ANALISIS KUANTITATIF KOMUNITAS BURUNG DI PULAU PELENG DENGAN FOKUS BURUNG GAGAK BANGGAI (Corvus unicolor) MOHAMMAD IHSAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KUANTITATIF KOMUNITAS BURUNG DI PULAU PELENG DENGAN FOKUS BURUNG GAGAK BANGGAI (Corvus unicolor) MOHAMMAD IHSAN"

Transkripsi

1 ANALISIS KUANTITATIF KOMUNITAS BURUNG DI PULAU PELENG DENGAN FOKUS BURUNG GAGAK BANGGAI (Corvus unicolor) MOHAMMAD IHSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 Mohammad Ihsan NIM E

3 ABSTRACT MOHAMMAD IHSAN. Quantitative Analysis of Bird Communities on Peleng Island with a Focus Banggai crow (Corvus unicolor). Under direction of ANI MARDIASTUTI and AGUS PRIYONO KARTONO. Peleng island is one of the area in Sulawesi that has large number of variety of bird species. In Peleng Island there is banggai crow that as an endemic bird of Sulawesi. Nowdays, the data about the bird is only a few. This research aimed to identify the bird community, to measure the similarity of the community, the spreading structure of the bird, the ecological aspect and also the spreading pattern of the banggai crow. The data of the bird species was gathered by using IPA count method toward the type of the season and tropical forest habitat type, concentration count method toward marsh area habitat type and line transeck method was used toward mangrove and rain forest habitat type for gathering the data of the banggai crow. Through the research result, it has been found 77 species of birds that classified into 36 families. The largest number of the member was the Columbidae (10 species). The highest index of the variety (H 3,42) was the mangrove habitat type. The analysis t test of the species variety index showed that all habitat types did not have any differences. The habitat type of the season and tropical forest had species similarity index rate 37%. The habitat type of the mangrove forest was the one with the highest species evenness (0,93). Commonly, the pattern of the spreading bird species was in group. Through the Morisita index analysis result, it was found that banggai crow spread in group (Ip>0). Banggai crow only found in the tropical forest type. Keywords: bird community, Corvus unicolor, Peleng Island

4 RINGKASAN MOHAMMAD IHSAN. Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor). Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Pulau Peleng merupakan salah satu daerah di Sulawesi yang mempunyai jumlah jenis burung yang tinggi, terutama jenis burung endemik. Jenis-jenis burung tersebut terdapat di berbagai komunitas yang ada di Pulau Peleng. Selain itu, di Pulau Peleng juga terdapat burung gagak banggai yang merupakan jenis burung endemik di Kepulauan Banggai. Sejak dahulu pulau ini telah didatangi oleh para peneliti dan pengamat burung, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun demikian, hingga saat ini hasil penelitian terhadap jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng masih sangat kurang. Atas dasar tersebut, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi struktur komunitas burung, mengukur kesamaan jenis dan pola penyebaran burung, serta mengidentifikasi aspek ekologi dan pola sebaran spasial gagak banggai. Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Waktu pelaksanaan bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis adalah metode IPA (Indices Ponctuel d Abondance) dengan radius 100 m pada masing-masing tipe habitat. Pada tipe habitat daerah rawa digunakan metode Concentration counts. Metode ini efektif digunakan untuk mengetahui populasi satwa liar yang mempunyai pola hidup berkelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove dan untuk pengumpulan data gagak banggai digunakan metode transek jalur. Transek jalur merupakan metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur pengamatan. Pengumpulan data tumbuhan dilakukan pada tiap titik pengamatan burung pada setiap komunitas burung yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menempatkan petak pengamatan berukuran 10 x 20 m pada setiap tipe habitat. Sebanyak 77 jenis burung ditemukan di Pulau Peleng, yang tergolong ke dalam 36 famili. Famili Columbidae merupakan famili dengan anggota terbanyak (10 jenis; 13%). Sebanyak delapan famili hanya terdiri dari dua jenis (3%) dan 20 famili hanya terdiri dari satu jenis (1%). Dari 77 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 20 jenis (26%) diantaranya jenis endemik Sulawesi, sembilan jenis (12%) merupakan jenis migran, sedangkan sisanya sebanyak 48 jenis (62%) merupakan jenis penetap. Berdasarkan jumlah individu perfamili, didominasi oleh famili Pycnonotidae (10%), sementara famili Timalidae merupakan famili yang persentasenya terkecil dari famili yang ada (0,2%). Dari seluruh jenis burung yang ditemukan, 15 jenis diantaranya dilindungi berdasarkan peraturan perundangan Indonesia, dua jenis dikategorikan NT (Near Threatened) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) yaitu serindit paruh merah dan raja perling sula, satu jenis kategori VU (Vulnerable) yaitu gajahan timur dan satu jenis kategori CR (Critically Endangered), yaitu gagak banggai. Selain itu sebanyak 11 jenis tercantum dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang digolongkan dalam Appendix II yaitu Avizeda jerdoni, Haliastur indus, Haliaeetus leucogaster, Spizaetus lanceolatus, Spilornis rufipectus, Prioniturus

5 platurus, Alisterus amboinensis, Trichoglossus ornatus, Loriculus amabilis, Loriculus exilis dan Falco moluccensis. Berdasarkan pengelompokan guild, jenis-jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng dikelompokkan menjadi 13 kategori, yaitu: Fly Catching Insectivore: pemakan serangga sambil melayang, Omnivore: pemakan hewan dan tumbuhan, Carnivore Insectivore: pemakan invertebrata dan vertebrata, Insectivore Nectarivore: pemakan serangga dan nektar, Insectivore Frugivore: pemakan serangga dan buah-buahan, Arboreal Frugivore: pemakan buah di bagian tajuk, Carnivore Insectivore: pemakan vertebrata lain dan serangga, Tree Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di atas tajuk, Terestrial Frugivore: pemakan buah kecil di lantai hutan, Seed Eater: pemakan biji rumput, Shrub Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di daerah semak, Litter Gleaning Insectivore: pemakan serangga di serasah/lantai hutan dan Bark Gleaning Insectivore) pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon. Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan di Pulau Peleng, kategori pemakan invertebrata dan vertebrata mempunyai jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan kategori guild lainnya (14 jenis), dominasi berikutnya ditunjukkan oleh pemakan serangga sambil melayang (12 jenis), sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan pemakan buah kecil di lantai hutan, merupakan kategori yang mempunyai jumlah jenis paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis. Berdasarkan jumlah individu, kategori pemakan serangga dan buah-buahan memiliki rata-rata jumlah individu terbanyak (231 individu), diikuti pemakan serangga sambil terbang (227 individu). Rata-rata jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kategori pemakan buah kecil di lantai hutan (5 individu). Berdasarkan jumlah jenis, pemakan invertebrata dan vertebrata yang mempunyai jumlah jenis (18,18%), sementara jumlah individunya hanya mencapai (3,62%). Pemakan serangga dan buah-buahan, walau hanya mempunyai jumlah jenis sebesar (14,29%) tetapi mempunyai jumlah individu sebesar (23,91%). Sedangkan kategori pemakan buah kecil di lantai hutan merupakan kategori yang mempunyai jumlah terkecil baik dari segi jumlah jenis (1,30%) maupun jumlah individu (0,52%). Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,41) dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim dengan jumlah jenis burung sebanyak 39 jenis. Tipe habitat hutan musim mempunyai indeks keanekaragaman yang lebih rendah (2,87) dan mempunyai jumlah jenis yang rendah (30 jenis). Walaupun indeks keanekaragaman jenis menunjukkan terdapat perbedaan, namun dari hasil uji statistik diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara signifikan (P>0,005). Analisis data menunjukan tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, memiliki kesamaan jenis sebesar 37%. Dari 52 jenis yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut, sebanyak 11 jenis (21%) hanya terdapat di tipe habitat hutan musim dan sebanyak 22 jenis (42%) hanya terdapat di tipe habitat hutan tropis, sedangkan sisanya sebanyak 19 jenis (37%) terdapat di dua tipe habitat tersebut. Hasil tersebut, menunjukkan bahwa jenis-jenis burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis mempunyai perbedaan jenis yang cukup besar. Tipe habitat hutan tropis mempunyai indeks kemerataan yang tinggi yaitu sebesar 0,87, dibandingkan dengan kemerataan pada tipe habitat hutan musim

6 (0,84). Nilai kemerataan yang tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu jenis burung pada suatu tempat hampir merata, tidak ada dominasi jenis burung yang sangat menonjol. Secara keseluruhan pola sebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%). Pola sebaran yang bersifat mengelompok ini ditandai dengan jumlah individu jenis jenis burung yang tinggi di beberapa tempat, sedangkan di tempat lainnya sedikit atau tidak ada sama sekali. Pola sebaran ini paling sering ditemukan di alam. Hal ini menunjukkan sebagian besar jenis burung yang ditemukan merupakan jenis burung yang hidupnya suka mengelompok. Hasil analisis data diketahui gagak banggai menyebar secara berkelompok di Pulau Peleng. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui burung gagak banggai hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tropis. Sedangkan pada tipe habitat lainnya, gagak banggai tidak dijumpai. Sehingga dapat dipastikan bahwa pada penelitian ini gagak banggai hanya memilih habitat hutan tropis sebagai habitatnya. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara gagak banggai dan gagak hutan. Gagak banggai yang mempunyai daya adaptasi yang rendah, cenderung mempertahankan hutan yang masih lebat dan gagak hutan yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi cenderung beradaptasi dengan lingkungan yang terbuka dan terganggu. Kata kunci: komunitas, burung, Corvus unicolor, Pulau Peleng

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 ANALISIS KUANTITATIF KOMUNITAS BURUNG DI PULAU PELENG DENGAN FOKUS BURUNG GAGAK BANGGAI (Corvus unicolor) MOHAMMAD IHSAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc.

10 Judul Tesis Nama NIM : Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor) : Mohammad Ihsan : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 7 April 2011 Tanggal Lulus:

11 Kupersembahkan karya ini kepada: Ayahanda Muhammad Nur Mallo Satama (alm.) dan Ibunda Musdahlia.

12 PRAKATA Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT Yang Maha Terpuji, yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam serta ilmu pengetahuan kepada kita. Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, segenap keluarga, para sahabat serta kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Analisis Kuantitatif Komunitas Burung di Pulau Peleng dengan Fokus Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor). Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan karena peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. sebagai Anggota Komisi Pembimbing; atas kesediaan membimbing, arahan, bimbingan, motivasi, dan nasihat kepada penulis. 2. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. sebagai Dosen Penguji Luar Komisi Pembimbing; atas arahan dan kesediaannya untuk menguji. 3. Ketua Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA beserta jajarannya; atas dorongan untuk cepat menyelesaikan studi dan pelayanannya. 4. Ibu Sustri Ramli S.Hut, M.Sc., Ibu Sitti Ramlah S.Hut. M.Sc., dan Ibu Maf ullah S.Pd. atas bantuan selama penulis menempuh studi. 7. Hayati Tiah (Forester 99) beserta keluarga yang banyak memberikan bantuan penulis selama di Salakan. 8. Bapak Ferdy Salamat yang telah memberikan bantuan yang memperlancar kegiatan penelitian di lapangan. 9. Kepala Desa Luksagu, Kepala Desa Ambelang, dan Kepala Desa Leme-leme Darat beserta keluarga yang bersedia menerima, memberikan kemudahan dan bantuan kepada penulis selama di lapangan. 10. Keluarga besar mahasiswa S2 Konservasi Biodiversitas Tropika 2008: Bapak Maman Surahman, Ibu Julianti Siregar, Bapak Ahmad Faisal Siregar, Ibu Supriatin, Bapak Toto Supartono dan Bapak Insan Kurnia; atas motivasi, kekeluargaan dan inspirasinya. 11. Teman-teman mahasiswa S2 Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan dan kakak-kakak senior S3 Konservasi Biodiversitas Tropika 2008 (Pak Mamat, Pak Muin, Pak Ifan, dan Pak Mukti); atas saran, masukan dan motivasinya. 12. Pak Sofwan, Mbak Irma (alm.), Mbak Mela dan Mas Indra; atas bantuan dan pelayanan administrasinya. 13. Moh. Arif Labanu S.Hut., Sukifli Balongka S.Hut., Yuliati Lampaliu S.Hut. dan Cipto Arifianto S.Hut yang telah menemani penulis selama di lapangan, serta Mohammad Fikri S.Hut, dan rekan-rekan Klub Pengamat Burung (KPB). YRBL atas bantuan dan dukungan selama penelitian. 14. Dadang Dwi Putra dan Abd. Rahman serta seluruh rekan-rekan CBC (Celebes Bird Club) atas informasi, data dan motivasi terhadap penulis.

13 15. Seluruh anggota YRBL 99 yang selalu memantau dan memaksa penulis untuk segera pulang secepatnya dan atas doanya. 16. Ustad Abas dan Om Ndengi yang memberikan dorongan dan arahan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB, ternyata (selalu) ada hikmahnya. 17. Kepada seluruh teman-teman PTD (Pondok Tana Doang): Atho, Sabhan, Pak Asri, Teja, Mappe, Pak Banda, Pak Heru, Pak Asir, Pak Alfa, Pak Saka, Kak Dody, Pak Mul, Jaya, Pak Cupi, Pak Abe, Pak Jaya, Pido, Alim, Ibu Mutmainah dan Bunda, serta semua teman-teman PTD blok belakang, atas kebersamaan, motivasi dan diskusi. Kepada Istri Djunita Lintar S.Hut., ananda Muhammad Umar Ali Rizq Nur Mallo (Ijiq) dan Sitti Shaffiyah Nur Mallo (Sofia) tercinta dan tersayang atas kesabaran, motivasi, inspirasi dan dukungan kepada Abi untuk segera menyelasaikan studi secepatnya. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Muhammad Nur Mallo (alm.) dan Ibu Musdahlia atas doa, kasih sayang dan teladannya serta kepada kakak Muhammad Fahri Nur Mallo SH., Fajriah Nur Mallo SH., Rahmania Nur Mallo, adik Rahmi Nur Mallo dan Muhammad Ta at Nur Mallo SP. yang senantiasa membantu dan memotivasi penulis. Akhir kata, kepada ALLAH SWT penulis memohon semoga Dia menjadikan Tesis ini bermanfaat bagi pembacanya, orang banyak, terutama bagi penulis, dan semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi upaya konservasi burung khususnya konservasi burung di Sulawesi Tengah. Bogor, Mei 2011 Mohammad Ihsan

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 27 juli 1979 dari ayah bernama Muhammad Nur Mallo (Alm). dan ibu bernama Musdahlia. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Palu dan pada tahun 1999 lulus masuk Universitas Tadulako. Penulis memilih Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun Tahun 2008 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, dengan sponsor dari Bantuan Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti). Penulis merupakan staf pengajar Fakultas Kehutanan pada Universitas Tadulako sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang.

15 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Habitat Komunitas Burung Keanekaragaman Jenis Burung Bio-ekologi Gagak Banggai Pola Sebaran Spasial... 9 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Status, Luas dan Letak Penduduk Iklim Flora Fauna IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan VI. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN i ii iii iv (i)

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Asosiasi jenis Komposisi jenis burung di Pulau Peleng Persentase jenis dan jumlah individu per famili Status keterancaman, perdagangan dan perlindungan jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng Indeks keanekaragaman (H ) jenis burung pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Matriks indeks kesamaan jenis (%) antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis Indeks kemerataan jenis burung di Pulau Peleng Jumlah individu gagak banggai pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Keberadaan jenis gagak banggai dan gagak hutan di empat tipe habitat di Pulau Peleng (ii)

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Individu gagak banggai di Pulau Peleng Bentuk unit contoh untuk inventarisasi burung dengan metode IPA Bentuk transek jalur pengamatan satwaliar dengan metode transek jalur Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim Diagram profil dan tampak atas tipe habitat daerah rawa Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan mangrove Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan tropis Kategori guild berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan Kategori guild berdasarkan jumlah individu burung yang ditemukan (iii)

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung pada masingmasing tipe habitat Komposisi guild pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Perbandingan komposisi jenis burung tahun 2006 dan 2010 di Pulau Peleng Pola penyebaran burung di Pulau Peleng Data biofisik pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Hasil analisis asosiasi interspesifik gagak banggai dan gagak hutan di Pulau Peleng Peta Pulau Peleng (iv)

19 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Peleng bersama Pulau Banggai, Pulau Labobo, Pulau Bangkurung, Pulau Bowokan dan Kepulauan Sula (terdiri atas Pulau Taliabu, Pulau Mangole dan Pulau Sanana) merupakan daerah penghubung dua kawasan sebaran satwa penting, yakni Kawasan Sulawesi dan Maluku. Oleh karena terletak berbatasan dengan Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, sehingga di Pulau Peleng dapat dijumpai jenis burung asli Sulawesi serta jenis-jenis burung asli Kepulauan Maluku. Jenis-jenis burung asli Sulawesi yang dapat dijumpai antara lain elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), elang alap kepala kelabu (Accipiter griseiceps), pergam putih (Ducula luctuosa), walik raja (Ptilinopus superbus) dan merpati hitam sulawesi (Turacoena manadensis). Jenis-jenis burung asli Kepulauan Maluku yang dijumpai di Pulau Peleng antara lain serindit maluku (Loriculus amabilis), nuri raja ambon (Alisterus amboinensis), celepuk maluku (Otus magicus) dan perling maluku (Aplonis mysolensis) (Mallo et al. 2006). Berdasarkan literatur dan catatan para pengamat dan peneliti burung, di Pulau Peleng tercatat sebanyak 142 jenis burung (Mallo et al. 2006). Berdasarkan daftar yang diterbitkan oleh Birdlife-Indonesia Programme (Shannaz et al. 1995), diantara 142 jenis burung tersebut 10 jenis diantaranya menjadi penting karena sebarannya terbatas. Kesepuluh jenis tersebut adalah gosong sula (Megapodius bernsteinii), mandar muka biru (Gymnocrex rosenbergii), walik malomiti (Ptilinopus subgularis), pergam putih (Ducula luctuosa), serindit maluku (Loriculus amabilis), kepudang sungu kelabu (Coracina schistacea), kepudang sungu sula (Coracina sula), anis punggung merah (Zoothera erythronota), sikatan rimba sula (Rhinomyias colonus) dan raja perling sula (Basilornis galeatus). Hal ini menjadikan Pulau Peleng sebagai salah satu pulau penting di Indonesia. Pulau Peleng bersama pulau-pulau lainnya di Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula ditetapkan sebagai salah satu kawasan daerah burung endemik (DBE) di Indonesia oleh BirdLife-Indonesia Programme. Di antara alasan penetapan tersebut adalah Pulau Peleng dihuni cukup banyak jenis burung endemik kawasan ini maupun jenis burung endemik kawasan lain yang sebarannya terbatas.

20 2 Di Pulau Peleng juga terdapat gagak banggai yang merupakan jenis endemik Sulawesi. Jenis burung ini sebarannya terbatas pada daerah Kepulauan Banggai. Burung ini telah dikenal sejak abad 18 ( ) yang lalu dari dua spesimennya yang dikoleksi oleh Rothschild dan Hartert (Coates et al. 2000). Pada tahun 2007 informasi mengenai keberadaan gagak banggai di habitat alaminya diketahui dengan ditemukannya burung ini oleh Mallo dan Putra (Mallo & Putra 2007). Sejak dikenal hingga tahun 2007 informasi keberadaannya di alam belum dapat diketahui sehingga penelitian terhadap burung gagak banggai juga belum pernah dilakukan. Akibatnya data dan informasi tentang aspek ekologi dan populasi burung ini belum banyak diketahui. Selain itu diduga burung ini mengalami tekanan di habitatnya karena degradasi habitat sehingga dikhawatirkan akan terancam kelestariannya. 1.2 Perumusan Masalah Pulau Peleng merupakan salah satu daerah di Sulawesi yang mempunyai jumlah jenis burung yang tinggi, terutama jenis burung endemik. Jenis-jenis burung tersebut terdapat di berbagai ekosistem yang ada di Pulau Peleng. Selain itu di Pulau Peleng juga terdapat burung gagak banggai yang merupakan jenis burung yang endemik di Kepulauan Banggai. Sejak dahulu pulau ini telah didatangi oleh para peneliti dan pengamat burung. Namun demikian, hingga saat ini hasil penelitian terhadap jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng masih sangat kurang. Informasi dari data penelitian tersebut sangat dibutuhkan mengingat, kelestarian jenis-jenis burung yang ada di pulau tersebut, terutama burung gagak banggai telah terancam oleh berbagai faktor. Data-data tersebut diharapkan dapat menunjang upaya pelestarian jenis-jenis burung secara umum dan burung gagak banggai secara khusus. Sehingga perlu dilakukan analisis kuantitatif terhadap komunitas burung di Pulau Peleng dengan fokus utama terhadap burung gagak banggai. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi struktur komunitas burung. 2. Mengukur kesamaan komunitas dan pola penyebaran burung. 3. Mengidentifikasi aspek ekologi dan pola sebaran spasial gagak banggai.

21 3 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah data mengenai komunitas burung dan burung gagak banggai di Pulau Peleng dan sebagai bahan pertimbangan untuk upaya pelestarian burung, khususnya burung gagak banggai di Pulau Peleng. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Mengingat banyaknya dan luasnya berbagai aspek dari komunitas burung secara umum dan khususnya burung gagak banggai, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada keanekaragaman jenis burung, kemerataan jenis burung, kesamaan jenis burung dan pola penyebaran burung pada tipe habitat yang diteliti, serta preferensi habitat dan pola sebaran dari burung gagak banggai. 1.6 Kerangka Pemikiran Pulau Peleng merupakan habitat bagi jenis-jenis burung dan gagak banggai. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, mengakibatkan terjadinya degradasi habitat, yang menyebabkan jenis-jenis burung yang ada di Pulau Peleng terganggu, sehingga perlu dilakukan usaha pelestarian. Untuk upaya pelestarian tersebut, dibutuhkan penelitian yang menyeluruh terkait komunitas burung dan aspek ekologi gagak banggai. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar untuk menganalisis atau membuat kebijakan terkait komunitas burung secara umum dan burung gagak banggai secara khusus. Komunitas burung dibentuk oleh berbagai faktor, seperti jenis penyusun komunitas, faktor vegetasi, perubahan musiman, waktu dan faktor lainnya. Perbedaan struktur dan komposisi jenis penyusun suatu komunitas akan berbeda antara tipe vegetasi yang ada. Perubahan musim dan perubahan vegetasi sejalan dengan waktu juga akan mempengaruhi komunitas burung. Komunitas burung bisa diamati dengan menggunakan parameter suatu komunitas seperti kekayaan, keanekaragaman, kelimpahan relatif dan komposisi jenis. Preferensi habitat dan pola penyebaran gagak banggai diduga disebabkan oleh faktor fisik maupun biofisik dari habitat gagak banggai. Komponen fisik habitat terdiri atas: kelerengan lahan, ketinggian tempat, suhu udara, jarak terhadap kebun terdekat dan jarak terhadap tempat aktivitas manusia (Gambar 1).

22 4 Faktor Musim Faktor Vegetasi - Struktur vegetasi Faktor Waktu Faktor Lainnya: - Ketersediaan pakan Komponen Fisik Habitat: - Kelerengan lahan - Ketinggian tempat - Suhu udara - Jarak terhadap kebun terdekat - Jarak terhadap tempat aktivitas manusia Faktor Intraspesies - Perkembang biakan - Guild Faktor Interspesies: - Keanekaragaman - Kemerataan - Kelimpahan - Komposisi jenis Struktur komunitas Burung Preferensi habitat dan pola penyebaran gagak banggai Dasar untuk menganalisis atau pembuatan kebijakan terkait komunitas burung secara umum dan burung gagak banggai Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

23 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra 1990). Menurut Odum (1993) habitat terdiri atas komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tidak langsung mendukung kehidupan organisme untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuhan merupakan bagian habitat yang berfungsi sebagai penyedia berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi satwa liar. Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan (Fleming 1992). Komposisi komunitas burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi jenis tumbuhan dalam suatu habitat. Perubahan suatu habitat mengakibatkan beberapa jenis burung mengubah perilaku makannya dan memperluas daerah jelajahnya (Lambert 1992). Penggunaaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dan adanya seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan kebutuhannya (Wiens 1992). Selain itu, kehadiran jenis burung pada suatu komunitas dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000; Haslem & Bennett 2008; Fleming 1992). 2.2 Komunitas Burung Menurut Wiens (1992) komunitas burung merupakan kumpulan populasi dari jenis-jenis burung yang hidup pada suatu habitat yang saling berinteraksi membentuk sistem komposisi, struktur dan peranannya sendiri. Morin (1999) menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild. Taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu. Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaragaman (Kaspari 2001). Guild adalah sekelompok jenis burung yang menggunakan

24 6 sumberdaya yang sama baik jenis pakan, habitat mencari pakan ataupun strata tempat mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya (Connel et al. 2000). Pengelompokan burung dalam kategori guild dilakukan berdasarkan pola mencari pakan, kebiasaan makan, tempat mencari pakan atau pemilihan tempat mencari pakan pada tingkatan vegetasi (Rakotomanana 1998; Aleixo 1999). Menurut Karr (1971) komposisi jenis dalam komunitas dapat dilihat dari komposisi atau kategori pakan dan cara makan dari jenis-jenis burung yang ada. Pada suatu habitat yang kaya dengan serangga akan memiliki jumlah burung insektivora yang melimpah atau jika suatu habitat cukup beragam sumber pakannya tetapi produktivitas masing-masing sumberdaya tidak melimpah, maka sebagian besar jenis pembentuk komunitas adalah jenis burung-burung omnivora. Demikian pula apabila produksi biji dan buah melimpah, maka pembentuk komunitasnya adalah jenis burung frugivora dan jenis burung graminivora. 2.3 Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas disusun oleh sangat sedikit dan hanya sedikit dari jenis itu yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi yang tinggi pula (Soegianto 1994; Krebs 1989; Wiens 1992). Menurut Helvoort (1981) keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis atau kekayaan jenis dan kelimpahan jenis sebagai penyusun komunitas. Kekayaan merupakan jumlah jenis yang ada sedangkan kelimpahan jenis menunjukkan kelimpahan relatif dari masing-masing jenis. Suatu komunitas yang stabil dan baik akan mempunyai keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Variasi yang besar pada vegetasi akan memberikan kekayaan dan keanekaragaman burung yang tinggi.

25 7 Keanekaragaman jenis burung berbeda antara habitat yang satu dengan habitat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi jenis tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988), serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi jenis yang menempatinya (Alikodra 1990). Keanekaragaman jenis cenderung lebih rendah di ekosistem yang homogen dan lebih tinggi di ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah jenis burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992). 2.4 Bio-ekologi Gagak Banggai Klasifikasi dan Morfologi Secara umum gagak banggai diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Aves, ordo Passeriformes, familia Corvidae, genus Corvus dan jenis Corvus unicolor (Gambar 2). Menurut Mallo dan Putra (2007), individu jantan gagak banggai mempunyai panjang tubuh 334,6 mm, paruh 46,7 mm, tarsus 52,9 mm, ekor 110,8 mm dan sayap berukuran 210,1 mm. Warna tubuhnya seluruhnya hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam, iris berwarna putih kotor. Ukuran tubuh individu betina lebih pendek dari individu jantan yaitu 310 mm, paruh 44,8 mm, tarsus 47,4 mm, ekor 110,7 mm dan sayap 207,7 mm. Warna keseluruhan tubuhnya berwarna hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam dan iris putih kotor.

26 8 Gambar 2 Individu gagak banggai di Pulau Peleng a) dan d) tampak depan, b) tampak samping, c) tampak belakang Perkembangbiakan Gagak banggai diperkirakan bertelur, mengeram hingga membesarkan anaknya dalam sarang pada bulan Juni hingga awal September, masa bercumbu dan membuat sarang diperkirakan sebelum bulan Juni hingga akhir bulan Juni. Masa anak meninggalkan sarang diperkirakan pada awal bulan September sampai Oktober. Pada masa berkembangbiak gagak banggai membuat sarang yang berukuran 40 cm, berbentuk terbuka yang kurang rapi dari ranting-ranting kayu yang kuat, bahan sarang yang ditemukan ukurannya bervariasi, dari sebesar lidi aren (Arenga pinnata) hingga sebesar jari kelingking orang dewasa. Sarang diletakkan pada pohon toan (Pometia sp.), pada dahan tertinggi, dekat puncak kanopi yang tingginya 19 m dari permukaan tanah (Mallo & Putra 2007) Makanan Gagak banggai selain mengkonsumsi serangga, ulat, reptilia kecil (tokek dan cicak), gagak banggai juga diketahui mengkonsumsi buah beringin (Mallo & Putra 2007).

27 Habitat Menurut Mallo dan Putra (2007), gagak banggai sering dijumpai di tepi hutan yang masih banyak terdapat pohon yang berukuran besar dan tinggi yang berbatasan dengan ladang. Gagak banggai juga sering terlihat bertengger pada pohon monas dan malisa atau marisa (Podocarpus sp.) dan pohon uling (Koordersiodendron pinnatum) dengan ketinggian tenggeran sekitar m dari permukaan tanah Perilaku Gagak banggai sering berkelahi dengan gagak hutan (Corvus enca) dan dalam perkelahian tersebut gagak hutan selalu kalah dan menghindari gagak banggai. Gagak banggai selalu menghindari kontak dengan manusia dan selalu menghindari daerah terbuka yang sering dikunjungi manusia atau daerah terdapat aktivitas manusia (Mallo & Putra 2007) Penyebaran dan Populasi Penyebaran secara global burung gagak banggai terbatas (endemik) pada Kepulauan Banggai subkawasan Sulawesi. Secara lokal gagak banggai hanya dijumpai di Pulau Peleng. Gagak banggai dapat dijumpai pada beberapa tempat di ketinggian antara 700 sampai 800 mdpl. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo dan Putra (2008a), penyebaran gagak banggai hanya dijumpai pada bagian Barat dan Tengah Pulau Peleng dan gagak banggai tidak ditemukan pada bagian Timur Pulau Peleng dan pulau Banggai. Gagak banggai menyebar bukan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, karena gagak banggai juga dijumpai pada ketinggian 200 mdpl. Jumlah populasi gagak banggai di Pulau Peleng diperkirakan sekitar 150 sampai 200 ekor. 2.6 Pola Sebaran Spasial Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), secara umum individu populasi menyebar dalam tiga pola spasial yaitu pola sebaran acak (random), pola sebaran mengelompok (clumped) dan pola sebaran merata (uniform). Selanjutnya disebutkan juga bahwa pola sebaran acak dari individu-individu populasi suatu jenis menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu dan adanya perilaku non selektif dari jenis yang bersangkutan dalam

28 10 lingkungan hidupnya. Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput; sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya. Menurut Ludwig dan Reynolds, (1988) faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola sebaran spasial diantaranya adalah: 1. Faktor vektorial yang timbul dari adanya gaya-gaya eksternal seperti arah angin, arah aliran air dan intensitas cahaya; 2. Faktor reproduksi yaitu yang berkaitan dengan cara berkembang biak; 3. Faktor sosial sebagai akibat sifat yang dimiliki tertentu misalnya perilaku teriotorial; 4. Faktor yang timbul sebagai akibat adanya persaingan intraspesifik. Menurut Tarumingkeng (1994), pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai indeks penyebaran (dispersion index), yaitu indeks disperse (ID), indeks agregatif/ index of clumping (IC) dan indeks Green (IG). Pola sebaran satwa dapat berbentuk merata, kelompok dan acak. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu maupun kelompok organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Satwa menggunakan habitatnya untuk melakukan beberapa aktivitas. Penggunaannya dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.

29 11 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Status, Luas dan Letak Pulau Peleng merupakan pulau yang terletak di ujung semenanjung timur Pulau Sulawesi, yang jaraknya dekat perbatasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Jarak pulau ini cukup dekat dengan Kota Luwuk. Pulau Peleng secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah Pulau Peleng terbagi dalam enam kecamatan, yaitu Kecamatan Tinangkung, Kecamatan Bulagi, Kecamatan Bulagi Selatan, Kecamatan Totikum, Kecamatan Liang dan Kecamatan Buko. Daratan Pulau Peleng memiliki luas 3.214,46 km² (BPS 2004). 3.2 Penduduk Jumlah penduduk Pulau Peleng tahun 2004 adalah jiwa. Suku dominan di pulau ini adalah Suku Salakan, dan sebagian kecil suku pendatang dari luar Pulau Peleng, seperti Bugis, Jawa, Luwuk, Gorontalo dan Kendari (BPS 2004). 3.3 I k l i m Pulau Peleng mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di Pulau Peleng jatuh pada bulan Maret-Juli dengan curah hujan 66 s/d 235 mm, sementara musim kemarau jatuh pada bulan September- Nopember dengan curah hujan 14 s/d 23 mm (BPS 2004). 3.4 F l o r a Menurut Mallo et al. (2006) Pulau Peleng merupakan pulau yang berukuran besar di Kepulauan Banggai yang vegetasinya didominasi hutan tropis dataran rendah. Tumbuhan yang dominan hidup di hutan ini adalah wanga (Pigafetta filaris), berbagai jenis beringin (Ficus sp.), berbagai jenis kenari (Canarium sp.), matoa (Pometia sp.), mahang (Macaranga sp.), melinjo (Gnetum gnemon), mengkirai (Trema orientalis) dan mangga (Mangifera sp.). Hutan tropis ini relatif miskin akan jenis tumbuhan dan kerapatan vegetasinya, karena

30 12 sebagian besar daratan Pulau Peleng terdiri dari bebatuan kapur. Pada beberapa tempat di pulau ini terbentuk vegetasi yang mencirikan hutan musim. Tumbuhan yang dominan yang ditemukan pada vegetasi ini adalah jembirit (Tabernaemontana sp.) dan lontar (Borassus sp.). Pada beberapa tempat di Pulau Peleng terbentuk rawa dan rawa yang telah diolah menjadi sawah, tumbuhan yang umum ditemukan pada rawa dan sawah selain padi (Oryza sativa) yang ditanam penduduk, adalah kangkung air (Ipomea aquatica), teki (Cyperus sp.) dan sagu (Metroxylon sagu). Pantai Pulau Peleng terdiri dari pantai bertebing karang kapur, pantai berpasir dan hutan mangrove. Pada pantai bertebing kapur yang kemiringannya relatif agak landai terbentuk vegetasi hutan tropis dataran rendah bercampur jenis tumbuhan pantai pada formasi Barringtonia, seperti beringin (Ficus sp.), kenari (Canarium sp.), pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia cattapa) dan bintangor (Calophyllum sp.). Pada pantai berpasir didominasi jenis tumbuhan dari Formasi Pes-Caprae; terdiri dari tapak kuda (Ipomea pes-caprae), rumput angin (Spinifex littoreus), seruni laut (Wedelia biflora) dan kacang laut (Vigna marina). Jenis tumbuhan yang umum terlihat pada hutan mangrove adalah dari marga bakau (Rhizophora sp.) dan di belakang tumbuhan bakau (Rhizophora sp.) pada tempat berawa ditemukan nipah (Nypa fruticans). Selain terbentuk vegetasi alami di Pulau Peleng berupa hutan tropis dataran rendah, rawa dan sawah, berbagai vegetasi pantai, juga terdapat ladang-ladang penduduk yang telah membentuk vegetasinya sendiri, jenis tanaman yang umum ditanam penduduk pada ladang adalah jambu monyet (Anacardium oceidentale), durian (Durio sp.), cacao atau coklat (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa sp.), keladi (Alocasia sp.) dan ubi banggai (Discorea sp.). 3.5 F a u n a Pulau Peleng bersama Pulau Banggai, Pulau Labobo, Pulau Bangkurung, Pulau Bowokan dan Kepulauan Sula (terdiri dari Pulau Taliabu, Pulau Mangole dan Pulau Sanana) merupakan kawasan penghubung dua kawasan hewan penting, yaitu Kawasan Sulawesi dan Maluku dan terletak sangat dekat di sisi

31 13 Barat Garis Weber; yang merupakan garis batas penyeimbang antara hewan Kawasan Oriental dan Kawasan Australo-Papuan, sehingga jenis hewan yang ada di kawasan ini merupakan percampuran antara jenis hewan Kawasan Oriental dan Kawasan Australo-Papuan. Selain itu, karena terletak pada berbatasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, di Pulau Peleng dijumpai jenis hewan asli Sulawesi yang bercampur dengan jenis hewan asli Kepulauan Maluku. Jenis-jenis hewan asli Sulawesi yang dijumpai seperti tarsius peleng (Tarsius pelengensis), elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), elang alap kepala kelabu (Accipiter griseiceps), pergam putih (Ducula luctuosa), walik raja (Ptilinopus superbus), dan merpati hitam sulawesi (Turacoena manadensis). Jenis-jenis hewan asli Kepulauan Maluku yang dijumpai di Pulau Peleng seperti serindit maluku (Loriculus amabilis), nuri raja ambon (Alisterus amboinensis) dan perling maluku (Aplonis mysolensis). Pulau Peleng dihuni 141 jenis burung. Diantara semua jenis burung yang tercatat di Pulau Peleng, 10 jenis diantaranya menjadi penting karena sebarannya terbatas, yaitu gosong sula (Megapodius bernsteinii), mandar muka biru (Gymnocrex rosenbergii), walik malomiti (Ptilinopus subgularis), pergam putih (Ducula luctuosa), serindit maluku (Loriculus amabilis), kepudang sungu kelabu (Coracina schistacea), kepudang sungu sula (Coracina sula), anis punggung merah (Zoothera erythronota), sikatan rimba sula (Rhinomyias colonus) dan raja perling sula (Basilornis galeatus). Hewan mamalia yang umum ditemukan di Pulau Peleng adalah bajing (Prosciurellus sp.), babi hutan (Sus sp.), berbagai jenis kelelawar dan teristimewa di pulau ini terdapat tiga jenis mamalia endemik, yaitu kuskus peleng (Phalanger pelengensis), tarsius peleng (Tarsius pelengensis) dan tikus peleng (Rattus pelurus). Jenis hewan melata yang umum ditemukan adalah biawak (Varanus salvator), kadal terbang (Draco sp.), serta di beberapa tempat ditemukan buaya (Crocodylus sp.). Perairan laut Pulau Peleng sangat kaya dihuni jenis hewan laut. Secara umum hewan laut yang menghuni Pulau Peleng, baik jenis ikan, jenis karang maupun jenis hewan laut lainnya hampir sama jenisnya dengan hewan laut di seluruh perairan Indonesia, tetapi pulau ini menjadi istimewa karena memiliki jenis ikan langka dan endemik, yaitu kardinal banggai (Pteropogon kauderni) (Mallo et al. 2006).

32 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat alami, yaitu pada tipe habitat hutan musim, tipe habitat daerah rawa, tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat hutan tropis. Sedangkan dua tipe habitat lainnya yaitu daerah kebun dan sawah tidak dilakukan pengambilan data, karena merupakan tipe habitat buatan manusia. Waktu pelaksanaan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: peta Pulau Peleng skala 1: , kompas Brunton, binokuler Pentax ukuran 8x45, buku panduan burung di Kawasan Wallacea (Coates et al 2000), pita meter, altimeter, tambang plastik, alkohol 70%, kamera digital, kertas koran, gunting, label gantung, tally sheet, GPS Garmin 12 dan komputer. 4.3 Jenis Data A. Komunitas Burung Data burung yang dikumpulkan berupa data jenis burung dan jumlah individu burung yang teramati setiap pertemuan. B. Gagak Banggai Data yang dikumpulkan berupa data jenis burung jumlah individu gagak banggai beserta jenis burung yang merupakan predator dan non predator gagak banggai. C. Tumbuhan Pada semua tipe habitat yang diteliti, serta habitat dijumpainya burung gagak banggai, data tumbuhan yang dikumpulkan untuk membuat profil vegetasi adalah jumlah individu setiap jenis pohon, tinggi total pohon, tinggi bebas cabang dan diameter tajuk.

33 Metode Pengumpulan Data Komunitas Burung Metode Kelimpahan Titik (IPA) Metode IPA (Indices Ponctuel d Abondance) merupakan metode pengamatan burung dengan mengambil sampel dari komunitas burung dalam waktu dan lokasi tertentu. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan diri pada titik yang telah dipilih secara sistematik dan telah ditentukan sebelumnya, dengan mencatat dan mengidentifikasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang dijumpai baik secara langsung (visual) maupun secara tidak langsung (suara) (Helvoort 1981). Pengamatan dilakukan pada periode pagi pukul WITA dan berakhir pukul WITA. Pengamatan periode sore hari dilakukan mulai pukul WITA sampai pukul WITA. Lokasi pengamatan burung dengan menggunakan metode ini adalah pada tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis. Pada masing-masing tipe habitat, dibuat enam titik pengamatan dengan pengulangan sebanyak empat kali pada masing-masing tipe habitat, dengan waktu pengamatan untuk setiap titik yaitu selama 10 menit. Bentuk unit contoh dalam pengamatan burung dengan menggunakan metode IPA ialah dengan lingkaran yang diameternya atau radius lingkaran 50 m, dengan jarak antara titik tengah 100 m (Gambar 3). P1 P2 P3 r r r Arah Lintasan 100m m Gambar 3. Bentuk unit contoh untuk inventarisasi satwa liar burung dengan metode IPA : P = Titik pengamatan, r = Radius lingkaran yang ditentukan berdasarkan kemampuan jarak pandang rata-rata (50 m).

34 Metode Concentration Counts Metode ini digunakan pada tipe habitat daerah rawa. Metode ini digunakan karena arealnya terbuka dan tidak terlalu luas serta penyebaran burung terkonsentrasi di daerah tersebut. Menurut Alikodra (1990) bahwa metode Concentration counts efektif digunakan untuk mengetahui populasi satwaliar yang mempunyai pola hidup berkelompok. Pada metode ini, pengamat menempatkan diri pada suatu tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan titik pengamatan berdasarkan konsentrasi burung yang akan diamati. Untuk pengumpulan data, pada tipe habitat ini digunakan satu titik pengamatan dengan empat kali pengulangan Metode Transek Jalur (Strip Transect) Metode transek jalur (strip transect) digunakan pada tipe habitat hutan mangrove. Transek jalur adalah suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur pengamatan (Sutherland 2006). Metode ini dilakukan dengan membuat jalur sejajar satu sama lain dengan panjang jalur masing-masing 1 km dan lebar jalur 50 m (25 m ke kanan dan 25 m ke kiri) dengan asumsi kemampuan mata memandang sejauh 25 m. Pada tipe habitat ini ditempatkan dua jalur pengamatan dengan pengulangan empat kali setiap jalurnya. Jarak antar jalur yaitu 200 m (Gambar 4). Xi Xi 25 m D D Arah Lintasan Pengamat Pi 25 m D D Xi Xi Gambar 4. Bentuk unit contoh untuk inventarisasi satwa liar burung dengan metode transek jalur: D= jarak antara pengamat dengan satwa, Xi= posisi satwa, Pi= titik pengamatan, 25 m= jarak pandang pengamat.

35 Data Burung Gagak Banggai Data burung gagak banggai dikumpulkan dengan menggunakan metode transek jalur (Gambar 4). Penempatan jalur diletakkan pada habitat yang dijumpai burung gagak banggai. Untuk pengumpulan data gagak banggai digunakan delapan jalur dengan pengulangan sebanyak empat kali Data Tumbuhan Pengumpulan data tumbuhan dilakukan pada tiap titik pengamatan burung pada setiap komunitas burung yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menempatkan petak pengamatan berukuran 10 x 20 m pada setiap tipe habitat. 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data Komunitas Burung Keanekaragaman Jenis Burung A. Indeks Keanekaragaman Jenis Untuk menentukan kekayaan jenis burung digunakan indeks keanekaragaman Shannon (H ) (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus: s H = - ( p i ln p i ) p i i 1 Nilai p i diperoleh dengan menggunakan rumus: banyaknyaindividu spesies ke i totalindividu dari seluruh spesies Keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Shannon S = Jumlah Jenis pi = Proporsi jumlah individu ke-i (n/n) Ln = Log natural Untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman jenis burung antara berbagai komunitas, digunakan uji t-student. Menurut Poole (1974), tahapantahapan yang dilakukan dalam uji t statistik adalah sebagai berikut:

36 19 Langkah 1. Variasi pendugaan Indeks Shannon var( H') s i 1 p i ln 2 pi N Langkah 2. Menduga t hitung ' 1 H1 H 2 t [var( H ) var( H )] ' 1 ' 2 1/ 2 s i 1 Langkah 3. Menentukan derajat bebas ' 2 [var( H1) var( H )] df 2 2 var( H ) / N var( H ) Langkah 4. Menyusun hipotesis H o : H 1 : ' 1 1 ' 2 ' 2 2 pi ln pi / N 2 tidak terdapat perbedaan Indeks Shannon antara dua lokasi yang dibandingkan. terdapat perbedaan Indeks Shannon antara dua lokasi yang dibandingkan. Langkah 5. Pengambilan keputusan Kaidah pengambilan keputusan dari hipotesis di atas adalah sebagai berikut: - Jika t hitung t tabel, maka terima H o - Jika t hitung > t tabel, maka tolak H o B. Indeks Kemerataan Jenis Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis burung yang ada di masingmasing komunitas digunakan indeks kemerataan (Index of Equitabillity or Evennes) yaitu jumlah individu dari suatu jenis atau kelimpahan masing-masing jenis dalam suatu komunitas dengan rumus: E = H /ln S Keterangan : E = Indeks kemerataan H = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah Jenis

37 20 C. Indeks Kesamaan Jenis Indeks kesamaan jenis digunakan untuk membandingkan kesamaan jenis burung pada berbagai komunitas, yang dapat dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard, dengan rumus : (Sj) = a a b c Keterangan : a = Jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B b = Jumlah jenis yang ada di komunitas A tetapi tidak di komunitas B c = Jumlah jenis yang ada di komunitas B tetapi tidak di komunitas A D. Pengelompokan Berdasarkan Kategori Guild Komunitas burung yang ditemukan dikelompokan berdasarkan pola pemanfaatan sumberdaya yang sama (guild). Pengelompokan jenis-jenis burung tersebut mengacu pada Mac Kinnon (1991), Novarino (2008) dan Rahayuningsih (2009), yaitu: 1. FCI (Fly Catching Insectivore) pemakan serangga sambil melayang 2. OM (Omnivore) pemakan hewan dan tumbuhan 3. CAIN (Carnivore Insectivore) pemakan invertebrata dan vertebrata 4. IN (Insectivore Nectarivore) pemakan serangga dan nektar 5. IF (Insectivore Frugivore) pemakan serangga dan buah-buahan 6. AF (Arboreal Frugivore) pemakan buah di bagian tajuk 7. CI (Carnivore Insectivore) pemakan vertebrata lain dan serangga 8. TFGI (Tree Foliage Gleaning Insectivore) pemakan serangga di atas tajuk 9. TF (Terestrial Frugivore) pemakan buah kecil di lantai hutan 10. SE (Seed Eater) pemakan biji rumput 11. SFGI (Shrub Foliage Gleaning Insectivore) pemakan serangga di daerah semak 12. LGI (Litter Gleaning Insectivore) pemakan serangga di serasah/lantai hutan 13. BGI (Bark Gleaning Insectivore) pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon

38 Pola Sebaran Metode yang digunakan untuk mengetahui pola sebaran jenis-jenis burung adalah metode Indeks Sebaran Morisita. Menurut Krebs (1989), tahapan penghitungan dengan menggunakan metode ini adalah sebagai berikut: Langkah 1. Menghitung Indeks Morisita (Id) 2 x x Id n 2 ( x) x Langkah 2. Menghitung Indeks Morisita yang distandarisasi Indeks Keseragaman Mu n x ( x) 1 Indeks Pengelompokan Mc n x ( x) 1 Ketika I d Mc > 1.0; maka: Id Mc Ip n Mc Ketika Mc > Id 1.0; maka: Id 1 Ip 0.5 Mc 1 Ketika 1.0 > Id > Mu; maka: Id 1 Ip 0.5 Mu 1 Ketika 1.0 > Mu > Id; maka: Id Mu Ip Mu Langkah 3. Pengambilan keputusan Kaidah pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: - Jika Ip = 0, maka pola penyebarannya adalah acak (random) - Jika Ip > 0, maka penyebarannya adalah mengelompok (clumped) - Jika Ip < 0, maka penyebarannya seragam (reguler) Tumbuhan Data tumbuhan pada masing-masing komunitas burung dianalisis secara kualitatif dengan membuat diagram profil baik secara vertikal dan horizontal (Mueller et al. 1974). Gambar diagram profil menggunakan skala 1:200 pada

39 22 setiap tipe vegetasi. Data yang dikumpulkan berupa pohon yang berdiameter >20 cm Analisis Data Burung Gagak Banggai Pola Sebaran Spasial Metode yang digunakan untuk mengetahui pola penyebaran spasial gagak banggai adalah metode Indeks Sebaran Morisita (Krebs 1989) Uji Asosiasi Dua Jenis Prosedur untuk mempelajari asosiasi interspesifik didasarkan atas ada atau tidak adanya suatu jenis di dalam unit contoh yang diamati. Pengujian asosiasi dua jenis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: f(a) = f(b) = a b N a c N Keterangan: f(a) = frekuensi harapan keberadaan jenis A di dalam unit contoh. f(b) = frekuensi harapan keberadaan jenis B di dalam unit contoh. Perjumpaan dua jenis dapat disajikan dalam bentuk tabel kontingensi asosiasi jenis (Tabel 1). Tabel 1 Tabel asosiasi jenis Keberadaan Jenis Ada Jenis B Tidak Ada Jumlah Jenis A Ada a b m = a + b Tidak Ada c d n = c + d Jumlah r = a + c s = b + d N = a+b+c+d Statistik uji chi-square dapat digunakan untuk menguji hipotesis nol yang menyatakan bahwa keberadaan jenis A dan jenis B adalah independen (saling bebas). Persamaan uji tersebut adalah: 2 h 2 ( Oi Ei ) = E i

40 23 2 Notasi h menyatakan nilai Chi-square hitung, O i adalah frekuensi hasil pengamatan dan E i adalah frekuensi harapan. Nilai harapan untuk setiap sel pada Tabel 1, yakni nilai harapan a [E(a)], E(b), E(c) dan E(d) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: E(a) = E(b) = E(c) = E(d) = ( a b)( a c ) = N ( a b)( b d ) = N ( c d )( a c ) N ( c d )( b d ) N m.r N m.s N n. r = N n. s = N Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi harapan setiap sel tabel kontingensi 2 x 2, maka dapat dihitung statistik uji Chi-square sebagai berikut: 2 h = N 2.( ad bc ) m.n.r.s Signifikansi statistik uji Chi-square ditentukan dengan cara membandingkannya dengan sebaran Chi-square teoritis (Chi-square tabel) pada derajat bebas v = (r 1)(c 1). Secara teoritis, nilai Chi-square pada derajat bebas 1 dan taraf signifikansi 5% adalah Hipotesis yang dibangun: H o : keberadaan jenis A dan B adalah saling bebas atau independen H 1 : terdapat asosiasi antara jenis A dengan jenis B Kaidah pengambilan keputusan dari hipotesis di atas adalah sebagai berikut: 2 - Jika h 3.841, maka terima H o 2 - Jika h > 3,841, maka tolak H o

41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Habitat A Tipe habitat hutan musim Tipe habitat hutan musim terletak pada ketinggian 79 mdpl. Rata-rata suhu harian di tipe habitat ini berkisar 25,8 C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat hutan musim dibentuk oleh tujuh jenis pohon yang termasuk dalam enam famili (Gambar 5). Keterangan: A. Unidentified E. Cordia suaviolens B. Melanolepis multiglandulosa F. Albizia lebbeck C. Canthium monstrosum G. Saurauia sp. D. Garuga floribunda Gambar 5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim Diameter rata-rata jenis pohon sebesar 10,84 cm. Melanolepsis multiglandulosa merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter yang lebih besar dibanding dengan jenis pohon lainnya. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 2,47 cm. Albizia lebbeck merupakan jenis pohon yang mempunyai bebas

42 26 cabang paling tinggi. Secara umum tipe habitat hutan musim mengalami gangguan dan telah terfragmentasi. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka dan pada bagian lantai hutan hanya ditumbuhi oleh semak-semak yang penutupannya agak jarang. Sebagian besar jenis pohon yang ada terkonsentrasi pada satu tempat dengan jarak antar jenis pohon agak rapat, sedangkan tempat lainnya lebih terbuka dan hanya ditempati satu jenis pohon. Tipe habitat ini lebih terbuka akibat pengambilan kayu dari jenis-jenis pohon yang ada, sehingga sebagian besar areal tipe hutan musim tidak utuh dan mengalami kerusakan serta banyak terdapat jalan setapak yang merupakan akses masyarakat menuju ladang yang terdapat pada bagian tengah tipe habitat ini. Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 30 jenis burung yang tergolong dalam 21 famili. Brinji emas (Ixos affinis) merupakan jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu sebanyak 69 individu. Pada tipe habitat ini, terdapat sepuluh kelompok guild dengan kategori guild pemakan serangga dan nektar merupakan guild yang paling banyak dijumpai dari segi jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang dengan jumlah jenis sebanyak enam jenis (Lampiran 2). B Tipe habitat daerah rawa Tipe habitat daerah rawa terletak pada ketinggian 2 mdpl. Rata-rata suhu harian berkisar pada 29 C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat daerah rawa disusun oleh tujuh individu pohon yang berasal dari enam jenis pohon yang termasuk dalam empat famili (Gambar 6). Tipe habitat ini di satu sisi berdekatan dengan permukiman manusia berupa rumah masyarakat maupun sekolah, serta tempat aktivitas masyarakat berupa ladang dan kolam ikan. Pada sisi lain tipe habitat ini berbatasan langsung dengan tipe habitat hutan musim, pada saat penelitian tipe habitat hutan musim mengalami kerusakan akibat perambahan. Lokasi yang diamati pada tipe habitat ini, luas arealnya berupa air yang tergenang berkurang akibat bertepatan dengan musim kemarau. Pada bagian tengahnya ditutupi oleh vegetasi berumput yang tinggi dan palem (Palmae).

43 27 Famili Palmae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang lebih dari satu individu. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,89 cm. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 3,57 cm. Metroxylon sagu merupakan jenis pohon yang mempunyai diamater dan bebas cabang yang paling besar dan tinggi dibanding dengan enam jenis pohon lainnya. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka. Pada tipe habitat daerah rawa dijumpai jenis burung sebanyak 32 jenis yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling banyak dijumpai yaitu burung tepekong jambul (Hemiprocne longipenis), sedangkan pada tipe habitat ini terdapat sembilan kategori guild. Dengan kelompok guild yang dominan yaitu pemakan serangga sambil terbang baik dari segi jumlah jenis maupun dari segi jumlah individu (Lampiran 2). Keterangan A. Metroxylon sagu E. Anthocephalus chinensis B. Eurya sp. F. Lasianthus sp. C. Metroxylon sagu G. Ficus sp. 1 D. Morinda citrifolia Gambar 6 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat daerah rawa

44 28 C Tipe habitat hutan mangrove Tipe habitat ini terletak pada daerah muara sungai. Sebagian besar arealnya selalu terendam air, kecuali areal yang berbatasan dengan laut. Pada bagian yang berbatasan laut, ketika laut mengalami pasang, seluruh arealnya akan terendam air demikian pula sebaliknya areal akan kering ketika air laut surut, sehingga hanya menyisakan areal yang berlumpur. Areal yang berlumpur merupakan salah satu sumber makanan bagi jenis-jenis burung air penetap maupun migran. Suhu rata-rata pada tipe habitat ini berkisar 27 C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat hutan mangrove hanya disusun oleh dua jenis yang berasal dari satu famili, yaitu Rhizophoraceae (Gambar 7). Pada tipe habitat ini terdapat sembilan individu pohon. Diameter rata-rata jenis pohon sebesar 10,26 cm. Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter terbesar. Sedangkan tinggi cabang rata-rata sebesar 2,48 cm, Rhizophora apiculata merupakan jenis pohon yang mempunyai bebas cabang yang paling tinggi. Jenis-jenis pohon yang ada relatif lebih rapat. Tajuknya rapat dan saling bersentuhan dan beberapa diantaranya tajuknya berlapis-lapis. Tipe habitat ini merupakan jalur masyarakat menuju laut. Jalur ini dilalui secara rutin oleh sebagian besar masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar tipe habitat ini. Masyarakat setiap hari (pagi dan sore hari) mengunakan sungai yang berada pada tengah areal tipe habitat hutan mangrove sebagai jalan menuju ke laut.

45 29 Keterangan A. Bruguiera gymnorhiza F. Bruguiera gymnorhiza B. Rhizophora apiculata G. Bruguiera gymnorhiza C. Bruguiera gymnorhiza H. Rhizophora apiculata D. Rhizophora apiculata I. Rhizophora apiculata E. Bruguiera gymnorhiza Gambar 7 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan mangrove Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 39 jenis burung yang berasal dari 28 famili, dengan jenis burung dominan yaitu burung madu sriganti (Nectarinia jugularis). Pada tipe habitat ini terdapat 11 kategori guild. Dengan kategori guild pemakan serangga sambil terbang merupakan kategori terbanyak berdasarkan jumlah individunya, sedangkan berdasarkan jumlah jenis didominasi oleh burung pemakan invertebrata dan vertebrata (Lampiran 2).

46 30 D Tipe habitat hutan tropis Tipe habitat ini berada pada ketinggian 901 mdpl dengan suhu harian rata-rata berkisar 21 C. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,05 cm (Lampiran 5). Buchanania arborescens merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter yang lebih besar dibanding dengan jenis pohon lainnya. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 9,75 cm. Ardisia sp. merupakan jenis pohon yang mempunyai tinggi bebas cabang yang lebih tinggi (Lampiran 5). Pada tipe habitat ini, jarak antar pohon lebih rapat dengan tajuk yang lebat dan berlapis-lapis. Pada bagian lantai hutan banyak terdapat anakan dari jenis-jenis pohon yang ada dengan kondisi tanah yang lembab. Profil tumbuhan pada tipe habitat ini, disusun oleh 15 individu pohon dari enam jenis yang berasal dari lima famili. Famili Myrsinaceae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang paling banyak, yaitu sebanyak lima individu (Gambar 8). Pada tipe habitat ini dijumpai 42 jenis burung yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu burung kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons). Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak sembilan kategori guild. Berdasarkan jumlah individu, kategori guild pemakan serangga dan buah-buahan merupakan kategori yang paling banyak, sedangkan berdasarkan jumlah jenisnya, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang (Lampiran 2). Pada tipe habitat terdapat beberapa jalan setapak yang merupakan akses masyarakat menuju ladang. Pada beberapa tempat terdapat bagian hutan yang dibuka menjadi ladang oleh masyarakat. Namun jumlah jalan setapak maupun lahan yang hutan yang dibuka oleh masyarakat, jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tipe habitat lainnya yang diamati. Pada bagian tengah tipe habitat ini terdapat permukiman masyarakat berupa dusun dengan jumlah populasi yang kecil sekitar 17 kepala keluarga.

47 31 Keterangan A. Ardisia sp. F. Buchanania arborescens K. Ardisia sp. B. Lithocarpus celebicus G. Acalypa caturus L. Acalypa caturus C. Prunus sp. H. Buchanania arborescens M. Buchanania arborescens D. Acalypa caturus I. Ardisia sp. N. Ardisia elliptica E. Ardisia sp. J. Buchanania arborescens O. Acalypa caturus Gambar 8 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan tropis Komunitas Burung Keanekaragaman Jenis A Komposisi jenis Hasil penelitian menunjukkan, dijumpai sebanyak 77 jenis burung di Pulau Peleng. Jenis burung tersebut tergolong ke dalam 36 famili. Dari 77 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 20 jenis (26%) diantaranya jenis endemik Sulawesi, sembilan jenis (12%) merupakan jenis migran, sedangkan sisanya sebanyak 48 jenis (62%) merupakan jenis penetap (Tabel 2). Dari 36 famili tersebut, famili Columbidae merupakan famili dengan anggota terbanyak (10 jenis; 13%), diikuti famili Ardeidae (6 jenis; 8%), Cuculidae, Accipitridae dan Psittacidae (5 jenis; 6%),

48 32 Alcedinidae (4 jenis; 5%), Anatidae dan Campephagidae (3 jenis; 4%). Sebanyak delapan famili hanya terdiri dari dua jenis (3%) dan 20 famili hanya terdiri dari satu jenis (1%) (Tabel 3). Tabel 2 Komposisi jenis burung di Pulau Peleng No Famili Jenis Tipe habitat A* B*** C** D* Status 1 Phalacrocoracidae Phalacrocorax sulcirostris P 2 Ardeidae Ardea sumatrana P 3 Ixobrychus sinensis P 4 Ixobrychus cinnamomeus P 5 Ardea purpurea P 6 Bubulcus ibis P 7 Butorides striatus M 8 Accipitridae Haliastur indus P 9 Spilornis rufipectus E 10 Avizeda jerdoni P 11 Haliaeetus leucogaster P 12 Spizaetus lanceolatus E 13 Falconidae Falco moluccensis P 14 Anatidae Dendrocygna arcuata P 15 Anas querquedula M 16 Aythya australis M 17 Turnicidae Turnix suscitator P 18 Rallidae Amaurornis phoenicurus P 19 Gallirallus torquatus P 20 Scolopacidae Numenius madagascariensis M,VU 21 Actitis hypoleucos M 22 Columbidae Ducula aenea P 23 Ptilinopus melanospila P 24 Calcophaps stephani P 25 Treron vernans P 26 Ducula bicolor P 27 Macropygia amboinensis P 28 Ducula forsteni E 29 Treron griseicauda P 30 Ptilinopus superbus P 31 Ptilinopus subgularis E 32 Psittacidae Loriculus exilis E, NT

49 33 Tabel 2 Lanjutan No Famili Jenis Tipe habitat A* B*** C** D* Status 33 Prioniturus platurus E 34 Trichoglossus ornatus E 35 Alisterus amboinensis P 36 Loriculus amabilis E 37 Cuculidae Centropus bengalensis P 38 Chrysococcyx minutillus P 39 Eudynamis melanorhynca E 40 Phaenicophaeus calyorhynchus E 41 Cacomantis sepulcralis P 42 Caprimulgidae Eurostopodus macrotis E 43 Apodidae Collocalia vanikorensis P 44 Hemiprocnidae Hemiprocne longipenis P 45 Alcedinidae Halcyon chloris P 46 Alcedo meninting P 47 Halcyon sancta M 48 Halcyon melanorhyncha E 49 Meropidae Merops ornatus M 50 Pittidae Pitta erythrogaster P 51 Hirundinidae Hirundo tahitica P 52 Campephagidae Lalage leucopygialis E 53 Coracina tenuirostris P 54 Coracina schistacea E 55 Pycnonotidae Ixos affinis E 56 Dicruridae Dicrurus hottentottus P 57 Oriolidae Oriolus chinensis P 58 Corvidae Corvus enca P 59 Corvus unicolor E, CR 60 Turdidae Heinrichia calligyna E 61 Acanthizidae Gerygone sulphurea P 62 Sylvidae Acrocephalus orientalis M 63 Muscicapidae Muscicapa griseisticta M 64 Culicicapa helianthea P 65 Monarchidae Hypothymis azurea P 66 Rhipidura teysmanni E 67 Pachycephalidae Pachycephala pectoralis P 68 Artamidae Artamus leucorhynchus P 69 Sturnidae Aplonis panayensis P

50 34 Tabel 2 Lanjutan No Famili Jenis Tipe habitat A* B*** C** D* Status 70 Basilornis galeatus E, NT 71 Nectariniidae Nectarinia jugularis P 72 Nectarinia aspasia P 73 Dicaedidae Dicaeum celebicum E 74 Zosteropidae Zosterops atrifrons P 75 Passeridae Passer montanus P 76 Estrilidae Lonchura molucca P 77 Lonchura malacca P Keterangan: A=tipe habitat hutan musim; B=tipe habitat daerah rawa; C=tipe habitat hutan mangrove; D=tipe habitat hutan tropis. *= metode IPA count; **=metode concentration counts; ***=metode transek jalur. E=endemik Sulawesi; P=penetap; M=migran. CR=Critically Endangered; NT=Near Threatened; Vu =Vulnerable. Berdasarkan jumlah individu perfamili, jenis-jenis burung di Pulau peleng didominasi oleh famili Pycnonotidae (10%), Zosteropidae (8,7%), Columbidae (8,3%), Nectariniidae (7,8%) dan Hemiprocnidae (7,5%), sedangkan famili lainnya mempunyai persentase kurang dari 7,5%. Famili Timalidae merupakan famili yang persentasenya terkecil dari famili yang ada yaitu sebesar (0,2%) (Tabel 3). Tabel 3 Persentase jenis dan jumlah individu perfamili No Famili Jumlah Jenis % Individu % 1 Columbidae ,3 2 Ardeidae ,9 3 Psittacidae ,6 4 Cuculidae Accipitridae ,6 6 Alcenidae ,3 7 Campephagidae ,6 8 Anatidae ,7 9 Sturnidae ,8 10 Scolopacidae ,7 11 Rallidae ,4 12 Nectariniidae ,8

51 35 Tabel 3 Lanjutan No Famili Jumlah Jenis % Individu % 13 Muscicapidae ,6 14 Monarchidae Estrilidae ,6 16 Corvidae ,5 17 Zosteropidae ,7 18 Turnicidae ,5 19 Timalidae ,2 20 Sylvidae ,8 21 Pycnonotidae Pittidae ,2 23 Phalacrocoracidae ,4 24 Passeridae ,8 25 Acanthizidae ,6 26 Pachycephalidae ,9 27 Oriolidae ,1 28 Meropidae Hirundinidae ,7 30 Hemiprocnidae ,5 31 Falconidae ,4 32 Dicruridae ,6 33 Dicaedidae ,9 34 Caprimulgidae ,5 35 Artamidae ,4 36 Apodidae ,7 Jumlah Dari seluruh jenis burung yang ditemukan, 15 jenis diantaranya merupakan jenis burung yang dilindungi peraturan perundangan Indonesia, dua jenis dikategorikan NT (Near Threatened) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) yaitu serindit paruh merah dan raja perling sula, satu jenis kategori VU (Vulnerable) yaitu gajahan timur dan satu jenis kategori CR (Critically Endangered), yaitu gagak banggai. Selain itu sebanyak 11 jenis tercantum dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang digolongkan dalam Appendix II yaitu Avizeda jerdoni, Haliastur

52 36 indus, Haliaeetus leucogaster, Spizaetus lanceolatus, Spilornis rufipectus, Prioniturus platurus, Alisterus amboinensis, Trichoglossus ornatus, Loriculus amabilis, Loriculus exilis dan Falco moluccensis (Tabel 4). Tabel 4 Status keterancaman, perdagangan dan perlindungan jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng No Famili Nama ilmiah PP No 7 CITES IUCN 1 Accipitridae Avizeda jerdoni D II 2 Haliastur indus D II 3 Haliaeetus leucogaster D II 4 Spizaetus lanceolatus D II 5 Spilornis rufipectus D II 6 Psittacidae Prioniturus platurus II 7 Alisterus amboinensis II 8 Trichoglossus ornatus D II 9 Loriculus amabilis II 10 Loriculus exilis D II NT 11 Alcedinidae Halcyon sancta D 12 Halcyon chloris D 13 Nectariniidae Nectarinia aspasia D 14 Nectarinia jugularis D 15 Corvidae Corvus unicolor CR 16 Ardeidae Bubulcus ibis D 17 Falconidae Falco moluccensis D II 18 Pittidae Pitta erythrogaster D 19 Scolopacidae Numenius madagascariensis D VU 20 Sturnidae Basilornis galeatus NT Keterangan: PP no 7: PP No.7 tahun 1999 (D : Dilindungi) ; CITES 2006 (II: APPENDIX II) ; IUCN 2009 ( NT : Near threatened, VU: Vulnerable, CR: Critically Endangered) B Komposisi guild Pada pulau Peleng terdapat 13 kategori kelompok guild. Berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng, kategori pemakan invertebrata dan vertebrata mempunyai jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan kategori guild lainnya (14 jenis), dominasi berikutnya ditunjukkan oleh pemakan serangga sambil melayang (12 jenis). Sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan pemakan

53 37 buah kecil di lantai hutan, merupakan kategori yang mempunyai jumlah jenis paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis (Gambar 9) Jumlah jenis CAIN FCI IF AF CI OM IN BGI TFGI SFGI SE LGI TF Kategori guild Keterangan: FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN: Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI: Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore. Gambar 9 Kategori guild berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan Berdasarkan jumlah individu, didominasi kategori pemakan serangga dan buahbuahan dengan jumlah individu sebanyak 231 individu dan pemakan serangga sambil terbang (227 individu). Rata-rata jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kategori pemakan buah kecil di lantai hutan (5 individu) (Gambar 10). Dari hasil tersebut komposisi dominasi berdasarkan rata-rata jumlah individu berbeda dengan dominasi berdasarkan jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, pemakan invertebrata dan vertebrata yang mempunyai jumlah jenis sebanyak 14 (18,18%), sementara jumlah individunya hanya mencapai 35 (3,62%). Pemakan serangga dan buah-buahan, walau hanya mempunyai jumlah jenis sebanyak 11 (14,29%) tetapi mempunyai persentase jumlah individu sebesar 231 (23,91%). Sedangkan kategori

54 38 pemakan buah kecil di lantai hutan merupakan kategori yang mempunyai jumlah terkecil baik dari segi jumlah jenis 1 (1,30%) maupun jumlah individu 5 (0,52%) Jumlah Individu IF FCI IN AF CI TFGI CAIN BGI SE OM SFGI LGI TF Kategori guild Keterangan: FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN: Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI: Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore. Gambar 10 Kategori guild berdasarkan jumlah individu burung yang ditemukan C Indeks keanekaragaman jenis Hasil analisis data (Tabel 5) menunjukkan adanya perbedaan nilai indeks keanekaragaman pada semua tipe habitat di lokasi penelitian. Tipe habitat yang mempunyai jumlah jenis yang tinggi cenderung mempunyai nilai keanekaragaman yang tinggi. Namun dari hasil analisis ini, hanya dua tipe habitat yang dapat dibandingkan, yaitu tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, sedangkan dua tipe habitat lainnya tidak dapat dibandingkan karena metode pengambilan datanya berbeda. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,41) dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim dengan jumlah jenis burung sebanyak 39 jenis. Tipe habitat hutan musim

55 39 mempunyai indeks keanekaragaman yang lebih rendah (2,87) dan mempunyai jumlah jenis yang rendah (30 jenis). Namun dari hasil uji t diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara nyata (P>0,005). Tabel 5 Indeks keanekaragaman (H ) jenis burung pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Tipe habitat Jumlah jenis H' Hutan musim 30 2,87 Daerah rawa 32 3,08 Hutan mangrove 39 3,42 Hutan tropis 42 3,41 D Indeks kesamaan jenis Indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis penyusun suatu komunitas dengan komunitas lainnya (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan jenisjenis burung antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis mempunyai nilai indeks kesamaan jenis sebesar 37%. Dari empat tipe habitat yang diteliti, tipe habitat daerah rawa dan hutan mangrove tidak dimasukkan dalam analisis ini, karena metode pengambilan datanya berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis mempunyai perbedaan jenis yang cukup besar. Tabel 6 Matriks indeks kesamaan jenis (%) antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis Tipe Habitat Hutan musim Hutan tropis Hutan musim - 37 Hutan tropis - - E Indeks kemerataan Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan tipe habitat hutan tropis mempunyai indeks kemerataan yang tinggi yaitu sebesar 0,87, dibandingkan dengan kemerataan pada tipe habitat hutan musim (0,84), sedangkan dua tipe habitat lainnya tidak dapat dibandingkan karena metode pengambilan datanya berbeda (Tabel 7).

56 40 Tabel 7 Indeks kemerataan jenis (E) burung di Pulau Peleng Tipe habitat Jumlah jenis Kelimpahan relatif E Hutan musim ,84 Daerah rawa ,89 Hutan mangrove ,93 Hutan tropis ,91 Dari Tabel 7 terlihat bahwa tipe habitat hutan musim mempunyai kelimpahan relatif yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis, namun memiliki nilai indeks kemerataan lebih rendah dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis. Sedangkan pada tipe habitat hutan tropis yang mempunyai nilai kemerataan yang tinggi, namun kelimpahan relatif pada tipe habitat tersebut termasuk cukup rendah. Hal tersebut, diakibatkan oleh terdapat beberapa jenis yang sangat dominan pada tipe habitat yang mempunyai indeks kemerataan yang rendah. Demikian pula sebaliknya pada tipe habitat yang mempunyai kemerataan yang tinggi, tidak mempunyai jenis burung yang dominan. Beberapa jenis burung yang mempunyai kelimpahan relatif yang sangat besar dibandingkan populasi jenis burung lainnya pada tipe habitat hutan musim, yaitu burung brinji emas (Ixos affinis), kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons) dan tepekong jambul (Hemiprocne longipenis) Pola penyebaran jenis burung Secara keseluruhan pola penyebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%).

57 41 Pola sebaran yang bersifat mengelompok ini ditandai dengan jumlah individu jenis jenis burung yang tinggi dibeberapa tempat, sedangkan ditempat lainnya sedikit atau tidak ada sama sekali. Hal ini menunjukkan sebagian besar jenis burung yang didapatkan merupakan jenis burung yang hidupnya suka mengelompok Gagak Banggai A Pola penyebaran spasial dan preferensi habitat Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Morisita, diketahui gagak banggai menyebar secara berkelompok (Ip>0) di Pulau Peleng. berdasarkan hasil pengamatan Sedangkan di lapangan, diketahui gagak banggai hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tropis (Tabel 8). Pada tipe habitat lainnya gagak banggai tidak dijumpai, sehingga dapat dipastikan bahwa pada penelitian ini gagak banggai hanya memilih tipe habitat hutan tropis sebagai habitatnya. Tabel 8 Jumlah individu gagak banggai pada empat tipe habitat di Pulau Peleng No Tipe Habitat Jumlah 1 Hutan Musim 0 2 Daerah Rawa 0 3 Hutan Mangrove 0 4 Hutan Tropis 15 Jumlah 15 B Asosiasi interspesifik gagak banggai dengan gagak hutan Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat terdapat asosiasi antara gagak banggai dengan gagak hutan (Lampiran 6). Dari hasil penelitian diketahui gagak banggai menempati tipe habitat yang tidak dihuni oleh gagak hutan (Tabel 9).

58 42 Tabel 9 Keberadaan jenis gagak banggai dan gagak hutan di empat tipe habitat di Pulau Peleng No Tipe Habitat Jenis burung Gagak banggai Gagak hutan Asosiasi 1 Hutan Musim 0 13 Negatif 2 Daerah rawa 0 2 Negatif 3 Hutan mangrove 0 13 Negatif 4 Hutan tropis 15 0 Negatif Total Pembahasan Komunitas Burung Komposisi jenis Sebanyak 77 jenis burung ditemukan di Pulau Peleng. Jumlah jenis burung ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo et al. (2006) yang menemukan sebanyak 109 jenis burung. Terdapat 52 jenis burung yang tidak ditemukan kembali pada penelitian ini, namun terdapat pula 20 jenis burung yang belum pernah tercatat pada penelitian sebelumnya (Lampiran 3). Dengan hasil penelitian ini, daftar jenis-jenis burung di Pulau Peleng bertambah menjadi 129 jenis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyaknya tipe habitat yang diamati. Pada penelitian ini dilakukan pada empat tipe habitat, sedangkan survei sebelumnya di lakukan pada lima tipe habitat dengan memasukkan areal persawahan sebagai objek pengamatan. Pada penelitian ini tipe habitat sawah tidak dimasukkan sebagai objek penelitian, karena tidak termasuk kategori tipe habitat alami. Menurut Welty (1988) keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Karena habitat beragam akan menyediakan sumberdaya yang cukup, baik sebagai tempat untuk mencari makan, berlindung dan berkembang biak. Selain dari faktor perbedaan jumlah tipe habitat yang diamati, juga diduga disebabkan oleh faktor perbedaan waktu penelitian maupun perbedaan kondisi lingkungannya. Dari 77 jenis burung yang ditemukan terdapat 15 jenis atau 20% diantaranya merupakan jenis burung yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun Dua jenis diantaranya merupakan jenis yang masuk kategori NT (Near Threatened)

59 43 berdasarkan kriteria IUCN (International Union for Conservation of Nature), dua jenis masuk kategori VU (Vulnerable) dan satu jenis masuk dalam kategori CR (Critically Endangered). Dan sebanyak 11 jenis tercatat dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Semua jenis yang tercatat dalam CITES masuk dalam kategori Appendix II. Apendix II merupakan kategori jenis yang statusnya belum terancam punah, tetapi apabila dieksploitasi berlebihan akan terancam punah. Dari seluruh jenis yang masuk dalam kategori Redlist IUCN, terdapat dua jenis yang masuk kategori Critically Endangered (satu jenis) dan Near Threatened (satu jenis) yang belum dilindungi oleh pemerintah. Kedua jenis tersebut merupakan jenis burung endemik Kepulauan Banggai, yang juga burung penetap di Pulau Peleng. Tidak dimasukkannya kedua jenis tersebut dalam CITES, mengakibatkan perdagangan kedua jenis burung tersebut belum diatur, sehingga dapat diperjualbelikan secara bebas. Hal tersebut dapat mengakibatkan kepunahan kedua jenis burung tersebut. Saat ini kedua jenis burung tersebut berada dalam tekanan akibat dari pembukaan lahan di Pulau Peleng. Burung raja perling sula yang pada survei sebelumnya (Mallo et al. 2006), masih dapat dijumpai pada areal dekat dengan permukiman, namun pada penelitian ini sangat sulit ditemukan kembali, kecuali pada hutan musim yang agak jauh dari permukiman dengan jumlah populasi yang kecil. Sedangkan burung gagak banggai yang penyebarannya hanya terbatas pada bagian barat Pulau Peleng, juga semakin terdesak keberadaannya akibat pembukaan lahan untuk permukiman maupun perkebunan. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemukan jenis burung. Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 42 jenis burung. Sedangkan tipe habitat hutan musim merupakan tipe habitat dengan jumlah jenis burung yang paling kurang ditemukan, yaitu hanya sebanyak 30 jenis. Tingginya jumlah jenis burung pada tipe habitat hutan tropis diduga disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

60 44 1. Luas tipe habitat. Jumlah jenis burung serta keanekaragamannya akan semakin meningkat sesuai dengan luas habitat (Wiens 1992; Galli et al. 1976). Di lokasi penelitian, tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang relatif lebih luas dengan kualitas yang masih baik, kualitas habitat tersebut dapat dilihat pada tingkat gangguan manusia yang relatif masih kecil pada tipe habitat ini. 2. Struktur dan keanekaragaman jenis vegetasi. Dilihat dari profil tumbuhannya, semua jenis pohon yang ada pada tipe habitat hutan tropis memiliki jenis pohon yang tinggi, tajuk-tajuk yang tinggi dan penutupan tajuk yang berlapis-lapis. Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat pada suatu habitat. Hal ini disebabkan karena komposisi jenis vegetasi yang beragam cenderung mempunyai kemampuan untuk menarik lebih banyak burung. Selain itu, makin kompleks dan beragam serta penutupan tajuk pohon yang rapat pada suatu tipe habitat dapat menyebabkan meningkatnya jenis dan populasi burung (Tomoff 1974). Faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah jenis burung yang dijumpai pada tipe habitat hutan musim, diakibatkan oleh kondisi habitat yang lebih dekat dengan permukiman, maupun dekat dengan tempat aktivitas manusia yang cukup intensif dalam mengolah lahan maupun mengambil kayu bakar, sehingga menyebabkan habitat burung semakin berkurang dan terfragmentasi. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi jenis burung pada tipe habitat hutan musim, yang didominasi oleh jenisjenis burung yang sangat adaptif terhadap kehadiran manusia yaitu brinji emas, kacamata dahi hitam, burung madu sriganti dan burung madu hitam. Menurut Prawiradilaga (1990), penurunan keanekaragaman burung berkaitan erat dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama sumber daya lahan dan sumber daya hayati. Perubahan dalam suatu landskap sebagai akibat pengaruh manajemen manusia selalu mempunyai konsekuensi terhadap komposisi dan kelimpahan jenis-jenis burung. Perubahan kondisi habitat akibat fragmentasi seperti peningkatan nest predation, nest parasite, serta peningkatan aktivitas predator di sekitar daerah tepi

61 45 akan mempengaruhi komunitas burung pada area yang mengalami fragmentasi. (Watson et al. 2005). Menurut Herket (1994), fragmentasi habitat merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan komunitas burung. Dampak fragmentasi terhadap jenis burung adalah dapat mengurangi jumlah individu, ukuran populasi dan perubahan pola pergerakan (Dixon et al. 2007). Penurunan kualitas, modifikasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman yang berarti bagi jenis-jenis burung. Saat ini diketahui sekitar 50 % burung di dunia terancam punah karena menurunnya kualitas dan hilangnya habitat (Shannaz et al. 1995). Pada lokasi penelitian, terdapat 13 jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat. Sembilan jenis hanya ditemukan pada tiga tipe habitat, sembilan jenis hanya ditemukan pada dua tipe habitat. Sedangkan sisanya, sebanyak 46 jenis burung hanya dijumpai pada satu tipe habitat saja. Jenis jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat, dimungkinkan karena jenis burung tersebut memiliki penyebaran yang luas sehingga mudah beradaptasi dengan tipe habitat yang berbeda. Menurut Adhikerana (1997) penyebaran burung dalam suatu area berhubungan erat dengan tipe-tipe habitatnya. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kehadiran jenis burung pada satu habitat tertentu, disebabkan oleh hasil pemilihan (seleksi) karena habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Ketersediaan makanan dalam habitat yang ditempati, merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran jenis burung (Krebs 1978). Dari 13 jenis burung yang terdapat pada semua tipe habitat di lokasi penelitian, empat jenis diantaranya merupakan jenis dominan dengan jumlah populasi besar yang lebih dari 50 individu, yaitu: brinji emas (97 individu), kacamata dahi hitam (84) dan tepekong jambul (72). Ketiga jenis burung tersebut merupakan burung pemakan serangga. Banyaknya jumlah populasi keempat jenis tersebut dibandingkan dengan jenis-jenis burung yang lain, lebih disebabkan oleh pola hidup dan sumber makanan yang melimpah bagi keempat jenis burung tersebut, walaupun pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan data makanan, tetapi dari kelompok guild yang didominasi oleh kelompok pemakan serangga, dapat diketahui bahwa sumber makanan berupa serangga lebih banyak dibandingkan sumber makanan lainnya.

62 46 Menurut Wong (1986), besarnya jumlah individu pada suatu guild, berkorelasi dengan sumberdaya yang dibutuhkan oleh guild tersebut. Selain itu, hal tersebut juga ditunjang oleh kondisi vegetasi yang umumnya belum berbunga atau berbuah, sehingga sumber makanan yang tersedia hanyalah serangga. Keempat jenis burung tersebut walau menempati seluruh tipe habitat yang ada, namun hanya dominan pada tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, sedangkan pada dua tipe habitat lainnya tidak termasuk jenis burung yang dominan. Hal tersebut disebabkan tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat daerah rawa merupakan tipe habitat lahan basah, sehingga jenis jenis serangga yang tersedia merupakan jenis-jenis serangga yang terbang di udara. Jenis yang dominan pada habitat tersebut hanya jenis burung yang sumber makanannya berasal dari serangga yang terbang di udara, yaitu tepekong jambul. Secara keseluruhan, berdasarkan jumlah jenis perfamili, secara umum didominasi oleh famili Columbidae, yang mempunyai jumlah jenis sebanyak 10 jenis dan famili Ardeidae yang mempunyai jumlah jenis sebanyak enam jenis (Tabel 3). Keberadaan kedua famili tersebut disebabkan antara lain karena tipe habitat yang ada di Pulau Peleng, mendukung kebutuhan hidup famili tersebut baik sebagai tempat mencari makan, berlindung maupun berkembang biak. Jenis-jenis dari famili Columbidae lebih banyak dijumpai di tipe habitat hutan tropis yaitu sebanyak tujuh jenis, sedangkan pada tipe habitat lainnya, hanya dijumpai kurang dari empat jenis. Pada semua tipe habitat hanya terdapat dua jenis yang dapat dijumpai pada semua tipe habitat yang diamati, yaitu Ducula aenea dan Ptilinopus melanospila. Famili Ardeidae merupakan famili yang masuk kategori burung air. Di lokasi penelitian, jenis-jenis dari famili ini dijumpai pada dua tipe habitat yaitu tipe habitat daerah rawa dan tipe habitat hutan mangrove, yang merupakan tipe habitat yang berair. Pada masing-masing tipe habitat ditemukan tiga jenis burung yang berbeda. Jenis-jenis burung yang termasuk dalam famili Columbidae merupakan kelompok burung yang umum ditemukan di pulau-pulau. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan dominasi famili Columbidae di pulau-pulau, diantaranya Kepulauan Karimunjawa (Rahayuningsih 2009), Pulau Pasoso (Mallo 1999), Pulau

63 47 Togean (Ramlah 2009), Pulau Seram (Widodo 2006), Pulau Komodo (Imansyah et al. 2002) dan Pulau Banggai (Mallo & Putra 2008b). Menurut Holmes dan Phillips (1996), famili Columbidae merupakan famili burung yang dapat hidup di berbagai habitat dan merupakan komponen utama hutanhutan di Sulawesi. Mempunyai daya jelajah yang luas, mempunyai daya adaptasi yang baik pada lingkungan panas dan dapat bertahan di pulau-pulau kecil. Menurut Beehler et al. (2002) famili Columbidae memiliki penyebaran yang luas tersebar di seluruh dunia, keanekaragamannya tertinggi dan pola warna menyesuaikan dengan habitat yang disukai. Kebanyakan jenis dari famili Columbidae, bersifat nomaden, menyesuaikan diri dengan kelimpahan makanan musiman di berbagai lokasi. Persentase rata-rata jumlah individu perfamili, secara umum didominasi oleh famili Pycnonotidae dan Zosteropidae. Pada penelitian ini famili Pycnonotidae hanya dijumpai satu jenis yaitu Ixos affinis, namun dari hasil survei sebelumnya diketahui terdapat satu jenis lainnya yang tidak ditemukan kembali pada penelitian ini yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster). Sedangkan famili Zosteropidae, hanya dijumpai satu jenis yaitu kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons). Jenis burung ini mengantikan jenis dari famili Zosteropidae (Zosterops chloris) lainnya, yang umum mendominasi pulau dan daratan utama Sulawesi. Meskipun anggota kedua famili tersebut hanya terdiri satu jenis, tetapi kedua jenis tersebut sangat mendominasi di Pulau Peleng. Dominasi famili Pycnonotidae dan Zosteropidae, selain disebabkan oleh perilaku yang adaptif terhadap perubahan habitat maupun terhadap kehadiran manusia, juga disebabkan faktor pola penyebaran kedua famili ini yang luas. Brinji emas (Ixos affinis) menghuni semua habitat yang pohonnya banyak, termasuk hutan, semak dan lahan budidaya. Tersebar dari permukaan laut sampai ketinggian 1830 mdpl. Sedangkan Zosterops atrifrons menghuni hutan primer dan sekunder, hutan yang rusak berat, tepi hutan, semak dan lahan budidaya. Tersebar dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 mdpl (Coates et al. 2000).

64 Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis burung pada setiap tipe habitat menunjukkan adanya perbedaan. Menurut Johnsing dan Joshua (1994) struktur komunitas dan kekayaan jenis burung berbeda antara suatu habitat dengan habitat lainnya. Berdasarkan hasil analisis data terhadap dua tipe habitat, menunjukkan tipe habitat hutan tropis memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi daripada tipe habitat hutan musim. Tipe habitat hutan tropis mempunyai jumlah jenis yang tinggi dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1998), bahwa umumnya keanekaragaman mengarah kepada keanekaragaman jenis, yang pengukurannya melalui jumlah jenis dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort 1981). Selain berkaitan dengan jumlah jenis burung pada suatu tipe habitat, tingginya keanekaragaman jenis burung pada suatu tipe habitat juga dipengaruhi oleh kemerataan jenis dari tipe habitat tersebut. Tipe habitat hutan tropis mempunyai indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis yang tinggi dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim (Tabel 7). Menurut Kartono (2006) keanekaragaman jenis terkait dengan kekayaan jenis dan kemerataan kelimpahan jenis. Nilai kemerataan (E) yang tinggi menunjukkan tidak ada jenis burung secara tunggal yang dominan (Wiens 1992). Rahayuningsih (2009) menyatakan bahwa nilai kemerataan yang tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu jenis burung pada suatu tempat hampir merata, tidak ada dominasi jenis burung yang sangat menonjol. Hal yang sama dikemukakan oleh Gray (1981), bahwa tinggi rendahnya indeks keanekaragaman komunitas, tergantung pada banyaknya jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Jika jumlah jenis banyak dan jumlah individu masingmasing jenis hampir merata maka indeks keanekaragaman akan semakin tinggi. Tingginya keanekaragaman jenis burung pada tipe habitat hutan tropis, disebabkan oleh faktor ketersediaan makanan dan kompleksitas vegetasi. Pada tipe habitat hutan tropis sumber makanan bervariasi, serangga merupakan sumber

65 49 makanan yang melimpah selain buah dan nektar. Walau belum masuk musim berbunga dan berbuah namun, beberapa jenis tumbuhan mulai berbunga dan berbuah. Menurut Dempster (1975), keanekaragaman satwa dipengaruhi oleh komposisi jenis tumbuhan yang ada yang merupakan sumber makanan bagi satwa. Dari faktor vegetasi, tipe habitat hutan tropis mempunyai sifat-sifat vegetasi yang mendukung kehidupan burung, berupa keanekaragaman jenisnya, kerapatan populasi dan kerapatan tajuk-tajuknya. Keanekaragaman jenis burung berhubungan dengan banyaknya lapisan tajuk tumbuhan di suatu ekosistem (Helvoort 1981). Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa keanekaragaman jenis burung di suatu tipe habitat, dipengaruhi oleh faktor kompleksitas vegetasi dalam suatu habitat (Karr & Roth, 1971), tingkat kepadatan pohon (Chettri et al. 2005), volume vegetasi (Mills et al.1991), struktur tajuk (Pearson 1975; Patterson et al. 1995; Isacch et al. 2005), komposisi vegetasi (Lalolo et al. 2002) dan ketersediaan makanan (Marsden & Pilgrim 2003). Selain faktor tersebut, tipe habitat hutan tropis relatif kurang mendapat gangguan dari manusia, sehingga kualitas habitat masih baik. Berdasarkan hasil uji t dapat diketahui, bahwa walaupun indeks keanekaragaman jenis menunjukkan terdapat perbedaan diantara semua tipe habitat yang diteliti, namun dari hasil uji statistik diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara signifikan Komposisi guild Secara keseluruhan kelompok guild pemakan serangga, merupakan kelompok yang mendominasi pada seluruh tipe habitat yang diteliti, baik dari segi jumlah jenis maupun jumlah kelimpahan individu. Tipe habitat hutan mangrove merupakan tipe habitat yang mempunyai kelompok guild yang lebih banyak, namun jumlah jenis dan kelimpahan individu dari masing-masing kategori guild tersebut relatif lebih kecil. Jumlah jenis terbanyak dari kelompok guild yang ada di tipe habitat hutan mangrove, didominasi oleh jenis burung pemakan serangga sambil terbang dan pemakan vertebrata dan invertebrata.

66 50 Wong (1986) menyatakan bahwa jumlah individu di dalam sebuah guild menggambarkan ketersediaan sumberdaya yang mendukungnya, sedangkan jumlah jenis mengambarkan sejauh mana sumberdaya dapat dibagi dengan baik. Oleh karena itu semakin banyak kategori guild di dalam suatu tipe habitat menunjukkan banyaknya ketersediaan sumberdaya yang mendukung kehidupan burung di dalamnya dan juga menunjukan kualitas lingkungan yang baik (Bishop & Myers 2005). Menurut del Rio (2001) kepadatan guild di suatu daerah berhubungan dengan ketersediaan sumber daya. Secara alami, sumber makanan berupa serangga merupakan sumber makanan yang tersedia sepanjang waktu, berbeda halnya dengan sumber makanan berupa buah dan nektar yang dipengaruhi oleh waktu (musim berbuah). Menurut Wong (1986), kelimpahan serangga lebih stabil dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga populasi burung pemakan serangga relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemakan buah atau nektar Kesamaan jenis Analisis data menunjukkan tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, memiliki kesamaan jenis sebesar 36%. Dari 53 jenis yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut, sebanyak 11 jenis (21%) hanya terdapat di tipe habitat hutan musim dan sebanyak 23 jenis (43%) hanya terdapat di tipe habitat hutan tropis, sedangkan sisanya sebanyak 19 jenis (36%) terdapat di dua tipe habitat tersebut. Nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan, bahwa burung yang ada di tipe habitat hutan musim dapat pula ditemukan di tipe habitat hutan tropis. Jenis-jenis burung yang ditemukan pada kedua tipe habitat, merupakan jenis-jenis burung yang mempunyai pola penyebaran yang luas dan adaptif terhadap gangguan maupun aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis burung ini dapat menempati hampir semua habitat yang ada. Sedangkan jenis-jenis burung yang hanya terdapat pada salah satu tipe habitat, lebih disebabkan jenis-jenis burung tersebut peka terhadap gangguan, sehingga cenderung hanya menempati habitat yang masih baik dan belum terganggu. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang masih baik dan relatif belum

67 51 terganggu. Pada tipe habitat ini dapat dijumpai banyak jenis burung yang tidak dijumpai pada tipe habitat hutan musim. Tipe habitat hutan tropis memiliki struktur vegetasi berupa kepadatan dan tutupan tajuk yang baik dan komposisi vegetasi yang beragam yang merupakan faktor pendukung kehidupan burung (Dicson et al. 1979) Pola penyebaran Secara keseluruhan pola penyebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%). Pola sebaran yang bersifat mengelompok, ditandai dengan jumlah individu burung yang tinggi di beberapa tempat, sedangkan di tempat lainnya sedikit. Menurut Indriyanto (2006), pola penyebaran berkelompok pada suatu populasi yang umum terjadi di alam, hal ini berlaku bagi tumbuhan maupun hewan. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis burung yang ditemukan merupakan jenis burung yang pola hidupnya mengelompok. Selain itu, diduga disebabkan banyaknya ketersediaan sumber daya makanan dan kondisi tipe habitat yang cocok bagi kehidupan jenis-jenis burung tersebut. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), pola sebaran acak dari individu-individu populasi suatu jenis menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu dan atau adanya perilaku non selektif dari jenis yang bersangkutan dalam lingkungan hidupnya. Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu, sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput, sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya.

68 Gagak Banggai Gagak banggai merupakan jenis burung endemik di Kepulauan Banggai (Gambar 2). Burung ini diketahui hanya berdasarkan dua spesimen yang dikoleksi oleh Rothschild dan Hartert dari suatu tempat yang tidak diketahui dengan pasti letaknya di Kepulauan Banggai selama rentang waktu tahun (Coates et al. 2000). Laporan atau informasi mengenai keberadaan gagak banggai selama ini, hampir tidak ada sama sekali, sehingga keberadaannya di habitat aslinya diragukan, bahkan diduga telah punah. Saat ini, Birdlife memasukkan jenis burung ini dalam kategori kritis (Critically endangered). Jenis yang masuk kategori kritis merupakan jenis yang dalam waktu 10 tahun menghadapi resiko kepunahan sebesar 50%. Informasi keberadaan gagak banggai di habitat aslinya dapat diketahui dengan ditemukannya sepasang gagak banggai dari Pulau Peleng tahun 2007 (Mallo & Putra 2007). Tahun berikutnya kembali dilakukan survei habitat dari gagak banggai yang dijumpai sebelumnya untuk mengetahui habitat yang digunakan dan penyebaran gagak banggai. Dari hasil survei tersebut diketahui gagak banggai tidak dijumpai di Pulau Banggai (Mallo & Putra 2008a) Asosiasi intraspesifik gagak banggai dan gagak hutan Di Pulau Peleng burung gagak banggai tidak hidup sendiri, namun membentuk komunitas yang terdiri atas banyak jenis burung lainnya. Pada lokasi penelitian, selain gagak banggai juga terdapat jenis lain dari genus yang sama yaitu gagak hutan (Corvus enca). Dari empat tipe habitat yang diteliti, tiga tipe habitat diantaranya ditempati oleh gagak hutan yaitu tipe habitat hutan musim, tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat daerah rawa. Sedangkan satu tipe habitat lainnya yaitu tipe habitat hutan tropis ditempati oleh gagak banggai. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara gagak banggai dan gagak hutan. Gagak banggai menempati tipe habitat yang tidak dihuni oleh gagak hutan, demikian pula sebaliknya gagak hutan menempati tipe habitat yang tidak dihuni gagak banggai.

69 53 Walaupun ada kecenderungan pada penelitian ini, gagak hutan dan gagak banggai saling menempati daerah yang tidak dihuni oleh salah satu dari kedua jenis tersebut, tetapi pada tempat lain di Pulau Peleng dilaporkan gagak banggai menempati satu habitat secara bersamaan dengan gagak hutan. Gagak banggai yang mempunyai daya adaptasi yang rendah, berada di tipe habitat yang masih lebat dan gagak hutan yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi cenderung beradaptasi dengan lingkungan yang terbuka, bahkan di sekitar permukiman masih dapat dijumpai gagak hutan. Gagak banggai cenderung menempati habitat hutan yang masih lebat, disebabkan gagak banggai merupakan jenis burung yang sensitif dengan kehadiran manusia dan cenderung tergantung pada hutan yang lebat (Mallo & Putra 2007). Gagak banggai membutuhkan habitat hutan yang lebat untuk menghindari manusia maupun elang sebagai predatornya. Pada seluruh lokasi penelitian terdapat lima jenis elang dan pada hutan tropis dijumpai sebanyak tiga jenis. Jumlah tersebut kurang dari hasil penelitian sebelumnya yang menjumpai 16 jenis elang pada seluruh tipe habitat di Pulau Peleng (Mallo et al. 2006). Selain itu gagak banggai sangat membutuhkan hutan yang lebat sebagai tempat berkembangbiaknya, gagak banggai memilih pohon yang tinggi (tinggi bebas cabang terendah 19 m) dan lebat sebagai tempat bersarangnya (Mallo & Putra 2007). Pohon yang rimbun dan tinggi tersebut berfungsi menjaga anak gagak banggai dari predator; telur dan anak gagak banggai sukar terlihat karena terlindungi oleh rimbunnya pohon. Menurut Alikodra (1990), habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Lebih lanjut Alikodra menyatakan, bahwa struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung yang berperan sebagai tempat persembunyian (hiding cover). Bagi satwaliar yang dimangsa, kerapatan vegetasi berfungsi memudahkan untuk mengenali pemangsa dan sekaligus memudahkan untuk melakukan persembunyian.

70 Preferensi Habitat Hasil analisis data menunjukkan, bahwa gagak banggai hanya memilih tipe habitat hutan tropis sebagai habitatnya, namun pemilihan tersebut, bukan berarti gagak banggai menyukai sepenuhnya tipe habitat tersebut sebagai habitatnya, namun karena tipe habitat tersebut merupakan satu-satunya habitat yang masih mempunyai hutan yang lebat. Mallo dan Putra (2007), melaporkan gagak banggai dapat dijumpai pada daerah dataran rendah. Diduga konversi lahan pada dataran rendah menjadi tempat permukiman dan perkebunan, menjadikan gagak banggai berpindah ke tipe habitat lain. Konversi lahan secara drastis telah mengubah habitat, menjadikan habitat menjadi menyempit dan terfragmentasi, menyebabkan penurunan fungsi habitat sebagai pelindung untuk gagak banggai, serta intensitas aktifitas manusia semakin tinggi. Hal tersebut mengakibatkan gagak banggai terdesak hidupnya pada daerah dataran yang agak tinggi, namun konversi lahan yang terus terjadi menyebabkan gagak banggai terdesak ke arah dataran yang lebih tinggi lagi. Saat ini gagak banggai hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis yang berada pada ketinggian 1000 mdpl. Menurut Waltert et al. (2004) perubahan vegetasi akan berdampak pada kondisi habitat secara keseluruhan. Habitat yang terbentuk akibat penggunaan lahan, sangat mempengaruhi komunitas burung yang menempatinya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau pindah ke tempat lain (Indriyanto 2006). Pemilihan tipe habitat hutan tropis sebagai satu-satunya tipe habitat dijumpai gagak banggai, disebabkan tipe habitat hutan tropis memiliki jumlah jenis tumbuhan yang banyak dengan kerapatan yang tinggi. Menurut Blake dan Hoppes (1986) burung memilih habitatnya berdasarkan pada vegetasi. Selain itu, pada tipe habitat ini aktivitas manusia juga masih kurang. Kurangnya aktivitas manusia pada tipe habitat ini, dikarenakan tipe habitat ini berada pada dataran tinggi dengan kondisi daerah yang cukup curam sehingga sulit dijangkau oleh manusia. Menurut MacKinnon et al. (1997) medan yang sangat sulit di daerah hutan pegunungan untuk

71 55 dapat dirambah oleh manusia, menyebabkan untuk sementara menjadi kawasan yang baik bagi jenis-jenis burung. Kondisi yang berbeda terdapat pada ketiga tipe habitat lainnya yang diteliti. Pada tipe habitat musim, aktivitas manusia sangat tinggi akibat dibukanya jalan raya, pembukaan jalan raya tersebut juga mengakibatkan fragmentasi habitat. Pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan dan sebagai kayu bakar dengan mengambil kayu yang berdiameter besar, juga mengakibatkan hutan musim hanya memiliki pohon yang berdiameter kecil dan habitat menjadi lebih terbuka. Kondisi tersebut bisa menjadi ancaman, karena gagak banggai dapat dengan mudah dimangsa oleh elang sebagai predatornya. Kondisi pada tipe habitat daerah rawa, tidak berbeda dengan kondisi tipe habitat hutan musim. Pada tipe habitat ini intensitas manusia sangat tinggi, dikarenakan tipe habitat ini berdekatan dengan kebun maupun permukiman masyarakat. Selain itu, tipe habitat ini kondisinya sangat terbuka akibat adanya rawa. Pada tipe habitat hutan mangrove, meskipun mempunyai diameter tumbuhan agak besar dan vegetasinya lebih rapat dibandingkan tipe habitat hutan musim dan daerah rawa, namun gagak banggai tidak memilih tipe habitat ini sebagai habitatnya. Diduga tingginya aktivitas manusia di tipe habitat ini menjadikan tipe habitat ini tidak dipilih. Tipe habitat ini merupakan jalur transportasi nelayan menuju ke laut dan merupakan tempat pengambilan ketam oleh masyarakat. Selain itu tipe habitat ini tidak terlalu berjauhan dengan jalan raya dan permukiman. Pemilihan tipe habitat hutan tropis juga disebabkan karena tipe habitat ini, fungsinya sebagai tempat perlindungan masih sangat baik, sehingga faktor utama pemilihan tipe habitat hutan tropis lebih dikarenakan fungsi habitat sebagai tempat berlindung. Sedangkan fungsi habitat sebagai tempat mencari makan hanya sebagai faktor pendukung saja, karena gagak banggai merupakan jenis burung pemakan segalanya (omnivore), sehingga gagak banggai dapat mendapatkan makanannya dimana saja. Menurut Verner (1981) bahwa jenis-jenis burung menyeleksi suatu habitat tertentu yang sesuai bagi dirinya dan hal ini meliputi beberapa sumber seperti

72 56 makanan, tempat bersarang, tempat bernyanyi, tempat berlindung, ketersediaan air, bahan-bahan untuk pembuatan sarang, tempat mengintai mangsa dan sifat daerah atau vegetasi Pola Penyebaran Hasil analisis menunjukkan gagak banggai hidup berkelompok di Pulau Peleng. Hal ini ditandai dengan jumlah individu gagak banggai yang tinggi tipe habitat hutan tropis, sedangkan pada tipe habitat lainnya tidak ada sama sekali. Di alam, secara alami gagak banggai hidup berpasangan. Hutan tropis merupakan satusatunya tipe habitat yang relatif belum terganggau dibanding tiga tipe habitat lainnya. Gagak banggai cenderung menyukai tipe habitat yang belum terganggu dan jauh dari aktivitas manusia. Menurut Peterson (1980) penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidupnya, kompetisi dan beberapa faktor lainnya. Kondisi tipe habitat selain tipe habitat hutan tropis, telah rusak dan terfragmentasi, sehingga populasi gagak banggai hanya terkosentrasi pada tipe habitat hutan tropis yang masih baik. Menurut Tarumingkeng (1994), pola penyebaran merupakan strategi individu maupun kelompok organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Pemilihan habitat ini, sesuai dengan pendapat Krebs (1978), yang menyebutkan bahwa tidak adanya jenis tertentu di suatu tempat dapat disebabkan oleh perilaku seleksi (habitat selection) Implikasi Konservasi Pulau Peleng merupakan tempat ibukota baru bagi Kabupaten Banggai Kepulauan, sehingga pembangunan infrastruktur di daerah ini sangat pesat, terutama pada daerah dataran rendah. Pembangunan tersebut mengakibatkan perubahan habitat secara drastis sehingga terjadi pengurangan luas maupun kualitas habitat. Hasil penelitian ini, menunjukkan telah terjadi perubahan komposisi maupun pengurangan jenis burung di daerah dataran rendah akibat pembangunan tersebut.

73 57 Tipe habitat hutan musim merupakan tipe habitat yang mendapat gangguan paling berat. Akibat gangguan tersebut tipe habitat ini semakin menyempit dan terfragmentasi, sehingga komposisi jenis burung pada tipe habitat ini berubah. Jenisjenis burung yang sensitif terhadap perubahan habitat dan kehadiran manusia berpindah ke habitat yang lain, digantikan oleh jenis-jenis burung yang sangat adaptif terhadap perubahan habitat dan gangguan manusia. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa fungsi habitat sebagai tempat berlindung, merupakan salah satu faktor penting bagi jenis-jenis burung yang mempunyai perilaku yang kurang adaptif terhadap gangguan. Habitat yang masih baik, berfungsi sebagai tempat berlindung ketika terjadi ancaman terhadap jenis-jenis burung yang ada. Kondisi berbeda terjadi pada tipe habitat hutan mangrove yang juga terletak pada daerah dataran rendah, namun pada tipe habitat ini masih dihuni oleh jenis-jenis burung yang sensitif terhadap gangguan. Hal tersebut, dikarenakan pada tipe habitat ini diameter tumbuhannya besar dan vegetasinya masih rapat, sehingga fungsi habitat sebagai tempat berlindung masih baik. Dengan demikian untuk kelestarian jenis-jenis burung pada daerah dataran rendah perlu dicadangkan daerah khusus bagi perlidungan bagi jenis-jenis burung yang ada. Dari seluruh jenis burung yang ada, terdapat dua jenis burung yang penting untuk diperhatikan, yaitu gagak banggai dan burung raja perling sula yang merupakan burung endemik di Kepulauan Banggai. Menurut kriteria IUCN raja perling sula masuk kategori rentan (Vulnerable) dan gagak banggai masuk kategori kritis (Critically endangered). Kedua jenis tersebut merupakan jenis endemik di Banggai Kepulauan. Kriteria kritis (Critically endangered) yaitu suatu jenis yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Dalam praktiknya, yang dimasukkan ke dalam golongan ini adalah jenis yang dalam 10 tahun atau tiga generasi memiliki resiko kepunahan lebih besar dari 50%. Sedangkan kriteria rentan (Vulnerable) yaitu suatu jenis dengan resiko punah dalam jangka menengah dan beresiko menjadi genting. Dalam praktiknya yang dimasukkan ke dalam golongan ini adalah jenis yang dalam 100 tahun memiliki risiko kepunahan lebih besar dari 10% (Indrawan et al. 2007).

74 58 Meskipun telah dimasukkan ke dalam kategori tersebut, namun kedua jenis tersebut tidak termasuk dalam kategori CITES dan tidak termasuk jenis satwa yang dilindungi. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui kedua jenis burung tersebut mendapat tekanan di habitatnya. Gagak banggai tersebar secara berkelompok dan hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis, sedangkan raja perling sula telah sulit ditemukan di habitat hutan musim yang merupakan tipe habitat utamanya. Sehingga dengan kondisi demikian, diperkirakan kepunahannya di Pulau Peleng akan semakin cepat jika tidak ada tindakan pelestariannya. Gagak banggai hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis, diduga akibat dari konversi lahan, baik untuk permukiman, perkantoran maupun sebagai ladang masyarakat. Aksi konservasi untuk kedua jenis tersebut sangat diperlukan mengingat secara alami jenis endemik yang berada di kepulauan merupakan jenis yang sangat rentan terhadap kepunahan, serta sepanjang sejarah tingkat kepunahan tertinggi terjadi di kepulauan (Indrawan et al. 2007). Salah satu cara untuk mempertahankan kedua jenis tersebut serta berbagai jenis burung lainnya, yaitu dengan penetapan kawasan konservasi di Pulau Peleng, diutamakan pada tipe habitat hutan tropis yang menjadi habitat terakhir bagi kedua jenis burung tersebut.

75 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang mempunyai jumlah jenis, keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis yang tinggi dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim. Namun berdasarkan hasil uji t indeks keanekaragaman jenis antara tipe habitat hutan tropis dan tipe habitat hutan musim tidak memiliki perbedaan. 2. Tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis mempunyai nilai indeks kesamaan jenis burung sebesar 37%. 3. Pola sebaran jenis burung umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, sebanyak 31 jenis (94%) menyebar berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar acak. Pada tipe habitat hutan tropis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%). 6 Gagak banggai menyebar secara berkelompok di Pulau Peleng dan hanya ditemukan pada tipe habitat hutan tropis. 7 Tidak terdapat asosiasi antara gagak banggai dan gagak hutan di Pulau Peleng. 7.2 Saran Dari hasil penelitian ini diketahui kehidupan jenis-jenis burung di Pulau Peleng telah terganggu, sehingga diperlukan upaya konservasi bagi jenis-jenis burung tersebut, diutamakan untuk menetapkan kawasan konservasi di Pulau Peleng. Mengingat pada daerah ini belum terdapat kawasan konservasi. Dengan adanya kawasan tersebut diharapkan kelestarian jenis-jenis burung dapat terjaga. Di Pulau Peleng diketahui terdapat burung gagak banggai yang baru diketahui keberadaannya di habitat alaminya, yang masuk kategori kritis dan hanya dijumpai di tipe habitat hutan tropis. Sehingga perlu dilakukan berbagai penelitian lanjutan mengenai berbagai aspek ekologi, terutama populasinya untuk

76 60 memperbanyak data mengenai jenis burung ini. Selain itu perlu diusulkan agar jenis burung ini dapat segera dilindungi dengan peraturan perundangan.

77 DAFTAR PUSTAKA Adhikerana AS Komunitas burung di delapan tipe habitat di Pulau Siberut, Indonesia. Berita Biologi 4(1):1 6. Aleixo A Effect of selective logging on a bird community in the Brazilian Atlantic forest. Condor 101: Alikodra HS Pengelolaan satwa liar. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Beehler BM, Pratt TK, Zimmerman DA Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Papua (Papua, Papua Nugini dan pulau-pulau satelitnya). Bogor: Birdlife-Indonesia Programme. [BirdLife International] Metode Praktis Pengenalan Jenis Burung. Bogor: Birdlife International-IP. Blake JG, Hoppes WG. (1986). Influence of resource abundance on use of treefall gaps by birds in an isolated woodlot. The Auk 103: Bishop JA, WL Myers Associations between avian functional guild response and regional landscape properties for conservation planning. Ecological Indicators 5: [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banggai-Kepulauan dalam Angka. Palu: Badan Pusat Statistik. Chettri N, Debes C, Eklabaya S, Rodney J The Relationship between bird communities and habitat: a study atekking corridor in the Ikkim Himalaya. Mountain Research and Development 25: Coates BJ, Bishop KD, Gardner D Panduan Lapangan Burung-burung di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Kartikasari SN, Tapilatu MD, Rini D, penerjemah; Bogor : Birdlife Indonesia Programmed dan Dove Publication. Terjemahan dari: A Guide to the Bird of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas and the Lesser Sunda Islands, Indonesia). Connel TJ, Laura ES, Robert PB Bird guild as indicator of ecological condition in the central Appalachians. Ecological Application 10: del Rio PCM The abundance of four bird guilds and their use of plant in a Mexican dry forest-oak woodland gradient in two contrasting seasons. Huitzil 2:3-14. Dempster JP Animal Population Ecology. London: Academic Press. Dicson JG, Conner RN, Fleet RR, Croll JC, Jacson JA The Role of Insectivorous Birds in Forest Ecosystem. New York: Academic Press.

78 62 Dixon JD, Oli MK, Wooten MC, Eason TH, McCown JW, Cunningham MW Gebetic consequences of habitat fragmentation and loss: The case of the florida black bear (Ursus americanus floridanus). Conservation genetic 8 (2): Fleming TH How do fruit and nectar feeding birds and mammals track their food resources. In: Hunter, M.D., Takayuki O., and Peter W. Price, editor. Effects of resource distributions on animal-plant interaction. New York: Academic press. Inc. Pp Galli AE, Leck CF, Forman RTT Avian distribution pattern in forest island of different sizes in Central New Jersey. Auk 119: Gray JS The Ecology of Marine Sediments. An Introduction to the Structure and Function of Benthic Communities. Florida: Cambridge University Press. Haslem A, Bennett AF Bird in agricultural mosaics: the influence of landscape pattern and countryside heterogeneity. Ecological application 18: Helvoort VB A study on bird population in the rural ecosystem of West Java, Indonesia a semi quantitative approach. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningen-The Nederland. Herket JR The effects of habitat fragmentation on the midwestern grassland communities. Ecological Aplications 4: Hernowo JB, Prasetyo LB Konsepsi ruang terbuka hijau sebagai pendukung kelestarian burung. Media Konservasi Vol II (4):61-7. Hobson KA, Bayne E Effects of forest fragmentation by agriculture on avian communities in the southern boreal mixedwood of western Canada. Wilson Bulletin 112: Holmes D, Philips K The Bird of Sulawesi. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Imansyah MJ, Purwandana D, Rudiharto H, Jessop T Survey potensi hidupan liar terestrial di Pulau Komodo, Taman Nasional Komodo. Zoological Society of San Diego/The Nature Conservancy/Taman Nasional Komodo. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J Jakarta: Yayasan Obor. Indriyanto Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Biologi konservasi Edisi Revisi. Isacch JP, Maceirac NO, Boa MS, Demari ad MR, Peluce S Bird-habitat relationship in semi-arid natural grassland and exotic pastures in the West Pampas of Argentina. Journal of Arid Environments 62: Johnsing AJT, Joshua J Avifauna in three vegetation types on Mundathurai Plateu, south India. Journal of tropical Ecology 10:323.

79 63 Karr JR Structure of avian communities in selected Panama and Illinois habitats. Ecologycal Monographs. Karr JR, Roth RR Vegetation structure and avian diversity in several New World Areas. Am. Nat. 105: Karr JR, Isaac JS, Michele D Bottom-up versus top-down regulation of vertebrate population: lesssons from birds and fish. In: Hunter MD, Takayuki O, Peter WP, editor. Effects of resource distribution on animal-plant interaction. New York. Academic Pres, Inc. Pp Kartono AP Diktat Ekologi Kuantitatif. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Kaspari M Taxonomic level, trophy biology and the regulation of local abundance. Global Ecology and Biogeography 10: Krebs CJ The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second edition. New York: Harper & Row Publisher. Krebs JR Ecological methodology. New York: Harper Collins Publisher. Lalolo P, Caprio E, Rolando A Effects of logging and non-native tree proliferation on the birds overwintering in the upland forest of North-Western Italy. Forest Ecology and Management 179: Lambert FR The consequences of selective logging for bornean lowland forest birds. Condor 94: Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology: A primer on methods and computing. New York: John Wiley & Sons. MacKinnon J Panduan Lapangan Burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. MacKinnon J, Phillips K, van-balen B Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. Mallo FN Burung-burung di Pulau Pasoso Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Palu: Tidak diterbitkan. Mallo FN, Putra DD, Rahman A, Herlina, Wati, Lilis Status Gagak Banggai Corvus unicolor di Pulau Peleng, Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Tidak diterbitkan. Mallo FN, Putra DD Laporan Survei Gagak Banggai Corvus unicolor di Pulau Peleng, Kepulauan Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Tidak diterbitkan. Mallo FN, Putra DD. 2008a. Laporan Survei Gagak Banggai Corvus unicolor di Pulau Banggai dan Bagian Timur Pulau Peleng, Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Palu: Tidak diterbitkan. Mallo FN, Putra DD. 2008b. Pengamatan burung di Pulau Banggai dan Pulau Peleng Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Palu: Tidak diterbitkan.

80 64 Marsden SJ, Pilgrim JD Factors influencing the abundance of parrots and hornbills in pristine and disturbed forests on New Britain, PNG. Ibis 145: Mc Naughton SJ, Wolf LL Ekologi Umum (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mills GS, Dunning JB, Jr., Bates JM The relationship between breeding bird density and vegetation volume. Wilson Bulletin 103: Morin PJ Community Ecology. Massachusetts: Blancwell Science. Mueller D, Dombois H, Ellenberg Aims and Methods of Vegetation Ecology. Toronto: Wiley and Sons. Inc. Nazir M Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Novarino W Dinamika jangka panjang komunitas burung strata bawah di Sipisang, Sumatera Barat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Odum EP Fundamental Ecology. Tokyo: Toppan Co. Ltd. Odum EP Dasar-dasar Ekologi, diterjemahkan oleh Samingan T, Srigandono B. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Patterson IJ, Ollason JG, Doyle P Bird populations in upland spruce plantations in Northern Britain. Agriculture. Ecosystems and Environment 112: Pearson DL The relation of foliage complexity to ecological diversity of three Amazonian bird communities. Condor 77: Peterson RT Pustaka Life. Jakarta: Tiara Pustaka. Pettinggill OG, Breckenridge WJ Ornithology in Laboratory and Field. Burgess Publishing Company. Pianka ER Evolutionary Ecology. New York: Harper & Row Publisher. Prawiradilaga DM Potensi burung dalam pengendalian populasi serangga hama. Media Konservasi Vol.III, hal Poole RW An Introduction to Quantitative Ecology. Tokyo: McGraw-Hill Kogahusha Ltd. Price PW Insect ecology. New York: John wiley & Sons. Rahayuningsih M Komunitas burung di Kepulauan Karimunjawa Jawa Tengah: Aplikasi teori biogeografi pulau [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rakotomanana H Negative relationship between relative tarsus and wing lengths in Malagasy rain forest birds. Japanese Journal of Ornithology 47:1-9.

81 65 Ramlah S Potensi ekosistem hutan mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Shannaz J, Jepson P, Rudyanto Burung-Burung yang Terancam Punah di Indonesia. Bogor: Birdlife-Indonesia Programme. Soegianto A Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Usaha Nasional. Sutherland WJ Ecological Cencus Techniques. New York: Cambridge University Press. Tarumingkeng RC Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tommoff CS Avians species diversity in Desert Scrub. Ecology 55: Verner J Measuring Respons of Avian Communities to Habitat Manipulation. California: In Proceedings of an International Symposium Held at Asilomar. Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M Effects of land use on bird species richness in sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18: Watson JEM, Whittaker R, Freudenberger D Bird community responses to habitat fragmentation: how consistent are they across landscapes?. J Biogeography 32: Welty JC, Baptista L The Life of Bird. New York: Sounders College Publishing. Widodo W Kemelimpahan dan sumber pakan burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah. Biodiversitas Vol. 7: Wiens JA The Ecology of Bird Communities. Volume I. Foundation and Patterns. Cambridge: Cambridge University press. Wong M Trophic organization of birds in Malaysian dipterocarp forest. Auk 103:

82 67 Lampiran 1 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung pada masingmasing tipe habitat 1. Tipe habitat hutan musim No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi) E 1 Ixos affinis Pycnonotidae 0, Zosterops atrifrons Zosteropidae 0, Hemiprocne longipenis Apodidae 0, Nectarinia jugularis Nectariniidae 0, Nectarinia aspasia Nectariniidae 0, Collocalia vanikorensis Apodidae 0, Halcyon chloris Alcenidae 0, Corvus enca Corvidae 0, Dicaeum celebicum Dicaedidae 0, Hypothymis azurea Monarchidae 0, Gerygone sulphurea Acanthizidae 0, Hirundo tahitica Hirundinidae 0, Dicrurus hottentottus Dicruridae 0, Lonchura molucca Estrilidae 0, Artamus leucorhynchus Artamidae 0, Ducula aenea Columbidae 0, Ptilinopus melanospila Columbidae 0, Passer montanus Passeridae 0, Centropus bengalensis Cuculidae 0, Turnix suscitator Turnicidae 0, Aplonis panayensis Sturnidae 0, Haliastur indus Acipitridae 0, Oriolus chinensis Oriolidae 0, Eudynamis melanorhynca Cuculidae 0, Avizeda jerdoni Acipitridae 0, Calcophaps stephani Columbidae 0, Spilornis rufipectus Acipitridae 0, Phaenicophaeus calyorhynchus Cuculidae 0, Eurostopodus diabolicus Caprimulgidae 0, Haliaeetus leucogaster Acipitridae 0,0163 H' 2,8692 0,84

83 68 Lampiran 1 Lanjutan 2. Tipe habitat daerah rawa No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi) E 1 Hypothymis azurea Monarchidae 0, Ixos affinis Pycnonotidae 0, Halcyon chloris Halcyonidae 0, Dicrurus hottentottus Dicruridae 0, Zosterops atrifrons Zosteropidae 0, Gerygone sulphurea Acanthizidae 0, Haliastur indus Acipitridae 0, Centropus bengalensis Cuculidae 0, Dicaeum celebicum Dicaedidae 0, Passer montanus Passeridae 0, Nectarinia jugularis Nectariniidae 0, Hirundo tahitica Hirundinidae 0, Ptilinopus melanospila Columbidae 0, Ducula aenea Columbidae 0, Collocalia vanikorensis Apodidae 0, Aplonis panayensis Sturnidae 0, Corvus enca Corvidae 0, Hemiprocne longipenis Apodidae 0, Artamus leucorhynchus Artamidae 0, Ixobrychus cinnamomeus Ardeidae 0, Ardea sumatrana Ardeidae 0, Dendrocygna arcuata Anatidae 0, Loriculus exilis Psittacidae 0, Lonchura malacca Estrilidae 0, Falco moluccensis Falconidae 0, Alcedo meninting Alcenidae 0, Ixobrychus sinensis Ardeidae 0, Treron vernans Columbidae 0, Merops ornatus Meropidae 0, Chrysococcyx minutillus Cuculidae 0, Halcyon sancta Alcenidae 0, Anas querquedula Anatidae 0,04367 H' 3, ,89

84 69 Lampiran 1 Lanjutan 3. Tipe habitat hutan mangrove No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi) E 1 Falco moluccensis Falconidae 0, Ixos affinis Pycnonotidae 0, Nectarinia jugularis Nectariniidae 0, Dicaeum celebicum Dicaedidae 0, Ardea purpurea Ardeidae 0, Halcyon sancta Alcenidae 0, Halcyon chloris Alcenidae 0, Chalcophaps stephani Columbidae 0, Haliastur indus Acipitridae 0, Corvus enca Corvidae 0, Numenius madagascariensis Scolopacidae 0, Aythya australis Anatidae 0, Zosterops atrifrons Zosteropidae 0, Lalage leucopygialis Campephagidae 0, Amaurornis phoenicurus Rallidae 0, Chrysococcyx minutillus Cuculidae 0, Hypothymis azurea Monarchidae 0, Artamus leucorhynchus Artamidae 0, Oriolus chinensis Oriolidae 0, Acrocephalus orientalis Sylvidae 0, Butorides striatus Ardeidae 0, Prioniturus platurus Psittacidae 0, Bubulcus ibis Ardeidae 0, Hirundo tahitica Hirundinidae 0, Gallirallus torquatus Rallidae 0, Phalacrocorax sulcirostris Phalacrocoracidae 0, Halcyon melanorhyncha Alcenidae 0, Ducula aenea Columbidae 0, Ducula bicolor Columbidae 0, Aplonis panayensis Sturnidae 0, Alcedo meninting Alcenidae 0, Gerygone sulphurea Acanthizidae 0,0291

85 70 Lampiran 1 Lanjutan No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi)' E 33 Loriculus exilis Psittacidae 0, Dicrurus hottentottus Dicruridae 0, Eurostopodus diabolicus Caprimulgidae 0, Hemiprocne longipenis Apodidae 0, Actitis hypoleucos Scolopacidae 0, Collocalia vanikorensis Apodidae 0, Ptilinopus melanospila Columbidae 0,1104 H' 3,4212 0,93 4. Tipe habitat hutan tropis No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi) E 1 Ixos affinis Pycnonotidae 0, Centropus bengalensis Cuculidae 0, Nectarinia aspasia Nectariniidae 0, Nectarinia jugularis Nectariniidae 0, Dicaeum celebicum Dicaedidae 0, Halcyon chloris Alcenidae 0, Heindichia calligyna Timalidae 0, Haliastur indus Acipitridae 0, Spizaetus lanceolatus Acipitridae 0, Spilornis rufipectus Acipitridae 0, Corvus unicolor Corvidae 0, Zosterops atrifrons Zosteropidae 0, Pachycephala pectoralis Pachycephalidae 0, Chrysococcyx minutillus Cuculidae 0, Hypothymis azurea Monarchidae 0, Artamus leucorhynchus Artamidae 0, Oriolus chinensis Oriolidae 0, Coracina schistacea Oriolidae 0, Coracina tenuirostris Campephagidae 0, Rhipidura teysmanni Monarchidae 0, Prioniturus platurus Psittacidae 0, Hirundo tahitica Hirundinidae 0, Alisterus amboinensis Psittacidae 0, Pitta erythrogaster Pittidae 0, Ducula aenea Columbidae 0, Ducula forsteni Columbidae 0,0448

86 71 Lampiran 1 Lanjutan No Nama Ilmiah Famili -pi. Ln (pi) E 27 Trichoglossus ornatus Psittacidae 0, Treron griseicauda Columbidae 0, Basilornis galeatus Sturnidae 0, Loriculus amabilis Psittacidae 0, Loriculus exilis Psittacidae 0, Muscicapa griseisticta Muscicapidae 0, Culicicapa helianthea Petroicidae 0, Dicrurus hottentottus Dicruridae 0, Eurostopodus diabolicus Caprimulgidae 0, Hemiprocne longipenis Apodidae 0, Eudynamis melanorhynca Cuculidae 0, Macropygia amboinensis Columbidae 0, Ptilinopus melanospila Columbidae 0, Ptilinopus subgularis Columbidae 0, Ptilinopus superbus Columbidae 0, Cacomantis sepulcralis Cuculidae 0,0325 H' 3,4102 0,91

87 72 Lampiran 2 Komposisi guild pada empat tipe habitat di Pulau Peleng No Guild Jenis burung Hutan musim Daerah rawa Tipe habitat Hutan mangrove Hutan tropis 1 AF Ducula aenea Ducula bicolor 9 Ducula forsteni 3 Eudynamis melanorhynca 3 8 Macropygia amboinensis 3 Ptilinopus melanospila Ptilinopus subgularis 5 Ptilinopus superbus 1 Treron griseicauda 2 Treron vernans 2 2 BGI Coracina schistacea 5 Coracina tenuirostris 15 Lalage leucopygialis 5 3 CAIN Actitis hypoleucos 3 Ardea purpurea 2 Ardea sumatrana 2 Bubulcus ibis 2 Butorides striatus 1 Ixobrychus cinnamomeus 1 Ixobrychus sinensis 1 Phalacrocorax sulcirostris 4 Avizeda jerdoni 2 Falco moluccensis 1 3 Haliaeetus leucogaster 1 Haliastur indus Spilornis rufipectus 2 1 Spizaetus lanceolatus 2 4 CI Alcedo meninting 1 5 Centropus bengalensis Corvus enca Corvus unicolor 15 Halcyon chloris Halcyon melanorhyncha 2 Halcyon sancta 1 1 Phaenicophaeus calyorhynchus 2 5 FCI Artamus leucorhynchus Collocalia vanikorensis Culicicapa helianthea 13

88 73 Lampiran 2 lanjutan No Guild Jenis burung Hutan musim Daerah rawa Tipe habitat Hutan mangrove Hutan tropis Eurostopodus diabolicus Heinrichia calligyna 2 Hemiprocne longipenis Hirundo tahitica Hypothymis azurea Merops ornatus 10 Muscicapa griseisticta 2 Pachycephala pectoralis 9 Rhipidura teysmanni 11 6 IF Passer montanus 6 2 Alisterus amboinensis 7 Aplonis panayensis Basilornis galeatus 16 Dicaeum celebicum Ixos affinis Loriculus amabilis 9 Loriculus exilis Oriolus chinensis Prioniturus platurus 8 18 Trichoglossus ornatus 4 7 IN Gerygone sulphurea Nectarinia aspasia 18 4 Nectarinia jugularis Zosterops atrifrons LGI Pitta erythrogaster 12 9 OM Amaurornis phoenicurus 2 Anas querquedula 1 Aythya australis 2 Dendrocygna arcuata 4 Gallirallus torquatus 2 Numenius madagascariensis 4 10 SE Lonchura malacca 6 Lonchura molucca 9 11 SFGI Acrocephalus orientalis 8 Turnix suscitator 5

89 74 Lampiran 2 lanjutan No Guild Jenis burung Hutan musim Daerah rawa Tipe habitat Hutan mangrove 12 TF Calcophaps stephani TFGI Cacomantis sepulcralis 2 Hutan tropis Chrysococcyx minutillus Dicrurus hottentottus Keterangan: FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN : Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI: Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore.

90 75 Lampiran 3 Perbandingan komposisi jenis burung tahun 2006 dan 2010 di Pulau Peleng No Nama jenis Tahun Actitis hypoleucos 2 Alisterus amboinensis 3 Amaurornis phoenicurus 4 Aplonis panayensis 5 Ardea purpurea 6 Ardea sumatrana 7 Arthamus leucorhynchus 8 Basilornis galeatus 9 Butorides striatus 10 Cacomantis sepulcralis 11 Centropus bengalensis 12 Chrysococcyx minutillus 13 Collocalia vanikorensis 14 Coracina schistacea 15 Coracina tenuirostris 16 Corvus enca 17 Corvus unicolor 18 Culicicapa helianthea 19 Dicaeum celebicum 20 Dicrurus hottentottus 21 Ducula aenea 22 Ducula Forsteni 23 Eorostopodus macrotis 24 Falco moluccensis 25 Gallirallus torquatus 26 Gerygone sulphurea 27 Halcyon chloris 28 Halcyon melanorhynca 29 Haliaeetus leucogaster 30 Haliastur indus 31 Hemiprocne longippenis 32 Hirundo tahitica 33 Hypothymis azurea 34 Ixobrichus cinnamomeus 35 Ixobrichus sinensis 36 Ixos affinis 37 Lonchura malacca

91 76 Lampiran 3 lanjutan No Nama jenis Tahun Lonchura molucca 39 Loriculus amabilis 40 Macropygia amboinensis 41 Merops ornatus 42 Muscicapa griseiticta 43 Nectarinia aspasia 44 Nectarinia jugularis 45 Oriolus chinensis 46 Pachycephala pectoralis 47 Passer montanus 48 Phalacrocorax sulcirostris 49 Pitta erythrogaster 50 Prioniturus platurus 51 Ptilinopus melanospila 52 Ptilinopus subgularis 53 Spilornis rufipectus 54 Spizaetus lanceolatus 55 Treron griseicauda 56 Trichoglossus ornatus 57 Zosterops atrifrons 58 Accipiter soloensis 59 Accipiter griseiceps 60 Alcedo coerulescens 61 Anas gibberifrons 62 Anhinga melanogaster 63 Aplonis mysolensis 64 Apus pasificus 65 Ardeola speciosa 66 Arthamus monachus 67 Cacomantis merulinus 68 Chalcophaps indica 69 Cisticola exilis 70 Collocalia esculenta 71 Coracina sula 72 Coturnix chinensis 73 Dendrocopos temminckii 74 Dicaeum aureolimbatum 75 Ducula Luctuosa

92 77 Lampiran 3 lanjutan No Nama jenis Tahun Ducula radiata 77 Egretta garzetta 78 Egretta intermedia 79 Egretta sacra 80 Eurystomus orientalis 81 Falco longipennis 82 Falco severus 83 Gallinago megala 84 Gallirallus philippensis 85 Gallus gallus 86 Halcyon coromanda 87 Hirundapus caudacutus 88 Hirundo rustica 89 Ictinaetus malayensis 90 Locustella fasciolata 91 Megapodius bernsteinii 92 Mottacila cinerea 93 Mottacila flava 94 Otus magicus 95 Pandion haliaetus 96 Pernis celebensis 97 Pernis ptilorhynchus 98 Phalacrocorax melanoleucos 99 Phalaropus lobatus 100 Porphyrio porphyrio 101 Rhinomyias colonus 102 Scissirostrum dubium 103 Streptopelia chinensis 104 Tachybaptus novaehollandiae 105 Tanygnatus sumatranus 106 Trichastoma celebense 107 Tringa glareola 108 Turacoena manadensis 109 Tyto rosenbergii 110 Acrocephalus orientalis 111 Alcedo meninting 112 Anas querquedula 113 Avizeda jerdoni

93 78 Lampiran 3 lanjutan No Nama jenis Tahun Aythya australis 115 Bubulcus ibis 116 Calcophaps stephani 117 Dendrocygna arcuata 118 Ducula bicolor 119 Eudynamis melanorhynca 120 Halcyon sancta 121 Heinrichia calligyna 122 Lalage leucopygialis 123 Loriculus exilis 124 Numenius madagascariensis 125 Phaenicophaeus calyorhynchus 126 Ptilinopus superbus 127 Rhipidura teysmanni 128 Treron vernans 129 Turnix suscitator

94 79 Lampiran 4 Pola sebaran burung di Pulau Peleng 1. Tipe habitat hutan musim No Jenis burung Id Mu Mc Ip Pola sebaran 1 Eudynamis melanorhynca 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 2 Haliastur indus 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 3 Oriolus chinensis 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 4 Aplonis panayensis 3-0,390 3,611 0,383 Mengelompok 5 Centropus bengalensis 1,2-0,042 2,958 0,051 Mengelompok 6 Turnix suscitator 2,4-0,042 2,958 0,357 Mengelompok 7 Passer montanus 6 0,166 2,567 1 Mengelompok 8 Ptilinopus melanospila 2 0,305 2,306 0,383 Mengelompok 9 Ducula aenea 2 0,305 2,306 0,383 Mengelompok 10 Artamus leucorhynchus 1,429 0,305 2,306 0,164 Mengelompok 11 Dicrurus hottentottus 1,5 0,479 1,979 0,255 Mengelompok 12 Lonchura molucca 2,167 0,479 1,979 0,523 Mengelompok 13 Hirundo tahitica 1,333 0,537 1,870 0,191 Mengelompok 14 Gerygone sulphurea 1,2 0,583 1,783 0,128 Mengelompok 15 Hypothymis azurea 1,2 0,583 1,783 0,128 Mengelompok 16 Dicaeum celebicum 1,364 0,621 1,712 0,255 Mengelompok 17 Corvus enca 1,308 0,653 1,653 0,236 Mengelompok 18 Halcyon chloris 1,187 0,679 1,603 0,155 Mengelompok 19 Collocalia vanikorensis 2,05 0,722 1,522 1,005 Mengelompok 20 Nectarinia aspasia 1,098 0,755 1,461 0,106 Mengelompok 21 Nectarinia jugularis 1,020 0,755 1,461 0,021 Mengelompok 22 Hemiprocne longipenis 2,982 0,884 1,218 0,684 Mengelompok 23 Zosterops atrifrons 1,084 0,920 1,151 0,279 Mengelompok 24 Ixos affinis 1,506 0,939 1,115 0,540 Mengelompok 2. Tipe habitat hutan mangrove No Nama burung Id Mu Mc Ip Pola sebaran 1 Dicaeum celebicum 1-0,390 3,611 0 Acak 2 Dicrurus hottentottus 1 0,479 1,979 0 Acak 3 Ardea purpurea 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 4 Halcyon melanorhyncha 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 5 Amaurornis phoenicurus 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 6 Gallirallus torquatus 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 7 Aythya australis 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 8 Bubulcus ibis 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 9 Halcyon chloris 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok

95 80 Lampiran 4 lanjutan No Nama burung Id Mu Mc Ip Pola sebaran 10 Zosterops atrifrons 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 11 Aplonis panayensis 6-1,085 4,917 1 Mengelompok 12 Calcophaps stephani 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 13 Loriculus exilis 6-1,085 4,917 1 Mengelompok 14 Falco moluccensis 6-1,085 4,917 1 Mengelompok 15 Actitis hypoleucos 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 16 Phalacrocorax sulcirostris 3-0,390 3,611 0,383 Mengelompok 17 Numenius madagascariensis 2-0,390 3,611 0,191 Mengelompok 18 Ixos affinis 1,8-0,042 2,958 0,204 Mengelompok 19 Alcedo meninting 1,2-0,042 2,958 0,051 Mengelompok 20 Chrysococcyx minutillus 1,8-0,042 2,958 0,204 Mengelompok 21 Lalage leucopygialis 2,4-0,042 2,958 0,357 Mengelompok 22 Hypothymis azurea 1,2 0,166 2,567 0,064 Mengelompok 23 Ptilinopus melanospila 2,8 0,166 2,567 0,534 Mengelompok 24 Ducula aenea 1,6 0,166 2,567 0,191 Mengelompok 25 Hemiprocne longipennis 1,429 0,305 2,306 0,164 Mengelompok 26 Artamus leucorhynchus 2,786 0,404 2,119 0,586 Mengelompok 27 Acrocephalus orientalis 1,071 0,404 2,119 0,032 Mengelompok 28 Prioniturus platurus 2,786 0,404 2,119 0,586 Mengelompok 29 Ducula bicolor 1,167 0,479 1,979 0,085 Mengelompok 30 Oriolus chinensis 1,6 0,537 1,870 0,345 Mengelompok 31 Collocalia vanikorensis 1,273 0,621 1,712 0,191 Mengelompok 32 Corvus enca 1,154 0,653 1,653 0,118 Mengelompok 33 Nectarinia jugularis 1,055 0,679 1,603 0,046 Mengelompok 3. Tipe habitat hutan tropis No Nama burung Id Mu Mc Ip Pola sebaran 1 Culicicapa helianthea 1 0,653 1,653 0 Acak 2 Zosterops atrifrons 1 0,819 1,341 0 Acak 3 Artamus leucorhynchus 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 4 Heinrichia calligyna 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 5 Muscicapa griseisticta 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 6 Cacomantis sepulcralis 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 7 Treron griseicauda 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 8 Spizaetus lanceolatus 6-3,169 8,833 0,319 Mengelompok 9 Hirundo tahitica 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 10 Loriculus exilis 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 11 Macropygia amboinensis 2-1,085 4,917 0,128 Mengelompok 12 Ducula forsteni 6-1,085 4,917 1 Mengelompok

96 81 Lampiran 4 lanjutan No Nama burung Id Mu Mc Ip Pola sebaran 13 Nectarinia aspasia 3-0,390 3,611 0,383 Mengelompok 14 Ptilinopus melanospila 3-0,390 3,611 0,383 Mengelompok 15 Trichoglossus ornatus 2-0,390 3,611 0,191 Mengelompok 16 Ptilinopus subgularis 1,800-0,042 2,958 0,204 Mengelompok 17 Coracina schistacea 2,400-0,042 2,958 0,357 Mengelompok 18 Oriolus chinensis 2 0,305 2,306 0,383 Mengelompok 19 Alisterus amboinensis 1,429 0,305 2,306 0,164 Mengelompok 20 Hypothymis azurea 1,071 0,404 2,119 0,032 Mengelompok 21 Dicaeum celebicum 1,071 0,404 2,119 0,032 Mengelompok 22 Eudynamis melanorhynca 1,714 0,404 2,119 0,319 Mengelompok 23 Hemiprocne longipenis 1,286 0,404 2,119 0,128 Mengelompok 24 Pachycephala pectoralis 1,667 0,479 1,979 0,340 Mengelompok 25 Loriculus amabilis 1,667 0,479 1,979 0,340 Mengelompok 26 Rhipidura teysmanni 1,091 0,583 1,783 0,058 Mengelompok 27 Pitta erythrogaster 1,545 0,621 1,712 0,383 Mengelompok 28 Dicrurus hottentottus 1,429 0,702 1,560 0,383 Mengelompok 29 Ducula aenea 1,429 0,702 1,560 0,383 Mengelompok 30 Coracina tenuirostris 1,771 0,702 1,560 0,524 Mengelompok 31 Basilornis galeatus 1,350 0,722 1,522 0,335 Mengelompok 32 Nectarinia jugularis 1,015 0,739 1,490 0,015 Mengelompok 33 Prioniturus platurus 1,490 0,755 1,461 0,503 Mengelompok 34 Ixos affinis 1,105 0,781 1,412 0,128 Mengelompok 4. Pola penyebaran gagak banggai Nama Burung Id Mu Mc Ip POLA SEBARAN Gagak banggai 1,029 0,488 1,345 0,041 Mengelompok

97 82 Lampiran 5 Data biofisik pada empat tipe habitat di Pulau Peleng 1. Tipe habitat hutan musim No Jenis Tumbuhan Famili Diameter Tinggi bebas cabang Ketinggian tempat 1 Melanolepsis multiglandulosa Euphorbiaceae 21 3,4 79 mdpl 28,5 2 Cordia suaviolens Boraginaceae 7,5 1,3 3 Albizia lebbeck Leguminoceae 15,4 4,2 4 Saurauia sp Actinidiaceae 9,2 2,6 5 Garuga floribunda Burseraceae 7,3 1,65 6 Canthium monstrosum Rubiaceae 7,9 1,86 7 Unidentified Unidentified 7,6 2,3 2. Tipe habitat daerah rawa Rata-rata 10,84 2,47 No Jenis tumbuhan Famili Diameter Tinggi bebas cabang Ketinggian tempat 1 Eurya sp. Theaceae 14 3, Anthocephalus chinensis Rubiaceae 11 5,6 3 Lasianthus sp. Rubiaceae 11,7 2,64 4 Metroxylon sagu Palmae 55 3,95 5 Metroxylon sagu Palmae 48 2,5 6 Ficus sp.1 Moraceae 10,5 3 7 Morinda citrifolia Rubiaceae Tipe habitat hutan mangrove Rata-rata 22,89 3,57 No Jenis tumbuhan Famili Diameter Tinggi bebas cabang Ketinggian tempat 1 Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae 10,5 1, Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 5,5 2,15 3 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 6,8 3,25 4 Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae 10,3 2,75 5 Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae 8,4 2,2 6 Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae 22,3 1,5 7 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 9,4 5,25 8 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 9,9 2,1 9 Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae 9,2 1,52 Rata-rata 10,26 2,48 Suhu Suhu Suhu

98 83 Lampiran 5 Lanjutan 4. Tipe habitat hutan tropis No Jenis tumbuhan Famili Diameter Tinggi bebas cabang Ketinggian tempat 1 Buchanania arborescens Anacardiaceae Ardisia sp. Myrsinaceae 10,1 1,53 3 Ardisia sp. Myrsinaceae 17,7 13,25 4 Acalypa caturus Euphorbiaceae 16,4 6,25 5 Lithocarpus celebicus Fagaceae 4,8 13,13 6 Buchanania arborescens Anacardiaceae 13 5,5 7 Ardisia elliptica Myrsinaceae 17 5,15 8 Ardisia sp. Myrsinaceae 38 17,36 9 Acalypa caturus Euphorbiaceae 11,7 7,35 10 Prunus sp. Rosaceae 40,5 15,75 11 Buchanania arborescens Anacardiaceae 19,25 6,5 12 Acalypa caturus Euphorbiaceae 13,9 5,6 13 Ardisia sp. Myrsinaceae 22, Buchanania arborescens Anacardiaceae 19 5,9 15 Acalypa caturus Euphorbiaceae Rata-rata 22,05 9,75 Suhu

99 84 Lampiran 6 Hasil analisis asosiasi interspesifik gagak banggai dan gagak hutan di Pulau Peleng C. unicolor Keberadaan Spesies Ada Tidak ada Jumlah Ada Corvus enca Tidak ada Jumlah E(a) = E(b) = E(c) = E(d) = 2 h = ( a b)( a c) = 3,2 N ( a b)( b d) = 6,8 N ( c d)( a c) = 2,8 N ( c d)( b d) = 6,2 N [ a E( a)] E( a) [ b E( b)] E( b) [ c E( c)] E( c) [ d E( d)] E( d) = 3, , , , = 10, h = 2 N[ ad bc ( N 2) mnrs = 91774, = 13,

100 Lampiran 7 Peta Pulau Peleng 85

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung 21 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung Balak Resort Muara Sekampung Kabupaten Lampung Timur. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat

Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya Oleh : Oki Hidayat Setiap satwaliar tidak dapat lepas dari habitatnya. Keduanya berkaitan erat dan saling membutuhkan satu

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor Tampang untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH

KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Gambar 5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim

Gambar 5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Habitat A Tipe habitat hutan musim Tipe habitat hutan musim terletak pada ketinggian 79 mdpl. Rata-rata suhu harian di tipe habitat ini berkisar 25,8 C (Lampiran

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya Desa Fajar Baru Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000).

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung paruh bengkok termasuk diantara kelompok jenis burung yang paling terancam punah di dunia. Sebanyak 95 dari 330 jenis paruh bengkok yang ada di Indonesia dikategorikan

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang. 14 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang. Lokasi penelitian disajikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat (Gambar 2).

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PARAKASAK Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 9 hari mulai tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci