BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum memiliki ciri-ciri adanya perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara. 5 Oleh karena itu, demi terselenggaranya negara hukum diperlukan peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 6 Demikian pula di bidang hukum acara pidana, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai pedoman beracara dalam perkara pidana. Dengan diundangkannya KUHAP, maka hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya yang merupakan produk dari pemerintah kolonial Belanda dicabut, yakni Her Herziene Reglement (HIR) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, sepanjang yang mengatur mengenai hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan mengenai acara pidana di dalam HIR mengutamakan 5 6 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

2 2 kepentingan penguasa, sehingga kurang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia/tersangka/terdakwa. 7 Di samping itu juga tidak ada ketentuan di dalam HIR yang memberikan kewenangan kepada suatu lembaga untuk mengawasi sejauh mana penegak hukum melakukan tugasnya, hal ini memungkinkan tindakan sewenang-wenang. 8 Dibandingkan dengan HIR, KUHAP mengatur beberapa hal baru antara lain: 9 1. Hak-hak tersangka dan terdakwa (Pasal 50 - Pasal 68 KUHAP) 2. Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal 69 - Pasal 74 KUHAP) 3. Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi (Pasal 98 - Pasal 101 KUHAP) 4. Pengawasan pelaksanaan putusan hakim (Pasal Pasal 283 KUHAP) 5. Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni praperadilan (Pasal 77 - Pasal 83 KUHAP) Praperadilan merupakan hal baru dalam hukum acara pidana Indonesia berdasarkan KUHAP. Dengan adanya praperadilan maka tersangka dilindungi dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan/atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan tersangka. 10 Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan dan penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat, kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang salah atau kadang-kadang Ratna Nurul Afifah, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 2. Ibid. Loebby Loqman, 1987, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm S. Tanusubroto, 1983, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, hlm.1.

3 3 melampaui batas waktu yang telah ditentukan, tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 11 Dengan adanya praperadilan, maka akan lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan amanat UUD Di samping itu, adanya lembaga praperadilan juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol horizontal terhadap kewenangan pejabat peradilan yang menggunakan upaya paksa. 12 Pengertian praperadilan sendiri di dalam KUHAP terdapat dalam Pasal 1 angka 10, yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 13 Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang diberikan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri sebagai wewenang dan fungi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini. 14 Apabila selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri, mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata, maka selain Ratna Nurul Afifah, Op. Cit., hlm. 3. Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

4 4 tugas tersebut, pengadilan diberi tugas tambahan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti rugi atau rehabilitasi, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan. 15 Hal ini juga sejalan dengan ketentuan dalam BAB X Bagian Kesatu mengenai Praperadilan pada Pasal 77 KUHAP yang mana didalamnya juga terdapat ketentuan mengenai objek atau kewenangan praperadilan, yaitu: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 16 Objek dari lembaga praperadilan sebagaimana diatur di dalam KUHAP bersifat limitatif. Namun di dalam perjalanannya selama tiga dasawarsa lebih, objek dari lembaga praperadilan kemudian diperluas, tidak hanya terbatas sebagaimana termuat dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan mencakup pula keabsahan penetapan tersangka. 17 Hal ini berawal dari Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel yang menyatakan tidak sah penetapan tersangka atas nama Bachtiar Abdul Fatah, terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Pasific Indonesia. Kemudian pada tahun 2015, melalui Putusan Nomor 4/Pid.Prap/2015.PN.Jkt.Sel, Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan Ibid., hlm. 2. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Berita Satu, ICJR Apresiasi Putusan MK yang Memperluas Objek Praperadilan, diakses 9 Januari 2017.

5 5 permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan, tersangka kasus dugaan korupsi ketika ia menjabat di kepolisian, yang pada saat itu dicalonkan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Adanya putusan praperadilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi kemudian menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, seperti pendapat Harifin Tumpa, Mantan Ketua Mahkamah Agung, yang berpendapat bahwa Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP secara jelas menyebutkan bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan. 18 Di samping itu, putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi juga memicu banyaknya gugatan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka di tengah ketidakpastian hukum mengenai sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, seperti gugatan praperadilan oleh Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Persero Suroso Atmo Martoyo. 19 Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang dengan putusan tersebut, maka sah tidaknya penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek praperadilan. Putusan tersebut adalah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah. Salah satu Kompas, Tanda Tanya di Balik Putusan Hakim Sarpin, Hakim-Sarpin, diakses 5 Januari CNN Indonesia, Banjir Praperadilan Seperti Membuka Kotak Pandora, diakses pada 5 Januari 2017.

6 6 permohonannya adalah mengenai Pasal 77 huruf a KUHAP, dan memohon kepada Majelis Hakim MK untuk memberikan putusan: 6. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. 20 Majelis Hakim MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, termasuk permohonan mengenai Pasal 77 huruf a KUHAP. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 21 Dengan adanya putusan MK tersebut, maka sah tidaknya penetapan tersangka menjadi norma baru dalam ranah praperadilan. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Sifat final putusan MK mengandung arti bahwa putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 22 Sifat mengikat diartikan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap objek sengketa. 23 Dengan demikian nilai mengikat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 atas nama Pemohon Bachtiar Abdul Fatah, tanggal 28 April 2015, hlm. 23. Ibid. Pasal 10 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) S. F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 211.

7 7 putusan MK yang final adalah sama dengan nilai mengikat sebuah undangundang hasil produk politik. 24 Berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, maka sah tidaknya penetapan tersangka sah menjadi bagian dari objek praperadilan. Tersangka menurut ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dasar penetapan tersangka dilihat dari bunyi pasal tersebut adalah adanya bukti permulaan, akan tetapi KUHAP tidak memberikan definisi lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Selain frasa bukti pemulaan, terdapat frasa bukti permulaan yang cukup di dalam Pasal 17 KUHAP yang mengatur mengenai penangkapan, yang mana perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14. Kemudian apabila melihat pada bunyi Pasal 21 ayat (1) KUHAP, terdapat frasa bukti yang cukup. Pasal tersebut memberikan pedoman bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan 24 Malik, 2009, Telaah Makna Putusan MK yang Final dan Mengikat, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009, hlm. 88.

8 8 kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Merujuk pada Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, terlihat terdapat istilah yang hampir mirip, yaitu bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. 25 Eddy O.S. Hiariej menyebutkan bahwa walaupun istilah tersebut kedengarannya sama, tetapi secara prinsip berbeda. Sayangnya, KUHAP tidak memberi penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan dari ketiga istilah itu. 26 Berdasarkan doktrin, kata-kata bukti permulaan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal selaku physical evidence atau real evidence. 27 Pasal 184 KUHAP yang merupakan bagian dari Bab XVI mengenai Pemeriksaan di Pengadilan, mengatur mengenai ketentuan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selanjutnya, untuk menakar bukti permulaan tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, Eddy O.S. Hiariej, 2015, Menyandera dengan Status Tersangka, a, diakses 1 Februari Ibid. Ibid.

9 9 pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. 28 Berbeda dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) memberikan batasan yang dimaksud bukti permulaan, yaitu dalam Pasal 44 ayat (2) yang berbunyi Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Dengan pertimbangan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup memerlukan penjelasan, agar terpenuhi asas lex certa dan lex stricta untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, selain memutuskan bahwa penetapan tersangka termasuk kewenangan lembaga praperadilan, juga di dalam amarnya memutuskan: Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 28 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 98.

10 10 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 29 Dengan adanya putusan di atas, dalam hal terdapat permohonan praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, hakim akan memeriksa apakah terdapat bukti permulaan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan dalam pertimbangannya, selain adanya bukti permulaan, juga disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). 30 Selain itu, terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, yang pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki pokok perkara. Perma di atas sesungguhnya hanya menegaskan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP maupun Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah dalam lingkup pemeriksaan pendahuluan, bukan memeriksa pokok perkara. Dalam hal ini perlu dikaji lebih lanjut apakah di dalam praktik, kewenangan lembaga praperadilan yang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 atas nama Pemohon Bachtiar Abdul Fatah, tanggal 28 April 2015, hlm Ibid., hlm. 98.

11 11 tidak diperbolehkan memeriksa pokok perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada selama ini sudah diterapkan dalam pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di Indonesia. Tentunya apabila dalam praktik terdapat permasalahan-permasalahan terhadap penerapan ketentuan peraturan, maka dimungkinkan terdapat kelemahan-kelemahan pada pengaturan yang ada selama ini, sehingga diperlukan pembaruan undangundang yang mengatur mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, yang merupakan salah satu objek praperadilan. Prospek pengaturan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana. Lebih lanjut, saat ini sedang ada upaya pembaruan KUHAP melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), wacana pembaharuan KUHAP telah muncul sejak tahun 1999 dengan dibentuknya tim ahli yang diketuai oleh Andi Hamzah yang bertugas menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). 31 Dalam perkembangannya, RKUHAP secara rutin masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik lima tahunan maupun prioritas satu tahunan. Mulai kurun waktu , , , hingga Draft RKUHAP terakhir adalah tahun 2012, terdiri dari 286 pasal, yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR tanggal 11 Desember Miko Ginting, 2015, Evaluasi terhadap Pembaharuan RKUHAP, Jurnal Peradilan Indonesia, Vol. 3, Juli-Desember 2015, hlm. 31. Ibid.

12 , yang mana pembahasan RKUHAP tersebut terhenti di akhir periode DPR tahun Perkembangan terakhir, RKUHAP kembali masuk dalam Prolegnas Tahun dengan pengusul dari DPR. 34 Dalam RKUHAP terdapat wacana adanya lembaga hakim pemeriksa pendahuluan sebagai pengganti lembaga praperadilan. Dalam konsep lama RKUHAP, hakim pemeriksa pendahuluan ini disebut hakim komisaris, namun karena menimbulkan kontroversi yang tajam kemudian dirumuskan kembali menjadi hakim pemeriksa pendahuluan. 35 Istilah hakim komisaris dapat berkonotasi sudah usang karena sudah pernah dipraktekkan zaman dahulu, khususnya di Eropa Kontinental, seperti Perancis dan Belanda. Baik hakim komisaris maupun hakim pemeriksa pendahuluan, keduanya disusun antara lain untuk meningkatkan fungsi lembaga praperadian yang sudah ada dalam KUHAP. Oleh karena itu, Dr. Adnan Buyung Nasution pernah mengusulkan agar tetap mempertahankan istilah praperadilan saja dengan memperbaiki substansi, mekanisme, dan prosedur praperadilan. 36 Namun terlepas dari kontroversi istilah tersebut, kenyataannya lembaga praperadilan yang ada dalam KUHAP setelah berjalan sejauh ini telah gagal untuk mengontrol penerapan upaya paksa. 37 Kegagalan ini menurut Luhut M. Pangaribuan antara lain karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk Jan S. Maringka, 2015, Kewenangan Kejaksaan sebagai Dominus Litis, Jurnal Peradilan Indonesia, Vol. 3, Juli-Desember 2015, hlm. 15. DPR, Prolgenas , diakses 17 Februari Luhut M. Pangaribuan, 2014, Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Teropong, Vol. 1, Agustus 2014, hlm. 6. Ibid. Ibid.

13 13 mengontrol upaya paksa, khususnya dalam tahap pemeriksaan pendahuluan atau proses penyidikan. Hal ini dikarenakan dasar untuk menentukan status seseorang sebagai tersangka karena adanya bukti permulaan dan bukti yang cukup untuk menahan, prosesnya tidak transparan dan akuntabel, melainkan hanya berdasarkan proses internal dan diskresioner. 38 Dalam RKUHAP disebutkan bahwa hakim pemeriksa pendahuluan adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam undang-undang ini. 39 Kewenangan-kewenangan lembaga praperadilan pada KUHAP dialihkan menjadi kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan. Kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan ada pada Pasal 111 RKUHAP yaitu sebagai berikut: Hakim Pemeriksa Pendahuluan berwenang menetapkan atau memutuskan : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. pembatalan atau penangguhan penahanan; c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan Ibid. Pasal 1 angka 7 RKUHAP Konsep Tahun 2012.

14 14 j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. 40 Berdasarkan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan di atas, objek praperadilan terkait sah tidaknya penetapan tersangka belum diakomodir dalam RUU KUHAP. Oleh karena itu, melihat bahwa KUHAP terkait lembaga praperadilan telah diperbaharui dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yaitu dengan bertambahnya objek praperadilan berupa sah tidaknya penetapan tersangka, sedangkan di dalam RUU KUHAP hal tersebut belum diatur, maka dalam hal ini hendaknya diperlukan suatu pengaturan tambahan di masa yang akan datang untuk memeriksa sah tidaknya penetapan tersangka agar menjamin perlindungan hak asasi manusia. Pengaturan tersebut tentunya juga harus dilakukan dengan melihat apakah di dalam praktik terdapat permasalahan penerapan dari pengaturan yang ada selama ini. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, dan juga bagaimana seharusnya prospek pengaturan KUHAP yang ideal terhadap pengujian sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan di masa yang akan datang. 40 Pasal 111 RKUHAP Konsep Tahun 2012.

15 15 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah: 1. Bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka? 2. Bagaimana seharusnya pengaturan praperadilan dalam hal pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Tujuan subjektif Sebagai tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan objektif Tujuan objektif dari penulisan hukum ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan peraturan perudangundangan dalam pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. b. Untuk menganalisis dan mengkaji prospek pengaturan praperadilan dalam hal pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang.

16 16 D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu: 1. Segi teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. 2. Segi praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus evaluasi bagi para hakim dalam memeriksa praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka karena penelitian ini menjelaskan bagaimana seharusnya peraturan perundang-undangan diterapkan untuk memeriksa praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Diharapkan pula penelitian ini menjadi acuan sekaligus evaluasi bagi DPR dalam menyusun dan merumuskan KUHAP yang baru ke depannya, karena penelitian ini menjelaskan mengenai prospek pengaturan yang ideal di masa yang akan datang mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, yang merupakan objek praperadilan pada saat ini. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, belum ada penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang membahas dan menganalisis permasalahan yang sama persis dengan penelitian ini. Namun

17 17 demikian, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yaitu: 1. Penulisan hukum yang berjudul Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap Sah Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan oleh Taufan Trianggara Atmaja, dengan rincian sebagai berikut: 41 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014? 2) Bagaimana sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014? b. Kesimpulan: 1) Sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 ada yang ditolak dan diterima sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan yang menolak karena ketentuan mengenai kewenangan praperadilan telah jelas diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Putusan yang menerima menganggap penetapan tersangka adalah hasil dari penyidikan, dan karena Pasal 77 KUHAP tidak mengatur dan melarang, maka dilakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan memasukkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. 41 Taufan Trianggara Atmaja, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 terhadap Sah Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

18 18 2) Setelah adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, banyak permohonan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka diajukan. Selain itu, permohonan yang diterima maupun ditolak bukan lagi masalah mengenai objek dari praperadilan namun lebih kepada substansi mengenai penetapan tersangkanya sah atau tidak menurut hukum. c. Perbedaan dengan penelitian penulis Penulisan hukum di atas memiliki kemiripan dengan penelitian ini karena sama-sama mengkaji praperadilan terkait sah tidaknya penetapan tersangka. Akan tetapi, penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada kondisi sebelum maupun setelah adanya Putusan MK No. 21/PUU- XII/2014. Analisis kondisi setelah Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 pada penelitian di atas dilakukan dengan menganalisis apakah hakim menerima atau mengesampingkan Putusan MK tersebut, yaitu pada Putusan No. 67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dengan Pemohon Dahlan Iskan dan Putusan No. 72/Pid.Prap/2015/PN/Jkt.Sel dengan Pemohon Otto Cornelis Kaligis, yang mana penulis sebelumnya belum menemukan adanya ketidakkonsistensian penerapan peraturan perundang-undangan di dalam praktik pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Sementara itu, penelitian yang dilakukan penulis menggunakan putusan-putusan yang berbeda, yang mana terdapat ketidakkonsistensian penerapan peraturan perundang-undangan di dalam praktik pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Penelitian yang dilakukan penulis juga

19 19 menganalisis prospek pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka yang merupakan objek praperadilan pada saat ini, yang mana tidak dilakukan oleh penulis sebelumnya. 2. Penulisan hukum yang berjudul Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka oleh Rizka Fakhry A., dengan rincian sebagai berikut: 42 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana pendapat penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka? 2) Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadian dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? b. Kesimpulan: 1) Perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dapat dipahami dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun, perluasan kewenangan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka tidak dapat dipahami berdasarkan gagasan awal pembentukan praperadilan yaitu sebagai suatu forum bagi tersangka 42 Rizka Fakhry A., 2015, Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

20 20 untuk komplain terkait upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap dirinya. 2) Perluasan kewenangan yang diberikan kepada praperadilan melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang tidak diikuti dengan penguatan konstruksi pengaturan praperadilan justru menimbulkan kekacauan dalam implementasinya. Absennya aturan mengenai hukum acara praperadilan berdampak pada pembuktian maupun upaya hukumnya sehingga cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. c. Perbedaan dengan penelitian penulis Penelitian yang disebutkan di atas pada dasarnya juga memiliki kesamaan dengan penelitian penulis karena mengkaji praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Namun demikian, penelitian di atas lebih menitikberatkan pada analisis sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dari sudut pandang perlindungan terhadap hak asasi manusia dan gagasan awal pembentukan praperadilan, selain itu penelitian di atas juga menitikberatkan pada implikasi lemahnya pengaturan praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Sementara itu, penelitian ini lebih mengkaji bagaimana seharusnya pengaturan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka di masa yang akan datang dengan terlebih dahulu menganalisis penerapan peraturan perundang-undangan dalam

21 21 pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka di Indonesia. 3. Penulisan hukum yang berjudul Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan oleh Gaza Carumna I., dengan rincian sebagai berikut: 43 a. Rumusan masalah: 1) Bagaimana sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014? 2) Apa pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan? b. Kesimpulan: 1) Sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, hakim hanya dapat menginterpretasikan dengan menggunakan metode interpretasi restriktif karena tidak jelasnya kewenangan praperadilan di dalam KUHAP. Termasuk dalam interpretasi restriktif adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis, yang mana berdasarkan kedua metode tersebut, sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai objek praperadilan. 43 Gaza Carumna I., 2016, Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

22 22 2) Alasan hakim yang bersangkutan mengabulkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada Putusan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel adalah ada tidaknya dua alat bukti untuk dijadikan dasar guna menetapkan tersangka. Adapun penggunaan metode interpretasi ekstesif dalam putusan tersebut bertentangan dengan lex stricta. Pada Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim mengabulkan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan karena menganggap praperadilan sebagai sarana menguji tindakan upaya paksa dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Menurut hakim, penetapan tersangka termasuk upaya paksa. Dalam putusan tersebut penggunaan metode interpretasi ekstensif tidak bertentangan dengan lex stricta. c. Perbedaan dengan penelitian penulis: Penulisan hukum di atas pada dasarnya juga sama-sama mengangkat tema praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Perbedaannya, penelitian di atas menganalisis penemuan hukum hakim terkait sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, sedangkan penelitian ini mengkaji politik hukum terkait praperadilan dalam hal sah tidaknya penetapan tersangka. Berdasarkan uraian tersebut di atas, belum ditemukan penulisan hukum maupun penelitian lain yang sama persis dengan penelitian hukum yang dilakukan penulis, sehingga keaslian penulisan hukum ini dapat

23 23 dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi, yaitu asas kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perluasan Kewenangan Praperadilan Mengenai Pengujian Sah Tidaknya Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang-

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang- 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan ilmu disertai dengan perkembangan teknologi, tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan, permasalahan tersebut biasanya ada yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penulisan dari penulis yang berupa pembahasanpembahasan yang telah diuraikan dalam BAB I, BAB II dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum dibuat untuk ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat.hukum merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal budi, kearifan dan keadilan.

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Presiden Joko Widodo menghadapi ujian mahadahsyat setelah permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI

BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI A. Faktor yang Melatarbelakangi Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan Praperadilan diatur dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di negara Indonesia merupak hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah I. PEMOHON PT. Gresik Migas, dalam hal ini diwakili oleh Bukhari dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 4/PUU-XVI/2018

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 4/PUU-XVI/2018 rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 4/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata I. PEMOHON Moch. Ojat Sudrajat S. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 A. Praperadilan Ditinjau Dari KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR I. PEMOHON Nining Elitos...(Pemohon 1) Sunarno...(Pemohon 2) Eduard

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyidikan, Penuntutan dan Penyitaan Harta Kekayaan dari Tindak Pidana Pencucian Uang I. PEMOHON Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci