II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa taman nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990). Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan alam indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993). Fungsi taman nasional adalah sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen. PHPA 1996). Indonesia memiliki 50 kawasan taman nasional sampai tahun 2006, dengan total luas sebesar ,14 Ha, salah satu diantaranya adalah

2 10 TNGHS (Dirjen. PHKA 2006b). TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dengan Kabupaten Lebak. TNGHS ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 dengan luas hektar (GHSNPMP-JICA 2007a). TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam, adalah merupakan kawasan ekologi. Fungsi utamanya adalah sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Jawa Barat (Ditjen. PHKA 2006a). Kawasan TNGHS berupa bentang alam yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Fungsi yang diemban oleh TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap sumbersumber daya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat perlindungan terhadap sumber air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a). Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan memiliki peranan yang cukup berarti, sehingga masing-masing perlu dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (>1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4) hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (buffer zone) antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto et al. 2008). Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati pada kawasan TNGHS.

3 Koridor Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai. Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi, sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan et al. 2007). Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan vegetasi yang hampir seragam. Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor adalah: 1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat: a. Meningkatkan species richness (prediksi teori biogeograpi pulau). b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan kembali populasi lokal yang sudah punah di alam. c. Mencegah terjadinya inbreeding dan mempertahankan variasi genetik dalam populasi.

4 12 2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies. 3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara patch. 4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka. 5. Memberikan alternatif tempat perlindungan untuk gangguan yang besar, seperti keluar dari gangguan kebakaran. 6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan. Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah: 1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat: a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak diingini dan melewati lansekap. b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek (tekanan silang luar). 2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan abiotik lainnya (penularan sumber bencana). 3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator. 4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa sulit untuk memperluas areal penyebaran. 5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah. Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis, dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau konektifitas dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah fragmen yang saling terhubung atau semakin tinggi konektifitas antar fragmen

5 13 dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda, untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor hutan yang luasnya ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan konservasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon et al. 1993). Pengamatan terhadap mamalia arboreal di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar 30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua spesies (Indrawan et al. 2007). Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan. Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa (termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut kasus masing-masing kawasan (Indrawan et al. 2007).

6 14 Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai batu loncatan yang akan menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan et al. 2007). Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor menjadi empat tipe yaitu: 1. Line Corridor: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat utama bagi edge spesies. 2. Strip Corridor: Arealnya lebih luas dengan lingkungan interior yang dapat memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi spesies interior. 3. Gabungan antara Line dan Strip Corridor: Koridor ini berbentuk lingkaran, sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan biasanya lebih disukai oleh banyak hewan. 4. Stream Corridor: Merupakan bentuk ganda dari Strip Corridor dengan pinggir jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan interior dengan aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu kontrol nutrient permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir. Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008). Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi meliputi Kecamatan Kabandungan (Desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan), sedangkan Kabupaten Bogor

7 15 meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan seluas 2.533,00 hektar berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat, sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11 tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi ini mengakibatkan konektivitas ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber pakan seperti jenis saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp.), dan Ficus sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (Panthera pardus) yang menjadi satwa maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), salah satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa. Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut (GHSNPMP- JICA 2007b). Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha) mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh Perum Perhutani dilaksanakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

8 16 di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009). Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009). Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai dengan penanaman aren (Arenga pinnata) seluas 22,5 hektar sepanjang batas kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan. Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA, PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009) Habitat Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat terbentuk jenis baru (Soemarwoto 1997).

9 17 Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbedabeda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan habitatnya (Alikodra 1990). Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah, dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak, dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap komponen relung dapat menjadi sumberdaya pembatas ketika komponen itu

10 18 membatasi ukuran populasi (Indrawan et al. 2007). Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata, memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990). Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil, ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur) mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997). Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya mamalia besar, terutama badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong (Alikodra 1990). Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman (2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat mempengaruhi kepadatan populasi.

11 19 Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya arus meteri dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itupun akan terjaga. Keteraturan ekosistem, menunjukkan ekosistem tersebut berada dalam suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, akan selalu berubah-rubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari aktifitas manusia (Soemarwoto 1997). Setiap spesies primata mempunyai respon yang berbeda terhadap penebangan hutan. Pada kelompok Hylobates suaranya akan berkurang selama ada kegiatan eksploitasi hutan, tetapi mereka tetap mempertahankan teritorinya. Beberapa bulan setelah kegiatan eksploitasi selesai, suara mereka kedengaran ramai kembali. Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Suara yang ditimbulkan oleh alat-alat berat dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon/ cabang yang dipergunakan untuk tempat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya, setelah kegiatan eksploitasi regenerasi pohon sangat lambat sehingga sering kondisi semula tidak dapat terbentuk kembali (Alikodra 1997) Struktur Lansekap Ekologi Menurut Forman dan Godron (1986), lansekap adalah suatu bentang alam yang terdiri dari beberapa unit ekosistem dalam bentuk satu kesatuan klaster, atau berupa daerah heterogen yang dibentuk oleh kelompok ekosistem yang berinteraksi secara berulang pada bentuk yang sama. Pada struktur lansekap dibahas tentang distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya dengan ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi elemen-elemen lansekap atau ekosistem tersebut.

12 20 Elemen-elemen dari lansekap adalah (Forman dan Godron 1986): 1. Patch yaitu areal homogen yang dapat dibedakan dengan daerah sekelilingnya. 2. Matriks yaitu areal homogen yang mendominasi lansekap. 3. Corridor yaitu patch yang berbentuk memanjang. 4. Edge yaitu daerah peralihan antar patch atau antara patch dengan matriks. Terjadinya patch dapat dibagi menjadi tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance yaitu kejadian yang mengganggu struktur ekosistem, komunitas atau populasi dan dapat merubah sumberdaya dan ketersediaan materi, atau lingkungan fisik suatu areal lanskap (Forman dan Godron 1986). Lansekap disusun oleh unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa penutupan lahan (land cover) yang berbeda, misalnya: hutan, belukar, lahan pertanian, perkotaan dan sebagainya. Penutupan lahan yang berbeda-beda dan saling berinteraksi tersebut disebut dengan elemen lansekap. Elemen lansekap sering disamakan dengan tipe ekosistem, pada setiap elemen pembentuk lanskap bisa dibagi menjadi elemen yang lebih homogen, misalnya lahan pertanian bisa dibagi menjadi sawah, ladang, dan pekarangan rumah. Hutan bisa dibagi menjadi hutan sejenis dan hutan campuran atau hutan alam dan hutan tanaman. Elemen yang relatif lebih seragam disebut tesera (tessera) (Forman dan Godron 1986). Ada tiga karakteristik yang difokuskan dalam mempelajari lansekap ekologi yaitu (Forman dan Godron 1986): 1. Struktur: yaitu hubungan spasial antara ekosistem yang berbeda atau hubungan spasial antara elemen lanskap yang ada, seperti distribusi energi, material, dan hubungan spesies dengan ukuran, bentuk, jumlah, macam, dan konfigurasi ekosistem. 2. Fungsi: yaitu interaksi diantara elemen spasial meliputi aliran energi, materi, dan spesies diantara komponen elemen ekosistem. 3. Perubahan: yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lansekap. Penelitian Frohn (1998) memperbaiki matriks dengan karakteristik variasi independen dalam data remote sensing, spesifikasi, resolusi spasial, dan sensitifitas sebahagian besar perubahan yang sesungguhnya dalam pola lansekap.

13 21 Hasilnya menunjukkan bahwa: matriks lanskap sensitif terhadap perubahan akibat fragmentasi, dan bentuk path yang mendekati komplek diperkirakan besar kemungkinan akan mengalami perubahan. Matriks lansekap tidak sensitif terhadap perubahan resolusi spasial, dan pemecahan masalah identifikasi untuk Contagion dan Fractal Dimension matriks lansekap, dan membandingkan data empiris Contagion dan Fractal Dimension dengan memperbaiki data penggunaan matriks untuk perubahan gradien variasi Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah suatu sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan (display) data yang terkait dengan permukaan bumi. Pengoperasian sistem ini membutuhkan perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan manusia yang mengoperasikannya (brainware). Secara rinci SIG agar dapat beroperasi membutuhkan komponen-komponen sebagai berikut: Orang (yang menjalankan sistem), aplikasi (prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengolah data), data (informasi yang dibutuhkan dan diolah dalam aplikasi), software (perangkat lunak SIG), dan hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem) (Darmawan 2006). SIG merupakan perkembangan baru yang menggunakan komputer, untuk menggabungkan data mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). SIG merupakan alat analitik (analitical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat, dan teliti. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (poligon), batas (line/arc), dan lokasi (point). Mengingat kemampuan SIG yang cukup handal dalam menganalisis data spasial, penggunaan SIG di bidang kehutanan berkembang dengan pesat. Software yang digunakan dalam SIG adalah ArcInfo, ArcView, dan ArcGIS (Jaya 2002). Analisis SIG memungkinkan pemusatan perhatian pada lokasi kritis yang perlu dilindungi dan diberikan penanganan khusus, serta mengenali daerah-daerah yang perlu dihindarkan dari proyek-proyek pembangunan, untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Indrawan et al. 2007).

14 22 Penggunakan SIG memungkinkan proses integrasi basis data yang kompleks dapat dilakukan dengan efektif baik dari segi prosedur kerja (proses input, pengolahan dan analisa data, sampai pada visualisasi), luarannya, maupun ruang lingkup dan aplikasi pemanfaatannya. SIG dapat menyajikan output dengan format yang mudah dimengerti, dan mudah dimutakhirkan bilamana terdapat perubahan atau penambahan informasi yang berhubungan dengan evaluasi lahan dan perencanaan penggunaan lahan di wilayah penelitian (Ramli dan Baja 2005). SIG mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta serta data statistik. Dengan tersedianya komputer dengan kecepatan dan kapasitas ruang penyimpanan yang besar seperti saat ini, SIG akan mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. SIG juga mengakomodasi dinamika data, pemutakhiran data yang akan menjadi lebih mudah untuk dipahami (Darmawan 2006). Aplikasi SIG yang baik adalah apabila dapat menjawab salah satu atau lebih dari lima pertanyaan berikut ini yaitu: (1) lokasi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai lokasi tertentu, (2) kondisi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kondisi dari suatu lokasi, (3) tren; yaitu untuk melihat tren dari suatu keadaan, (4) pola; yang dapat dipergunakan untuk membaca dan mempelajari gejala-gejala alam, (5) pemodelan; yang dapat dipergunakan untuk menyimpan kondisi-kondisi tertentu dan mempergunakannya untuk memprediksi keadaan di masa yang akan datang, maupun memperkirakan apa yang terjadi pada masa lalu (Gunarso et al. 2003). Prasetyo et al. (2009) melakukan perbandingan kondisi hutan yang ada di Pulau Jawa tahun 2000 dengan tahun 2005, dari hasilnya dapat dibuat model perkiraan kondisi hutan di Pulau Jawa tahun Pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam seperti tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). Data spasial yang digunakan dalam bidang kehutanan antara lain: Peta rencana tata ruang, peta tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jalan, peta sungai, pata tata batas, peta batas unit pengelolaan hutan, peta batas administrasi kehutanan, peta tanah, peta

15 23 iklim, peta geologi, peta vegetasi (turunan dari foto udara atau citra satelit), peta potensi sumberdaya hutan (volume kayu, jenis, kelas umur, dan lain-lain). Data spasial ini umumnya sangat terkait dengan data deskriptif (tabular) yang diperlukan dalam melakukan analisis suatu permasalahan (Jaya 2002). Pendekatan SIG dapat menunjukkan korelasi antara elemen biotik dan abiotik dalam suatu lansekap ekologi, serta dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan keanekaragaman hayati dan bahkan dapat pula mengarahkan upaya ke lokasi potensial tempat spesies langka. Foto udara dan citra satelit merupakan sumber data tambahan bagi SIG. Suatu seri citra yang diambil secara seri menurut urutan waktunya, akan dapat mengungkapkan pola kerusakan habitat dari waktu ke waktu yang memerlukan perhatian untuk pengelolaan (Indrawan et al. 2007). Ada tiga jenis fitur geografis dalam SIG yaitu: point/titik, line/garis, dan polygon/luasan (area). Point/titik adalah lokasi diskrit yang biasanya digambarkan sebagai simbol atau label. Point menggambarkan suatu fitur yang batas atau bentuknya terlalu kecil untuk ditampilkan dalam garis atau luasan. Point biasanya juga digunakan untuk menggambarkan lokasi yang tidak mempunyai luasan, seperti titik yang tinggi atau puncak gunung. Line atau arc/garis, adalah fitur yang dibentuk oleh sekumpulan koordinat yang saling berhubungan. Sedangkan point menggambarkan fitur linier pada peta yang terlalu sempit untuk digambarkan sebagai luasan seperti sungai, jalan, garis kontur dan lain-lain. Polygon/luasan adalah fitur yang dibentuk dari garis yang menutup pada suatu titik dan menggambarkan suatu area yang homogen seperti batas negara, danau, dan lainlain (Yuniar et al. 2007). Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis, yaitu data yang menjelaskan objek-objek yang dapat dikaitkan dengan lokasi geografis. Data geografis meliputi data spatial dan data atribut. Data spatial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi, bentuk dan hubungan dengan objek-objek lainnya di permukaan bumi, sehingga disebut juga data geospasial (geo sama dengan bumi). Sumber data untuk SIG diantaranya adalah peta topografi, peta tematik, foto udara, citra satelit, data statistik, data pengukuran GPS, hasil survey dan pemetaan langsung di lapangan (Yuniar et al. 2007).

16 24 SIG merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer, maka data yang digunakan harus dalam bentuk digital. Data yang masih dalam bentuk hardcopy, harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk digital (Darmawan 2006). Peta digital menyimpan dua jenis informasi dasar yaitu: (1). Informasi spasial, yang menjabarkan lokasi dan bentuk dari feature geografis dan hubungan spasial pada feature lainnya. (2). Informasi deskriptif (non spasial), yang berisi keterangan/ atribut dari suatu feature (Gunarso et al. 2003). Bentuk digital data spasial umumnya dapat disusun dalam dua macam struktur data yang berbeda, yaitu vektor dan raster. Pada struktur data vektor objek atau fitur titik, garis, dan luasan dikelola dan direpresentasikan dalam rangkaian titik-titik koordinat. Sebuah titik direkam sebagai sepasang koordinat (X, Y), suatu garis merupakan rangkaian pasangan koordinat, sedangkan luasan merupakan rangkaian garis yang menutup di titik yang sama dan membentuk batas suatu luasan. Penampilan peta digital yang disusun dalam struktur data vektor terlihat seperti pada peta tradisional/konvensional. Dalam bentuk yang sederhana, struktur data raster terdiri atas sel-sel bujur sangkar atau kotak segi empat yang biasa disebut pixel (picture element). Lokasi tiap pixel ditentukan dari nomor baris dan kolom. Setiap pixel memiliki nilai (value) sebagai indikasi nilai atribut yang diwakilinya. Contoh peta digital yang disusun dalam struktur data raster adalah peta/foto hasil scanning dan citra satelit (Darmawan 2006). Pada SIG data-data yang dikumpulkan dapat di overlay. Overlay atau penampalan data merupakan salah satu kegiatan dalam SIG, agar data yang ada mempunyai arti dan dapat digunakan untuk suatu kepentingan tertentu. Pada umumnya overlay dilakukan untuk menghasilkan satu atau lebih peta tematik. Peta tematik merupakan suatu peta yang memperlihatkan data dari suatu tema tertentu, misalnya peta hutan, peta hidrologis dan lain-lain (Gunarso et al. 2003) Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Pengumpulan data menggunakan metoda konvensional survey lapangan memerlukan waktu yang lama, dan pada daerah-daerah yang bertopografi berat pelaksanaannya menjadi tidak praktis. Berdasarkan pengalaman tersebut telah banyak digunakan teknik inventarisasi dengan menggabungkan penggunaan

17 25 sarana penginderaan jauh dan metoda survey lapangan seperti metoda pengambilan contoh bertingkat (multi-stage) dan berganda (double sampling). Penginderaan jauh mampu memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh menggunakan sarana lain, mempermudah pekerjaan lapangan, dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah (Jaya 2007). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Penginderaan jauh merupakan salah satu ilmu pengetahuan dan teknologi bidang survei dan pemetaan, yang perkembangannya sangat erat hubungannya dengan sistem informasi geografis (SIG). Kedua iptek tersebut telah diterapkan di Indonesia untuk perolehan dan pengolahan data spasial guna pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup (Poniman 2007). Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry 1983 dalam Jaya 2007) remote sensing adalah suatu ilmu dan seni pengukuran atau suatu cara untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena dengan menggunakan suatu alat perekam dari kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan objek atau fenomena yang diukur tersebut (Jaya 2007). Penginderaan jauh merupakan upaya memperoleh informasi tentang suatu objek dengan menggunakan alat yang disebut sensor (alat peraba), tanpa melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh data dari jarak jauh dengan menggunakan peralatan tertentu. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dalam penginderaan jauh didapat masukan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau (Darmawan 2006). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, akan tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang

18 26 diperoleh. Kegiatan penginderaan jauh dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya 2007) Pixel Pixel adalah istilah umum yang merupakan kependekan dari picture element (elemen gambar). Sebagai suatu elemen, pixel merupakan bagian terkecil dari suatu citra digital. Pada data raster, citra dibagi-bagi menjadi suatu sel, dimana masing-masing grid dari sel merupakan representasi dari suatu pixel. Pixel juga sering disebut dengan sel grid. Dalam arti yang lebih luas istilah pixel juga digunakan untuk menyatakan nilai file data untuk setiap unit citra (pixel file), atau lokasi dari suatu grid pada displai atau hasil cetakan (pixel displai) (Jaya 2007) Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa yang hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan statusnya dilindungi oleh IUCN dengan kategori spesies terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Primata merupakan salah satu kelompok satwaliar yang dapat dijadikan indikator ekologis suatu kawasan hutan, sehingga dengan mengetahui sebaran dan kondisi kelompok primata pada suatu areal hutan, dapat memberikan informasi bagi upaya pengelolaan dan rehabilitasi kawasan hutan tersebut (Rinaldi et al. 2008). Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) diklasifikasikan sebagai berikut (Nijman 2004): Kingdom : Animalia Phyllum : Choordata Sub phyllum : Vertebrata Klass : Mammalia Ordo : Primata Sub ordo : Arthropoidea Super famili : Homoinoidea Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates Spesies : Hylobates moloch Audebert Spesies Hylobates moloch mempunyai dua sub-spesies yaitu ylobates moloch moloch Audebert 1797 atau disebut juga silvery gibbon yang terdapat di Jawa

19 27 Barat dan Hylobates moloch pongoalsoni Sody 1949 yang terdapat di Jawa Tengah (Jones et al. 2004). Rata-rata bobot badan owa jawa jantan adalah 7,65±0,39 kg dan betina 7,63±0,33 kg. Ukuran ekstremitas atasnya relatif lebih panjang dibandingkan dengan ekstremitas bawah, hal ini sesuai dengan aktifitas pergerakannya yaitu brakiasi atau bergelantungan dan berayun pada dahan pohon serta melompat dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lainnya (Permanawati et al. 2009). Populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Halimun mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Salak (Andayani et al. 2001). Kehidupan owa jawa yang arboreal atau beraktifitas pada tajuk pohon, memerlukan hutan-hutan primer sebagai habitat utamanya. Sumberdaya alam yang tersedia di hutan primer, dapat memenuhi kebutuhan hidup owa jawa sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologisnya. Hutan primer dengan kondisi tajuk yang saling bersambungan, merupakan tempat utama bagi aktifitas owa jawa. Selain menyediakan bahan makanan berupa buah dan daun, kondisi tajuk yang saling bersambungan ini memungkinkan owa jawa untuk melakukan pergerakan antar cabang pohon (brachiation) pada kanopi pohon di hutan (Rinaldi et al. 2008). Rata-rata aktifitas owa jawa dalam sehari adalah 9,5 jam, yaitu dari jam 6.30 sampai WIB. Perilaku owa jawa yang terlama (57.05% ± 0.45) yaitu istirahat, diikuti perilaku bergerak (21.99% ± 0.14), makan (15.73% ± 0.34), bercumbu (5.16% ± 0.03), bersuara (2.35% ± 0.02), perilaku sosial (1.6% ± 0.09), agonistic behaviours (0.37 % ±0.01), dan kopulasi (0.05% ± 0.01). Aktifitas puncak owa jawa dilakukan pada dua periode yaitu jam 06:35 sampai 07:30 WIB dan jam 14:35 sampai 15:30 WIB. Owa jawa mempunyai dua tipe suara yaitu suara jantan solo dan perempuan solo, suara jantan lebih pendek dari pada suara betina. Owa jawa mempunyai empat tipe perilaku bergerak yaitu brakhiasi (melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya), klimbing (memanjat), jumping (melompat) dan bipedal (berjalan dengan dua kaki). Frekuensi pergerakan yang sering dilakukan yaitu tipe brakhiasi (Amarasinghe NK dan Amarasinghe AAT 2010). Hasil penelitian tingkah laku owa jawa yang dilakukan oleh Riendriasari et al. (2009) di Fasilitas

20 28 Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB memperlihatkan bahwa, pola aktifitas harian owa jawa yang paling banyak dilakukan meliputi tingkah laku bergerak (45,70%), diikuti dengan tingkah laku istirahat (42,50%), makan (23,90%), bermain (15,90%), dan menelisik (6,60%). Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007) terhadap habitat dan populasi owa jawa di TNGHS memberikan hasil bahwa, ada 33 jenis (11 famili) pohon yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan 15 jenis (6 famili) pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Jenis pohon tempat tidur adalah jenis-jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Terdapat persamaan kriteria jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tempat tidur, antara lain jenis-jenis pohon yang tinggi dengan diameter besar dan tajuk yang lebar. Pemilihan tajuk yang lebar dan saling berhubungan antara satu pohon dengan pohon lain, merupakan salah satu cara untuk mempermudah pergerakan. Pemilihan pohon yang tinggi dan berdiameter besar merupakan penyesuaian dengan cara hidup owa jawa yang arboreal dan sebagai salah satu cara untuk menghindari ancaman satwa pemangsa (predator) dan perburuan. Luas daerah jelajah kelompok owa jawa di TNGHS rata-rata pada musim hujan (17,10±1,86 hektar) dan pada musim kemarau (20,02±2,69 hektar), dengan rata-rata 18,56±2,73 hektar. Perbedaan luas daerah jelajah antara musim hujan dan musim kemarau, terjadi karena faktor ketersediaan sumber pakan dan air. Pada musim kemarau ketersediaan buah-buahan sebagai pakan relatif sedikit, sehingga memaksa kelompok owa jawa untuk melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari makan. Kebutuhan air pada musim hujan dapat dipenuhi dari tersedianya banyak buah-buahan yang dapat dikonsumsi (Iskandar 2007). Hasil penelitian Komarudin (2009) menyimpulkan bahwa kisaran daerah jelajah owa jawa di koridor TNGHS adalah hektar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, populasi owa jawa dari waktu ke waktu cenderung menurun. Dari survey yang dilakukan Kappeler (1987) pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa jawa sekitar individu. Pada survey yang dilakukan pada tahun 1992 sampai 1994 menunjukkan tidak terdapatnya populasi owa jawa pada 16 lokasi yang pernah

21 29 disurvey sebelumnya, dan pada 9 lokasi populasinya kritis karena berada pada areal yang sangat sempit (0,5-5,0 km²) dan terfragmentasi. Martarinza (1993) memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hanya individu. Nijman (2004) memperkirakan populasi owa jawa di Gunung Halimun individu dan di Gunung Salak 140 individu. Dari hasil penelitian Iskandar (2004) di komplek hutan Cikaniki TNGHS, dugaan jumlah populasi owa jawa maksimal sebesar 143 individu dan populasi minimal sebesar 111 individu. Supriatna (2006) memperkiraan populasi owa jawa di Gunung Halimun dan Gunung Salak hanya tinggal individu. Nijman (2006) memperkiraan total populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekitar individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS, berkisar antara individu. Iskandar et al. (2009) memperkirakan populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, adalah 347 individu. Terfragmentasinya hutan sebagai habitat owa jawa di koridor TNGHS, mempengaruhi sebaran dan kelimpahan jenis sumber pakan serta daya reproduksi owa jawa. Terbatasnya sebaran dan kelimpahan jenis pakan akan berpengaruh pada perilaku menjelajah (ranging behavior) owa jawa, dan terjadinya perilaku kompetisi antar kelompok. Menyempitnya luasan daerah jelajah setiap kelompok, akan mengakibatkan terjadinya perkawinan antar individu yang masih memiliki kekerabatan yang dekat. Perkawinan tersebut akan menghasilkan inbreeding species dan akan mengakibatkan kualitas populasi yang rendah (Iskandar 2004). Owa jawa yang terdapat di koridor TNGHS pada zona Gunung Halimun dan Gunung Salak, masih menunjukkan kapasitas untuk berkembang biak dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya kelompok yang struktur kelas umur dalam kelompoknya sangat baik, dan adanya individu soliter yang dalam proses penyapihan dari kelompoknya. Sedangkan pada zona wilayah hutan bagian tengah koridor TNGHS, owa jawa tidak dijumpai dalam kelompok yang baik dan lengkap, hal ini sekaligus menunjukkan kualitas habitat untuk berkembang biak dengan baik sudah sangat menurun (Rinaldi et al. 2008). Tekanan terhadap kawasan konservasi dan habitat owa jawa pada kenyataannya masih tetap tinggi, sehingga kemampuan untuk melestarikan habitat

22 30 spesies endemik ini masih harus dipertanyakan. Habitat owa Jawa di kawasan TNGHS sudah mulai terancam oleh adanya penyerobotan lahan di dalam kawasan ini, maupun pada daerah penyangga. Pengalihan fungsi lahan khususnya untuk dijadikan lahan pertanian dan penambangan emas tanpa ijin (PETI), merupakan tekanan terhadap habitat owa jawa. Selain itu juga terdapatnya area kantong (enclave) perkebunan teh di tengah TNGHS, dan terdapatnya beberapa desa di dalam kawasan menambah terancamnya habitat owa Jawa (Suryanti 2007). Menurut Sutherland (2006), untuk survey hewan besar yang hidup arboreal dapat digunakan Line Transect Methods. Metode ini digunakan untuk observasi hewan-hewan yang terus berpindah dengan rute yang sudah ditentukan pada areal penelitian. Peneliti dapat bergerak dengan lambat untuk mendeteksi hewan yang ada pada transek dan sebagian besar untuk jarak yang dekat, akan tetapi jangan bergerak terlalu pelan karena hewan yang ada didepan pada transek dapat melarikan diri sebelum peneliti melihatnya dan individu yang bergerak cepat sering ditemui lebih dari satu kali. Pergerakan terlalu lambat juga akan memakan waktu yang lebih lama, sementara sebaiknya peneliti membuat transect yang lebih panjang untuk mendapatkan data yang akurat. Iskandar (2005) merekomendasikan hal-hal penting yang harus dilakukan untuk konservasi owa jawa adalah: (1) pengelolaan habitat yang ideal sesuai dengan karakteristik, tingkah laku dan pola kelompok owa jawa, (2) kontrol aturan yang efektif untuk membantu mengurangi dan membatasi tekanan perburuan, penebangan liar, ketergantungan kelompok masyarakat, dan (3).mengadakan program monitoring secara berkala, keterlibatan staf taman nasional, adanya laporan tahunan untuk perkiraan status populasi terakhir Tekanan terhadap Koridor TNGHS Pengelolaan koridor TNGHS tidak dapat dipisahkan dari keberadaan penduduk yang ada di dalam maupun di sekitarnya, yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam koridor TNGHS. Penduduk di dalam dan di sekitar koridor TNGHS, adalah bagian atau unsur dari ekosistem koridor TNGHS. Masyarakat dan koridor TNGHS saling tergantung, sehingga mereka akan menjaga koridor TNGHS apabila mereka mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam di koridor TNGHS. Sebaliknya

23 31 mereka tidak akan menjaga apabila mereka tidak mendapat manfaat dari keberadaan koridor TNGHS, hal ini diperkirakan karena kondisi sosial ekonomi penduduk yang memprihatinkan dan kesadaran serta pengetahuan mereka yang relatif kurang terhadap pentingnya kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Harmita 2009). Kebijakan penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dilakukan tanpa melibatkan masyarakat setempat, ini berarti menyangkal hak dan eksistensi mereka. Pola ini juga tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam dan lahan yang berada di kawasan konservasi, serta pola lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Masalahnya sekarang adalah bahwa pada umumnya kawasan lindung didirikan di wilayah hutan yang berpenduduk, dikelola tanpa partisipasi masyarakat lokal, perluasan kawasan hutan ke dalam lahan-lahan masyarakat, pengeluaran masyarakat dari kawasan hutan, pembatasan akses masyarakat setempat pada kawasan hutan, dan pelarangan pemanfaatan tradisional masyarakat setempat (Moeliono et al. 2010). Partisipasi menjadi isu penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan. Tujuan perencanaan partisipatif dalam pengelolaan sumberdaya melibatkan banyak pihak. Perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (dampak negatif paling minimum), menjadi tujuan yang diharapkan dalam suatu kegiatan partisipatif (Ditjen. PHKA 2004). Balai TNGHS telah menyusun kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi masyarakat adat dan warga yang hidup turun temurun, baik yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan TNGHS yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS. Pertama yang diterapkan adalah kebijakan konservasi dan membangun kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini dituangkan menjadi tiga strategi yaitu penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, pemulihan kawasan bersama masyarakat, dan pengembangan ekonomi masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono 2007). Masyarakat yang merupakan pendatang baru dan musiman untuk mereka Balai TNGHS menawarkan kebijakan dan strategi yang berbeda, untuk tipologi

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) IMRAN SL TOBING Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta Foto (Wedana et al, 2008) I. PENDAHULUAN Latar belakang dan permasalahan

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Berdasarkan beberapa literatur yang diperoleh, antara lain: Rencana Aksi Koridor Halimun Salak (2009-2013) (BTNGHS 2009) dan Ekologi Koridor Halimun Salak (BTNGHS

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam Banyak sekali ulah manusia yang dapat menyebabkan kepunahan terhadap Flora dan Fauna di Indonesia juga di seluruh dunia.tetapi,bukan hanya ulah manusia saja,berikut beberapa penyebab kepunahan flora dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011 JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN Volume 6/Nomor 3, Desember Media Konservasi Vol. 6, No. 3 Desember : 33-4 (Population Analysis ofjavan Gibbon (Hvlobates moloch Audebert

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 40 spesies primata dari 195 spesies jumlah primata yang ada di dunia. Owa Jawa merupakan salah satu dari 21 jenis primata endemik yang dimiliki

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu lingkup pengelolaan lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci