DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR"

Transkripsi

1 PELEPASAN KALIUM TERFIKSASI DENGAN PENAMBAHAN ASAM OKSALAT DAN KATION UNTUK MENINGKATKAN KALIUM TERSEDIA BAGI TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan pengarahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2008 Dedi Nursyamsi i

3 ABSTRACT DEDI NURSYAMSI. Release of fixed potassium by adding oxalic acid and cations to increase available potassium for plant growth on smectitic soils (under supervision of KOMARUDDIN IDRIS as chairman, and SUPIANDI SABIHAM, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, and AGUS SOFYAN as members of the committee). Research aimed to study the role of oxalic acid, Na +, NH + 4, and Fe 3+ in increasing available K in smectitic soils for maize (Zea mays, L.) were conducted in Laboratory of Soil Science, Kyoto University, Laboratory of Research and Soil Test, and Green House of Indonesian Soil Research Institute, Bogor. The experiments used 91 of composite soil samples taken from Java that represented Inceptisols, Vertisols, as well as Alfisols. Four bulk soil samples taken from Jonggol, Bogor (Typic Hapludalfs), Sidareja, Cilacap (Chromic Endoaquerts), Padas, Ngawi (Typic Endoaquerts), and Todanan, Blora (Typic Haplustalfs) were also used in the experiments. The results showed that most of K in the smectitic soils was in non-exchangeable form, thus it was not available for plant growth immediately. Clay, organic-c, and smectite content as well as CEC significantly affected on availability of soil K, where the higher the variables the higher the potential availability of soil K for plant growth. Oxalic acid was found out as dominant organic acid excreted from maize roots, it was about mg/g DW. Among the cations, soil buffering capacity and maximum sorption were in order of Fe 3+ > NH + 4 = Na +, while bound energy constant was in order of Na + > Fe 3+ > NH + 4. Among the soils, the soil buffering capacity and maximum sorption on the cations was in order of Vertisols > Alfisols. Oxalic acid, Na +, NH + 4, and Fe 3+ significantly released fixed K, increased basal distance of smectite, and increased availability of soil K in all tested soils. Rate of 1000 ppm of oxalic acid increased availability of soil K so that decreased the requirement of K fertilizer as well as increased dry biomass yield in both Chromic Endoaquerts and Typic Endoaquerts. Rate of 125 ppm of Fe 3+ also increased plant N, P, and K uptake as well as increased dry biomass yield in the soils. Rate of ppm of NH + 4 also increased the availability of soil K so that decreased the requirement of K fertilizer in both soils. ii

4 RINGKASAN DEDI NURSYAMSI. Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanahtanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit (Dibawah bimbingan KOMARUDDIN IDRIS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan SUPIANDI SABIHAM, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, dan AGUS SOFYAN sebagai anggota Komisi Pembimbing). Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah ini umumnya meliputi tanah Vertisol (Endoakuert, Khromudert, dan Khromustert, dan Hapludert Tipik), sebagian Inceptisol (Endoaquept dan Eutrudept Vertik), dan sebagian Alfisol (Hapludalf dan Haplustalf Vertik) yang penyebarannya cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2.12 juta ha, masingmasing tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok). Walaupun kadar K total tanah ini tinggi tapi ketersediaan K bagi tanaman sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit yang dominan di tanah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga ketersediaannya meningkat bagi tanaman. Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari peranan asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ dalam meningkatkan ketersediaan K di tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit untuk jagung (Zea mays, L.) telah dilakukan di Laboratory of Soil Science, Kyoto University dan Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah serta Rumah Kaca, Balai Penelitian Tanah, Bogor. Penelitian menggunakan 91 contoh tanah komposit yang diambil dari Jawa dan mewakili tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol serta 4 contoh tanah bulk lapisan atas (0-20 cm) yang diambil dari Jonggol, Bogor (Hapludalf Tipik); Sidareja, Cilacap (Endoakuert Kromik); Padas, Ngawi (Endoaquert Tipik); dan Todanan, Blora (Haplustalf Tipik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar K di dalam tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan sehingga tidak segera tersedia bagi tanaman. Kadar liat, C-organik, smektit dan KTK tanah berpengaruh nyata terhadap ketersediaan K tanah dimana semakin tinggi nilai keempat peubah tersebut semakin tinggi pula potensi ketersediaan K tanahnya. Asam oksalat merupakan eksudat asam organik paling dominan yang dikeluarkan oleh akar tanaman jagung, yakni berkisar antara mg/g BK akar. Daya sangga dan jerapan iii

5 maksimum tanah terhadap kation dari tinggi ke rendah adalah Fe 3+ > NH 4 + = Na +, sedangkan urutan konstanta energi ikatan adalah Na + > Fe 3+ > NH 4 +. Daya sangga dan jerapan maksimum terhadap kation tanah Vertisol > Alfisol. Asam oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ nyata melepaskan K terfiksasi liat, meningkatkan jarak basal smektit, dan meningkatkan K tersedia di semua tanah yang diuji. Asam oksalat (1000 ppm) meningkatkan K tersedia dan menurunkan kebutuhan pupuk K serta meningkatkan produksi tanaman pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. Perlakuan Fe 3+ (125 ppm) meningkatkan serapan hara N, P, dan K serta produksi tanaman pada kedua tanah tersebut. Sementara itu NH + 4 (85-96 ppm) meningkatkan K tersedia dan menurunkan kebutuhan pupuk K di kedua tanah tersebut. iv

6 @Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor. v

7 PELEPASAN KALIUM TERFIKSASI DENGAN PENAMBAHAN ASAM OKSALAT DAN KATION UNTUK MENINGKATKAN KALIUM TERSEDIA BAGI TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT DEDI NURSYAMSI DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

8 Judul Penelitian : Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit Nama Mahasiswa : Dedi Nursyamsi No. Reg. Pokok : A Program Studi : Ilmu Tanah DISETUJUI Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS. Ketua Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. Anggota Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS Anggota Dr. Ir. Agus Sofyan, MS Anggota DIKETAHUI: Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Tanggal Ujian: 17 April 2008 Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Penulis mengucapkan puji syukur ke hadlirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada program doktor Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejak perkuliahan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi, penulis mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini disampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku ketua komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan khususnya dalam penyusunan berbagai prosedur dalam percobaan. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan terutama dalam penyusunan kerangka pemikiran penelitian ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala saran-sarannya terutama dalam pemilihan lokasi penelitian dan pengklasifikasian tanah. 4. Bapak Dr. Ir. Agus Sofyan, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bantuan dan saran-sarannya terutama dalam pemilihan tema pemelitian. 5. Bapak Dr. Istiqlal Amien, MSc APU, Bapak Dr. Ir. Iskandar, Ibu Dr. Ir. Sri Djuniwati MSc selaku penguji dari luar komisi atas segala saran dan perbaikannya. 6. Ka. Badan Litbang Pertanian Bapak Dr. Achmad Suryana, Ka. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Bapak Prof. Dr. Irsal Las, dan Ka. Balittanah Bapak Dr. Achmad Rachman, dan Ka. Kelti Kesuburan Tanah Ibu Dr. Diah Setyorini yang telah memberi izin belajar, membantu dana, dan memberi berbagai fasilitas untuk kelancaran penelitian. 7. Para senior di BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian: Ibu Dr. Sri Adiningsih, Bapak Dr. Djoko Santoso, Bapak Dr. Didi Ardi, Bapak Dr. M. Al-Jabri, dan Bapak Dr. Undang Kurnia yang telah memberi nasehat dan dukungan moril selama penulis menyelesaikan studi di PS Tanah IPB. Demikian pula kepada para sahabat: Dr. Eleonora Runtunuwu, Dr. Wiwik Hartatik, Dr. Made Subiksa, Ir. Yiyi Sulaeman MSc, Ir. Ladiyani R.W. MSc, Ir. Joko Purnomo, MSi, Ir. A. Kasno, MSi, viii

10 Ir. Mas Teddy Sutriadi, Ibu Mindawati, Ibu Sutisni SSi, Bapak Noto Prasodjo, Bapak Agus Sudaryanto, dan Bapak Endang Hidayat, dan lain-lain yang telah membantu koleksi referensi, analisis data, pengumpulan data, penyusunan disertasi, dan lain-lain. 8. Para pengajar, petugas administrasi, laboran, dan petugas pendukung lainnya di Program Studi Ilmu Tanah yang telah mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan program S3 ini. Demikian pula kepada teman-teman mahasiswa PS Tanah yang telah mendukung dan banyak membantu penulis sejak melaksanakan perkuliahan, penelitian, dan penulisan disertasi ini. 9. Kedua orang tua, Mamah dan Apa atas segala dorongan, nasehat dan doanya kepada pemulis sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan studi ini. 10. Istri dan kedua anakku tercinta yang selalu tulus ikhlas mendampingi penulis dalam segala suka dan duka. 11. Semua teman-teman di BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan IPB yang banyak membantu penulis selama studi. Akhirnya penulis berharap karya tulis ini bermanfaat khususnya bagi yang membutuhkan dan umumnya bagi pembangunan pertanian di tanah air. Bogor, Mei 2008 Penulis ix

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 23 Juni 1964 dari seorang ibu yang bernama Hj. Masadah Permanawati dengan ayah yang bernama H. Iing Nurdin Affandi. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA semuanya di Ciamis dan pada tahun 1983 melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Proyek Perintis II. Pada tahun 1987 penulis menyelesaikan program S1 di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan program S2 di Hokkaido University, Japan dengan biaya dari STAID-BPPT dan lulus pada tahun Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi program S3 di PS Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1989 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ai Yeti Sumiati dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Muhammad Abdul Aziz (15 tahun) dan Agnia Rahmah (8 tahun). vii

12 DAFTAR ISI Hal. DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Hipotesis... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Karakteristik Tanah yang Didominasi Smektit Mineral Liat Smektit Karakteristik Kimia Karakteristik Fisika Bentuk-bentuk K Tanah K-Struktural K-Terfiksasi K-Dapat Dipertukarkan K-Larut Ketersediaan dan Fiksasi K Tanah Ketersediaaan K Tanah Faktor-faktor Tanah yang Mempengaruhi Ketersediaan K Fiksasi K Tanah Sumber dan Pengelolaan K Tanah Sumber K Tanah Siklus K Tanah Pengelolaan K Tanah Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman x

13 III. KORELASI ANTARA FAKTOR TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Tujuan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan IV. PENGARUH PEMBERIAN KALIUM, VARIETAS, DAN UMUR TANAMAN TERHADAP EKSUDAT ASAM ORGANIK DARI AKAR, SERAPAN HARA, DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays, L.) Rasional Tujuan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan V. JERAPAN Na +, NH + 4, DAN Fe 3+ TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Tujuan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan VI. PENGARUH ASAM OKSALAT, Na +, NH + 4, DAN Fe 3+ TERHADAP K TERFIKSASI, JARAK BASAL SMEKTIT, KETERSEDIAAN K, SERAPAN N, P, DAN K, SERTA PERTUMBUHAN JAGUNG PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT Rasional Tujuan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan xi

14 VII. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI Pembahasan Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

15 DAFTAR TABEL Hal. Tabel 1. Sebaran Contoh Tanah yang Diambil dari Jawa Tabel 2. Kisaran Karakteristik Tanah Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa Tabel 3. Hasil Analisis Mineral Liat Kualitatif terhadap Lapisan Atas Tanah-tanah yang Diambil dari Jawa dengan Metode XRD Tabel 4. Model Persamaan Kurva Jerapan: Y = ax bx + c untuk 0 < x < x mak, Y = Jerapan Maksimum untuk x > x mak, dan Daya Sangga K Tanah pada I = 6 mg/i Tabel 5. Kisaran Variabel Jerapan K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa Tabel 6. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol Tabel 7. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Vertisol Tabel 8. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Alfisol Tabel 9. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol Tabel 10. Kombinasi Perlakuan K dan Beberapa Varietas Jagung Tabel 11. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Serapan Hara N, P, dan K Tanaman Jagung Tabel 12. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Bobot Kering Akar dan Brangkasan Tanaman Jagung Tabel 13. Pengaruh Pemberian K, Varietas, dan Umur Pertumbuhan terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar Jagung Tabel 14. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Deskripsi Profil di Daerah Penelitian Tabel 15. Jerapan Maksimum dan Konstanta Energi Ikatan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada Tanah Alfisol dan Vertisol Tabel 16. Takaran Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada Tiap Jenis Tanah Tabel 17. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Pelepasan K Terfiksasi Liat pada Tanah Alfisol xiii

16 Tabel 18. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Pelepasan K Terfiksasi Liat pada Tanah Vertisol Tabel 19. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Jarak Basal Mineral Liat Smektit pada Tanah Alfisol dan Vertisol Tabel 20. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Bentuk K 1, K dd, dan K tdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Alfisol Tabel 21. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Bentuk K 1, K dd, dan K tdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Vertisol Tabel 22. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Konsentrasi N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol Tabel 23. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Konsentrasi N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol Tabel 24. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol Tabel 25. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol Tabel 26. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Produksi Brangkasan Kering Tanaman Jagung Umur 4 MST Tabel 27. Prediksi Laju Pengeluaran dan Jumlah Eksudat Akar Beberapa Varietas Jagung di Rizosfer Selama Satu Musim Tanam Tabel 28. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Hasil Biji Jagung pada Endoaquert Kromik Tabel 29. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Hasil Biji Jagung pada Endoaquert Tipik xiv

17 DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian... 5 Gambar 2. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-Bentuk K Tanah Gambar 3. Pelapukan Dinamik dari Mineral Primer Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi: Planar (p), Edge (e), Interlayer (i), Wedge (w), Crack (c) Dan Step (s) Gambar 5. Keseimbangan dan Siklus K di dalam Tanah Gambar 6. Komposisi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa Gambar 7. Proporsi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa Gambar 8. Kurva Jerapan K Lapisan Atas Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa Gambar 9. Kurva Jerapan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada Tanah Alfisol dan Vertisol Gambar 10. Kurva Hubungan antara C dengan C/(X/M) pada Tanah Alfisol dan Vertisol Gambar 11. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Jarak Basal Smektit pada Alfisol Gambar 12. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Jarak Basal Smektit pada Vertisol Gambar 13. Pengaruh Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K Tanah Alfisol Gambar 14. Pengaruh Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K Tanah Vertisol Gambar 15. Hubungan antara Kadar C-organik dan Smektit dengan KTK Tanah Gambar 16. Hubungan antara Kadar Smektit dengan Jerapan Maksimum dan Daya Sangga K Tanah Gambar 17. Reaksi Keseimbangan K di Dalam Tanah Gambar 18. Reaksi Pertukaran K yang Terjerap di Permukaan Koloid dengan Kation Lain (M +) xv

18 Gambar 19. Proses Pengembangan Mineral Liat Smektit Akibat Penambahan Asam Oksalat dan Kation Lain Gambar 20. Mekanisme Pertukaran H + dari Akar dengan K + pada Permukaan Mineral Liat (Havlin Et Al., 1999) xvi

19 DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1. Difraktogram Sinar X dari Mineral Liat Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol Lampiran 2. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap Bobot Kering Akar dan Brangkasan Tanaman Jagung Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar Tanaman Jagung Lampiran 5. Sifat-sifat Morfologi Tanah-tanah di Lokasi Percobaan Laboratorium dan Rumah Kaca Lampiran 6. Rata-rata Curah Hujan Bulanan ( ) di Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Lampiran 7. Karakteristik Tanah di Jonggol, Bogor (P1), Sideraja, Cilacap (P2), Padas, Ngawi (P3) dan Todanan, Blora (P4) Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ Terhadap Bentuk-bentuk K Tanah Alfisol Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Bentuk-bentuk K Tanah Vertisol Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung di Alfisol Lampiran 11. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung di Vertisol Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Brangkasan Kering Tanaman Jagung di Alfisol Lampiran 13. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap Brangkasan Kering Tanaman Jagung di Vertisol xvii

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Kalium merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak setelah N dan P. Umumnya K diserap tanaman dalam bentuk K larut (soluble K) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (exchangeable K) dan K tidak dapat dipertukarkan (non-exchangeable K). Kalium tidak dapat dipertukarkan meliputi K terfiksasi dan K struktural (Havlin et al., 1999). Bentuk K larut dan dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia sehingga sering disebut sebagai K tersedia atau K aktual. Sementara itu bentuk K tidak dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang lambat tersedia sehingga disebut sebagai K potensial. Tanaman akan mengalami kekahatan apabila K aktual di dalam tanah saat tanaman tumbuh lebih rendah dari batas kritisnya (K yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya). Ketersediaan K bagi tanaman tergantung aspek tanah dan parameter iklim yang meliputi: jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation, daya sangga, kelembaban, suhu, aerasi dan ph tanah (Havlin et al., 1999). Selain faktor tanah dan iklim, spesies dan varietas tanaman juga berpengaruh terhadap serapan K, dimana tanaman yang toleran memerlukan K dalam jumlah sedikit dan sebaliknya tanaman sensitif memerlukan K dalam jumlah banyak. Salah satu mekanisme ketoleranan tanaman terhadap kekurangan hara adalah dengan cara mengeluarkan eksudat asam organik di sekitar akar (rhizosphere). Selanjutnya asam organik dapat melarutkan hara (P, K, Fe, Mn, dan lain-lain) yang sebelumnya tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Marschner, 1997). Dengan demikian maka pengelolaan hara K untuk meningkatkan produksi tanaman perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas. 1

21 Ketersediaan K di dalam tanah tergantung kepada proses jerapan (sorption) dan fiksasi (fixation) serta desorpsi (desorption) dan pelepasan (release) K dalam tanah yang dikendalikan terutama oleh jenis dan jumlah mineral liat (Brady, 1984). Mineral liat tipe 2:1 mempunyai jerapan (baik jumlah maupun kekuatannya) terhadap K dan dapat melepaskan K paling tinggi dibandingkan dengan mineral liat lainnya seperti liat tipe 2:1:1, 1:1, oksida, dan alofan. Diantara mineral liat tipe 2:1 ternyata beidelit (kelompok smektit) mempunyai kapasitas fiksasi paling tinggi. Penelitian yang dilaksanakan di tanah Vertisol di India yang didominasi oleh mineral liat smektit menunjukkan bahwa beidelit mempunyai fiksasi K paling tinggi dibandingkan montmorilonit, mika, illit, dan vermikulit (Murthy et al., 1987). Selanjutnya pelepasan K dari mineral mika berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah phlogopit > biotit > muskovit (Singh dan Pasricha, 1987). Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal disertai dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah ini dapat mengembang (swelling) pada saat basah dan di saat kering tanah mengkerut (shrinking) sehingga terjadi retakan. Tanah yang mempunyai sifat demikian umumnya meliputi tanah Vertisol dan tanah yang mempunyai sifat vertik lainnya (sebagian Inceptisol dan Alfisol). Tanah-tanah tersebut mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2.12 juta ha (Vertisol sekitar 2.12 juta ha ditambah sebagian Inceptisol dan Alfisol) yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Walaupun kadar K total tanah (K potensial) tinggi tapi ketersediaan K bagi tanaman (K aktual) sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Penelitian yang dilaksanakan di India menunjukkan bahwa 2

22 tanah-tanah Vertisol mempunyai kapasitas fiksasi K (K-fixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBC K ) yang sangat tinggi (Ghousikar dan Kendre, 1987). Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga ketersediaannya meningkat bagi tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik dan sejumlah kation (NH + 4, Na +, dan lain-lain) mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan K tidak dapat dipertukarkan (K tdd ) menjadi K dapat dipertukarkan (K dd ) dan K larut (K l ) pada tanahtanah yang berbahan induk batu kapur, dimana asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu dan Luo, 1993). Song dan Huang (1988) juga melaporkan bahwa K tdd dari struktur mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan sitrat. Asam-asam organik, seperti: oksalat, sitrat, malonat, fumarat, malat, suksinat, benzoat, tartarat dan lain-lain merupakan komponen penting dari eksudat akar tanaman yang dikeluarkan di sekitar rhizosphere. Akar tanaman jagung yang dipelihara dalam larutan hara (solution culture) steril dapat mengeluarkan asam oksalat, fumarat, dan sitrat berturut-turut sekitar 3100, 4710, dan 530 µg/g (Bolton et al., 1993). Selain itu asam-asam organik, terutama asam oksalat, malonat, dan fumarat juga banyak terdapat di dalam akar tanaman jagung, yaitu sekitar 3000 sampai dengan14000 nmol/g (Nursyamsi et al., 2002). Proses hancuran mineral muskovit dapat menyebabkan Ca 2+ dan Na + dapat + mengantikan posisi K di dalam struktur mineral muskovit (Shidu, 1987). Selain itu NH 4 dan K + dapat berkompetisi dalam menempati kompleks jerapan di posisi inner dari ruang antar lapisan mineral liat tipe 2:1. Kompetisi tersebut sering terjadi terutama di tanah yang didominasi mineral yang mempunyai kapasitas jerapan tinggi terhadap kedua kation tersebut, seperti beidelit dan vermikulit (Bajwa, 1987). Kation lain yang berperan dalam 3

23 meningkatkan ketersedian K adalah Na +. Ion natrium dari natrium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia di tanah merah (Alfisol), hitam (Vertisol), dan aluvial (Inceptisol dan Alfisol) (Dhillon dan Dhillon, 1992). Selain itu Na juga dapat mengurangi sebagian kebutuhan pupuk K tanaman tebu pada tanah Vertisol di lahan perkebunan tebu Jawa Timur (Ismail, 1997). Kerangka Pemikiran Salah satu kendala utama pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit adalah kekahatan hara K karena K terfiksasi di ruang antar lapisan mineral tersebut. Asam organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman berpotensi untuk melepaskan K terfiksasi sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Selain itu Na +, NH + 4, dan Fe 3+ yang berfungsi sebagai beneficial nutrient atau hara tanaman juga berpeluang melepaskan K terfiksasi menjadi tersedia karena memiliki radius hidrasi dan kekuatan jerapan lebih tinggi dibandingkan kation K. Secara umum penelitian bertujuan untuk mempelajari teknologi dalam usaha meningkatkan efisiensi pemupukan K pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan contoh tanah Vertisol dan Alfisol. Penentuan contoh tanah dilakukan dengan mempertimbangkan status K dan kandungan smektit tanah dari rendah hingga tinggi yang dikombinasikan dengan keragaman bahan induk dan iklim (curah hujan rata-rata tahunan), yaitu yang berbahan induk kapur dan endapan liat berkapur serta iklim basah (CH > 2000 mm/th) dan kering (CH < 2000 mm/th). Percobaan pot di rumah kaca menggunakan tanaman indikator jagung karena jagung dapat memproduksi eksudat asam organik (terutama asam oksalat) tinggi dari akarnya. Selain itu jagung juga termasuk tanaman strategis nasional disamping padi dan kedelai. Selanjutnya varietas jagung yang digunakan adalah Pioneer 21 (P21) karena 4

24 varietas ini termasuk hibrida yang berpotensi hasil tinggi (11 ton biji kering/ha) dan sangat respon terhadap pemupukan (N, P, dan K). Penelitian dilaksanakan melalui 4 tahap kegiatan, yaitu: (1) Penentuan lokasi pengambilan contoh tanah, (2) Pengambilan dan analisis contoh tanah, (3) Percobaan inkubasi di laboratorium, dan (4) Percobaan pot di rumah kaca, dimana keempat tahapan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya penelitian ini dilaksanakan melalui empat rangkaian percobaan yang pelaksanaannya sesuai dengan diagram alir yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian 5

25 Tujuan Penelitian: 1. Mempelajari sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. 2. Mempelajari pengaruh pemberian K, varietas, dan umur tanaman terhadap eksudat asam organik dari akar jagung. 3. Mempelajari jerapan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. 4. Mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap pelepasan K terfiksasi dan jarak basal smektit, ketersediaan K, serapan N, P, dan K, serta pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Hipotesis: 1. Pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit, semakin tinggi kadar liat, C- organik, dan KTK tanah, serta kadar mineral liat smektit maka potensi tanah untuk menyediakan K semakin tinggi pula. 2. Kekahatan K dapat menstimulir produksi eksudat asam organik dari akar. Varietas dan umur tanaman (fase pertumbuhan) berpengaruh terhadap komposisi dan produksi eksudat asam organik dari akar. Asam oksalat merupakan bagian penting dari eksudat akar tersebut. 3. Jerapan Fe 3+ lebih tinggi daripada Na + dan NH + 4 pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Jerapan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ di tanah Vertisol lebih tinggi daripada Alfisol. 6

26 4. Asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ dapat melepaskan K terfiksasi dan meningkatkan jarak basal smektit; dapat melepaskan K tdd sehingga K dd dan K l meningkat; dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K serta pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. 7

27 TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit Tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan jika dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Di lingkungan dengan iklim yang memiliki bulan-bulan kering nyata, tanah ini memiliki sifat vertik (verto = membalik), yaitu tanah yang dapat mengembang (swelling) pada saat basah dan mengkerut (shrinking) saat kering. Proses mengembang dan mengkerut erat kaitannya dengan kandungan mineral liat tipe 2:1 (smektit) yang tinggi di dalam tanah (Borchardt, 1989). Sejumlah kation, seperti K +, NH + 4, Na +, Ca 2+, Mg 2+, dan lain-lain dapat masuk ke dalam ruang antar lapisan liat tipe 2:1 saat kadar air tinggi (tanah mengembang). Sebaliknya bila kadar air turun maka air yang terdapat di dalam ruang antar lapisan akan keluar sehingga ruangan yang sebelumnya terisi air digantikan oleh udara, akibatnya tanah mengkerut dan terjadi retakan-retakan. Dengan demikian ciri utama untuk menduga keberadaan smektit di lapangan secara visual adalah adanya retakan-retakan tanah yang lebar di saat tanah kering atau pada musim kemarau. Tanah yang mengandung mineral liat smektit umumnya terdapat pada order Vertisol dan order lain bersubgrup vertik. Tanah-tanah tersebut memiliki sifat vertik, yaitu diantaranya mempunyai bidang kilir atau ped berbentuk baji, kadar liat > 30% dalam fraksi tanah halusnya, dan terdapat rekahan terbuka dan tertutup secara periodik. Tanah dengan mineral liat smektit dominan tetapi berada di bawah iklim yang selalu lembab (musim kering tidak nyata) tidak selalu menunjukkan sifat vertik tersebut kecuali kadar liat. Di Indonesia, penyebaran tanah-tanah tersebut cukup luas, yaitu diperkirakan lebih dari 2.12 juta ha (Vertisol sekitar 2.12 juta ditambah sebagaian Inceptisol dan Alfisol) 8

28 yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah ini termasuk tanah pertanian utama di Indonesia dan umumnya dimanfaatkan untuk padi sawah irigasi dan tadah hujan, palawija, kebun campuran, tebu, tembakau, kapas, kelapa dan hortikultura lainnya seperti mangga (Subagyo et al., 2000). Karakteristik lain dari tanah tersebut diantaranya adalah reaksi tanah netral hingga alkalin (ph = 6,5 8,0). Karena kemasaman tanah rendah maka ketersediaan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, dan Mn) umumnya rendah. Kadar bahan organik rendah hingga sedang, kadar K potensial, basa-basa (Ca dan Mg), dan kapasitas tukar kation umumnya tinggi (Subagyo et al., 2000). Kadar K potensial tanah ini umumnya tinggi tapi K aktualnya sering rendah sehingga tanaman mengalami kekahatan. Hal ini disebabkan karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Ghousikar dan Kendre (1987) mengemukakan bahwa tanah-tanah tersebut mempunyai kapasitas fiksasi K (K-fixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBC K ) yang sangat tinggi. Dengan demikian maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga bentuk K cepat tersedia meningkat bagi tanaman. Jumlah dan jenis mineral liat memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan perilaku K di dalam tanah. Selain bahan organik tanah, mineral liat smektit tentu saja berperan dalam mengontrol ketersediaan K di tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit. Bahkan bila kadar smektit dalam tanah tinggi maka pengaruh smektit terhadap perilaku K jauh lebih besar dibandingkan bahan organik. Selain terhadap K, smektit juga berpengaruh terhadap ciri tanah lainnya, baik karakteristik kimia maupun fisika tanah. 9

29 Mineral Liat Smektit Smektit adalah mineral liat tanah yang umum dijumpai di daerah temperate, iklim dingin, dan dijumpai pula di daerah tropik. Smektit terbentuk di tempat yang berdrainase buruk atau di area dengan tingkat pencucian terbatas karena rendahnya curah hujan, adanya lapisan kedap di dalam profil tanah, atau permukaan air tanah yang tinggi. Termasuk dalam grup smektit yang banyak dijumpai dalam tanah adalah montmorilonit, beidelit, dan nontronit (Allen dan Hajek, 1989). Di Indonesia mineral ini sangat dominan di tanah-tanah Vertisol dan Mollisol serta banyak pula dijumpai di tanah Inceptisol dan Alfisol. Sementara itu hektorit (kaya Li), saponit (Mg), saukonit (Zn) jarang dijumpai di dalam tanah. Sifat mengembang-mengkerut dan muatan negatif yang tinggi menyebabkan mineral ini reaktif dalam lingkungan tanah. Di daerah dengan perbedaan iklim basah dan kering yang signifikan, proses mengembang dan mengkerut tanah terjadi sangat kentara. Selain dapat menjerap K +, Ca 2+, Mg 2+, dan kation lainnya yang diperlukan tanaman, smektit juga dapat menjerap senyawa organik, herbisida, dan pestisida (Borchardt, 1989). Struktur smektit pertama kali dikemukakan oleh Hofmann et al., (1933) dalam Borchardt (1989). Smektit mirip dengan struktur mika dan vermikulit dimana satu unit kristal smektit terdiri dari satu lempeng Al-oktahedral yang diapit oleh 2 lempeng Sitetrahedral. Substitusi isomorfik dapat terjadi di kedua lempeng tersebut dan hal ini dapat berdampak terhadap karakteristik dan komposisi kimia sehingga dapat dijadikan dasar dalam klasifikasi mineral tersebut. Dioktahedral smektit (beidelit, montmorilonit, dan nantronit) terbentuk sebagai hasil hancuran dari mineral mika sedangkan trioktahedral smektit (hektorit, saponit, dan saukonit) muncul sebagai turunan (inheretance) dari bahan induk tanah (Allen dan Hajek, 1989). 10

30 Sifat mengembang dari smektit dipengaruhi oleh jerapan ion dan molekul di ruang antar lapisan smektit. Analisis dengan metode X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa puncak difraksi smektit muncul pada 1.5 nm pada perlakuan penjenuhan dengan Mg. Puncak difraksi meningkat menjadi 1.8 nm setelah perlakuan dengan Mg+gliserol. Puncak difraksi menurun hingga 1.25 nm setelah perlakuan penjenuhan dengan K dan menurun lagi hingga 1.0 nm setelah preparat dipanaskan hingga 110 o C. Kondisi smektit seperti yang dijelaskan di atas berpengaruh terhadap karakteristik kimia dan fisikanya yang akhirnya berpengaruh pula terhadap karakteristik tanah. Berikut ini karakteristik kimia dan fisika smektit dibahas seperti yang diuraikan oleh Borchardt (1989). Karakteristik Kimia Selain tanah yang banyak mengandung bahan organik, tanah yang banyak mengandung smektit juga memiliki kapasitas tukar kation yang cukup tinggi, yaitu sekitar 110 Cmol/kg atau berkisar antara Cmol/kg (Alexiades dan Jackson, 1966). Sumber muatan negatif smektit berasal dari substitusi isomormik Al 3+ terhadap Si 4+ pada lempeng tetrahedral atau Mg 2+ dan Fe 2+ terhadap Al 3+ atau Fe 3+ pada lempeng oktahedral. Posisi-e (edge) dari struktur smektit juga dapat memberikan kontribusi muatan negatif walaupun dalam jumlah sedikit, yaitu hanya berkisar 1 5 Cmol/kg. Substitusi isomorfik pada posisi-i (interlayer) merupakan sumber muatan permanen (permanent charge), sedangkan muatan dari posisi-e termasuk muatan tergantung ph, yaitu muatan negatif meningkat seiiring dengan meningkatnya ph (ph dependent charge) (Borchardt, 1989). Fiksasi K pada tanah-tanah yang mengandung mineral smektit termasuk tinggi (Ghousikar dan Kendre, 1987). Selain itu, fiksasi tanah ini terhadap kation lain juga tinggi, misal terhadap Al 3+, Mg 2+, dan Fe 3+ yang dapat membentuk formasi hidroksi interlayer. Tingkat fiksasi smektit terhadap kation tergantung valensi dan radius atom kation tersebut. 11

31 Semakin tinggi valensi kation dan semakin kecil radius atom maka fiksasi smektit terhadap kation semakin tinggi. Pertukaran anion pada smektit sangat rendah, yaitu < 5 Cmol/kg (Bingham et al., 1965). Anion yang memiliki ukuran yang sesuai dapat menggantikan ion OH - hanya pada posisi-e di struktur mineral. Hal inilah yang menyebabkan kapasitas tukar anion (KTA) smektit sangat rendah sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap jerapan anion. Tanahtanah dengan kapasitas tukar anion tinggi umumnya memiliki polimer hidroksi-al pada permukaan mineral, seperti mineral besi atau alumunium oksida. Kedua mineral tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap KTA yang signifikan. Reaksi kinetik sangat penting dalam mengontrol hancuran terutama pada reaksi yang melibatkan smektit. Tingkat reaksi pertukaran antara H 3 O + terjerap dengan kationkation yang berada pada lempeng oktahedral dipengaruhi oleh jumlah Al 3+ tetrahedral. Reaksi kinetik dari konversi Na montmorilonit ke arah Mg 2+ dan Al 3+ pada perlakuan pencucian dengan air bebas ion termasuk pertukaran yang cepat. Penggantion H 3 O + oleh Mg 2+ dan Al 3+ dapat lepas dari lempeng oktahedral melalui hancuran montmorilonit yang berlangsung perlahan-lahan. Reaksi kinetik ini tergantung temperatur, dimana pada suhu 35 o C, kecepatan reaksi 3 5 kali lipat daripada suhu 25 o C (Borchardt, 1989). Jerapan molekul pada smektit dapat bersifat kimia dan atau fisika. Muatan negatif smektit dapat berinteraksi secara polar dengan muatan positif dari molekul netral seperti senyawa hidro karbon. Luas permukaan internal smektit yang lebih dari 8 X 10 5 m 2 kg -1 menyediakan permukaan jerapan dalam tanah (Borchardt, 1989). Selain itu jumlah luas permukaan eksternal smektit umumnya lebih tinggi dibandingkan mineral lain karena ukuran partikel yang lebih kecil. 12

32 Karakteristik Fisika Meskipun mineral lain juga mempunyai sifat mengembang dan mengkerut dengan berubahnya kadar air, namun perubahan ini tidak seberapa dibandingkan dengan smektit. Smektit dapat menjerap H 2 O dalam jumlah yang banyak, yaitu beberapa kali bobotnya sendiri. Hal ini disebabkan karena smektit mempunyai ukuran partikel kecil, luas permukaan jerapan tinggi, dan struktur lapisan muatan negatif tinggi (Borchardt, 1989). Sifat mengembang dan mengkerut ini berimbas terhadap karakteristik fisika tanah lainnya, seperti: hidrasi dan dehidrasi, expansi pada tanah-tanah berbahan smektit, dan stabilitas tanah. Jerapan air diantara lapisan smektit berkaitan erat dengan jarak basal smektit yang dapat diukur dengan metode XRD. Hidrasi H 2 O oleh kation yang dapat dipertukarkan membentuk lapisan pertama dengan energi ikatan yang tinggi. Lapisan berikutnya dijerap dengan energi yang lebih rendah. Hendricks et al. (1940) dalam Borchardt (1989) menyatakan bahwa H 2 O yang diikat pada permukaan komplek jerapan smektit berbentuk heksagonal. Sifat kohesi dan adhesi smektit juga berbeda dengan mineral tanah lainnya. Sifat ini berkaitan erat dengan peristiwa longsor (landslide), pergerakan tanah (soil creep), dan erosi. Tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi berpotensi untuk terjadinya longsor karena smektit dapat menjerap air dalam jumlah banyak (Borchardt, 1977). Smektit juga hampir selalu identik dengan peristiwa pergerakan tanah yang disebabkan oleh adanya ekspansi dan kontraksi akibat perubahan kadar air tanah. Selain itu erodibilitas tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi dipengaruhi oleh kekuatan keregangan tanah. Kekuatan keregangan tanah tergantung dari kejenuhan kation dimana kekuatannya menurun menurut urutan: Fe 3+ > K + > Na + > Al 3+ > Ca

33 Bentuk-bentuk K Tanah Kalium di dalam tanah berada dalam empat bentuk dimana satu sama lain berada dalam keseimbangan yang dinamik, seperti yang tertera di Gambar 2. Berdasarkan tingkat ketersediaannya untuk tanaman dari yang paling sukar ke paling mudah tersedia berturutturut adalah bentuk K-struktural, K-terfiksasi, K-dapat dipertukarkan, dan K-larut (Sparks, 1987). Bentuk K pertama dan kedua sering disebut sebagai K-tidak dapat dipertukarkan sehingga sukar tersedia, sedangkan bentuk K lainnya disebut sebagai K mudah tersedia bagi tanaman. Berbagai teknik analisis kimia untuk memisahkan bentuk-bentuk K tersebut telah berkembang dengan baik, tapi di lapangan batas antara bentuk satu dengan yang lainnya tidak ada (Sharpley, 1990). Jumlah K yang berada dalam masing-masing bentuk tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah, antara lain: jenis dan jumlah mineral liat, serapan hara tanaman, penggunaan pupuk, pencucian, dan efektivitas proses fiksasipelepasan yang berlangsung di dalam tanah. Gambar 2. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah (Kirkman et al., 1994) 14

34 K-Struktural K-struktural dikenal sebagai K mineral, K tidak hancur, K alamiah, K matrix, atau K inert. Bentuk K ini mendekati jumlah K total dalam tanah dimana jumlahnya tergantung komposisi bahan induk dan tingkat perkembangan tanah (Sparks dan Huang, 1985). K struktural umumnya terselimuti struktur kristal dari mineral yang mengandung K tinggi seperti mika (biotit dan muskovit), feldspar (ortoklas dan mikroklin), dan gelas volkan baik yang masam maupun alkalin (Metson, 1968). Mineral-mineral tersebut umumnya ditemukan dalam fraksi kasar dalam tanah dan mempunyai tingkat hancuran yang terbatas selama perkembangan tanah, dimana tingkat hancuran meningkat dengan menurunnya ukuran partikel. Hancuran umumnya menghasilkan formasi dari liat silikat sekunder yang mungkin masih mengandung K-struktural. Tingkat ketersediaan K relatif untuk tanaman dari tinggi ke rendah adalah biotit > muskovit > ortoklas dan mikroklin. Sementara itu gelas volkan alkalin lebih cepat hancur dibandingkan gelas volkan masam (Metson, 1968). Mineral primer yang memiliki cadangan K tinggi akan hancur menghasilkan sejumlah K tersedia bagi tanaman. Fase hancuran bukan hanya tergantung lingkungan, melainkan juga tergantung komposisi dan struktur mineral primer tersebut. Biotit dan gelas volkan alkalin melapuk lebih mudah, sedangkan feldspar dan gelas volkan masam melapuk lebih lambat. Tahapan hancuran mineral yang mengandung K dapat digambarkan seperti pada Gambar 3. Hancuran mika ditandai oleh pergantian posisi K + di ruang antar lapisan (interlayer space) oleh kation lain seperti Ca 2+, Mg 2+, Al 3+, Fe 3+, dan lain-lain yang menghasilkan formasi ilit, vermikulit, smektit, dan mineral interstratifikasi. Saat hancuran berlangsung ukuran partikel menurun, kadar K berkurang dari sekitar 10% (mika) menjadi < 1% (smektit), dan jarak basal meningkat dari 1 (mika) menjadi 1.8 (smektit). 15

35 Gambar 3. Hancuran Dinamik dari Mineral Primer (Kirkman et al., 1994) Formasi mineral liat tidak selalu mengikuti tahapan seperti yang disajikan di Gambar 3, tergantung kondisi tanah dimana mineral primer tersebut berada. Bila Ca 2+ dan Mg 2+ menggantikan posisi kation K dalam mika maka smektit sangat mungkin terbentuk. Sebaliknya bila kondisi reaksi tanah masam maka vermikulit memiliki peluang paling besar untuk terbentuk. K-Terfiksasi K terfiksasi berada diantara lapisan mineral liat mika dimana posisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya pertukaran dengan kation lain yang berada dalam larutan tanah. Beberapa jenis tapak jerapan K + pada mineral liat silikat 2:1 disajikan pada Gambar 4. Posisi planar (posisi-p) mempunyai selektivitas terhadap K + rendah, edge (posisi-e) dan wedge (posisi-w) medium, sedangkan interlayer (posisi-i), crack (posisi-c), dan step 16

36 (posisi-s) tinggi. Pada mineral liat tipe 2:1, K + yang berada di posisi-w, e, s, dan c dapat disebut sebagai K-terfiksasi. Sementara itu pada mineral primer, K + yang berada di posisii disebut sebagai K-struktural dimana bentuk K ini terikat sangat kuat karena K berada di bagian dalam struktur mineral. K-struktural tersebut dapat bergerak ke pool K-terfiksasi dengan berlangsungnya proses hancuran, sehingga pada mineral sekunder seperti ilit, vermikulit, dan smektit, K + tersebut disebut sebagai K-terfiksasi. Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi: planar (p), edge (e), interlayer (i), wedge (w), crack (c), dan step (s) (Goulding, 1987). Jumlah K-terfiksasi di dalam tanah tergantung kepada distribusi ukuran partikel, jenis dan jumlah mineral liat, dan penambahan atau pengurangan K dari mineral tersebut. Sementara itu penambahan K kedalam tanah yang banyak mengandung tapak antar lapisan K (vermikulit) menghasilkan jerapan K yang tinggi. Sebaliknya pengurangan K di dalam larutan tanah karena diserap oleh tanaman dan mikroba atau pencucian dapat menyebabkan K-terfiksasi lepas menjadi K-dapat dipertukarkan atau K-larut. Bentuk K- terfiksasi bersama-sama dengan K-struktural merupakan cadangan K utama di dalam 17

37 pedosphere atau sering disebut sebagai bentuk K-tidak dapat dipertukarkan. Bentuk lainnya adalah K-dapat dipertukarkan dan K-larut yang biasa disebut sebagai K-tersedia bagi tanaman. Perbedaan antara K-terfiksasi dengan K-struktural adalah pelepasan K dari K-terfiksasi dapat balik (reversible) sedangkan dari K-struktural tidak dapat balik (irreversible). Pelepasan K dari pool K-tidak dapat dipertukarkan terjadi bila K-dapat dipertukarkan dan K-larut berkurang karena diserap tanaman atau tercuci (Sparks et al., 1980). Selain kemampuan tanaman yang berbeda dalam menyerap K dari larutan, karakteristik tanah seperti tekstur, struktur, dan pemadatan tanah juga berpengaruh terhadap pencucian K. Semua faktor yang berpengaruh terhadap kadar K dalam larutan tanah akan berpengaruh pula terhadap K-tidak dapat dipertukarkan. Aktivitas bilologi tanah seperti cacing juga berpengaruh terhadap pelepasan K- tidak dapat dipertukarkan. Penelitian Basker et al. (1992) menunjukkan bahwa kadar K- dapat dipertukarkan meningkat akibat perlakuan cacing tanah. Hal ini berkaitan erat dengan proses ingesti (ingestion) tanah oleh cacing pada tanah yang diberi perlakuan cacing (Basker et al., 1994). Pelepasan K-tidak dapat dipertukarkan juga tergantung intensitas hancuran tanah. Menurut Metson (1960) laju maksimum pelepasan K terjadi saat fase terbentuknya ilit dimana saat itu jumlah K-terfiksasi tinggi sedangkan K-struktural rendah. Sebaliknya tanah-tanah yang mengandung feldspar dan gelas volkan tinggi dimana K terselimuti struktur mineral akan menyumbang K untuk tanaman hanya sedikit. K-Dapat Dipertukarkan Kalium dapat dipertukarkan didefinisikan sebagai K yang dijerap pada kompleks permukaan koloid tanah. Bentuk K dd ini dipegang oleh kekuatan ikatan yang berbeda pada tapak jerapan non-spesifik di posisi planar dan edge dari mineral liat. Selain itu K ini juga dijerap oleh muatan negatif grup karboksilat dan fenolat dari koloid humus yang 18

38 merupakan sumber muatan tergantung ph (Kirkman et al., 1994). Meskipun jumlah tapak pertukaran yang disebabkan oleh substitusi isomorfik relatif konstan, tapi muatan negatif pada koloid humus dan posisi edge pada mineral liat amorf meningkat dengan meningkatnya ph karena disosiasi H + dari grup asam lemah. Jumlah K + yang dijerap oleh mineral liat pada tapak pertukaran tergantung faktor kinetik dan termodinamik tanah. Selain itu juga tergantung afinitas tapak pertukaran terhadap K (kompleks permukaan koloid tanah) dan konsentrasi kation lain (terutama kation bervalensi dua seperti Ca 2+ ) (Barber, 1984). Pertukaran K oleh Ca sering terjadi terutama pada tanah-tanah yang dipupuk Ca tinggi baik dengan kapur maupun TSP/SP-36. Umumnya kadar K dd kurang dari 2% dari K total tanah atau berkisar antara ppm (Schroeder, 1974). Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung K dd yang bervariasi sekitar 1-5% dari total K tanah. Kadar K-struktural dan terfiksasi sangat tergantung kepada tingkat hancuran mineral liat primer dan sekunder, sedangkan K dd berkaitan erat dengan jenis mineral liat dan jumlah muatan negatif. Sebagai contoh, tingkat K dd pada tanah-tanah yang banyak mengandung alofan relatif rendah, sedangkan pada tanah-tanah yang banyak mengandung vermikulit atau mika relatif tinggi (Parfitt, 1992). Hancuran mika menghasilkan partikel berukuran kecil, peningkatan luas permukaan pertukaran, dan peningkatan muatan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah-tanah yang mengandung lebih banyak mineral liat smektit mempunyai K dd lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung mineral liat interstratifikasi. K-Larut Tanaman menyerap hara dalam bentuk K + yang terdapat dalam larutan tanah (Klarut). Kadar K dalam larutan berada dalam keseimbangan dengan K dd. Jika konsentrasi K dalam larutan tanah menurun maka K dd akan dibebaskan ke dalam larutan tanah. Jumlah K 19

39 dalam larutan relatif sangat kecil dibandingkan K-total tanah dan besarnya tergantung daya sangga K dalam tanah. Kalium yang dijerap tanah berbahan induk alofan yang memiliki daya sangga rendah tidak segera dapat mengganti K larut. Sebaliknya tanah berbahan induk mika dan vermikulit dapat mempertahankan level K dalam larutan tanah dalam waktu yang relatif lama (Parfitt, 1992). Ketersediaan dan Fiksasi K Tanah Ketersediaan K Tanah Diantara bentuk-bentuk K tanah, K-larut dan K-dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia, sedangkan K-tidak dapat dipertukarkan sangat lambat tersedia bagi tanaman. Laju konversi bentuk K-struktural menjadi bentuk larut sangat lambat, bentuk K-terfiksasi memerlukan sekitar beberapa minggu, sedangkan K-dapat dipertukarkan berlangsung cepat atau hanya beberapa jam saja (Haby et al., 1990). Bila batasan K tersedia adalah K yang dapat dimanfaatkan tanaman, maka sesungguhnya seluruh bentuk K dapat tersedia untuk tanaman. Ketersediaan K menggambarkan situasi yang komplek dan kondisinya tergantung faktor-faktor tanah dan karakteristik tanaman (Grimme, 1985). Kemampuan tanah untuk melepaskan K merupakan suatu indeks potensi K tersedia di dalam tanah dan hal ini dapat diukur oleh prosedur analisis kimia yang tepat. Analisis tersebut dapat mengukur bukan hanya perubahan dari K-dapat dipertukarkan menjadi K- larut, melainkan juga pelepasan K dari K-tidak dapat dipertukarkan dan K-dapat dipertukarkan menjadi K-larut. Tergantung metode analisis dan pengekstrak yang digunakan, jumlah K yang lepas dari tapak tidak dapat dipertukarkan mungkin bervariasi. K yang dilepaskan mencerminkan total ketersediaan K yang terekstrak oleh pengekstrak 20

40 tertentu. Namun demikian K terekstrak mungkin berbeda dengan yang diserap tanaman karena ada faktor daya sangga tanah yang tidak tercerminkan dalam K yang terekstrak tersebut. Dengan memperhatikan performan tanaman, hal yang penting adalah bukan hanya jumlah total K yang dapat diserap tanaman, melainkan juga pelepasan K yang dapat mempertahankan konsentrasi K dalam larutan tanah. Pelepasan K ke dalam larutan dan pergerakan K + ke zone perakaran harus mempunyai kecepatan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah gejala kekahatan tanaman terhadap K (Kirkman et al., 1994). Tingkat pelepasan K ke dalam larutan tanah dipengaruhi oleh perubahan proses antara bentuk padat (mineral yang mengandung K) dan larut (fase larutan tanah). Difusi K + tergantung kepada gradien konsentrasi K dalam larutan sehingga ketersediaan K merupakan fungsi dari flux K + (aliran masa dan difusi) dimana larutan tanah dapat mempertahankan K untuk tanaman. Tingkat flux yang cukup tinggi dapat dicapai dan dipertahankan oleh kecukupan konsentrasi K dalam larutan yang berasal dari tingginya K- dapat dipertukarkan dan atau K-tidak dapat dipertukarkan atau oleh penambahan K dari pupuk. Tingkat pergantian K dalam larutan tergantung kepada jenis dan jumlah mineral liat. Tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K rendah seperti kaolinit hanya dapat melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah sedikit. Sebaliknya tanah yang kaya akan mineral yang mengandung K tinggi (micaceous K-bearing minerals), tergantung tingkat hancurannya, dapat melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah banyak sehingga dapat mencukupi kebutuhan tanaman. 21

41 Faktor-faktor Tanah yang Mempengaruhi Ketersediaan K Secara garis besar Havlin et al. (1999) mengemukakan bahwa faktor-faktor tanah yang mempengaruhi ketersediaan K adalah: jenis dan jumlah mineral liat, kapasitas tukar kation, jumlah K dapat dipertukarkan, kapasitas fiksasi K, kadar air tanah, temperatur tanah, aerasi tanah, dan ph tanah. Tanah-tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K tinggi mempunyai potensi menyediakan K tinggi pula. Bahan tanah yang mengandung mineral liat vermikulit, monmorilonit, atau ilit dapat menyediakan K lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung kaolinit. Selain itu Haby et al. (1990) juga mengemukakan bahwa faktor pengendali difusi K + (suhu, kadar air, tortuosity, dan konsentrasi K larut) dan K dd (jumlah dan proporsi K terhadap kation lain, daya sangga K tanah, dan tingkat pelepasan K dari fase padatan ke dalam larutan) juga berpengaruh terhadap ketersediaan K. Demikian pula parameter larutan tanah dan penggunaan air tanaman yang berkaitan dengan aliran masa mempengaruhi ketersediaan K untuk tanaman. Tanah-tanah yang bertekstur halus umumnya mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang K tinggi. Namun demikian tingginya K dd di dalam tanah tidak selalu dapat mempertahankan K dalam larutan. Kenyataannya kadar K-larut dalam tanah yang bertekstur halus bisa lebih rendah dibandingkan dengan dalam tanah yang bertekstur lebih kasar (Kirkman et al., 1994). Kalium dapat dipertukarkan dapat menjadi ukuran ketersediaan K tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara uji K tanah dengan respons tanaman. Aplikasi pemupukan K dapat diduga berdasarkan tingkat kadar K dd tanah (Kirkman et al., 1994). Semakin tinggi kadar K dd tanah maka semakin sedikit jumlah pupuk yang perlu ditambahkan dan sebaliknya. 22

42 Secara umum jumlah K yang diperlukan untuk meningkatkan K-dapat dipertukarkan 1 ppm berkisar antara kg/ha tergantung jenis tanah (Havlin et al., 1999). Perbedaan yang cukup signifikan berkaitan dengan variasi kapasitas fiksasi K diantara tanah. Tentu saja sebagain K yang terfiksasi ini dapat lepas untuk tanaman, namun demikian pelepasannya terlalu lambat untuk mendukung produksi tanaman yang tinggi. Dengan kadar air tanah rendah maka selimut air di sekeliling partikel tanah tipis dan tidak kontinyu. Hal ini menyebabkan terhambatnya proses difusi K menuju akar tanaman. Peningkatan kadar air tanah akan mempercepat proses difusi K tersebut. Kadar air tanah berpengaruh signifikan terhadap transpor K di dalam tanah. Peningkatan kadar air tanah dari 10 menjadi 28% meningkatkan total transpor K lebih dari 175% (Havlin et al., 1999). Pengaruh temperatur tanah terhadap serapan K menyebabkan perubahan dalam ketersediaan K tanah dan aktivitas akar. Penurunan temperatur tanah menurunkan prosesproses tanaman seperti pertumbuhan dan serapan K tanaman. Misalnya influx K menuju akar jagung pada suhu 15 o C hanya sekitar setengah dari influx K pada suhu 29 o C. Pada saat yang sama, panjang akar meningkat 8 kali lebih tinggi pada suhu 29 o C dibandingkan pada suhu 15 o C selama 6 hari pertumbuhan. Sementara itu konsentrasi K di bagian atas tanaman 8.1% pada suhu 29 o C dan hanya 3.7% pada suhu 15 o C (Kirkman et al., 1994). Respirasi akar tanaman sangat tergantung kecukupan suplai oksigen di dalam tanah. Pada tanah yang jenuh air atau tanah padat, pertumbuhan akar terhambat karena suplai O 2 rendah sehingga serapan K dan hara lain juga lambat. Penurunan aktivitas serapan hara terutama K sangat kentara pada tanah-tanah yang mempunyai aerasi buruk (Havlin et al., 1999). 23

43 Pada tanah masam jumlah unsur beracun seperti Al dan Mn tinggi sehingga mengakibatkan serapan K dan hara lainnya oleh akar tanaman terhambat. Pengapuran dapat mengurangi sifat racun Al karena Al 3+ mengendap menjadi Al(OH) 3. Akibatnya komplek jerapan yang tadinya ditempati oleh Al 3+ dapat ditempati oleh K +. Namun demikian bila pengapuran berlebihan maka komplek jerapan akan dipenuhi oleh Ca 2+ dan Mg 2+ akibatnya K + terdepak sehingga pencucian K meningkat. Dengan demikian maka kondisi reaksi tanah terlalu rendah (masam) dan terlalu tinggi (alkalin) tidak menguntungkan bagi ketersediaan K untuk tanaman (Brady, 1984). Fiksasi K Tanah Apabila konsentrasi K + dalam larutan tanah meningkat akibat penambahan pupuk K, maka keseimbangan reaksi akan mengarah ke proses fiksasi K pada tapak spesifik dari mineral liat. Fiksasi K pada tapak spesifik ini dimungkinkan karena faktor geometris dan ukuran ion K +. Kalium terjebak di dalam lubang ditrigonal antar lapisan oksigen pada unit sel mineral liat silikat tipe 2:1 (Arifin et al., 1973) atau pada tapak jerapan spesifik yang berada diantara saluran gels. Fiksasi K ini dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya posisi-w pada mineral kelompok mika yang hancur. Fiksasi ini akan lebih efektif bila posisi w berada di bagian dalam dari partikel liat dibandingkan dengan posisi-e. Namun demikian fiksasi ini tidak selalu berada di bagian dalam mineral tapi ada sebagian K + yang bisa diendapkan sebagai senyawa tidak larut seperti potassium aluminosilikat (Shaviv et al., 1985). Fiksasi K dapat menyebabkan kekahatan K bagi tanaman, namun demikian secara umum fiksasi ini juga berguna karena ia membantu proses retensi dan siklus K melalui sistem organik dan inorganik (Metson, 1980). Dengan demikian maka dapat dikatakan 24

44 bahwa fiksasi K merugikan dalam jangka pendek tapi bermanfaat dalam jangka panjang karena K-terfiksasi merupakan K cadangan bagi tanaman. Jenis mineral liat merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap fiksasi K. Umumnya tanah-tanah yang mengandung mika, hidrous mika, vermikulit, dan smektit mempunyai fiksasi K tinggi sedangkan tanah yang mengandung kaolinit kapasitas fiksasinya rendah (Arifin et al., 1973). Tanah-tanah Vertisol di Indonesia mengandung mineral smektit yang tinggi sehingga berpeluang untuk mempunyai fiksasi K tinggi pula. Sementara itu tanah Ultisol, Oxisol, dan Andisol yang banyak mengandung mineral kaolinit, oksida, dan alofan umumnya memiliki kapasitas fiksasi rendah. Sumber dan Pengelolaan K Tanah Sumber K Tanah Sumber K tanah dapat berasal dari bahan organik ataupun bahan inorganik. Bahan organik umumnya memiliki kadar K rendah, sedangkan bahan inorganik berkadar K tinggi. K yang berasal dari hasil pelapukan bahan organik (pupuk kandang, sisa tanaman, kotoran lumpur, dan lain-lain) umumnya juga menyumbangkan K + inorganik yang tersedia bagi tanaman. Kadar K dalam kotoran hewan berkisar antara 0.2-2% atau 2-20 kg/t sedangkan dalam sampah sekitar 4.5 kg/t dari bahan kering (Havlin et al., 1999). Oleh karena itu bahan organik dapat mensuplai sejumlah K tersedia bagi tanaman tergantung tingkat aplikasinya di lapang. Pada umumnya aplikasi bahan organik disesuaikan dengan kebutuhan tanaman terhadap hara N dan P. Selain itu dipertimbangkan juga dampak negatif penggunaannya terhadap lingkungan tanah dan air. Jika bahan organik diberikan pada tanah-tanah yang kahat K maka penambahan K-inorganik masih tetap diperlukan. 25

45 Deposit garam K mudah larut banyak ditemukan di permukaan bumi dan juga di sungai mati dan laut. Deposit ini mempunyai kemurnian tinggi dan ditambang untuk keperluan K pertanian dan industri yang disebut sebagai potash. Cadangan potash terbesar di dunia terdapat di Canada, yaitu sepanjang 450 mil, lebar 150 mil, dan kedalaman kaki. Keperluan K untuk pertanian biasanya berada dalam bentuk pupuk yang berasal dari deposit K tersebut di atas. Sumber K dalam bahan inorganik antara lain terdapat di pupuk KCl (60% K 2 O), K 2 SO 4 (50% K 2 O), KNO 3 (37% K 2 O), K fosfat (20-50% K 2 O), K 2 CO 3 (68% K 2 O), dan lain-lain (Havlin et al., 1999). Siklus K Tanah Sebagian besar K tanah berada dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman, yaitu berkisar antara 90 98% dari total K tanah. Sementara itu bentuk K lambat tersedia sekitar 1 10%, sedangkan yang cepat tersedia sekitar 0.1 2%. Hubungan dan transformasi berbagai bentuk K di dalam tanah disajikan pada Gambar 5. Siklus dan transformasi bentuk-bentuk K tanah sangat dinamik karena kehilangan K oleh serapan tanaman dan pencucian berlangsung terus-menerus. Demikian pula halnya transformasi K dari mineral primer menjadi bentuk dapat dipertukarkan dan larut berjalan terus walaupun dengan kecepatan rendah (Havlin et al., 1999). Apabila laju kehilangan K (serapan hara dan pencucian) lebih cepat daripada suplai K ke dalam sistem K dd dan K l maka tanaman akan mengalami defisiensi. Defisiensi K akan menyebabkan sebagian atau seluruh fungsi K untuk pertumbuhan tanaman terhambat yang pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pengelolaan K tanah pada prinsipnya adalah manipulasi tanah yang bertujuan agar K dalam kondisi selalu tersedia atau dapat diserap langsung oleh tanaman sehingga produksi tanaman optimal dan berkelanjutan. 26

46 Gambar 5. Keseimbangan dan Siklus K di Dalam Tanah (Havlin et al., 1999). Pengelolaan K Tanah Terdapat berbagai cara pengelolaan K tanah agar hasil tanaman optimal, antara lain: (1) pemanfaatan K tanah, (2) peningkatan efisiensi pupuk K, (3) pengelolaan hara terpadu, (4) penggunaan varietas tanaman yang toleran. Cara pertama dan keempat masih belum banyak dilakukan karena penelitian ke arah itu masih terbatas. Di lapangan biasanya menggunakan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Berikut ini dibahas beberapa alternatif pengelolaan K tanah. 1. Pemanfaatan K Tanah Meskipun hanya bentuk K l dan K dd saja yang cepat tersedia bagi tanaman, namun sesungguhnya bentuk K tdd yang meliputi K-terfiksasi dan K-struktural berpotensi untuk 27

47 berubah menjadi tersedia bagi tanaman. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bentuk K tersedia hanya sekitar 2-10% dari total K yang terdapat di dalam tanah. Dengan demikian maka terdapat peluang yang sangat besar untuk memanen K tanah, yaitu sekitar %. Apabila peluang ini dapat dimanfaatkan maka kita dapat memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan K tanaman dari tanah dan sisanya dari pupuk. Peluang ini terutama ditujukan untuk tanah-tanah yang mengandung total K tinggi, yaitu untuk tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi atau tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Zhu dan Luo (1993) mengemukakan bahwa asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan K tdd menjadi K dd dan K l pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur. Mereka juga menunjukkan bahwa asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat dalam melepaskan K tdd menjadi K dd. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Song dan Huang (1988) dimana K tdd dari posisi dalam (inner position) mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan asam sitrat. Penelitian Sparks (1987) dengan menggunakan tanah-tanah dari Middle Atlantic Costal Region, USA yang bertekstur kasar dan mempunyai K total tinggi menunjukkan bahwa pemberian asam oksalat 0.01 M dapat mengeluarkan K dari struktur mineral feldspar selama inkubasi 30 hari. Asam-asam organik, seperti: oksalat, sitrat, malonat, fumarat, malat, suksinat, benzoat, tartarat dan lain-lain merupakan komponen penting dari eksudat akar tanaman yang dikeluarkan di sekitar rhizosphere. Akar tanaman jagung yang dipelihara dalam larutan hara (solution culture) steril dapat mengeluarkan asam oksalat sekitar 3100, fumarat 4710, dan sitrat 530 µg/g (Bolton et al., 1993). Penelitian Syarif (2005) pada tanaman padi menunjukkan bahwa akar padi genotipe Gadih Ani-2 dapat mengeluarkan 28

48 eksudat asam oksalat 1.283, asam sitrat 0.533, asam format 0.608, dan asam suksinat µmol/tanaman/hari. Akar tanaman kedelai juga dapat mengeluarkan eksudat akar asam oksalat sekitar nmol/g/hari. Selain itu asam-asam organik, terutama asam oksalat, malonat, dan fumarat juga banyak terdapat di dalam akar tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai masing-masing sekitar , , dan nmol/g (Nursyamsi et al., 2002). Pada tanaman jagung, terdapat korelasi yang erat antara level K dalam medium larutan hara dengan komposisi dan konsentrasi asam organik dalam eksudat akar. Pemberian K yang rendah nyata meningkatkan jumlah eksudat akar jagung, baik gula, asam organik, maupun asam amino. Level K tidak berpengaruh terhadap kadar gula dan asam amino dalam eksudat tapi berpengaruh terhadap kadar asam organik. Pada pemberian K tinggi asam malat dominan, sebaliknya pada K rendah, ternyata asam oksalat dominan (Kraffczyk et al., 1984). Selain asam organik sejumlah kation juga berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara K terutama di tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 atau mineral yang banyak mengandung K. Penelitian yang dilaksanakan di tanah-tanah Punjab di India menunjukkan bahwa posisi K + di interlayer mineral muskovit digantikan oleh Ca 2+ dan Na + (Sidhu, 1987) akibat hancuran. Ion NH + 4 dan K + dapat berkompetisi dalam menempati kompleks jerapan di posisi inner dari ruang antar lapisan mineral liat tipe 2:1. Kompetisi tersebut sering terjadi terutama di tanah yang didominasi mineral yang mempunyai kapasitas jerapan tinggi terhadap kedua kation tersebut, seperti beidelit dan vermikulit (Bajwa, 1987). Dengan demikian maka penambahan NH + 4 dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia. Sebaliknya penambahan K + dapat mengurangi ikatan jerapan koloid liat terhadap NH + 4 (Evangelou dan Lumbanraja, 2002). Kation lain yang berperan dalam meningkatkan ketersedian K adalah Na +. Penelitian Dhillon dan Dhillon (1992) 29

49 yang dilaksanakan di tanah merah (Alfisol), hitam (Vertisol), dan aluvial (Inceptisol dan Alfisol) menunjukkan bahwa pemberian Na + dari natrium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia. Penelitian lainnya yang dilaksanakan di tanah Vertisol di lahan perkebunan tebu Jawa Timur menunjukkan bahwa Na + dari garam dapur (NaCl) dapat mengurangi kebutuhan pupuk K tanaman tebu (Ismail, 1997). 2. Peningkatan Efisiensi Pupuk K Efisiensi penggunaan pupuk K merupakan faktor penting dalam pengelolaan K tanah. Pengapuran merupakan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (termasuk pemupukan K) terutama pada tanah-tanah yang mengalami pencucian dan hancuran yang tinggi. Tanaman yang diusahakan pada tanah-tanah demikian (misalnya Ultisol dan Oxisol) umumnya mengalami kekahatan K, tapi tanaman tidak respon terhadap pemupukan K. Produksi tanaman nyata meningkat apabila pemupukan K diawali terlebih dahulu dengan pengapuran. Namun demikian pengapuran perlu hati-hati karena adakalanya pengapuran yang berlebihan dapat menurunkan K l dalam tanah ke tingkat defisien (Geodert et al., 1975). Cara penempatan pupuk juga perlu diperhatikan agar pemupukan lebih efisien. Pemupukan K dengan cara disebar di permukaan tanah akan menyebabkan kehilangan K akibat pencucian sangat tinggi. Pembenaman pupuk K pada larikan di pinggir tanaman atau pada lubang dengan cara ditugal dapat mengurangi kehilangan K karena pencucian. Selain itu cara ini juga membuat K dekat dengan rhizosfer sehingga serapan K melalui proses difusi berlangsung dengan baik. Waktu penempatan pupuk juga perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan efisiensi pupuk K. Sittibusaya et al. (1978) melaporkan bahwa pupuk K yang dibenamkan 2 bulan setelah tanam untuk cassava menghasilkan ubi jauh lebih tinggi dibandingkan 30

50 aplikasi pupuk sebelum tanam. Selain itu aplikasi pupuk secara bertahap, misalnya ½ bagian saat tanam dan sisanya saat primordia pada tanaman setahun sangat direkomendasikan karena terbukti dapat mengurangi kehilangan K melalui pencucian. Aplikasi pupuk K pada tanah salin, selain dapat mengurangi pencucian K juga dapat menekan efek keracunan garam. 3. Pengelolaan Hara Terpadu Pengelolaan hara terpadu (integrated plant nutrient supply atau disingkat IPNS) bertujuan agar semua hara yang diperlukan tanaman berada dalam kondisi yang favorable untuk pertumbuhan tanaman. Cara tersebut dilakukan melalui kombinasi penggunaan pupuk kimia, bahan organik, dan pupuk hayati. Saat ini IPNS masih diartikan sebagai penggunaan pupuk anorganik dan organik karena penggunaan pupuk hayati belum memberikan hasil yang memuaskan di lapangan. Namun demikian penggunaan mikroba BNF (biological nitrogen fixing microbe) yang dikombinasikan dengan sisa tanaman dan pupuk kandang telah banyak diaplikasikan di sejumlah negara maju untuk meningkatkan produksi tanaman (Roy, 1992). Berbagai penelitian menunjukan bahwa penggunaan IPNS dapat meningkatkan efisiensi pupuk kimia seperti pupuk N, P, dan K. 4. Penggunaan Varietas yang Toleran Pengunaan varietas yang toleran terhadap stres, misal tahan terhadap kekurangan P, keracunan Al dan Fe, keracunan garam, kekeringan, dan lain-lain telah banyak dilakukan. Namun demikian penggunaan tanaman yang toleran terhadap kekahatan K masih belum banyak diteliti. Penggunaan tanaman yang toleran selain dapat mempertahankan hasil tanaman juga dapat mengurangi biaya input produksi (pemupukan) sehingga keuntungan bertani maksimal. 31

51 Tanaman secara alamiah sebenarnya mempunyai mekanisme untuk mengantisipasi kondisi stres terhadap situasi yang tidak menguntungkan. Tanaman yang toleran terhadap kekurangan P pada tanah-tanah masam dapat mengeluarkan eksudat senyawa organik (gula, protein, asam organik, dan lain-lain) dari akarnya. Selanjutnya asam organik dari eksudat akar dapat melarutkan P yang terikat oleh Al sehingga tanaman dapat menyerap P untuk kebutuhan hidupnya (Ness dan Vlek, 2000). Secara teoritis hal yang sama sesungguhnya dapat terjadi pada tanah-tanah yang memiliki fiksasi K tinggi seperti tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1. Pada tanah ini eksudat asam organik juga berperan membebaskan K terfiksasi menjadi tersedia bagi tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Song dan Huang (1988) dan Zhu dan Luo (1993) bahwa asam oksalat dan sitrat meningkatkan ketersediaan K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat tipe 2:1 tinggi. Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman Kalium adalah kation valensi satu dengan radius ion terhidrasi nm dan energi hidrasi 314 j mol -1 (Havlin et al., 1999). Serapan oleh tanaman sangat tinggi untuk menutupi aktivitas metabolisme. Hal ini ditandai dengan tingginya mobilitas di dalam tanaman pada semua level di dalam individu sel, jaringan, dan angkutan jarak panjang melalui xylem dan floem. Kalium adalah kation yang paling banyak berada dalam sitoplasma dan K + yang diikuti oleh anion memberikan kontribusi utama terhadap potensial osmotik dari sel dan tisu pada spesies tanaman glikofitik (Marschner, 1997). Berbagai fungsi K untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibahas secara ringkas oleh Havlin et al. (1999), seperti yang diuraikan berikut ini. Enzim terlibat dalam berbagai proses fisiologi tanaman yang penting dimana lebih dari 80% enzim memerlukan K untuk aktivasinya. Aktivasi enzim diduga sebagai fungsi K 32

52 yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman. Enzim ini berlimpah di jaringan meristem pada titik tumbuh tanaman baik yang berada di bagian atas maupun di bagian bawah tanaman dimana pertumbuhan sel sangat cepat dan jaringan primer terbentuk. Dalam sintesis pati, enzim terlibat dalam konversi gula larut menjadi pati yang merupakan tahap penting dalam proses pengisian biji. Kalium juga berperan dalam transpor karbohidrat ke nodul dalam proses sintesis asam amino. Dalam kaitannya dengan serapan air, K menstimulir tarikan osmotik (osmotic pull) yang menyebabkan air masuk ke dalam akar tanaman. Tanaman yang mengalami kekahatan K biasanya rentan terhadap stres air karena ketidakmampuannya dalam menggunakan air tersedia secara optimal. Perawatan turgor tanaman sangat penting dalam proses-proses metabolik dan fotosintesis. Pembukaan stomata terjadi bila ada peningkatan tekanan turgor pada sel di sekitar stomata yang dikendalikan oleh influx K. Penurunan fungsi stomata yang disebabkan oleh defisiensi K dapat menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan ketidak efisienan penggunaan air. Kalium juga dapat mengendalikan proses transpirasi tanaman dan serapan air yang mengandung hara dengan mengatur bukatutup stomata. Tanaman memerlukan K untuk memproduksi adenosine triphosphate (ATP) yang dihasilkan dalam proses fotosintesis dan respirasi. ATP ini diperlukan tanaman sebagai sumber energi untuk keberlangsungan proses fisiologi tubuhnya. Jumlah CO 2 yang terbentuk ke dalam gula selama proses fotosintesis meningkat tajam akibat meningkatnya K dalam jaringan tanaman. Pada saat CO 2 terasimilasi ke dalam gula selama fotosintesis, gula tersebut diangkut ke seluruh organ tanaman untuk disimpan atau digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Translokasi gula ini memerlukan energi dari ATP dimana K diperlukan untuk sintesis ATP tersebut. Translokasi gula dari daun menurun drastis akibat tanaman 33

53 mengalami kekahatan K. Misalnya yang terjadi pada daun tebu, translokasi gula dalam keadaan normal sekitar 2.5 cm/menit tapi laju translokasi menurun menjadi setengahnya bila tanaman defisiensi K. Serapan N total dan sintesis protein berkurang pada tanaman yang mengalami kekahatan K. Hal ini ditandai dengan terbentuknya asam amino. Fenomena ini juga berkaitan dengan kebutuhan energi untuk kedua proses tersebut tidak terpenuhi karena sintesis ATP juga terhambat akibat defisiensi K. 34

54 KORELASI ANTARA SIFAT-SIFAT TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Sebelum pengelolaan K tanah dilakukan, karakteristik tanah yang berpengaruh terhadap perilaku K dalam tanah perlu diketahui terlebih dahulu agar pengelolaan tanah terarah, efektif dan efisien. Selain aspek iklim dan tanaman, parameter tanah sangat menentukan ketersediaan K bagi tanaman. Sifat-sifat tanah yang berkaitan erat dengan ketersediaan K tanah antara lain: jumlah dan jenis mineral liat, KTK, daya sangga, kelembaban, suhu, aerasi dan ph tanah (Havlin et al., 1999). Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit umumnya berkadar liat dan mempunyai KTK tanah tinggi. Kedua peubah tersebut diduga berpengaruh nyata terhadap ketersediaan K tanah. Mineral liat smektit mempunyai sumber muatan permanen yang dominan sehingga memberikan kontribusi muatan negatif yang sangat tinggi. Sementara itu sumber muatan variabelnya tidak penting karena tidak signifikan memberikan kontribusi terhadap muatan negatif tanah. Dengan demikian maka mineral liat smektit dapat memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan ketersediaan K tanah. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Bahan dan Metode Analisis kimia, fraksionasi K, dan jerapan K tanah dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor sejak Oktober Februari 35

55 2006. Sementara itu analisis mineral liat tanah dilaksanakan di Laboratory of Soil Sciences, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Japan mulai Juli Oktober Selanjutnya percobaan dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan seperti yang diuraikan di bawah ini. Pengambilan dan Persiapan Contoh Tanah Contoh tanah komposit lapisan atas (0-20 cm) telah diambil sebanyak 91 contoh masing-masing 32 contoh berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah dan 27 contoh dari Jawa Timur. Pengambilan contoh tanah komposit mengikuti sebaran tanah yang tertera dalam Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Skala 1: (Lembaga Penelitian Tanah, 1966). Contoh tersebut merupakan bahan tanah lapisan atas dari tanah Aluvial, Grumusol, dan Mediteran (Lembaga Penelitian Tanah, 1966) atau setara dengan Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol (Soil Survey Staff, 1998). Selanjutnya sebaran contoh tanah, fisiografi, dan bahan induk dari masing-masing jenis tanah disajikan pada Tabel 1. Contoh tanah dari lapang segera dikeringudarakan, ditumbuk, diayak dengan menggunakan saringan 2 mm lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik berlabel. Sebagian contoh tanah dibagi menjadi dua bagian masing-masing untuk analisis kimia tanah dan analisis mineral fraksi liat tanah. Tabel 1. Sebaran Contoh Tanah yang Diambil dari Jawa. No. Jenis Tanah Fisiografi Bahan induk Jumlah LPT (1966) Soil Survey Staff (1998) 1. Aluvial Inceptisol Dataran Endapan liat Grumusol Vertisol Dataran Endapan liat berkapur Mediteran Alfisol Bukit lipatan Batu kapur 31 36

56 Analisis Tanah 1. Analisis sifat-sifat tanah Analisis karakteristik tanah yang diduga berkaitan erat dengan dinamika kalium dalam tanah dilakukan terhadap semua contoh tanah komposit (91 contoh). Sifat-sifat tanah tersebut meliputi: ph H 2 O; tekstur 3 fraksi (pipet); C-organik (kjeldahl); P dan K-HCl 25%; Ca dd ; Mg dd ; K dd ; dan kapasitas tukar kation diekstrak dengan NH 4 OAc ph 7.0 dan Al dd tanah (KCl 1 N). 2. Analisis mineral liat tanah Analisis semi kualitatif mineral fraksi liat tanah dilakukan terhadap 20 contoh tanah, yaitu: Alfisol 8 contoh, Vertisol 8 contoh, dan Inceptisol 4 contoh. Pemisahan butirbutir primer tanah (pasir, debu, dan liat) dilakukan dengan cara menghilangkan bahan pengikat tanah. Penghilangan bahan karbonat dilakukan dengan cara menambahkan HCl ph 5, sedangkan bahan organik dengan peroksida (H 2 O 2 ). Contoh tanah bebas bahan pengikat didispersikan, lalu butir pasir kasar dipisahkan dengan penyaringan 50 µm, sedangkan pemisahan fraksi liat dari debu dilakukan dengan prinsip perbedaan kecepatan butir jatuh menurut hukum Stokes. Preparat masing-masing contoh suspensi liat diberi perlakuan: penjenuhan dengan Mg, Mg+gliserol, penjenuhan dengan K, K+350 o C, dan K+500 o C. Selanjutnya preparat tersebut diukur dengan metode X-Ray Diffraction (XRD) pada sudut putar 4 30 o dan lampu katoda Cu. 3. Fraksionasi K tanah Fraksi K tanah yang ditetapkan meliputi: K l dengan pengekstrak CaCl M; K dd dengan NH 4 OAc 1 N ph 7.0; dan K t dengan HNO 3 + HClO 4 pekat. Penetapan K l tidak menggunakan pengekstrak air karena ekstraktannya keruh sehingga pengukuran dengan metode AAS tidak akurat. Sebagai pengganti pengekstrak air adalah larutan 37

57 CaCl 2 encer ( M). Selanjutnya K tdd didefinisikan sebagai K t dikurangi oleh K l dan K dd. Konsentrasi K dalam filtrat ditetapkan dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS). 4. Jerapan K tanah Penetapan jerapan K dilakukan dengan pendekatan model Langmuir (Fox dan Kamprath, 1970; Syers, et al., 1973). Contoh masing-masing tanah ditimbang 2 g dan dimasukkan kedalam botol kocok, lalu ditambahkan 20 ml larutan CaCl M yang mengandung 10 tingkat konsentrasi K. Konsentrasi K yang digunakan adalah : 0, 2.5, 5, 7.5, 10, 15, 20, 30, 40, dan 60 ppm K dari KCl. Ekstraksi tanah diinkubasi selama 6 hari dan dikocok 2 kali sehari, masing-masing selama 30 menit pagi dan sore hari. Setelah inkubasi larutan disaring dan ekstrak jernih digunakan untuk pengukuran K. Selanjutnya konsentrasi K dalam ekstraktan diukur dengan AAS. Jerapan K dihitung dengan model Langmuir menurut Fox dan Kamprath (1970) yang menggunakan persamaan sebagai berikut : x/m = kbc / (1+kC). Dimana: x/m = jumlah K yang dijerap per satuan bobot tanah; k = konstanta yang berkaitan dengan energi ikatan; b = daya jerap K maksimum; dan C = konsentrasi K dalam keseimbangan. Persamaan tersebut diubah menjadi : C/x/m = 1/kb + 1/b C. Pengeplotan antara C/x/m dengan C akan menghasilkan garis lurus dengan persamaan regresi Y = p + qx. Nilai q persamaan regresi tersebut sama dengan 1/b persamaan di atas, sehingga nilai b dapat ditentukan. Setelah nilai b diketahui maka nilai k dapat dihitung. Nilai b merupakan jerapan maksimum dan k merupakan nilai konstanta energi ikatan suatu tanah. Uji Korelasi Peubah jerapan K (K l, K dd, K tdd, jerapan maksimum, konstanta energi ikatan, dan daya sangga) dikorelasikan dengan sifat-sifat tanah. Sifat-sifat tanah yang memiliki 38

58 koefisien korelasi (r) nyata pada taraf uji 5% dinyatakan sebagai faktor tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah. Karakteristik Kimia Tanah Kisaran karakteristik tanah lapisan atas (0-20 cm) tanah-tanah yang diambil dari Jawa disajikan pada Tabel 2. Menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983) semua tanah yang diteliti bertekstur liat, reaksi tanah netral (Inceptisol dan Vertisol) hingga alkalin (Alfisol), sedangkan kemasaman tanah semuanya rendah, sebaliknya kejenuhan basa (KB) semuanya tinggi. Tabel 2. Kisaran Karakteristik Contoh Tanah Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa. Karakteristik tanah Metode/Pengekstrak Inceptisol Vertisol Alfisol Kadar liat (%) Pipet ph H 2 O Air (1 : 2,5) C-organik (%) Kjedahl N-total (%) Kjedahl K-potensial (ppm K 2 O) HCl 25% P-potensial (ppm P 2 O 5 ) HCl 25% Nilai tukar kation Ca dd (Cmol(+)/kg) NH 4 OAc ph Mg dd (Cmol(+)/kg) NH 4 OAc ph K dd (Cmol(+)/kg) NH 4 OAc ph KTK (Cmol(+)/kg) NH 4 OAc ph KB (%) NaCl > Kemasaman Al dd (Cmol(+)/kg) KCl 1N H dd (Cmol(+)/kg) KCl 1 N Jumlah contoh Kadar C dan N-organik tanah semuanya rendah, kadar K-potensial tanah sedang (Inceptisol dan Alfisol) hingga tinggi (Vertisol), sedangkan kadar P-potensial tanah semuanya tinggi. Kadar Ca dan Mg dd tanah termasuk sedang (Inceptisol) hingga tinggi (Vertisol dan Alfisol), sedangkan K dd tanah termasuk rendah (Inceptisol), sedang (Alfisol), 39

59 dan tinggi (Vertisol). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah termasuk sedang (Inceptisol) hingga tinggi (Alfisol dan Vertisol). Karakteristik Mineral Liat Tanah Hasil analisis semi kualitatif mineral fraksi liat menunjukkan bahwa tanah Inceptisol mengandung mineral liat smektit dan kaolinit sedikit sampai sedang serta kuarsa sangat sedikit hingga sedikit. Tanah Vertisol mengandung mineral liat smektit sangat banyak, kaolinit sedikit, dan kuarsa sangat sedikit. Sementara itu tanah Alfisol mengandung mineral liat smektit dan kaolinit sedang sampai banyak serta mengandung kuarsa sangat sedikit (Tabel 3). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa tanah Vertisol didominasi oleh mineral liat smektit sedangkan tanah Alfisol dan Inceptisol didominasi oleh smektit dan kaolinit. Difraktogram sinar X fraksi liat yang mewakili contoh tanah Inceptisol (Jakenan, Pati), Vertisol (Padas, Ngawi), dan Alfisol (Jonggol, Bogor) disajikan di Lampiran 1. Mineral liat smektit ditunjukkan dengan adanya puncak difraksi Å, kaolinit 7.22 dan 3.58 Å, dan kuarsa 4.26 dan 3.34 Å pada perlakuan penjenuhan dengan Mg 2+. Puncak difraksi smektit meningkat menjadi Å pada perlakuan Mg 2+ +glycerol, menurun menjadi Å pada perlakuan penjenuhan dengan K +, dan turun lagi menjadi 9.85 Å pada perlakuan penjenuhan dengan K + dan pemanasan hingga 550 o C. Sementara itu difraksi kaolinit dan kuarsa tidak berubah akibat perlakuan Mg 2+ +glycerol dan perlakuan penjenuhan dengan K +, tapi puncak difraksinya hilang pada perlakuan pemanasan hingga 550 o C. Apabila luas trapesium di bawah difraktogram smektit yang memiliki puncak pada Å digunakan untuk menduga kuantitas smektit, maka kadar smektit dalam tanah dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol. 40

60 Tabel 3. Hasil Analisis Mineral Liat Kualitatif terhadap Lapisan Atas Tanah-tanah yang Diambil dari Jawa dengan Metode XRD. Kode contoh Tanah Smektit Kaolinit Kuarsa NA-39 Inceptisol NA-10 Inceptisol + + (+) NA-1 Inceptisol DE-28 Inceptisol B2-1 Vertisol (+) B3-1 Vertisol B2-2 Vertisol (+) B3-2 Vertisol DE-34 Vertisol DE-36 Vertisol (+) NA-5 Vertisol NA-6 Vertisol (+) B1-1 Alfisol (+) B4-1 Alfisol (+) B1-2 Alfisol (+) B4-2 Alfisol (+) NA-3 Alfisol (+) NA-4 Alfisol (+) NA-2 Alfisol (+) NA-37 Alfisol (+) ++++ = sangat banyak (80-100%), +++ = banyak (60-80%), ++ = sedang (40-60%), + = sedikit (20-40%), (+) sangat sedikit (0-20%), - = tidak ada (0). Hasil dan Pembahasan Fraksionasi K Tanah Kadar K total tanah dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol. Bentuk K l, K dd, dan K tdd tanah dari tinggi ke rendah mempunyai urutan yang sama dengan K t tanah. Kadar K l adalah 14, 13, dan 11 mg/kg; K dd (98, 99, dan 50 mg/kg); dan K tdd (347, 303, dan 171mg/kg) berturut-turut untuk Vertisol, Alfisol, dan Inceptisol, (Gambar 6). Kadar K di dalam tanah dipengaruhi oleh bahan induk tanah tersebut, dimana Inceptisol berasal dari bahan endapan liat, Vertisol dari endapan liat berkapur, dan Alfisol dari batu kapur (Lembaga Penelitian Tanah, 1966). Selain faktor bahan induk tanah, kadar K tanah juga sejalan dengan hasil analisis mineral liat dengan metode XRD. Berdasarkan analisis tersebut, kadar mineral liat smektit 41

61 di dalam fraksi liat tanah berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol (Tabel 3). Dengan kata lain kadar K tanah tergantung jumlah mineral liat smektit yang berada di dalam tanah. Smektit terbentuk dari pelapukan batuan napal yang merupakan campuran dari bahan kapur dan liat. Vertisol dengan bahan induk endapan liat berkapur memiliki kadar batuan napal lebih tinggi dibandingkan Alfisol dengan bahan induk kapur dan Inceptisol dengan bahan induk endapan liat saja. Dengan demikian maka kadar smektit dan K tanah pada Vertisol lebih tinggi pula dibandingkan Inceptisol dan Alfisol Ktdd Kdd Kl K (mg/kg) Inceptisol Vertisol Alfisol Gambar 6. Komposisi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa. Proporsi bentuk K dari rendah ke tinggi di ketiga tanah yang diteliti mempunyai urutan yang sama, yaitu: K l < K dd < K tdd. Bentuk K l berkisar antara 5 7%, K dd %, dan K tdd 63-68% (Gambar 7). Tampak bahwa sebagian besar K tanah yang diteliti berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan sehingga tidak cepat tersedia bagi tanaman. Apabila diasumsikan bentuk K l dan K dd disebut sebagai K tersedia dan K tdd sebagai K tidak tersedia maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar K di dalam ketiga tanah yang diteliti 42

62 tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Setyorini et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tanaman jagung respons terhadap pemupukan K pada tanah Alfisol dan Vertisol, walaupun kadar K total di kedua tanah tersebut tinggi. Untuk meningkatkan produktivitas tanah-tanah ini maka perlu dilakukan berbagai upaya agar ketersediaan K bagi tanaman meningkat. Asam-asam organik seperti asam oksalat dan sitrat dapat mempercepat perubahan bentuk K tdd menjadi K dd dan K l (Song dan Huang, 1988; Zhu dan Luo, 1993). Mikroba tanah juga dapat mengendalikan proses jerapan K oleh smektit menjadi illit (Kim et al., 2004). Selain itu penggunaan kation seperti amonium juga dapat meningkatkan ketersediaan K tanah yang mengandung smektit (Evangelou dan Lumbanraja, 2002) Ktdd Kdd Kl Proporsi K (%) Inceptisol Vertisol Alfisol Gambar 7. Proporsi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa. Jerapan K Tanah Kurva jerapan K di ketiga tanah yang diteliti sangat beragam (Gambar 8). Kurva tersebut dari kiri ke kanan menunjukkan tingkat jerapan tanah yang bersangkutan terhadap 43

63 K. Dengan demikian maka jerapan K tanah dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol. Fenomena ini erat kaitannya dengan sifat inherent dari ketiga tanah tersebut yang berbeda. Karakteristik tanah yang dapat berpengaruh terhadap jerapan K antara lain: tekstur, KTK, dan kadar liat smektit. Semua variabel tersebut berbeda antar tanah yang satu dengan yang lainnya (Tabel 2 dan 3) sehingga menghasilkan kurva jerapan yang berbeda pula seperti yang telah diuraikan di atas. Gambar 8. Kurva Jerapan K Lapisan Atas Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa. Kurva jerapan K tanah dapat digunakan sebagai petunjuk kemampuan tanah dalam menyediakan hara yang bersangkutan bagi tanaman. Selain faktor intensitas (I) dan kuantitas (Q), daya sangga juga dapat mempengaruhi penyediaan K suatu tanah. Daya sangga (DS) adalah perubahan faktor kuantitas (K terjerap) persatuan perubahan dalam intensitas (K larut) yang dinyatakan dengan rumus sebagai: DS = Q/ I (Widjaja-Adhi dan Sudjadi, 1987). Karena semua kurva jerapan K tersebut di atas berbentuk kuadratik-plato maka daya sangga tanah terhadap K berubah seiring dengan berubahnya intensitas K di dalam larutan tanah. Namun demikian daya sangga ini juga dapat diduga dari kemiringan 44

64 kurva, dimana kurva yang landai daya sangganya rendah, sebaliknya kurva yang curam memiliki daya sangga tinggi. Dengan demikian maka daya sangga ketiga tanah yang diteliti dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol (Gambar 8). Daya sangga ini menunjukkan tingkat kemampuan tanah untuk selalu mensuplai K ke dalam larutan tanah bila konsentrasi K dalam larutan menurun akibat diserap tanaman atau tercuci. Batas kritis hara K tanah-tanah di Indonesia secara empiris adalah 0.20 me/100 g (Pusat Penelitian Tanah, 1983), sedangkan di Ultisol Lampung dan Oxisol Sitiung untuk jagung masing-masing 0.41 dan 0.72 me/100g dengan pengekstrak NH 4 OAc ph 7.0 (Sulaeman et al., 2000). Bila nilai 0.20 me/100g tanah (setara dengan 6 mg/l larutan) dianggap sebagai kebutuhan K eksternal tanaman maka nilai daya sangga ketiga tanah yang diteliti dapat dihitung dan disajikan pada Tabel 4. Daya sangga tanah Vertisol sebesar 103 mg/l lebih 2 kali lipat tanah Alfisol sebesar 44 mg/l bahkan lebih 4 kali lipat tanah Inceptisol yang hanya 24 mg/l. Dengan demikian maka kemampuan tanah Vertisol untuk selalu mensuplai K ke dalam larutan tanah paling baik dibandingkan Alfisol dan Inceptisol. Tabel 4. Model Persamaan Kurva Jerapan: Y = ax 2 + bx + c untuk 0 < x < x mak dan Y = jerapan maksimum untuk x > x mak, dan Daya Sangga K Tanah pada I = 6 mg/l. 0 < x < x mak x > x mak Tanah a b c Jerapan mak R 2 Daya sangga Inceptisol Vertisol Alfisol Y = K terjerap (Quantity factor = Q), x = K larut (Intensity factor = I), a, b, dan c = konstanta, serta R 2 = koefisien determinan. Jerapan maksimum dan konstanta energi ikatan ketiga tanah yang diteliti telah dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata 45

65 jerapan maksimum tanah Vertisol (1947 mg/kg) lebih dua kali lipat tanah Alfisol (979 mg/kg) bahkan sekitar tiga kali lipat tanah Inceptisol (651 mg/kg). Sementara itu konstanta energi ikatan tanah Vertisol (0.0652) hampir sama dengan Alfisol (0.0701) dan sekitar dua kali lipat tanah Inceptisol (0.0381). Peubah jerapan maksimum menunjukkan tingkat kemampuan tanah menyimpan hara dalam koloid tanah, sedangkan konstanta energi ikatan menunjukkan tingkat kekuatan koloid tanah menjerap hara yang berbanding terbalik dengan tingkat kemudahan hara untuk lepas ke dalam larutan tanah. Tabel 5. Kisaran Variabel Jerapan K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa. Variabel jerapan K tanah Inceptisol Vertisol Alfisol Konstanta (p) Koefisien arah (q) Koefisien determinan (R 2 ) Jerapan maksimum (b) Konstanta energi ikatan (k) Jumlah contoh Y = p + qx setara dengan C/(x/m) = 1/kb + C/b; dimana p = konstanta, q = koefisien arah, C = K terlarut (ppm K), x/m = K terjerap (ppm K), b = jerapan K maksimum (ppm K), dan k = konstanta energi ikatan K. Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Peubah Ketersediaan K Apabila ketersediaan K tanah diduga dengan peubah jerapan maksimum (b), konstanta energi ikatan (k), daya sangga pada I = 6 mg/l (DS) dan kadar K (K l, K dd, K tdd, K t ) tanah maka kadar liat, C-organik, dan KTK tanah umumnya berkorelasi positif nyata (P > 0.95) dengan salah satu peubah tersebut. Kadar liat dan C-organik tanah keduanya berkontribusi terhadap KTK tanah yang ditunjukkan oleh adanya korelasi yang sangat nyata (P > 0.99) antara kedua variabel tersebut dengan KTK tanah. Selanjutnya ketiga peubah tersebut berkorelasi positif nyata dengan jerapan maksimum, daya sangga, dan K dd, serta KTK tanah berkorelasi positif nyata dengan K tdd dan K t tanah Inceptisol. Diantara bentuk K tanah ternyata K dd dan K tdd memegang peranan penting dalam mengendalikan 46

66 jerapan maksimum dan daya sangga K tanah Inceptisol. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi yang nyata antara kedua bentuk K tanah dengan kedua peubah ketersediaan K tanah tersebut (Tabel 6). Tabel 6. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol. Variabel Liat C-org KTK b k DS K l K dd K tdd K t Liat ** * ** ** ** C-org ** ** ** * KTK ** ** ** ** ** b ** ** ** ** k * DS ** ** ** K l k dd ** ** K tdd ** K t N = 13, t 0.05 = dan t 0.01 = Tabel 7. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Vertisol. Variabel Liat C-org KTK b k DS K l K dd K tdd K t Liat ** ** C-org * ** KTK ** b * ** k * DS K l ** k dd K tdd ** K t N = 47, t 0.05 = dan t 0.01 = Berbeda dengan tanah Inceptisol pada tanah Vertisol hanya kadar liat yang berkontribusi terhadap KTK tanah yang ditunjukkan dengan adanya korelasi positif nyata antara kadar liat dan KTK tanah. Selanjutnya kedua peubah kadar liat dan KTK tanah ini berkorelasi positif sangat nyata dengan daya sangga tanah. Sementara itu kadar C-organik tanah berkorelasi negatif nyata dengan KTK dan daya sangga tanah (Tabel 7). Fenomena 47

67 ini menunjukkan bahwa kadar bahan organik tanah justru menurunkan KTK tanah Vertisol sehingga menurunkan pula daya sangga tanah. Ada kemungkinan bahan organik tanah ini secara fisik menutupi permukaan komplek jerapan koloid tanah yang bermuatan negatif sehingga mengurangi jumlah muatan negatif tanah. Seperti halnya tanah Inceptisol, pada Alfisol kadar liat dan C-organik berkontribusi terhadap KTK tanah. Selanjutnya kadar C-organik dan KTK berperan dalam mengendalikan daya sangga tanah yang ditunjukkan oleh adanya korelasi positif sangat nyata antar dua peubah tersebut dengan daya sangga tanah. Selain itu konstanta energi ikatan juga berkorelasi positif nyata dengan daya sangga tanah (Tabel 8). Apabila semua contoh di ketiga jenis tanah tersebut digabung maka tampak bahwa hanya kadar liat yang berkontribusi terhadap KTK tanah sedangkan kadar C-organik tanah tidak. Selanjutnya kadar liat, C-organik, dan KTK tanah nyata mengendalikan ketersediaan K tanah yang ditunjukkan oleh adanya korelasi positif sangat nyata antar ketiga sifat tanah tersebut dengan daya sangga tanah (Tabel 9). Tabel 8. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Alfisol. Variabel Liat C-org KTK b k DS K l K dd K tdd K t Liat * C-org * * ** KTK ** b * * k ** DS K l k dd K tdd ** K t N = 31, t 0.05 = dan t 0.01 = Muatan negatif koloid tanah berperan dalam mengendalikan ketersediaan K di ketiga tanah yang diteliti (Tabel 6-9). Muatan negatif koloid tanah terdiri dari muatan permanen dan muatan tergantung ph. Muatan permanen berasal dari substitusi isomorfik 48

68 pada permukaan koloid siloxane (Si-O-Si) pada Si-tetrahedral dan atau Al-oktahedral yang terdapat pada mineral liat smektit (2 :1). Sementara itu muatan tergantung ph terjadi pada permukaan koloid oxyhidroxy (O-Al-OH), silanol (-Si-OH), aluminol (-Al-OH), ferrol (-Fe-OH) yang terdapat pada mineral liat kaolinit (1 :1), hidroksida, dan amorf. Selain itu muatan tergantung ph dapat juga berasal dari koloid organik berupa gugus fungsional karboksilat (-COOH), fenol hidroksida, amin (-NH 2 ), dan lain-lain (Tan, 1998). Tabel 9. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol. Variabel Liat C-org KTK b k DS K l K dd K tdd K t Liat ** ** * * * C-org ** ** KTK ** * b ** ** k ** * DS * K l ** k dd ** ** K tdd ** K t N = 91, t 0.05 = dan t 0.01 = Kadar C-organik di ketiga tanah yang diteliti umumnya rendah, yakni masingmasing hanya 1.10 % di Inceptisol, 1.40% di Vertisol, dan 2.04% di Alfisol (Tabel 2). Sumber muatan variabel lainnya, yakni kaolinit dalam fraksi liat tanah Inceptisol sedikit hingga sedang, Vertisol sangat sedikit, dan Alfisol sedang hingga sangat banyak. Sementara itu sumber muatan permanen, yakni smektit dalam fraksi liat tanah Inceptisol sedikit sampai sedang, Vertisol sangat banyak, dan Alfisol sedang hingga banyak. (Tabel 3). Dengan demikian maka sumber muatan variabel dan permanen di tanah Inceptisol dan Alfisol berkontribusi terhadap KTK tanah sedangkan di Vertisol hanya sumber muatan permanen yang berkontribusi terhadap KTK tanah. Selanjutnya kontribusi muatan permanen terhadap muatan negatif tanah jauh lebih besar dibandingkan muatan variabel. 49

69 Hal ini ditunjukkan dengan nilai KTK tanah Vertisol jauh lebih tinggi dibandingkan Alfisol dan Inceptisol, yakni berturut-turut 56.38, 30.83, dan Cmol(+)/kg (Tabel 2). Kesimpulan 1. Kadar K l, K dd, K tdd, dan K t tanah dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol. Proporsi bentuk K dari rendah ke tinggi di ketiga tanah yang diteliti mempunyai urutan yang sama, yaitu: K l < K dd < K tdd. Sebagian besar K di dalam ketiga tanah yang diteliti berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan sehingga tidak segera tersedia bagi tanaman. 2. Daya sangga dan jerapan maksimum K di ketiga tanah yang diteliti dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol. Sementara itu konstanta energi ikatan tanah Vertisol hampir sama dengan Alfisol dan sekitar dua kali lipat tanah Inceptisol. 3. Liat, C-organik, dan KTK tanah berkorelasi nyata dengan peubah ketersediaan K tanah. Semakin tinggi kadar liat, C-organik, dan KTK tanah semakin tinggi pula potensi ketersediaan K tanahnya. 50

70 PENGARUH PEMBERIAN KALIUM, VARIETAS, DAN UMUR TANAMAN TERHADAP EKSUDAT ASAM ORGANIK DARI AKAR, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays, L.) Rasional Asam-asam organik terutama asam oksalat dan sitrat memegang peranan penting dalam membebaskan K terfiksasi menjadi K tersedia pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral K (muskovit, biotit, ortoklas, dan lain-lain) (Song dan Huang, 1988). Senyawa tersebut dapat berasal dari pelapukan bahan organik atau dari eksudat akar tanaman. Eksudasi asam organik dari akar tanaman di rizosfer merupakan salah satu mekanisme ketoleranan tanaman terhadap kekurangan hara. Dengan demikian maka pengelolaan hara K untuk meningkatkan produksi tanaman perlu memperhatikan aspek tanaman yang dapat menghasilkan eksudat asam organik tersebut. Laju dan jumlah ekskresi asam organik dari akar tanaman tergantung spesies, varietas, dan fase pertumbuhan tanaman. Selain itu kondisi lingkungan tanah yang tidak favourable untuk pertumbuhan tanaman, misalnya kekahatan hara dapat menstimulir pembentukan eksudat asam organik (Marschner, 1999). Akar tanaman jagung dapat mengeluarkan eksudat asam organik (terutama asam oksalat) tinggi (Bolton et al., 1993) sehingga perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan di tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian kalium, varietas, dan umur tanaman terhadap eksudat asam organik dari akar jagung. Selain itu penelitian ini juga mempelajari pengaruh perlakuan tersebut terhadap serapan hara N, P, dan K, serta produksi tanaman jagung. 51

71 Bahan dan Metode Percobaan pot dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanah Bogor mulai bulan Januari Juni 2006 dengan menggunakan pasir sebagai media tumbuh tanaman (sand culture). Percobaan menggunakan rancangan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan Faktor pertama adalah takaran kalium, yaitu: tanpa kalium atau hara lengkap minus K (K0) dan penambahan kalium atau hara lengkap (K1). Faktor kedua adalah sepuluh varietas jagung yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Kombinasi perlakuan dari kedua faktor tersebut disajikan pada Tabel 10. Selanjutnya faktor umur tanaman ditentukan oleh waktu panen, yaitu saat tanaman berumur 2 MST (ulangan I), 4 MST (ulangan II), dan 6 MST (ulangan III). Tabel 10. Kombinasi Perlakuan K dan Beberapa Varietas Jagung. No. Kode K (ppm) Varietas Keterangan 1. K0V1 Larutan lengkap (-K) Antasena Toleran Al 2. K0V2 Larutan lengkap (-K) Sukmaraga Toleran Al 3. K0V3 Larutan lengkap (-K) CIMMIT 3330 Toleran Al 4. K0V4 Larutan lengkap (-K) Wisanggeni Tahan kekeringan 5. K0V5 Larutan lengkap (-K) Bisma Tahan kekeringan 6. K0V6 Larutan lengkap (-K) Lamuru Tahan bulai 7. K0V7 Larutan lengkap (-K) Pioneer 4 Hibrida 8. K0V8 Larutan lengkap (-K) Pioneer 7 Hibrida 9. K0V9 Larutan lengkap (-K) Pioneer 11 Hibrida 10. K0V10 Larutan lengkap (-K) Pioneer 21 Hibrida 11. K1V1 Larutan lengkap Antasena Toleran Al 12. K1V2 Larutan lengkap Sukmaraga Toleran Al 13. K1V3 Larutan lengkap CIMMIT 3330 Toleran Al 14. K1V4 Larutan lengkap Wisanggeni Tahan kekeringan 15. K1V5 Larutan lengkap Bisma Tahan kekeringan 16. K1V6 Larutan lengkap Lamuru Tahan bulai 17. K1V7 Larutan lengkap Pioneer 4 Hibrida 18. K1V8 Larutan lengkap Pioneer 7 Hibrida 19. K1V9 Larutan lengkap Pioneer 11 Hibrida 20. K1V10 Larutan lengkap Pioneer 21 Hibrida 52

72 Kultur Pasir Pasir direndam dengan HCl 1% selama 24 jam lalu dicuci dengan air bebas ion selama 48 jam. Pasir dikeringudarakan lalu dimasukan ke dalam pot yang telah diberi label masing-masing 1 kg (ulangan I), 2 kg (ulangan II), dan 3 kg (ulangan III). Benih masingmasing varietas jagung dibenamkan 5 biji/pot dan saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam (MST), tanaman dijarangkan menjadi 2 tanaman/pot. Kebutuhan hara tanaman berasal dari larutan hara lengkap (K1) dan hara lengkap minus K (K0). Komposisi hara tersebut mengikuti prosedur Osaki et al. (1997), yaitu: 15 mg N kg -1 (NH 4 NO 3 ), 10 mg P kg -1 (NaH 2 PO 4.2H 2 O), 15 mg K kg -1 (K 2 SO 4 :KCl-1:1), 25 mg Ca kg -1 (CaCl 2.2H 2 O), 10 mg Mg kg -1 (MgSO 4.7H 2 O), 2 mg Fe kg -1 (FeSO 4.7H 2 O), 0.5 mg Mn kg -1 (MnSO 4.4H 2 O), 0.5 mg B kg -1 (H 3 BO 3 ), 0.2 mg Zn kg -1 (ZnSO 4.7H 2 O), 0.01 mg Cu kg -1 (CuSO 4.5H 2 O), dan mg Mo kg -1 (NH 4 ) 6 Mo 7 O 24.4H 2 O). Pengambilan Contoh Tanaman dan Eksudat Akar Pengambilan contoh brangkasan tanaman dan eksudat akar dilakukan pada saat tanaman berumur 2, 4, dan 6 MST berturut-turut untuk ulangan I, II, dan III. Seluruh bagian tanaman dicabut dengan hati-hati, dicuci dengan air bebas ion, dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu: akar (root) dan brangkasan tanaman atau bagian atas tanaman (shoot), lalu ditimbang. Contoh akar dan brangkasan tanaman dikeringkan dalam oven 70 o C hingga bobot kering konstan (sekitar 48 jam), lalu ditimbang. Eksudat asam organik yang dikeluarkan oleh akar berada di sekitar rhizosfer pada medium pasir. Pengambilan eksudat asam organik dilakukan dengan cara mengekstrak medium pasir dengan larutan M CaCl 2. Pasir diaduk hingga homogen lalu diambil 100 g dan dimasukkan ke dalam botol kocok 500 ml yang telah diisi 100 ml larutan CaCl 2. Selanjutnya ekstrak pasir dikocok selama 30 menit, disaring, lalu ekstraktannya ditetesi chloroform (untuk menghindari mikroba), dan disimpan di dalam freezer. 53

73 Analisis Serapan Hara Brangkasan tanaman dikeringkan, ditimbang, lalu digiling untuk analisis serapan hara tanaman. Contoh tanaman ditimbang 0.5 g, didestruksi dengan H 2 SO 4, HClO 4, dan HNO 3 pekat, lalu dipanaskan hingga tercapai ekstrak yang jernih. Ekstrak contoh dihimpitkan menjadi 50 ml, lalu kadar N dan P dalam ekstrak diukur dengan spektrofotometer sedangkan kadar K dengan AAS. Analisis Asam Organik Konsentrasi asam organik dalam larutan dari ekstrak medium pasir diukur dengan menggunakan HPLC (Waters Associates Model 440) pada fase mobil 0.05 N H 2 SO 4 dengan kecepatan alir 1 ml/menit, tekanan 60 psi, suhu 22 o C, dan absorban pada panjang gelombang 254 nm. Larutan standar yang digunakan adalah asam oksalat, sitrat, tartarat, malat, suksinat, format, asetat dan fumarat. Jumlah eksudat asam organik tiap satuan bobot akar dihitung setelah dikoreksi dengan jumlah medium pasir yang digunakan dan kadar air dalam akar. Hasil dan Pembahasan Serapan Hara dan Produksi Tanaman Pemberian kalium ke dalam media tumbuh nyata meningkatkan serapan hara N dan K sedangkan terhadap serapan P tidak berpengaruh nyata. Serapan hara P dan K varietas jagung berbeda satu sama lain, dimana perbedaan yang nyata (P>0.95) ditemukan antara varietas CIMMIT 3330 dan Pioneer-7. Varietas jagung CIMMIT 3330 menyerap hara N, P, dan K paling rendah, sedangkan Pioneer-7 menyerap ketiga hara tersebut paling tinggi 54

74 diantara semua varietas yang dicoba (Tabel 11). Selanjutnya kombinasi antara varietas dan pemberian K tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diamati (Lampiran 2). Tabel 11. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Serapan Hara N, P, dan K Tanaman Jagung. N (mg/pot) P (mg/pot) K (mg/pot) Varietas K0 K1 Rerata K0 K1 Rerata K0 K1 Rerata Antasena 339 a 454 ab 397 a 82 ab 96 a 89 ab 150 a 182 ab 166 ab Sukmaraga 295 a 449 ab 271 a 67 b 90 a 78 ab 165 a 164 ab 164 ab CIMMIT a 357 b 332 a 69 b 72 a 70 b 124 a 145 b 135 b Wisanggeni 400 a 429 ab 414 a 99 a 82 a 91 a 153 a 148 b 151 ab Bisma 332 a 430 ab 381 a 88 ab 79 a 84 ab 165 a 195 ab 180 a Lamuru 352 a 373 b 362 a 82 ab 86 a 84 ab 138 a 179 ab 158 ab Pioneer a 357 b 378 a 79 ab 92 a 85 ab 150 a 185 ab 168 ab Pioneer a 513 a 426 a 92 ab 93 a 93 a 144 a 216 a 180 a Pioneer a 389 ab 367 a 83 ab 82 a 82 ab 138 a 154 b 146 ab Pioneer a 361 b 354 a 88 ab 75 a 82 ab 163 a 141 b 152 ab Rerata 346 B 411 A A 85 A B 171 A 160 CV N = 14.2%, P = 12.2%, K = 15.2%. Angka pada kolom yang sama (huruf kecil) dan baris yang sama (huruf besar) bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Pemberian K nyata meningkatkan bobot kering akar dan brangkasan pada taraf uji 10% tapi tidak nyata pada taraf uji 5%. Pemberian 15 ppm K nyata meningkatkan serapan N (346 menjadi 411 mg/pot) dan nyata meningkatkan serapan K (149 menjadi 171 mg/pot) (Tabel 12) sehingga bobot kering akar dan brangkasan juga meningkat. Bobot akar dan brangkasan kering varietas jagung berbeda satu sama lain, dimana perbedaan produksi akar kering yang nyata ditemukan antara Sukmaraga dan Pioneer-11, sedangkan produksi brangkasan kering antara CIMMIT 3330 dan Antasena. Sementara itu kombinasi pemberian K dan verietas tidak berpengaruh nyata terhadap kedua peubah yang diamati (Lampiran 3). Varietas tanaman jagung yang dicoba mempunyai karakteristik yang berlainan satu sama lain. Antasena, Sukmaraga, dan CIMMIT 3330 toleran terhadap keracunan Al, Wisanggeni dan Bisma tahan kekeringan, sedangkan Lamuru tahan penyakit bulai (Balai Penelitian Serealia, 2004). Sementara itu Pioner-4, 7, 11, dan 21 merupakan varietas jagung hibrida yang mempunyai potensi produksi tinggi. Perbedaan karakteristik tersebut 55

75 menyebabkan respon tanaman terhadap pemupukan juga berlainan sehingga serapan hara dan produksi tanaman juga berbeda. Tabel 12. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Bobot Kering Akar dan Brangkasan Tanaman Jagung. Akar (g/pot) Brangkasan (g/pot) Varietas K0 K1 Rerata K0 K1 Rerata Antasena 2.39 a 3.03 abc 2.71 abc a a a Sukmaraga 2.00 a 2.13 c 2.06 c a ab ab CIMMIT a 2.00 c 2.21 bc a c b Wisanggeni 2.87 a 2.31 bc 2.59 abc a abc ab Bisma 2.39 a 2.57 abc 2.48 abc a abc a Lamuru 2.47 a 2.41 bc 2.44 abc a abc ab Pioneer a 2.59 abc 2.59 abc a bc ab Pioneer a 2.56 abc 2.51 abc a a a Pioneer a 3.64 a 3.25 a a abc a Pioneer a 3.37 ab 2.97 ab a abc ab Rerata 2.50 A 2.66 A A A CV akar = 15.1% dan brangkasan = 11.7%. Angka pada kolom yang sama (huruf kecil) dan baris yang sama (huruf besar) bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Eksudat Asam Organik Semua varietas tanaman jagung yang dicoba mengeluarkan eksudat asam-asam organik, yaitu asam oksalat, sitrat, tartarat, malat, format, dan asetat. Diantara asam organik tersebut ternyata asam oksalat merupakan asam organik paling dominan yang dikeluarkan oleh akar tanaman jagung. Asam oksalat yang dikeluarkan oleh akar jagung berkisar antara mg/g BK akar, sedangkan total asam organik berkisar antara 8.91 (Wisanggeni) hingga mg/g BK akar (CIMMIT 3330) (Tabel 13). Perlakuan tanpa K memberikan hasil eksudat asam organik lebih tinggi dibandingkan perlakuan pemberian K walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Demikian pula hasil eksudat asam organik tidak berbeda nyata diantara varietas jagung yang diuji kecuali asam tartarat antara Pioneer-21 (1.47) dan CIMMIT 3330 (2.72 mg/g BK akar). Eksudat asam organik mula-mula meningkat seiring dengan meningkatnya umur 56

76 tanaman dan mencapai maksimum pada saat tanaman mencapai umur 4 MST. Namun demikian eksudat asam organik tersebut turun kembali hingga tanaman berumur 6 MST (Tabel 13). Selanjutnya kombinasi antara varietas dan pemberian K tidak berpengaruh nyata terhadap eksudat asam organik yang dikeluarkan akar jagung (Lampiran 4). Tabel 13. Pengaruh Pemberian K, Varietas dan Umur Pertumbuhan Terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar Jagung. Perlakuan Eksudat akar (mg/g BK akar) Oksalat Sitrat Tartarat Malat Format Asetat Total asam organik Kalium Tanpa K 4.48 a 2.60 a 2.03 a 0.70 a 1.15 a 0.22 a a K 15 ppm 3.60 a 2.63 a 1.88 a 0.77 a 1.12 a 0.24 a a Varietas Antasena 3.77 a 2.40 a 2.08 ab 0.83 a 1.13 a 0.24 a a CIMMIT a 3.45 a 2.72 a 0.97 a 1.54 a 0.28 a a Wisanggeni 3.15 a 2.37 a 1.62 b 0.53 a 1.02 a 0.22 a 8.91 a Lamuru 3.68 a 2.45 a 1.89 ab 0.63 a 0.97 a 0.12 a 9.74 a Pioneer a 2.40 a 1.47 b 0.70 a 0.99 a 0.27 a 9.68 a Umur tanaman 2 MST 3.08 ab 2.48 b 1.73 b 0.62 b 1.08 ab 0.14 b 9.94 b 4 MST 5.76 a 3.35 a 2.55 a 1.02 a 1.51 a 0.42 a a 6 MST 2.56 c 2.03 b 1.58 b 0.56 b 0.81 b 0.12 b 7.65 b CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Salah satu mekanisme tanaman untuk mengatasi stres (misalnya karena keracunan Al, kekurangan hara, kekeringan, terkena penyakit, dan lain-lain) adalah melalui pengeluaran eksudat dari akar. Eksudat tersebut umumnya merupakan senyawa organik, seperti gula, asam amino, asam organik, dan lain-lain. Asam-asam organik yang merupakan bagian penting dari eksudat akar jagung antara lain adalah: oksalat, fumarat, malat, sitrat, suksinat, benzoat, akonitat, tartarat, dan glutarat (Bolton et al. 1993). Akar padi juga dapat mengeluarkan eksudat asam organik seperti: oksalat, sitrat, suksinat, dan format (Syarif, 2005). Seperti halnya penelitian Bolton et al. (1993) dan Syarif (2005), 57

77 penelitian ini juga menunjukkan bahwa asam oksalat merupakan asam organik yang paling dominan dalam eksudat akar tanaman jagung. Varietas jagung CIMMIT 3330 mengeluarkan eksudat asam organik terutama asam oksalat hampir dua kali lipat eksudat dari akar Wisanggeni dan Pioneer-21. Hal ini erat kaitannya dengan sifat genetik dari CIMMIT 3330 yang mampu menghasilkan eksudat asam organik tinggi. Hal inilah yang menyebabkan varietas tersebut toleran terhadap keracunan Al karena aktivitas Al yang terdapat di sekitar rizosfer dapat dikurangi dengan adanya eksudat asam organik dengan terbentuknya senyawa komplek Al-organik sehingga sifat racun dari Al berkurang (Marschner, 1997). Namun demikian meskipun CIMMIT 3330 menghasilkan eksudat asam organik tinggi tapi produksi akar dan brangkasan tanaman rendah (Tabel 12). Hal ini disebabkan karena CIMMIT 3330 merupakan varietas lokal yang mempunyai potensi produksi rendah tapi toleran terhadap keracunan Al. Sementara itu Wisanggeni tahan kekeringan dan Pioneer-21 mempunyai potensi produksi tinggi tapi kedua varietas tersebut secara genetik tidak mampu menghasilkan eksudat asam organik yang tinggi sehingga tidak toleran terhadap keracunan Al. Dengan demikian maka bila ketiga tanaman tersebut dibudidayakan di tanah masam maka CIMMIT 3330 akan berpeluang memberikan produksi paling tinggi. Bila ketiga tanaman tersebut berada di tanah dengan ketersediaan air tebatas maka produksi Wisanggeni berpeluang paling tinggi, sementara itu bila di tanah subur maka produksi P-21 berpeluang paling tinggi. Kesimpulan 1. Pemberian K nyata meningkatkan serapan hara N dan K tanaman. Diantara varietas yang dicoba, varietas CIMMIT 3330 mempunyai serapan hara N, P, dan K, serta produksi akar dan brangkasan kering paling rendah, sedangkan Pioneer-7 paling tinggi. 58

78 2. Semua varietas jagung yang dicoba mengeluarkan eksudat asam-asam organik, yaitu asam oksalat, sitrat, tartarat, malat, format, dan asetat. Diantara asam organik tersebut ternyata asam oksalat merupakan asam organik paling dominan yang dikeluarkan oleh akar tanaman jagung, yaitu berkisar antara 3.15 mg/g BK akar (Wisanggeni) hingga 5.93 mg/g BK akar (CIMMIT 3330). 3. Umur tanaman berpengaruh nyata terhadap produksi eksudat asam organik dari akar jagung. Produksi eksudat asam organik dari tinggi ke rendah adalah umur 4 MST > 2 MST > 6 MST. 59

79 JERAPAN Na +, NH 4 +, DAN Fe 3+ PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Sejumlah kation dapat membebaskan K yang terfiksasi pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral liat tipe 2:1. Kation tersebut antara lain: Na + (Ismail, 1997), NH 4 + (Kilic et al., 1999; Evangelou dan Lumbanraja, 2002), dan Fe 3+. Diantara ketiga kation tersebut, Fe 3+ paling berpotensi dalam membebaskan K terfiksasi karena berdasarkan deret liotropik kation tersebut mempunyai jerapan yang lebih tinggi daripada K + (Havlin et al., 1999). Selain itu Fe juga merupakan unsur hara mikro yang sering menjadi masalah di tanah-tanah netral hingga alkalin termasuk tanah yang didominasi mineral liat smektit. Kemampuan ketiga kation tersebut dalam membebaskan K terfiksasi selain tergantung kemampuan meningkatkan jarak basal smektit juga dipengaruhi oleh kekuatan ketiga kation tersebut mendepak K yang berada di ruang antar lapisan mineral liat. Faktor yang terakhir dipengaruhi oleh konsentrasi kation dimana kation yang mempunyai konsentrasi tinggi dapat mendepak kation terjerap yang berkonsentrasi lebih rendah. Selain konsentrasi ion, tingkat jerapan koloid tanah juga berpengaruh terhadap kekuatan kation dalam melepaskan K yang terfiksasi dimana kation yang memiliki jerapan tinggi dapat mengusir kation yang jerapannya lebih rendah pada komplek jerapan koloid tanah. Untuk memanfaatkan kation dalam meningkatkan ketersediaan K tanah maka perlu dipelajari terlebih dahulu karakteristik jerapan kation tersebut di dalam tanah. Jerapan tanah (jerapan maksimum, konstanta energi ikatan, dan daya sangga) terhadap kation tergantung valensi kation yang bersangkutan dimana semakin tinggi valensi kation semakin tinggi pula jerapannya. Dengan demikian maka Fe 3+ berpeluang memiliki jerapan 60

80 yang lebih tinggi dibandingkan K +. Untuk kation yang bervalensi sama misalnya Na +, NH 4 +, dan K +, maka besarnya jerapan mengikuti deret liotropik (Tan, 1998; Havlin et al., 1999). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jerapan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ pada tanahtanah yang didominasi mineral liat smektit. Bahan dan Metode Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor mulai bulan Januari April 2006 dengan menggunakan empat contoh tanah bulk yang diambil dari Bogor (B1) dan Blora (B4) termasuk Alfisol serta Cilacap (B2) dan Ngawi (B3) termasuk Vertisol. Pengambilan contoh tanah bulk mempertimbangkan: bahan induk tanah, iklim, kadar K dd dan mineral liat smektit tanah. Hasil klasifikasi tanah berdasarkan deskripsi profil tanah di empat lokasi tersebut disajikan pada Tabel 14, sedangkan data morfologi tanah disajikan pada Lampiran 5. Tabel 14. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Deskripsi Profil di Daerah Penelitian. Kode Lokasi Bahan induk Zone Agroklimat *) Klasifikasi tanah B1 Bogor Batu kapur B1 Hapludalf Tipik, halus, smektitik, isohipertermik B2 Cilacap Sedimen liat berkapur B1 Endoaquert Kromik, sangat halus, berkapur, smektitik, isohipertermik B3 Ngawi Sedimen liat berkapur C3 Endoaquert Tipik, sangat halus, berkapur, smektitik, isohipertermik B4 Blora Batu kapur C2 Haplustalf Tipik, halus, berkapur, campuran, semi aktif, isohipertermik *) Oldeman (1975). 61

81 Rata-rata curah hujan bulanan selama 30 tahun ( ) disajikan pada Lampiran 6, sedangkan data analisis kimia tiap horizon tanahnya pada Lampiran 7. Seluruh contoh tanah dikering-anginkan, ditumbuk, dan diayak dengan saringan 2 mm. Jerapan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ ditetapkan dengan prosedur Fox dan Kamprath (1970), tapi sistem pengocokannya mengikuti prosedur Widjaja Adhi et al. (1990). Prosedur penetapan masing-masing kurva jerapan adalah sebagai berikut: 1. Dua g masing-masing contoh tanah dimasukkan ke dalam botol plastik, lalu masing-masing ditambahi 20 ml larutan NaCl, NH 4 Cl, dan FeCl 3 yang mengandung 0, 5, 10, 20, 40, 60, 80, 100, 150, 200, 250, 300, 350 dan 400 ppm Na, NH 4, dan Fe dalam pelarut M CaCl 2. Kemudian 2 tetes toluen ditambahkan untuk menghambat aktivitas jasad mikro yang dapat memakan unsur hara. 2. Ekstrak contoh dikocok 2 kali sehari masing-masing 30 menit pagi dan sore hari dengan selang waktu 6-8 jam selama 6 hari berturut-turut. 3. Setelah 12 kali pengocokan (6 hari), suspensi disaring dan konsentrasi masingmasing kation Na dan Fe dalam filtrat diukur dengan AAS sedangkan NH 4 dengan spektrofotometer. Selanjutnya kurva yang menghubungkan jumlah kation yang terdapat di dalam larutan dengan jumlah kation yang dijerap dibuat berdasarkan data hasil pengukuran. Hubungan tersebut kemudian dianalisis regresinya dengan menggunakan model persamaan keseimbangan Langmuir yang dilinearkan (Syiers et al., 1973). Model tersebut adalah: C/(x/m) = 1/(kb) + (1/b)C, dimana: x/m = jumlah kation yang terjerap per satuan bobot tanah (mg/kg); k = konstanta Langmuir; b = jerapan maksimum (mg/kg); dan C = konsentrasi kation dalam larutan dalam keadaan keseimbangan (mg/l). 62

82 Hasil dan Pembahasan Kurva Jerapan Jerapan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ pada tanah Alfisol dan Vertisol disajikan pada Gambar 9. Jerapan Fe 3+ jauh lebih tinggi dibandingkan Na + dan NH + 4, sedangkan jerapan Na + relatif tidak berbeda dibandingkan NH + 4 pada empat jenis tanah yang dicoba. Besarnya jerapan kation di empat jenis tanah yang dicoba mempunyai pola yang sama, yaitu dari tinggi ke rendah: Fe 3+ > NH + 4 > Na +. Besarnya jerapan kation tergantung valensinya dimana kation bervalensi tiga mempunyai jerapan yang lebih besar daripada kation bervalensi dua dan satu. Demikian pula kation bervalensi dua mempunyai jerapan yang lebih besar dari pada kation bervalensi satu. Besarnya jerapan kation mengikuti deret liotropik, yaitu: Al 3+ = (H + ) > Fe 3+ > Fe 2+ > Ca 2+ > Mg 2+ > K + = NH + 4 > Na + (Tan, 1998). Ion Fe 3+ bervalensi tiga, sedangkan NH + 4 dan Na + bervalensi satu sehingga jerapan Fe 3+ jauh lebih besar dibandingkan NH + 4 dan Na +. Jerapan kation (terutama Fe 3+ ) pada tanah Vertisol (Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik) lebih tinggi daripada tanah Alfisol (Hapludalf Tipik dan Haplustalf Tipik). Sementara itu jerapan kation sesama tanah Vertisol, yaitu Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik, dan sesama tanah Alfisol, yaitu Hapludalf Tipik dan Haplustalf Tipik memiliki pola yang relatif sama. Kapasitas tukar kation tanah Vertisol lebih tinggi dibandingkan tanah Alfisol, yaitu berturut-turut dan me/100g (Tabel 2) sehingga jerapan kation pada Vertisol lebih tinggi dibandingkan Alfisol. Selain itu jerapan kation berkaitan erat pula dengan kadar smektit, dimana kadar smektit tanah Vertisol lebih tinggi dibandingkan Alfisol (Tabel 3). Mineral liat smektit merupakan sumber muatan permanen dan merupakan sumber muatan negatif utama pada tanah-tanah yang didominasi 63

83 muatan permanen seperti tanah Vertisol atau tanah-tanah yang memiliki sifat vertik (Borchardt, 1989). Gambar 9. Kurva Jerapan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ pada Tanah Alfisol dan Vertisol Daya sangga tanah terhadap kation dapat diduga dari kemiringan kurva jerapan kation tersebut pada tanah yang bersangkutan, dimana kurva jerapan yang lebih curam memiliki daya sangga yang lebih tinggi dibandingkan kurva yang lebih landai. Dengan 64

84 demikian maka daya sangga tanah terhadap Fe 3+ jauh lebih tinggi dibandingkan NH + 4 dan Na + di empat jenis tanah yang dicoba. Demikian pula daya sangga tanah Vertisol terhadap kation (terutama Fe 3+ ) lebih tinggi dibandingkan Alfisol (Gambar 9). Bila konsentrasi kation larut turun akibat diserap tanaman atau tercuci maka kemampuan tanah untuk selalu mensuplai Fe 3+ dari pool Fe terjerap ke dalam Fe larut lebih tinggi dibandingkan NH + 4 dan Na +. Demikian pula kemampuan tanah Vertisol untuk selalu menjaga keseimbangan kation terjerap dan kation larut lebih tinggi dibandingkan tanah Alfisol. Jerapan Maksimum dan Konstanta Energi Ikatan Berdasarkan kurva hubungan antara kation larut (C) dengan rasio kation larut dan terjerap [C/(x/m)] seperti yang disajikan pada Gambar 10, maka jerapan maksimum dan konstanta energi ikatan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada setiap jenis tanah dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 15. Jerapan maksimum Fe 3+ ( mg/kg) jauh lebih tinggi dibandingkan NH + 4 ( mg/kg) dan Na + ( mg/kg). Demikian pula jerapan maksimum kation pada tanah Vertisol (Na + : mg/kg, NH + 4 : mg/kg, dan Fe 3+ : mg/kg) lebih tinggi dibandingkan tanah Alfisol (Na + : mg/kg, NH + 4 : mg/kg, dan Fe mg/kg). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jerapan maksimum tanah terhadap kation berkaitan erat dengan valensi kation yang bersangkutan. Demikian pula jerapan maksimum kation pada tanah yang berbeda dipengaruhi oleh kapasitas tukar kation dan kadar smektit tanah yang bersangkutan. Berbeda dengan jerapan maksimum, konstanta energi ikatan Na + paling besar dibandingkan kation lainnya yang dicoba, dimana besarnya konstanta energi ikatan dari tinggi ke rendah adalah Na + > Fe 3+ > NH 4 +. Konstanta energi ikatan Na + pada Alfisol lebih tinggi daripada Vertisol; NH 4 + relatif tidak berbeda pada kedua tanah tersebut; sebaliknya 65

85 Fe 3+ pada Vertisol lebih tinggi daripada Alfisol (Tabel 15). Konstanta energi ikatan tanah terhadap kation berkaitan erat dengan radius hidrasi, dimana semakin tinggi radius hidrasi maka konstanta energi ikatan semakin rendah. Menurut Havlin et al. (1999) Fe 3+ memiliki radius hidrasi 9 Å, lebih tinggi dibandingkan Na + yang hanya 7.9 Å sehingga konstanta energi ikatannya lebih rendah. Gambar 10. Kurva Hubungan antara C dengan C/(x/m) pada Tanah Alfisol dan Vertisol 66

86 Tabel 15. Jerapan Maksimum dan Konstanta Energi Ikatan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ pada Tanah Alfisol dan Vertisol. Tanah p q R 2 b k Na + Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik NH 4 Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Fe 3+ Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Y = p + qx setara dengan C/(x/m) = 1/kb + C/b; dimana p = konstanta, q = koefisien arah, C = kation terlarut (mg/l), x/m = kation terjerap (mg/kg), b = jerapan kation maksimum (mg/kg), dan k = konstanta energi ikatan kation. Kesimpulan 1. Jerapan, daya sangga, dan jerapan maksimum Fe 3+ lebih tinggi dibandingkan NH + 4 dan Na +, sedangkan kation NH + 4 dan Na + relatif tidak berbeda. Sementara itu konstanta energi ikatan kation dari tinggi ke rendah adalah Na + > Fe 3+ > NH + 4 pada Alfisol dan Fe 3+ > Na + > NH + 4 pada Vertisol. 2. Jerapan, daya sangga, dan jerapan maksimum Na +, NH + 4, dan Fe 3+ pada Vertisol lebih tinggi dibandingkan Alfisol. 67

87 PENGARUH ASAM OKSALAT, Na +, NH + 4, DAN Fe 3+ TERHADAP PELEPASAN K TERFIKSASI, JARAK BASAL SMEKTIT, KETERSEDIAAN K SERAPAN N, P, DAN K, SERTA PERTUMBUHAN JAGUNG PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT Rasional Percobaan II menunjukkan bahwa asam oksalat merupakan eksudat asam organik paling dominan yang dikeluarkan oleh akar tanaman jagung, yakni berkisar antara mg/g BK akar. Asam oksalat memegang peranan penting dalam membebaskan K terfiksasi menjadi K tersedia pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral K (Song dan Huang, 1988). Selain asam oksalat, sejumlah kation juga dapat membebaskan K yang terfiksasi pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral liat tipe 2:1. Kation tersebut antara lain: Na + (Ismail, 1997), NH + 4 (Kilic et al., 1999; Evangelou dan Lumbanraja, 2002), dan Fe 3+. Kation terakhir berpotensi untuk membebaskan K terfiksasi karena berdasarkan deret liotropik Fe 3+ mempunyai jerapan yang lebih tinggi daripada K + (Havlin et al., 1999). Selain itu Fe juga merupakan unsur hara mikro yang sering menjadi masalah di tanah-tanah netral hingga alkalin termasuk tanah yang didominasi mineral liat smektit. Sementara itu percobaan III menunjukkan bahwa pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit, urutan jerapan, daya sangga, dan jerapan maksimum kation dari tinggi ke rendah adalah: Fe 3+ > NH + 4 = Na +. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat dan Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap: (1) Pelepasan K terfiksasi dan jarak basal mineral liat 68

88 smektit, (2) K tdd, K dd, dan K l tanah, dan (3) serapan N, P, dan K, serta pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Bahan dan Metode Percobaan menggunakan contoh tanah yang sama dengan percobaan sebelumnya (percobaan III), yaitu dua contoh tanah Alfisol dari Bogor (B1) dan Blora (B4), serta 2 contoh tanah Vertisol dari Cilacap (B2) dan Ngawi (B3). Selanjutnya penelitian dilaksanakan melalui 3 rangkaian kegiatan, yaitu: (1) percobaan fiksasi K di laboratorium, (2) percobaan inkubasi di laboratorium, dan (3) percobaan pot di rumah kaca. 1. Percobaan Fiksasi K di Laboratorium Percobaan dilaksanakan di Laboratory of Soil Sciences, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Japan pada bulan Juli Oktober Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan, yaitu: kontrol (air), asam oksalat, (asam oksalat+naoh) ph=7, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ masing-masing 1 N dan diulang 3 kali. Selanjutnya percobaan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: (1) Pemisahan fraksi liat terhadap 4 contoh tanah, (2) Penjenuhan fraksi liat dengan 1 N KCl; (3) Aplikasi perlakuan, yaitu: kontrol, asam oksalat, (asam oksalat+naoh) ph=7, Na +, NH + 4, dan Fe 3+, dan (4) Pengukuran kadar K dalam supernatan dan jarak basal smektit dalam paste liat. Pemisahan Fraksi Liat. Pemisahan butir-butir primer tanah (pasir, debu, dan liat) dilakukan dengan cara menghilangkan bahan pengikat tanah. Penghilangan bahan karbonat dilakukan dengan cara menambahkan NaOAc atau HCl ph 5, sedangkan bahan organik dengan peroksida (H 2 O 2 ). 69

89 Contoh tanah bebas bahan pengikat didispersikan, lalu butir pasir kasar dipisahkan dengan penyaringan 50 µm. Pemisahan fraksi liat dari debu dilakukan dengan prinsip perbedaan kecepatan butir jatuh menurut hukum Stokes, yaitu setelah dibiarkan semalam suspensi liat (bagian atas) disedot dan dimasukan ke dalam tabung sentrifuge. Setelah bahan liat mengendap air dibuang agar kadar air dalam suspensi liat seminimal mungkin. Penjenuhan dengan K Penjenuhan suspensi liat dengan K dilakukan dengan mengikuti prosedur Tan (1978). Ke dalam masing-masing suspensi liat diberikan 20 ml larutan KCl 1 N, lalu dikocok selama 6 jam. Contoh tersebut diberi perlakuan dua periode pengeringan dan pembasahan secara simultan. Pengeringan dilakukan pada suhu 45 o C di dalam oven selama 24 jam untuk masing-masing periode sedangkan pembasahan dilakukan dengan menambahkan air bebas ion secukupnya hingga terbentuk paste liat. Contoh suspensi liat dicuci dengan menambahkan 20 ml larutan Na-asetat 1 N untuk membuang kelebihan K di dalam larutan tanah, disentrifius pada kecepatan rpm selama 10 menit, dicuci lagi dengan etil alkohol 98% 4 kali, lalu dikeringkan pada suhu 45 o C. Perlakuan tersebut di atas dikenal sebagai proses pembentukan mineral ilit (ilitisasi). Aplikasi Perlakuan Sekitar 100 mg contoh liat jenuh K ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifius 100 ml. Ke dalam masing-masing tabung diisi 20 ml air bebas ion, larutan asam oksalat, (asam oksalat+naoh) ph=7, NaCl, NH 4 Cl, dan FeCl 3 masing-masing dengan konsentrasi 1 N. Contoh dikocok selama 6 jam lalu disentrifius selama 10 menit pada kecepatan ppm. Selanjutnya contoh disaring, filtratnya disimpan untuk penetapan 70

90 kadar K. Sementara itu paste liat ditambahi 5 ml air bebas ion, dikocok, lalu dipipet sekitar 2 ml, disimpan pada gelas preparat, dibiarkan semalam untuk analisis jarak basal smektit. Pengukuran Filtrat dipipet 1 ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 ml, diencerkan 10 kali, lalu dihomogenkan dengan menggunakan mixer. Setelah larutan standar K disiapkan, kadar K dalam supernatan diukur dengan metode AAS. Paste liat pada preparat gelas dibiarkan semalam, lalu setelah paste liat kering, jarak basal smektit diukur dengan metode XRD pada sudut putar 4 30 o dan lampu katoda Cu. 2. Percobaan Inkubasi di Laboratorium Percobaan dilaksanakan di laboratorium Penelitian dan Uji Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor sejak sejak Maret Juli Percobaan ini menggunakan rancangan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Ketersediaan K tanah diduga dari peubah bentuk-bentuk K tanah (K l, K dd, K tdd, dan K t ). Perlakuan Faktor pertama adalah penambahan kation, yaitu: tanpa kation, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ masing-masing dalam bentuk NaCl, NH 4 Cl, dan FeCl 3 dengan takaran 50% jerapan maksimum masing-masing kation seperti yang telah ditetapkan pada percobaan III (Tabel 16). Faktor kedua adalah takaran asam oksalat, yaitu: tanpa asam oksalat, 1000, 2000, dan 4000 ppm. Selanjutnya masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. 71

91 Inkubasi Bahan tanah dikering-udarakan, ditumbuk, diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke dalam pot sebanyak 1 kg/pot bobot kering mutlak (BKM). Semua pupuk diberikan dalam bentuk larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Tanah diinkubasi selama 12 minggu dan kadar air dipertahankan dalam kondisi kapasitas lapang dengan cara menambahkan air bebas ion seminggu 2 kali. Selanjutnya contoh tanah diaduk hingga homogen setiap minggu. Tabel 16. Takaran Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ pada Tiap Jenis Tanah Kation Bentuk Hapludalf Endoaquert Endoaquert Haplustalf senyawa Tipik (B1) Kromik (B2) Tipik (B3) Tipik (B4).. mg/kg... Na + NaCl NH 4 NH 4 Cl Fe 3+ FeCl Penetapan Fraksionasi K Tanah: Pengambilan contoh tanah dilakukan saat inkubasi telah mencapai 12 minggu. Contoh tanah diambil sekitar 250 gram, dikeringudarakan, digerus lalu diayak dengan ayakan 2 mm. Bentuk-bentuk K yang meliputi: K l, K dd, K tdd, K t ditetapkan dengan metode yang diuraikan oleh Helmke dan Sparks (1996); Knudsen et al. (1982); dan Wood dan DeTurk (1940). Tahapannya adalah sebagai berikut: K Larut Lima gram contoh tanah dimasukkan ke dalam botol sentrifius, lalu ditambahkan 20 ml M CaCl 2 dan dikocok selama 1 jam. Ekstrak tanah disentrifius dengan 72

92 kecepatan 3500 rpm selama 20 menit dan supernatan ditampung. Selanjutnya kadar K dalam supernatan diukur dengan AAS. K Dapat Dipertukarkan Dua gram contoh tanah dimasukkan ke dalam botol sentrifusi 50 ml, lalu ditambahkan 20 ml NH 4 OAc 1 N ph 7 dan dikocok selama 30 menit. Ekstrak tanah disentrifius selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm dan supernatannya ditampung. Tahapan tersebut diulang lalu volume supernatan diimpitkan dengan penambahan NH 4 OAc 1 N menjadi 50 ml. Selanjutnya kadar K dalam supernatan diukur dengan AAS. K Total Setengah gram contoh tanah dimasukkan kedalam teflon bom, lalu tambahkan 1 ml aquades dan 10 ml HNO 3 dan HClO 4 pekat. Teflon bomb ditempatkan pada metal container dan dipanaskan pada suhu 383 o K selama 3 jam. Asam borat 2.8 g ditambahkan ke dalam labu ukur plastik 100 ml, kemudian ekstrak tanah dituangkan ke dalam labu. Sisa cairan dalam teflon dicuci dengan air bebas ion dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Labu dikocok dan larutan diimpitkan menjadi 100 ml dengan menambahkan air bebas ion. Selanjutnya kadar K dalam larutan diukur dengan AAS. K Tidak Dapat Dipertukarkan K tidak dapat dipertukarkan ditetapkan sebagai K total dikurangi oleh K larut dan K dapat dipertukarkan (K tdd = K t K l K dd ). 3. Percobaan Pot di Rumah Kaca Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Penelitian Tanah sejak Desember 2006 Mei 2007 dengan menggunakan benih jagung hibrida varietas Pioneer-21. Selain 73

93 itu percobaan ini juga menggunakan rancangan dan perlakuan yang sama dengan percobaan inkubasi. Namun demikian perlakuan Fe 3+ dengan takaran 50% jerapan maksimum menyebabkan tanaman mati keracunan sehingga pada musim berikutnya percobaan diulang dengan takaran Fe 3+ diubah menjadi 5 level, yaitu: 0, 125, 250, 375, dan 500 ppm. Selain itu perlakuan NH + 4 tidak diuji karena percobaan menggunakan pupuk dasar urea sehingga hara N yang diserap tanaman dari perlakuan akan confuse dengan N dari pupuk dasar. Penanaman Bahan tanah dikering-udarakan, ditumbuk, diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke dalam pot sebanyak 2 kg/pot BKM. Percobaan menggunakan pupuk dasar masing-masing 300 ppm N dan 200 ppm P. Semua pupuk perlakuan diberikan dalam bentuk larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Benih jagung varietas Pioneer-21 ditanam 5 biji/pot dan setelah berumur 1 MST, tanaman dijarangkan menjadi 3 tanaman/pot. Kadar air tanah dipertahankan pada kapasitas lapang, lalu tanaman dipanen saat berumur 4 MST. Pengamatan: Pengamatan dilakukan terhadap peubah pertumbuhan tanaman, yaitu: (1) Tinggi tanaman dan jumlah daun diukur saat tanaman berumur 2 dan 4 MST dan (2) Bobot basah dan bobot kering (70 o C 48 jam) tanaman umur 4 MST. Analisis Tanaman Contoh tanaman kering dihaluskan, ditimbang sebanyak 0.5 g dimasukan ke dalam labu 50 ml, didestruksi dengan menggunakan H 2 SO 4 -H 2 O 2 pekat, lalu volume larutan 74

94 dihimpitkan menjadi 50 ml. Selanjutnya konsentrasi N dan P dalam larutan diukur dengan spektrofotometer sedangkan K dengan metode AAS. Hasil dan Pembahasan Pelepasan K Terfiksasi Pengaruh asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap pelepasan K terfiksasi liat pada tanah Alfisol dan Vertisol disajikan berturut-turut pada Tabel 17 dan 18. Pada kedua jenis tanah tersebut, semua perlakuan nyata meningkatkan pelepasan K terfiksasi liat. Tingkatan pelepasan K dari tinggi ke rendah pada Hapludalf Tipik adalah: (asam oksalat+naoh) ph=7 > Fe 3+ > NH + 4 > asam oksalat > Na + > air dan pada Halustalf Tipik adalah: (asam oksalat+naoh) ph=7 > Na + > Fe 3+ > NH + 4 > asam oksalat > air (Tabel 17). Urutan tersebut pada Endoaquert Kromik adalah: Na + > asam oksalat > (asam oksalat+naoh) ph=7 > NH + 4 > Fe 3+ > air dan Endoaquert Tipik adalah: Na + > NH + 4 > asam oksalat > Fe 3+ > (asam oksalat+naoh) ph=7 > air (Tabel 18). Diantara perlakuan yang dicoba, tampak bahwa (asam oksalat+naoh) ph=7 paling efektif dalam melepaskan K terfiksasi pada Alfisol, sedangkan Na + pada Vertisol. Tabel 17. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Pelepasan K Terfiksasi Liat pada Tanah Alfisol. Perlakuan Hapludalf Tipik (B1) Haplustalf Tipik (B4) mg K g -1 % dari K total mg K g -1 % dari K total Kontrol (air) 0.18 d 1.37 d 0.11 e 1.86 e Asam oksalat 3.58 b b 1.53 cd cd (Asam oksalat+naoh) ph= a a 2.81 a a Na b b 2.42 ab ab + NH b b 1.89 bc bc Fe b b 1.93 bc bc CV (%) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. 75

95 Apabila kadar K total dianggap sama dengan K terekstrak HNO 3 +HClO 4 pekat, maka kadar K total keempat tanah yang diuji adalah 13.2, 6.2, 24.4, dan 26.4 mg K g -1 berturut-turut untuk Hapludalf Tipik, Haplustalf Tipik, Endoaquert Kromik, dan Endoaquert Tipik. Persentase K yang dapat lepas akibat perlakuan berkisar antara % pada Hapludalf Tipik, % pada Haplustalf Tipik (Tabel 17), % pada Endoaquert Kromik, dan % pada Endoaquert Tipik (Tabel 18). Urutan persentase pelepasan K akibat perlakuan dari tinggi ke rendah menunjukkan tingkatan jumlah K yang dapat dilepas oleh perlakuan tersebut baik pada Alfisol maupun Vertisol. Tabel 18. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Pelepasan K Terfiksasi Liat pada Tanah Vertisol. Perlakuan Endoaquert Kromik (B2) Endoaquert Tipik (B3) mg K g -1 % dari K total mg K g -1 % dari K total Kontrol (air) 0.58 c 2.37 c 1.03 d 3.90 d Asam oksalat 7.88 a a 9.89 bc bc (Asam oksalat+naoh) ph= a a 8.96 c c Na a a a a + NH a a b b Fe a a 9.37 c c CV (%) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Asam oksalat yang dikeluarkan oleh akar bersamaan dengan eksudat senyawa organik lainnya berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan hara K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit. Konsentrasi asam organik dari eksudat akar di rhizosfer sangat tinggi yang ditunjukkan oleh ph tanah di rhizosfer jauh lebih rendah dibandingkan bulk soil, yaitu berturut-turut 4.8 dan 7.5 (Marshchner, 1997). Selain itu adanya sumber energi di daerah rhizosfer memungkinkan aktivitas mikroba di daerah ini juga sangat tinggi sehingga proses biokimia tanah berlangsung cepat. Aktivitas mikroba juga dapat 76

96 menghasilkan ekskresi berbagai senyawa organik termasuk diantaranya asam oksalat (Bolton et al., 1993). Selain berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan K tanah, Na + juga termasuk unsur bermanfaat (beneficial element) yang diperlukan oleh sejumlah spesies tanaman, seperti padi, tebu, dan lain-lain. Selain itu Na + juga dapat menggantikan sebagian kebutuhan K tanaman karena Na mampu menggantikan sebagian fungsi K sebagai katalis dalam sistem metabolisme tanaman (Marschner, 1997). Karakteristik NH + 4 di dalam tanah mirip dengan K +, misalnya kation ini dapat terjerap kuat pula di dalam ruang antar lapisan mineral liat smektit. Dengan demikian maka kation ini dapat menggantikan posisi K + yang terjerap sehingga dapat lepas dan tersedia bagi tanaman. Penelitian Kilic et al. (1999) pada tanah yang yang didominasi smektit serta Evangelou dan Lumbanraja (2002) pada mineral liat 2:1 lainnya, yaitu vermikulit dan hidroksi interlayer vermikulit menunjukkan bahwa NH 4 + yang terjerap di ruang antar lapisan mineral liat dapat digantikan oleh K + dan sebaliknya. Selain itu NH 4 + juga merupakan salah satu unsur hara makro yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Havlin et al., 1999). Di dalam tanah, Fe 3+ selalu diselimuti oleh molekul air sehingga dapat berfungsi untuk meningkatkan retensi air. Selain itu kation ini juga memiliki valensi yang tinggi (III) sehingga jerapannya terhadap koloid liat jauh lebih tinggi dibandingkan kation valensi I seperti K +. Selain dapat meningkatkan ketersediaan hara K, Fe juga termasuk unsur hara mikro bagi tanaman. Hara tersebut merupakan bagian dari heme protein yang dikenal sebagai sitokrom dan bagian dari enzym, misalnya lipoxygenase yang merupakan katalis dari peroksidasi linolik dan asam linolik. Selain itu Fe juga berperan dalam perkembangan kloroplas dan fotosintesis (Marschner, 1997). 77

97 Jarak Basal Smektit Jarak basal smektit pada tanah Alfisol dan Vertisol akibat pemberian asam oksalat dan kation disajikan pada Tabel 19, sedangkan diffractogram mineral tersebut disajikan pada Gambar 11 dan 12. Tabel 19 menunjukkan bahwa jarak basal smektit tidak berubah akibat pemberian asam oksalat, sedikit menurun akibat pemberian NH + 4 dan meningkat nyata akibat perlakuan (asam oksalat+naoh) ph=7, Na +, dan Fe 3+ di keempat tanah yang diteliti. Peningkatan jarak basal smektit paling signifikan akibat pemberian Fe 3+, yaitu dari Å pada Haplustalf Tipik, Å pada Haplustalf Tipik, Å pada Endoaquert Kromik, dan Å pada Endoaquert Tipik (Tabel 19). Gambar 11. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Jarak Basal Smektit pada Alfisol 78

98 Perlakuan (asam oksalat+naoh) ph=7 yang dapat meningkatkan jarak basal smektit menunjukkan bahwa ion ini dapat melakukan penetrasi ke dalam ruang antar lapisan mineral liat sehingga dapat membebaskan sebagian K yang terfiksasi (Tabel 17 dan 18). Penelitian Tan (1978) yang dilaksanakan pada tanah yang mengandung monmorilonit dan ilit juga menunjukkan bahwa asam organik (humik dan fulvik) dapat membebaskan sekitar 25% K terfiksasi dan meningkatkan jarak basal mineral tersebut dari Å (asam humik) dan Å (asam fulvik). Gambar 12. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, Fe 3+ terhadap Jarak Basal Smektit pada Vertisol Perlakuan NH 4 + justru menurunkan jarak basal smektit di keempat tanah yang diteliti. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa NH 4 + mempunyai karakteristik yang menyerupai K +. Penjenuhan smektit dengan K + menyebabkan jarak basal menurun 79

99 dari sekitar 15 menjadi 12 Å di semua tanah yang diuji (Lampiran 1). Hal ini disebabkan karena K + mempunyai radius ion terhidrasi yang rendah, yaitu sekitar 5.3 Å. Demikian pula NH + 4 mempunyai radius ion terhidrasi yang hampir sama dengan K +, yaitu sekitar 5.6 Å (Havlin et al., 1999). Meskipun demikian NH + 4 nyata melepaskan K terfiksasi pada + semua tanah yang diuji (Tabel 17 dan 18). Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan NH 4 menggantikan posisi K di ruang antar lapisan mineral liat tipe 2:1 (Kilic et al., 1999; Evangelou dan Lumbanraja, 2002). Tabel 19. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Jarak Basal Mineral Liat Smektit pada Tanah Alfisol dan Vertisol. Perlakuan Alfisol Vertisol Alfisol+Vertisol Å Kontrol (air) de c d Asam oksalat de c d (Asam oksalat+naoh) ph= c b c Na c b bc + NH e c d Fe b b b CV (%) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Berbeda dengan NH + 4, dua kation yang lain (Na + dan Fe 3+ ) dapat meningkatkan jarak basal smektit. Radius ion terhidrasi Na + sedikit lebih tinggi daripada K +, yaitu sekitar 7.9 Å (Havlin et al., 1999) sehingga kation tersebut sedikit meningkatkan jarak basal smektit. Di dalam tanah, Fe 3+ selalu diselimuti air sehingga radius ion terhidrasinya tinggi, yaitu sekitar 9.0 Å (Tan, 1998). Akibatnya jarak basal smektit meningkat tajam pada perlakuan kation tersebut di semua tanah yang diuji. Penetrasi Fe 3+ ke dalam ruang antar lapisan mineral liat smektit menyebabkan jarak basalnya meningkat sehingga K yang terfiksasi dapat dibebaskan dan dapat tersedia bagi tanaman (Tabel 17 dan 18). 80

100 Diantara perlakuan yang dicoba ternyata Fe 3+ memberikan peningkatan jarak basal tertinggi pada semua tanah yang diuji. Hal ini erat kaitannya dengan radius hidrasi Fe 3+ yang lebih tinggi dibandingkan Na +, NH + 4, dan K +. Sebaliknya jumlah K yang dapat dibebaskan lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Kemampuan kation untuk melakukan pertukaran tergantung jumlah partikel (molaritas) dan valensi kation yang bersangkutan (Tan, 1998). Percobaan ini menggunakan konsentrasi asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ yang sama, yaitu 1 N. Valensi Fe 3+ adalah tiga, sedangkan asam oksalat, Na +, dan NH + 4 adalah satu sehingga molaritas Fe 3+ lebih rendah (0.33 M) dibandingkan perlakuan lainnya (1.0 M). Dengan demikian maka meskipun Fe 3+ menyebabkan peningkatan jarak basal smektit tertinggi, tapi kemampuan untuk melakukan pertukaran dengan K di ruang antar lapisan smektit paling rendah. Ketersediaan K Tanah Asam oksalat tidak berpengaruh terhadap K l, nyata meningkatkan K dd sehingga nyata menurunkan K tdd tanah Alfisol. Dibandingkan dengan kontrol, Na + dan NH + 4 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji. Sementara itu Fe 3+ sangat nyata (P > 0.99) meningkatkan K l dan K dd sehingga sangat nyata pula menurunkan K tdd tanah (Tabel 20). Selanjutnya interaksi antara asam oksalat dan kation tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji (Lampiran 8). Agak berbeda dengan di tanah Alfisol, asam oksalat nyata meningkatkan K l dan K dd tanah sehingga sangat nyata menurunkan K tdd tanah Vertisol. Perlakuan Na + nyata meningkatkan K l tapi tidak berpengaruh nyata terhadap K dd sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap K tdd tanah. Perlakuan NH + 4 tidak berpengaruh nyata terhadap K l tapi nyata meningkatkan K dd sehingga nyata menurunkan K tdd tanah. Sementara itu Fe 3+ berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diuji. Perlakuan Fe 3+ sangat nyata meningkatkan 81

101 K l dan K dd sehingga sangat nyata pula menurunkan K tdd tanah (Tabel 21). Selanjutnya interaksi antara asam oksalat dan kation tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji (Lampiran 9). Tabel 20. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Bentuk K l, K dd, K tdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Alfisol. Perlakuan Bentuk K tanah (mg/kg) K l K dd K tdd Asam oksalat a b 301 a a b 303 a a a 292 b a a 291 b Kation Kontrol b b 318 b Na b b 307 b + NH b b 304 b Fe a a 257 a CV K l = 13.6%, K dd = 12.3%, K tdd = 3.6%. Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Tabel 21. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Bentuk K l, K dd, K tdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Vertisol. Perlakuan Bentuk K tanah (mg/kg) K l K dd K tdd Asam oksalat b b 279 a b ab 280 a b a 267 ab a a 262 b Kation Kontrol b c 314 b Na b bc 299 b + NH b b 292 b Fe a a 183 a CV K l = 13.6%, K dd = 12.3%, K tdd = 3.6%. Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Pengaruh perlakuan terhadap ketiga peubah yang diuji lebih kentara pada tanah Vertisol dibandingkan tanah Alfisol. Hal ini disebabkan antara lain karena kadar K total tanah Vertisol jauh lebih tinggi dibandingkan Alfisol (Gambar 6). Jumlah K yang lepas 82

102 dari pool K tdd menjadi K dd (relesase) dan dari K dd menjadi K l (desorption) pada Vertisol lebih tinggi dibandingkan Alfisol. Umumnya K yang lepas dari K tdd menjadi K dd adalah K yang berada di posisi-i, w, dan c, sedangkan K yang lepas dari K dd menjadi K l adalah K yang berada di posisi-p dan e (Kirkman et al., 1994). Gambar 13. Pengaruh Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K Tanah Alfisol. Gambar 14. Pengaruh Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K Tanah Vertisol. 83

103 Pemberian kation jauh lebih efektif dalam meningkatkan kertersediaan K di dalam tanah dibandingkan dengan asam oksalat. Pengaruh kation terhadap perubahan proporsi bentuk-bentuk K tanah disajikan pada Gambar 13 (Alfisol) dan Gambar 14 (Vertisol). Diantara kation yang dicoba ternyata Fe 3+ paling efektif dalam melepaskan K tidak tersedia (K tdd ) menjadi K tersedia (K dd dan K l ) di kedua jenis tanah yang diteliti. Gambar 13 dan 14 menunjukkan bahwa jumlah K l dan K dd meningkat sedangkan K tdd menurun akibat pemberian kation di semua tanah yang dicoba. Tingkat kekuatan kation dalam melepaskan K tanah dari tinggi ke rendah adalah: Fe 3+ > NH + 4 > Na + baik pada Alfisol maupun Vertisol. Berdasarkan jumlah K yang dilepas, maka dapat diduga bahwa Na + hanya dapat mengusir K yang berada di posisi-p, sedangkan NH + 4 selain K di posisi-p juga di posisi-e dan sebagian kecil K yang berada di posisi-i. Sementara itu Fe 3+ dapat melepaskan K yang berada di posisi-p dan e dan sejumlah besar K di posisi-i. Konsentrasi Hara dalam Jaringan Tanaman Pada tanah Alfisol, asam oksalat tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi hara P dan K tapi nyata meningkatkan konsentrasi N. Perlakuan Na + tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi ketiga hara yang dicoba. Sementara itu besi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi hara P tapi nyata meningkatkan konsentrasi N dan K (Tabel 22). Pada tanah Vertisol, asam oksalat tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi N dan K tapi nyata meningkatkan konsentrasi P. Sementara itu Na + dan Fe 3+ tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi N dan P tapi nyata meningkatkan konsentrasi hara K (Tabel 23). Selanjutnya interaksi antara asam oksalat dengan kedua kation tersbut tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diuji baik pada Alfisol maupun Vertisol (Lampiran 10). 84

104 Tabel 22. Pengaruh Asam Oksalat, Na + dan Fe 3+ terhadap Konsentrasi N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol. Perlakuan N P K Asam oksalat (ppm) % b 0.33 a 1.09 a b 0.32 a 1.18 a ab 0.33 a 1.14 a a 0.37 a 1.22 a Natrium Kontrol 5.18 a 0.28 a 0.83 b Na (50% jerapan maksimum) 4.60 a 0.23 a 0.96 ab Besi (ppm) b 0.34 a 1.08 b a 0.38 a 1.07 b a 0.34 a 1.51 a b 0.32 a 1.57 a a 0.29 a 1.66 a CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Tabel 23. Pengaruh Asam Oksalat, Na + dan Fe 3+ terhadap Konsentrasi N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol. Perlakuan N P K Asam oksalat (ppm) % a 0.39 b 2.19 a a 0.41 ab 2.35 a a 0.44 ab 2.33 a a 0.46 a 2.46 a Natrium Kontrol 4.50 a 0.42 a 2.11 b Na (50% jerapan maksimum) 4.33 a 0.43 a 2.41 a Besi (ppm) a 0.39 a 2.02 b a 0.39 a 2.42 a a 0.37 a 2.71 a b 0.30 a 2.25 ab a 0.34 a 2.08 b CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Tampak bahwa semua perlakuan (asam oksalat, Na + dan Fe 3+ ) dapat meningkatkan konsentrasi salah satu hara tanaman. Asam oksalat dapat meningkatkan konsentrasi N di 85

105 Alfisol dan P di Vertisol. Perlakuan Fe 3+ dapat meningkatkan konsentrasi K di dua tanah yang diteliti sedangkan Na + dapat meningkatkan konsentrasi K hanya di tanah Vertisol. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan yang dicoba dapat memperbaiki ketersediaan N, P, dan K bagi tanaman sehingga konsentrasinya di dalam tanaman meningkat. Serapan Hara Tanaman Pada tanah Alfisol, asam oksalat tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N, P, dan K. Perlakuan Na + tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N dan K tapi nyata meningkatkan serapan P. Sementara itu Fe 3+ tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N tetapi nyata menurunkan serapan P, dan meningkatkan serapan K (Tabel 24). Pada tanah Vertisol, asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P, dan K, sedangkan Na + tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diuji. Berbeda dengan dua kation sebelumnya, Fe 3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan ketiga hara tersebut (Tabel 25). Sementara itu interaksi antara asam oksalat dengan Na + dan Fe 3+ tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diuji baik pada Alfisol maupun Vertisol (Lampiran 11). Perlakuan asam oksalat, Na +, dan Fe 3+ dapat meningkatkan salah satu atau beberapa serapan hara tanaman baik di Alfisol maupun Vertisol. Pengaruh perlakuan asam oksalat dan Fe 3+ lebih kentara di Vertisol daripada Alfisol. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa semua faktor perlakuan yang dicoba dapat memperbaiki ketersediaan salah satu atau beberapa hara bagi tanaman sehingga serapannya menjadi meningkat. 86

106 Tabel 24. Pengaruh Asam Oksalat, Na + dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol. Perlakuan N P K Asam oksalat (ppm). mg/pot a 7.71 a a a 7.97 a a a 8.15 a a a 7.81 a a Natrium Kontrol a 9.15 b a Na (50% jerapan maksimum) a 9.50 a a Besi (ppm) a a b a a a a a ab a ab b a b b CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Tabel 25. Pengaruh Asam Oksalat, Na + dan Fe 3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol. Perlakuan N P K Asam oksalat (ppm). mg/pot b b b a a a ab ab a b b b Natrium Kontrol a a a Na (50% jerapan maksimum) a a a Besi b b b a a a b b b b b b c c b CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Produksi Tanaman Asam oksalat nyata meningkatkan produksi brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik. Perlakuan Na + tidak 87

107 berpengaruh nyata terhadap peubah tersebut di semua tanah yang diuji. Perlakuan Fe 3+ pada takaran 125 ppm nyata meningkatkan hasil brangkasan kering pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. Namun demikian takaran 500 ppm Fe 3+ nyata menurunkan hasil gabah kering pada Hapludalf Tipik, Endoaquert Kromik, dan Endoaquert Tipik (Tabel 26). Sementara itu interaksi antara asam oksalat dan Na + dan Fe 3+ tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tersebut (Lampiran 12). Tabel 26. Pengaruh Asam Oksalat, Na +, dan Fe 3+ terhadap Produksi Brangkasan Kering Tanaman Jagung Umur 4 MST. Perlakuan Hapludalf Haplustalf Endoaquert Endoaquert Tipik Tipik Kromik Tipik Asam oksalat (ppm) g/pot b 3.09 a 4.81 a 4.59 b ab 3.04 a 5.28 a 5.10 a a 3.06 a 5.13 a 4.98 a ab 3.01 a 4.85 a 4.75 ab Natrium Kontrol 1.98 a 3.58 a 6.01 a 5.45 a Na (50% jerapan maksimum) 1.93 a 3.77 a 5.73 a 5.02 a Besi (ppm) a 6.56 a b 4.40 b a 6.95 a a 5.03 a a 6.37 a b 4.42 b a 6.20 a b 4.29 b b 6.17 a 8.75 c 3.89 c CV (%) Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT. Peningkatan produksi akibat pemberian asam oksalat berkaitan erat dengan peningkatan serapan N, P dan K pada Vertisol (Tabel 25). Sementara itu Fe 3+ selain dapat meningkatkan serapan hara K tanaman pada Alfisol (Tabel 24) dan serapan N, P, dan K pada Vertisol (Tabel 25), juga merupakan hara mikro yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Hara Fe diperlukan tanaman karena merupakan bagian dari klorofil pada daun yang penting untuk proses fotosintesis tanaman (Marschner, 1997). Faktor-faktor tersebut merupakan alasan produksi tanaman meningkat akibat pemberian Fe 3+. Takaran 88

108 Fe ppm yang menurunkan hasil tanaman merupakan petunjuk bahwa tanaman mengalami keracunan. Kesimpulan 1. Asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ nyata melepaskan K terfiksasi liat dan meningkatkan jarak basal smektit pada semua tanah yang diuji. Diantara perlakuan yang dicoba, (asam oksalat+naoh) ph=7 paling efektif dalam melepaskan K terfiksasi pada Alfisol, sedangkan Na + pada Vertisol. Perlakuan Fe 3+ memberikan peningkatan jarak basal tertinggi pada semua tanah yang diuji. 2. Asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ nyata meningkatkan K tersedia baik di tanah Alfisol maupun Vertisol, dimana pengaruhnya di tanah Vertisol lebih kentara dibandingkan Alfisol. Tingkat kekuatan perlakuan dalam melepaskan K dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia adalah Fe 3+ > NH + 4 > Na + > asam oksalat. 3. Asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P dan K di Vertisol, Na + nyata meningkatkan serapan P di Alfisol, sedangkan Fe 3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan K di Alfisol serta N, P, dan K di Vertisol. 4. Asam oksalat nyata meningkatkan bobot brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik, sedangkan Fe 3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan bobot brangkasan kering pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. 89

109 PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI Pembahasan Uji korelasi menunjukkan bahwa kadar liat dan C-organik nyata sampai sangat nyata berkorelasi positip dengan KTK tanah pada Inceptisol (Tabel 6) dan Alfisol (Tabel 8). Sementara itu pada Vertisol hanya kadar liat yang sangat nyata berkorelasi positip, sedangkan kadar C-organik nyata berkorelasi negatif dengan KTK tanah (Tabel 6). Selanjutnya KTK tanah nyata berkorelasi positip dengan salah satu peubah ketersediaan K tanah (jerapan maksimum, konstanta energi ikatan, K l, atau K dd tanah). Tampak bahwa muatan negatif tanah yang dicirikan oleh besarnya KTK memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan ketersediaan K tanah. Muatan negatif tanah dapat berasal dari sumber muatan permanen yang dapat diduga dari kadar dan jenis meneral liat yang dominan. Selain itu muatan negatif tanah juga dapat berasal dari sumber muatan variabel yang dapat diduga dari kadar C-organik tanah. Peranan Smektit dalam Mengendalikan Ketersediaan K Tanah Untuk mempelajari kontribusi dari mineral liat terhadap muatan negatif tanah, analisis kualitatif mineral fraksi liat dengan metode XRD telah dilakukan terhadap beberapa contoh tanah pewakil dari Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah Vertisol didominasi oleh mineral liat smektit sedangkan tanah Alfisol dan Inceptisol didominasi oleh smektit dan kaolinit. Kadar smektit tanah-tanah yang diteliti dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol > Inceptisol (Tabel 3). Hasil ini sejalan dengan penelitian Subagyo (1983) yang menyatakan bahwa fraksi liat Vertisol Ngawi didominasi oleh mineral liat smektit dan sedikit kaolinit (disordered kaolinite). 90

110 Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa smektit yang merupakan sumber muatan permanen sangat berperan dalam mengendalikan ketersediaan K tanah. Hubungan antara kadar smektit dengan KTK yang positip nyata (R 2 = ) menunjukkan bahwa smektit berkontribusi signifikan terhadap jumlah muatan negatif tanah. Sebaliknya hubungan antara kadar C-organik dengan KTK tanah yang tidak nyata (R 2 = ) menunjukkan bahwa bahan organik tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap muatan negatif tanah (Gambar 15). Fenomena ini membuktikan bahwa pada tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit (Vertisol) maka sumber muatan permanen lebih penting daripada sumber muatan variabel dalam mengendalikan KTK tanah. Pada tanah yang didominasi oleh sumber muatan variabel seperti tanah Ultisol di daerah Sasamba, Kaltim (Prasetyo et al., 2001) dan Ultisol dari bahan volkan andesitik di daerah Ungaran, Jateng (Prasetyo et al., 2005) bahan organik memberikan kontribusi yang signifikan terhadap muatan negatif tanah. KTK (Cmol(+)/kg) y = x R 2 = KTK (Cmol(+)/kg) y = x R 2 = C-organik (%) Smektit (%) Gambar 15. Hubungan antara Kadar C-organik dan Smektit dengan KTK Tanah 91

111 Hubungan antara kadar smektit dengan daya sangga dan jerapan maksimum K tanah positip nyata dengan nilai koefisien determinan (R 2 ) masing-masing dan (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa mineral liat smektit selain berperan terhadap muatan negatif tanah juga dapat mengendalikan daya sangga dan jerapan maksimum K tanah. Dengan demikian maka smektit memegang peranan penting dalam penyediaan K untuk tanaman pada ketiga tanah yang diteliti. Jerapan maks (mg/kg) y = x R 2 = Daya sangga y = x R 2 = Smektit (%) Smektit (%) Gambar 16. Hubungan antara Kadar Smektit dengan Jerapan Maksimum dan Daya Sangga K Tanah Peranan Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ dalam Meningkatkan Ketersediaan K Tanah 1. Pemanfaatan Kalium Tanah Pengelolaan tanah secara umum adalah berbagai upaya agar K selalu tersedia bagi tanaman. Bila K tersedia itu dianggap sebagai bentuk K l dan K dd maka pengelolaan tanah identik dengan upaya untuk mempertahankan reaksi keseimbangan antara K l dan K dd, yaitu reaksi 4 desorpsi (desorption), 5 jerapan (adsorption), dan 6 serapan tanaman atau 92

112 pencucian (uptake/leaching) seperti yang tertera pada Gambar 17. Bila keseimbangan ini terganggu, misal laju reaksi 4 lebih rendah daripada reaksi 5+6 maka tanaman akan mengalami kekahatan K. Dengan demikian maka prinsip dari pengelolaan K tanah adalah meningkatkan reaksi 1, 2, dan 4 serta mengurangi reaksi 3, 5, dan pencucian sehingga K l dapat diserap oleh tanaman secara maksimal dan berkesinambungan. Gambar 17. Reaksi Keseimbangan K di dalam Tanah Pemberian pupuk K dapat meningkatkan K l tanah sehingga reaksi 5 dan 6 meningkat. Pemberian bahan organik dapat mengurangi kehilangan K karena tercuci, meningkatkan reaksi 5 dan reaksi 4 sehingga kemampuan tanah untuk selalu mensuplai K ke dalam pool K l (daya sangga) terjamin. Selanjutnya pemberian K dengan cara dibenam dalam larikan dekat akar atau diberikan secara bertahap menurut fase tumbuh tanaman juga dapat mengurangi kehilangan K oleh pencucian. Upaya-upaya tersebut selain ditujukan untuk meningkatkan K l juga untuk menekan kehilangan K karena pencucian sehingga efisiensi pupuk K meningkat. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan K adalah pemanfaatan K yang terdapat dalam tanah. Cara ini cukup efektif terutama untuk tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit karena umumnya tanah ini mengandung K total tinggi tapi 93

113 tanaman masih tetap mengahadapi masalah kekahatan K. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa hanya sebagian kecil K tanah dapat tersedia untuk tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan kadar K l dan K dd tanah sangat rendah dibandingkan dengan K t tanah baik pada Inceptisol, Vertisol, maupun Alfisol (Gambar 6-7). Pemanfaatan K tanah prinsipnya adalah berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan K tanah dengan memanfaatkan K yang memang sudah ada di dalam tanah. Dengan demikian maka pemanfaatan K tanah dapat dilakukan dengan mempercepat reaksi 1 hancuran dari mineral K (weathering), 2 pelepasan dari pool K tdd ke pool K dd (release), dan 4 desorpsi dari pool K dd ke pool K l (desorption). Asam oksalat (yang dapat dihasilkan dari eksudat akar tanaman) dapat meningkatkan reaksi 1, 2, dan 4 (Tabel 20-21). Pemanfaatan hara tanah, terutama P, dengan cara seperti ini sebenarnya sudah lazim dilakukan pada tanah-tanah masam, tapi untuk K belum banyak dilakukan. Penggunaan mikroba tanah seperti mikoriza dan bakteri pelarut P dapat meningkatkan ketersediaan P pada tanah masam. Mikoriza selain dapat memperluas permukaan serapan juga seperti halnya bakteri pelarut P dapat mengeksresikan asam-asam organik di sekitar rizosfer. Selanjutnya asam organik dapat melarutkan bentuk P terjerap (Al-P dan Fe-P) yang sebelumnya tidak tersedia menjadi larut sehingga tersedia bagi tanaman (Ness dan Vlek, 2000). 2. Peranan Asam Oksalat Asam oksalat merupakan bagian penting dan dominan dalam eksudat asam organik yang dikeluarkan oleh akar jagung (Tabel 13) sehingga penelitian ini lebih menitikberatkan perhatian terhadap asam oksalat dibandingkan asam organik lainnya. Selanjutnya asam oksalat mampu melepaskan sebagian K terfiksasi menjadi tersedia untuk pertumbuhan tanaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan hasil tanaman. Asam oksalat nyata 94

114 meningkatkan pelepasan K terfiksasi di empat jenis tanah yang diuji (Tabel 17-18). Asam oksalat dapat mengubah K yang berada di pool K tdd menjadi K dd dan K l baik di Alfisol (Tabel 20) maupun Vertisol (Tabel 21). Selain itu asam oksalat juga dapat meningkatkan ketersediaan N dan P yang ditandai oleh peningkatan serapan N di tanah Alfisol (Tabel 24) dan P di tanah Vertisol (Tabel 25) sehingga bobot berangkasan kering tanaman juga meningkat (Tabel 26). Telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebagian besar K di semua tanah yang diuji berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan sehingga dalam jangka pendek tidak tersedia bagi tanaman (Gambar 6-7). Berdasarkan uraian di atas maka telah terbukti bahwa penggunaan asam oksalat dapat membuat tanaman mampu memanfaatkan K yang tadinya tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Kalium yang berada di posisi-i, c, w, e, dan s tidak bisa atau sulit melakukan pertukaran sehingga disebut sebagai K tdd sedangkan yang berada di posisi-p mudah melakukan pertukaran sehingga disebut sebagai K dd (Kirkman et al., 1994). Mengingat jumlah K yang dapat dilepaskan oleh asam oksalat tinggi (Tabel 18-19) maka sesungguhnya bukan hanya K yang berada di posisi-p saja yang lepas tapi sangat mungkin sebagian atau semua K yang berada di posisi-e, s, c, dan w juga lepas. Namun demikian K yang berada di posisi-i tidak lepas karena tidak ada peningkatan jarak basal smektit akibat pemberian asam oksalat (Gambar 11-12). Apabila pemberian asam oksalat dibarengi dengan penambahan NaOH hingga ph=7, maka selain K yang berada di posisi-e, s, c, dan w, K di posisi-i juga sebagian lepas. Hal ini disebabkan karena ada peningkatan jarak basal smektit akibat perlakuan (asam oksalat+naoh) ph=7 (Gambar 11-12) sehingga K di posisi-i berpeluang untuk melakukan pertukaran dan lepas. Pemberian asam oksalat dapat mempercepat reaksi 1, 2, dan 4 atau reaksi mengarah ke kanan dari reaksi keseimbangan K dalam tanah (Gambar 17). Asam oksalat bersifat masam sehingga dapat mempercepat proses hancuran (reaksi 1). Demikian pula asam 95

115 oksalat dapat melarutkan K yang berada di posisi-p dan sebagian posisi-e (reaksi 4). Selain itu pemberian asam oksalat yang dibarengi penambahan NaOH hingga ph=7 dapat meningkatkan jarak basal smektit sehingga reaksi 2 juga berlangsung. Jumlah asam oksalat yang dapat dikeluarkan oleh akar jagung tergantung varietas dan fase pertumbuhan tanaman. Varietas CIMMIT 3330 dapat mengeluarkan asam oksalat rata-rata selama 6 MST sekitar 5.93 mg/g BK akar, sedangkan Wisanggeni hanya 3.15 mg/g BK akar. Demikian pula saat umur tanaman 4 MST rata-rata akar jagung dapat mengeluarkan asam oksalat 5.76 mg/g BK akar, sedangkan saat 2 dan 6 MST berturutturut hanya 3.08 dan 2.56 mg/g BK akar (Tabel 13). Dengan demikian maka sesungguhnya laju pengeluaran eksudat akar juga tergantung varietas dan fase pertumbuhan tanaman. Laju pengeluaran eksudat akar selama pertumbuhan tidak diamati, namun demikian berdasarkan data yang tertera pada Tabel 13, maka laju pengeluaran dan jumlah eksudat akar beberapa varietas jagung di rizosfer dapat diduga dan hasilnya disajikan pada Tabel 27. Perhitungan tersebut menggunakan asumsi: (1) Hasil pengamatan eksudat (Tabel 13) merupakan akumulasi eksudat dari akar selama 1 hari, (2) Hasil biji jagung kering = 6 t/ha (Kasryno, 2003), (3) Umur tanaman jagung 90 hari (Subandi, 1988), (4) Proporsi biji : brangkasan = 1 : 1 (Sutoro et al., 1988) dan brangkasan : akar = 4 : 1 (Tabel 12), (5) Bobot tanah 1 ha kedalaman 20 cm = 2 X 10 6 kg *), dan (6) Proporsi masa tanah di rizosfer : bulk soil = 1 : 9 **). Tabel 27 menunjukkan bahwa laju pengeluaran eksudat asam oksalat berkisar antara 0.45 mg/g BK/hari (Wisanggeni) hingga 0.85 mg/g BK/hari (CIMMIT 3330). Sementara itu eksudat asam organik berkisar antara 1.27 mg/g BK/hari (Wisanggeni) hingga 2.13 mg/g BK/hari (CIMMIT 3330). *) Bulk density tanah = 1 g/cm 3 dan **) Jarak tanam jagung = 70 x 25 cm 2 dan rizosfer sekitar 1-2 mm di sekeliling akar (Marschner, 1997). 96

116 Nilai tersebut jauh melampaui laju pengeluaran asam oksalat varietas PM 95A umur 30 HST pada kultur air yang hanya 240 nmol/g BK/hari atau setara dengan µg/g BK/hari (Nursyamsi et al., 2002). Tabel 27. Prediksi Laju Pengeluaran dan Jumlah Eksudat Akar Beberapa Varietas Jagung di Rizosfer Selama Satu Musim Tanam. Varietas Laju pengeluaran eksudat (mg/g BK/hari) Jumlah eksudat di rizosfer (mg/kg) Asam oksalat Asam organik Asam oksalat Asam organik Antasena CIMMIT Wisanggeni Lamuru Pioneer Jumlah eksudat asam oksalat di rizosfer berkisar antara 2126 mg/kg (Wisanggeni) hingga 4003 mg/kg (CIMMIT 3330), sedangkan asam organik sekitar mg/kg berturut-turut untuk Wisanggeni dan CIMMIT Nilai tersebut merupakan akumulasi eksudat akar selama satu musim. Meskipun akumulasi eksudat tinggi tapi tanaman tidak keracunan karena eksudat asam oksalat keluar secara bertahap. Fenomena ini justru menguntungkan tanaman karena itu berarti pelepasan K dari bentuk tidak dapat dipertukarkan menjadi bentuk larut sedikit demi sedikit sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman. Tabel 21, 25, dan 26 menunjukkan bahwa asam oksalat 1000 ppm dapat meningkatkan ketersediaan K, serapan N, P, dan K, serta hasil brangkasan kering jagung umur 4 MST pada tanah Vertisol. Apabila dosis tersebut dianggap sebagai batas kritis asam oksalat untuk jagung di tanah Vertisol maka semua varietas yang dicoba berpotensi dapat meningkatkan ketersediaan K. Diantara varietas jagung yang dicoba, ternyata CIMMIT 3330 paling berpeluang dapat meningkatkan efisiensi pupuk K. Selanjutnya apabila pengaruh eksudat asam organik lainnya terhadap ketersediaan K dianggap sama 97

117 dengan asam oksalat, maka potensi pelepasan K dari bentuk tidak dapat dipertukarkan menjadi larut semakin tinggi. 3. Peranan Kation Perlakuan Na +, NH + 4, dan Fe 3+ nyata melepaskan K terfiksasi di semua tanah yang diuji (Tabel 17-18). Semua kation tersebut juga nyata mengubah K yang berada di pool K tdd menjadi K dd dan K l di semua tanah yang diuji (Tabel 20-21). Selain itu ketiga kation tersebut nyata meningkatkan ketersediaan K di tanah Alfisol (Tabel 20) dan Vertisol (Tabel 21). Akhirnya kation tersebut mampu meningkatkan bobot tanaman jagung di semua tanah yang dicoba (Tabel 26). Selanjutnya Na + dan Fe 3+ juga nyata meningkatkan jarak basal smektit, sedangkan NH + 4 justru menurunkan jarak basal smektit (Gambar 11-12). Seperti halnya asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ juga dapat membuat tanaman mampu memanfaatkan K yang tadinya tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Bahkan pengaruh kation lebih nyata dibandingkan asam oksalat terhadap hampir semua peubah yang diuji. Diantara ketiga kation tersebut, Fe 3+ paling berpengaruh terhadap hampir semua peubah yang diuji (Lampiran 7-9). Pemberian ketiga kation tersebut dapat melepaskan K yang berada di semua posisi, yaitu di posisi-p, e, s, c, w, dan i. Pemberian Na + dan Fe 3+ selain dapat melepaskan K yang berada di posisi-p, e, s, c, dan w juga K di posisi-i lepas karena jarak basal smektit + meningkat akibat pemberian kedua kation tersebut (Gambar 11-12). Demikian pula NH 4 dapat melepaskan K yang berada di semua posisi meskipun jarak basal smektit menurun. Hal ini disebabkan karena NH + 4 dan K + dapat saling menggantikan tempatnya di posisi-i mineral liat tipe 2:1 (Kilic et al., 1999; Evangelou dan Lumbanradja, 2002). 98

118 Berdasarkan uraian di atas maka pemberian Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ dapat mempercepat proses pelepasan (reaksi 2) dan desorpsi (reaksi 4) dari reaksi keseimbangan K di dalam tanah (Gambar 17). Semua reaksi yang terjadi merupakan reaksi pertukaran kation, dimana K + yang berada di komplek jerapan digantikan oleh Na +, NH + 4, atau Fe 3+. Ketiga kation tersebut selain berfungsi meningkatkan ketersediaan K tanah juga berfungsi sebagai unsur yang diperlukan tanaman, baik sebagai hara makro (N), hara mikro (Fe), maupun sebagai beneficial element (Na). Pada tanaman rumput-rumputan (misalnya tebu), Na dapat menggantikan sebagian kebutuhan K tanaman (Ismail, 1997). Mekanisme Pelepasan K Terfiksasi Menjadi Tersedia bagi Tanaman Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemberian asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ dapat mempercepat reaksi 1 (hancuran), 2 (pelepasan), dan 4 (desorpsi) atau reaksi mengarah ke kanan dari reaksi keseimbangan K dalam tanah (Gambar 17). Reaksi 1 merupakan hancuran mineral primer yang banyak mengandung K menjadi mineral sekunder; reaksi 2 merupakan pelepasan K dari K terfiksasi menjadi K dd ; sedangkan reaksi 4 merupakan desorpsi K dari K dd menjadi K l. Tanah-tanah yang diteliti didominasi oleh mineral liat smektit (Tabel 3) yang merupakan mineral sekunder sehingga reaksi yang berpeluang tinggi untuk muncul adalah reaksi pelepasan dan desorpsi, sedangkan reaksi hancuran hampir tidak ada. Setelah reaksi pelepasan dan desorpsi berlangsung maka tanaman akan dengan mudah menyerap K (absorpsi) untuk kebutuhan hidupnya. 1. Desorpsi Asam oksalat yang dikeluarkan oleh akar tanaman di sekitar rizosfer akan mengalami disosiasi menghasilkan H + dan HOOCCOO -. Selanjutnya H + dapat mengusir K 99

119 yang berada di permukaan komplek jerapan (K dd ) atau K yang berada di posisi-p dan e sehingga K lepas ke dalam larutan (K l ). Proses tersebut dikenal sebagai proses pertukaran kation (cation exchange) seperti yang disajikan pada Gambar 18. Reaksi pertukaran ini mengakibatkan proses desorpsi terjadi. Proses pertukaran sangat mungkin terjadi karena sesuai dengan deret liotropik, jerapan koloid tanah terhadap H + > K + (Tan, 1998). Selain itu juga konsentrasi H + di rhizosfer lebih tinggi dibandingkan di bulk soil (Marschner, 1997) sehingga berpeluang membebaskan K yang berada pada permukaan komplek jerapan. Gambar 18. Reaksi Pertukaran K yang Terjerap di Permukaan Koloid dengan Kation Lain (M + ). Seperti halnya asam oksalat, ternyata Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ juga dapat mengusir K yang berada di permukaan komplek jerapan sehingga K lepas ke dalam larutan yang akhirnya proses desorpsi terjadi. Proses pertukaran K + oleh Fe 3+ juga dapat berlangsung karena berdasarkan deret liotropik, jerapan koloid tanah terhadap Fe 3+ > K + (Tan, 1998). Kation lainnya, yaitu Na + dan NH + 4 meskipun posisinya dalam deret liotropik masingmasing berada disebelah kanan dan sama dengan kation K + tetapi tetap berpeluang untuk mengusir K pada komplek jerapan asalkan konsentrasi kedua kation tersebut di dalam larutan tanah > K pada komplek jerapan. 100

120 2. Pelepasan Pelepasan K dari dalam ruang antar lapisan menuju ke permukaan koloid didahului oleh peningkatan jarak basal smektit (mengembang) sehingga K yang tadinya tertutup menjadi terbuka dan siap untuk melakukan pertukaran. Peningkatan jarak basal ini disebabkan oleh karena ion yang terselimuti molekul air melakukan penetrasi ke dalam ruang antar lapisan mineral smektit dimana besarnya peningkatan jarak basal seiring dengan besar radius hidrasi ion yang masuk (Gambar 19). Asam oksalat, Na +, dan Fe 3+ dapat meningkatkan jarak basal smektit (Gambar 11-12) sehingga K + menjadi terbuka. Meskipun NH + 4 tidak meningkatkan jarak basal (Gambar 11-12) tapi kation ini dapat berkompetisi dengan K + menempati posisi di ruang antar lapisan smektit sehingga K bisa terlepas (Evangelou dan Lumbanraja, 2002). Gambar 19. Proses Pengembangan Mineral Liat Smektit Akibat Penambahan Asam Oksalat dan Kation. Pada saat smektit mengembang maka H +, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ masuk ke dalam ruang antar lapisan smektit. Selanjutnya K terfiksasi berpeluang untuk melakukan pertukaran dengan kation-kation tersebut. Pertukaran kation ini menyebabkan K yang tadinya terfiksasi menjadi lepas dan pindah ke permukaan (posisi-p dan e) atau K lepas ke dalam larutan. K yang berada di permukaan dan dalam larutan tanah ini merupakan K 101

121 segera tersedia bagi tanaman karena tanaman setiap saat bisa menyerapnya untuk proses metabolisme tubuhnya. Pelepasan K di dalam tanah sesungguhnya terjadi secara alamiah, antara lain disebabkan oleh adanya eksudat asam organik dari akar tanaman atau dari hasil pelapukan bahan organik (Song dan Huang, 1988). Selain itu pelepasan K juga dapat distimulir oleh adanya penurunan konsentrasi K + di dalam larutan tanah akibat K diserap oleh tanaman atau tercuci (Rahmatullah dan Mengel, 2000). Bila K diserap tanaman atau tercuci maka keseimbangan K tanah terganggu, yaitu reaksi mengarah ke kanan sehingga proses desorpsi dan pelepasan meningkat. 3. Absorpsi Proses absorpsi hara ke dalam akar tanaman terjadi melalui 2 tahapan, yaitu tahap pertama adalah pergerakan ion dari tanah ke permukaan akar tanaman dan tahap berikutnya adalah serapan ion (ion uptake). Tahap pertama mengikuti mekanisme difusi, aliran masa, dan intersepsi akar, sedangkan tahap kedua adalah proses serapan ion pasif dan aktif. Jumlah K + yang bergerak dari koloid tanah menuju permukaan akar melalui difusi sekitar 78%, aliran masa 20%, dan intersepsi akar 2% (Havlin et al., 1999). Difusi dan aliran masa merupakan pergerakan K yang diawali dari proses pelepasan dan desorpsi sehingga K + berada dalam larutan dan memungkinkan proses serapan hara berlangsung. Atau dengan kata lain tanaman menyerap K yang berada dalam larutan (K l ) dimana K l berasal dari K dd dan K terfiksasi. Sementara itu intersepsi akar adalah akar menyerap K yang berada di permukaan komplek jerapan (K dd ) secara langsung melalui proses getaran (oscillation) (Havlin et al., 1999) seperti yang disajikan pada Gambar

122 Gambar 20. Mekanisme Pertukaran H + dari Akar dengan K + pada Permukaan Mineral Liat (Havlin et al., 1999). Peranan Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ dalam Meningkatkan Produksi Jagung Data yang tertera pada Tabel 21, 25, dan 26 diringkas dan hasilnya disajikan pada Tabel 28 (Endoaquert Kromik) dan Tabel 29 (Endoaquert Tipik). Data pada Alfisol tidak dibahas karena pengaruh asam oksalat, Na +, NH + 4, dan Fe 3+ terhadap peubah yang diuji tidak nyata. Pada Endoaquert kromik, asam oksalat 1000 ppm meningkatkan K tersedia dari 155 menjadi 168 mg/kg sehingga kebutuhan pupuk K menurun. Selanjutnya perlakuan tersebut meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman jagung. Demikian pula hasil biji kering jagung meningkat dari 4.81 menjadi 5.28 mg/pot (8.9%) akibat pemberian asam oksalat 1000 ppm (Tabel 28). Perlakuan Na + dan NH + 4 meningkatkan K tersedia sehingga kebutuhan pupuk K menurun pada Endoaquert Kromik. Selanjutnya Na + meningkatkan serapan K tanaman tapi tidak berpengaruh terhadap hasil biji kering jagung. Perlakuan Fe 3+ takaran 125 ppm tidak berpengaruh terhadap K tersedia tanah dan kebutuhan pupuk K tapi serapan N, P, dan K tanaman meningkat. Demikian pula produksi tanaman meningkat dari menjadi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setelah N dan P. Umumnya K diserap tanaman dalam bentuk K larut (soluble K) yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setelah N dan P. Umumnya K diserap tanaman dalam bentuk K larut (soluble K) yang PENDAHULUAN Latar Belakang Kalium merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak setelah N dan P. Umumnya K diserap tanaman dalam bentuk K larut (soluble K) yang berada dalam reaksi keseimbangan

Lebih terperinci

DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR PELEPASAN KALIUM TERFIKSASI DENGAN PENAMBAHAN ASAM OKSALAT DAN KATION UNTUK MENINGKATKAN KALIUM TERSEDIA BAGI TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT DEDI NURSYAMSI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI. Pembahasan. 8). Sementara itu pada Vertisol hanya kadar liat yang sangat nyata berkorelasi positip,

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI. Pembahasan. 8). Sementara itu pada Vertisol hanya kadar liat yang sangat nyata berkorelasi positip, PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI Pembahasan Uji korelasi menunjukkan bahwa kadar liat dan C-organik nyata sampai sangat nyata berkorelasi positip dengan KTK tanah pada Inceptisol (Tabel

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit

TINJAUAN PUSTAKA. Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit Tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman

Lebih terperinci

JERAPAN Na +, NH 4 +, DAN Fe 3+ PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT. Rasional

JERAPAN Na +, NH 4 +, DAN Fe 3+ PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT. Rasional JERAPAN Na +, NH 4 +, DAN Fe 3+ PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Sejumlah kation dapat membebaskan K yang terfiksasi pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral liat tipe

Lebih terperinci

KORELASI ANTARA SIFAT-SIFAT TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT. Rasional

KORELASI ANTARA SIFAT-SIFAT TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT. Rasional KORELASI ANTARA SIFAT-SIFAT TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT Rasional Sebelum pengelolaan K tanah dilakukan, karakteristik tanah yang berpengaruh

Lebih terperinci

MEKANISME PELEPASAN K TERFIKSASI MENJADI TERSEDIA BAGI PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT

MEKANISME PELEPASAN K TERFIKSASI MENJADI TERSEDIA BAGI PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT ISSN 1907-0799 MEKANISME PELEPASAN K TERFIKSASI MENJADI TERSEDIA BAGI PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT Mechanisms of Releasing Fixed Potassium as Available Nutrient for Plant

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah 2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah 2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah Peranan utama kalium (K) dalam tanaman adalah sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi 1983). K merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

Relationship between WCa Ratios in the Soil Solution with the Dynamic of K in UZtisol and Vertisol of Upland Area ABSTRACT

Relationship between WCa Ratios in the Soil Solution with the Dynamic of K in UZtisol and Vertisol of Upland Area ABSTRACT Iurnal Tanah dan Lingkungan,Vol. 6 No. 1, April 2004: 7-13 ISSN 1410-7333 HUBUNGAN NISBAH K/Ca DALAM LARUTAN TANAH DENGAN DINAMIKA HARA K PADA ULTISOL DAN VERTISOL LAHAN KERING I/ Relationship between

Lebih terperinci

DASAR ILMU TA AH Ba B b 5 : : S i S fa f t t K i K mia T a T nah

DASAR ILMU TA AH Ba B b 5 : : S i S fa f t t K i K mia T a T nah DASAR ILMU TA AH Bab 5: Sifat Kimia Tanah ph tanah Pertukaran Ion Kejenuhan Basa Sifat Kimia Tanah Hampir semua sifat kimia tanah terkait dengan koloid tanah Koloid Tanah Partikel mineral atau organik

Lebih terperinci

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH Komponen kimia tanah berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Bahan aktif dari tanah yang berperan dalam menjerap

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN

IV. HASIL PENELITIAN IV. HASIL PENELITIAN Karakterisasi Tanah Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah Ultisol memiliki tekstur lempung dan bersifat masam (Tabel 2). Selisih antara ph H,O dan ph KC1 adalah 0,4; berarti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Kuantitas dan Intensitas Kalium dalam Tanah. Faktor kuantitas kalium menggambarkan jumlah K yang dijerap koloid

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Kuantitas dan Intensitas Kalium dalam Tanah. Faktor kuantitas kalium menggambarkan jumlah K yang dijerap koloid TINJAUAN PUSTAKA Faktor Kuantitas dan Intensitas Kalium dalam Tanah Faktor kuantitas kalium menggambarkan jumlah K yang dijerap koloid dalam tanah, sedangkan faktor intensitas K menunjukkan jumlah K dalam

Lebih terperinci

, dan Fe 3+ terhadap Ketersediaan K pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit

, dan Fe 3+ terhadap Ketersediaan K pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit J. Tanah Trop., Vol. 14, No.1, 2009: 33-40 Jerapan dan Pengaruh Na,, dan Fe 3 terhadap Ketersediaan K pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit Dedi Nursyamsi 1, Komaruddin Idris 2, Supiandi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

Tanah Ultisol di Indonesia menempati areal yang cukup luas, yaitu sekitar. 42,3 juta ha (Sri Adiningsih et a/, 1997; Rochayati et a/, 1997).

Tanah Ultisol di Indonesia menempati areal yang cukup luas, yaitu sekitar. 42,3 juta ha (Sri Adiningsih et a/, 1997; Rochayati et a/, 1997). 11. TINJAUAN PUSTAKA Ciri Tanah Ultisol dan Vertisol Tanah Ultisol di Indonesia menempati areal yang cukup luas, yaitu sekitar 42,3 juta ha (Sri Adiningsih et a/, 1997; Rochayati et a/, 1997). Tanah ini

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT KIMIA TANAH 5.1 Koloid Tanah Koloid tanah adalah partikel atau zarah tanah

Lebih terperinci

Effect of Oxalic Acid, Na +, NH 4 +, and Fe 3+ on Availability of Soil K, Plant N, P, and K Uptake, and Maize Yield in Smectitic Soils ABSTRAK

Effect of Oxalic Acid, Na +, NH 4 +, and Fe 3+ on Availability of Soil K, Plant N, P, and K Uptake, and Maize Yield in Smectitic Soils ABSTRAK Pengaruh Asam Oksalat, Na +, NH 4 +, dan Fe 3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit Effect of Oxalic Acid, Na +, NH

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara di wilayah tropika basah yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh tanah yang miskin akan unsur hara, salah satunya adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah sawah di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 3. Status sifat kimia tanah yang diteliti

Lebih terperinci

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap tanaman dalam jumlah banyak. Pada tanaman jagung hara Kdiserap lebih banyak daripada hara N dan P. Lei

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT KIMIA TANAH 5.1 Koloid Tanah Koloid tanah adalah partikel atau zarah tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 09: Sifat Kimia (2)- Mineral Liat & Bahan Organik Tanah Mineral Liat Liat dan bahan organik di dalam tanah memiliki kisi yang bermuatan negatif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Di Sumatra Utara areal pertanaman jagung sebagian besar di tanah Inceptisol yang tersebar luas dan berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Sumatera Utara

Lebih terperinci

Pengaruh Kalium dan Varietas Jagung terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar, Serapan N, P, dan K Tanaman dan Produksi Brangkasan Jagung (Zea mays L.

Pengaruh Kalium dan Varietas Jagung terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar, Serapan N, P, dan K Tanaman dan Produksi Brangkasan Jagung (Zea mays L. Pengaruh Kalium dan Varietas Jagung terhadap Eksudat Asam Organik dari Akar, Serapan N, P, dan K Tanaman dan Produksi Brangkasan Jagung (Zea mays L.) Effect of Potassium and Maize Varieties on Organic

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

Dedi Nursyamsi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat, Banjarbaru 70712

Dedi Nursyamsi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat, Banjarbaru 70712 ISSN 1907-0799 TEKNOLOGI PENINGKATAN EFISIENSI PEMUPUKAN K PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT Technology for Increasing Efficiency of K Fertilization on Smectitic Soils Dedi Nursyamsi ddnursyamsi@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (Subagyo, dkk, 2000). Namun demikian, tanah Ultisol ini memiliki kandungan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (Subagyo, dkk, 2000). Namun demikian, tanah Ultisol ini memiliki kandungan PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah Ultisol termasuk bagian terluas dari lahan kering yang ada di Indonesia yaitu 45.794.000 ha atau sekitar 25 % dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, dkk, 2000). Namun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Vertisol

TINJAUAN PUSTAKA. Vertisol TINJAUAN PUSTAKA Vertisol Vertisol merupakan order untuk tanah liat berwarna kelam yang bersifat fisik berat. Tanah ini terbentuk pada wilayah dengan topografi agak bergelombang sampai berbukit pada ketinggian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sifat Umum Tanah Masam II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam Tanah tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo ksisol dan Ultisol. Tanah tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis contoh tanah pada lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis tanah pada lokasi percobaan, tingkat kemasaman tanah termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Tanah Andisol Andisol merupakan tanah yang mempunyai sifat tanah andik pada 60% atau lebih dari ketebalannya, sebagaimana menurut Soil Survey Staff (2010) : 1. Didalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan pangan juga akan meningkat, namun tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas tanah. Hal tersebut

Lebih terperinci

Sifat-Sifat Tanah Dominan yang Berpengaruh Terhadap K Tersedia pada Tanah-Tanah yang Didominasi Smektit

Sifat-Sifat Tanah Dominan yang Berpengaruh Terhadap K Tersedia pada Tanah-Tanah yang Didominasi Smektit Sifat-Sifat Tanah Dominan yang Berpengaruh Terhadap K Tersedia pada Tanah-Tanah yang Didominasi Smektit Dominant Soil Characteristics that Effect on Available K at Smectitic Soils D. NURSYAMSI 1, K. IDRIS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Jerapan Kalium Tabel 2 menyajikan pengaruh perlakuan berbagai dosis PHA terhadap pelepasan K pada Vertisol. Pemberian PHA menurunkan kapasitas jerapan Vertisol terhadap K sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Kimia dan Fisik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan kriteria penilaian ciri kimia tanah pada Tabel Lampiran 5. (PPT, 1983), Podsolik Jasinga merupakan tanah sangat masam dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

Increasing P Retention in the Peat Column Amended with Mineral Soil and Some Rock Phosphates

Increasing P Retention in the Peat Column Amended with Mineral Soil and Some Rock Phosphates Iurnal Taizah dan Llngkungan,Vol. 6 No. 1, Aprrl2004: 22-30 lssn 1410-7333 PENINGKATAN IKATAN P DALAM KOLOM TANAH GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL DAN BEBERAPA JENIS FOSFAT ALAM Increasing

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut 29 TINJAUAN PUSTAKA Sumber-Sumber K Tanah Sumber hara kalium di dalam tanah adalah berasal dari kerak bumi. Kadar kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kualitas tanah dalam hal kemampuannya untuk menyediakan unsur hara yang cocok dalam jumlah yang cukup serta dalam keseimbangan yang tepat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tragedi lumpur Lapindo Brantas terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 yang telah menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar Desa Renokenongo (Wikipedia,

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI SENYAWA HUMAT TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH VERTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) Oleh: RONNI TOBING A

PENGARUH APLIKASI SENYAWA HUMAT TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH VERTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) Oleh: RONNI TOBING A PENGARUH APLIKASI SENYAWA HUMAT TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH VERTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays) Oleh: RONNI TOBING A24104092 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan dengan faktor

II. TINJAUAN PUSTAKA. menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan dengan faktor II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menyediakan unsur hara, pada takaran dan kesetimbangan tertentu secara berkesinambung, untuk menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH 4. Phosphor (P) Unsur Fosfor (P) dlm tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan & mineral 2 di dlm tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pd ph

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

MATERI-9. Unsur Hara Mikro: Kation & Anion

MATERI-9. Unsur Hara Mikro: Kation & Anion MATERI-9 Unsur Hara Mikro: Kation & Anion Unsur Hara Mikro: Kation & Anion Pengelolaan tanaman secara intensif, disadari atau tidak, dapat menjadi penyebab munculnya kekurangan ataupun keracunan unsur

Lebih terperinci

DASAR ILMU TANAH. Bab 5: Sifat Kimia Tanah

DASAR ILMU TANAH. Bab 5: Sifat Kimia Tanah DASAR ILMU TANAH Bab 5: Sifat Kimia Tanah ph tanah Pertukaran Ion Kejenuhan Basa Sifat Kimia Tanah Hampir semua sifat kimia tanah terkait dengan koloid tanah Koloid Tanah Partikel mineral atau organik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Analisis Tanah Awal Karakteristik Latosol Cimulang yang digunakan dalam percobaan disajikan pada Tabel 2 dengan kriteria ditentukan menurut acuan Pusat Peneltian Tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian terak baja berpengaruh nyata terhadap peningkatan ph tanah (Tabel Lampiran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian (potensial), asalkan

TINJAUAN PUSTAKA. sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian (potensial), asalkan TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian (potensial), asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Ultisol dan Permasalahan Kesuburannya Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG Rossi Prabowo 1*,Renan Subantoro 1 1 Jurusan Agrobisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lebih terperinci

RINGKASAN Maspeke, S. P dan Nurdin

RINGKASAN Maspeke, S. P dan Nurdin RINGKASAN Maspeke, S. P dan Nurdin. 2006. Uji Kurang Satu Pupuk N, P, dan K terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.) pada Tanah Vertisol Isimu Utara. Pembangunan di sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi 4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

TINJAUAN PUSTAKA. basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena 17 TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Ultisol Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan dosis amelioran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ciherang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor internal dari tanaman itu sendiri yaitu berupa hormon

Lebih terperinci

GELISOLS. Pustaka Soil Survey Staff Soil Taxonomy, 2 nd edition. USDA, NRCS. Washington. 869 hal.

GELISOLS. Pustaka Soil Survey Staff Soil Taxonomy, 2 nd edition. USDA, NRCS. Washington. 869 hal. GELISOLS Gelisols adalah tanah-tanah pada daerah yang sangat dingin. Terdapat permafrost (lapisan bahan membeku permanen terletak diatas solum tanah) sampai kedalaman 2 meter dari permukaan tanah. Penyebaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Inceptisol

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Inceptisol TINJAUAN PUSTAKA Tanah Inceptisol Tanah Inceptisol (inceptum = mulai berkembang) berdasarkan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003) menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai horizon penciri berupa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

111. BAHAN DAN METODE

111. BAHAN DAN METODE 111. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Tanah dan Rumah Kaca Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Penelitian terdiri dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS PERTANIAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS PERTANIAN UJI VIABILITAS DAN EFEKTIVITAS BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA MEDIA KOMBINASI SENYAWA HUMIK, MOLLASE DAN ZEOLIT PADA TANAH MASAM KARYA ILMIAH TERTULIS (S K R I P S I) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT APLIKASI MAGNESIUM DALAM DOLOMIT PADA TANAH BERKADAR NATRIUM TINGGI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT APLIKASI MAGNESIUM DALAM DOLOMIT PADA TANAH BERKADAR NATRIUM TINGGI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) AKIBAT APLIKASI MAGNESIUM DALAM DOLOMIT PADA TANAH BERKADAR NATRIUM TINGGI KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya dengan menggunakan unsur hara. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain dan apabila tidak terdapat suatu hara

Lebih terperinci

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Aplikasi Kandang dan Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Application of Farmyard Manure and SP-36 Fertilizer on Phosphorus Availability

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci