiameter di atas 10 cm, kemudian dibuat sub petak bersarang dengan ukuran 10 m x 10 m untuk mengamati pohon berdiameter 5-10 cm, 5 m x 5 m untuk mengamati pohon berdiameter kurang dari 5 cm dan tinggi di atas 2 m, dan 1 m x 1 m untuk mengamati anakan pohon kurang dari 2 m sebanyak tiga set dan diletakkan di bagian ujung dan tengah lahan membentuk diagonal terhadap lahan. Pengukuran Jumlah individu setiap spesies yang masuk pada kategori setiap petak dan sub petak dihitung. D. Analisis data Analisa vegetasi dilakukan untuk melihat keragaman antar unit sistem lahan dengan menggunakan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diukur dengan rumus sebagai berikut: H' = - pi ln pi Dimana: pi = proporsi jumlah individu satu spesies terhadap total jumlah individu dari seluruh spesies. Dikelompokkan memiliki keragaman tinggi, jika H > 3, sedang jika H 1 3 dan rendah jika H <1. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Agroforestri di Bantaeng Sebanyak 133 unit lahan dari 30 petani responden diamati di Kabupaten Bantaeng dan diperoleh empat kelompok penggunaan lahan, yaitu agroforestri kompleks, agroforestri sederhana, agroforestri berbasis kayu dan tanaman semusim dengan fokus berbagai jenis (Gambar 2). Lahan yang disurvey AF Kompleks AF Sederhana AF Kakao AF jjgung AF Cengkeh AF Kopi AF Kayu AF Jati AF Sengon Tumbuhan semusim Sawah Palawija Jagungpalawijae Pinus - palawija Tipe Penggunaan Lahan Jumlah Lahan Agroforestri 66 kompleks Agroforestri 42 sederhana Agroforestri kayu 9 Tanaman semusim 16 AF Kapuk Gambar 2. Kelompok penggunaan lahan dengan jenis-jenis spesies dominannya di Kabupaten Bantaeng dan sebaran jumlah unit lahan pada masing-masing kelompok penggunaan lahan Secara umum, 48% (66 unit lahan) dari lahan yang diamati merupakan agroforestri kompleks, 33% (42 unit lahan) merupakan agroforestri sederhana, 8% (9 unit lahan) merupakan agroforestri kayu dan 11% (16 unit lahan) merupakan tumbuhan semusim. Unit lahan dikelompokkan sebagai agroforestri kompleks bila di dalamnya terdapat lebih dari 5 jenis pohon. Sementara, agroforestri sederhana terdapat kurang dari 5 jenis tumbuhan dengan dominasi tumbuhan tertentu, seperti: kakao, jagung, kopi, kapuk. Agroforestri kayu yang diamati adalah berbasis jati dan sengon. Tanaman semusim yang diamai adalah sawah, campuran jagung-palawija dan pinus-jagung. Tanaman jagung di dalam hutan pinus umumnya diusahakan di kawasan hutan negara. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

32 B. Asal-usul Tumbuhan Pada agroforestri kompleks, sebagian besar (63%) tumbuhan ada karena faktor alami (Gambar 3). Sementara itu, pada agroforestri sederhana, sebagian besar (55%) tumbuhannya ada karena preferensi pengelola. Perbedaan pada agroforestri kompleks dan agroforestri sederhana terletak dalam tumbuhan yang menjadi komoditas utama. Selain jumlah jenis tumbuhan yang lebih banyak (> 5 jenis) dibandingkan agroforestri sederhana, dalam agroforestri kompleks umumnya tidak ada jenis yang menjadi komoditas utama, sedangkan pada agroforestri sederhana, pengelola sudah menentukan jenis yang menjadi komoditas utama, namun tetap menyisipkan jenis lain sebagai naungan maupun sebagai pelengkap kebutuhan harian. Pada agroforestri dengan komoditas utama tumbuhan semusim, sebagian besar (83%) tumbuhan ada karena ditanam oleh pengelola, meskipun begitu 17% sisanya ada karena faktor alami, dan sebagian besar merupakan pepohonan. Penyisipan tanaman berbasis pohon merupakan contoh praktek penanaman tanaman semusim yang baik dari segi keanekaragaman tumbuhan. Pada agroforestri kayu, sebagian besar tumbuhan ada karena faktor alami. Dalam prakteknya, petani kayu banyak memanfaatkan anakan yang tumbuh secara alami dan mengatur penanamannya. Gambar 3. Asal tumbuhan yang ada pada tiap tutupan lahan C. Keanekaragaman Tumbuhan di Tipe Agroforestri Berbeda dan Tumbuhan Komoditas Dari total 133 lahan yang disurvei, diketahui terdapat 114 jenis tumbuhan yang digambarkan dalam grafik empat kuadran (Gambar 4). Kuadran pertama (Q1) berisi 10 jenis yang persebarannya berkelompok, kuadran kedua (Q2) berisi 3 jenis yang sering ditemui dalam jumlah yang cukup banyak, kuadran ketiga (Q3) berisi 13 jenis yang sering ditemui tetapi dalam jumlah sedikit, dan kuadran empat (Q4) terdapat 88 jenis yang hanya sesekali ditemui. Spesies yang berada di kuadran kedua antara lain: Theobroma cacao (kakao), Coffea arabica (kopi arabika), dan Ceiba pentandra (kapuk). Ketiga tumbuhan ini merupakan komoditas utama para petani di Bantaeng. Jenis tumbuhan pada kuadran satu umumnya merupakan tumbuhan semusim. Tumbuhan semusim di tanam berkelompok di suatu tempat dalam jumlah masal. Sementara itu jenis tumbuhan pada kuadran tiga merupakan jenis-jenis pelengkap yang juga bermanfaat dari segi ekonomi bagi petani di Bantaeng, namun tidak dijadikan komoditas utama. Jenis tumbuhan yang berada pada kuadran 1, 2 dan 3 disajikan pada Tabel Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

33 Gambar 4. Frekuensi dan jumlah individu per petak pengamatan pada 114 jenis tumbuhan yang diamati di Kabupaten Bantaeng Tabel 1. Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam jumlah banyak tetapi hanya di tempat tertentu (Q1), dalam jumlah banyak dan terdapat di banyak tempat (Q2), dan dalam jumlah sedikit tetapi ditemukan di banyak tempat (Q3) Q Nama spesies Nama lokal Q Nama spesies Nama lokal Daucus carota wortel Musa paradisiaca Pisang Allium cepa bawang merah Syzygium aromaticum Cengkeh Oryza sativa padi Gmelina arborea jati putih Zea mays jagung Toona sureni Suren Artocarpus Q1 Brassica rapa kubis heterophyllus Nangka Solanum lycopersicum tomat Gliricidia sepium Gamal Cinnamommum Q3 zeylanicum kayu manis Manihot esculenta Singkong Phaseolus vulgaris kacang panjang Carica papaya Pepaya Pinus merkusi pinus Lansium domesticum langsat Tectona grandis jati Albizia chinensis sengon Theobroma cacao coklat Sauropus androgynus katuk Q2 Ceiba pentandra kapuk Colocasia esculenta Talas Coffea arabica kopi arabika Mangifera indica Mangga Meskipun sedikit dari segi jumlah dan lebih jarang ditemukan, spesies yang terdapat pada kuadran 4 sangat mempengaruhi nilai dari keanekaragaman hayati. Dari sinilah sebagian besar keanekaragaman hayati berasal. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

34 D. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan pada agroforestry komplek, kayu, sedetrhana dan tanaman semusim masih tergolong sedang (Tabel 2), meskipun untuk tanaman semusim cenderung rendah. Apabila dibandingkan dengan hutan alam, rata-rata indeks keanekaragaman hayati pada agroforestry komplek adalah 75% dari hutan alam. Tabel 2. Indeks keanekaragam jenis tumbuhan pada berbagai kelompok tipe tutupan lahan Tipe Penggunaan Lahan Kisaran Indeks Keanekaragaman Agroforestri kompleks (1.9) Agroforestri sederhana (1.7) Tumbuhan semusim 0-2 (1.1) Agroforestri kayu (1.8) Hutan alami (2.5) E. Pengaruh Manajemen Lahan terhadap Kondisi Agroforestri Dari hasil keseluruhan, diketahui bahwa 54% tumbuhan di lahan petani hadir karena faktor pengelolaan dan 46% lainnya berasal karena faktor alami. Jenis-jenis yang hadir karena faktor alami umumnya jenis yang dimanfaatkan dalam jangka penjang sebagai tabungan, sedangkan jenis-jenis yang hadir karena faktor pengelolaan adalah tanaman sumber pendapatan utama. Faktor pengelolaan meliputi preferensi komoditas yang diinginkan petani dan akses terhadap bibit, sementara itu faktor alami utamanya adalah kesesuaian jenis tumbuhan dengan lahan. IV. KESIMPULAN Sistem agroforestri di Kabupaten Bantaeng memiliki keragaman sedang, berkisar antara rata-rata indeks keragaman sebesar 1.1 atau sekitar 72% dari indeks keragaman hayati hutan alami. Keberadaan jenis-jenis tumbuhan dalam sistem pertanian di Kabupaten Bantaeng masing seimbang antara faktor alam, 46% dan faktor preferensi pengelola, 54%. Jenis-jenis tumbuhan yang paling sering dijumpai dalam populasi banyak di Bantaeng adalah kakao, kapuk dan kopi karena jenis-jenis tersebut merupakan komoditi andalan sumber pendapatan di Kabupaten Bantaeng. Keanekaragaman hayati tetap dapat dipertahankan dengan sistem pengelolaan agroforestri yang baik, sehingga komoditas yang menguntungkan dari segi ekonomi pun masih dapat dibudidayakan. DAFTAR PUSTAKA Daniela Guitart, Catherine Pickering, Jason Byrne, Past results and future directions in urban community gardens research, Urban Forestry & Urban Greening, Volume 11, Issue 4, 2012, Pages , ISSN , Ordonez JC, Luedeling E, Tata Kindt HL, Harja D, Jamnadass R, van Noordwijk, M Constraints and opportunities for tree diversity management along the forest transition curve to achieve multifunctional agriculture. Current Opinion in Environmental Sustainability 6: Sthapit B.R., P. Shrestha and M.P. Upadhyay (eds) On-farm Management of Agricultural Biodiversity in Nepal: Good Practices. NARC/LI-BIRD/Bioversity International, Nepal. 356 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

35 PENGELOLAAN LAHAN DENGAN SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI PENYANGGA KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DAS LAKANSAI KABUPATEN BUTON UTARA Kahirun 1, Laode Sabaruddin 1, Mukhtar 2 1 Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, 2 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo irkahirun@gmail.com, ABSTRAK Kawasan hutan konservasi yang dikenal dengan nama Suaka Margasatwa Buton Utara memiliki potensi, peran dan fungsi yang sangat penting bagi ekosistem pulau Buton Utara, ditinjau dari aspek perlindungan habitat dan spesies endemik, dilindungi dan terancam punah kelangsungan ekosistem dan lingkungan, penyerapan potensi dan konservasi karbon, pengatiur tata air, pencegahan erosi dan banjir, penyedia sumber air bagi penduduk, dan fungsi ekologis lainnya. Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara memiliki potensi, peran dan fungsi secara sosial ekonomi bagi masyarakat setempat khususnya di DAS Lakansai mempunyai ketergantungan yang besar terhadap keberadaan kawasan hutan, diantaranya pemanfaatan kawasan menjadi ladang serta okupasi oleh sebagian penduduk. Pada sisi lain masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan yang kurang memadai mengenai arti penting dan peranan hutan konservasi sebagai daerah perlindungan sumber daya hayati (fungsi ekologis), penyediaan air, fungsi ekonomi dan fungsi sosial budaya. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey pada DAS mikro Lakansai, Buton Utara. Hasil penelitian memberikan solusi untuk mengurangi tingkat degradasi hutan di kawasan hutan konservasi maka di DAS mikro Lakansai Kabupaten Buton Utara dilakukan system pertanian agroforestri sebagai penyangga (buffer zone) hutan konservasi Buton Utara. Jenis-jenis tanaman campuran yang dikembangkan yakni pada bagian hulu DAS adalah masih hutan primer (status dan fungsi hutan konservasi) dengan jenis-jenis kayu rimba seperti. Biti, Kumbou, Gito-Gito, Kholea, Ringas, Jambu-jambu, Beringin, Soni, Bhenua Tubalakoro, Kayu Batu. Sedangkan pada lahan yang dijadikan kebun masyarakat berada pada bagian pertengahan DAS Lakansai terdiri dari pertanian campuran antara lain, kelapa dalam + pala + cengkeh, jambu mete, kakao dan kopi. Disamping itu ada kebiasaan petani setempat melakukan pertanian ladang dengan pola penanaman padi ladang + jagung + ubi kayu, kemudian setelah beberapa lama ditanami dengan tanaman jangka panjang seperti cengkeh atau pala. Dengan pola pertanian seperti ini memberikan kontribusi ekonomi masyarakat desa yang tinggi sehingga dapat mengurangi tekanantekanan pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal pada kawasan konservasi. Kata kunci: DAS mikro Lakansai; hutan konservasi; pengelolaan lahan; system agroforestri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan pelestarian alam adalah kawasan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Dengan demikian, daerah penyangga ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan pelestarian dan suaka alam, memberikan kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan kawasan konservasi. Kawasan hutan konservasi yang dikenal dengan nama Suaka Margasatwa Buton Utara memiliki potensi, peran dan fungsi yang sangat penting bagi ekosistem pulau Buton Utara, ditinjau dari aspek perlindungan habitat dan spesies endemik, dilindungi dan terancam punah kelangsungan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

36 ekosistem dan lingkungan, penyerapan potensi dan konservasi karbon, pengatiur tata air, pencegahan erosi dan banjir, penyedia sumber air bagi penduduk, dan fungsi ekologis lainnya. Hutan dengan fungsi sebagai kawasan konservasi atau kawasan lindung menuntut adanya perlindungan terhadap sumberdaya hayati dan ekosistem di dalamnya agar tetap terjaga dan dapat berguna dimasa mendatang bagi semua mahkluk hidup. Fungsi kawasan budidaya di sekitar kawasan suaka margasatwa Buton Utara sebagai daerah penyangga adalah sangat mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat, melalui usaha budidaya pertanian dengan menggunakan teknologi yang masih bersifat tradisionil dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya dilakukan pengembangan program pertanian terpadu melalui pembukaan lahan tanpa pembakaran, pemakaian herbisida yang tidak berdampak negatif, serta menetapkan pemukiman masyarakat desa lokasi yang tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan dan masyarakat akibat satwa liar (Setyawati dan Bismark, 2002). Sejalan dengan makin meningkatnya pengembangan wilayah di luar kawasan konservasi maka perlu penataan fungsi kawasan untuk meningkatkan nilai dan peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Di sisi lain adanya kepentingan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya memberi peluang pula terjadinya peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik kawasan secara illegal. Guna memadukan kepentingan ekonomi masyarakat tersebut dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan ekosistemnya, di antaranya adalah membangun daerah penyangga di luar kawasan konservasi (DISHUT, 2010) Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan sebagai model rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penyangga kawasan konservasi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas. Sebagai permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara pada saat ini sangat rentan terhadap ancaman dan gangguan perambahan dari masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan karena posisi kawasan hutan tersebut berbatasan langsung dengan lahan budidaya pertanian. Hal ini disebabkan karena disatu sisi adanya kecenderungan keterbatasan lahan untuk budidaya pertanian oleh masyarakat sementara di sisi lain luas kawasan hutan masih sangat luas. Selain masalah perambahan masalah lain adalah masalah pencurian kayu secara illegal (illegal logging), yang disebabkan karena keterbatasan lapangan pekerjaan dan mata pencaharian serta faktor moral. Kawasan hutan suaka margasatwa Buton Utara berada di bagian tengah daratan pulau Buton dan di sepanjang pesisir pantai merupakan tempat bermukim masyarakat. Di dalamnya terdapat beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang berukuran kecil sebagai ciri khas DAS yang berada pada wilayah kepulauan kecil, salah satunya adalah DAS Lakansai. B. Tujuan Penelitian: Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan gambaran mengenai karakteristik dan potensi kawasan hutan suaka margasatwa Buton Utara (kondisi tanah, DAS, potensi flora fauna dan penyebarannya, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar) dan, 2. Mengetahui pengelolaan lahan dengan system agroforestri di daerah penyangga kawasan hutan konservasi Buton Utara. II. METODE PENELITIAN 358 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

37 A. Waktu dan Lokasi Kegiatan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember Lokasi kegiatan penelitian ini adalah di Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara DAS Lakansai. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan sebagai obyek dalam kegiatan penelitian ini adalah lahan masyarakat yang berada di sekitar zona penyangga. Alat yang digunakan antara lain: peta kawasan hutan Kabupaten Buton Utara, Peta DAS Lakansai, kuesioner, tali rapia, counter, roll meter, kamera, GPS, personal use, tali plastik, papan data, tally sheet, altimeter, fee band dan alat tulis menulis. C. Rancangan Penelitian 1. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei lapangan dan wawancara. Jenis-jenis komoditas tanaman yang dikembangkan dikelompokkan ke dalam tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, sumber pangan dan sayuran. Pengumpulan data dilakukan pada DAS Lakansai dalam berbagai penggunaan lahan dan lokasi penanaman. Cara mengumpulkan data yakni dengan menelusuri dengan berjalan mulai dari muara sungai sampai dengan kawasan suaka margasatwa Buton Utara. Data yang dikumpulkan berupa jenis tanaman, pola agroforestri. Responden sebagai objek penelitian ditentukan secara purposive random sampling. 2. Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari: Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Utara, laporan hasil penelitian, studi literatur, informasi dari media internet dan buku-buku pustaka lainnya. 3. Analisa Data Data hasil pengamatan dan pengukuran selanjutnya dikompilasi dan ditabulasi dalam bentuk tabel dan selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Hutan Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara Kawasan hutan suaka margasatwa Buton Utara yang terletak di pulau Buton, tepatnya di Kabupaten Buton Utara meliputi Kecamatan Wakorumba Utara, Kulisusu Utara, dan Kulisusu Barat merupakan kawasan hutan suaka margasatwa terluas di wilayah Sulawesi Tenggara yaitu ± ha. Kawasan hutan suaka margasatwa Buton Utara ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 782/Kpts/Um/12/1979 tanggal 17 Desember Penunjukkan suaka margasatwa Buton Utara dilakukan sebagai salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan tropika yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan didalamnya memiliki kondisi hutan yang terdiri dari tiga formasi hutan yakni hutan primer, hutan sekunder dan padang savana serta merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi seperti: anoa, rusa, tarsius, dan berbagai jenis burung. Sehingga diperlukan tindakan pelestarian karena memiliki beberapa fungsi sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati beserta habitatnya, sebagai kawasan penyangga kehidupan serta sebagai kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas. B. Karakteristik DAS Lakansai Kepulauan Buton merupakan salah satu pulau yang masih dikategorikan sebagai pulau kecil dimana di ujung bagian utara terletak Kabupaten Buton Utara. Kurang lebih 50% dari luas wilayah Kabupaten Buton Utara adalah merupakan kawasan suaka margasatwa, di dalamnya banyak terdapat DAS yang berukuran kecil (DAS kecil). Salah satunya adalah DAS Lakansai dengan luas 5.336,98 hektar merupakan daerah tangkapan air (water catchment area) dengan luasan yang sempit sehingga menyebabkan air hujan yang tertampung dapat menyimpan air kedalam tanah dan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

38 mengalirkan air ke sungai sepanjang tahun. Hutan di DAS Lakansai pada umumnya tumbuh diatas kondisi tanah dengan solum tanah dangkal dengan kondisi geologi karst atau batuan kapur. Kondisi solum tanah yang dangkal menyebabkan pertumbuhan tanaman hutan di dominasi oleh jenis-jenis tanaman hutan yang memiliki pertumbuhan dan perkembangannya sangat lambat (Matinahoru dan Hitipeuw, 2005). Luas hutan konservasi di DAS Lakansai seluas 70 % dari luas DAS. Kawasan hutan tersebut berada pada bagian hulu DAS dan merupakan daerah tangkapan air. Sedangkan sisanya 30 % merupakan kawasan budidaya pertanian dimana terletak di bagian pertengahan dan muara DAS. Kawasan budidaya pertanian inilah dilakukan usaha pertanian campuran dengan hutan dalam bentuk hutan rakyat setempat dengan pola agroforestri sederhana dan tradisionil, mulai dari garis sempadan sungai sampai dengan daerah ketinggian. C. Pengelolaan Lahan Dengan Pola Agroforestri Hasil survey yang dilakukan menunjukkan bahwa hutan suaka margasatwa Buton Utara di DAS Lakansai ditemukan beberapa tumbuhan pohon. Potensi flora untuk tingkatan pohon, yang memiliki dominansi yang tinggi antara lain Gito-gito (Dyospiros pilosanthera), Bukumalampa, Wasa, Beringin, Jabon (Antocephalus chinensis), Kumbou, Biti (Vitex coffasus), Soni (Dillenia serrata), Korope, Kholea, Kase, Bayu, Ringas (Melanorhoea wailichi King), Jambu-jambu (Kjellbergiodendron celebicum), Bhenua, Tubalakoro, Kayu Batu (Maranthes corymbosa), Singi. Termasuk didalamnya jenis-jenis rotan-rotan seperti Rotan Lambang (C. ornatus var. celebicus), Rotan Batang (Daemonorops inops Werb.) dan Rotan tohiti ( Calamus simpisipus). Sebagaimana Uji (2005) menemukan di lokasi Suaka Margasatwa Buton Sulawesi Tenggara, sembilan jenis pohon dari 76 jenis pohon penghasil kayu bernilai ekonomi tinggi. Jenis-jenis pohon ini adalah biti / owala (Vitex coffasus), upi (Intsia palembanica), gufi (I. bijuga), nato (Palaquium bataanense), kuru (Elmerrilia ovalis), keu uti (Drypetes sibuyanensis), rumbai (Pterospermum celebicum), kondongia (Cinnamomum parthenoxylon) dan dongi (Dillenia serrata). Selain terdapat delapan jenis tumbuhan endemik, yaitu: rotan tohiti (Calamus inops), rotan lambang (C. ornatus var. celebicus),wiu (Licuala celebica), Pinanga celebica, soni (Dillenia serrata), gharu (Horsfieldia irya), Horsfieldia lanceifolia, dan nato (Palaquium bataanense). Pada lahan budidaya terdapat beberapa jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat setempat yakni dapat dikelompokkan berdasarkan tempat dan pola agroforestri yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pada sempadan sungai: Diusahakan berbagai jenis tanaman dengan pola agroforestri yakni: Kelapa + pala + cengkeh + Nangka Kelapa + pala + kakao + Nangka Pala + kemiri + kopi 2. Pada bagian ketinggian % di usahakan jenis tanaman yang di tanam secara campuran dengan pola agroforestri yakni: Jambu mete + kemiri + tumbuhan kayu Padi Ladang + ubi kayu + pisang 3. Pada bagian ketinggian > 25 % di usahakan jenis tanaman yang di tanam secara campuran dengan pola agroforestri yakni: Jabon + kakao Jati Jati putih Sengon Kayu Rimba campuran D. Sistem Agroforestri Sebagai Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi 360 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

39 Pengelolaan daerah penyangga adalah perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan pertanian sesuai dengan kondisi fisik kawasan untuk mendapatkan hasil optimal guna menunjang sistem perekonomian masyarakat lokal. Daerah penyangga kawasan hutan suaka margasatwa Buton Utara terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan produksi yang dikonversi dan hutan lindung. Khusunya di DAS Lakansai penyangga kawasan konservasi adalah langsung berbatasan dengan areal budidaya pertanian yang banyak menimbulkan alih fungsi lahan hutan. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat mengatasi permasalahan lahan dan hutan. Pada umumunya di sekitar lahan areal budidaya pertanian di kawasan suaka margasatwa Buton Utara telah menerapkan pola agroforestri dengan beberapa tanaman kehutanan seperti, jati, sengon, jati putih, jabon, sedangkan tanaman pertanian diantaranya, kakao, kopi, jambu mete, pala, cengkeh dan kelapa. Secara spesifik di DAS Lakansai pola agroforestri yang dikembangkan di areal budidaya dampak positif terhadap ketersediaan hara akibat banyaknya seresah tumbuhan dan kapasitas penangkapan hara pada lapisan tanah dalam. Kapasitas penangkapan hara dari pohon dari horison tanah dalam dapat memperkaya ketersediaan hara dalam sistem tanah-tanaman dan juga mengurangi jumlah hara yang hilang akibat terbawa dari aliran permukaan melalui run off dan pencucian sebagai penyebab sumber polusi pada tubuh air (Michel et al., 2007). Demikian pula dengan penutupan lahan pada bantaran sungai merupakan zona penyangga (buffer zone) terhadap laju aliran permukaan dan peningkatan kualitas air sungai. Hal ini terlihat bahwa sungai Lakansai tetap mengalir dengan debit yang normal sepanjang tahun atau fluktuasi debit sungai kecil meskipun dalam kondisi iklim ekstrim. Keuntungan peningkatan kualitas air pada sistem penyangga bantaran sungai merupakan salah satu prinsip dan tujuan dalam praktek agroforestri (Garrett, 2009). Disimpulkan bahwa, penyangga hutan di bantaran sungai dapat mengurangi jumlah sedimen, hara dan pestisida yang terbawa dari aliran air (Schultz et al., 2009; Nair, 2011). Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk upaya rehabilitasi lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, telah memprogramkan pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry. Sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang dipadukan dengan model agroforestry diharapkan dapat melestarikan hutan alam melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di areal masyarakat atau di lahan kritis. Program ini perlu diadakan di sekitar kawasan konservasi dengan pengembangan model tersebut di daerah penyangga, untuk meningkatkan kesejahteraan dan persepsi masyarakat dalam perlindungan kawasan pelestarian alam. Praktek agroforestry yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, melalui hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan sebenarnya telah berkembang lama di masyarakat. Sistem tersebut merupakan pengetahuan empirik yang dihimpun dalam kurun waktu yang panjang akibat dari ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Agroforestry yang dikembangkan masyarakat petani menghasilkan hasil hutan non kayu sebagai hasil utama. Secara ekologis berfungsi sebagai hutan alam karena stratifikasi tajuk dari perpaduan jenis tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk buah-buahan dan tanaman jenis pohon yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta, 1995). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara memiliki potensi, peran dan fungsi yang sangat penting bagi ekosistem pulau Buton Utara, dalam ditinjau dari aspek perlindungan perlindungan habitat dan spesies endemik, dilindungi dan terancam punah kelangsungan ekosistem dan lingkungan, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

40 penyerapan potensi dan konservasi karbon, pengatiur tata air, pencegahan erosi dan banjir, penyedia sumber air bagi penduduk, dan fungsi ekologis lainnya. 2. Kawasan Suaka Margasatwa Buton Utara memiliki potensi, peran dan fungsi secara sosial ekonomi bagi masyarakat tempatan dalam bentuk ketergantungan yang besar terhadap keberadaan kawasan hutan, diantaranya pemanfaatan kawasan menjadi ladang serta okupasi oleh sebagian penduduk. Pada sisi lain masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan yang kurang memadai mengenai arti penting dan peranan kawasan sebagai daerah perlindungan sumber daya hayati (fungsi ekologis), penyediaan air, fungsi ekonomi dan fungsi sosial budaya. 3. Daerah penyangga kawasan suaka margasatwa Buton Utara sangat penting dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. 4. Pemanfaatan lahan dalam bentuk hutan rakyat memberikan manfaat secara ekonomis maupun ekologis bagi kawasan suaka margasatwa Buton Utara dan bagi masayarakat desa sekitar hutan. 5. Peranan vegetasi pada pola agroforestri di daerah penyangga sangat berpengaruh positif dalam upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, terutama di satu sisi meningkatkan produkstivitas lahan dan di sisi lain juga meningkatkan kualitas lingkungan baik tanah, air dan hutan. B. Saran 1. Perlu dukungan pemerintah baik pemerintah daerah maupun di atasnya untuk mengelola daerah penyangga dengan mengembangkan kegiatan pemulihan/rehabilitasi pada kawasan yang terganggu terutama pada zona penyangga dan Daerah Aliran Sungai (DAS). 2. Perlu desain daerah penyangga dengan tujuan untuk produktivitas pertanian di satu sisi namun disisi lain bertujuan untuk konservasi sumberdaya lahan sehingga tercapai suatu keberlanjutan ekonomi maupun ekologis. 3. Lahan kritis di daerah penyangga perlu diatasi melalui pengembangan hutan rakyat dengan pola agroforestry. 4. Perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut di kawasan suaka margasatwa Buton Utara terhadap potensi flora fauna yang memiliki nilai ekonomi dan sosial dan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA DISHUT, Inventarisasi Potensi Hutan Suaka Margasatwa Buton Utara, Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Utara, Buranga, Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Garrett, H.E North American agroforestry: An integrated science and practice. 2nd ed. ASA, Madison, WI. Matinahoru, J.M dan J. Hitipeuw Kerusakan hutan dan perladangan berpindah pada beberapa desa enclave di Maluku. Majalah EUGENIA, Publikasi Ilmiah Pertanian. Fakultas Pertanian, Usrat Manado. Michel, G.A., V.D. Nair, and P.K.R. Nair Silvopasture for reducing phosphorus loss from subtropical sandy soils. Plant Soil 297: Michon, C.T. and de Foresta H The Indonesia Agroforest Model. Forest Resource Management and Biodiversity Conervation. The Role of Traditional Agro Ecosystems. IUCN: P Dalam Agroforest Khas Indonesia, de Foresta et al., ed Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

41 Nair, P. K. R., Agroforestry System and Environmental Quality: Introdution, Journal Environ. Qual. : Schultz, R.C., T.M. Isenhart, J.P. Colletti, W.W. Simpkins, R.P. Udawatta, and P.L. Schultz Riparian and upland buffer practices. p Setyawati, T. dan M. Bismark Prioritas Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan di Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 3 (2) : Uji,T Keanekaragaman dan Potensi Flora di Suaka Margasatwa Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Jurnal Biodiversitas Vol. 6 No. 3. UNS Solo. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

42 PENGHIJAUAN DI DAS KALIKONTO: KESUBURAN TANAH DI SISTEM AGROFORESTRI PASCA ERUPSI GUNUNG KELUD Kurniatun Hairiah 1, Didik Suprayogo 1, Mega Apriyanti 2, Yudhistira Wharta Wahyudi 2, dan Nurul Qhomariyah 2 1 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2 Alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya k.hairiah@cgiar.org ABSTRAK Sebagai bagian dari program penghijauan di DAS Kalikonto, pada tahun 2011 pemerintah RI bersama petani menanam bibit pohon KBRSengon, Kakao, dannangka di beberapa lahan agroforestry (AF) di Kabupaten Malang. Kegiatan KBR berhasil cukup sukses, namun tahun 2014 salah satu lokasi KBR (kecamatan Ngantang)rusak terkena dampak erupsi Gunung Kelud. Sebagai dasar reklamasi lahan, penelitian dilakukan untuk mengevaluasi dampak erupsi Kelud terhadap kondisi fisika tanah (BI, BJ dan infiltrasi tanah), kimia tanah (ph, P tersedia), dan biologi tanah (cacing tanah). Survey lapangan dilaksanakan pada April-Agustus 2014, di dua lokasi KBR di Desa Waturejo (Kecamatan Ngantang) yang terkena dampak abu vulkan (+Abu)dandi Desa Wonosari(Kecamatan Wonosari) yang tidak terkena abu vulkan (-Abu). Survey dilakukan di lahan AF-Kakao, AF- Sengon, dan AF-Nangka, masing-masing dipilih 5lahan pewakil sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan ukuran abu vulkan di permukaan tanah bervariasi antar lahan, tergantung pada besarnya Luas Bidang Dasar(LBD) pohon, bentuk kanopi pohon (Crown Form=CF) dan posisi kanopi pohon di sekitarnya (Crown Position=CP). Hasil uji korelasi dan regresi menunjukkan bahwa banyaknya masukan partikel abu halus (ukuran 0,5 mm dan 0,025 mm) ke tanah adalah berhubunganpositif nyata dengan meningkatnyaluas bidang dasar (LBD) pohon.sedangkan variasi partikel abu kasar (ukuran >2 mm) berhubungan nyata dengan jumlah pohon type CP4 (kanopi terbuka) (R 2 = 0,29), semakin banyak pohon dengan tipe CP4, maka semakin banyak abu kasar yang masuk. Adanya masukan abu vulkan ke tanah AF, infiltrasi di permukaan tanah (0-10 cm) menjadi lebih lambat,rata-rata2,69 cm jam -1 (lokasi +Abu) dan 3,10 cm jam -1 (-Abu). Hal tersebut berhubungan erat dengan faktor lingkungan tanah (bobot isi tanah dan berat kering seresah) dari pada dengan jumlah abu vulkan. Adanya abu vulkanmenurunkan ph tanah, namun kadar P tersedia meningkat 3x hingga 5x bila dibandingkan P-tersedia di ( Abu) rata rata 0,28 mgkg -1. Populasi (J) dan biomasa (B) cacing tanahdi tanah (+Abu)> di (-Abu), namun ukuran cacing tanah (B/J)lebih kecil. Besarnya populasi cacing tanah berhubungan lebih kuat dengan persentase masukan partikel pasir daripada dengan masukan seresah (R 2 pasir = 0,58> R 2 seresah= 0,30 ; n=30), semakin meningkat masukan partikel pasir kedalam tanah makaukuran cacing tanah semakinkecil. Kata kunci: Agroforestry, Kebun Bibit Rakyat (KBR), Abu vulkan, Infiltrasi tanah, Tutupan kanopi pohon I. PENDAHULUAN Program reboisasi (penghijauan)telah berjalan cukup lama baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan, tujuannya adalah untuk mereklamasi lahan-lahan terdegradasi dengan jalan menanam beberapa jenis pohon agar pendapatan masyarakat meningkat dan kondisi lingkungan membaik. Guna melaksanakan penghijauan tersebut dibutuhkan bibit pohon yang dikehendaki masyarakat dan sesuai dengan kondisi lingkungannyadalam jumlah cukup banyak, untuk itu pemerintah melakukan kerjasama dengan masyrakat dalam penyediaan bibit pohon melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR) (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut- II/2011). Bibit-bibit pohon hasil KBR tersebut ditanam bersama dengan beberapa jenis pohon lainnya dalam sistem agroforestrypada lahan-lahan terdegradasi milik masyarakat. Penanaman bibit KBR dilaksanakan pada tahun 2011 dibeberapa tempat di Kabupaten Malang, dengan jenis tanaman kayu yang banyak diminati adalah Sengon (Paraserianthes falcataria), kakao (Theobromacacao), dan nangka (Artocarpus heterophyllus) (BPDAS Brantas, 2012). Penanaman pohon pada lahan kritis dapat memperbaiki tingkat kesuburan tanah baik kimia, fisik dan biologi, karena pohon berperan dalam 364 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

43 mengatur iklim mikro, mempertahankan bahan organik dan ketersediaan harasehingga bermanfaatbagi organisme tanah(young, 1989). Namun demikian, pada tanggal 13 Februari 2014 telah terjadi Erupsi Gunung Kelud yangmengeluarkan material vulkanik menutup tanaman dan permukaan tanah, sehingga menyebabkan kerusakan tanaman dan perubahan karakteristik tanah baik fisik, kimia maupun biologi (Wilsonet al., 2007). Shoji dan Takahashi (2002) melaporkan bahwa dalam jangka pendek masukan abu vulkan merugikan karena dapat menurunkan ph tanah menjadi masam, sehingga ketersediaan P menurun dan konsentrasi Al meningkat.permukaan tanah yang tertutup abu vulkan menjadi padat keras seperti semen terutama setelah turun hujan (Wilson et al., 2007), sehingga potensi terjadi erosi meningkat dan kadar sedimen air sungai akan meningkat. Tingkat kerusakan lahan pascaerupsi bervariasi antar lokasi, tergantung antara lain pada jaraknya terhadap sumber letusan, posisinya dalam lanskap, arah dan kuatnya agin saat erupsi, dan tergantung pula dari tutupan vegetasinya. Tingkat kerapatan tutupan pohon yang tinggi dapat memberikan perlindungan tanah yang baik sehingga dampak merugikan erupsi gunung berapi dapat ditekan. Strategi reklamasi lahan petanian yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud tidak bisa secara serentak diseragamkan, tergantung pada tingkat kerusakan tanah yang terjadi baik dari aspek fisika, kimia dan biologi serta lingkungan di sekitarnya. Upaya tersebut masih jarang dilakukan, pada umumnya evaluasi kerugian hanya difokuskan kepada jenis masukan mineral tanah atau perubahan karakteristik tanah dan upaya mereklamasinya saja. Untuk itu penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi dampak erupsi Gunung Kelud terhadap porositas, kemasaman dan kadarp. II. BAHAN DAN METODA A. Tempat dan Waktu Penelitian Survey dilakukan pada bulan April Juni 2014di salah satu desa KBR yang terparah terkena dampak erupsi Gunung Kelud yaitu Desa Waturejo (+Abu) di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Desa Waturejo terletak di ketinggian m d.p.l. Sebagai pembanding, pengukuran dilakukan pula di desa KBR lainnya yang memiliki batuan induk yang sama tetapi tidak terkena dampak erupsi Gunung Kelud yaitu di Desa Wonosari (-Abu), Kecamatan Wonosari, yang terletak di lereng Gunung Kawi. Menurut klasifikasi Oldemann kondisi iklim dikedua lokasi berbeda, dimana iklim di desa Wonorejo termasuk type iklim A dengan jumlah bulan basah 10 bulan dan bulan kering 2 bulan dengan rata-rata curah hujan per tahun sekitar 4334 mm/tahun (data tahun ). Sedangkan iklim di desawonosari, termasuk iklim tipe B dengan jumlah bulan basah sebanyak 9 bulan dan bulan kering 3 bulan, rata-rata curah hujan lebih rendah yaitu sekitar 2124 mm/tahun. Karakteristik tanah di kedua lokasi disajikan dalam Tabel 1. Total C-organik tanah di Wonorejo lebih rendah dari pada tanah di Wonosari, namun keduanya memiliki berat isi (BI) yang rendah, yaitu< 1 g cm -3. Tabel 1. Karakteristik tanah di dua lokasi penelitian Lokasi Penelitian C-Org* Pasir** Debu** Klei** BI** Porositas** % % g cm -3 % Ds.Waturejo(+Abu) 0,65 39,7 41,3 22,5 0,9 48,3 Ds.Wonosari(-Abu) 2,29 58,4 34,5 7,1 0,8 55,1 Keterangan : * Sumber Data : Kamila, 2013; ** :Puspitaningtiyas, 2013 B. Strategi Pengambilan Contoh Pengambilan contoh dan pengukuran beberapa variabel mengikuti rancangan acak tersarang (Nested RandomDesign) dengan 2 faktor. Faktor 1.Lokasi penelitian: Lahan agroforestri yang terkena dampak erupsi (+Abu) di Ds Waturejo, dibandingkan dengan lahan agroforestry tanpamasukan abu vulkan ( Abu) Ds. Wonosari. Faktor 2.Jenis tanaman pokok dalam sistem agroforestri: Sengon, kakao dan nangka yang semuanya berumur sama yaitu 3 tahun. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

44 Pengambilan contoh tanah dan pengukuran di setiap desa di ulang 5x dari lahan yang berbeda, namun untuk tujuan pengukuran kimia tanah hanya diulang 3x saja.pengamatan dan pengambilan contoh tanah dan cacing tanah dilakukan dalam transek berukuran 20m X 20 m yang ditanami pohonasal KBR (Kebun Bibit Rakyat). Contoh abu vulkan diambil dari 5 titik pengamatan (ukuran 25cmx25cm) di setiap lahan pewakil. Pada setiap titik diukur ketebalan abunya, contoh abu diambil dari kelima titik dan dicampur rata,antar partikel dipisahkan dengan jalan mengayak menggunakan ukuran lubang 2 mm; 0,5 mm;0,05 mm; dan 25 µm, setiap fraksi ditimbang beratnya. Contoh abu yang diperoleh di setiap lahan diambil 20 g, dikeringkan dalam oven pada suhu 105 C selama 24 jam dan ditimbang berat keringnya. Contoh abu vulkan ukuran partikel 2mm>D>0.5 mm yang lolos ditetapkan ph. Sedangkan abu vulkan yang lolos ukuran 0,5 mm ditetapkan ph, kadar Si,S, dan P tersedia (Bray-1). Pemilihan metode penetapan P tersedia tergantung pada ph contoh yang diperoleh. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0-10 cm dikelima titikyang sama dengan pengambilan contoh abu vulkan. Contoh tanah komposit dianalisis ph dan P tersedia (Bray2). Pengambilaan contoh cacing pada masing-masing plot pewakil menggunakan metode monolit dari BGBD (Swift and Bignell2005).Pada setiap plot pewakil ditentukan 4 titik pengambilan monolit cacing tanah dengan jarak monolit 1 meter dari pohon. Pada setiap titik digali lubang tanah berukuran 50 cm x 50 cm. Pengambilan contoh monolit dilakukan pada 4 kedalaman tanah (1) Lapisan organik, (2) 0-10 cm, (2) cm, dan (3) cm. Pada lokasi (+Abu) pengambilan contoh dilakukan di bawah lapisan abu vulkan. Contoh cacing yang diperoleh dihitung jumlahnya dan ditimbang beratnya. C. Karakteristik Pohon Pengamatan dilakukan untuk mengukur tingkat naunganpohon yang mungkin akan mempengaruhi banyaknya abu vulkan yang masuk ke permukaan tanah, maka pengamatan dilakukan pada semua pohon yang tumbuh di plot pewakil. Empat variabel pohon yang relevan dengan penutupan tanah adalah: diameter batang (DBH), lebar kanopi, Crown Position (CP), dan Crown Form (CF). Diameter batang (DBH) diukur dengan jalan mengukur diameter batang setinggi 1.3 m dari permukaan tanah, dengan demikian dapat dihitung luas bidang dasar pohon (LBD).Pengukuran lebar kanopi pohon,dilakukan menurut petunjuk kerja dari model SExI-FS (Harja dan Vincent, 2008), yaitu dengan mengukur lebar kanopi dari 8 arahkarena banyak pohon yang memiliki sebaran kanopi tidak beraturan. Pengukuran Posisi Kanopi atau Crown position (CP) dilakukan untuk mengetahui cahaya yang diterima oleh tanaman(dawkins (1958) dalam Harja dan Vincent, 2008) yang dilakukan dengan jalan memberikan nilai indeks yang didasarkan pada posisi kanopi pohon disekitarnya. Nilai indeks berkisar antara 1 sampai dengan 5. a) Emergent= terbuka (nilai indeks = 5): Tajuk bebas terbuka menerima cahaya penuh dari atas hingga bawah, pohon bebas dari kompetisi cahaya dengan pohon di sekelilingnya dengan bentuk sudut kanopi terbuka paling sedikit 90. b) Full Overhead Light=agak terbuka (nilai indeks = 4). Tajuk mendapatkan cahaya penuh hanya dari bagian atas, cahaya dari samping tidak dapat masuk karena ada naungan dari pohon di sekelilingnya. c) Some Overhead Light= agak tertutup (nilai indeks = 3). Tajuk mendapatkan cahaya dari atas hanya sebagian sajakarena terhalang oleh kanopi pohon di sekelilingnya. d) Some Side Light= tertutup (nilai indeks = 2). Tajuk mendapat sedikit cahaya yang lewat kanopi pohon di atasnya atau cahaya yang diterima dari arah samping karena jarak antar pohon masih tidak begitu rapat. e) No Direct Light=sangat tertutup (nilai indeks = 1). Tajuk pohon sama sekali tidak mendapat cahaya secara langsung baik dari atas maupun dari samping karena jarak antar pohon rapat. 366 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

45 Pengukuran Crown form (CF) atau bentuk kanopi dilakukan untuk mengetahui potensi fotosintesis pada pohon. Sama halnya dengan Crown Position, setiap pohon juga diberi indeks bentuk kanopi (Crown Form) sesuai dengan klasifikasi indeks CF daridawkins dalam Harja dan Vincent (2008). Gambar 1. Klasifikasi posisi tajuk (crown position ) menurut Dawkins Semua data yang diperoleh dianalisis keragamannya menggunakan software Genstat 14. Bila hasil yang diperoleh berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. Semua data yang diperoleh dianalisis keragamannya menggunakan software Genstat 14. Bila hasil yang diperoleh berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteritik Abu Vulkan Erupsi Gunung Kelud mengeluarkan abu vulkan ke permukaan tanah rata-rata setebal 7.3 cm dengan berat abu sekitar 20 kg m -2. Abu vulkan Gunung Kelud tergolong masam, ph 3,8 3,9, dengan kadar P (Bray2) rata-rata 6.42 mg kg -1, S sebesar 0.21 mg kg -1 dan Si sebesar 31%. Berdasarkan ukuran partikelnya abu vulkan terdiri dari batu kerikil (partikel >2 mm), pasir (partikel 2,0-0,5 mm), debu kasar (0,50-0,025 mm), dan abu halus (<0,025 mm). Contoh abu vulkan yang didapat di lokasi percobaan sebagian besar (45%) adalah kerikil berukuran >2 mm. Semakin halus ukuran partikel, semakin sedikit jumlah yang didapat di lapangan, partikel debu hanya terdapat 7% saja. Abu vulkan Gunung Kelud mengandung partikel debu rata rata sebesar 51 %, pasir 39 % dan partikel klei 10 %. B. Kondisi lahan Kerapatan pohondi system agroforestry (AF) di lokasi dengan masukan abu (+Abu)memiliki kerapatan pohon25% lebih rendah dari pada di desa(-abu) (rata-rata 773pohon ha -1 dibanding1035 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

46 Kakao Sengon Nangka Kakao Sengon Nangka Kakao Sengon Nangka Kakao Sengon Nangka Persentase pohon, % Persentase pohon, % pohon ha -1. Jumlah spesies pohon yang ditanam di dua lokasirata-rata 5-6 spesies/plot. Pada AFsengon di kedua lokasi, terdapat kerapatan pohon yang lebih tinggi dari pada di AF kakao dan di AF nangka, tetapi DBH pohon yang ada rata-rata lebih kecil dari pada lahan yang lain. Karakteristik pohon yang ada di lokasi (+Abu) lebih tertutup dari pada di lokasi (-Abu) (Gambar 2a).Tingkat naungan pada AF-kakao lebih rapat dibandingkan dengan AF-sengon dan AFnangka yang ditunjukkan dengan persentase pohon dengan nilai indeks CP3 (agak tertutup) lebih besar dibandingkan dengan AF lainnya (Gambar 2b). Sembayu (2013) melaporkan hasil penelitian sebelumnya di tempat yang sama, bahwa kakao tumbuh lebih baik pada tingkat naungan sedang (CP3), apabila lahan lebih terbuka maka DBH menurun dari 2,46 cm menjadi 1,91 cm. Sedangkan sengon justru menghendaki kondisi yang lebih terbuka (CP5). (a) CP1 CP2 CP3 CP4 CP5 (b) CF1 CF2 CF3 CF4 CF Abu -Abu +Abu -Abu Gambar 2. Persentase pohon dengan nilai indeks CP (a) dan CF (b) yang berbeda pada ketiga sistem AF di dua lokasi penelitian C. Kondisi Tanah Tanah pada lokasi (+Abu)bertekstur lempung berdebu, sedangkan di lokasi ( Abu) termasuk klas lempung berpasir.nilai ph tanah di lokasi (+Abu) lebih rendah dari pada di lokasi (-Abu), ph ratarata masing-masing 5,05 dan 5,43; dimana ph terendah terdapat di AF kakao yaitu4,9. Walaupun reaksi tanah rendah di lokasi (+Abu), namun pada tanah tersebut diperoleh kandungan P tersedia meningkat 3x hingga 5x dari pada di tanah di lokasi (-Abu). Adanyamasukan abu vulkanberdampak terhadap laju infiltrasi di lokasi penelitian. Laju infiltrasi di lokasi (+Abu) lebih lambat dari pada di lokasi (-Abu), yang ditunjukkan dengan nilaikonduktivitas hidrolik (K) dan nilai sorptivity (s) tanah yang lebih rendahdari pada di lokasi (- Abu), nilai K masing-masing adalah 2,69 cm jam -1 dan 3,10 cm jam -1, dan nilai s rata-rata adalah 2,89 cm jam -1 dibandingkan dengan 4,68 cm jam -1. Populasi cacing tanah dilokasi (+Abu) cenderunglebih banyak dari pada di lokasi (-Abu). Ratarata jumlah cacing dari 3 kedalaman di daerah (+Abu) 15x lebih banyak dari pada di daerah (-Abu) (rata-rata 7 ekor m -2 ), dan semakin meningkat kedalaman tanah maka jumlah cacing semakin berkurang. D. PEMBAHASAN Tingkat kerusakan lahan pertanian akibat letusan gunung berapi dipengaruhi oleh kerapatan dan jenis tanaman yang ditanam, salah satunya adalah berhubungan dengan kerapatan tutupan kanopi. Masukan material vulkaniksaat erupsi mematahkan beberapa dahan dan ranting pohon,namun demikian beberapa waktu kemudian tanaman akan pulih kembali seperti yang terjadi dengan alpukad (Persea americana), durian (Duriozibethinus), kakao (Theobroma cacao) dan nangka (Artocarpus heterophyllus). 368 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

47 Partikel 2 mm, % Persentase Partikel Jumlah abu yang masuk ke permukaan tanah selama erupsi, bervariasi antar lahan agroforestry tergantung dari besarnya LBD pohon. Semakin besar LBD pohon cenderung akan mengurangi jumlah abu yang masuk, dan jenis abu yang masuk juga semakin halus (Gambar 3). Hal tersebut didukung dengan data dalam Gambar 4, dimana jumlah partikel pasir kasar (2 mm) yang ditemukan di lokasi pengukuran cenderung meningkat dengan semakin terbukanya kondisi di sekitarnya yang ditunjukkan dengan jumlah pohon CP mmabu 0.025mm Linear (+0.5 mmabu) Linear (0.025mm) y = 0,1694x + 5,1238 R² = 0, y = x R² = LBD P /LBD T, % Gambar 3. Hubungan antara nisbah LBD pohon pokok (LBD P ) dengan LBD seluruh pohon (LBD T ) per lahan dengan persentase jumlah partikel yang ada di permukaan tanah y = x R² = Pohon CP4, % Gambar 4. Hubungan persentase populasi pohon CP4 (%) dengan persentase berat partikel abu 2 mm di berbagai sistem agroforestri Peningkatan jumlah pasir yang masuk ke permukaan tanah akan menurunkan populasi cacing tanah. Menurut Fragoso dan Lavelle (1987) bahwa penurunan kerapatan cacing tanah berkorelasi erat denganheterogenitas sifat tanah seperti tekstur. Semakin berpasir tekstur tanah maka kerapatan cacing tanah semakin berkurang. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

48 IV. KESIMPULAN 1. Abu vulkan Gunung Kelud tergolong masam, ph 3,8 3,9, dengan kadar P (Bray2) rata-rata 6.42 mg kg -1, S sebesar 0.21 mg kg -1 dan Si sebesar 31%. 2. Kondisi tanah di lahan agroforestri yang terkena dampak erupsi Gunung Kelud: Infiltrasi di permukaan tanah (0-10 cm) menjadi lebih lambat, rata-rata 2,69 cm jam -1 (lokasi +Abu) dibandingkan dengan di lokasi (-Abu) 3,10 cm jam -1. Kemasaman tanah meningkat, ph dari 5,43 (-Abu) turun menjadi 5,05 (-Abu) Kadar P tersedia meningkat 3x hingga 5x bila dibandingkan P-tersedia di lokasi ( Abu) rata rata 0,28 mgkg -1. Populasicacing tanah (J) dan biomasa (B) cacing tanah di lokasi (+Abu) lebih banyak daripada di lokasi (-Abu), namun ukuran cacing tanah yang dihitung dari nisbah B/Jdi lokasi (+Abu) lebih kecil dari pada di (-Abu). Besarnya populasi cacing tanah berhubungan lebih kuat dengan persentase masukan partikel pasir daripada dengan masukan seresah (R 2 pasir = 0,58 > R 2 seresah= 0,30 ; n=30), semakin meningkat masukan partikel pasir kedalam tanah maka ukuran cacing tanah semakin kecil. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terlaksana berkat dukungan finansial dari DIRJEN DIKTI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor : DIPA /2013, 5 Desember 2012.Penghargaan disampaikan pada Kepala Desa dan petani pemilik lahan di Desa Waturejo Kecamatan Ngantang dan Desa Wonosari Kecamatan Wonosari. DAFTAR PUSTAKA BPDAS Brantas Rencana Kerja Kegiatan DIPA BA-29 Balai Pengelolaan DAS Brantas Tahun Anggaran 2012: Bimbingan Teknis Pembangunan KBR. BPDAS Brantas. Surabaya. Tidak dipublikasikan. Shoji, S., and Takahashi, T Environmental and Agricultural Significance of Volcanic Ash Soil. Tohoku Univ. Japan. J. p: Kamila, A Analisis Pertumbuhan Tanaman Penghijauan Hasil KBR : Kondisi Bahan Organik Tanah (BOT) dan Tingkat Pendapatan Petani. Skripsi. Jurusan Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang. Puspitaningtyas, N. A Karakterisasi Faktor Keberhasilan Tanaman Penghijauan Hasil Kebun Bibit Rakyat: Kajian Faktor Sifat Fisik Tanah dan Persepsi Masyarakat. Skripsi. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Sembayu, Y Analisis Pertumbuhan Tanaman Penghujauan Hasil KBR : Evaluasi Jenis Pohon Tehadap Pertumbuhan Sengon, Kakao, dan Nangka. Skripsi Jurusan Tanah. Progam Studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Vincent, G. H, De Foresta dan R. Mulia Predictors of tree growth in a Dipterocarp-based agroforest: a critical assessment. Forest Ecology and Management. ICRAF. Bogor. Fragoso C. and Lavelle, P The earthworm community of a Mexican tropical rain forest (Chajul,Chiapas) in On Earthworms, A.M.Bonvincini Paglai and P.Omodeo,Eds., Selected Symposia and Monographs U.Z.I.,pp , Modena,Mucchi,Italy, 370 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

49 Swift, M.J. and Bignell, D Standard Methods for Assessment of Soil Biodiversity and Land Use Practice. Alternatives to Slash and Burn Project. Wilson, T.; Kaye, G., Stewart, C. and Cole, J Impacts of the 2006 eruption of Merapi volcano, Indonesia, on agriculture and infrastructure. GNS Science. New Zealand. Report 2007/07 69p. Young. A Agro forestry for Soil Conservation. CAB International. 276 pp. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

50 APAKAH KEANEKARAGAMAN JENIS POHON DALAM SISTEM AGROFORESTRI DAPAT MEMPERTAHANKAN CADANGAN KARBON? Depi Natalia 1, Endang Arisoesilaningsih 3 dan Kurniatun Hairiah 2 1 Alumni Program Pengelolaan Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, 2 Dosen Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, 3 Dosen Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Brawijaya depiborneo@gmail.com ABSTRAK Konservasi keanekaragaman tumbuhan dan cadangan karbon di lanskap pertanian merupakan target kebijakan lingkungan Pemerintah Indonesia, namun informasi lengkap tentang multifungsi agroforestri untuk mencapai target tersebut masih terbatas. Sistem agroforestry (AF) merupakan penggunaan lahan utama masyarakat lokal di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tersebar di berbagai kondisi tanah dan social yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keanekaragaman spesies dan struktur tumbuhan, serta cadangan karbon di beberapa sistem AF dan di hutan alami sekunder yang terdapat di tanah klei berdebu dan pasir di Kabupaten Pulang Pisau (Kalteng). Pengamatan dilakukan pada: Agroforestri Karet Berbasis Buah (AFB) umur sekitar 100 tahun, Agroforestri Karet Muda (AFM), Agroforestri Karet Tua (AFT), hutan alami sekunder (HAS). Disetiap penggunaan lahan pada tekstur tanah klei berdebu dan pasir diukur dua kali, sehingga total plot pengamatan=16. Evaluasi keanekaragaman: a) Keanekaragaman dan Kerapatan spesies tumbuhan, (b) Berat Jenis Kayu, (d) Luas Bidang Dasar, (e) Indeks Nilai Penting, (f) Indeks keanekaragaman (H ) Shannon- Weiner. Cadangan karbon diestimasi menurut methoda RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal). Hasilnya: Indeks keanekaragaman (H ) di lokasi penelitian tergolong sedang, baik pohon, pancang, sapihan dan anakan. Dari 201 jenis yang ditemukan teridentifikasi lima belas manfaat dari spesies yang ditemukan. Manfaat spesies untuk tenun/pakaian menduduki tempat teratas yang diprediksi oleh petani, berkurang di masa akan datang (2-5 tahun). Kerapatan populasi pohon tertinggi terdapat di HAS pasir (2112 pohon ha -1 ), sedangkan kerapatan di AF klei berdebu lebih rendah daripada kerapatan di AF pasir. Namun LBD yang dimiliki lebih tinggi daripada LBD di lahan pasir. Delapan Spesies dominan INP (kisaran %) ditemukan di lahan klei berdebu, sedangkan di lahan pasir, terdapat 5 (lima) spesies, kisaran INP %. Sebanyak lima strata (A, B, C, D dan E) yang ditemukan di lokasi penelitian. Strata E ditemukan di semua tutupan lahan, sedangkan strata A hanya ditemukan di AFB (klei berdebu dan pasir). Pohon dengan DBH 5-30 cm di AF termasuk BJ kayu kelas ringan sampai sedang kecuali di AFM dan AFT lahan pasir masih ditemukan kayu kelas berat. Sedangkan pohon (DBH >30 cm), dari semua kelas BJ lebih banyak ditemukan di lahan klei berdebu, terutama kelas BJ kelas ringan dan sedang. Cadangan karbon tertinggi terdapat di AFB (415 Mg ha -1 ), sedangkan rata-rata di AF lainnya dan HAS hanya 217 Mg ha -1. Tingginya cadangan karbon di AFB adalah berhubungan dengan ukuran batang (umur pohon), kerapatan pohon terutama pohon diameter besar (DBH >30 cm), dan kerapatan jenis kelas kayu tergolong sedang hingga berat. Cadangan karbon pada 8 sistem AF dan HAS di Kabupaten Pulang Pisau berkorelasi positif dengan kekayaan spesies dan LBD pohon, sedangkan dengan indeks keanekaragaman tumbuhan (H ') berkorelasi lemah dengan karbon di atas tanah. Kekayaan spesies pohon diikuti dengan banyaknya pohon DBH besar, mampu mempertahankan cadangan karbon, melalui sistem agroforestri karet yang dikelola oleh petani di Kabupaten Pulang Pisau ini, cadangan karbon yang terdapat di sistem tersebut melebihi dari hutan yang tersisa di daerah tersebut. Kata Kunci : Cadangan Karbon, keanekaragaman tumbuhan, agroforestri karet, tekstur tanah I. PENDAHULUAN Agroforestri karet di Kabupaten Pulang Pisau umumnya diusahakan masyarakat pada lahan bekas hutan atau bekas ladang, pada tanah bertekstur klei berdebu dan pasir. Lahan ditanami dengan berbagai spesies komoditi yang membentuk strata kanopi yang kompleks (Agroforestri multistrata). Pada awal pembukaan ladang umumnya lahan ditanami tanaman semusim (padi, sayuran dan herbal) atau lahan bekas hutan yang baru dibuka dengan cara tebas bakar seperti yang 372 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

51 umum terjadi di Sumatera dan Lampung. Akan tetapi dengan meningkatnya umur agroforestri, tutupan kanopi semakin rapat, intensitas pengelolaan lahan oleh masyarakat semakin berkurang, maka vegetasi dan keanekaragaman spesies tumbuhan meningkat secara alami yang berasal dari biji tumbuhan hutan maupun tumbuhan yang ditanam masyarakat. Keanekaragaman spesies pohon yang ada dalam sistem agroforestri selain memberikan hasil kayu dan non kayu, pohon juga menyediakan sumber daya genetik tumbuhan hutan dan habitat bagi berbagai spesies satwa (Rahayu, 2009). Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai seresah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyediaan N dan hara lainnya yang berguna bagi tanaman semusim (Hairiah et al., 2000). Selain itu, vegetasi pohon mempertahankan cadangan karbon, kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga dapat mengurangi bahaya erosi dalam jangka panjang (Hairiah et al., 2000), dan mempertahankan kelengasan tanah (Suprayogo et al, 2004). Kemampuan pohon dalam menyerap dan menyimpan karbon di hutan alami sekunder dan agroforestri tidak sebaik di hutan alam, hal tersebut tergantung pada keanekaragaman spesies, kondisi tanah, iklim dan geografi (Pandey, 2012). Vegetasi yang beranekaragam spesies di dalam hutan berperan penting dalam menyerap gas CO 2 di udara melalui proses fotosintesis dan mengubahnya menjadi karbohidrat dan disimpan di seluruh bagian biomasa baik di batang, akar, daun, ranting, bunga dan buah (IPCC, 2006). Proses fotosintesis tidak hanya ditentukan oleh jumlah CO 2 dan jumlah cahaya matahari yang masuk, tetapi juga ditentukan oleh jumlah air dan hara tersedia dalam tanah (Hendriyani dan Satiari, 2009). Jumlah air dan hara dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan liat tanah, kandungan bahan organik tanah, tutupan seresah dan tutupan kanopi. Tanah bertekstur liat umumnya terdapat jumlah air dan hara yang lebih tinggi dari pada tanah berpasir, sehingga pertumbuhan tanaman relative lebih besar dari dan jumlah karbon tersimpan juga lebih besar (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988). Rahayu et al., (2005) melaporkan bahwa system agroforestry umur tahun merupakan campuran kopi dan buah-buahan di Kabupaten Nunukan (Kalimatan Timur) didapat time averaged carbon stock di atas tanah sebesar 70 Mg ha -1, sedangkan cadangan rata-rata di hutan primer sebesar 230 Mg ha -1, namun demikian dari penelitian tersebut masih belum memperhitungkan jumlah karbon dalam tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keanekaragaman spesies tumbuhan, struktur vegetasi dan cadangan karbon di beberapa sistem agroforestri karet dan di hutan alami sekunder yang terdapat pada tanah klei berdebu dan pasir di Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2013 hingga November 2014 di lahan agroforestri (AF) milik masyarakat dan hutan alami sekunder (HAS) di Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah, yang mencakup desa Ramang, Hanua, Parahangan, Sigi, Pamarunan dan Tuwung. Iklim di lokasi percobaan termasuk tipe iklim A (sangat basah), menurut klasifikasi Schmidth Ferguson, dengan curah hujan rata-rata mm tahun -1, dalam satu tahun terdapat 3 (tiga) bulan kering dan 9 (sembilan) bulan basah. Pengamatan dilakukan pada lahan AF dengan dua faktor, faktor 1: Sistem penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) Agroforestri Karet Berbasis Buah (AFB), (2) Agroforestri Karet Muda (AFM), (3) Agroforestri Karet Tua (AFT), (4) Hutan alami sekunder (HAS) dengan beberapa variasi umur yang berbeda. Faktor 2 adalah: tekstur tanah yang berbeda (klei berdebu dan pasir), pengukuran diulang dua kali pada masing-maisng penggunaan lahan dan tekstur tanah, sehingga total plot pewakil yang dipilih ada 16 plot. Pengamatan keanekaragaman tumbuhan dan cadangan karbon dilakukan pada plot yang sama dengan keanekaragaman tumbuhan berukuran 20 m x 100 m (Gambar 1). Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

52 Gambar 1. Skema plot pengamatan keanekaragaman timbuhan dan pengamatan kelima pool cadangan karbon Evaluasi keanekaragaman spesies tumbuhan dilakukan berdasarkan metode Shannon dan Wiener (1949), dan struktur vegetasi dilakukan menurut metode yang dikembangkan oleh Soerianegara dan Indrawan (2005). Kemudian melakukan wawancara terhadap upaya konservasi spesies yang telah dilakukan oleh petani dengan metode snow ball. Keanekaragaman spesies tumbuhan yang diamati adalah berbagai spesies tumbuhan dengan DBH 5 cm yang diukur pada diameter setinggi 1.3 m dari permukaan tanah (DBH=Diameter at Breast Height). Pengamatan keanekaragaman spesies tumbuhan yang relevan dengan pengukuran cadangan karbon adalah: (a) Kekayaan spesies (R), (b) Kerapatan spesies tumbuhan, (c) Berat Jenis (BJ) Kayu, (d) Basal Area (BA), (e) Indeks Nilai Penting (INP), (f) Indeks keanekaragaman Shannon- Weiner, (g) Stratifikasi. Cadangan karbon diestimasi dari hasil pengukuran berat masa kelima pool karbon (IPCC, 2006): biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa, seresah, dan tanah pada kedalaman 0-30 cm, menurut methoda RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) (Hairiah et al., 2011). Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005) untuk daerah lembab (curah hujan mm/tahun). Sedangkan berat jenis (BJ) kayu setiap spesies yang ditemukan dapat dilihat dari daftar berat jenis kayu, website: BJ kayu dikelompokkan ke dalam empat kelas: (1) Kayu ringan (<0,6 g cm -3 ); (2) Kayu sedang (0,6 0,7 5 g cm -3 ); (3) Kayu berat 0,75 0,9 g cm -3 ); (4) Kayu sangat berat (> 0,9 g cm -3 ). Semua data yang diperoleh dianalisis keragaman menggunakan program dan Genstat, SPSS dan dilihat interaksinya dengan Principal Component Analysis (PCA) melalui program PAST. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keunikan Agroforestri di Pulang Pisau dibandingkan Lembo dan Tembawang Agroforestri (Kaleka) di Kabupaten Pulang Pisau mempunyai keunikan dalam hal sejarah penggunaan lahan dan dominan spesies yang dibudidayakan. Sistem Kaleka di Pulang Pisau sedikit berbeda dibandingkan dengan Lembo di Kalimantan Timur yang didominasi oleh jenis pohon dari suku penghasil buah-buahan dan sebagian dikombinasikan dengan tanaman lainnya, serta mempunyai beberapa macam kategori (lembo ladang, lamin, rumah dan jalan) (Sardjono, 2003), atau Tembawang di Kalimantan Barat yang memadukan pohon buah dengan Tengkawang di bekas 374 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

53 ladang (Sundawati et al., 2003). Perbedaan tersebut dilihat dari sejarah penggunaan lahan pada AFB yang merupakan kaleka lewu (bekas kampung) berumur >100 tahun, dikelola secara turun temurun, mempunyai periode penyiangan tumbuhan bawah setiap musim buah, mempunyai kodominasi spesies (lebih dari satu spesies dominan) yaitu Durio zibethinus, Leea sp dan Hevea brasiliensis di lahan klei berdebu dan dominasi spesies Hevea brasiliensis (pasir), di lahan klei berdebu struktur tajuk lebih rapat dibandingkan di lahan pasir. Sedangkan Agroforestri Karet Muda (AFM) merupakan kaleka tana (lahan bekas ladang) yang sudah tidak produktif lagi untuk tanaman musiman (padi dan sayuran), umur pohon karet sekitar 15 tahun, mempunyai periode penyiangan tumbuhan bawah 2-3 kali per tahun, di lahan klei berdebu dan pasir masing-masing mempunyai kodominasi spesies, diameter pohon lebih kecil dan struktur tajuk kurang rapat dibandingkan AFT. Agroforestri Karet Tua (AFT) juga merupakan kaleka tana, umur pohon karet sekitar 50 tahun, sistem pengelolaan lahan kurang intensif, mempunyai diameter pohon lebih besar dibandingkan AFM, mempunyai dominasi spesies H. brasiliensis di lahan klei berdebu dan kodominasi spesies di lahan pasir. B. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Berdasarkan Persepsi Petani Hasil analisis tingkat keanekaragaman spesies (H ) di kedua tekstur tanah tergolong sedang (1,6-2,2), baik pohon, pancang, sapihan dan anakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dari total 201 (sebanyak 91 spesies di klei berdebu dan 99 spesies di pasir) spesies yang ditemukan di lokasi studi, teridentifikasi 15 (lima belas) manfaat dari spesies tumbuhan yang ditemukan, baik di AF maupun HAS. Manfaat spesies tersebut meliputi: makanan, obat-obatan, lainlain (kayu bakar, anyaman, dan kerajinan), kayu komersil, memiliki nilai spiritual, perkakas, bahan kosmetik, memiliki nilai keindahan, tenun/pakaian, non kayu dijual (rotan, getah dan lain-lain), kontrol erosi banjir dan tanah longsor, perahu, upacara adat, dan racun. Jika dirangking berdasarkan spesies yang diprediksi berkurang di masa akan datang (2-5 tahun) adalah manfaat untuk tenun/pakaian menduduki tempat teratas. Sedangkan manfaat untuk makanan menduduki tempat terendah, karena masih banyak dibudidayakan di lahan AF milik masyarakat. C. Struktur dan Stratifikasi Vegetasi di Agroforestri dan Hutan alami sekunder Kerapatan populasi pohon tertinggi terdapat di HAS pasir yakni 2112,5 pohon ha -1 (pohon dan pancang), sedangkan di HAS klei berdebu memperoleh sekitar 56% dari total kerapatan di tekstur pasir (Tabel 1). Kerapatan populasi pohon dalam agroforestri di tanah klei berdebu sekitar 41% lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan populasi di pasir (1660 pohon ha -1 ). Meskipun afroforestri klei berdebu memiliki kerapatan rendah, namun memiliki BA tinggi. Basal area tertinggi yakni m 2 ha -1 (pohon + pancang) terdapat di AFB. Sedangkan AFT pasir memiliki BA terendah (3+16 m 2 ha -1 ). Spesies dominan dengan indeks nilai penting (INP) tinggi yang ditemukan pada lahan klei berdebu sebanyak 8 (delapan) spesies dengan INP berkisar dari % yaitu Hevea brasiliensis, Durio zibethinus, Leea sp, Ilex cymosa, Pternandra rostrata, Dyospiros sp dan Baccaurea sp, sedangkan di lahan pasir ditemukan lebih sedikit (hanya 5 spesies) dibandingkan dengan di klei berdebu, dengan INP berkisar dari % yaitu Hevea brasiliensis, Vatica rassak, Nephelium lappaceum, Calophyllum inophyllum dan Syzygium lineatum. Stratifikasi yang ditemukan pada kedua lahan terdiri dari strata A (>30 cm), B (20-30 cm), C (10-20 cm), D (2-10 cm) dan E (2-5 cm). Strata E mendominasi di semua tutupan lahan dan strata A hanya ditemukan pada AFB klei berdebu dan pasir (Gambar 2). Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

54 Tabel 1. Kerapatan, Luas Bidang Dasar (LBD), dan Indek Nilai Penting (INP) di tekstur klei berdebu dan pasir LBD (pohon + pancang), Tekstur Tutupan Lahan Umur, tahun Kerapatan, populasi pohon (DBH >5 cm) ha -1 m 2 ha -1 INP (%) INP Spesies Dominan Manfaat Klei Berdebu Pasir AFB > Durio zibethinus, Hevea Bahan bangunan, buah-buahan; getah, kayu Brasiliensis, Leea sp bakar; sayuran AFM Hevea Brasiliensis, Ilex cymosa, Pternandra Getah, kayu bakar; obat diare dan luka; obat pegal-pegal rostrata AFT , Hevea Brasiliensis Getah, kayu bakar HAS , Dillenia excelsa, Dyospiros sp, Pternandra rostrata, Baccaurea sp Obat mata; bahan pewarna; obat pegalpegal; buah-buahan AFB > Hevea brasiliensis Getah, kayu bakar AFM Hevea brasiliensis, Nephelium lappaceum, Getah, kayu bakar; anti bakteri patogen pada ikan, buah-buahan dan bahan bangunan Getah, kayu bakar; buah-buahan AFT Hevea brasiliensis, Syzygium lineatum HAS , Vatica rassak, Bahan bangunan, obat luka; bahan Calophyllum inophyllum bangunan, ritual Keterangan: BA= Basal Area, pohon = DBH >10 cm, pancang = DBH 5-10 cm, INP= Indeks Nilai Penting 376 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

55 Kerapatan Relatif (%) E (2-5 m) D (5-10 m) C (10-20 m) B (20-30 m) A (> 30 m) AFB AFM AFT HS AFB AFM AFT HS KLEI BERDEBU PASIR Gambar 2. Proporsi stratifikasi pohon berdasarkan kerapatan relatif Keterangan: AFB = Agroforestri Karet Berbasis Buah, AFM = Agroforestri Karet Muda, AFT = Agroforestri Karet Tua, HAS = Hutan alami sekunder Pohon besar yang berukuran DBH 5-30 cm yang ditemukan di lahan agroforestri termasuk berat jenis (BJ) kayu kelas ringan sampai sedang, kecuali yang ditemukan di AFM dan AFT di tekstur pasir masih ditemukan kayu dengan BJ kayu kelas berat hingga sangat berat sebanyak 20 pohon (melebihi yang ditemukan di HAS). Umumnya jenis kayu kelas berat hingga sangat berat hanya ditemukan di hutan, walaupun dengan jumlah populasi yang kecil (seperti di HAS) (Tabel 2). Sedangkan pohon DBH > 30 cm, populasi pohon yang ditemukan agak berbeda daripada pohon DBH 5-30 cm, dari semua kelas BJ lebih banyak ditemukan di lahan klei berdebu, terutama kelas BJ kelas ringan dan sedang. Tabel 2. Populasi pohon berdasarkan kelas BJ Populasi pohon berdasarkan kelas BJ Umur, DBH 5-30 cm DBH > 30 cm Tekstur SPL tahun Sangat Sangat Ringan Sedang Berat Ringan Sedang Berat Berat Berat AFB > Klei AFM Berdebu AFT HAS Total AFB > Pasir AFM AFT HAS Total Keterangan: AFB = Agroforestri Karet Berbasis Buah, AFM = Agroforestri Karet Muda, AFT = Agroforestri Karet Tua, HAS = Hutan alami sekunder, ringan = BJ < 0.6 g cm -3, sedang = < 0.6 g cm -3, Berat = g cm -3, dan sangat berat = > 0.9 g cm -3 D. Cadangan Karbon Total cadangan karbon merupakan jumlah lima pool penyusun karbon (biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa, seresah dan bahan organik tanah). Jumlah karbon per pool merupakan jumlah karbon yang tersimpan per berat masa dari masing-masing pool. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa total cadangan karbon dari kelas tekstur yang berbeda tidak Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

56 Cadangan Karbon, Mg ha-1 ada perbedaan yang nyata (p<0,05), namun demikian cadangan karbon cenderung berbeda nyata (p<0,01) antar sistem penggunaan lahan yang diuji. Cadangan karbon tertinggi dijumpai di AFB (415 Mg ha -1 ) yang berumur >100 tahun, yang berbeda nyata dengan penggunaan lahan yang diuji lainnya (Gambar 3), namun demikian tidak ada perbedaan yang nyata (p<0,01) total cadangan karbon dalam agroforestri lainnya dan dalam HAS, total cadangan karbon rata-rata 217 Mg ha -1. Tingginya total cadangan karbon di AFB adalah berhubungan dengan lamanya lahan diusahakan sekitar 100 tahun, sehingga masih banyak dijumpai pohon berukuran besar DBH >30 cm dengan kayu kelas sedang hingga berat (Tabel 2). Persentase sumbangan karbon dari komponen biomasa pohon dan tanah berbeda antara sistem agroforestri dan hutan alami sekunder. Pada sistem agroforestri dan hutan alami sekunder, kontribusi biomasa pohon sama berkisar dari 57-58% dari total cadangan karbon per lahan, tanah dari kedalaman 0-30 cm mengkontribusi karbon sekitar 23%, sedangkan ketiga pool lainnya hanya mengkontribusi karbon sekitar 20% saja nekromasa seresah tb. bawah pohon akar tanah AFB AFM AFT HS Gambar 3. Kontribusi komponen penyusun cadangan karbon tanaman di masing-masing penggunaan lahan Keterangan: AFB = Agroforestri Karet Berbasis Buah, AFM = Agroforestri Karet Muda, AFT = Agroforestri Karet Tua, HAS = Hutan alami sekunder E. Hubungan antara keanekaragaman spesies dengan cadangan karbon Penurunan cadangan karbon konversi hutan menjadi lahan-lahan pertanian di DAS Jangkok (Pulau Lombok) dan DAS Casteel, Kabupaten Asmad (Papua) tidak berkorelasi positif dengan hilangnya beberapa spesies tumbuhan asal hutan, tetapi lebih berkorelasi positif dengan berkurangnya jumlah pohon besar yang dicerminkan oleh nilai LBD pohon. Berdasarkan hasil analisis biplot melalui PCA, antara keanekaragaman spesies (jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan kekayaan spesies) dengan cadangan karbon di ke enam belas plot pengamatan menunjukkan interaksi positif. Namun yang berhubungan erat terhadap peningkatan cadangan karbon (C) adalah kekayaan spesies pohon (RP) (Gambar 4). Persamaan regresi polynomial hubungan keduanya yaitu y = 0.67x x dan R² = (Gambar 5). Selain itu, peningkatan cadangan karbon juga berkorelasi positif sangat kuat dengan LBD pohon, namun tidak ada hubungan yang kuat dengan indeks keanekaragaman (H ). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekayaan spesies pohon diikuti dengan banyaknya pohon dengan DBH besar, dapat mempertahankan cadangan karbon melalui sistem agroforestri karet yang dikelola oleh petani di Kabupaten Pulang Pisau. 378 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

57 Gambar 4. Interaksi antara keanekaragaman spesies dengan cadangan karbon Keterangan: AFB (Agroforestri Karet Berbasis Buah-buahan), AFKM (Agrofororestri Karet Muda), AFKT (Agroforestri Karet Tua), HS (Hutan Sekunder), KB (Klei berdebu), JJP (Jumlah Spesies Pohon), JJPA (Jumlah Spesies Pancang), JJS (Jumlah Spesies Sapihan), JJA (Jumlah Spesies Anakan), H P (Keanekaragaman Spesies Pohon), H PA (Keanekaragaman Spesies Pancang), H S (Keanekaragaman Spesies Sapihan), H A (Keanekaragaman Spesies Anakan), C (karbon) Gambar 5. Hubungan antara keanekaragaman spesies dan LBD terhadap cadangan Karbon IV. KESIMPULAN 1. Indeks keanekaragaman (H ) di lokasi penelitian tergolong sedang (1,6-22), baik pohon, pancang, sapihan dan anakan. Dari 201 jenis yang ditemukan teridentifikasi lima belas manfaat dari spesies yang ditemukan. Manfaat spesies untuk tenun/pakaian menduduki tempat teratas yang diprediksi oleh petani, berkurang di masa akan datang (2-5 tahun). 2. Kerapatan populasi pohon tertinggi terdapat di HAS pasir, sedangkan kerapatan di AF klei berdebu lebih rendah daripada kerapatan di AF pasir. Namun BA yang dimiliki lebih tinggi daripada BA di lahan pasir. 3. Delapan spesies dominan dengan INP (berkisar dari %) ditemukan di tanah klei berdebu. Sedangkan di tanah pasir ditemukan 5 (lima) spesies dengan INP (berkisar dari %). 4. Sebanyak lima strata (A, B, C, D dan E) yang ditemukan di lokasi penelitian. Strata E ditemukan di semua tutupan lahan, sedangkan strata A hanya ditemukan di AFB (klei berdebu dan pasir). Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

58 5. Pohon dengan DBH 5-30 cm di AF termasuk BJ kayu kelas ringan sampai sedang kecuali di AFM dan AFT lahan pasir masih ditemukan kayu kelas berat. Sedangkan pohon (DBH >30 cm), dari semua kelas BJ lebih banyak ditemukan di lahan klei berdebu, terutama kelas BJ kelas ringan dan sedang. 6. Cadangan karbon tertinggi terdapat di AFB (415 Mg ha -1 ). Tingginya cadangan karbon di AFB adalah berhubungan dengan ukuran batang (umur pohon), kerapatan pohon terutama pohon diameter besar (DBH >30 cm), dan kerapatan jenis kelas kayu tergolong sedang hingga berat. 7. Peningkatan cadangan karbon pada keenambelas plot pengamatan di Kabupaten Pulang Pisau berkorelasi positif dengan kekayaan spesies pohon dan LBD, namun demikian tidak ada hubungan yang kuat dengan peningkatan indeks keanekaragaman spesies (H ) tumbuhan. Kekayaan spesies pohon diikuti dengan banyaknya pohon dengan DBH besar dapat mempertahankan cadangan karbon, melalui sistem agroforestri karet. UCAPAN TERIMA KASIH Data yang disajikan dalam paper ini merupakan bagian dari Tesis Program Magister Penulis, di Jurusan Pengelolaan Tanah dan Air, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Terima kasih kepada Yulius Wawenza A.Md, Getherlis, Martha S.pd, Dr. Ineke Stulen, Ir. Radamahar yang telah membantu pendanaan penelitian ini. Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa keterlibatan dan informasi dari masyarakat lokal Desa Ramang, Hanua, Parahangan, Sigi, Pamarunan dan Tuwung, serta Mapala Sylva Raya yang telah membantu pengambilan data di lapangan. Terima kasih juga kepada Rika Ratna Sari yang telah membantu dalam analisis data karbon. DAFTAR PUSTAKA Chave, J., C. Andalo, S. Brown, M.A. Cairns, J.Q.Chambers, D.Eamus, H. Folster, F.Fromard, N.Higuchi, T.Kira, J.P.Lescure, B.W.Nelson, H.Ogawa, H.Pulg, B.Riera, T.Yamakura, Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forest. Oecologia 145: Hairiah K, S. R. Utami, D. Suprayogo, S M Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana, M. Van Noordwijk and G. Cadisch Agroforestri pada tanah masam di daerah tropis: pengelolaan interaksi antara tanaman pohon-tanah-tanaman semusim. International Centre for Research in Agroforestry- ICRAF, SEA Regional Research Programme. Bogor. Hairiah, K., A. Ekadinata, R.R. Sari, S. Rahayu Pengukuran Cadangan Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Word Agroforestry centre. 88 pp. Hairiah, K., C. Prayogo, R.R. Sari, Widianto, D.Suprayogo, C. Anshari, M.K. Anwar, R.M. Ishaq Potensi Hutan Konservasi PT Astra Agro Lestari Sebagai Penyerap Karbon. UB Research Report. 56 pp. Hendriyani, I.S dan N. Setiari Kandungan Klorofil dan Pertumbuhan Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada tingkat penyediaan air yang berbeda. J. Sains & Mat. 17 (3): IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Climate Change 2007: the physical science basis. Working group I Report. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Kendom M, K. Hairiah and Sudarto Penaksiran Emisi Karbon di Daerah Aliran Sungai Casteel Timur Kabupaten Asmat. Papua. Fullpaper. 380 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

59 Markum, E. Arisoesilaningsih, D. Suprayogo and K. Hairiah Contribution of Agroforestry System in Maintaining Carbon Stocks and Reducing Emission Rate at Jangkok Watershed, Lombok Island. Journal of Agriculture Science (AGRIVITA) Vol.35 No.3. ISSN: Mokany, K., Raison, J.R., and Prokushkin, A.S Critical analysis of root-shoot ratios in terrestrial biomes. Glob. Change Biol. 12: Pandey D., Carbon Stock of World Heritage Forest Sites. Pdf. UNESCO. Rahayu S Peran agroforest karet dalam pelestarian spesies pohon. Master thesis, sekolah pasca sarjana, Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahayu, S., B. Lusiana and M.Van Noordwijk Cadangan karbon di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur: Monitoring secara Spasial dan Permodelan. Proyek FORMACS (Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Penyerapan Karbon). Sardjono M.A., Lembo: Praktek Agroforestri Tradisional di Kawasan Sendawar, Kalimantan Timur. World Agroforestri Centre (ICRAF). Bogor. Shannon C.E and W. Wiener The Mathematical Theory of Communication. University of Illions Press, Urbana, USA. Soerianegara, I. dan A. Indrawan, Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indonesia. Sumarga, E., Hein, L., Edens, B., Suwarno, A. (2015). Mapping monetary values of ecosystem services in support of developing ecosystem accounts.ecosystem Services 12, Sundawati L, Tembawang: Praktek Agroforestri khas di Kalimantan Barat. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Suprayogo D, Widianto, P.Purnomosidhi, R.H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini, N. Khasanah and Z. Kusuma Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan menjadi system kopi monokultur: kajian perubahan makroskopis tanah. Journal of Agriculture Science (AGRIVITA) Vol.26 No.1. ISSN: Sutedjo, M and A.G. Kartasapoetra Pengantar Ilmu Tanah: Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. PT. Bina Aksara, Jakarta. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

60 AGROFORESTRI SAGU : SEBAGAI PROGRAM AKSI PENURUNAN KARBON DI KABUPATEN JAYAPURA Subekti Rahayu, Feri Johana dan Sidiq Pambudi World Agroforestry Centre (ICRAF) srahayu@cgiar.org) ABSTRAK Luas kebun sagu di Kabupaten Jayapura antara tahun mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari hektar menjadi hektar untuk berbagai penggunaan antara lain: pembangunan sarana dan prasarana fisik perkantoran, pemukiman, jalan dan pusat perdagangan. Bahkan, alih guna kebun sagu masih masih terus berlanjut hingga saat ini. Survei lapangan untuk mengestimasi cadangan karbon pada kebun sagu menggunakan dilakukan pada sepuluh petak contoh berukuran 100 m x 20 m yang tersebar di Khoya, Depapre dan Sentani, Kabupaten Jayapura. Semua jenis tumbuhan berdiameter di atas 30 cm diukur diameter setinggi dada (DBH), diidentifikasi spesiesnya berdasarkan contoh herbarium. Sementara, pohon berdiameter 5-30 diukur pada petak contoh berukuran 40 m x 5 m yang ditempatkan di dalamnya. Persamaan allometri digunakan untuk menghitung biomasa pohon dan 46% biomasa digunakan sebagai faktor pengubah biomasa. Perangkat lunak REDD Abacus SP digunakan untuk memperkirakan emisi dan penurunan emisinya berdasarkan pilihan skenario yang telah direncanakan. Alih guna kebun sagu menjadi bangunan sarana fisik mengemisikan minimal 260 ton CO 2 -eq per hektar. Konservasi kebun sagu dalam bentuk agroforestri melalui rehabilitasi kebun sagu terdegradasi dengan memelihara anakan sagu untuk pembibitan, penanaman anakan sagu, pengkayaan jenis tanaman buah-buahan dan kayu serta memelihara kayu yang beregenerasi alami berpotensi menurunkan emisi dalam bentuk peningkatan cadangan karbon. Konservasi kebun sagu melalui penanaman kembali kebun sagu terdegradasi dengan tanaman sagu dan pohon buah-buahan buah-buahan di Kabupaten Jayapura sesuai dengan perencanaan daerah sebagai suatu aksi penurunan emisi yang pada lahan seluas sekitar 510 hektar berpotensi menurunkan emisi sebesar 1,72 % terhadap emisi kumulatif tahun 2005 hingga Kata kunci: Jayapura, karbon, kebun sagu, penurunan emisi I. PENDAHULUAN Sagu (Metroxylon spp.) adalah salah satu jenis tumbuhan dari kelompok palem yang tumbuh di daerah rawa dengan air yang melimpah dan merupakan sumber makanan karbohidrat bagi sebagian masyarakat Papua selain ubi (Limbongan 2007; Flach and Rumawas 1996). Di Papua hutan sagu tersebar di di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan dan daerah lainnya yang belum terinventarisasi hingga mencapai luasan 1,5 juta hektar (Mampioper 2008; Abbas et al. 2009). Meskipun sagu di Papua masih melimpah, namun konsumsi sagu di Papua relatif rendah yaitu 58,18 kg/kapita/tahun, bila dibandingkan dengan konsumsi beras dan umbi-umbian, yaitu 130 dan 75,30 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik Propinsi Papua 2004). Kecenderungan peningkatan konsumi beras di terjadi di masyarakat Papua, bahkan sejak tahun 1998 hanya sekitar 30% masyarakat Papua mengkonsumsi sagu, 15% umbi-umbian dan 55% mengkonsumsi beras (Mampioper 2008). Perubahan pola konsumsi masyarakat Papua dari sagu ke beras akan menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman sagu mulai dari tingkat genetik, spesies hingga ekosistem, sementara Papau merupakan sentra keanekaragama genetik sagu di dunia (Mangiandaan dan Tempake 2005; Matanubun and Maturbongs 2005). Kemajuan di bidang pembangunan tak bisa dihindarkan di Papua, khususnya di Jayapura. Konversi hutan sagu menjadi bangunan perkantoran, perumahan dan pertokoan terjadi di daerah Jayapura dan Abepura, bahkan di sekitar Danau Sentani yang merupakan habitat sagu dan populasinya memiliki kekayaan genetik paling tinggi dibandingkan daerah lain 382 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

61 (Abbas et al. 2005). Di Kabupaten Jayapura luas hutan sagu terus berkurang antara tahun , yaitu dari hektar menjadi hektar (ICRAF 2013, unpublished data). Di sisi lain, hutan sagu memiliki nilai ekologi, ekonomi dan budaya. Habitat tempat tumbuhnya yang mensyaratkan kecukupan air bersih merupakan indikator bahwa ekosistem hutan sagu merupakan sumber air bersih. Secara individu daun sagu akan menangkap air hujan, mengalirkan melalui pelepahnya yang besar secara perlahan-lahan karena adanya serat-serat pada pangkal pelepah yang mampu menahan laju aliran air ke batang, sehingga di pangkal-pangkal pohon sagu terlihat berair. Selain sagu, matoa (Pometia pinnata), kayu besi (Instia bijuga), kelapa dan jenis tumbuhan lainnya dapat memperkaya keanekaragaman hayati di hutan sagu. Secara ekonomi, buahbuahan dan sagu menjadi sumber bahan makanan dan pendapatan masyarakat. Kepemilikan hutan sagu alami di Papua, diatur berdasarkan hukum dan sistem adat dan umumnya berlaku secara turuntemurun dari nenek moyang mereka (Luhulima et al. 2005). Konversi hutan sagu secara langsung menyebabkan emisi karbondiokasida yang saat ini dianggap sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim. Hilangkan hutan sagu, menyebabkan kehilangan kemampuan ekosistem menyimpan dan menyerap air serta mengikat karbon dioksida dari udara melalui proses fotositesis. Dalam kaitannya dengan aksi penurunan emisi yang dimandatkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui Rencana Aksi Daerah dalam penurunan emisi gas rumah kaca (RAD GRK), maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui emisi yang bisa diturunkan melalui salah satu program aksi Kabupaten Jayapura yaitu konservasi hutan sagu. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kabupaten Jayapura, Propinsi Papua melalui tiga tahapan, yaitu: (1) mempelajari perubahan penggunaan lahan, khususnya hutan sagu di Kabupaten Jayapura, (2) survei lapang untuk menduga stok karbon pada berbagai tipe hutan sagu di Kabupaten Jayapura dan (3) membangun model untuk menduga emisi yang bisa diturunkan melalui scenario konservasi hutan sagu di Kabupaten Jayapura berdasarkan data perubahan lahan dan stok karbon yang telah dikaji terlebih dahulu. Analisa perubahan penggunaan lahan dilakukan menggunakan peta tutupan lahan dari tahun Survei dilakukan pada berbagai tipe ekosistem hutan sagu, baik yang berupa sagu murni yang berbentuk seperti monokultur sagu) hingga sagu campuran yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan. Survei dilakukan pada 10 petak contoh yang tersebar di Distrik Khoya, Depapre dan Sentani dengan membuat petak contoh berukuran 20 m x 100 m untuk mengamati pohon di atas 30 cm DBH dan petak berukuran 40 m x 5 m untuk mengamati pohon berukuran 5-30 cm DBH. Semua pohon yang masuk dalam petak contoh diukur DBH dan diidentifikasi nama jenis pohon, khusus untuk jenis palem seperti sagu, kelapa dan pinang diukur tinggi sampai pelepah terbawah dan untuk sagu dihitung jumlah pelepahnya. Destruktif contoh dilakukan pada 6 pohon sagu (3 pohon muda yang belum muncul batangnya dan 3 pohon sedang dengan tinggi batang antara 2-5 m). Contoh batang, pelepah dan daun diambil untuk dikeringkan. Konservasi hutan sagu di Kabupaten Jayapura yang merupakan salah satu program aksi penurunan rendah emisi digunakan sebagai dasar dalam membangun sekario menggunakan perangkat lunak Abacus SP. Konservasi hutan sagu direncanakan melalui mempertahankan hutan sagu yang saat ini ada dan menanam kembali pada hutan sagu terdegradasi seluas 510 hektar. Input dalam membangun skenario ini adalah stok karbon yang diperoleh dari survei lapangan sebagai data faktor emisi dan data perubahan lahan yang terjadi dengan adanya konservasi hutan sagu hingga antara tahun sebagai data aktivitas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

62 A. Perubahan lahan di Kabupaten Jayapura Konversi hutan hagu di Kabupaten Jayapura yang mencakup daerah Abepura dan skitar Danau Sentani untuk berbagai pembangunan sarana umum menyebabkan luasan hutan sagu menurun secara signifikan hingga 50%. B. Stok Karbon di Hutan Sagu Hutan sagu di Kabupaten Jayapura terdiri dari hutan sagu murni yang menyerupai sistem pertanaman monokultur, hanya ada tanaman sagu dengan berbagai tingkat pertumbuhan dan sagu campuran yang terdiri dari sagu dengan berbagai jenis tumbuhan yang beregenerasi secara alami di hutan. Namun ada juga hutan sagu yang diperkaya dengan jenis tanaman penghasil buah-buahan. Jenis-jenis tumbuhan alami di hutan sagu antara lain pulai (Alstonia ap.), bambu, pisang, kayu besi (Instia bijuga), matoa (Pometia pinnata) dan pohon-pohon pioneer seperti Macaranga sp. dan Campnosperma sp. Stok karbon pada hutan sagu murni berkisar antara Mg ha -1, dengan nilai rata-rata 75,2 Mg ha -1 ± 35,7 Mg ha-1 tergantung pada kerapatan tumbuhan sagu. Pada hutan sagu campuran alami, sumbangan tumbuhan non sagu yang tumbuh alami berkisar antara 30 90% dari total sock karbon, dengan nilai rata-rata 42% ± 31%. Hutan sagu yang dikelola secara agroforestri dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti pinang, rambutan, petai, nangka, sukun, nibung dan kelapa memiliki stok karbon relatif tinggi bila dibandingkan dengan hutan sagu murni dan hutan sagu campuran alami, yaitu sekitar 103 Mg ha -1 dengan komposisi tanaman sagu 60% dan non sagu 40%. Pada skala bentang lahan di Kabupaten Jayapura yang terdiri dari hutan sagu murni, sagu campuran alami dan sagu campuran yang dikelola dengan sistem agroforestri memiliki stok karbon rata-rata 65 Mg ha -1 ± 35 Mg ha -1. Apabila ditambahkan dengan nilai stok karbon untuk tumbuhan bawah, seresah dan kayu mati sekitar 10% dari stok karbon pohon, makan akan diperoleh nilai 71 Mg ha -1. Hutan sagu yang diperkaya dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan berpotensi meningkatkan stok karbon, dan di lain pihak memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat dari pemanenan buah-buahan. Sistem ini disarankan untuk diterapkan pada kegiatan rehabilitasi hutan sagu yang terdegradasi. C. Membangun Model Perencanaan dengan Skenario Konservasi Hutan Sagu Hutan sagu yang terdegrasi di Kabupaten Jayapura memiliki peluang dalam upaya penurunan emisi pada skala kabupaten, apalagi bila dilakukan rehabilitasi dengan sistem agroforestri akan memberikan tambahan stok karbon selain dari konservasi hutan sagu alami yang masih ada. Rehabilitasi hutan sagu terdegradasi seperti yang telah dilakukan di Kampung Asei Besar, Distrik Sentani Barat dengan membuat pembibitan anakan sagu dan menanam jenis-jenis tanaman buahbuahan seperti durian dan matoa merupakan suatu inisiasi program aksi mitigasi emisi karbon. Rancana konservasi hutan sagu di Kabupaten Jayapura seluas 510 hektar melalui pelestarian hutan sagu alami yang ada dari kegiatan konversi dan rehabilitasi hutan sagu terdegradasi berpotensi menurunkan emisi kumulatif sebesar 1,72% dari tahun 2005 hingga IV. KESIMPULAN Konversi hutan sagu di Kabupaten Jayapura untuk pembangunan berbagai sarana umum menyebabkan penurunan luasan hingga 50% dari tahun 1990 hingga Stok karbon pada hutan sagu di Kabupaten Jayapura dalam skala bentang lahan adalah sekitar 71 Mg ha-1 atau sekitar 30% bila dibandingkan dengan hutan alam. Pengelolaan hutan sagu secara agroforestri dengan perkayaan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan kayu berpotensi meningkatkan stok karbon hingga 100 Mg ha-1. Konservasi hutan sagu yang merupakan salah satu program rencana aksi penurunan emisi Kabupaten Jayapura berpotensi menurunkan emisi sebesar 1.72%. 384 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

63 DAFTAR PUSTAKA Abbas B, Bintoro MH, Sudarsono H, Surahman M and Ehara H Haplotype diversity of sago palm in Papua based on chloroplast DNA. In: Karafir YP. et al (eds.). Sago Palm Development and Utilization. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium August 4-6, Universitas Negeri Papua Press, Manokwari. p: Abbas B, Bintoro MH, Sudarsono H, Surahman M and Ehara H Genetic Relationship of Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia Based on RAPD Markers. Biodiversitas 10 (4): Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Papua dalam Angka Tahun 2004/2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. 510p. Flach M. and Rumawas F (eds.) Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 9: Plants Yielding Non-Seed Carbohydrates. Leiden: Blackhuys. Limbongan J Morfologi beberapa jenis sagu di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 26(1): Luhulima F., Abdullah KSAY and Dampa D Feasibility study of natural sago forest foe establishment of commercial sago plantation in South Sorong, Irian Barat, Indonesia. In: Karafir YP. et al (eds.). Sago Palm Development and Utilization. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium August 4-6, Universitas Negeri Papua Press, Manokwari. p: Mangindaan, H.F. dan Tampake H Status Plasma Nutfah Tanaman Sagu (Metroxylon sp.). Buku Pedoman Pengelolaan PlasmaNutfah Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. p: Mapioper DA Mayoritas Orang Papua Cenderung Makan Nasi. Tabloit Jubi. Posted 28 April Matanubun H. and Maturbongs L Sago palam potential, biodiversity and socio cultural consideration for industrial sago development in Papua, Indonesia. In: Karafir YP et al. (eds.). Sago Palm Development and Utilization. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium August 4-6, Universitas Negeri Papua Press, Manokwari. p: Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

64 MANAJEMEN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MELALUI PEMBANGUNAN HUTAN LINDUNG BERBASIS AGROFORESTRI (Studi Pada Lahan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gunung Langkaras, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) Hamdani Fauzi, Mahrus Aryadi, dan Trisnu Satriadi Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat ABSTRAK Kawasan Gunung Langkaras merupakan hutan lindung dengan kondisi sangat kritis. Meskipun di wilayah ini sering dilakukan program reboisasi, namun kebakaran selalu terjadi setiap musim kemarau, khususnya saat penyiapan lahan metode tebas bakar. Pada tahun 2012, dilakukan pembangunan hutan berbasis agroforestri dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal Kelompok Tani HKm. KTH HKm mendapat hak kelola untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman hutan, pertanian, tanaman buah, pakan lebah, dan peternakan. Sejak saat itu, lahan-lahan yang dikelola masyarakat tidak pernah lagi terbakar. Sedangkan lahanlahan yang dikelola masyarakat bukan anggota HKm, bahkan yang dikelola oleh perusahaan perkebunan justru tetap terbakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat dan manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan masyarakat. Metode pendekatan penelitian secara kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang baik dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (skor 77,92). Pada umumnya masyarakat telah merasa memiliki (sense of belonging) terhadap lahan, sehingga masyarakat mempunyai komitmen yang tinggi untuk melindungi areal tanaman dari kebakaran. Manajemen pengendalian kebakaran dilakukan melalui pembuatan sekat bakar jalur hijau (penanaman Glyricidia sepium, dan Ceiba petandra) dan sekat bakar jalur kuning dengan membersihkan bahan organik (rumput, dan alang-alang) pada wilayah yang diprediksi rawan kebakaran. Pada saat kemarau panjang, maka dilakukan piket jaga api, sehingga kalau terjadi kebakaran maka langsung dikomunikasikan dengan anggota KTH lainnya, dan pihak terkait. Apabila api diprediksi sudah sangat dekat dengan areal tanaman maka dilakukan bakar balas. Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya mengimplementasikan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan membangun perilaku positif masyarakat sekitar hutan. Kata Kunci: Agroforestri, Hutan Kemasyarakatan, Kebakaran Hutan dan Lahan, Manajemen, I. PENDAHULUAN Kebakaran hutan merupakan bencana yang selalu terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia terutama pada musim kemarau, bahkan kejadian kebakaran hutan dapat dikategorikan sebagai bencana nasional akibat danpak asap yang dihasilkan. Sejak tahun 2000 kebakaran hutan yang kerap terjadi di Indonesia diperparah dengan kejadian kebakaran lahan di berbagai wilayah di Tanah Air yang bahkan dengan luasan yang relatif lebih besar dibandingkan kebakaran yang terjadi di kawasan hutan. Banyaknya kejadian kebakaran hutan dan lahan bukan hanya memberikan ancaman serius terhadap kelestarian hutan tetapi telah mengganggu berbagai segi kehidupan manusia maupun makhluk hidup seperti perubahan ekosistem hutan (munculnya dominasi species tenaman tertentu), menurunnya keanekaragaman hayati, terganggunya hidro-orologis dan kesuburan tanah, perubahan nilai estetika dan nilai ekonomi hutan, terganggunya transportasi darat, sungai, laut, danau, dan udara, perubahan iklim mikro maupun global, munculnya berbagai penyakit, baik manusia maupun makhluk hidup, dan pencemaran udara lintas batas negara. Kebakaran hutan dan lahan lebih banyak disebabkan karena faktor manusia baik yang disengaja maupun karena kelalaian. Aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan merupakan pemicu utama kebakaran selain yang disebabkan karena faktor alam terutama pada saat musim kemarau. 386 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

65 Kendati berbagai studi dan pengendalian kebakaran hutan sudah banyak dilakukan, tapi belum banyak kemajuan yang dicapai untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan, bahkan di tahun 2015 kejadian dan dampak kebakaran hutan dan lahan justru semakin besar. Dalam skala lokal, kawasan hutan lindung Gunung Langkaras di Desa Tebing Siring Kalimantan Selatan juga tidak luput dari langganan kejadian kebakaran setiap tahun. Namun, semenjak dimulainya kegiatan Pembangunan hutan lindung Berbasis Agroforestri melalui skema Hutan Kemasyarakatan di tahun 2012 maka kebakaran hutan di wilayah ini sudah tidak tidak pernah terjadi lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat dan manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan masyarakat. II. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara paradigma post-positivistik (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tebing Siring Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Populasi penelitian ini adalah Kepala Keluarga di desa terpilih yang terlibat dalam program hutan kemasyarakatan di kawasan hutan lindung Gunung Langkaras. Dalam rangka penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan wawancara dengan informan. Penentuan informan didasarkan pengetahuan, pengalaman, dan jabatannya berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Informan berasal dari Fakultas Kehutanan Unlam, Manggala Agni, Aparat desa, dan pengurus KTH. Untuk mengetahui kemampuan masyarakat dalam manajemen kebakaran hutan dan lahan menggunakan analisis kuantitatif dengan menilai kemampuan masyarakat yang diberdayakan diitinjau dari aspek perilaku. Aspek perilaku dianalisis dengan pendekatan Taksonomi Bloom. Berdasarkan pendekatan Taksonomi Bloom perilaku dianalisis berdasarkan 3 ranah yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan) terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Pengukuran pengetahuan, sikap, dan keterampilan dilakukan dalam bentuk non-test dengan menggunakan skala likert. Klasifikasi kategori berdasarkan prosentase pencapaian skor maksimum sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Tingkatan Perilaku berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum No. Pencapaian Skor Maksimum Katagore Penilaian 1. 33,33-55,55 Rendah 2. > 55,55-77,77 Sedang 3. > 77, Tinggi Manajemen kebaran hutan dan lahan yang telah dilakukan masyarakat dianalisis secara deskriptif kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Memberdayakan masyarakat untuk melakukan pengendalian kebakaran secara mandiri merupakan kunci keberhasilan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dengan berulangnya peristiwa kebakaran di beberapa wilayah provinsi, dari pihak masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat peduli api telah timbul inovasi - inovasi baru tentang pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pemikiran baru tersebut adalah bahwa kebakaran lahan harus ditangani oleh masyarakat yang berdekatan dengan kejadian api awal. Api yang selama ini timbul adalah berasal dari api kecil yang disulut manusia pengguna api di lahan. Sedangkan lahan yang telah terbukti mengalami pembakaran setiap tahun adalah lahan-lahan pertanian dan perladangan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

66 Dengan dasar api awal dari luasan kecil di desa-desa maka upaya pemberdayaan masyarakat desa bahkan kampung menjadi penentu keberhasilan pencegahan terjadinya kebakaran. Pertimbangan lain yang mendasari perlunya pengendalian kebakaran berbasis masyarakat desa adalah (1) Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya disebabkan oleh faktor manusia. Oleh karenanya peran serta masyarakat dalam pencegahan kebakaran akan mengurangi munculnya kebakaran hutan dan lahan, (2) Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan umumnya adalah masyarakat yang tinggal dilokasi kebakaran, Oleh karenanya sudah sewajarnya bila mereka terlibat secara aktif dalam upaya pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, (3) Masyarakat mempunyai potensi sumberdaya (tenaga, natura/barang) yang sangat besar untuk menunjang kegiatan pengelolaan kebakaran sebagai pelengkap dari sumberdaya pemerintah yang masih terbatas, (4) Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran sehingga mereka sangat potensial untuk melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian kebakaran.(5) Masyarakat mempunyai budaya menggunakan api untuk membuka lahan pertaniannya sehingga untuk menerapkan zero burning (tanpa pembakaran) masih sangat sulit. Suatu kompromi yang paling mungkin saat ini adalah "bagaimana melakukan pengelolaan api" agar api yang dibuat tidak berdampak negatif yang besar pada lingkungan (Marbyanto, 2003) Di dalam organisasi pengendali kebakaran lahan yang telah mapan di tingkat desa, telah dipraktekkan pola manajemen dari mulai aktivitas perencanaan program, pelaksanaan program, pengorganisasian dan evaluasi. Didalam teknis pengendalian kebakaran, regu-regu pengendali kebakaran desa yang telah terbentuk memiliki pengetahuan dan keterampilan baik dalam melakukan pencegahan, persiapan pemadaman, respon pemadaman dan aktivitas pasca kebakaran. Mekanisme terbentuknya regu-regu pengendali kebakaran desa dari proses identifikasi karakteristik masyarakat peduli api hingga tahap memfasilitasi dapat dilihat dalam Gambar 1. Fasilitas dari Pemerintah Desa Program: Kesepakatan Prinsip Kerjasama Masyarakat Pengetahuan Peduli Api dan Keterampilan (MPA) Identifikasi Kondisi awal Sarana Prasarana pengendalian kebakaran Kearifan lokal Gambar 1. Mekanisme Terbentuknya Masyarakat Peduli Api B. Perilaku Masyarakat 1. Kemampuan Kognitif Masyarakat Penilaian terhadap perilaku masyarakat dalam ranah kognitif disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Penilaian terhadap Aspek Kognitif Masyarakat No Indikator Skor Kriteria Penilaian 1 Kemampuan Memahami tinggi 2 Kemampuan Menerapkan Sangat tinggi 3 Kemampuan Menganalisis tinggi 4 Kemampuan Mengevaluasi tinggi 388 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

67 No Indikator Skor Kriteria Penilaian 5 Kemampuan Menciptakan sedang Rata-rata tinggi Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan dari aspek kognitif di lokasi penelitian tergolong tinggi (skor 75,03). Tingginya pengetahuan masyarakat di lokasi penelitian disebabkan oleh tingginya kemampuan pemahaman masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (83,23), dan menerapkan (85.00). Ini menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan selama ini telah mampu merubah domain kognitif kelompok sasaran. 2. Kemampuan Afektif Masyarakat Penilaian kemampuan afektif masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kemampuan Afektif Masyarakat No Indikator Skor Kriteria Penilaian 1 Menerima (receiving/attending) sedang 2 Kemampuan Menanggapi rendah 3 Kemampuan Menilai rendah 4 Kemampuan Mengelola sedang 5 Kemampuan Menghayati rendah Rata-rata rendah Berdasarkan Tabel 3, kemampuan masyarakat dalam aspek afektif termasuk katagore rendah (49,99). Pada tingkatan receiving (attending), direflesikan dalam bentuk kemauan menghadiri, mendengarkan dan meminati program pengendalian kebakaran hutan dan lahan seperti penyuluhan, sosialisasi dan pembentukan masyarakat peduli api. Minat masyarakat untuk terlibat dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan tergolong sedang dengan nilai 56,61. Menurut Thomlinson (1997), minat yang sesuai merupakan faktor penting yang menentukan individu dapat berprestasi. Dengan adanya minat maka individu memusatkan seluruh perhatiannya terhadap objek tertentu, sehingga dengan senang hati melakukan aktivitas yang berhubungan dengan objek (Fisher, 1930:34). 3. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat Penilaian kemampuan psikomotorik masyarakat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat No Indikator Skor Kriteria Penilaian 1 Peniruan (imitation) tinggi 2 Manipulasi (manipulation) tinggi 3 Presesi (Precesion) sedang 4 Artikulasi (Articulation) sedang 5 Naturalisasi (Naturalization) sedang Rata-rata sedang Berdasarkan paparan informan, dapat diyakini bahwa proses peniruan ini termasuk kemampuan psikomotorik kategori imitasi atau peniruan yang menurut (Dave,1970:82) menunjukkan perilaku yang meniru tindakan dari yang ditunjukkan orang lain, mengamati kemudian mereplikasi. Hal ini sejalan dengan teori difusi inovasi penyuluhan sebagai suatu perembesan atau Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

68 penyebaran adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu lain dalam system sosial masyarakat sasaran penyuluhan yang sama (Rogers, 1971). Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Bandura (2001:17) tentang teori belajar social yang mengatakan bahwa proses peniruan tersebut sebagai proses modelling, dimana kebanyakan perilaku manusia dipelajari sebagai hasil pengamatan. Dari berbagai proses pengamatan membentuk sebuah perilaku yang akan digunakan sebagai patokan dalam bertindak. Aspek psikomotorik berikutnya berkaitan dengan manipulation (Dave, 1970) sebagai reaksi yang diarahkan (Guided Response). Dalam hubungannya dengan kemampuan masyarakat, hal ini berkaitan dengan keterampilan mereka dalam membangun demplot Agroforestri berbasis Jati, demplot Agroforestri berbasis Gaharu, atau demplot Agroforestri berbasis Karet berdasarkan arahan, petunjuk, atau manual. Kemampuan psikomotorik berikutnya adalah artikulasi, dimana dideskripsikan sebagai kemampuan mengintegrasikan keahlian, mengkoordinasikan serangkaian tindakan, mencapai harmonisasi, dan konsistensi internal. Keterampilan artikulasi lainnya yaitu dalam hal pembukaan lahan. Kalau dulunya dengan sistem pembakaran tidak terkontrol, maka sekarang petani sudah menggunakan prinsip-prinsip pembakaran terkontrol, dimana semak belukar yang sudah ditebas dikumpulkan dalam satu tempat kemudian dibakar dan dijaga agar jangan sampai membakar lahan lain. Mereka juga menerapkan system pembakaran bakar balas yaitu membakar areal terluar sedemikian rupa sehingga api menuju bagian dalam areal. Keterampilan ini terintegrasi dengan keterampilan penyemprotan lahan menggunakan herbisida, sehingga pembakaran lahan bisa diminimalkan. Kalau pun harus membakar biasanya batang, cabang dan ranting pohon yang tidak bisa disemprot. C. Pengelolaan Kebakaran Yang Telah Dilakukan Pencegahan kebakaran hutan dapat dimulai para pengguna api lahan. Para pengguna api baik masyarakat maupun perusahaan dapat diperankan sebagai pencegah api liar (wild fire) awal sebelum api menyebar ke lokasi-lokasi lain yang tidak diinginkan. Apabila api liar telah menyebar secara luas ke seluruh arah, ia akan menjadi bencana kebakaran yang sangat sulit untuk dipadamkan sekalipun menggunakan alat teknologi tinggi. Peristiwa kebakaran besar tahun 2006 dan 2015 telah menjadi pelajaran bagi pelaksana pengendali kebakaran untuk menentukan strategi pengendalian melalui kegiatan pencegahan dan pemadamam dini kebakaran. Berdasarkan pengalaman masyarakat di sekitar hutan Gunung Langkaras, bahwa untuk mengantisipasi bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan membangun hutan berbasis agroforestri dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan. D. Membangun Hutan Berbasis Agroforestri Kondisi Gunung Langkaras sebelum kegiatan ini dilaksanakan termasuk dalam kategori lahan sangat kritis yang didominasi semak belukar dan alang-alang. Pada lahan tersebut kemudian ditetapkan dan disepakati bersama sebagai rencana Model Forest dengan melakukan pembangunan hutan. Pada phase I ( ) dibangun hutan seluas 13 ha, Phase II ( ) seluas 12 ha, dan phase III ( ) seluas 13 ha. Jenis tanaman yang telah dikembangkan diantaranya Karet, Durian, Petai, Cempedak, Mangga, Manggis, Rambutan, Sirsak, Kalangkala, dll. Pengembangan teknologi agroforestri dilakukan melalui penanaman tanaman pangan di sela tanaman pokok berkayu. Saat ini telah dibudidayakan Padi gunung, Lombok, Terong, Kacang panjang, Labu merah, dan Jagung. Program Pembangunan Pakan Lebah Madu seluas 50 ha (Kaliandra, Rambutan, Kopi, Randu) dan Reboisasi Kawasan Lindung (demplot Beringin) seluas 25 ha dikembangkan melalui skema Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut. Jenis-jenis pohon hutan memiliki ciri-ciri khas di dalam mengantisipasi kebakaran. Secara alami pohon tertentu seperti gmelina (Gmelina arborea), ampupu (Eucalyptus alba), angsana (Pterocarpus indicus), dan gamal (Gliricidia sepium) di lahan kering dapat tumbuh kembali jika terbakar. Ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut tahan terhadap kebakaran walaupun batangnya telah mengalami kerusakan. Jenis-jenis pohon adaptif terhadap kebakaran adalah: (1) 390 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

69 memiliki sifat tumbuh cepat, (2) dapat tumbuh kembali setelah terbakar, (3) memiliki tajuk yang tebal dan lebar, (4) memiliki daun lebar, dan (5) memiliki zat alelopati. Jenis tanaman karet (Hevea braziliensis) memiliki sifat menggugurkan daun dan bertajuk tebal tetapi berdaun kecil. Jika tidak dipelihara dengan baik tanaman ini cukup rawan terbakar. Agroforestri merupakan suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi pohon, tanaman semusim dan atau kegitanan perternakan dan perikanan. Pola tanam ini merupakan salah satu jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam, sehingga memungkinkan bagi kita untuk dapat memanfaatkan lahan yang rentan secara ekologis. Masuknya komponen pohon ke lahan usaha tani atau masuknya komponen tanaman pertanian ke lahan hutan melalui sistem agroforestry membuka jalan baru bagi penggunaan lahan lebih efisien dengan hasil yang lebih baik pada usaha konservasinya. Penerapan sistem agroforestri akan memantapkan bentukan ekosistem yang berarti mengurangi input biaya. Stabilitas sistem menjadi tinggi tanpa atau sedikit ancaman degradasi lahan karena struktur agroforestri akan mengikuti kaidah struktur vegetasi asli, terutama dalam menimbulkan mekanisme ke internalnya. Kontribusi agroforestry dalam bidang sosial ekonomi akan lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni, karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang lebih stabil serta dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang (Huxley, P.A., 1983; Gordon dan William, 1990; Sabarnurdin et al, 2011). Sistem agroforesti telah dikembangkan oleh petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Pola tanam yang telah dikembangkan oleh petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Pola tanam yang telah dikembangkan oleh petani lokal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Penerapan teknik agroforestri dengan berbagai komoditas dimaksudkan untuk diversifikasi komoditi, usaha dan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk mengembangkan pola agroforestry yang berjangka panjang dan mencegah terjadinya kebakaran. Pengembangan sistem agroforestri harus melalui suatu kegiatan diagnosis untuk melihat kebutuhan masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui partisipasi aktif agar bisa dipraktekkan oleh petani setempat (Kristiadi, 2012). Pada saat pembukaan pertama lahan untuk pertanian dan perkebunan diperlukan penebasan rumput dan semak belukar. Bahan-bahan organik hasil tebasan dikumpulkan di suatu tempat kemudian dapat dilakukan pembakaran terkontrol. Abu pembakaran dapat dijadikan pupuk tanaman dengan cara menyebarkan di atas permukaan tanah. Untuk pembukaan lahan rotasi kedua atau berikutnya, bahan organik dapat dikumpulkan kembali di suatu tempat dan dibakar secara terkendali atau bahan organik tersebut cukup ditimbun diantara jalur-jalur tanaman. Bahan organik yang ditimbun akan mengalami pembusukan yang akhirnya menjadi pupuk. Untuk mempercepat proses pembusukan bahan organik, para petani dapat mengikuti petunjuk pembuatan bokasi dengan EM4. Untuk lebih meningkatkan keamanan, sebelum pambakaran bahan organik, di sekeliling lahan kebun dibersihkan dari bahan bakar sehingga membentuk sekat bakar jalur. Pada saat tanaman pohon telah menginjak dewasa, biasanya banyak dahan dan ranting yang tumbuh hingga dekat permukaan tanah. Sebagian jenis memiliki percabangan yang banyak hingga ke batang bagian bawah. Untuk keamanan tanaman dari kebakaran maka dahan dan ranting bagian bawah tersebut dipangkas (prunning). Sebagian jenis pohon dapat menanggalkan cabang dan rantingnya secara alami. Gulma yang tumbuh mengikuti pertumbuhan tanaman pokok segera dipangkas, selanjutnya dilakukan penebasan minimal setiap 3 bulan. Penyiangan diatur sedemikian rupa sehingga pada saat puncak kemarau pada bulan Agustus-September, gulma lantai hutan telah menjadi pendek. Penyiangan gulma di lahan gambut dapat juga menggunakan herbisida kontak, tetapi ketika gulma mati sebaiknya ia direbahkan atau dikumpulkan di satu tempat untuk dibakar, selanjutnya dijadikan amelioran (pupuk). Manajemen bahan bakar dilakukan dengan cara menurunkan tinggi bahan bakar, mengurangi muatan bahan bakar, dan melokalisir atau memblokir bahan bakar. Gulma alami dengan jenis rumput pendek terbukti mengamankan kebun dari kebakaran. Rumput yang ditanam selain dapat mengalahkan gulma yang tinggi seperti alang-alang, ia dapat Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

70 meningkatkan nilai tarnbah dari kebun karena para petani dapat memelihara lebah madu, karena berbunga sepanjang tahun. Jenis vegetasi bawah yang juga tahan kekeringan adalah jenis Mucuna sp yang sedang dikembangkan di perkebunan Karet. Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan maka dibuat jalur sekat bakar mekanis dan vegetative. Pada saat hutan dibangun, pemilihan lokasi sebaiknya diarahkan pada areal yang memiliki anak sungai (guntung) sebagai sekat bakar alami dan simpanan air. Jika lokasi tersebut tidak ditemukan maka pembuatan sekat bakar buatan yang bersifat permanen perlu dilakukan utamanya pada saat kemarau. Dengan cara menebas rumput dan semak di sekeliling kebun, kemudian membersihkannya dari daun, ranting dan batang semak akan menjaga kebun dari bahaya kebakaran. Pada saat kemarau panjang, maka dilakukan piket jaga api, sehingga kalau terjadi kebakaran maka langsung dikomunikasikan dengan anggota KTH lainnya, dan pihak terkait. Apabila api diprediksi sudah sangat dekat dengan areal tanaman maka dilakukan bakar balas. IV. PENUTUP Pembangunan model hutan berisiko kecil kebakaran melalui manajemen bahan bakar yang mengarah ke minimasi bahan bakar potensial pada lantai hutan, persiapan lahan menuju PLTB, pemilihan jenis pohon yang dikembangkan, agroforestri, pembuatan sekat bakar, dan pembuatan sumur dapat menurunkan risiko hutan terhadap kebakaran. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengendalian kebakaran berbasis masyarakat di sekitar hutan dan lahan merupakan pola alternatif pengelolaan kebakaran yang menjanjikan karena kejadian kebakaran selama ini banyak dipicu oleh kebiasaan pembakaran lahan masyarakat berskala kecil tetapi banyak yang dilakukan setiap tahun di desa-desa dan ladang sekitar hutan. Sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat dan kearifan lokal perlu dikembangkan ke seluruh desa rawan kebakaran dengan membentuk MPA desa yang difasilitasi institusi terkait melalui musyawarah desa. Institusi tersebut juga memfasilitasi adanya pelatihan keterampilan pemadaman, pengetahuan lingkungan, pembuatan aturan desa dan alat-alat pemadam sederhana yang dapat digunakan secara praktis dan efektif. DAFTAR PUSTAKA Akbar A Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia: Pembangunan Hutan Berisiko Kecil Kebakaran dan Pengendalian Kebakaran Berbasis Masyarakat. Sintesis Hasil Penelitian. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Apriyanto D., Rahayu S., Y. Ham, I. Anwar, dan Junaidi Kajian Sosioanthropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. Brown A.A. dan K.P. Davis, Forest Fire Control and Use. Mc. Graw-Hill Books Company. New York. Chandler, G. P.Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, dan D. Williams Fire in Forestry.Forest Fire Management and Organisation. A Wiley-Intersciense Publication. John Wiley & Sons. New York. Gordon, J.C. dan William, R.B A Handbook on the Management of Agroforestry Research Winrock International. USA. Heikkila, T.V., R. Gronovist, dan M. Jurveius Hanbook on Forest Fire Control. Forestry Training Programme Publication 21. National Board of Education of The Government of Finland. 392 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

71 Lawrence, D. dan W.H. Schlesinger Change in Soil Phosphorus During 2000 Years of Shifting Cultivation in Indonesia. Ecology 82: Lichang, Z.,W.Long.,Zhao.Y.,dan L.Caizhen Community-Base Forest Fire Management in Wenyime Village, Sanchahe Township, Dayao Country, Chuxiong Yi Autonomous Prefecture. Yunnan Province, China. Center for Community Development Studies (CS), Yunnan, China. Marbyanto,E Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat. Pengalaman Proyek IFFM dengan GTZ di Kalimantan Timur. Prosiding workshop. Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Banjar. Martapura. Sabarnurdin, S., Budiadi, dan Priyono S., Agroforestry Untuk Indonesia. Strategi Kelestarian Hutan dan Kemakmuran. Penerbit Cakrawala Media. 108 hal. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

72 DESIGNING AGROFORESTRY SYSTEM AS A VEGETATIF CONSERVATION METHOD FOR SUSTAINABLE BAUBAU WONCO WATERSHED MANAGEMENT Safril Kasim dan La Ode Midi Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari safrilkasim1970x@gmail.com, laodemidi@yahoo.com ABSTRACT Forested land use changes have resulted in serious impacts to the Baubau Wonco watershed area. Forested land area has a tendency to decrease over years due to mining activity, settlement, the development of city s infrastructur facilities, unsustainable agricultural practices and illegal lodging activity. These changes have brought about negative impacts to the hydrological functions of the watershed area. Almost 90 % of the watershed area has high Erosion Hazard Index which ranged from very high to middle high, and sedimentation rates achieved 7.424, 24 ton ha -1. At the same time, Minimum and Maximum Ratio of River Discharged obtained 243, 929. This indicates that the watershed encounters serious degradation problem. Therefore, significant efforts should be developed to remedy watershed ecosystem. Using land capability method, land areas of the watershed have been divided into five classes, namely: Class III, IV, VI, VII and VIII in which agroforestry system is promoted to be developed within Class III and IV. In order to design agroforestry system in these land areas, Diagnostic and Design (D&D) Approach from ICRAF is employed and series of analysis have been carried out namely : pre-diagnostic, diagnostic, design and agroforestry planning. Key Words : Agroforestry, Land Capability, Diagnostic and Design Approach, Baubau Wonco Watershed I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena perubahan penggunaan lahan hutan secara cepat menjadi penggunaan lainnya merupakan fenomena nasional di Indonesia. Hal ini perlu dicermati karena terkait langsung dengan penurunan kualitas lingkungan, terganggunya fungsi hidrologis DAS, menurunnya produktivitas lahan akibat degradasi lahan, peningkatan erosi dan sedimentasi serta bertambah luasnya lahan kritis. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa konversi hutan menurunkan kualitas tanah dan fungsi hidrologi DAS. Meskipun demikian, rangkaian studi intensif menunjukkan bahwa beberapa sistem agroforestry yang dikelola dengan tepat dapat mempertahankan fungsi hidrologis hutan sekaligus memberikan penghasilan kepada masyarakat di desa dengan kepadatan penduduknya sekitar orang (Noordwijk, M.V et al, 2004). Fenomena menurunnya kualitas lingkungan DAS akibat perubahan lahan hutan juga terjadi di DAS Baubau Wonco. Hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi (TBE) menunjukkan bahwa hampir sekitar 90 % dari total area DAS Baubau Wonco memiliki TBESedang sampat Tinggi.Lebih dari itu, laju sedimentasi telah mencapai 7.424, 24 Ton Ha -1. Pada saat yang sama Ratio antara Debit Minimum dan Debit Maksimum Sungai Baubau mencapai 243,929. Data-data diatas menunjukkan bahwa DAS Baubau Wonco telah terdegradasi berat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk merehabilitasi ekosistem DAS Baubau Wonco (Kasim dan Midi, 2012). Upaya pemulihan ekosistem DAS Baubau Wonco dapat dilakukan dengan menerapkan pola penggunaan lahan yang memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan lahan konservatif dan berkelanjutan. Evaluasi kemampuan lahan pada hakekatnya merupakan proses pendugaan potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaan. Lahan sangat bervariasi dalam berbagai faktor seperti topografi, iklim, geologi, geomorfologi, tanah, air, vegetasi atau penggunaan lahan. Metode yang dipakai adalah matching dengan metode faktor pembatas, dimana faktor pembatas yang dinilai 394 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

73 adalah: kemiringan lereng, kedalaman solum tanah, tingkat erosi, tekstur tanah, permeabilitas, drainase, prosentase kerikil/batuan, dan ancaman banjir/genangan. Analisis kemampuan lahan dilakukan dengan menggunakan satuan analisis berupa satuan lahan (Yudono et al, 2006 dalam Muta ali, 2012). Penggunaan pendekatan Kelas Kemampuan Lahan dalam perencanaan penggunaan lahan pada suatu Daerah Aliran Sungai merupakan hal mendasar bagi pemanfaatan dan pengelolaan DAS secara produktif dan berkelanjutan (Panhalkar, 2011). Pengembangan agroforestrymerupakan salah satu tindakan konservasi vegetatif DAS.Pengembangan sistem agroforestri modern memerlukan strategi dan cara yang tepat sehingga tujuan pengembangan agroforestri, baik tujuan ekologis, tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat tercapai dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode D&D untuk mendiagnosa dan merencanakan pengembangan sistem agroforestri. Bukhari dan Febriano I.G. (2009) telah melakukan kajian desain pengembangan agroforestri pada lahan kritis di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, dengan mengaplikasikan metode D&D dan pendekatan evaluasi kesesuaian lahan yang diaplikasikan pada lahan kritis. B. Tujuan 1. Mengetahui karakteristik lahan dan menyusun perencanaan penggunaan lahan yang proporsional dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi kemampuan lahan. 2. Mendesain implementasi pola tanam agroforestry sebagai tindakan konservasi vegetatif DAS pada lahan-lahan dengan kelas kemampuan yang berkesesuaian. II. METODOLOGI A. Waktu dan Lokasi Penelitian Naskah ini adalah sebagian dari penelitian Hibah Bersaing SIMLITABMAS DIKTI yang dilaksanakan pada tahun 2013 dan 2014 dengan memilih DAS Baubau Wonco sebagai lokus penelitian dengan luas 9999,75 Ha dan terdiri dari 4 (empat) Sub-DAS yaitu : Wamoose, Wasamparona, Sigari dan Wancuawu. Secara administerasi, DAS Baubau Wonco melintas di dua wilayah administerasi yaitu Kabupaten Buton dan Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana 8634,01 Ha terletak di Kota Baubau dan 1365,74 Ha di Kabupaten Buton (Kasim et al, 2007). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : , Peta Geologi Sulawesi Tenggara Skala 1 : , Peta Tanah Tinjau Daerah Sulawesi Tenggara Skala 1 : , Peta Penggunaan Lahandalam DAS Baubau Skala 1 : Sementara Alat yang digunakan adalah : Buku Munsell Soil-Colour Chart, ph meter, Kompas, Clinometer, GPS, Altimeter, ATK, Auger / Bor Tanah tipe Belgia, Pisau Lapang, Sekop, Tali Ukur, parang, Pacul dan Roll meter, dan buku panduan pengamatan profil tanah di lapangan yang dikeluarkan oleh lembaga Guideline for soil descripsion. C. Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian dimulai dengan pembuatan peta satuan lahan dengan skala1: berdasarkan informasi dari peta-peta tematik, lalu menentukan satuan-satuan lahan yang menjadi sampel area untuk survey lapangan dan data yang dibutuhkan dalam survey lapangan. Selanjutnya penyiapan bahan dan peralatan.survey tanah dilakukan untuk mengumpulkan data fisik yang akan digunakan untuk kebutuhan analisis kemampuan lahan. Sementara data vegetasi existing dikumpulkan dengan melaksanakan pengamatan jenis vegetasi dan pola tanam yang diterapkan oleh petani pada masing-masing unit lahan. Survey sosial ekonomi masyarakat dilaksanakan dengan menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Focus Group Discussion (FGD) bersama kelompok tani. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

74 D. Analisa Data Analisis data yang digunakan adalah (i) Analisis Kelas Kemampuan Lahan, dan, (2) Diagnostic Tools of Agroforesry yang dikembangkan oleh ICRAF untuk mengkaji tindakan Konservasi Vegetatif berbasis Sistem Agroforestry. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lahan DAS Baubau Wonco Kelerengan merupakan salah satu elemen yang sangat penting untuk kebutuhan Analisis Kelas Kemampuan Lahan. Kelerengan lahan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti textur tanah, bahan organik, tipe vegetasi dapat digunakan untuk analisis run off, inventarisasi hutan, erosi, dll (Wilson and Gallant, 2000 dalam Panhalkar, 2011). Hasil analisis GIS memperlihatkan bahwa kelas kemiringan lereng di DAS Baubau Wonco bervariasi mulai dari Kelas Kelerengan 0-8% seluas 2548,58, 8-15% seluas 2452,01 Ha, % seluas 392, 98,Kelas Kelerengan % seluas.612,29..dan diatas 45% seluas 2628, 15 Ha.Jenis tanah di DAS Baubau Wonco adalah Litosol, Latosol and Mediteran. Solum Tanah bervariasi dari solum tanah yang cukup dalam sampai sangat dangkal. Penggunaan lahan di DAS Baubau Wonco terdiri dari lahan hutan, kebun campuran, tegalan, semak belukar, sawah dan pemukiman. Lahan hutan masih merupakan penggunaan lahan terluas (23,96%) dari total luas DAS.Analisis data iklim menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Desember dengan intensitas272,00 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 20 hari. Curah hujan terendah terjadi pada Bulan Desember dengan intensitas9,5 mm with dengan jumlah hari hujan sejumlah hari (Stasiun Metereologi Betoambari, 2013). B. Kelas Kemampuan Lahan dalam Wilayah DAS Baubau Wonco Kemampuan lahan adalah kapasitas suatu lahan untuk berproduksi (Yudono et al, 2006 dalam Muta ali, 2012).Penilaian kemampuan lahan dilakukan berdasarkan penilaian sifat dan faktorfaktor pembatas yang ada pada setiap satuan lahan yang akan menentukan mudah tidaknya suatu lahan menjadi rusak jika lahan tersebut dimanfaatkan. Kelas kemampuan lahan berkisar dari kelas I, dimana tanah tidak mempunyai penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai kelas VIII, dimana tanah mempunyai penghambat-penghambat yang sangat besar sehingga tidak memungkinkan penggunaannya untuk produksi tanaman-tanaman komersil. Sub Kelas menunjukkan jenis faktor penghambat yang terdapat didalam kelas; sedangkan tingkat terendah dari struktur klasifikasi adalah satuan pengelolaan, yaitu merupakan pengelompokkan tanah yang mempunyai respon yang sama terhadap sistem pengelolaan tertentu. Hasil analisis Kelas Kemampuan Lahan di wilayah DAS Baubau Wonco disajikan sebagaimana pada Tabel 1 dan secara spasial dapat dilihat pada gambar 1. Tabel. 1. Kelas Kemampuan Lahan di DAS Bau-Bau Kelas No Kemampuan Unit lahan Kawasan APL HP HL 1 III 5-7 dan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 Faktor Penghambat Drainase, permeabilitas, dan erosi Luas (Ha) % IV Erosi VI 30 & Lereng VII 54-59& Lereng dan Erosi 0 5 VIII 1-4, 8-20, Tekstur 4.791,8 58,4

75 No Kelas Kawasan Faktor Luas Kemampuan APL HP HL hambat Unit lahan Peng- (Ha) % 53, 60-70, & dan Lereng Sungai Jumlah (Sumber: Hasil analisis GIS dalam Kasim dan Midi, 2014) (Sumber : Hasil analisis GIS, 2014) Gambar 1. Peta Kelas Kemampuan Lahan DAS Baubau Wonco C. Arahan Pemanfaatan Lahan Kelas kemampuan lahan mempunyai potensi dan pembatas yang berbeda-beda. Klasifikasi potensi lahan berdasarkan pada kriteria sesuai tidaknya suatu lahan bila dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan. Kelas kemampuan lahan I IV (sedang-tinggi) merupakan lahan yang dapat diusahakan atau diolah untuk pertanian dalam arti luas, mulai dari yang paling intensif sampai yang tradisional, serta pembangunan permukiman. Lahan-lahan yang masuk dalam kategori kelaskelas tersebut memiliki pembatas yang rendah sampai sedang. Kelas kemampuan lahan V VIII (rendah) merupakan lahan-lahan dengan potensi rendah atau sulit diusahakan, sehingga cenderung pemanfaataannya diarahkan untuk kawasan lindung dan atau kawasan budidaya. Penentuan arahan atau rekomendasi pada setiap satuan lahan pada wilayah DAS Baubau dilakukan dengan melakukan tumpangsusun (overlay) antara kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan existing. Rekomendasi arahan pemanfaatan lahan di wilayah DAS Baubau disajikan sebagaimana pada Tabel 2. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

76 Tabel 2. Rekomendasi Arahan Pemanfaatan Lahan Di Wilayah DAS Bau-Bau No Rekomendasi Penggunaan Kemampuan Kawasan Luas Unit Lahan Lahan Existing Lahan APL HP HL (Ha) % 1 Agroforestry Kebun campuran III Pertanian lahan basah Sawah III Dibiarkan hutan Hutan Dihutankan dengan Pola Reboisasi Semak belukar dan Tanah terbuka III, VI, VII, dan VIII VIII Pertanian lahan Dihutankan kembali dengan pola reboisasi kering dan Kebun campuran VII dan VIII Pertanian lahan kering dan Pengembangan Pertanian lahan Agroforestry kering III dan IV Tanaman pekarangan dalam Pola Agroforestry Lahan terbangun VIII , 9, 21, 30, 36, 37, 48, 52-54, 56, 57, 71, dan , 3, 10, 12, 13, 15, 17, 18, 24, 26, 28, 29, 31, 32, 38-41, 46, 51, 63, 64, 67, dan , 8, 19, 23, 33-35, 42, 44, 45, 49, 50, 55, 58-61, 65, 66, 70, dan dan , 14, 16, 20, 25, 27, 43, 62, dan Sungai Sungai 29, Jumlah ,21 100,00 Sumber: Hasil Analisis Overlay, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

77 D. Analisis dan Desain Pengembangan Agroforestry 1. Sistem Agroforestry dan Jenis Tanaman yang Diusahakan Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan bersama kelompok tani di Kecamatan Sorawolio, pada pre-diagnosis sebagai tahap awal D&D, maka diperoleh hasil sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3. Sistem Agroforestry dan Jenis Tanaman/Ternak yang Diusahakan No Sistem Agroforestry Jenis Tanaman Pola Tanam 1 Agrisilvicultur Mahoni, Jati Lokal, Jarak tanam tidak teratur (Mixed cropping), Jagung dan Padi Tanaman Mahoni sebagai tanaman pagar, Ladang Tanaman Jati ditanam secara mengelompok, Tanaman padi ladang dan 2 Agrosilvopastura Mahoni, Bitti, Jati, Jagung, Padi Ladang, dan Ternak Sapi Sumber : Data Primer diolah, 2014 jagung sebagai tanaman utama. Jarak tanam tidak teratur (Mixed cropping), Tanaman Mahoni sebagai tanaman pagar, Tanaman Jati ditanam secara mengelompok, Tanaman padi ladang dan jagung sebagai tanaman utama. 2. Tujuan, Alokasi Sumberdaya, Teknologi dan Strategi Produksi Tujuan, Alokasi Sumberdaya, Teknologi dan Strategi Produksi dapat dilihat pada tabel Masalah, Tantangan dan Keterbatasan Petani Pada tahap diagnosis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang masalah, hambatan dan keterbatasan yang dimiliki oleh petani didalam mengembangkan sistem agroforestry pada lahan mereka. Secara detail, gambaran tentang masalah, tantangan dan keterbatasan petani dilihat pada tabel Analisis dan Desain Pengembangan Agroforestry Berdasarkan evaluasi kelas kemampuan lahan dan analisis D&Dseperti tersebut diatas maka analisis dan desain pengembangan dirumuskan. Analisis dan desain pengembangan yang dirumuskan dibagi kedalam 2 (dua) garis besar yaitu : (1) Kawasan Hutan dan (2) Areal Penggunaan Lain (APL). a. Kawasan Hutan Berdasarkan hasil analisis kemampuan, lahan-lahan yang direkomendasikan untuk pengembangan agroforestry pada kawasan hutan produksi terdapat pada unit lahan 5 (lima) dengan penggunaan lahan kebun campuran dan luas 9,77 Ha. Penggunaan lahan existing sebagai kebun campuran mengindikasikan bahwa lahan pada kawasan hutan tersebut telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, skenario penggunaan lahan kedepan adalah menjadikan unit lahan tersebut sebagai kawasan pengembangan agroforestry dengan melibatkan masyarakat. Kawasan hutan lain yang direkomendasikan untuk pengembangan agroforestry adalah unit lahan 6 dengan Kelas Kemampuaan III dan IV seluas 5,24 Ha pada kawasan hutan produksi. Penggunaan existing lahan ini adalah pertanian lahan kering dan kebun campuran dengan faktor pembatas utama adalah erosi (e) sedang. Dalam skenario pengembangan lahan kedepan, unit-unit lahan tersebut dikembangkan dengan pola tanam agroforestry dengan melibatkan masyarakat yang telah mengolah lahan tersebut. Upaya mengembalikan fungsi hutan dengan memperbanyak tanaman pohon dalam pola agrosilvicultur dilakukan untuk meminimalisasi erosi sebagai faktor penghambat utama pada unit lahan tersebut. Penanaman tanaman penutup tanah (cover crop)juga dianjurkan, selain untuk mengurangi erosi, juga meningkatkan resapan air kedalam tanah dan meningkatkan infilterasi. Secara detail, informasi tentang skenario pengembangan agroforestry dan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

78 upaya intervensi yang dilakukan pada kawasan hutan yang telah terdegarasi dalam DAS Baubau Wonco dapat dilihat pada tabel 6. b. Areal Penggunaan Lain Evaluasi Kelas Kemampuan Lahan menunjukkan bahwa sebaran lahan pada Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat dikembangkan dengan sistem agroforestry dalam DAS Baubau Wonco cukup significant luasnya. Unit-unit lahan tersebut meliputi unit lahan 5 dengan luas 10,64 Ha, Unit Lahan 6 dan 22 seluas 244,33 Ha, dan lahan pekarangan seluas 791, 16 Ha. Lahan-lahan tersebut berada pada lahan Kelas III dan IV yang memungkinkan dikembangkan dengan sistem pertanian tradisional sampai pertanian intensif. Mengingat penguasaan lahan-lahan tersebut bukan oleh negara, maka orientasi pengembangannya sangat bergantung kepada motivasi dan kapasitas masyarakat setempat. Rekomendasi Desain dan Pengelolaan agroforestry pada APL dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 4. Tujuan, Alokasi Sumberdaya, Teknologi yang Diterapkan & Strategi Produksi Masyarakat Sekitar DAS Baubau Wonco dalam Mengembangkan Sistem Agroforestry No Tujuan Teknologi yang Diterapkan Alokasi Sumberdaya Strategi Produksi 1 Tanaman Kehutanan : Mencukupi Kebutuhan Sumber bibit dibuat sendiri atau dari pemerintah Kota Metode produksi tradisional (tanam Kayu sebagai Bahan Baubau dan menunggu Baku Pembuatan Rumah, Pembersihan gulma panen). Pagar dan Kebutuhan alat rumah tangga Dijual kepada masyarakat sekitar yang membutuhkan. Dijual kepada pengusaha meubel dari Kota Baubau. Tanaman Jangka Panjang untuk kebutuhan masa depan keluarga 2 Tanaman Pangan : Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Untuk dijual dimana hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga lainnya (pendidikan, kesehatan, dll) 3 Tanaman Hortikultura Dijual dimana hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga lainnya (pendidikan, kesehatan, dll) Digunakan sendiri 400 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga (suami, isteri dan anak). Tidak ada tindakan pengolahan Sumber benih dari kebun sendiri. Tidak ada tindakan pemupukan. Tidak ada penggunaan Pestisida Panen dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Tidak ada tindakan pengolahan Sumber benih untuk tanaman sayuran dibeli di Toko Tani Kota Baubau Sumber bibit untuk tanaman buah diperoleh dari bantuan Dinas Pertanian atau dibuat sendiri. Tidak ada Teknologi Pemupukan. Panen dilakukan oleh tenaga kerja sendiri Tenaga Kerja Domestik Modal dari pendapat an rumah tangga. Tidak ada sarana produksi yang dibeli Tenaga kerja adalah tenaga kerja domestik. Sumber modal pendapat an lain keluarga. Tenaga kerja adalah tenaga kerja domestik. Sumber modal pendapat an lain keluarga. Pembersihan gulma dilakukan secara semi intensif. Jarak tanam tidak teratur. Tidak ada tindakan pengendalian hama dan penyakit. Pembersihan gulma dilakukan secara semi intensif. Jarak tanam tidak teratur. Tidak ada tindakan pengendalian hama dan penyakit.

79 4 Komoditas Ternak Dijual dimana hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga lainnya (pendidikan, kesehatan, dll) Digunakan untuk komoditas jangka panjang untuk masa depan keluarga Sumber : Data Primer diolah, 2014 Sumber bibit dari bantuan Dinas Pertanian atau dari Perguruan Tinggi (Program ). Tidak ada teknologi kandangnisasi Tidak ada penyediaan obatobatan Tenaga kerja adalah tenaga kerja domestik. Sumber modal pendapat an lain keluarga. Tidak ada lahan khusus untuk ditanami pakan. Kotoran ternak tidak ada yang dimanfaatkan. Tabel 5. Masalah, Tantangan dan Keterbatasn Petani dalam Pengembangan Sistem Agroforestry di DAS Bauabau Wonco. No Masalah Tantangan Keterbatasan 1 a. Luas Lahan yang terbatas. b. Sumber dan ketersediaan air yang terbatas. c. Terbatasnya sumber dan ketersediaan benih/ bibit. d. Terbatasnya sarana pembibitan Sumber : Data Primer diolah, 2014 a. Minimnya Pembinaan dari penyuluh pertanian/kehutanan. b. Tidak adanya sarana irigasi atau embung (sarana penampungan air pada puncak musim hujan untuk kebutuhan tanaman dan minuman ternak) c. Terbatasnya akses modal usaha tani. d. Terbatasnya bantuan bibit/benih unggul dari pemerintah. e. Terbatasnya bantuan pupuk dan pestisida dari pemerintah. f. Retribusi yang dikenakan oleh pemerintah untuk penjualan hasil tanaman kehutanan (kayu) g. Harga yang fluktuatif (rendah pada musim panen) a. Minimnya pendidikan petani, b. Rendahnya keterampilan dalam budidaya sistem agroforestry. c. Rendahnya keterampilan manajemen usaha tani d. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengakses modal usaha tani. e. Rendahnya motivasi dalam mengusahakan tanaman jangka panjang (kehutanan). f. Rendahnya motivasi dalam memanfaatkan kotoran ternak yang diusahakan untuk diolah menjadi barang yang bernilai ekonomi (pupuk organik, biogas, dll) Tabel 6. Model Pengembangan Agroforestry dan Intervensi yang Dilakukan pada Kawasan Hutan Terdegradasi di DAS Baubau Wonco. N o Unit Lahan/Luas Lahan (ha) Penggunaan Lahan Existing Skenario Pengembangan Sistem Agrisilvicultur Mengatasi Masalah Intervensi Mengatasi Keterbatasan Mengatasi Tantangan Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

80 N o Unit Lahan/Luas Lahan (ha) Penggunaan Lahan Existing 1 5/ 9,77 Kebun Campuran 2 6/ 5,24 Pertanian Lahan Kering Sumber : Data Primer diolah, 2014 Tananaman Hutan : Mahoni, Bitti dan Jati Tananaman Hutan : Mahoni, Bitti dan Jati Skenario Pengembangan Sistem Agrisilvicultur Tanaman Pertanian: Jagung, Padi Gogo Tanaman Pertanian: Jagung, Padi Gogo Tanaman Hortikultu ra : Sayursayuran dan Buah- Buahan Tanaman Hortikultu ra : Sayursayuran dan Buah- Buahan Mengatasi Masalah - Aplikasi Pupuk Organik (kotoran ternak sapi) - Pembuatan Embung (menampung kelebihan air dimusim hujan dan mengatasi kekurangan air dimusim kemarau - Bantauan Benih dan Bibit dari Pemerintah Kota dan Provinsi - Aplikasi Pupuk Organik (kotoran ternak sapi) - Pembuatan Embung (menampung kelebihan air dimusim hujan dan mengatasi kekurangan air dimusim kemarau - Bantauan Benih dan Bibit dari Pemerintah Kota dan Provinsi Intervensi Mengatasi Keterbatasan - Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan Budidaya dalam pola agrisilvicultur - Peningkatan keterampila manajemen usaha tani - Peningkatan intensitas - penyuluhan - Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan Budidaya dalam pola agrisilvicultur - Peningkatan keterampila manajemen usaha tani - Peningkatan intensitas - penyuluhan Mengatasi Tantangan - Bantuan Modal Usaha - Peningkatan aksesibilitas modal usaha melalui perbankan - Perlindungan harga pada musim panen - Subsidi Pupuk - Bantuan sarana dan prasarana produksi (pembibitan, pengolahan, dll) - Bantuan Modal Usaha - Peningkatan aksesibilitas modal usaha melalui perbankan - Perlindungan harga pada musim panen - Subsidi Pupuk - Bantuan sarana dan prasarana produksi (pembibitan, pengolahan, dll) Tabel 7. Model Pengembangan Agrosilvopastura pada Areal Penggunaan Lain dalam Kawasan DAS Baubau N o Unit Lahan/Luas Lahan (ha) Penggunaa n Lahan Existing Model Pengembangan Sistem Agrosilvopastura Mengatasi Masalah Intervensi Mengatasi Keterbatasan Mengatasi Tantangan 402 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

81 N o Unit Lahan/Luas Lahan (ha) 5 (luas 0,64), 6 & 22 (Luas 244,33) 11,14,16,20,25,2 7,43,62, & 68 (Luas: 791,16 Ha) Penggunaa n Lahan Existing Kebun Campuran Pertanian Lahan Kering Lahan Pekarangan Sumber : Data Primer diolah 2014 Model Pengembangan Sistem Agrosilvopastura Tananama n Hutan : Jati, Bitti& Sengon, Mahoni Tanaman Pertanian : Jagung dan Jahe, Sayursayuran dan buahbuahan Tanaman Pakan Ternak : Kaliandra dan Gamal Ternak : Sapi Potong IV. KESIMPULAN DAN SARAN Mengatasi Masalah - Pembuatan Demplot Model Agrosilvopast ura - Aplikasi Pupuk Organik (kotoran ternak sapi) - Aplikasi Biogas sebagai sumber energi alternatif - Pembuatan sumur mengatasi kekurangan air dimusim kemarau - Pembuatan Benih/Bibit pada kelompok tani - Bantauan Benih dan Bibit dari Pemerintah Kota dan Provinsi Intervensi Mengatasi Keterbatasan - Need Assesment - Pembentukan Kelompok Tani - FGD - Pelatihan Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan Budidaya dalam pola agrisilvicultur - Pelatihan Peningkatan keterampila manajemen usaha tani - Peningkatan intensitas kunjunganda n penyuluhan (Akademisi & Penyuluh) Mengatasi Tantangan - Bantuan Modal Usaha - Peningkatan aksesibilitas modal usaha melalui perbankan - Perlindungan harga pada musim panen - Bantuan sarana dan prasarana produksi (pembibitan, sarana aplikasi biogas, bantuan bibit ternakteknol ogi pengolahan, dll) A. Kesimpulan 1. Terdapat 5 (lima) Kelas Kemampuan Lahan dalam wilayah DAS Baubau yaitukelaskemampuan III denganluas 301,14 Ha (3,68 %), KelasKemampuan IV denganluas 2,48 Ha (0,03 %), KelasKemampuan VI denganluas 151,69 Ha (1,85 %), KelasKemampuan VII denganluasan 2916,85 Ha (35,60 %), kelaskemampuan VIII denganluasan 4.791,82 Ha (58,49 %). 2. Pengembangan penggunaan lahan dari penggunaan lahan kebun campuran dan pertanian lahan kering menjadi lahan agroforestry direkomendasikan pada lahan kelas III dan Kelas IV, unit lahan 5, 6 dan 22, baik pada kawasan hutan maupun pada Areal Penggunaan Lain. 3. Model pengembangan agroforestry sebagai metode konservasi vegetatif DAS yang dirumuskan adalah model agrisilviculture dan agrosilvopastura dengan intervensi pada mengurangi masalahmasalah yang terkait dengan sistem budidaya dan mengatasi setiap kendala pada setiap satuan lahan serta perbaikan manajemen usaha tani yang dihadapi petani, mengatasi keterbatasan pada diri petani dan keluarganya, serta meminimalisir hambatan-hambatan eksternal yang dihadapi oleh petani. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

82 B. Saran Penelitian lanjutan tentang uji interaksi ekologi antar komponen tanaman penyusun sistem agroforestry, khususnya dalam memperbaiki fungsi hidrologis DAS Baubau Wonco dan uji interaksi ekonomi dari model agroforestry yang dirumuskan sehingga alternatif kombinasi pola tanam yang diterapkan merupakan kombinasi komoditas yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi dan mempunyai kesesuaian sosial dengan masyarakat lokal DAFTAR PUSTAKA Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia.Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera. Bukhari dan I.G. Febryano Desain Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Perrenial 6(1): Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kasim, S., Aminuddin, MK.,Kahirun Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Baubau secara Terpadu. Kerjasama Bappeda Kota Baubau dan Program Studi Manajemen Hutan Fak. Pertanian Unhalu. Kendari. Kasim, S Studi Struktur dan Komposisi Vegetasi di Hutan Lindung Wakonti Daerah Tengah DAS Baubau Wonco. Lembaga Penelitian Unhalu Kendari. Kasim, S. Midi, LD Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Fungsi Hidrologis DAS Baubau Wonco. Lembaga Penelitian Unhalu Kendari. Lerner, D.N., and B. Harris The relationship between land use and groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265 (2009) S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie Land use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 12, No. 3, Clarion University of Pennsylvania, USA. Moore I.D. and J.P. Wilson Length-slope factors for the revised universal soil loss equation: simplified method of estimation. Journal of Soil and Water Conservation. 47(5): Muta ali. L, Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Panhalkar S, Land Capability Classification for Integrated Watershed Development by applying Remote Sensing and GIS techniques. Journal of Agricultural and Biological Science. Vol.6 No.4. April Pages ISSN Asian Publicing Network (ARPN) Sitorus, S.R.P, Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung, Indonesia. Stasiun Metereologi Betoambari, Data Iklim Kota Baubau. Baubau. 404 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

83 Van Noordwijk., Agus F., Didik, S., Kurniatun, H., Pasya, G., Bruno, V., Farida Peranan Agroforestry dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologis Daerah Aliran Sungai. Jurnal Agrivita Volume 26 No. 1, Universitas Brawijaya Malang. ISSN: Wilson J. P. and J. C. Gallant Terrain Analysis: Principles and Applications. John Wiley and Sons, New York. pp Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

84 KAJIAN PROSENTASE TUTUPAN LAHAN AGROFORESTRI YANG MAMPU MENJAGA TATA AIR DAS (Studi Kasus DAS Citanduy Hulu, Jawa Barat) Edy Junaidi 1 dan Wuri Handayani 1 1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry ejunad75@gmail.com ABSTRAK Degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama di Pulau Jawa, akhir-akhir ini terus terjadi. Peningkatan deforestasi sejak awal abat 20 yang dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor percepatan degradasi DAS. Khususnya di Pulau Jawa, amanat undang-undang nomer 26 tahun 2007 tentang tata ruang wilayah yang mengharuskan 30 % dari luas DAS merupakan tutupan lahan hutan semakin sulit dilaksanakan. Pengembangan tutupan lahan agroforestri menjadi alternatif untuk mengatasi degradasi DAS. Penelitian ini bertujuan mencari prosentase tutupan lahan agroforestri yang optimal dalam menjaga tata air DAS. Model hidrologi Soil and Water Assessment Toll (SWAT) digunakan sebagai alat pengambil keputusan dalam penelitian ini untuk melihat kondisi tata air DAS. Sedangkan penentuan skenario perubahan tutupan lahan agroforestri menggunakan software InVEST 3.2 (Scenario generator). Terdapat 5 skenario perubahan tutupan lahan pola agroforestri, yaitu : 20 % tutupan lahan pola agroforestri, 40 % tutupan lahan pola agroforestri, 60 % tutupan lahan pola agroforestri, 80 % tutupan lahan pola agroforestri dan 100 % tutupan lahan pola agroforestri. Prosentase perubahan tutupan lahan % pola agroforestry menghasilkan fungsi tata air DAS yang paling optimal, dilihat dari nilai indikator Koefisien Regim Sungai (KRS), debit jenis (Q jenis), koefisien aliran permukaan (c) dan konsentrasi sedimen terlarut (SDL) menghasilkan nilai yang paling kecil. Kata Kunci: Prosentase tutupan lahan agroforestri dan tata air DAS I. LATAR BELAKANG Degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama di Pulau Jawa, akhir-akhir ini terus meningkat. Keadaan ini ditunjukkan oleh makin seringnya terjadi bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang frekuensi kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Keadaan tersebut diperparah oleh adanya perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi. Pada Tahun 2010 yang diprediksi sebagai tahun kering, banyak terjadi hujan sehingga kejadian banjir meningkat periode ulangnya. Sedangkan tahun 2015, terjadi tahun kering yang menyebabkan bencana kekeringan semakin meningkat dan semakin lama periodenya. Peningkatan deforestasi sejak awal abat 20 menjadi salah satu faktor percepatan degradasi DAS yang terdapat di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, sedikitnya terdapat 29 DAS yang masuk dalam kondisi harus dipulihkan daya dukungnya (SK menhut, 2009 dan PP, 2012) yang diindikasikan oleh kondisi hidrologinya semakin menurun dan terjadinya degradasi lahan hutan yang semakin meningkat. Berdasarkan hasil laporan Catalogue of Rivers (Publikasi Unesco-IHP, 1995, 1997, 2000, dan 2002) yang memuat karakteristik 8 sungai-sungai yang ada di Pulau Jawa (Citarum, Cimanuk, Ciatnduy, Serayu, Progo, Bengawan Solo, Brantas dan Tuntang), menunjukkan variasi aliran yang tinggi untuk karakteristik debit sungai. Rasio debit maksimum/minimum menunjukkan fluktuasi yang sangat tinggi, bervariasi antara 10 sampai dengan 100 kali. Status penggunaan lahan didominasi oleh lahan budi daya (50 % lebih dari luas DAS) dan lahan pemukiman (30 % luas DAS), sedangkan luas lahan hutan kebanyakan sudah di bawah 20%. Data dari Badan Planologi Kehutanan (2007) menginformasikan bahwa luas tutupan lahan hutan di Pulau Jawa hanya mencapai 4%, sedangkan tutupan vegetasinya mencapai 18,7 %. Peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, mempercepat proses deforestasi di Pulau Jawa. Hasil sensus 2010, penduduk di Pulau Jawa mencapai 140,2 juta yang telah melebihi 406 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

85 daya dukung ekologi. Sejalan dengan pertambahan penduduk, terjadi pula peningkatan kebutuhan lahan untuk memenuhi berbagai aktivitas pembangunan. Ketersediaan sumberdaya lahan tidak mengalami perubahan dari luasnya dan semakint terbatas. Kondisi yang saling bertentangan ini akan cenderung meningkatkan tekanan penduduk terhadap sumberdaya lahan, terutama lahan hutan. Oleh karena itu, amanat undang-undang nomer 26 tahun 2007 tentang tata ruang wilayah yang mengharuskan 30 % dari luas DAS merupakan tutupan lahan hutan semakin sulit dilaksanakan. Agroforestry merupakan alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran tanaman keras (pepohonan atau semak) dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Komposisi tanaman yang beragam pada agroforestry ini, menyebabkan agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada tutupan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan dan lahan kosong. Berdasrkan fakta tersebut, para ahli berpendapat strata tegakan yang menyerupai pola hutan pada pola agroforestri menguntungkan secara lingkungan dan mampu memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hasil kajian oleh Junaidi (2013) pola agroforestri memiliki kemampuan mempertahankan fungsi hidrologi DAS yang menyerupai hutan. Sehingga untuk mengatasi persoalan deforestasi, agroforestry dapat menjadi alternatif tutupan lahan pengganti. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan mencari prosentase tutupan lahan agroforestri yang optimal dalam menjaga fungsi tata air DAS. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Citanduy Hulu yang merupakan salah satu sub DAS pada DAS Citanduy, Jawa Barat. Das Citanduy Hulu terletak pada hulu DAS Citanduy yang secara Geografi terletak pada 7 o 7-7 o 17 LS dan 108 o o 24 BT (Gambar 1). Luas DAS Citanduy Hulu sekitar ,5 Ha. Panjang rata-rata sungai utama sekitar 7,4 km dengan gradien 1,02 % (agak rendah) (Puspitodjati et al., 2012). DAS Citanduy Hulu berdasarkan klasifikasi iklim Mohr (1993) termasuk Golongan II (daerah agak basah) dan klasifikasi iklim Schmidt Fergusson (1951) tipe hujan golongan C (agak basah). Sebagian besar wilayah DAS Citanduy Hulu berada pada kisaran curah hujan > 2000 mm/tahun, termasuk dalam kriteria tinggi. Sedangkan luas wilayah DAS yang berada pada kisaran curah hujan < 2000 mm/tahun hanya sekitar 12 % dari luas DAS, tepatnya disekitar hilir DAS Citanduy Hulu (Junaidi dan Retno, 2013). B. Metode Penelitian dan Analisa Data Gambar 1. Lokasi Penelitian Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

86 Pendugaan tata air DAS menggunakan model Soil and Water Assessment Toll (SWAT). Proses pendugaan tata air yang disimulasi oleh model SWAT di antaranya meliputi: infiltrasi, aliran bagian permukaan, aliran lateral, evaporasi, transpirasi, pergerakan air tanah dan routing perjalanan aliran (Menking et al., 2013). SWAT merupakan model matematik berbasis fisik, yang dirancang sebagai model hidrologi spasial terdistribusi yang terintegrasi dengan GIS dan Digital Elevation Model (DEM) dengan tampilan antar muka pengguna secara grafis (GUI). Model ini berdasarkan hydrologic respon units (HRUs) yang dibentuk dari kombinasi tataguna lahan, jenis tanah dan topografi (Omani et al, 2007 dan Olivera et al, 2006). Evaluasi operasionalisasinya berbasis pada skala waktu harian, dan mampu mensimulasi dan menduga dampak kegiatan-kegiatan praktek pengelolaan lahan jangka panjang (Arnold et al., 2010; Douglas-Mankin et al., 2010). Kegiatan pelaksanaan penelitian menggunakan tool SWAT meliputi beberapa tahapan, yaitu : 1. Persiapan model Ada tiga jenis data yang digunakan dalam Model SWAT pada penelitian ini, yaitu data spasial iklim dan hidrologi (Tabel 1.). Data iklim dan spasial digunakan sebagai input model. Sedangkan data hidrologi digunakan untuk proses kalibrasi dan verivikasi model. Tabel 1. Data spasial, iklim dan hidrologi yang terdapat di DAS Citanduy Hulu No Tipe Data Sumber Data Keterangan 1 Peta Jaringan Sungai Bakosurtanal Peta rupa bumi Indonesia (skala 1 : ) 2 DEM US Geoological Survey SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) untuk Z_59_14.tiff dengan resolusi spasial 90 x 90 m 3 Peta landuse (skala 1 : ) BP DAS Cimanuk Citanduy 4 Peta jenis tanah (skala BP DAS Cimanuk- 1 : ) Citanduy 5 Data curah hujan Balai Pengelolaan harian Sumberdaya air Citanduy, Balai besar wilayah sungai Citanduy 6 Data temperatur Balai Besar Wialayh harian sungai Citanduy 7 Data iklim Balai Besar Wialayh sungai Citanduy 8 Data debit sungai Balai Besar Wialayh sungai Citanduy Klasifikasi citra Landsat TM tahun stasiun penakar curah hujan tahun 2009 dan stasiun temperatur tahun 2009 dan stasiun klimatologi selama 5 tahun dari tahun (data curah hujan, temperatur, kecepatan angin dan intensitas penyinaran) SPAS Sindangrasa pengamatan tahun Kalibrasi dan validasi model Kalibrasi model adalah untuk menduga nilai parameter-parameter dalam model, sehingga hasil simulasi debit oleh model mendekati nilai debit yang sebenarnya (Kobold, 2008). Terdapat 24 parameter yang harus dikalibrasi dalam SWAT. Sedangkan validasi bertujuan untuk mengevalusi kemampuan model dalam mendekati kondisi DAS yang sebenarnya. Kriteria yang digunakan validasi model yaitu Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), perbandingan rata-rata debit prediksi dan rata-rata debit observasi dan koefisien determinasi. 3. Skenario perubahan tutupan lahan pola agroforestri dan skenario perubahan iklim 408 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

87 Penentuan skenario perubahan tutupan lahan menggunakan software InVEST 3.2 (Scenario generator ) (Sharp et al, 2014). Model SWAT digunakan untuk memprediksi 5 skenario perubahan tutupan lahan pola agroforestri, yaitu : 20 % tutupan lahan pola agroforestri, 40 % tutupan lahan pola agroforestri, 60 % tutupan lahan pola agroforestri, 80 % tutupan lahan pola agroforestri dan 100 % tutupan lahan pola agroforestri. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mengevaluasi setiap skenario prosentase perubahan tutupan pola agroforestri dan perubahan iklim, dengan menggunakan data tahun 2009 dan Pengambilan keputusan mengacu pada indikator kuantitas dan kualitas tata air DAS yaitu Koefisien Regim Sungai (KRS), debit jenis (Q jenis), koefisien aliran permukaan (c) dan konsentrasi sedimen terlarut (SDL) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Tutupan Lahan Hingga tahun 2009, kondisi tutupan lahan pada DAS Citanduy Hulu didominasi oleh sawah (29 % luas DAS) dan kebun campuran (26 %). Sedangkan luas lahan hutan (meliputi hutan lindung, hutan produksi sedang dan hutan produksi terbatas) yang terdapat pada DAS Citanduy Hulu sekitar 20,73 % (Tabel 2). Untuk perubahan tutupan lahan pola agroforestri terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi tutupan lahan eksisting DAS Citanduy hulu dan rencana perubahan berdasarkan skenario N o Tutupan Lahan Kondisi eksisting Luas (Ha) Pola Agroforestri (tahun 2009) Semak belukar Hutan poduksi sedang Hutan produksi 3 terbatas 4, , , Hutan lindung 5 Pemukiman 9, , , , , , , , Kebun campuran 18, , Sawah 20, , , , , Tambak Tubuh air Pertanian lahan kering 9, , Rawa 12 Pola agroforestry , , , , ,408.1 T o t a l 72, , , , , , Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

88 B. Kalibrasi dan Validasi Model Data yang digunakan untk proses kalibrasi dan velidasi model adalah data debit dari sindangrasa. Proses kalibrasi menggunakan data bulan Januari Juni tahun 2009, sedangkan proses validasi model menggunakan data bulan Juli Desember Hasil perhitungan untuk koefisien Nash-Sutcliffe (E NS ) adalah 0,76 dan hasil perhitungan untuk nilai Dv adalah -14,96 %. Sedangkan grafik XY scatter, hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X) dan debit bulanan observasi (nilai Y), diperoleh nilai R 2 adalah 0,79. Santi et al. (2001) menunjukkan hasil simulasi dikriteriakan baik jika rata-rata debit hasil simulasi berada pada kisaran - 15 % sampai + 15 % dari rata-rata debit hasil observasi, nilai E NS 0,5 dan R 2 0,6. Berdasarkan kriteria tersebut, menunjukkan model dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi tata air DAS Citanduy Hulu. C. Kondisi Tata Air 1. Kondisi Tata Air DAS Citanduy Hulu Secara umum kondisi tata air DAS Citanduy Hulu tahun 2010, memiliki rata-rata tahunan evapotranspirasi sebesar 19,13 % dari curah hujan, aliran permukaan 42,53 % dari curah hujan dan aliran dasar sebesar 37,42 % dari curah hujan, dengan total curah hujan 3.429,2 mm. Hasil simulasi memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan debit sungai dan kecenderungan naik pada evapotranspirasi (Gambar 2). Berdasarkan tutupan lahan kondisi eksisting, memperlihatkan adanya trend kenaikan hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah permukaan dan aliran dasar. Sedangkan sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan memperlihatkana trend penurunan. Gambar 2. Trend perubahan masing-masing komponen hasil air di DAS Citanduy Hulu Secara umum kondisi tata air DAS Citanduy Hulu masih baik. Hal ini dapat ditunjukkan oleh grafik (gambar 3). Pada grafik terlihat aliran dasar yang dihasilkan dalam penelitian ini berbanding lurus dengan peningkatan debit dan curah hujan yang jatuh. Sebaliknya, aliran permukaan berbanding terbalik dengan besarnya debit yang dihasilkan dan curah hujan yang jatuh. 410 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

89 Gambar 3. Trend perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS Citanduy Hulu 2. Kondisi Tata Air DAS Citanduy Hulu akibat perubahan tutupan lahan pola agroforestri Dampak perubahan tutupan lahan pola agroforestri terhadap tata air DAS Citanduy Hulu terjadi perubahan sumbangan air terhadap debit sungai (Tabel 3). Secara umum, hasil analisa menunjukkan dengan bertambahnya prosentase pola agroforestry pada DAS Citanduy Hulu menurun sumbangan debit sungai yang berasal dari aliran permukaan dan bertambahnya sumbangan debit yang berasal dari aliran dasar. Sedangkan evapotranspirasi semakin meningkat dengan bertambanya prosentase luasan pola agroforestri. Pada Tabel 3, yang perlu diperhatikan dengan penambahan prosentase pola agroforestri sebesar 20 % dan 60 % justru menurunkan sumbangan debit yang berasal dari aliran dasar, tetapi meningkatkan sumbangan debit yang berasal dari aliran permukaan. Tabel 3. Kondisi tata air DAS Citanduy akobat perubahan tutupanlahan pola agroforestri tahun 2010 Parameter Prosentase Pola Agroforestri (%) Hujan (mm) 3.429, , , , , ,2 Evapotranspirasi (% curah hujan) 19,13 % 18,95 % 22,45 % 19,57 % 19,85 % 22,45 % Debit ( % curah hujan) 1. Aliran Permukaan 42,53 % 42,42 % 39,22 % 39,64 % 38,31 % 35,73 % 2. Aliran Dasar 37,42 % 35,02 % 37,45 % 37,13 % 38,15 % 39,87 % Sumber : hasil analisa Dampak perubahan penambahan prosentase tutupan lahan pola agroforestry terhadap hasil air terlihat pada Gambar 4. Penambahan prosentase tutupan lahan pola agroforestry memperlihatkan trend penurunan debit dan peningkatan evapotranspirasi pada DAS Citanduy. Penambahan prosentase pola agraforestri, menurunkankan sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan dan agak meningkatkan sumbangan yang berasal dari aliran dasar. pada penambahan pola agroforestri sebesar 40 %, 80 % dan 100 %, sumbangan hasil air yang berasal dari aliran dasar menunjukkan trend meningkat dan yang berasal dari aliran permukaan menunjukkan trend menurun. Sedangkan pada penambahan pola agroforestri sebesar 20 % dan 60 % terjadi trend yang berkebalikan, yaitu penurunan sumbangan hasil air yang berasal dari aliran dasar dan peningkatan sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

90 Gambar 4. Trend perubahan masing-masing komponen hasil air DAS Citanduy Hulu akibat perubahan lahan pola agroforestri 3. Prosentase tutupan lahan Pola Agroforestri Optimal Di DAS Citanduy Hulu Penentuan prosentase tutupan lahan pola agroforestry yang optimal dalam menjaga tata air DAS ditentukan dengan menggunakan indikator tata air, yaitu KRS, Q jenis, c (koefisien aliran permukaan) dan TDS. Semakin kecil nilai keempat indikator menunjukkan prosentase tutupan lahan pola agroforestry yang paling optimal dalam menjaga tata air DAS Citanduy Hulu. Penilaian skoring keempat indikator hanya dilakukan pada nilai yang berada diatas rata-rata nilai masing-masing indikator (Gambar 5.) Hasil analisa menunjukkan, pada perubahan lahan pola agroforestri % dan % menunjukkan nilai indikator KRS, Q jenis dan TDS yang lebih kecil dibandingkan perubahan lahan pola agroforestry 0 20 %, %, %. Namun untuk nilai c perubahan lahan pola agroforestry % menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan perubahan lahan pola agroforestry %. Sehingga prosentase perubahan lahan pola agroforestry % menghasilkan tata air yang optimal pada DAS Citanduy Hulu. Hasil kajian yang dilakukan oleh Junaidi et al (2015), menunjukkan perubahan tutupan lahan 70 % pola agroforestry mampu menggantikan fungsi hidrologi DAS yang mempunyai tutupan lahan 30 % hutan. 412 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

91 Gambar 5. Hasil analisa 4 kriteria penilian kriteria indikator tata air DAS Citanduy Hulu akibat prosentase perubahan tutupan lahan pola agroforestri IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa menunjukkan, prosentase perubahan tutupan lahan % pola agroforestry menghasilkan fungsi tata air DAS yang paling optimal. Perubahan tutupan lahan % pola agroforestry mampu menurunkan hasil air yang berasal dari sumbangan aliran permukaan dan sebaliknya mampu meningkatkan sumbangan yang berasal dari aliran dasar. DAFTAR PUSTAKA Arnold J.G., P.M. Allen, M.Volk, J.R. Williams, D.D. Bosch., Assessment of Different Representaations of Spatial Variability on SWAT Model Performance. The ASABE SWAT 2010 Special Collection. Transaction of The ASABE.. Vol 53(5): Catalogue of Rivers for Southeast Asia and the Pacific - Volumes: 1(1995), 2(1997), 3(2000), and 4(2002). A Unesco-IHP Publication Douglas-Mankin, K.R., R. Srinivasan and J.G. Arnold, Soil and Water Assessment Tool (SWAT) Model: Current Developments and Applications. The ASABE SWAT 2010 Special Collection. Transaction of The ASABE. Vol 53(5): Junaidi, E., Peranan Penerapan Agrofrestry terhadap Hasil Air DAS Cisadane.Jurnal Penelitian Agroforestry. Vol 1 (1), p: Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

92 Junaidi, E. dan Retno, M Pengaruh Dinamika Spasila Sosial Ekonomi pada Suatu Lanskap Daerah aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy hulu dan DAS Ciseel). Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan, 10 (2), p: Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPTJM) Tahun Menking, K.M., K.H. Syed., R.Y. Anderson., N.G. Shafike and J.G. Arnold, Model Estimates of Runoff in The Closed, Semiarid Estancia, Central New Mexico, USA. Hydrological Sciences Journal. Vol 48 (6), Dec. 2003: Neitsch, S.L., Arnold, J.G., Kiniry, J.R., Williams, J.R Soil and Water Assessment Tool Theoritical and Documentation, Version Grassland, Soil and Water Research Laboratory- Agricultural Research Service 808 East Blackland Road-Temple, Texas Blackland Research Center-Texas Agricultural Experiment Station 720 East Blackland Road-Temple, Texas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, nomer 37 tahun2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puspitodjati, T., Junaidi, E., Sanudin, Ruhimat, I.S., Kuswantoro, D. P., Winara, A., Indrajaya, Y., Widiyanto, A., Sutrisna, N., Priono, D. Dan Saepudin, U., Kajian Lanskap Agroforestry Pada DAS Prioritas. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Badan Litbang Kehutanan. Ciamis. [Tidak dipublikasikan] Santhi, C., Arnold, J.G., Williams, J.R., Dugas, W.A., Srinivasan, R., Hauck, L.M., Validation of the SWAT model On A large river basin with point and nonpoint sources, J. Amer. Water Resour. Assoc. (JAWRA), Vol. 37, No.5, pp [terhubung berkala]. http.brc.tamus.edu/swat/document. Html [29 April 2011]. Sharp, R., Tallis, H.T., Ricketts, T., Guerry, A.D., Wood, S.A., Chaplin-Kramer, R., Nelson, E., Ennaanay, D., Wolny, S., Olwero, N., Vigerstol, K., Pennington, D., Mendoza, G., Aukema, J., Foster, J., Forrest, J., Cameron, D., Arkema, K., Lonsdorf, E., Kennedy, C., Verutes, G., Kim, C.K., Guannel, G., Papenfus, M., Toft, J., Marsik, M., Bernhardt, J., Griffin, R., Glowinski, K., Chaumont, N., Perelman, A., Lacayo, M. Mandle, L., Griffin, R., and Hamel, P InVEST tip User s Guide. The Natural Capital Project, Stanford. Olivera, F., Valenzuela M., Srinivasan, R., Choi, J., Cho, H., Koka, S., and Agrawal, A ArcGIS- SWAT: A Geodata Model and GIS Interface for SWAT. Journal of The American Water Resources Association, American Water Resources Association. April, 2006 ( ). Omani, N., Msoud Tajrishy and Ahmad Abrishamchi, Modelling of a River Basin Using SWAT and GIS. 2 nd International Conference on Managing Rivers in The 21 st Century: Solutions Towards Sustainable Rivers Basins. Riverside Kuching, Sarawak, Malaysia. June 6-8, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

93 KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON Wuri Handayani dan Edy Junaidy Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis ABSTRAK Sengon merupakan jenis tanaman kayu yang banyak dijumpai padahutan rakyat di Jawa Barat. Jenis sengon termasuk tanaman kayu fast growing, dan memiliki nilai ekonomi untuk kayu pertukangan yang pemasarannya relatif mudah. Meluasnya penanaman sengon pada lahan hutan rakyat dengan berbagai kondisi lahan dan pengelolaan yang beragam, dapat mempengaruhi lingkungan tempat tumbuhnya atau bahkan lebih luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi beberapa komponen hidrologi yang dipengaruhi oleh keberadaan tegakan sengon. Penelitian dilakukan selama 6 bulan, pada tegakan sengon berumur 3 tahun dengan pola monokultur dan bekas agroforestri. Komponen hidrologi yang diamati adalah intersepsi, air lolos tajuk, aliran batang, aliran permukaan dan erosi, serta infiltrasi. Pada pengukuran intersepsi dipilih 3 pohon sampel dalam setiap plot, sebanyak 4 plot sehingga total berjumlah 12 pohon. Pengukuran aliran permukaan dan erosi menggunakan plot erosi dengan 2 kelas kemiringan lereng dan 2 pola sehingga total berjumlah 4 plot. Pengukuran infiltrasi dilakukan dengan dalam setiap plot menggunakan double ring infiltrometer. Hasil penelitian menunjukkan dengan total curah hujan sebesar 1.462,9 mm diperoleh total intersepsi sebesar 451,57 mm (30,87%), air lolos tajuk mm (68,63%) dan aliran batang 7,33 mm (0,5%). Aliran permukaan total dan erosi tertinggi sebesar 12,26 mmdan 760,4 gr, yang dihasilkandari lahan dengan kelas kemiringan lereng>25% dan bekas pola agroforestri. Laju infiltrasi tanah di bawah tegakan sengon pada areal yang landai berkisar 4,4 cm/jam - 6,6 cm/jam,relatif lebih rendah daripada di areal curam yang berkisar 12,8 cm/jam-47 cm/jam. Kata kunci : sengon, intersepsi, aliran permukaan, erosi, infiltrasi I. LATAR BELAKANG Sengon merupakan jenis tanaman kayu yang banyak dijumpai di Jawa Barat. Jenis sengon termasuk tanaman kayu fast growing, dan memiliki nilai ekonomi untuk kayu pertukangan yang pemasarannya relatif mudah (Handayani dan Sudomo, 2015). Hal ini sejalan dengan pembangunan hutan tanaman sebagai kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi defisit bahan baku industri perkayuan yang tidak dapat lagi dipenuhi oleh hutan alam. Penanaman sengon pada lahan hutan rakyat menjadi semakin meluas dengan variasi kondisi lahan dan pengelolaan yang beragam pula. Sengon pada hutan rakyat di daerah Priangan Timur, Propinsi Jawa Barat, tersebar dari dataran rendah hingga dataran tinggi, daerah landai maupun kemiringan, dengan pola monokultur, polikultur ataupun sistem agroforestri. Pemilihan jenis-jenis tanaman penyusun dalam hutan rakyat sangat tergantung pada faktorfaktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan oleh petani pemilik lahan dan sangat jarang memperhatikan kondisi ekologi maupun pengaruhnnya terhadap kualitas lingkungan tempat tumbuh. Hasil penelitian Supangat et al. (2002) menunjukkan petani memilih jenis tanaman tidak berdasar kesesuaian lahan, tetapi oleh faktor lain seperti bibitnya tidak membeli (41%), pemasaran bagus (38%) nilai jual tinggi (17%) dan meniru nenek moyang (4%). Beberapa jenis-jenis pohon telah diketahui fungsinya dalam perbaikan kualitas lingkungan. Untuk perbaikan hidrologi, jenis yang dipilih adalah cepat tumbuh, bertajuk lebar, memberikan seresah banyak, mudah tumbuh pada lahan yang marjinal/ kritis sekalipun, sistem perakaran dalam dan kuat, dan lain sebagainya (Mindawati et al., 2006). Namun variasi pengelolaan lahan, kondisi lahan serta jenis-jenis tanaman di dalam hutan rakyat menghasilkan interaksi dan respon serta pengaruh yang bervariasi terhadap kualitas lingkungan. Pengaruh ini bahkan bisa lebih luas lagi ke Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

94 daerah hilir atau outlet DAS. Pada kegiatan pengelolaan DAS untuk memperbaiki hasil air, pada umumnya langkah yang ditempuh adalah mengaturpemanfaatan/penggunaan lahan dengan vegetasi. Oleh karena itu informasi tentang karakteristik vegetasi dalam mempengaruhi kondisi hidrologi menjadi penting karena bisa saja tidak terbatas pada lingkungan tempat tumbuhnya tetapi juga hingga hasil air suatu DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi beberapa komponen hidrologi yang dipengaruhi oleh keberadaan tegakan sengon. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di Desa Sindanglaya, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, atau pada koordinat 108 o BT -108 o 19 2 BT dan 7 o 4 35 LS -7 o 4 39 LS dengan elevasi sekitar 1000 m dpl. B. Rancangan Penelitian Penelitian di hutan tanaman sengon yang berjarak tanam 3m x 3mini, dilakukan pada saat tegakan berumur kurang lebih 3 tahun, dengan pola monokultur murni danpola agroforestri hanya di awal tahun ke-2 (bekas agroforestri). Pengamatan komponen hidrologi dilaksanakan selama 6 bulan meliputi intersepsi, air lolos tajuk, aliran batang, aliran permukaan dan erosi, serta infiltrasi. Pada pengukuran intersepsi dipilih 3 pohon sampel dalam setiap plot, sebanyak 4 plot sehingga total berjumlah 12 pohon. Pengamatan dan pengukuran aliran permukaan dan erosi menggunakan plot erosi dengan 2 kelas kemiringan lereng dan 2 pola sehingga total berjumlah 4 plot. Pengukuran infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer. C. Analisis Data Intersepsi (Ic) diketahui dari selisih jumlah air hujan (Pg) yang jatuh terhadap jumlah air lolos tajuk (Tf) dan air pada aliran batang (Sf) : Ic =Pg- (Tf + Sf) (Asdak, 2010). Erosi diketahui dari hasil analisis sampel air dengan cara filtrasi (penyaringan dan pengovenan). Data pengukuran infiltrasi dianalisis dengan persamaan Horton. Penyajian hasil analisis data dilakukan secara grafis dan deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Curah Hujan Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa hujan bulanan pada umumnya di atas 200 mm, kecuali bulan April yang hanya mencapai 57 mm. Bulan yang terbasah selama pengamatan terjadi pada bulan Maret dengan jumlah hujan (356,2 mm), hujan maksimal (107 mm) dan jumlah hari (15 hari) terbanyak/ terbesar dibanding bulan-bulan lainnya. Tabel 1. Parameter hujan di Desa Sindanglaya tahun 2011 Paramater Hujan Bulan Jan Feb Mar Apr Okt Des Total Tebal (mm) 205,8 233,5 356,2 57,0 340,5 302,4 Hujan Maks (mm) Hujan Min (mm) 1,5 4 2,2 4,5 9 5,4 Jumlah Hari Hujan Untuk mengetahui sebaran intensitashujan, digunakan pendekatan yang didasarkan pada penggolongan jumlah hujan per hari, yang terbagi menjadi 5 kelas keadaan hujan yaitu hujan sangat ringan, hujan ringan, hujan normal, hujan lebat dan sangat lebat (Sosrodarsono, 2003). Sesuai 416 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

95 penggolongan tersebut (Tabel 2), diketahui lokasi penelitian pada umumnya memiliki kriteria hujan ringan (23 kejadian) hingga normal (16 kejadian). Tabel 2. Keadaan hujan curah hujan berdasarkan jumlah hujan per hari Jumlah Jumlah hari kejadian hujan No. Keadaan hujan hujan/hari (mm/hari) Jan Feb Mar Apr Okt Des Total 1. Hujan sangat ringan < Hujan ringan Hujan normal Hujan lebat Hujan sangat lebat > Jumlah B. Intersepsi Intersepsi merupakan bagian dari curah hujan yang jatuh di atas pohon dan kemudian dikembalikan lagi ke atmosfer oleh tajuk tanaman melalui proses penguapan (transpirasi). Hasil perhitungan intersepsi pada lokasi penelitian tahun 2011 disajikan sebagai berikut : Tabel 3. Hasil perhitungan intersepsi tegakan sengon di Desa Sindanglaya tahun 2011 Bulan Hujan Aliran Batang Air lolos Intersepsi (mm) (mm) (%) (mm) (%) (mm) (%) Januari 205,8 0,70 0,34 169,03 82,13 36,07 17,53 Februari 233,5 0,77 0,33 175,71 75,25 57,02 24,42 Maret 356,2 1,95 0,55 243,13 68,26 111,12 31,20 April 57,0 0,12 0,21 44,23 77,59 12,65 22,20 Oktober 340,5 1,77 0,52 192,62 56,57 146,11 42,91 Desember 269,9 2,03 0,75 179,28 66,42 88,60 32,83 Jumlah 1.462,9 7,33 0, ,00 68,63 451,57 30,87 Hasil perhitungan intersepsi pohon sengon diketahui berkisar 17,53% - 42,91% atau rata-rata 30,87% dari curah hujan. Aliran batangberkisar sebesar 0,21% - 0,75% atau rata-rata 0,50%, sedangkan air lolos tajuk berkisar 56,57% - 82,13% atau rata-rata 68,63%.Air lolos tajuk yang tinggi pada sengon akan mencapai langsung lantai tegakan dan apabila lantai tegakan tidak terlindungi akan berpotensi meningkatkan erosi.sementara itu intersepsi yang tinggi menyebabkan kehilangan air hujan sebagai pengisi air tanah menjadi semakin besar. Besarnya intersepsi pohon lebih banyak dipengaruhi oleh curah hujan yang jatuh serta luas permukaan tajuk, tipe/jenis tanaman, serta lama dan intensitas kejadian hujan (Bruijnzeel, 1990; Heryansyah, 2008; Murdiyarso dan Kurnianto, 2009; Firoroh, 2009). Tipe/jenis tanaman menghasilkan arsitekstur pohon yang berbeda seperti struktur percabangan, kekasaran kulit batang, bentuk dan luas permukaan daun, bentuk tajuk, yang dapat mempengaruhi intersepsi, aliran batang ataupun air lolos tajuk. Besarnya air lolos tajuk pohon sengon yang tinggidisebabkan bentuk tajuk sengon yang meskipun lebar tetapi tidak rapat karena daunnya yang kecil-kecil. Bentuk daun ini juga menghasilkan total daun yang lebih banyak sehingga menghasilkan luas permukaan daun yang dapat meningkatkan kapasitas intersepsi tajuk. Oleh karena itu pada intensitas hujan tinggi,air hujan yang lolos akan meningkat tetapi intersepsi menurun tajam. Sebaliknya pada intensitas rendah dan durasi hujan yang lama, air lolos akan menurun tetapi intersepsi meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan air yang lolos atau hujan netto pada tegakan sengon cukup besar (68,63%), tetapi air hujan yang terintersepsi pada tajuk juga tidak kalah besar (30,87%), dipengaruhi oleh faktor hujan setempat. Dibandingkan denganintersepsi beberapa jenis tanaman yang telah diteliti seperti pinus (15,7%), Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

96 Aliran Permukaan (mm) puspa (13,7), jati (20,5%-40,3%), ekaliptus (E. Urophylla) (8,01%), akasia (19%), agathis (14,7%- 41,75%), intersepsi sengon termasuk tinggi, tetapi aliran batang termasuk rendah (Pudjiharta, 2001; Sukresno et al., 2002; Rusdiana et al., 2002; Hendrayanto et al., 2002; Heryansyah, 2008). C. Aliran Permukaan dan Erosi Pengukuran aliran permukaan dan erosi dilakukan pada pola monokultur sejak awal tanam dan pada pola agroforestri hanya pada awal tahun ke-2. Alasan pemilihan kedua pola tersebut untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pola tersebut terhadap kemampuan tanah dalam mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Kemiringan lereng juga dapat mempengaruhi laju aliran permukaan dan erosi, sehingga dipilih dua kelas kemiringan lereng yaitu kurang dari 25% dan lebih besar 25%. 1. Aliran Permukaan Berdasarkan hasil pengukuran aliran permukaan dibawah tegakan sengon (Tabel 4 dan Gambar 1), tampak pada kemiringan lereng >25% dan pada bekas pola agroforestry dihasilkan aliran permukaan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemiringan lereng >25% dan bekas pola agroforestri menyebabkan peningkatan jumlah aliran permukaan. Tabel 4. Hasil pengukuran aliran permukaan di bawah tegakan sengon Aliran Permukaan (mm) Bulan Plot I A <25 Plot 2 A>25 Plot 3 M<25 Plot 4 M>25% Januari 0,98 1,82 0,80 1,91 Februari 2,21 3,12 1,18 2,08 Maret 3,09 4,43 2,13 2,55 April 0,66 0,77 0,66 0,72 Oktober 0,76 1,11 0,78 0,92 Desember 0,22 1,03 0,79 0,93 Jumlah 7,90 12,26 6,34 9,11 Keterangan : Plot 1 : tegakan sengon monokultur murni pada kemiringan lereng < 25% Plot 2 : tegakan sengon monokultur murni pada kemiringan lereng >25% Plot 3 : tegakan sengon bekas agroforestri pada kemiringan lereng < 25% Plot 4 : tegakan sengon bekas agroforestri pada kemiringan lereng > 25% 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Plot 1 A<25% Plot 2 A>25% Plot 3 M<25% Plot 4 M>25% Gambar 1. Aliran permukaan pada pola dan kemiringan lereng berbeda 2. Erosi Aliran permukaan menghasilkan daya angkut terhadap bahan erosi (partikel tanah yang telah lepas), jadi semakin besar aliran permukaan cenderung semakin besar erosi yang diangkut dan 418 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

97 Erosi (gr) diendapkan pada tempat yang lebih rendah. Pada Tabel 5 dan Gambar 2, tampak bahwa pada kemiringan lereng >25% dan pada bekas pola agroforestri dihasilkan erosi di yang lebih besar daripada kemiringan lereng <25% dan pola monokultur murni. Seperti juga aliran permukaan, hal ini menunjukkan bahwa kemiringan lereng >25% dan bekas pola agroforestri menyebabkan peningkatan jumlah erosi yang terangkut oleh aliran permukaan. Tabel 5. Hasil pengukuran erosi di bawah tegakan sengon Erosi (gr) Bulan Plot 1 A<25% Plot 2 A>25% Plot 3 M<25% Plot 4 M>25% Januari 33,7 85,2 44,0 120,0 Februari 94,1 146,5 85,6 123,6 Maret 107,0 202,1 91,3 188,2 April 180,5 95,6 32,5 39,8 Oktober 32,8 95,4 161,4 70,4 Desember 63,5 135,6 50,0 42,6 Jumlah 511,5 760,4 464,8 584,4 800,0 600,0 400,0 200,0 0,0 Plot 1 A<25% Plot 2 A>25% Plot 3 M<25% Plot 4 M>25% Gambar 2. Erosi pada pola dan kemiringan lereng berbeda Hasil pengukuran besarnya aliran permukaan yang melimpas di bawah tegakan sengon, tergolong rendah meskipun pada kemiringan yang relatif curam. Ini disebabkan adanya rumput yang menutup rapat permukaan tanah di bawah tegakan sengon, serta perakaran yang dalam yang dapat memperbesar pori tanah sehingga mampu menahan air hujan pada permukaan tanah untuk kemudian terserap ke dalam tanah. Kondisi demikian dapat menahan erosi/ partikel tanah yang terangkut oleh aliran permukaan. Jadi daya perusak tumbukan air hujan oleh air lolos pada tanaman sengon dapat diatasi dengan menanam jenis tanaman bawah yang dapat menutup permukaan tanah. D. Infiltrasi Kapasitas infiltrasi tanah tergantung pada pengaruh banyak faktor yang bervariasi antar lokasi dan fluktuasi musiman (Lee, 1990). Menurut Asdak (2000), besarnya air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, dipengaruhi antara lain oleh tekstur dan struktur tanah, kelembaban tanah awal, kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan tebal serasah, dan tumbuhan bawah. Berdasarkan Tabel 6, diketahui pada kemiringan lereng curam dan kelembaban tanah tinggi (selang hari hujan relatif pendek) dihasilkan laju infiltrasi lebih tinggi daripada kemiringan lereng landai dan kelembaban tanah relatif rendah (selang hari hujan relatif panjang). Ini menunjukkan bahwa kemiringan lereng dan kelembaban tanah dapat mempengaruhi laju/ kapasitas infiltrasi. Namun demikian menurut klasifikasi yang dibuat oleh Kohnke (1968) dalam Lee (1990), nilai infiltrasi keseluruhan termasuk laju infiltrasi sedang hingga sangat cepat. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

98 Laju infiltrasi tertinggi terdapat pada lahan sebelum penanaman sengon, diikuti pada tegakan dengan pola monokultur dan terakhir pada bekas agroforestri. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain pembukaan/ pembersihan lahan pada saat penanaman sengon yang berdampak pada kehilangan bahan organik, aktivitas pengolahan lahan yang kurang tepat sehingga meningkatkan terjadinya pemadatan tanah terutama pada lahan sengon bekas agroforestri. Tabel 6. Hasil pengukuran infiltrasi di bawah tegakan sengon Kondisi Karakteristik Kelas Tekstur/ fo CuacaTerhadap lahan Jenis Tanah (cm/jam) Kondisi Tanah Awal Sengon monokultur : (Plot ) Landai Curam Sengon bekas agoforestri : Latosol Coklat Kemerahan Lempung Geluh Latosol Coklat Hujan sehari sebelumnya fc (cm/jam) f (cm/jam) tc (menit) - Jam pengukuran : ,2 4,8 6, Jam pengukuran : Hujan sehari sebelumnya Landai Curam Tanah awal/ sebelum ada sengon : Lokasi 1 Lokasi 2 Sengon monokultur : Berumput Tanpa penutup tanah Sengon bekas agoforestri : Berumput Tanpa penutup Lempung Lempung Latosol Coklat Geluh pasiran Geluh Latosol Coklat Kemerahan Geluh Geluh Latosol Coklat Geluh lempung pasiran Geluh lempung - Jam pengukuran : ,8 2,4 4, Jam pengukuran : ,4 8,4 12,8 35 Hujan sehari sebelumnya - Jam pengukuran : Jam pengukuran : Hujan 2 hari sebelumnya (Tidak hujan selang 2 hari) - Jam pengukuran : ,8 33, Jam pengukuran : Hujan 3 hari sebelumnya (Tidak hujan selang 3 hari) Jam pengukuran : Jam pengukuran : Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

99 Karakteristik lahan tanah Kelas Tekstur/ Jenis Tanah pasiran Kondisi CuacaTerhadap Kondisi Tanah Awal fo (cm/jam) fc (cm/jam) f (cm/jam) tc (menit) Keterangan : fo = laju infiltrasi awal, fc = laju infiltrasi konstan, f = kapasitas infiltrasi, tc = waktu mencapai infiltrasi konstan IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tanaman sengon memiliki aliran batang yang rendah, tetapi air lolos dan intersepsi yang tinggi. Intersepsi menyebabkan kehilangan air hujan sebagai pengisi air tanah semakin besar, sedangkan air lolos tajuk yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya tumbukan air hujan pada tanah di bawah tegakan sengon yang tidak terlindungi. 2. Aliran permukaan dan erosi di bawah tegakan sengon termasuk rendah, karena perakaran yang dalam dan rumput yang menutup rapat permukaan tanah di bawah tegakan sengon. 3. Infiltrasi termasuk sedang hingga sangat cepat, dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan kemiringan lereng tanah serta pengelolaan lahan. B. Saran Untuk mengurangi potensi erosi oleh air lolos tajuk yang dihasilkan oleh pohon sengon, di bawah tegakan sebaiknya ditanam tanaman bawah yang dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi serta memperbesar kapasitas infiltrasi, dengan pengelolaan lahan yang tepat dan tidak berlebihan. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bruiijnzeel, L.A., Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: a State of Knowledge Review. Faculty of Earth Science, Free University, Amsterdam, The Netherlands. Firoroh, I Kajian Profil Vegetasi terhadap Konservasi Air (Aliran Batang, Curahan Tajuk dan Infiltrasi) di Kebun Campur Sumber Tirta Senjoyo Semarang. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hendrayanto, O. Rusdiana, dan N.M. Arifjaya Pengaruh hutan tanaman jati terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Yogyakarta. Heryansah, E.L Intersepsi hujan pada hutan tanaman Agathis loranthifolia Sal. Di DAS Citatih Hulu, Sukabumi. Skripsi Fakultas MAtematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Lee, R Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mindawati, N., A. Widiati dan B. Rustaman Riview Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

100 Mudiyarso, D. dan S. Kurnianto Peranan Vegetasi dalam Mengatur Pasokan Air. Prosiding workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Pudjiharta, A Pengaruh hutan tanaman industri Eucalyptus terhadap tata air di Jawa Barat. Jurnal Puslitbang dan KA, Tahun Bogor. Rusdiana, O., N.M. Arifjaya, dan Hendrayanto Pengaruh hutan tanaman campuran terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cipeureu, Gunung Walat. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta. Sosrodarsono, Y Hidrologi Untuk Pengairan, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudomo, A., Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid (Manglieta glauca BI) di hutan rakyat Kampung Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya. In: Rostiwati, T., Mindawati, N., Anggraeni, I., Bustomi, S., Effendi, R. (Eds.), Workshop sintesa hasil penelitian hutan tanaman Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor. Supangat, A.B. Basuki, T.M. dan Sukresno Efek Faktor Pengelolaan Tanaman terhadap Erosi dan Limpasan pada Hutan Rakyat Kopi dan Sengon di Wonosobo. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BP2TPDASIBB Surakarta. Sukresno, AB. Supangat, CNS. Priyono dan UH. Murtiono Fungsi hidrologi hutan tanaman jati: Studi kasus pengelolaan hutan jati terhadap erosi dan tata air di BKPH Pasarsore, KPH Cepu. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta. 422 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

101 PENGARUH MIX PLANTING CEMARA UDANG DENGAN PANDAN PANTAI DALAM MENURUNKAN KECEPATAN ANGIN A.W. Nugroho Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (BalitekDAS) ABSTRAK Angin yang kencang merupakan salah satu kendala bagi budidaya tanaman semusim masyarakat pesisir Selatan Kebumen. Jenis tanaman, kerapatan dan struktur tegakan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan angin. Adanya aforestasi dengan cemara udang dengan sistem agroforestri memberikan banyak manfaat diantaranya dapat mengurangi kecepatan angin tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh mix planting cemara udang dengan pandan pantai dalam menurunkan kecepatan angin. Penelitian dilaksanakan di plot model rehabilitasi pantai Balitek DAS di Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen pada bulan Juni Plot model rehabilitasi pantai dibangun pada tahun 2006 dengan jenis cemara udang seluas 2,5 ha dan jarak tanam 5 m x 5 m (untu walang) dengan 6 baris. Alat yang digunakan adalah anemometer portabel. Pengambilan data dilakukan dengan membuat petak ukur permanen ukuran 30 m x 30 m pada dua tipe pola penanaman yang berbeda yaitu cemara udang (monokultur) dan mix planting cemara udang pandan pantai. Pengukuran kecepatan angin diambil secara bersamaan pada lokasi di depan tegakan cemara dan belakang cemara sampai jarak 20 m. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada pagi (09.00), siang (12.00) dan sore hari (16.00). Titik pengambilan data di depan dan belakang tegakan cemara dilakukan secara acak sesuai dengan letak PUP. Data penurunan kecepatan angin yang diperoleh, dianalisis secara statistik menggunakan uji normalitas dan prosedur T Test dengan SAS. Hasil penelitian menunjukkan mix planting cemara udang dengan pandan pantai memberikan pengaruh yang nyata dalam menurunkan kecepatan angin dibandingkan dengan pola monokultur (cemara udang). Mix planting cemara udang dengan pandan pantai mampu menurunkan kecepatan angin sampai 33% lebih baik dibandingkan dengan pola monokultur (cemara udang). Kata kunci: cemara, kecepatan angin, mix planting, pandan I. PENDAHULUAN Kawasan daratan pantai Selatan Kebumen yang terbentang luas sangat potensial untuk dikembangkan dalam mendukung kehidupan masyarakat sekitar, diantaranya melalui usaha budidaya tanaman pertanian (Sumardi, 2010). Tetapi, usaha budidaya tersebut menghadapi banyak kendala lingkungan diantaranya angin laut pantai selatan yang kencang dan mempunyai sifat merusak untuk tanaman. Salah satu upaya mengatasi kendala tersebut adalah dengan dikembangkannya suatu wind barrier (penahan angin) secara vegetatif dalam bentuk aforestasi pantai dengan cemara udang (Casuarina equisetifolia). Thuyet et al. (2014) memaparkan bahwa vegetasi sebagai shelterbelts hidup memainkan peran penting dalam mengurangi kecepatan angin dan pergeseran pasir pada kawasan pesisir. Sementara Winarni et al.(2012) melaporkan bahwa pada awalnya, aforestasi pantai Selatan Kebumen dengan cemara udang difungsikan sebagai wind barrier untuk menunjang usaha budidaya tersebut (agroforestri), tetapi kemudian berkembang untuk keperluan perlindungan pantai dan wisata. Harjadi (2015) mengemukakan bahwa dengan adanya wind break dari tegakan cemara, hasil yang diperoleh dari budidaya tanaman semusim di belakang tegakan cemara jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan sebelum adanya tegakan cemara. Dengan adanya cemara udang memberikan dampak positif bagi budidaya tanaman pertanian yang dilakukan di belakang atau di antara tegakan cemara udang. Sebelum adanya cemara udang, lahan pasir pantai jarang yang Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

102 digunakan untuk budidaya pertanian. Setelah ada cemara udang maka jenis lahan pertanian bertambah luas kearah garis pantai. Penurunan kecepatan angin oleh vegetasi dipengaruhi oleh jenis tanaman, kerapatan dan struktur tegakan. Windyanti (2013) menyebutkan bahwa kerapatan, tinggi dan diameter merupakan karakteristik tanaman cemara udang yang berpengaruh terhadap penurunan kecepatan angin. Jenis cemara udang dipilih karena memiliki tajuk yang besar, rimbun serta daunnya yang berbentuk jarum mampu menahan laju angin laut yang melewatinya sehingga cocok dijadikan tanaman pemecah angin (windbreak) (Iqbal, 2014). Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh mix planting cemara udang dengan pandan pantai dalam menurunkan kecepatan angin. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di plot model rehabilitasi pantai Balitek DAS di Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen pada bulan Juni Plot model rehabilitasi pantai dibangun pada tahun 2006 dengan jenis cemara udang seluas 2,5 ha dan jarak tanam 5 m x 5 m (untu walang) dengan 6 baris. Alat yang digunakan adalah anemometer portabel tipe GM816 dan peluit. Pengambilan data dilakukan dengan membuat petak ukur permanen ukuran 30 m x 30 m pada dua tipe pola penanaman yang berbeda yaitu cemara udang (monokultur) dan mix planting cemara udang-pandan pantai. Pengukuran kecepatan angin diambil secara bersamaan pada lokasi di depan tegakan cemara dan belakang cemara sampai jarak 20 m. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada pagi (09.00), siang (12.00) dan sore hari (16.00). Titik pengambilan data di depan dan belakang tegakan cemara dilakukan secara acak sesuai dengan letak PUP. Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer dengan mempertimbangkan arah angin. Pengukuran kecepatan angin dilaksanakan dengan terlebih dulu membunyikan peluit sebagai tanda pengukuran dimulai. Setelah kecepatan angin dianggap stabil (kurang lebih selama 3 menit) maka peluit dibunyikan lagi sebagai tanda pengukuran selesai kemudian data kecepatan angin dicatat. Persentase penurunan kecepatan angin merupakan perbandingan nilai penurunan terhadap nilai semula. Data persentase penurunan kecepatan angin yang diperoleh, dianalisis secara statistik menggunakan uji normalitas dan apabila data terdistribusi normal dilanjutkan menggunakan prosedur T Test dengan SAS. a b Gambar 1. Struktur tegakan cemara udang: a) cemara monokultur, b) AF cemara-pandan III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tegakan cemara udang dibangun dengan memperhatikan aspek sebaran arah dan kecepatan angin tahunan. Jalur tanaman dibuat tegak lurus arah angin dengan jarak dari bibir pantai kurang lebih 424 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

103 Tinggi (m) Diameter (cm) 100 m. Pada waktu pengambilan data, arah angin berasal dari tenggara/ lautan. Kecepatan angin pada waktu siang hari lebih cepat dibandingkan dengan pagi dan sore hari. Sedangkan data pertumbuhan (tinggi dan diameter) cemara udang dari umur 1 8 tahun secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter cemara laut umur 8 tahun adalah 13,34 m dan 17,74 cm ,13 2,01 5,6 7,75 9,17 13,34 11,76 12, Umur (tahun) ,02 2,24 8,16 11,12 a b Gambar 2. Pertumbuhan tinggi dan diameter cemara udang 14,62 15,63 17,02 17, Umur (tahun) Uji normalitas data untuk kedua kelompok perlakuan adalah tidak signifikan (p value > 0,05) (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa data terdistribusi normal dan dapat dianalisis lanjut menggunakan T test (Tabel 2). Tabel 1. Hasil analisis uji normalitas Tests for Normality Test Cemara Cemara-pandan pantai Statistic p Value Statistic p Value Shapiro-Wilk W Pr < W W Pr < W Kolmogorov-Smirnov D Pr > D > D Pr > D Cramer-von Mises W-Sq Pr > W-Sq W-Sq Pr > W-Sq Anderson-Darling A-Sq Pr > A-Sq A-Sq Pr > A-Sq Tabel 2. Hasil analisis T test The TTEST Procedure Statistics Lower CL Upper CL Lower CL Upper CL Variable model N Mean Mean Mean Std Dev Std Dev Std Dev Std Err kec cmr kec cmr_pdn kec Diff (1-2) T-Tests Variable Method Variances DF t Value Pr > t kec Pooled Equal <.0001 kec Satterthwaite Unequal <.0001 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

104 Equality of Variances Variable Method Num DF Den DF F Value Pr > F kec Folded F Tabel 2 menunjukkan tegakan cemara udang mampu menurunkan kecepatan angin sebesar 51%, sedangkan mix planting cemara udang-pandan pantai mampu menurunkan kecepatan angin sebesar 77%. Tetapi, apabila dibandingkan antara mix planting cemara udang-pandan pantai dengan cemara udang (monokultur) maka akan berbeda secara signifikan dalam menurunkan kecepatan angin. Mix planting cemara udang dengan pandan pantai mampu menurunkan kecepatan angin sampai 33% lebih baik dibandingkan dengan pola monokultur (cemara udang). Budiyanto (2011) menjelaskan bahwa vegetasi dapat digunakan untuk menurunkan kecepatan angin, menyaring partikel tanah yang bergerak dan membelokkan arah tiupan angin. Pohon adalah jenis yang cocok untuk membelokkan dan mengurangi kecepatan angin, sedangkan perdu merupakan jenis vegetasi yang berfungsi sebagai peredam kecepatan angin dan penyaring partikel tanah yang terbawa angin. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peletakan turap vegetasi ini harus disesuaikan dengan kinerja angin terutama rata-rata kecepatan angin dan arah tiupan angin. Dengan semakin rapatnya wind break dari cemara laut berdampak pada menurunnya erosi angin dan uap air yang mengandung garam, sebaliknya lahan pertanian menjadi lebih subur karena kelembaban meningkat, suhu menurun serta pengaruh humus dan pupuk kandang (Harjadi, 2015). Setelah ada tegakan cemara, jenis tanaman yang dibudidayakan juga semakin bervariasi diantaranya terong, kacang panjang, oyong, cabe dan pucuk daun kelapa tidak mengalami kekeringan/terbakar lagi (Gambar 3.) Gambar 3. Budidaya tanaman semusim di belakang tegakan cemara udang Pengurangan kecepatan angin disebabkan karena vegetasi dapat memberikan gaya menahan pada bidang angin yang menyebabkan hilangnya momentum aliran udara. Sebagai hasilnya, iklim mikro di sekitarnya juga berubah (Plate, 1971). Terdapat hubungan yang erat antara struktur shelterbelt dengan pengurangan kecepatan angin. Struktur shelterbelt tergantung pada lebar, panjang, bentuk dan porositas (Thuyet et al., 2014). IV. KESIMPULAN Tegakan cemara udang memberikan dampak positif bagi penurunan kecepatan angin sebesar 51%, sedangkan mix planting cemara udang-pandan pantai mampu menurunkan kecepatan 426 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

105 angin sebesar 77%. Tetapi, mix planting cemara udang dengan pandan pantai mampu menurunkan kecepatan angin sampai 33% lebih baik dibandingkan dengan pola monokultur (cemara udang). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Mas Asep Hermawan atas bantuannya dalam pengambilan data. Juga kepada teman-teman pasir: Pak Benny Harjadi, Susi Abdiyani, Mbak Gunarti dan Mas Aris Boedinyono atas soliditas dan dukungannya. DAFTAR PUSTAKA Budiyanto, G., Teknologi konservasi lanskap gumuk pasir pantai parangtritis Bantul DIY. Jurnal Lanskap Indonesia. Vol. 3 No. 2, hal: Harjadi, B., Pengelolaan lahan marjinal menjadi lahan potensial bagi peningkatan hasil finansial masyarakat. Seminar nasional geografi UMS. Iqbal, M., Peran lebar tegakan dan kerapatan area total hutan pantai Casuarina equisetifolia dalam mengurangi kecepatan angin di pantai gua cemara Yogyakarta. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Plate, E.J., The aerodynamics of shelter belts. Agricultural meteorology. Vol. 8, hal: TE Sumardi, Prinsip silvikultur reforestasi dalam rehabilitasi formasi gumuk pasir di kawasan pantai Kebumen. Thuyet, D.V., T.V. Do, T. Sato, dan T.T. Hung, Effects of species and shelterbelt structure on wind speed reduction in shelter. Agroforest Syst (2014) 88: Winarni, W.W., W. D. Atmanto, dan S. Danarto, Peran wind barrier cemara udang (Casuarina equisetifolia var. incana) dalam agroforestri pesisir. Seminar nasional agroforestri III, hal: Windyanti, R.K., Karakteristik tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia) dan pengurangan kecepatan angin di pantai gua cemara Yogyakarta. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

106 PENDUGAAN CADANGAN KARBON ATAS PERMUKAAN TANAH PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DUSUNG DI PULAU AMBON Aryanto Boreel, Ronny Loppies, Febian.F. Tetelay Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Unpatti Ambon ariel_forst@yahoo.com ABSTRACT The aim of the research is to estimate the amount of carbon stock and carbon uptake on land use types Dusung on the island of Ambon and study the development trend of changes in the amount of carbon at different times, in order to obtain an overview of the existing condition of the amount of carbon content and carbon uptake on the island of Ambon. The study was conducted in the months of April to November 2015, and focused on obtaining data and information on the amount of content and carbon uptake on land use types Dusung on the island of Ambon with the location of the data determined by purposive sampling based land cover maps island of Ambon and spectral value (NDVI) Landsat imagery 8. Making dem plot for terrestrial measurements performed on the Hative Besar village and the village of Soya with mempertimbangakan physical conditions of the region and the existence of community activities that have Dusung. Measuring and estimating carbon stocks in this study refers to the number 7724 Standar Nasional Indonesia Spatial analysis results based on the value of vegetation index (NDVI) at the study site acquired three classes of vegetation density, namely a density rarely (-1 NDVI < 0.32), medium density (0.32 < NDVI < 0.42) and highdensity/heavy (0.42 < NDVI 1). The potential number of aboveground carbon stocks on land use types Dusung at both sites showed different results in each vegetation density. The amount of carbon stocks stored in the village of Hative Besar range between 4.1 ton/ha tons/ha, while for Soya Village ranged from 17.4 tons/ha - 50, 6 ton/ha. Keywords : carbon stock, dusung, NDVI, Landsat Imagery 8 I. PENDAHULUAN Fenomena perubahan iklim yang dirasakan saat ini seperti kekeringan yang berkepanjang, kenaikan permukaan air laut merupakan implikasi dari pemanasan global yang tidak lain akibat aktivitas yang dilakukan oleh manusia, salah satunya melalui alih fungsi lahan. Data menunjukkan bahwa sekitar 20% emisi karbondioksida (CO 2 ) dan gas rumah kaca lain yang menyebabkan perubahan iklim dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan di daerah tropis. Meskipun hingga saat ini sebagian besar kebijakan terfokus pada penggunaan bahan bakar fosil sebagai penyebab emisi CO 2 terbanyak, namun komponen perubahan lahan tidak bisa diabaikan lagi ( Nooran, dkk, 2010, menjelaskan bahwa peran hutan dalam perubahan iklim yaitu sebagai Sink and Source. Dikemukakan bahwa dalam konsep CDM hutan dipandang sebagai Sink dimana hutan berperan sebagai penyimpan dan penyerap karbon. Sedangkan dalam konsep REDD hutan dipandang sebagai Source yaitu menekankan peran hutan sebagai pengemisi karbon dengan menjaga agar tidak terjadi deforestasi dan degradasi. Walaupun hutan dengan segala vegetasi pepohonan di dalamnya memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengurangi emisi CO 2, namun dengan terjadi perubahan alih fungsi lahan yang terus menerus akibat meningkatnya populasi penduduk dan kebutuhan tata ruang wilayah menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca. Hal ini mestinya menjadi perhatian serius bagi pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penanganan perubahan alih fungsi lahan yang komprehensif dan terintegrasi sehingga dapat mengimbangi lajunya emisi gas rumah kaca, khususnya gas CO Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

107 Pulau Ambon merupakan salah satu pulau kecil di provinsi Maluku memiliki kerentanan dan kepekaan yang cukup tinggi terhadap dampak perubahan iklim global. Salah satu penyebabnya adalah perubahan alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian maupun perkebunan dengan pola tanam monokultur yang dilakukan oleh masyarakat melalui teknik-teknik pembukaan lahan yang mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem disekitarnya, misalnya dengan cara pembakaran lahan pada luasan tertentu. Disamping itu, akibat lain yang ditimbulkan adalah munculnya sejumlah lahan kritis yang dalam jangka panjang tidak dimanfaatkan sehingga memicu terjadinya peningkatan emisi CO 2 ke atmosfir sehingga menimbulkan efek gas rumah kaca dan berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim global. Dusung merupakan salah satu pola tanam tradisional yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat pulau Ambon yang diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan mulai dari pembukaan hutan primer sampai terbentuk lahan perkebunan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis komoditi termasuk peternakan dan perikanan (Kaya, 2002 dalam Lopumeten, 2011). Istilah Dusung memiliki makna yang hampir sama dengan Agroforestri yang umumnya dikenal. Agroforestri atau Dusung memiliki peran yang sangat penting bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga bagi lingkungan sekitar seperti perlindungan tata air. Hairiah (2008), menjelaskan bahwa agroforestri memberikan tawaran yang cukup menjanjikan untuk mitigasi akumulasi GRK di atmosfir. Berdasarkan uraian pada paragraf diatas, maka dalam upaya menekan pelepasan jumlah emisi CO 2 melalui berbagai aktivitas pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat, perlu dilakukan penelitian terutama untuk mendapatkan gambaran kondisi eksisting jumlah kandungan karbon (carbon stock) yang dihasilkan dari aktivitas pengelolaan lahan dusung yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat di Maluku khususnya di pulau Ambon. Tujuan penelitian ini adalah: (a) Mengetahui struktur dan komposisi jenis tanaman pada lahan dusung, dan (b) mengestimasi cadangan karbon (carbon stock) di atas permukaan tanah pada lahan dusung. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Bulan April November 2015 dan berlokasi di Pulau Ambon. Kandungan C-organik dari masing-masing karbon pool diantaranya biomassa atas permukaan, biomassa serasah dan nekromassa pada lahan dusung, dianalisis di laboratorium Silvikultur, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon. Analisis spasial untuk pemetaan lokasi penelitian dan penentuan satuan contoh pada tiap plot dilakukan pada Laboratorium Perencanaan Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

108 B. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat penentu posisi koordinat (GPS) dengan tingkat kesalahan jarak horisontal maksimal 10 m, alat pengukur diameter pohon (phi band), alat pengukur panjang (meteran), alat pengukur kelerengan (clinometer), alat pengukur tinggi pohon, alat pengukur berat (timbangan), kompas, peta kerja, gergaji kecil, gunting stek, oven, tally sheet, wadah contoh, tali tambang plastik, spidol/pensil, plastik dengan ukuran 2 kg dan 5 kg, label dan cat/pilox untuk menandai batang pohon. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa vegetasi pada berbagai tingkatan permudaan (pohon, tiang, sapihan dan semai), tumbuhan bawah, serasah, serta nekromassa (kayu mati dan pohon mati), citra satelit Landsat 8 path/row 109/62 liputan 26 Maret 2013, peta Rupa Bumi Indonesia liputan pulau Ambon serta peta administrasi Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah. Data penunjang lain diantaranya hasil pengukuran cadangan karbon pada berbagai tipe penutupan lahan di Provinsi Maluku Tahun C. Teknik Pengumpulan Data 1. Pemilihan Desa Contoh Pemilihan desa contoh dilakukan secara purposive sampling (pemilihan dengan sengaja) dengan mempertimbangkan kondisi fisik wilayah serta keberadaan aktivitas masyarakat yang memiliki dusung. Desa yang diambil sebagai contoh adalah Desa Hative Besar dan Desa Soya di Pulau Ambon. 2. Penempatan Satuan Contoh Penempatan satuan contoh di lapangan pada masing-masing desa contoh dilakukan melalui analisis indeks vegetasi (NDVI) berdasarkan data citra satelit landsat 8 untuk mendapatkan gambaran tingkat kerapatan vegetasi di lokasi penelitian. Tingkat kerapatan vegetasi selanjutnya dikelompokan menjadi 3 (tiga) yaitu tingkat kerapatan tinggi/lebat, kerapatan sedang dan kerapatan rendah/jarang (Departemen Kehutanan, 2003). Kisaran tingkat kerapatan vegetasi berdasarkan NDVI disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kisaran Tingkat Kerapatan Vegetasi berdasarkan Nilai Indeks Vegetasi (NDVI) Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8. Kelas Kerusakan Hutan Kisaran Nilai NDVI Estimasi Kerapatan Kanopi Tingkat Kerapatan 1-1 sampai 0,32 < 50% Jarang 2 > 0,32 sampai 0, % Sedang 3 0,42 sampai % Lebat Sumber : Departemen Kehutanan, 2003 Pembuatan plot pengukuran untuk pendugaan biomassa pada setiap tipe kerapatan vegetasi dilakukan dengan mengacu pada ukuran piksel citra satelit landsat 8. Model plot ukur dirancang dalam bentuk persegi dengan ukuran 30 m x 30 m di lapangan. Pemilihan model plot ukur ini adalah untuk mendekati ukuran piksel citra satelit landsat 8 yaitu 30 m x 30 m per piksel Gambar 2. Gambar 2. Bentuk dan Ukuran Plot Pengamatan Karbon (FWI, 2009 setelah dimodifikasi) 430 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

109 Plot contoh di citra ditentukan berdasarkan hasil klasifikasi nilai NDVI dari citra landsar 8 pada masing-masing tipe kerapatan vegetasi sesuai dengan proporsi berdasarkan lebar kelas dengan jumlah contoh sebanyak 15 plot. Penentuan plot dilakukan secara purposive pada masing-masing kelas kerapatan dengan distribusi plot pada tiap lokasi untuk Desa Hative Besar sebanyak 8 plot dan Desa Soya sebanyak 7 plot. 3. Penghitungan Biomassa Secara umum tahapan pengukuran dan penghitungan cadangan karbon pada lahan dusung di lokasi penelitian mengacu pada Standar Nasional Indonesia Nomor 7724 tahun 2011 setelah dimodifikasi sebagaimana tertera dalam Tabel Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2010 dan Minitab Ver.16, sedangkan pengolahan data citra menggunakan software ArcGIS Ver Analisis data untuk menggali informasi potensi cadangan karbon di lokasi penelitian dibagi menjadi 2 (dua), yaitu analisis vegetasi dan analisis potensi cadangan karbon. Analisis vegetasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran sebaran potensi vegetasi di lokasi penelitian diantaranya Kerapatan (ind/ha), Frekuensi, Dominansi (lbds/ha) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk informasi jumlah cadangan karbon diperoleh melalui beberapa pendekatan model seperti disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Pendekatan model pengolahan dan analisis data perhitungan jumlah cadangan karbon dan besarnya serapan karbon di lokasi penelitian No Data Pendekatan Sumber 1. Biomassa pohon Allometrik Litbang Kehutanan, umum 0,1728D 2, Biomassa Bambu Allometrik Priyadarsini,2000; 0,131D 2,28 Hairiah et al, Biomassa Pisang Allometrik Arifin, 2001; Hairiah et 0,030D 2,13 al, Biomassa serasah dan BBtot x BK SNI 7724 : 2011 c tumbuhan bawah BB 8. Nekromassa Pohon mati (metode geometrik) 2 V = x D x T x f Kayu mati (metode berdasarkan d p + du V km = 0, 25π 2 x 100 x p volume) 10. Berat jenis kayu 3 Berat kering (gr) BJ (gr/cm ) = 3 volume (cm ) 12. Analisis NDVI NIR - RED c SNI 7724 : 2011 Hairiah, dkk Eckert, 2012 NIR + RED Keterangan : D = Diameter pohon (cm); T/H = tinggi pohon (m); f = angka bentuk batang (0,6); Vkm = Volume kayu mati (m 3 ); BBtot = Berat Basah total; BBc = Berat Basah sampel; BBk = Berat Kering contoh; Bap = Biomassa atas permukaan; BJ = berat jenis kayu; B = biomassa (ton/ha); = berat jenis/kerapatan kayu (g/cm 3 ); (phi) = 3,14. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

110 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Melalui Nilai Indeks Vegetasi (NDVI) Hasil analisis NDVI yang dilakukan pada lokasi penelitian (pulau Ambon) diperoleh nilai NDVI berkisar antara -0,25 sampai 0,66. Kisaran nilai NDVI selanjutnya dibagi secara proporsional berdasarkan lebar kelas sesuai kriteria untuk mendapatkan informasi tingkat kerapatan vegetasinya yaitu kerapatan jarang (-1 NDVI < 0,32), kerapatan sedang (0,32 < NDVI < 0,42) dan kerapatan tinggi/lebat (0,42 < NDVI 1). Data tingkat kerapatan vegetasi kemudian dilakukan tumpang susun (overlay) dengan kondisi penutupan lahan di lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai tipe penggunaan lahan dusung (Tabel 3). Tabel 3. Sebaran Plot Contoh berdasarkan Kisaran nilai NDVI pada Berbagai Kerapatan Vegetasi di Lokasi Penelitian No. Plot Tingkat Kerapatan NDVI Contoh Vegetasi Lokasi Lebat Lebat Jarang Lebat Lebat Hative Besar Sedang Lebat Sedang Lebat Lebat Lebat Lebat Soya Sedang Sedang Jarang Sumber : Data Primer, diolah 2015 Nilai NDVI menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi berdasarkan tingkat kehijauan vegetasi. Tingkat kehijauan vegetasi dipengaruhi oleh daun sebagai komponen biomassa pohon dan biomassa tumbuhan bawah. Menurut Jensen (1986) dalam Dahlan, dkk (2005), respon spektral tanaman dipengaruhi oleh besarnya pigmentasi daun, terutama klorofil pada panjang gelombang visible (0,45 0,65 m). Kerapatan vegetasi dihasilkan dari pengkelasan hasil transformasi indeks vegetasi NDVI. Rapat tidaknya vegetasi dapat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya jumlah vegetasi dalam satu areal baik berupa jumlah pohon atau belukar maupun vegetasi bawah seperti semak dan rumput. Selain itu, tingkat kerapatan vegetasi juga dapat dilihat dari jarak antar pohon dalam areal tertentu serta banyak sedikitnya vegetasi yang menutupi suatu areal tertentu sehingga dapat dikatakan jarang atau rapat (Widodo, 2014). B. Struktur dan Komposisi Vegetasi Penyusun Lahan Dusung 1. Desa Hative Besar a. Tutupan Lahan dengan Kerapatan Tinggi/Lebat Pengamatan yang dilakukan pada 5 plot contoh dengan ukuran areal sebesar 0,45 hektar diperoleh hasil, untuk tingkat pohon ditemukan 13 jenis yang didominsi oleh kelapa (Cocos nucifera) dengan Indeks Nilai Penting (INP) = 73,82 diikuti cengkih (Eugenia aromatica) dengan INP = 62,20. Pada tingkat tiang ditemukan 9 jenis yang didominasi pala (Myristica fragans) dengan INP = 65, Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

111 diikuti dengan gandaria (Bouea macrophylla) dengan INP= 47,18. Pada tingkat sapihan hanya ditemukan 4 jenis, yang mendominasi adalah langsat (Lansium parasiticum) dengan INP = 119,74. Pada tingkat semai ditemukan 9 jenis dan yang dominan adalah gandaria dengan INP = 51,97. b. Tutupan Lahan Dengan Kerapatan Sedang Pada tutupan lahan dengan kerapatan sedang diamati pada 2 plot contoh dengan luas 0,18 hektar, diperoleh hasil untuk tingkat pohon ditemukan 11 jenis dengan jenis yang paling mendominasi adalah kelapa dengan INP = 97,92 diikuti gandaria dengan INP = 57,95. Untuk tingkat tiang terdapat 5 jenis yang didominasi oleh gandaria dengan INP = 147,94 diikuti dengan duku dengan INP = 55,54. Pada tingkat sapihan ditemukan dua jenis yaitu duku dan gandaria dengan INP tertinggi adalah gandaria yaitu 163,14. Untuk tingkat semai terdapat 6 jenis dan yang mendominasi (INP = 54,29) diikuti oleh sukun (Artocarpus altilis) dengan INP = 48,57 c. Tutupan Lahan dengan Kerapatan Rendah/ Jarang Pengamatan dilakukan pada 1 TSP dengan luas areal 0,09 hektar. Pada tingkat pohon ditemukan dua jenis yaitu kelapa dan pisang (Musa paradisiaca) dengan INP tertinggi adalah kelapa dengan INP = 161,22. Pada tingkat tiang hanya dijumpai 1 jenis yaitu pisang. Untuk tingkat sapihan ditemukan dua jenis yaitu dengan INP = 224,63 dan samama (Anthocephalus macrophyllus). Tingkat semai hanya ditemukan satu jenis yaitu gayang (Inocarpus spp). 2. Desa Soya a. Tutupan Lahan dengan Kerapatan Tinggi Pengamatan dilakukan pada 4 plot contoh atau areal seluas 0,36 ha. Pada tingkat pohon ditemukan 15 jenis dengan jenis yang dominan adalah salak (Zallaca edulis) dengan INP = 50,28, diikuti manggustan (Garcinia mangostana) dengan INP = 49,51. Pada tingkat tiang ditemukan 11 jenis dengan langsat yang paling dominan (INP = 91,31) diikuti manggustan (INP = 50,91). Tingkat sapihan ditemukan 5 jenis dengan jenis yang dominan adalah pisang (INP = 150,05) diikuti kucapi (Sandoricum koetjape) dengan INP = 38,48. Tingkat semai ditemukan 7 jenis dengan jenis yang dominan adalah manggustan (INP = 50,96) diikuti kucapi (INP = 48,08). b. Tutupan Lahan dengan Kerapatan Sedang Pengamatan dilakukan pada 2 TSP atau 0,018 ha, tingkat pohon ditemukan 3 jenis yaitu kelapa, kucapi, ganemu (Gnetum gnemon) danyang mendominasi adalah kelapa (INP = 119,70). Tingkat tiang ditemukan 4 jenis dengan jenis yang dominan adalah kucapi (INP = 82,51). Tingkat sapihan hanya ditemukan satu jenis yaitu kucapi sedangkan untuk tingkat semai terdapat 4 jenis dan yang dominan adalah kucapi (INP = 82,14). c. Tutupan Lahan dengan Kerapatan Rendah Pengamatan dilakukan pada 1 TSP dengan luas 0,09 ha. Tingkat Pohon ditemukan 4 jenis dengan jenis yang dominan yaitu kucapi (INP = 148,50). Tingkat tiang ditemukan 6 jenis dengan jenis yang mendominasi adalah langsat (INP = 63,21). Tingkat sapihan tidak ditemukan sedangkan tingkat semai terdapat dua jenis yaitu kelapa dan kucapi. C. Cadangan Karbon Atas Permukaan Tanah (AGB) di Lahan Dusung Hasil penelitian menunjukkan jumlah cadangan karbon di atas permukaan pada tipe penggunaan lahan dusung di kedua lokasi penelitian pada berbagai tingkat kerapatan vegetasi sangat bervariasi. Desa Hative cadangan karbon di atas permukaan tanah berkisar antara 4,1 ton/ha pada tingkat kerapatan jarang sampai 69,2 ton/ha pada tingkat kerapatan sedang. Desa Soya cadangan karbon atas permukaan tanah berkisar 17,7 ton/ha pada tingkat kerapatan sedang sampai 50,6 ton/ha pada tingkat kerapatan tinggi/lebat. Gambaran potensi biomassa dan cadangan karbon tersimpan pada tipe penggunaan lahan dusung tertera dalam Tabel 3. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

112 Tabel 4. Rata-rata Biomassa dan Cadangan Karbon pada Tipe Penggunaan Lahan Dusung. Biomassa (ton/ha) Cadangan karbon (ton/ha) Lokasi Tingkat Kerapatan Vegetasi Tingkat Kerapatan Vegetasi Jarang Sedang Lebat Jarang Sedang Lebat Ds. Hative Besar 8,8 147,2 89,4 4,1 69,2 42,0 Ds. Soya 106,1 36,9 107,7 49,9 17,4 50,6 Sumber: Data Primer diolah, 2015 Jika dicermati dalam Tabel 4 bahwa potensi cadangan karbon yang terdapat pada tipe penggunaan lahan dusung cenderung tidak dipengaruhi oleh tingkat kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI. Cadangan karbon di Desa Hative Besar pada kerapatan lebat (42,0 ton/ha) lebih rendah bila dibandingkan dengan cadangan karbon pada kerapatan sedang (69 ton/ha). Demikian pula di Desa Soya, cadangan karbon pada kerapatan jarang (49,9 ton/ha) lebih tinggi dari cadangan karbon pada kerapatan sedang (17,4) dan hampir sama dengan cadangan karbon pada kerapatan lebat (50,6 ton/ha). Cadangan karbon pada dasarnya dipengaruhi oleh struktur dan komposisi vegetasi penyusun lahan hutan/dusung yang mencakup ukuran diameter batang dari vegetasi dan jenis tanaman yang ada dalam dusung. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah (Hairiah et al, 2011). Luas bidang dasar merupakan komponen informasi yang dapat membantu dalam penentuan ukuran kerapatan tegakan dalam kawasan hutan; semakin besar luas bidang dasar maka semakin rapat hutan tersebut (Hardjana dkk, 2012). Luas bidang dasar dihitung berdasarkan ukuran diameter batang tanpa memperhitungkan kerapatan jenis kayu, sedangkan cadangan karbon yang merupakan bagian dari biomasa dihitung berdasarkan kerapatan jenis kayu yang tergantung pada jenis pohon. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Struktur dan komposisi vegetasi penyusun lahan dusung di Desa Hative Besar didominasi oleh kelapa (Cocus nucifera), diikuti oleh cengkih (Eugenia aromatica) dan gandari (Bouea macrophylla) 2. Struktur dan komposisi vegetasi penyusun lahan dusung di Desa Soya didominasi oleh salak (Zallaca edulis), diikuti oleh manggustan (Garcinia mangostana). 3. Potensi cadangan karbon atas permukaan tanah pada tipe pengunaan lahan dusung berkisar antara 4,1 ton/ha - 69,2 ton/ha di Desa Hative Besar dan di Desa Soya berkisar antara 17,4 ton/ha - 50,6 ton/ha 4. Besarnya potensi cadangan karbon pada lahan dusung dipengaruhi oleh jenis vegetasi dan ukuran diameter batang. B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan data cadangan karbon dari lebih banyak petak contoh pada tipe penggunaan lahan dusung agar diperoleh data baseline cadangan karbon yang mewakili untuk Pulau Ambon 2. Perlu dilakukan pemetaan secara spasial mengenai potensi cadangan karbon pada tipe penggunaan lahan dusung sehingga diperoleh informasi secara periodik perubahan cadangan karbon akibat perubahan penggunaan lahan dan penangannya. 434 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

113 DAFTAR PUSTAKA Anonim, Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dahlan S., Surati Jaya I.N., Istomo Estimasi Karbon Tegakan Acacia Mangium Wild Menggunakan Citra Landsat ETM+ dan SPOT-5: Studi Kasus di BPKH Parung Panjang KPH Bogor. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa. Eckert S Improved Forest Biomass and Carbon Estimating Using Texture Measured from WorldView-2 Satellite Data. Remote Sensing Journal Vol Hairiah K., Ekadinata A., Sari R.R., Rahayu S Pengukuran Cadangan Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk Praktis. Edisi Kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office. Hardjana A.K, Rahimahyuni F. N, Iwan S, Tumaka, Ahmad R Pendugaan Stok Karbon Kelompok Jeni Tegakan Berdasarkan Tipe Potensi Hutan di Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol 6 No. 2. Hal Lopumeten A.L Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat Pengelola Dusung di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon. Tidak Dipublikasikan. Noo ran R.F., Purwaningsih S., Rustami A., Subagyo P Pengukuran dan Pendugaan Stok Karbon Tipe Ekosistem Hutan Dipterocarpaceae di KHDTK Labanan Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. [SNI] Standar Nasional Indonesia. Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon- Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Badan Standarisasi Nasional. Widodo A Analisis Estimasi Kemampuan Daya Serap Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) Berdasarkan Biomassa Hijau Melalui Pemanfaatan Citra ALOS AVNIR-2 (Kasus di Kota Surakarta). Publikasi Ilmiah. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. [10 April 2014] Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

114 SELEKSI JENIS-JENIS POHON SEBAGAI KOMPONEN AGROFORESTRI DAERAH KERING Albert Husein Wawo, Peni Lestari, Fauzia Syarif, Ninik Setyowati dan Ning Wikan Utami Puslit Biologi, LIPI wawoal@yahoo.com ABSTRAK Lahan di daerah kering dicirikan dengan kekurangan air, tanah yang kurang subur, kandungan bahan organik tanah rendah yang menyebabkan pertumbuhan dan produksi tanaman rendah. Pengelolaan lahan kering dengan hanya menanam tanaman semusim yang berakar dangkal akan menyebabkan kegagalan panen. Penanaman jenis-jenis pohon bersama dengan tanaman semusim akan mampu mereduksi kegagalan panen. Pola pengelolaan lahan kering dengan mengkombinasikan antara jenis-jenis tanaman semusim dengan jenisjenis pohon sacara kolektif dalam satu satuan lahan dikenal dengan sistim agroforestri. Penempatan jenis-jenis pohon sebagai komponen sistim agroforestri daerah kering hendaknya disesuaikan dengan sistim perakaran dan habitus jenis-jenis pohon tersebut. Pohon-pohon dalam sistim agroforestri berfungsi sebagai penambahan kesuburan lahan, penahan tiupan angin, mengurangi penetrasi cahaya matahari, penyediaan hijauan pakan ternak, kayu bakar dan sumber vitamin dan mineral bagi pemilik lahannya. Di daerah kering terdapat beberapa jenis pohon yang dapat dikembangkan sebagai komponen agroforestri yaitu lamtoro (Leucaena glauca), turi (Sesbania grandiflora), kelor (Moringa oleifera) dan sengon (Paraseriantnes falcataria), dadap (Erythrina.orientalis). Beberapa jenis buah-buahan yang cocok untuk daerah kering adalah sirsak, srikaya, jambu batu, pisang, mangga, nangka dan sukun. Sedangkan jenis-jenis tanaman industri untuk daerah kering adalah asam, jambu mete, kemiri, kosambi, kelapa, lontar dan cendana. Tulisan ini akan menjelaskan beberapa model agroforestri daerah kering dan jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai komponen agroforestri tersebut. Kata kunci : Agroforestri, daerah kering, seleksi, jenis-jenis pohon. I. LATAR BELAKANG Lahan kering dicirikan dengan kondisi kekurangan air terutama pada musim kering, curah hujannya rendah, lahan kurang subur dengan kandungan bahan organik tanah rendah. Dengan ciri tersebut maka produktivitas lahan cenderung rendah. Luas lahan kering di Indonesia ditaksir sekitar 60,7 juta hektar. Lokasi lahan mayoritas tersebar di dataran rendah, yakni pada ketinggian antara m dpl (Dianastya, 2012). Lahan kering yang luas ini sangat berpotensi sebagai lahan penghasil pangan. Dengan demikian, pengelolaan lahan kering menjadi sebuah tantangan yang menarik. Membudidayakan tumbuhan semusim (annual crops) di lahan kering memiliki resiko yang tinggi karena sering mengalami gagal panen sehingga pengelola lahan kering hendaknya mampu memilih jenis-jenis tanaman semusim yang sesuai dan penanamannya harus dilakukan pada awal musim hujan. Sistim perakaran tanaman semusim umumnya dangkal dan tersebar pada lapisan tanah permukaan (top soil) sehingga musim kering yang panjang akan mematikan tanaman semusim tersebut. Sebaliknya pohon-pohon yang tumbuh di lahan kering memiliki sistim perakaran yang lebat dan penyebaran ke arah vertikal (ke dalam tanah) sehingga pohon-pohon tersebut mampu tumbuh di musim kering yang panjang (Reijntjes dkk, 1999). Oleh karena itu pengembangan lahan kering menjadi lahan produktif penghasil pangan harus dilakukan secara terintegrasi antara tanaman semusim dan jenis-jenis pohon. Pola pembudidayaan yang terintegrasi antara tanaman semusim dan jenis-jenis pohon pada satu areal lahan tertentu telah dikenal oleh masyarakat dengan sebutan wanatani atau sistim agroforestri. 436 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

115 II. SISTIM AGROFORESTRI DAN KOMPONENNYA De Foresta & Michon (2000) mengelompokkan 2 sistim agroforestri di Indonesia yaitu agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks. Pada sistim agroforestri kompleks tegakan vegetasi berupa pepohonan sangat dominan menyerupai hutan primer sedangkan agroforestri sederhana vegetasinya terdiri dari tanaman pangan, pakan dan pepohonan. Pepohonan dalam sistim agroforestri sederhana jumlahnya terbatas. Tentunya setiap daerah/wilayah dapat memiliki sistim agroforestri tertentu (Roshetko dkk, 2002) sesuai dengan iklim, jenis tanah dan vegetasi yang ada di lokasi atau wilayah tersebut. De Foresta & Michon (2000) mendefenisikan agroforestri sebagai sebuah teknologi penggunaan/ pengelolaan lahan secara terpadu melalui penanaman secara terpadu jenis-jenis pohon yang berumur panjang dengan tanaman berumur pendek pada satu unit lahan dengan memperhatikan pengaturan ruang dan waktu sehingga produktivitas lahan meningkat. Tanaman semusim ini dapat berupa sumber pangan maupun pakan. Maka dari itu untuk membangun sebuah model agroforestri di daerah kering membutuhkan 3 unsur penting yaitu penataan ruang, seleksi jenis tanaman / pohon, dan pergiliran waktu tanam(wawo, 2006). Penataan ruang bertujuan untuk menentukan tempat tanam pohon dan tanaman semusim yang akan ditanam dalam lokasi agroforestri. Dalam penataan ruang ini perlu diperhatikan kebutuhan cahaya, kebutuhan hara dan luasan lahan bagi tanaman yang akan ditanam. Penataan tata ruang yang tepat akan mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman yang telah ditanam. Penataan ruang berkaitan langsung dengan tujuan pengembangan sistim agroforestri yang bersangkutan. Seleksi jenis jenis tanaman dilakukan pada jenis-jenis pohon dan jenis-jenis tanaman semusim. Pemilihan jenis-jenis pohon hendaknya sesuai dengan tujuan pengembangan sistim agroforestri tersebut. Misalkan Agroforestri cendana bertujuan untuk melindungi cendana dari kepunahan. Oleh karena itu, jumlah cendana yang ditanam harus banyak. Pemilihan jenis-jenis tanaman semusim hendaknya disesuaikan dengan jumlah bulan basah dan bulan kering di lokasi tersebut. Pergiliran tanaman semusim pada lahan agroforestri sangat dianjurkan untuk memutuskan siklus hidup hama penyakit dan penyerapan unsur- unsur hara dari dalam tanah lebih optimal. Pergiliran waktu tanam dalam sistim agroforestri disesuaikan dengan musim hujan dan musim kemarau. Umumnya di daerah kering durasi bulan basah antara 3 4 bulan dan musim kering sepanjang 8 9 bulan. Penanaman jenis-jenis pohon yang telah terseleksi sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Begitu juga dengan tanaman pangan dan pakan. Menjelang akhir musim hujan, ketika jagung atau sorghum selesai dipanen; petani menanam cabe, terong, kacang-kacangan sayuran dan memelihara ubikayu dan umbi-umbian lainnya Pada musim kering petani menanam kacang hijau, koro-benguk dan tanaman penutup tanah untuk menyuburkan lahan. Jenis-jenis tanaman yang ditanam dalam suatu sistim agroforestri tersusun menjadi 3 komponen yaitu komponen pertanaman pagar (Hedgetrees), komponen tanaman sela (Alley crops) dan komponen tanaman tepi (border plants). Kelompok pertanaman pagar (hedgetrees) terdiri dari pohon atau semak yang ditanam dalam jalur sebagai penahan erosi, menyuburkan tanah dan melestarikan jenis tersebut serta mengendalikan persebaran hama penyakit yang terjadi pada tanaman sela. Komponen tanaman sela (Alley crops) adalah kelompok tanaman semusim atau setahun yang ditanam antara jalur pertanaman pagar tersebut. Jenis-jenis tersebut adalah tanaman pangan seperti jagung, kedelai, ubikayu, sorghum, padi ladang, cabe, terong, kacang tanah, kacang turis dan kacang hijau. Selain tanaman pangan juga jenis-jenis rumput untuk pakan ternak. Komponen Tanaman tepi (border plants) terdiri dari pohon berbatang besar dan berdaun lebar sehingga bisa menjadi penahan angin dan pagar hidup. Sebagai tanaman bawah (under storey plants) dari pohon-pohon tersebut dapat ditanami umbi-umbian yang tahan terhadap kondisi ternaung. Jika tersedia sinar matahari cukup dapat ditanami rumput dan jenis pakan lainnya. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

116 III. BEBERAPA MODEL AGROFORESTRI DI DAERAH KERING 1. Model Agroforestri Berbasis Cendana Model ini telah dikembangkan di desa Dirun kabupaten Belu, NTT pada ketinggian 1000 m dpl bertujuan untuk melestarikan cendana yang terancam langka. Dalam model ini cendana ditanam sebagai pertanaman pagar (hedges trees) dengan tanaman inang sekunder yang terdiri dari sirsak dan jambu batu. Jarak tanam cendana 5 m dalam jalur dan antar jalur adalah 5 m. Lahan di antara jalur pertanaman pagar ditanami jagung, ubikayu, kacang gude dan bawang merah. Tanaman kemiri juga ditanam dalam jalur pertanaman pagar dengan jarak 10 m. Model agroforestri berbasis cendana dapat dikembangkan pada lokasi tanah datar hingga pada kemiringan 40 % (Wawo & Abdulhadi, 2006, Wawo, 2006 ). Sektsa terlampir. 2. Model Budidaya Tanaman Lorong (Alley cropping system) Model ini pernah dikembangkan pada luasan areal terbatas sekitar m 2 di Desa Puluitan, Gunung Kidul dan desa Gunturhardjo, Wonogiri. Model ini cocok untuk lahan datar atau dengan kemiringan sekitar %. Jenis-jenis pohon yang dikembangkan adalah turi dan lamtoro. Kedua jenis tanaman ini ditanam sebagai pertanaman pagar (hedges trees) dengan jarak 1 2 m dalam jalur dan antar jalur sekitar 4 5 m. Lahan antara jalur ditanami jagung, padi, kacang kedele dan ubi kayu. Rontokan daun turi dan lamtoro dapat menyuburkan tanah dan hijauannya dapat digunakan untuk pakan ternak terutama pada musim kemarau. Rumput gajah ditanam pada tepi lahan untuk mendukung ketersediaan pakan ternak (Wawo dkk, 1993). Sketsa terlampir. 3. Model Tiga Strata ( Three Strata Forages System). Model ini telah dikembangkan di Bali untuk menyiapkan kecukupan pakan ternak sepanjang tahun. Model ini terdiri dari 3 bagian yaitu zona inti (core) yang ditanami tanaman pangan, zona selimut (blanket) yang ditanami jenis-jenis rumput dan zona tepi (circumfence) ditanami jenis-jenis pohon hijauan pakan ternak seperti Ficus, Lannea, Hibiscus, Gliricidia dan Leucanea (Nitis, et al, 1989). Sketsa terlampir. 4. Model Empat Lapisan ( Four Layers System) Model ini dikembangkan di desa Pajarakan, kabupaten Buleleng, Bali pada luasan lahan terbatas sekitar 2500m 2. Model empat lapisan ini sebaiknya diterapkan pada tanah datar atau pada lahan dengan kemiringan sekitar %. Model ini sedang diuji kemampuannya untuk menyediakan kecukupan pangan dan pakan ternak. Lahan agroforestri dibagi menjadi 4 lapisan (layer) yaitu lapisan Utama (50% luas lahan), lapisan Peralihan (10 % luas lahan), lapisan Pendukung (35% luas lahan) dan lapisan Tepi (5% luas lahan). Pada lapisan utama ditanami jagung, cabe, kacang tanah, kacang merah dan kacang hijau. Dalam lapisan utama juga ditanami lamtoro, turi dan kelor. Pada lapisan peralihan ditanami tanaman buah-buahan seperti sirsak, pisang, nanas. Pada lapisan pendukung ditanami rumput gajah dan pada lapisan tepi ditanami cendana, nangka, kelapa dan mangga. Model ini dikembangkan mulai tahun 2013 dan diharapkan pada tahun 2016 sudah dapat disebarluaskan ke petani yang lain. Sketsa terlampir. IV. SELEKSI JENIS POHON UNTUK KOMPONEN AGROFORESTRI LAHAN KERING Beberapa jenis tumbuhan baik yang berbentuk pohon maupun semak banyak dijumpai di daerah kering. Jenis-jenis tersebut dapat digunakan sebagai unsur penyusun komponen agroforestri daerah kering selain jenis-jenis tanaman pangan sebagai alley crops. Jenis-jenis pohon dan semak yang digunakan sebagai komponen agroforestri hendaknya memiliki ciri sebagai berikut; tahan kering dan telah beradaptasi dengan iklim kering, cepat tumbuh, perakarannya tidak menghambat pertumbuhan tanaman lain, kanopinya tidak padat namun daunnya mudah rontok, tahan pemangkasan dan tidak menjadi inang bagi hama penyakit. Schroth (1995) menjelaskan bahwa perakaran pohon memiliki keuntungan dalam sistim agroforestri karena perakarannya mampu menahan air dan erosi permukaan, mampu memompa unsur-unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam dan dibawa ke permukaan tanah, memperbaiki permeabilitas tanah dan mampu 438 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

117 melakukan fiksasi nitrogen dari udara sehingga tanah menjadi subur. Maka dari itu pilihlah jenis pohon yang memiliki sistim perakaran hemat air dan hara, saling melengkapi dengan sistim perakaran tanaman lain dan kepadatan akarnya dapat dikurangi dengan cara pemangkasan. Chuntanaparb & MacDicken (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat adalah kriteria penting dalam seleksi jenis-jenis pohon untuk agroforestri, sedangkan bentuk tajuk dan morfologi akar pohon adalah kriteria yang cukup penting untuk dipertimbangkan juga sedangkan kekuatan batang kayu bukan faktor penting dalam seleksi pohon untuk sistim agroforestri. Jenis-jenis pohon yang memenuhi syarat syarat tersebut antara lain adalah ; turi, lamtoro, kelor, sengon, dadap, jambu batu, sirsak, anona, mangga, nangka, sukun, kemiri, jambu mete, asam, lontar dan cendana (Wawo, 2006). Tanaman pisang walaupun bukan jenis pohon juga dimasukan sebagai komponen agroforestri karena pisang mampu beradaptasi dengan daerah kering dan cepat memberikan hasil. 1. Turi (Sesbania grandiflora) Turi termasuk tumbuhan kayu yang tumbuh cepat sehingga sangat bagus sebagai unsur penyusun komponen agroforestri daerah kering. Pertumbuhan turi lebih aktif pada musim kemarau dan pada musim hujan sedikit terhambat. Turi sangat baik ditanam dalam lapisan inti / utama selain daunnya yang mudah rontok, tahan pangkas, perakarannya tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pangan, memiliki bintil akar untuk fiksasi nitrogen dan hijauannya untuk pakan ternak. Turi sebaiknya tidak ditanam berdekatan dengan rumput gajah atau kolonjono karena jenis-jenis rumput ini akan mengalahkan pertumbuhan turi (Wawo & Wirdateti, 1999). Pemangkasan pada turi dapat berupa pemangkasan cabang untuk memanen hijauan pakan ternak dan pangkas batang utamanya. Batang utama biasa dipangkas pada umur antara 3 4 tahun karena sudah mulai tua dan tinggi. Pemangkasan batang dianjurkan pada ketinggian antara cm dari permukaan tanah, karena pada ketinggian tersebut batang turi akan bertunas kembali (Wawo & Wirdateti, 1999). 2. Lamtoro lokal (Leucaena glauca) Lamtoro termasuk tumbuhan yang cocok untuk daerah kering. Lamtoro sangat tahan pangkas sehingga sesuai dikembangkan menjadi unsur penyusun komponen agroforestri. Lamtoro dapat ditanam pada semua lapisan agroforestri. Daunnya yang rontok dapat menyuburkan lahan, hijauannya untuk pakan ternak, cabang dan ranting dapat digunakan untuk kayu bakar. Selain lamtoro lokal saat ini sudah tersebar luas lamtoro hasil silangan yang disebut lamtoro gung. Lamtoro tidak dapat ditanam menggunakan setek batang tetapi hanya menggunakan biji. Biji yang tua direndam dulu dalam air hangat selama 1 jam selanjutnya disemaikan dalam polybag. Setelah tinggi cm dapat dipindahkan ke lahan agroforestri. Penanaman sebaiknya pada awal musim hujan. Pemangkasan pada lamtoro umumnya pemangkasan cabang untuk memanen hijauan dan cabang untuk kayu bakar. Lamtoro gung yang pohonnya tinggi besar dapat ditanam pada lapisan border dan lapisan peralihan. 3. Kelor (Moringa oleifera) Tanaman kelor cocok untuk daerah kering, batangnya mampu mencapai tinggi 10 meter, kanopinya tidak padat dan perakarannya relatif dalam. Orang Flores menyebut kelor dengan nama wona, orang Timor menyebutnya dengan nama marungga. Di daerah kering daun kelor menjadi sumber sayuran yang bermutu. Sering juga dimasak bersama nasi menjadi bubur marungga. Sama seperti lamtoro, kelor juga tahan pangkas, daunnya juga rontok sehingga dapat ditanam sebagai unsur penyusun komponen agroforestri pada semua lapisan / bagian agroforestri. Kelor dapat diperbanyak dengan biji. Sebelum ditanam sebaiknya biji kelor ditumbuhkan dahulu dalam polybag. Setelah tinggi cm dapat ditanam di lahan agroforestri. 4. Sirsak (Annona muricata) Tanaman sirsak adalah tanaman buah daerah kering dengan ukuran batang pohon yang tidak besar sehingga dapat dibudidayakan sebagai penyusun komponen agroforestri. Sirsak biasa ditanam pada lapisan peralihan atau lapisan tepi. Walaupun daunnya agak besar tetapi kurang memberikan naungan yang berati sehingga tanaman yang tumbuh di bawah tajuk masih dapat hidup. Walaupun sirsak cocok untuk daerah kering tetapi sirsak membutuhkan curah hujan antara mm per tahun. Tanaman ini membutuhkan air dalam jumlah yang memadai, terutama Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

118 saat berbunga dan pembentukan buah (Sunarjono, 2005). Dalam model agroforestri berbasis cendana, sirsak dan jambu batu ditanam satu jalur bersama cendana sebagai inang sekunder dengan jarak 1 1,5 m dari cendana (Wawo & Abdulhadi, 2006). 5. Srikaya (Annona reticulata) Srikaya disebut juga buah nona atau kanonak. Di daerah kering seperti di Timor, Sumba dan Flores, srikaya masih tumbuh liar di padang savana. Rasa daging buahnya manis sehingga dikembangkan menjadi buah daerah kering. Srikaya memiliki batang yang tidak besar sehingga cocok dikembangkan sebagai penyusun komponen agroforestri. Dalam model agroforestri, srikaya ditanam pada lapisan peralihan atau pada jalur pertanaman pagar sebagai inang sekunder cendana. Walaupun srikaya terkenal tahan kering namun tetap membutuhkan air terutama pada saat pembungaan dan pembentukan buah muda. Buah muda yang terbentuk pada musim kemarau (kering) seringkali gagal menjadi buah tua yang matang. Srikaya dapat diperbanyak dengan menggunakan biji. Sebelum ditanam biji srikaya disemai dulu dalam polybag dan setelah bibitnya mencapai tinggi cm dapat ditanam di lahan agroforestri. 6. Sengon (Paraserianthes falcataria) Tanaman yang berbentuk pohon besar. Tinggi batang bisa mencapai 20 meter. Tipe tajuk kurang padat, sehingga cahaya matahari dapat menembusnya dan menyinari tanaman yang tumbuh dibawah tajuknya. Sengon tumbuh cepat, perakarannya luas tetapi kayunya kurang kuat namun sengon digunakan sebagai penaung kopi dan daunnya yang gugur dapat menyuburkan tanah. Sebagai penaung, sengon ditanam dengan jarak meter dalam jalur. Tanaman sengon diperbanyak dengan menggunakan biji. Biji disemaikan terlebih dahulu dalam kantong plastik putih. Setelah mencapai tinggi cm, bibit sengon telah dapat ditanam di lahan agroforestri. Penanaman sebaiknya pada awal musim hujan. 7. Dadap (Erythrina orientalis) Dadap sangat cocok untuk daerah kering. Tanaman ini dapat diperbanyak dengan biji dan setek batang. Pertumbuhannya cepat dan mampu mencapai tinggi meter. Daunnya dapat dijadikan pakan ternak tetapi kayunya tidak baik untuk kayu bakar. Di desa Colol kabupaten Manggarai, NTT, masyarakat melalui kearifannya mengembangkan agroforestri tiga strata menggunakan dadap (strata atas) sebagai penaung kopi (strata tengah) dan lahan di bawah tajuk kopi ditanami talas (Colocasia esculenta), sente (Xanthosoma sp), ganyong (Canna edulis), garut ( Maranta rotundifolia) dan kadang-kadang ubi jalar ( Ipomoea batatas) yang telah beradaptasi dengan naungan sebagai strata bawah. Di tempat terbuka penduduk menanam jagung dan ubi kayu (Wawo, 1998). Sebagai penaung kopi, dadap ditanam dalam jalur dengan jarak 10 m 15m. 8. Jambu batu (Psidium guajava) Jambu batu adalah tumbuhan daerah kering. Jambu batu selain menghasilkan buah, tanaman ini sangat baik menjadi inang sekunder cendana. Oleh karena itu dalam sistim agroforestri, jambu batu dapat ditanam berdekatan dengan tanaman cendana. Batang Jambu batu dapat mencapai tinggi hingga 2-3 meter. Percabangannya tahan pangkas. Dalam sistim agroforestri jambu batu dapat ditanam pada lapisan peralihan atau pada lapisan tepi. Jambu batu dapat diperbanyak dengan biji. Biji terlebih dahulu disemaikan dalam kantong plastik putih. Setelah biji berkecambah dan mencapai tinggi sekitar cm bibit telah dapat di lahan agroforestri. Saat ini terdapat 2 kultivar jambu batu seperti jambu bangkok dan jambu kristal. 9. Cendana ( Santalum album) Cendana adalah tanaman daerah kering yang bernilai ekonomi. Tumbuhan endemik Propinsi Nusa Tenggara Timur Timur (NTT). Tumbuhan ini sengaja ditanam dalam komponen agroforestri karena berfungsi sebagai tabungan keluarga petani. Cendana adalah tumbuhan hemi parasitik akar sehingga membutuhkan tumbuhan inang dalam pertumbuhannya. Batang cendana dapat mencapai tinggi meter dengan diameter hingga cm. Batang tanaman ini dapat disuling untuk menghasilkan minyak cendana yang mengandung santalol. Minyak cendana dapat digunakan untuk bahan dasar parfum, obat-obatan dan kosmetika. Batang cendana dapat digunakan juga sebagai 440 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

119 bahan ukiran. Dalam sistim agroforestri cendana ditanam dalam lapisan tepi ataupun dalam jalur pertanaman pagar. 10. Asam (Tamarindus indica) Asam merupakan tanaman daerah kering yang persebarannya sangat luas. Di Timor persebaran asam dilakukan oleh ternak sapi sehingga tanaman asam banyak ditemui di padang savana dan tumbuh tidak beraturan (Wawo, 1998). Batang asam bisa mencapai tinggi meter dengan diameter antara cm dan memiliki daun sepanjang tahun (evergreen tree) Tanaman ini menghasilkan polong pada musim kemarau. Setiap pohon dapat menghasilkan ratusan kilogram polong asam. Dalam sistim agroforestri tanaman asam ditanam pada lapisan tepi sebagai border plant. Tanaman asam diperbanyak dengan menggunakan biji. Biji disemaikan dalam kantong plastik putih. Setelah berkecambah dan mencapai tinggi cm bibit asam telah dapat ditanam dalam lahan agroforestri. Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. 11. Kelapa (Cocos nucifera) dan Lontar ( Borasus flabelifer) Kedua jenis tanaman ini adalah tanaman daerah kering yang termasuk suku Arecaceae. Kelapa dan lontar sangat besar manfaatnya dan memiliki nilai ekonomi (Wawo & Abdulhadi, 2006) sehingga dibudidayakan juga dalam sistim agroforestri. Kedua jenis tanaman ini membutuhkan cahaya matahari penuh dan sistim perakarannya kurang padat dan tidak terlalu dalam. Secara alami kedua jenis tanaman ini tidak banyak menambah kesuburan lahan agroforestri sehingga ditanam pada lapisan tepi sebagai border trees. 12. Mangga ( Mangifera indica) Di Nusa Tenggara Timur, variasi buah mangga sangat tinggi dari buah kecil manis (pau jawa) hingga buah besar berserat kasar dengan rasanya khas (pau wodo) (Wawo & Abdulhadi, 2006). Sangat disayangkan forma-forma tersebut belum dilestarikan dan sekarang sudah punah. Saat ini di NTT telah dibanjiri varietas mangga yang datang dari pulau Jawa seperti arumanis, manalagi, golek, mangga madu dsb. Mangga sangat cocok untuk daerah kering dan panas yang menyebabkan daging buahnya sangat manis. Mangga memiliki batang yang tinggi, tajuknya padat dengan perakarannya dalam dan padat, sehingga mangga sesuai sebagai sebagai tanaman penahan angin. Oleh karena itu dalam sistim agroforestri mangga sebaiknya ditanam pada lapisan tepi sebagai border trees. 13. Nangka (Artocarpus integra) dan Sukun (Artocarpus altilis) Nangka dan sukun adalah tanaman yang tahan kering. Nangka selalu berbuah sepanjang tahun sehingga menjadi sumber vitamin dan mineral sedangkan sukun menghasilkan buah bersifat musiman dan menjadi sumber karbohidrat. Kedua jenis tanaman ini memiliki tajuk yang lebat dan daun yang besar serta perakarannya yang padat dan dalam sehingga cocok untuk penahan angin. Nangka diperbanyak dengan menggunakan biji sedangkan sukun menggunakan tunas akar. Oleh karena itu dalam sistim agroforestri kedua jenis tanaman ini ditanam pada lapisan tepi sebagai border trees. 14. Kosambi (Schleichera oleosa), Kemiri (Aleurites moluccanum) dan Jambu Mete (Anacardium occidentalum) Ketiga jenis tanaman ini berbentuk pohon yang tinggi dengan tajuk yang tebal dan memiliki sistim perakaran yang padat dan dalam serta sesuai untuk daerah kering. Ketiga jenis ini memiliki nilai ekonomi, namun hanya kemiri dan jambu mete yang dikembangkan sebagai komoditi perkebunan sedangkan kosambi masih tumbuh liar (Wawo &Abdulhadi, 2006). Batang kayu kosambi sangat keras memiliki energi yang tinggi sering digunakan untuk kayu bakar terutama untuk pengeringan daging sapi (daging sei) dan memasak nira lontar menjadi gula atau alkohol. Untuk komponen agroforestri ketiga jenis tanaman ditanam pada lapisan tepi sebagai border trees. 15. Pisang ( Musa paradisiaca) Walaupun pisang bukan tanaman berhabitus pohon, namun pisang perlu ditanam dalam lahan agroforestri. Di daerah kering seperti NTT, terdapat berbagai kultivar pisang seperti pisang ambon, raja, kepok, tanduk, susu, emas, barangan. Pisang memiliki kemampuan beradaptasi dengan daerah kering sehingga walaupun kondisi lingkungan sangat kering pisang mampu tumbuh dan menghasilkan tandan buah (Suhardi dkk, 1999). Perakarannya tidak dalam, tapi memiliki daun yang Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

120 lebar dan panjang. Dalam sistim agroforestri, pisang ditanam pada lapisan peralihan dengan jarak yang agak jauh. Pisang yang ditanam secara benar, seperti lobangnya cukup dalam, besar, pupuk kandang yang banyak dan bibitnya cukup besar akan segera menghasilkan anakan dan tandan buah. Batang pisang yang telah dipanen buahnya dapat digunakan untuk pakan ternak babi dan sapi. V. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Sistim agroforestri adalah sistim pengelolaan lahan yang sesuai untuk daerah kering guna meningkatkan produktivitas lahan 2. Di daerah kering tersedia berbagai jenis tumbuhan yang berbentuk pohon dan semak yang dapat digunakan sebagai unsur unsur penyusun komponen agroforestri 3. Penempatan pohon dan semak tersebut sebagai komponen agroforestri hendaknya disesuaikan dengan habitus pohon tersebut terutama sistim perakarannya dan sesuai dengan pengaturan ruang dalam sistim agroforestri tersebut. DAFTAR PUSTAKA Chuntanaparb, L. & K.G. MacDicken Tree Selection And Improvement For Agroforestry. In M.E. Avery, M.G.R. Cannell, C. Ong (Eds). Biophysical Research For Asian Agroforestry. Winrock Internasional, USA. p De Foresta, H., & Michon, G, Agroforestri Indonesia. Beda Sistim Beda Pendekatan. Dalam H. De Foresta, A. Kusworo, G. Michon, W.A. Djatmiko (Eds). Ketika Kebun Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor, Indonesia Hal Dianastya, A. N Penerapan Sistim Pertanian Berkelanjutan Pada Budidaya Padi Gogo Di Lahan Marginal. Diakses pada Tanggal 02 November Nitis, I.M., K. Lana, W. Sukanten, M. Suarna, & S. Putra The Concept And Development Of The Three- Strata Forage System. In C.Devendra (Ed). Shrubs And Tree Fodders For Farm Animals. Proceedings Of a Workshop In Denpasar, Indonesia, July p Reijntjes, C., B. Haverkort & A. Waters-Bayer Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan input Luar Rendah. Kerjasama Mitra Tani, ILEIA dan Penerbit Kanisius. 270 hal. Roshetko, J.M. & Mulawarman Wanatani di nusa tenggara: ringkasan hasil lokakarya. In: J.M Roshetko, Mulawarman, W.J. Santoso, I.N. Oka (Eds). Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding lokakarya wanatani se-nusa Tenggara, November 2001, Denpasar, Bali. International Center for Research in Agroforestry dan Winrock International. Bogor, Indonesia. 164 hal. Schroth, G The Root Characteristics As Criteria For Species Selection And System Design in Agroforestry. In W.R. Burch Jr, J.K. Parker (Eds). Agroforestry: Science, Policy and Practise. Kluwer Academic Publishers. Vol. 30. p Suhardi, S.A Sudjoko, Minarningsih, S. Sabarnurdin, H.D. Dwidjono & A. Widodo Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Penerbit Kanisius. 156 hal. 442 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

121 Sunarjono, H, Sirsak dan Srikaya. Budidaya Untuk Menghasilkan Buah Prima. Swadaya. Jakarta. 75 hal. Penebar Wawo, A.H & R. Abdulhadi Agroforestri Berbasis Cendana. Sebuah Paradigma Konservasi Flora berpotensi di Lahan Kering NTT. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonsia. 72 hal. Wawo, A.H, Penerapan Model Agroforestri Berbasis Cendana di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dalam : Pengembangan wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur Melalui Penerapan Teknologi. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, balai Besar Pengembangan teknologi Tepat Guna Wawo, A.H An Ethnobotanical Study of Poeple Around Ruteng Nature Recreation Park, Flores Island. In H. Simbolon (Ed). The Natural Resources of Flores Island. Biodiversity Research Series 2. Research and Development Center for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. p Wawo, A.H. & Wirdateti Pengamatan Pertumbuhan Dan Potensi Tanaman Turi Di Daerah Kering Desa Pulutan, Wonosari, Gunung Kidul. Widya Teknika, Malang. 7(2): Wawo, A.H Pengamatan Daya Hidup Biji Asam Yang Berasal Dari Kotoran Ternak Sapi Di Padang Savana Basipae, NTT. Berita Biologi. 4(4): Wawo, A.H., Wirdateti & B.P. Naiola Pengembangan Pola Tanaman Lorong Sebagai Sistim Wanatani di Lahan Kering Desa Pulutan, Gunung Kidul. Jurnal Universitas Brawijaya, Malang. 5(1): Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

122 Lampiran Sketsa Model Agroforestry Daerah Kering 1. Model agroforestri berbasis cendana 3. Model Tiga Strata Pakan Ternak Zona Tepi Zona Utama Zon Zona Inti Zon Zona Zona selimut Tepi Sumber :Wawo & Abdulhadi (2006) Sumber : Nitis et.al (1989) 2. Model Budidaya Tanaman Lorong 4. Model Empat lapisan Lapisan tepi Lapisan utama Sumber: Wawo, dkk, Lap Utama Lap Peralihan Lap Pendukung Lap Tepi 444 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

123 KAJIAN KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH DAN POTENSI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN GANITRI DI JAWA TENGAH Asep Rohandi 1 dan Gunawan 1 1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry seps.grt@gmail.com ABSTRAK Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) adalah salah satu jenis tanaman mempunyai banyak manfaat namun belum dikenal secara luas. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi sebaran, karakteristik tempat tumbuh dan potensi lahan untuk pengembangan hutan tanaman ganitri di Jawa Barat. Metoda yang dilakukan meliputi : 1) survey lapang untuk pengumpulan data sebaran, penampilan dan produktivitas tegakan, 2) pengumpulan data primer dan sekunder kondisi tempat tumbuh tanaman meliputi : letak geografis, ketinggian, curah hujan, jenis tanah dan topografi dan 3) Penilaian potensi lahan untuk mengidentifikasi wilayah pengembangan ganitri dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sebaran hutan tanaman ganitri di Jawa Tengah ditemukan di kabupaten Cilacap, Kebumen, Gombong, Kendal, Brebes, Purworejo, Banjarnegara, Wonosobo, Banyumas, Temangggung, Semarang dan Karanganyar. Secara umum ganitri kisaran wilayah yang cukup luas mulai dari dataran tinggi sampai dataran rendah khususnya berada di wilayah Jawa Tengah bagian Tengah dan Selatan, sedangkan untuk sebagian besar wilayah Utara seperti Tegal, Pemalang, Batang dan Jepara keberadaan tanaman ganitri tidak ditemukan. Jenis ini tumbuh pada kisaran wilayah yang cukup luas mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian mdpl dengan jenis tanah Podsolik Coklat Kekelabuan, Latosol, Podsolik Merah Kuning, Regosol, Andosol, Podsolik Coklat, Podsol, Podsol Air Tanah dan Aluvial serta curah hujan mm/tahun. Berdasarkan karakteristik tumbuh yang diperoleh, hasil analisis SIG menunjukkan bahwa potensi lahan tanaman ganitri di Jawa Barat adalah seluas ,82 ha Ha yang tersebar di 33 kabupaten dengan potensi terbesar di Kabupaten Cilacap seluas ,89 Ha (6,71%). Data tersebut merupakan gambaran dan informasi awal yang dapat dijadikan dasar untuk kegiatan pengembangan hutan tanaman di wilayah Jawa Tengah. Kata Kunci : Hutan tanaman, ganitri, Jawa Barat, karakteristik tumbuh, potensi lahan I. PENDAHULUAN Ganitri merupakan salah satu jenis potensial untuk dikembangkan di hutan rakyat, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Tengah. Jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis cepat tumbuh, secara alam mudah ditemukan dan tidak membutuhkan tempat hidup yang spesifik (Rachman et al. 2010). Ganitri atau disebut juga genitri/jenitri (Elaeocarpus sphaericus Schum dan E. ganitrus Roxb) secara botani termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Bangsa Malvales, Family/Suku Elaeocarpaceae, Marga Elaeocarpus dan jenis Spermatophyta (Taqyudin, 2009). Tanaman ganitri merupakan salah satu tanaman kehutanan yang habitat aslinya berasal dari negara subtropis dengan penyebaran yang cukup luas terutama di beberapa negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand), Madagaskar, Cina Bagian Selatan, Nepal, Australia, dan kepulauan pasifik. Daerah penyebaran tanaman ganitri di Indonesia meliputi daerah Jawa Tengah, Kalimantan, Bali, dan Timor (Fitriani, 2010). Menurut Safitri (2011), tempat tumbuh tanaman ganitri berada pada ketinggian m dpl bahkan bisa tumbuh pada ketinggian 1200 mdpl. Adapun penyebaran tanaman ganitri dilakukan melalui burung, kelelawar, dan hewan pengerat lainnya. Tanaman ganitri bermanfaat sebagai kayu pertukangan dan alat musik, bijinya sebagai produk perhiasan, bahkan di India (Hindustan) dipergunakan sebagai bahan sesajen pada upacara pembakaran mayat, tasbih dan bahan baku obat (Heyne, 1987; Rachman et al., 2010; Roy dalam Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

124 Safitri, 2011). Tanaman ganitri dalam bentuk pohon digunakan sebagai pohon pelindung (wind break), hutan kota dan pembatas lahan milik (Heyne, 1987 dan Safitri, 2011). Keberhasilan pembangunan hutan dipengaruhi oleh ketepatan pemilihan jenis yang akan digunakan meliputi tujuan peruntukkan serta kesesuaian tempat tumbuh (Yudho, 1996). Wiradisastra (1996) menjelaskan bahwa setiap jenis memiliki perbedaan tingkat kesesuaian terhadap lingkungan fisik, sehingga dapat dipilah-pilah berdasarkan perbedaan wilayah sebaran dengan ciri-ciri tertentu. Selanjutnya Gintings (1990), menyebutkan bahwa penelitian mengenai kesesuaian tempat tumbuh tanaman kehutanan di Indonesia masih kurang sehingga usaha-usaha dan bentuk informasi kesesuaian tempat tumbuh berbagai jenis tanaman perlu dikembangkan. Di bidang perbenihan tanaman hutan, data kesesuaian tempat tumbuh digunakan dalam sistem zonasi benih. Hal tersebut sangat berperan penting dalam domestikasi jenis-jenis pohon potensial disamping aspek penyediaan benih unggul. Oleh sebab itu, yang dilenkapi dengan pemetaan sebaran populasi sumber benihnya (Zobel and Talbert, 1991; Nurhasybi dkk. 2000; Nurhasybi, 2008; Kartiko, 2001; Danu, 2006). Selain itu, data potensi lahan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam program penyediaan benih bermutu melalui pengembangan sumber benih selain faktor sosial, ekonomi maupun kelembagaan. Secara fisik, tingkat kesesuaian tempat tumbuh untuk setiap jenis pohon sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman. Data potensi lahan dapat dipakai oleh pengguna (user) sebagai petunjuk untuk kegiatan penanaman ataupun pemilihan lokasi sumber benih jenis-jenis yang telah ditentukan. Di samping itu, secara tidak langsung data luas potensi lahan dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan benih dan sekaligus memprediksi luas sumber benih yang diperlukan. Hal tersebut merupakan dasar dalam penyusunan strategi/perencanaan pengembangan sumber benih secara bertahap, baik jangka pendek maupun jangka panjang. II. SEBARAN POPULASI TANAMAN GANITRI Survey dan identifikasi sebaran ganitri dilakukan di seluruh wilayah Jawa Tengah. Berdasarkan informasi dan survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebaran tanaman ganitri tidak ditemukan di semua wilayah tetapi hanya di beberapa lokasi dalam bentuk hutan tanaman. Sebaran hutan tanaman ganitri tidak ditemukan di semua kabupaten, tetapi hanya terdapat di beberapa wilayah/kabupaten yang secara umum dibangun dengan beberapa tujuan yaitu untuk dimanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa biji, kayu pertukangan serta fungsi lindung. Sebaran hutan tanaman ganitri di Jawa Tengah ditemukan di kabupaten Cilacap, Kebumen, Kendal, Brebes, Purworejo, Banjarnegara, Wonosobo, Banyumas, Temangggung, Semarang dan Karanganyar. Secara umum ganitri kisaran wilayah yang cukup luas mulai dari dataran tinggi sampai dataran rendah khususnya berada di wilayah Jawa Tengah bagian Tengah dan Selatan, sedangkan untuk sebagian besar wilayah Utara seperti Tegal, Pemalang, Batang dan Jepara keberadaan tanaman ganitri tidak ditemukan. Populasi tanaman ganitri sebagian besar di daerah yang relatif datar dan tersebar luas pada ketinggian mdpl dengan aksesibilitas yang relatif mudah. Tanaman tersebut tumbuh menyebar di hutan rakyat, pekarangan, kebun campur, pinggir jalan ataupun fasilitas umum lainnya. Pada dataran tinggi, sebaran populasi tanaman ini ditemukan pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir sungai. Sementara itu, sebaran populasi pada hutan alam di wilayah Jawa Tengah belum ditemukan. Kondisi demikian bukan berarti bahwa tanaman ganitri sama sekali tidak terdapat pada hutan alam di wilayah ini, tetapi lebih disebabkan oleh informasi awal yang diperoleh sangat terbatas sehingga kegiatan eksplorasi sulit dilakukan. Kemungkinan keberadaan sebaran alam ganitri juga didasarkan pada keterangan dari tengkulak/pengusaha biji ganitri di daerah Cilacap dimana pada awalnya tanaman ganitri yang ada di dataran rendah merupakan hasil pengembangan dari tanaman ganitri yang berasal dari dataran tinggi (pegunungan), meskipun lokasinya tidak diketahui secara pasti. 446 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

125 Keberadaan sebaran alam ganitri mungkin terdapat pada beberapa pegunungan di Jawa Tengah seperti hasil penelitian yang ditemukan pada beberapa lokasi di Jawa Barat (Rohandi et al., 2011) yaitu di Cakrabuana (Majalengka), Gunung Sawal (Ciamis), Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebaran tanaman ganitri ditemukan pada ketinggian mdpl dengan topografi datar sampai curam dan tidak ditemukan pada hutan alam dataran rendah seperti di Cagar Alam Pangandaran yang merupakan lokasi sampel. Menurut van Steenis, Elaeocarpus sp. Pada habitat aslinya di pulau Jawa berada pada hutan dengan ketinggian mdpl. III. KONDISI AGROKLIMAT SEBARAN TEMPAT TUMBUH Hasil survey mengenai informasi agroklimat lokasi sebaran populasi tanaman ganitri di Jawa Barat dengan parameter kondisi ekologis berupa ketinggian tempat, jenis tanah dan data curah hujan selengkapnya disajikan pada table 1. Tabel 1. Kondisi agroklimat lokasi ditemukannya populasi tanaman ganitri di Jawa Tengah No. Kabupaten Ketinggian Curah Hujan (mdpl) (mm/tahun) Jenis Tanah 1. Banjarnegara Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol 2. Banyumas Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol 3. Brebes Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol 4. Cialcap Regosol, Andosol, Aluvial, Podsolik coklat, Latosol 5. Karanganyar Podsolik coklat kekelabuan, Latosol, Podsolik merah kuning Regosol, Andosol, Podsolik coklat. 6. Kdy. Salatiga Latosol 7. Kdy. Semarang Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol 8. Kebumen Podsolik coklat kekelabuan, Latosol, Podsolik merah kuning, Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Podsol, Podsol air tanah. 9. Kendal Latosol 10. Purworejo Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol, Podsol, Podsol air tanah 11. Semarang Latosol 12. Wonosobo Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol Secara umum tanaman ganitri dapat tumbuh pada kisaran ketinggian yang cukup luas yaitu mdpl. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis tanah Regosol, Andosol, Podsolik Coklat, Podsolik coklat kekelabuan, Podsolik Merah Kuning, Podsol, Podsol Air Tanah, Latosol dan Aluvial dengan curah hujan mm/tahun. Dari data kriteria persyaratan tumbuh tersebut, untuk mengetahui potensi lahan tanaman ganitri dianalisis dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga menghasilkan peta seperti disajikan pada Gambar 1. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

126 IV. POTENSI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN GANITRI Berdasarkan peta potensi lahan (Gambar 18) yang disusun berdasarkan data ekologis tempat tumbuh lokasi sebaran populasi tanaman ganitri, hasil analisis GIS menunjukkan bahwa potensi lahan jenis tersebut di wilayah Jawa Tengah diperkirakan seluas ,82 ha. Data luas potensi lahan tersebut merupakan lokasi/wilayah yang potensial dan memungkinkan untuk pengembangan tanaman ganitri. Data hasil penilaian kesesuaian lahan tanaman ganitri di Jawa Barat selengkapnya dicantumkan pada Tabel 2. Tabel 2. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman ganitri di wilayah Jawa Tengah No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) Persentase Dari Luas Daratan Jawa Tengah 1 Banjarnegara ,64 3,27 2 Banyumas ,77 3,99 3 Batang ,04 1,79 4 Blora ,10 1,01 5 Boyolali ,52 3,18 6 Brebes ,64 4,00 7 Cilacap ,89 6,71 8 Demak ,99 3,01 9 Grobogan ,25 5,08 10 Jepara ,66 2,90 11 Karanganyar ,83 2,42 12 Kdy. Magelang 1.844,66 0,06 13 Kdy. Pekalong 4.472,13 0,14 14 Kdy. Salatiga 4.776,48 0,15 15 Kdy. Semarang ,32 0,92 16 Kdy. Surakart 4.685,39 0,14 17 Kebumen ,55 3,90 18 Kendal ,77 2,98 19 Klaten ,67 2,06 20 Kudus ,60 1,38 21 Magelang ,67 3,33 22 Pati ,40 2,91 23 Pekalongan ,58 1,42 24 Pemalang ,57 2,82 25 Purbalingga ,42 1,61 26 Purworejo ,13 3,16 27 Semarang ,90 3,13 28 Sragen ,93 3,06 29 Sukoharjo ,73 1,56 30 Tegal ,49 2,49 31 Temanggung ,47 2,45 32 Wonogiri ,56 4,26 33 Wonosobo ,08 2,94 Total ,82 84,22 Sumber : Hasil analisis GIS Keterangan : Luas daratan Jawa Barat adalah ,00 ha (Anonim, 2009b) Data potensi lahan (Tabel 2) hanya didasarkan pada tegakan yang ditemui di lapangan sehingga dapat berubah apabila ada informasi/data lain yang ditambahkan tentang kriteria 448 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

127 kesesuaian tempat tumbuh tanaman ganitri. Potensi lahan yang diperoleh merupakan gambaran awal wilayah pengembangan tanaman ganitri di wilayah Jawa Barat. Dengan demikian, perlu penelitian lanjutan untuk kegiatan pengembangan diantaranya dalam penetapan kriteria persyaratan tumbuh yang lebih komprehensif melalui uji penanaman. DPTH (2001), pilihan yang optimal membutuhkan pengujian lapangan dan pada umumnya informasi ini tidak tersedia.penggunaan peta potensi lahan ini bermanfaat sebagai informasi awal untuk menghindari resiko terjadinya kegagalan akibat kesalahan dalam penentuan lokasi penanaman baik untuk pembangunan sumber benih ataupun pengembangan hutan tanaman (hutan rakyat). Gambar 1. Peta potensi lahan dan sebaran populasi tanaman ganitri di Jawa Barat Potensi lahan di atas menjadi gambaran umum, tetapi belum menunjukan wilayah yang spesifik untuk pengembangan tanaman ganitri. Hal tersebut juga diterangkan oleh Danu et al. (2009), pada penyusunan peta potensi lahan mimba (Azadirachta indica) dimana potensi lahan tidak menunjukkan secara spesifik wilayah pengembangan untuk masing-masing lokasi tetapi merupakan gabungan dari kondisi lokasi sebaran populasi yang diamati. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya data ekologis dari masing-masing lokasi sehingga penyusunannya lebih bersifat umum. Penyusunan peta potensi lahan yang lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria seperti jenis tanah, ketinggian dan curah hujan ataupun dengan menambahkan kriteria lainnya seperti kelas lereng, kelembaban dan lain-lain perlu terus dilakukan. Semakin detilnya data dasar yang diperoleh, maka informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap. Data pada Tabel 2 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa potensi lahan di wilayah Jawa Tengah bagian Utara seperti Brebes, Tegal, Pekalongan, Pemalang Kendal Sampai Cepu lebih sedikit dibanding Jawa Tengah bagian Tengah dan Selatan. Hal tersebut sesuai dengan hasil survey lapangan yang telah dilakukan dimana tidak ditemukan populasi tanaman ganitri di wilayah tersebut. Informasi yang tersaji pada peta tersebut dapat memberikan gambaran/petunjuk yang dapat membantu dalam perencanaan dan menjadi salah satu dasar dalam pengembangan pengembangan hutan tanaman serta domestikasi jenis ganitri di wilayah Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG Nanang Herdiana, E. Martin, B. Winarno, A. Nurlia dan

Lebih terperinci

Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Seminar Nasional Agroforestry, Bandung, 19 Nvember 2015 Perladangan berpindah, swidden agriculture, perladangan bergilir, dan perladangan gilir balik

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU Oleh: Hengki Siahaan* dan Agus Sumadi* * Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ABSTRAK Pengembangan kayu bawang

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas (120,35 juta Ha), setara dengan 4 negara besar di Eropa (Inggris, Jerman, Perancis, dan Finlandia) (Departemen Kehutanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Lampung, pembukaan

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik Wilayah 1. Letak dan Luas Kelurahan Sumber Agung secara Administratif masuk dalam Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung. Letak Kelurahan Sumber

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN LAHAN DENGAN SISTEM AGROFORESTRY DI DESA AKE KOLANO KECAMATAN OBA UTARA KOTA TIDORE KEPULAUAN.

STUDI PEMANFAATAN LAHAN DENGAN SISTEM AGROFORESTRY DI DESA AKE KOLANO KECAMATAN OBA UTARA KOTA TIDORE KEPULAUAN. STUDI PEMANFAATAN LAHAN DENGAN SISTEM AGROFORESTRY DI DESA AKE KOLANO KECAMATAN OBA UTARA KOTA TIDORE KEPULAUAN Khaerul Anwar 1, Rima Melati 2 dan Asiah Salatalohy 2 1 Alumnus Fapertahut Universitas Nukku

Lebih terperinci

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN.

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN. MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN Dosen pada Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sendiri masuk dalam Tahura WAR. Wilayah Tahura Wan Abdul

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sendiri masuk dalam Tahura WAR. Wilayah Tahura Wan Abdul 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik Wilayah 1. Letak dan Luas Sumber Agung adalah salah satu Kelurahan yang ada di Kecamatan Kemiling Kota Madya Bandar Lampung. Kelurahan Sumber Agung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA Nini Rahmawati Pangan dan Gizi Manusia Zat gizi merupakan komponen pangan yang bermanfaat bagi kesehatan (Mc Collum 1957; Intel et al 2002). Secara klasik

Lebih terperinci

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis 3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Penelitian dilakukan di dua kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi. Fokus area penelitian adalah ekosistem transisi meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan 77 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada 104 552-105 102 BT dan 4 102-4 422 LS. Batas-batas wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat secara geografis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG Muhammad Syukur Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : msyukur1973@yahoo.co.id ABSTRAKS:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah diameter pangkal, diameter setinggi dada (dbh), tinggi total, tinggi bebas cabang, tinggi tajuk, panjang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September ) KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI 1) Oleh : Pratiwi 2) ABSTRAK Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional. Berbagai jenis tanaman pangan diusahakan untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis Tanaman Agroforestri Komposisi tanaman yang menjadi penyusun kebun campuran ini terdiri dari tanaman pertanian (padi, kakao, kopi, cengkeh), tanaman kayu,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah umum mengenai penanaman hutan pinus, yang dikelola oleh PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun 1967 1974. Menyadari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan 32 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keanekaragaman Spesies Pohon Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa di Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR terdapat 60 spesies pohon

Lebih terperinci