PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) WAN MANSUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Wan Mansur NIM C

3 SUMMARY WAN MANSUR. Semak Daun Island Aquatic Management Based On The Carrying Capacity in Conservation Coral Reef Ecosystem (Case Study: Water Semak Daun Island Administrative District Thousand Islands). Guided by M. KAMAL MUKHLIS and MAJARIANA KRISANTI. The existing floating cage culture activities in Semak Daun Island waters has enriched organic load to coral reefs ecosystem. The organic load came from food waste that enter the waters. Along with organic waste from various activities on land if not properly controlled lead to eutrophication, causing degradation of coral reefs through increased growth of macroalgae (overgrowth). Coral reef health in Semak Daun Island waters is indispensable for the success of sea ranching activities. It is necessary to study the condition coral reef ecosystems and assess the carrying capacity based on the optimal number of floating cages development activities, there for coral reefs ecosystem in Semak Daun Island waters remain sustain. This study was conducted from May to July The method used in this study is a survey method. Data collected included primary and secondary data. Analysis was done for percentage of coral and macroalgae coverage, herbivorous fish, aquatic productivity, estimation of organic waste and aquatic carrying capacity. Results showed that percentage of live coral coverage at Semak Daun Island waters are categorized moderate by the average percentage coverage of 44.95% and the average percentage cover of macroalgae was 42.24%. Herbivorous abundance is dominated by family Pomacentridae 32,140 individuals/ha. Chemical parameters for nitrate concentrations in the category mesotrofik, with a range of mg/l mg/l. Waste loads estimation of net aquaculture that enter the waters was 1,178.1 Kg/ton/6 months of fish production (N Kg/ton/6 months of fish and P 54.1 Kg/ton/6 months of fish). Estimated of anthropogenic waste load around the Semak Daun Island was 4,167 Kg N/6 months and 1,738.8 Kg P/6 months. Based on N load, the optimal - maximum carrying capacity of Semak Daun Island for grouper floating cages was units ( plot cages) or ha of 9.99 ha area that appropriate for floating cage activities. In addition, based on dissolved oxygen, the optimal - maximum carrying capacity was units ( plot cages) or ha of 9.99 ha area that appropriate for floating cage activities. Keywords: Coral Reef, Organic Waste, Carrying Capacity, Semak Daun Island

4 RINGKASAN WAN MANSUR. Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan MAJARIANA KRISANTI. Aktivitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun memiliki potensi untuk menyumbangkan limbah organik ke ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Limbah organik tersebut berasal dari sisa pakan yang masuk ke perairan. Bersama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan di darat, apabila tidak terkendali dengan baik menyebabkan terjadinya eutrofikasi sehingga terjadi degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth). Kesehatan terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun sangat diperlukan untuk keberhasilan kegiatan sea ranching. Oleh karena itu perlu adanya kajian tentang kondisi ekosistem terumbu karang serta menilai daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung yang dapat di kembangkan, agar ekositem terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun tetap lestari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Menggunakan analisis persentase tutupan karang dan makroalga, analisis ikan herbivor, analisis kesuburan perairan, estimasi limbah organik dan analisis daya dukung perairan. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Semak Daun dikategorikan baik dengan rata-rata persentase tutupan karang 44,95% dan persentase rata-rata tutupan makroalga adalah 42,24%. Kelimpahan ikan herbivor didominasi oleh famili Pomacentridae individu/ha. Konsentrasi parameter kimia untuk nitrat termasuk dalam kategori mesotrofik dengan kisaran 0,136 mg/l 0,364 mg/l. Estimasi beban limbah budidaya jaring apung yang masuk ke perairan Pulau Semak Daun yaitu sebesar 1.178,1 Kg /ton ikan/6 bulan produksi (N 243,9 Kg/ton ikan/6 bulan dan P 54,1 Kg/ton ikan/6 bulan). Estimasi limbah antropogenik dari daratan sekitar Pulau Semak Daun diperoleh KgN /6 bulan dan 1.738,8 KgP /6 bulan. Berdasarkan pendekatan beban limbah N, daya dukung perairan Pulau Semak Daun untuk pengembangan KJA optimal maksimal ikan kerapu adalah unit ( petak KJA) atau 2,8 9,4 ha dari 9,99 ha luasan yang sesuai untuk kegiatan KJA. Berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut, daya dukung perairan untuk pengembangan optimal-maksimal diperoleh unit ( petak KJA) atau 2,3 3,4 ha dari 9,99 ha luasan yang sesuai untuk KJA. Kata kunci: Terumbu Karang, Limbah Organik, Daya Dukung, Pulau Semak Daun

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

6 PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) WAN MANSUR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc

8 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis Nama Mahasiswa : Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) : Wan Mansur Nomor Pokok : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc M.Si Ketua Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Ujian : 07 Januari 2014 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya kepada penulis sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan judul Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna yang telah membantu mendanai sekolah dan penelitian ini serta pengelola Balai Taman Nasional Laut yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Laut. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri dan anak tercinta atas doa dan perhatiannya, serta kepada seluruh teman-teman terima kasih atas masukan dan sarannya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Bogor, Januari 2014 Wan Mansur

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Pengamatan Parameter Lingkungan Pengamatan Kondisi Terumbu Karang dan Makroalga Pengamatan Ikan Herbivor Pengamatan Kesuburan Perairan Pengamatan Kondisi Oseanografi Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Daratan (Antropogenik)(Eksternal Loading) Analisis Data Analisis Persentase Tutupan Karang dan Makroalga Analisis Kelimpahan Ikan Herbivor Analisis Produktivitas Primer Analisis Daya Dukung HASIL PENELITIAN Kondisi Umum dan Oseanografi Perairan Pulau Semak Daun Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Semak Daun Persentase Penutupan Karang Hidup dan Makroalga Kelimpahan Ikan Karang dan Herbivor Kondisi Kesuburan Perairan Estimasi Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Estimasi Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Daratan (Antropogenik)(Eksternal Loading) Pendugaan Daya Dukung Perairan Pulau Semak Daun Untuk Pengembangan KJA Ikan Kerapu ix x xi xii

11 4. PEMBAHASAN Kondisi pola arus terhadap penyebaran limbah budidaya jaring apung dan antropogenik di sekitar terumbu karang Hubungan kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor dalam pengelolaan perairan Pulau Semak Daun Estimasi beban limbah serta daya dukung perairan dalam upaya pengelolaan perairan Pulau Semak Daun KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Yang Diukur Daftar Penggolongan Komponen Dasar Penyususun Ekositem Terumbu Karang Berdasarkan Lifeform Karang dan Kodenya Pengelompokan Ikan Herbivor Jenis Aktifitas dan Koefisien Limbah Pemukiman Jenis Aktifitas dan Koefisien Limbah Peternakan Hasil Pengukuran Rata-rata Parameter Fisika dan Kimia Perairan di Semua Stasiun Pengamatan Persentase Tutupan Karang Hidup Pada Setiap Stasiun Pengamatan Kelimpahan Rata-rata Ikan Herbivor perairan Pulau semak Daun Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Semua Stasiun Pengamatan Perairan Pulau Semak Daun Nilai parameter Penentuan Beban Limbah Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung (KJA) Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari Pakan yang diberikan Pendugaan Beban Limbah Antropogenik Sekitar Perairan Pulau Semak Daun Rekapitulasi Dua Metode Pendekatan Pendugaan Daya Dukung Perairan Pulau Semak Daun untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu... 35

12 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Pemikiran Penelitian: Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang ( Studi Kasus : Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ) Peta Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu Penentuan Titik Lokasi Sampling Metode Pengamatan Terumbu Karang dengan Transek Garis Pencatatan Data Kelimpahan Ikan Herbivor dengan Underwater Visual Census Pola arus perairan Pulau Semak Daun pada Bulan Juni Persentase Komponen Terumbu Karang pada Setiap Stasiun pengamatan Makroalga jenis Turf Alga Pada Stasiun pengamatan II Persentase Tutupan Makroalga pada Setiap Stasiun pengamatan Persentase Tutupan Makroalga berdasarkan Komposisi Kelompok Makroalga di perairan pulau semak Daun Perbandingan Antara Tutupan Terumbu Karang dengan Tutupan Makroalga Kelimpahan Beberapa Ikan Ekonomis Penting di Perairan Pulau Semak Daun Hubungan terumbu karang dengan makroalga, hubungan makroalga dengan kosentrasi nitrat, hubungan ikan herbivor dengan makroalga DAFTAR LAMPIRAN 1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Perhitungan Pendugaan Limbah N dan P yang dihasilkan dari Produksi 1,08 ton Ikan Kerapu Perhitungan Volume Air Laut Melalui Elevasi Pasang Surut Perhitungan Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Limbah N Gambar Lokasi Penelitian... 53

13 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Seribu selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Degradasi sumberdaya alam terutama ekosistem terumbu karang akibat dari pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain menjadi pemicu penurunan produksi tangkapan ikan. Sehingga sebagian besar penduduk akan terperangkap dalam kemiskinan akibat produktivitas sumberdaya yang semakin berkurang dan terjadinya kerusakan lingkungan. Fenomena penurunan produksi tangkapan dan degradasi habitat telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan. Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan sea ranching. Kegiatan sea ranching sudah diprogramkan sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, yang merupakan perpaduan antara mariculture dengan perikanan tangkap. tetapi dalam pelaksanaannya masih sebatas mariculture atau dikenal dengan istilah sea farming (PKSPL 2006). Ikan yang dibudidayakan di sana adalah ikan kerapu bebek dan kerapu macan. Sistem tersebut melibatkan aktivitas keramba jaring apung (marikultur), penangkapan terbatas, perbaikan habitat dan penambahan stok ikan di alam. Untuk saat ini KJA (marikultur) sudah berjalan, sementara penangkapan terbatas, perbaikan habitat dan penambahan stok ikan dalam sistem sea ranching belum dilakukan. Kegiatan sea ranching sendiri adalah suatu kegiatan untuk mengelola sumberdaya dalam usaha menyikapi penurunan produksi tangkapan dengan adanya kegiatan pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi secara geografis atau dengan kata lain proses beternak ikan dilingkungan alaminya atau pelepasan juvenile yang makan dan tumbuh di lingkungan laut yang suatu waktu akan ditangkap kembali (Effendi, 2006; Mustafa 2003; BAPEKAB 2004; Salvanes 2001; Jia dan Chen 2001). Selain masyarakat mendapatkan manfaat secara ekonomi, keseimbangan lingkungan juga terjaga kelestariannya sehingga diharapkan terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan didukung dengan adanya upaya perbaikan habitat terumbu karang (Mokness dan Stole 1997). Sea ranching berbeda dengan mariculture, namun dalam pelaksanaannya ada tahapan dimana prinsip mariculture dipertimbangkan sebagai bagian yang penting dalam konsep sea ranching, karena sebelum adanya pelepasan ikan/udang/kerangkerangan ke perairan perlu dilakukan kegiatan budidaya (Bartley & Leber 2004), yaitu kegiatan pembesaran benih pada ukuran tertentu untuk bisa dilepas pada perairan dimana ikan/udang/kerang-kerangan masih dianggap lemah. Begitu pula dengan tahapan penangkapan, ikan yang tertangkap oleh nelayan pada lokasi ranching yang belum mencapai ukuran tertentu akan diletakkan kembali di keramba untuk pembesaran agar bisa dijual sesuai dengan permintaan pasar (PKSPL 2006; Bannister 1991; ADB 2004).

14 2 Kegiatan sea ranching sangat tergantung kondisi ekologi terutama ekositem terumbu karang. Dengan demikian perlu adanya upaya menjaga ekosistem terumbu karang agar kegiatan sea ranching tetap berkelanjutan. Aktifitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun tentunya memiliki potensi pula untuk mendistribusikan limbah pakan ikan berupa bahan organik. Pakan ikan yang diberikan dalam keramba jaring apung tidak semuanya bisa dikonsumsi oleh ikan, dan pastinya meninggalkan sisa bahan organik. Limbah organik dari kegiatan budidaya ikan di jaring apung dalam jangka panjang akan terakumulasi di dasar perairan dan berasosiasi dengan terumbu karang. Bersama-sama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan didarat (pemukiman dan industri), apabila tidak terkendali dengan baik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi atau pengkayaan perairan dari unsur nitrogen dan fosfat yang akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) (McCook 1999; Nixon et al. 1996; Livingston 2001; Mason 1993; Lapointe 1989). Berdasarkan pemikiran diatas maka perlu adanya kajian tentang kondisi ekosistem terumbu karang serta menilai daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal pengembangan kegiatan keramba jaring apung, dengan melihat dampak masukan bahan organik dari sisa pakan kegiatan keramba jaring apung dan kegiatan antropogenik di sekelilingnya sehingga tidak mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di sekitar perairan Pulau Semak Daun. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pada bagian sebelumnya, maka permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Aktivitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun memiliki potensi untuk menghasilkan limbah dari sisa-sisa pakan berupa bahan organik. Bersama-sama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan di darat (pemukiman dan industri), apabila tidak dikendalikan dengan baik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga. Dengan demikian perlu kajian untuk menghitung daya dukung perairan agar kondisi perairan tetap ideal bagi kehidupan ekosistem terumbu karang berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung dilihat dari masukan limbah organik dari kegiatan keramba jaring apung dan limpasan limbah dari perairan di sekitarnya yang tidak melewati baku mutu perairan. 2. Mengidentifikasi kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor serta hubungannya dalam kaitan dengan pengkayaan nutrien di perairan Pulau Semak Daun.

15 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghitung daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung agar ekosistem terumbu karang tidak terganggu. Mendapatkan informasi hubungan kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor serta kaitannya dengan pengkayaan nutrien dengan adanya kegiatan keramba jaring apung di perairan Pulau Semak Daun. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai dasar ilmiah untuk pengelola kawasan perairan Pulau Semak Daun khususnya Pemerintah Daerah setempat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan perairan berdasarkan daya dukung perairan. 1.4 Kerangka Pemikiran Ekosistem terumbu karang perairan semak daun dinilai sangat potensial untuk dikembangkan untuk kegiatan Sea ranching, karena daerah ini merupakan perairan dangkal. Sea ranching sendiri sudah dikonsepkan sejak tahun Dilihat dari konsepnya selain ada kegiatan marikultur, terdapat berbagai kegiatan lainnya seperti penambahan stok (stock enhancement), perbaikan habitat dan penangkapan terbatas (ranching). Semua kegiatan yang terdapat dalam konsep Sea ranching tentunya akan bisa menjawab permasalahan yang ada di perairan semak daun seperti degradasi ekosistem dan penangkapan ikan berlebihan (overfishing). Namun seiring dengan telah berjalannya kegiatan keramba jaring apung, tentunya akan menimbulkan masalah baru yang perlu untuk diperhatikan yaitu pencemaran limbah, berupa sumbangan masukan bahan organik. Kegiatan KJA (marikultur) dan kegiatan antropogenik itu sendiri memberikan pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang yang ada. Karena diketahui bahwa pengkayaan perairan akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (McCook 1999). Untuk kegiatan KJA (marikultur) sumbangan bahan organik berasal dari sisa pakan dan feses, untuk kegiatan antropogenik sumbangan bahan organik berasal dari aktivitas penduduk yang ada di daratan. Pengaruh dari masukan sumbangan bahan organik kegiatan marukultur dan dari sumbangan antropogenik dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang, makroalga, ikan herbivor serta kondisi konsentrasi nitrat di perairan dan apabila pengaruh tersebut ada, maka perlu suatu perhitungan untuk mendapatkan nilai daya dukung lingkungan agar dapat memberikan informasi bagaimana pengelolaan perairan Pulau Semak Daun agar kondisi perairan tetap terjaga secara ekologis. Berdasarkan hal tersebut diatas maka disusun sebuah kerangka pemikiran (Gambar 1), bagaimana kondisi nutrien, terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor dalam kaitannya dengan sumbangan bahan organik dari KJA dan antropogenik. Sehingga sebagai dasar untuk pengelolaan perairan dengan mengetahui daya dukung lingkungan perairan melalui jumlah optimal KJA yang tidak mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Pulau Semak Daun.

16 4 Kegiatan Antropogenik Hidrooseanografi Sumbangan Bahan Organik antropogenik Kualitas Air - Terumbu Karang Makro Alga Ikan Herbivor Nutrien? Trumbu karang? Makroalga? Ikan Herbivor? - + Pengelolaan perairan berdasar daya dukung jumlah optimal KJA dalam upaya pelestarian ekosisten terumbu karang Ikan Kerapu Pakan Sumbangan Bahan Organik Marikultur Marikultur Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian: Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) 2 METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Pulau Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang secara geografis terletak pada '00' Bujur Timur (BT) hingga '00' BT dan 5 10'00' Lintang Selatan (LS) hingga 5 57'00' LS. Lokasi ini dipilih karena merupakan lokasi dilaksanakannya kegiatan sea ranching. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juli Perairan dangkal Semak Daun memiliki luas 315,19 ha. Kawasan perairan dangkal tersebut terdiri atas lima goba seluas 33,3 ha dan reeflat seluas 281,89 ha. Kawasan perairan potensial seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9,99 ha untuk keramba jaring apung/kja (cage culture), 40,7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan 262,31 untuk long line. Sementara, kawasan perairan potensial untuk sea ranching meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang (BAPEKAB 2004).

17 5 Sumber : Working Paper PKSPL-IPB, 2006 Gambar 2. Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu Penentuan titik pengamatan ditentukan berdasarkan keterwakilan seluruh ekosistem terumbu karang perairan Semak Daun. Terdapat 5 titik pengamatan dalam penelitian ini (Gambar 3). Titik pengamatan 1 (satu) ditempatkan di daerah terumbu karang pada sisi bagian barat perairan Semak Daun yang jauh dari aktivitas KJA pada '980'' BT dan 05 43'627'' LS. Titik pengamatan 2 (dua) ditempatkan di daerah terumbu karang pada bagian utara perairan semak daun yang berada dekat dengan aktifitas KJA pada '215'' BT dan 05 42'933'' LS. Titik pengamatan 3 (tiga) ditempatkan di daerah terumbu karang yang memiliki kondisi karang yang sangat baik pada sisi bagian timur perairan semak daun pada '744'' BT dan 05 43'515'' LS. Titik pengamatan 4 (empat) ditempatkan pada bagian selatan perairan semak daun yang merupakan selat sempit antara Pulau Semak Daun dengan Pulau Karya dan dekat dengan pulau-pulau padat penduduk dengan koordinat '046'' BT dan 05 43'751'' LS. Titik pengamatan 5 (lima) ditempatkan pada perairan dalam goba sekitar aktifitas KJA pada '530'' BT dan 05 43'239'' LS.

18 6 Sumber : Working Paper PKSPL-IPB, 2006 Gambar 3. Penentuan Titik Lokasi Sampling Untuk pengambilan data tutupan karang, alga dan ikan herbivor dilakukan pada seluruh stasiun kecuali titik pengamatan 5 (lima) yang terletak pada perairan goba pada '530'' BT dan 05 43'239'' LS. Hal ini dilakukan dengan alasan berdasarkan survey awal daerah perairan goba tersebut bersubstrat pasir sehingga kecil kemungkinan terumbu karang hidup di lokasi tersebut dan menurut masyarakat sekitar di perairan goba tersebut banyak terdapat ikan barakuda (Sphyraena jello), sehingga nantinya bisa membahayakan bagi penyelam. 2.2 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kualitas perairan yang terdiri dari parameter fisika dan kimia serta data biologi seperti jenis dan tutupan terumbu karang serta makroalga, jenis dan kelimpahan ikan herbivor, dan jumlah pakan. Data sekunder meliputi data pasang surut perairan, peta lingkungan perairan, data publikasi ilmiah, data dari instansi terkait, maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat.

19 Pengamatan Parameter Lingkungan Pengumpulan data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia yang terdiri dari 10 parameter (Tabel 1), yang dianalisis baik in situ maupun ex situ. Analisis secara ex situ dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tabel 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan yang diukur di Perairan Pulau Semak Daun Parameter Satuan Alat Referensi Lokasi Analisis A. Fisika 1. Suhu C Termometer APHA, 2005 In situ 2. Salinitas Refraktometer APHA, 2005 In situ 3. Kecerahan m Secchi disk In situ 4. Kekeruhan NTU Turbidity meter APHA, 2005 Laboratorium 5. Kecepatan Arus cm/det Current Meter In situ B. Kimia 1. ph - ph meter APHA, 2005 In situ 2. Nitrat mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 3. Nitrit mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 4. Ammonia mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 5. Fosfat mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu per dua minggu, yaitu pada minggu ke-2 bulan Mei 2013, minggu ke-4 bulan Mei 2013 dan minggu ke-2 bulan Juni 2013 di lima stasiun pengamatan yang telah ditentukan untuk mengumpulkan data kualitas perairan. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan pada pukul s.d untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang memadai terutama berkaitan dengan suhu dan kecerahan. Sampel air laut diambil di bagian dasar dimana dilakukan identifikasi terumbu karang. Untuk pengukuran parameter kimia, sampel disimpan dalam botol plastik polietilen (500 ml), sedangkan untuk parameter fisika, sampel disimpan dalam botol plastik polietilen (300 ml). Untuk sampel kimia, air laut ditambahkan 0.2 ml (3-4 tetes) larutan asam sulfat (H 2 SO 4 ) untuk pengawetan nitrat dan nitrit. Masing-masing sampel air laut selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin (ice-box) untuk menjaga kondisinya agar tidak berubah. Selanjutnya sampel air dikirim ke Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis sesuai dengan parameter yang akan diukur Pengamatan Kondisi Terumbu Karang dan Makroalga Metode yang digunakan untuk mengamati tutupan karang dan makroalga dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (English et al. 1997), metode ini digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain, dan biasanya dilakukan oleh dua orang penyelam. Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan transek garis dengan panjang transek 50 meter sejajar

20 8 garis pantai. Pada setiap stasiun pengamatan digunakan satu transek dengan tiga kali pengulangan (Gambar 4). Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat jenis-jenis bentuk pertumbuhan biota penyusun ekosistem yang ditemukan di sepanjang transek serta mengukur kisaran penutupan jenis bentuk pertumbuhan biota ekosistem tersebut pada angka yang terbaca pada transek, selain itu dicatat pula kelompok abiotik yang menyinggung transek untuk memberikan gambaran tentang ekosistem terumbu karang. Gambar 4. Metode pengamatan terumbu karang dengan transek garis Pencatatan dilakukan dengan menggunakan alat tulis bawah air (sabak) yang dibawa oleh pengamat. Hasil pengamatan terhadap terumbu karang tersebut selanjutnya ditabulasikan berdasarkan jenis dan luas penutupan. Koloni karang yang berada di bawah atau bersinggungan dengan transek garis, diukur dan dicatat mengikuti bentuk pertumbuhannya (life form) sesuai dengan klasifikasi dari English et al (1997). Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui kondisi terumbu karang terhadap persen penutupan biota karang adalah data panjang tiap kategori life form yang ada untuk mengetahui persentase penutupan terumbu karang. Tabel 2 menunjukkan daftar penggolongan kategori penutupan karang penyusun ekosistem terumbu karang dan kode yang digunakan mengacu pada UNEP (1993). Persentase penutupan karang hidup diperoleh dari data panjang tiap kategori life form terumbu karang. Nilai persentase penutupan terumbu karang yang hidup dihitung dengan menggunakan persamaan menurut (UNEP 1993) yaitu : Keterangan : L i = Persentase penutupan biota karang ke-i n i = Panjang total kelompok biota karang ke-i, dan L = Panjang total transek garis

21 9 Tabel 2. Daftar penggolongan kategori penutupan karang penyusun ekosistem terumbu karang dan kode yang digunakan (UNEP 1993). Kategori Kode Kategori Kode Hard Corals (Acropora) Algae Branching ACB Macro MA Tabulate ACT Turf TA Encrusting ACE Coraline CA Submassive ACS Halimeda HA Digitate ACD Algal Assemblage Hard Corals (Non Acropora) Other Fauna Branching CB Soft Corals SC Massive CM Sponge SP Encrusting CE Zoanthids ZO Submassive CS Others OT Foliose CF Mushroom CMR Abiotic Millepora CME Sand S Heliopora CHL Rubble R Silt SI Dead Scleractinia Water WA Dead Coral DC Rock RCK (With Algal Covering) DCA Pengamatan ikan herbivor Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual berdasarkan Dartnal dan Jones (1986). Metode ini merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam survei pengamatan ikan-ikan karang dan telah disepakati menjadi metode baku dalam pengamatan ikan-ikan karang secara kuantitatif di ASEAN pada waktu lokakarya ASEAN-Australia Cooperative Program on Marine Science bulan Agustus-Oktober 1985 di Australian Institute of Marine Science. Metode ini secara garis besar hampir sama dengan metode transek garis atau Line Intercept Transect (LIT) dimana roll meter sepanjang 50 m dibentangkan sejajar dengan garis pantai berlawanan dengan arah arus (Gambar 5). Luas pengamatan setiap transek, yakni 500 m 2 ( 50 m x 2 x 5 m), dengan jarak pengamatan 5 meter disebelah kanan dan kiri dari garis transek tersebut. Luas transek yang 500 m 2 tersebut dikonversikan ke Hektar (Ha) menjadi 0.05 Ha. Pengamatan ini dilakukan dengan memakai SCUBA yang dilakukan pada kedalaman 3 meter. Gambar 5. Pencatatan data kelimpahan ikan herbivor dengan Underwater Visual Census (English et al. 1997)

22 10 Pencatatan data dilakukan dialam air dengan menggunakan sabak, kemudian dicatat spesies ikan yang ditemukan. Pencatatan data dilakukan dengan jarak pandang sejauh 5 m ke kiri dan 5 m ke kanan serta pandangan ke depan sejauh yang terlihat. Selama pengamatan tidak diperbolehkan untuk menengok kebelakang, karena akan terjadi pengulangan data yang akan membuat data tersebut menjadi tidak valid. Disamping itu, kecepatan renang dalam pengamatan perlu diatur sedemikian rupa (santai dan tidak terburu-buru) untuk mendapatkan hasil yang baik. Hasil pengamatan ikan karang ditabulasikan berdasarkan jenis dan frekuensi ditemukannya pada transek pengamatan. Penetapan areal penelitian mengikuti metode Line Intercept Transect (UNEP 1993). Sedangkan pengambilan data ikan menggunakan metode Sensus Visual (Dartnall and Jones 1986). Hasil sensus jenis ikan dikelompokkan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengelompokan ikan herbivor (Williams & Pollunin 2001) No. Kelompok Keterangan 1. Semua Ikan Herbivor (TOT) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor yang ditemukan di lokasi penelitian 2. Famili Scaridae (SCAR) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor dari famili Scaridae yang ditemukan di lokasi penelitian 3. Famili Pomacentridae (POM) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor dari famili Pomacentridae yang ditemukan di lokasi penelitian 4. Famili Siganidae (SIGA) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor dari famili Siganidae yang ditemukan di lokasi penelitian Pengamatan Kesuburan Perairan Untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan, salah satu caranya adalah dengan melakukan pengukuran produktivitas primer dalam perairan. Tingkat kesuburan perairan dapat dilihat dari tingkat nutrisi yang dibutuhkan oleh organisme produsen dalam perairan tersebut. Produktivitas primer fitoplankton menggambarkan masukan terbesar materi organik baru ke perairan, menunjukkan tersedianya nutrisi untuk pertumbuhan fitoplankton (Wetzel, 1975). Produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi klorofil-a menurut persamaan regresi sederhana. Untuk mengetahui konsentrasi klorofil-a di perairan pulau Semak Daun dilakukan pengambilan contoh air laut sebanyak 1 liter menggunakan Kemmerer water sampler pada bagian permukaan. Selanjutnya air contoh dimasukkan kedalam botol gelap dan diawetkan menggunakan MgCO 3 2% agar klorofil-a tidak pecah. Kemudian dimasukkan ke dalam cool box. Contoh air untuk menganalisis nitrat dan ortofosfat dilakukan pada botol terpisah. Selanjutnya sampel air dibawa ke Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.

23 Pengamatan Kondisi Oseanografi Data yang digunakan dalam pengamatan hidro-oseanografi digunakan data primer maupun data sekunder, untuk data primer yang dilakukan pengambilan secara in situ, seperti kecepatan arus, arah arus dan kedalaman. Sedangkan data untuk pasang surut diambil dari data sekunder (Kurnia 2012) yang tujuannya untuk mengetahui volume perairan baik pada saat pasang maupun surut serta polanya yang berkaitan dengan proses pengenceran (flushing time) Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Untuk menduga jumlah limbah budidaya ikan kerapu (berupa feses maupu sisa pakan) yang terbuang dari keramba ke lingkungan perairan di bagian luar jaring dipasang jaring halus mesh size 20 mikron. Jaring halus tersebut dipasang di luar jaring apung (tempat pemeliharaan ikan). Perangkap tersebut diikatkan pada sebuah bingkai yang terbuat dari kayu ulin berbentuk segi empat yang berukuran 3,5 x 3,5 meter, dan bagian bawah perangkap dipasangi pemberat. Pengumpulan limbah sisa pakan dan feses dilakukan sebanyak 3 kali sampling ulangan (selama kegiatan budidaya). Untuk pengumpulan sisa pakan dilakukan 2 jam setelah pemberian pakan, sedangkan untuk pengumpulan feses, dilakukan 24 jam setelah pemberian pakan. Limbah yang terkumpul kemudian dipisahkan antara feses dan sisa pakan. Baik feses maupun sisa pakan kemudian ditimbang dan selanjutnya dianalisa kadar proximat yang terdiri dari yaitu lemak kasar (Ekstraksi Soxhlet), karbohidrat (Spektrofotometer), serat kasar (Fibretex), kadar abu (Muffle), kadar air (pengeringan oven), serta N dan P (Semi Micro Kjeldahl dan Olsen). Pendugaan total bahan organik dihitung berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Iwama (1991) in Barg (1992) dengan mengacu pada total pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut : O = TU + TFW... (1) Keterangan: O = total output partikel bahan organik TU = total pakan yang tidak dimakan, yang diperoleh dengan persamaan : TU = TF x UW... (2) Keterangan: TF = total pakan yang diberikan UW = presentase pakan yang tidak dimakan (rasio total pakan yang dimakan terhadap total pakan yang diberikan). TFW = total limbah feses, dihitung dengan persamaan : TFW = F x TE... (3) Keterangan : F = persentase feses (rasio total feses terhadap total pakan yang dimakan) TE = total pakan yang dimakan, diperoleh dengan persamaan : TF TU TE = TF TU... (4) = total pakan yang diberikan = total pakan yang tidak dimakan

24 12 Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P (TN dan TP) didasarkan atas data kandungan N dan P dalam pakan, dan dalam karkas ikan kerapu (Barg 1992). Pendugaan total N dan P mengacu pada metode Ackefors dan Enell 1990 in Barg 1992), dihitung dengan persamaan untuk Loading N dan P adalah : Kg P = (A x Cdp) (B x Cfp)... (5) Kg N = (A x Cdn) (B x Cfn)... (6) Keterangan : A = bobot basah pakan yang digunakan (kg) B = bobot basah kerapu yang diproduksi (kg) Cd = kandungan phosphor (Cdp) dan nitrogen (Cdn) di pakan diekspresikan sebagai % bobot basah) Cf = kandungan phosphor (Cfp) dan nitrogen (Cfn) dari karkas ikan, diekspresikan sebagai % bobot basah Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Antropogenik) (Eksternal Loading) Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh San Diego-McGlone (2000), melalui Land Ocean Interactions In the Coastal Zone (LOICZ). Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan fosfor) ke perairan. (1) Aktivitas Pemukiman. Besaran limbah organik (Total N dan P) yang berasal dari pemukiman, dihitung dengan cara sensus yaitu menghitung secara langsung jumlah penduduk yang bermukim disekitar pulau yang berdekatan dengan perairan Semak Daun. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari) dan limbah cair (liter/hari), maka jumlah penduduk tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain dari 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al. (1997), dan 3) World Bank in San Diego-McGlone (2000) (Tabel 4). Tabel 4. Jenis aktivitas dan koefisien limbah pemukiman No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan Aktivitas Pemukiman 1. Limbah padat 1,86 kg N/org/th Sogreah (1974) 0,37 kg P/org/th 2. Sampah 4 kg N/org/th Padilla et al (1997) 1 kg P/org/th 3. Deterjen 1 kg P/org/th World Bank (1993) Catatan : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al. (1997); 3)World Bank (1993) in San Diego- McGlone (2000). (2) Aktivitas Peternakan. Besaran volume limbah (Total N dan P) tersebut dihitung dengan menghitung secara langsung jumlah ternak yang berada atau dipelihara disekitar pulau yang berdekatan dengan perairan Semak Daun. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari), maka jumlah ternak

25 13 tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain 1) WHO (1993); 2) Valiela et al. (1997) in San Diego-McGlone (2000) (Tabel 5). Beban limbah yang berasal dari pemukiman dan peternakan diperoleh dari data perhitungan langsung dilapangan yang mengacu pada data sekunder statistik Desa/Kecamatan. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) dari limbah antropogenik dihitung dengan mengalikan antara tingkatan aktivitas dengan koefisien limbah (N dan P). dengan persamaan sebagai berikut : TN = tingkatan aktivitas x koefisien limbah... (7) TP = tingkatan aktivitas x koefisien limbah... (8) Tabel 5. Jenis aktivitas dan koefisien limbah peternakan No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan Komoditas Peternakan 1. Ternak Sapi 43,8 kg N/ekr/th WHO (1993) 11,3 kg P/ekr/th 2. Ternak Kambing 4 kg N/ekor/th WHO (1993) 21,5 kg P/ekor/th 3. Ternak Ayam 0,3 kg N/ekor/th Valiela et al. (1997) 0,7 kg P/ekor/th Catatan : 1) WHO (1993); 2) Valiela et al. (1997) in San Diego-McGlone (2000) 2.3 Analisis Data Analisis Persentase Tutupan Karang dan makroalga Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup di ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988) in English et al. (1997). Semakin kecil persentase penutupan karang hidup yang diperoleh maka semakin sedikit pula asosiasi terumbu karang yang hidup di dalamnya. Di ekosistem terumbu karang yang sehat tutupan makroalga dapat mencapai 5 10% (Hay 1997; Stimson et al. 2001). Perhitungan persentase tutupan karang keras dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu : a % : Sangat baik b ,9 % : Baik c ,9 % : Sedang d. 0-24,9 % : Rusak Analisis Kelimpahan Ikan Herbivor Kelimpahan ikan karang dihitung dengan mencacah jumlah ikan yang ditemukan dibagi dengan luasan area transek (English et al. 1997).... (9) Keterangan : X : Kelimpahan ikan karang Xi : Jumlah total ikan karang pada stasiun pengamatan ke-i n : Luas transek pengamatan 50m x (5m + 5m) = 500 m 2

26 Analisis Produktivitas Primer Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara klorofil-a dengan produktivitas primer. Susilo (1999) menemukan bahwa produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi klorofil-a menurut persamaan regresi sederhana. Persamaan hubungan antara keduanya pada kolom air 0-5 m adalah P = 0, ,007K sedangkan pada kolom air 0-10 m adalah P= K, dimana P adalah produktivitas primer (gc/m 3 ) dan K adalah konsentrasi klorofil-a atau Chal-a (μg/l). Berdasarkan hal ini produktivitas primer dapat diduga dari kandungan klorofil-a. Besarnya produktivitas primer fitoplankton merupakan ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya produktivitas primer fitoplankton yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula. Oleh karena itu informasi tentang tingkat produktivitas primer sangat penting karena dengan adanya hal tersebut maka kita dapat mengetahui tingkat kesuburan dan kualitas suatu perairan. Menurut SEPA (2002), secara garis besar suatu badan air telah mengalami proses eutrofikasi dengan ditandai adanya penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P, kenaikan suspended solid terutama material organik, penurunan penetrasi cahaya (kecerahan menurun), terjadi blooming alga serta keragaman jenis alga rendah tetapi padat serta tinggi produktivitasnya Analisis Daya Dukung Dalam melakukan pendugaan daya dukung lingkungan dilakukan dalam 2 bentuk pendekatan antara lain (1) pendekatan yang mengacu pada loading total nitrogen (TN) dari sistem budidaya dan antropogenik yang terbuang ke lingkungan perairan dan (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan bahan organik. Pendekatan (1) Mengacu kepada Loading Total Nitrogen (TN) Limbah buangan dari aktivitas budidaya mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan. Level hipernutrifikasi ditentukan oleh volume badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut (Gowen et al in Barg 1992), memberikan persamaan estimasi sebagai berikut : Ec = N x F/V... (10) Keterangan : Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l) N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal) F = flushing time dari badan air (hari) V = volume badan air (L) terbatas pada gosong Pulau Semak Daun Flushing time (F) yaitu waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah terbilas dari badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Penentuan Flushing time ditentukan dengan menggunakan formula : F = 1 / D... (11)

27 15 Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode pergantian pasang yaitu : D = (V h V l ) / T x V h... (12) Keterangan : (V h V I ) = volume pergantian pasang V h = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m 3 ) V I = volume air dalam badan air saat surut (m 3 ) T = periode pasang dalam satuan hari Perhitungan Volume Badan Air diukur pada saat pasang tertinggi (MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : V h = A.h 1 dan V l = A.h 0... (13) Keterangan : A = luas perairan dangkal Pulau Semak Daun (m 2 ) h 1 dan h 0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi V 1 = Volume air pada saat surut terendah V h V l = perubahan volume karena efek pasut. Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [N lp ] hasil pengkayaan nutrien ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH 3 N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prod opt ) nilai baku mutu dapat dilihat pada Lampiran 1. Mineralisasi bahan organik nitrogen yang terdiri dari protein dan asam amino akan menghasilkan nitrogen anorganik yaitu ammonia, nitrit dan nitrat dan lebih dari 50% buangan nitrogen dari ikan berupa ammonia (Spotte, 1992). Maka produksi optimal dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut : [N bm ] (Prod opt ) (ton) =... (14) [N lp ] Keterangan : [Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya (0,3 1 ppm) selang konsentrasi Ammonia (NH 3 N) yang dipersyaratkan. [Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan dan antropogenik berupa Ammonia (NH 3 N). Produksi optimal (Prod opt ) adalah jumlah produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya (unit rakit KJA) tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan. Nilai pendugaan produksi optimal adalah perbandingan antara konsentrasi [N] baku mutu dengan konsentrasi [N] limbah produksi. Bila diketahui output limbah N hasil produksi dalam 1 unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara optimal dan maksimal.

28 16 Pendekatan 2. Mengacu Kepada Ketersediaan Oksigen Terlarut dan Bahan Organik Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan kandungan oksigen terlarut dari badan air dan bahan organik, dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968) in Meade (1989), dan Boyd (1990). Pergantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut. Hal ini berarti bahwa perairan pesisir dapat dibebani dengan sejumlah ikan yang menggunakan oksigen terlarut, di mana O 2 dipasok baik yang berasal dari aliran air pasang surut maupun difusi dari udara. Tahap 1. Menentukan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air adalah perbedaan antara konsentrasi O 2 terlarut didalam inflow (O in ) dan konsentrasi O 2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya (O out ) yaitu 4 ppm (Boyd, 1990). Jika volume air (Qo m 3 ) diketahui, maka total oksigen yang tersedia dalam perairan (O 2 ) selama 24 jam (1.440 menit/hari) adalah : A = Qo m 3 /min x min/hari x (O in O out )g O 2 / m 3 B = A g m 3 /hari/1000 = kg O 2 Keterangan : Qo = volume air (m 3 ) perairan Pulau Semak Daun Q in = kandungan oksigen terlarut didalam badan air (mg/l) O out = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan (mg/l) = jumlah menit dalam satu hari Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik diketahui berdasarkan Willoughby (1968 in Meade 1989) bahwa setiap 1 kg limbah organik memerlukan 0,2 kg O 2 / limbah organik. Tahap 2. Untuk pendugaan daya dukung yang di izinkan dengan mengacu bahwa untuk setiap kilogram limbah bahan organik membutuhkan 0,2 kg O 2 sehingga dapat diduga kemampuan perairan untuk menampung limbah bahan organik maksimal yang di izinkan. Dengan demikian, beban limbah bahan organik yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : B kg O 2 0,2 kg O 2 /kg limbah organik = C kg limbah bahan organik... (15) Jika diketahui 1 unit rakit KJA mengahasilkan limbah bahan organik = D kg limbah bahan organik, maka kapasitas daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya kerapu adalah : C kg limbah bahan organik D kg limbah bahan organik/1 unit KJA = Unit rakit KJA... (16)

29 17 3 HASIL PENELITIAN 3.1 Kondisi Umum dan Oseanografi Perairan Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun termasuk dalam kawasan administrasi Kelurahan Panggang yang memiliki 13 Pulau diantaranya, Pulau Karang Bongkok, Pulau Kotok Kecil, Pulau Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Panggang dan Pulau Air. Diantara pulau tersebut terdapat 3 pulau dengan kawasan perairan laut dangkal terlindung (perairan karang dalam) yang relatif luas yaitu : Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak dan Pulau Karang Bongkok. Berdasarkan prinsip keterlindungan saja perairan laut dangkal di sekitar pulau tersebut diperkirakan menyimpan potensi yang tinggi sebagai kawasan marikultur. Bagian karang dalam yang lain dari Pulau Semak Daun adalah reef flat dan mud flat yang merupakan bagian paling dominan. Sebelum tahun 2000 kawasan ini merupakan tempat budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem longline. Kedalaman kawasan ini antara 0,5 3,0 m pada saat pasang. Sementara, pada saat surut beberapa reef flat tidak berair. Substrat reef flat berupa pasir berkarang, baik karang hidup maupun karang mati bercampur dengan pecahan karang dan cangkang moluska yang sudah kosong. Bagian reef flat yang tidak berarus pada bagian dasarnya bersubstrat pasir yang mengandung lumpur sehingga disebut mud flat. Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin musim yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim Barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari Barat Daya sampai Barat Laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah Timur laut sampai Tenggara. Prediksi pasut untuk stasiun terdekat dengan perairan Semak Daun adalah posisi 5 LS dan 106,5 BT, tipe pasut di perairan ini tergolong pasut campuran dominan ganda, yaitu mengalami dua kali pasang surut selama 24 jam. Kisaran pasut terendah terlihat pada pasang perbani (neap tide) yaitu 42,45 cm sedangkan kisaran tertinggi mencapai 124 cm saat pasang purnama (spring tide). Dengan rata-rata elevasi pasang surut berkisar antara +50 cm dan -50 cm. Arus merupakan kekuatan air laut yang dapat mendistribusikan bahan terlarut maupun bahan tersuspensi dari satu lokasi ke lokasi lain. Arus sangat berpengaruh positif terhadap penyebaran biota laut dan nutrisi, namun juga dapat berpengeruh negatif bila ia membawa bahan pencemar. Arah dan kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut (pasut) dan hembusan angin permukaan. Sistem arus yang berkembang di perairan Semak Daun sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Penelitian dilakukan saat musim timur pada bulan Juni, arus datang dari sebelah timur menuju arah barat Laut Jawa dimana di daerah tenggara Sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara dan lainnya memasuki Selat Sunda dengan tinggi gelombang mencapai 0,6 m (Gambar 6).

30 18 Sumber : Diolah dari Data PKSPL-IPB 2006 Gambar 6. Pola arus perairan Pulau Semak Daun pada Bulan Juni 3.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Semak Daun Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Pulau Semak Daun yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil pengukuran rata-rata parameter fisika dan kimia perairan di semua stasiun pengamatan. Parameter ST I ST II ST III ST IV ST V Baku Mutu Air Laut* A. Fisika 1. Suhu ( C) 29,5±0,86 29,8±1,04 29,7±0,87 29,7±0,87 30,2±1, Salinitas ( ) 30,6±0,28 31,2±0,25 31,2±0,25 32,2±0,75 31,6±0, Kecerahan (m) 9,40±0,50 5,60±0,57 8,20±0,25 7,40±0,40 6,60±0,50 >5 4. Kekeruhan (NTU) 0,45±0,01 0,40±0,06 0,57±0,02 0,37±0,02 0,87±0,03 <5 5. Kecepatan Arus (m/dt) 0,16±0,03 0,15±0,03 0,45±0,05 0,38±0,08 0,09±0,03 0,15-0,25 B. Kimia 1. ph 8,01±0,06 8,11±0,02 8,04±0,03 8,02±0,05 8,00±0,01 7-8,5 2. Nitrat (NO 3 -N) (mg/l) 0,136±0,05 0,364±0,03 0,216±0,01 0,187±0,03 0,228±0,05 0,110-0,290* 3. Nitrit (NO 2 -N) (mg/l) <0,004 <0,004 <0,004 <0,004 <0, Ammonia (NH 3 -N) (mg/l) 0,067±0,05 0,040±0,02 0,046±0,01 0,052±0,02 0,028±0,02 0,3 5. Orto Fosfat (PO 4 -P) (mg/l) <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 0,015 Keterangan : * Kategori perairan mesotrofik (Hakanson dan Bryhn 2008). * Baku Mutu Air Laut (Kep Men LH No.51/2004). Kisaran suhu di perairan ini masih mendukung kelangsungan hidup organisme di ekosistem terumbu karang dengan suhu optimal > 18 C atau dalam kisaran 25 C 30 C (Bengen 2002; Randall 1983). Parameter suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29 C 30 C dengan rata-rata 29,78 C. Nilai rata-rata suhu terendah pada

31 stasiun I sebesar 29,5 C dengan standar deviasi 0,86 dan tertinggi pada stasiun V sebesar 30,2 C standar deviasi 1,04 artinya nilai rata-rata suhu pada semua stasiun pengamatan hampir tidak ada perbedaan yang nyata. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikian pula dengan suhu yang tinggi, metabolisme meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumbuhan kerangka menurun (Tomascik 1987) Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang relatif homogen dengan kisaran nilai antara 30 33, dengan nilai rata-rata salinitas terendah terdapat di stasiun I (30,6 ±0,28). Perbedaan nilai salinitas antar stasiun pengamatan sangat kecil diketahui dengan standar deviasi yang relatif kecil nilainya, hal ini diduga karena tidak adanya masukan air tawar dari daratan yang dapat menurunkan nilai salinitas akibat pengeceran. Nilai salinitas di lokasi penelitian masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2004) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara Sedangkan menurut Nybakken (1988) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah Namun demikian pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam seperti run-off, badai, dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,50 52,50 (Supriharyono 2007). Kasjian & Juwana (2009) menambahkan bahwa terumbu karang dapat hidup pada sainitas air yang tetap diatas 30 tetapi dibawah 35. Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton. Hasil pengukuran menunjukan nilai parameter kecerahan di semua stasiun adalah >5 m. Tingginya nilai kecerahan pada semua stasiun dikarenakan perairan tersebut hampir tidak ada aktivitas sehingga sedikit mendapat masukan partikel terlarut dari aktivitas manusia. Nilai rata-rata kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37 sampai dengan 0,87 NTU. Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004 yaitu < 5 NTU. Tingkat kekeruhan yang tinggi dapat membuat organisme laut mengeluarkan energi lebih untuk menghalau sedimen yang masuk (Supriharyono 2007) sehingga energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berkurang. Akibat dari berkurangnya energi untuk tumbuh tersebut maka organisme laut tersebut memilih untuk pergi atau mati. Bagi hewan-hewan yang bersifat bergerak (mobile) seperti ikan herbivor dapat pergi untuk mencari lingkungan yang lebih baik, namun bagi hewan yang bersifat menetap (sessile) seperti karang dan makroalga cenderung mati. Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya relatif bervariasi dengan kisaran 0,080 m/s 0,50 m/s. Kecepatan arus di dalam kawasan perairan karang dalam berbeda dengan karang luar atau di daerah tubir. Arus dan gelombang di luar 19

32 20 kawasan karang dalam setelah melewati karang penghalang (barrier reef) akan berubah sama sekali. Arus dan gelombang akan berubah dengan cepat menjadi arus dan gelombang laminer (tenang) dan lambat dengan kecepatan arus berkisar antara 0,08 m/dt sampai dengan 0,10 m/dt. Kecepatan arus relatif kuat di temui di tepi timur dan selatan perairan Pulau Semak Daun, dengan arah aliran menuju barat laut dengan kecepatan berkisar 0,30 m/dt 0,50 m/dt dengan nilai rata-rata 0,45±0,05. Kontribusi arus terhadap ekosistem terumbu karang yaitu dengan tetap menjamin aliran massa air yang mengandung nutrient dan mengurangi tingkat sedimentasi. Kecepatan arus mempengaruhi densitas massa air yang masuk ke laut sehingga semakin tinggi kecepatan arus maka semakin banyak massa air yang dibawanya khususnya massa air yang membawa sedimen dan nutrien dari daratan (Nontji 2007). Secara umum arah arus menuju barat laut. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi. Nilai rata-rata ph di semua stasiun pengamatan relatif sama berkisar antara 8,00 sampai dengan 8,11. Nilai ph tersebut masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan biota khususnya plankton. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2004) yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7 sampai 8,5. Kisaran parameter ph ini menunjukkan kondisi perairan masih dalam batas normal untuk kelangsungan hidup suatu organisme perairan. Kisaran ini sesuai dengan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 dalam Mukhtasor (2007) tentang baku mutu ph untuk kehidupan organisme laut yaitu sebesar 7,00 8,50. Selain itu, hasil pengamatan ini menunjukan bahwa kondisi perairan cenderung bersifat basa. Kondisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme laut, terutama pada organisme yang berfotosintesis seperti alga dan fitoplankton (Mukhtasor 2007). Konsentrasi rata-rata nilai nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian nilainya berkisar antara 0,136±0,05 mg/l 0,364±0,03 mg/l. Nilai rata-rata terendah terdapat di stasiun I sebesar 0,136±0,05 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun II 0,364 ±0,03 mg/l. Menurut Effendi (2004) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran antropogenik dari aktivitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Berdasarkan kandungan nitrat maka tingkat kesuburan perairan di Pulau Semak Daun termasuk ke dalam kategori perairan mesotrofik yaitu kadar nitrat antara 0,110 0,290 mg/l (Hakanson dan Bryhn 2008). Senyawa nitrogen di perairan laut terbagi dalam bentuk nitrat (NO3), nitrit (NO 2 dan ammonia (NH 4 ) berguna bagi jasad hidup (Romimohtarto dan Juwana 2009). Sebelum dapat digunakan, nitrogen harus dikonversi terlebih dahulu dari N 2 ke bentuk reaktif lainnya, seperti ammonia (NH 3 ) atau nitrat (NO 3 - ) yang dikenal dengan proses nitrifikasi. Penyerapan nitrat yang banyak oleh makroalga mendorong laju pergerakan tumbuh makroalga (Mahasim et al. 2005). Dampak positif dari cepatnya pertumbuhan tersebut adalah banyaknya ketersediaan makanan bagi ikan herbivor yang merupakan konsumen tingkat pertama dalam rantai makanan. Sedangkan

33 21 dampak negatif dari proses tersebut adalah berkurangnya tempat bagi karang keras untuk tumbuh karena alga (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan hewan karang memiliki struktur tubuh yang lebih kecil daripada makroalga sehingga volume ortofosfat dan nitrat yang diserap lebih sedikit. Konsentrasi nitrit untuk semua stasiun pengamatan < 0,004 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore 1991 in Effendi 2004). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,05 mg/l. Nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,006 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan (Moore 1981 in Effendi 2004). Tingkat pencemaran suatu perairan berdasarkan nilai nitrit dibagi ke dalam tiga kriteria yaitu perairan tercemar ringan antara 0,001-0,023 mg/l, tercemar sedang antara 0,024-0,083 mg/l dan tercemar berat lebih dari 0,083 mg/l (Schitz 1970 in Retnani 2001). Konsentrasi rata-rata ammonia selama pengamatan berkisar antara 0,028 mg/l sampai mg/l. Kadar ammonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l dapat bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Effendi 2004). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,2 mg/l. Pengaruh banyaknya masukan nutrien pada badan air, menjadikan rendahnya tingkat oksigen terlarut pada area yang luas, dan tingginya kandungan BOD serta konsentrasi ammonia di dalam kolom perairan (Warren 1982). Fosfor di perairan terlarut sebagai fosfat yang merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan bagi fitoplankton. Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam air laut umumnya berada dalam bentuk ion ortofosfat, dan pada umumnya fosfor bukan merupakan faktor pembatas dalam produktivitas laut (Romimohtarto dan Juwana 2009). Hasil pengamatan menunjukkan nilai ortofosfat pada semua stasiun <0,002 mg/l. Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,015 mg/l. Banyaknya kadar ortofosfat yang diserap oleh makroalga pada saat proses fotosintesis mempercepat proses pembentukan jaringan dalam tubuh (Steven dan Atkinson 2003). 3.3 Persentase penutupan karang hidup dan makroalga Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada stasiun I, II, dan IV pengamatan persentase tutupan karang hidup termasuk dalam kategori sedang, sedangkan pada stasiun III tutupan karang hidup dapat dikategorikan sangat baik. Dan jika dirata-ratakan dari seluruh stasiun pengamatan yang dianggap mewakili kondisi terumbu karang perairan Pulau Semak Daun, maka kondisi tutupan karang hidup untuk perairan pulau Semak daun adalah 44,95 % dikategorikan sedang.

34 22 Tabel 7. Persentase tutupan karang hidup pada setiap stasiun pengamatan Stasiun Persentase Tutupan Kategori Karang Hidup (%) I 41,63 Sedang II 29,67 Sedang III 77,67 Sangat baik IV Sumber: Diolah dari data primer, ,83 Sedang Gambar 7 memperlihatkan persentase komponen terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Semak Daun. Pada stasiun III memiliki persentase tutupan karang hidup yang tinggi yaitu sebesar 77,67 %, di dominasi oleh komponen Acropora (19,33%) dan Non Acropora yaitu sebesar 58,33 %. Sedangkan komponen karang mati sekitar 21,67 % dan alga 0,33 %. Tingginya tutupan karang hidup di stasiun ini mengindikasikan bahwa pada daerah timur perairan Pulau Semak Daun masih dalam keadaan baik. Pada umumnya terumbu karang di laut tropis hidup pada perairan oligotropik (D Elia dan Wiebe 1990). Terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar. Gelombang itu memberi sumber air yang segar, menghalangi pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988; Dahuri et al. 1996). Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk penempelan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru (Nontji 2007). Pertumbuhan terumbu karang kearah atas dibatasi oleh udara, dan banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka keatas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah (Nybakken 1988). Stasiun II memiliki persentase tutupan karang yang rendah sebesar 29,67%, didominasi oleh komponen karang mati (50,17 %), Acropora (3,67%), Non Acropora yaitu sebesar 26,00 % dan alga 11,83%. Rendahnya tutupan karang di stasiun II mengindikasikan bahwa pada daerah tersebut telah terjadi kerusakan Acropora Non Acropora Dead Scleractinia Algae Other Fauna Abiotic Gambar 7. Persentase komponen terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan Rendahnya tutupan karang pada stasiun II dibandingkan stasiun lainnya diduga akibat dari aktivitas penangkapan ikan yang sifatnya merusak oleh masyarakat di masa lalu sehingga di lokasi penelitian banyak ditemukan karangkarang keras yang patah dan rusak. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah faktor lingkungan yaitu sedimen dan pengkayaan nutrient. Apalagi di lokasi penelitian terdapat aktivitas KJA yang ST I ST II ST III ST IV

35 23 tentunya memberikan kontribusi pengkayaan nutrien ke perairan melalui sisa pakan dan feses dari ikan budidaya. Dengan mengetahui pola arus di perairan pulau Semak Daun pada bulan penelitian yaitu bulan Juli merupakan musim angin timur dimana angin bertiup dari timut ke barat, arus datang dari sebelah timur menuju arah barat laut jawa dimana di daerah tenggara sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara (Laut Cina Selatan) dan lainnya memasuki selat sunda. Sehingga diduga bahan-bahan nutrien yang masuk ke perairan Pulau Semak Daun baik dari pulau sekitar maupun aktivitas KJA akan bergerak ke arah barat laut Pulau Semak Daun yaitu pada stasiun II. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa pada musim ini tutupan makroalga pada stasiun II tinggi, dan kadar nitrat juga tinggi saat penelitian pada stasiun II. Pengamatan pada perairan pulau Semak Daun diketahui bahwa pada stasiun II dan IV telah terjadi perubahan fase dimana tutupan makroalga lebih tinggi dari tutupan terumbu karang. Hal ini diduga selain adanya pengaruh aktivitas manusia di sekitar terumbu baik itu penangkapan ikan yang merusak maupun penambangan karang, juga adanya tekanan pengkayaan nutrien yang dialirkan dari kegiatan KJA maupun kegiatan antropogenik dari daratan yang membawa aliran nutrien berlebih sehingga meningkatkan pertumbuhan makroalga (Gambar 8). Gambar 8. Makroalga jenis Turf alga pada stasiun pengamatan II Pengamatan tutupan makroalga diperoleh hasil bahwa pada perairan Pulau Semak Daun memiliki rata-rata total persentase tutupan berkisar antara % dengan rata-rata total persentase tutupan makroalga adalah 42,24%. Tutupan makroalga tertinggi terdapat pada stasiun II dengan persentase tutupan 62 % dan tutupan makroalga terendah terdapat pada stasiun III dengan persentase 22 % (Gambar 9) STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV Gambar 9. Persentase tutupan makroalga pada setiap stasiun pengamatan

36 24 Berdasarkan komposisi kelompok makroalga di perairan Pulau Semak Daun di peroleh hasil bahwa kelompok turf alga memiliki tutupan lebih besar dengan 17,63%, kemudian kelompok makro dengan 16,33% dan kelompok yang memiliki tutupan sedikit adalah coralline 0,67% (Gambar 10). Tingginya tutupan alga di beberapa stasiun penelitian akibat pengkayaan nutrien menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara karang dan makroalga (Tomascik dan Sander 1987). Terumbu karang dan makroalga merupakan kelompok mayoritas dalam pemakaian tempat (Benayahu dan Loya, 1981). Pengkayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan peningkatan tutupan alga (Szmant 2002) dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock 1988). Terumbu karang dan makroalga berasosiasi dalam pemakaian tempat karena keduanya membutuhkan cahaya untuk tumbuh (Cronin dan Hay, 1996). Beberapa jenis makroalga (Crustose Calcerous Alga) banyak memberikan kontribusi positif bagi pembuatan kerangka pada terumbu karang, namun demikian jika terjadi overgrowth maka akan timbul perubahan habitat, dimana terumbu karang akan digantikan dengan makroalga (Diaz Pulido dan Mc Cook, 2008). Coraline, 0.67 % Turf alga,17.67 % Makro, % Gambar 10. Persentase tutupan makroalga berdasarkan komposisi kelompok makroalga di perairan Pulau Semak Daun Sebagaimana di jelaskan, ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh kegiatan manusia, pada umumnya ekosistem terumbu karang sudah mengalami tekanan seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan. Akibat dari tekanan tersebut di antaranya adalah pergantian fase komunitas dimana makroalga yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada terumbu karang sendiri ( Jompa dan Mc Cook 2002; Lardizabal 2007). Salah satu penyebab utama terjadinya blooming alga makro pada ekosistem terumbu karang di Jamaika adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan populasi hewan herbivor tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga. Walaupun hipotesa ini mendapat kritikan dari Hughes et al. (1999), tapi dari banyak penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang baik cepat atau lambat akan menyebabkan perubahan keseimbangan menuju ke terumbu yang didominasi oleh alga makro (Jompa dan McCook 2002).

37 25 Gambar 11 memperlihatkan perbandingan antara tutupan terumbu karang dengan tutupan makroalga, dimana perubahan keseimbangan komunitas telah terjadi pada stasiun pengamatan II dan IV. Hal ini di tunjukkan dengan tingginya tutupan makroalga serta rendahnya tutupan terumbu karang, sehingga komunitas terumbu karang perlahan mulai digantikan oleh komunitas makroalga. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penurunan tutupan karang akan disertai dengan meningkatnya tutupan makroalga (Hay 1997; Lirman 2001; Jompa dan Mc Cook 2003; Diaz Pulido dan Mc Cook 2008). Kecepatan pertumbuhan alga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien (Lapointe et al. 2004). Tetapi dilaporkan fakta baru bahwa jenis turf algae, Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang porites (Jompa dan Mc Cook 2003) Tutupan makroalga Tutupan Terumbukarang 0.00 STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV Gambar 11. Perbandingan antara tutupan terumbu karang dengan tutupan makroalga 3.4 Kelimpahan ikan karang dan herbivor Hasil pengambilan data ikan karang Pulau Semak Daun yang dilakukan pada 4 stasiun penelitian (stasiun I, II, III dan IV), terdapat 88 jenis (spesies) ikan karang yang terbagi ke dalam 21 family ikan karang. Dari seluruh stasiun penelitian yang diamati, diperoleh nilai kelimpahan ikan karang sebesar individu per hektarnya. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari penelitian ikan kakap (Lutjanidae) yaitu 40 individu/ha, ikan kerapu (Serranidae) 60 individu/ha, ikan baronang (Siganidae) 290 individu/ha, ikan kakaktua/parrotfish (Scaridae) 230 individu/ha, dan ikan ekor kuning (Caesionidae) 325 individu/ha. Selama pengambilan data dilakukan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) tidak dijumpai (Gambar 12) Kakap (Lutjanidae) Kerapu (Serranidae) Baronang (Siganidae) Kakak tua (Scaridae) Ekor kuning (Caesionidae) Gambar 12. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting di Perairan pulau Semak Daun

38 26 Ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 290 individu/ha. Menurut Chabanet et al. (1997) terdapat korelasi positif antara Ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dengan tutupan terumbu karang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan ikan karang (individu/ha) kelompok ikan mayor, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah individu/ha, 1095 individu/ha dan 290 individu/ha, sehingga perbandingannya adalah 29 : 4 : 1 ini berarti bahwa untuk setiap 34 ikan yang di jumpai pada satu hektar terumbu karang di perairan terumbu karang pulau Semak Daun, kemungkinan besar komposisinya adalah 29 individu ikan mayor, 4 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Untuk pengelompokan ikan herbivor berdasarkan Williams dan Pollunin 2001, diperoleh hasil bahwa total jumlah ikan herbivor yang di temui selama pengamatan adalah ekor/ha dengan rata-rata kelimpahan ekor/ha, kelimpahan total ikan herbivor family Pomacentridae adalah ekor/ha dengan rata-rata per hektar terbanyak untuk perairan Pulau Semak Daun, sementara total family Scaridae adalah 920 ekor/ha dengan rata-rata 230 per hektar dan total family Siganidae adalah ekor/ha dengan rata-rata 290 per hektar (Tabel 8). Tabel 8. Kelimpahan rata-rata ikan herbivor Pulau Semak Daun No Family Ikan Kelimpahan Per Hektar Total Rata-rata Herbivor Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV 1 Pomacentridae Scaridae Siganidae Sumber: Diolah dari data primer, 2013 Kelimpahan ikan herbivor dapat dilihat pada setiap stasiun pengamatan berdasarkan data kelimpahan ikan karang perairan Pulau Semak Daun (Lampiran 4). Kelimpahan ikan Pomacentridae tertinggi terdapat pada stasiun II berjumlah ekor/ha, dan yang terendah pada stasiun I berjumlah ekor/ha. Kemudian untuk kelimpahan ikan Scaridae tertinggi terdapat pada stasiun I dengan 300 ekor/ha. Dan kelimpahan ikan Siganidae tertinggi terdapat pada stasiun II dengan 400 ekor/ha dan tidak ditemukan di stasiun III. Makroalga merupakan biota yang sangat cepat menempati setiap ruang yang kosong. Jika herbivor dihilangkan dari kawasan tersebut, larva karang sulit mendapatkan substrat keras untuk menempel dan tumbuh. Larva planula karang sangat membutuhkan kehadiran hewan herbivor untuk membuka ruang yang penuh makroalga sehingga dapat menjadi tempat penempelan. Kehadiran hewan herbivor juga dibutuhkan anakan karang agar makroalga tidak menghalanginya dari sinar matahari. Laju kelulusan hidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya (Lirman 2001). Beberapa penelitian dengan menggunakan analisis korelasi, menyatakan bahwa antara ikan herbivor dengan tutupan alga memiliki korelasi negatif. Artinya peningkatan satu satuan ikan herbivor maka akan terjadi penurunan alga, hal ini

39 27 sesuai dengan penelitian oleh Williams and Polunin 2001; Idjadi et al Kedua peneliti ini menggunakan sejumlah data survey kelimpahan ikan herbivor dan tutupan karang, hasilnya ditemukan kelimpahan ikan herbivor berkorelasi negatif dengan tutupan makroalga. Kebanyakan ikan herbivor menyenangi turf algae sebagai makanannya (Morissey 1985). Turf algae memiliki ukuran kurang dari 2 cm dan tidak mengandung bahan kimia yang tidak disukai ikan. Ikan herbivor sangat suka memakan tumbuhan yang kecil ukurannya, strukturnya yang sederhana dan berkumpul (Sale 1991). Aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan menentukan distribusi ikan herbivor. Kelimpahan ikan herbivor menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman air. Ikan herbivor lebih menyenangi daerah dangkal karena aktivitas fotosintesis didaerah tersebut sangat cepat, sehingga selalu tersedia makanan baginya untuk metabolisme dan pertumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Jompa dan McCook (2002); Littler et al. (2005) yang menyimpulkan bahwa penambahan nutrien saja tidak dapat menimbulkan kematian pada terumbu karang, begitu juga dengan mengeluarkan ikan herbivor saja tidak secara langsung mematikan terumbu karang. Hal ini disebabkan herbivor lain dapat memangsa makroalga misalnya bulu babi (sea urchin). Tidak terlihatnya peran ikan herbivor pada model pembentukan asosiasi antara karang keras dengan makroalga disebabkan oleh dominannya ikan-ikan dari famili Pomacentridae di perairan Kepulauan Seribu. Studi tentang peran Pomacentridae oleh Wilkinson et al. (1984) menemukan bahwa ikan Pomacentridae bersifat teritori (Sale 1991) yaitu dengan menjaga area makanannya dapat membuat perubahan pada komposisi jenis makroalga terutama pada jenis dari kelas red algae menjadi blue-green algae. Karena blue green memiliki kemampuan lebih cepat dalam menfiksasi senyawa nitrogen (Bellwood et al. 2004) pada saat proses fotosintesis. 3.5 Kondisi Kesuburan Perairan Produktivitas primer dapat ditentukan berdasarkan kandungan klorofil-a di perairan tersebut. Konsentrasi klorofil-a suatu perairan di pengaruhi oleh intensitas cahaya dan keberadaan nutrien. Perairan laut tropis pada umumnya memiliki kandungan klorofil-a rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya stratifikasi kolom air. Tubawaloni (2007) menyatakan bahwa stratifikasi kolom air disebabkan oleh pemanasan permukaan perairan yang hampir sepanjang tahun. Selanjutnya berdasarkan pola persebaran klorofil-a secara musiman maupun spasial, di beberapa bagian perairan dijumpai konsentrasinya yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan perairan melalui berbagai proses dinamika massa air, diantaranya upwelling, percampuran vertikal massa air serta pola pergerakkan massa air, yang membawa massa air kaya nutrien dari perairan sekitarnya. Klorofil-a merupakan salah satu indikator produktivitas primer dalam suatu perairan. Namun demikian, jika terjadi peningkatan kandungan klorofil yang cukup ekstrem perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya ledakan populasi alga yang berbahaya. Ledakan populasi alga dapat menyebabkan turunnya kandungan oksigen dalam air sehingga membahayakan kehidupan ikan karena kekurangan oksigen. Klorofil-a dipermukaan perairan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (<0,07 mg/l)) sedang (0,07-0,14 mg/l) dan tinggi (>0,14 mg/l) (Hatta 2002).

40 28 Ditambahkan Legendre (1983) bahwa kandungan klorofil dengan kisaran 0.07 mg/l termasuk rendah, dimana klorofil tersebut sangat dipengaruhi oleh cahaya, oksigen dan karbohidrat. Berdasarkan hasil pengukuran klorofil-a di semua stasiun pengamatan dapat dikelompokkan tinggi dengan kisaran 0,948 1,422 mg/l. Menurut Damar (2006), sisi negatif dari tingginya tingkat kesuburan perairan, antara lain, adalah berupa timbulnya kejadian bloom fitoplankton. Efek negatif lain dari tingginya kesuburan perairan adalah potensi gangguan bagi ekosistem terumbu karang. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara klorofil-a dengan produktivitas primer. Susilo (1999) menemukan bahwa produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi klorofil-a menurut persamaan regresi sederhana. Persamaan hubungan antara keduanya pada kolom air 0-5 m adalah P = K sedangkan pada kolom air 0-10 m adalah P = K, dimana P adalah produktivitas primer (gc/m 3 ) dan K adalah konsentrasi klorofil-a atau Chal-a (μg/l). Berdasarkan hal ini produktivitas primer dapat diduga dari kandungan klorofil-a. Tabel 9. Klorofil-a dan produktivitas primer di semua stasiun pengamatan perairan Pulau Semak Daun Stasiun Klorofil-a Klorofil-a PP PP pengamatan (mg/l) (µg/l) (gc/m 2 /hari) (gc/m 2 /tahun) Stasiun I 0, , ,276 Stasiun II 0, , ,758 Stasiun III 0, , ,276 Stasiun IV 0, , ,276 Stasiun V 1, , ,480 Rata-rata 0, ,612 Tabel 9 menunjukkan kandungan klorofil-a dan produktivitas primer pada setiap stasiun pengamatan. Rata-rata produktivitas primer di perairan Semak Daun adalah 0,421 (gc/m 2 /hari) atau 153,612 (gc/m 2 /tahun). Besarnya produktivitas primer (PP) ini masih dalam kisaran produktivitas primer di perairan karang umumnya. Carter (1991) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas primer di perairan dangkal dengan ekosistem terumbu karang adalah gc/m 2 /tahun. 3.6 Estimasi Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Langkah pertama dalam menentukan rencana pengelolaan limbah adalah menghitung jumlah potensial makanan yang tidak dimakan dan seberapa banyak feses yang dihasilkan oleh organisme yang dibudidayakan. Banyak faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan, tetapi komposisi dan bahan alami yang digunakan dalam makanan serta proses yang terlibat dalam penyiapannya merupakan hal yang terpenting (Mugg et al. 2003). Pendekatan estimasi beban limbah budidaya yang diterapkan dalam studi ini mengacu pada penelitian sebelumnya (Noor 2009) dan merupakan pengembangan formula estimasi dari beban pakan yang masuk ke perairan (Tabel 10). Berdasarkan hasil kajian BAPEKAB (2004) luas lahan yang sesuai untuk budidaya sistem keramba jaring apung pada perairan Pulau Semak Daun adalah 9,99

41 29 ha. Satu unit keramba terdiri dari 6 buah petakan keramba berukuran 3 x 3 x 2.5 m 3 padat penebaran 20 ekor/m 3. Dalam 1 ha terdapat 10% untuk pemanfaatan, sehingga dalam 1 ha terdapat ± 100 petakan atau 16 unit keramba. Satu unit keramba serentak ditebar dengan benih ikan, sehingga 1 unit keramba berisi ± ekor ikan kerapu. Selama masa pemeliharaan diasumsikan tingkat kelulusan hidupan ikan sebesar 80%, sehingga pada saat pemanenan diperkirakan total biomass ikan kerapu adalah ekor. Jika bobot individu ikan di asumsikan 500g/ekor maka dalam satu siklus pemeliharaan (6 bulan) didapat total produksi sebesar 1,08 ton ikan kerapu. Diketahui untuk memproduksi 0,238 ton ikan membutuhkan pakan 1,405 ton rucah (Noor 2009). Analisis proximat didapatkan kandungan N pakan ikan rucah sebanyak 177,2 kg (12,6 %) dan 36,6 kg P (2,6%). Tabel 10. Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung. No Parameter yang dianalisa Nilai 1 Rasio Konversi Pakan (FCR) 5,9 2 Kandungan N Pakan (%) 12,6 3 Kandungan P Pakan (%) 2,6 4 Bobot awal ikan (gr/ekor) Bobot akhir ikan (gr/ekor) Jumlah pakan yang dibutuhkan (kg) 1.406,3 7 Jumlah pakan yang terbuang (18%) 253,1 8 Kebutuhan N untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 145,4 9 Kebutuhan P untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 29,9 10 Kecernaan N Pakan (%) 81,0 11 Kecernaan P Pakan (%) 57,5 12 Retensi N (%) 26,1 13 Retensi P (%) 23,8 14 Jumlah feses yang dihasilkan oleh 1 ton ikan 454,4kg/ton ikan (39,4%) Sumber pustaka : Noor 2009 Diketahui untuk memproduksi 0,238 ton ikan membutuhkan pakan 1,405 ton rucah (Noor 2008). Analisis proximat didapatkan kandungan N pakan ikan rucah sebanyak 177,2 kg (12,6 %) dan 36,6 kg P (2,6%). Diasumsikan 1 unit keramba selama enam bulan memproduksi 1.08 ton ikan kerapu maka kebutuhan pakan rucah sebanyak 2,341 ton, dengan nilai N (12,6%) 295,1 Kg dan P (2,6%) 60,9 Kg. Pakan terbuang (sisa) adalah 18% dari total pakan yang diberikan, dengan jumlah 421,5 Kg.Dengan nilai N (12,6%) 53,1 Kg dan P (2,6%) 11,0 Kg. Total pakan yang dimakan oleh ikan (total pakan yang diberikan total pakan yang terbuang) adalah 1920,2 Kg (82 %). Dengan nilai N (12,6%) 241,9 Kg dan P (2,6%) 49,9 Kg. Banyaknya feses yang dikeluarkan oleh ikan yang dipelihara adalah sekitar 39,4% dari pakan yang dimakan dengan total 756,6 Kg. Dengan nilai N 46 Kg dan P 21,2 Kg. N dan P yang tersimpan didalam daging ikan (retensi) sebesar 51,1 Kg N dan 6,8 Kg P. Untuk N dan P yang terbuang sebagai eksresi (terlarut) adalah 144,8 Kg N dan 21,9 Kg P. Sehingga jumlah total loading N dan P dari kegiatan budidaya sistem keramba jaring apung yang masuk keperairan adalah 243,9 Kg N dan 54,1 Kg P. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 1.178,1 Kg/ton ikan produksi atau sebesar 50,3 % dari total pakan segar/rucah yang digunakan sebanyak 2.341,7

42 30 Kg. Secara singkat hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan untuk perhitungan lengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Dari hasil estimasi besaran limbah bahan organik yang dihasilkan yaitu sebesar 1.178,1 kg /ton ikan produksi atau sebesar 50,3% dari total pakan segar/rucah yang digunakan, lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan dengan pakan komersil yaitu hanya sebanyak 30% dari pakan menjadi limbah bahan organik (McDonald et al. 1996). Persentase nilai tersebut menunjukkan adanya perbedaan besarnya limbah yang masuk ke dalam perairan dari dua jenis pakan yaitu pakan rucah dan pakan komersil (pellet). Menurut Goddard (1996), pengurangan N dalam pakan hanya dapat dicapai jika menggunakan pakan buatan. Kualitas pakan mempengaruhi pertumbuhan ikan secara keseluruhan (pertumbuhan harian dan konversi makanan), kesehatan ikan, buangan limbah fekal dan limbah pakan, dan jumlah total fosfor yang pada akhirnya dilepaskan ke perairan. Tabel 11. Nilai hasil pendugaan kuantifikasi total N dan P dari pakan yang diberikan Parameter Jumlah N P (kg) (kg/ton ikan) (kg/ton ikan) Pakan yang diberikan 2.341,7(100%) 295,1 (100%) 60,9 (100%) Pakan yang dimakan (eaten food) 1.920,2 (82%) 241,9 (81,9%) 49,9 (81,9%) Pakan yang terbuang (uneaten food) 421,5 (18%) 53,1 (18,0%) 11,0 (18,1%) Feses 756,6 (39,4%) 46,0 (15,6%) 21,2 (34,8%) Retensi - 51,1 (17,3%) 6,8 (11,2%) Ekskresi (terlarut) - 144,8 (49,1%) 21,9 (35,9%) Total limbah 1.178,1(50,3%) 243,9 (82,6%) 54,1 (88,8%) Hasil penelitian Sutarmat et al. (2003), menyatakan bahwa dari hasil uji proximat pakan ikan segar/rucah mempunya kadar protein sebesar 58,64%, sedangkan pakan komersil hanya 44,7%. Akan tetapi bila dilihat dari keseimbangan unsur-unsur nutrisi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral) maka pakan komersil memiliki nilai nutrisi terbaik karena ditambahkan mineral dan vitamin campuran, sedangkan pada pakan ikan segar/rucah walaupun memiliki nilai protein dan energi cukup tinggi tetapi ditinjau dari keseimbangan nilai nutrisi adalah kurang seimbang, karena kecukupan vitamin dan mineral dalam ransum sangat mempengauhi metabolisme tubuh. Bila diperbandingkan antara performance pakan komersil dan pakan alami/rucah terhadap pertumbuhan ikan terlihat tidak ada perbedaan, namun dampak terhadap lingkungan dari limbah pakan yang terbuang ke perairan cukup berbeda, hal ini terlihat dari efisiensi pakan. Pakan komersil mempunyai efisiensi pakan sebesar 65,29%, sedangkan pakan alami/rucah mempunyai efisiensi 17,96% sehingga pakan rucah diduga lebih memberikan dampak negatif lebih besar terhadap lingkungan dari pada pakan komersil (Sutarmat et al. 2003). Jumlah buangan nitrogen ke perairan ini memiliki kemungkinan untuk bertambah dan juga berkurang jika 1) Padat tebar ditingkatkan ataupun diturunkan; 2) Tingkat kelulushidupan ikan yang dipelihara meningkat ataupun menurun; 3) Penebaran ikan dilakukan tidak secara serentak; 4) Frekuensi dari pengoperasian

43 31 kegiatan budidaya. Bertambah dan berkurangnya masukan nitrogen ke perairan sangat erat kaitannya dengan jumlah pakan yang diberi serta tingkat kecernaan pakan oleh ikan yang dipelihara. Banyaknya masukan nitrogen ke perairan ini tidaklah berada dalam bentuk yang konstan, melainkan akan diperlakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh perairan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Romimohtarto (1991) yang menyatakan bahwa limbah dari sistem budidaya keramba jaring apung yang masuk ke perairan pesisir dan lautan secara alami akan diproses melalui tahapan berikut: 1) Terjadi pengenceran dan penyebaran melalui proses turbulensi dan adanya fenomena arus pasang-surut; 2) Terjadi proses pemekatan oleh plankton serta proses fisik dan kimiawi dengan cara diserap, mengendap di dasar perairan dan pertukaran ion. 3.7 Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Antropogenik) (Eksternal Loading) Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh San Diego-McGlone (2000), melalui Land Ocean Interactions In the Coastal Zone (LOICZ). Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan fosfor) ke perairan. Hasil identifikasi jenis dan tingkat akivitas serta pendugaan limbah antropogenik di sekitar perairan Pulau Semak Daun diuraikan pada Tabel 12. Hasil analisis menunjukan bahwa aktivitas yang berkontribusi besar adalah kegiatan peternakan dan rumah tangga. Berdasarkan data Demografi Kelurahan Pulau Panggang bulan Februari 2011 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang adalah jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki sebesar jiwa dan perempuan jiwa. Kelurahan Pulau Panggang sendiri terdiri dari 5 RW dan 29 RT. Sebanyak 3 RW dan 21 RT berada di Pulau Panggang dan sisanya 2 RW dan 8 RT berada di Pulau Pramuka. Wilayah Pulau Panggang digunakan seluruhnya untuk pemukiman penduduk, sedangkan wilayah Pulau Pramuka selain digunakan untuk pemukiman terdapat juga kantor kabupaten, sekolah dan perkantoran lainnya. Keseluruhan penduduk bermukim dan beraktivitas di sekitar perairan Pulau Semak Daun. Dari hasil perhitungan pendugaan didapatkan data bahwa jumlah total N (kg/tahun) sebesar ,86 dan total P (kg/tahun) sebesar ,87. Total N sebagian besar bersumber dari limbah rumah tangga sebesar ,86 kg N/tahun, sedangkan limbah dari peternakan hanya sebesar 104 kg N/tahun. Total P sebagian besar bersumber dari limbah rumah tangga yakni sebesar ,87 kg P /th, sedangkan limbah dari peternakan hanya sebesar 486 kg/th. Berdasarkan asumsi bahwa hanya 25% dari limbah antropogenik yang masuk ke perairan setelah melalui asimilasi di daratan maka kontribusi limbah dari kegiatan antropogenik adalah 0,25 x ,86 = 8.451,22 kg N dan 3.528,97 kg P per tahun. Maka bila dikonversi hariannya sebesar 23,15 kg N/hari dan 9,66 kg P/hari, besaran total N dan P dari limbah antropogenik selama 180 hari masa pemeliharaan adalah sebesar kg N dan 1.738,8 kg P.

44 32 Tabel 12. Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar perairan Pulau Semak Daun Jenis Aktivitas Koefisien Tingkatan Total N Total P Ket. Limbah Aktivitas (kg/th) (kg/th) Rumah tangga 1. Limbahpadat 1,86 kg N/org/th orang , ,87 1 0,37 kg P/org/th 2. Sampah 4 kg N/org/th kg P/org/th 3. deterjen 1 kg P/org/th Jumlah , ,87 Peternakan 1. Sapi 43,8 kg N/ekr/th ,3 kg P/ekr/th 2. Kambing 4 kg N/ekor/th 20 ekor ,5 kp/ekor/th 3. Ayam 0,3 kg N/ekor/th 80 ekor ,7 kg P/ekor/th Jumlah Jumlah Total , ,87 Sumber Pustaka : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al. (1997); 3)World Bank (1993); 4) WHO (1993); 5) Valiela et al. (1997) in San Diego-McGlone (2000). 3.8 Pendugaan daya dukung lingkungan perairan pulau semak daun untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu Daya dukung lingkungan perairan di definisikan sebagai suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan adalah nilai suatu mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem dan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia yang mengurangi suplay atau penggunaan energi (Clark 1974; Poernomo 1997). Pengertian ini apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau perairan di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan (Kenchington dan Hudson 1984; UNEP 1993; Widigdo, 2000). Sementara menurut Gowen et al in Barg 1992) menyatakan bahwa kemampuan pengenceran pesisir untuk menerima limbah sangat dipengaruhi oleh laju pengenceran (flushing time), volume air yang tersedia dan beban limbah yang masuk ke perairan. Flushing time diartikan sebagai waktu yang diperlukan dari suatu unit volume massa air berdiam (tinggal) dalam suatu area tertentu sebelum digantikan oleh unit volume massa air yang baru. Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa banyak ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa

45 33 menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya. Apabila telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukkan berapa unit keramba jaring apung yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan (Piper et al in Meade 1989). Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Pulau Semak Daun bagi pengembangan KJA ikan kerapu dilakukan dalam 2 (dua) pendekatan analisis, yaitu (1) Pendekatan analisis pada beban limbah total N dan (2) Pendekatan analisis pada ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan teluk dan limbah bahan organik. Beberapa parameter yang menjadi acuan penduga daya dukung antara lain : 1. Luas perairan Pulau Semak Daun = 315,19 ha 2. Volume air pasang tertinggi (V pasang) = m 3 3. Volume air surut terendah (V surut) = m 3 4. Volume badan air perairan Pulau Semak Daun = m 3 (Lampiran 3) 4. Flushing time = 0,8 hari 5. Rataan konsentrasi oksigen terlarut dalam kondisi stready state = 6-7 ppm 6. Konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan dalam sistem budidaya : 4 ppm, diambil dari level kritis oksigen, pembulatan dari 3,6 ppm dari hasil penelitian Lee et al. (2001); Rachmansyah et al. (1997). 7. Food consumption oxygen (FCO) 0,2 kg O 2 (Willoughby 1968 in Meade 1989; Boyd 1990). 8. Total bahan organik = 1,178.1 kg 9. Total beban N = 243,9 kg/1,08 ton ikan 10. Total beban P = 54,1 kg/1,08 ton ikan 11. Produktivitas ikan kerapu = 237,6 kg/keramba Pendugaan daya dukung melalui pendekatan beban limbah N Pendugaan daya dukung perairan Pulau Semak Daun dengan pendekatan beban limbah N didasarkan pada beban limbah N baik yang berasal dari kegiatan budidaya KJA ikan kerapu maupun yang berasal dari aktivitas antropogenik di daratan (upland) sekitar perairan. Beban limbah yang berasal dari kegiatan budidaya sebesar 243,9 kg N dan 54,1 kg P beban limbah, dan dari aktivitas antropogenik di daratan (upland) sebesar 8.451,22 kg N dan 3.528,97 kg P per tahun. Berdasarkan formula yang dikembangkan oleh Barg (1992) untuk perhitungan nutrient loading N, hasil yang diperoleh bahwa konsentrasi N yang masuk ke perairan adalah 0,0051 mg/l. Hasil perhitungan tersebut disajikan pada Lampiran 4. Nilai N ini merupakan nilai N ammonia (NH 3 N) dari total limbah produksi KJA dan kegiatan antropogenik dari daratan sekitarnya, selanjutnya dihubungkan dengan nilai N (ammonia NH 3 N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kementrian Lingkungan Hidup 2004) dengan kisaran 0,3 1 untuk mendapatkan nilai batas produksi optimal dan maksimal. Untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya (P opt ) dan maksimal dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi (N) berasal dari limbah produksi 1,08 ton kerapu ditambah dengan nilai N akibat masukan kegiatan antropogenik, maka produksi optimal (P opt ) dan maksimal dapat diduga untuk setiap hektar lahan budidaya adalah 58,8 196 unit. Dan jika dikalikan dengan 1,08 ton produksi ikan maka hasil yang didapat adalah 63,72 211,68 ton. Dari hasil perhitungan pendugaan daya dukung, perairan pulau Semak Daun mampu menunjang produksi optimal dan maksimal adalah sebesar 63,72 211,68

46 34 ton. Bila dikonversi kepada jumlah unit yang dapat dibudidayakan adalah 1 unit terdiri dari 6 keramba berukuran 3 x 3 x 2,5 meter dengan tingkat produktivitas sebesar 237,6 kg /keramba, maka dalam 1 unit keramba berproduksi 1,4 ton, jumlah unit yang dapat dikelola optimal dan maksimal adalah sebanyak unit atau petak KJA. Dari luasan 9,99 ha yang sesuai untuk kegiatan KJA, terdapat 2,8 9,4 ha luasan yang diperkenankan untuk dijadikan sebagai kegiatan KJA berdasarkan nilai daya dukung melalui pendekatan beban limbah N Pendugaan Daya Dukung Melalui Ketersediaan Oksigen Terlarut dengan Limbah Organik Penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut mengacu kepada Willoughby in Meade (1989) dan Boyd (1990). Penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut yaitu perbedaan antara konsentrasi oksigen (O 2 ) terlarut minimal yang dikehendaki oleh organisme (O in ) dengan kadar oksigen yang tersedia di dalam perairan (O out ). Kadar minimum oksigen terlarut yang dikehendaki untuk budidaya (O out ) = 4 ppm. Berdasarkan data parameter kualitas air hasil pemantauan oleh Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (SPKKAKS) tahun 2008 di perairan Pulau Semak Daun, didapat bahwa kandungan oksigen terlarut (DO) adalah 5,82 7,12 mg/l. Diasumsikan nilai rata-rata oksigen terlarut adalah 6 mg/l dan 7 mg/l, ini berarti selisih antara oksigen yang ada di dalam (O in ) dan di luar (O out ) sebesar 2 ppm dan 3 ppm. Selanjutnya diketahui bahwa volume air yang tersedia sebesar m 3, maka kapasitas oksigen yang tersedia dalam perairan yaitu : /24 x 2 ppm = kg O 2 dan /24 x 3 ppm = kg O 2. Kadar oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai/merombak 1 kg limbah organik pakan diperlukan oksigen sebesar 0,2 kg (Willoughby in Meade 1989), maka kemampuan perairan untuk menampung limbah organik yaitu kg O 2 /0,2 = , ,5 kg limbah organik. Hal ini berarti kemampuan perairan menampung limbah organik yang diperkenankan dari hasil budidaya KJA ikan kerapu dengan nilai minimal dan maksimal adalah sebesar ,4 kg ,5 kg limbah organik. Dalam 1 unit KJA menghasilkan nutrien sebesar 298 kg, maka jika dikonversi menjadi jumlah unit minimal dan maksimal yang mampu ditampung (daya dukung) oleh perairan Pulau Semak Daun adalah sebanyak unit ( petak keramba). Berdasarkan nilai daya dukung melalui ketersediaan oksigen terlarut, terdapat 2,3 ha 3,4 ha luasan yang diperkenankan untuk dijadikan sebagai kegiatan KJA dari luasan kesesuaian lahan sebesar 9,99 ha. Tabel 13 merupakan rekapitulasi dua metode pendekatan pendugaan daya dukung dalam 9,99 ha luas area yang sesuai untuk budidaya KJA ikan kerapu.

47 35 Tabel 13. Rekapitulasi 2 (dua) metode pendekatan pendugaan daya dukung untuk budidaya KJA Ikan Kerapu dalam 9,99 ha luas area yang ada di Perairan Pulau Semak Daun Metode Pendekatan Daya Dukung Keterangan Beban limbah organik ,4 kg dan ,5 kg Dominan dipengaruhi oleh dengan ketersediaan DO limbah organik atau beban limbah organik (optimal - maksimal) unit ( petak KJA) 2,3-3,4 ha dari 9,99 ha area yang sesuai. Beban limbah Nitrogen 58,8-196 ton ikan atau Dominan dipengaruhi oleh (ammonia) budidaya. unit ( KJA) beban limbah N (ammonia) (Baku mutu 0,3 ppm dan 2,8-9,4 ha dari 9,99 ha area dan volume air. 1 ppm) yang sesuai. (Produksi optimal produksi maksimal) PEMBAHASAN 4.1 Kondisi pola arus terhadap penyebaran limbah budidaya jaring apung dan antropogenik di sekitar terumbu karang Sistem arus yang berkembang di perairan Semak Daun sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Secara umum arah arus pada saat penelitian menuju ke arah barat laut, hal ini berkaitan erat dengan angin timur yang sedang berlangsung. Dengan mengetahui pola arus di perairan Pulau Semak Daun pada bulan penelitian yaitu bulan Juli merupakan musim angin timur dimana angin bertiup dari timut ke barat, arus datang dari sebelah timur menuju arah barat Laut Jawa dimana di daerah tenggara Sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara (Laut Cina Selatan) dan lainnya memasuki Selat Sunda. Sehingga diduga bahan-bahan nutrien yang masuk ke perairan Pulau Semak Daun baik dari daratan (antropogenik) maupun aktivitas budidaya keramba jaring apung akan bergerak menuju ke arah barat laut pulau semak daun yaitu tepatnya pada stasiun II. Berdasarkan hasil pengamatan parameter kimia perairan, kadar nitrat pada stasiun II lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 0,364 mg/l. Menurut Effendi (2004) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran antropogenik dari aktivitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Berdasarkan kandungan nitrat maka tingkat kesuburan perairan di Pulau Semak Daun termasuk ke dalam kategori perairan mesotrofik yaitu kadar nitrat antara 0,110 0,290 mg/l (Hakanson & Bryhn 2008). Dengan demikian dinamika oseanografi terutama arus sangat mempengaruhi distribusi penyebaran limbah pada perairan Pulau Semak Daun. Hal ini diketahui dengan tingginya nilai nitrat pada salah satu stasiun pengamatan.

48 Hubungan kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor dalam pengelolaan perairan Pulau Semak Daun Kondisi terumbu karang pada perairan Pulau Semak Daun dikategorikan sedang dengan nilai tutupan 44,95%, namun ada stasiun pengamatan yang memiliki kategori sangat baik seperti pada stasiun III dengan nilai tutupan 77,67% yang terletak di bagian timur pulau semak daun. Hal ini dikarenakan terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar. Gelombang itu memberi sumber air yang segar, menghalangi pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988). Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk penempelan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru (Nontji 2007). Berdasarkan pengamatan fisika perairan, kecepatan arus relatif kuat terdapat di tepi timur dan selatan perairan Pulau Semak Daun, dengan arah aliran menuju barat laut dengan kecepatan berkisar 0,30 m/dt 0,50 m/dt. Berbeda dengan kondisi terumbu karang pada stasiun II yaitu di bagian utara Pulau Semak Daun, pada stasiun ini memiliki nilai tutupan 29,67% lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Berdasarkan pengamatan, stasiun II lebih didominasi oleh karang mati dan memiliki tutupan alga yang tinggi 62%. Tingginya tutupan makroalga ini tidak terlepas dari peran limbah organik yang dibawa oleh arus. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa pada musim ini tutupan makroalga pada stasiun II tinggi, dan kadar nitrat juga tinggi saat penelitian pada stasiun II. Rendahnya tutupan karang pada stasiun II dibandingkan stasiun lainnya diduga akibat dari aktivitas penangkapan ikan yang sifatnya merusak oleh masyarakat di masa lalu sehingga di lokasi penelitian banyak ditemukan karangkarang keras yang patah dan rusak. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah pengkayaan nutrien perairan yang dihasilkan dari sisa pakan dan feses dari ikan budidaya dan kegiatan antropogenik. Limbah organik dari kegiatan budidaya maupun antropogenik bergerak sesuai pola arus yang terjadi pada saat penelitian. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa pada musim ini kadar nitrat perairan dan tutupan makroalga pada stasiun II tinggi dibanding stasiun pengamatan lainnya. Akibat dari tekanan tersebut dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas dimana makroalga memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada terumbu karang sendiri (Jompa dan Mc Cook 2003; Lardizabal 2007). Tutupan karang yang tinggi, cenderung memiliki tutupan alga yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penurunan tutupan karang akan disertai dengan meningkatnya tutupan makroalga (Hay 1997; Lirman 2001; Mc Cook 2001; Diaz Pulido dan Mc Cook 2008). Pengayaan fosfat dan nitrat juga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya turf algae dan filamentus algae secara tak terkendali yang akhirnya akan menutupi koloni karang (Brian et al. 2005) Analisis hubungan antara tutupan karang hidup dengan tutupan makroalga menghasilkan persamaan hubungan Y= - 0,961 x + 85,57 (R 2 = 0,706 p-value 0,05 0,05). Dari persamaan tersebut dapat dilihat adanya hubungan terbalik antara persen tutupan karang keras dan makroalga. Jika persen tutupan karang keras menunjukkan penurunan maka tutupan makroalga cenderung naik dan sebaliknya jika tutupan karang keras naik maka tutupan makroalga cenderung turun. Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa tutupan makroalga dapat menjelaskan sekitar 70,6 % penurunan tutupan karang keras dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain, jika ada

49 pertambahan tutupan makroalga maka tutupan karang keras akan mengalami penurunan sebesar 0,961. Tingginya tutupan makroalga di beberapa stasiun penelitian akibat pengkayaan nutrien. Hal ini menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara karang dan makroalga (Tomascik dan Sander 1987). Pengkayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan peningkatan tutupan alga (Szmant 2002) dampak lain yang juga bisa timbul adalah peningkatan bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock 1988). Terumbu karang dan makroalga berasosiasi dalam pemakaian tempat karena keduanya membutuhkan cahaya untuk tumbuh (Cronin dan Hay 1996). Dari analisis hubungan antara tutupan makroalga dengan konsentrasi nitrat menghasilkan persamaan Y = 164,9 x + 4,512 (R 2 = 0,673 p-value 0,84 > 0,05). Dari bentuk persamaan tersebut dapat dilihat adanya hubungan positif antara tutupan makroalga dengan konsentrasi nitrat. Jika konsentrasi nitrat naik maka tutupan makroalga naik juga dan sebaliknya, sehingga dapat dikatakan bahwa 67,3% tutupan makroalga dapat dijelaskan oleh konsentrasi nitrat dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Artinya bahwa jika ada pertambahan konsentrasi nitrat maka tutupan makroalga akan mengalami peningkatan sebesar 164,9. Pertumbuhan makroalga sangat dipengaruhi oleh nutrien, pertambahan nutrien diperairan maka tutupan makroalga pun akan bertambah. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Lapointe et al. (1993). Tingginya tutupan makroalga berhubungan dengan tingginya kelimpahan ikan herbivor seperti terlihat pada stasiun II. Dengan kelimpahan ikan Pomacentridae tertinggi berjumlah ekor/ha. Analisis hubungan antara kelimpahan ikan herbivor dengan makroalga menghasilkan persamaan Y= 156,9 x (R 2 = 0,649 p-value 0,65 > 0,05). Dari bentuk persamaan tersebut dapat dilihat adanya hubungan positif antara kelimpahan ikan herbivor dengan tutupan makroalga. Jika tutupan makroalga meningkat maka kelimpahan ikan herbivor juga meningkat dan sebaliknya, sehingga dapat dikatakan bahwa 64,9% tutupan makroalga dapat dijelaskan oleh kelimpahan ikan herbivor dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Artinya bahwa pertambahan tutupan makroalga maka kelimpahan ikan herbivor akan mengalami peningkatan sebesar 156,9. Pengamatan pada tutupan makroalga menunjukkan bahwa pada stasiun II dan IV memiliki nilai tutupan makroalga yang tinggi yaitu 62% dan 55,83%, artinya telah terjadi perubahan fase komunitas dimana tutupan makroalga lebih tinggi dari pada tutupan karang. Hal ini diduga selain adanya pengaruh aktivitas manusia di sekitar terumbu baik itu penangkapan ikan yang merusak maupun penambangan karang, juga adanya tekanan dari pengkayaan nutrien yang dialirkan oleh kegiatan KJA maupun kegiatan antropogenik dari daratan yang membawa aliran nutrien berlebih sehingga meningkatkan pertumbuhan makroalga. Tingginya tutupan makroalga pada stasiun II dan IV menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara terumbu karang dan makroalga. Dimana, terumbu karang dan makroalga merupakan kelompok mayoritas dalam pemakaian tempat (Benayahu dan Loya 1981). Hubungan antara tutupan karang hidup dengan tutupan makroalga dan hubungan antara tutupan makroalga dengan konsentrasi nitrat serta hubungan antara ikan herbivor dengan tutupan makroalga dapat dilihat pada Gambar

50 38 % Terumbu Karang y = x R² = % Makroalga y = 164.9x R² = % Makroalga (a) Konsentrasi Nitrat (b) Ikan herbivor y = 156.9x R² = % Makroalga (c) Gambar 13. (a) Hubungan terumbu karang dengan makroalga; (b) Hubungan makroalga dengan kosentrasi nitrat; (c) Hubungan ikan herbivor dengan makroalga Makroalga memiliki korelasi positif dengan variabel kimia perairan seperti nitrat dan fosfat, konsentrasi nitrat dan fosfat yang tinggi di perairan akan memicu meningkatnya pertumbuhan alga. Perairan Pulau Semak Daun memiliki kandungan nitrat yang dikategorikan dalam perairan mesotrofik, perairan ini sangat rentan menjadi eutrofik bila pengkayaan nutrien terus meningkat. Akibat dari tekanan tersebut di antaranya adalah peningkatan pertumbuhan makroalga. Pertambahan tutupan makroalga akibat dari tingginya konsentrasi nutrien akan mengganggu pertumbuhan karang keras yang berkompetisi ruang dengan makroalga. Faktor fosfat dan nitrat merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang sangat tinggi terhadap pengayaan nutrien di perairan sekitar Pulau Semak Daun, masukan dari pulau sekitar yang padat penduduk ditambah lagi dengan masukan limbah dari kegiatan budidaya keramba jaring apung memberikan kontribusi limbah rumah tangga untuk masuk ke dalam perairan dan memperkaya ketersediaan nutrien di perairan tersebut. Pada ekosistem terumbu karang, hewan pemakan tanaman atau herbivor merupakan komponen pengendali utama pertumbuhan tanaman makroalga (Littler et al. 2005). Makroalga merupakan biota yang sangat penting di dalam terumbu karang. Sebagai produsen primer, makroalga menambah daya dukung ekosistem terumbu karang. Kemampuannya untuk tumbuh secara cepat dapat berdampak negatif

51 39 terhadap komunitas karang yang tumbuhnya lambat. Menurut McClannahan et al. 2003, peningkatan makroalga bisa terjadi karena rendahnya tutupan karang dan sedikitnya ikan herbivor di perairan. Keberadaan ikan herbivor di dalam ekosistem terumbu karang memegang peranan penting yaitu dalam mempertahankan komunitas karang dalam berkompetisi dengan makroalga. rendahnya tutupan karang akan memberikan kesempatan makroalga menempati ruang yang kosong untuk tumbuh. Hal ini terjadi di beberapa stasiun pengamatan di perairan Pulau Semak Daun, dengan kecenderungan keberadaan ikan herbivor yang tinggi memiliki tutupan alga yang tinggi dengan kondisi tutupan karang hidup yang rendah seperti terlihat pada stasiun II. Secara alami hewan herbivor merupakan makanan dari karnivor (predator), tingginya populasi ikan herbivor selain ketersediaan makroalga sebagai makanan alami berlimpah, ditambah dengan sedikitnya ikan pemangsa seperti kerapu dan kakap. Penelitian dilakukan oleh Jompa dan McCook (2002); Littler et al. (2005) menyimpulkan bahwa penambahan nutrien saja tidak dapat menimbulkan kematian pada terumbu karang, begitu juga dengan mengeluarkan ikan herbivor saja tidak secara langsung mematikan terumbu karang (Mantyka dan Bellwood 2007). Hal ini disebabkan herbivor lain dapat memangsa makroalga misalnya bulu babi (sea urchin). 4.3 Estimasi beban limbah serta daya dukung perairan dalam upaya pengelolaan perairan Pulau Semak Daun Masukan nitrogen dan fosfor ke perairan laut dan jenis limbah lainnya dapat memicu proses biologi berupa eutrofikasi. Hal ini juga tergantung pada volume dan durasi masukan nutrien dan kapasitas assimilasi dari perairan yang menerima masukan tersebut. Peningkatan masukan tersebut dapat menggeser struktur jaring makanan di suatu kawasan dan memicu pengurangan secara ekologi dari kawasan tersebut (McClelland dan Valiella 1998). Dengan mengetahui nilai estimasi limbah baik dari kegitan bududaya keramba jaring apung maupun dari kegiatan antropogenik di daratan maka dapat diketahui hasil perhitungan pendugaan daya dukung perairan. Melalui pendekatan beban limbah N, perairan Pulau Semak Daun mampu menunjang produksi optimal - maksimal adalah sebesar 58,8 196 ton dengan jumlah unit yang dapat dikelola adalah sebanyak unit ( petak keramba) atau 2,8 9,4 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA di perairan Pulau Semak Daun. Perhitungan lain dengan pendekatan ketersediaan oksigen terlarut perairan memberikan hasil bahwa jumlah unit keramba yang dapat dikelola optimal maksimal adalah unit ( petak keramba) atau 2,3 3,4 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA di perairan Pulau Semak Daun. Dengan demikian untuk mengelola perairan Pulau Semak Daun, yang menjadi acuan daya dukungnya adalah nilai terkecil yaitu unit ( petak keramba) atau 2,3 3,4 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA. Jumlah tersebut merupakan perkiraan jumlah optimal dan maksimal yang diharapkan dapat mengurangi beban limbah organik dari KJA yang masuk ke perairan sehingga akan menciptakan kondisi ideal bagi ekosistem terumbu karang sehingga dapat

52 40 mengurangi laju pertumbuhan makroalga. Mengingat kondisi kegiatan KJA yang berjalan sekarang di perairan Pulau Semak Daun yang berjumlah 32 unit (200 petak keramba) diharapkan jangan ada lagi penambahan jumlah KJA agar ekosistem terumbu karang tetap lestari. Faktor nutrien mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap persentase tutupan makroalga dan tutupan karang hidup, oleh karena itu pengelola hendaknya lebih memperhatikan kondisi kualitas perairan agar tetap terjaga. Metode pendugaan daya dukung yang dilakukan dengan pendekatan kualitas lingkungan perairan, seperti ketersediaan oksigen terlarut dan limbah nitrogen organik yang berasal dari limbah kegiatan budidaya maupun antropogenik, berinteraksi dengan kondisi hidro-oseanografi perairan meliputi volume perairan (kedalaman dan luas), pola pasang surut, dan laju pembilasan (flushing rate) cukup memberikan gambaran kondisi daya dukung yang realistis bagi perairan Pulau Semak Daun untuk mengembangkan budidaya KJA ikan kerapu yang tidak mengganggu kondisi kualitas perairan di sekitarnya. Sebagaimana dijelaskan ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh kegiatan manusia, pada umumnya ekosistem terumbu karang sudah mengalami tekanan seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan. Akibat dari tekanan tersebut di antaranya adalah pergantian fase komunitas dimana makroalga memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada terumbu karang sendiri (Jompa dan Mc Cook 2003; Lardizabal, 2007). Salah satu penyebab utama terjadinya blooming makroalga pada ekosistem terumbu karang di Jamaika adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan populasi hewan herbivor tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga (Idjadi et al. 2006). Sementara karang sendiri hanya membutuhkan sedikit nutrien untuk kondisi ideal perkembangannya. Kondisi kimia perairan Pulau Semak Daun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nitrat termasuk pada kategori mesotrifik 0,110 0,290 (Hakanson & Bryhn 2008), hal ini menandakan bahwa adanya penambahan nutrien bisa mempengaruhi perairan menjadi ke tingkatan yang lebih subur, sementara ekosistem terumbu karang sangat menyukai perairan yang sedikit akan nutrien. Semakin tingginya masukan nutrien ke perairan, akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan makroalga sehingga dapat menyebabkan kematian pada karang. Limbah hasil kegiatan budidaya ikan dalam KJA baik berupa sisa pakan, feses dan ekskresi yang terbuang kedalam perairan (badan air) merupakan bahan pencemar organik yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan dan biota perairan lainnya. Kondisi parameter nitrat di lokasi penelitian masih dalam kategori mesotrofik, akan tetapi bisa menjadi eutrofik bila penambahan kegiatan KJA melebihi dari daya dukung perairan. Mengingat penambahan satu unit KJA akan menambah masukan nitrogen organik di perairan. Masukan nutrien terbesar berasal dari kegiatan antropogenik dibandingkan dari kegiatan KJA, maka perlu adanya pembatasan atau pengurangan jumlah beban limbah yang diperkirakan masuk ke lingkungan perairan. Pembatasan tersebut dapat diupayakan dengan penekanan laju pertumbuhan penduduk, membatasi dan menata pemukiman penduduk di sekitar Perairan Pulau Semak Daun,

53 41 pengelolaan air limbah sebelum langsung masuk ke perairan (Waste Water Management), membuat sarana tempat pembuangan sampah akhir di daratan yang mudah dijangkau, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pesisir bukan merupakan tempat pembuangan sampah akan tetapi adalah ladang untuk kehidupan dan mendapatkan mata pencaharian. Sementara untuk penurunan jumlah beban limbah dari budidaya lebih didasarkan pada upaya efisiensi pakan melalui teknik pemberian pakan yang baik (frekuensi dan dosis pakan yang tepat) dan pengaturan padat tebar ikan dengan perbaikan dari sisi manajemen budidaya. Dengan mengetahui daya dukung perairan, khususnya jumlah KJA yang optimal untuk perairan Pulau Semak Daun diharapkan dapat mengurangi beban limbah organik dari KJA yang masuk ke perairan sehingga akan menciptakan kondisi ideal bagi ekosistem terumbu karang dan mengurangi laju pertumbuhan makroalga. Pengelolaan perairan Pulau Semak Daun seharusnya menggunakan instrumen berupa perizinan untuk membatasi jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang beroperasi, perizinan tersebut disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan zonasi perairan Pulau Semak Daun. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis daya dukung lingkungan, untuk mengelola perairan Pulau Semak Daun terutama dalam upaya pelestarian ekosistem terumbu karang jumlah keramba jaring apung (KJA) optimal dan maksimal yang diperkenankan adalah unit ( petak keramba) atau 2,3 3,4 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA di perairan Pulau Semak Daun. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan berkaitan dengan hasil penelitian ini dalam upaya pengelolaan perairan Pulau Semak Daun berdasarkan daya dukung lingkungan antara lain: 1. Sebagai pengelola perairan Pulau Semak Daun diharapkan Pemerintah Daerah membuat peraturan tentang ketentuan jumlah keramba jaring apung yang diperkenankan sesuai dengan daya dukung perairan yaitu unit ( petak keramba), agar keberadaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun tetap lestari. 2. Mengolah limbah antropogenik dengan pengelolaan limbah di daratan sebelum masuk ke perairan, serta efisiensi pakan bagi kegiatan keramba jaring apung. 3. Merekomendasikan pembuatan zonasi dalam pengelolaan perairan Pulau Semak Daun.

54 42 DAFTAR PUSTAKA [ADB] Asian Development Bank Our framework policies and strategies fisheries. APHA Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 17 th edition. American Public Health Association, Washington, DC. Bannister RCA Stock Enhancement Workshop Report. ICES Marine Science Symposium, 192: Bellwood DR., Hughes TP., Folke C., Nystroem M Confronting the coral reef crisis. Nature 429: [BAPEKAB] Badan Perencanaan Kabupaten Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan PT Plarenco Kajian Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu [Laporan Akhir]. 102p. Bartley DM., Leber KM Marine Ranching. FAO Fisheries Technical Paper. 231p. Barg U. C Guidelines of the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122 pages. Benayahu Y & Loya Y Competition for space among coral-reef sessile organism at Eilat, Red Sea. Bulletin of Marine Science 31 (3): Bengen D.G Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Boyd C. E. (1990).Water quality in ponds for Aquaculture, Alabama a Agriculture Experiment Station, Auburn University. Alabama P462. Brian E., Lapointe, Peter J., Barile, Mark, M. Littler., Diane S., Littler, Bradley J., Bedford, Constance Gasque Macroalgal blooms on southeast Florida coral reefs I. Nutrient stoichiometry of the invasive green alga Codium isthmocladum in the wider Caribbean indicates nutrient enrichment. Elsevier. Harmful Algae 4 (2005) Carter RWG Coastal Environments: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastlines. Academic Press. London. Chabanet P., Ralambondrainy H., Amanieu M., Faure G., Galzin R Relationship between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16 : Clark J Coastal Ecosystems: Ecological considerations for management of the coastal zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C. 178p. Cronin G., Hay ME Effects of light and nutrien availability on the growth, secondary chemistry, and resistance to herbivory of two born seaweeds. OIKOS 77: Damar A Teluk Jakarta, Tercemar Sekaligus Subur. article/articleview/2660/1/25/. Akses tanggal 15 Januari D'Elia C.F., Wiebe W.J Biogeochemical nutrient cycles in coral reef ecosystems. In: Z. Dubinsky (ed) Coral reefs. Ecosystems of the world 25. Elsevier, New York, Dahuri R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.

55 Dartnal AJ., Jones M A Manual survey Method for Living resources in coastal area. ASEAN. Australia Cooperative Program in Marine' Science, Australian Institute of Marine Science. Diaz P., McCook L Makroalgae (seaweeds) in China (ed) The State of the Great Barrier Reef On-Line. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville. 47 pp. Effendi I Pengantar Akuakultur. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Effendi I Riset Terapan Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Bogor. English S., Wilkinson C., Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Goddard S Importance and Benefit of Using Lipids in Fish Nutrition. Fett/ Lipid. 9: (Steffens W Importance and benefit of using lipids in fish nutrition. Fett/Lipid 9, ). Gomez ED., Yap HT Monitoring reef condition In: Kenchington, R.A. and Brydget ET. Hudson (eds.). Coral Reef Management Hand Book. Unesco Regional Office for South East Asia. Jakarta P. Hakanson L., A.C. Bryhn Eutrophication in the Baltic Sea Present Situation, Nutrien Transport Processes, Remedial Strategies. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 263p Hallock P The role of nutrient availability in bioerosion: consecuences to carbonate buildups. Palaeogeogr Palaeo Clim Palaeoecol 23: Hatta M Sebaran Klorofil-a dan Ikan Pelagis: Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hay ME The ecology and evolution of seaweed-herbivore interactions on coral reefs. Coral Reefs 16. Suppl.: S67 S76. Hughes T.P., Szmant A.M., Steneck R., Carpenter R., Miller S Algal blooms on coral reefs: what are the causes? Limnology. Oceanography. 44, Idjadi JA., Lee SC., Bruno JF., Precht WF., Allen-Requa L., Edmunds PJ Rapid phase-shift reversal on a Jamaican coral reef. Coral Reefs 25: Jompa J., McCook LJ The effects of nutrient and herbivory on competition between a hard coral (Porites Cylindrica) and a brown alga (Lobophora variegata). Limnology. Oceanography, 47(2), 2002, Jompa J., McCook LJ Coral algal competition: macroalgae with different properties have different effects on corals. Marine Ecology Progress Series. 258: Jia J., Chen J Sea farming and sea ranching in China. FAO fisheries technical paper 418. Kasijian R., Juwana S Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Ed. Rev. PT. Djambatan. Kenchington RA., Huson BET Coral reef management handbook. Jakarta, Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in Sounth-East Asia. 281p. 43

56 44 Kurnia R Model Restocking Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) Dalam Sistem Sea Ranching Di Perairan Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ladrizabal S Beyond The Refugee: A Makroalgal Primer. Reefkeeping Magazine. Vol. 5. Issues 12. Lapointe B Macroalgal Production and Nutrient Relations in Oligitropic Area of Florida Bay. Bull. Biol. Sci. 44, Lapointe B.E., Littler M.M., Littler D.S Modification of benthic community structure by natural eutrophication: the Belize barrier reef. In: Proceedings of the 7th International Coral Reef Symposium, 1992, Guam. 1: Lapointe B.E., Barile, P.J., Matzie W.R Anthropogenic nutrient enrichment of seagrass and coral reef communities in the Lower Florida Keys: discrimination of local versus regional nitrogen sources. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 308 (1), Legendre L., P. Legendre Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. 417 p. Lirman D Competition between macroalgae and corals: effects of herbivore exclusion and increased algal biomass on coral survivorship and growth. Coral Reefs 19: Livingston R J Eutrophication processes in coastal systems: origin and succession of plankton blooms and effects on secondary production in Gulf Coast estuaries. Florida: CRC Press. Mahasim NW., Saat A., Hamzah Z., Sohari RR., Ki KHA Nitrate and Phospate Contents and Quality of Well Water in North-Eastern Districts of Kelantan. SKAM18. 8 hal. Mark, M. Littler, Diane S., Littler, Barrett L., Brooks Harmful algae on tropical coral reefs: Bottom-up eutrophication and top-down herbivory. Elsevier. Harmful Algae 5 (2006) Mantyka CS., Bellwood DR Direct evaluation of macroalgal removal by herbivorous coral reef fishes. Coral Reefs 26: Mason CF Biology of Freshwater Pollution. Second edition. Longman Scientific and Technical. New York. 351p. Masaaru Marine Ranching: Present Situation and Perpective in Marine. McClannahan TR., Sala E., Stickels PA., Cokos BA., Baker AC., Starger CJ., Jones Interaction between nutrients and herbivory in controlling algal communities and coral condition on Glover s Reef, Belize. Marine Ecology Progress Series 261: McClelland JW., Valiela I Changes in Food Web Structure Under the Influence of Increased Anthropogenic Nitrogen Inputs to Estuaries. Mar. Ecol. Prog. Ser. 168: McCook LJ Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: Scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18: McCook LJ Competition between corals and algal turfs along gradient of terestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reefs 19: Mc. Donald M.E., Tikkanen., C. A. Axler, R. P Larsen, C. P., Host G Fish Simulation Culture Modekl (FIS-C) : A Bioenergetics Based Model for

57 Aquacultural Wasteload Application. Aquacultural Engineering 15 (4) : Meade J. W Aquaculture Management. AnAvi Book, Van Nostrand Reinhold, New York. 175p. Menteri Negara Lingkungan Hidup Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, Jakarta. Moksness E., Stole R Larvaviculture of Marine Fish for Sea Ranching Purposes: Is it Profitable? Aguaculture. Norway. Morrisey J Primary productivity of coral reef benthic makroalgae. Proceeding of the Fifth International Coral Reef Congress, Tahiti. Vol. 5. Mugg J., Serrano A., Liberti A., Rice MA Aquaculture Effluents: A Guide for Water Quality Regulators and Aquaculturists. Aquaculture Center. NRAC Publication No Mukhtasor Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Mustafa S Stock enhancement anda sea ranching: objectives and potential. Reviews in Fish Biology and Fisheries 13: Noor A Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus Di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan). [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nontji A Laut Nusantara. Edisi Revisi. Penerbit Gedia, Jakarta. Nixon S.W., Ammerman J.W., Atkinson L.P., Berounsky V.M., Billen G., Boicourt W.C.,Boynton W.R., Church T.M., Ditoro D.M., Elmgren R., Garber J.H., Giblin A.E., Jahnke R.A., Owens N.J.P., Pilson M.E.Q. & Seitzinger S.P., The fate of nitrogen and phosphorus at the land-sea margin of the North Atlantic Ocean. Biogeochemistry,35: Nybakken JW Biology Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia.Nixon SW Coastal marine eutrophication: A definition, social causes, and future concerns. Ophelia 41 : [PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Working Paper PKSPL-IPB, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, disampaikan pada 12 Oktober Poernomo, A Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Udang Ramah Lingkungan. Ditjend Perikanan, Jakarta. Rachmansyah, Tonnek S., Usman Produksi Ikan Bandeng Super dalam Keramba Jaring di Laut, P:Dalam Prosiding Seminar Regional Hasil-hasil Penelitian berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem Usaha tani di Kawasan Timur Indonesia, Kupang Juli Balai Penelitian dan kajian Naibonat, Kupang. 22 hal Randdall RH Guide to The Coastal Resource of Guam. Vol. II The Corals. University of Guam. Retnani A.D Struktur Komunitas Plankton di Perairan Mangrove Angke Kapuk, Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 45

58 46 Romimohtarto K., Juwana S Biologi laut: ilmu pengetahuan tentang biota laut. Ed rev. Jakarta: Penerbit Djambatan.. San Diego-McGlone M.L Marine Science Institute University of Philippines. Akses tanggal 20 Januari Sale PF The Ecology of fishes on coral reefs. San Diego: Academic Press, IN. Salvanes AGV Encyclopedia of ocean sciences (eds.) Steela J, Turekian KK, Thorpe SA. Academik Press 4: SEPA Evidence to the Scottish Parliamentary Inquiry into Aquaculture. Scottish Parliament, 2002b. Transport and Environment Committee 5 th Report Report on phase 1 of the inquiry into aquaculture. Evidence, SP Paper 542, Scotland, vol. 2. The Stationary Office, Edinburgh, Scotland, p [SPKKAKS] Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Perdana, P. K Monitoring dan Evaluasi dalam Rangka Sea Farming [Laporan Akhir]. 114p. Spotte S Captive Seawater Fishes : Science and Technology. Willey- Interscience Publication. John Wiley & Sons. Inc. New York. Steven ADL., Atkinson MJ Nutrient uptake by coral reef microatolls. Coral Reefs 22: Stimson J., Larned ST., Conklin E Effects og herbivory, nutrient levels, and introduced alga on the distribution and abundance of the invasive macroalga Dictyosphaeria cavernosa in Kaneohe Bay Hawaii. Coral reefs 19: Supriharyono Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan. Susilo SB Konsentrasi Klorofil-a Sebagai Penduga Produktivitas Perairan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 6(2): Sutarmat T., Hanafi A., Suwarya K., Ismi S., Wadoyo, Kawahara S Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Terhadap Performasi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indoenesia. Edisi Akuakultur. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dam Perikanan Republik Indonesia. Szmant AM Nutrient Enrichment on Coral Reefs: Is It a Major Cause of Coral Reef Decline? Estuaries Vol. 25, No. 4b, p Tomascik T., Sander F Effects of eutrophication on reef building corals. II. Structure of scleractinian coral communities on fringing reefs, Barbados, West Indies. Mar. Biol. 94, Tomascik T, Sander F Effects of eutrophication on reef building corals: III. Reproduction of reef-building coral Porites porites. Mar. Biol 94: Tubawalony S Pengaruh Faktor-Faktor Oseanografi terhadap Produktivitas Primer Perairan Indonesia. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [UNEP] United Nations Enviroment Programme Training Manual on Assesment of the Wuantity and Type of Land-Based Pollution Discharges Into the Marine and Coastal Enviroment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1.

59 Warren H Evaluation of Matter Discharged from Trout Farming in Denmark. In: Albaster, J.S. _Ed.., Report of the EIFAC Workshop on Fish-Farm Effluents, EIFAC Tec. Pap. 41, 166 pp. Wetzel Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennsylvania. 743pp. Widigdo B Penyusunan Kriteria Ekobiologis untuk pemulihan dan Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL, Bogor. Wilkinson C. R., Williams D., Sammarco P.W., Hogg R.W., Trott L.A Rates of nitrogen fixatlon across the continental shelf of the central Great Barner Reef. Marine. Biology. 80: Williams ID., Pollunin NVC Large-scale association between macroalgal cover and grazer biomass on mid-depth reefs in the Caribbean. Coral Reefs 19: Wyrtki K Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Volume 2. The University of California Scripps Institution of Oceanography. La Jolla, California. 47

60

61 Lampiran 1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut No. Parameter Satuan Baku Mutu Fisika 1 Kecerahan m Coral >5 Mangrove-Lamun >3 2 Kebauan alami 3 Kekeruhan NTU <5 4 Padatan Tersuspensi Total mg/l Coral: 20 Mangrove: 80 Lamun: 20 5 Sampah nihil 6 Suhu ºC alami 7 Lapisan Minyak nihil Kimia 1 ph 7 8,5 2 Salinitas alami 3 Oksigen Terlarut (DO) mg/l >5 4 BOD mg/l 20 5 Amonia Total (NH3 N) mg/l 0,3 6 Fosfat (PO4 P) mg/l 0,015 7 Nitrat (NO3 N) mg/l 0,008 8 Sianida (CN-) mg/l 0,5 9 Sulfida mg/l 0,01 10 PAH (Poliaromatik Hidrokarbon) mg/l 0, Senyawa fenol total mg/l 0, PCB total (poliklor bifenil) mg/l 0,01 13 Surfaktan (deterjen) mg/l/mbas 1 14 Minyak dan lemak mg/l 1 15 Pestisida mg/l 0,01 16 TBT (tributil tin) mg/l 0,01

62 50 Lampiran 2. Perhitungan Pendugaan Limbah N dan P yang dihasilkan dari Produksi 1,08 ton Ikan Kerapu 1. Diketahui satu unit keramba terdiri dari 6 buah petakan keramba. Jika dalam 1 unit keramba serentak ditebar dengan benih ikan, sehingga 1 unit keramba berisi ± ekor ikan kerapu. Selama masa pemeliharaan diasumsikan tingkat kelulusan hidupan ikan sebesar 80%, sehingga pada saat pemanenan diperkirakan total biomass ikan kerapu adalah ekor. Jika bobot individu ikan 500g/ekor maka dalam satu siklus pemeliharaan (6 bulan) didapat total produksi sebesar 1,08 ton ikan kerapu. 2. Diketahui untuk memproduksi 0,238 ton ikan membutuhkan pakan 1,405 ton rucah (Noor, 2008). Jika diasumsikan produksi total 1,08 ton ikan kerapu maka kebutuhan pakan rucah sebanyak 2,341 ton untuk 1 unit keramba selama enam bulan. Dengan nilai N (12,6%) = 2,341 x 12,6% = 295,1 Kg P (2,6%) = 2,341 x 2,6% = 60,9 Kg 3. Pakan terbuang (sisa) adalah 18% dari total pakan yang diberikan, dengan jumlah 421,5 Kg. Dengan nilai N (12,6%) = 421,5 x 12,6% = 53,1 Kg P (2,6%) = 421,5 x 2,6% = 11,0 Kg 4. Total pakan yang dimakan oleh ikan (total pakan yang diberikan total pakan yang terbuang) adalah 1.920,2 Kg sebanyak 82 %. Dengan nilai N (12,6%) = 1.920,2 x 12,6% = 241,9 Kg P (2,6%) = 1.920,2 x 2,6% = 49,9 Kg 5. Dengan kecernaan N dan P pakan, dari N dan P pakan yang dimakan. Dengan nilai N (81%) = 241,9 x 81% = 196 Kg P (57,5%) = 49,9 x 57,5% = 28,7 Kg 6. Maka diperoleh kandungan N dan P dalam feses ( N dan P dalam pakan yang dimakan dikurangi kecernaan N dan P pakan). Banyaknya feses yang dikeluarkan oleh ikan yang dipelihara adalah sekitar 39,4% dari pakan yang dimakan dengan total 756,6 Kg. Dengan nilai N = 241,9 196 = 46 Kg P = 49,9 28,7 = 21,2 Kg 7. Dari kecernaan pakan N dan P akan tersimpan didalam daging ikan (retensi) sebesar : Dengan nilai N (26,1%) = 196 x 26,1% = 51,1 Kg P (23,8%) = 28,7 x 23,8% = 6,8 Kg 8. Sehingga N dan P yang akan terbuang sebagai eksresi (terlarut) berasal dari kecernaan N dan P pada pakan dikurangi retensi N dan P dalam daging. Dengan nilai N = ,1 = 144,8 Kg P = 28,7 6,8 = 21,9 Kg 9. Sehingga jumlah total loading N dan P dari kegiatan budidaya sistem keramba jaring apung yang masuk keperairan adalah : N = 53, ,8 = 243,9 Kg P = ,2 + 21,9 = 54,1 Kg

63 51 Lampiran 3. Hitungan volume air laut melalui elevasi pasang surut Hari ke-i: HWLi (cm) LWLi (cm) hi (m) Volume (m3) ,214, ,246, ,246, ,183, ,120, ,073, ,025, ,733, ,418, ,260, ,575, ,575, ,733, ,206, ,521, ,805, ,899, ,057, ,404, ,467, ,435, ,214, ,088, ,206, ,891, ,206, ,521, ,899, ,277, ,309,495 Rataan: ,660,729

64 52 Lampiran 4. Perhitungan Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Limbah N Perhitungan nutrifikasi N dengan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992), yaitu: Ec adalah konsentrasi N dalam air (mg/l); N adalah jumlah nitrogen yang masuk keperairan (g) (produksi 1,08 ton); F adalah flushing time dan V adalah volume perairan (m 3 ). Flushing time (F) dapat dihitung dengan pendekatan tidal exchange method sebagai berikut: Berdasarkan data perairan yang diperoleh di pulau Semak Daun, maka : Sehingga dengan demikian didapati nilai flushing time (F) : Dari nilai F yang didapat maka : Perhitungan dengan nutrient loading model akan menghasilkan nilai konsentrasi N dalam perairan akibat masukan N limbah budidaya dan non budidaya. Produksi optimal (P opt ) dapat diduga dengan cara sebagai berikut: P opt adalah produksi optimal yang dapat dicapai; (N bm ) adalah N baku mutu perairan (0,3 1 mg/l batas N yang disyaratkan KLH, 2004) dan (N lp ) adalah N limbah produksi 1,08 ton kerapu/unit keramba/6 bulan. Sehingga Produksi optimal untuk N baku mutu 0,3 mg/l adalah : Produksi maksimal untuk N baku mutu 1 mg/l adalah :

65 53 Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian Lokasi Kegiatan Keramba Jaring Apung Pengambilan data Kualitas Air Pengambilan Data karang Hamparan Karang dan Ikan herbivor Hamparan karang Pengambilan Data karang Hamparan karang Perairan dalam Lokasi Penelitian

66 54 Ikan Herbivor dan Hamparan Karang Perairan Pulau Semak Daun Makro alga Ikan Herbivor dan Hamparan Karang

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 2 November 2014: 163-172 ISSN 2087-4871 ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

Estimation of organic waste and waters carrying capacity in relation to coral reefs management on Semak Daun Island Thousand Islands

Estimation of organic waste and waters carrying capacity in relation to coral reefs management on Semak Daun Island Thousand Islands Estimasi limbah organik dan daya dukung perairan dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu Estimation of organic waste and waters carrying capacity in relation

Lebih terperinci

ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 5. No. 2 November 2014:161-170 ISSN 2087-4871 ESTIMASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KERAMBA JARING APUNG, DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAMBA JARING APUNG DENGAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAMBA JARING APUNG DENGAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAMBA JARING APUNG DENGAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI (Studi Kasus: Kelompok Sea Farming Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu DKI Jakarta)

Lebih terperinci

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) Metode pengamatan ekosistem terumbu karang Metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang menggunakan transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar yang

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo 1.2 Sandrianto Djunaidi, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 dj_shane92@yahoo.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1

DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1 DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN SERIBU, BAGI PENGEMBANGAN SEA RANCHING IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) 1 (The carrying capacity of Semak Daun shallow water, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG Mharia Ulfa Alumni Pascasarjana Ilmu lingkungan Program

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Fahror Rosi 1, Insafitri 2, Makhfud Effendy 2 1 Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura 2 Dosen Program

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data 5. METODOLOGI.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan laut pulau Biawak dan sekitarnya kabupaten Indramayu propinsi Jawa Barat (Gambar ). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN Adelfia Papu 1) 1) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 49 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan di Teluk Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat, yang dimulai pada bulan Agustus 2007

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

Parameter Fisik Kimia Perairan

Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Alat Kondisi Optimum Karang Literatur Kecerahan Secchi disk

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc 1 Dr. HM. Mahfud Efendy, S.Pi, M.Si 1 1) Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan INTISARI Terumbu karang adalah sumberdaya perairan yang menjadi rumah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

Kalimantan Selatan III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian

Kalimantan Selatan III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan (Gambar 3). Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan antara

Lebih terperinci

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di enam lokasi pengamatan yaitu Untung Jawa (UJ), Pramuka (PR), Panggang (PG), Semak Daun (SD), Belanda (BL) dan Kayu Angin (KA) yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR

PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 6, No. 2, Agustus 21 ISSN :286-3861 PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR CORAL COVER PERCENTAGE

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Tabel 1. Letak geografis stasiun pengamatan

3 METODE PENELITIAN. Tabel 1. Letak geografis stasiun pengamatan 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei hingga awal Agustus 2009. Lokasi penelitian berada di Zona Inti III (P. Belanda dan P. Kayu Angin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran, III. METODOLOGI PENELITIAN.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran, Lampung. Penelitian ini secara umum mencakup tahapan yaitu survei lapangan,

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

THE CORAL REEF CONDITION IN SETAN ISLAND WATERS OF CAROCOK TARUSAN SUB-DISTRICT PESISIR SELATAN REGENCY WEST SUMATERA PROVINCE.

THE CORAL REEF CONDITION IN SETAN ISLAND WATERS OF CAROCOK TARUSAN SUB-DISTRICT PESISIR SELATAN REGENCY WEST SUMATERA PROVINCE. THE CORAL REEF CONDITION IN SETAN ISLAND WATERS OF CAROCOK TARUSAN SUB-DISTRICT PESISIR SELATAN REGENCY WEST SUMATERA PROVINCE Khaidir 1), Thamrin 2), and Musrifin Galib 2) msdcunri@gmail.com ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA SKRIPSI AMANDA PARAMITHA 090302048 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH 19 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di laksanakan pada bulan Februari Maret 2011 yang berlokasi di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Survei kondisi terumbu karang dan ikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 0 sampai dengan bulan Februari 0. Penelitian terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan survei di lapangan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala Berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI Kismanto Koroy, Nurafni, Muamar Mustafa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang secara geografis terletak di 106 36 48 BT dan 05 44

Lebih terperinci

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island INVENTORY OF CORAL REEF ECOSYSTEMS POTENTIAL FOR MARINE ECOTOURISM DEVELOPMENT (SNORKELING AND DIVING) IN THE WATERS OF BERALAS PASIR ISLAND BINTAN REGENCY KEPULAUAN RIAU PROVINCE By : Mario Putra Suhana

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat (Lampiran

Lebih terperinci

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.2 Hal.73-78 Jakarta, Agustus 2010 ISSN 1907-1043 KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU Arif Dwi Santoso Peneliti Oseanografi Biologi Badan Pengkajian

Lebih terperinci

Lampiran 1 Persentase tutupan karang stasiun 1

Lampiran 1 Persentase tutupan karang stasiun 1 99 Lampiran 1 Persentase tutupan karang stasiun 1 Benthic Lifeform Code Percent Category Hard Corals (Acropora) Cover Branching ACB 11.16 Tabulate ACT 0 Encrusting ACE 0 Submassive ACS 0 Totals Digitate

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di daerah Teluk Hurun, Lampung. Teluk Hurun merupakan bagian dari Teluk Lampung yang terletak di Desa Hanura Kec. Padang Cermin Kabupaten

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG

AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG Herman Yulianto 1 Nikky Atiastari 2 Abdullah Aman Damai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari peninjauan lokasi penelitian pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. kerapu macan ini berada di perairan sekitar Pulau Maitam, Kabupaten Pesawaran,

III. METODE PENELITIAN. kerapu macan ini berada di perairan sekitar Pulau Maitam, Kabupaten Pesawaran, III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk Budidaya kerapu macan ini berada di perairan sekitar Pulau Maitam, Kabupaten Pesawaran,

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci