BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan yang lainnya. Holobis kuntul baris untuk kepentingan bersama (Soekarno dalam

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gotong royong menjadi kata yang tidak asing bagi telinga orang Indonesia. Istilah ini dikemukakan di beragam masa mulai dari berdirinya negara, orde baru, sampai era reformasi. Gotong royong menjadi sebuah slogan, semangat berbangsa yang diagungagungkan pada masing-masing era. Merujuk pada pidato Soekarno menyebutkan gotong royong adalah bekerja sama untuk kepentingan bersama tanpa membedakan satu dengan yang lainnya. Holobis kuntul baris untuk kepentingan bersama (Soekarno dalam setiantoro 2015, diakses dari Gotong royong tumbuh bersama dengan budaya Indonesia yang memang menunjukkan budaya kolektif, dimana kebersamaan dan hubungan antara sesamanya menjadi urusan yang utama. Sloganslogan sepetri makan gak makan kumpul atau juga melihat asiknya ibu-ibu berkerumun memperbincangkan orang lain menunjukkan betapa interaksi sosial menjadi nafas utama dalam menjalani kehidupan di Indonesia. Arus globalisasi yang deras menerpa segala penjuru dunia sampai juga di Indonesia. Globalisasi membawa sebuah pandangan baru dan perputaran arus informasi yang cepat. Hal ini memaksa terjadinya sebuah benturan budaya antara budaya asli dengan budaya yang dibawa serta dalam globalisasi. Sebuah budaya yang jamak disebut sebagai budaya modern. Kehidupan modern dimana banyak menuntut kompetisi yang tinggi, juga pembangunan ekonomi yang megah tapi kehilangan hangatnya tawar menawar khas pasar membuat interaksi manusia semakin dingin. Budaya gotong royong pun tidak luput dari terjangan arus globalisasi atas nama kemajuan zaman. Gotong

2 royong perlahan terkikis oleh budaya individualistik khas negara-negara barat ( diakses pada 1 November 2016). Gotong royong dalam kajian psikologi sosial termasuk kedalam bentuk perilaku prososial. Perilaku ini bercirikan sebuah tindakan atau perlakukan yang bertujuan untuk kepentingan orang lain. Menurut Baron dan Byrne (2008) prososial diartikan sebagai perilaku yang mengandung respon-respon yang memberikan keuntungan bagi orang lain. Taylor, dkk (2009) menjelaskan bantuan yang termasuk perilaku prososial antara lain memberi nasihat, memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan, mendengarkan curahan hati orang yang sedang kesusahan, dan mengantarkan orang yang sedang dalam keadaan darurat. Perilaku prososial setidaknya mengacu pada lima ciri perilaku yaitu, tolong menolong, bekerja sama, bertindak jujur, berderma, dan berbagi perasaan (Eisenberg dan Mussen, 1989). Sebuah penelitian yang dilakuakan oleh Mahmudah (2013) mengenai perilaku prososial di sebuah Universitas X di Malang menunjukkan hasil yang meprihatinkan. Sebagian besar mahasiswa yaitu sebesar 65% enggan memberikan bantuan kepada teman yang membutuhkan. Lebih jauh sebanyak 66% mahasiswa lebih senang mengerjakan sesuatu secara sendiri-sendiri karena apabila mengerjakan secara berkelompok akan merepotkan bagi mereka. Angka kejujuran juga menunjukkan presentase yang rendah. Karena mereka beranggapan bahwa manusia adalah tempatnya dosa sehingga berbohong adalah suatu hal yang wajar. Juga sebanyak 32% menganggap jujur bisa membawa hal yang menyakitkan bagi diri mereka masing-masing. Rendahnya perilaku tolong menolong, kerja sama, dan kejujuran mencerminkan perilaku prososial yang rendah, perilaku prososial mahasiswa universitas x berada pada skor rendah dan sangat rendah (Mahmudah, 2013).

3 Perilaku prososial dikalangan mahasiswa perlu menjadi perhatian lebih. Ketakutan akan bagaimana mahasiswa tersebut ketika terjun ke dalam masyarakat menjadi salah satu isu. Menurut Hamalaimen dan Pulkkinen (dalam Mahmudah, 2013) perilaku prososial yang dilakukan ketika muda menjadi salah satu prediktor apakah orang tersebut akan berbuat kejahatan atau tidak ketika dewasa. Seseorang dengan perilaku prososial yang tinggi sejak muda akan memiliki resiko masuk penjara yang lebih kecil ketika dewasa. Hal ini berkaitan dengan perkembangan agresi yang cenderung tinggi pada individu yang tidak prososial. Oleh karena itu inisiasi perilaku prososial sejak masa pendidikan dan perkuliahan amat penting untuk dilakukan (Mahmudah, 2013). Kegiatan seperti gerakan pramuka sangat positif bagi pembentukan perilaku prososial. Dalam prakteknya kegiatan pramuka senantiasa bertujuan untuk mendidik dan membina kaum muda Indonesia dalam mengembangkan emosi dan perilaku sosial seperti kerja sama, gotong royong, dan membantu orang lain, agar mereka dapat menjadi manusia yang berkepribadian, berwatak, dan berbudi pekerti luhur (Abbas dalam Mahmudah, 2013). Selain itu dorongan kegiatan yang sifatnya sukarela juga wajib dilaksanakan. Kegiatan palang merah remaja yang berlandaskan kesukarelaan memberikan kontribusi positif pada perilaku prososial. Banyaknya opsi kegiatan mahasiswa yang mendukung pengembangan prososial menjadi angin segar tumbuhnya perilaku prososial. Meski demikian, tendensi perilaku yang tidak prososial tetap tinggi di kalangan mahasiswa. Berita-berita yang menunjukkan arogansi mahasiswa dalam demonstransi yang berujung ricuh, tawuran antar mahasiswa, juga ketidakpedulian terhadap isu sosial masih jamak disaksikan. Hal ini terjadi karena pada umumnya mahasiswa hanya mengedepankan kompetensi kognitif dan kurang membangun kompetensi interpersonal

4 maupaun intrapersonal. Sehingga mahasiswa memiliki sikap egosentris dan enggan menolong sesama. Sifat mahasiswa yang tidak prososial akan mempersulit diri mereka dalam upayanya menjalani kehidupan bermasyarakat, karena orang yang prososial lebih diterima di masyarakat. Lebih jauh beberapa program studi melandaskan perilaku prososial sebagai bagian dari kehidupan profesinya kelak. Salah satunya adalah program studi psikologi yang kemudian melahirkan seorang psikolog sebagai profesi yang ditekuni. Program studi ini berkaitan erat dengan interaksi antar manusia baik dalam teorinya maupun prakteknya. Perilaku prososial merupakan perilaku yang penting untuk menjadi seorang konselor, utamanya konselor yang berhubungan dengan manusia pada proses kerjanya (diakses dari staff.uny.ac.id pada 1 november 2016). Hal ini dikarenakan perilaku prososial berkaitan erat dengan hubungan antar pribadi. Sementara itu untuk seorang psikolog membangun relasi konseling yang berhubungan dengan orang lain menjadi hal yang penting dalam prakteknya. Sehingga kemampuan sosial yang baik mutlak dimiliki oleh pegiat ilmu psikologi. Mahasiswa psikologi dituntut untuk memliki kepekaan sosial yang bisa mewujud dalam perilaku prososial. Perilaku seperti menolong sesama, mendegarkan keluh kesah orang lain merupakan perilaku yang rutin dilakukan sebagai mahasiswa psikologi. Kegiatan ekstrakurikuler pun dirancang untuk mengembangkan perilaku prososial, seperti adanya pengabdian masyarakat di semua lini unit kegiatan mahasiswa yang dimilki. Hal ini mengindikasikan bahwa tumbuh kembang perilaku prososial menjadi hal yang penting bagi mahasiswa psikologi. Lebih jauh perilaku prososial seperti halnya perilaku yang menurut pengertian Lewin (dalam Azwar, 2010) merupakan serangkaian hal yang sederhana juga kompleks. Suatu perilaku merupakan sebuah interaksi antara lingkungan dan personal. Perilaku

5 prososial tidak lepas dari asumsi tersebut, Menurut Sears, dkk (1994) perilaku prososial dipengaruhi oleh faktor personal juga faktor situasional. Faktor personal meliputi ciriciri individu juga bagaimana individu merespon situasi menolong. Sementara faktor situasi lebih banyak dipengaruhi lingkungan sekitar seperti cuaca atau bahkan kehadiran orang lain. Salah satu faktor personal lain yang menjadi perdebatan sekian lama dalam mengkaji perilaku prososial adalah jenis kelamin. Jenis kelamin sebagai sebuah identitas dari manusia akan selalu diperbandingkan dalam segala aspek manusia, salah satunya perilaku prososial. Penelitian yang dilaporkan oleh Eisenberg (1989); Wenner (2016) menunjukkan perilaku prososial perempuan lebih tinggi daripada perilaku prososial laki-laki. Anak perempuan lebih tinggi dalam hal dukungan emosi, bantuan nyata, kasih sayang, memberi perawatan, dan juga perilaku membantu orang tua daripada anak laki-laki (Midlarsky dalam Baron dan Byrne, 2008). Lebih jauh sampai tahun 2015 terdapat 74% mahasiswa aktif di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada adalah perempuan (data mahasiswa UGM). Hal ini menunjukkan pada suatu lingkungan dimana perilaku prososial menjadi penting untuk ditunjukkan terdapat lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Beberapa profesi seperti perawat dan guru juuga identik dengan perempuan. Kesamaan antara profesi psikolog, perawat, dan guru adalah perilaku membantu orang lain. Salah satu alasan yang menjelaskan fenomena diatas adalah perkembangan perempuan dan laki-laki yang berbeda. Perempuan berkembang dengan lingkungan yang tidak asertif dan diberikan pengasuhan lekat dengan ibu sehingga tumbuh menjadi seorang yang lebih prososial (Hoffman, 2000). Meski pun demikian, peran seorang laki-laki dalam hal perilaku prososial bukan tidak ada sama sekali. Penerima penghargaan heroes oleh Carniage Hero Fund

6 Commission menjadi contoh nyata. Heroes adalah sebutan untuk seorang warga sipil yang membahayakan nyawa untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Penerimaan penghargaan heroes lebih dari 90% adalah laki-laki (Carniege Hero fund commission, 2016, requirement section). Lebih jauh, sejak tahun penghargaan nobel diselenggarakan, sebanyak 88 pria telah mendapatkan penghargaan nobel perdamaian sedang 16 wanita memenangi sisanya ( Hal ini membuktikan kontribusi pria dalam perilaku prososial yang bahkan mengungguli wanita, jika dilihat dari banyaknya peraih nobel perdamaian adalah laki-laki ketimbang wanita. Dalam lingkup Fakultas Psikologi pun masih terdapat 36% mahasiswa berjenis kelamin lakilaki yang terdaftar aktif sebagai mahasiswa, belum lagi jika melibatkan dosen. Hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki juga terlibat dalam perilaku yang lekat dengan perempuan seperti prososial. Menurut Eisenberg (1989) penelitian mengenai jenis kelamin dan perilaku prososial tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Pada beberapa hal laki-laki lebih prososial dibandingkan perempuan. Sedang dalam beberapa hal perempuan lebih prososial dibandingkan dengan laki-laki. Temuan Franzoi (2006);Eagley & Crow (1986) menyatakan laki-laki lebih prososial ketimbang perempuan pada beberapa pertolongan tertentu, seperti aksi penyelamatan. Ketimbang jenis kelaminnya sifat-sifat yang melekat pada jenis kelamin ditengarai menjadi penyebab perbedaan perilaku prososial. Sifat seorang perempuan yang identik dengan rasa penuh kasih sayang tidak seperti laki-laki yang kompetitif membedakan pengambilan keputusan akan sebuah perilaku. Sifat yang identik dengan suatu jenis kelamin ini dinamakan peran jenis. Sikap dan peran jenis mempengaruhi perilaku (Bem, 1975b). Menurut Santrock (2004) peran jenis merujuk pada sebuah harapan-harapan sosial tentang seperti apa seharusnya dan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang.

7 Harapan sosial yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan seseorang ini disebut sebagai maskulin atau feminin. Maskulin merujuk kepada serangakaian sifat yang diharapkan dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan feminin merupakan serangkaian sikap dan sifat yang diharapkan dimiliki oleh perempuan. Peran jenis hanya diartikan sebagai sesuatu yang maskulin atau feminin saja, laki-laki diharapkan selalu memiliki sifat maskulin dan perempuan selalu memiliki sifat feminin (Santrock, 2004). Adanya peran jenis memberikan dimensi baru terhadap cara memandang jenis kelamin. Bem (1981b) berpendapat bahwa jenis kelamin dan peran jenis tidak berada satu kontinum yang sama. Artinya peran jenis maskulin bisa jadi dimiliki oleh seorang perempuan. Sebaliknya peran jenis feminin bisa saja dimiliki oleh seorang laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena seorang laki-laki bisa saja memiliki sifat-sifat yang mencirikan feminin lebih banyak ketimbang maskulinnya. Atau seorang perempuan memiliki ciri sifat maskulin lebih banyak ketimbang femininnya sehingga memiliki peran jenis maskulin. Bahkan bisa jadi seorang individu memiliki ciri peran jenis maskulin dan feminin sama besar atau malah tidak memiliki sama sekali, kondisi ini melahirkan peran jenis yang disebut androgini dan tidak terbedakkan (Bem, 1981b). Sebagai mana telah diuraikan diatas, bahwa perilaku prososial merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial manusia, terutama bagi mahasiswa psikologi. Perilaku prososial bagi mahasiswa psikologi merupakan landasan utama dalam melakukan kegiatan yang sejalan dengan keilmuan psikologi itu sendiri. Namun demikian, kekhawatiran rendahnya perilaku prososial pada mahasiswa membayangi secara nyata. Munculnya perilaku prososial seorang individu merupakan haisl interaksi yang kompleks antara beberapa faktor yang mempengaruhinya. Karakteristik peran gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial.menurut Mchoskey (dalam Baron dan Byrne, 2008) beberapa sifat tidak terlalu tercermin dalam

8 perilaku menolong orang lain, sebut saja sinisme, egosentris, peragu, dan juga dominasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Basti (2002) yang menemukan perbedaan antara masing-masing peran jenis dengan sifatnya sendiri-sendiri pada perilaku prososial. Dengan adanya peran jenis penelitian tentang perilaku prososial memasuki babak baru. Masing-masing peran jenis memiliki dengan sifatnya sendirisendiri memberikan pengaruhnya kepada perilaku prososiali. Oleh karena itu menarik untuk mengetahui lebih dalam kaitan antara setiap peran jenis dengan perilaku prososial pada mahasiswa psikologi. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya perbedaan perilaku prososial pada mahasiswa psikologi ditinjau dari peran jenis. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah dalam kajian psikologi, khususnya mengenai perilaku prososial. Juga memperkaya kajian dan wacana peran jenis terutama dalam kaitannya dengan perilaku prososial. 2. Manfaat Praktis Sebagai bahan dukungan terhadap usaha-usaha untuk meningkatkan perilaku prososial, seperti berbagi, menolong, bekerja sama, bertinfak jujur dan berderma. Selain itu juga sebagai dukungan terhadap upaya untuk meningkatkan kesetaraan peran jenis.