PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR LURY SEVITA YUSIANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR LURY SEVITA YUSIANA"

Transkripsi

1 PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR LURY SEVITA YUSIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2007 Lury Sevita Yusiana A

3 ABSTRAK LURY SEVITA YUSIANA. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SITI NURISJAH dan DEDI SOEDHARMA. Teluk Konga merupakan kawasan lingkungan pesisir yang masih alami dan indah disertai dengan budaya dan arsitektur vernakular yang masih terjaga. Hampir semua kekayaan sumber daya alam dan budaya merupakan aset potensial bagi pengembangan kepariwisataan di wilayah ini dan bila direncanakan dan dikelola dengan baik maka wisata dapat meningkatkan perekonomian kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan lanskap guna mendukung pengembangan pesisir Teluk Konga sebagai kawasan wisata yang berkelanjutan yaitu suatu kawasan wisata yang indah, nyaman dan lestari serta memberi peluang kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Pengamatan lapangan dilakukan selama tiga bulan dimulai pada Mei Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif untuk menilai kualitas lingkungan pesisir, potensi pengembangan kepariwisataan pesisir, serta tingkat akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kepariwisataan. Penilaian kualitas lingkungan pesisir dilakukan dengan menggunakan kriteria bersumber dari Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003), penilaian potensi kepariwisataan pesisir dilakukan dengan menggunakan metode Mc Kinnon (1986) dan Gunn (1994), dan akseptibilitas masyarakat ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi menjadi kawasan wisata dan peluang pemberdayaan dinilai berdasarkan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian wisata dan pendukungnya. Integrasi antara tiga penilaian tersebut menghasilkan zona kesesuaian tapak untuk wisata, aktifitas dan fasilitas wisata pesisir yang selanjutnya akan dikembangkan menjadi tata ruang dan sirkulasi wisata pesisir. Analisis potensi wisata pesisir menghasilkan tiga zona pengembangan wisata, yaitu zona pengembangan wisata pesisir tinggi (desa Lewolaga dan Konga), zona pengembangan wisata pesisir sedang (desa Lamika, Lewoingu, Nobokonga dan Nurri), dan zona pengembangan wisata pesisir rendah (desa Watotika Ile). Pengembangan selanjutnya difokuskan pada zona pengembangan wisata pesisir tinggi, yaitu desa Lewolaga dan Konga. Ruang wisata yang dihasilkan ialah ruang utama (meliputi ruang wisata akuatik dan ruang wisata terestrial) dan ruang penunjang (meliputi ruang penerima dan ruang transisi). Rencana interpretasi wisata pesisir menghasilkan tiga alternatif jalur interpretasi dan media interpretasi wisata pesisir. Rencana pengembangan lanskap wisata pesisir Teluk Konga terdiri atas pengembangan lanskap wisata akuatik dan wisata terestrial serta program pengembangan obyek dan atraksi wisata dan usaha penataan lanskapnya. Pengelolaan wisata pesisir berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan PHA untuk menentukan arahan pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Jalur alternatif 3 dengan mengutamakan nilai konservasi lingkungan akuatik dan terestrial dengan melindungi sumber daya alam dan melestarikan sumber daya budaya di Teluk Konga, terpilih sebagai jalur yang memiliki prioritas tinggi yang akan dikembangkan di Teluk Konga.

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

5 PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR LURY SEVITA YUSIANA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

6 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur : Lury Sevita Yusiana : A Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nizar Nasrullah, MAgr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 20 Agustus 2007 Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-nya sehingga tesis dengan judul Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan suatu syarat yang digunakan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada yang terhormat : 1. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan dari awal penelitian hingga selesainya tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas arahan, saran dan masukan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung. 3. Dr. Ir. Nurhayati HSA, MSc selaku dosen penguji luar komisi atas kritik dan saran yang sangat membangun bagi penelitian ini. 4. Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Nizar Narullah,MAgr. atas bimbingan dan arahannya selama ini. 5. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS selaku Ketua Departemen Arsitektur Lanskap dan staf dosen Arsitektur Lanskap atas ilmu, bimbingan dan arahannya selama penulis menimba ilmu di IPB. 6. Bupati Flores Timur dan Wakil Bupati Flores Timur, beserta staf atas arahan, bantuan dan dukungan selama penelitian ini berlangsung. 7. Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pusat Statistik, Badan Metereologi dan Geofisika di Kabupaten Flores Timur, dan Pangkalan Angkatan Laut Nusa Tenggara Timur atas bantuan data dan dukungannya. 8. Camat Larantuka, Camat Titehena, Camat Wulanggitang, serta Kepala Desa Watotika Ile, Lamika, Lewoingu, Lewolaga, Konga, Nobokonga, Nurri,

8 beserta staf dan masyarakat setempat atas bantuan, dukungan dan partisipasi yang sangat besar selama pengumpulan data berlangsung. 9. Keluarga Dra. Listyanawati Rubino, Keluarga Siprianus, Keluarga Martinus Juang Lewar, Fitrio Krisnanda SP, Waluyo Yogo Utomo SP, atas bantuan dan dukungannya yang teramat besar selama ini. 10. Teman-teman ARL 2004 (Ully, Bu Mimi, Bang Wino, Bu Ugit), teman-teman ARL 2005 dan 2006, serta rekan-rekan lainnya yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta ilmu selama penulis menyelesaikan studi di IPB. Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis haturkan kepada kedua orang tua, keluarga, sahabat-sahabat, rekan-rekan, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas saran dan dukungannya baik moril maupun materiil dari awal studi hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi masyarakat Flores Timur, di masa kini maupun masa yang akan datang. Bogor, Agustus 2007 Lury Sevita Yusiana

9 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Surabaya pada tanggal 27 September 1981 merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Sukaryono dan Suparsih. Penulis dibesarkan di Kota Kupang, ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di kota tersebut. Tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah di SMU Negeri 1 Kupang dan pada pertengahan tahun tersebut penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budi Daya Pertanian, Program Studi Arsitektur Lanskap. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun Di tahun yang sama penulis memperoleh kesempatan meneruskan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB dengan program studi yang sama yaitu Arsitektur Lanskap.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 3 Kegunaan Penelitian... 3 Kerangka Pikir Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir dan Pantai... 6 Pengembangan Wisata Pesisir Bekelanjutan Keikutsertaan Masyarakat dalam Pembangunan Kawasan Interpretasi Wisata Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Proses Hierarki Analitik Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Pendekatan Prosedur Pelaksanaan Tahap 1 Potensi dan Kendala Kawasan Pesisir untuk Wisata Pesisir a. Penilaian Kualitas Lingkungan b. Pengembangan Kepariwisataan Pesisir c. Keikutsertaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan d. Kesesuaian Tapak untuk Wisata Pesisir e. Aktifitas dan Fasilitas Wisata Pesisir Tahap 2 Perencanaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Tahap 3 Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Tahap 4 Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan Batasan Istilah... 50

11 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administrasi Kondisi Biofisik Tata Guna Lahan Resiko Bencana Lingkungan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Akses dan Sistem Transportasi Potensi Pariwisata Flores Timur HASIL DAN PEMBAHASAN 1...Poten si Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Wisata Pesisir a. Kualitas Lingkungan Pesisir b. Potensi Kepariwisataan Pesisir c. Akseptibilitas dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan d. Kesesuaian Tapak untuk Wisata Pesisir e. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas Wisata Pesisir Peren canaan Wisata Pesisir Berkelanjutan a. Konsep Perencanaan Wisata b. Konsep Ruang Wisata Pesisir c. Konsep Sirkulasi Wisata Pesisir Peren canaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir a...peren canaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir b....medi a Interpretasi Wisata Pesisir Peren canaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Peng elolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan a...hasil Proses Hierarki Analitik b....peng elolaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Skala penilaian perbandingan Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan Penilaian kualitas lingkungan pesisir akuatik Penilaian kualitas lingkungan pesisir terestrial Penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata Penilaian akseptibilitas masyarakat Teluk Konga terhadap wisata Penilaian preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi Penilaian skor pada peringkat teratas Kecamatan dan desa yang besinggungan langsung dengan Teluk Konga Data iklim Flores Timur tahun 1996 hingga tahun Tata guna lahan di Teluk Konga Data letusan Gunung Lewotobi Laki-laki Data letusan Gunung Lewotobi Perempuan Nama sungai yang bermuara di Teluk Konga Jumlah penduduk tiap desa di lokasi penelitian Fasilitas umum tiap desa di lokasi penelitian Aksesibilitas dan sarana transportasi menuju lokasi penelitian Penilaian kesesuaian akuatik untuk wisata pesisir di Teluk Konga Penilaian kesesuaian terestrial untuk wistaa pesisir di Teluk Konga Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga Akseptibilitas masyarakat dalam pengembangan wisata Preferensi masyarakat di tiap desa terhadap peluang kegiatan ekonomi Rencana aktifitas dan fasilitas yang akan dikembangakna di Teluk Konga Usulan program dan metode interpretasi untuk wisata pesisir di Teluk Konga Program pengembangan wisata akuatik Program pengembangan wisata terestrial

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pikir penelitian Batas program pengelolaan wilayah pesisir dan program pengelolaan lautan yang berlaku sekarang dan untuk masa mendatang Definisi dan batasan pantai Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai Komponen fungsi dari sisi penawaran Peta lokasi Teluk Konga, Flores Timur Skema tahapan penelitian Struktur hierarki pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga Diagram aksesibilitas Teluk Konga Peta tingkat kerawanan bencana tsunami Peta penggunaan lahan di Teluk Konga Peta topografi Teluk Konga Ilustrasi dek untuk aktifitas sight seeing Peta daerah bahaya gunung berapi di Teluk Konga Peta hasil analisis zona kepekaan lingkungan pesisir untuk wisata Obyek dan atraksi wisata sangat potensial (S1) Obyek dan atraksi wisata cukup potensial (S2) Beberapa fauna laut yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga Beberapa jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga Peta hasil analisis zona wisata pesisir berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata Peta hasil analisis zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Teluk Konga Peta hasil analisis zona kesesuaian tapak untuk wisata pesisir di Teluk Konga Bangunan dengan arsitektur lokal: (a) rumah adat (b) rumah tinggal (c) lumbung padi Konsep tata ruang wisata pesisir Teluk Konga Jalur interpretasi wisata alternatif

14 26 Jalur interpretasi wisata alternatif Jalur interpretasi wisata alternatif Touristic site plan Teluk Konga Diagram skala prioritas pada level manfaat Diagram skala prioritas berdasarkan aspek lingkungan Diagram skala prioritas berdasarkan aspek sosial budaya Diagram skala prioritas berdasarkan aspek wisata Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria perlindungan aspek ekologis Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria perbaikan kualitas lingkungan Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pelestarian nilai budaya lokal Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pemberdayaan masyarakat lokal Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria keberlanjutan usaha pariwisata Diagram skala prioritas alternatif kegiatan berdasarkan kriteria Rencana pengembangan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga Site plan khusus Hutan Mangrove di Teluk Konga

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Obyek dan atraksi wisata di NTT Obyek dan atraksi wisata di Flores Timur Potensi obyek dan atraksi wisata yang dikembangkan di Teluk Konga

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan dua samudera memberikan kekayaan sumber daya alam yang besar, terutama bagi alam lautnya. Indonesia menjadi salah satu pusat megakeanekaragaman hayati di dunia yang mencakup keanekaragaman ekosistem, jenis, genetik tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Negara ini juga memiliki budaya kehidupan lokal dan arsitektur vernakular yang beragam dan kaya yang tersebar di seluruh bagian kepulauannya. Berbagai suku, agama, bahasa dan adat-istiadat memberikan ragam warna yang berbeda-beda. Indonesia bagian timur yang terdiri dari pulau-pulau kecil memiliki keindahan bentang pemandangan alam (landscape) dan bentang pemandangan laut (seascape). Keindahan ini tidak hanya berasal dari karakteristik tetapi juga dari berbagai obyek dan elemen pembentuknya. Lanskap terbentuk dari hasil hubungan yang terjadi antara alam dan kebudayaan. Bentukan lanskap alami dan kebudayaan tersebut sering menjadi motivasi dari kegiatan wisata (Jacobs 1995). Hampir semua kekayaan sumber daya alam dan budaya merupakan aset potensial bagi pengembangan kepariwisataan, dan diketahui bahwa kegiatan ini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan relatif cepat dengan meningkatkan pendapatan dan standar hidup masyarakat serta menstimulasi sektor-sektor produksi lainnya (Nurisjah et al. 2003). Kegiatan wisata juga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pemerintah daerah melalui pajak dan retribusi. Selain itu, pariwisata dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan bagi penduduk lokal dan menarik investor dari luar daerah ini (Rosyidie 2000). Selain dampak positif, wisata juga dapat memberikan dampak negatif bagi kawasan yang dikembangkan tersebut. Kurangnya perencanaan dalam mengelola kawasan wisata menyebabkan berbagai dampak yang sangat merugikan. Umumnya dampak tersebut mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan pesisir yang selanjutnya sering diikuti pula dengan berubahnya budaya masyarakat

17 5 setempat. Penurunan kualitas lingkungan dan perubahan budaya ini memacu berkurangnya permintaan pasar terhadap wisata di kawasan tersebut, sehingga memberikan kerugian ekonomi bagi kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan di Timur Indonesia masih merupakan kawasan pesisir alami yang potensial untuk wisata dan belum dikembangkan secara optimal atau masih suboptimal. Salah satunya ialah kawasan Teluk Konga yang berada di bagian timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Teluk ini memiliki lingkungan pesisir yang masih alami dan indah disertai dengan budaya dan arsitektur vernakular yang masih terjaga hingga saat ini. Jika direncanakan dan dikelola dengan baik maka wisata dapat meningkatkan perekonomian kawasan tersebut. Daerah tujuan wisata memerlukan adanya identifikasi kawasan potensial dengan memadukan antara faktor alam dan faktor budaya lingkungan pesisir. Meminimalisasi dampak negatif akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan wisata yang berkelanjutan. Di samping itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan wisata memberikan daya tarik tersendiri bagi industri wisata. Kehidupan keseharian masyarakat lokal dapat dijadikan sebagai atraksi wisata dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya industri wisata tersebut bagi masyarakat akan memacu masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian kawasan wisata. Perumusan Masalah Keindahan alam dan budaya di Teluk Konga berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir. Namun untuk mengembangkan potensi tersebut terdapat beberapa permasalahan dasar sebagai berikut. 1. Teluk Konga sangat potensial untuk wisata, namun saat ini pemerintah dan masyarakat belum optimal atau masih suboptimal dalam memanfaatkannya. Bagaimana menggali potensi wisata yang ada di Teluk Konga sehingga dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir. 2. Pariwisata yang baik ialah pariwisata yang secara fisik menjadikan lingkungan berkelanjutan dan secara sosial ekonomi memberi kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta di dalamnya sehingga dapat

18 6 meningkatkan kesejahteraan masyarakat saat ini dan yang akan datang. Dengan demikian perlu untuk diketahui, bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di saat ini maupun di masa yang akan datang. 3. Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan (ekoton) yang dinamis dan rentan bila tidak terencana dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan suatu model perencanaan dan pengelolaan yang tepat dan sesuai agar pariwisata dapat terus berlangsung di Teluk Konga. Tujuan Penelitian Perencanaan lanskap wisata pesisir ini secara umum ditujukan untuk merencanakan lanskap guna mendukung pengembangan pesisir Teluk Konga sebagai kawasan wisata yang berkelanjutan, yaitu suatu kawasan wisata yang indah, nyaman dan lestari serta memberi peluang kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi akuatik dan terestrial untuk pengembangan wisata di kawasan Teluk Konga, Flores Timur. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga, Flores Timur. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam mendukung pengembangan kawasan wisata ekologis di Teluk Konga. 4. Merencanakan pengembangan wisata pesisir berkelanjutan. 5. Merencanakan pengembangan interpretasi wisata pesisir. 6. Merencanakan lanskap wisata pesisir yang berkelanjutan. 7. Merencanakan pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Kegunaan Penelitian Hasil dari perencanaan lanskap wisata pesisir berkelanjutan di Teluk Konga diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pemerintah Kabupaten Flores Timur untuk merancang pengembangan kawasan dan faktor pendukung kepariwisataan lainnya di pesisir Teluk Konga. Perencanaan ini juga diharapkan

19 7 dapat menjadi bahan kajian dalam mengembangkan ekowisata (ecotourism), khususnya dalam aspek perencanaan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Kerangka Pikir Penelitian Penelitian ini mengkaji kesesuaian kawasan Teluk Konga sebagai kawasan wisata pesisir. Kajian ini dilatarbelakangi oleh pemanfaatan pesisir yang belum optimal atau masih suboptimal oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Permasalahan yang menjadi dasar pemikiran dalam kajian ini ialah bagaimana menggali potensi kawasan agar dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir, bagaimana mengelola lingkungan agar berkelanjutan dan bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat dalam mengembangkan kawasan wisata, serta bagaimana model perencanaan dan pengelolaan yang tepat dan sesuai bagi wisata di Teluk Konga? Dalam menjawab permasalahan tersebut, kajian ini diawali dengan menganalisis kualitas lingkungan pesisir. Kualitas lingkungan pesisir meliputi kualitas akuatik dan kualitas terestrial Teluk Konga. Kajian dilanjutkan dengan menganalisis kepariwisataan yaitu mengidentifikasi dan menganalisis obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga. Selanjutnya dilakukan analisis keikutsertaan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Keikutsertaan masyarakat tersebut berupa akseptibilitas masyarakat dan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. Hasil dari analisis tersebut diperoleh kesesuaian tapak untuk wisata pesisir di Teluk Konga. Berdasarkan kesesuaian tapak ini dibuat rencana pengembangan wisata pesisir, rencana interpretasi wisata pesisir, rencana lanskap wisata pesisir berkelanjutan, dan pengelolaan wisata pesisir berkelanjutan. Dengan demikian, kawasan ini dikembangkan menjadi kawasan ekowisata yang tidak hanya dapat mensejahterakan masyarakat di sekitar kawasan, tetapi mampu melestarikan alam dan budaya sehingga penyelenggaraan wisata dapat berkelanjutan (Gambar 1).

20 8 Wisata Pesisir Permasalahan 1. Bagaimana menggali potensi wisata yang ada di Teluk Konga sehingga dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir. 2. Bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di saat ini maupun di masa yang akan datang. 3. Bagaimana model perencanaan dan pengelolaan kawasan yang tepat dan sesuai agar pariwisata dapat terus berlangsung di Teluk Konga. Kualitas Lingkungan Pesisir Kepariwisataan Keikutsertaan Masyarakat Kawasan Akuatik Kecerahan perairan Kecepatan arus Substrat dasar Topografi Bencana tsunami Kawasan Terestrial Keaslian ekosistem Penutupan lahan pantai Lebar pantai Topografi Bahaya Gunungapi Obyek dan Atraksi Wisata Atraksi Daya Tarik Estetika & Keaslian Fasilitas pendukung Ketersediaan air Transportasi & aksesibilitas Partisipasi & dukungan masyarakat Akseptibilitas masyarakat Peluang ekonomi Kesesuaian Tapak untuk Wisata Pesisir Perencanaan Wisata Pesisir Berkelanjutan Perencanaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian.

21 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir dan Pantai Pesisir merupakan peralihan antara daratan dan lautan. Berdasarkan garis pantai (coastline), wilayah pesisir memiliki dua macam batas (bounderies), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, sedangkan penetapan batasbatas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Hal ini disebabkan oleh batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintahan tersendiri. Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri et al mengeluarkan batas pengelolaan wilayah pesisir dan pengelolaan lautan yang berlaku sekarang dan untuk masa yang akan datang guna memudahkan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan (Gambar 2). Sumber: Dahuri et al. (2004) Gambar 2 Batas program pengelolaan wilayah pesisir dan program pengelolaan lautan yang berlaku sekarang dan untuk masa mendatang. Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia ialah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian

22 7 daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976 dalam Dahuri et al. 2004). Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah daratan ialah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m titik pasang tertinggi ke arah daratan. Gambar 3 menunjukkan definisi batasan pantai (Triatmodjo 1999). Sumber: Triatmodjo (1999) Gambar 3 Definisi dan batasan pantai.

23 8 Wilayah pantai merupakan daerah yang sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai kawasan pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian/perikanan, pariwisata dan sebagainya. Adanya berbagai kegiatan tersebut dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan, prasarana dan sebagainya, yang selanjutnya akan mengakibatkan timbulnya masalah-masalah baru seperti beberapa hal berikut ini (Triatmodjo 1999) : 1. Erosi pantai, yang merusak kawasan pemukiman dan prasarana kota yang berupa mundurnya garis pantai. Erosi pantai bisa terjadi secara alami oleh serangan gelombang atau karena adanya kegiatan manusia seperti penebangan hutan bakau, pengambilan karang pantai, pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya, perluasan areal tambak ke arah laut tanpa memperhatikan wilayah sempadan pantai, dan sebagainya. 2. Tanah timbul sebagai akibat endapan pantai dan menyebabkan majunya garis pantai. Majunya garis pantai, di satu pihak dapat dikatakan menguntungkan karena timbulnya lahan baru, sementara di pihak lain dapat menyebabkan masalah draenasi perkotaan di daerah pantai. 3. Pembelokan dan pendangkalan muara sungai yang dapat menyebabkan tersumbatnya aliran sungai sehingga mengakibatkan banjir di daerah hulu. 4. Pencemaran lingkungan akibat limbah dari kawasan industri atau pemukiman/perkotaan yang dapat merusak ekologi. 5. Penurunan tanah dan intrusi air asin pada akuifer akibat pemompaan air tanah yang berlebihan. Bentuk profil pantai sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifatsifat sedimen seperti rapat massa dan tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel, kondisi gelombang dan arus, serta bathimetri pantai. Pantai bisa terbentuk dari material dasar yang berupa lumpur, pasir atau kerikil (gravel). Kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar. Pantai lumpur mempunyai kemiringan yang sangat kecil sampai mencapai 1:5000. kemiringan pantai pasir lebih besar yang berkisar antara 1:20 dan 1:50. kemiringan pantai berkerikil bisa mencapai 1:4 (Triatmodjo 1999).

24 9 Pantai berlumpur banyak di jumpai di daerah pantai di mana banyak sungai yang mengangkut sedimen suspensi bermuara di daerah tersebut dan gelombang relatif kecil. sedimen suspensi dapat menyebar pada suatu daerah perairan luas sehingga membentuk pantai yang luas, datar, dan dangkal. kemiringan dasar laut/pantai sangat kecil. Biasanya pantai berlumpur sangat rendah dan merupakan daerah rawa yang terendam air pada saat muka air tinggi (pasang). daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Mangrove dengan akar tunjang dan akar pernapasan dapat menangkap lumpur pantai sehingga terjadi sedimentasi. Guguran daun dan ranting menjadi serasah organik sehingga mempersubur perairan pantai, sehingga banyak mengundang satwa, antara lain beberapa jenis ikan dan udang. Hutan bakau ini dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang, sehingga pantai dapat terlindung dari bahaya erosi (Triatmodjo 1999). Pantai berpasir dibagi dalam dua zona, yaitu backshore dan foreshore. Batas antara kedua zona adalah puncak berm, yaitu titik dari runup maksimum pada kondisi gelombang normal (biasa). Runup adalah naiknya gelombang pada permukaan miring. Runup gelombang mencapai batas antara pesisir dan pantai hanya selama terjadi gelombang badai. Surf zone terbentang dari titik di mana gelombang pertama kali pecah sampai titik runup di sekitar lokasi gelombang pecah. Di lokasi gelombang pecah terdapat longshore bar, yaitu gundukan pasir di dasar yang memanjang sepanjang pantai. Gambar 4 menunjukkan definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai (Triatmodjo 1999). Sumber: Triatmodjo (1999) Gambar 4 Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai.

25 10 Selain gelombang, kondisi fisik perairan pesisir juga dipengaruhi oleh pasang surut dan muka laut. Pasang surut (pasut) adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda). Sedangkan pasut yang berperilaku di antara keduanya disebut sebagai pasut campuran (Dahuri et al. 2004). Lebih lanjut diungkapkan berdasarkan pola gerakan muka lautnya, pasang surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semi diurnal tide), dan dua jenis campuran. Pada jenis harian tunggal hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari. Jenis harian ganda tiap hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama. Campuran dari jenis tunggal dan jenis ganda menonjolkan sifat salah satu dari keduanya. Pada pasut ganda campuran yaitu pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal), terjadi dua kali pasang dan surut dalam sehari. Sedangkan pasut tunggal campuran yaitu pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal), terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap harinya. Tipe-tipe ekosistem pada umumnya dikenali berdasarkan ciri-ciri komunitas yang paling menonjol. Di Indonesia terdapat empat kelompok ekosistem utama, yaitu ekosistem bahari, ekosistem darat alami, ekosistem suksesi dan ekosistem buatan. Kelompok ekosistem bahari terdiri atas ekosistem laut dangkal, pantai pasir dangkal, terumbu karang, pantai batu dan pantai lumpur. Kelompok ekosistem darat alami di Indonesia memiliki tiga bentuk vegetasi utama, yaitu vegetasi pamah (lowland vegetation), vegetasi pegunungan dan vegetasi monsun. Vegetasi pamah meliputi hutan bakau, hutan rawa air tawar, vegetasi terna rawa, hutan tepi sungai, hutan sagu, hutan rawa gambut, komunitas danau, vegetasi pantai pasir dan karang, hutan dipterocarpaceae pamah, hutan hujan non-dipterocarpaceae pamah, hutan kerangas, hutan pada bukit gamping, hutan pada batuan ultra basa. Vegetasi pegunungan meliputi hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan nothofagus, hutan subalpin bawah, hutan subalpin atas, padang rumput-semak tepi hutan, padang rumput dengan paku

26 11 pohon, padang rumput merumpun Corprosma brassii-deschampsia klossii, padang rumput merumpun Gaultheria mundula-poa nivicola, padang rumput dan terna, vegetasi lumut kerak, vegetasi Euphrasia lamii-tetramolopium distichum, vegetasi pada tebing, vegetasi pada tebing batu, padang rumput rawa Poa lamii- Vaccinium amblyandrum, vegetasi rawa sub alpin, padang rumput rawa gambut, vegetasi Carpha alpina, vegetasi Carex gaudichaudiana, vegetasi danau, padang rumput alpin pendek, padang rumput alpin merumpun, komnitas kerangas Tetramolopium-Rhacomitrium, komunitas kerangas perdu kerdil, tundra alpin kering, tundra alpin basah. Vegetasi monsun meliputi hutan monsun, savana, dan padang rumput. Kelompok ekosistem suksesi terdiri atas ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Sedangkan kelompok ekosistem buatan terdiri atas ekosistem danau, hutan tanaman, agroekosistem (sawah tadah hujan, sawah irigasi, sawah surjan, sawah rawa, sawah pasang surut, kolam, tambak, kebun, pekarangan, perkebunan, dan ladang berpindah (Sastrapradja et al. 1989). Pada wilayah pesisir sendiri terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami maupun buatan (man-made). Ekosistem alami meliputi terumbu karang (coral reefs), hutan bakau (mangroves), padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan wisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2004). Sedangkan menurut Purwanto (2001) ekosistem perairan pesisir terdiri atas ekosistem rawa pasang surut, ekosistem hutan bakau, ekosistem estuaria (litoral), ekosistem padang lamun, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem danau alam laut (upwelling area). Sumber daya wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih, seperti sumber daya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, kustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang serta sumber daya yang tidak dapat pulih, seperti minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, mineral, dan bahan tambang lainnya (Dahuri et al. 2004). Sumber daya pesisir juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan di wilayah pesisir meliputi

27 12 kegiatan penangkapan ikan, budi daya ikan tambak, penambangan minyak dan gas bumi, industri ekstraksi (pembuatan garam, penambangan pasir, kulit tiram dan batuan karang), marina (pelabuhan) dan wisata. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini seringkali mengakibatkan menurunnya kualitas serta keragaman hayati di wilayah pesisir itu sendiri. Upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah dianggap membatasi ruang mata pencaharian para nelayan dan masyarakat di sekitar kawasan yang pada umumnya memanfaatkan dan menggantungkan hidupnya langsung dengan sumber daya pesisir ini. Untuk meminimalkan gangguan dan tekanan terhadap sumber daya ini diperlukan berbagai upaya pengelolaan dan pengendaliannya. Salah satu bentuk kegiatan alternatif yang dapat dikembangkan adalah program wisata yang berwawasan lingkungan pesisir dan kelautan (Nurisyah et al. 2003). Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan pesisir yang sangat besar. Kekayaan pesisir ini belum seluruhnya termanfaatkan dan sejauh ini masih kurang baik dalam hal pengelolaannya. Salah satu cara memanfaaatkan kekayaan pesisir di Indonesia ialah melalui wisata pesisir. Wisata sejauh ini masih dianggap sebagai industri yang relatif bebas polusi bila dikembangkan secara baik karena wisata dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan kualitas ekonomi bagi masyarakat setempat (Alderson dan Low 1996). Batasan pesisir untuk wisata ialah laut dangkal (batas aman bagi kegiatan berenang) hingga daerah litoral (pasang surut tertinggi) (Purwanto 2001). Pengembangan Wisata Pesisir Berkelanjutan Wisata merupakan suatu pergerakan temporal manusia menuju tempat selain dari tempat yang biasa mereka tinggal dan bekerja, selama mereka tinggal di tempat tersebut mereka melakukan kegiatan, dan diciptakan fasilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Bentuk-bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan beberapa hal berikut (Gunn 1994) : a. Kepemilikan (ownership) atau pengelola areal wisata yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor, yaitu badan pemerintahan, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial. b. Sumberdaya (resource), yaitu alam (natural) dan budaya (cultural).

28 13 c. Perjalanan wisata/lama tinggal (touring/longstay). d. Tempat kegiatan, yaitu di dalam ruangan (indoor), di luar ruangan (outdoor). e. Wisata utama/wisata penunjang (primary/secondary). f. Daya dukung (carrying capacity) tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung, yaitu intensif, semi intensif, dan ekstensif. Pertumbuhan pariwisata dunia terkait oleh tiga faktor utama, yaitu (1) peningkatan pendapatan personal dan leisure time, (2) perbaikan sistem transportasi, (3) kesadaran masyarakat yang besar terhadap area lain di dunia sebagai akibat adanya perbaikan komunikasi (UNEP 1992 dalam US Government 1998). Sustainable (berkelanjutan) adalah suatu keseimbangan dan keabadian antar berbagai aspek alam, budaya, norma, kekuatan dan teknologi yang bertujuan untuk menciptakan budaya dan tempat yang utuh untuk dipertahankan bagi generasi berikutnya (Van der Ryn 1996). Sedangkan sustainable tourism (wisata yang berkelanjutan) adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspekaspek penting dalam pengelolaan seluruh sumber daya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan (Inskeep 1991). Menurut World Tourism Organisation (WTO), the Tourism Council (WTTC) dan the Earth Council, sustainable tourism development mempertemukan kebutuhan wisatawan dan tuan rumah (host region) namun tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan bagi masa yang akan datang. Sustainable coastal development dipandang sebagai acuan terhadap pengelolaan seluruh sumber daya yaitu ekonomi, kebutuhan sosial dan estetika sehingga dapat terpenuhi, sedangkan integritas budaya, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman biologi dan sistem pendukung kehidupan dapat terpelihara. Produk sustainable tourism merupakan produk yang dioperasikan dalam keharmonisan antara lingkungan lokal, masyarakat dan budaya sehingga mendatangkan keuntungan bagi mereka dan bukan menjadi korban pengembangan wisata (Wramner et al. 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa sustainable tourism juga sering dikatakan sebagai wisata yang bertanggung

29 14 jawab (responsible tourism), soft tourism, wisata berdampak minimum (minimum impact tourism) dan wisata alternatif (alternative tourism). Tujuan sustainable tourism (Inskeep 1991) adalah 1. Untuk pengembangan yang lebih besar dari pengetahuan dan pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi. 2. Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3. Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan. 4. Untuk memberikan suatu kualitas yang tinggi dari pengalaman pengunjung. 5. Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Permasalahan yang terjadi terhadap alam apabila sebuah pariwisata dikembangkan tanpa memperhatikan keberlanjutan (unsustainable coastal tourism) akan mengakibatkan (1) dampak lingkungan, (2) dampak dari keanekaragaman (biodiversity), (3) tekanan pada sumber daya air, (4) degradasi lahan, (5) polusi udara dan suara, (6) pemakaian energi, (7) polusi air, (8) polusi estetika, (9) erosi pesisir. Selain dampak bagi alam, pengembangan wisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan akan berdampak pula bagi sosial budaya, yaitu (1) berubahnya identitas lokal dan nilai-nilai lokal, (2) pertentangan budaya, (3) pengaruh fisik yang menyebabkan stres sosial, (4) kriminal, (5) penurunan pekerjaan dan kondisi ketenagakerjaan. Sedangkan dampak ekonomi yang diakibatkan dapat berupa (1) kebocoran, (2) biaya infrastruktur, (3) naiknya harga, (4) ketergantungan ekonomi terhadap wisata, (5) karakter pekerjaan musiman (Wramner et al. 2005). Indikator bagi sustainable tourism ialah kualitas air, pendidikan lingkungan, preservasi alam, kapasitas di area pantai untuk mencegah penuh dan berdesakannya pengujung, dampak sosial, gambaran mengenai kawasan, musim, variasi atraksi, pengelolaan limbah padat, kepuasan konsumen, batas bersih untuk air, batas bersih untuk restoran, kriminal, harga, akses ke pantai bagi masyarakat, proteksi sumber daya biologi, akomodasi pasar gelap, persediaan untuk proteksi, sikap pengunjung di daerah tujuan wisata (Warmner et al. 2005). Pengembangan sustainable tourism adalah perubahan yang positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat

30 15 dan kehidupan sosialnya berada. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan integrasi antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah, institusi sosial dan aktivitas pribadi mereka (Gunn 1994). Pengembangan wisata menjadi wisata yang berkelanjutan, (Low Choy dan Heilbronn 1996 dalam Nurisyah et al. 2003) merumuskan lima faktor utama yang harus diperhatikan yaitu : 1. Lingkungan, ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu, 2. Masyarakat, ekowisata harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara langsung kepada masyarakat, 3. Pendidikan dan pengalaman, ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya melalui pengalaman yang dimiliki, 4. Berkelanjutan, ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang, 5. Pengelolaan, ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekarang maupun generasi mendatang. Wramner et al. (2005) menyarankan pengembangan wisata berkelanjutan sebaiknya mengikuti : 1. Pelaksanaan pengelolaan wisata yang berkelanjutan 2. Air yang bersih, udara dan ekosistem pesisir yang sehat. 3. Lingkungan rekreasi yang tidak berbahaya dan aman dengan memperhatikan pengelolaan terhadap bahaya pesisir, seperti erosi, badai dan banjir. Perlengkapan yang memenuhi standar keamanan bagi pendayung, perenang dan pengguna air lainnya. 4. Usaha merestorasi pantai yaitu dengan memelihara nilai rekreasi dan atraksi pantai. 5. Kebijakan bagi kehidupan liar (wildlife) dan proteksi habitat. Dalam pengembangan wisata pesisir, maka wisata pesisir harus dilihat sebagai suatu sistem (pariwisata) yang mengkaitkan antara komponen penawaran

31 16 dan permintaan. Komponen penawaran terdiri dari obyek dan daya tarik wisata atraksi, pelayanan, transportasi, informasi dan promosi (Gambar 5). Sedangkan komponen permintaan terdiri dari wisatawan (lokal, domestik, mancanegara) (Gunn 1994). Atraksi Pelayanan Transportasi Promosi Informasi Sumber: Gunn (1994) Gambar 5 Komponen fungsi dari sisi penawaran. Suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan salah satu komponen penawaran. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa. Atraksi juga dapat berupa keunikan suatu tapak atau suatu ruang spasial. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi dapat menjadi elemen dasar yang berkaitan dengan pengalaman wisatawan (Gunn 1994). Daya tarik wisata untuk wilayah pesisir adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir, dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan lain (Departemen Kehutanan 2002). Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila di dekatnya dibangun penginapan/hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang

32 17 membahayakan atau mengganggu keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir tersebut. Oleh karena itu, inventarisasi dan persiapan daerah rencana pengelolaan harus mendahului pengembangan dan pembangunan agar kelestarian lingkungan pesisir yang asli dapat terjamin (Dahuri et al. 2001). Pembangunan fasilitas wisata seperti tempat berlabuh (marina) juga perlu diperhatikan. Marina kapal-kapal dan perahu motor serta fasilitas-fasilitas lain hendaknya direncanakan dengan cermat sehingga memperkecil resiko pencemaran badan air. Kerusakan yang terjadi terhadap sistem alami perairan pesisir berhubungan dengan kontaminasi air permukaan dan air tanah yang berasal dari proses pembersihan air buangan yang tidak baik. Selain itu dapat juga berkaitan dengan interusi air asin, pencemaran air oleh aliran permukaan, gangguan terhadap pengisisan kembali air tanah, proses erosi dan sedimentasi sebagai akibat bangunan-bangunan pelindung daerah rekreasi (Dahuri et al. 2004). Ekowisata merupakan sebuah bentuk perjalanan yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (International Ecotourism Society 2004 dalam Buchsbaum 2004). Kegiatan ekowisata merupakan suatu bentuk wisata berdasarkan atraksi sumberdaya alam yang memfokuskan unsur pengalaman dan belajar serta mengkontribusikan suatu konservasi atau preservasi di kawasan tersebut. Ekowisata dijadikan sebagai kegiatan wisata yang bertanggung jawab yang direncanakan dan dikelola berdasarkan kaidah alam untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata pada umumnya merupakan wisata yang sustainable. Suatu kawasan wisata alami tidak dapat disebut sebagai kawasan wisata dengan konsep ekowisata apabila tidak memperhatikan keberlanjutan (sustainable). Keikutsertaan Masyarakat dalam Pembangunan Kawasan Unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan wisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi lima unsur, yaitu 1) obyek dan daya tarik wisata, 2) prasarana wisata, 3) sarana wisata, 4) tata

33 18 laksana/infrastruktur, dan 5) masyarakat/lingkungan (Suwantoro 1997). Masyarakat sebagai salah satu unsur penting dibutuhkan keterlibatannya secara langsung dalam pengembangan dan pengelolaan wisata. Proses keterlibatan masyarakat tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada, dimana pada masyarakat ini terdapat tujuh potensi bagi keterlibatannya (Nurisyah et al. 2003) yaitu : 1) Konsultasi atau pemikiran 2) Sumbangan (barang, uang) 3) Sumbangan kerja dengan menggunakan tenaga setempat 4) Waktu 5) Aksi massa 6) Pembangunan dalam kalangan keluarga atau masyarakat setempat 7) Mendirikan proyek yang didanai dari luar lingkungan masyarakat itu sendiri Dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam wisata alam (Brandon 1995 dalam Nurisyah et al. 2003), terdapat sepuluh isu kritikal yang harus dikelola, yaitu : 1) Peranan partisipasi lokal 2) Pemberian wewenang sebagai suatu tujuan 3) Partisipasi lokal dalam siklus proyek 4) Menciptakan stakeholders 5) Mengaitkan keuntungan dengan pelestarian 6) Menyebarratakan keuntungan 7) Melibatkan pemimpin masyarakat 8) Menggunakan agen-agen perubahan 9) Mengenali kondisi lokal spesifik 10) Mengawasi dan mengevaluasi perkembangan Tiga kegiatan utama yang terkait dengan dinamika masyarakat yang dapat digunakan juga untuk mendinamisasi masyarakat pesisir, yang umumnya memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang relatif rendah (Nurisyah et al. 2003) adalah (1) kegiatan yang berakses ketrampilan, (2) kegiatan yang berakses ke permodalan, (3) kegiatan yang berakses ke pemasaran. Ketiganya digerakkan

34 19 untuk menanggulangi kemiskinan yang umumnya dihadapi oleh masyarakat pesisir. Masyarakat di sekitar lokasi wisata berperan penting tidak hanya dalam proses pelaksanaan wisata secara langsung tetapi juga dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut nantinya. Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat sadar wisata ialah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak, yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk mau berperan serta dalam pembangunan (Suwantoro 1997). Partisipasi masyarakat dapat ditumbuhkan dan digerakkan melalui usahausaha penerangan serta pengembangan usaha-usaha sosial yang sehat, yang dilakukan melalui dialog yang luas dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas dan bertanggung jawab; baik antara pemerintah dan masyarakat maupun golongangolongan masyarakat itu sendiri. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta pandangan yang kuat agar pembangunan tetap memiliki gerak maju ke depan (Suwantoro 1997). Lebih lanjut Suwantoro (1997) mengungkapkan bahwa peran serta masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumber daya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai

35 20 pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait langsung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Keikutsertaan masyarakat sekitar kawasan obyek wisata alam dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar kawasan obyek wisata (Suwantoro 1997), antara lain : 1) Jasa penginapan (homestay) 2) Penyediaan/usaha warung makan dan minuman 3) Penyediaan/toko souvenir/cindera mata dari daerah tersebut 4) Jasa pemandu/penunjuk jalan 5) Fotografi 6) Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan obyek wisata alam adalah kurangnya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan obyek wisata. Oleh karena itu, kegiatan usaha masyarakat diharapkan akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat mata pencaharian/tempat usaha yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan (Suwantoro 1997). Pengelolaan wisata hendaknya mampu memberikan keadilan ekonomi, keuntungan sosial dan budaya bagi masyarakat lokal, baik pria maupun wanita, bagi seluruh tingkatan, seluruh tingkat pendidikan, pelatihan dan kreasi bagi seluruh kesempatan kerja (ICOMOS 1999). Sedangkan Suwantoro (1997)

36 21 berpendapat bahwa pengelolaan lingkungan alam dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar dengan membentuk suatu wadah yayasan atau badan hukum untuk memperoleh konsesi pengusahaan pariwisata alam. Sesuai dengan strategi pemerintah dalam pengembangan pariwisata alam yang terkait dengan pengembangan peran serta masyarakat, pengembangan pariwisata alam diharapkan mampu meningkatkan kesempatan dan peluang bagi masyarakat untuk menikmati manfaatnya, sehingga perkembangan kegiatan pariwisata alam ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suwantoro 1997). Interpretasi Wisata Interpretasi merupakan suatu bentuk penyajian yang kreatif untuk memberi arti, makna dan pengertian pada wisatawan akan keberadaan, sejarah dan kepentingan dari suatu sumberdaya dan kelompok masyarakat, berbagai obyek yang terkait dengan sumberdaya dan kelompok masyarakat, dan berbagai obyek yang terkait dengan sumberdaya/tapak/situs tersebut. Melalui berbagai bentuk dan ragam media kreatif ini maka pengunjung akan dapat menikmati, mengerti serta memahami makna dan keberadaan semuanya (Alderson dan Low 1996). Interpretasi berbentuk program dan juga aktivitas. Program direncanakan untuk mengembangkan tujuan yang ingin dicapai guna memberi pengertian pada para pengunjung akan arti dan kepentingan sumberdaya-sumberdaya yang ingin diketahui dan dipelajari dan aktivitas merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan keterampilan dan teknik untuk mendukung terbentuknya berbagai pengertian tersebut (Alderson dan Low 1996). Tujuan utama dari pengembangan suatu program dan aktivitas interpretasi adalah untuk memprovokasi dan menstimulasi minat dan kepedulian para pengunjung yang datang ke lokasi sumberdaya, sehingga dapat membantu mereka untuk mengerti dan mengapresiasi tiap sumberdaya alam dan budaya yang terdapat di sana. Setiap individu diharapkan dapat menikmati kehidupan yang lebih kaya dan bermakna melalui peningkatan pengetahuan dan persepsi tentang berbagai lanskap dan artefak, termasuk warisan alam dan budaya (Piagram dan Jenkins 1999).

37 22 Interpretasi memiliki acuan khusus yang penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat dilihat pada prinsip-prinsip interpretasi (Tilden 1976) berikut ini. 1. Interpretasi dinyatakan sebagai interpretasi yang steril bila tidak terdapat keterkaitan antara sesuatu yang dilihat dan penjelasannya terhadap pengunjung, baik untuk pengunjung sendiri atau pengalamannya. 2. Informasi berbeda dengan interpretasi. Informasi merupakan dasar dari interpretasi, dan interpretasi memberikan penjelasan yang lebih baik dan lebih bernilai dan informatif. 3. Interpretasi merupakan suatu bentuk seni yang mengkombinasikan berbagai bentuk seni untuk mengekspresikan berbagai bentuk ilmiah, historikal atau arsitektural. 4. Tujuan utama dari suatu interpretasi bukanlah instruksi tetapi provokasi. 5. Interpretasi bertujuan mempresentasikan keseluruhannya dan bukan hanya bagian-bagian tertentu saja. 6. Interpretasi harus mempunyai pendekatan yang berbeda untuk tiap kelompok sosial tertentu (misalnya pada kelompok umur anak-anak, dewasa, dan lainnya). Untuk memperoleh rancangan kawasan wisata (touring system design) yang baik maka harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Nurisyah et al. 2003) : 1. Jarak dan ruang yang terpadu secara harmonis 2. Kondisi dan kualitas lingkungan yang merupakan wadah dan obyeknya harus dapat meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung. 3. Rangkaian unsur-unsur dalam touring system harus tertata baik dan dalam suatu rangkaian yang dapat diinterpretasikan oleh pengunjung dan membentuk kenangan dan citra yang baik. Program interpretasi yang dibuat hendaknya tidak hanya bermanfaat bagi pengunjung akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat lokal. Program interpretasi dengan menggunakan masyarakat lokal sebagai interpreter dapat dengan mudah mengetahui obyek dan atraksi wisata yang menarik karena masyarakat lokal sangat mengetahui dan memahami sumber daya wisata yang mereka miliki. Selain itu, penggunaan masyarakat lokal sebagai interpreter juga

38 23 dapat memfasilitasi dan mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga ketahanan alam dan budaya, sehingga masyarakat peduli dan ikut memelihara alam dan budaya tersebut agar tetap terpelihara sebagai warisan bagi generasi mendatang (ICOMOS 1999). Masyarakat lokal yang menjadi interpreter akan mengetahui pentingnya menjaga sumber daya yang mereka miliki agar penyelenggaraan wisata dapat terus berlangsung di daerah mereka dan tetap diminati oleh pengunjung. Dengan demikian tidak hanya dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat lokal tetapi juga memberikan manfaat bagi terpeliharanya sumber daya alam dan budaya. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Perencanaan memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Perencanaan berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan (Nurisyah 2000). Proses perencanaan lanskap secara umum dapat dibagi menjadi commision, riset, analisis, sintesis, konstruksi dan pelaksanaan (Simonds 1983). Konsep perencanaan wisata dibagi menjadi tiga skala yaitu perencanaan tapak (site plan), perencanaan daerah tujuan (destination plan) dan perencanaan regional (regional plan) (Gunn 1993). Site plan ialah perencanaan tapak dimana perencanaan lebih difokuskan pada rancangan yang dapat dibuat dalam pengembangan wisata. Proses perencanaan tapak ialah analisis pasar, program statement, seleksi tapak-merevisi program, analisis tapak, sintesis, konsep rancangan, kemungkinan-kemungkinan, perencanaan akhir dan evaluasi (Gunn 1993). Destination plan merupakan suatu perencanaan dalam skala yang lebih kecil, termasuk di dalamnya komunitas dan lingkungan sekitar. Partisipasi lokal lebih kuat dibutuhkan pada perencanaan ini. Proses perencanaan destinasi terdiri atas 1) identifikasi prinsip-prinsip komunitas seperti dukungan-dukungan dan

39 24 pimpinan, 2) menentukan tujuan guna mempertinggi kepuasan pengunjung, perlindungan sumber daya alam dan budaya, keuntungan ekonomi dan hubungan dalam kehidupan ekonomi pada seluruh kawasan destinasi, 3) meneliti potensi dan kendala, 4) rekomendasi untuk pengembangan, 5) identifikasi sasaran dan strategi, 6) memberikan prioritas dan tanggung jawab, 7) mendorong dan memberi petunjuk untuk perkembangan, 8) memonitor pengaruh umpan balik (Gunn 1993). Regional plan merupakan perencanaan dalam skala besar seperti skala nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Proses perencanaan regional dapat dibagi dalam empat fase utama yaitu 1) penelitian tentang posisi geografi, kekayaan geografi dan bentukan lanskap; 2) evaluasi potensi termasuk permintaan dan sintesis; 3) konsep perencanaan; 4) implementasi dan rekomendasi yang mengandung empat aspek dalam pengembangan wisata yaitu pengembangan fisik, pengembangan program, kebijakan dan prioritas (Gunn 1993). Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan tidak terlepas dari adanya pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata yang mengikutsertakan masyarakat lokal. Namun kegiatan wisata dapat menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan wisata hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian sumber daya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al. 2004). Selain sumber daya fisik dan alami (physical and natural resources) yang terkait langsung dengan pesisir, maka sumber daya wisata yang terkait dengan aspek budaya (cultural resources) menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung pengembangan suatu kawasan wisata pesisir. Hal ini terutama didukung oleh ketertarikan etnik yang tinggi yang dimiliki oleh daerah-daerah pesisir tradisional dan aspek kegiatan ekonomi masyarakat lokalnya. upacaraupacara adat/tradisional, pasar ikan tradisional, perkampungan dan pelabuhan nelayan, dan sanctuary and scared sites merupakan beberapa contoh etnik budaya

40 25 dan kegiatan ekonomi masyarakat nelayan yang dapat dikemukakan sebagai bentuk atraksi wisata (Nurisyah 2000). Usaha pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari merupakan penggunaan suatu obyek wisata alam yang diatur sedemikian rupa sehingga dalam pelaksanaannya membatasi dan mencegah hal-hal yang dapat merusak lingkungan. Penyelenggaraan pengusahaan wisata alam harus dilaksanakan dengan memperhatikan (Suwantoro 1997) : 1. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya 2. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial budaya 3. Nilai-nilai agama, adat istiadat serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat 4. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan 5. Keamanan dan ketertiban masyarakat Perubahan dari pembangunan yang tidak terencana pada suatu kawasan pantai tropis telah nyata menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (Smith 1992 dalam Gunn 1994), antara lain 1. Banyaknya pemukiman pada akhirnya tidak memberikan kontribusi pada wisata 2. Wisata yang pertama, selanjutnya rumah sebagai dasar dari pembangunan kedua. 3. Hotel yang pertama, target pengunjung yang tinggi, membuka lapangan pekejaan baru. 4. Penambahan perhotelan, mencari tambahan, rumah-rumahan sebagai pengganti. 5. Penambahan pondok-pondok, gangguan budaya, pencemaran/polusi pantai. 6. Penambahan hotel, kerusakan akibat erosi, dominasi wisata. 7. Pengembangan peristirahatan yang tidak berhasil, dan meningkatkan urbanisasi. 8. Polusi yang serius sebagian besar akibat urbanisasi. Kenyataan tersebut mendasari munculnya pernyataan bahwa wisata relatif sering mendatangkan kehancuran dibandingkan dengan keuntungan yang

41 26 diberikan. Kemunculan fenomena ini diakibatkan dari lemahnya perencanaan wisata dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang wisata. Penyelenggaraan wisata yang diawali dengan perencanaan yang baik, maka masyarakat diharapkan dapat memperoleh manfaat dari kegiatan wisata karena dilibatkan pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan. Konsep ekowisata sendiri saat ini sedang dikembangkan untuk meningkatkan upaya pengembangan wisata. Penyelenggaraan wisata diharapkan mampu membenahi penyelenggaraan wisata yang telah ada dan diharapkan dapat memberikan kontibusi nyata terhadap pembangunan pada daerah-daerah yang memiliki kawasan wisata. Suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek (Gunn 1994) yaitu : 1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut 3. Menjamin kepuasan pengunjung 4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya Dalam merencanakan tapak perlu diperhatikan tiga aspek utama (Nurisyah 2000) yaitu 1. Keterpaduan rencana dan desain aspek ini mencakup profesionalisme dalam pengembangan lahan/kawasan, pemilik dan pengembang, bank, industri konstruksi, manajer, publik, place meaning, partisipasi masyarakat. 2. Kriteria desain yang digunakan aspek ini mencakup kriteria fungsional, keterpaduan dengan rencana lainnya, pengalaman pengunjung, otentik, kepuasan estetik, pasar. 3. Sustainability dari tapak aspek ini mencakup terutama eco-design ethic, tempat-tempat kultural, pusat interpretasi, xeriscape, proteksi sumberdaya (alami, sejarah, lainnya), peraturan pemerintah, koordinasi dengan masyarakat lainnya. Tahapan yang umum dilakukan dalam merencana dan mendisain suatu kawasan wisata (Nurisyah, 2000) adalah sebagai berikut :

42 27 1. Analisis pasar; penting untuk diketahui siapa yang akan mengunjungi kawasan wisata ini, apa yang diinginkannya, dan hal lain yang mempengaruhi tingkat dan daya jual kawasan ini 2. Program statement; hal ini terkait dengan pembuatan program yang memuat daftar dan deskripsi yang harus direncanakan dan dirancang, dan terutama terkait dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemilik dan pengembang. Pada program ini juga harus jelas ukuran dari proyek, jumlah, tipe, fungsi dan kualitas struktur serta lay-out konfigurasi umum. 3. Pemilihan tapak; banyak faktor dalam memilih tapak untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata, diantaranya adalah ukuran lahan, aksesibilitas, lanskap, biaya pengelolaan, peraturan pertanahan kompetitif dan lain-lain. 4. Analisis tapak; data untuk analisis dikelompokkan menjadi data yang terletak dalam tapak (elemen konstruksi, sumber daya alam, karakteristik perseptual) dan data yang terletak di luar tapak (tata guna lahan, utilitas, aliran air, transportasi dan lainnya). Untuk kepentingan analisis selanjutnya, data yang terkumpul dikelompokkan menjadi kumpulan data potensial, amenity, kendala dan danger signals dari tapak). 5. Sintesis; merupakan tahapan yang kritis yaitu tahap pemanduan hasil analisis terhadap beragam data, informasi dan kepentingan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. 6. Konsep desain/rancangan; yang menggambarkan dua atau tiga alternatif rancangan yang memadukan imaginative thinking dan artistic creativity dari para perancangnya serta mengakomodasikan juga kepentingan dan keinginan pemiliknya. 7. Kelayakan rencana; kelayakan ini tidak hanya kelayakan finansial, tetapi juga harus mencakup physical and social environmental feasibility. 8. Rencana akhir (final plan); setelah mengetahui bentuk rencana/rancangan yang layak untuk dilaksanakan, maka produk ini dapat dinyatakan sebagai final plan, minimal terdiri dari : gambar konstruksi, spesifikasi dan kontrak kerja. 9. Evaluasi rencana; karena kegiatan wisata umumnya merupakan kegiatan yang dinamis sifatnya maka tahapan evaluasi merupakan tahapan yang juga penting

43 28 untuk perbaikan rencana dan rancangan yang telah dibuat dan dilaksanakan. Umpan balik dari pengunjung, pengelola dan penduduk lokal merupakan masukan utama untuk meningkatkan kualitas aktivitas/kegiatan dan kawasan wisata. Panduan untuk pengembangan daerah pantai/pesisir yang dikeluarkan oleh UNEP lebih diutamakan untuk mempertahankan kelestarian daerah pantai/pesisir (Nurisyah 2000). Ketentuan tersebut meliputi : 1. Pengembangan wisata pantai harus disusun bersama-sama dalam kerangka kerja rencana pengembangan sosial ekonomi nasional, regional dan lokal secara terpadu, selaras dengan lingkungan dalam strategi pengembangan. Pengembangan wisata pantai harus melakukan pendekatan secara strategi nasional dalam pengembangan dan pengelolaan wisata pantai yang akan menunjukkan zona paling sesuai untuk kegiatan pariwisata. 2. Kawasan lindung pantai untuk pengembangan pariwisata harus terliput oleh kawasan yang memperhatikan geografi alami dan kondisi sosial ekonomi kawasan. Untuk memanfaatkan sumber daya wisata secara optimal, pertamatama harus dilakukan kegiatan inventarisasi di kawasan yang diusulkan, lingkungan sosial budaya dan penyakit yang endemik atau temporer. 3. Kapasitas daya dukung kawasan haruslah ditetapkan untuk maksud penentuan jumlah wisatawan yang sesuai tanpa membebani keberadaan infrastruktur dan menyebabkan menurunnya mutu sumber daya alam. 4. Kegiatan penataan lahan harus diawasi untuk mencegah dampak seminimal mungkin terhadap ekosistem pantai alami. 5. Jalan menuju tempat wisata harus direncanakan sebaik mungkin untuk meminimalkan kepadatan lalu lintas, kebisingan, polusi dan dampak lainnya di sekitar kawasan. 6. Pengembangan fasilitas akomodasi harus dikonsentrasikan dan tidak mengganggu sumber daya alam. Skala, ukuran dan jenis infrastruktur haruslah sesuai. 7. Harus dibuat tempat pembuangan sampah yang memadai. Limbah cair tidak dibuang ke pantai, terumbu karang dan kawasan peka lainnya.

44 29 Perencanaan wisata hendaknya dapat memberikan pengalaman bagi pengunjung yang akan bermanfaat, memuaskan dan menyenangkan pengunjung. Perencanaan bagi aktivitas wisata mengarah pada penyediaan fasilitas yang nyaman, aman dan baik bagi pengunjung, menambah kesenangan para pengunjung tetapi tidak mengakibatkan dampak pada bagian-bagian yang signifikan atau karakteristik ekologi (ICOMOS 1999). Penelitian dengan produk perencanaan berkonsep sustainable tourism yang pernah ada antara lain rencana pengembangan koridor Sungai Kapuas sebagai kawasan interpretasi wisata budaya kota Pontianak oleh Umar (2006) dengan menganalisis faktor sosial budaya (material culture dan immaterial culture), sosial ekonomi (sosial demografi, persepsi dan preferensi masyarakat, preferensi pengunjung) dan biofisik (warna air, kandungan BOD/COD, sedimentasi, topografi dan bahaya banjir). Analisis tersebut selanjutnya menghasilkan potensi kawasan untuk wisata budaya, obyek dan atraksi wisata budaya, rencana lanskap wisata budaya berkelanjutan dan rencana interpretasi wisata budaya. Sedangkan contoh penelitian yang menghasilkan perencanaan dan desain dengan konsep ekowisata yaitu desain pengembangan potensi wisata di kawasan pesisir: studi kasus wilayah Cilincing, Jakarta Utara oleh Rahmadani (2005) yang menganalisis kondisi alam/lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan sejarah. Hasil analisis tersebut berupa prioritas pengembangan obyek wisata dan strategi pengembangan prioritas potensi wisata yang digunakan sebagai acuan dalam membuat rencana pengembangan wisata dengan konsep ekowisata berbasis perkotaan dan desain pengembangan kawasan wisata pesisir perkotaan. Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan analisis yang digunakan untuk mengambil keputusan yang efektif atas permasalahan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan kita yang alami. Metode ini dikembangkan oleh Dr Thomas L. Saaty pada tahun Pada dasarnya metode ini menyederhanakan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata peubah dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat

45 30 kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti pentingnya secara relatif dibandingkan variabel lain. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan PHA antara lain : 1) Decomposition Memecah persoalan yang utuh setelah didefinisikan menjadi unsurunsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan. 2) Comparative Judgement Membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari PHA karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. 3) Synthesis of Priority Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigen vektor untuk mendapatkan local priority. Untuk mendapatkan global priority maka dilakukan sintesis diantara local priority dari matriks pairwise comparison yang terdapat pada setiap tingkat. Prosedur melakukan sintesis berbeda dengan bentuk hierarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. 4) Logical Consistency Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Keberhasilan menggunakan metode PHA bergantung pada bagaimana mengatur penggunaan hierarki yang tepat dan problema yang tidak teratur untuk sampai pada pengambilan keputusan karena PHA mampu mengkonversi faktorfaktor yang tidak dapat diukur ke dalam aturan yang biasa sehingga bisa

46 31 dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses PHA yang disarankan oleh Saaty (1993) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Skala Penilaian Perbandingan Tingkat kepentingan ,4,6,8 Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan. Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang menyatakan, yang dimaksud dengan daerah pesisir dan lautan mencakup ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara. Pada pasal 27 disebutkan, Gubernur KDH Tk. I, menyeleggarakan penataan ruang wilayah Propinsi Tk. I, Bupati/Walikota menyelenggarakan penataan ruang wilayah kabupaten/kodya Tk. II. Berdasarkan ketetapan tersebut, secara implisit pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan,

47 32 diperkuat dengan adanya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah tesebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Flores Timur dengan dikeluarkannya Data Obyek Wisata di Kabupaten Flores Timur oleh Kepala Dinas Pariwisata pada tanggal 27 September Data tersebut memuat lokasi obyek wisata yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata yang saling berkaitan. Beberapa obyek wisata di Teluk Konga termasuk di dalam ketetapan tersebut. Mengacu pada data tersebut, maka dalam penelitian ini dikaji Teluk Konga dengan potensi wisata yang terdapat di dalamnya menjadi salah satu kawasan wisata. Model Lanskap Wisata Teluk Konga diharapkan mampu menjadi acuan model pengembangan wisata pada kawasan wisata lain, khususnya kawasan wisata pesisir di Flores Timur. Pengelola kawasan wisata, khususnya wisata alam, dalam penyelenggaraannya dibebani kewajiban yang mengarah kepada pembatasan kerusakan lingkungan, serta kewajiban untuk menjaga dan melestarikan obyek wisata alam seperti yang tertuang pada pasal 11 PP No. 18/1994 (Suwantoro 1997), yaitu : 1. Merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan usahanya/kegiatan wisata alam. 2. Menjamin keamanan dan ketertiban para pengunjung. 3. Turut menjaga kelestarian fungsi Kawasan Pelestarian Alam. Lebih lanjut diungkapkan bahwa alternatif dalam menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan pengembangan wisata alam adalah dengan sistem pengelolaan dan pengusahaan yang diatur dalam UU No.5 Tahun 1990 berikut penjelasan serta penjabarannya dalam Peraturan Pemerintah ataupun Keputusan Menteri Kehutanan. Bentuknya antara lain adalah membagi kawasan pelestarian ke dalam zona-zona, yaitu zona pemanfaatan, zona intensif, zona perlindungan dan zona lainnya. Penempatan jenis aktivitas dan jenis fasilitas penunjang untuk setiap zona dilakukan dengan mengunakan klasifikasi kesesuaian lahan dan klasifikasi aktivitas serta fasilitas wisata yang menurut Bovy (1987) dalam (Suwantoro 1997) adalah :

48 33 1. Jenis aktivitas dan fasilitas terbatas ditempatkan pada zona perlindungan terbatas. 2. Jenis aktivitas dan fasilitas sedang ditempatkan pada zona penunjang. 3. Jenis aktivitas dan fasilitas besar ditempatkan pada zona intensif atau pemanfaatan. Untuk mensinergikan antara kelestarian lingkungan dan kepuasan pengunjung dalam berwisata, maka dapat dilakukan penyusunan program pengelolaan jalur interpretasi wisata. Program tersebut mengakomodasikan kepuasan pengunjung untuk dapat menikmati obyek wisata yang disajikan sekaligus memberi pemahaman terhadap arti penting lingkungan bagi kehidupan manusia. Dengan demikian pengunjung dapat berwisata dan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam kasus perencanaan jalur wisata potensial di daerah pesisir Parangtritis Yogyakarta (Setiawaty 2006) menghasilkan tiga alternatif rencana jalur wisata yang disusun menggunakan konsep jalur interpretasi untuk menggali dan memanfaatkan segala sumber daya kawasan yang ada, baik sumber daya visual, alami, dan budaya dalam suatu perjalanan wisata, dimana masing-masing alternatif dibedakan menurut tema yang berbeda. Sedangkan pada rencana pengembangan koridor sungai Kapuas sebagai kawasan interpretasi wisata budaya Kota Pontianak (Umar 2006) menghasilkan jalur interpretasi wisata budaya yang pengembangannya diarahkan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat dan pengunjung terhadap budaya dan sejarah lokal.

49 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Teluk Konga, Flores Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan Teluk Konga merupakan kawasan pesisir yang terletak di sebelah tenggara Pulau Flores (Gambar 6). Lokasi penelitian merupakan sebuah teluk yang berada di antara Tanjung Lopi dan Tanjung Watoblou. Lokasi penelitian mencakup tujuh desa yang letaknya bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Desa tersebut meliputi desa Watotika Ile, Lamika, Lewoingu, Lewolaga, Konga, Nobokonga, dan Nurri. Waktu pengamatan dan survei untuk pengumpulan data di lapang selama tiga (3) bulan dimulai dari Mei Indonesia NTT Tapak Gambar 6 Peta lokasi Teluk Konga, Flores Timur.

50 35 Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan berupa perangkat keras dan perangkat lunak,citra Landsat ETM+7 tahun 2000, Peta Rupa Bumi Flores Timur (Bakosurtanal 2000) dan kuisioner. Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan Perangkat Keras Perangkat Lunak Fungsi Intel Celeron M ArcView GIS 3.2 Analisis spasial Processor 370, 256MB MS Excel Analisis tabular DDR2, 40GB HDD Expert choice 2000 Analythical Hierarchy Process (AHP) MS Word Pelaporan MS Power Point Presentasi Printer Canon PIXMA ip 1000 Pencetakan peta, foto dan laporan GPS Garmin Etrex Vista Pengambilan titik koordinat Camera digital Canon Power Shoot A megapixels Pengambilan foto lapang Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan melakukan pembobotan, skoring dan penentuan peringkat pada tiap faktor dan kategori yang dinilai. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian wilayah pesisir untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berkelanjutan. Kawasan wisata berkelanjutan dapat terbentuk apabila pemanfaatan sebagai kawasan wisata tidak akan merusak ekologis kawasan. 2. Prosedur Pelaksanaan Prosedur pelaksanaan merupakan prosedur yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian (Gambar 7). Prosedur pelaksanaan dilakukan dalam empat tahapan yaitu

51 36 Tahap 1 Teluk Konga Kualitas lingkungan pesisir Pengembangan kepariwisataan Akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Kelas kesesuaian Skor obyek dan atraksi wisata Skor peringkat akseptibilitas Skor peluang ekonomi Zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir Zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek wisata Zona akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Kesesuaian tapak sebagai kawasan wisata Pengembangan aktifitas wisata pesisir Fasilitas Wisata Pesisir Tata Ruang Wisata Pesisir Sirkulasi Wisata Pesisir Rencana Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Tahap 2 Jalur interpretasi Media interpretasi Tahap 3 Rencana Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Tahap 4 Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir Berkelanjutan Gambar 7 Skema tahapan penelitian.

52 37 Tahap 1. Potensi dan Kendala Kawasan Pesisir untuk Wisata Pesisir a. Penilaian Kualitas Lingkungan Pesisir Penilaian kualitas lingkungan pesisir pada tujuh desa penelitian dilakukan dengan menggunakan kriteria bersumber dari Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003) yang meliputi kualitas akuatik dan kualitas terestrial. Kualitas Akuatik Daerah akuatik ialah daerah perairan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah akuatik ialah batas pesisir laut hingga batas pasang surut tertinggi. Parameter yang digunakan pada akuatik meliputi kecerahan perairan, kecepatan arus, substrat dasar, topografi dan tingkat kerawanan bencana tsunami. Titik yang diambil terdiri dari tujuh titik dimana masing-masing titik mewakili karakter perairan tiap desa di lokasi penelitian. Penilaian kualitas akuatik dapat ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3 Penilaian kualitas lingkungan pesisir akuatik Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan 20 nilai 75 4 sangat sesuai 50 < nilai 75 3 sesuai 25 < nilai 50 2 kurang sesuai nilai 25 1 tidak sesuai Kecerahan perairan (%) Kecepatan arus (m/detik) 15 0 < nilai < nilai < nilai 0.51 nilai >0.51 Substrat dasar 10 Pasir Karang berpasir Lumpur Pecahan karang murni Topografi 10 Landai Cukup landai Terjal Curam Tingkat kerawanan bencana tsunami 5 Tidak Rendah Sedang Tinggi Sumber : Modifikasi Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003) sangat baik baik batas toleransi berbahaya sangat baik baik kurang baik tidak baik aktifitas tinggi aktivitas tinggi aktivitas sedang aktivitas rendah tidak rawan tsunami rawan tsunami rendah rawan tsunami sedang rawan tsunami tinggi

53 38 Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan akuatik = [( Fkp x 20) + ( Fka x 15) + ( Fsd x 10) + ( Ftop x 10) + ( n=1 n=1 n=1 n=1 n=1 Ftsu x 5)] Keterangan Fkp = faktor kecerahan perairan Ftop = faktor topografi Fka = faktor kecepatan arus Ftsu = faktor kerawanan tsunami Fsd = faktor substrat dasar 7 = titik ke 1 hingga 7 n=1 Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian, yaitu Kelas S1 : Sangat Sesuai (Nilai ) Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan. Kelas S2 : Cukup Sesuai (Nilai ) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Nilai ) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai (Nilai 60) Kualitas Terestrial Daerah terestrial merupakan daerah daratan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah terestrial ialah daerah pasang tertinggi hingga batas administrasi desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Parameter yang digunakan dari daerah terestrial ini meliputi habitat, penutupan lahan pantai, lebar pantai, topografi, dan bahaya gunung berapi. Penilaian dilakukan pada tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Penilaian kualitas terestrial dapat dilihat pada Tabel 4.

54 39 Tabel 4 Penilaian kualitas lingkungan pesisir terestrial Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan Keaslian Ekosistem (%) 20 Keaslian ekosistem utuh Keaslian ekosistem rusak < 15 % Keaslian ekosistem rusak % Keaslian ekosistem rusak > 50% ekosistem asli ekosistem asli ekosistem terganggu ekosistem rusak Penutupan Lahan Pantai Lebar pantai (m) Topografi (%) Bahaya Gunung Berapi 15 Alami Semi alami Non alami Campuran 10 nilai > < nilai < nilai 100 nilai < nilai 8% 8 < nilai 15% 15 < nilai 25% nilai >25% 5 Tidak bahaya Agak bahaya Bahaya Sangat bahaya Sumber : Modifikasi Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003) penutupan lahan alami penutupan lahan semi alami penutupan lahan terbangun campuran sangat baik untuk wisata baik untuk wisata kurang baik untuk wisata tidak baik untuk wisata aktivitas sangat tinggi aktifitas tinggi aktifitas sedang aktifitas rendah jalur tidak bahaya jalur pengamanan pertama jalur waspada gunungapi jalur bahaya gunungapi 7 Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan terestrial = [( Feko x 20)+( Fplp x 15)+( Flp x 10)+( Ftop x 10)+( Fbgb x 5)] n=1 7 n=1 7 7 n=1 n=1 n=1 Keterangan Fhab = faktor keaslian ekosistem Ftop = faktor topografi Fplp = faktor penutupan lahan pantai Fbgb = faktor bahaya gunungapi Flp = faktor lebar pantai 7 = desa ke 1 hingga 7 Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan masing-masing dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian. Kelas kesesuaian tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yaitu Kelas S1 : Sangat Sesuai (Nilai ) Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan. n=1 7

55 40 Kelas S2 : Cukup Sesuai (Nilai ) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Nilai ) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai (Nilai 60) Penggabungan hasil kesesuaian akuatik dan terestrial menghasilkan zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, yaitu zona tidak peka (S1), zona kurang peka (S2), zona cukup peka (S3), dan zona peka (S4). Berdasarkan zona ini dapat dilihat tapak dengan potensi lingkungan yang paling sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. b. Pengembangan Kepariwisataan Pesisir Pengembangan pariwisata di suatu kawasan dimulai dengan menentukan obyek dan atraksi wisata yang tersedia dan selanjutnya dinilai potensinya untuk dapat dikembangkan. Penentuan ketersediaan obyek dan atraksi wisata dilakukan dengan mewawancara staf pemerintah daerah, kepala desa, masyarakat dan pengamatan lapangan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan metode Mc Kinnon (1986) dan Gunn (1994) dengan kepala desa (n=7) sebagai penilai. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kepala desa merupakan penduduk asli dan wakil masyarakat yang dipilih oleh masyarakat desa dan tetua adat, sehingga mengetahui secara rinci kondisi desa tersebut dan kondisi di sekitar desanya. Penilaian obyek wisata dilakukan dengan memenuhi aspek berikut, yaitu 1) atraksi, 2) daya tarik, 3) estetika dan keaslian, 4) fasilitas pendukung, 5) ketersediaan air bersih, 6) transportasi dan aksesibilitas, dan 7) dukungan dan partisipasi masyarakat. Penilaian obyek dan atraksi wisata dapat dilihat pada Tabel 5, dan penilaian diklasifikasi menjadi sangat kuat, kuat, sedang dan lemah. Selanjutnya dilakukan peringkat berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap desa. Peringkat tersebut menghasilkan zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata yang meliputi zona atraktif

56 41 (S1), zona cukup atraktif (S2), zona kurang atraktif (S3), dan zona tidak atraktif (S4). Zona atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi tinggi, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata >5. Zona cukup atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi sedang, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 3 5. Zona kurang atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi rendah yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 1-3. Sedangkan zona tidak atraktif ialah zona tanpa potensi wisata yaitu tidak memiliki obyek dan atraksi wisata. Tabel 5 Penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata No Faktor 1 Letak dari jalan utama 2 Estetika dan keaslian Nilai 4 (sangat 3 (kuat) 2 (sedang) 1 (lemah) kuat) < 1 km 1 2 km 2 3 km > 3 km Asli 3 Atraksi Hanya terdapat di Tapak 4 Fasilitas Pendukung 5 Ketersediaan Air bersih 6 Transportasi dan Aksesibilitas 7 Dukungan dan Partisipasi Masyarakat Tersedia dalam kondisi sangat baik Asimilasi, dominan bentuk asli Terdapat <3 lokasi di tempat lain Tersedia dalam kondisi baik Asimilasi, dominan bentuk baru Terdapat 3-5 lokasi di tempat lain Tersedia dalam kondisi kurang baik Sudah berubah sama sekali Terdapat > 5 lokasi di tempat lain Prasarana dan sarana tidak tersedia < 0,5 km 0,5 1 km 1 2 km Jarak >2km Jalan aspal, ada kendaraan umum Sangat Mendukung Jalan aspal berbatu, ada kendaraan umum Mendukung Jalan aspal berbatu, tanpa kendaraan umum Kurang mendukung Jalan berbatu/tanah, tanpa kendaraan umum Tidak mendukung Sumber : Modifikasi Mc. Kinnon (1986), Gunn (1994) dalam Rahmadani (2005), Umar (2006) Penghitungan penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata = 7 Flju + n=1 7 Fek + n=1 7 Fatr + n=1 7 Ffp + n=1 7 Fka + n=1 7 Fta + Fdpm n=1 7 n=1

57 42 Keterangan : Flju = faktor letak dari jalan utama Fka= faktor ketersediaan air Fek = faktor estetika dan keaslian Fta= faktor tranportasi-aksesibilitas Fatr = faktor atraksi Fpm= faktor pastisipasi masyarakat Ffp = faktor fasilitas pendukung 7 = nilai responden ke 1 sampai 7 n=1 Skor masing-masing obyek dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut: S1 = Sangat Potensial (Nilai ) S2 = Cukup Potensial (Nilai ) S3 = Kurang Potensial (Nilai 50 98) S4 = Tidak Potensial (Nilai 49) c. Keikutsertaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata dinilai dari tingkat akseptibilias dan peluang pemberdayaan dari aspek ekonomi. Akseptibilitas Masyarakat Akseptibilitas masyarakat ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi kawasan wisata. Penilaian dilakukan oleh responden (n=70) yang dipilih secara acak pada tiap desa penelitian. Jumlah responden diharapkan telah mampu mewakili penilaian oleh seluruh penduduk Teluk Konga yang relatif homogen. Penilaian diklasifikasikan menjadi bersedia, kurang bersedia, tidak bersedia, dan tidak tahu. Penilaian tingkat akseptibilitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 6.

58 43 Tabel 6 Penilaian akseptibilitas masyarakat Teluk Konga terhadap wisata No Faktor 1 Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata 2 Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat 3 Peran aktif masyarakat dalam pariwisata 4 Keuntungan kegiatan wisata 5 Keberadaan wisatawan 4 (bersedia) Setuju Setuju Peringkat 3 (kurang 2 (tidak bersedia) bersedia) Kurang Tidak setuju setuju Kurang setuju Tidak setuju 1 (tidak tahu) Tidak tahu Tidak tahu Ya Kurang Tidak Tidak tahu Ya Kurang Tidak Tidak tahu Bersedia Sumber : Hasil diskusi bimbingan (2006) Kurang bersedia Tidak bersedia Tidak tahu Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut ini. Fx desa ke p = (4 x n) + (3 x n) + (2 x n) + (1 x n) Keterangan : Fx = total nilai faktor tertentu P = desa tertentu N = jumlah orang yang memilih Penilaian akseptibilitas masyarakat tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut. Fdtw + Fpkw + Fpmp + Fkkw + Fkw Keterangan : Fdtw = faktor pengembangan kawasan sebaga daerah tujuan wisata Fpkw = faktor pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Fpmp = faktor peran aktif masyarakat dalam pariwisata Fkkw = faktor keuntungan kegiatan wisata Fkw = faktor keberadaan wisatawan = jumlah total nilai preferensi masyarakat terhadap faktor tertentu Skor preferensi pada tiap desa dijumlahkan dengan ketentuan berikut: S1: Sangat bersedia = Nilai S2: Bersedia = Nilai S3: Kurang bersedia = Nilai S4: Tidak bersedia = Nilai 50

59 44 Peluang Ekonomi Masyarakat Keikutsertaan masyarakat dari aspek ekonomi merupakan keikutsertaan dalam perekonomian dengan mengembangkan kegiatan usaha dagang dan jasa. Keikutsertaan dalam perekonomian tersebut dapat berupa kegiatan perekonomian terkait usaha wisata, kegiatan perekonomian terkait penyelenggaraan wisata, dan kegiatan perekonomian terkait penyedia kebutuhan. Penilaian didasarkan pada peluang kegiatan perekonomian terkait langsung wisata dan peluang kegiatan perekonomian penunjang wisata dalam pengembangan kawasan wisata pesisir Teluk Konga (Tabel 7). Tabel 7 Preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi Faktor Nilai 4 (sangat tinggi) 3 (tinggi) 2 (sedang) 1 (rendah) Peluang ekonomi terkait wisata Peluang investasi usaha Banyak sekali Banyak Biasa saja Sedikit Berjualan Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin makanan/minuman ingin Pembuatan dan penjualan Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin souvenir ingin Usaha tempat makan Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin ingin Usaha penginapan Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin ingin Usaha transportasi Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin ingin Pengembangan obyek Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin dan atraksi wisata ingin Pagelaran seni dan Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin budaya ingin Pemandu wisata Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin ingin Peningkatan jumlah, frekuensi, dan distribusi informasi mengenai kawasan wisata Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Peluang ekonomi penunjang wisata Penyedia produk Sangat ingin Ingin Kurang Tidak ingin pertanian ingin Penyedia produk perikanan Sangat ingin Ingin Kurang ingin Tidak ingin Sumber : Hasil diskusi bimbingan (2006)

60 45 berikut ini. Penilaian preferensi masyarakat di tiap desa didasarkan pada penghitungan Fx desa ke p = (4 x n) + (3 x n) + (2 x n) + (1 x n) Keterangan : Fx = faktor tertentu p = desa tertentu n = jumlah orang yang memilih Skor preferensi pada tiap desa untuk faktor tertentu dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut: Nilai = tinggi Nilai = sedang Nilai = rendah Berdasarkan hasil penilaian preferensi ditentukan tiga peringkat peluang ekonomi teratas. Dari peringkat tersebut dilakukan penilaian peringkat. Kategori jenis kegiatan ekonomi menentukan bobot dari masing-masing peringkat. Penilaian faktor peluang kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengalikan seluruh nilai dengan bobot masing-masing untuk memperoleh Skor (Tabel 8). Skor tersebut selanjutnya dijumlahkan berdasarkan skor di tiap desa dan selanjutnya dikategorikan menjadi: S1 = tinggi (skor ) S2 = sedang (skor 70 90) S3 = rendah (skor 60) Tabel 8 Penilaian skor pada peringkat teratas Peringkat Nilai Jenis Kegiatan Bobot Kategori preferensi 1 30 Ekonomi terkait wisata 20 Tinggi (S1) 2 20 Sedang (S2) Ekonomi penunjang wisata Rendah (S3) Sumber: Hasil diskusi bimbingan (2006)

61 46 Dari hasil penilaian keseluruhan diperoleh zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang meliputi zona sangat aktif (S1), zona cukup aktif (S2), zona kurang aktif (S3) dan zona tidak aktif (S4). Zona sangat aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona cukup aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas tinggi dan niali peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas sedang dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona kurang aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas sedang dan niali peluang ekonomi masyarakat rendah, atau nilai akseptibilitas rendah dan nilai peluang ekonomi masyarakat sedang. Zona tidak aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat rendah. d. Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir Integrasi antara penilaian terhadap kualitas lingkungan pesisir, potensi kepariwisataan pesisir dan potensi pemberdayaan masyarakat menghasilkan kesesuaian tapak untuk wisata dengan tiga zona pengembangan wisata, yaitu (1) Zona pengembangan tinggi merupakan zona dengan seluruh aspek penilaian memiliki kategori S1 atau minimal terdapat satu aspek berada pada kategori S2, tanpa kategori S3. (2) Zona pengembangan sedang merupakan zona pengembangan dengan minimal terdapat dua aspek berkategori S2, tanpa kategori S3. (3) Zona pengembangan rendah merupakan zona dengan kategori penilaian minimal memiliki satu kategori S3. (4) Zona pengembangan sangat rendah merupakan zona dengan penilaian terendah dan maksimal hanya terdapat satu kategori S3. e. Aktifitas dan fasilitas wisata pesisir Pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata pesisir yang akan digunakan dalam menentukan rencana pengembangan wisata pesisir. Rencana pengembangan wisata pesisir dihasilkan melalui analisis kesesuaian tapak, pengembangan aktifitas dan fasilitas untuk wisata pesisir yang

62 47 diwujudkan dalam bentuk konsep perencanaan, konsep tata ruang dan konsep sirkulasi bagi wisata pesisir. Tahap 2. Perencanaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Pengembangan interpretasi didasarkan pada potensi sumber daya dan konsep yang akan dikembangkan. Potensi sumber daya dikembangkan menjadi obyek dan atraksi wisata yang menjadi daya tarik wisata. Konsep interpretasi yang akan dikembangkan ialah apresiasi alam dan budaya pesisir Teluk Konga yang kemudian dijabarkan ke dalam jalur interpretasi alternatif wisata pesisir. Skoring nilai obyek wisata menjadi acuan bagi waktu berkunjung pada masing-masing obyek wisata. Selain itu, pengembangan interpretasi juga menghasilkan media interpretasi yang digunakan sebagai sarana interpretasi wisata pesisir. Tahap 3. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Rencana lanskap wisata pesisir merupakan rencana lanjutan untuk mendapatkan tatanan lanskap pendukung kawasan wisata pesisir. Rencana ini berdasarkan pada metode Simonds (1983) yaitu tapak, organisasi ruang, aspek visual, sirkulasi dan struktur dalam lanskap. Tahap 4. Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan Pengelolaan wisata pesisir dikaji dengan menentukan program bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir. Pengkajian ini menggunakan metode Proses Hierarki Analitik (PHA) (Saaty 1970) yang mampu memberikan prioritas bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dilakukan guna mewujudkan wisata yang berkelanjutan. Prinsip penilaian PHA pada penentuan prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun (Gambar 8) terdiri atas empat tingkatan yaitu (1) Tujuan, yaitu target yang akan dicapai dengan menggunakan metode AHP. Target yang ingin dicapai ialah pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir

63 48 Teluk Konga yang sesuai dan berkelanjutan. Tujuan dibuat sebagai landasan guna membantu penilaian expert dalam membandingkan masing-masing elemen terhadap elemen lainnya. (2) Faktor-faktor Faktor merupakan aspek-aspek penting yang menjadi landasan penilaian dalam mencapai tujuan. Faktor yang terkait berupa manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat wisata. (3) Kriteria-kriteria Kriteria merupakan elemen yang dibangun sebagai parameter penilaian untuk mencapai tujuan dan didasarkan pada faktor-faktor penilaian yang terdapat pada satu tingkat atau level di atasnya. Kriteria-kriteria yang digunakan ialah perlindungan aspek ekologis, perbaikan kualitas lingkungan, pelestarian nilai budaya lokal, pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan potensi wisata, dan keberlanjutan usaha pariwisata. (4) Skenario Skenario merupakan alternatif model pengelolaan Teluk Konga di masa yang akan datang. Skenario ditentukan berdasarkan jalur interpretasi wisata pesisir yaitu jalur interpretasi wisata alam, jalur interpretasi wisata budaya, dan jalur interpretasi wisata alam dan budaya (ekowisata). Penilaian PHA dilakukan oleh tujuh orang responden dengan disiplin ilmu yang berbeda, yaitu dua responden mewakili bidang ilmu pesisir dan kelautan, dua responden mewakili bidang ilmu budaya dan antropologi, dua responden mewakili bidang ilmu lanskap dan satu responden mewakili bidang ilmu wisata. Seluruh responden merupakan pakar dibidangnya. Pemilihan responden ini didasarkan pada faktor penentu dalam prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga, yaitu lingkungan, sosial budaya, dan wisata.

64 Pengelolaan Kawasan dan Wisata Pesisir Teluk Konga Manfaat lingkungan Manfaat sosial budaya Manfaat Wisata Perbaikan kualitas lingkungan Perlindungan aspek ekologis Pelestarian nilai budaya lokal Pemberdayaan masyarakat lokal Pengembangan potensi wisata Keberlanjutan usaha pariwisata Jalur interpretasi wisata alam dan budaya (ekowisata) Jalur interpretasi wisata alam Jalur interpretasi wisata budaya Gambar 8 Struktur hierarki pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga.

65 50 Batasan Istilah Pesisir adalah daerah peralihan antara darat dan laut dengan batas ke arah laut sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (keluaran Bakosurtanal) sedangkan batas ke arah darat mencakup batas administrasi seluruh desa pantai (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri) (Ketetapan RAKERNAS MREP 1994 dalam Dahuri et al. 2004). Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai yang berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m titik pasang tertinggi ke arah daratan (Triatmodjo 1999). Lingkungan akuatik adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari laut dan menjadi kebutuhan dasar manusia (masyarakat) untuk dapat bertahan (Nurisyah et al. 2003). Lingkungan terestrial adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari darat dan menjadi kebutuhan dasar manusia (masyarakat) untuk dapat bertahan (Nurisyah et al. 2003). Pemberdayaan masyarakat adalah pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dan proses perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam mengembangkan, mengurus dan mengontrol rencana secara komprehensif (Buchsbaum 2004) Obyek wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan (Nurisyah et al. 2003). Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir juga dapat merupakan bagian dari obyek dan daya tarik wisata pesisir (Nurisyah et al. 2003).

66 51 Wisata alam (nature tourism) adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang didasarkan pada fitur-fitur lingkungan alam dan karakteristik lingkungan alam (Inskeep 1991) Wisata budaya (cultural tourism) adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang menggabungkan budaya dengan warisan alam, sosial dan sejarah (Inskeep 1991). Ekowisata pesisir adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di daerah pesisir yang masih alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Nurisyah et al. 2003). Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) adalah bentuk pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO dalam Nurisyah et al. 2003) Lanskap wisata pesisir adalah bentukan lanskap yang terbentuk dari hasil hubungan antara alam dan kebudayaan pesisir dimana bentukan lanskap alami dan kebudayaan pesisir tersebut sering menjadi motivasi dari kegiatan wisata pesisir (Simonds 1983). Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pesisir yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia pada saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang (Nurisyah et al. 2003).

67 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi studi merupakan sebuah teluk yang berada di antara dua tanjung, yaitu Tanjung Lopi di sebelah utara dan Tanjung Watoblou di sebelah selatan. Berdasarkan posisi geografis, Tanjung Lopi berada pada LS dan BT sedangkan Tanjung Watoblou berada pada LS dan BT. Terdapat tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan garis pantai Teluk Konga, yaitu Desa Watotikaile, Desa Lamika, Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, Desa Konga, Desa Nobokonga, dan Desa Nurri. Tanjung Lopi secara administrasi terletak di Desa Watotikaile, sedangkan Tanjung Watoblou berada pada Desa Nurri. Sejak tahun 2002 Kabupaten Flores Timur dibagi menjadi 13 Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, Ile Mandiri, Titehena, Wulang Gitang, Adonara Barat, Wotanulumado, Adonara Timur, Ile Boleng, Klubagolit, Witihama, Adonara Barat, dan Adonara Timur. Dari 13 kecamatan tersebut, terdapat tiga kecamatan yang letaknya bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Tiga kecamatan tersebut ialah Larantuka, Titehena, dan Wulang Gitang. Desa Watotikaile dan Desa Lamika merupakan desa yang terletak di Kecamatan Larantuka. Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, dan Desa Konga terletak di Kecamatan Titehena. Sedangkan Desa Nobokonga dan Desa Nurri berada dalam cakupan administrasi Kecamatan Wulang Gitang. Secara keseluruhan luasan lokasi studi ini ialah ha. Nama desa dan kecamatan serta luasan desa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kecamatan dan desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga No Desa Kecamatan Luas Desa ha % 1. Watotikaile Larantuka Lamika Larantuka Lewoingu Titehena Lewolaga Titehena Konga Titehena Nobokonga Wulang Gitang Nurri Wulang Gitang Total Sumber : Data Desa (2006)

68 53 Kondisi Biofisik Pulau Flores merupakan pulau vulkanik. Pulau vulkanik ialah pulau yang terbentuk dari kegiatan gunung berapi (magma yang keluar dari dalam perut bumi). Hal ini diperjelas dengan masih adanya beberapa gunung berapi yang hingga kini masih aktif, antara lain Gunung Egon dan Gunung Lewotobi. Sedangkan berdasarkan tipe morfologi pembentuk pulau-pulau kecil, pulau Flores tergolong ke dalam pulau bergunung. Pulau bergunung secara topografi memperlihatkan tonjolan-tonjolan elevasi, berbukit atau bahkan bergununggunung (topografi bergelombang). Jenis tanah di kabupaten Flores Timur pada umumnya mempunyai jenis tanah mediteran (daratan Flores, P.Adonara dan P.Solor), litosol (P.Lembata) dan regosol (Boru). Jenis-jenis ini menjadikan Flores Timur cocok untuk tanaman perkebunan. Keadaan tekstur tanah, yaitu tanah bertekstur halus seluas (1,25%), bertekstur sedang seluas ha (55,39%), bertekstur kasar seluas ha (99,79%). Luas daerah yang tergenang periodik seluas 690 ha (0,20%) dan tergenang seluas 2 ha. Kandungan batuan terbentuk oleh hasil aktivitas gunung berapi, yang terdiri dari lava, breksi, aglomerat dan tufa dengan akifer produktivitas rendah. Jenis batuan pada umumnya ialah batu gamping atau koral dengan sifat pejal dan tidak berlapis serta mempunyai sifat kelulusan sedang. Teluk Konga sendiri memiliki kondisi geologi yang terdiri dari aluvium, batuan gunung berapi muda, batuan gunung api tua, dan batu gamping koral (Bappeda Flores Timur, 1992). Secara keseluruhan, kabupaten Flores Timur memiliki tingkat kemiringan tanah (lereng), yaitu lebih dari 40% seluas Ha (46,23%), 15 40% seluas Ha (32,89%), 2 15% seluas Ha (11,41%), 0 2 % Ha (9,47%). Kemampuan tanah mempunyai kedalaman efektif yang berkisar <30cm seluas Ha (24,72%), cm seluas Ha (45,13 %), cm seluas Ha (11,16%), >90 cm Ha (18,99%). Teluk Konga berada di antara kelerengan %. Sifat hidrologis Teluk Konga dicirikan dengan bentuk pantai yang berkelok-kelok. Hal ini menunjukkan keanekaragaman habitat yang tinggi di pantai Teluk Konga. Pada musim barat arah arus menuju tenggara, sedangkan

69 54 pada musim timur arah arus menuju barat laut. Teluk Konga memiliki tipe pasang surut dengan jenis pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal), yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang (high water) tertinggi bulanan pada bulan Juli 2006 terjadi pada tanggal 11 hingga 13. Surut (low water) terendah di bulan Juli 2006 terjadi pada tanggal 10 hingga 13. Selisih antara pasang naik dan pasang surut ialah 2 m (Dinas Hidro-Oseanografi, 2006). Musim panas di Teluk Konga terjadi antara bulan April hingga Oktober, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Nopember sampai Maret. Kelembaban nisbi tinggi terjadi pada bulan Desember hingga April, sedangkan kelembaban nisbi rendah terjadi pada bulan Mei hingga Nopember. Iklim selama sepuluh tahun tidak banyak mengalami perubahan, kecuali suhu rata-rata dan kecepatan angin yang mengalami peningkatan di tahun 2003 hingga Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor pemanasan global. Data iklim di Flores Timur selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Data iklim di Flores Timur tahun 1996 hingga tahun 2005 Tahun Suhu Udara ( 0 C) Maks Min Curah Hujan mm/bln Penyinaran Matahari (%) Tekanan Udara (mb) Ratarata Kelembaban Nisbi (%) Kecepatan Angin (knots) Rata rata Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Flores Timur (2006). Tata Guna Lahan Penggunaan lahan pada kawasan studi secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kawasan alami, kawasan semi alami dan kawasan buatan. Kawasan alami meliputi hutan alami, hutan mangrove, dan semak belukar. Kawasan semi alami meliputi sawah, kebun, dan tegalan/ladang. Sedangkan

70 55 kawasan buatan berupa pemukiman penduduk. Tata guna lahan di Teluk Konga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Tata guna lahan di Teluk Konga No. Tipe Kawasan Tipe Penggunaan Lahan Luas (ha) 1. Alami Hutan Alami 1040 Hutan Mangrove 94 Semak/Belukar Semi Alami Sawah 259 Kebun/Perkebunan 1335 Tegalan/Ladang Buatan Pemukiman 113 Sumber : Profil Desa (2006) Teluk Konga memiliki beberapa tipe ekosistem yang masih alami. Tipe ekosistem alami di Teluk Konga berdasarkan klasifikasi Sastrapradja et al. (1989) dapat dikategorikan menjadi ekosistem pantai batu, ekosistem hutan bakau, ekosistem vegetasi pantai pasir dan karang, ekosistem hutan monsun dan ekosistem savana. Ekosistem pantai batu berupa batuan padas yang berasal dari proses koglomerasi batu-batu kecil dengan tanah liat dan kapur, atau terbentuk dari bongkah-bongkah batu granit yang besar-besar. Ekosistem ini terdapat antara lain di Pantai Lewolaga dan Tanjung Waitimu. Ekosistem hutan bakau ialah hutan yang terdapat di area pesisir dengan vegetasi yang tahan dengan salinitas. Jenis vegetasi hutan mangrove di Teluk Konga antara lain Avicennia alba Bl, Avicennia marina (Forsk.) Vierh., Rhizophora apiculata Bl, dan Rhizophora mucronata Lmk. Ekosistem ini dapat dijumpai antara lain pada hutan mangrove Lewolaga, Konga, dan Nobokonga. Ekosistem vegetasi pantai merupakan ekosistem yang terdapat di tepi pantai berpasir atau berkarang yang membentang tidak terlalu jauh dari pantai ke arah darat. Vegetasi pada ekosistem ini di Teluk Konga terdiri atas vegetasi yang berbentuk terna (formasi pes-caprea) dan vegetasi yang berbentuk perdu dan pohon (formasi Baringtonia). Vegetasi tersebut berupa Ipomea pes-caprea (L.) Sweet, Pandanus odoratissima, Baringtonia asiatica (L.) Kurz. Ekosistem ini dijumpai di hutan pantai Konga.

71 56 Ekosistem darat alami lainnya berupa ekosistem hutan monsun dan ekosistem savana. Ekosistem hutan monsun merupakan ekosistem yang hanya memiliki satu lapisan tajuk pohon dengan tinggi jarang lebih dari 25 m. Pohon bercabang rendah, batangnya jarang lurus, jumlah sedikit dan masing-masing cenderung untuk menjadi dominan lokal. Sedangkan ekosistem savana memiliki tipe vegetasi berkisar dari padang rumput dengan pohon-pohon yang terpencar jarang. Kedua ekosistem ini dapat dijumpai di pesisir desa Nurri. Resiko Bencana Lingkungan Bahaya lingkungan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Berdasarkan Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana Pasal 1 Ayat 1 bencana lingkungan merupakan suatu kejadian yang disebabkan oleh alam, manusia atau keduanya, yang menimbulkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, lingkungan dan utilitas umum, serta meninggalkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana lingkungan dibagi atas bencana alam dan bencana karena manusia. Bencana alam merupakan bencana yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas alam. Bencana alam yang umumnya terjadi adalah gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, gerakan tanah, erosi, sedimentasi, intrusi, perembesan, wabah penyakit, terancam punahnya tumbuhan dan satwa, hujan dan badai, banjir, kekeringan, penggurunan, gelombang pasang, kebakaran hutan, dan sebagainya. Bencana karena manusia terjadi akibat kegiatan manusia yaitu pencemaran lingkungan, kebisingan, dan kombinasi dari keduanya. Bencana lingkungan ini mengakibatkan kerugiaan secara fisik, ekologis, ekonomi, dan sosial (Nurisyah 2007) Bencana alam yang berpotensi terjadi di Teluk Konga antara lain ialah gempa bumi, gunung meletus, banjir dan tanah longsor. Gempa bumi merupakan aktivitas geologis yang terjadi karena pergerakan lempeng tektonik (gempa tektonik) dan aktivitas gunung api (gempa vulkanik). Aktivitas tektonik kawasan bagian Timur Indonesia dibedakan menjadi busur sangat aktif, busur aktif, zona lipatan dan patahan, zona laut Banda bagian barat, blok stabil Kei, dan kawasan sangat stabil Timor dan Dangkalan Sahul. Gempa dengan episentrum di dasar laut

72 57 dapat menimbulkan tsunami, yaitu timbulnya gelombang tinggi yang bergerak menyapu daratan di pulau-pulau sekitarnya. Pulau Flores termasuk dalam zona laut Banda bagian barat yang memiliki potensi gempa tektonik yang tinggi dan dapat menyebabkan tsunami. Teluk Konga juga memiliki sepasang gunung berapi yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan. Gunung Lewotobi Lakilaki merupakan salah satu gunng berapi aktif di Pulau Flores. Flores dan pulaupulau lainnya di Nusa Tenggara Timur dibangun oleh tubuh gunung berapi purba maupun aktif. Pulau-pulau ini merupakan salah satu contoh bagaimana kulit bumi ini terbentuk dan berkembang (Deptamben 1990). Gunung Lewotobi Laki-laki bersebelahan dengan Gunung Lewotobi Perempuan dengan jarak kira-kira 2 km. Kemungkinan Gunung Lewotobi Lakilaki muncul setelah Gunung Lewotobi Perempuan ada. Gunung Lewotobi Lakilaki membentuk kerucut runcing dengan lereng di sekitar puncak membentuk sudut Sebagian besar tubuh gunung berapi ini dibangun oleh lava. Sebuah kawah terdapat di puncak, dinding kawah di sebelah utara vertikal. Kawah lainnya terdapat di sebelah barat laut kawah utama. Akivitas Gunung Lewotobi Laki-laki mengakibatkan gempa tektonik dan letusan gunung berapi (Deptamben 1990). Kegiatan letusan Gunung Lewotobi Laki-laki dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Data letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki No Waktu Sifat Letusan 1 4, 18 Mei 1861 Letusan abu Letusan abu 3 13 Juli dan 15 Desember 1868 Letusan abu Letusan batu dan lontaran batu 5 Kegiatan mulai 28 sept 18 0kt 1907 Aliran lava ke arah Nobo dan Nurabelen 6 9 April 1909 sampai 21 Mei 1910 Letusan abu dan aliran lava 7 29 Juni 1914 Letusan abu dan aliran lava 8 23 Mei 1932 sampai Desember 1933 Letutas abu, aliran lava dan guguran lava 9 17 Desember 1939 sampai 21 April 1940 Letusan abu dan aliran lava dan 1970 Letusan abu 11 2 April 1990 Letusan abu Juli 1992 Letusan abu Maret sampai 1 Juli 1999 Letusan abu Mei sampai 31 Agustus 2003 Letusan abu Sumber : Badan Vulkanologi Flores Timur (2006)

73 58 Gunung Lewotobi Perempuan mempunyai bentuk kerucut terpancung dan terdapat dua buah kawah di puncaknya. Gunung ini bersifat eksplosif menghasilkan rempah gunung api lepas dan efusif yang menghasilkan aliran lava dan kubah lava. Dalam perkembangannya gunung ini menghasilkan endapan awan panas yang menyelimuti hampir seluruh tubuh gunung. Gunung Lewotobi Perempuan hanya dua kali terjadi kegiatan yang tercatat selama ini (Tabel 13). Tabel 13 Data letusan Gunung Lewotobi Perempuan No Waktu Sifat Letusan 1 1, 3, dan 4 Januari 1921 dan 20 Desember 1921 Letusan abu Letusan abu dan lontaran batu Keluar asap tebal disertai suara gemuruh Sumber : Badan Vulkanologi Flores Timur (2006) Daerah sepanjang pesisir mempunyai kerawanan yang cukup tinggi terhadap bahaya banjir. Pada dasarnya bahaya banjir dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu (1) bahaya banjir yang terjadi sedikitnya sekali dalam setahun, (2) bahaya banjir yang terjadi setiap 5 sampai 10 tahun sekali, (3) bahaya banjir yang terjadi setiap 50 sampai 100 tahun sekali. Wilayah Teluk Konga tidak terdapat data mengenai bahaya banjir yang pernah terjadi. Namun demikian, kemungkinan potensi banjir tahunan cukup kecil karena Teluk Konga hanya memiliki satu sungai besar, yaitu sungai Waikonga. Teluk Konga memiliki sungai dengan jenis selalu terairi dan terairi musiman. Sungai selalu terairi merupakan sungai yang selalu terairi pada musim hujan maupun dimusim kemarau. Sungai terairi musiman merupakan sungai yang hanya terairi pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau sungai tersebut menjadi kering. Nama dan jenis sungai tersaji pada Tabel 14. Kondisi fisiografi Teluk Konga berupa pegunungan, perbukitan bergelombang dan dataran redah. Beberapa bagian lahan di Teluk Konga terbentuk dari batuan karang yang terangkat kepermukaan, sehingga meskipun tutupan vegetasi rendah, resiko terjadinya tanah longsor juga rendah karena adanya batu karang yang dapat menstabilkan gerakan masa tanah pada saat turun hujan lebat. Namun resiko tanah longsor dapat terjadi di daerah sekitar gunung

74 59 berapi Lewotobi. Hal ini dikarenakan topografi yang curam dan tanah yang kurang stabil. Tabel 14 Nama sungai yang bermuara di Teluk Konga No Nama sungai Jenis sungai Letak 1 Senatra Musiman Watotika Ile 2 Lumbelen Musiman Lamika 3 Letekkoten Musiman Batas desa Lamika dan Lewoingu 4 Oyang Musiman Lewoingu 5 Kemui Musiman Batas desa Lewoingu dan Lewolaga 6 Ulangkene Musiman Lewolaga 7 Ninu Selalu terairi Lewolaga 8 Dateng Musiman Lewolaga 9 Leko Selalu terairi Batas desa Lewolaga dan Konga 10 Konga Selalu terairi Konga 11 Rabiama Musiman Batas Nobokonga dan Nurri 12 Ikankotang Musiman Nurri 13 Rata Musiman Nurri 14 Pelati Musiman Nurri 15 Nurabelen Musiman Nurri Sumber : Peta RBI Bakosurtanal (2000) Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Penduduk desa-desa di Teluk Konga didominasi oleh suku Lamaholot, yaitu suku asli di Flores Timur. Masyarakat Teluk Konga tercatat 7597 jiwa dengan total penduduk pria 3519 (46,32%) dan penduduk wanita 4078 (53,68%). Jumlah penduduk terbanyak ialah desa Nobokonga dengan total penduduk 1892 jiwa, sedangkan desa Watotika Ile memiliki jumlah penduduk paling sedikit yaitu 509 jiwa (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah penduduk tiap desa di lokasi penelitian No Desa Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Pria Wanita Penduduk Total 1 Watotika Ile Lamika Lewoingu Lewolaga Konga Nobokonga Nurri Jumlah Sumber : Profil Desa (2006)

75 60 Masyarakat Teluk Konga ialah masyarakat pesisir namun aktivitas sehariharinya dilakukan di darat. Penduduk Teluk Konga sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Kegiatan nelayan dilakukan pada musim bera (yaitu masa menunggu musim tanam setelah selesai panen) dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan pertanian yang dilakukaan ialah berladang (jagung, ubi, dan sebagainya), bersawah (padi), dan berkebun (jambu mente). Kegiatan berladang dilakukan dengan sistem ladang berpindah sesuai dengan ketentuan adat. Secara adat setiap musim tanam hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang disebut etang. Setelah panen, etang ditinggalkan dan dibuka etang baru. Etang yang lama akan ditinggalkan hingga suatu saat kembali ditanami. Hal ini dilakukan karena tanah yang ada memiliki solum yang tipis sehingga tanaman akan sulit menghasilkan jika ditanam kembali pada musim berikutnya. Pemerintah menganjurkan untuk menanam jambu mente pada etangetang yang ditinggalkan agar tidak terjadi erosi tanah. Lahan yang terdapat di Flores Timur umumnya merupakan tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat dan dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat tersebut. Untuk itu, seluruh kegiatan yang akan dilakukan pada lahan tersebut atas persetujuan tetua adat dan diawali dengan upacara adat seperti halnya upacara adat pada musim tanam dan upacara adat pada musim panen. Tetua adat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan keputusan di desa. Penyelesaian konflik intern desa ataupun konflik ekstern desa dilakukan dengan hukum adat. Meskipun demikian masyarakat terbuka terhadap pendatang maupun warga negara asing. Hal ini dapat dilihat dengan pesatnya pertumbuhan agama Katholik di Flores, terutama Flores Timur. Agama Katholik memberi banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat Flores terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Fasilitas umum yang tersedia di tiap desa di Teluk Konga sangat minim, antara lain balai desa, sekolah, koperasi, pasar, jaringan listrik, jaringan PDAM, jaringan telepon, fasilitas kesehatan, terminal, pelabuhan/dermaga, dan tempat ibadah. Secara keseluruhan di Teluk Konga terdapat satu pasar yang terletak di desa Lewoingu dan beraktivitas setiap hari Jumat pagi. Pasokan listrik dari PLN hanya tersedia di desa-desa tertentu. Penerangan desa dalam lokasi penelitian

76 61 umumnya menggunakan genset yang mulai diaktifkan pada pukul WITA untuk penerangan malam hari. Genset tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat desa. Tempat ibadah yang tersedia di tiap desa berupa gereja Katholik dan kapela karena mayoritas penduduk memeluk agama Katholik. Gereja terdapat satu pada setiap desa, lainnya berupa Kapela. Namun desa Nurri memiliki tiga buah gereja, yakni satu gereja pada setiap dusun. Hal ini dikarenakan jarak antar dusun yang berjauhan. Tabel 16 menunjukkan jenis fasilitas umum dan jumlahnya di tiap desa di lokasi penelitian. Tabel 16 Fasilitas umum tiap desa di lokasi penelitian No Desa Balai Desa Sekolah Koperasi Pasar Jaringan Listrik Jaringan PDAM Jaringan Telepon Fasilitas Kesehatan Terminal Pelabuhan/ Darmaga Tempat Ibadah 1 Watotika Ile Lamika Lewoingu Lewolaga Konga Nobo Konga Nurri Total Sumber : Profil Desa (2006) Akses dan Sistem Transportasi Akses menuju Teluk Konga bisa dicapai melalui darat maupun laut. Jalur darat dapat ditempuh melalui dua kota, yaitu Larantuka dan Maumere. Sedangkan jalur laut dan udara dapat diakses melalui Larantuka dan Maumere. Maumere dan Larantuka merupakan gerbang menuju Teluk Konga. Kedua kota tersebut dapat langsung diakses melalui Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar, Kupang, dan Labuanbajo. Sedangkan melalui laut, Teluk Konga bisa diakses dengan kapal berukuran kecil yang dapat berlabuh di pelabuhan Waidoko. Teluk Konga berada di tengah-tengah antara Larantuka dan Maumere. Jalan yang menghubungkan kedua kota tersebut berupa jalan asphalt hotmix dengan kondisi sangat baik. Jalur laut juga berkembang sangat pesat sehingga kedua kota tersebut dapat diakses setiap minggu. Jalur udara dapat dilalui empat

77 62 kali seminggu dari Kupang menuju Larantuka, sedangkan dari Kupang menuju Maumere dua kali seminggu, dan Denpasar menuju Maumere enam kali seminggu dengan dua kali penerbangan. Diagram aksesibilitas Teluk Konga tersaji pada Gambar 9. Makasar Larantuka Surabaya Teluk Konga Jakarta Denpasar Maumere Kupang Keterangan: : Kawasan Penelitian : Jalur darat : Kota-kota sumber wisatawan : Jalur udara : Jalur laut Gambar 9 Diagram aksesibilitas Teluk Konga. Aksesibilitas menuju lokasi penelitian relatif mudah. Jalan yang menghubungkan antar desa di dalam lokasi penelitian juga telah tersedia dan ada dalam kondisi yang sangat baik. Jalan tersebut merupakan jalan propinsi yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Akan tetapi kondisi tapak yang berbukitbukit menyebabkan beberapa segmen jalan yang agak berbahaya karena terlampau curam dan bertikungan tajam. Sarana transportasi tersedia di waktu-waktu tertentu namun dengan intensitas yang relatif kecil. Angkutan pedesaan pada umumnya tidak tersedia pada malam hari. Alternatif angkutan lainnya ialah ojek motor dan

78 63 bis antar kota (Larantuka Maumere). Aksesibilitas dan sarana transportasi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Aksesibilitas dan sarana transportasi menuju lokasi penelitian No Desa Jarak dari ibukota Kecamatan (km) Jarak dari ibukota Kabupaten (km) Jenis Angkutan Umum Waktu Operasi 1 Watotika Ile Angkutan pedesaan WITA 2 Lamika Angkutan pedesaan WITA 3 Lewoingu Bis antar kota WITA 4 Lewolaga Angkutan pedesaan WITA 5 Konga Angkutan pedesaan WITA 6 Nobokonga Nurri Sumber : Profil Desa (2006) Potensi Pariwisata Flores Timur Wilayah Indonesia bagian timur memiliki kekayaan alam dan budaya yang tinggi dan berpotensi dikembangkan untuk wisata. Tidak terkecuali kekayaan alam dan budaya yang ada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa kawasan di NTT sudah dikembangkan sebagai kawasan wisata termasuk diantaranya Taman Nasional Pulau Komodo, Cagar Alam Gunung Kelimutu, dan Cagar Alam Gunung Mutis. Selain itu, beberapa obyek dan atraksi wisata juga sedang dikembangkan di NTT, seperti Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang. Berbagai obyek dan atraksi wisata di NTT dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada saat ini, Kabupaten Flores Timur telah mempunyai beberapa obyek dan atraksi yang akan dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Obyek dan atraksi wisata ini diharapkan dapat dikembangkan menjadi paket wisata Flores Timur yang dapat menarik minat wisatawan untuk datang dan menikmati pariwisata di Flores Timur. Dengan pariwisata diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan meningkatkan pendapatan daerah Flores Timur. Obyek dan atraksi wisata di Flores Timur disajikan pada Lampiran 2.

79 64 Kota Larantuka merupakan ibukota kabupaten Flores Timur dikenal sebagai kota wisata religi bagi umat Katholik. Hal ini terlihat dari suasana kota dan banyaknya tempat peribadatan. Salah satu atraksi yang terkenal ialah Prosesi Jumat Agung. Prosesi ini dilakukan pada perayaan Paskah setiap tahunnya. Masyarakat dari luar Flores dan luar negeri berdatangan untuk meramaikan prosesi ini. Dengan demikian, kota Larantuka dapat dijadikan sebagai pusat promosi wisata bagi kawasan wisata lain di Flores Timur.

80 65 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Potensi Kawasan Wisata untuk Pesisir Perencanaan pengembangan suatu kawasan wisata pesisir di Teluk Konga ditentukan berdasarkan kualitas lingkungan pesisir, pengembangan kepariwisataan pesisir, dan keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengembangan wisata. a. Kualitas Lingkungan Pesisir Penilaian kualitas lingkungan pesisir kawasan penelitian ditentukan berdasarkan kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial. Hasil penilaian kesesuaian akuatik (Tabel 18) ialah kategori sangat sesuai (S1) untuk Lewolaga dan Konga, dan kategori cukup sesuai (S2) untuk desa lainnya. Hasil yang diperoleh dari penilaian kesesuaian terestrial Teluk Konga sebagai kawasan wisata pesisir (Tabel 19) menunjukkan bahwa semua bagian tapak potensial untuk dijadikan kawasan wisata. Tabel 18 Penilaian kesesuaian akuatik untuk wisata pesisir di Teluk Konga Parameter Kecerahan Kecepatan Substrat Topografi Bahaya Kesesuaian Desa perairan arus dasar laut tsunami wisata N S N S N S N S N S N K Watotika Ile 80 SS 30 KS 30 S 20 KS 10 KS 170 S2 Lamika 80 SS 30 KS 30 S 20 KS 10 KS 170 S2 Lewoingu 80 SS 45 S 20 KS 20 KS 10 KS 175 S2 Lewolaga 80 SS 60 SS 20 KS 40 SS 10 KS 210 S1 Konga 80 SS 60 SS 20 KS 30 S 10 KS 200 S1 Nobokonga 80 SS 45 S 20 KS 20 KS 10 KS 175 S2 Nurri 80 SS 15 TS 30 S 10 TS 10 KS 145 S2 Sumber: Olahan data lapang Keterangan: N = Nilai, S = Skor (SS=Sangat Sesuai, S=Sesuai, KS=Kurang Sesuai, TS=Tidak Sesuai), K = Kategori Tabel 19 Penilaian kesesuaian terestrial untuk wisata pesisir di Teluk Konga Parameter Ekosistem Penutupan lahan pantai Lebar pantai Topografi darat Bahaya gunungapi Kesesuaian wisata Desa N S N S N S N S N S N K Watotika Ile 60 S 45 S 20 KS 10 TS 20 SS 155 S2 Lamika 60 S 45 S 40 SS 10 TS 20 SS 175 S2 Lewoingu 60 S 45 S 30 S 20 KS 20 SS 175 S2 Lewolaga 60 S 45 S 40 SS 40 SS 20 SS 195 S1 Konga 60 S 45 S 40 SS 30 S 20 SS 195 S1 Nobokonga 60 S 45 S 10 TS 10 TS 10 KS 135 S2 Nurri 60 S 45 S 10 TS 10 TS 5 TS 130 S2 Sumber: Olahan data lapang Keterangan: Keterangan: N = Nilai, S = Skor (SS=Sangat Sesuai, S=Sesuai, KS=Kurang Sesuai, TS=Tidak Sesuai), K = Kategori

81 66 Kecerahan perairan adalah suatu kondisi perairan dengan intensitas cahaya hingga batas maksimal ke arah dasar laut, dengan demikian berbagai kehidupan alam bawah laut dapat dinikmati oleh para wisatawan. Kecerahan air yang tinggi juga menjadi indikator tingkat kebersihan perairan laut. Oleh karena itu, perairan yang memiliki kecerahan tinggi merupakan sarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata bahari. Nilai kecerahan perairan yang tinggi ialah >75%, sedangkan nilai kecerahan perairan di Teluk Konga berkisar antara %. Nilai ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Konga dapat mendukung aktifitas wisata pesisir, seperti snorkelling, menyelam (diving), dan mengamati terumbu karang dengan menggunakan glass bottom boat. Kecepatan arus adalah salah satu kondisi perairan yang sangat berkaitan dengan keamanan dan keselamatan para wisatawan yang melaksanakan aktivitas di dalam air. Keberadaan Pulau Konga di tengah Teluk Konga menyebabkan berkurangnya kecepatan arus yang masuk ke pesisir Teluk Konga. Hal ini memberi dampak positif bagi pengembangan wisata karena kecepatan arus yang rendah mendukung pengembangan kawasan wisata pesisir. Nilai kecepatan arus yang baik untuk aktifitas wisata air ialah < 0,51 m/det, sedangkan di Teluk Konga pada umumnya perairan sesuai untuk wisata air, kecuali perairan desa Nurri. Rendahnya kecepatan arus dapat menunjang aktifitas wisata pesisir seperti bersampan dan berenang. Substrat dasar dibeberapa lokasi pantai berupa lumpur dengan vegetasi mangrove. Substrat lumpur terjadi sebagai akibat dari adanya muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Kondisi pesisir Teluk Konga yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah landai menyebabkan terjadinya pengendapan lumpur sehingga pertumbuhan mangrove menjadi optimal. Hutan mangrove sangat kaya akan keanekaragaman dan merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa jenis hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Dengan kekayaan yang dimiliki, hutan mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata dalam pengembangan pariwisata pesisir di Teluk Konga. Topografi laut landai pada perairan Lewolaga dan Konga. Topografi landai baik untuk aktivitas rekreasi pantai. Topografi curam terdapat pada lokasi

82 67 pantai yang mendekati Selat Lewotobi. Topografi curam berbahaya untuk wisata tetapi memiliki pemandangan laut yang indah (seperti terumbu karang), sehingga dapat dikembangkan untuk wisata bahari dengan fasilitas glass bottom boat untuk dapat melihat terumbu karang. Pulau Flores pada umumnya tercakup dalam kawasan rawan tsunami di Indonesia. Teluk Konga sendiri termasuk daerah dengan kerawanan bencana tsunami tinggi. Bencana tsunami yang melanda Flores utara pada 12 Desember 1992 menyebabkan terjadinya gempa di beberapa desa di Teluk Konga, seperti desa Konga dan desa Nobokonga. Gempa tersebut mengakibatkan kerusakan pada seluruh bangunan rumah di Konga dan kerusakan pada sebagian konstruksi dermaga Waidoko (Nobokonga). Gambar 10 menunjukkan daerah rawan tsunami di Nusa Tenggara Timur. Teluk Konga Sumber : Peta on-line Bakosurtanal (download 30 Juli 2007) Gambar 10 Peta tingkat kerawanan bencana tsunami. Pengembangan wisata dapat tetap dilakukan meskipun Teluk Konga dinyatakan sebagai daerah dengan tingkat kerawanan tsunami tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan bahaya tsunami yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Untuk mencegah adanya korban jiwa, maka perlu dilakukan pemasangan sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi potensi bahaya tsunami dan jalur evakuasi ketika terjadi tsunami.

83 68 Sistem peringatan dini dapat mengacu pada sistem peringatan dini yang dikembangkan oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yaitu Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunamis (DART). Teknik yang diaplikasikan pada sistem DART ialah pemasangan deep-ocean tsunami detector pada laut dalam di daerah-daerah yang merupakan jalur potensi tsunami dan dengan menggunakan sistem komputer akan diprediksi berapa lama pemicu tsunami dapat mencapai pesisir. Sistem ini menjadi efektif dengan pemasangan alarm di pesisir Teluk Konga dan pendidikan bahaya tsunami bagi wisatawan dan masyarakat lokal (González 1999). Pembuatan jalur evakuasi dan lokasi evakuasi bagi penduduk dan wisatawan dilakukan untuk mencegah terjadinya korban jiwa ketika tsunami terjadi. Jalur evakuasi dapat dibuat dengan menghubungkan tempat aktifitas wisata dan aktifitas keseharian penduduk dengan lokasi evakuasi tsunami. Lokasi evakuasi tsunami dapat disediakan di daratan pesisir yang lebih tinggi dan dapat dengan mudah dan cepat dijangkau oleh wisatawan dan masyarakat lokal. Pendayagunaan laut sebagai media wisata memerlukan persyaratan tertentu (Yudasmara 2004), antara lain 1) Keadaan musim/cuaca yang cukup baik sepanjang tahun 2) Lingkungan laut yang bersih, bebas pencemaran. 3) Keadaan pantai yang bersih dan alami, yang disertai pengaturanpengaturan tertentu terhadap bangunan dan jenis kegiatan. 4) Keadaan dasar laut yang masih alami, misalnya taman laut yang merupakan habitat dari berbagai fauna dan flora. 5) Gelombang dan arus yang relatif tidak terlalu besar serta aksesibilitas yang tinggi. Berdasarkan persyaratan di atas, maka secara fisik perairan Teluk Konga merupakan teluk yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata, mengingat potensi sumber daya yang dimiliki sangat mendukung seperti kecerahan perairan yang tinggi dan kecepatan arus yang rendah, keadaan pantai dan dasar laut yang masih alami, dan lingkungan laut yang bersih.

84 69 Potensi sumber daya alam terestrial Teluk Konga juga mendukung pengembangan wisata pesisir, seperti ekosistem yang masih asli, penutupan lahan pantai yang masih alami, serta adanya lokasi pengamatan aktivitas gunung berapi yang aman untuk wisatawan. Sehingga pengembangan Teluk Konga sebagai kawasan wisata yang menampilkan obyek dan atraksi wisata alam dan budaya dapat diklasifikasi sesuai peruntukannya. Keaslian ekosistem di Teluk Konga masih sangat baik yaitu ekosistem mengalami kerusakan kurang dari 15 persen. Pesisir Teluk Konga memiliki ekosistem yang masih alami berupa ekosistem hutan mangrove, hutan pantai, pantai bepasir, pantai berbatu, hutan darat, sungai, gunung dan pulau kecil. Ekosistem yang masih asli dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam bagi pengembangan wisata di Teluk Konga. Gambar 11 Peta penggunaan lahan di Teluk Konga. Penutupan lahan di pesisir Teluk Konga terdiri atas hutan alami, hutan rawa/mangrove, padang rumput, kebun, ladang, semak belukar, sawah, pemukiman, dan pasir pantai (Gambar 11). Sebagian besar lahan di pesisir Teluk Konga tertutupi oleh hutan yang masih alami. Penutupan lahan yang masih alami atau semi alami dapat dikembangkan sebagai obyek wisata pesisir di Teluk Konga. Sebagai contoh ialah pengembangan kawasan semi alami, yaitu sawah dan

85 70 ladang di desa Konga. Desa Konga ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Flores Timur sebagai salah satu lumbung padi Kabupaten Flores Timur. Selain itu, Konga juga memiliki sistem pertanian ladang berpindah dengan lokasi ladang sesuai dengan ketentuan adat. Kedua potensi ini dapat dikembangkan menjadi salah satu obyek dan atraksi wisata yaitu agrowisata. Selain potensi, Teluk Konga memiliki beberapa kendala. Topografi pulau utama (Pulau Flores) di Teluk Konga memiliki rentang yang lebar antara 0 hingga 1708 mdpl sedangkan topografi pulau kecil (Pulau Konga) berada pada rentang antara 6 hingga 245 mdpl (Gambar 12). Tapak umumnya berupa tebing yang curam dan sulit untuk dilalui. Untuk mengurangi resiko kecelakaan pada wisatawan, maka kawasan ini dikembangkan sebagai lokasi sight seeing dengan fasilitas dek kayu dan teropong, sebagai lokasi pengamatan atau lokasi untuk menikmati pemandangan ke arah Teluk Konga. Ilustrasi gambar lokasi sight seeing dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 12 Peta topografi Teluk Konga. Teluk Konga juga memiliki gunung berapi yang masih aktif hingga saat ini. Desa Nurri tercakup dalam daerah bahaya gunung berapi, sedangkan desa Nobokonga tercakup dalam daerah waspada gunung berapi. Untuk itu dalam

86 71 keadaan yang membahayakan bagi pengunjung, maka tapak ini akan ditutup. Sebagai alternatif lain di desa Watotika Ile yang merupakan desa yang berhadapan langsung dengan Gunung Lewotobi, disediakan fasilitas sightseeing dan teropong untuk mengamati aktivitas gunung berapi yang aman bagi pengunjung. Gambar 14 menunjukkan daerah bahaya gunung berapi. Foto: Dok. Setyanti (2007) Gambar 13 Ilustrasi dek untuk aktifitas sight seeing. Gambar 14 Peta daerah bahaya gunung berapi di Teluk Konga.

87 72 Umumnya masyarakat di sekitar pantai hidup dari ketersediaaan air di mata air perbukitan. Seperti halnya masyarakat desa Konga dan Nobokonga memperoleh air bersih dari mata air Nileknoheng, sedangkan masyarakat Lewolaga memperoleh air bersih dari mata air Bokang. Pemerintah dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempermudah perolehan air bagi masyarakat pesisir, khususnya di Teluk Konga, dengan pembuatan pipa yang dialirkan dari sumber mata air menuju desa-desa terdekat. Dengan demikian perolehan air relatif lebih mudah. Sungai besar seperti sungai Waikonga yang terairi, hanya digunakan oleh penduduk untuk mengairi sawah, karena memiliki debit air yang sangat kecil pada musim kemarau. Namun pada musim penghujan debit air meningkat dan dapat dikembangkan untuk wisata bersampan. Pengembangan kawasan Teluk Konga dengan konsep ekowisata menitikberatkan pada minimalisasi dampak negatif yang menekankan pembangunan dengan dampak rendah, jumlah wisatawan yang terkendali, dan kepedulian terhadap flora dan fauna lokal (Honey 1999 dalam Buchsbaum 2004). Penurunan kualitas lingkungan akan mengurangi permintaan wisatawan dalam jangka panjang. Penurunan kualitas lingkungan alami pada kawasan pengembangan ekowisata mengakibatkan berkurangnya atraksi wisata dan berdampak bagi kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman ekologis. Gambar 15 Peta hasil analisis zona kepekaan lingkungan pesisir untuk wisata.

88 73 Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan akuatik dan terestrial diperoleh zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir. Zona ini merupakan penggabungan antara kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial. Zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir untuk mendukung pengembangan wisata pesisir di Teluk Konga klasifikasikan menjadi 1) zona tidak peka (S1), 2) zona kurang peka (S2), dan 3) zona cukup peka (S3). Distribusi ketiga zona tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. b. Potensi Kepariwisataan Pesisir Bentuk perwujudan Teluk Konga sebagai kawasan ekowisata ialah dengan dilakukan penilaian kesesuaian obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga yang berpotensi bagi pengembangan wisata pesisir. Pada Teluk Konga terdapat 25 titik wisata yang potensial untuk dikembangkan menjadi obyek dan atraksi wisata. Secara keseluruhan hasil dari analisis kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga ialah berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata. Teluk Konga memiliki 11 obyek dan atraksi wisata (44%) dengan kategori sangat potensial (S1) (Gambar 16) dan 14 obyek dan atraksi wisata (56%) dengan kategori cukup potensial (S2) (Gambar 17). Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga disajikan dalam Tabel 20. Teluk Konga memiliki bentang alam yang sangat luas, sehingga obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga dapat mewakili berbagai karakteristik berdasarkan lingkungan (akuatik dan terestrial), ketinggian (pantai hingga gunung), dan sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya budaya). Pantai Teluk Konga juga memiliki beragam karakteristik yang alami, yaitu pantai lumpur, pantai berpasir (pasir putih, pasir hitam, pasir coklat), pantai berbatu, tebing pantai, teluk dan tanjung. Demikian pula halnya dengan perairan laut Teluk Konga yang memiliki beberapa jenis ikan karang (Gambar 18) dan terumbu karang jenis hard coral dan soft coral (Gambar 19). Berdasarkan tingkat ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap desa dihasilkan zona-zona wisata dengan klasifikasi zona atraktif, zona cukup atraktif, dan zona kurang atraktif. Zona atraktif berada pada desa Konga, zona cukup atraktif meliputi desa Lewoingu, Lewolaga, Nobokonga, dan Nurri, dan zona

89 74 kurang atraktif meliputi desa Watotika Ile dan Lamika. Distribusi zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata dapat dilihat pada Gambar 20. Pantai Pasir Coklat Konga Hutan Mangrove Lewolaga Hutan Pantai Konga Hutan Mangrove Nobokonga Pulau Konga Konga Sungai Waikonga Konga Gunung Lewotobi Nurri Lanskap Berbatu Lewoingu Budidaya Mutiara Konga Kampung Tradisional Eputobi Lewoingu Sumber : Foto Lapang 2006 Rumah Adat Suku Lewoingu Gambar 16 Obyek dan atraksi wisata sangat potensial (S1).

90 75 Pantai Pasir Putih Tanjung Lopi Watotika Ile Pantai Pasir Hitam Pantai Nurabelen Nurri Pantai Berbatu Lewolaga Pantai Berbatu Tanjung Waitimu Nurri Tebing Pantai Tanjung Watoblou Nurri Terumbu Karang Teluk Ake Lewoingu Bumi Perkemahan Konga Perkampungan dan Pelabuhan Nelayan Lewolaga PelabuhanWaidoko Nobokonga Pembuatan Garam Tradisional Konga Agrowisata Konga Peninggalan sejarah dan Prosesi Jumat Agung Gereja Konga Sumber : Foto Lapang 2006 Arsitektur Gereja Portugis Gereja Nobo Nobokonga Gambar 17 Obyek dan atraksi wisata cukup potensial (S2).

91 76 Tabel 20 Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga Parameter Kelayakan No Potensi Wisata Letak dari jalan utama Estetika dan keaslian Atraksi Fasilitas Ketersediaan Air Transportasi Aksesibilitas Dukungan Masyarakat Skor Kategori Gambar 1 Tg Lopi S Tg Waitimu S Tg Watoblou S Teluk Ake S Pantai Ake S Pantai Berbatu S Pantai Berpasir S Pelabuhan Pantai S Pantai Nurabelen S Hutan Mangrove S Hutan Pantai S Hutan Pengkayaan S Pulau Konga S Sungai Waikonga S Gn Lewotobi S Lanskap Berbatu S Bumi Perkemahan S Budidaya Mutiara S Kampung dan S2 17 Pelabuhan Nelayan 20 Pembuatan Garam S Agrowisata S Kampung Eputobi S Rumah Adat S Gereja Konga S Gereja Nobo S2 17 Sumber : Olahan hasil kuisioner Keterangan : Nilai penjumlahan skoring tiap kepala desa (n = 7) S1= Sangat Potensial S3 = Kurang Potensial S2 = Cukup Potensial S4 = Tidak Potensial

92 77 Achanturus blochii Achanturus nigricans Apogon aereus Chaetodon baronessa Chaetodon ocelicaudus Chaetodon vagabundus Malachantus brevirostris Pomacentrus chrysurus Siganus puelus Sigatus coralinus Ikan badut (Clown fish) Lumba-lumba (Dolphin) Kuda laut Penyu Bintang laut Mutiara Sumber: Foto lapang(2006), Dewi(2006), Gambar 18 Beberapa fauna laut yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga.

93 78 Sumber : Foto lapang (2006) Gambar 19 Beberapa jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di perairan Teluk Konga. Gambar 20 Peta hasil analisis zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata.

94 79 Zona atraktif didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan budaya akuatik, serta kurang memiliki obyek dan atraksi wisata alam dan budaya terestrial. Zona cukup atraktif didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam akuatik dan budaya terestrial, namun kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya akuatik dan alam terestrial. Sedangkan zona kurang atraktif didominasi oleh obyek wisata alam akuatik dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya akuatik serta obyek dan atraksi wisata alam dan budaya terestrial. Secara keseluruhan, kawasan Teluk Konga didominasi oleh obyek dan atraksi wisata alam dan kurang pada obyek dan atraksi wisata budaya. Dengan demikian, tema wisata yang dapat dikembangkan di Kawasan Teluk Konga ialah wisata alam sebagai wisata utama dan wisata budaya sebagai wisata penunjang. c. Akseptibilitas dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan Keikutsertaan masyarakat dalam kepariwisataan penting untuk mengidentifikasi dampak negatif pada masyarakat yang tinggal di kawasan yang akan dikembangkan untuk ekowisata (Place 1998 dalam Buchsbaum 2004). Masyarakat merupakan bagian dari lingkungan yang mengetahui dan merasakan dampak yang akan terjadi akibat perubahan pada lingkungan tersebut. Kesediaan masyarakat dalam menerima wisata dan menjadi bagian dari sistem wisata akan mempermudah proses perencanaan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dapat mengurangi kemungkinan konflik yang akan terjadi di masa mendatang dan mengurangi terjadinya kesalahan informasi (Suwantoro 1997). Masyarakat Teluk Konga memberikan tanggapan yang positif dalam pengembangan wisata di Teluk Konga. Sebagian besar masyarakat menerima apabila kawasan Teluk Konga dikembangkan sebagai kawasan wisata dan masyarakat akan berperan aktif didalamnnya. Masyarakat juga lebih memilih untuk mengelola kawasan wisata tersebut karena dapat memperkirakan berbagai keuntungan dari adanya pengembangan wisata di daerahnya. Data dan hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 21.

95 80 Tabel 21 Akseptibilitas masyarakat dalam pengembangan wisata Peringkat untuk desa No Peubah Watotika Ile Lamika Lewoingu Lewolaga Konga Nobokonga Nurri 1 Pengembangan kawasan sebagai DTW Masyarakat mengelola Peran aktif masyarakat Keuntungan kegiatan wisata Keberadaan Wisatawan Nilai Kategori S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 Sumber : Olahan hasil kuisioner Keterangan : nilai preferensi tiap desa didasarkan pada nilai kesediaan masyarakat terhadap pengembangan wisata pesisir di Teluk Konga (n=70) Kategori : S1 = Sangat sesuai, S2 = Cukup sesuai, S3 = Kurang sesuai, S4 = Tidak sesuai Masyarakat lokal dapat menerima kegiatan wisata apabila mereka percaya bahwa wisata dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka dengan memperbaiki usaha perdagangan lokal, menggunakan tenaga kerja lokal, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga (Buchsbaum 2004). Peluang ekonomi wisata bagi masyarakat lokal Teluk Konga diwujudkan dengan memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk melakukan usaha yang terkait langsung dengan wisata maupun yang hanya bersifat menunjang ekonomi wisata. Tabel 22 menyajikan tiga peringkat teratas dari peluang kegiatan ekonomi di tiap desa berdasarkan preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi. Penilaian peluang kegiatan ekonomi berdasarkan preferensi masyarakat terkait wisata yang memungkinkan diaplikasikan di kawasan Teluk Konga ialah peluang investasi usaha, pengembangan obyek dan atraksi wisata, berjualan makanan dan minuman, mengadakan pagelaran seni dan budaya, usaha tempat makan, usaha penginapan, dan usaha transportasi. Kegiatan ekonomi yang memperoleh preferensi tinggi pada dasarnya merupakan kegiatan yang dekat dengan keseharian masyarakat. Kegiatan ini umumnya dapat dilakukan oleh masyarakat karena sudah menjadi budaya mereka. Sedangkan kegiatan ekonomi yang memerlukan keahlian khusus, seperti halnya pemandu wisata atau pembuat

96 81 dan penjual souvenir, memperoleh nilai preferensi yang rendah. Namun untuk memenuhi permintaan wisatawan akan kegiatan ekonomi tersebut disarankan untuk melakukan pelatihan bagi masyarakat lokal. Tabel 22 Preferensi masyarakat di tiap desa terhadap peluang kegiatan ekonomi No Desa Peringkat peluang kegiatan ekonomi Kategori 1 Watotika Ile 1. Penyedia produk pertanian 2. Berjualan makanan dan minuman S2 3. Peluang investasi usaha 2 Lamika 1. Usaha penginapan 2. Pagelaran seni dan budaya S1 3. Usaha transportasi 3 Lewoingu 1. Peluang investasi usaha 2. Berjualan makanan dan minuman S1 3. Pagelaran seni dan budaya 4 Lewolaga 1. Berjualan makanan dan minuman 2. Peluang investasi usaha S1 3. Penyedia produk perikanan 5 Konga 1. Usaha transportasi 2. Berjualan makanan dan minuman S1 3. Pengembangan obyek dan atraksi wisata 6 Nobokonga 1. Usaha transportasi 2. Penyedia produk pertanian S1 3. Pagelaran seni dan budaya 7 Nurri 1. Berjualan makanan dan minuman 2. Pengembangan obyek dan atraksi wisata S1 3. Pagelaran seni dan budaya Sumber: Olahan hasil kuisioner Gabungan antara akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat lokal diwujudkan dalam zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang terdiri dari zona aktif (S1) dan zona cukup aktif (S2). Zona aktif ialah zona dengan tingkat akseptibilitas dan peluang pemberdayaan tinggi. Zona aktif meliputi desa Lamika, Lewoingu, Lewolaga, Konga, Nobokonga, dan Nurri. Zona cukup aktif ialah zona dengan tingkat akseptibilitas tinggi, akan tetapi memiliki

97 82 peluang pemberdayaan sedang. Zona ini meliputi desa Watotika Ile. Distribusi zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Peta hasil analisis zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat Teluk Konga. d. Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir dihasilkan melalui overlay peta zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, peta zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata, dan peta zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat. Hasil overlay tersebut berupa tiga zona pengembangan wisata (Gambar 22), yaitu (1) zona pengembangan wisata pesisir tinggi, meliputi desa Lewolaga dan Konga, selanjutnya ditetapkan sebagai kawasan wisata utama yang akan dikembangkan dahulu karena memenuhi persyaratan tertinggi sebagai kawasan wisata. (2) zona pengembangan wisata pesisir sedang, meliputi desa Lamika, Lewoingu, Nobokonga, dan Nurri, yang selanjutnya akan dikembangkan dengan terlebih dahulu meningkatkan potensi untuk memenuhi persyarakat sebagai kawasan wisata.

98 83 (3) zona pengembangan wisata pesisir rendah, meliputi desa Watotika Ile, yang akan dikembangkan kemudian karena belum sepenuhnya memenuhi persyaratan sebagai kawasan wisata. Gambar 22 Peta hasil analisis kesesuaian tapak untuk wisata pesisir di Teluk Konga. Berdasarkan hasil kesesuaian ini, maka pengembangan selanjutnya akan difokuskan pada zona pengembangan wisata pesisir tinggi, yaitu desa Lewolaga dan Konga. Untuk zona pengembangan wisata pesisir sedang dan rendah memiliki tingkat kepekaan tapak sedang hingga tinggi, ketersediaan obyek dan atraksi wisata yang kurang, dan rendahnya tingkat preferensi terhadap peluang kegiatan ekonomi wisata. Pengembangan untuk wisata di kedua zona tersebut dapat dilakukan apabila tingkat kepekaan menjadi rendah, ketersediaan obyek dan atraksi wisata meningkat, dan peluang kegiatan ekonomi wisata tinggi. Salah satu kendala yang terdapat pada zona pengembangan wisata sedang hingga rendah ialah tingkat kepekaan yang sedang hingga tinggi, seperti kecepatan arus tinggi, topografi laut curam, pantai yang kurang lebar, topografi darat yang curam hingga terjal dan termasuk dalam daerah bahaya dan waspada gunung berapi. Kendala ini dapat dikurangi dengan memasukkan beberapa teknologi. Kecepatan arus yang tinggi dapat dikurangi dengan memasang

99 84 pemecah gelombang di dekat pantai. Arus yang tinggi dilokasi tertentu dapat tetap dipertahankan dan dikembangkan untuk aktifitas berselancar (surfing). Pada topografi laut yang curam dapat dilakukan pemasangan batas (bouy) untuk aktifitas wisata. Topografi yang curam dengan terumbu karang yang bagus dapat dikembangkan untuk aktifitas menyelam (diving). Lebar pantai menentukan jumlah wisatawan yang dapat ditampung. Dengan demikian, aktifitas wisata dapat tetap dilakukan namun dengan jumlah fasilitas dan jumlah wisatawan yang dibatasi. Topografi darat yang curam dapat dihindari dengan pemasangan pagar dan tanda bahaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat berwisata. Topografi curam juga merupakan potensi karena dapat dikembangkan untuk aktivitas panjat tebing (wall climbing). Daerah bahaya dan waspada gunung berapi merupakan kendala dalam wisata karena akan membahayakan wisatawan disaat gunung berapi aktif. Namun aktifitas gunung berapi juga merupakan obyek wisata yang menarik. Untuk dapat tetap mengembangkan tapak tersebut sebagai tapak wisata dapat dilakukan penelitian lebih dalam mengenai bahaya gunung berapi dan jalur tumpahan lava, sehingga pada lokasi yang aman wisatawan dapat menyaksikan aktifitas gunung berapi. Kendala lain pada zona wisata rendah adalah minimnya ketersediaan obyek dan atraksi wisata, dan rendahnya tingkat preferensi peluang kegiatan ekonomi wisata. Kendala ini dapat dikurangi dengan pengembangan potensi obyek dan atraksi wisata secara kreatif untuk meningkatkan ketersediaannya bagi wisata. Tingginya ketersediaan obyek dan atraksi wisata dapat menarik minat wisatawan untuk datang ke suatu tapak. Peluang kegiatan wisata yang rendah disebabkan oleh kurangnya ketrampilan lain selain bidang pekerjaannya saat ini. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian ketrampilan bagi masyarakat sehingga dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam kegiatan ekonomi wisata. Contohnya dengan diberikan pelatihan untuk menjadi pemandu wisata, pengrajin souvenir, dan sebagainya. e. Pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata pesisir Pengembangan aktifitas di lokasi penelitian dibedakan menjadi aktifitas wisata, aktifitas kehidupan masyarakat dan aktifitas perlindungan sumber daya

100 85 alam dan lingkungan. Aktifitas wisata pesisir diarahkan pada aktifitas yang bersifat mengajak pengunjung terlibat langsung dalam berbagai atraksi wisata agar memperoleh pengalaman baru yang menyenangkan sehingga pengunjung memiliki keinginan untuk menjaga kelestarian lingkungan Teluk Konga. Aktifitas wisata pesisir sangat dipengaruhi oleh ruang wisata serta obyek dan atraksi wisata yang ada didalamnya. Aktifitas kehidupan masyarakat ialah aktifitas yang terkait keseharian dan budaya masyarakat. Aktifitas masyarakat dipengaruhi oleh mata pencaharian dan budaya masyarakat. Aktifitas terkait perlindungan sumber daya alam dan lingkungan mengarah pada pencegahan bahaya di pesisir dan pelestarian kawasan pesisir agar berkelanjutan. Fasilitas yang direncanakan untuk dikembangkan di lokasi penelitian berdasar pada peluang aktivitas wisata dengan memanfaatkan gaya arsitektur lokal. Fasilitas wisata pesisir yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung dan masyarakat agar kegiatan wisata dapat berjalan dengan nyaman, namun aktifitas keseharian masyarakat juga dapat tetap berjalan dengan baik. Tabel 23 menyajikan aktifitas dan fasilitas yang diusulkan untuk dikembangkan di Teluk Konga. Arsitektur lokal dianalisis berdasarkan gaya arsitektural bangunan lokal yang terdapat di Teluk Konga. Pada umumnya bangunan lokal terbuat dari bahan alami yang banyak terdapat di sekitar lokasi penelitian, yaitu alang-alang untuk bahan atap, kayu angsana sebagai tiang penyangga, bambu untuk bahan dinding, dan anyaman bambu atau tanah untuk lantai. Menurut Vatter (1984), rumah penduduk lokal dibangun di atas tanah yang ditinggikan dengan batu atau kayu penyangga agar terlindungi dari kelembaban tanah dan serangga yang terdapat dalam lapisan teratas tanah. Lebih lanjut diungkapkan bahwa bangunan rumah berukuran kecil dan beratap rendah agar terhindar dari angin kencang dan dapat memberi kehangatan pada malam hari dan pada musim hujan. Beberapa rumah juga memiliki bale-bale di bagian depan rumah yang sering digunakan pada siang hari. Hal ini dipengaruhi oleh suhu siang hari yang sangat panas, sehingga lebih nyaman untuk beraktivitas dan beristirahat di luar rumah. Contoh arsitektur bangunan lokal ialah bangunan rumah adat, bangunan rumah penduduk, dan juga

101 86 Tabel 23 Rencana aktifitas dan fasilitas yang akan dikembangkan di Teluk Konga Aspek Aktifitas Fasilitas Wisata photo hunting mempelajari ekosistem mengamati satwa menikmati keindahan alam mengamati fenomena alam tracking sungai berkemah berjemur snorkelling canoeing berperahu menyaksikan kehidupan sosial budaya masyarakat lokal menyaksikan upacara-upacara adat mengunjungi galeri pusat informasi tempat parkir rest room dan toilet dek lokasi photo hunting outdoor classroom menara pandang observation hide deck pengamatan dengan teropong boardwalk dan tracking primitif camping ground home stay glass bottom boat perahu dan sampan dermaga galeri papan interpretasi rambu-rambu Kehidupan masyarakat Perlindungan sumber daya alam dan lingkungan bertani dan berkebun menjual produk pertanian menangkap ikan di laut mengumpulkan hasil laut non-ikan menjual hasil tangkapan mengolah hasil laut ikan mengolah hasil laut non-ikan membuat dan menjual kerajinan melakukan ritual adat melindungi garis pantai dengan memperbaiki hutan mangrove membuat batas (buoy) lokasi aktivitas wisata di laut agar tidak menggaggu kegiatan budidaya mutiara dan penangkapan ikan mencegah tumbuh dan berkembangnya nyamuk penyebab malaria mencegah eksploitasi sumber daya alam mencegah terjadinya kecelakaan di tebing pantai dan tebing sungai mencegah terjadinya banjir dengan menanam kembali hutan mencegah terjadinya longsor pada tanah yang tidak stabil perlindungan terhadap bahaya tsunami dan gempa pemandu wisata lokasi lumbung padi pasar lokal pelabuhan nelayan tempat pelelangan ikan pasar ikan pasar seni koperasi rumah adat balai tempat berkumpul pembibitan mangrove pemasangan buoy kolam di lokasi mata air tawar dan menggunakan ikan mujair untuk mencegah timbulnya bibit nyamuk pagar di tebing pantai dan sungai perbaikan hutan di daerah hulu sungai retaining wall sistem peringatan dini (early warning system) jalur dan lokasi evakuasi tsunami papan tanda larangan papan tanda bahaya

102 87 lumbung padi. Gaya ketiga arsitektur lokal ini dapat dijadikan acuan disain fasilitas wisata, seperti tempat makan, shelter, home stay, dan sebagainya. (a) (b) (c) Gambar 23 Bangunan dengan arsitektur lokal : (a) rumah adat (b) rumah tinggal (c) lumbung padi. Rumah adat (korke) dengan arsitektur lokal berupa bangunan panggung berbentuk bale-bale tanpa dinding yang dibangun di atas delapan tiang kayu penyangga utama dimana masing-masing tiang penyangga terdapat ukiran yang menjadi penanda keberadaan suku-suku utama. Kayu penyangga tersebut berupa kayu angsana. Lantainya berupa susunan bambu yang diikat, sedangkan atapnya terbuat dari alang-alang dengan rangka atap yang terbuat dari bilah bambu. Arsitektur bangunan rumah adat dapat dilihat pada Gambar 23a. Rumah penduduk dengan arsitektur lokal dibagi atas area inti dan area pelayanan. Area pelayanan berada dibangunan yang terpisah dengan area inti. Area inti terdiri atas ruang tamu, ruang makan dan kamar tidur, sedangkan area pelayanan terdiri atas dapur, gudang dan kamar mandi. Bangunan inti dibangun di atas susunan tanah dan batu kecil. Susunan tanah batu kecil ini juga menjadi lantai rumah. Bangunan area inti diperkokoh dengan batu-batu besar untuk menahan

103 88 tanah di sekitar area inti agar tidak tererosi diwaktu hujan. Dinding rumah terbuat dari bambu, sedangkan atapnya dari susunan alang-alang yang diperkuat dengan rangka bambu. Bangunan area pelayanan berada di atas tanah dengan dinding menyentuh tanah dan tanpa batu besar untuk penahan air hujan. Bahan bangunan yang digunakan sama dengan bahan bangunan yang digunakan pada area inti. Arsitektur rumah penduduk dapat dilihat pada Gambar 23b. Lumbung padi dengan arsitektur lokal memiliki keunikan tersendiri. Bangunan lumbung merupakan bangunan panggung yang tertutup rapat. Lumbung memiliki tempat beristirahat di bagian samping berupa bale-bale kecil yang menempel pada bangunan lumbung dan berfungsi sebagai tempat beristirahat petani. Arsitektur lumbung padi dapat dilihat pada Gambar 23c. 2. Perencanaan Wisata Pesisir Berkelanjutan a. Konsep Perencanaan Wisata Konsep perencanaan pengembangan wisata pesisir Teluk Konga adalah ekowisata pesisir dimana pengembangan wisata didasarkan pada potensi lingkungan dan obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Konsep yang dikembangkan tersebut mengacu pada hasil analisis terhadap kualitas lingkungan pesisir, potensi kepariwisataan pesisir, dan akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kepariwisataan. Konsep ini juga sesuai dengan program pemerintah Kabupaten Flores Timur yaitu menggali potensi lingkungan untuk pengembangan wisata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Kawasan pesisir yang akan dikembangkan untuk wisata harus memenuhi kriteria sebagai wadah untuk wisata, yaitu memiliki lingkungan pesisir alami yang tidak rusak dan memiliki daya dukung yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas lingkungan pesisir diperoleh desa Lewolaga dan desa Konga (dua dari tujuh desa di lokasi penelitian) yang memenuhi kriteria tersebut. Selain itu, kawasan pesisir yang akan dikembangkan juga harus memiliki ketersediaan obyek dan atraksi wisata dan kegiatan berbasis pesisir yang tinggi. Berdasarkan analisis terhadap pengembangan kepariwisataan pesisir, maka desa Lewolaga dan desa Konga (dua dari tujuh desa di lokasi penelitian) dapat memenuhi kriteria

104 89 tersebut. Dengan demikian, desa Lewolaga dan Konga yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata pesisir. Pariwisata berkelanjutan ditentukan oleh kualitas lingkungan pesisir dan daya tarik wisata yang dimiliki saat ini yang dapat tetap terjaga dan dikembangkan hingga masa yang akan datang, sehingga mampu memenuhi kebutuhan wisatawan. Dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan maka dikembangkan konsep dan pengembangan keberlanjutan wisata bagi lingkungan pesisir dan aktifitas wisata. Konsep pengembangan dan keberlanjutan lingkungan pesisir ialah perlindungan terhadap lingkungan yang menjadi wadah wisata untuk generasi mendatang dengan meminimalisasi dampak wisata bagi lingkungan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir sebagai satu kesatuan yang utuh (darat dan laut) sehingga dapat terus mewadahi aktivitas wisata didalamnya. Konsep ini diterapkan melalui penerapan sempadan pantai dalam pengembangan wisata, pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai penting lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia. Konsep pengembangan dan keberlanjutan aktifitas wisata ialah penggalian potensi wisata yang dimiliki untuk dapat terus menampilkan obyek dan atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan sehingga aktifitas wisata dapat terus berlangsung. Konsep ini diterapkan melalui pengkajian potensi sumber daya yang dimiliki untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata pesisir yang akan selalu memberi daya tarik bagi wisatawan. Perwujudan konsep pengembangan dan keberlanjutan wisata bagi lingkungan pesisir dan aktifitas wisata yaitu melalui perencanaan jalur dan media interpretasi wisata pesisir dengan menampilkan sumber daya pesisir yang dimiliki sebagai satu kesatuan yang utuh. b. Konsep Ruang Wisata Pesisir Konsep ruang wisata Teluk Konga ialah pengembangan kawasan pesisir Teluk Konga dengan mengembangkan ruang yang disesuaikan dengan kondisi existing lingkungan. Ruang wisata dibagi menjadi dua, yaitu ruang utama dan ruang penunjang. Ruang utama meliputi ruang wisata akuatik dan ruang wisata

105 90 terestrial. Sedangkan ruang penunjang meliputi ruang penerima (welcome area) dan ruang transisi (transition area). Pada tiap ruang wisata terdapat obyek dan atraksi wisata yang mendukung tema dan tujuan ruang wisata tersebut, sedangkan pada ruang penunjang terdapat fasilitas yang menunjang kegiatan wisata. Gambar 24 menunjukkan tata ruang wisata pesisir Teluk Konga. Ruang Utama (ruang wisata terestrial) Darat Ruang Penunjang (ruang penerima dan ruang transisi) Ruang Utama (ruang wisata akuatik) Laut Keterangan : : Akses masuk : Sirkulasi antar ruang Gambar 24 Konsep tata ruang wisata pesisir Teluk Konga. Pembagian ruang didasarkan pada tema dan tujuan pengembangan ruang berikut ini. 1. Ruang utama Ruang utama merupakan ruang wisata yang mengakomodasi seluruh aktifitas wisata. Ruang utama dibagi menjadi ruang wisata akuatik dan ruang wisata terestrial. Ruang wisata terestrial Merupakan ruang wisata yang menggambarkan kawasan terestrial Teluk Konga dengan menampilkan obyek dan atraksi wisata terestrial. Tema ruang wisata terestrial ialah menampilkan kekayaan alam darat dan budaya masyarakat berorientasi darat. Tujuan dari pengembangan ruang wisata ini ialah mengajak pengunjung menikmati keindahan dan keaslian alam di daratan Teluk Konga dan berinteraksi dengan masyarakat lokal melalui

106 91 aktivitas wisata yang berorientasi ke darat. Ruang wisata terestrial dialokasikan di darat dengan obyek dan atraksi wisata yaitu Ruang wisata akuatik Merupakan ruang wisata yang menggambarkan kawasan akuatik Teluk Konga dengan menampilkan obyek dan atraksi wisata akuatik. Tema ruang wisata akuatik ialah menampilkan kekayaan alam akuatik dan budaya masyarakat berorientasi laut. Tujuan dari pengembangan ruang wisata ini ialah mengajak pengunjung untuk menikmati keindahan dan kekayaan alam laut Teluk Konga dan berinteraksi dengan masyarakat lokal melalui aktivitas wisata yang berorientasi ke laut. 2. Ruang penunjang Ruang penunjang merupakan ruang yang menunjang kegiatan wisata utama. Ruang penunjang dialokasikan di tengah tapak yang terhubung langsung dengan akses jalan utama dan berada di antara dua ruang wisata. Ruang penunjang meliputi : Ruang penerima Merupakan pusat informasi wisata. Tema ruang penerima ialah memberikan informasi yang lengkap dan akurat kepada pengunjung untuk kenyamanan berwisata. Tujuan ruang penerima adalah menyediakan informasi wisata yang mendukung kegiatan wisata (melalui informasi mengenai obyek dan atraksi wisata yang ada serta fasilitas yang tersedia), mencegah terjadinya kecelakaan (melalui informasi tentang kondisi kawasan saat ini) dan mencegah pengrusakan lingkungan (melalui informasi mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan) selama pengunjung melakukan aktifitas wisata. Area penerima dilengkapi dengan fasilitas pusat informasi wisata, tempat parkir dan toko souvenir. Ruang transisi Merupakan ruang peralihan dari ruang wisata akuatik menuju ruang wisata terestrial atau sebaliknya. Tema ruang transisi ialah menghubungkan darat dan laut dan menjadikannya sebagai satu kesatuan tatanan pesisir yag saling terkait. Pengembangan area transisi bertujuan untuk mengontrol aktivitas pengunjung, baik pada ruang wisata terestrial maupun akuatik,

107 92 sehingga kelestarian kawasan pesisir dapat terjaga dengan baik. Ruang transisi dilengkapi dengan ruang peristirahatan (rest room), ruang makan dan minum (foodcourt), serta ruang atribut wisata (tempat penyewaan alatalat yang digunakan untuk melakukan aktifitas wisata, seperti peralatan snorkel, peralatan berkemah, dan sebagainya). c. Konsep Sirkulasi Wisata Pesisir Konsep sirkulasi yang diaplikasikan ialah jaringan sirkulasi yang sesuai dengan konsep ruang dan menghubungkan semua elemen lokal, sehingga memberi peluang yang tinggi bagi pengunjung untuk dapat melihat banyak atraksi dan informasi serta meningkatkan waktu dan pengeluaran pengunjung agar dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Simonds (1983), dalam touring system perlu mempertimbangkan : 1. Jarak dan waktu tempuh merupakan fungsi dari area, sedangkan area merupakan fungsi dari ruang (space). Jarak tempuh dan area merupakan satu kesatuan yang utuh. 2. Keutuhan menggambarkan keharmonisan dan kesatuan (unity) dari elemenelemen, sehingga elemen-elemen tersebut tidak terpilah-pilah. 3. Sekuen menggambarkan urutan terhadap obyek yang mempunyai persepsi kontinuitas dan merupakan pengorganisasian dari elemen-elemen pada suatu ruang. Sirkulasi pada tapak dibagi menjadi empat yaitu sirkulasi primer, sirkulasi sekunder, sirkulasi tersier dan sirkulasi evakuasi tsunami. Sirkulasi primer merupakan sirkulasi utama yang menghubungkan ruangruang pada ruang utama. Sirkulasi ini menghubungkan ruang utama dan ruang penunjang. Sirkulasi sekunder merupakan sirkulasi dalam ruang yang menghubungkan obyek-obyek wisata. Sirkulasi ini menghubungkan obyek-obyek wisata pada ruang wisata akuatik dan obyek-obyek wisata pada ruang wisata terestrial. Sirkulasi tersier merupakan sirkulasi di dalam obyek dan atraksi wisata. Sirkulasi tersier berupa boardwalk dan tracking primitif.

108 93 Sirkulasi evakuasi tsunami merupakan sirkulasi yang menghubungkan ruang aktifitas wisata dan ruang aktifitas sehari-hari masyarakat menuju lokasi evakuasi tsunami. Sirkulasi ini merupakan jalur jalan yang dapat ditempuh dengan kendaraan maupun berjalan kaki agar dapat menjangkau lokasi evakuasi tsunami dalam waktu cepat. 3. Perencanaan Interpretasi Wisata Pesisir a. Perencanaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir Rencana jalur interpretasi didasarkan pada konsep ruang dan konsep sirkulasi. Tema utama jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga ialah memenuhi aspek pendidikan lingkungan dengan memberikan pengalaman baru bagi wisatawan. Wisatawan yang telah berkunjung di kawasan ini diharapkan memiliki apresiasi yang tinggi terhadap lingkungan Teluk Konga. Apresiasi yang tinggi terhadap suatu kawasan merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian kawasan tersebut. Message yang ingin disampaikan pada wisatawan yang berkunjung ke Teluk Konga ialah keanekaragaman kawasan pesisir sangat terkait satu sama lain, sehingga penting dijaga keutuhan dan kelestariannya. Message ini disampaikan melalui jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dikembangkan di kawasan wisata Teluk Konga. Rencana jalur interpretasi dibagi menjadi tiga alternatif jalur wisata pesisir (coastal touring plan) dengan tema yang berbeda. Jalur alternatif 1 dengan tema sumber daya alam, jalur alternatif 2 dengan tema sumberdaya budaya, dan jalur alternatif 3 dengan tema sumber daya alam dan budaya. Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 1 didasarkan pada : a) Tema jalur interpretasi alternatif 1 yaitu melindungi kekayaan dan keragaman sumber daya alam pesisir Teluk Konga. b) Tujuan dari jalur interpretasi alternatif 1 ialah agar pengunjung dapat mempelajari obyek dan atraksi wisata alam yang terdapat di Teluk Konga, sehingga menyadari arti penting keberadaan sumber daya alam tersebut bagi keberlanjutan kehidupan di Teluk Konga, terutama bagi keberlanjutan pariwisata di Teluk Konga.

109 94 c) Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata alam dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan berdasarkan sumber daya alam akuatik dan sumber daya alam terestrial. d) Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu jalur wisata alam akuatik dan jalur wisata alam terestrial. Jalur wisata alam akuatik ditempuh melalui jalur laut, sedangkan jalur wisata alam terestrial ditempuh melalui jalur darat. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan dengan melalui jalur wisata alam akuatik terlebih dahulu kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata alam terestrial untuk selanjutnya kembali ke area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 1 dapat dilihat pada Gambar 25. Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 2 didasarkan pada : a) Tema jalur interpretasi alternatif 2 ialah melestarikan kekayaan dan keragaman sumber daya budaya pesisir Teluk Konga. b) Tujuan dari jalur interpretasi alternatif 2 ialah agar pengunjung dapat mempelajari dan memahami nilai-nilai budaya dan kesejarahan yang terkandung dalam obyek dan atraksi wisata di Teluk Konga, sehingga menyadari arti penting sumber daya budaya tersebut bagi keberlanjutan wisata di Teluk Konga. c) Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata budaya dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan menjadi budaya akuatik dan budaya terestrial. d) Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu sub tema jalur wisata budaya akuatik dan sub tema jalur wisata budaya terestrial. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan menuju jalur wisata budaya akuatik terlebih dahulu kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata budaya terestrial dan berakhir pada area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 2 dapat dilihat pada Gambar 26.

110 95 Rencana jalur interpretasi wisata alternatif 3 didasarkan pada : a) Tema jalur interpretasi wisata alam dan budaya yaitu konservasi lingkungan akuatik dan terestrial dengan melindungi sumber daya alam dan melestarikan sumber daya budaya di Teluk Konga. b) Tujuan dari jalur interpretasi wisata alam dan budaya ialah agar pengunjung dapat mempelajari karakter alam dan budaya, baik pada lingkungan akuatik maupun terestrial, yang menjadi faktor utama bagi keberlanjutan wisata di Teluk Konga, sehingga menimbulkan kesadaran untuk melindungi dan menjaga sumber daya alam dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal. c) Titik-titik perhentian merupakan obyek dan atraksi wisata alam dan budaya dengan potensi sedang hingga tinggi. Pada jalur ini obyek dan atraksi wisata tersebut dikelompokkan ke dalam dua jalur, yaitu jalur wisata akuatik dan jalur wisata terestrial. Dalam jalur wisata akuatik terdapat titik-titik wisata alam dan budaya akuatik, sedangkan pada jalur wisata terestrial terdapat titiktitik wisata alam dan budaya terestrial. d) Jalur wisata disusun dengan membagi dua sub tema jalur, yaitu jalur wisata akuatik dan jalur wisata terestrial. Kedua jalur tersebut sambung menyambung membentuk satu buah loop utama yang dimulai dari area penerimaan dengan melalui jalur wisata akuatik terlebih dahulu, kemudian kembali ke area penerimaan dan dilanjutkan dengan jalur wisata terestrial untuk selanjutnya kembali ke area penerimaan. Peta jalur interpretasi alternatif 3 dapat dilihat pada Gambar 27.

111 96 No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata alam akuatik 1 Hutan pantai 2 Pantai berpasir 3 Pulau Konga 4 Hutan mangrove 5 Pantai berbatu Ruang transisi Titik wisata alam terestrial a b Sungai Bumi perkemahan Ruang penerima Gambar 25 Jalur interpretasi wisata alternatif 1.

112 97 No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata budaya akuatik 1 Budidaya mutiara 2 Kampung dan pelabuhan nelayan 3 Pembuatan garam tradisional Ruang transisi Titik wisata budaya terestrial a b Agrowisata Gereja Konga Ruang penerima Gambar 26 Jalur interpretasi wisata alternatif 2.

113 98 No Titik perhentian potensial Ruang penerima Titik wisata akuatik 1 Hutan pantai 2 Pantai berpasir 3 Budidaya mutiara 4 Pulau Konga 5 Kampung dan pelabuhan nelayan 6 Hutan mangrove 7 Pantai berbatu 8 Pembuatan garam tradisional Ruang transisi Titik wisata terestrial a Sungai b Gereja Konga c d Bumi perkemahan Agrowisata Ruang penerima Gambar 27 Jalur interpretasi wisata alternatif 3.

114 99 b. Media Interpretasi Wisata Pesisir Keberhasilan sebuah rencana interpretasi ialah apabila pesan yang ingin disampaikan oleh perencana dapat diterima dengan baik oleh pengunjung. Keberhasilan ini bergantung pada jalur interpretasi yang dibuat dan metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Metode yang digunakan harus mempermudah pengunjung untuk memahami makna dari setiap atraksi wisata yang ditampilkan. Metode dalam menyampaikan pesan wisata dapat secara lisan, tertulis, visual dan audiovisual dengan berbagai media penyampaiannya (Nurisyah dan Damayanti 2006). Metode penyampaian secara lisan dilakukan dengan menggunakan pemandu wisata. Penggunaan pemandu wisata (tour guide) seringkali dijumpai diberbagai lokasi wisata. Pemandu wisata berfungsi sebagai interpreter dan bahkan menjadi demonstrator dibeberapa atraksi. Peran pemandu wisata sangat penting dalam interpretasi obyek dan atraksi wisata. Umumnya pendidikan lingkungan berasal dari pengetahuan pemandu wisata. Cara ini efektif dalam memberikan pendidikan lingkungan terhadap wisatawan dan memberikan pemasukan secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Keuntungan menggunakan pemandu wisata lokal adalah pemandu lokal memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai ekologi lokal, sejarah alam, dan budaya lokal bila dibandingkan dengan pemandu yang berasal dari luar (Place 1998 dalam Buchsbaum 2004). Keuntungan lainnya ialah adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal akan arti penting lingkungan tersebut sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian alam dan budaya mereka. Kesadaran dan pemahaman ini yang kemudian diturunkan kepada generasi yang akan datang. Dengan demikian, ekowisata dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat lokal, daerah dan negara dalam jangka panjang. Pendidikan lingkungan dapat diberikan kepada pemandu wisata lokal melalui pelatihan-pelatihan pemandu wisata (Buchsbaum 2004). Media lain yang dapat digunakan dalam interpretasi seperti dikemukakan oleh Alderson dan Low (1996) berupa: 1) publikasi (brosur, leaflet, booklet, guidebook, katalog, buku), 2) museum displays dan exhibits, 3) peralatan audio, 4) peralatan audiovisual (tape-slide show, filmstrips, multiple-projector tape-slide,

115 100 motion picture film). Peran media sangat penting guna mempermudah penyampaian message kepada pengunjung. Usulan program interpretasi dan metode yang diaplikasikan pada wisata pesisir di Teluk Konga dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Usulan program dan metode interpretasi untuk wisata pesisir di Teluk Konga Wisata Program interpretasi Atraksi Metode interpretasi Alam Pengenalan sumber daya alam akuatik Budaya Pengenalan sumber daya alam terestrial Apresiasi sumber daya budaya akuatik Apresiasi sumber daya budaya terestrial Kehidupan di laut (terumbu karang, ikan karang, ikan lumba-lumba, dsb) Kehidupan di mangrove (nursery, spawning, feeding ground, habitat biota) Kehidupan di hutan pantai (formasi baringtonia, formasi pandanus, formasi pes-caprae, mata air tawar, mata air panas) Kehidupan di pantai (rocky shore, sandy shore, muddy shore) Kehidupan di pulau kecil Kehidupan di sungai Berkemah Kehidupan masyarakat nelayan Pembuatan garam tradisional Budidaya mutiara Upacara/festival tradisional Ritual keagamaan Peninggalan sejarah Masakan tradisional Budidaya pertanian Guided tour (boardwalk, pematang, observation hide, menara pandang, outdoor classroom, observation deck, boat, glass bottom boat) Guided/ Guidebook/selfguided tour (jalur interpretasi, papan interpretasi, camping ground) Guided tour Demonstrator Films Exhibition/galeri Guided/ Guidebook/selfguided tour Demonstrator Films Exhibition/galeri

116 Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan Perencanaan lanskap wisata pesisir Teluk Konga didasarkan pada hasil analisis kesesuaian wisata pesisir yang diperoleh dan konsep yang dikembangkan. Perencanaan pengembangan lanskap wisata pesisir Teluk Konga terdiri atas pengembangan wisata akuatik dan pengembangan wisata terestrial. Pengembangan wisata akuatik meliputi obyek dan atraksi wisata Pembuatan Garam Tradisional, Hutan Pantai, Pantai Berpasir, Budidaya Mutiara, Pulau Konga, Kampung dan pelabuhan nelayan, Hutan mangrove, dan Pantai Berbatu. Pengembangan wisata terestrial meliputi obyek dan atraksi wisata Sungai Waikonga, Gereja dan Galeri Konga, Bumi Perkemahan dan Agrowisata. Touristic site plan Teluk Konga dapat dilihat pada Gambar 28. Potensi obyek dan atraksi wisata yang dikembangkan disajikan dalam Lampiran 3. Program pengembangan obyek dan atraksi wisata bertujuan untuk mendukung kelestarian alam dan budaya yang akan dikembangkan. Program ini menggambarkan setiap unit lanskap berupa obyek dan atraksi wisata yang berada di kawasan wisata utama Teluk Konga serta usaha penataan lanskapnya. Penataan lanskap pada tiap obyek dan atraksi wisata ditujukan untuk melindungi aspek ekologis dan melestarikan budaya lokal. Program yang ditawarkan pada pengembangan obyek dan atraksi wisata utama Teluk Konga dapat secara teknis dan sosial. Secara teknis ditujukan untuk mempertahankan aspek ekologis, seperti pembangunan fasilitas wisata yang ramah lingkungan, seperti track, boardwalk, dermaga, shelter, viewing deck, dan tangga dengan menggunakan material alami dan disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Secara sosial ditujukan untuk pelestarian nilai-nilai budaya lokal dengan menggunakan model arsitektur vernakular dan penanaman rasa kebanggaan terhadap budaya lokal kepada masyarakat lokal. Program pengembangan didasarkan pada obyek dan atraksi wisata yang mendukung ruang wisata yaitu obyek dan atraksi wisata pada ruang wisata akuatik serta obyek dan atraksi wisata pada ruang wisata terestrial. Program pengembangan untuk obyek wisata pada ruang wisata akuatik dapat dilihat pada Tabel 25, sedangkan untuk obyek wisata pada ruang wisata terestrial Tabel 26.

117 102 8 Pembuatan Garam Tradisional 9 Sungai Waikonga 10 Gereja Konga 11 Bumi Perkemahan 12 Agrowisata Desa Ilegerong Legenda: : Sirkulasi primer : Sirkulasi : Sirkulasi tersier : Jalur evakuasi : Ruang penerima & ruang transisi : Obyek dan atraksi : Lokasi evakuasi Desa Kobasoma E Pantai Berbatu E 7 Desa Lewoingu 6 Hutan Mangrove De sa Ni lek no he ng P Flores Timur 5 Kampung dan Pelabuhan Nelayan Desa Pululera Desa Nobokonga Teluk Konga Tanpa skala Sumber : Hasil Analisis 4 Pulau Konga 3 Budidaya Mutiara 2 Pantai Berpasir 1 Hutan Pantai

118 103 Tabel 25 Program pengembangan ruang wisata akuatik No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 1 Hutan Pantai Menjadikan kawasan hutan pantai sebagai kawasan hutan alami yang menampilkan keunikan dan keaslian hutan pantai dengan tetap mempertahankan ekosistem dan formasi vegetasi yang membentuk hutan pantai. Peletakan fasilitas berupa papan interpretasi yang dapat mengakomodasikan kebutuhan pengunjung terhadap informasi mengenai hutan pantai dan pembuatan boardwalk dan observation deck agar aktifitas pengunjung tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hutan pantai. 2 Pantai berpasir 3 Budidaya mutiara Menjadikan kawasan pantai berpasir sebagai lokasi belajar dan berekreasi dengan bagi wisatawan dan masyarakat lokal. Penataan fasilitas berupa shelter dan tempat duduk yang nyaman untuk menikmati suasan pantai berpasir dan menikmati pemandangan Teluk Konga serta pembangunan dermaga kecil untuk memudahkan pengunjung mengakses lokasi tersebut dari obyek wisata akuatik lainnya. Menjadikan kawasan budidaya mutiara sebagai kawasan agrowisata mutiara Pembuatan display tiram mutiara untuk memperlihatkan proses budidaya mutiara tanpa mengganggu aktifitas budidaya Pembuatan boardwalk untuk menunjang aktifitas pengamatan budidaya mutiara Kantor pengelola budidaya mutiara yang dilengkapi dengan galeri mutiara hasil budidaya dan ruang pemutaran film mengenai teknik budidaya mutiara.

119 104 Tabel 25 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 4 Pulau Konga Menjadikan kawasan Pulau Konga sebagai kawasan alami yang menampilkan keindahan dan keunikan pulau kecil. Pembangunan fasilitas wisata seperti track interpretasi berupa tangga vertikal dan pemasangan papan interpretasi mengenai jenis burung yang beraktifitas di sekitar Pulau Konga. Pembangunan fasilitas wisata berupa viewing deck dan shelter untuk menikmati suasana pulau kecil, pemandangan Teluk Konga dan Pulau Flores. 5 Kampung dan pelabuhan nelayan 6 Hutan mangrove Menjadikan kawasan ini sebagai kawasan budaya pesisir Teluk Konga dengan menampilkan kehidupan masyarakat nelayan. Penataan bangunan pemukiman nelayan dengan sanitasi yang lebih baik agar tidak mencemari kawasan pesisir. Pembuatan fasilitas darmaga, lokasi penambatan perahu dan lokasi pelelangan ikan agar tertata dengan lebih baik Pembuatan leaflet mengenai atraksi wisata yang dapat ditemui dan dilakukan oleh pengunjung pada obyek wisata ini. Menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan alami dengan tetap menjaga kelestarian biota agar tetap dapat menampilkan keunikan dan keaslian hutan mangrove. Penataan fasilitas wisata dengan menggunakan elemen-elemen alami yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengunjung dan melindungi ekosistem hutan mangrove. Pembangunan fasilitas berupa boardwalk dan pematang sebagai jalur interpretasi agar aktifitas pengunjung tidak mengganggu kelestarian hutan mangrove.

120 105 Tabel 25 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 7 Pantai berbatu Menjadikan kawasan pantai berbatu sebagai kawasan pantai yang memiliki keunikan dan keaslian pantai berbatu dengan tetap melindungi ekosistem pantai berbatu. Penataan fasilitas yang dapat menginterpretasikan kawasan pantai berbatu berupa track interpretasi dan papan interpretasi sehingga memudahkan pengunjung untuk memahami nilai edukasi yang ingin ditampilkan. Peletakan shelter sebagai tempat beristirahat dan menikmati suasana pantai berbatu serta menikmati pemandangan dari lokasi ini. 8 Pembuatan garam tradisional Menjadikan atraksi ini sebagai atraksi budaya masyarakat pesisir dengan menampilkan teknik pemanfaatan sumber daya pantai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penataan lokasi demonstrasi pembuatan garam secara tradisional dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Peletakan fasilitas shelter berarsitektur lokal agar pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan garam tradisional dengan nyaman.

121 106 Tabel 26 Program pengembangan ruang wisata terestrial No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 1 Sungai Menjadikan Sungai Waikonga sebagai kawasan alami yang Waikonga menjadi tonggak utama pertanian di Konga. Program DAS terpadu dari pemerintah Flores Timur untuk seluruh desa yang dilewati DAS Waikonga agar dapat terjalin kerjasama dalam mengelola DAS Waikonga sehingga dapat sinergis dan berkesinambungan dari hulu hingga hilir yang juga berdampak bagi keberlanjutan kawasan pesisir Teluk Konga. Pembuatan track bagi pengunjung untuk menyusuri sungai yang ditata dengan memperhatikan kenyamanan pegunjung dan tetap menjaga kelestarian sungai. Pemasangan papan interpretasi dan pembuatan leaflet untuk memberikan informasi mengenai peta jalur interpretasi dan 2 Gereja dan galeri Konga informasi mengenai ekosistem bantaran sungai Waikonga. Meningkatkan peran gereja sebagai tempat peribadatan dan jugan sebagai tempat bersejarah sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan. Penataan kawasan sekitar gereja dengan elemen pendukung yang menunjang dan menjadikan Gereja Konga sebagai bangunan utama. Pembangunan fasilitas track bagi prosesi Jalan Salib untuk kelancaran dan kesakralan prosesi tersebut. Pembangunan galeri sejarah di kompleks Gereja Konga untuk menempatkan barang-barang peninggalan sejarah yang saat ini masih diletakkan di Gereja Konga.

122 107 Tabel 26 Lanjutan No Obyek wisata Program pengembangan Ilustrasi arahan pengembangan 3 Bumi perkemahan Menjadikan kawasan Bumi Perkemahan sebagai kawasan edukasi yang memberikan pengalaman untuk dapat bertahan hidup di alam terbuka dan mencintai lingkungan sekitar sebagai bentuk penerapan pendidikan lingkungan bagi pengunjung. Kawasan bumi perkemahan menjadi alternatif lokasi menginap bagi wisatawan. Penataan kawasan dengan fasilitas berkemah (camping ground) yang aman dan nyaman bagi pengunjung dan pembuatan jembatan gantung untuk memudahkan akses menuju kawasan tersebut. 4 Agrowisata Menjadikan kawasan persawahan dan perladangan Konga sebagai kawasan wisata agro dengan mengembangkan potensi pertanian masyarakat Konga disamping sebagai tujuan wisata. Di lokasi ini pengunjung dapat berinteraksi dengan para petani dan dapat belajar bercocok tanam atau memanen produk pertanian. Penataan kawasan dengan minimalisasi fasilitas wisata agar tidak mengganggu aktivitas petani. Track yang digunakan oleh wisatawan berupa jalur pematang dan shleter tempat beristirahat para petani sekaligus digunakan sebagai shelter bagi wisatawan untuk beristirahat dan menikmati suasana persawahan dan perladangan. Pembuatan leaflet yang memuat informasi mengenai lokasi ladang berpindah yang saat ini digunakan oleh penduduk.

123 108 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan Teluk Konga sebagai kawasan wisata adalah : 1) Penerapan konsep pengembangan ramah lingkungan mengingat rentannya kondisi fisik kawasan. 2) Penataan lanskap yang sesuai dengan kondisi alam pesisir Teluk Konga dan mempertahankan kondisi existing hutan alami darat, hutan mangrove dan hutan pantai. 3) Kawasan pengembangan untuk wisata dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi wisatawan untuk kenyamanan dan keamanan berwisata. Penyediaan tanda-tanda yang jelas, baik berfungsi sebagai petunjuk, peringatan maupun informasi bagi pengunjung akan sangat membantu kelancaran berwisata. 4) Bentuk-bentuk arsitektur bangunan hendaknya didesain mengikuti arsitektur vernakular yang selaras dengan lingkungan alam dan budaya sekitar. 5) Peletakan fasilitas penginapan maupun struktur bangunan lainnya hendaknya tidak berada pada zona sempadan pantai dan sempadan sungai. 6) Pengembangan fasilitas penginapan maupun struktur bangunan lainnya hendaknya menggunakan teknik dengan minimalisasi dampak kerusakan lingkungan dan menggunakan teknik konstruksi serta menggambarkan kebudayaan kawasan Teluk Konga. 7) Memperhatikan buangan limbah padat dan limbah cair agar tidak langsung dibuang ke sungai ataupun ke laut. 8) Penyediaan brosur, leaflet, booklet, film dan pustaka lainnya untuk membantu wisatawan mengenali karakteristik kawasan dan potensi wisata yang dimiliki kawasan Teluk Konga. 9) Peningkatan kewaspadaan dan melindungi kawasan terhadap ancaman abrasi dan polusi terhadap lingkungan pantai. 10) Konservasi bangunan-bangunan adat dan bangunan bersejarah, seperti rumah adat, Gereja Nobo, dan Pelabuhan Waidoko.

124 109 11) Menjadikan pantai sebagai ruang publik bagi masyarakat lokal dan mengajak masyarakat ikut menjaga kelestarian pantai demi keberlanjutan wisata di Teluk Konga. 12) Mengembangkan usaha lokal seperti usaha penginapan (home stay), penyelenggaraan pagelaran seni dan budaya, pengembangan obyek dan atraksi wisata, usaha makanan dan minuman, pembuatan dan penjualan souvenir, untuk dapat menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat lokal. 13) Mengembangkan pemukiman-pemukiman masyarakat lokal dengan fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai. 14) Menambah dermaga kecil, anjungan atau jetty untuk melengkapi fasilitas wisata di Teluk Konga dengan tetap memperhatikan minimalisasi dampak kerusakan pantai. 5. Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan a. Hasil Proses Hierarki Analitik Pesisir Teluk Konga dengan segala potensi yang dimiliki membutuhkan pengelolaan agar pariwisata di kawasan ini dapat berkelanjutan. Untuk mencapainya perlu dilakukan upaya pelestarian kawasan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui perencanaan program jalur interpretasi wisata pesisir yang sesuai untuk dikembangkan di Teluk Konga. Program direncanakan untuk mengembangkan tujuan yang ingin dicapai guna memberi pengertian pada para pengunjung akan arti dan kepentingan sumberdaya-sumberdaya yang ingin diketahui dan dipelajari (Alderson dan Low 1996). Pengelolaan jalur interpretasi dilakukan pada dua desa terpilih yaitu desa Lewolaga dan Konga yang menjadi kawasan pengembangan wisata utama. Pengelolaan pada kedua desa ini lebih diprioritaskan karena memiliki potensi wisata tertinggi, baik dari segi kualitas lingkungan dan partisipasi masyarakat maupun obyek dan atraksi wisata yang dimiliki, dibandingkan dengan desa lain di Teluk Konga. obyek dan atraksi wisata yang disajikan diharapkan dapat memberi pengetahuan baru bagi wisatawan tentang keindahan dan kerentanan kawasan pesisir, sehingga wisatawan dapat ikut menjaga kelestariannya.

125 110 Pengelolaan jalur interpretasi yang dilakukan didasarkan pada prioritas utama dari ketiga alternatif jalur interpretasi wisata yang telah dibuat sebelumnya. Prioritas utama ditentukan dengan menggunakan PHA berdasarkan pendapat responden ahli, sehingga jalur interpretasi yang terpilih dapat dikembangkan menjadi jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga. Tujuan utama yang ingin dicapai dari PHA ialah Arahan Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir di Teluk Konga. Model PHA dibangun dengan skala prioritas sehingga jalur interpretasi yang dipilih dapat mengapresiasikan kondisi lingkungan Teluk Konga. Hasil analisis pendapat responden ahli terhadap tujuan, faktor, kriteria, dan alternatif pengembangan jalur interpretasi menunjukkan penilaian sebagai berikut: a) Penilaian terhadap faktor penentu untuk mencapai tujuan Faktor penentu prioritas pengelolaan bagi jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga terdiri atas manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat wisata. Responden menilai prioritas dari masing-masing faktor untuk mengetahui kepentingan faktor tersebut bagi pengembangan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga. Prioritas tersebut dapat dilihat pada Gambar 29. Wisata 12% Lingkungan 44% Sosial budaya 44% Gambar 29 Diagram skala prioritas pada level manfaat. Responden berpendapat bahwa faktor utama yang harus diperhatikan adalah faktor lingkungan (44%) dan faktor sosial (44%). Kedua faktor ini dinilai sangat penting dalam memajukan pariwisata karena rentan terhadap pengembangan pariwisata. Lingkungan pesisir Teluk Konga merupakan daerah ekoton yang peka terhadap perubahan namun memiliki keragaman biofisik yang tinggi. Aspek

126 111 lingkungan dapat mendukung pariwisata dengan obyek dan atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama bagi pengembangan wisata pesisir di Teluk Konga. Faktor sosial budaya menjadi penting karena cukup rentan terhadap pengembangan pariwisata di Teluk Konga yang dapat berakibat terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya lokal dan perubahan cara pandang masyarakat lokal terhadap modernisasi. Faktor sosial budaya dapat mendukung pariwisata dengan nilai budaya lokal yang dimiliki dan kearifan masyarakat lokal dalam mengelola alam. Faktor wisata merupakan prioritas ketiga (12%). Mayoritas responden menyatakan bahwa kedua faktor sebelumnya, yaitu faktor lingkungan dan sosial budaya pada akhirnya berkaitan erat dengan faktor wisata sehingga meskipun berperan sangat penting tetapi prioritas terhadap faktor wisata secara berlebihan dikhawatirkan akan menyimpang dari konsep pengembangan wisata berkelanjutan dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal. Aspek wisata hanya merupakan akibat atau dampak positif dari daya tarik lingkungan dan sosial budaya itu sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. b) Penilaian terhadap kriteria yang dibangun untuk mencapai tujuan Penilaian dilakukan terhadap kriteria-kriteria dari masing-masing faktor. Faktor lingkungan dibangun berdasarkan kriteria perlindungan aspek ekologis dan perbaikan kualitas lingkungan. Faktor sosial budaya dibangun berdasarkan kriteria pelestarian nilai budaya lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal. Faktor wisata dibangun berdasarkan pengembangan potensi wisata dan keberlanjutan usaha pariwisata. Berdasarkan aspek lingkungan Kriteria yang digunakan dalam mencapai tujuan utama berdasarkan aspek lingkungan adalah perlindungan aspek ekologis dan perbaikan kualitas lingkungan sehingga pengembangan jalur interpretasi wisata harus memiliki kepedulian terhadap kondisi lingkungan fisik kawasan pesisir Teluk Konga. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi dampak lingkungan fisik di kemudian hari dengan melindungi lingkungan Teluk Konga yang masih baik dan manfaat positif pengembangan pariwisata yang dapat mendorong masyarakat untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan yang buruk.

127 112 Responden umumnya menilai bahwa usaha melindungi dan mempertahankan aspek ekologis wilayah pesisir (65%) lebih penting dari pada memperbaiki kualitas lingkungan (35%) karena kondisi lingkungan Teluk Konga saat ini masih sangat baik. Perbaikan kualitas lingkungan dirasa belum menjadi prioritas dan akan memakan waktu dan biaya yang cukup banyak. Gambar 30 menunjukkan prioritas bagi kriteria berdasarkan aspek lingkungan. perlindungan aspek ekologis 65% perbaikan kualitas lingkungan 35% Gambar 30 Diagram skala prioritas pada level kriteria berdasarkan aspek lingkungan. Berdasarkan aspek sosial budaya Kriteria yang digunakan dalam mencapai tujuan utama berdasarkan aspek sosial budaya ialah pelestarian nilai budaya lokal dan pemberdayaan masyaakat lokal. Aktivitas kepariwisataan dapat mengangkat potensi budaya lokal dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal dan dapat memberdayakan masyarakat lokal. Kriteria yang menjadi prioritas dalam memilih jalur interpretasi wisata yang sesuai untuk dikembangkan di Teluk Konga ialah pelestarian nilai-nilai budaya (52%). Potensi budaya lokal yang dimiliki dapat dijadikan sebagai obyek dan atraksi wisata sedangkan nilai-nilai budaya lokal yang ada dapat tetap dipertahankan untuk menjaga kesinergisan antara masyarakat dan lingkungannya. Budaya asing yang bersifat negatif dapat merusak sistem kehidupan yang telah ada. Untuk itu, perlu dikembangkan konsep wisata yang menonjolkan kehidupan asli masyarakat lokal. Prioritas berdasarkan aspek sosial budaya dapat dilihat pada Gambar 31.

128 113 pemberdayaan masyarakat lokal 48% pelestarian nilai budaya lokal 52% Gambar 31 Diagram skala prioritas berdasarkan aspek sosial budaya. Berdasarkan aspek wisata Kriteria yang digunakan berdasarkan aspek wisata dalam menentukan prioritas jalur interpretasi wisata ialah pengembangan potensi wisata dan keberlanjutan usaha pariwisata. Aspek wisata dinilai penting karena sebagai suatu sistem, aspek ini akan meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah dengan pengembangan potensi wisata yang dapat memberikan sumber mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal dan usahausaha yang mendorong keberlanjutan aspek wisata itu sendiri. Kriteria yang menjadi prioritas dalam memilih jalur interpretasi wisata yang sesuai untuk dikembangkan di Teluk Konga ialah pengembangan potensi wisata (59%). Hal ini dikarenakan wisata di Teluk Konga saat ini belum dikembangkan dengan optimal, sehingga pengembangan potensi wisata dirasa lebih sesuai untuk diprioritaskan dalam mencapai tujuan dibandingkan keberlanjutan usaha pariwisata itu sendiri. Prioritas berdasarkan aspek wisata dapat dilihat pada Gambar 32. pengembangan potensi w isata 59% keberlanjutan usaha pariw isata 41% Gambar 32 Diagram skala prioritas berdasarkan aspek wisata.

129 114 c) Penilaian terhadap alternatif prioritas pengembangan yang dibangun berdasarkan kriteria-kriteria yang dibangun untuk mencapai tujuan Alternatif prioritas pengembangan yang dibangun berupa tiga alternatif jalur interpretasi, yaitu jalur interpretasi wisata alam, jalur interpretasi wisata budaya dan jalur interpretasi wisata alam dan budaya (ekowisata). Responden memilih prioritas dari ketiga alternatif tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang dibangun untuk selanjutnya dikembangkan menjadi program pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir. Prioritas berdasarkan kriteria perlindungan aspek ekologi Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 55%. Responden beranggapan bahwa ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria perlindungan aspek ekologis. Prioritas kedua ialah wisata alam (32%) dan prioritas ketiga ialah wisata budaya (13%). Gambar 33 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria perlindungan aspek ekologis. Wisata budaya 13% Wisata alam 32% Ekow isata 55% Gambar 33 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria perlindungan aspek ekologis. Prioritas berdasarkan kriteria perbaikan kualitas lingkungan Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 56%. Responden menganggap ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria perbaikan kualitas lingkungan. Gambar 34 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria perbaikan kualitas lingkungan.

130 115 Wisata budaya 11% Wisata alam 33% Ekow isata 56% Gambar 34 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria perbaikan kualitas lingkungan. Prioritas berdasarkan kriteria pelestarian nilai budaya lokal Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 56%. Responden beranggapan bahwa ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria pelestarian nilai-nilai budaya lokal. Gambar 35 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria pelestarian nilai-nilai budaya lokal. Wisata budaya 33% Wisata alam 11% Ekow isata 56% Gambar 35 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pelestarian nilai budaya lokal. Prioritas berdasarkan kriteria pemberdayaan masyarakat lokal Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 49%. Responden beranggapan bahwa ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria pemberdayaan masyarakat lokal. Gambar 36 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria pemberdayaan masyarakat lokal.

131 116 Wisata budaya 33% Ekow isata 49% Wisata alam 18% Gambar 36 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pemberdayaan masyarakat lokal. Prioritas berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 63%. Responden beranggapan bahwa ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria pengembangan potensi wisata. Gambar 37 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata. Wisata budaya 19% Wisata alam 18% Ekow isata 63% Gambar 37 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria pengembangan potensi wisata. Prioritas berdasarkan kriteria keberlanjutan usaha pariwisata Hasil penilaian tertinggi dari responden yang diperoleh adalah ekowisata dengan persentase penilaian sebanyak 62%. Responden beranggapan bahwa ekowisata merupakan prioritas utama bagi kriteria keberlanjutan usaha pariwisata. Gambar 38 menunjukkan prioritas jalur interpretasi berdasarkan kriteria keberlanjutan usaha pariwisata.

132 117 Wisata budaya 19% Wisata alam 19% Ekow isata 62% Gambar 38 Diagram skala prioritas berdasarkan kriteria keberlanjutan usaha pariwisata. d) Sintesis alternatif menurut kriteria Alternatif prioritas jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dikembangkan di kawasan pesisir Teluk Konga diketahui berdasarkan hasil analisis pada gabungan pendapat responden. Penilaian ini diperoleh dari nilai ratarata dari keseluruhan bobot masing-masing alternatif pada masing-masing kriteria. Hasil dari analisis pendapat gabungan ini ialah ekowisata sebanyak 57% sebagai aternatif yang paling diprioritaskan bagi pengembangan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Gambar 39 menunjukkan skala prioritas alternatif kegiatan berdasarkan kriteria. wisata budaya 21% wisata alam 22% ekowisata 57% Gambar 39 Diagram skala prioritas alternatif jenis wisata berdasarkan kriteria. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan dan sosial budaya merupakan faktor yang sama pentingnya bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Kriteria yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga ialah perlindungan aspek ekologis, pelestarian nilai-nilai budaya, dan pengembangan potensi wisata.

133 118 Sedangkan alternatif jalur interpretasi wisata pesisir yang sesuai untuk diterapkan ialah jalur interpretasi ekowisata yang memperhatikan sumber daya alam dan budaya. Responden dengan berbagai latar belakang bidang ilmu yang berbeda memiliki persepsi yang selaras dalam menentukan pengelolaan jalur interpretasi yang sesuai untuk wisata pesisir di Teluk Konga. Hal ini dikarenakan kondisi existing Teluk Konga yang masih sangat baik sehingga diharapkan pengembangan wisata yang dilakukan dapat tetap melestarikan kawasan tersebut, baik pelestarian alam maupun pelestarian budayanya. b. Pengelolaan Jalur Interpretasi Wisata Pesisir Upaya pengelolaan dan pengendalian dilakukan untuk meminimalisasi gangguan dan tekanan terhadap sumber daya. Salah satu bentuk kegiatan alternatif yang dapat dikembangkan adalah melalui program wisata yang berwawasan lingkungan pesisir dan kelautan (Nurisyah et al. 2003). Pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir ditujukan untuk menyusun program dan aktivitas wisata yang dapat memberi arti, makna dan pengertian bagi pengunjung akan keberadaan dan nilai penting suatu sumber daya dan kelompok masyarakat dalam sebuah kawasan wisata. Alderson dan Low (1996) berpendapat bahwa dalam menginterpretasikan obyek dan atraksi wisata melalui berbagai bentuk dan ragam media kreatif, maka pengunjung akan dapat menikmati, mengerti serta memahami makna dan keberadaan semuanya. Program interpretasi direncanakan untuk mengembangkan tujuan yang ingin dicapai guna memberi pengertian kepada pengunjung akan arti dan pentingnya sumberdaya-sumberdaya yang ingin diketahui dan dipelajari. Sedangkan aktivitas direncanakan untuk mengembangkan ketrampilan dan teknik untuk mendukung terbentuknya berbagai pengertian tersebut. Penyusunan program interpretasi wisata pesisir Teluk Konga mengangkat tema sesuai dengan prioritas jalur interpretasi yang dipilih responden ahli pada PHA, yaitu ekowisata dengan menampilkan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang terdapat pada lingkungan akuatik maupun lingkungan terestrial di Teluk Konga. Tema tersebut diterjemahkan dalam konsep jalur interpretasi yang

134 119 terbagi dalam dua ruang wisata, yaitu ruang wisata akuatik dan ruang wisata terestrial. Gambar 40 menunjukkan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga. Jalur interpretasi pada ruang wisata akuatik menggunakan jalur laut, sedangkan jalur interpretasi pada ruang wisata terestrial menggunakan jalur jalan darat. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan tema ruang dan memudahkan hubungan antar obyek dan atraksi wisata yang mendukung ruang wisata tersebut. Jalur interpretasi yang ditawarkan pada pengunjung memiliki pesan dan cerita yang disesuaikan dengan ruang wisata yang ada dan obyek dan atraksi wisatanya. Penentuan waktu dan lama kunjungan pada setiap obyek dan atraksi wisata dipertimbangkan berdasarkan : 1) Kategori Kelayakan Kategori kelayakan ditentukan berdasarkan nilai skoring tiap obyek dan atraksi wisata. Kategori kelayakan menentukan lama waktu kunjungan dimana obyek wisata dengan kategori S1 memiliki waktu kunjungan lebih lama dibandingkan dengan kategori kelayakan S2. 2) Waktu tempuh Jarak antar satu obyek wisata dengan obyek wisata lainnya mempengaruhi waktu tempuh atau lamanya perjalanan dalam suatu jalur interpretasi. Jalur interpretasi wisata juga meliputi jalur evakuasi tsunami. Jalur evakuasi tsunami disediakan untuk mengevakuasi wisatawan dan masyarakat setempat ketika terjadi bencana tsunami setelah adanya peringatan melalui sistem peringatan dini. Namun ketika bencana tsunami tidak terjadi, jalur ini dijadikan sebagai jalur interpretasi wisata yang memberikan pendidikan bencana tsunami sekaligus sosialisasi metode evakuasi ketika terjadi bencana tsunami. Interpretasi pada jalur ini ditujukan untuk melatih kesiapan masyarakat lokal dan wisatawan ketika terjadi bencana tsunami. Program pengembangan jalur interpretasi wisata pesisir diarahkan pada program pendidikan lingkungan, salah satunya ialah pendidikan lingkungan di kawasan hutan mangrove. Program pendidikan yang diterapkan bertujuan untuk memberi pengetahuan dan pemahaman bagi pengunjung akan kondisi hutan

135 120 Legenda: Desa Ilegerong : Sirkulasi masuk/keluar : Sirkulasi wisata pesisir E Desa Kobasoma p e s m T n E Desa Lewoingu a c d e g : Titik pemberhentian wisata : Agrowisata : Canoeing : Demo pembuatan garam : Mengamati ekosistem : Gereja dan galeri De sa Ni lek no he ng k t a e d i h T M h i k m n s : Hutan pantai : Pusat informasi wisata : Lokasi berkemah : Hutan mangrove : Kampung & pelabuhan nelayan : Lokasi snorkelling g R C t : Tracking sungai Desa Nobokonga s T v v : Viewing P : Perkiraaan lokasi bertelur penyu : Perkiraan lokasi bertelur penyu R : Lokasi berenang Desa Pululera M T : Lokasi budidaya mutiara : Perkiraan lokasi terumbu karang Tanpa skala E : Lokasi evakuasi tsunami Gambar 40 Rencana pengembangan jalur interpretasi wisata pesisir Teluk Konga.

136 121 mangrove dan arti penting hutan mangrove bagi kelestarian lingkungan pesisir. Pengembangan jalur interpretasi hutan mangrove dibagi menjadi dua jalur yang dibedakan berdasarkan waktu tempuh, yaitu 1) jalur yang diperuntukan bagi anakanak dengan waktu perjalanan 1 2 jam, 2) jalur yang diperuntukkan bagi dewasa dengan waktu perjalanan 3 5 jam. Pada jalur anak-anak, pengunjung memiliki pengalaman berjalan mengelilingi mangrove dan mengenal vegetasi mangrove, seperti Rhizoporaceae dan Avicenniaceae dan satwa di hutan mangrove, seperti monyet dan ular. Selain itu, pengunjung juga diajak untuk belajar dan memperoleh pengetahuan tentang hutan mangrove dan menanam tanaman mangrove di outdoor classroom. Pengunjung juga dapat mengamati burung di tower hide (menara pandang) dan mengamati aktivitas satwa mangrove lainnya melalui observation hide. Pengunjung dewasa memiliki jalur yang sama dengan pengunjung anak-anak dan ditambah mengunjungi arboretum mangrove dan observation deck di daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang kepiting dan lainnya. Gambar 41 menunjukkan site plan khusus pengembangan hutan mangrove di Teluk Konga.

137 122 Legenda : : Jalan utama : Jalur boardwalk 1 Dermaga 2 Pusat informasi 3 Boardwalk 4 Outdoor classroom : Jalur pematang Flores Timur 8 1 Teluk Konga Tanpa skala 5 Menara Pandang 6 Viewing deck 7 Observation deck 8 Observation hide Sumber : Hasil Analisis Gambar 41 Site plan khusus Hutan Mangrove di Teluk Konga.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR

PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR PERENCANAAN LANSKAP WISATA PESISIR BERKELANJUTAN DI TELUK KONGA, FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR Sustainable Coastal Landscape Planning for Tourism Activities at Konga Bay, East Flores, Province of East

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (shore

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter lanskap tersebut.

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir dan Pantai Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh Dahuri, dkk. (2004) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

MENCEGAH KERUSAKAN PANTAI, MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

MENCEGAH KERUSAKAN PANTAI, MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI MENCEGAH KERUSAKAN PANTAI, MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI YUDI WAHYUDIN PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Surade, 22 Juli 2003 APA ITU PANTAI? PANTAI adalah daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan TINJAUAN PUSTAKA Danau Perairan pedalaman (inland water) diistilahkan untuk semua badan air (water body) yang ada di daratan. Air pada perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menyusun sebuah strategimanajemen yang berkelanjutan di wilayah perkotaan mandiri harus mengerti unsur-unsur yang ikut berperan di dalamnya. Untuk lebih memahaminya, unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah Pesisir 2.1.1. Batas Wilayah Pesisir Dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah pesisir dipertimbangkan atas dasar

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci