BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembelajar dan terdidik di Indonesia. Berasal dari kata Maha yang berarti tertinggi dan

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa memiliki kedudukan yang khusus sebagai bagian dari masyarakat pembelajar dan terdidik di Indonesia. Berasal dari kata Maha yang berarti tertinggi dan Siswa berarti pelajar, mahasiswa merupakan tingkatan tertinggi dari pelajar yang mengenyam pendidikan formal di negeri ini. Untuk mencapai derajat mahasiswa pun tidak setiap warga negara berkesempatan mengaksesnya, dari data Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 hanya ada sekitar 4,8 juta dari 230 juta warga negara Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi, atau dalam angka partisipasi murni (APM) hanya 11,9% dari penduduk usia tahun di Indonesia yang menjadi mahasiswa (BPS, 2013). Kemampuan intelektual dan posisi strategis yang dimilikinya itulah yang membuat mahasiswa memiliki posisi dan tanggung jawab yang penting bagi pembangunan bangsa di masa depan. Namun, akhir-akhir ini kita sering melihat kabar di berbagai media bahwa mahasiswa yang diharapkan sebagai masa depan bangsa kerap terlibat dalam tindakan agresi, kerusuhan dan pertikaian yang merugikan banyak pihak. Bentuk-bentuk tindakan tersebut sering berupa aksi demontrasi yang anarkis hingga pertikaian antar mahasiswa sendiri. Kasus tindakan agresi mahasiswa dewasa ini yang cukup banyak mendapat sorotan seperti aksi demonstrasi dalam penyampaian aspirasi penolakan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 1.500, atau dari Rp menjadi Rp 6000 pada pertengahan tahun Rencana pemerintah

2 2 tersebut mendapat respon penolakan yang cukup besar dari berbagai elemen bangsa termasuk mahasiswa dengan demonstrasi. Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM oleh mahasiswa tersebut tidak luput dari beragam tindakan agresif mahasiswa. Catatan evaluasi Mabes Polri yang dilansir detik.com (4/5/2012) pada rentetan aksi penolakan kenaikan harga BBM tahun 2012 melaporkan bahwa terdapat 1 unit polsek 13 pos polisi (pospol) yang dirusak massa. Pospol ini tersebar di beberapa wilayah khusunya Jakarta, di Makasar, Medan, dan tempat-tempat lainnya. Selain itu ada mobil sebanyak 5 unit dan motor sebanyak satu unit yang dirusak. Fasilitas publik seperti gedung DPR juga dirusak massa khusunya pada bagian pagar, selain itu ada juga bangunan umum milik masyarakat yaitu 4 gedung, 5 kantor dan 2 toko yang mengalami kerusakan. Sedangkan korban luka dari bentrokan yang terjadi di seluruh Indonesia sebanyak 55 mahasiswa menderita luka-luka dan dari anggota Polri ada 56 orang yang luka. Dalam penanganan unjuk rasa yang berujung kerusuhan pun, petugas menangkap 53 orang yang bertindak anarki. (Haryanto, 2012) Memasuki tahun 2013 pun masih banyak aksi-aksi agresif mahasiswa di pusat hingga daerah yang mengkritik berbagai kebijakan penguasa. Pada 15 April 2013, ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Dipanegara, Makassar mengamuk di dalam kampusnya sendiri dan mengobrak-abrik ruang laboratorium komputer di lantai 3 dan membakar sekitar 20 unit komputer milik kampus. Selain itu, mahasiswa juga merusak sebagian kaca jendela kampus dan beberapa fasilitas di ruang dosen. Mahasiswa ini awalnya menggelar demonstrasi menolak kebijakan pihak yayasan STIMK Dipanegara. Namun, tak ada satupun pihak yayasan yang menemui sehingga menyulut emosi pendemo dan akhirnya nekat melakukan perusakan. (Cipto, 2013)

3 3 Jumat (5/4/2013) aksi unjuk rasa puluhan mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di depan gedung rektorat kampus tersebut berujung ricuh. Para pendemo bentrok dengan satuan pengamanan (Satpam) kampus. Akibatnya, satu orang Satpam mengalami luka tikaman. Diduga masalah sepele karena tidak senang api ban bekas yang dibakar pendemo dipadamkan, puluhan mahasiswa lalu melawan Satpam hingga terjadi bentrok. Satpam menjadi korban penikaman di tangan sebelah kiri dan dari pihak mahasiswa beberapa di antaranya mengalami luka pukul. (Leandha, 2013) Perilaku gerakan mahasiswa yang agresif juga terjadi di daerah seperti Ternate, sekelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate terlibat bentrok dengan polisi saat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara (Malut), Selasa (2/4/2013). Bentrokan terjadi saat pendemo yang menolak kebijakan Mabes Polri yang memutasi Kapolda Malut yang dianggap berhasil memberantas korupsi, mereka mengamuk dan membakar ban mobil di depan Mapolda Malut. Sejumlah pendemo juga ngotot menerobos pengamanan aparat untuk masuk ke halaman kantor Mapolda. Kericuhan pun terjadi saat para petugas keamanan menghalau aksi pendemo. Pendemo dan polisi saling dorong dan berakhir saling adu jotos. (Karim, 2013) Yogyakarta sebagai Kota Pelajar tak luput dari berbagai aksi agresif dari mahasiswa yang ada di dalamnya. Pertigaan UIN Sunan Kalijaga menjadi titik yang biasa terjadi aksi unjuk rasa, pada aksi penolakan kenaikan BBM tahun 2012 terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat, aksi lempar batu di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga terjadi Senin 19 Maret Dimulai adanya pemblokiran pertigaan UIN oleh para mahasiswa, untuk membuka pemblokiran semprotan air dari mobil water cannon polisi memaksa ratusan mahasiswa masuk ke dalam kampus. Sebelumnya mereka terlibat

4 4 aksi saling lempar saat menggelar orasi di jalan raya pertigaan kampus UIN. Karena kalah, mahasiswa masuk ke dalam kampus, tapi belum selesai ratusan mahasiswa kembali keluar kampus dan melempari polisi. Tak mau kalah, petugas yang menggunakan tameng, maju mendesak mahasiswa masuk lagi. Kejadian ini berujung pada rusaknya fasilitas umum di pertigaan tersebut dan ditangkapnya sejumlah mahasiswa termasuk Presiden BEM UIN Sunan Kalijaga. (Priliawanto & Sukino, 2012) Organisasi gerakan mahasiswa secara internal juga sering memunculkan friksi-friksi yang berujung tindakan agresi. Pada bulan April 2013 lalu, Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang digelar di Gedung Graha Insan Cita (GIC), Depok, Jawa Barat diwarnai kericuhan pada Sabtu dini hari. Massa membakar balok kayu dan nyaris merusak gedung. Ternyata ricuh tersebut terjadi lantaran sidang sering ditunda. Skorsing tersebut pun menyebabkan terlantarnya para peserta kongres. Bahkan, presidium Kongres HMI dari Badko Jateng-DIY, Saifudin pun terluka pada bagian bibir dan punggungnya akibat terkena hantaman saat sidang berlangsung. (Alvin, 2013) Persaingan antar organisasi gerakan mahasiswa juga kerap memunculkan konflik yang berujung agresi. Contohnya, pada tahun 2010 terjadi perkelahian antara HMI dengan PMII karena permasalahan yang sepele, bentrok itu terjadi terkait pelepasan pamflet organisasi yang terpasang didepan lokal-lokal Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda. (Ridin, 2010) Kasus-kasus diatas menunjukkan aksi mahasiswa seringkali diwarnai perilakuperilaku agresif dan berujung pada tindakan anarkistis. Dalam sebuah demonstrasi tindakan anarkistis seringkali menjadi solusi ketika cara-cara biasa dianggap buntu atau tidak ditanggapi pemerintah, malah tindakan anarkistis dianggap sebagai cara agar aspirasi politiknya segera didengar dan ditanggapi serta diperhatikan masyarakat luas. Agresi dan

5 5 tindakan anarkistis mahasiswa tersebut seringkali juga bertambah ketika berhadapan dengan perlakuan represif dari aparat pemerintah. Agresivitas didefinisikan sebagai suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik atau verbal baik langsung atau tidak langsung (Buss, 1961). Meskipun begitu, penyampaian aspirasi gerakan mahasiswa dalam pengertian perilaku politik dengan cara di atas merupakan hal yang lazim, menurut Almond (1974) ada 2 jenis pastisipasi politik, konvensional dan non konvensional, bentuk konvensional termasuk pemilihan, diskusi politik, aktivitas kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok politik, komunikasi individual dengan lembaga politik resmi, bentuk nonkonvensional termasuk demonstrasi petisi, konfrontasi, pembangkangan sipil, kekerasan politik, perang gerilya dan revolusi. Penyampaian aspirasi politik yang diwarnai dengan agresi dan tindakan anarki termasuk bentuk nonkonvensional. Tindakan agresi gerakan mahasiswa dalam demonstrasi dapat muncul karena adanya frustasi sebagai kondisi eksternal yang mendorong perilaku agresi. Kondisi tersebut bisa berupa keadaan sosial yang dianggap tidak sesuai dengan harapan memunculkan pengidentifikasian mereka (penguasa) yang dianggap bertanggungjawab atas situasi yang negatif dan menyiratkan kelompok gerakan sebagai lawannya (Klandermans, 1997). Penyampaian aspirasi oleh mahasiswa baik melalui demonstrasi, penyampian petisi, diskusi, maupun hal lainnya sebenarnya merupakan hal yang wajar. Tindakan yang dilakukan mahasiswa tersebut dianggap sebagai perwujudan idealisme dan tanggungjawab intelektual mereka sebagai mahasiswa. Idealisme dan kekritisan mahasiswa adalah sesuatu yang wajar muncul mengingat kapasitas dan posisi mahasiswa di negeri ini. Idealisme dan sikap kritis mahasiswa yang kemudian bertemu dengan realitas masyarakat Indonesia sebagai negara berkembang yang masih jauh dari harapan mendorong mahasiswa

6 6 menyalurkan idealisme dan sikap kritisnya dengan berbagai cara, berhadapan dengan pemerintah sebagai kekuatan pengimbang dalam memperjuangkan masyarakat. Salah satu contoh penyampaian aspirasi mahasiswa yang sering dikenal masyarakat adalah demonstrasi. Dalam melakukan aksi demonstrasi, kepedulian mahasiswa akan masalah dan situasi politik bertumpu pada idealisme kerakyatan, yaitu mengkritisi peran atau kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dengan memberikan solusinya (Rahayu, 2012). Kenyataannya, tidak semua mahasiswa yang tergugah untuk berperan dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini. Kelompok mahasiswa yang perannya lazim tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa ini dikenal dengan gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa merupakan aktivitas mahasiswa dalam rangka meningkatkan kemampuan berorganisasi dan mengasah kepandaian mereka dalam kepemimpinan (Widyanto, 2010, h: ). Kemampuan organisasi dan kepemimpinan itulah yang digunakan sebagai bekal mereka berperan dalam kehidupan kebangsaan nantinya, sebagai pemimpin masyarakat. Kasus-kasus yang telah di bahas di atas juga menunjukkan banyak aksi penyampaian aspirasi mahasiswa yang berlaku dengan agresi dan berujung anarki hingga menimbulkan korban jiwa maupun fisik bagi mahasiswa, aparat keamanan, dan masyarakat. Meski begitu, penyampaian aspirasi mahasiswa yang agresif dan menimbulkan huru-hara selalu diberi catatan penting dan memberi peran yang besar pada perubahan sosial yang terjadi. Gerakan protes dan lobi mahasiswa angkatan 66 baik yang damai hingga yang berujung agresi dan kerusuhan telah berhasil menumbangkan rezim Soekarno. Aksi gerakan mahasiswa dalam peristiwa kerusuhan malari terbukti menyadarkan penguasa bahwa gerakan mahasiswa mampu mencitptakan public distrust yang dapat mempengaruhi kebijakan rezim penguasa. Begitu pula dengan gerakan reformasi dimana mahasiswa menjadi garda terdepan dengan aksi jalanan dan pendudukan gedung parlemen yang mampu menimbulkan kesadaran bagi masyarakat dan akhirnya menumbangkan rezim orde

7 7 baru. Di tengah era keterbukaan reformasi pun berbagai aksi agresif mahasiswa juga terus muncul sebagai wujud kontrol mahasiswa terhadap pemerintah yang dianggap belum berhasil mewujudkan cita-cita reformasi. Meski begitu, tindakan agresi mahasiswa dalam menyampikan aspirasinya tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun bagi mahasiswa sendiri. Perlu ada kemampuan lain yang lebih tepat dalam penyampaian aspirasi selain dengan agresi yaitu dengan asertivitas. Sikap dari dalam diri individu yang bisa berperan dalam penyampaian aspirasi gerakan mahasiswa yang sesuai idealnya adalah asertivitas, asertivitas sendiri menurut Rini (2001) adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada pihak lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dengan mengkomunikasikan aspirasinya kepada pemerintah maupun pihak lain secara asertif, mahasiswa dapat dengan lugas mengeluarkan kritik dan tuntutannya namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak pihak lain, harapannya agar aspirasinya dapat diterima dengan baik dan tidak merugikan pihak lain, khususnya masyarakat. Di samping itu, asertivitas juga berguna dalam komunikasi interpersonal mahasiswa dalam berhubungan dengan sesama mahasiswa di organisasinya maupun antar organisasi, serta dalam kehidupan di kampus, agar dapat menghindari perilaku yang agresif. Gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia cukup banyak yang membawa ideologi agama khususnya Islam. Tercatat beberapa nama gerakan mahasiswa yang bernuansa Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan HTI, dan lain sebagainya. Sebagai organisasi mahasiswa berlandaskan Islam, gerakan-gerakan mahasiswa tersebut diharapkan dapat menjunjung nilai-nilai Islam dalam pergerakannya. Tindakan

8 8 premanisme, pengrusakan, ucapan kasar kepada pemimpin (ulil amri), dan tindakan tidak terpuji lainnya yang menyakiti dan merugikan orang lain atau agresi- dianggap tindak mencerminkan akhlaqul karimah dan nilai-nilai luhur Islam. Sayangnya dalam berbagai kasus seperti yang dijabarkan di atas, masih saja ditemui tindakan-tindakan agresi yang tentunya dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai Islam justru dilakukan oleh gerakan mahasiswa yang berideologi Islam. Hal ini tentunya yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sesungguhnya pengaruh nilai-nilai religiusitas atau agama dalam mengurangi agresivitas pada gerakan mahasiswa tersebut. Sikap kritis mahasiswa menyampaikan aspirasinya dalam berbagai bentuk adalah hal yang wajar, termasuk dengan mengkritik pemerintah, namun tentunya dengan cara dan sikap yang tepat. Kemampuan untuk bersikap dan bertindak asertif dalam berkomunikasi dan memperjuangkan aspirasi, tuntutan, serta keinginan secara proporsional tanpa merugikan pihak lain dan diri sendiri adalah sikap yang diharapkan. Kenyataannya, penyampaian aspirasi oleh gerakan mahasiswa yang sering muncul adalah aksi-aksi yang agresif dan berujung anarkistis sehingga menimbulkan kerugian bagi aparat keamanan, gangguan ketertiban umum, kerusakan fasilitas publik, hingga kerugian fisik maupun non fisik bagi mahasiswa itu sendiri. Hal tersebut sedikit banyak juga menimbulkan citra negatif yang ditangkap oleh masyarakat sendiri yang haknya diperjuangkan oleh mahasiswa. Apalagi banyak mahasiswa yang melakukan tindakan tersebut berasal dari gerakan mahasiswa berideologi Islam. Melihat permasalahan yang terjadi di atas, maka penting kiranya melakukan penelitian tentang hubungan asertivitas dan religiusitas dengan agresivitas aktivis gerakan mahasiswa. Penelitian mengenai agresi merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, sehingga sebelumnya telah ada cukup banyak penelitian mengenai topik ini. Dalam beberapa penelitian asertivitas dapat berpengaruh pada berkurangnya perilaku agresif,

9 9 penelitian Nasution (1990) menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara asertivitas dan agresivitas pada mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Sementara itu, hubungan religiusitas dengan agresivitas dala beberapa penelitian memperlihatkan bahwa tingginya religiusitas seseorang berhubungan dengan berkurangnya agresivitas. Effendi (2008) dalam penelitiannya terhadap siswa MTsN Persiapan Batu menemukan bahwa ada hubungan yang negatif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku agresi remaja. Storch & Storch (2002, h: ) menemukan adanya hubungan yang negatif antara religiusitas dengan sikap agresif dan agresi verbal pada atlet kampus di Amerika Serikat. Disamping itu masih banyak pula, penelitian tentang agresi dengan variabel-variabel lainnya. Berbagai penelitian agresivitas yang telah dilakukan di atas banyak yang mengambil subjek siswa, atlit, masyarakat umum, atau mahasiswa pada umumnya, namun masih belum ada yang memfokuskan penelitiannya pada mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan mahasiswa, khususnya gerakan mahasiswa Islam. Hal tersebut dirasa penting, karena selain mahasiswa adalah pemimpin masa depan bangsa, mahasiswa yang tergabung dalam gerakan mahasiswa diharapkan dapat menjadi kelompok civil society yang mampu mengimbangi peran penguasa dalam membangun demokrasi negeri, apalagi gerakan mahasiswa Islam diharapkan mampu menjadi gerakan moral bagi bangsa ini. Di sisi lain, pada mahasiswa yang tergabung dalam gerakan mahasiswa pula yang sering terlibat dalam berbagai bentuk tindakan agresi. Karena itu, penting kiranya melihat bagaimanakah hubungan antara asertivitas dan religiusitas terhadap agresivitas pada aktivis gerakan mahasiswa Islam.

10 10 B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara asertivitas dan religiusitas dengan agresivitas pada aktivis gerakan mahasiswa Islam. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi sosial dan psikologi politik dan pemahaman tentang agresivitas dan religiusitas dalam agresivitas gerakan mahasiswa. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Gerakan Mahasiswa Memberikan masukan tentang potensi asertif, religiusitas, dan agresif yang mereka miliki dalam menyalurkan aspirasinya, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menjalankan strategi gerakan yang lebih efektif dan baik bagi pencapaian tujuan gerakan menjalankan fungsi kontrol sosial untuk turut serta membangun bangsa dan negara. b. Bagi Masyarakat Memberi masukan pemahaman mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam aksi gerakan mahasiswa, sehingga tidak serta merta mencap negatif terhadap setiap aksi gerakan mahasiswa. c. Bagi Kampus Memberi masukan bagi kampus sebagai tempat belajar mahasiswa, sekaligus sasaran protes mahasiswa, tentang potensi positif dan negatif yang bisa muncul dari dinamika partisipasi politik, sebagai wadah pengembangan keilmuan

11 11 dan diri mahasiswa kampus dapat mewadahi dan mengembangkan aspirasi mahasiswa dengan bijak agar dapat berperan dalam majunya kampus juga bangsa, serta meminimalisir ekses negatif yang bisa muncul. d. Bagi Pemerintah Memberi masukan bagi pemerintah, peranan gerakan mahasiswa tetap penting dalam sebuah demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang untuk memberikan kritik dan masukan bagi pembangunan bangsa, sehingga pemerintah dapat menyikapi dengan bijak beragam bentuk aksi gerakan mahasiswa dari yang lembut hingga yang keras.