KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick SETELAH PENGGEMBALAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick SETELAH PENGGEMBALAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA"

Transkripsi

1 1 KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick SETELAH PENGGEMBALAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SELVIE DIANA ANIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Kajian Tentang Persistensi Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa, adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 2011 Selvie Diana Anis A

3 3 ABSTRACT SELVIE D. ANIS. Study of Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick persistency growth underneath coconut plantation after grazing. Supervised by M. AHMAD CHOZIN as the chairman, SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO, MUNIF GHULAMAHDI, and SUDRADJAT as members of the advisory committee. Actually, a combination of pasture and cattle system on coconut plantation is not a new practice. In fact, it has been applied for years in Indonesia but no promising results yet. This practice has always ended up with the so-called pasture run down. Therefore, it is not a sustainable practice.various pasture and grazing management combined with shade tolerant forage were applied, but the production has not reached the target yet. Previous knowledge on the goal of defoliation or grazing is to trim plant s shoot to fulfill cattle s need (herbage allowance) without considering pasture health to grow and produce forage. Furthermore, grazing time is determined based on plant s age. However, due to climate change phenomenon, the temperature has fluctuated irregularly affecting on plant s growth and development. Therefore, using plant s age as a threshold could be inaccurate. More accurate method can be used by measuring heat unit accummulation to produce one phyllochron. Therefore, the main goal of this research was to increase the productivity of coconut plantation by combining pasture system with cattle. To analyse the persistency of grass plant B. Humidicola, this research was conducted with three objectives: 1) to find out the number of heat units required to produce one phyllochron of single grass plant B. Humidicola living within certain community, and growth patterns of them; 2) to find out effects of defoliation intensity and interval based on plant s age (callender days) and daily temperature accummulation (growing degree days) to the production of dry foliage biomass and nutrient content; 3) to measure coconut plantation productivity that has been combined with pasture and cattle, grazing experiment with different grazing methods and stocking rate was used in this study. This research was conducted from April 2008 to October 2010 in the experimental plantation of Coconut and Other Palmae Research Institute, Manado, North Sulawesi. The objective 1 was done to measure the needs of heat units to produce one phyllochron of Brachiaria humidicola plant growth and developed individually, compared to those in the community. Furthermore, growth pattern of the plant was also studied by measuring number of seedlings, nodes, and the length of stolon during of growth development (weeks). Analyses of t- test and deviation standard were used. With regard to objective 2, was studied the effects of intensity and interval of defoliation based on both the ages (days) of plant and the growing degree days, on the dried weight and nutrient content of foliage biomass. Treatments were arranged based on randomized complete block design. Objective 3 of this research was to understand effects of continuing grazing and rotational grazing at different stocking rates to pasture performance. This was measured with dried foliage biomass, population and the development of new shoot, botanical composition, nutrient content, dominant microorganism living

4 4 within plant s root and an increase of cattle weight. Treatments were arranged according to seperate block pattern based on randomized block design. This research found that heat unit requirement to produce one phyllochron was different among plants. Single grass plant required 68,19 degree days to produce one phyllochron while plant growth within a community required 130,44 degree days. The growth pattern of Brachiaria humidicola showed that when this grass growth individually, grew more aggressive than those in community. It was shown that the number of seedlings, nodes, and the length of stolon developed linierely, compared to the other following a quadratic regression pattern. To ensure the persistency of this grass it should be defoliated regularly. Furthermore, interaction of defoliation intensity and interval of defoliation had a significant effect on the production and nutrient content of B. humidicola. The better interaction was found between the cutting height of 10 cm and the ages of plant of 30 and 45 days, and the accumulation of heat units of 456,54 degree days. Third experiment showed that interaction of rotational grazing system with stocking rate of three cattles produced the best pasture. Meanwhile, the best nutrient quality and the highest increase in cattle weight were found in rotational system. Furthermore, the cattle grazing in B. humidicola pasture underneath coconut plantation increased coconut production and pasture sustaianability. Keywords: phyllochron, defoliation, productivity, nutrient content, daily gain.

5 5 RINGKASAN SELVIE D. ANIS. Kajian Tentang Persistensi Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa. Dibimbing oleh: M. AHMAD CHOZIN sebagai ketua komisi pembimbing, SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO, MUNIF GHULAMAHDI, dan SUDRAJAT sebagai anggota Komisi Pembimbing. Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi pada perkebunan kelapa bukanlah merupakan sistem yang baru, melainkan sudah lama diterapkan. Kenyataan di lapang sistem integrasi ini belum ada yang berhasil menguntungkan sesuai harapan, sebaliknya selalu diakhiri dengan apa yang dikenal sebagai gejala kerusakan padang penggembalaan (pasture run down), sehingga tidak berkelanjutan. Berbagai manajemen budidaya padang penggembalaan dan manajemen penggembalaan serta penggunaan jenis hijauan yang toleran terhadap naungan telah diterapkan, tetapi masalah tersebut belum terpecahkan. Pemahaman lama tentang tujuan defoliasi atau pemanenan adalah pengambilan bagian pucuk tanaman untuk memenuhi kebutuhan ternak, namun defoliasi dilakukan tanpa mempertimbangkan kesehatan padang penggembalaan. Hal yang penting diperhatikan dalam kegiatan defoliasi adalah aspek biogeokimia antara tanaman padang penggembalaan, ternak, peran mikroorganisme pada lingkungan rizosfer dan cadangan karbohidrat untuk pertumbuhan kembali. Selama ini waktu penggembalaan ditetapkan berdasarkan umur tanaman (hari). Dengan adanya perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global, suhu udara yang berperan dalam pemunculan daun berfluktuasi tidak teratur, maka penggunaan umur tanaman sebagai patokan berpotensi terjadi kesalahan. Penetapan yang lebih akurat adalah dengan mengukur akumulasi satuan bahang yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron. Penelitian ini dibuat dengan tujuan umum untuk meningkatkan kontribusi rumput Brachiaria humidicola dalam sistem produksi hijauan pakan pada lahan perkebunan kelapa, melalui suatu pemahaman yang benar tentang persistensinya dan diterapkan sebagai strategi manajemen penggembalaan yang tepat. Untuk mengkaji persistensi rumput B. humidicola secara khusus penelitian ini bertujuan: 1). Mendapatkan berapa besar satuan bahang yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron pada rumput B. humidicola yang hidup secara tunggal, dan yang hidup dan berkembang dalam komunitas. Selanjutnya dipelajari juga pola pertumbuhan rumput ini melalui parameter jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon selama perkembangan setiap minggu. 2). Mempelajari pengaruh intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan umur tanaman (callender days) dan akumulasi satuan bahang harian (growing degree days) terhadap produksi bobot kering biomassa hijauan dan kandungan nutrisi. 3). Untuk mengkaji produktivitas padang penggembalaan dan ternak sapi pada perkebunan kelapa, telah dilakukan percobaan penggembalaan. Rangkaian percobaan dalam penelitian ini dilaksanakan sejak April 2008 sampai Oktober 2010, di kebun percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnnya di Manado, Sulawesi Utara. Sub-penelitian pertama, dilaksanakan untuk mengukur kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron pada tanaman rumput B. humidicola

6 6 yang tumbuh dan berkembang secara tunggal, dan tanaman yang tumbuh dan berkembang dalam satu komunitas. Selanjutnya mempelajari pola tumbuh B. humidicola secara tunggal dan dalam komunitas melalui parameter jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon. Analisis dilakukan dengan uji rata-rata dan standar deviasi, dan analisis regresi untuk pola tumbuh rumput uji dalam umur (minggu). Sub-penelitian kedua, mempelajari hasil bobot kering hijauan dan kandungan nutrisi rumput uji pada perlakuan intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan umur tanaman (hari), dan berdasarkan akumulasi satuan bahang (growing degree days). Perlakuan diatur secara faktorial berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Terdapat tiga tingkat intensitas defoliasi yaitu intensitas 5 cm, 10 cm, 15 cm dan empat tingkat interval defoliasi yaitu 30 hari, 45 hari, 60 hari dan berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD. Subpenelitian ketiga, bertujuan mempelajari pengaruh sistem penggembalaan kontinyu dan sistem penggembalaan rotasi berdasarkan akumulasi satuan bahang pada tekanan penggembalaan yang berbeda. Parameter yang diamati adalah keragaan padang penggembalaan yang diukur pada hasil populasi dan perkembangan tajuk baru, komposisi botanis, kandungan nutrisi, mikroorganisme dominan di lingkungan tanah perakaran rumput, konsentrasi karbohidrat mudah larut/siap pakai. Untuk komponen ternak diukur pertambahan bobot badan harian, dan untuk komponen kelapa menghitung jumlah buah kelapa yang dihasilkan. Perlakuan yang diuji adalah sistem penggembalaan yaitu penggembalaan kontinyu (SP1) dan penggembalaan rotasi (SP2) serta jumlah ternak yang digembalakan atau tekanan penggembalaan (stocking rate) yaitu 0,77 unit ternak (UT) ; 1,54 UT dan 2,31 UT. Perlakuan diatur menurut pola petak terpisah dengan dasar Rancangan Acak Kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan satuan bahang rumput B. humidicola yang tumbuh tunggal membutuhkan akumulasi satuan bahang harian sebanyak 68,19 degree days ( 0 C hari), sedangkan yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan akumulasi satuan bahang harian sebanyak 130,44 degree days ( 0 C hari). Dalam pengamatan parameter pertumbuhan, pola tumbuh menunjukkan bahwa tanaman tunggal B. humidicola perkembangannya sangat agresif terlihat pada variabel jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon yang berkembang mengikuti pola regresi linier. Tanaman yang tumbuh dalam komunitas semua variabel berkembang mengikuti pola regresi kuadratik. Untuk keberlanjutan persistensi rumput ini, sifat agresif tersebut harus disertai dengan tindakan defoliasi yang baik. Selanjutnya, interaksi intensitas dan interval defoliasi berpengaruh nyata terhadap produksi dan kandungan nutrisi B. humidicola. Interaksi yang ideal adalah pada intensitas atau tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah, dengan umur tanaman antara 30 hari sampai 45 hari, dan pada interval defoliasi yang didasarkan pada akumulasi satuan bahang harian 456,54 degree days ( 0 C hari). Interaksi sistem penggembalaan rotasi ( SP 2 ) dengan takanan penggembalaan 2,31 UT/ha ( SR 3 ) menghasilkan keragaan padang penggembalaan terbaik, sedangkan kandungan nutrien dan penambahan bobot badan sapi terbaik dihasilkan pada sistem penggembalaan rotasi ( SP 2 ). Dengan demikian produktivitas lahan perkebunan kelapa dapat ditingkatkan dengan integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi karena selain terjadi

7 7 penambahan bobot badan ternak, juga meningkatkan hasil buah kelapa, dan tetap menjamin persistensi padang penggembalaan. Kata kunci : filokron, defoliasi, produktivitas, kandungan nutrien, penambahan bobot badan.

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 9 KAJIAN TENTANG PERSISTENSI Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick SETELAH PENGGEMBALAAN PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SELVIE DIANA ANIS Disertasi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

10 10 Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M. Sc. (Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor). Dr. Ir. Idat Galih Permana, M. Sc. (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisidan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor). Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. (Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor). Dr. Ir. Bambang Risdiono, M.S. (Peneliti pada Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor)

11 11 Judul Disertasi : Kajian Tentang Persistensi Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Setelah Penggembalaan pada Lahan Perkebunan Kelapa Nama mahasiswa : Selvie Diana Anis Nomor Pokok : A Program Studi : Agronomi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Ketua Prof. Dr. Ir. Soedarmadi,H.,M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Anggota Dr. Ir. Sudradjat, M.S. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

12 12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kemurahannya sehingga disertasi yang berjudul kajian tentang persistensi Brachiaria humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa, dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun berdasarkan tiga topik penelitian yaitu : (1) Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput Brachiaria humidicola, (2) Pengaruh intensitas dan interval defoliasi terhadap produksi biomassa dan kandungan nutrien rumput Brachiaria humidicola, (3) Pengaruh sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan padang penggembalaan Brachiaria humidicola dan penambahan bobot badan ternak sapi dan hasil buah kelapa. Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Chozin, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Soedarmadi, H. MSc., Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Sudradjat, MS masing-masing sebagai anggota komisi, atas semua motivasi, arahan, masukan, bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan penelitian, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini, bahkan sampai penulis boleh mengikuti ujian terbuka. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa melimpahkan rahmat dan berkah serta melindungi Bapak-Bapak dan keluarga. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi dan Dekan Fakultas Peternakan UNSRAT yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Agronomi dan staf pada Departeman Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan

13 13 kesempatan kepada penulis untuk studi dan telah memberikan ilmunya selama penulis mengikuti kuliah di Program Studi Agronomi IPB. Penelitian ini dilaksanakan pada perkebunan kelapa Balai Penelitian Kelapa dan Palma lainnya (BALITKA) di Manado. Untuk itu ucapan terima kasih diucapkan kepada Kepala BALITKA dan Kepala Kebun atas kesempatan yang diberikan untuk pelaksanaan penelitian. Terima kasih pula penulis sampaikan juga kepada Pengelola Bea Siswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan yang diberikan berupa bea siswa Pendidikan Doktor selama 3 tahun. Terima kasih juga disampaikan kepada semua rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana IPB dan semua pihak yang telah memberikan dorongan, masukan dan diskusi bersama dalam suka maupun duka. Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada orang tua, suami dan anak-anak serta keluarga besar yang penulis sayangi, dengan segala ketulusan menopang doa, memberi dukungan moril dan juga kasih sayang selama penulis studi di IPB. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa menuntun kepada segala keberhasilan dan semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang agronomi. Bogor, Desember 2011 Selvie Diana Anis

14 14 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 23 September 1960, sebagai anak ketiga dari pasangan Bpk. Bobby H. Anis (alm) dan Dra. Miesye Sorongan. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus tahun Pada tahun 1991, penulis mengikuti Program Pascasarjana KPK IPB UNSRAT Program Studi Ilmu Tanaman dan menamatkannya pada tahun Pada tahun 2005 mendapat kesempatan mengikuti Program Doktor pada Program Studi Agronomi IPB, Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, selama 3 tahun. Penulis bekerja sebagai pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulagi Manado, Program Studi Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, sejak Juni 1986.

15 15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Manfaat Penelitian... 5 Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 8 Rumput Brachiaria humidicola... 8 Deskripsi Morfologis dan Penyebaran... 8 Potensi Produksi... 9 Fenologi dan Growing degree days (GDD) Defoliasi dan Cadangan Karbohidrat Lahan Pertanian Perkebunan Kelapa Manajemen Penggembalaan Lingkungan Rizosfer dan Pertumbuhan Tajuk Baru KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PENGARUH INTENSITAS DAN INTERVAL DEFOLIASI TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN KANDUNGAN NUTRIEN 43 Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN DAN TEKANAN PENGGEMBALAAN TERHADAP KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola SETELAH PENGGEMBALAAN DAN PENAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA... Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan... 90

16 16 PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 17 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron Pada rumput B. humidicola di lahan perkebunan kelapa Perkembangan jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon B. humidicola Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap produksi bobot kering (g/m 2 ) Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap rasio daun batang Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap kandungan protein kasar (PK) (%) Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval(f) defoliasi terhadap kandungan NDF (%) dan ADF (%) Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan pastura B.humidicola Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap komposisi botanis padang penggembalaan Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap kandungan protein kasar, serat kasar, neutral detergent fiber, acid detergent fiber dan lignin (%) Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap Mikorisa (spora/200 g tanah), Azotobakter (CFU/g tanah) Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap konsentrasi glukosa (%) dan sukrosa (%) pada crown dan akar Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan (SP) dan tekanan penggembalaan (SR) terhadap penambahan bobot badan (pbb) sapi Rataan jumlah buah kelapa (butir) di luar dan di dalam lokasi penelitian... 88

18 18 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Tahapan penelitian dan keterkaitan antar percobaan Skematik ruang yang tersedia untuk tumpangsari pada lahan perkebunan kelapa (Magat 1990) Anakan rumput pada tahap perkembangan daun ke 3, Hubungan antara tahapan perkembangan daun dan tingkat karbohidrat mudah larut Akar dari Bachiaria humidicola yang melepaskan penghambat melalui eksudat yang menekan nitrifikasi Proses biologi dalam pengaturan penghambatan nitrifikasi dan emisi gas N 2 O Anakan vegetatif yang digunakan sebagai bibit Tanaman tunggal Tanaman dalam komunitas Hubungan jumlah anakan dan waktu (minggu ) Hubungan jumlah buku dan waktu (minggu ) Hubungan panjang stolon (cm) dan waktu (minggu ) A.Pemotongan B. humidicola secara seragam B.Penerapan perlakuan intensitas dan interval defoliasi A. Penyiapan lahan B. Penanaman rumput C. Pemotongan seragam setelah 90 hari tumbuh D. Pertumbuhan kembali padang penggembalaan siap masuk sapi A. Perlakuan sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 2,31 UT B. Perlakuan sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 1,54 UT C. Perlakuan sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT Jumlah tanaman induk setelah penggembalaan Penimbangan bobot akar dan crown Perakaran pada sistem penggembalaan rotasi dan kontinyu... 75

19 19 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Peta lokasi penelitian di BALITKA Manado Rekapitulasi analisis keragaman (ANOVA) penelitian kajian tentang persistensi B. humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa Analisis Tanah Data suhu udara Max dan Min, curah hujan dan kelembaban tahun Glosari

20 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian yang diterbitkan melalui pemberitaan media cetak Kompas hari Jumat tanggal 13 Agustus 2010, menunjukkan bahwa permintaan daging sapi di Indonesia tahun 2009 sebanyak ribu ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 250,8 ribu ton. Dengan demikian untuk mengisi kekurangan harus diimpor sebanyak 139,8 ribu ton. Berbagai faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi ternak sapi. Salah satu di antaranya adalah keterbatasan lahan dan kurangnya ketersediaan hijauan pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Progam Direktorat Jenderal Produksi Peternakan melalui integrasi ternak sapi dengan tanaman perkebunan kelapa bertujuan untuk menutupi kesenjangan permintaan daging sapi yang semakin melebar terhadap penawaran komoditi ini. Penggembalaan ternak sapi di areal pertanaman kelapa adalah sistem yang telah lama diterapkan. Keuntungan sistem ini berupa multi fungsi dari lahan, termasuk : (a) meningkatkan pendapatan melalui diversifikasi usaha dan; (b) penggunaan sumber daya lahan terbatas dengan lebih efisien; (c) stabilisasi tanah, dan (d) potensial untuk meningkatkan produksi perkebunan kelapa melalui pengendalian gulma lebih baik, daur ulang unsur hara dan penyediaan nitrogen (Shelton dan Stur, 1991). Walaupun sistem ini memberikan berbagai keuntungan, namun hal itu tidak bertahan lama karena masalah menghilangnya pastura atau dikenal dengan fenomena pasture rundown atau terjadinya kemunduran, bahkan kerusakan padang rumput. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab masalah tersebut adalah jenis hijauan yang digunakan tidak toleran terhadap naungan, dan tidak tahan terhadap injakan dan renggutan oleh ternak sapi (Watson dan Whiteman, 1981a). Untuk mengatasi masalah tersebut melalui proyek penelitian yang disponsori oleh Australian Centre for International Agicultureal Recearch (ACIAR) dilakukan seleksi dari sekitar 50 jenis hijauan rumput tropis yang diintroduksi ke Indonesia sebagai padang penggembalaan di areal perkebunan

21 2 2 kelapa. Ditemukan bahwa Brachiaria humidicola cv.tully termasuk salah satu jenis yang direkomendasikan untuk dikembangkan pada areal perkebunan kelapa di Manado (Kaligis dan Sumolang, 1991), di Bali ( Rika et al, 1991). Pilihan pada rumput ini karena memiliki berbagai keunggulan seperti tumbuh baik pada musim panas, cukup persisten dan agresif, berkemampuan berkompetisi dengan gulma dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Rumput ini sangat tahan terhadap penggembalaan berat tetapi tidak toleran terhadap kebakaran. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B.humidicola dapat menghasilkan kg bahan kering (BK) per hektar / tahun, dan dapat mencapai kg BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha. Sedangkan di areal perkebunan kelapa pada percobaan plot-plot kecil, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan g BK/m2 atau sekitar kg BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991). Selain berproduksi dan bernilai nutrisi yang baik untuk pakan ternak, informasi terbaru mengatakan bahwa rumput B. humidicola sebagai tanaman rumput tropis ini juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup terutama terkait dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Salah satu gas rumah kaca adalah gas N 2 O. Dilaporkan bahwa rumput ini melalui eksudat akarnya menghasilkan brachialactone suatu senyawa kimia yang bersifat sebagai inhibitor biologis proses nitrifikasi dalam tanah yang melepaskan gas N 2 O ke atmosfir (Subramanian et al., 2007). Sifat inhibitor tersebut berperan dalam pengaturan proses nitrifikasi sehingga lebih sedikit nitrogen yang tercuci, dengan demikian penggunaan nitrogen menjadi lebih efisien. Rumput Brachiaria humidicola sangat disukai ternak ketika masih muda tetapi menurun setelah mencapai pertumbuhan maksimum. Walaupun demikian rumput ini tetap mengalami kerusakan ketika digembalai secara bebas (free grazing) atau tanpa manajemen penggembalan yang benar. Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan variasi suhu sepanjang waktu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman khususnya rumput yang akan dipanen/didefoliasi pada fase perkembangan vegetatif atau dalam waktu yang relatif singkat. Miller et al. (2001) menyatakan bahwa defoliasi atau

22 3 penggembalaan berdasarkan hari kalender (Calender days / CD) memiliki potensi kesalahan 10 hari kalender dibandingkan dengan defoliasi berdasar akumulasi unit panas (degree days/dd) yang hanya 2-3 hari kalender potensi kesalahan. Adanya hubungan yang erat antara jumlah daun dan GDD mendukung pernyataan bahwa suhu adalah faktor utama yang mengontrol kecepatan munculnya daun pada tanaman rumput (Butler et al., 2002). Penelitian akhirakhir ini menunjukkan bahwa penggembalaan bebas dan penggembalaan kontinyu tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis rumput untuk tumbuh dan bereproduksi. Pada tahap lebih lanjut rumput tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan berkualitas secara tetap dibandingkan dengan sistem penggembalaan rotasi. Sistem yang terakhir ini menjadi pilihan, tetapi dengan konsekuensi harus menerapkan manajemen penggembalaan yang tepat, yang oleh Gorder et al.(2005) dinamakan Biologically Effective Gazing Management Strategy. Tujuan manajemen padang penggembalaan tidak terbatas hanya pada menjamin kesehatan padang rumput, tetapi terutama hasil hijauan tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak, baik jumlah maupun kualitas. Hasil ini akan terlihat pada produksi riil berupa hasil ternak, dimana hasil ini ditentukan oleh jumlah konsumsi dan nilai kecernaan rumput. Jumlah hijauan terkonsumsi ditentukan oleh palatabilitas dan tinggi kanopi, dimana keduanya dipengaruhi oleh defoliasi atau intensitas renggutan ternak (Root, 2000). Keunggulan satu jenis rumput sebagai pakan tidak hanya ditentukan oleh persistensi, tetapi juga seberapa besar kemampuan memenuhi kebutuhan bahan kering ternak herbivora. Kemampuan tersebut terukur pada daya tampung dan jumlah ternak yang digembalakan/tekanan penggembalaan (Stocking Rate). Hasil penelitian di Bali menunjukkan bahwa kenaikan SR sampai 4 ekor sapi Bali/ha lahan kelapa masih memberikan pengaruh positif terhadap pertambahan berat badan ternak sapi dan produksi kelapa (Rika et al., 1981). Melalui pemahaman terhadap pola pertumbuhan dan perkembangan rumput B. humidicola, pengaturan penggembalaan yang benar, akan menjamin kelestarian persistensinya dan memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak

23 4 4 ruminansia. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi ternak sapi daging yang dapat menutupi kesenjangan antara permintaan dan penawaran akan komoditi ini. Oleh karena itu penelitian tentang kajian persistensi B. humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan meningkatkan kontribusi rumput Brachiaria humidicola dalam sistem produksi hijauan pakan pada lahan perkebunan kelapa, melalui suatu pemahaman yang benar tentang persistensinya dan diterapkan sebagai strategi manajemen penggembalaan yang tepat. Untuk itu beberapa rangkaian percobaan telah dilakukan dengan tujuan khusus sebagai berikut : (1) mempelajari fenologi pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput Brachiaria humidicola dan menghitung berapa besar satuan bahang ( 0 C hari /degree days ) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron. (2) mempelajari respons vegetatif tajuk baru rumput Brachiaria humidicola terhadap perlakuan intensitas dan interval defoliasi pada kondisi ternaung, yang terukur pada perkembangan vegetatif, produktivitas dan kualitas. (3) mempelajari pengaruh perenggutan (grazing) pada sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang berbeda terhadap keragaan padang penggembalaan, produksi dan kualitas, komposisi botanis padang penggembalaan, cadangan karbohidrat, mikroorganisme lingkungan rizosfer, penambahan bobot badan sapi dan hasil buah kelapa. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan kebutuhan akumulasi satuan bahang ( 0 C hari ) / DD untuk membentuk satu filokron antara rumput Brachiaria humidicola yang

24 5 ditanam secara tunggal dan dalam komunitas ; pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput berkorelasi positif dengan umur tanaman. 2. Terdapat perbedaan dalam hasil produksi biomassa (berat kering ), kualitas dan respons rumput Brachiaria humidicola akibat perlakuan intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan hari kalender (CD) dan berdasarkan akumulasi satuan bahang (DD). 3. Potensi pertumbuhan tajuk baru ( keragaan pastura) B. humidicola, produksi dan kualitas, komposisi botanis, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi akan lebih baik pada padang penggemlaan yang mengalami penggembalaan rotasi dari pada penggembalaan kontinyu terutama yang berinteraksi dengan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang lebih tinggi. Manfaat Penelitian 1. Hasil peneltian ini dapat digunakan dalam pengembangan sistem produksi hijauan makanan ternak pada lahan perkebunan kelapa, dan juga berguna untuk kepentingan pengembangan model biologis pertumbuhan dan perkembangan rumput B. humidicola. 2. Bermanfaat dalam menentukan pola manajemen sistem padang rumput intensif dan efisien, yang dapat menjamin ketersediaan hijauan pakan dalam jumlah dan kualitas yang baik secara berkelanjutan. Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian Sehubungan dengan tujuan penelitian untuk mengkaji persistensi rumput B.humidicola setelah digembalai, maka penelitian ini terdiri atas tiga aspek kajian. Aspek pertama, karakterisasi pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B. humidicola, serta kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron. Aspek kedua adalah produksi biomassa, kandungan nutrien dan respons rumput B. humidicola terhadap perbedaan tingkat intensitas dan interval defoliasi. Aspek ketiga, adalah respons pastura B. humidicola terhadap 2 sistem penggembalaan ( kontinyu dan rotasi) dan tekanan penggembalaan

25 6 6 (stocking rate), yang terukur pada keragaan pastura, kualitas hijauan, komposisi botanis, kandungan karbohidrat mudah larut, mikroorganisme dominan, pertambahan bobot harian ternak sapi serta hasil buah kelapa. Ketiga aspek kajian tersebut dirumuskan ke dalam tiga sub-penelitian sebagai berikut : 1. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Vegetatif Tajuk Baru Rumput B. humidicola. 2. Pengaruh Intensitas dan Interval Defoliasi terhadap Produksi Biomassa dan Kandungan Nutrien B. humidicola. 3. Pengaruh Sistem Penggembalaan dan Tekanan Penggembalaan ( Stocking rate) terhadap Keragaan Padang Penggembalaan B. humidicola setelah Digembalai dan Pertambahan Berat Badan Ternak Sapi.

26 7 Secara skematik (diagam) kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1. Penelitian oleh ACIAR B. humidicola memenuhi kriteria seleksi rumput pakan untuk lahan perkebunan kelapa (Mullen et al, 1997) Percobaan I Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B.humidicola, serta kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron. Percobaan II Produksi biomassa, kandungan nutrien, dan respons rumput B.humidicola terhadap tingkat intensitas dan interval defoliasi yang berbeda. Percobaan III Respons pastura B. humidicola, produksi dan kualitas, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi akibat perbedaan sistem penggembalaan (grazing) dengan jumlah ternak (stocking rate) berbeda. Produksi hijauan pakan, produksi ternak sapi dan produksi kelapa berkelanjutan. Gambar 1. Tahapan penelitian dan keterkaitan antar percobaan.

27 8 8 TINJAUAN PUSTAKA Rumput Brachiaria humidicola Nama ilmiah Nama ilmiah rumput yang digunakan dalam penelitian ini adalah Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick, yang sinonnim dengan Urochloa humidicola (Rendle) Morrone & Zuloaga, dan Panicum humidicola (Rendle ) [basionym]. Rumput ini memiliki juga nama umum yaitu rumput koronivia, humidicola, creeping signal grass (Australia) dan creeping paspalum (English). Di Indonesia ada juga yang menyebut BH adapula yang menyebut Brahum. Deskripsi morfologis dan Penyebaran Rumput B. humidicola tergolong rumput perenial yang memiliki rizoma dan stolon yang kuat dan bertumbuh padat sehingga mampu menutup tanah dengan baik. Batang vegetatifnya bertumbuh merambat dan mengeluarkan akar dari buku paling bawah. Tanaman ini memiliki tangkai bunga berdiri tegak dengan ukuran panjang cm. Helai daunnya datar, berwarna hijau mengkilat, lebar 5-16 mm dengan panjang daun dapat mencapai 25 cm tetapi biasanya hanya 12 cm atau kurang. Dari sudut pandang agrostologi, B. humidicola merupakan sumber makanan ternak. Oleh karena itu dikategorikan sebagai tanaman budidaya dan bukan sebagai gulma, sehingga memerlukan pengelolaan yang tepat. Deskripsi lebih lanjut rumput B. humidicola diuraikan oleh Skerman dan Riveros (1990). Rumput ini berasal dari daerah Afrika Tropis, membutuhkan suhu optimum untuk tumbuh berkisar C. Rumput ini toleran terhadap kekeringan dan tetap hijau dibandingkan jenis rumput lain, tahan terhadap genangan air. Rumput ini sangat tanggap /responsif terhadap pemberian nitrogen (N), kebutuhan fosfor (P) rendah, dan sangat toleran terhadap aluminium (Al). B. humidicola memiliki kemampuan menyebar secara alami dengan kemampuan menutup tanah dengan baik karena memiliki stolon yang sangat kuat dan juga rizoma. Untuk penanamannya hanya membutuhkan pengolahan tanah yang kasar, jarak tanam 1m x 1 m dengan menggunakan anakan (pols). Rumput ini tumbuh baik pada musim panas, berkemampuan

28 9 berkompetisi dengan gulma, dan sangat tahan terhadap tekanan penggembalaan berat namun tidak toleran terhadap kebakaran. Produksi Bahan Kering. Produksi bahan kering (BK) sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B. humidicola dapat menghasilkan sekitar 11 ton BK per hektar / tahun, dan dapat mencapai 34 ton BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha (Skerman and Riveros, 1990). Sedangkan di areal perkebunan kelapa BALITKA Manado pada percobaan petak-petak kecil, dipanen setiap dua bulan selama satu tahun, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan g BK/m2 atau sekitar 5-6 ton BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991). Rumput ini mampu mempertahankan kandungan nitrogen dalam tanah. Penelitian selama 8 tahun, sebagai padang penggembalaan B. humidicola tunggal tanpa legum dan tanpa pemupukan nitrogen, kandungan N tanah tidak mengalami pengurasan dan diperkirakan juga terjadi peningkatan jumlah karbon tanah rata-rata setahun sebanyak 0,66 Mg (mega gram) karbon per ha. Selanjutnya dilaporkan bahwa rumput ini mampu memberikan kenaikan jumlah suplai N dari kg N/ha/tahun melalui kegiatan sebagai tanaman yang berasosiasi dengan bakteri Azotobacter dalam proses Biological Nitogen Fixation (BNF). Adanya masukan N ini yang memungkinkan rumput B.humidicola mampu bertahan sebagai pastura tunggal yang bahkan dapat mengakumulasi unsur karbon (C) tanah yang cukup signifikan (Fisher et al., 2004). Namun demikian kemampuan mensuplai N dan akumulasi C ke tanah akan lebih meningkat ketika pastura ini diintroduksi dengan legum yang merambat seperti Desmodium ovalifolium sebagai tanaman pengikat N secara biologis (Boddey et al., 2005). Produksi ternak. Di padang savana Colombia rumput B. humidicola yang ditanam secara monokultur dengan tekanan penggembalaan 3 ekor/ha memberikan pertambahan berat hidup 80 kg/ekor/tahun atau 240 kg/ha/thn, dan meningkat

29 10 10 sampai 402 kg/ha/thn pada padang penggembalaan campuran dengan legum merambat Arachis pintoi. Di daerah tropis basah Ecuador pastura B. humidicola yang ditanam monokultur dengan 2 ekor sapi / ha memberikan hasil tambahan berat badan 0,56 kg/ekor/hari atau 406 kg/ha/tahun, sedangkan di daerah tropis basah Peru pastura campuran B. humidicola dan A.pintoi dengan tekanan penggembalaan 4 ekor/ha menghasilkan 0,43 kg/ekor/hari atau 619 kg/ha/tahun, sedangkan pastura monokultur B. humidicola dengan kapasitas tampung 4 ekor per hektar memberikan penambahan berat badan (pbb) harian 308 g/ekor/hari (Pereira et al., 2009). Nilai nutrien dan palatabilitas. Walaupun rumput ini daunnya kelihatan keras dan berserat tetapi nilai nutrisinya tergolong baik dengan kandungan protein kasar bervariasi antara 5-17 %. Di Colombia rumput ini pada umur defoliasi 6 minggu (rata-rata dari 54 koleksi), menghasilkan protein kasar 5,2 8,5% pada musim hujan, tetapi menurun menjadi 3,3 6,3 % pada musim kering. Rumput ini memiliki nilai kecernaan % dan menurun dengan cepat bila tidak di gembalakan ternak. Sebagai perbandingan pada satu percobaan pengaruh umur pemotongan 30, 60 dan 90 hari mendapatkan kisaran kandungan protein kasar 3,64 5,85 % pada panen awal (Djuned et al., 2005). Kandungan protein kasar Brachiaria hybrida Mulato berfluktuasi antara g/kg atau antara 9-17% dari bahan kering (CIAT, 2006). Selanjutnya Ginting dan Tarigan (2007) melaporkan bahwa rumput ini memiliki komposisi kimia sebagai berikut: bahan kering 321,3 g/kg berat segar. Kandungan nutrisi lainnya yang dinyatakan dalam bahan kering adalah bahan organik 916,2 g/kg, abu 83,6 g/kg, protein kasar 87,5 g/kg, NDF 709,1 g/kg dan ADF 358,6 g/kg. Rumput ini memiliki nilai palatabilitas yang moderat dibandingkan dengan banyak jenis rumput lain yang lebih lunak. Namun demikian rumput ini akan siap direnggut oleh ternak sapi bila berada pada pertumbuhan yang ideal dan berdaun lebat (Skerman and Riveros, 1990). Jenis rumput ini tidak beracun tetapi kekurangannya adalah produksi bijinya rendah dan seringkali tidak fertil. Oleh sebab itu perbanyakan rumput ini dilakukan secara vegetatif.

30 11 Keragaan Rumput ini dilaporkan juga sebagai jenis rumput merambat yang mampu menekan invasi gulma dan lebih persisten dibandingkan dengan rumput merambat lainnya, ketika digembalai ternak sapi secara kontinyu di areal pertanaman kelapa. Namun demikian sistem penggembalaan kontinyu mulai ditinggalkan karena meskipun jenis rumput yang toleran terhadap naungan telah digunakan, tetapi sistem ini kurang menjamin keselamatan pastura, sehingga fenomena kerusakan pastura masih tetap ada (Kaligis, 1998). Kerusakan tersebut masih terjadi diduga karena penggembalaan bebas tidak dapat memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan berkualitas secara tetap dibandingkan dengan sistem penggembalaan rotasi. Sistem yang terakhir ini menjadi pilihan, tetapi dengan konsekuensi harus menerapkan manajemen penggembalaan tepat yang oleh Gorder et al. (2005) dinamakan Biologically Effective Gazing Management Strategy. Sistem ini merupakan suatu sistem manajemen penggembalaan yang didasarkan pada kebutuhan biologis tanaman atau berdasarkan pada proses biogeokimia dalam ekosistem padang rumput. Persistensi Persistensi terukur sebagai kemampuan jenis hijauan untuk bertumbuh kembali setelah mengalami defoliasi, baik secara mekanik dengan mesin ataupun direnggut oleh ternak. Rumput perennial akan sangat produktif bila mengalami defoliasi, karena adanya rangsangan terhadap apikal meristem menjadi lebih aktif. Stimulasi pertumbuhan tajuk baru oleh defoliasi tidak konsisten selama masa produksi, dan dipengaruhi oleh tahap perkembangan fenologi, kondisi lingkungan, dan oleh frekuensi serta intensitas defoliasi. Pertumbuhan kembali pastura itu sendiri menurut pemahaman lama ditentukan oleh empat faktor utama yakni: (1) kemampuan survive dari shoot apex, (2) luas areal daun yang tersisa pada tunggul, (3) cadangan karbohidrat, dan (4) potensi pertumbuhan tajuk baru. Namun demikian selain keempat faktor tersebut, terdapat faktor (5) yakni peran lingkungan rizosfer, yang turut menentukan kecepatan pertumbuhan kembali setelah pastura direnggut. Dalam hal ini ketepatan waktu merumput dapat merangsang aktivitas mikroorganisme

31 12 12 tanah dan reproduksi vegetatif rumput (Manske, 2001; Gorder et al., 2005). Hal ini terkait dengan ketersediaan nitrogen (N) untuk tanaman yang turut ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme, sedangkan mikroorganisme itu sendiri membutuhkan suplai C mudah larut dari eksudat akar tanaman (Warembourg dan Esterlich, 2000). Peran cadangan karbohidrat sangat penting untuk bertumbuh kembali dan pemeliharaan jaringan, khususnya ketika bagian terbesar dari jaringan fotosintesis ikut terambil pada saat defoliasi (Pedreirra et al., 2000). Faktor lain yang menentukan persistensi adalah potensi pertumbuhan tajuk baru yang berbeda antar jenis rumput. Sebagai contoh rumput padang penggembalaan B. decumbens yang tidak memiliki baik stolon maupun rizoma, tetapi menghasilkan basal dan aerial tiller untuk pertumbuhan kembali setelah direnggut (Busque dan Herrero, 2001). Namun demikian dengan tekanan penggembalaan yang berat pada musim kemarau, ternyata kemampuan tumbuh kembali jenis rumput ini di lahan perkebunan kelapa sangat rendah, dibandingkan dengan B. humidicola yang berkembang secara vegetatif dengan stolon dan rizoma (Mullen et al., 1997). B. decumbens menghasilkan aerial tajuk, tetapi jenis tajuk ini tidak luput dari daya destruktif renggutan oleh ternak yang dapat mencapai tinggi terendah sekitar 5 cm di atas permukaan tanah. Sifat tumbuh seperti ini memungkinkan sebagian besar apical meristem dirusak oleh defoliasi atau renggutan (Newman, et al., 2002). B. humudicola yang berkembang dengan stolon akan lebih banyak basal tajuk, yang dalam struktur pastura posisinya lebih rendah dibandingkan dengan aerial tajuk. Pastura dengan sifat tumbuh yang memiliki stolon dan atau rizoma lebih toleran terhadap tekanan penggembalaan berat karena adanya meristem basal yang memiliki mata tunas/titik tumbuh. Idealnya adalah lebih banyak porsi atau bagian apical meristem yang tertinggal setelah perenggutan. Hal inilah yang memungkinkan tanaman persisten.

32 13 Fenologi dan Growing degree days (GDD) Fenologi adalah studi tentang perkembangan tanaman melewati beberapa tahapan pertumbuhan (Butler et al., 2002). Beberapa studi tentang hubungan tahapan perkembangan tanaman dengan thermal time telah dilakukan dengan mengukur tahap perkembangan daun, jumlah daun, dan filokron menunjukkan hasil bervariasi yang disebabkan oleh perbedaan saat pengukuran dimulai. Perbedaan tersebut terjadi karena tidak sama waktu pengukurannya, misalnya waktu semai vs waktu kecambah, demikian juga perbedaan lokasi, temperatur dan panjang hari. Filokron adalah karakteristik morfogenetik yang didefinisikan sebagai interval waktu yang dibutuhkan antara munculnya dua daun yang berurutan dan pengukurannya konstan bila diukur dengan satuan unit panas (Butler et al., 2002; Eggers et al., 2004). Dengan memahami ritme pemunculan daun, ritme pemunculan tajuk baru, disertai dengan variasi penggembalaan, memungkinan untuk menerangkan mengapa terjadi dominasi atau sebaliknya hilangnya jenis tanaman tertentu dari komunitas pastura, yang berdampak pada komposisi botanis pastura. Fotoperiode dan suhu adalah dua faktor lingkungan penting yang mempengaruhi perkembangan tanaman. Setiap tahapan perkembangan organisme, termasuk tanaman, mempunyai kebutuhan total panas tertentu. Perkembangan dapat diestimasi melalui besarnya akumulasi satuan bahang atau growing degee-days (GDD). GDD ini dihitung dengan menjumlahkan rataan suhu maksimum dan minimum harian dikurangi dengan suhu dasar. Suhu dasar adalah suhu minimum dimana tanaman dapat bertumbuh (Miller et al., 2001). Adanya hubungan yang erat antara jumlah daun dan GDD mendukung pernyataan bahwa suhu adalah faktor utama yang mengontrol kecepatan munculnya daun pada tanaman rumput (Buttler et al., 2002). Pembentukan sehelai daun melalui beberapa proses di antaranya : pembelahan sel pada tingkat shoot apex membentuk primordium, pembelahan sel dalam intercalary meristem membentuk sel, dan yang kemudian berkembang menjadi daun. Pembelahan sel dan kecepatan pemunculan daun lebih dominan dikontrol oleh suhu, tetapi

33 14 14 pengembangan sel lebih banyak oleh faktor lain dan bukan saja suhu (McMaster et al., 2003). Komponen daun merupakan salah satu tolok ukur baik tidaknya satu jenis rumput sebagai pakan. Hal ini berarti kecepatan pemunculan daun dan panjang waktu hidup khususnya fase perkembangan vegetatifnya menjadi sangat penting. Di daerah sub tropis kecepatan pemunculan daun pada jenis rumput bervariasi sesuai dengan waktu/saat tanam, dimana nilai filokron per daun bervariasi dari DD, sedangkan perkembangan tajuk bervariasi dari DD, dan ini sangat dipengaruhi temperatur (Chauvel et al., 2000). Perkembangan morfologi hijauan pakan dapat digunakan untuk menetapkan saat panen tanaman alfalfa, dan memprediksi kualitas rerumputan musim panas, dan waktu penggembalaan rerumputan musim dingin (Mitchell et al., 2001). Penggunaan growing degree days yang lazim disingkat degree days (DD) untuk prediksi tahapan perkembangan tanaman lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan hari kalender. Hal ini terjadi karena suhu dapat bervariasi sangat besar sepanjang waktu perkembangan tanaman, sehingga penggunaan calendar days (CD) berpotensi kesalahan sekitar 10 hari CD, sedangkan dengan menggunakan DD, eror terjadi hanya 2-3 CD pada tanaman gandum (Miller et al., 2001). Kesalahan prediksi sebesar itu akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kembali padang penggembalaan setelah direnggut. Mengingat salah satu faktor yang menentukan persistensi dan pertumbuhan kembali adalah tersedianya cadangan karbohidrat serta penggunaannya dalam waktu yang relatif pendek, yakni dimulai pada saat setelah digembalai sampai beberapa hari kemudian (Humphreys, 1991). Selanjutnya studi tentang hubungan suhu dan tahap perkembangan tanaman perlu dikembangkan karena sangat berguna dalam menetapkan manajemen penggembalaan pada sistem penggembalaan intensif. Hal ini penting dipertimbangkan karena gerakan ternak merumput di padang penggembalaan mengikuti dan tergantung pada kecepatan tumbuh tanaman dan kandungan karbohidrat mudah larut ( Dawson et al., 2000).

34 15 Defoliasi dan Cadangan Karbohidrat Kemampuan hijauan untuk bertumbuh kembali setelah defoliasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya tersedia cukup titik tumbuh dan energi cadangan (Wijitphan et al., 2009), dan oleh tingkat perkembangan tanaman pada tahap perkembangan vegetatif yang optimal (Gorder et al., 2005 ).. Nilai manfaat dari rumput sebagai hijauan pakan, tidak hanya diukur dari produksi biomassa secara potensial dan nilai kecernaan hijauan, tetapi dari produksi riil berupa hasil ternak (Humphreys, 1991). Hal ini sangat berhubungan dengan perubahan struktur dari tajuk, seperti panjangnya lamina/daun, lamanya masa pertumbuhan daun, dan kecepatan munculnya daun. Karakteristik tajuk berupa panjang dan umur lamina, dan jumlah daun per tajuk merupakan karakter spesifik jenis rerumputan, yang ditentukan juga oleh kondisi lingkungan pertumbuhan seperti temperatur dan intensitas defoliasi (Duru dan Ducrocq, 2000). Karakteristik ini mempengaruhi nilai kecernaan rumput selama proses pertumbuhannya (Root, 2000). Alokasi penyimpanan karbohidrat bervariasi dan menentukan kemampuan persistensi tanaman. Pada umumnya tanaman rumput yang menyimpan cadangan karbon pada bagian batang kurang persisten, dibandingkan dengan yang menyimpan pada bagian tunggul, akar dan rizoma. Dengan demikian pada kondisi ternaung dianjurkan menggunakan jenis rerumputan pastura dengan sifat tumbuh prostrat (merambat) karena jenis ini berkemampuan mempertahankan titik-titik tumbuh yang lebih banyak dibandingkan jenis rumput dengan sifat tumbuh erect (tegak). Pada rerumputan dengan sifat tumbuh tegak akan lebih banyak bagian tanaman yang rusak setelah direnggut oleh ternak ( Diaz-Filho, 2000). Namun demikian anjuran tersebut tidak berlaku pada tanaman rumput padang penggembalaan dengan sifat tumbuh merambat dan memiliki stolon maupun rizoma (Gueni et al., 2008). Tanaman rumput yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas seperti pada padang penggembalaan di lahan perkebunan kelapa selalu diperhadapkan dengan keterbatasan cahaya karena terjadi pemadatan populasi. Terdapat perbedaan respons morfologis dan fisiologis pada tanaman dalam kondisi

35 16 16 ternaung. Tanaman yang toleran naungan akan menutup stomata lebih lama, dan memiliki aktifitas ensim fotosintesis yang tinggi serta relatif stabil (Chozin et al., 2000). Penimbunan cadangan karbohidrat sangat terkait dengan intensitas proses fotosintesis dan tidak terlepas dari jumlah cahaya matahari yang terserap. Konsentrasi karbohidrat siap pakai/ TNC (total nonstructural carbohydrat) pada tanaman pastura lebih banyak bila dipanen petang hari dari pada pagi hari. Hal ini terjadi karena tanaman yang dipanen waktu petang menyimpan lebih banyak gula dan memiliki nilai makan tertinggi. Nilai tersebut terukur pada tingkat preferensi ternak yang tinggi demikian juga efisiensi kecernaan dalam rumen (Downing dan Gamroth, 2007). Meningkatnya konsentrasi TNC dalam hijauan rumput menaikkan nilai energi rumput, dan turut meningkatkan efisiensi rumput untuk produksi susu dan pertambahan berat badan ternak ruminansia. Frekuensi defoliasi yang terlalu sering dapat mengurangi konsentrasi total karbohidrat mudah larut air pada komponen akar dan crown, yang selanjutnya mengurangi vigorositas dan produktivitas dari tanaman yang terdefoliasi (Sosebee et al., 2004). Hal ini disebabkan karena fungsi dan pertumbuhan akar sangat tergantung pada energi yang tersedia dari hasil fotosintesis. Setelah terdefoliasi, akar berfungsi terus sebagai karbon sink, tergantung pada keberlanjutan suplai karbon dari bagian tanaman di atas tanah yang aktif sebagai organ fotosintesis. Secara umum berlaku bahwa bobot akar akan berkurang ketika frekuensi defoliasi meningkat pada jenis rerumputan perenial (Flemmer et al., 2002). Namun hal ini tidak berlaku untuk semua jenis tanaman rumput, sebab pada tanaman rumput Poa ligularis tidak terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan akar, biomasa akar dan crown, dan tingkat hidup akar antara tanaman terdefoliasi dan kontrol. Hal ini memberi petunjuk bahwa asimilat terus ditranslokasi untuk pertumbuhan akar walaupun pada frekuensi defoliasi yang berat, yang menyebabkan rumput ini persisten sebagai padang penggembalaan (Gittins et al., 2010).

36 17 Pada kondisi lingkungan cukup cahaya, rumput B.humidicola dengan sifat tumbuh berstolon, translokasi karbonnya lebih terarah ke kolonisasi horisontal yaitu ke stolon, sedangkan B.brizantha yang tidak memiliki stolon alokasi C diarahkan ke daun dan akar. Cadangan energi pada tanaman yang akan digunakan untuk pertumbuhan kembali, akan berkurang sampai 47% bila tunggul terdefoliasi sampai lebih rendah dari 5 cm di atas permukaan tanah (Meints, et al., 2001). Hal ini disebabkan selain akar dan crown, tunggul juga tempat penyimpanan cadangan energi. Ketika tanaman mengalami defoliasi, kandungan TNC pada crown dan tunggul pada awalnya menurun sebagai respons terhadap defoliasi, sebab proses fotosintesis dan jaringan dimana tanaman menghasilkan fotosintat terganggu (Diaz-Filho, 2000). Dalam proses pemulihan setelah terenggut berbagai mekanisme berjalan secara bersamaan. Karbon hasil fotosintesis dari tajuk yang tidak terdefoliasi dialokasikan ke bagian jaringan meristematik aktif dari tajuk yang terenggut untuk pertumbuhan kembali (Flemmer et al., 2002). Selanjutnya diikuti dengan peningkatan aktivitas fotosintesis pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk, yang bersinergi dengan naiknya intensitas penyinaran akibat perubahan mikroklimat pastura (Thornton et al., 2000). Lahan Perkebunan Kelapa Luas lahan perkebunan kelapa di Indonesia mencapai kurang lebih 2,9 juta ha. Sulawesi Utara termasuk satu diantara penghasil kopra terbesar di Indonesia dengan luas areal ha, sekitar 80 % dikelola oleh petani (DitJen Bina Prod Perkebunan, 2002). Namun demikian penggunaan lahan di areal pertanaman kelapa melalui kegiatan tumpangsari belum optimal karena beberapa alasan, dan salah satunya adalah keterbatasan tenaga kerja dalam keluarga petani. Menurut Sondakh dan Kaligis (1991) dari 200 petani kelapa di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa semakin luas pemilikan lahan pertanian kelapa semakin rendah yang ditumpangsarikan karena keterbatasan tenaga kerja. Kisaran pemilikan lahan oleh petani tersebut di atas antara 0,5-1,35 ha, dan 70 % menerapkan praktek tumpang sari dengan berbagai tanaman sela. Sedangkan

37 18 18 pemilikan lahan lebih besar dari 3,5 ha hanya 25% memanfaatkan lahan dengan tanaman sela. Sisanya ditumbuhi gulma, yang sesungguhnya berpotensi untuk di tumpangsari dengan pastura yang tidak memerlukan biaya tenaga kerja yang tinggi. Beberapa karakteristik di bawah ini menunjukkan peluang tumpangsari dengan tanaman kelapa sebagai berikut : 1. Jarak tanam dan konfigurasi penanaman apakah rectangular, square atau triangular, apabila ditanam monokultur hanya sekitar 25% lahan yang digunakan secara efektif (Darwis dan Tarigan, 1990). Magat (1990) menyatakan bahwa produktivitas lahan maksimum adalah sekitar 280,5 ton BK/ha/tahun (770 kg/ha/hari). Tanaman kelapa dengan hasil 100 butir kelapa/pohon/tahun produktivitas lahan hanya 18,70 ton BK/ha/tahun, atau setara 6,6% dari potensi prduktivitas maksimum. Untuk tanaman kelapa yang menghasilkan 200 butir /pohon/tahun, produktivitas lahan per tahun 35,5 ton bahan kering (BK) / ha, atau setara 12,6% dari potensi produktifitas maksimum. 2. Dari segi morfologi, tanaman kelapa hanya menggunakan kurang dari % ruang udara yang tersedia antara kanopi dan tanah. 3. Ditinjau dari keadaan alamiah kanopi daun kelapa dan proporsi radiasi matahari yang menembus permukaan tanah, ternyata tidak semua radiasi matahari terserap oleh kanopi tanaman kelapa, dan masih tersedia sekitar 56% ruang yang dapat dimanfaatkan untuk tumpangsari, walaupun hal ini bervariasi menurut umur dan jarak tanam kelapa (Gambar 2). 4. Kedalaman perakaran kelapa kebanyakan berada antara cm pada lapisan tanah dalam radius 2 meter sekitar pohon kelapa, berarti masih tersisa % tanah yang tidak atau kurang dimanfaatkan (Gambar 2). Gambar 2. Skematik ruang yang tersedia untuk tumpangsari di bawah tegakan Kelapa (Magat 1990).

38 19 Manajemen Penggembalaan Produksi ternak sapi daging dan sapi susu di negara berkembang dengan luas lahan yang terbatas seperti di Eropah, saat ini menjadi perhatian bidang lingkungan hidup karena dianggap bertanggung jawab terhadap kontaminasi sumber air tanah dan udara oleh polutan N dan P. Terlepasnya sejumlah besar N melalui penguapan amonia berasal dari urine, dikenal sebagai salah satu penyebab terjadinya hujan asam, yang dapat menimbulkan kontaminasi nitrat dalam air tanah. Hal yang sama terjadi juga yang terjadi di USA, Australia dan New Zealand (Follett and Reed, 2010). Ternak sapi dan padang penggembalaan juga bertanggung jawab terhadap emisi gas-gas rumah kaca terutama gas metan (CH 4 ) dan gas N 2 O.. Diperkirakan kurang lebih 20% emisi gas metan, dan antara 16% dan 33% gas N 2 berasal dari kegiatan pertanian di padang penggembalaan (Clark et al., 2005). Dilaporkan juga bahwa padang penggembalaan yang menerapkan prinsip manajemen penggembalaan ternak dengan baik, ternyata mampu meningkatkan kandungan karbon ( C ) dalam tanah. Bahkan dilaporkan juga bahwa jika lahan pertanian yang kurang produktif dikonversi menjadi padang penggembalaan dapat meningkatkan 3%-5% karbon organik tanah. Demikian juga jika sistem penggembalaan kontinyu diganti dengan sistem penggembalaan rotasi, dapat mempertahankan tanaman berada pada fase perkembangan vegetatif, karena sistem terakhir ini mampu meningkatkan penangkapan C melalui kecepatan fotosintesis yang tinggi ketika terjadi pertumbuhan kembali setelah terenggut (NCRS, 2006). Penggembalaan ternak mempengaruhi penimbunan karbon dalam tanah. Gao et al. (2007) menemukan karbon organik tanah pada kedalaman 10 cm sangat nyata lebih tinggi pada tekanan penggembalaan berat dibandingkan dengan tekanan penggembalaan ringan dan medium, tetapi perlakuan ini tidak memberi pengaruh nyata pada kedalaman 10 cm - 20 cm demikian juga 20 cm - 30 cm. Tingginya total C pada komponen tanaman dan komponen tanah pada tekanan penggembalaan berat mungkin disebabkan karena adanya rangsangan penggembalaan yang dapat meningkatkan biomassa. Akar sangat penting fungsinya sebagai sink untuk C dan N di padang penggembalaan, dan biomassa akar yang besar dapat memberikan kontribusi lebih banyak C dan N ke dalam

39 20 20 tanah. Selanjutnya dilaporkan bahwa ternak herbivora besar dapat mengontrol ekosistem padang penggembalaan melalui dua mekanisme utama yaitu pertama perenggutan oleh ternak akan menginduksi terjadinya perubahan dalam ekofisiologi tanaman, dan yang kedua adalah ketersediaan unsur nitrogen disebabkan oleh kehadiran ternak ruminant melalui pembuangan kotoran dan air seni (Mikola et al., 2009). Strategi penggembalaan telah dikembangkan untuk mengontrol waktu penggembalaan, intensitas dan frekuensi perenggutan, dan kesukaan ternak terhadap hijauan untuk mencapai respons optimal yang diinginkan, baik oleh tanaman maupun juga oleh ternak (Mousel et al., 2005). Pada umumnya sistem penggembalaan ternak dianggap memuaskan, apabila hanya terjadi dampak negatif yang minimal terhadap vigoritas tanaman. Selanjutnya vigorisitas tanaman sering diukur secara kuantitatif pada taraf ketersediaan cadangan karbohidrat pada organ tanaman di atas maupun di bawah tanah, yang akan digunakan oleh anakan yang terdefoliasi untuk pemulihan jaringan fotosintesis. Penggembalaan yang tidak teratur pada padang penggembalaan tropis menyebabkan ketersediaan produksi biomassa hijauan yang rendah, sebaliknya banyak tertimbun material bulky yang dapat menghambat akses ternak untuk merumput. Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput. Sebagai contoh jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan memberi keragaan ternak terbaik pada struktur padang penggembalaan dengan tinggi kanopi 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang ideal untuk direnggut oleh ternak, dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002). Struktur padang penggembalaan sangat dipengaruhi oleh sistem penggembalaan yang berbeda. Terdapat dua jenis sistem penggembalaan yakni penggembalaan kontinyu dan penggembalaan rotasi. Pada penggembalaan kontinyu ternak diberi akses ke seluruh areal padang rumput sepanjang musim produksi, sedangkan penggembalaan rotasi pastura digembalai berdasarkan regulasi interval sesuai dengan umur pertumbuhan kembali setelah direnggut, atau ternak berada pada satu pedok dalam waktu relatif singkat untuk kemudian dipindahkan ke pedok berikutnya (Mayne et al., 2000). Hasil penelitian pada

40 21 umumnya menunjukkan bahwa antara kedua sistem penggembalaan tidak selalu memberikan hasil berbeda terhadap produksi ternak. Yang menonjol adalah perbedaan stocking rate (SR) atau tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem penggembalaan tersebut. Walaupun demikian sistem penggembalaan rotasi selalu menunjukkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan penggembalaan kontinyu, terutama terkait dengan perbedaan tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem. Keunggulan tersebut di antaranya adalah pada sistem rotasi dengan tekanan penggembalaan tinggi, memberikan kenaikan hasil susu per induk sapi sebesar 16 %, dibandingkan dengan hanya 4 % pada tekanan penggembalaan rendah, dan produksi susu tersebut lebih rendah pada sistem penggembalaan kontinyu. Selanjutnya keunggulan sistem rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bernilai gizi, serta lebih disukai ternak (Newman et al., 2002). Perenggutan mengurangi dengan sangat nyata biomassa rumput yang mati dan rumput kering, sedangkan tanpa perenggutan, 72% dari biomassa tanaman / rumput di atas tanah adalah mulsa dan tanaman kering (Schuman et al., 1999). Rendahnya proporsi mulsa dan material kering pada padang penggembalaan yang digembalai memiliki kecepatan pertukaran CO 2 melalui proses fotosintesis yang tinggi oleh karena penetrasi cahaya yang cukup banyak dapat mencapai bagian tanaman paling bawah yang hijau. Hal ini diikuti pula dengan naiknya suhu iklim mikro dekat permukaan tanah yang merangsang pemunculan tunas-tunas baru (McMaster et al., 2003). Peningkatan tekanan penggembalaan tidak hanya berpengaruh menurunkan jumlah mulsa dan tanaman kering, tetapi juga berpengaruh terhadap siklus nitrogen pada ternak dan tanaman. Dari satu studi yang mempelajari siklus N pada padang penggembalaan Brachiaria menunjukkan bahwa dengan naiknya tekanan penggembalaan dari 2 ekor ternak sapi menjadi 4 ekor, dapat menaikkan jumlah konsumsi N oleh ternak dari 94 kg/ha/tahun menjadi 158 kg/ha/tahun, dan sebaliknya menurunkan deposit kandungan N pada komponen mulsa dari 170 kg/ha menjadi 105 kg/ha (Boddey et al., 2004).

41 22 22 Manske dan Caesar Ton That (2002) melaporkan bahwa penggembalaan ternak selama 135 hari dengan sistem rotasi dua kali, memberikan pertambahan berat hidup anak sapi sebesar 19,5 kg/acre atau 9,06 kg/ha, sedangkan pada penggembalaan kontinyu hanya 9,5 kg/acre atau 4,41 kg/ha. Dengan sistem penggembalaan rotasi dua kali dalam waktu 135 hari, ternyata jumlah ternak yang dapat digembalakan meningkat lebih tinggi dibandingkan pada sistem penggembalaan kontinyu. Daya tampung ternak dapat meningkat pada sistem rotasi karena sistem tersebut dapat menyediakan biomassa hijauan yang siap direnggut sebanyak 15 % lebih tinggi dari penggembalaan kontinyu sepanjang waktu penggembalaan yang sama (Manske, 2003c). Newman et al. (2002) melaporkan bahwa sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bergizi. Pencapaian penambahan berat badan ternak sapi daging di padang penggembalaan terutama ditentukan oleh jumlah hijauan yang terkonsumsi. Karena itu sistem penggembalaan sapi daging yang efisien adalah bertujuan untuk memaksimumkan jumlah hijauan yang terenggut oleh ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentu utama hijauan yang terkonsumsi per hari oleh ternak sapi adalah jumlah hijauan setiap renggutan. Jumlah ini ditentukan juga oleh tinggi rendahnya kanopi pastura yang dapat ditentukan oleh tekanan penggembalan (Newman et al., 2002). Di daerah beriklim dingin dilaporkan bahwa berat hidup maksimum sapi daging yang digembalakan secara kontinyu diperoleh pada tinggi kanopi padang penggembalaan antara 8-10 cm. Apabila tinggi tanaman lebih dari ketinggian tersebut karena bertambahnya umur tanaman, maka pertambahan berat hidup ternak sapi mulai menurun karena berkurangnnya nilai kecernaan hijauan rumput (Mayne et al., 2000). Hipotesis umum mengatakan bahwa frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman rumput. Pengaruh tersebut adalah penurunan produksi biomassa bahan kering hijauan di atas dan di bawah tanah, konsentrasi dan kandungan karbohdrat mudah larut (TNC), dan terjadi kematian akar (Sosebee et al., 2004). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa

42 23 pertumbuhan akar akan berhenti dalam 24 jam setelah pengambilan 50% atau lebih bagian pucuk tanaman. Selanjutnya kematian dan dekomposisi akar akan terjadi 36 sampai 48 jam setelah tekanan penggembalaan berat sehingga terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam pemulihan jaringan fotosintesis (Mousel et al., 2005). Hipotesis tersebut berbeda dengan hasil penelitian belum lama ini yang menyatakan bahwa dengan naiknya frekuensi defoliasi dari satu kali, dua kali dan tiga kali pertahun, menghasilkan bahan kering biomassa di atas dan di bawah tanah meningkat. Dilaporkan juga bahwa produksi dan dinamika akar tidak terpengaruh, bahkan konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar meningkat bila frekuensi defoliasi naik dari tiga kali menjadi lima kali setahun (Gittins et al.,2010). Setelah perenggutan oleh ternak, komponen daun dan bagian hijau dari tanaman yang tertinggal akan terus berfotosintesis, sambil menggunakan fotosintat untuk membentuk jaringan baru pada bagian tanaman di atas tanah. Tanaman juga membangun massa organ batang dan rizoma yang akan menjadi penyimpan fotosintat dalam bentuk karbohidrat mudah larut (Interrante et al., 2009). Stocking rate atau jumlah ternak per satuan luas yang tepat dalam waktu tertentu tidak saja memberikan pengaruh morfologis pada pertumbuhan kembali tanaman, tetapi juga memberikan pengaruh positif pada proses simbiose mutualistis yang terjadi pada lingkungan perakaran rumput. Pengaruh positif ini terjadi bila perenggutan dengan tekanan penggembalaan tersebut diterapkan pada tahap pertumbuhan rumput yang tepat, akan optimal memenuhi kebutuhan biologis tanaman padang penggembalaan ( Gorder et al., 2005). Konsentrasi protein kasar (PK) pada semua kultivar rumput bahiagrass atau Paspalum notatum pada umur frekuensi penggembalaan 2 sampai 5 minggu adalah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan PK induk sapi daging yang sedang laktasi yaitu sebanyak 90 sampai 100 g/kg rumput dan induk muda yang sedang menyusui membutuhkan PK sebanyak 100 sampai 120 g/kg rumput menurut NRC Bila umur penggembalaan ditunda sampai umur 7 minggu maka konsentrasi PK akan menurun dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan induk sapi daging yang laktasi (Vandramini et al., 1999). Penelitian

43 24 24 lain menunjukkan hasil yang sejalan, dimana terjadi penurunan kecernaan in vitro bahan organik rumput bahiagrass dari 678 g/kg (67,8%) pada umur 20 hari, menjadi 448 g/kg (44,8%) pada hari ke 50. Demikian juga dengan konsentrasi PK dari 145 g/kg pada umur 20 hari menjadi 97 g/kg pada umur 50 hari. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa untuk mempertahankan keseimbangan produksi BK dan PK rumput tersebut direkomendasikan waktu penggembalaan yang ideal pada umur 30 hari (Haddad et al., 1999). Sebelumnya dilaporkan bahwa rumput B. humidicola mempunyai nilai kecernaan in vitro bahan organik (BO) atau in vitro digestible organic matter (IVDOM) 80 g/kg (8%) lebih tinggi dibandingkan dengan rumput bahiagrass pada umur penggembalaan 21 hari. Kebutuhan hijauan segar akan semakin tersedia dengan bertambahnya umur tanaman, namun sebaliknya kualitasnya akan menurun karena adanya biomassa daun semakin lebat dan mulai terjadi keterbatasan penetrasi cahaya yang diikuti dengan turunnya kecepatan fotosintesis daun (Braga et al., 2008). Lingkungan Rizosfer dan Pertumbuhan Tajuk Baru Dengan semakin gencarnya isue pencemaran lingkungan yang berdampak negatif terhadap konsumen produk pertanian, orang cenderung mulai membatasi penggunaan pupuk sintetik terutama dalam produksi hijauan tanaman pakan. Di negara-negara maju atau berkembang keamanan pangan sangat diperhatikan, sehingga pengembangan padang penggembalaan ternak semakin mengandalkan sumber daya tanah yang terbatas, dengan mengoptimalkan interaksi antara komponen ternak, akar tanaman rumput dan mikroorganisme lingkungan tanah rizosfer. Dalam hal ini ketersediaan unsur karbon dan nitrogen tanaman diutamakan diperoleh dari hasil simbiosis mutualistik antar komponen tersebut. Suatu strategi untuk memberdayakan semua potensi yang ada pada komponen tanaman, tanah dan mikroorganisme dalam lingkungan rizosfer perakaran rumput yang oleh Gorder et al. (2005) menamakan biologically effective grazing management strategy. Padang rumput yang digembalai ternak, pembuangan urine oleh ternak turut mempengaruhi komunitas mikroorganisme tanah. Dengan demikian padang penggembalaan dengan daya tampung ternak lebih tinggi, akan

44 25 menaikkan ketersediaan hara tanah yang berasal dari ekskreta ternak, yang kemudian akan merangsang pertumbuhan bakteri tanah. Dalam satu percobaan defoliasi secara reguler menurunkan total biomasa bakteri tanah, tetapi dengan penambahan urine, pertumbuhan bakteri terstimulasi dan populasi meningkat (Dawson et al., 2000). Informasi baru mengatakan bahwa komunitas bakteri lebih banyak berkembang pada kondisi padang penggembalaan dengan tingkat defoliasi sedang pada fase vegetatif (Girma et al., 2007). Ketika tanaman didefoliasi pada tahap perkembangan tersebut eksudat akar yang mengadung glukosa dan asam amino yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini terjadi karena tanaman rumput yang terdefoliasi akan melepaskan unsur C melalui eksudat akar, yang pada gilirannya akan merangsang aktivitas mikroorganisme tanah dan reproduksi vegetatif rumput (Gorder et al., 2005). Defoliasi merangsang pengeluaran C melalui eksudat akar 1,5 kali lebih banyak dibandingkan tanpa defoliasi, yang diikuti dengan meningkatnya massa mikroba tanah sebanyak 1,5 kali pada lingkungan tanah rhisosfer, dan memberikan umpan balik positif terhadap pool N anorganik tanah sebanyak 1,2 kali dan kandungan N daun sebanyak 1,5 kali (Hamilton et al., 2008). Stimulasi pertumbuhan tajuk baru oleh defoliasi tidak konsisten sepanjang masa pertumbuhan dan sangat dipengaruhi oleh tahap perkembangan (fenofase), kondisi lingkungan dan frekuensi serta intensitas defoliasi. Manajemen padang penggembalaan melalui renggutan ternak herbivora memiliki pengaruh keuntungan terbesar jika direncanakan untuk merangsang dua mekanisme yang berperan penting bagi pertumbuhan kembali tanaman setelah direnggut, yakni: (1) pertumbuhan tajuk vegetatif dari tunas ketiak dan (2) aktivitas simbiose mikroorganisme rhisosfer tanah (Kuzyakov, 2002). Manajemen penggembalaan ternak akan berhasil mempertahankan ekosistem padang penggembalaan apabila waktu perenggutan yang tepat diterapkan pada tahap fenofase perkembangan rumput yang ideal (dilihat dari aspek biogeokimia), dimana mekanisme peresistensi dari rumput terstimulasi. Manske (2001) menemukan saat penggembalaan yang paling tepat untuk Western Wheatgrass adalah antara tahap perkembangan daun ke-3,5 sampai tahap perkembangan sebelum berbunga (Gambar 3).

45 26 26 Produksi padang penggembalaan dipertahankan oleh adanya daur ulang unsur N dan P yang disebabkan oleh aktivitas mikro organisme tanah, sedangkan pertumbuhan mikro organisme tersebut tergantung pada ketersediaan unsur C rhisosfer. Kurang lebih % dari total asimilat karbon pada tanaman rumput ditranslokasii ke struktur tanaman bagian bawah atau perakaran. Secara alamiah dari total asimilat tersebut, % digunakan untuk respirasi akar yang menghasilkan energi bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan proses angkutan, sedangkan yang % lainnya dilepaskan melalui eksudat akar ke dalam tanah (Kuzyakov, 2002). Proses biogeokimia yang terjadi dalam lingkungan rizosfer lebih banyak berhubungan dengan proses simbiose mutualistis antara tanaman rumput dan kehidupan mikroorganisme tanah yang berkaitan dengan aliran C dan N (Hamilton dan Frank, 2001). Simbiose ini terlihat lebih sering terjadi pada padang penggembalaan dibandingkan pada lahan yang ditanami tanaman pangan, karena pada tanaman pangan akan dipanen pada tahap reproduksi. Pada fase reproduksi suplai C dari tanaman ke lingkungan rhisosfer sangat menurun karena karbon tersebut lebih diprioritaskan untuk keperluan pembentukan biji, dari pada untuk pertumbuhan vegetatif (Manske et al., 2002; Gorder et a.l, 2005). Pada fase vegetatif, nitrogen terakumulasi pada bagian tajuk dan karbon terakumulasi pada bagian akar dalam keadaan seimbang. Ketika defoliasi atau perenggutan akan terjadi ketidak seimbangan N dan C pada tanaman. Dengan demikian secara otomatis tanaman melepaskan C melalui eksudat akar ke lingkungan rizosfer, sampai keseimbangan tercipta kembali (Kuzyakov, 2002). Defoliasi atau perenggutan pada fenofase antara daun ke-3,5 sampai sebelum berbunga merangsang pelepasan C dari tanaman yang terdefoliasi ke lingkungan risosfer. Karbon tersebut digunakan untuk aktivitas mikroba tanah, yang pada gilirannya meningkatkan mineralisasi N organik tanah yang akan digunakan kembali untuk memenuhi kebutuhan perkembangan tanaman. Defoliasi juga merangsang pertumbuhan konpensasi tanaman yang cepat sehingga menunjukkan kecepatan tumbuh kembali yang tinggi menyamai kecepatan tumbuh tanaman kontrol yang tidak terdefoliasi (Gittins et al., 2010). Dalam

46 27 proses pertumbuhan kembali yang cepat tersebut, akan diikuti oleh penggunaan CO 2 oleh tanaman lebih cepat dan dalam jumlah banyak sehingga dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi akumulasi CO2 atmosfir sebagai upaya mengatasi ( mitigasi) terjadinya pemanasan global (Zhao et al., 2008). Gambar 3. Anakan rumput pada tahap perkembangan daun ke 3,5 (Sumber Manske, 2001).

47 28 28 Gambar tingkat 4. Hubungan antara tahapan perkembangan daun dan karbohidrat mudah larut. (Sumber : Mayland et al., 2000) Penggembalaan ternak dapat mempengaruhi interaksi antara vegetasi dan tanah melalui beberapa cara antara lain : (1) mempengaruhi arus karbon rizosfer, diversitas dan aktivitas mikroorganisme tanah, (2) urine dapat mempengaruhi dinamika unsur hara di daerah risosfer dalam hal menaikkan ph tanah, (3) penambahan N dari urine dapat mempengaruhi kompetisi pengambilan unsur hara antara mikroba dan akar rumput. Namun demikian penerapan manajemen penggembalaan yang tepat (Biologically Effective Gazing Management) ternyata dapat memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan rhisosfer yang tercermin pada produktivitas padang penggembalaan dan ternak (Gorder et al., 2005). Rumput B. humidicola dilaporkan sangat aktif menghasilkan eksudat akar yang mempunyai kemampuan untuk inhibisi N secara biologis (biological nitrification inhibition) dalam volume yang besar yaitu antara 17 sampai 50 ATU (allylthiourea unit) per gram akar kering per hari (Gambar 5 dan 6). Aktivitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah seperti kelembaban, suhu, tekstur, ph, bahan organik dan populasi mikrobia. Banyak tanaman mempunyai + - kemampuan asimilasi baik NH 4 maupun NO 3, karena itu proses nitrifikasi

48 29 tidak perlu dominan dalam siklus nitrogen agar supaya terjadi peningkatan efisiensi penggunaan N karena berkurangnya N yang tercuci (CIAT, 2009; Subbarao et al., 2009). Penggunaan pupuk nitrogen buatan secara keseluruhan dalam kegiatan pertanian pada umumnya diperkirakan kurang lebih 100 Tg (juta mega gram), dan sekitar 70% dari jumlah tersebut hilang melalui proses-proses dalam nitrifikasi (Subbarao et al., 2006a) yang setara dengan 17 miliar US $. Selain itu ditambah lagi dengan biaya yang tidak diketahui dari konsekuensi lingkungan seperti polusi nitrat pada air tanah, eutrofikasi permukaan air dan polusi atmosfir, hujan asam dan pemanasan global (Giles, 2005). Untuk mencegah hilangnya unsur nitrogen tersebut, telah dipasarkan inhibitor sintetik dengan harga yang relatif mahal seperti Nitrapyrin (Subbarao et al., 2006a) dan eco-n (Guss, 2011). Dengan adanya kemampuan Brachialactone yang dihasilkan B. humidicola sebagai bahan untuk penghambat nitrifikasi, substans ini berpeluang untuk digunakan bersama dengan pupuk nitrogen komersial (Ipinmoroti et al., 2008). NH 4 + NO 3 - Gambar 5. Akar dari B. humidicola yang melepaskan brachialactone yang menghambat nitrifikasi ( Sumber : CIAT 2009).

49 30 30 Gambar 6. Proses biologi dalam pengaturan penghambatan nitrifikasi dan emisi gas N 2 O oleh B.humidicola cv. Tully ( Sumber : CIAT 2009). Arbuskula mikoriza pada lingkungan perakaran rumput lebih tinggi pada padang penggembalaan yang digembalai dibandingkan dengan yang tidak digembalai. Frekuensi pemunculannya dua kali lebih banyak, dan tiga kali lebih banyak pada padang penggembalaan yang digembalai dari pada yang tidak digembalai. Oleh karena itu mengakibatkan penggembalaan selalu memperbaiki kesehatan padang penggembalaan dan produktivitas tanah. Disamping meningkatkan aktivitas komunitas mikroba tanah (Aragona, 2010), penggembalaan juga dapat mengubah jumlah dan komposisi komunitasnya (Patra et al., 2005).

50 31 KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola Growth and Development Characteristics of the New Tiller of Brachiaria humidicola ABSTRAK Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari besarnya kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron, karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B. humidicola. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado, mulai April 2008 sampai dengan Juli Variabel yang diukur adalah satuan bahang harian atau growing degree days (GDD) untuk tanaman tunggal dan untuk tanaman yang tumbuh dalam komunitas, pertumbuhan dan perkembangan vegetatif yang diukur pada jumlah anakan, jumlah buku/stolon dan panjang stolon. Data dianalisis dengan menggunakan rata-rata dan standar deviasi, serta hubungan regesi antara variabel yang diukur dengan waktu tumbuh (minggu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan akumulasi satuan bahang harian 130,44 0 C (GDD) lebih banyak dari pada tanaman tunggal 68,19 0 C (GDD). Selanjutnya jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon pada tanaman yang tumbuh dalam komunitas berkembang mengikuti persamaan kuadratik terhadap waktu (minggu). Sebaliknya pada tanaman tunggal variabel jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon berkembang mengikuti persamaan regesi linier. Kata kunci : satuan bahang, filokron, buku, stolon, anakan ABTRACT The aims of the study were to determine the requirements of heat unit to produced one phylochron of B. humidicola and to find-out the gowth and development characteristics of this grass. The experiment was conducted at coconut research center area (BALITKA) Manado since April 2008 until July The variables consisted of Growing degree days (GDD) for individual plant and plants were grown in community, growth and development based on the numbers of tillers, numbers of nodes, and length of stolon. Data were calculated with simple analysis of the mean and the standard deviations, and the regesion equations.the results shows that plants grown in the community needs heat unit at C day (GDD), higher than those grown individually needs heat unit at C day. Furthermore, the numbers of tillers, the numbers of nodes and the lenght of stolon developed quadratically for the plants grown in community, while the plant grown individully developed linierly againt time (week). Key words : GDD, phyllochron, nodes, stolon, tillers

51 32 32 Pendahuluan Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi filokron adalah suhu. Kebutuhan satuan bahang dapat ditentukan dengan menghitung menghitung thermal time dalam growing degree days atau yang lazim disingkat degree days (DD). Namun demikian pada kondisi lapangan menunjukkan bahwa crown menerima temperatur secara langsung dari permukaan tanah. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa munculnya daun berhubungan erat dengan DD temperatur udara dan temperatur tanah, tetapi lebih kuat dipengaruhi oleh DD temperatur ambian tanah (McMaster et al., 2003). Penggunaan DD untuk memprediksi tahapan perkembangan tanaman lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan waktu kalender. Hal ini terjadi karena temperatur dapat bervariasi sangat besar sepanjang waktu perkembangan tanaman, sehingga penggunaan hari kalender (calendar days/ CD) berpotensi kesalahan sekitar 10 hari CD, sedangkan dengan menggunakan DD, kesalahan terjadi hanya 2-3 CD pada tanaman gandum (Miller et all., 2001). Tajuk baru memiliki susunan lengkap mulai dari adanya titik tumbuh, akar, batang, daun, buku dan tunas. Kesatuan komponen tersebut dikenal sebagai fitomer. Stimulasi pertumbuhan tajuk baru oleh defoliasi tidak konsisten sepanjang masa pertumbuhan dan sangat dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman (fenofase), kondisi lingkungan dan frekuensi serta intensitas defoliasi. Respons tanaman terhadap defoliasi tersebut juga turut ditentukan oleh karakteristik pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda untuk tiap jenis rumput pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu daun dewasa (filokron) pada rumput Brachiaria humidicola yang ditanam secara tunggal dan dalam komunitas. Selanjutnya mempelajari pola pertumbuhan dan perkembangan vegetatifnya.

52 33 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan ini telah dilaksanakan di Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnya (BALITKA) di Desa Paniki, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara, terletak pada ketinggian tempat 67 meter dpl, pada LU, dan pada BT.Percobaan ini dilaksanakan selama tiga bulan, mulai bulan April 2008 sampai Juli Lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan berupa anakan rumput B. humidicola berukuran panjang 15 cm, dengan memiliki 2,5 daun muda dan akar sekunder (Gambar 7). Peralatan yang digunakan berupa gunting rumput, Herbisida dengan bahan aktif Glifosat 480 g/l digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun sempit, kemudian untuk gulma berdauan lebar digunakan herbisida dengan bahan aktif 2.4-D 686 g/l Selanjutnya lahan diolah untuk memperoleh/mendapatkan keseragaman media tumbuh yang optimal dan siap ditanami. Gambar 7. Anakan vegetatif yang digunakan sebagai bibit

53 34 34 Gambar 8. Tanaman tunggal Gambar 9. Tanaman dalam komunitas Metode Penelitian Pengukuran Kebutuhan Satuan Bahang (GDD). Pelaksanaan percobaan pengukuran akumulasi satuan bahang pada tanaman tunggal dan tanaman dalam komunitas sebagai berikut: a. Pada tanaman tunggal (Gambar 8) akumulasi satuan bahang diukur pada 5 (lima) tanaman tunggal yang dijadikan sebagai angka pengamatan. Selanjutnya pengamatan dan perhitungan daun yang muncul dilakukan setiap tiga hari selama 12 minggu. Suhu udara maksimum dan minimum diukur tiap hari pada pagi pukul dan petang pukul Untuk akumulasi satuan bahang dihitung dengan rumus berdasarkan petunjuk Eggers et al. (2004) sebagai berikut : GDD = [ (Tmax + Tmin)/2 T dasar].

54 35 b. Tanaman dalam komunitas ditanam pada 8 buah petak masing-masing seluas 3 m x 3 m. Tiap petak ditanami anakan rumput B. humidicola dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Pada umur 3 (tiga) minggu setelah tanam (MST), dipilih satu tanaman sebagai tanaman sampel. Tanaman ini diberi tanda dengan kawat berwarna (Gambar 9). Cara pengamatan dilakukan sama dengan pada tanaman tunggal dan pengukuran dilakukan selama 12 minggu. Dengan demikian terdapat 8 (delapan) angka pengamatan. Jumlah satuan bahang yang dibutuhkan untuk terbentuknya satu helai daun dewasa ( filokron ) dianalisis dengan menghitung rata-rata dan standar deviasinya (Eggers et al., 2004). Besarnya nilai satuan bahang yang diperoleh pada tanaman dalam komunitas ini akan digunakan pada percobaan II. Analisisis data dilakukan dengan uji rata-rata dan standar deviasi. Analisis regresi digunakan untuk pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Eggers et al., 2004). Pengamatan dan Pengukuran Pertumbuhan. Pengukuran dilakukan pada tanaman yang tumbuh tunggal dan yang tumbuh dalam komunitas. Variabel yang diukur adalah jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon (cm). Pada tanaman tunggal jumlah anakan dihitung semua anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Pada tanaman dalam komunitas jumlah anakan diukur semua anakan yang tumbuh dari tanaman sampel yang diberi tanda. Sedangkan jumlah buku per stolon diukur pada stolon pertama yang tumbuh dan berkembang horisontal, baik pada tanaman tunggal maupun dalam komunitas. Data jumlah buku dan panjang stolon diukur pada satu stolon yang sama.

55 36 36 Hasil dan Pembahasan Pengukuran Kebutuhan Satuan Bahang (GDD). Akumulasi satuan bahang yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu daun baru pada dua lingkungan tumbuh disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron pada rumput B. humidicola di lahan perkebunan kelapa. No Tanaman Tunggal Tanaman dalam Komunitas 0 C hari (DD)/ Filokron 1 68,09 133, ,75 156, ,21 145, ,26 124, ,23 129, , , ,40 Rata-rata 68,19 130,44 Standar Deviasi 3,08 14,67 Rata-rata kebutuhan satuan bahang pada tanaman tunggal sebesar 68,19 DD dan tanaman dalam komunitas membutuhkan 130,44 DD, artinya pada tanaman tunggal untuk menghasilkan satu daun baru membutuhkan satuan bahang lebih rendah dibandingkan tanaman dalam komunitas. Hal ini terjadi karena antar individu tanaman dalam komunitas terjadi persaingan dalam kebutuhan sumber daya seperti air, hara dan cahaya. Sebaliknya, pada tanaman tunggal selain kurang terjadi kompetisi, suhu permukaan tanah lebih tinggi karena penetrasi cahaya matahari lebih banyak. Munculnya daun berhubungan erat dengan suhu udara, tetapi lebih didominasi oleh naiknya suhu permukaan tanah dimana terdapat crown sebagai tempat tumbuh anakan baru (McMaster et al., 2003). Belum ditemukan nilai pembanding kebutuhan satuan bahang untuk

56 37 rumput ini, tetapi umumnya kebutuhan tersebut bervariasi sesuai dengan waktu atau saat tanam, dimana satu filokron tanaman yang tumbuh tunggal membutuhkan satuan bahang harian sebesar C (Chauvel et al., 2000). Jumlah Anakan Tabel 2 di bawah ini menunjukkan variabel yang diukur dalam percobaan ini yaitu jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon. Nilai yang tertera pada tabel di bawah ini adalah nilai rataan dari 5 tanaman yang diamati untuk tanaman tunggal, dan 8 tanaman untuk tanaman dalam komunitas. Tabel. 2 Jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon B.humidicola Minggu Jumlah anakan Jumlah buku/stolon Panjang stolon (cm) Pengamatan Tunggal Komunitas Tunggal Komunitas Tunggal Komunitas ,6 2, ,2 4,8 4,2 3,7 30,10 10,50 4 7,8 8,3 8,0 7, 9 40,80 26, ,0 10,4 15,0 11,9 57,34 32, ,2 11,2 18,4 13,8 61,20 45, ,6 11,8 24,4 14,4 87,00 59, ,6 12,2 23,6 15,2 128,30 65,30 Tabel 2 terlihat bahwa jumlah anakan pada tanaman tunggal dan tanaman dalam komunitas meningkat dari minggu pertama sampai dengan minggu ke 12, tetapi dengan besaran nilai yang berbeda antara kedua tanaman yang tumbuh dalam lingkungan berbeda. Besaran nilai tambahan jumlah anakan pada tanaman tunggal lebih banyak terlihat mulai minggu ke 8, ke 10 dan ke 12 berturut turut 14,20 anakan, 17,60 anakan dan 18,60 anakan. Sedangkan pada tanaman dalam komunitas besaran nilai jumlah anakan pada waktu yang sama meningkat tapi dengan nilai yang lebih kecil yaitu berturut-turut 11,15 anakan, 11,77 anakan dan 12,19 anakan. Analisis varian menunjukkan bahwa hubungan regresi yang nyata antara jumlah anakan dan waktu pertumbuhan. Pengujian lanjut menunjukkan

57 38 38 hubungan yang erat antara jumlah anakan dan waktu tumbuh. Pada tanaman tunggal hubungan tersebut mengikuti pola hubungan linier dengan persamaan Y = 1, ,504 x, dengan koefisien determinasi R 2 = 97,6%. Sedangkan pada tanaman dalam komunitas hubungan tersebut mengikuti persamaan kuadratik Y = 0, ,359 x 0,1166 x 2. dengan koefisien determinasi R 2 = 99,3% (Gambar 10). Gambar 10. Hubungan jumlah anakan dan waktu (minggu) Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pola pertambahan jumlah anakan rumput yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas tidak mengikuti pola regesi linier (Emoto and Ikada, 2005), tetapi terjadi penurunan jumlah anakan sesuai pertambahan umur. Hal itu disebabkan karena adanya persaingan cahaya antar kanopi yang dihasilkan anakan tersebut (McMaster et al., 2003). Di samping itu umur fisiologis meningkat yang kemudian diakhiri dengan senesens (Islam and Hirata, 2005). Namun demikian pertambahan jumlah anakan pada tanaman tunggal terlihat kecenderungan menurun pada minggu ke 12, tetapi pola pertumbuhannya masih menunjukkan linier. Mekanisme yang mungkin terjadi karena masih tersedia tempat untuk berkembang, dan kurang terjadi kompetisi seperti yang dialami pada tanaman dalam komunitas. Jumlah Buku per Stolon Sebagaimana jumlah anakan, jumlah buku per stolon juga bertambah mengikuti umur tanaman, baik pada tanaman tunggal maupun tanaman dalam

58 39 komunitas. Pada umur 2 MST, anakan pertama sudah mulai berkembang horizontal menjadi stolon (sebagai stolon pertama yang digunakan untuk mengukur jumlah buku dan panjang stolon). Pada tanaman tunggal dan dalam komunitas pertambahan jumlah buku hampir sama sampai dengan umur 4 minggu. Selanjutnya mulai umur 6 minggu terjadi pertambahan jumlah buku lebih banyak pada tanaman tunggal dibandingkan dengan tanaman dalam komunitas. Pada minggu ke 12 tanaman tunggal mencapai 23,6 buku sedangkan tanaman dalam komunitas hanya 15,2 buku per stolon. Sidik ragam menunjukkan adanya hubungan regresi yang signifikan antara pertambahan jumlah buku dengan waktu pertumbuhan. Pada tanaman tunggal hubungan tersebut mengikuti persamaan linier Y = - 0, ,254 x. (R 2 = 96,8%). Sedangkan pada tanaman dalam komunitas hubungan tersebut mengikuti persamaan regresi pola kuadratik Y = - 1, ,783x- 0,1181 x 2 (R 2 = 98,5) sebagaimana disajikan pada Gambar 11. Gambar 11. Hubungan jumlah buku dan waktu (minggu) Pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman rumput B. humidicola dengan sifat tumbuh berstolon selalu menunjukkan bahwa pola perkembangan jumlah buku sejalan dengan pola perkembangan jumlah anakan bahkan juga dengan pola pertambahan panjang stolon (Abdullah, 2008).

59 40 40 Panjang stolon Pertambahan panjang stolon meningkat mengikuti umur tanaman pada kedua tanaman yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Pertambahan panjang stolon pada tanaman tunggal sejak minggu ke 2 sampai minggu ke 12 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman dalam komunitas. Pada tanaman tunggal panjang stolon pada minggu ke 2 sepanjang 31,10 cm lebih panjang disbanding dengan tanaman dalam komunitas 10,50 cm. Demikian juga pada umur 12 minggu panjang stolon pada tanaman tunggal 128,30 cm dibandingkan pada tanaman dalam komunitas 65,30 cm. Pertambahan panjang stolon berhubungan erat dengan umur atau waktu pertumbuhan tanaman. Pada tanaman tunggal hubungan tersebut mengikuti persamaan linier Y= - 1, ,645 r. (R 2 = 94,6%). Sedangkan tanaman dalam komunitas mengikuti persamaan kuadratik Y = -2, ,837x 0,0894 x 2. (R 2 = 98,9%), sebagaimana tertera pada Gambar 12. Gambar 12. Hubungan panjang stolon dan waktu (minggu). Sebagaimana terlihat pada Gambar 12 panjang stolon tanaman tunggal dan tanaman dalam komunitas keduanya bertambah mengikuti naiknya umur tanaman tetapi dengan besaran nilai pertambahan yang berbeda. Pada umur tanaman 12 minggu panjang stolon tanaman tunggal mencapai 128,30 cm dan tanaman dalam

60 41 komunitas mencapai 65,30 cm. Lebih rendahnya pertambahan panjang stolon pada tanaman dalam komunitas berkaitan dengan perkembangan jumlah anakan dan jumlah buku. Pada tanaman dalam komunitas ketiga variable tersebut bertambah mengikuti pola hubungan kuadratik. Peningkatan panjang stolon selalu terkait dengan pertambahan jumlah buku dan jarak antar buku dan keduanya mempengaruhi panjangnya stolon. Rendahnya pertambahan panjang stolon mungkin disebabkan oleh adanya persaingan unsur hara dan cahaya pada luasan yang terbatas sehingga terjadi saling tumpang tindih antar tanaman dalam komunitas (Abdullah, 2008). Fenomena tumpang tindih pada tanaman dalam komunitas terjadi karena sifat tumbuh tanaman B. humidicola secara tunggal menunjukkan tingkat agresifitas yang tinggi. Agresifitas rumput B. humidicola yang tumbuh secara tunggal menunjukkan kemampuan tanaman tersebut untuk cepat menutupi dan menguasai lahan sehingga memiliki kemampuan mengontrol pertumbuhan gulma. Selanjutnya setiap buku pada stolon menghasilkan anakan baru yang lengkap dengan akar, sehingga terbentuk satu tanaman baru (fitomer) dengan fungsi metabolis sempurna. Keadaan ini memungkinkan tanaman mendapatkan suplai unsur hara tambahan untuk kelanjutan pertumbuhan dan perpanjangan stolonstolon baru. Sifat tumbuh inilah yang memungkinkan rumput B. humidicola menunjukkan kemampuan persistensi yang tinggi. Selanjutnya agresifitas dan persistensi yang tinggi tersebut akan diikuti oleh kemampuan produksi biomassa hijauan sebagai pakan dalam jumlah yang besar. Dalam hal ini dikatakan memiliki produksi utama neto (net primary production / NPP) lebih tinggi sebagai hijauan pakan (Scurlock et al., 2002). Potensi rumput B. humidicola tersebut bila dibiarkan dan tidak dikontrol dengan pengaturan defoliasi yang benar akan merugikan tanaman itu sendiri karena terjadi penambahan biomassa hijauan yang berlebihan. Akibatnya akan mengarah pada pertumbuhan yang saling menutup (overlapping) seperti yang terjadi pada tanaman dalam komunitas. Karena itu sangat diperlukan manajemen defoliasi yang baik agar supaya tetap menghasilkan NPP yang tinggi, persisten dan menjamin keberlanjutan produksi. Untuk itulah potensi persistensi rumput ini akan dikaji lanjut pada percobaan manajemen

61 42 42 defoliasi secara mekanik (percobaan II), dan dilanjutkan dengan defoliasi langsung oleh ternak / penggembalaan pada percobaan III. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian pertama adalah : 1. Kebutuhan satuan bahang untuk pembentukan satu filokron rumput Brachiaria humidicola yang tumbuh secara tunggal dan yang hidup dalam komunitas berbeda. Rumput yang tumbuh dalam komunitas memerlukan satuan bahang yang lebih besar dari pada rumput yang tumbuh secara tunggal. 2. Jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon pada tanaman tunggal berkembang mengikuti persamaan linier mengikuti umur tanaman, sedangkan pada tananam dalam komunitas mengikuti pola kuadratik.

62 43 PENGARUH INTENSITAS DAN INTERVAL DEFOLIASI TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN KANDUNGAN NUTRIEN Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick The Effects of Cutting Height and Interval of Defoliation on Productivity And Nutrient Content of Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick ABSTRAK Produktivitas hijauan sangat dipengaruhi oleh tinggi dan interval pemotongan. Percobaan ini dilaksanakan di lahan milik Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado. Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari pengaruh intensitas dan interval defoliasi terhadap produksi bahan kering dan kandungan nutrien. Percobaan disusun secara faktorial dengan rancangan dasar Acak Kelompok. Faktor pertama adalah intensitas pemotongan berdasarkan tinggi pemotongan 5, 10, dan 15 cm di atas permukaan tanah, sedangkan faktor kedua adalah defoliasi berdasarkan interval 30, 45, dan 60 hari, dan pada 456,54 DD. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antar perlakuan terhadap semua parameter. Produktivitas B. humidicola dalam hal produksi berat kering yang tinggi, tinggi rasio daun batang dan protein kasar, rendah kandungan serat kasar dan acid detergent fiber (ADF) diperoleh pada interaksi intensitas pemotongan 10 cm dengan interval defoliasi 30 dan 45 hari. Demikian juga pada interval defoliasi yang didasarkan pada akumulasi satuan bahang 456,54 0 C hari (DD). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa intensitas defoliasi 10 cm dan interval defoliasi tersebut di atas adalah ideal untuk B. humidicola. Penggunaan satuan bahang atau growing degree days (GDD) untuk menetapkan waktu yang tepat untuk pemotongan dapat dipertimbangkan. Kata kunci : hari kalender, satuan bahang, waktu pemotongan, bobot kering, kualitas ABSTRACT The productivity of forage is strongly influenced by cutting height and interval of defoliation. Experiment was conducted at the Research Institute for Industrial Plants and Other Palm (BALITKA) Manado from Juni 2008 until April The objective of the experiment was to find out the effects of intensity and interval of defoliation on dry weight production and the nutrients content. The experiment was arranged in factorial RCBD. Where the first factor on the intensity of defoliation based on cutting height, i.e., 5, 10, 15 cm, and the 2 nd factor on time of defoliation based on the intervals between triming treatment, i.e., 30, 45, 60 day and 456,54 degree days (DD). The data of dry weight production, leaf stem ratio, nutrient quality were collected. The results showed that there was a significant difference among treatments on all parameters.

63 44 44 Productivity of B. humidicola in terms of high dry weight yield, high leaf stem ratio and crude protein, low in crude fiber and acid detergent fiber (ADF) content were found in the interaction of intensity 10 cm with the interval of defoliation among the vegetative development stage of 30 and 45 days, as well as the interval of defoliation based on heat unit accumulation of 456,54 DD. The research implies that a cutting height at 10 cm and interval of defoliation as mentioned above is ideal for B. humidicola. Utilization of growing degree days (GDD) to determine the appropriate time for defoliation is considerable under this experiment. Key words : calendar day, heat unit, time of cutting, dry weight, quality

64 45 Pendahuluan Fungsi utama daun adalah menangkap radiasi matahari yang cukup pada bagian daun untuk menghasilkan fotosintat yang kemudian disuplai sebagai energi guna pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Hhodgson, 1990). Padang penggembalaan yang digembalakan terus menerus pada tingkat tekanan penggembalaan yang tinggi akan mengalami perenggutan lebih sering, sehingga tidak ada lagi penaungan oleh daun pada bagian bawah dari kanopi yang disebabkan oleh pengambilan daun secara tetap. Oleh karena itu tanaman pakan harus memiliki mekanisme adaptasi untuk dapat bertahan hidup terhadap renggutan atau panen yang berat. Pengaruh yang segera nampak akibat panen ataupun renggutan adalah berkurangnya luas daun yang berakibat pada kualitas penangkapan cahaya, cadangan karbohidrat dan perkembangan akar (Downing dan Gamroth, 2007). Penimbunan bahan kering (BK) pada tanaman hijauan makanan ternak merupakan hasil interaksi yang komplek dari sifat genetis, lingkungan dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap proses fisiologis dan karakteristik morfologi dari tanaman. Perbedaan frekuensi defoliasi menyebabkan perubahan dalam struktur kanopi dan penetrasi cahaya, dan menghasilkan perbedaan fotosintesis pada kanopi. Braga et al (2006) merekomendasikan bahwa untuk mencapai kecepatan fotosintetik yang tinggi ketika bertumbuh kembali setelah digembalai, rumput merambat Palisadegrass harus digembalai sebelum mencapai umur 28 hari. Frekuensi perenggutan berpengaruh pada produktifitas beberapa varietas rumput brachiaria seperti ruzigrass, palisadegrass, dan signalgrass. Dengan pemupukan N 170 kg/ha dan defoliasi pada tinggi pemotongan (intensitas defoliasi) 7,5 cm di atas permukaan tanah, menunjukkan persistensi tertinggi bila digembalai pada umur tanaman 2 atau 3 minggu. Penggembalaan tanaman pada umur 5 atau 7 minggu ketiga jenis brachiaria tersebut menyebabkan tanaman menghasilkan kelebihan biomasa hijauan yang akan menaungi bagian bawah tanaman, demikian juga titik-titik tumbuh. Demikian juga koroniviagrass atau B. humidicola menunjukkan hasil tertinggi pada umur bertumbuh kembali 7 minggu (Mislevy et al., 2003).

65 46 46 Interval defoliasi juga mempengaruhi produksi bahan kering, dimana pada rumput bahiagrass jika defoliasi dilakukan pada umur tanaman 20, 30 dan 40 hari berturut-turut menghasilkan bahan kering 10,6 ; 11,8 dan 12,3 Mg (mega gram) /ha, dengan hasil protein kasar (PK) tertinggi diperoleh pada umur tanaman 20 hari yaitu sebesar 124 g/kg (Cuomo et al., 1996). Sebelumnya Stanley (1994) menemukan bahwa rumput paspalum notatum tersebut menghasil bahan kering tertinggi 18,9 Mg/ha pada umur tanaman 8 minggu. Perkembangan morfologi hijauan dapat digunakan untuk menetapkan saat panen, prediksi kualitas rerumputan dan waktu defoliasi (Mitchell et al., 2001). Rasio daun batang merupakan faktor penting untuk menentukan kualitas, preferensi dan konsumsi hijauan (Smart et al., 2001). Bab ini memaparkan hasil percobaan yang bertujuan mengetahui produktivitas dan kualitas pastura B. humidicola yang didefoliasi pada tinggi pemotongan (intensitas) yang berbeda dan interval pemotongan berdasarkan umur tanaman dan akumulasi satuan bahang harian (DD).

66 47 Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan ini telah dilaksanakan di Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lainnya (Balitka) di Desa Paniki, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara yang terletak pada ketinggian tempat 67 meter dpl, pada LU, dan pada BT. Pelaksanaan percobaan ini dimulai pada bulan Juni 2008 sampai April Bahan dan Alat Anakan rumput B. humidicola, Pupuk NPK sesuai kebutuhan dasar, gunting, pisau, cangkul, pengukur suhu (Max-Min) dan kelembaban udara Model Weatherguide TM System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL 60523, yang ditempatkan setinggi kanopi padang rumput pada lahan tegakkan kelapa. Pencatatan dilakukan setiap hari diwaktu pagi antara pukul dan dipetang hari antara pukul Metode Penelitian Dalam percobaan ini perlakuan yang diuji adalah intensitas defoliasi (I) yaitu tinggi tanaman dari permukaan tanah setelah didefoliasi, dan interval defoliasi (F) adalah jarak waktu defoliasi ( hari ). Perlakuan interval defoliasi F 1, F 2, F 3 didasarkan pada hari kalender (calender days / CD ) berturut-turut untuk 30 hari, 45 hari dan 60 hari. Sedangkan untuk F 4 didasarkan pada akumulasi satuan bahang dinyatakan dalam growing degree days (GDD) atau disingkat DD, dimana jumlah satuan bahang tersebut diambil dari hasil percobaan I. Perlakuan diatur secara faktorial dengan menggunakan rancangan dasar Acak Kelompok ( RAK ) dengan tiga ulangan. Dengan demikian terdapat 12 kombinasi perlakuan yang diacak pada tiga ulangan, dengan jumlah 36 angka pengamatan kombinasi perlakuan (Gomez dan Gomez, 1995). Analisis

67 48 48 ragam digunakan untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan, dan uji lanjut dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Oleh karena percobaan II ini dilakukan pada rumput B. humidicola yang tumbuh dalam komunitas maka jumlah DD yang digunakan untuk satu filokron adalah 130,44 DD. Dengan belum adanya data sebagai petunjuk pada daun keberapa rumput B.humidicola ideal untuk mulai didefoliasi atau digembalakan, maka digunakan patokan yang ditetapkan oleh Manske (2003 b ) bahwa rumput ideal sudah dapat digembalai ketika tanaman telah memiliki daun ke 3,5 (artinya tanaman telah memiliki 3 daun dewasa yang ditandai dengan munculnya ligule ditambah dengan setengah daun yang belum dewasa) sampai tanaman sebelum mencapai tahapan berbunga. Oleh sebab itu penetapan jumlah DD yang digunakan pada perlakuan F 4 adalah 3,5 daun kali 130,44 DD = 456,54 DD. Dengan demikian perlakuan menjadi sebagai berikut : I 1 = 5 cm ; I 2 = 10 cm, I 3 = 15 cm ; F 1 = 30 hari, F 2 = 45 hari, F 3 = 60 hari, F 4 = 456,54 DD. Peubah yang diamati terdiri atas produksi bobot kering tajuk, rasio daun/ batang, kandungan protein kasar, kandungan serat kasar, neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF). Pelaksanaan Penelitian Sebanyak 36 buah plot dengan ukuran masing masing 3 m x 2 m, disiapkan pada lahan perkebunan kelapa yang berjarak tanam 9 m x 9 m, diolah sampai siap tanam dan bebas gulma dengan menggunakan herbisida dengan bahan aktif Glifosat 480 g/l untuk rumput dan dikombinasi dengan herbisida dengan bahan aktif 2.4 D 686 g/l untuk gulma daun lebar. Tiap plot ditanami satu anakan rumput yang diambil dari tiap buku pada stolon yang telah berkembang. Anakan yang digunakan telah memiliki akar dan memiliki 2,5 sampai 3 daun muda. Bibit rumput tersebut ditanam dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Untuk mendapatkan keseragaman tumbuh dilakukan pemotongan secara seragam (trimming) setelah tanaman tumbuh mapan pada umur 60 hari (Gambar 13 A). Pada waktu tanaman berumur bertumbuh kembali 30 hari (F 1 ) maka perlakuan Intensitas defoliasi (I 1, I 2 dan I 3 ) mulai diberlakukan pada plot-plot tertentu yang telah ditetapkan secara acak

68 49 sebelumnya. Demikian selanjutnya untuk perlakuan interval pemotongan 45 hari (F 2 ), 60 hari (F 3 ), dan F 4 setelah mencapai 456,54 DD. Sampel rumput diperoleh dengan menggunakan bingkai bujur sangkar berukuran 0,5 m x 1,0 m. Sampel biomassa hijauan diperoleh dengan cara memotong rumput setinggi perlakuan intensitas defoliasi, dan sampel diambil sebanyak dua kali pada setiap petak. Kedua sampel tersebut kemudian dicampur merata dan diambil satu sub sampel 1000 g untuk dipisahkan komponen daun batang, dan diambil 1000 g sub sampel lainnya untuk analisis laboratorium. Sampel kemudian dimasukkan dalam kantong kertas berlabel dan dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70 0 C selama 24 jam untuk mendapatkan bobot kering konstan. Variabel rasio daun/batang diperoleh dengan memisahkan komponen daun dan batang secara manual, kemudian dikeringkan. Selanjutnya kandungan protein kasar diperoleh dengan menggunakan metoda uji IKM 02 (destrusi-auto analisis). Untuk menentukan kandungan serat kasar diperoleh dengan menggunakan metoda uji IKM 05 (ekstrasi asam-basa). Untuk neutral detergent fiber (NDF) menggunakan metoda uji IKM 07 (ekstrasi larutan deterjen netral). Selanjutnya acid detergent fiber (ADF) ditetapkan dengan metoda uji IKM 08 (ekstrasi larutan deterjen asam). A Gambar 13. A. Pemotongan B. humidicola secara seragam setelah rumput berumur 60 hari. B. Penerapan perlakuan intensitas dan interval defoliasi. B

69 50 50 Hasil dan Pembahasan Produksi Bobot Kering B. humidicola Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan defoliasi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi bobot kering. Namun demikian pada periode I, hasil tertinggi diperoleh pada intensitas defoliasi 5 cm dengan frekuensi defoliasi 60 hari (I 1 F 3 ) sebesar 2498,0 kg/ha, dan intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 3 F 3 ) sebesar 2405,3 kg/ha, dan interaksi antara intensitas defoliasi 10 cm dengan frekuensi defoliasi 456,54 DD (I 2 F 4 ) sebesar 2416,6 kg/ha. Sedangkan bobot terendah diperoleh pada perlakuan intensitas defoliasi 5 cm dengan interval defoliasi 30 hari (I 1 F 1 ) sebesar 2050,6 kg/ha, dan intensitas defoliasi 15 cm dengan frekuensi 30 hari (I 3 F 1 ) sebesar 1824,6 kg/ha. Pada periode II, hasil tertinggi pada intensitas defoliasi 10 cm dengan frekuensi defoliasi 456,54 DD (I 2 F 4 ) sebesar 2514,6 kg/ha (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap produksi bobot kering (kg/ha). Intensitas Interval Defoliasi Defoliasi 30 hari (F 1 ) 45 hari (F 2 ) 60 hari (F 3 ) 456,54 DD (F 4 ) Periode I 5 cm (I 1 ) 2050,6 b 2253,3 ab 2498,0 a 2151,3 ab 10 cm (I 2 ) 2138,0 ab 2302,6 ab 2230,0 ab 2416,6 a 15 cm (I 3 ) 1745,0 c 2220,0 ab 2405,3 ab 2175,0 ab Periode II 5 cm (I 1 ) 1824,6 bc 2172,6 b 2259,3 ab 2080,0 bc 10 cm (I 2 ) 1852,6 bc 2253,3 ab 2410,6 ab 2514,6 a 15 cm (I 3 ) 1890,6 bc 2246,0 ab 2404,0 ab 2046,6 bc Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Data ini menunjukkan bahwa intensitas defoliasi 10 cm yang berinteraksi dengan perlakuan interval defoliasi 456,54 DD memberikan hasil bobot kering yang stabil pada kedua periode. Hal ini terjadi karena pada tinggi

70 51 defoliasi 10 cm masih cukup tersedia titik tumbuh yang aktif sebagaimana ditemukan pada hijauan rumput tropis lainnya, dan juga tersedia cadangan energi yang optimum untuk pertumbuhan kembali setelah digembalai (Wijitphan et al., 2009). Hasil perlakuan ini didukung juga oleh tahap perkembangan rumput pada jumlah akumulasi satuan bahang 456,54 DD, yang masih berada pada tahap pertumbuhan vegetatif yang optimal. Miller et al. (2001) menyatakan bahwa kesalahan dalam menetapkan waktu untuk panen atau pemggembalaan hanya 2-3 hari dibandingkan dengan 10 hari bila menggunakan patokan hari kalender. Sinergi antara jumlah titik tumbuh yang memadai dan akumulasi satuan bahang yang tepat menyebabkan proses fotosintesis yang optimal sehingga terjadi akumulasi biomassa yang lebih tinggi (Wijitphan et al., 2009). Selanjutnya untuk menjaga persistensi dan produksi biomassa yang tinggi untuk mencukupi persediaan pakan yang berkelanjutan keseimbangan faktor-faktor tersebut harus dijamin melalui penerapan manajemen defoliasi yang tepat dan benar. Rasio Daun Batang Rasio daun batang adalah salah satu kriteria penilaian hijauan rumput untuk dijadikan pakan. Hasil periode I menunjukkan rasio daun batang tertinggi diperoleh pada perlakuan intensitas defoliasi 5 cm dan 15 cm dengan interval defoliasi 30 hari, yaitu masing-masing dengan rasio sebesar 1,44 dan 1,48. Hasil dari kedua perlakuan intensitas defoliasi tersebut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan interval defoliasi 60 hari yaitu 0,87; 0,87 dan 1,03. Demikian juga nyata lebih tinggi dengan perlakuan I 1 F 2 dan I 1 F 4 yaitu dengan rasio berturut-turut 0,96 dan 1,14. Tingginya rasio daun batang pada semua tinggi pemotongan lebih banyak dipengaruhi oleh perlakuan interval defoliasi 30 hari. Hal ini terjadi karena pada fase ini tanaman berada pada tahap perkembangan vegetatif, yang selalu menghasilkan proposi daun yang lebih tinggi (McMaster et al., 2003). Sebaliknya, rasio daun batang yang rendah pada semua intensitas defoliasi yang berinteraksi dengan interval defoliasi 60 hari, mungkin disebabkan oleh tahap perkembangan tanaman rumput telah melewati tahap perkembangan vegetatif. Pada fase ini lebih tinggi komponen batang, karena pada rumput B. humidicola komponen batangnya meningkatkan secara linier (Chobtang et al.,

71 ). Selanjutnya pada tahap perkembangan 60 hari tersebut sebagian lapisan kanopi daun bagian bawah menerima cahaya matahari dalam jumlah terbatas, yang menyebabkan turunnya kecepatan fotosistesis dedauanan tersebut (Raden et al., 2008). Pada periode II, rasio daun batang tertinggi diperoleh pada semua intensitas defoliasi yang berinteraksi dengan frekuensi defoliasi F 1 dan F 2, dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang berinteraksi dengan F 3, tetapi tidak berbeda dengan yang berinterkasi dengan F 4. Hasil ini terjadi mungkin disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : pertama, rumput B.humidicola memberikan respons positif terhadap intensitas defoliasi atau tinggi pemotongan 5 cm sampai 15 cm di atas permukaan tanah. Respons tersebut terukur dari tumbuhnya anakan-anakan baru yang biasanya memiliki komponen daun lebih tinggi dari pada komponen batang. Kedua, umur defoliasi 30 hari, 45 hari dan akumulasi satuan bahang 456,54 DD mungkin masih berada pada umur fase pertumbuhan vegetatif. Ketiga, dengan tingginya rasio daun/batang pada perlakuan ini menunjukkan bahwa rumput B. humidicola memiliki kemampuan persistensi terhadap defoliasi yang berulang-ulang sebagaimana terlihat pada hasil periode II ini. Tabel 4. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap rasio daun batang Intensitas Interval Defoliasi Defoliasi 30 hari (F1) 45 hari (F2) 60 hari (F3) 456,54 DD (F4) Periode I 5 cm (I 1 ) 1,44 a 0,96 bc 0,87 c 1,14 b 10 cm (I 2 ) 1,40 ab 1,37 ab 0,87 c 1,40 ab 15 cm (I 3 ) 1,48 a 1,08 bc 1,03 bc 1,30 ab Periode II 5 cm (I 1 ) 1,59 a 1,40 a 1,10 b 1,29 ab 10 cm (I 2 ) 1,59 a 1,39 a 1,02 b 1,39 a 15 cm (I 3 ) 1,50 a 1,35 a 1,07 b 1,30 ab Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P< 0,05

72 53 Rasio daun batang hasil interaksi antara intensitas defoliasi 5 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 1 F 3 ) lebih rendah pada periode I dengan nilai rasio 0,87 dan intensitas 10 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 2 F 3 ) sebesar 0,87. Pada periode II terjadi perbaikan rasio daun batang dengan nyata, dimana pada I 1 F 3 rasionya menjadi 1,10 dan pada I 2 F 3 rasionya menjadi 1,02. Perbaikan yang sama terjadi pula pada semua intensitas defoliasi yang berinteraksi dengan interval defoliasi 45 hari (F 2 ). Pada periode I interaksi defoliasi 5 cm dengan interval pemotongan 45 hari (I 1 F 2 ) nilai rasio 0,96 meningkat dengan nyata menjadi 1,40. Sedangkan interaksi intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 45 hari (I 3 F 2 ) nilai rasio 1,08 meningkat dengan nyata menjadi 1,35 pada periode II. Selanjutnya Tabel 4 menunjukkan pula bahwa nilai rasio daun batang pada semua intensitas defoliasi yang berinteraksi dengan interval defoliasi berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD, mulai periode I sampai periode II memberikan nilai rasio daun batang yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa patokan interval defoliasi menggunakan akumulasi unit panas (DD) memberikan rasio daun batang yang stabil pada kedua periode. Dilihat dari aspek rasio daun/batang yang merupakan salah satu kriteria penilaian hijauan sebagai pakan, dapat dinyatakan bahwa penggunaan akumulasi unit panas dapat dijadikan patokan untuk menetapkan tahap perkembangan vegetatif rumput B. humidicola yang ideal untuk dilakukan defoliasi. Hasil ini menerangkan bahwa rumput B. humidicola memberikan respons positif terhadap semua perlakuan, dan menunjukkan kemampuan persistensi melalui mekanisme adaptasi terhadap tekanan defoliasi (Skerman and Riveros, 1990). Kandungan Protein Kasar Kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada intensitas defoliasi 5 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi 30 hari (I 1 F 1 ) sebesar 10,74 %, intensitas defoliasi 5 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi 45 hari (I 1 F 2 ) sebesar 10,55%, intensitas defoliasi 5 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD (I 1 F 4 ) sebesar 11,01%, intensitas defoliasi 10 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi 30 hari

73 54 54 (I2F1) sebesar 10,91%, intensitas defoliasi 10 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi 45 hari (I2F2) sebesar 10,56%, intensitas defoliasi 10 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD (I2F4) sebesar 10,63%. Semua interaksi tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi antara intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 3 F 3 ) sebesar 7,88 % (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap kandungan protein kasar (PK) (%) Intensitas Interval Defoliasi Defoliasi 30 hari (F 1 ) 45 hari (F 2 ) 60 hari (F 3 ) 456,54 DD (F 4 ) 5 cm (I 1 ) 10,74 a 10,55 a 9,63 ab 11,01 a 10 cm (I 2 ) 10,91 a 10,56 a 9,26 ab 10,63 a 15 cm (I 3 ) 9,23 ab 8,91 ab 7,88 b 8,68 ab Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Kandungan protein kasar tertinggi pada semua interaksi tersebut umumnya didominasi oleh intensitas defoliasi 5 cm dan 10 cm yang berinteraksi dengan interval defoliasi 30 dan 45 hari, dan juga dengan interval defoliasi berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan akumulasi satuan bahang tersebut memungkingkan rumput B. humidicola memproduksikan protein kasar dalam jumlah yang sama dengan interval defoliasi 30 dan 45 hari. Disamping interval defoliasi, faktor intensitas defoliasi 5 cm dan 10 cm dapat mempertahankan level protein kasar lebih tinggi, khususnya yang berinteraksi dengan interval defoliasi 30 hari (F 1 ), 45 hari (F 2 ) dan akumulasi unit panas 456,54 DD (F 4 ), kecuali dengan interval defoliasi F 3 (60 hari). Rendahnya kandungan protein kasar pada intensitas defoliasi 15 cm (I 3 ) mungkin disebabkan terjadinya penurunan populasi anakan. Anakan rumput biasanya proporsi daun muda lebih banyak dengan kualitas lebih tinggi (Smart et al., 2001). Kurangnya pertumbuhan anakan baru disebabkan oleh keterbatasan cahaya yang menembus permukaan tanah, karena pada intensitas defoliasi 15 cm populasi tanaman lebih padat dibandingkan dengan intensitas defoliasi lainnya.

74 55 Kurangnya penetrasi sahanya matahari tersebut mengakibatkan suhu permukaan tanah lebih rendah. Dengan suhu permukaan tanah demikian kurang terjadinya induksi terhadap pemunculan pucuk baru atau anakan dari titik tumbuh pada crown, yaitu tempat pertemuan antara batang dan akar (McMaster et al., 2003). Penelitian terbaru pada rerumputan tropis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tinggi kanopi dan intersepsi cahaya oleh pastura, dan selanjutnya turut mempengaruhi dinamika akumulasi bahan kering. Hasil ini menyatakan bahwa tinggi kanopi rumput dapat dijadikan kriteria untuk menetapkan waktu yang tepat untuk memasukkan kembali ternak pada sistem penggembalaan rotasi (Da Chunha et al., 2010). Kandungan protein kasar dalam penelitian ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan 7%-8% protein kasar untuk mendukung aktivitas mikrobial rumen dalam proses pencernaan serat kasar untuk menghasilkan asam lemak atsiri yang terdiri dari asam asetat, propionat dan butirat sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminan (Colemen et al., 2003). Kandungan protein kasar yang tinggi tersebut, sejalan dengan tingginya rasio daun batang khususnya pada periode II (Tabel 4), khususnya pada interaksi perlakuan antara intensitas defoliasi 5 cm dan 10 cm, dengan interval defoliasi F 1, F 2 dan F 4. Hal ini terjadi mungkin disebabkan adanya penetrasi cahaya yang cukup pada intensitas defoliasi yang dekat dengan permukaan tanah ( I 1 dan I 2 ) untuk merangsang pertumbuhan daun dan anakan lebih banyak (McMaster et al., 2003). Kandungan protein kasar yang tinggi selalu terkait erat dengan umur tanaman yang lebih muda (Donkor et al., 2003) tetapi juga tidak terlepas dari tahap perkembangan vegetatif optimal yang memiliki porsi daun yang lebih tinggi (Gorder et al., 2005). Kandungan protein kasar yang dihasilkan oleh rumput B.humidicola dalam penelitian ini cukup menjamin ketersediaan nutrien yang berkualitas untuk menunjang produktivitas ternak sapi sebagai salah satu komponen dalam sistem integrasi kelapa-pastura-ternak. Berkembangnya ternak sapi dalam sistem integrasi ini akan memberikan beberapa keuntungan dalam keseimbangan simbiose mutualistis. Pertama, kehadiran ternak sapi akan mempercepat daur ulang biomassa hiajuan segar hanya dalam waktu 24 jam. Kedua, rumput yang terenggut akan melepaskan unsur C dan unsur lainnya

75 56 56 kelingkungan risosfer perakaran rumput, yang pada gilirannya menunjang kehidupan dan aktifitas mikroorganisme tanah dalam fungsinya sebagai dekomposer bahan organik tanah. Ketiga, hasil pencernaan ternak ruminan yang kaya dengan mikro organisme rumen dan produk-produk perombakan bahan organik akan memberikan sumbangan untuk kesuburan tanah. Keempat, simbiose ternak sapi dengan rumput B. humidicola tidak terbatas pada memenuhi hijauan sebagai pakan, tetapi lebih dari itu yakni membantu mengurangi emisi gas CO 2 melalui proses fotosintesis yang cepat, dan menimbunnya dalam bentuk biomassa hijaun yang berlimpah, ketika pertumbuhan kembali rumput ini yang sangat agresif setelah digembalai. Kelima, resultant dari semua mekanisme tersebut pada akhirnya dapat terukur pada produktivitas lahan secara keseluruhan dalam satu sistem integrasi. Kandungan Serat Kasar Analisis ragam menunjukkan bahwa kandungan serat kasar tertinggi diperoleh pada interaksi intensitas defoliasi 15 cm dengan interval 45 hari (I 3 F 2 ) sebanyak 34,15% dan interaksi antara intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 3 F 3 ) sebanyak 34,62%. Kedua interaksi tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua interaksi lainnya kecuali dengan interaksi intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 456,54 DD (I 3 F 4 ) sebanyak 33,40%. Kandungan serat kasar yang terendah diperoleh pada interaksi perlakuan intensitas defoliasi 5 cm dengan interval defoliasi 456,54 DD (I 1 F 4 ) sebesar 31,39%. Kandungan serat kasar cenderung meningkat sejalan dengan naiknya interval defoliasi dari 30 hari ke 45 hari dan 60 hari, terutama yang berinteraksi dengan intensitas defoliasi 15 cm yaitu I 3 F 2 (34,15%) dan I 3 F 3 (34,62%). Tingginya kandungan serat kasar pada semua interval defoliasi yang berinteraksi dengan intensitas defoliasi 15 cm mungkin disebabkan pada perlakuan tersebut kurang populasi anakan baru yang tumbuh dari crown. Anakan baru yang muncul dari crown biasanya memiliki proporsi daun yang lebih banyak. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan pada intensitas defoliasi 15 cm, pertumbuhan kembali anakan baru lebih banyak ditemukan pada bagian atas tanaman yang terenggut sebagai aerial tiller, sebaliknya pada intensitas defoliasi 5

76 57 cm dan 10 cm pertumbuhan kembali muncul anakan baru dari tanah berupa ground tiller yang lebih sehat dan aktif, dan berdaun lebih banyak. Selanjutnya intensitas defoliasi 5 cm dan 10 cm yang berinteraksi dengan semua interval defoliasi menghasilkan kandungan serat kasar yang rendah (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap kandungan serat kasar (%) Intensitas Interval Defoliasi Defoliasi 30 hari (F 1 ) 45 hari (F 2 ) 60 hari (F 3 ) 456,54 DD (F 4 ) 5 cm (I 1 ) 32,24 bc 32,23 bc 32,45 bc 31,39 c 10 cm (I 2 ) 32,59 bc 32,23 bc 33,18 b 32,10 bc 15 cm (I 3 ) 33,17 b 34,15 a 34,62 a 33,40 ab Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P< 0,0 Tingginya kandungan serat kasar ditemukan pada perlakuan interaksi yang sama dengan yang menghasilkan kandungan protein kasar yang rendah (Tabel 5). Pada hijauan pakan selalu terjadi hal yang berbanding terbalik antara kandungan protein kasar dan serat kasar, karena dengan naiknya umur tanaman diiukuti naiknya komponen batang yang lebih banyak mengandung serat kasar (Robinson, 1983), dimana pada rumput B. humidicola komponen batang naik secara linier dengan bertambahnya umur tanaman (Chobtang et al., 2008). Kandungan Neutral Detergent Fiber ( NDF) dan Acid Detergen Fiber (ADF). Kedua fraksi ini adalah substrat yang menyusun komponen serat kasar pada hijauan pakan, namun selalu diharapkan komponen NDF harus lebih tinggi dari pada ADF. Hal ini penting karena menentukan nilai nutrisi hijauan, dimana semakin tinggi ADF akan semakin rendah tingkat kecernaan pakan tersebut (Wijitphan et al., 2009). Kandungan kedua fraksi ini dapat dilihat pada Tabel 7.

77 58 58 Tabel 7. Pengaruh interaksi intensitas (I) dan interval (F) defoliasi terhadap kandungan NDF (%) dan ADF (%) Intensitas Interval defoliasi Defoliasi 30 hari (F 1 ) 45 hari (F 2 ) 60 hari (F 3 ) 456,54 DD (F 4 ) NDF 5 cm (I 1 ) 66,25 bc 65,60 c 66,37 bc 66,65 bc 10 cm (I 2 ) 68,05 ab 67,97 ab 68,23 a 68,40 a 15 cm (I 3 ) 66,36 b 67,35 b 68,08 a 67,39 b ADF 5 cm (I 1 ) 34,78 c 34,50 c 37,57 b 34,71 c 10 cm (I 2 ) 36,63 b 37,48 b 38,42 ab 35,02 c 15 cm (I 3 ) 36,86 b 37,10 b 39,36 a 36,55 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P< 0,05 Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan NDF bervariasi pada semua interaksi. Hasil NDF tertinggi diperoleh pada interaksi antara intensitas defoliasi 10 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 2 F 3 ) sebesar 68,23%, intensitas defoliasi 10 cm dengan interval defoliasi 456,54 DD (I 2 F 4 ) sebesar 68,40% dan intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 3 F 3 ) sebesar 68,08%. Ketiga interaksi tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi antara intensitas defoliasi 5 cm dengan interval defoliasi 45 hari (I 1 F 2 ) sebesar 65,60%, intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 30 hari (I 3 F 1 ) sebesar 66,36%, intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 45 hari (I 3 F 2 ) sebesar (67,35%) dan intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 456,54 (I 3 F 4 ) sebesar 67,39%. Sebagaimana komponen NDF, kandungan ADF juga bervariasi pada semua interaksi. Hasil ADF tertinggi diperoleh pada interaksi antara intensitas defoliasi 15 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 3 F 3 ) sebesar 39,36%. Hasil ini berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hampir semua interaksi kecuali dengan interaksi antara intensitas defoliasi 10 cm dengan interval defoliasi 60 hari (I 2 F 3 ) sebesar 38,42%. Secara umum terlihat bahwa baik kandungan NDF, maupun kandungan ADF pada penelitian ini keduanya terkait dengan kandungan

78 59 serat kasar dan interaksinya didominasi oleh intensitas defoliasi I 3 dan interval defoliasi F 3. Kandungan NDF pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Chobtang et al., (2008) dimana kandungan NDF rumput B.humidicola pada umur pertumbuhan kembali 30 hari setelah defoliasi yaitu hanya 62,96%, tetapi lebih rendah jika dibandingkan kandungan NDF pada umur pertumbuhan kembali 45 dan 60 hari, masing-masing berturut turut 72,65% dan 78,84%. Bervariasinya kandungan NDF dan ADF sebagai hasil interaksi antara intensitas dan interval defoliasi dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena pada rumput B. humidicola pertumbuhan bobot tanaman keseluruhan dan komponen daun meningkat secara kuadratik, sedangkan pertumbuhan batang meningkat secara linier (Chobtang et al., 2008). Naiknya umur tanaman diikuti dengan menurunnya kapasitas fotosintetik daun untuk menghasilkan karbon mudah larut, sebaliknya kandungan karbohidrat struktural makin tinggi (Braga et al., 2008). Dilihat dari aspek nutrisi, kandungan protein kasar dalam penelitian ini telah memenuhi kebutuhan ternak ruminan untuk menunjang proses pencernaan mikrobia rumen. Prinsip dasar dalam pemberian makanan pada ternak ruminan adalah memberi makan mikroba rumen terutama kecukupan unsur nitrogen. Bila hal tersebut terpenuhi maka kandungan serat kasar termasuk NDF dalam hijauan bukan menjadi ukuran utama dari aspek nutrisi ruminan. Karena dengan adanya populasi mikroba rumen yang optimal akan dapat mencerna serat kasar yang sesungguhnya merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminan setelah mengalami proses pencernaan mikrobia dalam rumen. Hasil percobaan II menunjukkan bahwa interaksi perlakuan antara intensitas defoliasi I 1 dan I 2, dengan perlakuan interval defoliasi F 1, F 2 dan F 4 menunjukkan hasil terbaik pada semua variabel yang diukur. Parameter tersebut berupa produksi bobot kering, rasio daun/batang dan kandungan protein kasar. Semua variabel tersebut adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh hijauan pakan. Dengan terpenuhinya persyaratan itu, berarti dapat menjamin ketahanan atau persistensi hijauan terhadap faktor lingkungan terutama tekanan defoliasi. Dengan

79 60 60 persistensi yang tinggi berarti keberlanjutan produksi dan kualitas hijauan pakan dapat menjamin produktivitas ternak, yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan yang signifikan dalam sistem pertanian perkebunan kelapa. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Interaksi intensitas dan interval defoliasi secara nyata mempengaruhi produktivitas dan kandungan nutrien hijauan B. humidicola. 2. Produktivitas dan kualitas hijauan yang diukur dari produksi bobot kering, rasio daun batang, protein kasar, serat kasar, Neutral Detergent Fiber dan Acid Detergent Fiber diperoleh pada intensitas defoliasi ideal 10 cm dan interval defoliasi pada tahap perkembangan vegetatif 30 sampai 45 hari, dan pada akumulasi satuan bahan pada 456,54 DD. 3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menjamin produksi dan persistensi rumput B. humidicola maka patokan intensitas defoliasi dan interval defoliasi yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam menetapkan manajemen defoliasi pada rumput B. humidicola.

80 61 PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN DAN TEKANAN PENGGEMBALAAN TERHADAP KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola DAN PENAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation ABSTRAK Integasi padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secara berkelanjutan. Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruh stocking rate dan sistem penggembalaan terhadap produksi dan kualitas padang penggembalaan, keragaan padang penggembalaan, pertambahan berat badan ternak dan hasil buah kelapa. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Oktober Perlakuan yang diuji adalah dua sistem penggembalaan ( penggembalaan kontinyu dan rotasi) serta tiga tingkat tekanan penggembalaan ( 0,77 UT ; 1,54 UT dan 2,31 UT ). Perlakuan diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem penggembalaan ditempatkan pada petak utama, tekanan penggembalaan sebagai anak petak. Hasil percobaan menunjukkan bahwa: (1) keragaan padang penggembalaan dan kandungan nutrient yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dan tekanan penggembalaan tiga (SR 3 ). (2) kandungan serat kasar, ADF dan lignin tertinggi pada sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 )dan tekanan penggembalaan satu (SR 1). (3) naiknya tekanan penggembalaan pada kedua sistem penggembalaan diikuti dengan penurunan penambahan bobot badan harian sapi per ekor. Tambahan bobot badan harian pada sistem penggembalaan rotasi nyata lebih tinggi dari pada sistem kontinyu. (4) Selanjutnya, hasil buah kelapa lebih tinggi pada lahan percobaan dibandingkan lahan di luar percobaan. Kata kunci : kontinyu, rotasi, tanah, rumput, hewan, persistensi ABSTRACT Integeted pasture and livestock in coconuts plantation based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization. The aim of the experiment was to find out the effects of stocking rate and grazing systems on production and quality of forage, the performance of pasture, the everage of daily gain and the yield of coconuts. This experiment was conducted at Coconut and Others Palma Research Centre (BALITKA) Manado since July 2009 until October 2010.The treatments being evaluated were two grazing system ( continue and rotational ) and the level of stocking rate ( 0.77 AU, 1.54 AU and 2.31 AU ). The lay out of experiment was arranged in Split plot

81 62 62 based on Randomized Block Design (RBD). The results shows that : 1) the best pastures performance and nutrients content were found on the interaction of rotational grazing system (SP 2 ) with the level of stocking rate of 2.31 AU (SR 3 ). 2) the highest crude fiber, ADF and lignin content were found on the interaction of continue grazing system with stocking rate of 0.77 AU. (3) the higher of SR the lower of daily gain of both systems of grazing. Daily gain of SP 2 was significantly higher than continue grazing system (SP 1 ). (4) further yield of coconuts was significantly higher on experimental field than out site. Key words: continue, rotational, soil, grass, animal, persistency. Pendahuluan Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa bahan kering hijauan di atas dan di bawah tanah, perkembangan perakaran, konsentrasi dan kandungan TNC, dan kematian akar (Flemmer et al., 2002). Pertumbuhan akar akan berhenti dalam 24 jam setelah pengambilan 50% atau lebih bagian pucuk, selanjutnya kematian dan dekomposisi akar akan terjadi 36 sampai 48 jam setelah tekanan penggembalaan berat (Mousel et al., 2005), sehingga terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan tempat terjadinya fotosintesis (Dawson et al., 2000). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins et al.,2010). Naiknya alokasi biomassa ke komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Intensitas penggembalaan mempengaruhi ketersediaan nutrisi untuk kebutuhan ternak, dan sebagai faktor utama penentu produksi ternak per ekor atau per hektar. Namun demikian keberlanjutan tanaman pastura mensuplai kebutuhan nutrisi untuk ternak tidak terlepas dari proses fisiologis dan morfologis tanaman untuk tetap hidup dan berproduksi. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini sangat bergantung juga pada kondisi

82 63 lingkungan tanah risosfer tanaman rumput (Manske dan Caesar-Ton, 2002; Gorder et al., 2005). Proses biogeokimia yang terjadi dalam lingkungan risosfer tersebut lebih banyak berbicara simbiose mutualistis antara tanaman rumput dan kehidupan mikroorganisme tanah yaitu terkait dengan aliran C dan asam amino dari tanaman ke lingkungan rizosfer, dan unsur N sebagi hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroba tanah (Hamilton dan Frank, 2001). Simbiose ini terlihat lebih besar terjadi pada padang penggembalaan ketika direnggut atau digembalai pada fase pertumbuhan dan perkembangan vegetatif dibandingkan pada tanaman pangan. Hal ini terjadi karena tanaman pangan akan dipanen pada tahap reproduksi ketika menghasilkan buah, kendati pada tahapan ini suplai C dari tanaman ke lingkungan risosfer sangat menurun karena unsur tersebut lebih diprioritaskan untuk keperluan pembentukan biji atau kebutuhan reproduksi, dibandingkan pada fase vegetatif (Gorder et al., 2005). Selama masa pertumbuhan dan perkembangan vegetatif akumulasi unsur nitrogen pada bagian tajuk dan unsur karbon pada bagian akar berada dalam keadaan seimbang. Ketika bagian pucuk tanaman terdefoliasi atau terenggut akan terjadi kehilangan unsur nitrogen, yang akan menyebabkan ketidak seimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga keseimbangan, tanaman secara otomatis akan melepaskan karbon ke lingkungan rizosfer melalui eksudat akar (Kuzyakov 2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino yang yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (Gaystone et al., 2000). Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa hijauan tinggi. Penggembalaan yang tidak teratur menyebabkan ketersediaan potensi produksi biomassa hijauan untuk ternak tidak efisien, bahkan banyak tanaman mati, yang dapat menghambat ternak untuk merumput (Sollenberger dan Burns, 2001). Penggembalaan yang tidak efisien ini mungkin disebabkan karena kebanyakan penelitian padang penggembalaan terfokus pada manajemen di atas permukaan tanah, dan menganggap faktor lain seperti lingkungan selalu berada dalam keadaan stabil (Da Silva, 2004). Untuk mengkonversi produksi potensial tersebut menjadi produksi riil dibutuhkan pemahaman yang benar

83 64 64 tentang aspek morfo-fisiologis dan ekologis tanaman (Carvalho et al., 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput. Tinggi tanaman yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum (Carnevalli et al.,2006). Dilaporkan juga bahwa pada jenis rumput Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006). Struktur padang penggembalaan sangat dipengaruhi oleh sistem penggembalaan yang diterapkan. Pada sistem penggembalaan kontinyu ternak diberi akses ke seluruh areal padang rumput sepanjang musim produksi, sedangkan pada sistem penggembalaan rotasi ternak berada pada satu pedok dalam waktu relatif singkat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar pengaruh tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem penggembalaan tersebut. Namun demikian sistem rotasi selalu menunjukkan hasil lebih baik, sebagaimana dilaporkan oleh Pereira et al (2009) bahwa pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi dengan naiknya tekanan penggembalaan dengan sistem penggembalaan rotasi pada padang penggembalaan B. humidicola. Pertambahan berat badan ternak sapi daging di padang penggembalaan dicapai terutama ditentukan oleh jumlah hijauan yang terkonsumsi. Karena itu sistem penggembalaan sapi daging yang efisien adalah bertujuan untuk maksimumkan jumlah hijauan yang terenggut oleh ternak. Hasil ini ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi padang penggembalaan sebagai akibat perbedaan tingkat tekanan penggembalaan (Carnevalli et al.,2006). Perbedaan sistem penggembalaan dan tingkat tekanan penggembalaan akan dikaji dalam bab ini untuk melihat pengaruhnya pada keragaan padang penggembalaan, kualitas, komposisi botanis, karbohidrat non struktural, pertambahan berat badan sapi dan hasil buah kelapa.

84 65 Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan BALITKA di Desa Paniki Bawah, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Tipe tanah liat berpasir dengan kandungan unsur hara makro seperti pada Lampiran 3. Secara geografis terletak pada LU, dan pada BT, dengan tinggi tempat 67 meter dari atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2009 sampai Oktober 2010 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman B. humidicola, lahan perkebunan kelapa varietas kelapa dalam berumur 45 tahun, jarak tanam 9 x 9 m, sesuai lahan yang tersedia. Luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak sapi jenis sapi lokal sebanyak 36 ekor dengan rataan berat badan awal 270 kg, tambang / tali pengikat sapi, alat tulis menulis, herbisida dengan bahan aktif Glifosat 480 g/l untuk rerumputan, dan herbisida dengan bahan aktif 2.4-D 686 g/l untuk gulma daun lebar, suntikan subcutan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi), dan bambu untuk pembuatan pedok dan sub pedok. Alat yang digunakan adalah : traktor, garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum. Metode Penelitian Dalam percobaan ini perlakuan yang diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP 1 ) dan penggembalaan rotasi (SP 2 ) berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD, dan tekanan penggembalaan (SR) atau jumlah ternak terdiri atas 0,77 unit ternak (UT)/ha (SR 1 ), 1,54 UT/ha (SR 2 ), dan 2,31 UT /ha (SR 3 ). Percobaan ini menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK). Sistem penggembalaan sebagai petak utama sedang tekanan

85 66 66 penggembalaan sebagai anak petak. Sesuai dengan perlakuan yang diuji, maka terdapat 6 kombinasi perlakuan yaitu sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT/ha (SP 1 SR 1 ); sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 1,54 UT/ha (SP 1 SR 2 ); sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 2,31 UT/ha (SP 1 SR 3 ). Selanjutnya sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT/ha (SP 2 SR 1 ); sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 1,54 UT/ha (SP 2 SR 2 ); sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 2,31 UT/ha (SP 2 SR 3 ) (Gambar 15). Perlakuan ditempatkan pada 3 kelompok secara acak (sebagai ulangan), dengan demikian terdapat 9 unit percobaan ( pedok ) untuk sistem penggembalaan kontinyu dan 9 unit percobaan ( pedok ) untuk sistem penggembalaan rotasi. Untuk perlakuan penggembalaan rotasi, setiap pedok dibagi menjadi 4 sub pedok dengan luas masing masing sub pedok 800 m 2 (0,32 ha) sesuai dengan kebutuhan luas lahan terkecil untuk rotasi mengikuti Rumus Voicin sebagai berikut : (y 1 ) s = r s = stay (lama merumput) (y 1 ) 10 = 30 r = rest (lama istirahat) 10y = y = 40/10 = 4 Pelaksanaan Penelitian Sesuai dengan rancangan yang digunakan terdapat 18 unit percobaan ( pedok ) untuk kedua perlakuan yang diuji, luas keseluruhan lahan untuk penggembalaan adalah 5,76 ha. Sebelum penanaman, tanah diolah / dibajak sampai siap tanam dan bebas gulma (Gambar 14 A). Bibit yang ditanam berupa anakan rumput B. humidicola cv Tully asal Australia yang diintroduksi ke Manado sejak tahun Bibit rumput ditanam dengan jarak tanam dalam baris 30 cm, dan jarak antar baris 1,0 m (Gambar 14 B). Setelah berumur 90 hari (Gambar 14 C) dilakukan pemotongan seragam untuk dapatkan umur pertumbuhan kembali

86 67 yang homogen (Gambar 14 D). Perlakuan sistem penggembalaan rotasi maupun kontinyu dimulai setelah kebutuhan satuan bahang sebesar 456,54 DD terpenuhi pada umur pertumbuhan kembali. Sedangkan perlakuan SR diterapkan bersamaan dengan perlakuan sistem penggebalaan tersebut. Prosedur pengukuran akumulasi satuan bahang dilakukan seperti pada percobaan I dan II, selama penggembalaan ternak. Pada perlakuan sistem penggembalaan kontinyu ternak mulai digembalakan pada saat kebutuhan DD tercapai setelah pertumbuhan kembali. Pada perlakuan ini ternak tetap terus menerus berada dalam pedok sampai selesai periode peggembalaan. Air minum tersedia ad libitum di tiap pedok, demikian juga dengan garam dapur NaCl yang dapat diakses ternak secara bebas. Penimbangan ternak dilakukan dalam cattle yard yang dilengkapi dengan timbangan digital kapasitas 1000 kg. Ternak ditimbang sebelum masuk perlakuan dan pada akhir masa penelitian. Kontrol parasit dilakukan penyuntikan sub-cutan dengan IVOMEC, dua minggu sebelum ternak dimasukan ke dalam pedok. Untuk memudahkan penanganan, ternak percobaan ditusuk hidung dan diikat dengan tali kekang dan diberi tanda sesuai perlakuan. Untuk penggembalaan rotasi, pemotongan seragam dimulai pada sub pedok 1 untuk semua ulangan. Setelah akumulasi satuan bahang 456,54 DD tercapai pada sub-pedok 1, penggembalaan dimulai dengan memasukkan ternak sapi sesuai perlakuan tekanan penggembalaan ( SR 1, SR 2, SR 3 ). Demikian seterusnya sampai pada subpedok yang lain. Dalam penelitian ini satuan bahang 456,54 DD dicapai bervariasi antara 24 dan 26 hari. Percobaan penggembalaan ini dilaksanakan sebanyak 5 periode.

87 68 68 Variabel yang diukur Tanaman Induk, setelah padang penggembalaan siap digembalai ditetapkan sampel tanaman induk sebanyak 30 tanaman (diberi tanda dengan kawat berwarna) per bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm, sebanyak 10 buah yang ditempatkan secara permanen. Penempatan bujur sangkar tersebut sama dengan pada pengukuran komposisi botanis. Pada akhir penggembalaan, tanaman dalam bujur sangkar tersebut dipotong rata dengan tanah dan dihitung jumlah tanaman induk yang masih hidup (Busque dan Herero, 2001). Jumlah Anakan (ground tiller) dengan menghitung secara manual banyaknya anakan yang muncul dari tanah dalam bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm pada padang penggembalaan di akhir percobaan. Jumlah Anakan (aerial tiller) adalah anakan yang muncul bukan dari tanah tetapi sebagai anakan yang merupakan cabang yang tumbuh pada batang tajuk yang tidak terenggut oleh ternak. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm setelah padang rumput digembalai. Bobot Akar dan Crown diukur bersamaan, yaitu dengan menimbang bobot akar dan bobot crown kering yang diperoleh dengan menggunakan bujur sangkar seluas 10 cm x10 cm dengan kedalaman 20 cm pada padang penggembalaan setelah digembalai. Komponen akar dan crown dicuci dengan air, kemudian dipisahkan, dikeringkan dan ditimbang. Komposisi Botanis, pengukuran ini menggunakan systimatic random sampling atau pengambilan sampel secara acak tetapi dalam sistem terkontrol menurut petunjuk Whalley dan Hardy (2000). Titik sampel pertama ditentukan secara acak, dan kemudian lokasi selanjutnya ditentukan secara teratur mengikuti letak 5 buah simpul pada seutas tali, dengan jarak masing-masing simpul 5 (lima) meter. Tali tersebut memotong diagonal pada tiap pedok. Untuk pengambilan sampel digunakan bujur sangkar seluas 0,5 x 1,0 meter sebanyak 5 bujur sangkar, kemudian ditimbang segar ( t Mannetje, 2000). Selanjutnya sampel dipisahkan

88 69 secara manual antara komponen B. humidicola dan rumput lain termasuk legume merambat dan gulma untuk dapatkan komposisi botanis. Kandungan Nutrien, khusus komponen rumput B. humidicola dalam pengukuran komposisi botanis digabung kembali dan dicampur merata, diambil sub-sampel sebanyak 1 kg, dimasukan dalam kantong kertas dan diberi label. Selanjutnya sampel dikeringkan matahari dan dilanjutkan dalam oven 70 0 C selama 24 jam, untuk keperluan analisis proksimat. Kandungan nutrien yang dianalisis terbatas pada kandungan protein kasar (PK), serat kasar (SK), neutral detergent fiber (NDF), acid detergent fiber (ADF) dan lignin. Karbohidrat Mudah Larut, yang dianalisis adalah kandungan glukosa dan sukrosa pada komponen akar + crown. Bahan untuk analisis berupa akar + crown diperoleh dari bahan yang sama pada pengukuran bobot akar dan crown. Analisis dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak, Balai Penilitian Ternak, Ciawi. Lingkungan Rizosfer, populasi mikroorganisme dominan (dalam hal ini bakteri dan kapang). Metoda pengambilan sampel tanah untuk analisis mikroba tanah, sama dengan pengukuran karbohidrat, tetapi lokasinya berbeda dan berjarak satu meter dari lokasi pengambilan sampel karbohidrat. Sampel tanah segera dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan disimpan dalam refrigerator 5 0 C. Sebelum dianalisis laboratorium sampel tanah masing-masing perlakuan dianalisis secara komposit (Gao et al., 2007). Mikroorganisme dominan yang dianalisis adalah kapang mikoriza (VAM) dengan menggunakan metode pengadukan dan penyaringan bertingkat, kemudian dihitung spora yang ada. Sedangkan azotobakter dianalisis dengan metoda Pleting dengan menggunakan media azotobakter. Analisis kedua mikro organisme tersebut dilakukan pada laboratorium biologi dan kesehatan tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor. Penambahan Berat Badan, untuk dapatkan pertambahan berat badan ternak dilakukan dengan mengukur selisih antara berat badan ternak sebelum dan sesudah penelitian.

89 70 70 Hasil Buah Kelapa, tingkat produktivitas yang diukur adalah jumlah buah kelapa yang dihasilkan pada pohon kelapa di dalam areal percobaan dan di luar areal percobaan pada waktu panen yang sama. A B C D Gambar 14. A. Penyiapan Lahan B. Penanaman Rumput C. Pemotongan Seragam setelah 90 hari tumbuh D. Pertumbuhan kembali padang penggembalaan siap masuk sapi

90 71 A B C Gambar 15. Perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan 2,31 UT (A), 1,54 UT (B) dan 0,77 UT (C)

91 72 72 Hasil dan Pembahasan Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel keragaan padang penggembalaan telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (gound tiller), jumlah anakan (aerial tiller), bobot akar dan bobot crown (Tabel 8). Tabel 8. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan padang penggembalaan B. humidicola. Parameter Sistem Penggembalaan Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT 50 cm 2 Rotasi 2,66 c 7,00 b 12,22 a Tanaman induk / Kontinyu 6,22 b 6,44 b 9,22 b 50 cm 2 Rotasi 3,67 c 14,00 b 27,89 a Jumlah Gound tiller / Kontinyu 13,22 b 18,78 b 26,55 a 50 cm 2 Rotasi 12,77 a 5,44 b 3,11 c Jumlah Aerial tiller/ Kontinyu 16,55 a 9,78 b 7,33 b Bobot akar (g/10 cm 2 ) Bobot crown (g/10cm 2 ) Kontinyu 4,35 c 5,48 b 6,06 b Rotasi 4,07 c 5,80 b 11,09 a Kontinyu 5,11 c 6,99 b 9,78 b Rotasi 3,48 c 9,01 b 14,34 a Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05 Tanaman Induk. Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh yang nyata interaksi SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP 2 SR 3 (12,22 tanaman) (Gambar 16), berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah

92 73 diperoleh pada interaksi SP 2 SR 1 rendah dari interaksi lainnya. sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih Gambar 16. Jumlah tanaman induk setelah digembalai. Anakan/ Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP 2 SR 3 (27, 89) dan SP 1 SR 3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata lebih tinggi dari interaksi lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP 2 SR 1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga makin kurang jumlah mulsa dan tanaman kering (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkatkan kecepatan pertukaran CO 2 melalui proses fotosintesis. Lebih lanjut terjadi peningkatan suhu permukaan tanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al,. 2003). Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunjukkan bahwa penggembalaan berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai perkecambahan meningkat 77%, sedangkan yang didefoliasi secara

93 74 74 mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah. Radiasi cahaya matahari berpengaruh terutama terhadap temperatur tanah, namun temperatur tanah bervariasi secara periodik sepanjang waktu, dan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif. Anakan/ Aeriel Tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi SP 1 SR 1 (16,55) dan SP 2 SR 1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan tersebut disebabkan karena pada tekanan penggembalaan 1 ekor ternak/ha untuk kedua sistem penggembalaan masih banyak tanaman rumput yang tidak terenggut oleh ternak. Hal ini memungkinkan tanaman menghasilkan tunas-tunas baru pada tanaman bagian atas sebagai aerial tiller. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP 2 SR 3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001). Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan energi pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar dapat memberikan kontribusi unsur C dan N lebih banyak ke dalam tanah. Gambar 17. Penimbangan bobot akar dan crown

94 75 Bobot akar tertinggi 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP 2 SR 3 (Gambar 17 ), dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Bila frekuensi defoliasi meningkat pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot akar dan crown yang diperoleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut. Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padang rumput. Gao et al (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP 2 SR 3 sebanyak 11,09 g. Gambar 18. Perakaran pada sistem penggembalaan rotasi dan kontinyu. Dari gambar 18 terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistem penggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada sistem penggembalaan rotasi tanaman mendapat kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam perkembangan tanaman, naiknya

95 76 76 proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa tekanan penggembalaan yang berat tidak berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, dan tingkat hidup akar pada rumput Poa ligularis. Penulis tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai penyusun padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian ini adalah bahwa rumput B.humidicola semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon. Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya terhadap cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007). Salah satu syarat integrasi tanaman padang penggembalaan pada perkebunan kelapa adalah tidak akan terjadi kompetisi pada tingkat akar terhadap air dan unsur hara. Secara umum dilaporkan bahwa kedalaman perakaran kelapa berada antara cm pada lapisan tanah dalam radius 2 meter sekitar pohon kelapa (Kushwah et al., 1973). Konsentrasi karbon organik tanah dipengaruhi oleh tekanan penggembalaan ternak, dimana dilaporkan bahwa pada tekanan penggembalaan berat ditemukan konsentrasi karbon organik lebih tinggi pada kedalaman 10 cm, dibandingkan dengan tekanan penggembalaan sedang dan tekanan penggembalaan ringan (Gao et al., 2007). Akan tetapi perlakuan ini tidak memberi pengaruh nyata pada kedalaman cm demikian juga cm. Data ini menunjukan tidak terjadi ancaman kompetisi air dan unsur hara dengan tanaman kelapa dalam penelitian ini. Data keragaan padang penggembalaan menunjukkan bahwa dari semua keragaan yang diukur yang terbaik dihasilkan pada interaksi antara sistem pengembalaan rotasi (SP 2 ) dan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ). Dengan tingginya jumlah tanaman induk yang terukur pada akhir percobaan, ternyata sejalan juga dengan banyaknya jumlah gound tiller, bobot akar dan bobot crown yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena pada penggembalaan rotasi tanaman

96 77 memperoleh kesempatan yang cukup untuk pemulihan proses fisiologis setelah mengalami defoliasi atau perenggutan. Tanaman yang terdefoliasi menunjukkan kecepatan tumbuh kembali lebih cepat dari tanaman tanpa defoliasi, sebagai satu tindakan konpensasi untuk pemulihan bagian jaringan tanaman yang hilang. Gittins et al. (2010) membuktikan bahwa kecepatan menghasilkan biomassa pada tanaman yang terdefoliasi tidak lebih rendah dari pada tanaman kontrol. Selain itu juga pada tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ) sebagian besar pucuk tanaman rumput terenggut oleh ternak sehingga penetrasi cahaya lebih banyak mencapai permukaan tanah sekaligus menaikkan suhu permukaan tanah yang merangsang pertumbuhan tunas baru (McMaster et al., 2003). Sebaliknya pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dengan tekanan penggembalaan rendah (SR 1 ) menghasilkan tanaman induk dan anakan terendah. Demikian juga perlakuan SR 1 pada kedua sistem penggembalaan menghasilkan ground tiller, bobot akar dan bobot crown terendah. Hal ini terjadi karena pada tekanan penggembalaan rendah (SR 1 ) sebagian besar biomassa hijauan tidak terenggut oleh ternak, sehingga tanaman akan bertumbuh saling menutupi, dan biomassa akan terakumulasi sebagai tanaman mati dan mulsa. Tanaman pada keadaan ternaungi atau keterbatasan cahaya akan melakukan tindakan toleransi melalui penyesuaian morfo-fisiologis seperti meningkatkan luas area daun spesifik dan pemanjangan daun untuk mempertahankan produksi (Guenni et al., 2008). Terdapat mekanisme toleransi yang lain yaitu melakukan modifikasi pola alokasi biomassa ke bagian tanaman di atas tanah untuk memaksimalkan penangkapan sinar matahari, tetapi sebaliknya mengurangi perkembangan akar. Pengurangan massa akar yang substansial dapat menyebabkan padang penggambalaan terancam pada kondisi cekaman lingkungan seperti kekurangan air di musim kemarau, kendati pada keadaan tersebut seharusnya sistem perakaran menunjang kondisi tanaman (Guenni et al., 2008 ; Puciullo et al., 2010). Tekanan penggembalaan berpengaruh juga terhadap akumulasi biomassa hijauan. Hasil penelitian Vendramini et al. (2007) menunjukkan bahwa tekanan

97 78 78 penggembalaan rendah sebesar 11,1 AU/ha dan tekanan penggembalaan tinggi dengan 13,7 AU/ha menghasilkan akumulasi biomassa hijauan sebanyak berturut-turut 45 dan 121 kg BK/ha/hari pada tahun 2003, dan meningkat menjadi 56 dan 133 kg BK/ha/hari pada tahun Tingkat tekanan penggembalaan berpengaruh juga terhadap hasil biomassa tanaman di bawah permukaan tanah. Hasil biomassa terendah diperoleh pada tekanan penggembalaan ringan, sebaliknya pada tekanan penggembalaan sedang dan berat tertentu terjadi perangsangan terhadap perkembangan akar sebagai tindakan adaptasi tanaman terhadap penggembalaan. Hal ini terjadi karena intensitas penggembalaan pada tingkat tertentu merangsang pertumbuhan kembali tanaman dan pertumbuhan anakan baru. Dengan naiknya populasi anakan baru, memungkinkan proses fotosintesis berjalan optimal untuk menghasilkan fotosintat. Hasil ini dapat terukur pada penyimpanan C yang tinggi pada tanaman dan dalam tanah, sekaligus menjamin fungsi akar yang penting sebagi sink untuk N dan C di padang penggembalaan (Gao et al., 2007) Komposisi Botanis Padang Penggembalaan. Salah satu evaluasi produktivitas dan nilai kegunaan padang penggembalaan serta persistensinya adalah dengan menggunakan indikator komposisi botanis. Pengukuran ini penting karena degradasi padang penggembalaan sering terjadi oleh adanya faktor lingkungan seperti perubahan cuaca, lebih spesifik lagi pengaruh langsung dari ternak ruminan secara mekanis seperti renggutan dan injakan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap komposisi botanis sebagaimana tertera pada Tabel 9.

98 79 Tabel 9. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap komposisi botanis padang penggembalaan (%) Parameter B. humidicola Legume Gulma Tanaman mati Sistem Penggembalaan Tekanan Penggembalaan (SR) (jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Kontinyu 79,21 b 70,38 b 63,41 c Rotasi 78,89 b 83,46 b 90,42 a Kontinyu 3,72 b 10,45 a 14,49 a Rotasi 0,78 c 0,95 c 1,33 c Kontinyu 2,32 c 4,94 b 10,62 a Rotasi 0,33 d 1,77 c 2,97 c Kontinyu 21,20 a 15,69 b 14,04 b Rotasi 19,61 a 12,40 b 4,61 c Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05 Komponen rumput B. humidicola pada interaksi SP 2 SR 3 sebanyak 90,42% nyata lebih tinggi dari interaksi lainnya, sedangkan yang terendah pada interaksi SP 1 SR 3 sebesar 63,41% (Tabel 9 ). Tingginya prosentase B. humidicola pada interaksi ini sejalan dengan tersedianya tanaman induk, anakan, bobot akar dan bobot crown setelah digembalai seperti terlihat pada Tabel 8 sebelumnya. Pada sistem penggembalaan kontinyu komponen legume meningkat mengikuti naiknya tingkat tekanan penggembalaan. Komponen legume tertinggi pada interaksi SP 1 SR 2 sebanyak 10,45% dan interaksi SP 1 SR 3 sebanyak 14,49%. Keduanya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya, terutama dengan semua tingkat tekanan penggembalaan yang berinteraksi dengan sistem penggembalaan rotasi. Prosentase legume terendah tersebut berturut-turut SP 2 SR 1 sebanyak 0,78%, SP 2 SR 2 sebanyak 0,95% dan SP 1 SR 3 sebanyak 2,97%. Naiknya prosentase komponen legume rambat pada sistem penggembalaan kontinyu (SP 1), berbanding terbalik dengan turunnya prosentase B. humidicola pada perlakuan yang sama. Hal ini disebabkan karena dengan naiknya tingkat tekanan penggembalaan berarti semakin banyak komponen hijauan B.humidicola

99 80 80 yang terkonsumsi. Pada sistem penggembalaan kontinyu tanaman rumput tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk pulih kembali setelah digembalai. Karena hal ini terjadi berulang kali dan berlanjut, maka tanaman lain mendapat kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang menguasai lahan. Komponen gulma tertinggi diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan kontinyu SP 1 SR 3 sebanyak 10,62%. Proporsi gulma pada interaksi perlakuan tersebut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua tingkat tekanan penggembalaan yang berinteraksi dengan sistem penggembalaan rotasi, yaitu SP 2 SR 1 sebesar 0,33%, SP 2 SR 2 sebesar 1,77% dan SP 2 SR 3 sebesar 2,97%. Selain legume rambat dan gulma, komponen tanaman mati menentukan juga komposisi botanis. Tabel 9 menunjukkan bahwa komponen tanaman mati paling rendah ditemukan pada perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP 2 SR 3 sebanyak 4,61% dan nyata lebih rendah dari interaksi perlakuan lainnya. Sedangkan komponen tanaman mati tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan kontinyu SP 1 SR 1 sebesar 21,20% dan SP 2 SR 1 sebanyak 19,61%. Tingginya komponen rumput B. humidicola dan rendahnya komponen lain pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3 menunjukkan bahwa perlakuan tersebut sangat menunjang persistensi rumput B. humidicola sebagai padang penggembalaan. Selanjutnya, dengan prosentase komponen rumput B. humidicola yang tinggi menunjukkan bahwa interaksi perlakuan tersebut memberikan juga nett primary production (NPP) yang tinggi dalam integrasi padang penggembalaan dengan perkebunan kelapa. Untuk mengkaji persistensi rumput B. humidicola dalam penelitian ini maka beberapa faktor yang terkait menunjang persistensi diuraikan sebagai berikut. Pertama, keragaan padang penggembalaan sebagai indikator persistensi tanaman menunjukkan bahwa jumlah tanaman induk, jumlah anakan/gound tiller, bobot akar dan crown yang tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SR 2 ) dengan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ) atau pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3. Kedua, kandungan nutrien rumput B. humidicola menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dengan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ). Sebaliknya kandungan serat

100 81 kasar, ADF dan Lignin terendah diperoleh pada perlakuan yang sama atau pada interaksi SP 2 SR 3. Ketiga, komponen B. humidicola tertinggi dalam komposisi botanis diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SR 2 ) dan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ) atau interaksi SP 2 SR 3, sedangkan komponen tanaman lainnya sangat terendah. Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin produktivitas dan persistensi rumput B. humidicola perlu diterapkan sistem penggembalaan rotasi dengan tingkat tekanan penggembalaan 3 ekor/ha, sedangkan waktu penggembalaan didasarkan pada akumulasi satuan bahang 456,54 DD. Kandungan Nutrien Hasil analisis ragam menunjukan bahwa interaksi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan nutrisi (Tabel 10). Tabel 10. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalan terhadap kualitas pastura (kandungan protein kasar, serat kasar, neutral detergent fiber, acid detergen fiber dan lignin %). Perlakuan Sistem Penggembalaan Protein kasar Serat kasar Neutral detergent fiber Acid detergent fiber Lignin Kontinyu 6,27 b 33,20 a 66,22 b 37,77 a 3,79 a Tekanan Penggembalaan Rotasi 8,09 a 32,12 b 67,54 a 35,98 b 3,46 b 0,77 UT 2,95 c 33,93 a 66,13 b 37,78 a 3,77 a 1,54 UT 6,99 b 32,42 b 66,63 b 37,30 a 3,56 b 2,31 UT 8,07 a 31,63 c 67,84 a 35,55 b 3,55 b Keterangan : angka pada kolom yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05 Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tertinggi dihasilkan oleh sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) sebesar 8,09% dan nyata lebih tinggi dibandingkan pada sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 ) 6,27%. Tekanan penggembalaan juga berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, dimana yang tertinggi diperoleh pada SR 3 sebesar 8,07% dan nyata lebih tinggi

101 82 82 dibandingkan dengan SR 1 (2,95%) dan SR 2 (6,99%). Kandungan PK pada sistem penggembalaan rotasi (SR 2 ) dan pada tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ) tidak berbeda nyata. Tingginya PK (8,09%) pada SP 2 sejalan dengan hasil keragaan padang penggembalaan (Tabel 7) dimana pada sistem penggembalaan rotasi jumlah tanaman induk dan ground tiller lebih tinggi terutama yang berinteraksi dengan SR 3. Keragaan padang penggembalaan yang baik tersebut bersinergi untuk mempercepat proses pemulihan tanaman rumput, yang pada gilirannya meningkatkan kecepatan fotosintesis dan menghasilkan tanaman hijauan pakan yang berkualitas (Pereira et al., 2009). Keragaan dan kualitas yang baik ini sangat diharapkan karena akan menentukan persistensi padang penggembalaan dan penambahan bobot badan ternak sapi (Gorder et al., 2005). Ditinjau dari aspek nutrisi dan makanan ternak, kandungan PK dalam penelitian ini hampir mencukupi kebutuhan sapi perah laktasi yang membutuhkan kandungan PK dalam rumput pakan sebanyak 9,2%. Akan tetapi jumlah tersebut melebihi kebutuhan PK sapi daging 5,9%, dan rataan kebutuhan PK ternak ruminan secara umum 8% (NRC, 1996). Untuk mempertahankan aktifitas mikro organisme reticulo-rumen pada ternak ruminan dibutuhkan sebanyak 6% PK dalam hijauan. Kandungan SK dalam penelitian ini berbanding terbalik dengan kandungan PK, dimana semakin tinggi kandungan PK diikuti dengan semakin rendah kandungan SK. Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Donkor et al (2003). Kandungan SK, ADF dan Lignin pada sistem penggembalaan kotinyu (SP 1 ) masing-masing 33,20% ; 37,77% dan 3,79% nyata lebih tinggi dari pada sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ), sedangkan kandungan NDF adalah sebaliknya. Selanjutnya naiknya SR dalam penelitian ini diikuti dengan turunnya kandungan SK, ADF dan Lignin, tetapi kandungan NDF meningkat. Hasil ini menunjukkan bahwa naiknya SR memperbaiki kualitas nutrisi yang akan tergambar dengan naiknya nilai kecernaan hijauan. Stewart et al. (2007) menemukan bahwa tekanan penggembalaan tinggi memberikan hasil produksi hijauan lebih baik dibandingkan tekanan penggembalaan rendah, sebanyak 41

102 83 kg/ha/hari vs 17 kg/ha/hr. Untuk PK 140 g/kg vs 99 g/kg, in vitro digestible organic matter (IVDOM) 505 g/kg vs 459 g/kg dari pastura bahiagrass (paspalum notatum). Dari hasil penelitian Dubeux et al (2006) selama tiga tahun menunjukan bahwa kandungan N tertinggi diperoleh pada SR tinggi (4,2 AU/ha) yaitu sebesar 20-35,5 g/kg, dan pada SR rendah (1,4 AU/ha) hanya diperoleh sebanyak 14-15,7 g/kg BK. Mikroba Tanah. Mikroorganisme tanah pada lingkungan perakaran rumput berperan dalam proses dekomposisi bahan organik tanah. Dalam percobaan ini mikroba tanah yang diukur dikhususkan pada bakteri azotobakter dan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 9. Tabel 11. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap konsentrasi mikoriza dan azotobakter. Parameter Mikroza (Spora/200 g tanah) Azotobakter Sistem Penggembalaan Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Kontinyu 2,30 d 2,60 c 2,30 d Rotasi 3,33 c 5,00 b 7,30 a Kontinyu 4,23 c 4,32 c 4,58 b Rotasi 5,80 b 6,69 a 6,98 a Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05 Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah spora mikoriza tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3 sebanyak 7,30 spora / 200 g tanah, dan nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya. Jumlah spora terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP 1 SR 1 dan interaksi perlakuan SP 1 SR 3 dengan jumlah spora yang sama 2,30 spora/200 g tanah. Kandungan spora tertinggi dipengaruhi dengan nyata oleh sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dengan SR tertinggi (SR 3 ). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sistem penggembalaan rotasi meningkatkan populasi spora ectomycorhyzal basidomycetes, yakni fungi yang

103 84 84 menstabilkan tanah dengan membentuk water-stable agregat tanah di sekitar perakaran rumput, menjadi lebih tinggi dibandingkan pada penggembalaan kontinyu (Caesar Ton That et al., 2001 b ). Koloni bakteri azotobakter tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP 2 SR 2 sebanyak 6,69 CFU/g tanah dan interaksi perlakuan SP 2 SR 3 sebanyak 6,98 CFU/g tanah. Keduanya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Naiknya tekanan penggembalaan meningkatkan populasi bakteri (Girma et al., 2007) dan memberikan umpan balik positif terhadap pool N anorganik tanah sebanyak 1,2 kali dan kandungan N daun sebanyak 1,5 kali (Hamilton et al., 2008). Umpan balik positif tersebut terjadi karena dengan naiknya populasi mikroorganisme tanah akan membantu mempercepat proses mineralisasi bahan organik tanah dan menghasilkan unsur hara dalam bentuk tersedia, yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman dan oleh mikroba tanah itu sendiri. Sebab itu dikatakan bahwa penggembalaan ternak dapat meningkatkan karbon mikroba, karbon tanah rizosfer, karbon terlarut dalam tanah, NH dan NO 3 lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penggembalaan. Sistem penggembalaan sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial di bawah tanah. Bila terjadi tekanan penggembalaan berat (over grazed) pada sistem penggembalaan kontinyu, akan mengakibatkan penurunan kemampuan mikroba tanah dalam merombak karbohidrat kompleks, termasuk juga potensi mineralisasi nitrogen (Lawrence and Vadakattu, 2007). Karbohidrat Mudah Larut Defoliasi atau perenggutan hijauan pakan oleh ternak herbivora senantiasa terkait dengan pelepasan karbon dan asam amino melalui eksudat akar. Hasil penelitian pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap konsentrasi glukosa dan sukrosa pada komponen akar dan crown disajikan pada Tabel 12.

104 85 Tabel 12. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap kandungan karbohidrat mudah larut (%). Glukosa Sukrosa Parameter Sistem Penggembalaan Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Kontinyu 0,153 a 0,133 b 0,169 a Rotasi 0,136 b 0,084 c 0,033 d Kontinyu 0,380 a 0,330 a 0,370 a Rotasi 0,206 b 0,190 c 0,220 b Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05 Konsentrasi glukosa tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP 1 SR 3 sebanyak 0,169% dan pada interaksi perlakuan SP 1 SR 1 sebanyak 0,153%, berbeda nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya. Sementara itu yang terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3 sebanyak 0,033%. Dari data terlihat bahwa konsentrasi glukosa yang lebih tinggi banyak didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan kontinyu SP 1, sebaliknya konsentrasi glukosa yang rendah banyak didominasi perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP 2. Konsentrasi sukrosa tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP 1 dengan semua tingkat tekanan penggembalaan (SP 1 SR 1, SP 1 SR 2 dan SP 1 SR 3 ), berturut-turut sebesar 0,380; 0,330 dan 0,370%. Hasil ini bebeda nyata dengan interaksi perlakuan lainya. Sementara itu konsentrasi terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP 2 SR 2 sebesar 0,190%. Konsentarsi sukrosa yang lebih tinggi didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 ), dan konsentarsi yang terendah didominasi oleh pengaruh perlakuan sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ). Konsentrasi glukosa dan sukrosa pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Mayland et al (2000) yang memperoleh konsentrasi glukosa 2,09% dan sukrosa 3,87%. Hal ini mungkin karena perbedaan jenis rumput, dan pada penelitian tersebut bahan yang dianalisa adalah keseluruhan komponen crown (termasuk bagian tunggul sepanjang 3/4 inci) dan komponen akar, sedangkan pada penelitian ini tidak termasuk tunggul.

105 86 86 Konsentrasi glukosa yang rendah didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) terutama yang berinteraksi dengan perlakuan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ). Hal ini dapat diterangkan bahwa sebagaimana yang terjadi secara umum pada tanaman rumput, dengan naiknya tekanan penggembalaan berarti semakin banyak bagian tanaman yang terenggut atau jaringan untuk proses fotosintesis yang hilang, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak untuk pemulihan kembali (Diaz-Filho, 2000; Interrante et al., 2009). Hasil pemulihan tersebut dapat diukur pada indikator persistensi tanaman sesudah digembalai seperti banyaknya jumlah tanaman induk yang masih hidup, jumlah anakan, bobot akar dan bobot crown. Pada penelitian ini semua indikator persistensi tersebut lebih banyak diperoleh pada perlakuan yang didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP 2 (Tabel 8). Pengambilan cadangan karbohidrat mudah larut dari komponen tanaman di bawah tanah mencapai puncaknya sekitar 7 hari setelah defoliasi, dan akan kembali normal setelah 14 kemudian. Pemulihan tersebut terjadi ketika bagian pucuk tanaman mulai aktif berfotosintesis kembali. Di daerah temperate rumput baru akan siap direnggut kembali setelah tanaman memiliki daun ketiga atau sekitar umur 30 hari (Mislevy et al., 2003). Walaupun terjadi fluktuasi konsentrasi karbohirat mudah larut akibat perenggutan, tetapi kenaikan tekanan penggembalaan mampu menunjukkan kandungan karbon organik lebih tinggi dalam tanah pada kedalam 10 cm (Gao et al.,2007). Walaupun terjadi pengurasan cadangan dari dalam akar, tetapi rumput B.humidicola menunjukkan kemampuan bertumbuh kembali yang cepat karena rumput ini menyimpan lebih banyak cadangan karbohidrat mudah larut pada komponen stolon, sehingga lebih persisten pada tekanan penggembalaan berat dan pada kondisi ternaung (Baruch and Guenni, 2007).

106 87 Penambahan Bobot Badan Sapi Analisis ragam menunjukkan tidak berpengaruh interaksi nyata terhadap penambahan bobot badan (pbb) ternak sapi (Tabel 13). Tabel 13. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalan terhadap penambahan bobot badan (pbb) sapi. Perlakuan Penambahan bobot badan (g/ekor/hari) Sistem penggembalaan Kontinyu Rotasi Tekanan Penggembalaan 382,30 b 406,30 a 0,77 UT 465,65 a 1,54 UT 387,60 b 2,31 UT 338,85 c Keterangan : angka pada kolom yang sama diikuti huruf tidak sama berbeda nyata (P<0,05). Sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) memberikan rataan pbb 406,5 g/e/hari berbeda nyata lebih tinggi dari sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 ) (382,3 g/e/hari). Hasil ini erat hubungannya dengan kualitas nutrien yang dihasilkan sebagai akibat pengaruh perlakuan. Pada analisis kandungan nutrien (Tabel 7) terlihat bahwa sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) memberikan hasil kandungan protein yang nyata lebih tinggi (8,09%) dibandingkan dengan sistem pengembalaan kontinyu SP 1 (6,27%). Tekanan penggembalaan berpengaruh pada penambahan bobot badan, dimana semakin tinggit ekanan penggembalaan, penambahan bobot badan sapi semakin kecil (Tabel 13). Penambahan bobot badan ternak pada perlakuan SR 1 sebesar 465,65 g/ekor/hari, untuk SR 2 387,60 g/ekor/hari dan 338,85 g/ekor/hari pada SR 3. Hal ini disebabkan pada SR 3 ketersediaan hijauan semakin terbatas

107 88 88 untuk 3 ekor sapi. Apabila hasil penambahan berat badan per ekor tersebut dikonversi per unit percobaan ( pedok ), maka rataan penambahan berat badan pada SR 1, SR 2 dan SR 3 pada sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 ) menjadi berturut-turut 440,0 g/ pedok, 730,4 g/ pedok dan 1024,8 g/ pedok. Sedangkan penambahan berat badan pada sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) untuk SR 1 sebesar 473,3 g/ pedok, SR 2 sebesar 820,0 g/ pedok dan SR 3 sebesar 1098,3 g/ pedok. Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan sebelumnya dimana penelitian selama 5 tahun pada pastura B. humidicola menunjukkan penurunan penambahan berat badan dengan naiknya tekanan penggembalaan dari 2 ekor menjadi 3 dan 4 ekor masing-masing berturut-turut 434, 365 dan 308 g/ekor/hari (Pereira et al., 2009). Tekanan penggembalaan ternak tidak hanya mempengaruhi produksi dan morfologis tanaman padang penggembalaan, tetapi juga berpengaruh pada siklus nitrogen tanaman dan juga siklus nitrogen pada ternak melalui jumlah hijauan yang terkonsumsi dan jumlah feses dan urine yang dihasilkan (Boddey et al., 2004). Dilaporkan bahwa naiknya tekanan penggembalaan pada padang penggembalaan Brachiaria merobah pola daur ulang unsur N secara nyata. Dalam hal ini dengan naiknya tekanan penggembalaan dari 2 ekor menjadi 4 ekor/ha menaikkan jumlah konsumsi N oleh ternak berturut-turut dari 94 kg, menjadi 158 kg/ha/tahun. Sedangkan N yang terdeposit dalam mulsa menurun sangat nyata dari 170 kg menjadi 105 kg/ha/tahun. Kenaikan berat badan ternak dari padang rumput merupakan hasil kegiatan simbiosis mutualistis dari satu kondisi ekofisiologis kompleks antara tanaman padang penggembalaan, tanah dan ternak ruminan. Penambahan berat badan (pbb) harian dengan naiknya tekanan penggembalaan tidak saja terkait dengan ketersediaan volume hijauan yang dikonsumsi oleh ternak. Proses pencernaan mikrobia rumen yang berperan mengkonversi produk potensial biomassa padang penggembalaan menjadi produk riil ternak berupa pbb, turut mempengaruhi. Untuk mencapai aktifitas fermentasi dalam rumen yang optimal, pakan hijau harus mengandung unsur N yang berada dalam keseimbangan dengan

108 89 unsur karbon mudah larut atau readily availabke carbohydrate (RAC), dengan rasio 32 g N/ kg RAC (Sinclair et al., 1993). Hasil buah kelapa. Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa diharapkan juga akan meningkatkan produktivitas kelapa. Hasil buah kelapa pada percobaan ini disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan jumlah buah kelapa (butir) di luar dan di dalam lokasi penelitian Waktu Lokasi Panen Luar Penelitian Dalam Penelitian Juli-Agustus ,28 + 2,167 9,70 + 2,922 Sept-Oktober ,20 + 2,969 9,00 + 2,626 Januari-Februari ,84 + 3,328 10,66 + 4,710 Mei-Juni ,86 + 5,711 15,86 * + 6,263 Juli-Agustus ,30 + 2,705 16,18 * + 6,546 Sept-Oktober ,08 + 5,110 14,66 * + 4,443 Keterangan : * berbeda nyata. N = Jumlah tanaman 50 pohon. Uji t menunjukkan hasil buah kelapa (butir) dalam lokasi penelitian nyata lebih tinggi dari pada di luar lokasi. Hal ini mungkin disebabkan adanya peningkatan kesuburan tanah karena adanya pengolahan tanah, dan adanya daur ulang unsur hara lebih cepat. Dalam 24 jam hijauan yang dikonsumsi ternak sapi sudah tercerna dan dikeluarkan sebagai urine dan feses, terutama dengan naiknya tekanan penggembalaan per satuan luas (Rika et al., 1981). Kemungkinan lain adalah penggunaan unsur nitrogen pada padang penggembalaan B. humidicola menjadi lebih efisien, karena rumput ini dilaporkan sangat aktif menghasilkan eksudat akar antara 17 sampai 50 ATU (allylthiourea unit) per gram akar kering per hari, yang mengandung substans kimia yang disebut brachialactone. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk inhibisi nitrifikasi secara biologis (biological nitrification inhibition)(subbarao et al., 2009; Ipinmoroti et al., 2008). Sampai sekarang satu-satunya cara mengatur kecepatan

109 90 90 nitrifikasi pada sistem pertanian yaitu dengan menerapkan inhibitor nitrifikasi sintetik dengan biaya yang relatif lebih mahal. Penghambatan ini perlu sebab sekitar 50-70% nitrogen hilang dalam proses nitrifikasi melalui pencucian (CIAT, 2009). Walaupun dalam penelitian ini tidak mengukur adanya substrat tersebut, tetapi oleh karena sifat Brachialactone hanya akan menjadi aktif apabila pada sistem perakaran tersedia NH + 4 (Ipinmoroti et al., 2008), maka dengan adanya ternak mungkin fenomena tersebut dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena ternak sapi mengeluarkan kembali ke lahan sebanyak 65-75% dari N yang dikonsumsi. Dari jumlah tersebut di atas 50% dikeluarkan sebagai urine, 82% nitrogen dalam urine tersebut ditemukan di padang penggembalaan (Mc Leod et al., 2009). Dengan demikian naiknya hasil buah kelapa pada pastura yang digembalai ternak sapi diduga mungkin terjadi karena adanya ureum yang berasal dari urine dan feses yang mengandung NH + 4, dan yang bertindak sebagai perangsang aktivitas brachialactone tersebut (Ipinmoroti et al., 2008). Sumber lain melaporkan bahwa seekor sapi dewasa membuang urine sebanyak 1,5-3,5 liter / hari, dengan konsentrasi N sebanyak 2-20 g N/liter urine, dan setiap urinasi dapat menutupi 0,4 0,8 m2. Jumlah ini setara dengan kg N/ ha (Gregorini et al., 2010). Berat badan ternak sapi pada percobaan ini rata-rata 270 kg sebanyak 36 ekor. Bila seekor menghasilkan feses segar seberat 20 kg /hari, dan 2,5 liter urine/hari, berarti ternak-ternak tersebut menghasilkan feses segar sebanyak kg per tahun dan liter urine per tahun. Kandungan nitrogen feses segar 1,13% sedangkan kandungan nitrogen urine sebanyak 0,01%. Dengan demikian jumlah ternak yang digembalakan dalam percobaan ini memberikan sumbangan N melalui feses dan urine sebanyak 3252,9 kg/tahun. Bila pupuk urea mengandung 42% N, berarti kontribusi tersebut di atas setara dengan 1366,2 kg pupuk urea/tahun. Dalam perhitungan sederhana ini hanya difokuskan pada unsur N, sebab sekitar 70% N yang dikonsumsi oleh ternak dilepaskan kembali melalui manure. Namun demikian ternak ruminan tidak saja mengembalikan apa yang dikonsumsinya, tetapi ternak ruminan sebagai pabrik biologis menghasilkan N

110 91 dalam proses pencernaan mikrobia rumen untuk kebutuhan hidup mereka, tetapi sebagian besar dibuang melalui urine dan feses (Lapierre et al., 2005). Kesimpulan Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Keragaan padang penggembalaan yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dan tekanan penggembalaan tinggi (SR 3 ). 2. Kandungan serat kasar, ADF dan lignin tertinggi pada sistem penggembalaan kontinyu (SP 1 ), sedangkan sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) menghasilkan kandungan protein kasar tertinggi dan kandungan NDF tertinggi. 3. Naiknya tekanan penggembalaan pada kedua sistem penggembalaan diikuti dengan penurunan penambahan berat badan harian per ekor, tetapi tambahan bobot badan harian pada sistem penggembalaan rotasi nyata lebih tinggi dari pada sistem kontinyu. 4. Hasil buah kelapa nyata lebih tinggi pada lahan percobaan dengan padang penggembalaan B. humidicola serta penggembalaan ternak sapi dibandingkan dengan lahan kelapa di luar lokasi penelitian.

111 92 92 PEMBAHASAN UMUM Permintaan dunia terhadap produk-produk peternakan diprediksi mencapai dua kali lipat sampai dengan pertengahan abad ini disebabkan oleh naiknya pertambahan jumlah penduduk, dan di lain pihak pada waktu bersamaan telah diprediksi akan terjadi perubahan cuaca yang besar secara global. Dengan meningkatnya permintaan hasil produksi tanaman pangan untuk mengisi kebutuhan biofuel akhir-akhir ini, turut memberikan dampak terhadap suplai sumber pangan dan juga terjadi kenaikkan harga untuk komoditi tanaman pangan sumber enegi terbarukan tersebut. Bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia keamanan pangan atau food secutity tetap menjadi isue prioritas tertinggi. Oleh karena sampai saat ini masih tetap melakukan impor daging merah dan ternak sapi bakalan dalam jumlah besar, karena tidak ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi ini. Sulitnya memenuhi kebutuhan daging merah atau daging ternak ruminansia di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah keterbatasan sumber daya pakan hijauan. Ditengah upaya meningkatkan suplai komoditi daging merah berasal dari ternak ruminansia justru dinyatakan turut bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global akibat akumulasi gas-gas rumah kaca, di antaranya gas N 2 O dan gas CH 4 yang banyak dihasilkan oleh ternak ruminan (FAO, 2006; Follett and Reed., 2010). Diperkirakan kurang lebih 20% emisi gas metane, dan antara 16-33% N 2 O berasal dari kegiatan pertanian terutama dihasilkan dari padang rumput (Clark et al., 2005). Bahaya gas metane 23 kali lebih besar dari gas CO 2, dan bahaya gas N 2 O lebih buruk lagi yaitu sekitar 300 kali (Guss, 2011). Namun demikian dampak positif dari pemanasan global adalah tersedia CO 2 yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis, sehingga diprediksi bahwa naiknya produksi biomassa tanaman sekarang ini tidak lagi sepenuhnya sebagai hasil pemuliaan tanaman dan manajemen budidaya, tetapi turut ditentukan oleh ketersediaan gas CO 2 (Mc Laughin, 2003; IPPC, 2007). Oleh karena itu ketrsediaan gas tersebut perlu disiasati penggunaannya sebagai peluang untuk meningkatkan produktivitas

112 93 tanaman biji-bijian dan padang penggembalaan dengan penerapan teknologi adaptasi yang tepat. Saat panen yang tepat. Kebiasaan penggembalaan ternak yang diterapkan selama ini hanya bertujuan bagaimana cara menghasilkan biomassa hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak. Berbagai teknologi budidaya telah diterapkan, namun faktor lingkungan lain belum diperhatikan. Patokan umur penggembalaan ternak tergantung jenis hijauan yang digunakan, tetapi jenis tanaman padang penggembalaan biasanya digembalai pada umur tanaman sekitar 30 hari. Patokan ini ditetapkan karena selama ini penggembalaan ternak hanya dipahami secara sederhana dan terfokus pada aspek morfologi tanaman. Sesungguhnya penggembalaan memberikan pengaruh yang kompleks terhadap tanaman rumput dalam kaitannya dengan pertumbuhan, densitas dan produksi biomassa hijauan pakan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi suplai hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak (Manske, 2001). Praktek penggembalaan tradisional menyebabkan kerusakan lanskap dan kemunduruan sampai pada kerusakan ekosistem padang penggembalaan (Gorder et al., 2005) Pemanasan global yang diakibatkan oleh meningkatnya gas CO 2 di atmosfir mendasari hipotesis bahwa akan ada perbedaan kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron rumput B. humidicola yang digunakan sebagai tanaman padang penggembalaan. Kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokran pada tanaman yang tumbuh tunggal pada pelitian ini sebesar 68,19 DD ( 0 C hari), sedangkan pada tanaman yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan lebih yakni 130,44 DD ( 0 C hari). Tanaman tunggal yang membutuhkan satuan bahang lebih sedikit disebabkan kurang terjadi persaingan unsur hara dan air. Selain itu penetrasi cahaya matahari mencapai permukaan tanah dan menaikkan suhu permukaan tanah, sebagai perangsang munculnya tunas baru. Tanaman dalam komunitas yang membutuhkan satuan bahang lebih banyak, mungkin disebabkan karena padatnya populasi tanaman yang membatasi penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah. Filokron dipengaruhi suhu udara

113 94 94 pada tingkat kanopi tanaman, tetapi lebih ditentukan oleh suhu permukaan tanah di sekitar titik tumbuh pada crown (McMaster et al., 2003). Defoliasi atau perenggutan merangsang pertumbuhan anakan baru yang lebih vigor, dengan prosentase biomassa daun yang lebih banyak dan bergizi. Selain itu defoliasi/perenggutan merangsang pelepasan karbon dan asam amina mlalui eksudat akar, unsur-unsur sangat dibutuhkan untuk prolifikasi mikro organisme tanah (Gorder et al., 2005). Sejak lama manajemen defoliasi tanaman makanan ternak lebih banyak terfokus pada pengaturan intensitas dan frekuensi pemotongan, atau tekanan penggembalaan, tetapi mengabaikan tahap perkembangan vegetatif yang tepat. Bila hal tersebut diperhatikan maka tanaman diberi kesempatan untuk mampu menyediakan jumlah biomassa hijauan yang dibutuhkan ternak, dan menjamin keberlanjutan produksi dan reproduksi. Selama ini belum tersedia data tahap perkembangan vegetatif yang tepat pada rumput B.humidicola untuk dapat digembalakan. Secara umum dikatakan bahwa tahap perkembangan tanaman rumput dengan memiliki 3,5 daun dewasa cukup ideal untuk digembalai. Mengacu pada patokan tersebut, dan berdasarkan hasil percobaan I bahwa kebutuhan satuan bahang tanaman dalam komunitas 130,44 DD ( 0 C hari) maka tanaman B. humidicola untuk dapat dipanen akan membutuhkan jumlah satuan bahang sebesar 456,54 DD ( 0 C hari). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan interval defoliasi berdasarkan kebutuhan unit panas yang berinteraksi dengan intensitas defoliasi 10 cm di atas permukaan tanah, ternyata memberikan hasil bobot kering biomassa hijauan, rasio daun batang, dan kandungan protein kasar paling tinggi, sebaliknya kandungan serat kasar, ADF dan Lignin yang paling rendah. Hasil ini diperoleh dari manajemen defoliasi secara manual atau pemotongan dengan alat potong gunting. Cara ini belum melibatkan faktor-faktor kompleks dalam yang terdapat dalam integrasi perkebunan kelapa padang penggembalaan ternak sapi. Dalam sistem integrasi ini kompetisi (cahaya, air dan hara), pengaruh injakan dan renggutan ternak, adanya urine dan feses ternak, serta simbiosis mutualis mikro organisme tanah merupakan suatu kajian ekofisiologis yang kompleks yang harus diperhatikan.

114 95 Data kebutuhan unit panas yang diperoleh untuk rumput B. humidicola memberikan gambaran bahwa CO 2 berlimpah di atmosfir yang turut menyebabkan naiknya suhu udara, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk pertumbuhan tanaman yang optimal. Tingkat pertumbuhan yang optimal tersebut akan lebih akurat dengan menggunakan patokan akumulasi unit panas yang dibutuhkan tanaman. Keragaan padang penggembalaan diperoleh sebagai hasil interaksi antara fenofase dengan intensitas defoliasi yang tepat, karena terkait dengan ketersediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali. Sebagaimana diketahui bahwa cadangan energi dan tersedianya titik-titik tumbuh ditentukan oleh berapa banyak bagian tanaman yang tertinggal setelah defoliasi. Data morfologis dan nilai nutrien hasil perlakuan tersebut di atas, mengindikasikan bahwa rumput B. humidicola potensial sebagai pakan, tetapi sejauh mana nilai biologisnya akan terlihat pada keragaan padang penggembalaan dan keragaan ternak setelah digembalai. Keragaan padang penggembalaan dan keragaan ternak. Integrasi tanaman padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa bukanlah model yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh petani sejak lama, yang dikenal dengan sistem segi tiga Kelapa-Pastura-Ternak sapi (Reynolds, 1990). Sistem integrasi ini memiliki berbagai keuntungan, tetapi juga kerugian jika tidak menerapkan manajemen penggembalaan yang benar. Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi dengan tanaman industri seperti kelapa, karet dan sengon merupakan suatu lingkungan ekofisiologis yang kompleks. Untuk keberlanjutan semua komponen yang terkait harus hidup dengan pola simbiose mutualistis. Tanaman kelapa, padang penggembalaan dan ternak sapi merupakan komponen yang menyusun sistem segi tiga tersebut. Ketiga komponen ini berinteraksi langsung dan tidak langsung melalui tanah sebagai media. Komponen ternak mensuplai manure sebagai sumbangan positif pada tanah, akan tetapi ternak juga memberikan pengaruh negatif berupa pemadatan tanah bila besarnya tekanan penggembalaan melebihi kapasitas tampung lahan.

115 96 96 Ternak memberikan unsur hara secara tidak langsung pada padang penggembalaan, tetapi memberikan manure melalui tanah. Manure tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh mikro organisme tanah, sampai unsurunsurnya menjadi tersedia untuk tanaman rumput B. humidicola dan juga untuk tanaman kelapa. Kontribusi ternak pada padang penggembalaan secara fisik berupa perenggutan, yang pada gilirannya akan merangsang pertumbuhan kembali tanaman rumput. Pertumbuhan anakan baru tersebut terjadi karena, dengan adanya defoliasi / perenggutan menyebabkan penghambatan dominasi apikal sebagai hasil kerja hormon auksin. Dengan terjadinya penghambatan kerja hormon auksin akan merangsang pertumbuhan tajuk baru / tunas tunas lateral pada tanaman rumput bagian bawah. Pengaruh positif penggembalaan ternak hanya akan terjadi jika tekanan penggembalaan yang sesuai dengan kapasitas tampung, diterapkan pada fase pertumbuhan vegetatif optimal. Interaksi yang tepat ini selain akan memberikan produksi biomassa yang berkualitas untuk ternak, juga menyumbangkan unsur karbon untuk kebutuhan prolifikasi mikroorganisme tanah. Hal ini akan menjadi kontribusi komponen padang penggembalaan pada tanah berupa mulsa. Selain itu tanaman rumput mensuplai unsur-unsur yang terkandung dalam eksudat akar yang akan dilepaskan ke tanah ketika terjadi perenggutan. Tanah merupakan media untuk proses dekomposisi bahan organik oleh aktifitas mikroorganisme tanah. Mikroorganisme ini berkembang oleh adanya manure dari ternak dan mulsa serta eksudat akar dari tanaman rumput. Pada proses lebih lanjut, tanah akan menyediakan unsur hara untuk padang penggembalaan dan kelapa. Dengan adanya kecukupan unsur hara, padang penggembalaan mampu menyediakan biomassa hijauan pakan yang cukup dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan ternak. Demikian juga karena tersedia unsur hara yang memadai akan menaikkan hasil buah kelapa. Harapan keberlanjutan sistem integrasi segi tiga kelapa, padang penggembalaan dan ternak sapi hanya akan dicapai bila simbiose mutualistis antar

116 97 komponen terpelihara melalui strategi manajemen penggembalaan efektif secara biologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem penggembalaan rotasi mampu memperbaiki keragaan padang penggembalaan. Keragaan tersebut sebagai indikator persistensi tanaman rumput setelah mengalami perenggutan, terutama yang berinteraksi dengan tekanan penggembalaan yang tinggi. Keragaan ini terefleksi juga pada kualitas nutrien yang dihasilkan, dimana sistem penggembalaan rotasi menghasilkan protein kasar lebih tinggi dibandingkan sistem penggembalaan kontinyu. Demikian juga dengan naiknya tekanan penggembalaan diikuti dengan naiknya kandungan protein kasar. Berbagai literatur menyatakan bahwa rumput B. humidicola dikategorikan sebagai jenis rumput yang persisten dan dianjurkan dapat digunakan untuk padang penggembalaan. Akan tetapi indikator yang dapat diukur untuk menunjukkan persistensinya masih sangat terbatas, khususnya yang tumbuh terintegasi dengan tanaman kelapa. Persistensi dan kandungan nutrien dari penelitian ini terukur juga pada produksi ternak berupa penambahan bobot badan (pbb) harian. Sistem penggembalaan rotasi memberikan penambahan bobot badan harian lebih tinggi dari sistem penggembalaan kontinyu. Penggembalaan dengan sistem rotasi pada tekanan penggembalaan yang ideal seperti dalam penelitian ini, tidak saja mempertahankan persistensi tetapi juga meningkatkan kesuburan tanah, terutama unsur nitrogen. Dengan menggunakan data penambahan bobot badan sekitar 382 g/e/h pada sistem penggembalaan kontinyu dengan 3 ekor ternak, atau setara dengan berat total 411,8 kg/ha/thn. Bila harga penjualan Rp /kg berat hidup, akan diperoleh hasil penjualan dari jumlah penambahan bobot badan sebesar Rp /ha/tahun. Pada sistem penggembalaan rotasi dengan penambahan bobot badan 406 g/e/h, pbb untuk 3 ekor sama dengan 438,5 kg/ha. Dengan cara perhitungan yang sama akan diperoleh hasil penjualan Rp Jumlah ini merupakan nilai tambah introduksi padang penggembalaan dan ternak pada sistem pertanian perkebunan kelapa. Produksi kopra pada pertanian kelapa rakyat yang pada umumnya tanpa manajemen budidaya yang baik menghasilkan 1 ton kopra per hektar per tahun.

117 98 98 Bila harga kopra Rp / kg, berarti menghasilkan Rp /ha/tahun. Ketergantungan pendapatan petani bila hanya pada komoditi kelapa selalu beresiko, karena harga kopra fluktuatif sepanjang waktu. Penerimaan dari penjualan kopra tersebut belum merupakan pendapatan neto petani karena harus dipotong biaya tenaga kerja dan angkutan. Dengan demikian penerimaan petani dari penjualan kopra hanya berkisar 50% dari jumlah tersebut. Dari perhitungan ini terlihat bahwa kotribusi ternak secara ekonomi pada sistem pertanian perkebunan kelapa sangat bermakna yaitu sekitar 10 juta rupiah lebih besar dari pendapatan bruto hasil penjualan kopra. Pentingnya integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi dalam sistem pertanian perkebunan kelapa adalah bahwa harga daging sapi tidak pernah turun di pasaran. Sampai saat ini Indonesia defisit daging merah, karena komoditi ini hanya berkembang 1,4% per tahun sedangkan permintaan komoditi ini sebesar 4,7 % per tahun. Hal ini yang menyebabkan impor daging merah dan sapi bakalan untuk penggemukan tetap meningkat sampai tahun ini. Dengan menerapkan manajemen yang memperhatikan keseimbangan antar komponen yang menyusun sistem integasi ini, memberikan sumbangan yang tidak ternilai dengan uang untuk lingkungan hidup melalui beberapa mekanisme. Pertama, dengan menerapkan sistem penggembalaan rotasi dan tekanan penggembalaan yang semakin tinggi merangsang terjadinya pertumbuhan kembali rumput setelah direnggut. Dalam hal ini terjadi penggunaan CO 2 yang semakin banyak melalui fotosintesis yang cepat ketika terjadi pertumbuhan kembali tanaman rumput. Pemanfaatan CO 2 yang banyak tersebut membantu upaya mitigasi terhadap pemanasan global. Kedua, rumput B. humidicola melepaskan senyawa brachialactone melalui eksudat akar. Senyawa ini berperan sebagai biological nitrification inhibitor (BNI) yang dapat memperlambat terjadinya pelepasan N 2 O sebagai salah satu gas rumah kaca, melalui nitrifikasi. Aktivitas brachialactone hanya akan terstimulasi apabila tersedia NH 4 di sekitar perakaran. NH4 ini dapat berasal dari pemupukan nitrogen atau adanya urine. Peristiwa ini merupakan satu bentuk simbiosis mutualistis antara rumput B.humidicola dengan ternak ruminan. Disinilah perbedaan mendasar antara

118 99 defoliasi secara mekanik (cutting or mowing) dan defoliasi secara biologis oleh ternak (grazing). Direktorat Jenderal Produksi Peternakan menargetkan swasembada daging merah akan dicapai pada tahun 2014, atau impor daging merah akan dibatasi hanya sebesar 10%. Kalau demikian seharusnya lahan tidur, terutama di areal pertanaman kelapa, yang ditutupi oleh hijauan lokal yang tidak edible sebagai pakan, seharusnya dikonversi menjadi padang penggembalaan unggul. Dalam hal ini B. humidicola dapat digunakan sebagai rumput padang penggembalaan unggul disertai dengan penerapan manajemen dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti yang diperoleh dalam penelitian ini.

119 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Untuk membentuk satu filokron tanaman rumput B. humidicola di areal perkebunan kelapa tidak sama pada tanaman yang tumbuh secara tunggal dan tanaman yang tumbuh dalam satu komunitas. Pola tumbuh menunjukkan bahwa tanaman tunggal B. humidicola perkembangannya sangat agresif. Hal ini terlihat pada variabel jumlah anakan, jumlah buku dan panjang stolon yang berkembang mengikuti pola regresi linier, sedangkan yang tumbuh dalam komunitas semua variabel berkembang mengikuti pola regresi kuadratik. Untuk keberlanjutan persistensi rumput ini, sifat agresif tersebut harus dikendalikan dengan tindakan defoliasi yang teratur. 2. Manajemen padang penggembalaan perlu memperhatikan faktor intensitas dan interval defoliasi karena sangat mempengaruhi produktifitas dan kualitas rumput B. humidicola. Perlakuan yang ideal adalah dengan intensitas atau tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah dengan interval defoliasi yang didasarkan pada akumulasi satuan bahang 456,54 DD. 3. Produktivitas lahan pertanian perkebunan kelapa dapat ditingkatkan dengan integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi, karena selain memperoleh penambahan berat badan ternak, juga meningkatkan jumlah buah kelapa. 4. Dalam penggembalaan ternak di perkebunan kelapa perlu mempertimbangkan keseimbangan kebutuhan pertumbuhan tanaman rumput yang sehat untuk menyediakan hijauan pakan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hasil ini akan berdapak positif tidak hanya terhadap produksi ternak, tetapi juga untuk dapat meningkatkan persistensi dan keberlanjutan produksi padang penggembalaan serta meningkatkan produksi buah kelapa. 5. Integrasi padang penggembalaan dan ternak di perkebunan kelapa (agro pastura) akan mempunyai prospek yang baik dikembangkan di daerah pada ketinggian tempat 67 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan persyaratan berdasarkan hasil penelitian ini :

120 101 a. Jenis rumput yang digunakan adalah Brachiaria humidicola cv Tully karena rumput ini menunjukkan simbiose mutualistis yang baik dengan kehadiran ternak sapi dalam sistem. b. Sistem penggembalaan yang diterapkan harus sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 2,31UT/ha. c. Patokan yang ideal untuk menetapkan saat penggembalaan adalah dengan menggunakan ukuran akumulasi satuan bahang 456,54 DD. Saran Manajemen penggembalaan ternak yang digunakan dalam penelitian ini dapat diterapkan untuk memberdayakan lahan tidur pada sistem pertanian perkebunan kelapa. Bila hal ini diterapkan diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pencapaian target swasembada daging merah tahun 2014 yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan.

121 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, L Pola pertumbuhan rumput Signal (Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick) pada padang penggembalaan dengan aplikasi sumber nutrien berbeda. Media Peternakan 32(1): Aragona, F Grazing improved the species diversity of symbiotik soil fungi. Healthy Land Sustainable Future 16: <www://holistick.management.org> Boddey, R.M., R.M. Tarre., R. Macedo., R. Razende., J.M. Pereira Cycling of N and P in gass-alone Brachiaria and mixed grass-legume (Brachiaria- Desmodium ovalifolim) grazed pasture in the Atlantic Forest Region of Brazil. Agic. Ecosyst Environ 103: Busque.J., M. Herrero Sward structure and patterns of defoliation of signal grass (Brachiaria decumbens) pastures under different cattle grazing intensities. Tropical Gassland 35: Braga.G.J., Pedreira.C.G.S., de C.Luz.P.H., C.G. de Lima Herbage allowance effects on leaf photosynthetic and canopy light interception in palisade grass pasture under rotational stocking. Tropical Grassland. Vol.42: Butler, T.J., G.W. Evers., M.A. Hussey., L.J. Ringer Rate of leaf appearance in Crimson Clover. Crop Sci. 42: Caesar-TonThat,T.C., Branson, D.H., Reeder. D.J and L.L.Manske b. Soilaggregating basidiomycete in rhizosfer of grasses under two grazing management systems. Poster. American Society of Agronomy Annual Meeting. Chalotte, NC. Clark, H., C. Pinares-Patino., C. de Klein Methane and nitrous oxide emissions from Grasslands. In: McGilloway, D.A (Ed) Grassland: a global resource. Wageningen Ac. Publishers. Wageningen, Netherland, pp Chauvel,B., Munier-Jolain,N., Letueze,A. and D. Gandgirard Development patterns of leave and tillers in a blackgrass population (AlopecurusmyosuroidesHuds). Agronomie 20: Chozin, M.A., D. Sopandie., S. Sastrosumarjo., Suwarno Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team

122 103 Research Grant, URGE. Project Directorat General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. Centro Internationale Agriculture Tropicale (CIAT) Exploiting biological nitrification inhibition in agriculture. Chobtang, J., S. Prajakboonjetsada, S. Watananawin, A. Isuwan Change in dry matter and nutritive composition of Brachiaria humidicola grown in Ban Thon soil series. Mj.Int. J. Sci. Tech. 2(03): Coleman, S.W., S.P.Hart., T. Sahlu Relationship among forage chemistry, rumination and retention time with intake and digestibility of hay by goats. Small Rum. Res 50: DaCunha, B.A.L., Nascimento, D., Da Silveira, M.C.T., Montagner,D.B., Rodrigues, C.S., Pena,K.S and W.L. Silva Effecs of two grazing heights on morphogenic and structural characteristics of guinea grass under rotational grazing. Tropical Grasslands 44: Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson Effects of grazing on the roots and rhizosphere of grasses. Grassland Ecaophysisolgy and Grazing Ecoalogy. (Ed) G. Lemaire et al. CAB International. DitJen Bin.Produksi Perkebunan Model reinventing Agribisnis perkelapaan Pola Sulawesi Utara. Diaz-Filho, M.B Growth and Biomass allocation of C4 grasses B. brizantha and B. humidicola under shade. Pesquisa Agopecuaria Brazileira 35: Donkor, N.T., Bork, E.W and R.J. Hudson Defoliation regime effects on accumulated Season-long Herbage Yield and Quality in Boreal Grassland. J. Agronomy & Crop Science 189: Downing, T., M. Gamroth Nonstructural carbohydrates in cool-season Grasses. Special report 1079-E. Oregon State University, Extention Service. Duru, M and H.Ducrocq Growth and senescence of the successive grass leaves on a tiller. Ontogenic development and effect of temperatur. Annals of Botany 85: Eggers.L., Cadenazzi.M and I.I. Boldrini Phyllochron of Paspalum notatum FL. And Coelorhachis selloana (HACK) Camus in natural pasture. Sci.Agric. (Piracicaba, Braz.) v.61, n.4, p

123 Fisher. M.J., S.P. Braz., R.S.M. do Santos., S. Urquiaga., B.J.R. Alvez., R.M. Boddey Another dimension to grazing systems: soil carbon. Trop. Grassl. 41: Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani Root growth, appearance and disappearance in perennial grasses: Effects of the timming of water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science. 82: Follett, R.F., D.A. Reed Soil carbon sequestration in grassland: Societal Benefits and Policy Implication. Rangeland Ecol. Manage. 63: Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang Grazing intensity impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern Plateau. Research J. Agri and Biology Sci. 3 (6): Gegorini, P., P.C. Beukes., R.H. Bryant., A.J. Romera A brief overview and simulation of the effects of some feeding strategies on nitrogen excertion and entheric methane emission from grazing dairy cows. Pro. Of the 4 th Australian Dairy Science Symposium. Giggs, T.C., MacAdam, J.W., Mayland, H.F and J.C. Burns Nonstructural carbohydrate Digestibility Patterns in Orchardgrass swards during daily defoliation sequences initiated in evening and morning. Crop Sci. 45: Girma, T., D. Penden., A, Hailemariam., Y. Yobre., W. Ayalue Effects of livestock grazing on soil microorganism of cracking and self mulching vertisol. Ethiop. Vet. J. 11(1): Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the bunchgrass Poa ligularis. Int. J. Exptl Botany 79: Ginting, S.P., A. Tarigan Kualitas nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria humidicola pada Kambing. JITV 11(4): Gomez, A.A dan A.A. Gomez Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. (Edisi II). Penerbit Universitas Indonesia. Gorder,M.M., L.L.Manske and T.L. Stroh Grazing Treatement effects on Vegetative tillering and soil rhizospheres of Western Wheatgrass. 2005

124 105 AnnualReport. Dickinson Research Extention Center State Avenue.ND Guss, A Lowering emissions from Pasture-Raised Beef /lowering-emissions-from-pastureraisedbeef. Guenni, O.; Seiter, S.; Figueroa, R Growth responses of three Brachiaria species to light intensity and nitrogen supply.tropical Grasslands 42: Humphreys,L.R Tropical Pasture Utilisation. Cambridge University. Hamilton, E.W and D.A. Frank Can plant stimulate soil microbes and their ownnutrient supply? Evidence from a grazing tolerant grass. Ecology 82(9):2397. Hamilton, E.W., D.A. Frank., P.M. Hinchey., T.R. Murray Defoliation induces root exudation and triggers positif rhizospheric feedbacks in a temperate grassland. Hopkins, A Herbage Production. In: Grass Its Production and Utilization. Third Edition. Edited by Alan Hopkins. Institute of Grassland and Environment Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) Climate Change: Synthesis Report; Summary for Policymakers. Interrante, S.M., Sollenberger, L.E., Coleman, S.W., K. Liu Defoliation management of Bahiagrass Germplasm Affects Cover and Persistence- Related Responses. Agron. J. 101 (6): Ipinmoroti, R.R., Watanabe, T and O. Ito Effect of B.humidicola root exudates, rhizosphere soils, moisture and temperature regimes on nitrification inhibition in two volcanic Ash soil of Japan. World J.of. Agric. Sciences 4 (1) : Kaligis,D.A and C.Sumolang Forage species for coconut plantation in North Sulawesi. In: Forage for Plantation Crops. Ed.: H.M. Shelton and W.W. Stur. ACIAR Proc. No 32.

125 Kaligis, D.A Performance of pasture species under free grazing in Coconut plantation. In: Integrated Crop-Livestock Production System and Fodder Trees. Proc. 6 th Meeting of regional working group on grazing and Feed resources for Southeast Asia. Kuswah,B.L., Nelliat,E.V and A.F.Sunny Rooting pattern of coconut (cocos Nucifera). Indian J.Agro. 18: Kuzyakov,Y Factor affecting rhizosphere priming effects. J.Plant Nut. Soil Sci 165: Lapierre, H., R. Berthiaume., G. Raggio., G.E. Lobley The route of absorbed nitrogen into milk. Anim. Sci. 80 : Lawrence, L., G. Vadakattu Grazing system affects soil microbe diversity. Farming Ahead. No Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart Carbon exchange rates grazed and ungrazed pastures of Wyoming. J. Range Management. 53: Magat, S.S Growing condition and growth habits of coconut in relation to Coconut-based farming system.in: Coconut Beef Farming System. XXVII. COCOTECH Meetig. Manila Philippines. Mayland.H.F., Shewmaker,G.E., Harrison,P.A and N.J. Chatterton Non Structural carbohydrates in Tall Fescue Cultivars (Relation to Animal preferen). Agronomy Journal 92: Manske,L.L Well-Timed grazing can stimulate grass gowth and tiller development. North Dakota State University-NDSU Agriculture Communication. hhtp:// Manske,L.L b. Cow and calf performance as affected by grazing management. NDSU Dickinson Research Extention Center. Range Research Report DREC Dickinson, ND. 6p. Mayne, C.S,. Wright, I.A and G.E.J. Fisher Grassland management under grazing and animal respons. In: Grass Its Production and Utilization. Third Edition. Edited by Alan Hopkins. Institute of Grassland and Environment Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd.

126 107 McLeod, K.L.M., C.E. Clark., C.B. Glassely., J.G. Jago Strategically reducing time on pasture. Dairy cow intake, production, and excreation behavior. Proc. New Zealand Society of Animal Production. 69: McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm? Annals of Botany 91: McLaughlin,S.P GlobalChange and Agriculture.URL: Mousel, E.M., W.H. Schacht., C.W. Zanner., L.E. Moser Effects of Summer grazing strategies on organic reserves and root characteristics of Big Bluestem. Crop Sci. 45: Miller,P., Lanier,W and S.Bandt Using growing gegree gays to predict plant stages. Extention Service Montana State University. MT AG. Mitchell, R., J. Fritz., K. Moore., L. Moser., K. Vogel., D.Wester Predicting forage quality in switchgrass and big bluestem. Agron. J. 93: Mislevy, P., F.G. Martin., J.W. Miles Biomass accumulation and forage nutritive value as influenced by grazing frequency of tropical grasses. Soil Crop. Sci. Soc.Fla. 62: Mikola, J., H. Setala., K. Saarijarvi., W. Voigt., M. Westberg Defoliation and patchy nutrient return drive grazing effects on plant and soil properties in a dairy cow pasture. Ecological Monographs 79: Moir, J., K. Cameron., H. Di., U. Fertsak Urine patch area coverage of an intensively stocked dairy pasture. World congress of soil science, soil solution for a changing world. 1-6 August 2010, Brisbane, Australia. Published DVD. Mullen,B.F., Rika,I.K., Kaligis,D.A and W.W Stur Performans of grass Legumes pastures under coconut in Indonesia. Expl. Agric. 33: Newman,Y.C., Sollenberger.L.E., Kunkle.W.E and C.G. Chambliss Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of Heifers grazing limpograss. Agron.J.94:

127 Natural Resources Conservation Services (NRCS) Grazing and grassland management can improved Air Quality throught carbon sequestration. Grazing and carbon Sequestration FactSheet. Patra, A.K., V. Degange., P. Loiseau., X. Le Roux Effects of grazing on microbial fungtional groups involved in soil N dynamics. Ecological Monographs. 75 (1): Pedreira, C.G.S., Solenberger,L.E and P.Mislevy Botanical composition, light interception and carbohydrate reserve status of grazed Florakirk Bermudagrass. Agron. J.92: Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey Productivity of B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr. Cycl. Agroecosyst 83 : Qing X.L., Q.F. Li Studies on the dynamics of seedlings in community of Artemesia Communt at a-short-grass in typical steppe. J. Arid. Land Resour. Environ. 15(5): Raden, I., B.S. Purwoko, Hariyadi, M. Ghulamahdi, E. Santosa Leaf Characteristic of Jatropha curccas L. and Its relation to photosynthesis. Bul. Agron. (36) (2) : Rika,I.K., Mendra,I.K and M.Oka Gusti New forages species for coconut plantation in Bali. In: Forage for Plantation Crops. Ed.: H.M. Shelton and W.W. Stur. ACIAR Proc. No 32. Shelton, H.M and W.W. Stur Oppertunities for integration of ruminants in plantation crops in Southeast Asia and the Pasific. In: Forage For Plantation Crops. Ed.: H.M. Shelton and W.W. Stur. ACIAR Proc. No 32. Skerman,P.J and F.Riveros Tropical Grasses. FAO. Rome. Smart, J.A., W.H. Schacht., L.E. Moser Predicting leaf/stem ratio and nutritive value in grazed and nongrazed Big Bluestem. Agron. J. 93: Subbarao,V.G., Rondon,M., Ito,D., Ishikawa,T., Rao,I.M., Nakahara,K., Lascano,C and B,L. Berry Biological nitrification inhibition (BNI) is it a widespread phenomenon? Plant Soil 294: 5-18.

128 109 Subbarao, V.G., K. Nakahara., C.E. Lascano., W.L. Berry., O. Ito Evidence for biological nitrification inhibition in Brachiaria humidicola pasture. Agricultural Sci. 106 (41): t Mannetje, L Measuring Biomass of Grassland Vegetation. In: Field and Laboratory Methodes for Grasslad and Animal Production Research. Ed. By L. t Mannatje and R.M. Jones. CABI Publishing. Thornton,B., Miilard,P., and U. Bausewein Reserve formation and recycling of carbon and nitrogen during regrowth of defoliated plants. P In: G. Lamaire et al. (ed). Grassland ecophysiology and grazing ecology. CAB Internatonal, New York. Vendramini, J., L. Sollenberger Impact of grazing methods on forages and cattle production. Wang, R.Z., Gao,Q and Q.S. Chen Effects of climate change on biomass and biomass and biomass allocation in Leymus chinensis (Poaceae) along the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: Warembourg, F.R and D.H. Esterlrich Towards a better understanding of Carbon flow in the rhizosphere: a time-dependent approach using carbon- 14. Biol. Fertil Soils 30: Wijitphan, S., P. Lorwilai, C. Arkaseang Effect of cutting heights on productivity and quality of Napier Grass under irrigation. Pakistan J. Nutr. 8(8): Zhao, W., C. Shi-Ping., L. Guang-Hui Conpensatory growth respons to cliping defoliation in Leymus chinensis (Poaceae) under nutrient addition and water deficiency ciondition. Plant Ecology 196: 85-99

129 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian di BALITKA Manado

130 111 Lampiran2 Variabel Percobaan I : Jumlah buku Jumlah anakan Panjang stolon Rekapitulasi analisis keragaman penelitian kajian tentang persistensi B. humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa. F. Hitung Regresi Interaksi Sistem penggembalaan ** ** ** Tekanan penggembalaan Percobaan II : Berat kering Rasio Daun/Batang Protein kasar Serat kasar NDF ADF ** ** ** ** ** ** Percobaan III (Keragaan Pastura) Jmlh tanaman induk Jmlh anakan Jmlh Aerial tiller Jmlh bobot akar Jmlh bobot crown ** ** ** ** ** (Kualitas) Protein kasar Serat kasar NDF ADF Lignin tn tn tn tn tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** (Komposisi Botanis) B. humidicola Legume Rambat Gulma Tanaman Mati ** ** ** ** Penambahan berat badan tn ** ** Azotobacter Mikorisa Glukosa Sukrosa ** ** ** **

131 Lampiran 3 Analisis Tanah. Waktu N (%) P2O5 (ppm) K2O (ppm) C (%) Sebelum Penelitian 0,16 5, ,91 Sesudah Penelitian 0,24 5, ,45

132 Lampiran 4 113

133

134 115

135

136 117

137

138 119

139

140 121

141

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian yang diterbitkan melalui pemberitaan media cetak Kompas hari Jumat tanggal 13 Agustus 2010, menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola 31 KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN VEGETATIF TAJUK BARU RUMPUT Brachiaria humidicola Growth and Development Characteristics of the New Tiller of Brachiaria humidicola ABSTRAK Tujuan percobaan

Lebih terperinci

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI

EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI EFEK PEMOTONGAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS Borreria alata (Aubl.) SEBAGAI HIJAUAN MAKANAN TERNAK KUALITAS TINGGI SKRIPSI Ajeng Widayanti PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN DENGAN PERLAKUAN TINGKAT NAUNGAN DAN INTERVAL PEMOTONGAN TESIS YUNIAR

PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN DENGAN PERLAKUAN TINGKAT NAUNGAN DAN INTERVAL PEMOTONGAN TESIS YUNIAR PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN DENGAN PERLAKUAN TINGKAT NAUNGAN DAN INTERVAL PEMOTONGAN TESIS YUNIAR 107040003 PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation ABSTRAK

The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation ABSTRAK 61 PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN DAN TEKANAN PENGGEMBALAAN TERHADAP KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola DAN PENAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA The effects of grazing system

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PERSETUJUAN. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK viii ABSTRACT. ix RINGKASAN..

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FESES DAN URIN KERBAU LUMPUR TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH MINI

PENGARUH PEMBERIAN FESES DAN URIN KERBAU LUMPUR TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH MINI PENGARUH PEMBERIAN FESES DAN URIN KERBAU LUMPUR TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH MINI (Pennisetum purpureum schamach) DENGAN INTERVAL PEMOTONGAN YANG BERBEDA SIKRIPSI EVI REKA BANJARNAHOR 110306006

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia.

PENGANTAR. Latar Belakang. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia. PENGANTAR Latar Belakang Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia. Produktivitas ternak ruminansia sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan yang berkualitas secara cukup dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola The Effect of Three Kind Manure (Cow, chicken, and goat) to The Vegetative

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH

PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) SKRIPSI FHINKA NATALYA SIHOMBING 090306031 PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N-P-K TERHADAP HASIL BAHAN KERING DAN PROTEIN KASAR RUMPUT Brachiaria humidicola cv. Tully dan

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N-P-K TERHADAP HASIL BAHAN KERING DAN PROTEIN KASAR RUMPUT Brachiaria humidicola cv. Tully dan PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N-P-K TERHADAP HASIL BAHAN KERING DAN PROTEIN KASAR RUMPUT Brachiaria humidicola cv. Tully dan Pennisetum purpureum cv. Mott Novita V. F. Sigar, D. A. Kaligis, W. B. Kaunang dan

Lebih terperinci

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar)

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar) IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar) Produksi hijauan segar merupakan banyaknya hasil hijauan yang diperoleh setelah pemanenan terdiri dari rumput

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SLURI GAS BIO DENGAN INPUT FESES KAMBING DAN BIJI DURIAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN

PEMANFAATAN SLURI GAS BIO DENGAN INPUT FESES KAMBING DAN BIJI DURIAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN PEMANFAATAN SLURI GAS BIO DENGAN INPUT FESES KAMBING DAN BIJI DURIAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PASTURA CAMPURAN SKRIPSI YUSRAHMATIKA 120306014 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT SKRIPSI OLEH: VICTOR KOMALA 060301043 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI OLEH: RIZKI RINALDI DALIMUNTHE 080301018 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hijauan merupakan bahan pakan sumber serat yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. (2005) porsi hijauan

Lebih terperinci

Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya

Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 31-40 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH :

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : SARAH VITRYA SIDABUTAR 080301055 BDP-AGRONOMI PROGRAM

Lebih terperinci

Pengaruh Dosis Pupuk Kotoran Ternak Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria humidicola pada Pemotongan Pertama

Pengaruh Dosis Pupuk Kotoran Ternak Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria humidicola pada Pemotongan Pertama Pengaruh Dosis Pupuk Kotoran Ternak Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria humidicola pada Pemotongan Pertama The Effect of Dosage Chicken Manure to The Growth and Production Brachiaria

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM DAN POSISI RUAS STEK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) SKRIPSI

PENGARUH JARAK TANAM DAN POSISI RUAS STEK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) SKRIPSI PENGARUH JARAK TANAM DAN POSISI RUAS STEK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) SKRIPSI Oleh Ahmad Fitriyanto NIM 091510501143 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/100301085 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan pakan dalam usaha bidang peternakan sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan produksi ternak. Jenis pakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG HIBRIDA PADA BERBAGAI CAMPURAN PUPUK KANDANG SAPI DAN NPKMg SKRIPSI OLEH YOZIE DHARMAWAN

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG HIBRIDA PADA BERBAGAI CAMPURAN PUPUK KANDANG SAPI DAN NPKMg SKRIPSI OLEH YOZIE DHARMAWAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG HIBRIDA PADA BERBAGAI CAMPURAN PUPUK KANDANG SAPI DAN NPKMg SKRIPSI OLEH YOZIE DHARMAWAN 110301254 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan Lokakarya Fungsional Non Peneliri 1997 PENGEMBANGAN TANAMAN ARACHIS SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Hadi Budiman', Syamsimar D. 1, dan Suryana 2 ' Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: ARIF AL QUDRY / 100301251 Agroteknologi Minat- Budidaya Pertanian Perkebunan PROGRAM

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) DENGAN PERBEDAAN SISTEM PENGOLAHAN TANAH SKRIPSI OLEH:

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) DENGAN PERBEDAAN SISTEM PENGOLAHAN TANAH SKRIPSI OLEH: RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) DENGAN PERBEDAAN SISTEM PENGOLAHAN TANAH SKRIPSI OLEH: LEONARD SEPTIAN MUNTHE 080301085 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA

KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI OLEH : NORI ANDRIAN / 110301190 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TESIS Oleh : NURIANA Br SINAGA 097040008 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH

VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH IKKE YULIARTI E10012026 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY AGROEKOTEKNOLOGI - BPP

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY AGROEKOTEKNOLOGI - BPP TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SAWI (Brassica juncea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK CAIR SKRIPSI MUHAMMAD RIZKY ANDRY 080301097 AGROEKOTEKNOLOGI - BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI ABSTRAK Aksesi gulma E. crus-galli dari beberapa habitat padi sawah di Jawa Barat diduga memiliki potensi yang berbeda

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS KOMPOS TERNAK BABI DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP KUALITAS HIJAUAN RUZI (Brachiaria ruziziensis)

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS KOMPOS TERNAK BABI DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP KUALITAS HIJAUAN RUZI (Brachiaria ruziziensis) PENGARUH PEMBERIAN DOSIS KOMPOS TERNAK BABI DAN INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP KUALITAS HIJAUAN RUZI (Brachiaria ruziziensis) SKRIPSI Oleh: IDA RO ARTHA 110306035 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI Oleh: AINUL FAHRIN SIREGAR 050301028 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN

STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN [STUDY ON THREE EGG PLANT VARIETIES GROWN ON DIFFERENT COMPOSITION OF PLANT MEDIA, ITS EFFECT ON GROWTH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasar yang tinggi. Ternak ruminansia dalam masa pertumbuhannya, menyusui,

BAB I PENDAHULUAN. kasar yang tinggi. Ternak ruminansia dalam masa pertumbuhannya, menyusui, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan komponen utama dalam usaha peternakan hewan ruminansia. Pemberian pakan dimaksudkan agar ternak ruminansia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH:

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH: RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS KULIT BUAH KOPI SKRIPSI OLEH: AFRIADI SIMANJUNTAK 080301052 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS Indigofera zollingeriana YANG DI TANAM PADA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI DENGAN UMUR PANEN YANG BERBEDA

PRODUKTIVITAS Indigofera zollingeriana YANG DI TANAM PADA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI DENGAN UMUR PANEN YANG BERBEDA SKRIPSI PRODUKTIVITAS Indigofera zollingeriana YANG DI TANAM PADA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI DENGAN UMUR PANEN YANG BERBEDA Oleh : Mohamad Poniran 11181102094 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

SKRIPSI. Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PENGARUH MEDIA TANAM TOP SOIL, DEBU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DAN KOMPOS JERAMI PADI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TEMBAKAU DELI (Nicotiana tabacum L.) SKRIPSI Oleh: JOGI HENDRO SIAHAAN/ 100301068 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu,

I. PENDAHULUAN. dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan usaha peternakan karena berkaitan dengan produktivitas ternak, sehingga perlu dilakukan peningkatan

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN BDP Pemuliaan Tanaman

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN BDP Pemuliaan Tanaman RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN ( Arenga pinnata Merr.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR SKRIPSI OLEH : MANAHAN 080307056 BDP Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH AKAR DAN MEDIA TANAM TERHADAP KEBERHASILAN DAN PERTUMBUHAN SETEK KAMBOJA JEPANG (Adenium obesum) SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** 040301035 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai 1 I. PENDAHULUAN Keanekaragaman tumbuhan menggambarkan jumlah spesies tumbuhan yang menyusun suatu komunitas serta merupakan nilai yang menyatakan besarnya jumlah tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan

Lebih terperinci

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH:

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH: 1 PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH: RANGGA RIZKI S 100301002 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

EFEK PENGGUNAAN BERBAGAI LEVEL FESES KERBAUFERMENTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS RUMPUT

EFEK PENGGUNAAN BERBAGAI LEVEL FESES KERBAUFERMENTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS RUMPUT EFEK PENGGUNAAN BERBAGAI LEVEL FESES KERBAUFERMENTASI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS RUMPUT (Paspalumconjugatum, Brachiaria decumbens, Digitaria milanjiana) SKRIPSI Oleh: PRAWESTRI DWI PURWANTI 110306036

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HMT FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KUALITAS HMT ADALAH : 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3.

Lebih terperinci

Oleh TIMBUL SIMBOLON ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara

Oleh TIMBUL SIMBOLON ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara LAJU EMISI GAS METAN (CH 4 ), SUHU UDARA DAN PRODUKSI PADI SAWAH IP 400 PADA FASE VEGETATIF MUSIM TANAM I AKIBAT VARIETAS DAN BAHAN ORGANIK YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh TIMBUL SIMBOLON 070303021 ILMU TANAH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN Leguminosa Styloshanthes guianensis (Stylo) merupakan salahsatu tanaman pakan yang telah beradaptasi baik dan tersebar di

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh: PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK SKRIPSI Oleh: CAROLINA SIMANJUNTAK 100301156 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik

PENDAHULUAN. untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya hijauan pakan menjadi salah satu faktor untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik secara kuantitas maupun

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH Buana Sains Vol 6 No 2: 165-170, 2006 165 PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH Fauzia Hulopi PS Budidaya Pertanian, Fak. Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK NPK DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON (Cucumis melo L.)

PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK NPK DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON (Cucumis melo L.) PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK NPK DAN PUPUK KANDANG SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MELON (Cucumis melo L.) SKRIPSI Diaujukan Kepada Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PEMBERIAN MULSA DAN BERBAGAI METODE OLAH TANAH SKRIPSI

RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PEMBERIAN MULSA DAN BERBAGAI METODE OLAH TANAH SKRIPSI 19 RESPONS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PEMBERIAN MULSA DAN BERBAGAI METODE OLAH TANAH SKRIPSI Oleh: KHAIRUNNISA 100301046 / BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

Pengaruh Populasi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Jagung (Zea mays L.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pada Sistem Pola Tumpang Sari

Pengaruh Populasi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Jagung (Zea mays L.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pada Sistem Pola Tumpang Sari Pengaruh Populasi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Jagung (Zea mays L.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pada Sistem Pola Tumpang Sari The Effect of Peanut (Arachis hypogaea L.) and Corn (Zea mays

Lebih terperinci

Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala. yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau.

Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala. yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan lahan-lahan yang kurang

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH SKRIPSI NOVRIDA MAULIDESTA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA HERAWATY SAMOSIR 060307005 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN Indigofera sp SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PADA INTERVAL DAN INTENSITAS PEMOTONGAN YANG BERBEDA ANDI TARIGAN

PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN Indigofera sp SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PADA INTERVAL DAN INTENSITAS PEMOTONGAN YANG BERBEDA ANDI TARIGAN i PRODUKTIVITAS DAN PEMANFAATAN Indigofera sp SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PADA INTERVAL DAN INTENSITAS PEMOTONGAN YANG BERBEDA ANDI TARIGAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ii

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNIK PROPAGASI VEGETATIF Trichnntera gigantea DENGAN PEMBERIAN ASAM INDOL BUTIRAT (IBA) DAN INOKULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA

PENGEMBANGAN TEKNIK PROPAGASI VEGETATIF Trichnntera gigantea DENGAN PEMBERIAN ASAM INDOL BUTIRAT (IBA) DAN INOKULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA PENGEMBANGAN TEKNIK PROPAGASI VEGETATIF Trichnntera gigantea DENGAN PEMBERIAN ASAM INDOL BUTIRAT (IBA) DAN INOKULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA SKRIPSI HERI IRAWAN PROGRAM STUD1 NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI SKRIPSI PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI UIN SUSKA RIAU Oleh: Heri Kiswanto 10982005520 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas

Lebih terperinci

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R.

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R. EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R. HUTABARAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) Study on production pattern of tropical alfalfa (Medicago sativa L.

Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) Study on production pattern of tropical alfalfa (Medicago sativa L. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 19 (1): 20-27 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) R. D. Wahyuni dan S. N. Kamaliyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Viabilitas dan Vigoritas

TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Viabilitas dan Vigoritas TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Secara umum, pembiakan tanaman terbagi menjadi dua cara yaitu pembiakan generatif dan pembiakan vegetatif. Pembiakan vegetatif merupakan perbanyakan tanaman tanpa melibatkan

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK DAN KETINGGIAN PERMUKAAN MEDIA HIDROPONIK SISTEM DRIP TERHADAP HASIL DAN KANDUNGAN NUTRISI RUMPUT GAJAH SKRIPSI

PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK DAN KETINGGIAN PERMUKAAN MEDIA HIDROPONIK SISTEM DRIP TERHADAP HASIL DAN KANDUNGAN NUTRISI RUMPUT GAJAH SKRIPSI PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK DAN KETINGGIAN PERMUKAAN MEDIA HIDROPONIK SISTEM DRIP TERHADAP HASIL DAN KANDUNGAN NUTRISI RUMPUT GAJAH SKRIPSI Oleh Meida Wulandari NIM 091510501104 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO S K R I P S I OLEH : JUMARIHOT ST OPS 040307037 BDP-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan dan sumber protein nabati yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Biji kedelai digunakan sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH LEVEL PUPUK N,P,K TERHADAP KOMPONEN TANAMAN BRACHIARIA HUMIDICOLA CV.TULLY DAN PENNISETUM PURPUREUM CV.MOTT DI AREAL PERTANAMAN KELAPA

PENGARUH LEVEL PUPUK N,P,K TERHADAP KOMPONEN TANAMAN BRACHIARIA HUMIDICOLA CV.TULLY DAN PENNISETUM PURPUREUM CV.MOTT DI AREAL PERTANAMAN KELAPA PENGARUH LEVEL PUPUK N,P,K TERHADAP KOMPONEN TANAMAN BRACHIARIA HUMIDICOLA CV.TULLY DAN PENNISETUM PURPUREUM CV.MOTT DI AREAL PERTANAMAN KELAPA Dewi Turangan, Charles.L.Kaunang, Agnitje Rumambi, dan Rustandi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH :

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : NELSON SIMANJUNTAK 080301079 / BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET 1 RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET (Hevea brassiliensis Muell Arg.)TERHADAP PEMBERIAN ASAM ASETIK NAFTALEN 3,0 % DENGAN CARA PENGOLESAN DI LUKA PEMOTONGAN AKAR TUNGGANG PADA BEBERAPA KOMPOSISI MEDIA TANAM

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI RYAN ISKANDAR 060301050 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010

Lebih terperinci

HIDROPONIK TANAMAN SAWI BEDA VARIETAS DENGAN FORMULASI NUTRISI AB MIX DAN FORMULASI RACIKAN SKRIPSI OLEH : VYVIAN W. SIAGIAN / AGROTEKNOLOGI

HIDROPONIK TANAMAN SAWI BEDA VARIETAS DENGAN FORMULASI NUTRISI AB MIX DAN FORMULASI RACIKAN SKRIPSI OLEH : VYVIAN W. SIAGIAN / AGROTEKNOLOGI HIDROPONIK TANAMAN SAWI BEDA VARIETAS DENGAN FORMULASI NUTRISI AB MIX DAN FORMULASI RACIKAN SKRIPSI OLEH : VYVIAN W. SIAGIAN / 110301110 AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci