commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pekerja dan Pengusaha a. Pengertian Pekerja Istilah buruh sangat sering digunakan dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah digunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum UU Ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Buruh dapat diartikan orang yang bekerja dibawah perintah orang lain, dengan menerima upah karena telah melakukan pekerjaan di perusahaan. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II tahun Alasan pemerintah mengganti istilah buruh karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangasa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan. Bermula dari sejarah penyebutan istilah buruh di atas, hal itu sebenarnya kurang sesuai dengan perkembangan sekarang. Buruh sekarang ini tidak sama lagi dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada hukum non formal seperti kuli, tukang dan sejenisnya, tetapi juga hukum formal seperti Bank, Hotel dan lain-lain. Oleh sebab itu maka, akan lebih tepat jika menyebutkannya dengan istilah pekerja. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badanbadan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif. 14

2 15 Berdasarkan Rancangan UU Ketenagakerjaan sebelumnya hanya menggunakan istilah pekerja saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya yakni UU Serikat pekerja/buruh yang menggunakan istilah Serikat pekerja/buruh. Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan, memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu dilakukan sebab tidak semua upah yang diterima identik dengan uang. Ada pula pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang (Lalu Husni, 2005:33-35). b. Pengertian Pengusaha Sama halnya dengan pekerja, penyebutan pengusaha juga mengalami perubahan. Istilah majikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan Majikan dalam Undang-undang tersebut adalah orang atau badan hukum yang memperkerjakan buruh. Istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep hubungan industrial pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama (Lalu Husni, 2005:36). Menurut UU Ketenagakerjaan dijelaskan pengertian pengusaha adalah: 1) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2) orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan

3 16 3) orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dinaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar Indonesia. Pada prinsipnya pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan baik milik sendiri maupun bukan. Secara umum istilah pengusaha adalah orang yang melakukan suatu usaha. Istilah yang dipergunakan dalam perturan perundang-undangan adalah majikan yaitu orang atau badan yang mempekerjakan buruh. Sebagai pemberi kerja, pengusaha adalah seorang majikan dalam hubunganya dengan pekerja atau buruh. Pada sisi yang lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya adalah seorang pekerja atau buruh dalam hubunganya dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham karena bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Harus dibedakan pula antara pengusaha dan perusahaan karena ada pengusaha yang sekaligus pemilik perusahaan dan ada yang tidak. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan perusahaan adalah sebagai berikut : 1). Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; dan 2). Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2. Tinjauan Umum tentang Serikat Pekerja a. Landasan hukum dan Pengertian serikat pekerja/serikat buruh Dasar hukum serikat pekerja/serikat buruh sebagai berikut (Abdul Khakim, 2015:19): 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (khususnya Pasal 28, Pasal 28C, dan Pasal 28F);

4 17 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 5) Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi; 6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep- 16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh; 7) Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor Kep- 201/Men/X/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial; 8) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 187/Men/X/2004 tentang Iuran Anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh; dan 9) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per- 06/Men/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi pekerja/buruh selanjutnya dituangkan dalam UU Serikat pekerja/ buruh. Hak berserikat dan berkumpul mendapat perhatian yang besar dari pemeritah. Terhadap norma perlindungan hak berserikat yang dituangkan dalam UU Serikat pekerja/ buruh (Asri Wijayanti, 2010:86). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Serikat pekerja/buruh. Yang dimaksud dengan Serikat pekerja/ buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan

5 18 pekerja/buruh dan keluarganya. Penjelasan dari sifat-sifat serikat pekerja/buruh adalah sebagai berikut (Abdul Khakim. 2015:16): 1) Bebas Yaitu sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya serikat pekerja/ buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/ buruh tidah dibawah pengaruh dan tekanan dari pihak lain. 2) Terbuka Yaitu bahwa serikat pekerja/ buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama suku bangsa, dan jenis kelamin. 3) Mandiri Yaitu bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak lain diluar organisasi. 4) Demokratis Yaitu bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi. 5) Bertanggung jawab Yaitu bahwa dalam hal mencapai tujuan dalam melaksanakan kewajibannya serikat pekerja/ buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat dan Negara. Serikat pekerja/ buruh merupakan bentuk pelaksanaan dari hak seseorang untuk berserikat dan berkumpul. Adanya serikat pekerja/buruh sangat penting dalam kelangsungan hubungan industrial yang mana

6 19 diharapkan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik untuk meningkatkan hubungan industrial di perusahaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU tentang Serikat pekerja/buruh, Serikat Pekerja atau serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ atau buruh dan keluarganya. b. Tata Cara Pembentukan Serikat pekerja/ buruh Pekerja/buruh memerlukan suatu wadah organisasi yang berfungsi sebagai alat pemersatu dan pembela kepentingan pekerja, maka dari itu dibutuhkan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang kuat dan didirikan oleh sebanyak-banyaknya pekerja yang berperan optimal dalam membela kepentingan serta kesejahteraan pekerja melalui keamanan dan menciptakan suasana kerja yang kondusif. UU Serikat pekerja/buruh menganut multi union system yaitu memberikan kebebasan kepada pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh. Setiap 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh menurut undang- undang tersebut telah dapat membentuk suatu serikat pekerja/serikat buruh. Ketentuan ini memungkinkan dalam satu perusahaan bisa berdiri beberapa serikat pekerja/serikat buruh. Banyaknya serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan dapat memungkinkan terjadinya perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh yang biasanya menyangkut masalah keanggotaan yang akan berdampak pada posisi mayoritas sebuah serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut (Maimun, 2007:29). Sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Serikat pekerja/buruh yakni setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh dibentuk oleh

7 20 sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Berdasarkan UUSerikat pekerja/buruh, pembentukan serikat pekerja/ buruh ini dengan ketentuan sebagai berikut (Hardijan Ruslin, 2004: ) : 1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dimana sekurang-kurangnya memuat (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)) : a) Nama dan lambang; b) Dasar negara, asas, dan tujuan; c) Tanggal pendirian; d) Tempat kedudukan; e) Keanggotaan dan kepengurusan; f) Sumber dan pertanggung jawaban keuangan; dan g) Ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga 2) Apabila ada perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, pengurus serikat pekerja harus memberitahukan kepada instansi pemerintah paling lama 30 (tiga puluh) hari, terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga tersebut (Pasal 21). 3) Memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat dengan dilampiri : a) Daftar nama anggota pembentuk; b) Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; dan c) Susunan dan nama pengurus; (Pasal 18). 4) Instansi pemerintah yang bertanggung-jawab, selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan, wajib mencatat dan memberikan nomor bukti pencatatan terhadap serikat pekerja yang telah memenuhi ketentuan (Pasal 20 ayat (1) ); buku pencatatan harus dapat dilihat setiap saat dan terbuka untuk umum. 5) Dalam hal serikat pekerja belum memenuhi ketentuan, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab itu dapat menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dengan memberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan (Pasal 20 ayat (2) dan (3) ). 6) Pengurus serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan, harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya (Pasal 23).

8 21 Pasal 10 UU Serikat pekerja/ buruh. Serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan kesamaan: 1) Sektor usaha, misalnya serikat pekerja/buruh di perusahaan tekstil bergabung dengan serikat pekerja/buruh diperusahaan tekstil lainnya, atau serikat pekerja/buruh diperusahaan jasa perhotelan bergabung dengan serikat pekerja/buruh di perusahaan jasa perhotelan lainnya. 2) Jenis pekerjaan, misalnya serikat pekerja/buruh tukang las atau serikat pekerja/buruh pengemudi. 3) Bentuk lain, misalnya pekerja/buruh di perusahaan roti, pekerja/buruh diperusahaan batik, dan pekerja/buruh di perusahaan sepatu atau pekerja/buruh pembantu rumah tangga, para pekerja/buruh yang bersangkutan bergabung membentuk satu serikat pekerja/ buruh. c. Fungsi Serikat pekerja/ buruh Menurut Pasal 4 ayat (2) UU Serikat pekerja/buruh tentang fungsi utama Serikat pekerja/ buruh adalah sebagai berikut (Asri Wijayanti. 2010:89): 1) Pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaiannya; Perjanjian kerja bersama dibuat atas dasar musyawarah atau perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan tidak boleh adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah, maka penyelesaian pembentukan perjanjian kerja bersama dilakukan melalui prosedur penyelesaian hubungan industrial (Djumialdji, 2010:74). 2) Wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerjasama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;

9 22 Lembaga kerjasama di bidang ketenagakerjaan, misalnya Lembaga Kerjasama Bipartit, Lembaga Kerjasama Tripartit dan lembaga-lembaga lain yang bersifat tripartit seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Kerja, atau Dewan Penelitian Pengupahan. 3) Sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Serikat pekerja/buruh diharapkan dapat menempatkan diri sebagai mitrausaha yang baik yang memperhatikan dua kepentingan yang berbeda untuk disatukan.tetap memperjuangkan aspirasi pekerja dengan tanpa mengabaikan kepentingan pengusaha. 4) Sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya ; Harus adanya batasan mengenai hak dan kepentingan yang akan diperjuangkan agar tidak terjadinya pertentangan antar serikat pekerja/buruh dengan alasan memperjuangkan hak anggota yang kurang prinsip untuk menarik simpati pekerja menjadi anggotanya. 5) Perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan Apabila mengajak pekerja lain atau anggotanya untuk melakukan mogok kerja, tidak boleh adanya pemaksaan, sebab pekerja berhak menolak ikut serta dalam mogok kerja. Selama serikat buruh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang sebelum melaksanakan mogok, maka mogok itu akan dianggap sah dan para pekerja yang melakukan mogok tetap mendapatkan upah. 6) Wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Upaya serikat pekerja dalam menyatukan dua kepentingan pengusaha dengan pekerja yang berbeda. Kepentingan utama pengusaha adalah meningkatkan produktivitas dengan menghasilkan keuntungan yang besar.

10 23 Di lain pihak kepentingan utama pekerja adalah mendapatkan penghasilan yang meningkat dalam bentuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan. Menurut Payaman Simanjuntak Serikat Pekerja merupakan salah satu sarana dan pelaksana utama hubungan industrial. Sebagai pelaksana utama hubungan industrial, Serikat Pekerja mempumyai peranan dan fungsi berikut ini (Payaman Simanjuntak, 2003:39) : 1) Menampung aspirasi dan keluhan pekerja, baik anggota maupun bukan anggota Serikat Pekerja yang bersangkutan; 2) Menyalurkan aspirasi dan keluhan tersebut kepada manajemen atau pengusaha baik secara langsung atau melalui Lembaga Bipartit; 3) Mewakili pekerja di Lembaga Bipartit; 4) Mewakili pekerja di Tim Perunding untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama; 5) Mewakili pekerja di lembaga-lembaga kerjasama ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya seperti Lembaga Tripartit, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Dewan Latihan Kerja, dll; 6) Memperjuangkan hak dan kepentingan anggota baik secara langsung kepada pengusaha maupun melalui lembaga-lembaga ketenagakerjaan; 7) Membantu menyelesaikan perselisihan industrial; 8) Meningkatkan disiplin dan semangat kerja anggota; 9) Aktif mengupayakan menciptakan atau mewujudkan hubungan industrial yang aman dan harmonis; dan 10) Menyampaikan saran kepada manajemen baik untuk penyelesaian keluh kesah pekerja maupun untuk penyempurnaan system kerja dan peningkatan produktivitas perusahaan. d. Hak dan Kewajiban Serikat pekerja/serikat buruh Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Serikat pekerja/buruh menyatakan Serikat Pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak (Abdul Khakim, 2015:19): 1) Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; 2) Mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial; 3) Mewakili pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan, misalnya Lembaga Kerjasama Bipartit, LembagaKerjasamaTripartit dan lembaga-lembaga

11 24 lain yang bersifat tripartitseperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Kerja, ataudewan Penelitian Pengupahan; 4) Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja antara lain dengan mendirikan koperasi, yayasan dan lain-lain; dan 5) Melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serikat Pekerja/buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban (Abdussalam, 2015: 271): 1) Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya; 2) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;dan 3) Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada aggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 3. Tinjauan Umum tentang Hubungan Industrial a. Pengertian dan Subjek Hubungan Industrial Hubungan industrial pengusaha dengan pekerja merupakan pihak yang paling berperan di perusahaan. Hubungan industrial yang harmonis di antara kedua belah pihak dapat terwujud apabila pengusaha dan pekerja melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, adanya pelanggaran hak dan kewajiban akan menimbulkan sebuah perselisihan industrial. Pengertian hubungan industrial berdasarkan UU ketenagakerjaan, Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Hal ini menjelaskan, bahwa hubungan industrial terjadi dalam proses produksi barang dan atau jasa.

12 25 Menurut Taliziduhu Ndraha menyatakan bahwa Hubungan kerja (industrial relations, employee relations) adalah hubungan timbal balik yang terbentuk sebagai akibat perjanjian kerja dan peraturan kerja yang disepakati bersama secara bebas dan sadar oleh tenaga kerja dan pemberi kerja (pengusaha, majikan). Hal ini menjelaskan, bahwa hubungan industrial terbentuk akibat adanya perjanjian kerja dan peraturan kerja. Kedua belah pihak terikat pada perjanjian tersebut, hak bagi salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, demikian sebaliknya. Dalam hubungan ini harus didasarkan pada prinsip saling membutuhkan, bahkan kedua belah pihak harus bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama (Taliziduhu Ndraha, 1999: 115). Sedangkan Payaman Simanjuntak menyatakan bahwa Hubungan Industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan(payaman Simanjuntak, 2003:1). Berdasarkan beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa hubungan industrial adalah hubungan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja dalam suatu organisasi yang terbentuk akibat adanya perjanjian kerja dan peraturan kerja yang disepakati bersama secara bebas dan sadar oleh tenaga kerja dan pemberi kerja. Subjek hukum dalam hubungan industrial adalah pihak yang terkait dalam hubungan industrial, yaitu buruh, majikan, dan pemerintah. Kedudukan buruh dan majikan adalah dalam kaitannya dengan adanya hubungan kerja yang menjadi inti dari hubungan industrial. Sedangkan kedudukan pemerintah sebagai pihak yang terkait sangat penting dalam melaksanakan fungsinya untuk mengatur, membina dan mengawasi hubungan industrial. Di samping ketiga pihak di tersebut, masih ada pihak lain yang berkaitan dalam hubungan industrial, yaitu masyarakat (Asri Wijayanti, 2010: 58).

13 26 b. Fungsi dan Sistem Hubungan Industrial Terkait pelaksanaan hubungan industrial, masing-masing pihak mempunyai fungsi yang berbeda (Asri Wijayanti, 2010:59-61). Berdasarkan ketentuan Pasal 102 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, fungsi pemerintah dalam melaksanakan hubungan industrial sebagai berikut (Abdul Khakim, 2015:11): 1) Menetapkan kebijakan; 2) Memberikan pelayanan; 3) Melaksanakan pengawasan; dan 4) Melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. Pemerintah harus melaksanakan fungsinya dengan baik hal ini dikarenakan fungsi pemerintah bersifat kumulatif yang harus dilaksanakan secara keseluruhan. Sedangkan fungsi serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 102 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yaitu (Asri Wijayanti, 2010:60): 1) Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya; 2) Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi; 3) Menyalurkan aspirasi secara demokratis; 4) Mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan; dan 5) Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Keenam fungsi di atas berbeda dengan fungsi yang tercantum ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) UU serikat pekerja/buruh yaitu: 1) Pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaiannya; 2) Wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerjasama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya; 3) Sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) Sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya ;

14 27 5) Perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 6) Wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Selanjutnya fungsi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial berdasarkan Pasal 102 ayat (3) UU tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut (Abdul Khakim, 2015:11): 1) Menciptakan kemitraan; 2) Mengembangkan usaha; 3) Memperluas lapangan kerja; dan 4) Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Apabila ketiga pihak tersebut melaksanakan fungsi hubungan industrial dengan maksimal, maka tidak akan ada permasalahan/perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Terdapat lima sistem hubungan industrial, yaitu sebagai berikut (Asri Wijayanti, 2010:64): 1) Sistem hubungan industrial atas dasar kegunaan (utility system) Pada sistem ini hubungan perburuhan diatur sedemikian rupa, sehinnga utility buruh dapat digunakan sepenuhnya. Ada kebijaksanaan full employment of man power. Buruh diberi upah dan jaminan yang tinggi apabila ia dapat memberikan tenaganya dengan maksimal. Dalam hal ini tenaga mereka diperas untuk mencapai produksi yang sebesar-besarnya. 2) Sistem hubungan industrial atas dasar demokrasi (democratic system) Sistem ini mengutamakan konsultasi dan musyawarah antara buruh dan majikan. 3) Sistem hubungan industrial atas dasar kemanusiaan (human system) Pada sistem ini tidak begitu memperhitungkan peningkatan produktivitas dan efisiensi. 4) Sistem hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup (life long commitment/life time employment)

15 28 Sistem ini terdapat di Jepang. Buruh cenderung setia pada majikan, baik perusahaan dalam keadaan untung atau rugi. Buruh mempunyai disiplin yang tinggi, bekerja keras dengan penuh dedikasi. Di pihak lain majikan memperlakukan buruhnya sebagai anak dan dianggap keluarga, dengan memberikan fasilitas-fasilitas. 5) Sistem hubungan industrial atas dasar perjuangan kelas. Sistem ini muncul atas ide dari Karl Marx dimana terdapat pertentangan kelas pemilik modal (kapitalis) dengan kelas buruh (proletar). Semakin tajam pertentangan maka semakin cepat diselesaikan dengan membinasakan kapitalis oleh kelas proletar yang menuntut keadilan. c. Konsep Hubungan Industrial Setiap negara perlu terlebih dahulu membenahi konsep hubungan industrial untuk menuju suatu negara industri yang kuat dan maju. Hal ini penting dilakukan karena hubungan industrial yang baik didukung oleh perangkat hukum yang baik (Bahder Johan Nasution, 2004:164). Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan dalam pelaksanaannya perlu didukung dengan adanya (Abdul Khakim, 2015:14): 1) Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan pekerja/buruh; 2) Kejelasan antara hak dan kewajiban yang dituangkan ke dalam bentuk PKB; 3) Sarana dan fasilitas yang mendukung, seperti sarana ibadah, koperasi karyawan, serta sarana olahraga dan rekreasi; 4) Lembaga penyelesaian perselisihan; dan 5) Peningkatan ketrampilan dan keahlian. Konsep hubungan industrial yang dapat diterapkan secara baik di suatu negara, belum tentu dapat diterapkan dengan baik di negara lain. Hal ini dikarenakan sistem hubungan industrial yang tepat bagi suatu negara

16 29 haruslah sistem yang sesuai dengan nilai sosial budaya negara yang bersangkutan. Oleh karena itu sistem hubungan industrial yang tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah hubungan industrial yang berlandaskan pada prinsip kemitraan dan keseimbangan, berasaskan kekeluargaan dan gotong royong serta musyawarah untuk mencapai mufakat (Bahder Johan Nasution, 2004:165) Sebagai pembanding pelaksanaan hubungan industrial di singapura dapat terlaksana dengan harmonis karena didukung adanya pendekatan kemitraan, kerangka hukum yang mendukung, mekanisme penyelesaian perselisihan yang jelas dan singkat, serikat pekerja/buruh sebagai mitra sosial, dan adanya manajemen yang terbuka. Sedangkan di Australia pelaksanaan hubungan industrial dapat terlaksana dengan harmonis karena didukung adanya peradilan perburuhan dengan hukum yang berbeda di masing-masing Negara bagian, aturan tentang pemogokan, dan struktur yang jelas antara hak dan kewajiban (Abdul Khakim, 2015:15). d. Sarana dalam Hubungan Industrial Agar tertibnya kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan peraturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif. Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan sikap mental dan sikap sosial hubungan industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai nilai budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilai nilai yang terdapat dalam hubungan industrial.untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 149 UU Ketenagakerjaan bahwa hubungan industrial dilaksanakan melalui saranasarana sebagai berikut (Asri Wijayanti, 2010:66-67):

17 30 1) Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Setiap pkerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Serikat pekerja/ buruh dalam melaksanakan fungsinya berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. Mengenai Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogokdiatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/buruh yang bersangkutan. 2) Organisasi Pengusaha. Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi Pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani Bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial. APINDO juga berhak mewakili dunia usaha dalam kelembagaan hubungan industrial dan ketenagakerjaan yang mana diatur dalam Pasal 10 sampai Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-201/Men/X/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial (Abdul Khakim. 2015:22). 3) Lembaga kerja sama bipartit. Suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha.setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota-anggota yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS bipartit bertugas dan berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Pedoman tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan LKS bipartit diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

18 31 Nomor Per-32/Men/XII/2008 tentang tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan Lembaga Kerja Samabipartit (Abdul Khakim. 2015:23). 4) Lembaga kerja sama tripartit. Merupakan LKS yang anggota anggotanya terdiri dari unsur-unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha.fungsi lembaga kerjasama tripartitmemberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.lks Tripartit terdiri dari LKS tripartit Nasional, LKS Tripartit Provinsi dan LKS Tripartit Kabupaten/Kota. Pedoman mengenai Tata kerja dan susunan organisasi LKS Tripartit diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit (Abdul Khakim. 2015:24). 5) Peraturan Perusahaan UU Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 20 yang dimaksud dengan Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan syaratsyarat kerja, hak kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari Perjanjian Kerja Bersama (PKB) maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha (Lalu Husni, 2005:74). Menurut Pasal 108 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, hal ini diperlukan agar peraturan perusahaan tidak dibuat secara sepihak oleh pengusaha saja. Tetapi kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki Perjanjian Kerja.

19 32 Setiap peraturan perusahan disamping tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan, juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Sendjun H.Manulang, 1995: 71): a) Disetujui secara tertulis oleh tenagakerja/pekerja; b) Satu lembar lengkap peraturan perusahaan itu diberikan dengan cuma-cuma oleh dan atas nama majikan/pengusaha kepada tenaga kerja; c) Satu lembar lengkap peraturan perusahaan tersebut oleh dan atas nama penguasaha serta ditandatangani oleh pengusaha, diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja untuk dibaca oleh umum; dan d) Satu lembar lengkap peraturan perusahaan tersebut ditempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para tenaga kerjanya/karyawan, setidak-tidaknya dalam ruang kerja. Berdasarkan Pasal 111 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuanketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian perburuhan atau disahkannya peraturan perusahaan baru (Darwin Prinst, 2002:80).Pedoman mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Abdul Khakim. 2015:26). 6) Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah suatu kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara pengusaha atau beberapa pengusaha dengan organisasi serikat pekerja/gabungan organisasi serikat pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

20 33 Organisasi serikat pekerja ini minimal mempunyai anggota 50% lebih dari seluruh pekerja/buruh yang ada di perusahaan. Persyaratan ini harus dipenuhi karena kalau kurang maka dapat berkoalisi dengan organisasi serikat pekerja sampai mencapai 50% lebih atau dapat juga meminta dukungan dari pekerja lainnya. Apabila suatu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh adalah serikat pekerja/buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Syarat-syarat berlakunya PKB antara lain ; a) Satu perusahaan hanya dapat dibuat satu Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan; b) Apabila perusahan memiliki cabang, maka dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) induk yang berlaku disemua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan; c) PKB induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan sedang PKB turunan yang dibuat cabang memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing; dan d) Apabila beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing-masing mempunyai badan hukum sendiri, maka PKB dibuat dan dirundingkan oleh masing-masing perusahaan. Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun yang mana dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/buruh. Pedoman mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 tahun 2014 tentang Tata

21 34 Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Abdul Khakim. 2015: 28). 7) Peraturan Perundamg-undangan Ketenagakerjaan Mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggungjawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. 8) Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan ketentuan Pasal 136 UU ketenagakerjaan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ buruh secara musyawarah untuk mufakat. Pelaksanaan mengenai lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud untuk mempermudah dan mempercepat proses penyelesaian perselisihan ( Siti Hajati Hoesin, 2004:69). 4. Tinjauan Umum tentang Hubungan Kerja a. Pengertian Hubungan Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Menurut Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang dimaksud hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan pemerintah. 1). Pekerjaan Unsur pekerjaan mempunyai arti bahwa buruh/pekerja mendapat pekerjaan bebas sesuai dengan apa yang diperjanjikan asal pekerjaan

22 35 tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketentuan umum yang berlaku. 2). Perintah Unsur perintah merupakan unsur yang paling dasar dari suatu hubungan kerja. Sehingga dalam hal ini pengusaha berhak dan mempunyai kewajiban untuk memberikan perintah kepada buruh/pekerja. Unsur perintah ini menyebabkan kedudukan antara atasan dan bawahan antara pengusaha dan buruh/pekerja. 3). Upah Upah merupakan unsur ketiga dalam hubungan kerja. Upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh/pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pihak pengusaha atau pemberi kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dari hal tersebut jelas bahwa hubungan kerja timbul jika ada pengusaha dan pekerja, setelah terjadi setelah adanya perjanjian dimana pekerja mengikatkan diri untuk bekerja dan menerima upah pada pihak pengusaha yang mengikatkan diri untuk memperkerjakan pekerjaanya dengan memberikan upah. Ciri khas dari hubungan kerja adalah dibawah perintah orang lain dengan menerima upah. Dari hubungan kerja yang timbul antara pekerja dan pengusaha tidak berjalan mulus, kadang sering terjadi sengketa atau perselisihan antara keduanya dan penyelesaianyapun cukup sulit. Hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja diwujudkan ke dalam suatu perjanjian kerja.

23 36 b. Perjanjian Kerja Salah satu perjanjian yang mungkin ada dalam hubungan ketenagakerjaan adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pembebanan kewajiban pada pekerja/buruh akan menimbulkan hak bagi pengusaha, demikian pula sebaliknya bahwa kewajiban pengusaha akan menimbulkan hak bagi pekerja/buruh. Adapun kewajiban-kewajiban bagi pekerja/buruh yang harus dilaksanakan (Djumialdji, 2010:42-43) yaitu: 1). Melakukan pekerjaan; Ruang lingkup pekerjaan harus diketahui pekerja sebelumnya sehingga pengusaha tidak memperluas pekerjaan dengan memberi upah yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja. Pekerja wajib melakukan pekerjaan itu sendiri dan tidak boleh diwakilkan. 2). Mentaati tata tertib perusahaan; Menurut Pasal 1603b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt), buruh wanita mentaati peraturan-peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan dan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan tata tertib dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh atau atas nama majikan dalam batas peraturan perundangundangan, perjanjian atau peraturan. Peraturan yang disebutkan dalam pasal ini adalah peraturan tata tertib perusahaan.peraturan tata tertib perusahaan ini ditetapkan oleh pengusaha sebagai akibat dari adanya kepemimpinan dari pengusaha kepada pekerja. 3). Wajib membayar denda dan ganti rugi; dan Setiap pelanggaran atas perbuatan yang sudah dikenakan denda tidak boleh dituntut ganti rugi untuk perbuatan tersebut. Denda yang dikenakan tidak boleh untuk kepentingan pengusaha tetapi untuk

24 37 kepentingan pekerja.ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari pekerja apabila terjadi kerusakan barang baik milik pengusaha, atau pihak ketiga, karena kesengajaan atau kelalaian.kewajiban membayar denda atau ganti rugi harus diatur lebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. 4). Bertindak sebagai buruh yang baik. Pekerja wajib melaksanakan kewajibannya dengan baik seperti apa yang tercantum dalam perjanjian kerja, maupun peraturan perusahaan. Di samping itu juga wajib melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan menurut perundang-undangan, kepatutan maupun kebiasaan. Pengusaha juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu (Djumialdji, 2010: 26-41): 1) Membayar upah Upah merupakan imbalan yang berupa uang atau dinilai dengan uang karena telah atau akan melakukan pekerjaan atau jasa. Pengusaha wajib membayar upah kepada buruh pada saat terjadinya perjanjian kerja berakhir. 2) Memberi waktu istirahat mingguan dan hari libur Istirahat mingguan hanya diberikan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, namun untuk waktu kerja 5 (lima) hari seminggu maka istirahat mingguan adalah 2 (dua) hari, pada umumnya jatuh pada hari Sabtu dan Minggu. Pada hari libur resmi pekerja berhak mendapat istitahat dengan upah sebagaimana biasa diterima. 3) Mengatur tempat kerja dan alat kerja Berdasarkan Pasal 1602w KUHPdt ditentukan bahwa majikan wajib untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat dan perkakas, di mana atau dengan mana ia menyuruh melakukan sedemikian rupa dan begitu pula mengenai melakukan pekerjaan, menggandakan aturan serta

25 38 memberi petunjuk sedemikian rupa sehingga pekerja terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan, atau harta bendanya, sepanjang mengingat sifat pekerjaan selayaknya diperlukan. Ketentuan Pasal ini ditujukan untuk melindungi pekerja, oleh sebab itu pengusaha yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi. 4) Memberi surat keterangan Kewajiban memberi surat keterangan diatur dalam Pasal 1602z KUHPdt yang menyatakan bahwa pada waktu berakhirnya hubungan kerja, pengusaha wajib memberi surat keterangan kepada pekerja. Surat keterangan ini biasanya memuat keteranganyang sesungguhnya tentang macam pekerjaan, masa kerja, dan sebagainya. 5) Bertindak sebagai pengusaha yang baik Pasal 1602y KUHPdt menyebutkan bahwa majikan wajib melakukan segala sesuatuyang dalam keadaan sama seharusnya dilakukan atau tidak dialkukan oleh seorang majikan yang baik. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa meskipun ada kewajiban yang tidak tertulis dalam perjanjian kerja tetapi menurut kepatutan serta kebiasaan atau undang-undang seharusnya wajib dilakukan atau tidak dialkukan, pengusaha harus melakukan hal tersebut. Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan ini kemudian menjadikan adanya hubungan kerja antara keduanya. Pasal 1601a KUHPdt memberikan pengertian sebagai berikut: perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), pengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain (majikan) untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerimah upah. Sedangkan di dalam Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan didefinisikan bahwa perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak sebagai Undang-Undang yang tujuannya antara lain

26 39 untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. UU Ketenagakerjaan memberikan panduan mengenai perjanjian kerja. Menurut Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis maupun lisan maka berdasarkan Pasal 54 UU Ketenagakerjaan harus memuat sebagai berikut: 1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 3) Jabatan atau jenis pekerjaan; 4) Tempat pekerjaan; 5) Besarnya upah dan cara pembayarannya; 6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; 7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 8) Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; dan 9) Tanda tangan para pihak dalm perjanjian. Apabila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1320 diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apa bila memenuhi empat syarat yaitu (Darwan Prinst, 2002:64-65): 1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; dan 4) Suatu sebab yang halal. Sedangkan dalam hukum ketenagakerjaan secara khusus diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bahwa kesahan suatu perjanjian kerja harus memenuhi adanya empat persyaratan sebagai berikut: 1) Kesempatan kedua belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti juga pada KUHPdt, suatu Perjanjian Kerja yang tidak memenuhi syarat pada nomor 1 dan 2 diatas dapat dibatalkan dikarenakan

27 40 syarat pada nomor 1 dan 2 merupakan syarat subyektif (menyangkut para pembuatnya), sedangkan yang tidak memenuhi syarat pada nomor 3 dan 4 batal demi hukum yang mana syarat pada nomor 3 dan 4 merupakan syarat obyektif (menyangkut para pembuatnya). Berakhirnya perjanjian kerja berarti putusnya hubungan kerja antara pengusaha/majikan dan pekerja/buruh. Di dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila: 1) Pekerja meninggal dunia; 2) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan 4) Adanya keadaan atau kejadian tertentuyang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

28 41 B. KERANGKA PEMIKIRAN Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat pekerja/ buruh Pekerja Pengusaha Hubungan Industrial Timbul hak dan kewajiban Fungsi serikat pekerja/ serikat buruh Kendala-kendala Gambar 1.1 Keterangan Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum.terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000

29 42 Serikat Pekerja merupakan tindaklanjut dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut merupakan acuan yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis permasalahan mengenai fungsi serikat pekerja/serikat buruh. Hubungan yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha dinamakan hubungan industrial yang mana hubungan ini berkaitan dengan bidang produksi dan jasa.adanya hubungan industrial menimbulkan hubungan hukum khususnya antara pengusaha dan pekerja. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, yang mana hak dan kewajiban diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan juga perjanjian kerja bersama. Apabila masing-masing pihak melaksanakan dan memenuhi hak dan kewajiban yang telah ditentukan maka salah satu fungsi serikat pekerja/serikat buruh dapat tercapai yaitu terjalinnya hubungan yang harmonis, akan tetapi apabila masingmasing pihak tidak memenuhi hak dan kewajiban yang telah ditentukan maka akan timbul/terjadi kendala-kendala yang akan mempengaruhi terciptanya hubungan industrial yang harmonis. Keseimbangan antara pekerja dan pengusaha merupakan tujuan yang akan dicapai agar terjalin hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UU No 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UNTUK

Lebih terperinci

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Serikat Pekerja/Serikat Buruh Serikat Pekerja/Serikat Buruh a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak 2.1.1 Pengertian pekerja Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 25/1997, KETENAGAKERJAAN *10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR SERIKAT PEKERJA PT INDOSAT BAB I NAMA, SIFAT, JANGKA WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN. Pasal 1 Nama

ANGGARAN DASAR SERIKAT PEKERJA PT INDOSAT BAB I NAMA, SIFAT, JANGKA WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN. Pasal 1 Nama ANGGARAN DASAR SERIKAT PEKERJA PT INDOSAT BAB I NAMA, SIFAT, JANGKA WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 Nama Serikat ini bernama Serikat Pekerja PT Indosat (Persero) Tbk disingkat SP Indosat. Pasal 2 Sifat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 255/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENCATATAN, PERUBAHAN ORGANISASI DAN PEMBUBARAN

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

FAQ HAK BURUH MELAKUKAN AKSI DEMONSTRASI 1

FAQ HAK BURUH MELAKUKAN AKSI DEMONSTRASI 1 FAQ HAK BURUH MELAKUKAN AKSI DEMONSTRASI 1 1. Apa itu Demonstrasi? Pasal 1 ayat 3 UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN III) HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 HUBUNGAN KERJA Hubungan Kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan patokan patokan perilaku, pada kedudukan kedudukan tertentu dalam masyarakat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Peraturan Kepala

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

FAQ HAK PEKERJA MELAKUKAN AKSI UNJUK RASA 1

FAQ HAK PEKERJA MELAKUKAN AKSI UNJUK RASA 1 FAQ HAK PEKERJA MELAKUKAN AKSI UNJUK RASA 1 1. Apa itu unjuk rasa? 2. Apakah seorang Pekerja boleh melakukan aksi demonstrasi? Pasal 102 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan : Dalam melaksanakan hubungan

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN - 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

Peran Serikat Pekerja Dalam Dinamika

Peran Serikat Pekerja Dalam Dinamika Peran Serikat Pekerja Dalam Dinamika Hubungan Industrial Purwanto HCS Expert PT. Angkasa Pura I Jakarta, 16 Desember 2016 Agenda : 1. Referensi 2. Organisasi Profesi dan Organisasi Pekerja 3. Hubungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/1994 TENTANG SERIKAT PEKERJA TINGKAT PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/1994 TENTANG SERIKAT PEKERJA TINGKAT PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA, MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/1994 TENTANG SERIKAT PEKERJA TINGKAT PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

copyright by Elok Hikmawati 1

copyright by Elok Hikmawati 1 copyright by Elok Hikmawati 1 Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata-tertib perusahaan. Bagian Keenam Bab XI Undang-Undang No.13 th.2003 tentang Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA PENGERTIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HALMAHERA TENGAH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan semangat

Lebih terperinci

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA LIGA HUKUM Vol.1 No. 1 JANUARI 2009 ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA Eko Wahyudi Fakultas Hukum UPN Veteran Jatim Abstrak Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan hal yang sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR MENTERI

Lebih terperinci

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id SALINAN BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT

MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XI) MOGOK KERJA DAN LOCK-OUT copyright by Elok Hikmawati 1 Definisi Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Pengertian Perjanjian kerja bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa perencanaan, pelatihan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional di laksanakan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NO. 06 TH 2005

PERATURAN MENTERI NO. 06 TH 2005 PERATURAN NO. 06 TH 2005 PERATURAN NOMOR : PER.06/MEN/IV/2005 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN Menimbang : a. bahwa untuk memperoleh data keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh secara lengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-02/MEN/ 1993 TAHUN 1993 TENTANG KESEPAKATAN KERJA WAKTU TERTENTU MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 PENGUSAHA PEMERINTAH UU NO 13 TAHUN 2003 UU KETENAGAKERJAAN PEKERJA MASALAH YANG SERING DIHADAPI PENGUSAHA - PEKERJA MASALAH GAJI/UMR MASALAH KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA, MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing;

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing; LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 183 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM PROVINSI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 T E N T A N G PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 T E N T A N G PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.06/MEN/IV/2005 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan.

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN II - 1 II - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM II-11 BAB II LANDASAN, ASAS DAN TUJUAN II-15 BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB I KETENTUAN UMUM PASAL 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama

Lebih terperinci

KEPMEN NO. 231 TH 2003

KEPMEN NO. 231 TH 2003 KEPMEN NO. 231 TH 2003 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA,

PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa hubungan kerja antara Pekerja Rumah Tangga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa perlindungan terhadap tenaga

Lebih terperinci

KONSEP KETENAGAKERJAAN dan KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL. Rizky Dwi Pradana, M.Si

KONSEP KETENAGAKERJAAN dan KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL. Rizky Dwi Pradana, M.Si Modul ke: HUBUNGAN INDUSTRIAL KONSEP KETENAGAKERJAAN dan KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka Agusmidah dkk,

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang: bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

Labor and Industrial Relations

Labor and Industrial Relations Labor and Industrial Relations Modul ke: 13 Mahasiswa memahani mengenai : 1. Hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha 2. Membandingkan hubungan tenagakerja di Indonesia dan USA Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci