BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana, diantaranya oleh Moeljatno. Menurut beliau, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 1 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.

2 2 Beberapa pengertian menurut kepustakaan, hukum pidana sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti hukum pidana objektif - hukum pidana subjektif; hukum pidana berdasarkan adresat; hukum pidana umum - hukum pidana khusus; hukum pidana nasional - hukum pidana lokal serta hukum pidana internasional dan hukum pidana materiil - hukum pidana formil. 2 Hukum pidana materiil adalah keseluruhan hukum yang berisi asas-asas, perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diperintahkan beserta sanksi pidana terhadap yang melanggar atau tidak mematuhinya. Sedangkan hukum acara pidana adalah hukum untuk melaksanakan hukum pidana materiil yang berisi asas-asas dan proses beracara dalam sistem peradilan pidana yang dimulai dari penyelidikan sampai eksekusi putusan pengadilan. Hukum pidana materiil tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja tetapi juga dalam perundangundangan lainnya. Demikian pula dengan hukum acara pidana, tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja namun terdapat pula dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. 3 Ilmu hukum acara pidana sendiri mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan masyarakat serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam berkehidupan bermasyarakat. 4 Pada umumnya pengertian antara tujuan hukum acara pidana dan tugas hukum acara 2 Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm Ibid, hlm Bambang Poernomo, 1988, Pola Dasar Teori Dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 28.

3 3 pidana dengan begitu saja dicampuradukkan, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebnaran dan keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan beracara perkara pidana itu memiliki tujuan yang diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun penyelenggaraan beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan hukum yang tepat untuk mendapatkan penerapan hukum dengan keputusan dan pelaksanaannya berdasarkan keadilan. Dengan demikian, tugas atau fungsi dalam hukum acara pidana bisa didefinisikan sebagai (1) untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, (2) mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, (3) menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan (4) melaksanakan keputusan secara adil. 5 Untuk mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana, maka dalam melaksanakan tugas tersebut, alat negara penegak hukum tersebut menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai acara pidana yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR), namun HIR sendiri merupakan produk dari pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengutamakan kepentingan penguasa sehingga pada tahun 1981 lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sampai sekarang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bertindak, untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya 5 Ibid, hlm. 29.

4 4 merupakan pengurangan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa sebagai manusia yang ternyata dijamin oleh Undang-Undang Dasar Namun harus diingat pula bahwa aparat penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan masyarakat, ternyata kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau terkadang dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka/terdakwa menderita lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang dinamakan praperadilan. 6 Praperadilan yang merupakan hal baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia, mempunyai tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi yaitu perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan atau mencegah terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terhadap seseorang yang sedang menjalani proses hukum. 7 Menurut Adnan Buyung Nasution seperti dikutip oleh Reda Manthovani, ide pembentukan lembaga Praperadilan berasal dari adanya hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act 6 Ratna Nurul Afiah, 1985, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm Ibid, hlm. 74.

5 5 memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi/jaksa) membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum. 8 Lahirnya lembaga Praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak asasi manusia di dalam HIR, yan dibentuk dengan berorientasi atas kekuasaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Praperadilan pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan sendiri tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi yang baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. 9 Kemudian, mekanisme pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti rugi, rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan yang dinamakan praperadilan itu diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Permohonan praperadilan diajukan dan diproses 8 Reda Manthovani, Praperadilan, Tinjauan Yuridis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, utusanmahkamahkonstitusi, diakses pada 1 Oktober 2015 pukul M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

6 6 sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan. Oleh karena itu dinamakan pra atau sebelum dan peradilan atau persidangan. Praperadilan merupakan upaya dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Oleh karena dalam hukum acara pidana itu sering terjadi upaya paksa oleh aparat penegak hukum dilakukan tanpa menghormati hak asasi manusia, sehingga dibentuklah praperadilan dalam rangka mengawasi tindakan penyidik. 10 Namun, berawal dari permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Pasific Indonesia yang memberikan kuasa kepada beberapa advokat yang semuanya berasal dari Kantor Maqdir Ismail & Partners, dalam salah satu permohonannya mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan : Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. Akhirnya pada hari Selasa, 28 April 2015, meskipun diwarnai dengan 1 alasan berbeda (concurring opinion) dan 3 pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP, Mahkamah Konstitusi sesuai 10 Reda Manthovani, Praperadilan, Tinjauan Yuridis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit. 11 Putusan Nomor 21/PUU-XXI/2014, hlm 23.

7 7 dengan kewenangannya mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal yang dimohonkan yaitu Pasal 1 butir 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 77 huruf a KUHAP beralasan menurut hukum sehingga inkonstitusional, karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, terdapat hal yang menarik dengan mengubah ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tentang objek praperadilan, ditambahkan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai objek praperadilan. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 maka pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Perubahan bunyi pasal 77 huruf a KUHAP tersebut seolah menjadi norma baru bagi hukum acara pidana di Indonesia khususnya dalam ranah praperadilan. Maka, semua lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menerima norma baru tersebut dan harus bersiap tehadap kemungkinan gugatan praperadilan para tersangka yang akan menguji sah tidaknya status tersangka mereka. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi terhadap praperadilan sebenarnya tidak hanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 saja. Sebelumnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU- IX/2011 dengan Pemohon Tjetje Iskandar yang merupakan seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia, dalam amar putusannya menyatakan bahwa Pasal

8 8 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan dan sah tidaknya penghentian penuntutan tidak dapat lagi dimintakan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Kemudian, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 dengan Pemohon Dr. Ir. Fadel Muhammad, seorang wiraswasta yang memohonkan agar pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang pihak ketiga yang berkepentingan dimaknai termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dapat menjadi subjek hukum yang dapat melakukan permohonan Praperadilan. Kemudian, dalam amar putusannya Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan permohonan untuk seluruhnya. Konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka yang termasuk dalam frasa pihak ketiga yang berkepentingan tidak hanya dimaknai sebagai saksi korban atau pelapor saja namun harus diintepretasikan secara luas termasuk juga perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Masyarakat lainnya. Namun, Penulis tertarik untuk lebih mendalami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memiliki konsekuensi logis memperluas kewenangan atau objek dari Praperadilan.

9 9 Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas dan dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya mengenai praperadilan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Penulis tertarik untuk membahas dalam bentuk penulisan hukum (skripsi). Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini, Penulis mengambil judul : IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? 2. Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN, dapat dikelompokan sebagai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut :

10 10 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. b. Untuk mengetahui sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/ Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data akurat yang dipergunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Kegunaan Penelitian Beberapa manfaat yang akan kita peroleh dalam penelitian ini, antara lain: 1. Kegunaan Akademis Penelitian ini akan memberikan saran dan masukan mengenai pembangunan dan pembaruan Hukum Acara Pidana khususnya dalam ranah Praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/ Kegunaan Praktis Penelitian ini akan menambah perkembangan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai penetapan tersangka sebagai objek praperadilan

11 11 sebelum dan sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. E. Keaslian Penelitian Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis telah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian, baik dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, media cetak maupun media elektronik.. Penelusuran yang penulis lakukan menemukan beberapa penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang berkaitan dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut : 1. Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 /PPU-XI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, disusun oleh Eka Lestaria, tahun 2014, 12 penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas kepastian hukum dan keadilan? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Lestaria, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Keluarnya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 (putusan kedua) telah berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan keadilan. Ketidakpastian hukum dari putusan tersebut oleh karena pertimbangan putusan tersebut inkonsistensi dengan putusan 12 Eka Lestaria, 2014, Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XXI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

12 12 sebelumnya yaitu putusan nomor 16/PUU-VIII/2010 (putusan pertama). Ketiga petimbangan MK dalam putusan kedua kontradiktif dengan pertimbangan dalam putusan pertama sehingga menimbulkan keraguan dan ketidakjelasan. Sedangkan ketidakadilan dari putusan tersebut karena permohonan yang dikabulkan oleh MK terkait PK hanya pada perkara pidana, sedangkan pengajuan PK pada perkara perdata dan tata usaha negara tetap dibatasi hanya satu kali, yang mana telah membatasi hak Warga Negara lainnya untuk mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha negara. Padahal hak setiap Warga Negara dijamin persamaannya oleh pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yaitu setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga MK dalam putusannya tidak mencerminkan rasa keadilan karena membedabedakan Warga Negara yang satu dengan Warga Negara lainnya, tidak menyamaratakan putusan yang permohonannya sama, terkesan memihak dan sewenang-wenang. 2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet, disusun oleh Arifanny Faizal, tahun , penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai berikut: 13 Arifanny Faizal, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet. Skripsi, Program Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

13 13 1. Bagaimana relevansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas litis finiri oportet dalam hukum acara pidana di Indonesia? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifanny Faizal, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Pasal 268 ayat (3) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal itu berarti putusan yang sudah diajukan peninjauan kembali dan telah diputus untuk perkara yang sama tidak dapat diajukan lagi oleh terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, saat ini upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. Apabila ada pejabat negara atau warga negara yang membatasi upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU- XI/2013 maka tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu tujuan dan fungsi peninjauan kembali. Pada dasarnya peninjauan kembali dimaksudkan semata-mata untuk melindungi kepentingan

14 14 terpidana, bukan kepentingan negara atau korban. Peninjauan kembali yang kini tidak dibatasi hanya satu kali jelas akan lebih melindungi kepentingan terpidana untuk mencari keadilan. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan eksekusi putsan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun pada prakteknya Kejaksaan biasanya melakukan penundaan eksekusi pidana mati ketika terpidana mati mengajukan permohonan peninjauan kembali. Keadaan ini semakin pelik setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Adanya kesempatan melakukan peninjauan kembali berkali-kali dikhawatirkan akan digunakan oleh terpidana mati untuk terus menunda eksekusi pidana mati terhadap mereka. Atas keadaan ini MAKI dan LP3HI mengajkan judicial review Pasal 268 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak seluruh permohonan MAKI dan LP3HI. Mahkamah berpendapat sikap kehati-hatian jaksa selaku eksekutor dalam hal ini pidana mati harus dihormati. Sebab, seorang terpidana mati yang mengajukan Peninjauan Kembali harus ditunggu terlebih dahulu sampai ada putusan untuk menghindari jangan sampai ada permohonan Peninjauan Kembali yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung sesudah eksekusi dilaksanakan. Dalam hal ini jaksa selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati memang harus

15 15 sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak asasi yang sangat mendasar. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi peninjauan kembali tetap satu kali tidak tepat. Selain permasalahan terkait bentuk produk hukum yang digunakan, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak mematuhi asas lex specialis derogate legi generali karena mengacu pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tenatang Mahkamah Agung. Padahal keduanya mengatur peninjauan kembali secara umum. Jika dikatakan dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana maka sudah seharusnya MA berpedoman pada KUHAP, yang mana Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK Nomor 34/PUU- XI/ Menurut Penulis, Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu asas litis finiri oportet maupun kepastian hukum. Perkara yang dimohonkan Peninjauan Kembali hanya perkara yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut bisa dapat langsung dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, keadaan demikian sudah dapat dikatakan sebagai akhir perkara (karena dapat langsung dieksekusi) dan sudah menjamin kepastian hukum.

16 16 Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, setelah membaca penelitian Eka Lestaria dan Arifanny Faizal, baik pada bagian rumusan masalah maupun kesimpulan maka Penulis menyimpulkan penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan Penulis lakukan. Penelitian Eka Lestaria melihat implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2103 dari aspek hukum tata negara sementara penelitian Arifanny Faizal melihat implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana terkait asas litis finiri oportet. Penulis akan melakukan penelitian melihat implikasi dari Putusan yang lain yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap sah tidaknya penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan, dengan demikian penelitian yang akan Penulis lakukan dengan judul IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN adalah asli, belum pernah dilakukan dan permasalahan ini murni ide Penulis sehingga penelitian ini bukan merupakan karya plagiarisme.

BAB V KESIMPULAN. hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang

BAB V KESIMPULAN. hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang 95 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Menurut Pasal 268 ayat (3) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang sudah diajukan peninjauan kembali

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 5 disebutkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang-

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang- 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan ilmu disertai dengan perkembangan teknologi, tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan, permasalahan tersebut biasanya ada yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum dibuat untuk ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat.hukum merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal budi, kearifan dan keadilan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 A. Praperadilan Ditinjau Dari KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia HASRIL HERTANTO,SH.MH MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA DISAMPAIKAN DALAM PELATIHAN MONITORING PERADILAN KBB, PADA SELASA 29 OKTOBER 2013 DI HOTEL GREN ALIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia

Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia 1 Kompilasi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Perubahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia Penyusun : Supriyadi Widodo Eddyono Desain Cover : Basuki Rahmat Lisensi Hak Cipta This work is licensed

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA 1. Latar Belakang Terbentuknya Praperadilan Dalam KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tengah-tengah penegak hukum. Menurut Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan:

II. TINJAUAN PUSTAKA. tengah-tengah penegak hukum. Menurut Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan: II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Terhadap Praperadilan 1. Pengertian dan Sejarah Praperadilan Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di negara Indonesia merupak hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang merupakan Negara hukum yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. II. POKOK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG- UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci