STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT"

Transkripsi

1 STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Andoko Hidayat NRP. E iii

4 iv

5 v ABSTRACT ANDOKO HIDAYAT. Study on population and spatial use pattern of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Hutan Pendidikan Gunung Walat. Under the supervision of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI. Long-tailed macaque (Macaca fascicularis Raffles 1821) in Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) was introduced in 1980/1981. Thirty years post-introduction, there was no any research on the species. The objectives of the research were to estimate demographic parameters and home range of long-tailed macaque in HPGW. This research was conducted from March to May These data were collected using concentration count method based on sex and age structure. Composition and structure of vegetations analyzed using line-plot sampling method. The groups movement of the long-tailed macaque were recorded using GPS and analyzed using maximum convex polygon. Four groups of longtailed macaque were observed in HPGW. Population size were 108 individual and group sizes were 30, 23, 24, 31 respectively. Population density were 0,3 per Ha, natality was 0,24, mortality juvenile to sub adult was 0,64 and mortality sub adult to adult was 0,30. Population of macaque groups indicated progressive population based on age structure. Homerange of the groups were 29,26 Ha; 19,73 Ha; 26,94 Ha and 15,78 Ha for group A, B, C, D respectively. Dominant factors of habitat of the long-tailed macaque were elevation (X1), temperature (X2) and moisture (X3). Based on the dominant factor of the habitat, the result from multiple linear regression was Y=-30,964+0,028X1+0,675X2+0,317X3, where Y=size group, R 2 =75,3%. Key words : long-tailed macaque, demographic parameters, population, home range, hutan pendidikan Gunung Walat v

6 vi

7 vii RINGKASAN ANDOKO HIDAYAT. Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI. Introduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dilaksanakan pada tahun 1980/1981. Tiga puluh tahun paska intoduksi tidak ada penelitian monyet ekor panjang sementara data dan informasi terkait satwa ini sangat penting bagi pengelolaan populasi dan habitatnya di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter demografi, wilayah jelajah dan mengidentifikasi faktor penentu komponen habitat monyet ekor panjang di HPGW. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi bahan pertimbangan pengelolaan monyet ekor panjang di HPGW. Penelitian dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan Maret hingga Mei Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi parameter demografi empat kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di wilayah studi, wilayah jelajah dan habitat meliputi kondisi bio fisik habitat. Parameter demografi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ukuran dan komposisi kelompok, kepadatan populasi, sex rasio, angka kelahiran, angka kematian dan struktur umur. Wilayah jelajah setiap kelompok monyet ekor panjang dianalisa menggunakan ArcGis 9.3 dengan metode maximum convex polygon sedangkan komponen dominan habitat dianalisa menggunakan regresi linier berganda dengan metode stepwise. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ukuran kelompok monyet ekor panjang adalah 30, 23, 24 dan 31 individu untuk masing-masing kelompok A, B, C dan D. Kepadatan adalah 0,3 individu/ha, sex rasio 1 : 2, angka kelahiran 0,24 sedangkan angka kematian kelas umur anak muda adalah 0,64 dan kelas umur muda dewasa adalah 0,30. Struktur umur menunjukan gambaran struktur umur meningkat (progressive population), kondisi ini mengindikasikan bahwa populasi monyet ekor panjang di HPGW akan terus berkembang dan lestari. Luas wilayah jelajah monyet ekor panjang kelompok A, B, C dan D selama empat hari masingmasing adalah 29,26 Ha, 19,73 Ha, 26, 94 Ha dan 15,78 Ha. Kelompok A dan D mempunyai wilayah jelajah terpisah sedangkan kelompok B dan C memiliki wilayah jelajah yang tumpang tindih seluas 6,63 Ha. Komponen dominan habitat monyet ekor panjang adalah ketinggian tempat (X1), suhu (X2) dan kelembaban (X3) dengan persamaan Y = - 30, ,028X1 + 0,675X2 + 0,317X3 dengan R 2 =75,3%. Kata kunci : monyet ekor panjang, HPGW, populasi, parameter demografi, wilayah jelajah vii

8 viii

9 ix Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. ix

10 x

11 STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT xi ANDOKO HIDAYAT Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xi

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si xii

13 xiii Nama NRP Program Studi Judul Tesis : Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat : Andoko Hidayat : E : Konservasi Keanekaragaman Hayati Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA. Ketua Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus: xiii

14 xiv

15 xv PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Tesis berjudul Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap kelestarian monyet ekor panjang di HPGW yang tidak diketahui kondisinya paska introduksi tahun 1980/1981 bahkan keberdaannya sering dikeluhkan oleh masyarakat sekitar HPGW karena dianggap hama. Dalam tesis ini diuraikan tentang parameter demografi monyet ekor panjang, komponen fisik dan biotik habitat seperti ketinggian, suhu dan kelembaban, jenis vegetasi pakan monyet ekor panjang, dan faktor dominan habitat yang mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang. Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, September 2012 Andoko Hidayat xv

16 xvi

17 xvii UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada : (1) Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan izin dan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Abu Bakar selaku Kepala Balai KSDA Aceh yang telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Hutan Pendidikan Gunung Walat yang telah memberikan semua fasilitas selama penelitian dan terima kasih juga kepada teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istriku tercinta Nurlaila Hermansyach dan anak-anakku tersayang Ariz Umar Ramdhan, Ahmad Yusuf dan Muhammad Nofendra Arafat atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Kepada Bapak dan Ibuku, Mertuaku diucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya yang diberikan. Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak. xvii

18 xviii

19 xix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1973 di Madiun, Jawa Timur. Merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak dan Ibu Reban. Pada tahun 1985 menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Kraton IV Maospati, tahun 1988 menamatkan pendidikan di SMP Negeri 1 Maospati. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati dan pada tahun 1996 penulis masuk di Fakultas Kehutanan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh dan memilih Jurusan Manejemen Hutan, lulus pada tahun Sejak tahun 1995 penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh hingga sekarang. Tahun 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada program Magister Profesi IPB pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat yang dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA sebagai ketua dan Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF sebagai anggota komisi pembimbing. xix

20 xx

21 xxi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xxi DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... xxv DAFTAR LAMPIRAN... xxvii I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran... 2 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi Habitat Populasi dan Penyebaran Pakan Perilaku Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang Ukuran Populasi dan Kepadatan Angka Kelahiran Angka Kematian Struktur Umur Wilayah Jelajah III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Kondisi Fisik Kawasan Kondisi Biologis Kawasan Kondisi Sosial Ekonomi IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Penelitian Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data xxi

22 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Parameter Demografi Ukuran dan Komposisi Kelompok Kepadatan Sex rasio Angka Kelahiran Angka Kematian Struktur Umur Wilayah Jelajah Karakteristik Wilayah Jelajah Karakteristik Habitat Faktor Fisik Kondisi Biotik Faktor Dominan Komponen Habitat VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxii

23 xxiii DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW Wilayah jelajah harian Kelompok A Wilayah jelajah harian Kelompok B Wilayah jelajah harian Kelompok C Wilayah jelajah harian Kelompok D Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai ketinggian Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai suhu di bawah tajuk Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelembaban di bawah tajuk Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelerengan Jumlah jenis vegetasi pada tiap habitat ditemukannya monyet ekor panjang Tiga jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Tiga jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Tiga jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Tiga jenis vegetasi tingkat pohon dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang di HPGW xxiii

24 xxiv

25 xxv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram Kerangka Pemikiran Peta lokasi penelitian Bentuk jalur pengamatan vegetasi Wilayah jelajah harian Kelompok A Wilayah jelajah dan teritori Kelompok A Wilayah jelajah harian Kelompok B Wilayah jelajah dan teritori Kelompok B Wilayah jelajah harian Kelompok C Wilayah jelajah dan teritori Kelompok C Wilayah jelajah harian Kelompok D Wilayah jelajah dan teritori Kelompok D Wilayah jelajah dan teritori setiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kondisi lokasi penelitian yang merupakan habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang : (a) Kelompok A (b) Kelompok B (c) Kelompok C dan (d) Kelompok D Peta sebaran vegetasi di HPGW Monyet ekor panjang di HPGW : (a) jantan dewasa (b) induk dan bayi Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok A Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok B Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok C Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok D Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan semua kelompok Beberapa jenis buah yang dimakan oleh monyet ekor panjang di HPGW : (a) harendong (b) kayu afrika (c) agathis (d) pinus xxv

26 xxvi

27 xxvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan natalitas menggunakan metode Chi square Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah pada wilayah jelajah selama empat hari menggunakan metode Chi square Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat menggunakan metode Chi square Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu menggunakan metode Chi square Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban menggunakan metode Chi square Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan menggunakan metode Chi square Hasil analisa vegetasi tingkat semai di semua habitat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di semua habitat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW Hasil analisa vegetasi tingkat tiang di semua habitat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW Hasil analisa vegetasi tingkat pohon di semua habitat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW Hasil perhitungan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise faktor dominan habitat xxvii

28 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) adalah salah satu jenis primata yang paling populer dan memiliki sebaran wilayah geografis yang luas (Eudey 2008, Gumert 2011). Monyet ekor panjang menempati berbagai tipe habitat di seluruh Asia Tenggara dan secara geografis telah berada di luar wilayah sebaran aslinya. Satwa ini disebut juga sebagai edge species karena menyukai wilayah pinggiran hutan, akibatnya di berbagai wilayah keberadaannya sering overlap dengan manusia (Gumert 2011). Monyet ekor panjang mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang kedokteran. Satwa ini sangat bermanfaat sebagai hewan percobaan dan kebutuhannya terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan variasi produk yang digunakan manusia (Kusmardiatuti 2010). Satwa ini banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran, biomedis, teknologi antariksa dan lain-lain (Santosa 1996). Selain untuk dikonsumsi, monyet ekor panjang banyak dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan dan sebagai satwa percobaan industri obat-obatan (Eudey 2008). Monyet ekor panjang di Indonesia adalah satwa yang tidak dilindungi karena satwa ini mudah dijumpai dan populasinya relatif banyak. IUCN mengkategorikan satwa ini pada status LC (least concern) artinya adalah suatu spesies yang tidak terancam kepunahan maupun kategori nyaris terancam. Menurut CITES satwa ini termasuk dalam Appendix II CITES artinya satwa tersebut belum terancam punah namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangannya tidak dikendalikan. Monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) bukanlah satwa asli. Satwa ini awalnya adalah satu populasi yang terdiri dari lima belas ekor yang diintroduksi pada tahun 1980/1981 (IPB 1981). Sebelum diintroduksi monyet ekor panjang dipelihara dalam kurungan selama satu bulan. Paska introduksi monyet ekor panjang ini mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya dan berkembang biak dengan pesat, bahkan keberadaannya sering dikeluhkan oleh masyarakat sekitar HPGW karena dianggap hama.

29 2 Tiga puluh tahun paska introduksi belum pernah ada penelitian monyet ekor panjang di HPGW, sementara itu penelitian terkait satwa ini telah banyak dilakukan di tempat lain. Penelitian monyet ekor panjang yang telah dilaksanakan, seperti oleh Mukhtar di TWA dan CA Pananjung Pangandaran (1982), Alita di Pulau Tinjil (1993), Kusmardiastuti di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta (2010), Surya di Lampung (2010) dan Hendratmoko di TWA dan CA Pangandaran (2010). Oleh karena itu penelitian monyet ekor panjang di HPGW perlu dilaksanakan. 1.2 Tujuan Penelitian 1. Untuk menduga parameter demografi dan wilayah jelajah monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat 2. Untuk mengetahui faktor dominan komponen habitat yang mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang di HPGW. 1.3 Manfaat Penelitian Parameter demografi yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau dasar bagi pengelolaan populasi monyet ekor panjang sedangkan informasi hasil penelitian terkait tentang faktor-faktor habitat akan sangat penting bagi pembinaan habitat monyet ekor panjang di HPGW. 1.4 Kerangka Pemikiran Diagram alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti pada Gambar 1 di bawah ini :

30 3 Pengelolaan monyet ekor panjang : Populasi lestari di HPGW Introduksi 15 ekor tahun 1980/1981 Populasi aktual 30 tahun pasca introduksi Populasi ideal Data dan informasi aktual 1. Parameter demografi 2. Wilayah jelajah 3. Faktor dominan habitat Inventarisasi satwa Gambar 1 Diagram Kerangka Pemikiran Gambar 1 menunjukan bahwa pengelolaan satwa liar termasuk monyet ekor panjang di HPGW memerlukan data dan informasi aktual terkait populasi satwa tersebut meliputi parameter demografi, wilayah jelajah dan faktor penentu habitat. Tiga puluh tahun paska introduksi belum ada penelitian sementara data dan informasi tersebut penting untuk pengelolaan populasi dan habitatnya guna mencapai populasi lestari (ideal). Bahkan itu saat ini populasi monyet ekor panjang telah dianggap sebagai hama merugikan bagi masyarakat sekitar HPGW oleh karena itu dipandang perlu untuk diteliti guna memperoleh data dan informasi tersebut. Data parameter demografi seperti ukuran dan komposisi kelompok, kepadatan, sex rasio, angka kelahiran, angka kematian dan struktur umur akan diperoleh melalui serangkaian pengamatan secara terkonsentrasi terhadap setiap kelompok monyet ekor panjang yang hidup di wilayah studi. Sedangkan informasi mengenai penggunaan ruang akan diperoleh melalui serangkaian pengamatan

31 4 langsung terhadap pergerakan spasial setiap kelompok monyet ekor panjang dengan bantuan GPS. Data dan informasi mengenai pergerakan satwa liar baik harian (daily home range) maupun musiman serta penyebarannya sangat berguna sebagai landasan penetapan batas kawasan perlindungan satwa liar, pengembangan kawasan untuk pemanfaatan wisata alam, penelitian interaksi, maupun penentuan letak kawasan perlindungan satwa (Kartono 2000). Lebih lanjut Kartono (2000) mengatkan bahwa data dan informasi yang lengkap dan runut, yang diperoleh dari suatu kegiatan pengukuran dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan kualitas hidup berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan, penilaian atas tindakan dalam rangka pelestarian jenis serta pemantauan dan pengambilan kebijaksanaan tindakan pengelolaan.

32 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi Menurut Lekagul & McNeely (1977), secara taksonomi monyet ekor panjang diklasifikasilan ke dalam phylum Chordata, subphylum Vertebrata, class Mamalia, ordo Primata, subordo Anthropoidae, family Cercopithecidae, subfamily Cercopithecinae, genus Macaca dan spesies Macaca fascicularis (Raffles 1821). Nama ilmiah lainnya dari monyet ekor panjang adalah Simia fascicularis Raffles (1812), Macaca irus Cuvier (1818), serta Simia cynomolgus Schreber (1775). Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama monyet-kera, kunyuk atau kethek (Jawa/Sunda), monyet dan cigak (Indonesia) serta crab-eating macaque dan longtailed macaque (Inggris). Menurut Sody (1949) Macaca fascicularis yang terdapat di Indonesia terdiri atas 11 sub-species, yakni: a) Macaca f. impudens Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Riau b) Macaca f. fascicularis Raffles, 1821: spesimen berasal dari Sumatera c) Macaca f. mandibularis Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kalimantan d) Macaca f. carimatae Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Karimata, Pulau Serutu dan Pulau Pelapis e) Macaca f. mordax Thomas & Wroughton, 1909: spesimen berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah f) Macaca f. baweanus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bawean g) Macaca f. karimunjawae Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Karimunjawa h) Macaca f. submordax Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Bali i) Macaca f. limitis Schwarz, 1913: spesimen berasal dari Pulau Timor j) Macaca f. sublimitus Sody, 1932: spesimen berasal dari Pulau Sumba, Sumbawa, Flores, dan Pulau Lombok k) Macaca f. lapsus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bangka Monyet ekor panjang adalah monyet kecil berwarna coklat dengan perut agak putih terutama pada mukanya. Bayi monyet yang baru lahir berwarna hitam,

33 6 muka dan telinganya berwarna merah muda. Setelah satu minggu kulit mukanya menjadi merah muda keabu-abuan dan enam minggu kemudian berubah menjadi coklat (Aldrich-Blake 1976). Warna rambut yang menutupi tubuh monyet kera ekor panjang bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet yang tinggal di kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap dari pada yang menghuni kawasan pantai. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh pemutihan oleh udara yang bergaram dan sinar matahari langsung (Lekagul & McNeely 1977). Monyet ekor panjang mempunyai bentuk ekor silindris, muskular dan ditutupi rambut-rambut pendek. Pada umumnya panjang ekor antara % dari panjang kepala dan badan. Rambut pada mahkota kepala tersapu ke belakang dari arah dahi. Monyet muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi, sedangkan monyet yang lebih tua mempunyai cambang yang lebat. Ciri anatomi penting monyet ekor panjang adalah kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke mulut dengan cepat dan mengunyahnya di tempat lain (Lekagul & McNeely (1977) Habitat Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Menurut Alikodra (1990) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Habitat klasik monyet ekor panjang adalah hutan mangrove, hutan primer dan hutan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl (Lekagul & McNeely 1977). Satwa ini juga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti mangrove, hutan hujan, rawa, pesisir, hutan tropis, hutan gugur, evergreen, semak dan hutan sekunder. Selain itu satwa ini juga sering ditemukan di pinggiran hutan,

34 7 khususnya di hutan mangrove dan sungai atau di pinggiran habitat yang terganggu (Gummert 2011) Populasi dan Penyebaran Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki suatu populasi adalah kerapatan (densitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (disperse). Menurut Gummert (2011) populasi monyet ekor panjang tidak diketahui secara pasti. Populasinya selalu menurun di habitat alaminya dan dimungkinkan bahwa populasinya selalu meningkat di habitat yang dekat dengan pemukiman manusia. Daerah penyebaran monyet ekor panjang adalah Indocina, Thailand, Burma (Myanmar), Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Di Indonesia, penyebaran Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Kepulauan Tambilan, Kepulauan Natuna, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba dan Sumbawa (Lekagul & McNeely 1977) Pakan Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivore dari langurs. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977). Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa yang bersifat frugivore omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan Nypa fruticans serta kepiting (Crockett & Wilson 1980). Ficus spp adalah makanan paling penting bagi kera

35 8 dan monyet karena jenis ini dapat berdaun muda sepanjang tahun atau berbuah 2-3 kali setahun. Jenis tumbuhan yang sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu klampok (Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus ampelas), kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica), sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996) Perilaku Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Wheatley (1980) membagi aktivitas Macaca fascicularis sebagai berikut : a) Makan (feeding) berupa aktivitas makan meliputi memungut makanan dan prosesnya, termasuk mulai dari mengumpulkan makanan dilakukan pada pohon yang sama. Satwa biasanya tinggal pada pohon yang sama untuk mengunyah makanannya tetapi kadang-kadang memungut makanan dari satu pohon dan mengunyah pada pohon yang lain. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan atau meninggalkan pohon. b) Penjelajahan (ranging) berupa aktivitas penjelajahan diantara sumber makanan biasa antar pohon. c) Istirahat (resting) yaitu aktivitas selain aktivitas makan dan penjelajahan, dan kadang-kadang terdapat prilaku grooming. d) Berkelahi (fighting), aktivitas ini diatandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburunya serta baku hantam diakhiri dengan kekalahan dari lawannya.

36 9 e) Berkutu-kutuan (grooming) yaitu aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. f) Kawin (sexsual behavior) yaitu hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran betina dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi. g) Bermain (playing) berupa aktivitas baku hantam terhadap individu lain terutama dilakukan pada anak (juvenil). Pada populasi monyet ekor panjang terdapat struktur sosial tersendiri. Satwa yang memiliki hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang disebut sebagai alpha male. Sudah menjadi aturan bahwa kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi disebut juga sebagai satwa menangan atau dominant animal dan peringkat paling bawah disebut satwa kalahan atau subordinate animal (Chalmers 1980) Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang Ukuran Populasi dan Kepadatan Sebuah populasi diartikan sebagai sebuah kelompok individu/organisme yang menempati tempat tertentu dan pada waktu tertentu (Krebs 1978). Populasi adalah organisme yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan dapoat melakukan perkembangbiakan pada waktu dan tempat yang sama, dan mengahasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Sebuah populasi yang memiliki lebih dari satu kelompok memiliki ukuran kelompok, seperti monyet ekor panjang di HPGW. Ukuran kelompok adalah jumlah individu yang terdapat dalam suatu kelompok monyet ekor panjang (Priyono 1998). Monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran terdiri dari empat kelompok dengan ukuran kelompok ekor (Hendratmoko 2009). Kepadatan populasi juga sering disebut dengan kerapatan populasi. Menurut Tarumingkeng (1994) ukuran populasi dinyatakan dalam kerapatan sering disebut kerapatan populasi. Kerapatan populasi menyatakan sekian banyak individu per satuan ekologi (daerah, luasan dsb). Sedangkan kepadatan adalah jumlah individu per unit wilayah atau unit volume (Krebs 1978, Seber 1982). Angka rata-rata

37 10 kepadatan populasi adalah total ukuran populasi per luas wilayah yang digunakan (Seber 1982). Sepanjang kehidupan suatu populasi, kerapatannya berubah-ubah (Tarumingkeng 1994). Perubahan atau proses turun naiknya kerapatan populasi berlangsung terus menerus sepanjang waktu. Perubahan kerapatan populasi disebabkan oleh peningkatan karena kelahiran (natalitas), peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi), penurunan karena kematian (mortalitas) dan penurunan karena keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs 1978, Tarumingkeng 1994) Angka Kelahiran Angka kelahiran disebut juga sebagai potensi perkembangbiakan adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Angka kelahiran atau natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu individu (Krebs 1978). Menurut Santosa (1996) tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (1990) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit per waktu per unit populasi. Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktorfaktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur tertua dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002).

38 11 Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu (Alikodra 1990). Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, 2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama. Menurut Santosa (1996) laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang sudah matang seksual. Jumlah anak yang dapat dilahirkan monyet ekor panjang adalah satu ekor dan jarang sekali dua. Induk betina dapat melahirkan tiap tahun bila induk diberi perlakuan berupa penyapihan anak pada umur 2-3 bulan dan induk dikondisikan untuk siap bereproduksi kembali (Djabbar 1994). Induk betina dapat melahirkan tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan alami yaitu sampai anak berumur 1,5 tahun (Napier & Napier 1973). Pengelolaan seperti ini mengikuti laju reproduksi monyet ekor panjang di alam Angka Kematian Kelahiran dan kematian adalah kejadian alami yang terjadi pada populasi satwa liar. Kematian akan membentuk keseimbangan di dalam suatu populasi satwa liar di alam. Mortalitas atau angka kematian merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu; dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 2002). Menurut Santosa (1996) angka kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu. Kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu : 1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan,

39 12 seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) Kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, pemburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya (Alikodra 1990) Struktur umur Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990). Panjang usia monyet ekor panjang sekitar tahun (Napier & Napier 1967). Menurut Napier & Napier (1967) struktur umur monyet ekor panjang dapat adalah sebagai berikut: a) Kelas umur bayi : berumur antara 0-15 bulan, yakni sejak lahir hingga selesainya masa laktasi b) Kelas umur anak : berumur antara 15 bulan 4 tahun, yakni sejak selesainya masa laktasi hingga memasuki masa kematangan seksual c) Kelas umur muda/remaja : berumur 4 9 tahun, yaitu semenjak memasuki kematangan seksual (minimum breeding age) hingga mencapai masa reproduksi yang optimum. d) Kelas umur dewasa : merupakan anggota populasi yang diperkirakan berumur 9 tahun hingga 21 tahun ( maximum breeding age). Tidak berbeda dengan Mukhtar (1982) bahwa komposisi kelompok monyet ekor panjang terbagi menjadi empat kelas umur yaitu :

40 13 a) Dewasa (adult) terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) mempunyai ukuran paling besar, scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dan puting susu terlihat jelas. Jantan dewasa terlihat kekar dan bergerak terlihat lebih mantap. b) Muda (sub adult), monyet hampir dewasa dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan monyet dewasa tetapi dapat dibedakan dari kelakuannya. Monyet hamper dewasa masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak melakukan pergerakan. c) Remaja (juvenile) yaitu monyet muda yang dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat induknya dan masih suka bermain, ukuran tubuhnya lebih kecil dari sub adult. d) Bayi (infant), yaitu monyet yang masih bergantung pada induknya baik siang maupun malam dan ukuran tubuhnya paling kecil. 2.3 Wilayah jelajah Wilayah jelajah dan pergerakan adalah perwujudan dari prilaku satwa liar dalam memenuhi kebutuhan dasar biologi seperti makan, tempat tinggal dan pasangan (Collins et al, 2005). Wilayah jelajah adalah wilayah dimana satwa liar menghabiskan waktunya (Bullard, 1991). Wilayah jelajah monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran adalah 5,65 20,48 Ha, rata-rata wilayah jelajah 13,06 Ha (Hendratmoko 2009). Menurut Santosa (1990), aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. dalam hal ini mobilitas dan luas serta komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Setiap jenis satwa menunjukan pola kegiatan harian yang tertentu, demikian juga dengan jenis primata. Kegiatan primata berupa makan, bergerak, istirahat, menelisik dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan. Lebih lanjut Santosa (1990) menyatakan bahwa pola penggunaan ruang merupakan suatu keseluruhan interaksi antara satwa dengan

41 14 habitatnya. Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah : daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan. Core area merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan dengan keteraturan yang lebih besar dibanding bagian lainnya. Teritori adalah daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar, sedangkan wilayah jelajah (home range) itu sendiri adalah daerah pergerakan normal satwa dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin (Chalmers 1980).

42 15 III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada '27''BT sampai '29''BT dan 6 54'23''LS sampai 6 55'35''LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi (HPGW 2010). Gambar 2 Peta lokasi penelitian Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha. Sejaran kawasan yang tercatat dimulai sejak tahun Kawasan Hutan Gunung Walat mulai ditanami damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951/1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar base camp. Tahun 1967 IPB melakukan penjajakan

43 16 kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968, Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 1969 terbit Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB. Tahun 1973 terbit SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh kawasan HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling Dalbergia latifolia, Gliricidia sp, Paraserianthes falcataria, Shorea sp, dan Acacia mangium. Tahun 1992, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang Penunjukan Komplek Hutan Gunung Walat Sebagai Hutan Pendidikan, pengelolaan kawasan Hutan Gunung Walat sebagai Hutan Pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari Tahun 2005, status hukum kawasan HPGW lebih kuat dengan terbitnya SK Menhut No. 188/Menhut II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaanya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan.

44 Kondisi Fisik Kawasan 1. Topografi HPGW terletak pada ketinggian m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan di bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN (670 m dpl.) dan KN (720 m dpl.). 2. Jenis Tanah Tanah HPGW adalah kompleks dari podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping). 3. Iklim Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan nilai Q = 14,3%-33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29 C dan minimum 19 C di malam hari. 4. Hidrologi HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri. 3.3 Kondisi Biologis Kawasan 1. Keragaman Flora Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika

45 18 (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), Gliricidia sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk dua jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis. Potensi tegakan hutan ± m 3 kayu damar, m 3 kayu pinus, 464 m 3 puspa, 132 m 3 sengon, dan 88 m 3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, maesopsis/kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul. 2. Keragaman Fauna Beberapa jenis satwa liar yang dapat ditemukan di HPGW adalah jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok mamalia terdapat babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Dari kelompok jenis burung terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain Elang Jawa, Emprit, Kutilang dll. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular, bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula terdapat pula lebah hutan (odeng, tawon gung, Apis dorsata). 3.4 Kondisi Sosial Ekonomi Desa-desa yang terletak dan berdekatan dengan HPGW adalah Desa Batununggal dan Sekarwangi (di Bagian Utara), Desa Cicantayan, Desa Cijati (di Bagian Timur), Desa Hegarmanah (di Bagian Selatan) dan Desa Hegarmanah (di Bagian Barat). Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam prgoram agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap. Hasil

46 19 pertanian dari lahan agroforestry seperti singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi gogo, kopi, sereh, dll. Jumlah ternak domba /kambing di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 1875 ekor, jika setiap ekor domba/kambing memerlukan 5 kg rumput, maka diperlukan hijauan sebanyak 9,375 ton. Hijauan pakan ternak tersebut sebagian besar berasal dari HPGW. Kecamatan Cicantayan, khususnya desa Hegarmanah juga merupakan desa penghasil manggis dengan mutu eksport. Jumlah pohon manggis di desa Hegarmanah sebanyak batang dan akan terus bertambah. Untuk menjadi sentra produksi diperlukan pohon.

47 20

48 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis, jam tangan, kamera digital Canon EOS 20 D, kompas, label, peta kawasan, pita meter, plastik sampel, tali plastik, tally sheet, teropong binokuler, GPS Garmin 60 CSX, Microsoft Excel 2007, perangkat lunak minitab 16, IBM SPSS Statistic 19 dan ArcGis Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa : 1. Parameter Demografi, meliputi ukuran populasi, kepadatan populasi, jumlah populasi berdasarkan struktur umur, jenis kelamin, sex rasio, angka kelahiran dan angka kematian. 2. Wilayah jelajah berupa data pergerakan satwa. 3. Habitat, meliputi faktor fisik yaitu ketinggian tempat, suhu, kelembaban dan kelerengan. Faktor biotik adalah struktur dan komposisi vegetasi serta potensi tumbuhan pakan. Data sekunder berupa : peta digital HPGW, data dan informasi lain yang diperlukan melalui studi literatur dari text book, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan laporan penelitian. 4.4 Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pengelola kawasan dan studi literatur seperti text book, data hasil penelitian sebelumnya (skripsi, tesis, desertasi dan laporan penelitian), jurnal dan lain-lain).

49 22 Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung (observational approach) di lapangan. 1. Parameter Demografi Pengumpulan data parameter demografi dilakukan dengan cara sensus. Metode yang digunakan adalah metode penghitungan titik konsentrasi (consentrartion count) berdasarkan survey awal dan informasi dari petugas HPGW. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari ( ) dan sore hari ( ) selama 3 kali dengan ulangan 3 kali masingmasing 5 menit. Data yang dicatat selama pengamatan adalah jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Jumlah individu yang dicatat merupakan individu yang ditemukan/ dijumpai langsung dalam pengamatan. Sehubungan sulitnya mengetahui secara pasti umur monyet ekor panjang di lapangan, maka pembagian kelas umur didasarkan pada ukuran kualitatif yang mencakup kelas umur bayi, anak, muda, dan dewasa. 2. Wilayah jelajah Data wilayah jelajah dilakukan dengan cara mengambil titik koordinat pergerakan monyet ekor panjang dengan menggunakan GPS. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara mengikuti pergerakan satwa dimulai pada pagi hari (07.00 WIB) sampai sore hari (18.00). Pengambilan data dilaksanakan sebanyak 4 kali. 3. Habitat Terdiri dari kondisi fisik dan biotik. Pengumpulan data kondisi fisik habitat berupa ketinggian tempat, suhu, kelembaban, kelerengan. Pengumpulan data kondisi biotik (tumbuhan) dilaksanakan dengan menggunakan petak contoh berbentuk jalur (Kartono, 2000). Jumlah petak ukur adalah 12 buah di 4 habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang. Arah jalur Utara Selatan. Data yang dikumpulkan, meliputi : a. Tingkat Pohon Jenis, jumlah, diameter tingkat pohon, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) ± 130 cm dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir > 20 cm.

50 23 b. Tingkat Tiang Jenis, jumlah, diamater tingkat tiang, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) ± 130 cm dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir lebih besar cm. c. Tingkat Pancang Jenis dan jumlah tingkat pancang, yaitu anakan pohon dengan tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter setinggi dada < 10 cm. d. Tingkat Semai Jenis dan jumlah semai, anakan pohon dengan tinggi < 1,5 m. DD C B A D C B Gambar 3. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan : A = Petak pengamatan tingkat pohon, ukuran 20 m X 20 m B = Petak pengamatan tingkat tiang, ukuran 10 m X 10 m C = Petak pengamatan tingkat pancang, ukuran 5 m X 5 m D = Petak pengamatan tingkat semai, ukuran 2 m X 2 m Selain itu juga dilaksanakan pengumpulan data potensi tumbuhan pakan. Pengumpulan data dilaksanakan dengan pengamatan langsung jenis pakan dan bagian apa yang dimakan (daun, buah, dll) selama 4 hari, dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data wilayah jelajah. 4.5 Metode Analisis Data 1. Parameter Demografi a. Ukuran populasi dari hasil sensus adalah jumlah terbanyak dari keseluruhan pengamatan.

51 24 b. Kepadatan (density) Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per luas areal studi. Keterangan : P = Populasi, A = luas HPGW c. Sex rasio Sex ratio diperoleh dengan menghitung jumlah jantan dan betina (Santosa dan Sitorus, 2008). Sex Rasio dihitung dengan rumus berikut ini: Keterangan : S = Sex Ratio Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina d. Angka kelahiran Angka kelahiran diperoleh dengan menghitung jumlah individu baru atau jumlah anak secara keseluruhan dan dibandingkan dengan jumlah total betina dewasa (Santosa dan Sitorus, 2008). Persamaan yang digunakan : Keterangan : b = angka kelahiran kasar B = jumlah individu bayi, N = Jumlah seluruh individu betina produktif e. Angka kematian Angka kematian diperoleh dari hasil wawancara dengan pengelola dan masyarakat sekitar HPGW. Menurut Santosa dan Sitorus (2008) persamaan yang digunakan untuk menghitung angka kematian adalah :

52 25 Keterangan : d = angka kematian kasar D = jumlah individu yang mati dari semua sebab dalam waktu satu tahun N = Jumlah seluruh anggota populasi f. Struktur umur Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur diperoleh dengan menghitung dan mengelompokan jumlah jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda, anak dan bayi (Santosa dan Sitorus, 2008). 2. Wilayah jelajah Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 48S dipetakan dan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum convex polygon) tempat monyet ekor panjang beraktivitas. Analisis diskriptif dilakukan pada masing-masing wilayah jelajah monyet ekor panjang. 3. Habitat Analisa kondisi biotik menggunakan analisa vegetasi. Anveg digunakan untuk mengetahui susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam ekologi tumbuhan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan (K), kerapatan relative (KR), frekwensi (F), frekwensi relative (FR), dominasi (D) dan dominasi relative (DR) adalah sebagai berikut :

53 26 INP (Indeks Nilai Penting) untuk tingkat tiang dan pohon = KR+FR+DR, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP=KR+FR 4. Faktor dominan komponen habitat Penentuan faktor dominan penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan regresi linier berganda yang diolah dengan software IBM SPSS Statistic 19 melalui metode stepwise. Dalam hal ini akan dianalisis hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah bebas (X). Peubah tidak bebas (Y) adalah jumlah individu monyet ekor panjang, sedangkan peubah bebas (X) adalah peubah-peubah yang berasal dari faktor fisik dan biotik habitat yang diduga mempengaruhi populasi monyet ekor panjang pada tempat tersebut. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y = b 0 + b 1 x 1 + b 2 x b 5 x 5 + ε Keterangan : Y = jumlah individu b 0 = nilai intersep b1 = nilai koefisien regresi ke-1 x1 = ketinggian tempat x2 = suhu x3 = kelembaban x4 = kelerengan x5 = kerapatan pohon Hipotesa : Ho : b1=b2=..=b5 (semua variable bebas x tidak mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y) Ho : b1 b2.. b5 (minimal ada satu variable bebas x yang mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y) Jika nilai p < 0.05 maka tolak Ho dan jika p > 0.05 terima Ho.

54 27 5. Uji hubungan Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara : - Faktor fisik lingkungan dengan keberadaan monyet ekor panjang, - Ukuran kelompok dengan luas wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah selama empat hari. Hipotesa yang dibangun adalah Ho : Tidak ada hubungan H1 : Ada hubungan Uji hubungan dilakukan menggunakan uji statistik dengan metode Chi square. Software yang digunakan adalah Minitab 16, apabila P-Value < 0,05 artinya tolak Ho. Rumus yang digunakan : Dimana : Oi = Nilai hasil pengamatan, Ei = Nilai harapan

55 28

56 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Parameter Demografi Ukuran dan Komposisi Kelompok Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak ditemukan pada sore hari pada saat monyet ekor panjang mulai berkelompok dan bergerak menuju lokasi dimana terdapat pohon tidurnya. Hal ini sependapat dengan Lindburg (1980), metode yang lebih akurat untuk menghitung individu monyet ekor panjang dalam sebuah kelompok adalah dengan cara menghitung ketika satwa tersebut sedang memanjat pohon yang menjadi tempat tidurnya di sore hari tetapi berbeda halnya dengan Priyono (1998) yang menyatakan bahwa pada sore hari diduga individu dalam kelompok belum berkumpul secara utuh dan jarak antar individu anggota kelompok relatif lebih jauh dibandingkan pada pagi hari. Tiga puluh tahun pasca introduksi ditemukan empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Empat kelompok tersebut terdiri sebagai berikut : kelompok pertama adalah Kelompok A yaitu kelompok monyet ekor panjang yang menempati habitat di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat. Kelompok kedua adalah Kelompok B yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW. Kelompok ketiga yaitu Kelompok C yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW. Kelompok keempat adalah Kelompok D yaitu kelompok yang menempati habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran Komposisi Kelompok Kelompok Bayi Anak JM BM JD BD A B C D Keterangan : JM=Jantan Muda, BM=Betina Muda, JD=Jantan Dewasa dan BD=Betina Dewasa.

57 30 Semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki kekerabatan yang sangat dekat dikarenakanan memiliki tetua yang sama. Kelompok A diduga adalah awal dari semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Berdasarkan informasi dari mantan pengelola HPGW (Bapak Yoyok Ontaryo) bahwa lokasi introduksi monyet ekor panjang adalah di sekitar base camp HPGW. Alasan dipilihnya lokasi ini bahwa pada saat itu tanaman lebih banyak tumbuh di sekitar base camp. Setelah dilepaskan monyet ekor panjang bergerak ke arah bukit kabayan dimana terdapat sumber air dan banyak ditemukan pohon tangkalak (Bellucia axinanthera). Lokasi ini berada ditengah-tengah HPGW dan sering disebut Blok Tangkalak (Blok Tengah). Bukit ini sangat dekat lokasinya dengan Stasiun Relay TVRI Gunung Walat. Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda-beda, ukuran kelompok tertinggi terdapat pada kelompok D yaitu 31 individu dan terendah terdapat pada kelompok B yaitu 23 individu. Ukuran kelompok monyet ekor panjang tergantung pada habitat yang ditempatinya. Hal ini sependapat dengan Bismark (1986) bahwa pembentukan dan besarnya kelompok bervariasi menurut tipe habitat. Selanjutnya menurut Bismark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran kelompok adalah kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi, cara menghadapi kelompok lain dan cara menghadapi pembentukan kelompok. Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran yaitu individu per kelompok (Hendratmoko 2009), berbeda jauh dengan kelompok monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta yaitu per kelompok dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu ekor per kelompok (Kusmardiatuti 2010). Ukuran kelompok monyet ekor panjang HPGW juga berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di hutan sekunder di sekitar bendungan Batu Tegi Lampung yaitu individu per kelompok (Surya 2010) Kepadatan Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan kepadatan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0.3 individu/ha. Sedangkan kepadatan per habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 2.

58 31 Tabel 2 Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Habitat Kepadatan (individu/ha) A TVRI dan sekitarnya 1,03 B Belakang base camp HPGW 1,17 C Penampungan air dan sekitarnya 0,89 D DAS sekitarnya 1,96 Kepadatan monyet ekor panjang HPGW masih lebih rendah dari kepadatan monyet ekor panjang di TWA dan CA Pangandaran 2,3 indinvidu/ha (Mukhtar 1982), monyet ekor panjang di Pulau Tinjil 1,09 individu/ha (Fadillah 2003), dan monyet ekor panjang di kawasan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada 0,8 individu/ha (Priyono 1998). Menurut Lesson et al. (2004) pada kawasan liar tanpa ada pakan tambahan daya tampung maksimum sekitar 1000 kg biomasa/km 2 atau sekitar 333 ekor/km 2 dengan rataan berat monyet 3 kg, atau sekitar 3 4 ekor/ha Sex rasio Berdasarkan pengamatan, monyet ekor panjang HPGW yang diketahui jenis kelaminnya hanya pada kelas umur muda dan dewasa. Sedangkan pada kelas umur bayi dan anak tidak diketahui jenis kelaminnya. Hasil peneltian ini menunjukan bahwa secara keseluruhan sex rasio populasi monyet ekor panjang di HPGW adalah 1 : 1,54. Sedangkan sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Jumlah Jantan Jumlah Betina Sex Rasio A : 1,33 B : 1,67 C : 1,86 D : 3,75 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang HPGW berbeda-beda, tetapi secara umum seks rasio adalah 1 : 2. Sex rasio tertinggi terdapat pada Kelompok D adalah 1 : 4 dan sex rasio terendah terdapat pada kelompok A adalah 1 : 1. Hal ini sama dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) sex rasio monyet ekor panjang yang terdapat di SM Paliyan Yogyakarta adalah 1 : 2 dan di Hutan Kaliurang

59 32 adalah 1 : 2. Kondisi seperti ini tidak berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa sex rasio monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 1 : Angka Kelahiran Monyet ekor panjang melahirkan sepanjang tahun dan tidak mengenal musim melahirkan. Angka kelahiran yang dihitung pada penelitian ini adalah angka kelahiran kasar. Pada peneltian ini angka kelahiran monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,24. Angka kelahiran tiap kelompok tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Bayi Betina Produktif Angka Kelahiran A ,16 B ,20 C ,15 D ,40 Angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kusmardiastuti (2010) angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta adalah 0,44 0,56 dan di Hutan Kaliurang adalah 0,43 0,67. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kelahiran kasar di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 0,72 0,77. Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran kasar (P- Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran Angka Kematian Kematian adalah kejadian alamiah dalam suatu populasi. Kematian akan menyeimbangkan populasi. Angka kematian merupakan faktor penentu kelestarian satwa liar termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Sulitnya mendapatkan angka kematian monyet ekor panjang di alam maka pendugaan angka kematian dihitung melalui pendekatan 1 - peluang hidup pada setiap kelas

60 33 umur (Kusmardiatuti 2010, Surya 2010). Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian setiap kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Peluang Hidup Angka Kematian Peluang Hidup Angka Kematian Anak Muda Muda Dewasa A 0,29 0,71 1,00 0 B 0,30 0,70 0,91 0,08 C 1,22 * -0,22 * 0,22 0,78 D 0,16 0,84 1,00 0 Keterangan : Tidak normal Pada Tabel 5, peluang hidup dang angka kematian Kelompok C adalah tidak normal. Hal ini disebabkan karena asumsi bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan tahun sebelumnya tidak bisa diterapkan pada Kelompok C atau diduga terdapat kejadian alami yang menyebabkan kematian individu pada kelas umur anak lebih besar sehingga jumlah anak lebih kecil dari pada jumlah individu pada kelas umur muda. Pada penelitian ini, secara keseluruhan angka kematian monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,64 pada kelas umur anak muda; 0,30 pada kelas umur muda dewasa. Tabel 5 menunjukan bahwa angka kematian pada kelas umur anak muda lebih besar dari pada angka kematian pada kelas umur muda dewasa. Hasil ini berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) angka kematian monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta lebih besar terjadi pada kelas umur muda dewasa. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kematian monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung lebih besar pada kelas umur muda dewasa. Kematian yang terjadi pada kelas umur anak diduga karena individu pada kelas umur ini peluang terjadinya kecelakaan dan peluang ditangka predator lebih besar. Hal ini sependapat dengan Priyono (1998) kematian pada bayi umumnya disebabkan oleh kecelakaan atau dimangsa oleh predator. Predator monyet ekor panjang di HPGW adalah burung elang.

61 Struktur umur Berdasarkan pendekatan struktur umur menurut Napier & Napier (1967), menghasilkan gambaran struktur umur monyet ekor panjang di HPGW menggambarkan pola struktur umur menurun (regressive population) yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur sangat muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi seperti ini terus menerun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu (Tarumingkeng 2010). Gambaran tersebut di atas berbeda dengan kondisi di lapangan, bahwa monyet ekor panjang di HPGW mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan pesat. Untuk menghindari adanya gambaran struktur umur menurun (regressive population) dan menghasilkan gambaran struktur umur meningkat (progressive populations) maka kelas umur bayi dan anak di gabung. Penggabungan ini menghasilkan kelas umur yang baru yaitu anak, muda dan dewasa. Pada penelitian ini, secara keseluruhan struktur umur monyet ekor panjang pada kelas umur anak, muda dan dewasa adalah 18 : 6 : 4. Struktur umur tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran kelompok Struktur umur (individu) Anak : Muda : Dewasa A 30 4 : 1 : 1 B 23 3 :1 : 1 C 24 2 : 3 : 1 D 31 6 : 1 : 1 Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar termasuk monyet ekor panjang, sehingga dapat juga digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Menurut Tarumingkeng (1994) terdapat tiga pola struktur umur yaitu struktur umur menurun, struktur umur stabil dan struktur umur meningkat. Berdasarkan Tabel 4, struktur umur monyet ekor panjang di HPGW termasuk dalam pola struktur umur meningkat atau populasi berkembang (progressive populations) dimana kelas umur anak lebih tinggi daripada kelas umur lainnya.

62 35 Tabel 4 menunjukan bahwa secara keseluruhan semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki struktur umur meningkat (progressive populations) kecuali kelompok C. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok monyet ekor panjang yang ada di HPGW akan terus berkembang dan lestari karena jumlah anak lebih besar dibanding dewasa. Dengan kondisi demikian maka regenerasi satwa ini akan berlangsung dengan baik di masa yang akan datang. Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa struktur umur monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta memiliki struktur umur meningkat (progressive populations). Kondisi seperti ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) bahwa struktur monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung memiliki struktur umur meningkat (progressive populations). 5.2 Wilayah Jelajah Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki wilayah jelajah yang berbeda-beda. Dua kelompok memilik wilayah jelajah yang tumpang tindih (Kelompok B dan C) dan dua kelompok lainnya memiliki wilayah jelajah yang terpisah (Kelompok A dan D). Berdasarkan hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW lebih banyak memanfaatkan vegetasi tingkat pohon dalam pergerakannya. Berbeda dengan Santosa (1996) yang menyatakan bahwa,monyet ekor panjang di Pulau Tinjil lebih menyukai vegetasi tingkat pancang. Hal ini diduga karena sumber makanan seperti buah-buah lebih banyak tersedia pada tingkat pohon. Kelompok A Selama empat hari pengamatan Kelompok A memiliki luas wilayah jelajah harian yang berbeda-beda. Luas wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7 sedangkan bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah harian dapat dilihat pada Gambar 4.

63 36 Gambar 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A Pada hari pertama dalam pergerakannya Kelompok A hanya memanfaatkan 2 jenis tumbuhan yaitu pinus sebesar 97 % dan kayu afrika 3 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, potensi ketersediaan sumber daya pada wilayah jelajah hari pertama seluas 6,17 Ha adalah pinus sebanyak pohon dan kayu afrika sebanyak 142 pohon. Hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 6,77 Ha. Jenis pohon yang digunakan yang digunkan dalam pergerakannya adalah pinus 20 %, kayu afrika 23 % dan harendong 18 %. Potensi ketersediaan saumber daya adalah pinus pohon, kayu afrika 156 pohon dan harendong 41 pohon. Hari ketiga Kelompok A memiliki luas jelajah 18,57 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 78 % dan kayu afrika 22 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus pohon dan kayu afrika 427 pohon. Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 10,30 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 48 %, afrika 37 % dan

64 37 harendong 15 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus pohon, kayu afrika 237 pohon dan harendong 62 pohon. Panjang lintasan pada wilayah jelajah harian Kelompok A bervariasi antara 448,66 807,74 meter sedangkan lebar lintasan adalah 160, meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A Hari Wilayah jelajah harian Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter) Pertama 6,17 587,39 160,66 Kedua 6,77 448,66 179,78 Ketiga 18,57 652,07 391,04 Keempat ,74 257,96 Luas wilayah jelajah Kelompok A selama empat hari adalah 29,26 Ha dengan panjang 807,74 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok A mempunyai teritori seluas 0,40 Ha dengan panjang 126,39 meter dan lebar 36,86 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 413,30 meter dan jarak terpendek adalah meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok A tersaji pada Gambar 5. Gambar 5 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok A

65 38 Kelompok B Tidak berbeda dengan Kelompok A, selama empat hari pengamatan Kelompok B juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Hari pertama kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha, hari kedua 2,31 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat seluas 4,80 Ha. Bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 6. Gambar 6 Wilayah jelajah harian Kelompok B Pada hari pertama pegerakannya, Kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha. Kelompok B memanfaatkan 6 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 29 %, puspa 8 %, kayu afrika 26 %, harendong dan gemelina masing-masing 3 %, dan agathis 31 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi pada habitat ini, potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 6 pohon, puspa 490 pohon, kayu afrika 6 pohon dan agathis 23 pohon. Kelompok B pada hari kedua memiliki luas jelajah 2,31 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan hari ketiga adalah pinus dan harendong 11 %, kayu afrika 22 %, agathis 50 % dan sempur 6 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 5 pohon, kayu afrika 5 pohon, agathis 19 pohon.

66 39 Hari ketiga kelompok ini memiliki luas jelajah 10,36 Ha. Dalam pergerakannya kelompok ini memanfaatkan jenis pinus 28 %, puspa 10 %, kayu afrika 31 %, harendong 4 %, agathis 24 % dan sempur 3 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 21 pohon, kayu afrika 21 pohon, puspa pohon, agathis 86 pohon. Kelompok B pada hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 4,80 Ha. Kelompok ini memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakan hari keempat yaitu pinus 9 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan kipasang 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 10 pohon, puspa 850 pohon, kayu afrika 10 pohon dan agathis 40 pohon. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok B bervariasi antara 361,61 533,60 meter sedangkan lebar lintasan adalah 72,15 327,35 meter. Panjang lintasan tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Wilayah jelajah harian Kelompok B Hari Wilayah jelajah harian Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter) Pertama 2,77 381,75 72,15 Kedua 2,31 370,36 134,90 Ketiga 10,36 553,60 327,35 Keempat 4,80 361,61 168,47 Gambar 7 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok B

67 40 Luas wilayah jelajah Kelompok B selama empat hari adalah 19,73 Ha dengan panjang 635,48 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok B mempunyai teritori seluas 0,015 Ha dengan panjang 45,03 meter dan lebar 4,84 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 328,24 meter dan jarak terpendek adalah 76,06 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 7. Kelompok C Kelompok C juga memiliki luas wilayah jelajah harian yang bervariasi selama empat hari pengamatan. Hari pertama pengamatan luas wilayah jelajah Kelompok C 6,87 Ha, hari kedua 7,12 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat 7,15 Ha. Bentuk adan arah lintasan wilayah jelajah harian Kelompok C tersaji pada Gambar 8. Hari pertama kelompok C memiliki luas wilayah jelajah 6,87 Ha. Dalam pergerakannya pada hari pertama kelompok ini memanfaatkan 4 jenis tumbuhan yaitu pinus 33 %, puspa dan harendong masing-masing 11 %, dan agathis 45 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, ketersediaan sumber daya di habitat ini adalah 687 pohon, puspa 357 pohon. Pada hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 7,12 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakannya adalah pinus 46 %, kayu afrika 43 % dan agathis 11 %. Potensi ketersediaan sumber daya 712 pohon, kayu afrika 370 pohon. Hari ketiga kelompok memiliki luas jelajah 4,29 Ha. Kelompok C pada hari ketiga memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakannya yaitu pinus 19 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan ki pasang masingmasing 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 429 pohon, puspa dan kayu afrika 223 pohon, sempur 9 pohon. Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 7,15 Ha. Pada hari keempat pengamatan kelompok ini memanfaatkan 3 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 12 %, kayu afrika 52 % dan agathis 36 %. Ketersediaan sumber daya, pinus 715 pohon, kayu afrika 372 pohon.

68 41 Gambar 8 Wilayah jelajah harian Kelompok C Panjang wilayah jelajah harian Kelompok C adalah 457,84 617,36 meter sedang lebar wilayah jelajah harian 69,05 241,52 meter. Panjang wilayah jelajah harian adalah tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Wilayah jelajah harian Kelompok C Hari Wilayah jelajah harian Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter) Pertama 6,87 482,01 241,52 Kedua 7,12 457,84 239,45 Ketiga 4,29 617,36 69,05 Keempat 7,15 479,83 215,51 Luas wilayah jelajah Kelompok C selama empat hari adalah 26,94 Ha dengan panjang 915,30 meter dan lebar 446,04 meter. Kelompok C mempunyai teritori seluas 0,41 Ha dengan panjang 144,56 meter dan lebar 33,20 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 480,34 meter dan jarak terpendek adalah 79,73 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok C tersaji pada Gambar 9.

69 42 Gambar 9 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok C Kelompok D Tidak berbeda dengan lainnya selama empat hari pengamatan Kelompok D juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Luas wilayah jelajah hari pertama 1,17 Ha, hari kedua 7,17 Ha, hari ketiga 2,19 Ha dan hari keempat 5,22 Ha. Arah dan bentuk lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D tersaji pada Gambar 10. Pada hari pertama kelompok D memiliki luas wilayah jelajah 1,17 Ha. Pergerakan kelompok ini pada hari pertama memanfaatkan 5 jenis tumbuhan yaitu puspa 32 %, harendong 7 %, agathis 47 %, sempur 11 % dan tereup 4 %. Ketersediaan sumber daya berdasarkan hasil analisa vegetasi di habitat ini, puspa 124 pohon, agathis 54 pohon. Hari kedua Kelompok D memiliki luas jelajah 7,17 Ha. Jenis pohon yang dimanfaatkan kelompok ini dalam pergerakan hari kedua hanya 2 jenis tumbuhan masing-masing adalah puspa 50 % dan agathis 50 %. Ketersediaan sumber daya adalah 762 pohon, puspa 403 pohon.

70 43 Pada hari ketiga Kelompok D memiliki luas jelajah 2,19 Ha. Ada 3 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan kelompok ini dalam pergerakan hari ketiga yaitu puspa 39 %, agathis 56 % dan tepus 5 %. Ketersediaan sumber daya puspa 233 pohon, agathis 100 pohon. Hari keempat Kelompok D memiliki luas wilayah jelajah 5,22 Ha. Pergerakan Kelompok D pada hari keempat memanfaatkan jenis pinus 27 %, puspa 33 % dan agthis 40 %. Ketersediaan sumber daya, puspa 555 pohon dan agathis 239 pohon. Gambar 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D adalah 227,68 507,54 meter sedangkan lebar wilayah jelajah 124,90 259,68 meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D Hari Wilayah jelajah harian Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter) Pertama 1,17 227,68 186,88 Kedua 7,17 507,54 124,90 Ketiga 2,19 334,87 155,17 Keempat 5,22 445,47 259,68

71 44 Luas wilayah jelajah Kelompok D selama empat hari adalah 15,78 Ha dengan panjang 721,68 meter dan lebar 300,95 meter. Kelompok D mempunyai teritori seluas 0,65 Ha dengan panjang 199,95 meter dan lebar 47,23 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 326,28 meter dan jarak terpendek adalah 43,68 meter. Posisi wilayah jelajah dan teritori Kelompok D tersaji pada Gambar 11. Gambar 11 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok D Semua Kelompok Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki posisi, luas wilayah jelajah dan teritori yang berbeda-beda. Terdapat 2 kelompok yaitu kelompok A dan D yang memiliki wilayah jelajah terpisah. Dua kelompok lainnya yaitu kelompok B dan C memiliki wilayah jelajah yang tumpang tindih. Tumpang tindih wilayah jelajah kelompok B dan C adalah 6,63 Ha. Posisi wilayah jelajah semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 12. Berdasarkan hasil pengamatan Kelompok B dan C pada saat bertemu tidak menunjukkan sifat saling menyerang. Kelompok C terlihat berdiam diri menunggu Kelompok B melanjutkan pergerakannya. Setelah Kelompok C terlihat

72 45 jauh, Kelompok B melanjutkan pergerakannya kembali. Diduga Kelompok B dan C menghindari konflik dan mereka menggunakan sumber daya secara bergantian Gambar 12 Wilayah jelajah dan teritori setiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan luas wilayah jelajah harian (P-Value > 0,05). Tidak berbeda dengan hasil perhitungan sebelumnya, hasil uji statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah selama empat hari (P-Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah pada wilayah jelajah selama empat hari menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 2. Hasil perhitungan statistik menunjukan bahwa luas wilayah jelajah dan jarak jelajah tidak dipengaruhi oleh ukuran kelompok. Pada penelitian ini luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di HPGW diduga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, musim berbunga dan berbuah, waktu pergantian kematangan buah dan

73 46 wilayah jelajah kelompok lain. Hal ini sependapat dengan Alita (1993) bahwa variasi temporal penyebaran satwa aktif dipengaruhi oleh musim berbunga dan berbuah. Hal ini tidak berbeda juga dengan penelitian Hendratmoko (2009) bahwa monyet ekor panjang di CA Pangandaran koloni Pasir Selatan memiliki wilayah jelajah terluas karena sangat tergantung dengan ketersediaan pakan alami. Rata-rata wilayah jelajah terluas terluas monyet ekor panjang di HPGW dimiliki oleh Kelompok A yaitu 10,45 Ha tetapi masih lebih kecil dari penelitian Hendratmoko (2009) bahwa rata-rata wilayah jelajah kelompok monyet ekor panjang di CA Pangandaran adalah 13,06 Ha. 5.3 Karakteristik Wilayah Jelajah Karakteristik Habitat Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Menurut Alikodra (1990) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Hal ini sependapat Bailey (1994) kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh species hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Pada penelitian ini, pengamatan monyet ekor panjang dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Pemilihan HPGW sebagai lokasi penelitian karena monyet ekor panjang mudah dijumpai dan belum pernah dilaksanakan penelitian mengenai jenis satwa ini. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui parameter demografi, wilayah jelajah monyet ekor panjang dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaannya. Kondisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.

74 47 (a) (b) (b) (d) Gambar 13 Kondisi lokasi penelitian yang merupakan habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang : (a) Kelompok A (b) Kelompok B (c) Kelompok C dan (d) Kelompok D Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah hutan tanaman. Sejarah penanaman kawasan dimulai sejak tahun 1951/1952. Jenis tanaman yang ditanam adalah damar (Agathis lorantifolia). Tahun 1980 seluruh kawasan HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Paraserianthes falcataria, Shorea sp, dan acacia mangium. Sebaran vegetasi di HPGW dapat dilihat pada Gambar 14.

75 48 Gambar 14 Peta sebaran vegetasi di HPGW Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Hutan Pendidikan Gunung Walat bukanlah satwa asli setempat. Monyet ekor panjang ini awalnya adalah satu populasi yang terdiri dari 15 ekor yang diintroduksi pada tahun 1980/1981 (IPB 1981). Sebelum dilepaskan, monyet ekor panjang dipelihara dalam kurungan selama satu bulan. Kegiatan introduksi monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan kerjasama antara Direktorat Jenderal PHKA (PPA pada saat itu) dengan Fakultas Kehutanan IPB. Monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 15. Monyet ekor panjang adalah salah satu jenis satwa yang berhasil beradaptasi dengan baik di HPGW setelah introduksi pada tahun 1980/1981. Satwa ini adalah jenis satwa yang mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi terhadap lingkungan barunya sesuai dengan Napier & Napier (1967) monyet ekor panjang mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan iklim yang berbeda.

76 49 (a) (b) Gambar 15 Monyet ekor panjang di HPGW : (a) jantan dewasa (b) induk dan bayi Faktor Fisik Ketinggian tempat dan Topografi Ketinggian tempat dan topografi merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang. Topografi ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW adalah berbukit-bukit. Hasil pengukuran di lapangan menunjukan bahwa Kelompok A ditemukan pada ketinggian mdp, rata-rata ketinggian 597, 88 mdpl. Kelompok A lebih sering ditemukan pada ketinggian mdpl dengan frekwensi perjumpaan 78 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B ditemukan pada ketinggian mdpl, rata-rata ketinggian 467,74 mdpl. Perjumpaan terbanyak ditemukannya Kelompok B adalah pada ketinggian mdpl, dengan frekwensi perjumpaan 22 kali. Kelompok C ditemukan pada ketinggian mdpl, rata-rata ketinggian adalah 520,83 mdpl. Kelompok C lebih sering ditemukan pada ketinggian mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 30 kali. Sedangkan kelompok D ditemukan pada ketinggian

77 50 mdpl. Perjumpaan terbanyak Kelompok D adalah pada ketinggian mdpl dengan frekwensi perjumpaan 6 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok diberbagai ketinggian tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai ketinggian Ketinggian Frekwensi perjumpaan (kali) tempat (mdpl) Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Berdasarkan hasil pengukuran monyet ekor panjang di HPGW ditemukan pada keinggian pada mdpl, rata-rata ketinggian adalah 597,88 mdpl. Secara keseluruhan monyet ekor panjang lebih sering ditemukan pada ketinggian mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 78 kali dan frekwensi perjumpaan terendah pada ketinggian mdpl yaitu sebanyak 39 kali. Ketinggian tempat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW sama dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada ketinggian 500 mdpl. Berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta ditemukan pada ketinggian 200 mdl dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta monyet ekor panjang ini temukan pada keinggian di atas 800 mdpl. Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat (P-Value < 0,05). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap ketinggian tempat. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 3. Suhu Komponen iklim mikro yang diukur pada penelitian ini adalah suhu udara dan kelembaban. Suhu dan kelembaban sangat menentukan kondisi cuaca pada suatu daerah. Suhu udara merupakan salah satu komponen fisik habitat yang

78 51 dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Berdasarkan hasil pengukuran suhu di bawah tajuk, Kelompok A ditemukan pada suhu o C, rata-rata suhu adalah 25,67 o C. Kelompok A paling banyak ditemukan pada suhu o C, dengan frekwensi perjumpaan tertinggi kelompok A adalah 88 kali. Kelompok B ditemukan pada suhu o C, ratarata suhu 25,67 o C. Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok B adalah 26 kali pada suhu o C. Kelompok C ditemukan pada suhu o C, rata-rata suhu adalah 26,27 o C. Berbeda dengan kelompok A, B, C, Kelompok D ditemukan pada suhu o C, rata-rata suhu 26,27 o C. Kelompok D hanya ditemukan pada suhu o C, dengan frekwensi perjumpaan 11 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok terkait dengan suhu tersaji pada Tabel 12. Tabel 12 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai suhu di bawah tajuk Suhu ( o Frekwensi perjumpaan (kali) C) Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Secara keseluruhan monyet ekor panjang ditemukan pada suhu o C, rata-rata suhu 25,43 o C. Frekwensi perjumpaan terbanyak monyet ekor panjang di HPGW adalah 88 kali pada suhu o C. Hal ini berbeda dengan penelitian Kusmardiatuti (2010) monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta ditemukan pada suhu o C, sedangkan monyet ekor panjang di Hutan Kaliurang Yoyakarta ditemukan pada suhu o C. Tetapi hal ini tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada suhu o C. Tidak berbeda dengan hasil perhitungan sebelumnya, hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu (X 2 hitung > X 2 ). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap suhu. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi

79 52 perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 4. Kelembaban Satu komponen penting lainnya yang berpengaruh pada iklim mikro adalah kelembaban. Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air (Rushayati & Arief 1997). Kelembaban udara merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Pengukuran kelembaban pada penelitian ini, menggambarkan bahwa Kelompok A ditemukan pada kelembaban %, rata-rata kelembaban 75,79 %. Kelompok A sering ditemukan pada kelembaban % dengan frekwensi perjumpaan terbanyak adalah 45 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B ditemukan pada kelembaban %, rata-rata kelembaban %. Kelompok B paling banyak ditemukan pada kelembaban %, dengan frekwensi perjumpaan 45 kali. Kelompok C ditemukan pada kelembaban 71 80,5 %, ratarata kelembaban 77,04 %. Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok C adalah 38 kali pada kelembaban %. Sedangkan Kelompok D ditemukan pada kelembaban %, rata-rata kelembaban 81,45 %. Kelompok D paling banyak ditemukan pada kelembaban % dengan frekwensi perjumpaan terbanyak yaitu 9 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok terkait dengan kelembaban tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelembaban di bawah tajuk Kelembaban Frekwensi perjumpaan (kali) (%) Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW ditemukan pada kelembaban %, rata-rata kelembaban 77 %. Satwa ini paling banyak ditemukan pada kelembaban dengan frekwensi perjumpaan terbanyak

80 53 yaitu 107 kali. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) monyet ekor panjang di SM Paliyan ditemukan pada kelembaban %, tetapi berbeda dengan kelembaban ditemukannnya monyet ekor panjang di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu %. Kondisi ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada kelembaban %. Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban (P-Value < 0,05). Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap kelembaban. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 5. Kelerengan Kelerengan adalah salah satu komponen fisik habitat yang diduga mempunyai pengaruh terhadap keberadaan satwa liar, termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Hasil pengukuran kelerengan dimana ditemukan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0% - 78 %. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan Kelompok A lebih sering dijumpai pada kelerengan % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 69 kali sedangkan frekwensi perjumpaan terendah adalah 6 kali pada kelerengan %. Tidak berbeda dengan Kelompok A, Kelompok B lebih banyak ditemukan pada kelerengan % dengan frekwensi perjumpaan 19 kali, sedangkan frekwensi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan % yaitu 1 kali perjumpaan. Kelompok C berbeda dengan Kelompok A dan B, frekwensi perjumpaan terbanyak pada kelerengan yang sama dengan Kelompok A dan B yaitu pada kelerengan % sebanyak 31 kali, tetapi frekwesi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan yang berbeda dengan Kelompok A dan B yaitu pada kelerengan 0 26 % dengan perjumpaan 5 kali. Kelompok D tidak berbeda dengan Kelompok C, Kelompok D sering ditemukan pada kelerengan % dengan perjumpaan sebanyak 5 kali sedangkan perjumpaan terendah terjadi pada

81 54 kelerengan 0 26 % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 2 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok di berbagai kelerengan tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelerengan Kelerengan Frekwensi perjumpaan (kali) (%) Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW lebih sering ditemukan pada kelerengan % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 124 kali dan perjumpaan terendah adalah 23 kali pada kelerengan 0 26 %. Sedangkan perjumpaan pada kelerengan % terjadi sebanyak 28 kali. Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan (P-Value < 0,05). Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap kelerengan. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran Kondisi Biotik Struktur Vegetasi Analisa vegetasi dilakukan di empat lokasi dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang. Lokasi-lokasi tersebut meliputi lokasi pertama adalah di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat dimana ditemukan Kelompok A. Lokasi kedua adalah habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW dimana ditemukan kelompok B. Lokasi ketiga adalah habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW dimana ditemukan Kelompok C. Lokasi keempat adalah habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana ditemukan Kelompok D. Berdasarkan hasil analisa vegetasi yang dilakukan di empat lokasi, ditemukan dua puluh jenis tumbuhan. Jumlah jenis vegetasi berdasarkan hasil

82 55 analisis vegetasi dari tiap habitat kelompok monyet ekor panjang di HPGW disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah jenis vegetasi pada tiap habitat ditemukannya monyet ekor panjang Habitat Jumlah jenis Semai Pancang Tiang Pohon Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D Komposisi tumbuhan tingkat semai Hasil analisa vegetasi di habitat monyet ekor panjang Kelompok A ditemukan 4 jenis. Jenis harendong memiliki kerapatan paling tinggi dan terendah adalah ki sireum. Pada habitat kelompok B, ditemukan 12 jenis tingkat semai dengan kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis sasah. Pada habitat kelompok C ditemukan 7 jenis tingkat semai, jenis sasah memiliki kerapatan tertinggi. Pada habitat kelompok D, hanya ditemukan 2 jenis yaitu puspa dan rambutan yang memiliki kerapatan sama. Kerapatan tumbuhan tingkat semai di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 16. Hasil analisa vegetasi tingkat semai selengkapnya tersaji pada Lampiran 7. Tabel 16. Tiga jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Kerapatan No Nama Daerah Nama Latin Famili (Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 Harendong Ki Huru 3 Kopo Habitat Kelompok B 1 Sasah 2 Puspa 3 Ki Teja Habitat Kelompok C 1 Sasah 2 Teurep 3 Ki Huru Habitat Kelompok D 1 Puspa 2 Rambutan Bellucia axinanthera Triana Macaranga rhizinoides (BL) Muell Eugenia subglauca K & V Symplocos javanica Kurz Schima wallichii (DC) Korth Machilus rimosa BL Symplocos javanica Kurz Artocarpus elastica Reinw Macaranga rhizinoides (BL) Muell Schima wallichii (DC) Korth Nephelium lappaceum Melastomataceae Euphorbiaceae Myrtaceae Symplocaceae Theaceae Lauraceae Symplocaceae Moraceae Euphorbiaceae Theaceae 208 Sapindaceae 208

83 56 Komposisi tumbuhan tingkat pancang Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di empat habitat monyet ekor panjang menunjukan jumlah jenis yang bervariasi. Pada habitat Kelompok A ditemukan 6 jenis tumbuhan tingkat pancang, kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis harendong dan huru batu memiliki kerapatan terendah. Berbeda dengan habitat Kelompok A, pada habitat Kelompok B jumlah jenis yang ditemukan lebih banyak yaitu 9 jenis tingkat pancang. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis harendong dan rambutan memiliki kerapatan terendah. Habitat Kelompok C memiliki jenis tumbuhan tingkat pancang paling banyak yaitu 16 jenis. Jenis puspa dan jangkurang memiliki kerapatan tertinggi, sedangkan mahoni memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok D hanya ditemukan 2 jenis tumbuhan tingkat pancang yaitu puspa dan harendong. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh harendong. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 17. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang selengkapnya tersaji pada Lampiran 8. Tabel 17. Tiga jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Kerapatan No Nama Daerah Nama Latin Famili (Ind./ha) Habitat Kelompok A Harendong Kayu afrika Puspa Habitat Kelompok B 1 Harendong 2 Ki anjing 3 Puspa Habitat Kelompok C 1 Puspa 2 Jangkurang 3 Kayu afrika Habitat Kelompok D 1 Puspa 2 Harendong Bellucia axinanthera Triana Maesopsis eminii Engl Schima wallichii (DC) Korth Bellucia axinanthera Triana Syzigium iyantum Schima wallichii (DC) Korth Schima wallichii (DC) Korth? Maesopsis eminii Engl Schima wallichii (DC) Kort Bellucia axinanthera Triana Melastomataceae Rhamnaceae Theaceae Melastomataceae Myrtaceae Theaceae Theaceae? Rhamnaceae Theaceae Melastomataceae Komposisi tumbuhan tingkat tiang Hasil analisa vegetasi tingkat tiang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang memiliki jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis pada tingkat semai, pancang dan pohon. Pada habitat Kelompok A hanya ditemukan 2 jenis tingkat tiang yaitu kayu afrika dan ki

84 57 anjing. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis ki anjing. Pada habitat Kelompok B hanya ditemukan 1 jenis tingkat tiang yaitu harendong. Habitat Kelompok C memiliki jumlah jenis paling banyak yaitu 4 jenis tumbuhan tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi dimiliki oleh puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis harendong. Pada Habitat Kelompok D juga hanya ditemukan 2 jenis tumbuhan tingkat tiang puspa dan harendong. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis puspa. Kerapatan tumbuhan tingkat tiang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 18. Hasil analisa vegetasi tingkat tiang selengkapnya tersaji pada Lampiran 9. Tabel 18. Tiga jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan (Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 Kayu afrika Ki anjing Maesopsis eminii Engl Syzigium iyantum Rhamnaceae Myrtaceae 33 8 Habitat Kelompok B 1 Harendong Bellucia axinanthera Triana Melastomataceae 25 Habitat Kelompok C Puspa Kayu afrika Ki Teja Habitat Kelompok D 1 Puspa 2 Harendong Schima wallichii (DC) Kort Maesopsis eminii Engl Machilus rimosa BL Schima wallichii (DC) Kort Bellucia axinanthera Triana Theaceae Rhamnaceae Lauraceae Theaceae Melastomataceae Komposisi tumbuhan tingkat pohon Hasil analisa vegetasi pada tingkat pohon di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tidak menunjukan adanya variasi jumlah jenis, masing-masing habitat yaitu Kelompok A, B dan D memiliki 6 jenis tumbuhan tingkat pohon dan hanya pada habitat Kelompok C yang memiliki 7 jenis tumbuhan tingkat pohon. Pada habitat Kelompok A kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis Pinus merkusii dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis puspa dan sempur. Pada habitat Kelompok B, jenis puspa memiliki kerapatan tertinggi dan kayu afrika memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok C, Pinus merkusii memiliki kerapatan tertinggi dan tereup memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok D, kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis mahoni. Kerapatan tumbuhan tingkat pohon

85 58 di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 19. Hasil analisa vegetasi tingkat pohon selengkapnya tersaji pada Lampiran 10. Tabel 19. Tiga jenis vegetasi tingkat pohon dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian Kerapatan No Nama Daerah Nama Latin Famili (Ind./ha) Habitat Kelompok A Pinus Kayu afrika Harendong Habitat Kelompok B 1 Puspa 2 Agathis 3 Kayu afrika Habitat Kelompok C 1 Pinus 2 Kayu afrika 3 Puspa Habitat Kelompok D 1 Puspa 2 Pinus 3 Agathis Pinus merkusii Jung et de Vriese Maesopsis eminii Engl Bellucia axinanthera Triana Schima wallichii (DC) Kort Agathis lorantifolia Salish Maesopsis eminii Engl Pinus merkusii Jung et de Vriese Maesopsis eminii Engl Schima wallichii (DC) Kort Schima wallichii (DC) Kort Pinus merkusii Jung et de Vriese Agathis lorantifolia Salish Pinaceae Rhamnaceae Melastomataceae Theaceae Araucariaceae Rhamnaceae Pinaceae Rhamnaceae Theaceae Theaceae Pinaceae Araucariaceae Potensi Tumbuhan Pakan Pakan adalah komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup satwa liar. Menurut Bismark (1984) sumber makanan, kualitas dan distribusi makanan primata sangat tergantung pada tipe dan keadaan habitat yang dihuni oleh primata termasuk monyet ekor panjang. Tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi satwaliar, termasuk monyet ekor panjang. Informasi tumbuhan pakan monyet ekor panjang di HPGW diperoleh berdasarkan wawancara dengan petugas (Bapak Lilik), masyarakat sekitar (Bapak Udin) dan pengamatan di lapangan. Berdasarkah hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW memanfaatkan sepuluh jenis pohon dalam beraktifitas dan tujuh diantaranya adalah jenis tumbuhan pakan. Jenis tumbuhan pakan tersebut adalah Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallici), kayu afrika (Maesopsis eminii), harendong (Bellucia axinanthera), agathis (Agathis lorantifolia), teurep (Arthocarpus elastica) dan tepus (Amomum coccineum). Selain itu terdapat jenis tumbuhan buah-buahan yang ditanaman di sekitar basecamp HPGW yang menjadi tanaman pakan monyet ekor panjang seperti

86 59 jambu biji (Psidium guajava), cempedak (Artocarpus integer), matoa (Pometia pinnata), manggis (Garcinia mangostana L), nangka (Artocarpus integra), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa sp). Jenis tanaman pakan lain yang sering dimakan monyet ekor panjang adalah ubi kayu (Manihot utilisima). Informasi lain menyebutkan bahwa monyet ekor panjang memakan laron, ulat daun pisang sebagai sumber protein. Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW terdapat variasi jumlah jenis tumbuhan pakan. Monyet ekor panjang Kelompok A paling banyak memanfaatkan tumbuhan pakan jenis Pinus merkusii sebesar 69 % dan paling sedikit memanfaatkan jenis puspa sebesar 1 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok A tersaji pada Gambar 16. Harendong 10% Afrika 20% Puspa 1% Pinus 69% Gambar 16 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok A Berbeda dengan Kelompok A, Kelompok B memanfaatkan tumbuhan pakan sebanyak 5 jenis. Jenis kayu afrika paling banyak dimakan Kelompok B sebesar 33 % dan yang paling sedikit dimanfaatkan adalah jenis puspa 6 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok B tersaji pada Gambar 17.

87 60 Agathis 28% Pinus 24% Harendong 9% Kayu afrika 33% Puspa 6% Gambar 17 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok B Kelompok C memanfaatkan 5 jenis sebagai tumbuhan pakan. Jenis kayu afrika paling banyak dimanfaatkan Kelompok C sebesar 30 % dan paling sedikit jenis harendong sebesar 2 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok C tersaji pada Gambar 18. Agathis 29% Pinus 29% Harendong 2% Kayu afrika 30% Puspa 10% Gambar 18 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok C

88 61 Kelompok D memanfaatkan 6 jenis tumbuhan pakan. Jenis agathis paling banyak dimanfaatkan oleh Kelompok D sebesar 49 % dan jenis yang paling sedikit dimanfaatkan adalah tepus, tereup dan harendong masing-masing sebesar 1 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok D tersaji pada Gambar 19. Tereup Tepus 1% 0% Pinus 5% Agathis 49% Puspa 44% Harendong 1% Gambar 19 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok D Secara keseluruhan, prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 20. Harendong 5% Teurep 0% Tepus 0% Kayu afrika 18% Agathis 30% Puspa 20% Pinus 27% Gambar 20 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan semua kelompok

89 62 Jumlah jenis tumbuhan pakan di HPGW lebih sedikit dibandingkan dengan di tempat lain. Seperti pada penelitian Kusmardiastuti (2010) terdapat 28 jenis tumbuhan pakan di SM Paliyan Yogyakarta dan 26 jenis tumbuhan pakan di hutan Kaliurang Yogyakarta. Jumlah jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di HPGW juga lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Surya (2010) di Lampung, tumbuhan pakan monyet ekor panjang di hutan primer sebanyak 15 jenis, di hutan sekunder ditemukan 23 jenis, di hutan pantai 14 jenis dan di kebun campuran 25 jenis. Berdasarkan bagian tumbuhan pakan yang dimakan oleh monyet ekor panjang di HPGW, semua kelompok dominan memakan buah. Bagian tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang per jenis tumbuhan tersaji pada Gambar 21 dan Tabel 20. (a) (b) (c) (d) Gambar 21 Beberapa jenis buah yang dimakan oleh monyet ekor panjang di HPGW : (a) harendong (b) kayu afrika (c) agathis (d) pinus

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 15 III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak

Lebih terperinci

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i ii iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Lekagul & McNeely (1977), secara taksonomi monyet ekor panjang diklasifikasilan ke dalam phylum Chordata,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat Data Badan Pengelola HPGW tahun 2012 menunjukkan bahwa kawasan HPGW sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia)

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Gunung Walat Pembangunan Hutan Pendidikan Kehutanan berawal pada tahun 1959, ketika Fakultas Kehutanan IPB masih merupakan Jurusan Kehutanan, Fakultas

Lebih terperinci

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (Study on population and spatial use pattern of long-tailed macaque in Gunung Walat University

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Menurut Napier and Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah sebagai berikut: Phyllum Sub Phyllum Class Ordo Sub

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan di grid vector O11, M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Parameter Demografi 5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan oleh Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dengan dua tahap: 1) Pengamatan langsung dilakukan di SM Paliyan yang berupa karst dan hutan terganggu dan Hutan wisata Kaliurang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan 32 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keanekaragaman Spesies Pohon Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa di Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR terdapat 60 spesies pohon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) BUDIYANTO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

IV. BAHAN DAN METODE

IV. BAHAN DAN METODE IV. BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN INVENTARISASI DAN MONITORING KEANEKARAGAMAN MAMALIA HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW)

LAPORAN KEGIATAN INVENTARISASI DAN MONITORING KEANEKARAGAMAN MAMALIA HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW) LAPORAN KEGIATAN INVENTARISASI DAN MONITORING KEANEKARAGAMAN MAMALIA HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW) HIMPUNAN MAHASISWA KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA

ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan Taman Hutan Raya Pancoran Mas secara administratif terletak di Kota Depok, Jawa Barat. Luas Tahura Pancoran Mas berdasarkan hasil pengukuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Lokasi : Desa Seneng, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat RPH Maribaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 05 No. 3, Desember 2015, Hal 210217 ISSN: 20868227 KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI Species Composition and Stand Structure

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci