BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
|
|
- Susanto Kusuma
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan hukum sebagai dasar dalam melakukan penyelenggaraan negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam konstitusi negara, tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengalami amandemen sebanyak empat kali, namun hal tersebut sama sekali tidak merubah Indonesia sebagai negara hukum. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi sebanyak empat kali sebagai salah satu agenda reformasi di bidang hukum, justru lebih mempertegas cita-cita negara hukum Indonesia. Salah satunya terlihat pada aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia dimana hak asasi manusia mendapatkan tempat yang khusus di dalam pengaturan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia dan negara hukum memang sudah sejak lama diperbincangkan karena keduanya sangat berkaitan
2 erat. Perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu elemen penting di dalam sebuah negara hukum, termasuk Indonesia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 1 Namun demikian bukan berarti dalam menjalankan hak asasi manusia yang dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum tersebut sama sekali tidak diperbolehkan adanya suatu pembatasan. Pembatasan terhadap hak asasi manusia dalam suatu negara hukum diperbolehkan dengan dasar ditetapkan dalam undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 2 Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia juga pada akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana Indonesia. Diskursus perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, hukum acara pidana, dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga aspek hukum tersebut mempunyai porsi masing-masing dalam hal perlindungan hak asasi manusia dalam kerangka sistem peradilan pidana. Porsi terbesar perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimiliki oleh hukum acara pidana sebagaimana diatur di dalam 1 2 Pasal 1 butir 1, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28J ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang tersebut mengatur tentang hukum acara pidana nasional yang didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnya di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia. 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman proses beracara pidana di Indonesia sangatlah menjunjung tinggi hak asasi manusia sekalipun terhadap seseorang yang disangka maupun yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Namun perlu digaris bawahi disini bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka maupun yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya sedemikian seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana. 4 Ada tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan terhadap mereka dimana tindakan tersebut merupakan bentuk perampasan terhadap hak asasi manusia. Terhadap mereka yang disangka maupun didakwa melakukan tindak pidana akan dilakukan tindakan-tindakan tertentu yang dalam hal ini disebut upaya paksa. Upaya paksa ini merupakan sebuah bentuk upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat dalam rangka melaksanakan proses peradilan. Meskipun upaya paksa ini merupakan salah satu kewenangan dari aparat penegak hukum dalam rangka melaksanakan 3 4 Penjelasan Umum angka 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Loebby Loqman, 1984, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 82.
4 proses peradilan, pelaksanaan dari upaya paksa ini haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena bagaimanapun juga upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut akan merampas hak asasi manusia dari seorang tersangka atau terdakwa. Upaya paksa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengindikasikan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia selain mengakomodasi perlindungan terhadap hak asasi manusia, namun juga mengakomodasi pembatasan terhadap hak asasi manusia. Namun pembatasan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada agar aparat penegak hukum yang melaksanakannya tidak bertindak sewenang-wenang. Lebih lanjut untuk melindungi hak asasi manusia khususnya hak dari seorang tersangka maupun terdakwa, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. Lembaga praperadilan ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga penguji apakah batasan yang diberikan undang-undang terhadap aparat penegak hukum dalam hal melakukan upaya paksa tersebut telah sesuai prosedur atau tidak. Ketentuan mengenai praperadilan terdapat di dalam Pasal 1 angka 10 dan BAB X Bagian Kesatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan pengaturan di dalam Undang- Undang tersebut dapat diketahui bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
5 dalam undang-undang ini tentang : a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan; b) Sah atau tidaknya suatu penahanan; c) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan; d) Sah atau tidaknya penghentian penuntutan; dan d) Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Berdasarkan pengaturan mengenai praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan mengenai praperadilan bersifat limitatif dan tidak semua upaya paksa dapat diajukan permohonan praperadilan. Namun karena pengaturan yang sifatnya limitatif tersebut yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang pada akhirnya menjadi polemik. Tidak sedikit permohonan yang diajukan ke praperadilan secara obyek tidak sesuai dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Permohonan tersebut berkaitan dengan penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan surat, dan juga yang akhirakhir ini menjadi polemik adalah mengenai penetapan tersangka. Meskipun obyek permohonan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan mengenai kewenangan praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun tidak sedikit dari permohonan tersebut yang dikabulkan oleh hakim. Hakim mengakomodasi obyek permohonan yang berupa penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan surat, dan penetapan tersangka tersebut sebagai kewenangan praperadilan. Berbagai macam argumentasi hukum dikemukakan
6 oleh masing-masing hakim guna mengakomodasi obyek permohonan tersebut menjadi kewenangan praperadilan dan dapat diperiksa serta diputus di dalam praperadilan. Ini yang menjadi polemik khususnya di kalangan akademisi dan ahli hukum. Ada ketidaksesuaian antara apa yang terjadi di lapangan dengan apa yang sudah menjadi aturan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum acara pidana merupakan hukum yang bersifat prosedural. Asas legalitas sangat ditekankan dalam pelaksanaan hukum acara pidana sebagaimana yang termaktub di dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Untuk konteks penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat, banyak hakim yang mengakomodasinya sebagai kewenangan praperadilan dengan pertimbangan bahwa penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat merupakan bagian dari upaya paksa. Ada perampasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam konteks itu. Sangat dimungkinkan ada kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya tersebut. Satu-satunya mekanisme untuk memperjuangkan hak asasi manusia tersebut hanyalah praperadilan. Sedangkan penetapan tersangka bukanlah merupakan bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun demikian penetapan tersangka oleh beberapa hakim tetap diakomodasi dalam kewenangan praperadilan. Polemik penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan berawal dari putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
7 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tertanggal 27 November 2012 yang menyatakan tidak sah penetapan tersangka atas nama Bachtiar Abdul Fatah. Sebelumnya Bachtiar Abdul Fatah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Remediasi PT. Chevron Pasific Indonesia. Kemudian pada tahun 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali mengabulkan permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Toto Chandra yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada kemudian melakukan hattrick dengan mengabulkan permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Budi Gunawan melalui putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Februari Putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang menyatakan penetapan tersangka atas Budi Gunawan tidak sah tersebutlah yang pada akhirnya memicu gelombang permohonan praperadilan dari para tersangka khususnya tersangka kasus korupsi. Banyaknya permohonan tersebut tidak kemudian secara serta merta dikabulkan oleh hakim pemeriksa praperadilan. Permohonan tersebut ditolak dengan pertimbangan hukum bahwa penetapan tersangka bukan kewenangan praperadilan. Hal semacam ini menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. Sebelum adanya gelombang permohonan praperadilan atas penetapan tersangka yang dipicu oleh putusan praperadilan Budi Gunawan, Bachtiar Abdul Fatah yang sebelumnya dinyatakan bahwa penetapan tersangka atas dirinya tidak sah mengajukan uji materiil beberapa pasal di dalam Undang-
8 Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 November Pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 jo. Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dari enam pasal di dalam dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diujikan tersebut terdapat satu pasal yang diujikan dan itu berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan, yaitu Pasal 77 huruf a. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sendiri merupakan pasal yang mengatur mengenai kewenangan praperadilan. Pasal 77 huruf a tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Dalam dalilnya, Bachtiar Abdul Fatah menyatakan : Bahwa ketidakmampuan pranata praperadilan dalam mengikuti perkembangan hukum terbukti dari rumusan Pasal 77 huruf a KUHAP yang sangat sempit dan limitatif sehingga tidak mencakup seluruh upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik. Rumusan yang bersifat terbatas dan limitatif tersebut jelas bertentangan dengan prinsip due process of law karena sejumlah upaya paksa yang tidak disebutkan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP menjadi tidak dapat diuji keabsahannya melalui praperadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD. 5 5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, hlm. 21
9 Kemudian atas permohonan uji materiil tersebut, pada tanggal 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa : Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 6 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 7 Berdasarkan amar putusan a quo dapat disimpulkan bahwa mulai dari saat dibacakannya putusan a quo, maka pengujian mengenai sah tidahnya penetapan tersangka menjadi kewenangan praperadilan, termasuk juga penggeledahan dan penyitaan. Putusan tersebut berlaku dan sekaligus menjadi pelengkap dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Putusan a quo bersifat final dan mengikat, sehingga dalam pelaksanaan praperadilan salah satunya harus berdasarkan putusan tersebut. Namun demikian, perluasan kewenangan praperadilan yang diatur melalui putusan a quo ternyata menimbulkan permasalahan dalam tataran implementasi atau pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan lemahnya regulasi yang mengatur perihal praperadilan, khususnya pengaturan yang ada di dalam Undang- 6 7 Ibid., hlm Ibid.
10 Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7 pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan. Karena tidak ada guidance yang jelas mengenai hal tersebut, maka dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada penafsiran dan keyakinan masingmasing hakim. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam pelaksanaan praperadilan khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan tersebut di atas, maka Penulis tertarik untuk mengangkat serta menganalisis lebih lanjut permasalahan penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? 2. Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka?
11 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penulisan hukum ini dimaksudkan sebagai syarat kelulusan dan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui, menelaah, dan menganalisis perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. b. Mengetahui, menelaah, dan menganalisis implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dan tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan serta memberikan masukan bagi perkembangan kajian dalam
12 ilmu hukum utamanya hukum acara pidana serta lebih khusus lagi terhadap praperadilan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang mungkin bisa dijadikan salah satu masukan pertimbangan kepada aparat penegak hukum yang dalam hal ini khususnya hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan praperadilan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis dengan judul Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun penelusuran lewat internet, maka diketahui bahwa penulisan hukum yang dilakukan Penulis belum pernah dilakukan oleh penulis lain sebelumnya. Namun demikian, Penulis menemukan hasil penulisan hukum yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini, yaitu Kontrol Terhadap Penyitaan, Penggeledahan, dan Pemeriksaan Surat Dalam Sistem Peradilan Pidana, penulisan hukum
13 tersebut disusun oleh Abraham Andy F. Sianturi yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun Penulisan hukum tersebut memiliki dua rumusan masalah, yaitu bagaimana kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik dalam melakukan upaya paksa penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat pada sistem peradilan pidana? dan bagaimana solusi permasalahan ketidaksinkronan antara yurisdiksi praperadilan dengan putusan praperadilan mengenai upaya paksa penyitaan?. Berdasarkan penulisan hukum yang Penulis temukan tersebut dapat ditemukan perbedaan dengan penulisan hukum ini, yaitu berkaitan dengan obyek kajian dan juga rumusan masalah yang diangkat. Obyek kajian yang menjadi fokus penulisan hukum ini adalah diakomodasinya penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 beserta implementasinya. Obyek kajian tersebut tidak dibahas di dalam penulisan hukum yang ditemukan oleh Penulis. Karena terdapat perbedaan obyek kajian antara penulisan hukum yang ditemukan oleh Penulis dengan penulisan hukum ini, maka rumusan yang diangkat pun terdapat perbedaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditemukan letak perbedaan antara penulisan hukum ini dengan penulisan hukum yang telah ada sebelumnya. Sehingga Penulis menyatakan bahwa penulisan hukum 8 Abraham Andy F. Sianturi, 2012, Kontrol Terhadap Penyitaan, Penggeledahan, dan Pemeriksaan Surat Dalam Sistem Peradilan Pidana, Penulisan Hukum, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14 ini berbeda dengan penulisan hukum yang pernah ditulis oleh penulis lainnya atau dapat dikatakan bahwa penulisan hukum ini belum pernah dilakukan. F. Sistematika Penulisan Untuk memeroleh gambaran secara jelas mengenai keseluruhan penulisan hukum ini, maka Penulis akan membagi penulisan ini menjadi 5 bab sebagaimana tercantum di dalam sistematika di bawah ini : 1. BAB I tentang Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan keaslian penelitian. 2. BAB II tentang Tinjauan Pustaka Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu tinjauan umum mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan tinjauan umum mengenai praperadilan dalam hukum acara pidana Indonesia. 3. BAB III tentang Metode Penelitian Bab ini menguraikan mengenai metode penelitian yang dipakai oleh penulisan ini berkaitan tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, pengumpulan data, dan analisa data. 4. BAB IV tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini merupakan penjabaran dari data-data yang diperoleh kemudian dianalisa berdasarkan permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan hukum ini. Dalam menjawab rumusan masalah, Penulis membagi Bab ini
15 menjadi dua sub bab. Sub bab pertama membahas jawaban atas rumusan masalah pertama yaitu pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, sementara sub bab kedua akan membahas jawaban atas rumusan masalah kedua yaitu implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. 5. BAB V tentang Penutup Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dari Penulis berupa jawaban atas rumusan masalah yang sesuai dengan analisis pembahasan. Sementara saran berisi rekomendasi Penulis kepada lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan kewenangan praperadilan.
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perluasan Kewenangan Praperadilan Mengenai Pengujian Sah Tidaknya Penetapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma
Lebih terperinciJURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.
SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PERKARA PRAPERADILAN TENTANG PERMINTAAN REHABILITASI TERHADAP TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN (Putusan Nomor : 01/Pid.PRA/2002/PN.Spg) JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum
1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS
PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciTinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 5 disebutkan
Lebih terperinciOpening Statement. Mejelis Hakim yang mulia,
Opening Statement Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Berkontradiksi dengan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Mejelis Hakim yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciLATAR BELAKANG MASALAH
LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia
Lebih terperinciMANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu
MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang-
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan ilmu disertai dengan perkembangan teknologi, tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan, permasalahan tersebut biasanya ada yang
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan
Lebih terperinciV. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra
90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili
Lebih terperinciPERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL
PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL Oleh: FATHUL M. DZIKRI NPM: 1210012111060 Bagian Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2016 No.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan
Lebih terperinciGANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2
GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di negara Indonesia merupak hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 33/PUU-X/2012 Tentang Pembatasan Kekuasaan dan Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia I. PEMOHON Erik.. selanjutnya disebut sebagai Pemohon. II. POKOK
Lebih terperinciLEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF KINI DAN MASA MENDATANG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA I GEDE YULIARTHA, SH.
LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF KINI DAN MASA MENDATANG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA I GEDE YULIARTHA, SH. ABSTRAK Upaya paksa yang dilakukan dalam Penyidikan maupun Penuntutan oleh
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan
Lebih terperinciKuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGAJUAN BANDING TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGAJUAN BANDING TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN ARTIKEL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas
I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.
Lebih terperincidengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum dibuat untuk ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat.hukum merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal budi, kearifan dan keadilan.
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciBAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya
BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Tersangka 1. Pengertian Tersangka Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN.
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana I. PEMOHON Sri Royani, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata I. PEMOHON Moch. Ojat Sudrajat S. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan I. PEMOHON - P.T. Inanta Timber & Trading Coy Ltd.yang diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama -------------------------------------
Lebih terperinciA. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,
49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG- UNDANG
Lebih terperinciBAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI
BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI A. Faktor yang Melatarbelakangi Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan Praperadilan diatur dalam
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciRingkasan Putusan.
Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 41/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 41/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [Pasal
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H.
PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H. A. Pendahuluan Profesi merupakan suatu bidang kerja yang memerlukan keahlian dan independensi yang oleh karena itu tidak dapat
Lebih terperinciKompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia
1 Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia Penyusun : Supriyadi Widodo Eddyono Desain Cover : Basuki Rahmat Lisensi Hak Cipta This work is licensed
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tergambar jelas bahwa KUHAP sangat menjunjung tinggi hakhak asasi manusia terutama
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA 28 /PUU-VIII/2010
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 28 /PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Hak Tersangka/ Terdakwa Untuk mengajukan Ahli I. PEMOHON 1. Dr. Y.B. Purwaning
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penulisan dari penulis yang berupa pembahasanpembahasan yang telah diuraikan dalam BAB I, BAB II dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
Lebih terperinciLex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017
PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum
BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang merupakan Negara hukum yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014
BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 A. Praperadilan Ditinjau Dari KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinci