Analisis Pembiayaan Pembangunan Bus Transjakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Pembiayaan Pembangunan Bus Transjakarta"

Transkripsi

1 Analisis Pembiayaan Pembangunan Bus Transjakarta A. Latar Belakang Kota Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan. Sebagai kota besar, DKI Jakarta memiliki beberapa masalah perkotaan, salah satunya diantaranya adalah masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kemacetan ini timbul karena semakin banyaknya kendaraan pribadi dan kurangnya kedisiplinan para pengendara dalam menggunakan kendaraannya. Pertambahan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai per hari atau sekitar 9 % per tahun. Sementara pertumbuhan luas jalan relatif tetap, sekitar 0,01 % per tahun (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2010). Jika tak segera ada pembenahan pola transportasi, pada tahun 2014 Jakarta diperkirakan akan mengalami kemacetan total. Untuk mengatasi semakin meningkatnya kemacetan dan semakin buruknya sistem transportasi yang ada di Kota Jakarta, maka pemerintah menggagas untuk membangun BRT (Bus Rapid Transit) atau yang dikenal dengan sebutan busway atau bus Transjakarta. Bus Transjakarta memulai operasinya pada 15 Januari Angkutan Transjakarta dioperasikan oleh pemerintah Kota Jakarta dengan tujuan untuk mereduksi pemakaian kendaraan pribadi. Seiring berjalannya pengoperasian Transjakarta, jumlah penumpang mengalami peningkatan hampir 30% dari tahun ke tahun. Rata-rata Transjakarta mengangkut penumpang/hari (Badan Pengelola Transjakarta, 2006). Peningkatan dalam jumlah penumpang tanpa diimbangi dengan peningkatan jumlah armada bus akan menyebabkan penurunan kualitas pelayanan. Menurut berita dari surat kabar elektronik Bisnis Indonesia pada Kamis, 03 Juli 2014 dalam artikel yang berjudul Dishub Akui Sulit Beli Bus Transjakarta disebutkan bahwa Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar mengaku kesulitan dalam pengadaan armada bus Transjakarta. Meningkatnya jumlah penumpang dan ketidaklayakan armada bus menuntut Dishub DKI Jakarta melakukan penambahan armada bus. Namun, disebabkan karena keterbatasan biaya dan sulitnya sistem pengadaan sehingga Dishub DKI Jakarta mengalihkan pembelian armada bus Transjakarta dari Dinas Perhubungan DKI kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) yang juga merupakan rencana dari Pemprov DKI Jakarta. Tidak adanya penambahan armada bus Transjakarta pada tahun ini juga disebabkan karena Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) belum terdaftar untuk mengikuti lelang melalui sistem E-catalogue. Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, jika pembelian armada bus Transjakarta dialihkan ke PT Transjakarta, PT Transjakarta dapat melakukan pengadaan armada bus Transjakarta dengan pembelian secara langsung maupun berinvestasi dengan pihak operator swasta. Melihat kondisi penambahan Bus Transjakarta yang membutuhkan sumber pembiayaan yang besar, sedangkan kondisi pembiayaan Bus Transjakartasaat ini yang sangat membutuhkan keterlibatan pihak swasta,

2 maka permasalahan ini perlu untuk dikaji lebih dalam. Tulisan ini mencoba mengkaji permasalahan bersasarkan isu-isu strategis yang ada dan mencari alternatif solusi yang bertujuan pada kebermanfaatan masyarakat. B. Tujuan Adapun tujuan penulisan critical review ini adalah untuk mengkritisi permasalahan pembiayaan Bus Transjakarta dalam hal penambahan armada bus dikaitkan dengan teori-teori pembiayaan yang dikemukakan oleh para ahli. C. Tinjauan pustaka Konsep Pembiayaan Pembangunan Pembiayaan pembangunan merupakan suatu proses yang mendorong peningkatan kuantitas, kualitas, dan efisiensi layanan sektor keuangan yang melibatkan interaksi banyak kegiatan dan institusi serta terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Pembiayaan pembangunan juga dapat diartikan sebagai kemampuan keuangan pemerintah untuk mewujudkan rencana-rencana pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan, baik yang dibiayai pemerintah sendiri maupun melibatkan pihak-pihak lain (Hand out Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan PWK ITS 2013). Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan Sumber pembiayaan pembangunan terdiri atas dua jenis, yaitu sumber pembiayaan konvensional dan non-konvensional. Pembiayaan konvensional merupakan sumber-sumber penerimaan yang diperoleh dari pemerintah (pembiayaan publik) yaitu dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) melalui: Pajak: suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada UU, pemungutnya dapat dipaksakan kepada subjek pajak, tidak ada balas jasa langsung yang ditujukan kepada penggunanya. Contohnya seperti pajak penghasilan, PBB, PPN, dll Retribusi: pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa tertentu dari pemerintah. Contohnya seperti retribusi parkir, retribusi air/listrik, retribusi perijinan Transfer: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah pembagian hasil sebagai sumber pembiayaan akibat. Contohnya seperti DAU, DAK, dana otonomi khusus, dll

3 Hutang: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah dengan kewajiban mengembalikan pada jangka waktu tertentu kepada pemberi hutang. Contohnya seperti hutang luar negeri, hutang antar daerah, dll Laba perusahaan: sejumlah uang yang diterima pemerintah pusat/daerah yang berasal dari laba perusahaannya. Contohnya seperti laba BUMN, BUMD. Sedangkan pembiayaan non-konvensional pada dasarnya merupakan inovasi sumber-sumber penerimaan yang tidak dibatasi oleh sumber penerimaan pajak dan bukan pajak dimana terdiri atas kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Secara teoritis, modal bagi pembiayaan pembangunan dapat diperoleh dari 3 sumber dasar yakni pemerintah/public, swasta/private, dan gabungan antar keduanya. Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Pembiayaan Pembangunan Pendekatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) sudah banyak dilakukan dalam membiayai pembangunan infrastruktur di berbagai negara. Pada hakekatnya KPS dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek. Beberapa varian definisi KPS, antara lain, adalah (Bult-Spiering and Dewulf, 2006): 1. KPS sebagai reformasi manajemen ketika fungsi pemerintahan dan birokrasi mengalami perubahan dan pencerahan dari interaksinya dengan manajemen profesional yang biasanya dimiliki oleh sektor swasta. 2. KPS adalah kerjasama yang melembaga dari sektor publik dan sektor swasta yang bekerja bersama untuk mencapai target tertentu ketika kedua belah pihak menerima risiko investasi atas dasar pembagian keuntungan dan biaya yang dipikulnya. 3. KPS adalah kerjasama antara pemerintah dan swasta yang menghasilkan produk atau jasa dengan risiko, biaya, dan keuntungan ditanggung bersama berdasarkan nilai tambah yang diciptakannya. KPS merupakan alat untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik. Tujuan bersama yang hendak dicapai dengan menggunakan skema KPS ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya, meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan adanya pembagian modal, risiko, dan kompetensi atau keahlian sumber daya manusia secara bersama-sama.

4 Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pembiayaan Transportasi Perkotaan Pembiayaan transportasi perkotaan melibatkan berbagai actor, semuanya memainkan peran yang berbeda-beda namun sama pentingnya. Aktor-aktor tersebut, antara lain: Pemerintah kota : Bertanggung jawab untuk mengumpulkan sumber dana lokal, mengkoordinasi pendanaan, menerapkan kebijakan, dan dalam berbagai Negara secara langsung mengoperasikan transportasi publik. Pemerintah nasional dan daerah provinsi : Bertanggung jawab mengumpulkan sumber dana dalam tingkat nasional/regional, dan menetapkan peraturan dalam mengalokasikan dan mendistribusi ulang sumber dana si antara tingkat nasional dan lokal. Warga Negara : Pengguna transportasi kota, pembayar pajak, membayar biaya dan ongkos, serta bertanggung jawab akan kebijakan public sebagai pemilih. Organisasi Donor Internasional : Penyedia dana (melalui Official Development Assistance- ODA/Bantuan Teknis), transfer teknologi dan pengetahuan, serta mengedepankan pemerintahan yang baik. Sektor swasta : Operator transportasi publik, pembuatan kendaraan, dan penyedia infrastruktur. Beberapa dari pelayanan ini disediakan secara tidak formal. Semua pemangku kepentingan perlu diperhitungkan dalam mengembangkan kerangka pembiayaan yang efektif untuk transportasi perkotaan. Mengingat keterbatasan sector publik dalam membiayai secara langsung (melalui pendapatan pajak secara umum), hal-hal berikut ini penting untuk dipertimbangkan : Pelibatan sektor swasta untuk membangun, mengoperasikan, dan membiayai infrastruktur transportasi perkotaan dan jasa (termasuk angkutan umum), didukung dengan kerangka regulasi yang kuat/kontrak kerja yang secara efektif mengelola kegiatan sektor swasta. Kebijakan yang mengarah pada penerimaan langsung dari pengguna transportasi khususnya pengguna kendaraan pribadi, untuk menutup biaya pembangunan infrastruktur dan layanan yang sebelumnya dibiayai oleh pendapatan umum, serta biaya eksternalitas yang dibuat para pengguna dan diderita oleh masyarakat secara umum. (Pembiayaan Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan: Modul 1f) D. Pembahasan (Critical Review) Bus Transjakarta atau busway adalah salah satu transportasi cepat massal yang merupakan solusi kemacetan untuk DKI Jakarta. Transjakarta Busway mulai dioperasikan pada tanggal 15 Januari 2004 dan merupakan program unggulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pengembangan transportasi publik berbasis bus. Transjakarta Buswaymerupakan pionir reformasi

5 angkutan umum yang memprioritaskan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan keterjangkauan bagi masyarakat. Sarana dan prasarana Transjakarta dirancang secara khusus yang berfungsi sebagai sistem transportasi yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah cukup besar. Infrastruktur, pengelolaan, pengendalian dan perencanaan sistem TransjakartaBusway disediakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sementara kegiatan operasional bus dan penerimaan pembayaran dari sistem tiket dikerjasamakan dengan pihak swasta. Dalam upaya pengelolaan bus Transjakarta, Gubernur Propinsi DKI Jakarta telah membuat suatu keputusan Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Pengelola Transjakarta-Busway Propinsi DKI Jakarta. Dalam keputusan tersebut, dibentuk Badan Pengelola yang bertanggung jawab mengelola sistem angkutan umum busway. Dalam urusan pembiayaan pelaksanaan kegiatan Badan Pengelola dibebankan pada APBD dan sumber dana lain yang sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 27 Maret 2014, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu Joko Widodo meresmikan pembentukan BUMD PT. Transjakarta. BUMD PT. Transjakarta adalah badan yang mengurusi, mengatur, dan mengelola secara khusus mengenai bus Transjakarta. Dalam melaksanakan tugasnya, BUMD PT. Transjakarta berpedoman padaperda Transportasi Daerah dan Perda Pembentukan BUMD PT. Transjakarta. Perda tersebut diresmikan pada akhir 2013 lalu. ( Pada Perda tersebut dijelaskan secara rinci mengenai tata cara pengelolaan bus Transjakarta. BUMD PT. Transjakarta pada awalnya mempunyai modal sebesar Rp 1,5 triliun, dengan modal dari Jakpro sebesar Rp 10 miliar. Target jangka pendek yang dilakukan BUMD PT. Transjakarta saat ini adalah melakukan pembenahan terhadap pelayanan bus Transjakarta. ( Dalam artikel online surat kabar Bisnis Indonesia yang ditulis pada bulan Juli 2014 lalu, menyebutkan bahwa Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengalami kesulitan dalam pengadaan armada bus Transjakarta. Selain disebabkan karena kurangnya sumber pembiayaan juga disebabkan karena rumitnya sistem pengadaan armada jika melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta.Pengadaan armada bus Transjakarta melalui Dinas Perhubungan membutuhkan waktu yang lama karena ada sistem pengawasan untuk melihat kualitas armada bus tersebut. Untuk menguji kualitas armada bus tersebut, dibutuhkan vendor assesment dan vendornya pun harus dinilai. Armada bus tersebut diimpor dan harus dilakukan inspeksi bus terlebih dahulu atau pre delivery inspection. Inspeksi juga dilakukan setelah armada bus tersebut tiba di Jakarta. Kendala-kendala tersebut akhirnya membuat Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyetujui rencana Pemerintah Propinsi untuk mengalihkan pembelian armada bus Transjakarta kepada BUMD PT. Transjakarta. Sebenarnya memang sudah seharusnya pengadaan armada bus Transjakarta dibebankan kepada BUMD PT. Transjakarta. Akan tetapi,

6 disebabkan karena BUMD PT. Transjakarta baru saja diresmikan sehingga segala proses yang berkaitan dengan pengelolaan ataupun pengadaan bus Transjakarta belum sepenuhnya diatur oleh BUMD PT. Transjakarta atau dalam artian belum sepenuhnya BUMD PT. Transjakarta lepas dengan Dishub DKI Jakarta yang sebelumnya mengatur urusan bus Transjakarta. Menurut Kepala Dishub DKI Jakarta, jika pembelian dialihkan ke BUMD PT. Transjakarta maka mereka bisa melakukan kerja sama dengan pihak swasta sebagai investor ataupun operator, contohnya Perum Damri. Saat ini Perum Damri merupakan investor dan operator bus Transjakarta di Koridor I (Blok M-Kota) dan Koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni). Sedangkan di Koridor XI (Kampung Melayu-Pulogebang), Damri bertindak sebagai operator. Untuk pembiayaannya, Transjakarta yang dulunya Badan Layanan Umum (BLU) tetapi, sekarang sudah menjadi BUMD PT. Transjakarta, maka Transjakarta tidak mendapat subsidi dari Pemerintah Propinsi seperti sebelumnya. BUMD PT. Transjakarta hanya mendapat penyertaan modal dan saham dari Pemerintah Propinsi. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Propinsi, BUMD PT. Transjakarta dan Perum Damri sebagai pihak swasta merupakan bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP).Dalam pembiayaan pembangunan, KPS adalah langkah efektif yang dapat dilakukan karena berguna untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dalam hal ini bus Transjakarta. Tujuan bersama yang hendak dicapai dengan menggunakan skema KPS ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya, meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan adanya pembagian modal, risiko, dan kompetensi atau keahlian sumber daya manusia secara bersamasama. Melalui bentuk kerja sama ini juga dilakukan bagi tugas dan bagi hasil antara BUMD PT. Transjakarta, Pemerintah Propinsi, dan Perum Damri. Selain akan lebih ringan, dengan menggunakan kerjasama Pemerintah-Swasta maka persoalan-persoalan pembiayaan pun dapat diminimalisir. E. Kesimpulan Adanya bus Transjakarta merupakan solusi konkrit dari Gubernur DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di DKI Jakarta karena terlalu banyak kendaraan pribadi. Dengan adanya bus Transjakarta tersebut diharapkan preferensi masyarakat dalam memilih moda angkutan beralih ke bus Transjakarta sebagai angkutan umum yang mengutamakan keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan keterjangkauan. Akan tetapi, tujuan utama tersebut tidak akan tercapai jika tidak adanya kerja sama antara pemerintah, swasta, dan partisipasi masyarakat. Tingkat pelayanan yang baik akan mendorong masyarakat memilih moda angkutan umum tersebut. Namun, pelayanan yang baik bukan tanpa biaya. Biaya perawatan, pengelolaan, maupun pengadaan armada bus mutlak diperlukan setiap beberapa waktu sekali.

7 Dengan adanya Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS), maka pembiayaan terhadap pengelolaan bus Transjakarta menjadi lebih ringan dan meminimalisir terjadinya persoalan. DAFTAR PUSTAKA Herbowo, Novian Studi persepsi pengguna transjakarta pada koridor ii (pulogadungharmoni). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 23 No. 1, April 2012, hlm Fitriati, Rachma Gagalkah Transjakarta?. Jurnal Manajemen Bisnis Vol. 3 No. 1 Susanto, Bambang; Mohammed Ali Berawi Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Berbasis Kerjasama Pemerintah Swasta Di Indonesia. Jurnal Transportasi Vol. 12 No. 2 Agustus 2012:

I. PENDAHULUAN. Persentasi Jumlah Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta Tahun Bus 8% Gambar 1. Pembagian Moda (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2004)

I. PENDAHULUAN. Persentasi Jumlah Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta Tahun Bus 8% Gambar 1. Pembagian Moda (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2004) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angkutan umum merupakan suatu bentuk transportasi kota yang sangat esensial dan komplementer terhadap angkutan pribadi, tetapi pada kenyataannya hal ini tidak dapat sepenuhnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH PERSEROAN TERBATAS TRANSJAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SISTEM BUS RAPID TRANSIT

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SISTEM BUS RAPID TRANSIT PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SALINAN NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SISTEM BUS RAPID TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan masyarakat untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pada umumnya, manusia merupakan makhluk sosial dimana mereka selalu

PENDAHULUAN. Pada umumnya, manusia merupakan makhluk sosial dimana mereka selalu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, manusia merupakan makhluk sosial dimana mereka selalu membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar dalam kehidupannya sehari-hari. Biasanya, mereka

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 103 TAHUN 2007 TENTANG POLA TRANSPORTASI MAKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 103 TAHUN 2007 TENTANG POLA TRANSPORTASI MAKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 103 TAHUN 2007 TENTANG POLA TRANSPORTASI MAKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. yang optimal dalam Implementasi Bus Rapid Transit Sebagai Transportasi Publik

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. yang optimal dalam Implementasi Bus Rapid Transit Sebagai Transportasi Publik 112 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa belum mencapai keberhasilan yang optimal dalam Implementasi Bus Rapid Transit Sebagai Transportasi Publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial diketahui tidak dapat hidup sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial diketahui tidak dapat hidup sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial diketahui tidak dapat hidup sendiri sehingga menuntutnya untuk melakukan interaksi. Proses interaksi dapat terjadi karena adanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan transportasi merupakan masalah dinamis yang hampir ada di kota-kota besar di Indonesia. Permasalahan ini berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan fenomena yang dialami oleh kota-kota besar di Indonesia khususnya. Urbanisasi tersebut terjadi karena belum meratanya pertumbuhan wilayah terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek (manusia atau barang) dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini mengkaji kerja sama antara PT. Jogja Tugu Trans dan Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan layanan Trans Jogja. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika atau biasa. disebut Dishubkominfo di Kota Surakarta adalah salah satu dari

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika atau biasa. disebut Dishubkominfo di Kota Surakarta adalah salah satu dari BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah berdirinya DISHUBKOMINFO Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika atau biasa disebut Dishubkominfo di Kota Surakarta adalah salah satu dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandar Lampung telah terus berkembang dari sisi jumlah penduduk, kewilayahan dan ekonomi. Perkembangan ini menuntut penyediaan sarana angkutan umum yang sesuai

Lebih terperinci

Kertas Kerja Audit Auditee : BLU Transjakarta

Kertas Kerja Audit Auditee : BLU Transjakarta L1 PEMAHAMAN ATAS ENTITAS YANG DIAUDIT Indeks A.1 AUDIT KINERJA BLU TRANSJAKARTA BUSWAY Kertas Kerja Audit Auditee : BLU Transjakarta Tahun Buku : 2010 2011 Dibuat Oleh : Afandika Akbar Di-review Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era desentralisasi fiskal seperti sekarang ini, fungsi dan peran pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara sangatlah penting. Sejalan dengan otonomi daerah

Lebih terperinci

ANALISIS ANTRIAN PADA PENGGUNA JASA ANGKUTAN UMUM TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DI SHELTER SEMANGGI JAKARTA SELATAN

ANALISIS ANTRIAN PADA PENGGUNA JASA ANGKUTAN UMUM TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DI SHELTER SEMANGGI JAKARTA SELATAN ANALISIS ANTRIAN PADA PENGGUNA JASA ANGKUTAN UMUM TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DI SHELTER SEMANGGI JAKARTA SELATAN Nama :Budi Santoso NPM : 11210474 Kelas : 3 EA 16 Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kemacetan merupakan masalah utama yang sering dihadapi oleh sejumlah perkotaan di Indonesia. Kemacetan transportasi yang terjadi di perkotaan seolah olah menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA Konferensi Nasional Teknik Sipil 11 Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017 ANALISIS TINGKAT PELAYANAN DAN TINGKAT KEPUASAN 8 KORIDOR TRANSJAKARTA Najid 1 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara,

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTEM BUY THE SERVICE PADA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: TRI WURI ANGGOROWATI L2D

KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTEM BUY THE SERVICE PADA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: TRI WURI ANGGOROWATI L2D KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTEM BUY THE SERVICE PADA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: TRI WURI ANGGOROWATI L2D 306 025 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Tingginya populasi masyarakat Indonesia berimbas pada tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Tingginya populasi masyarakat Indonesia berimbas pada tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tingginya populasi masyarakat Indonesia berimbas pada tingkat pertumbuhan kendaraan di Indonesia khususnya di Kota Jakarta. Pada jaman yang berkembang pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat kota Padang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sangat tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat kota Padang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sangat tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat kota Padang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sangat tinggi. Salah satunya adalah tranportasi untuk menjalankan mobilitas sehari-hari.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan transportasi saat ini semakin

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan transportasi saat ini semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat akan pelayanan transportasi saat ini semakin meningkat. Institusi pemerintah sebagai pelayan masyarakat perlu menemukan dan memahami cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Armandha Redo Pratama, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Armandha Redo Pratama, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang merupakan kajian ilmu geografi yang meliputi seluruh aspek darat, laut maupun udara. Alasan mengapa ruang menjadi kajian dari geografi, karena ruang merupakan

Lebih terperinci

BAB V. SIMPULAN dan SARAN. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka terdapat beberapa simpulan sebagai

BAB V. SIMPULAN dan SARAN. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka terdapat beberapa simpulan sebagai 108 BAB V SIMPULAN dan SARAN 5.1 Simpulan berikut: Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka terdapat beberapa simpulan sebagai 1. Kelayakan bisnis pembukaan koridor busway (IX: Pinang Ranti-Pluit)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU I. PENJELASAN UMUM Undang-Undang Dasar 1945 memiliki semangat pemberlakuan asas desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian suatu daerah dalam pembangunan nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan perjalanan banyak mengalami perubahan dari sisi jumlah tetapi tidak diimbangi dengan kualitas pelayanannya.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kehidupan manusia di seluruh dunia tidak terlepas dari yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kehidupan manusia di seluruh dunia tidak terlepas dari yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia di seluruh dunia tidak terlepas dari yang namanya transportasi, transportasi sudah lama ada dan cukup memiliki peranannya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan iuran wajib masyarakat kepada kas negara yang diatur sesuai undang- undang. Pemungutan pajak dapat dipaksakan oleh setiap warga negara. Hasil dari pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pelayanan masyarakat, menciptakan keadilan dan pemerataan, serta mendorong

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pelayanan masyarakat, menciptakan keadilan dan pemerataan, serta mendorong 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memberiksan wewenang kepada daerah untuk dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DKI Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia dengan memiliki luas wilayah daratan sekitar 662,33 km². Sementara dengan penduduk berjumlah 9.608.000 jiwa pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perpindahan tempat yang dilakukan manusia ke tempat lainnya dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan publik (Public Service) merupakan segala macam kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan publik (Public Service) merupakan segala macam kegiatan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pelayanan publik (Public Service) merupakan segala macam kegiatan dalam berbagai bentuk pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran investasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di berbagai bidang memerlukan tenaga yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat. kualitas sumber daya manusia yang tinggi pula..

BAB I PENDAHULUAN. di berbagai bidang memerlukan tenaga yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat. kualitas sumber daya manusia yang tinggi pula.. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan di era globalisasi dan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat di berbagai bidang memerlukan tenaga yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Jasa transportasi merupakan salah satu dari kebutuhan manusia. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Jasa transportasi merupakan salah satu dari kebutuhan manusia. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jasa transportasi merupakan salah satu dari kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya jasa transportasi, dinas perhubungan menyediakan

Lebih terperinci

JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7 JUTA PERJALANAN/HARI. 18,7 JUTA (72,95 %) MERUPAKAN PERJALANAN INTERNAL DKI JAKARTA, 6,9 JUTA (27,05 %) ME

JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7 JUTA PERJALANAN/HARI. 18,7 JUTA (72,95 %) MERUPAKAN PERJALANAN INTERNAL DKI JAKARTA, 6,9 JUTA (27,05 %) ME LRT SEBAGAI SOLUSI EFEKTIF MENGATASI KEMACETAN JABODETABEK DISHUBTRANS DKI JAKARTA SEPTEMBER 2015 DISAMPAIKAN DALAM DIALOG PUBLIK DENGAN DTKJ 16 SEPTEMBER 2015 JUMLAH PERJALANAN JABODETABEK MENCAPAI 25,7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan salah satu bagian penting di dalam kehidupan manusia dimana terjadi pergerakan untuk menjangkau berbagai keperluan dan kebutuhan hidup manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan yang diberikan yaitu dalam bentuk sarana dan prasarana baik itu yang berupa sarana

BAB I PENDAHULUAN. Peranan yang diberikan yaitu dalam bentuk sarana dan prasarana baik itu yang berupa sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan Pemerintah Daerah sangat penting dalam kegiatan percepatan pembangunan daerah. Peranan yang diberikan yaitu dalam bentuk sarana dan prasarana baik itu yang berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN PENGGUNA BUSWAY Pite Deanda NRP :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN PENGGUNA BUSWAY Pite Deanda NRP : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN PENGGUNA BUSWAY Pite Deanda NRP : 0421012 Pembimbing : Tan Lie Ing, ST., MT. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dan paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan beriringan, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta. Arus perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. berjalan beriringan, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta. Arus perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian suatu dan transportasi daerah adalah satu kesatuan yang berjalan beriringan, terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta. Arus perekonomian di daerah-daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi massal yang tertib, lancar, aman, dan nyaman merupakan pilihan yang ditetapkan dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan. Pengembangan transportasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelola pembangunan di daerah tanpa adanya kendala struktural yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang membawa kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama dengan pegawai lainnya. Kaum minoritas berjumlah sedikit dibanding kaum

BAB I PENDAHULUAN. sama dengan pegawai lainnya. Kaum minoritas berjumlah sedikit dibanding kaum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Di era modern saat ini, pekerjaan menjadi kebutuhan setiap orang. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi memaksa orang untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dalam

Lebih terperinci

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta Macet adalah keadaan yang hampir setiap saat dialami masyarakat Jakarta. Sebelumnya, macet hanya dialami, saat jam berangkat kantor atau jam pulang kantor. Namun kini,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab yang diletakkan pada Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB III. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Kondisi Provinsi DKI Jakarta Kondisi Geografis Jakarta Kondisi Demografis

BAB III. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Kondisi Provinsi DKI Jakarta Kondisi Geografis Jakarta Kondisi Demografis DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... ii INTISARI... iii ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang...1

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu pemasukan negara yang mempunyai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu pemasukan negara yang mempunyai tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan salah satu pemasukan negara yang mempunyai tujuan untuk membiayai pengeluaran atau kebutuhan negara dalam meningkatkan pembangunan nasional.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai ibu kota negara Indonesia, Jakarta sering dijadikan pilihan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai ibu kota negara Indonesia, Jakarta sering dijadikan pilihan bagi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai ibu kota negara Indonesia, Jakarta sering dijadikan pilihan bagi sebagian besar masyarakat untuk dijadikan tempat mencari nafkah. Hal tersebut dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melayani 10 koridor dengan total panjang lintasan 123,35 km yang

BAB I PENDAHULUAN. melayani 10 koridor dengan total panjang lintasan 123,35 km yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah TransJakarta merupakan salah satu alat tranportasi dijakarta dengan jumlah armada atau kendaraan busway yang beroperasi di Jakarta sebanyak 278 unit. Sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari peforma pembangunan infrastrukturnya. Maka dari itu, perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari peforma pembangunan infrastrukturnya. Maka dari itu, perbaikan BAB I - PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembangunan berkelanjutan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan transportasi, khususnya kemacetan, sudah menjadi permasalahan utama di wilayah Jabodetabek. Kemacetan umumnya terjadi ketika jam puncak, yaitu ketika pagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN

MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN MATRIKS PENJABARAN PENCAPAIAN KINERJA PROGRAM MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN No ( Kinerja RPJMD) Program Dedicated 2 Pembangunan Perhubungan dan Transportasi 14.c Program pembangunan Terminal Bus Pulogebang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak daerah merupakan sumber pendapatan yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. musibah. Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. musibah. Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu dihadapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam kehidupan ini manusia selalu dihadapkan dengan dua kejadian yaitu kejadian yang terjadi secara terencana dan kejadian yang muncul secara

Lebih terperinci

PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT

PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT PELUANG INVESTASI PEMBANGUNAN LRT DAN BRT Ilustrasi LRT Kota Medan merupakan salah satu dari 5 kota di Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 2 juta jiwa (BPS, 2015). Dengan luas 26.510 Hektar (265,10

Lebih terperinci

EVALUASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL OPERASIONAL TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DAN KORIDOR 12

EVALUASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL OPERASIONAL TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DAN KORIDOR 12 EVALUASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL OPERASIONAL TRANSJAKARTA KORIDOR 9 DAN KORIDOR 12 Rizal Satyadi 1 dan Najid 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta 11440

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak bagi pemerintah daerah berperan sebagai sumber pendapatan yang utama dan juga sebagai alat pengatur. Pajak sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang digunakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN LALU LINTAS DAN RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR Oleh: WIBYCA FUISYANUAR L2D 003 379 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bergulirnya otonomi daerah, telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimana kekuasaan yang bersifat sentralistik berubah menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan infrastruktur juga meningkat. Perkiraan pemerintah pada 5 (lima) tahun yaitu pada tahun 2010-2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber-sumber pendapatan daerah sangat dibutuhkan untuk membiayai

BAB I PENDAHULUAN. Sumber-sumber pendapatan daerah sangat dibutuhkan untuk membiayai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber-sumber pendapatan daerah sangat dibutuhkan untuk membiayai penyelanggaran pemerintah dan pembangunan di suatu daerah. Pendapatan daerah yang optimal perlu diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PENERIMAAN NEGARA. Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari LOGO

PENERIMAAN NEGARA. Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari LOGO PENERIMAAN NEGARA Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari APBN Sumber-sumber Penerimaan Negara Jenis-jenis Penerimaan Negara Penerimaan pemerintah dapat diartikan sebagai penerimaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota kota di Indonesia berkembang dengan pesat dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Kota kota di Indonesia berkembang dengan pesat dalam pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota kota di Indonesia berkembang dengan pesat dalam pengertian intensitas aktivitas sosio ekonomi juga luas wilayah perkotaannya, seiring kemajuan ekonomi pola aktivitas

Lebih terperinci

STUDI PERSEPSI PENGGUNA TRANSJAKARTA PADA KORIDOR II (PULOGADUNG-HARMONI)

STUDI PERSEPSI PENGGUNA TRANSJAKARTA PADA KORIDOR II (PULOGADUNG-HARMONI) Novian Herbowo Studi Persepsi Pengguna Pada Koridor II (Pulogadung-Harmoni) Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 23 No. 1, April 2012, hlm.37 50 STUDI PERSEPSI PENGGUNA TRANSJAKARTA PADA KORIDOR II

Lebih terperinci

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pada tahun 2014 APBD Kabupaten Berau menganut anggaran surplus / defisit. Realisasi anggaran Pemerintah Kabupaten Berau dapat terlihat dalam tabel berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

Kota Bandung telah menyiapkan beberapa fasilitas untuk menunjang

Kota Bandung telah menyiapkan beberapa fasilitas untuk menunjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemacetan merupakan masalah yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Kemacetan transportasi yang terjadi di perkotaan seolah-olah menjadi ciri

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun daerah. Salah satunya adalah pelayanan publik di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun daerah. Salah satunya adalah pelayanan publik di bidang BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Pelayanan publik merupakan suatu kewajiban yang harus disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Salah satunya adalah pelayanan publik di bidang transportasi.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci