PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR"

Transkripsi

1 PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda, adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Nisfi Yuniar NIM E

4 ABSTRAK NISFI YUNIAR. Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda. Dibimbing oleh NOOR FARIKHAH HANEDA. Deforestasi atau perubahan fungsi dari hutan menjadi non-hutan berperan dalam perubahan ekosistem dan spesies di dalamnya. Serangga sebagai salah satu fauna di dalamnya merupakan aspek yang menarik untuk dikaji khususnya semut. Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Teknik pengambilan sampel semut menggunakan pitfall trap di empat ekosistem. Empat ekosistem tersebut yaitu hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Hasil penelitian secara keseluruhan ditemukan sebanyak individu semut yang termasuk dalam 50 morfospesies, 33 genus dari 6 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichorinae. Ekosistem hutan sekunder merupakan ekosistem yang relatif stabil dengan nilai indeks keragaman H = 2.76, indeks kekayaan DMg = 4.96, dan indeks kemerataan E = Komunitas semut tergantung pada faktor lingkungan dari masing-masing ekosistem. Kata kunci: hutan karet, hutan sekunder, kebun karet, keanekaragaman semut, perkebunan kelapa sawit. ABSTRACT NISFI YUNIAR. Comparison Ants Diversity (Hymenoptera: Formicidae) in Four Different Ecosystem Type. Supervised by NOOR FARIKHAH HANEDA. Deforestation or transformation of forest function to non-forest has been playing a role in the changes of ecosystem and species in it. Insect as one of the living fauna that live in the forest is an interesting aspect to be studied, especially ants. This experiment was conducted in Bungku, Bajubang District, Batanghari Regency, Jambi. Sampling technique using pitfall traps in four ecosystem. The four ecosystem mentioned is secondary forest, oil palm plantations, rubber plantations, and jungle rubber. The results found there were individuals of 50 ant morphospecies, 33 genera of 6 subfamily i.e. Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, and Dolichorinae. Secondary forest is an ecosystem that relatively stable with the value of diversity index H '= 2.76, index of richness DMg = 4.96, and index of evenness E = The ant communities depend on environment factor of each ecosystem. Keywords: Ant diversity, jungle rubber, oil palm plantation, rubber plantation, secondary forest.

5

6 PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA NISFI YUNIAR Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

7

8 Judul Skripsi : Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda Nama : Nisfi Yuniar NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MSc Pembimbing Diketahui oleh Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai biodiversitas, dengan judul Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda. Terima kasih penulis ucapkan kepada IPB, Beasiswa Bidik Misi Angkatan 2010 dari DIKTI, Dr Ir Noor Farikhah Haneda MSc selaku pembimbing, Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA selaku dosen penguji, dan Dr Ir Elis Nina Herliyana Msi selaku ketua sidang ujian komprehensif. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak CRC990-EFForTS, Bapak Bambang Irawan selaku koordinator CRC990-EFForTS Jambi, Mbak Mega, Yuking, dan Mas Fajrul yang telah membantu kelancaran penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik, dan seluruh keluarga besar tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga besar Departemen SVK, TGC (Tree Grower Community), Keluarga Mahasiswa Klaten, GABUT Generasi Angkatan Briliant 47 (Mamah Evita, Lufi, Laras, Azizah, Jasun, Candra, Bastiyan, Ilham, Samsi), Silvikultur 47, Mbak Poppi, Mbak Ika, Eka dan seluruh sahabat (Ambarita, Arina, Nia, Reni, Nanda) atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Bogor, Juli 2014 Nisfi Yuniar

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Waktu dan Tempat Penelitian 2 Bahan dan Alat 2 Prosedur 2 Pengolahan Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Komposisi Genus Semut 6 Perbandingan Jumlah Individu Semut di Tiap Ekosistem 12 Keragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Semut 12 Pengaruh Karakteristik Ekosistem Terhadap Keberadaan Semut 13 Potensi Semut Sebagai Predator Serangga Hama 16 SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan 17 Saran 18 DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN 21 RIWAYAT HIDUP 35

11 DAFTAR TABEL 1 Klasifikasi strata vegetasi dalam ekosistem penelitian 5 2 Jumlah total individu, morfospesies, dan genus semut yang ditemukan di Desa Bungku 12 3 Biodiversitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Desa Bungku 13 4 Perbandingan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan semut 14 5 Peranan 33 genus semut yang ditemukan di Desa Bungku 16 DAFTAR GAMBAR 1 Pitfall trap 3 2 Gambar peletakan pitfall trap di setiap sub plot 3 3 Komposisi semut berdasarkan genus di Desa Bungku 7 4 Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem secondary forest 7 5 (a) Genus Pheidole (b) Genus Heteroponera 8 6 Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem oil palm plantation 9 7 Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem rubber plantation 10 8 Semut genus Camponotus 10 9 Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem jungle rubber Kondisi strata vegetasi (a) jungle rubber (b) secondary forest Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation Klasifikasi peranan semut dari koleksi yang ditemukan 17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Lokasi penelitian di Desa Bungku Provinsi Jambi 21 2 Daftar morfospesies semut di setiap ekosistem 22 3 Daftar indeks morisita di ekosistem secondary forest 25 4 Daftar indeks morisita di ekosistem oil palm plantation 27 5 Daftar indeks morisita di ekosistem rubber plantation 29 6 Daftar indeks morisita di ekosistem jungle rubber 30 7 Genus semut yang ditemukan di empat ekosistem 32

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem merupakan suatu sistem yang terdiri dari makhluk hidup dan lingkungannya, terjadi interaksi antara keduanya untuk mempertahankan kehidupan. Hutan sebagai salah satu bentuk ekosistem memiliki karakteristik habitat yang berbeda untuk spesies tertentu. Deforestasi atau perubahan fungsi dari hutan menjadi non-hutan juga berperan dalam perubahan ekosistem dan spesies di dalamnya. Serangga sebagai salah satu fauna yang ada, merupakan aspek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Serangga adalah organisme yang banyak ditemukan dan beragam jenisnya di dunia dan masih belum banyak dari keberagamannya yang terdeskripsikan secara jelas, inventarisasi dasar dimana status keberadaannya. Masih sangat sedikit pemanfaatan spesies serangga yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator biologi untuk penilaian terhadap perubahan ekosistem (Jurzenski et al. 2012). Semut merupakan jenis serangga yang memiliki populasi yang cukup stabil sepanjang musim dan tahun. Jumlahnya yang banyak dan stabil membuat semut menjadi salah satu koloni serangga yang penting di ekosistem. Oleh karena jumlahnya yang berlimpah, fungsinya yang penting, dan interaksi yang komplek dengan ekosistem yang ditempatinya, semut seringkali digunakan sebagai bioindikator dalam program penilaian lingkungan, seperti kebakaran hutan, gangguan terhadap vegetasi, penebangan hutan, pertambangan, pembuangan limbah, dan penggunaan lahan ( Wang et al. 2000). Kajian atau pengetahuan tentang keanekaragaman semut dalam suatu area dapat memberikan informasi yang berguna untuk perencanaan konservasi, karena dengan adanya inventarisasi spesies semut akan berhubungan dengan data tentang distribusinya. Selain itu dapat juga digunakan untuk melaporkan mengenai keberadaannya dalam suatu area apakah ada yang jarang, terganggu, atau adanya spesies yang amat penting secara ekologi, adanya spesies baru atau adanya spesies yang hanya dapat ditemukan di ekosistem tertentu. Jumlah dan komposisi semut pada suatu area mengindikasikan kesehatan suatu ekosistem dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena banyaknya interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso and Agosti 2000). Desa Bungku yang termasuk wilayah Provinsi Jambi terdapat empat ekosistem yang berbeda. Keempat ekosistem tersebut yaitu hutan karet (jungle rubber), kebun karet (rubber plantation), hutan sekunder (secondary forest), dan perkebunan kelapa sawit (oil palm plantation). Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang komunitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi jenis-jenis semut di empat tipe ekosistem, 2. Menghitung keanekaragaman, kekayaan, kemerataan, dan pola penyebaran jenis semut di empat tipe ekosistem,

14 2 3. Mengetahui pengaruh perbedaan karakteristik masing-masing ekosistem terhadap keanekaragaman semut yang ada, 4. Mengetahui jenis semut yang berpotensi sebagai predator serangga hama. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran mengenai keanekaragaman semut berkaitan dengan perbedaan karakteristik masing-masing ekosistem, serta memberikan informasi dasar mengenai jenis semut yang berpotensi sebagai predator serangga hama untuk pengendalian hama. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Provinsi Jambi dalam beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu pengambilan sampel semut yang dilaksanakan bulan November Pengambilan sampel semut dilakukan pada empat tipe ekosistem yaitu hutan karet (jungle rubber), kebun karet (rubber plantation), hutan sekunder (secondary forest), dan perkebunan kelapa sawit (oil palm plantation) yang terletak di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Kemudian tahap kedua yaitu identifikasi semut pada bulan Oktober 2013 Januari 2014 di Laboratorium Entomologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop stereo, cawan petri, pinset, botol film, ependov, kamera, laptop, sarung tangan, mistar, pita ukur, cangkul, bak plastik, tali rafia, kertas label, tally sheet, kalkulator, patok kayu, kamera, densiometer, termometer tanah, kertas indikator ph, alat tulis, (Global Positioning System) GPS dan buku identifikasi serangga. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa koleksi semut dari empat ekosistem yang berbeda berasal dari Desa Bungku, Provinsi Jambi yang dikoleksi di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dan alkohol 70% yang digunakan untuk mengawetkan spesimen selama identifikasi. Prosedur Penentuan Plot Pengamatan Plot pengamatan dibuat di empat ekosistem yang berbeda yaitu hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Setiap ekosistem dibuat sebanyak empat plot yang ditentukan secara purposive sampling. Plot yang telah dibuat kemudian ditandai dengan GPS agar dapat dipetakan dan

15 memperjelas posisi masing-masing plot (Lampiran 1). Masing-masing plot di tiap ekosistem dibuat 5 sub plot untuk pemasangan pitfall trap. Pengambilan Sampel Semut Pengambilan semut menggunakan metode pengambilan Pitfall Trap (PT) atau perangkap jebak secara purposive sampling. Metode Pitfall Trap menggunakan gelas plastik berdiameter ± 7 cm dan tinggi ± 10 cm yang ¼ bagiannya diisi dengan alkohol 70% dan cuka makan 1 tetes, sehingga semut yang terperangkap tenggelam dan mati. Pitfall Trap ditanam sedalam ± 10 cm (Gambar 1). Setiap ekosistem dibuat 4 plot dengan 5 sub plot pada masing-masing plot, dalam setiap sub plot dilakukan pemasangan trap sebanyak 5 trap sehingga diperoleh 100 botol koleksi semut tiap ekosistemnya (Gambar 2). Pengambilan sampel semut dilakukan setiap tiga hari sekali selama tiga minggu. 3 Gambar 1 Pitfall trap. Gambar 2 Peletakan pitfall trap di setiap sub plot.

16 4 Identifikasi Semut Semut yang ditemukan dikoleksi dan diawetkan dalam alkohol 70%. Pengamatan untuk identifikasi menggunakan mikroskop stereo. Identifikasi menggunakan beberapa kunci identifikasi semut yakni Australiant Ants Key (Shattuck 2001), A Field Key to The Ants (Hymenoptera, Formicidae) (Plowes dan Patrock 2000), buku Inventory & Collection (Hashimoto dan Rahman 2003). Identifikasi dilakukan hingga tingkatan genus. Selanjutnya dibedakan berdasarkan morfospesies. Pengukuran Parameter Lingkungan 1) Suhu Tanah Pengukuran suhu tanah dengan menggunakan termometer tanah, dengan cara memasukkan termometer tanah tersebut kurang lebih 10 cm dari permukaan tanah kemudian dibaca langsung angka yang tertera setelah mencapai nilai konstan. Pengamatan suhu tanah dilakukan tiga kali setiap 10 menit. 2) ph Tanah Pengukuran ph menggunakan ph Indikator yang dicelupkan ke dalam campuran sampel tanah dengan aquades yang telah diendapkan selama ± 3 menit menit kemudian warna yang terbentuk pada kertas lakmus dicocokkan dengan warna-warna baku ph yang terdapat pada kertas lakmus tersebut sehingga besaran ph dapat ditetapkan. 3) Pengukuran Serasah Parameter pengukuran serasah yang dilakukan yaitu ketebalan serasah pada 3 titik pengamatan. 4) Suhu Udara Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengamatan dilakukan tiga kali setiap 15 menit. 5) Kelembaban udara Pengukuran kelembaban udara diperoleh dari pengukuran suhu udara dengan termometer bola basah dan bola kering. Kemudian dikonversi menjadi kelembaban udara. Pengukuran Kerapatan Tajuk Pengukuran kerapatan tajuk menggunakan alat bernama densiometer. Densiometer memiliki 25 persegi dan masing-masing kotak memiliki skor antara 0 4 sehingga skala densitometer berkisar antara 0 (0 x 25) hingga 100 (4 x 25) kemudian dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu kelompok 0 (skor 0), kelompok 1 (skor 1-25), kelompok 2 (skor 26-50), kelompok 3 (skor 51-75), dan kelompok 4 (skor ). Satu plot pengamatan dilakukan pengukuran sebanyak 4 kali yaitu menghadap utara, timur, selatan, dan barat. Rata-rata pengukuran pada empat arah mata angin tersebut adalah nilai dari tingkat penutupan tajuk (Haneda et al. 2013). Pengukuran Strata Vegetasi dan Struktur Pohon Pengukuran strata vegetasi dilihat dari komposisi penyusun ekosistem yang terdiri atas pohon, perdu, semak, tumbuhan bawah, epifit dan liana. Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi pada penelitian Room (1975)

17 pada Tabel 1. Selanjutnya untuk parameter spesies pohon dilihat dari jumlah jenis pohon yang terdapat di dalam ekosistem. Tabel 1 Klasifikasi strata vegetasi dalam ekosistem penelitian Klasifikasi I II III IV V Keterangan Sangat rendah, hanya terdiri dari 1-2 strata vegetasi dengan strata paling rendah hanya sedikit. Rendah, terdiri atas 2 strata vegetasi Sedang, terdiri atas 3 strata vegetasi Tinggi, terdiri atas 4 strata vegetasi Sangat tinggi, strata vegetasi lengkap Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan melihat keanekaragaman semut. Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks keragaman, indeks kekayaan, indeks kemerataan, dan indeks Morisita. Indeks Keanekaragaman Spesies (H ) Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan Shannon- Wiener Index (Ludwig & Reynold 1988), yaitu: 5 Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus: Keterangan : H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Ni = Jumlah individu setiap spesies N = Jumlah individu seluruh spesies Indeks Kekayaan Jenis (DMg) Nilai kekayaan jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah Indeks kekayaan jenis Margalef : DMg = Keterangan: DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu seluruh jenis Indeks Kemerataan Spesies (E) Derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies dapat ditentukan dengan indeks kemerataan spesies (Magurran 2004), yaitu:

18 6 Keterangan : E = Indeks kemerataan H = Indeks keanekaragaman spesies S = jumlah spesies Apabila nilai E mendekati 0 maka penyebaran spesies dominan, apabila nilai E mendekati 1 maka penyebaran spesies merata. Indeks Morisita Indeks morisita menunjukkan pola distribusi dari suatu spesies (Pauley dan Hutchens 2004 diacu dalam Riyanto 2007), yaitu: Id = n Keterangan : Id = Indeks Morisita n = jumlah plot x 2 = jumlah kuadrat seluruh spesies untuk setiap plot N = jumlah individu keseluruhan Apabila Id = 1 maka penyebarannya acak, Id > 1 maka penyebarannya mengelompok, dan jika Id < 1 maka penyebarannya teratur atau seragam. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Genus Semut Jumlah Semut Pada Seluruh Ekosistem di Desa Bungku Hasil identifikasi menunjukkan secara keseluruhan ditemukan individu semut sebanyak individu semut yang termasuk dalam 50 morfospesies, 33 genus dari 6 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichorinae. Daftar morfospesies semut yang ditemukan di setiap ekosistem dapat dilihat pada Lampiran 2. Morfospesies yang paling banyak ditemukan adalah dari sub famili Myrmicinae dan Ponerinae masingmasing 15 morfospesies, diikuti Formicinae (14 morfospesies), Pseudomyrmicinae (4 morfospesies), Dolichorinae (2 morfospesies), dan Dolichodorinae (1 morfospesies). Subfamili myrmicinae merupakan subfamili dengan jumlah spesies terbesar di dunia (Holldobler dan Wilson 1990). Myrmicinae juga ditemukan dominan pada beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya yaitu penelitian Ito et al. (2001) serta Herwina dan Nakamura (2007) di Kebun Raya Bogor. Berdasarkan genus, maka Camponotus, Pheidole, Tetramorium, Tetraponera, Heteroponera, Anoplolepis dan Oligomyrmex merupakan genus semut yang mendominasi pada penelitian ini (Gambar 3). Camponotus adalah genus dengan total individu paling banyak pada penelitian ini yaitu individu. Camponotus termasuk dalam subfamili Formicinae. Selain Myrmicinae, subfamili yang penyebarannya cukup luas adalah Formicinae. Selain itu, genus Pheidole

19 memiliki penyebaran yang cukup luas juga (Gunsalam 1999). Pada penelitian ini, genus Pheidole menempati urutan kedua dengan jumlah total individu 954 individu. Menurut Andersen (2000) Pheidole umumnya dominan ditemukan pada permukaan tanah di hutan hujan wilayah tropis di seluruh dunia. 7 Jumlah individu Camponotus Acropyga Calomyrmex Anoplolepis Formica Echinopla Paratrechina Plagiolepis Polyrachis Amblyopone Diacamma Colobostruma Centromyrmex Emeryopone Gnamptogenys Heteroponera Hypoponera Odontomachus Prystomyrmex Probolomyrmex Pseudolasius Pheidole Mesostruma Oligomyrmex Rhopalothryx Solenopsis Tetramorium Trachymyrmex Monomorium Pyramica Tetraponera Dolychoderus Dorylus Genus Gambar 3 Komposisi semut berdasarkan genus di Desa Bungku. Komposisi dan Pola Sebaran Semut di Ekosistem Secondary Forest Pada ekosistem hutan sekunder ditemukan koleksi semut sejumlah individu, 36 morfospesies, 28 genus dari 5 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichodorinae. Genus dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah Pheidole sebanyak 286 individu, diikuti Heteroponera sebanyak 229 individu (Gambar 4) Jumlah individu Camponotus Acropyga Calomyrmex Anoplolepis Formica Echinopla Paratrechina Plagiolepis Polyrachis Amblyopone Diacamma Colobostruma Centromyrmex Emeryopone Gnamptogenys Heteroponera Hypoponera Odontomachus Prystomyrmex Probolomyrmex Pseudolasius Pheidole Mesostruma Oligomyrmex Rhopalothryx Solenopsis Tetramorium Trachymyrmex Monomorium Pyramica Tetraponera Dolychoderus Dorylus Genus Gambar 4 Komposisi semut berdasarkan genus di secondary forest.

20 8 Pada ekosistem ini genus yang paling jarang ditemukan terdapat diantaranya yaitu Colobostruma, Emeryopone, dan Pseudolasius yang masingmasing hanya ditemukan 2 individu saja. Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa genus yang mendominasi apabila dilihat dari jumlahnya yaitu Pheidole dan Heteroponera. Pheidole termasuk dalam subfamili Myrmicinae, salah satu ciri dari genus ini yaitu jumlah antena sebanyak 12 ruas (Gambar 5a). Genus ini merupakan genus terbesar kedua di dunia dengan 893 spesies dan hampir ditemui di seluruh dunia. Pada ekosistem hutan hujan tropis, sarang biasanya terdapat pada kayu-kayu yang sudah lapuk di lantai hutan (Shattuck 2001). Selain Pheidole, genus yang cukup mendominasi yaitu Heteroponera termasuk dalam subfamili Ponerinae (Gambar 5b). Heteroponera sering ditemui pada serasah, dan sering membuat sarang di tanah, bawah bebatuan atau di kayu yang sudah lapuk di lantai hutan (Shattuck 2001). a b Gambar 5 (a) Genus Pheidole (b) Genus Heteroponera. Selain komposisi genus, dilihat pula mengenai pola sebaran dari masingmasing genus. Pola sebaran diketahui dengan menghitung indeks morisita (Id). Indeks morisita adalah parameter kualitatif untuk menentukan pola penyebaran suatu jenis dalam komunitas. Hasil perhitungan yang diperoleh pada semua plot di ekosistem secondary forest menunjukkan bahwa pola sebaran semut yaitu seragam (uniform) karena memiliki nilai indeks morisita (Id) < 1 (Pauley dan Hutchens 2004). Nilai hasil perhitungan indeks morisita dapat dilihat pada Lampiran 3. Komposisi Semut di Ekosistem Oil Palm Plantation Pada ekosistem oil palm plantation telah ditemukan koleksi semut sejumlah individu, 31 morfospesies, 24 genus dari 6 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, Dolichodorinae, dan Dolichorinae. Genus dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah jenis Pheidole sebanyak 506 individu. Pada ekosistem ini morfospesies yang paling jarang ditemukan diantaranya yaitu Amblyopone, Dorylus, Echinopla, Gnamptogenys, Tetraponera sp3., Pseudolasius, Pyramica, dan Oligomyrmex sp3. yang masing-masing hanya ditemukan 1 individu saja. Genus paling dominan di ekosistem ini adalah genus Pheidole seperti terlihat pada Gambar 6.

21 Jumlah individu Camponotus Acropyga Calomyrmex Anoplolepis Formica Echinopla Paratrechina Plagiolepis Polyrachis Amblyopone Diacamma Colobostruma Centromyrmex Emeryopone Gnamptogenys Heteroponera Hypoponera Odontomachus Prystomyrmex Probolomyrmex Pseudolasius Pheidole Mesostruma Oligomyrmex Rhopalothryx Solenopsis Tetramorium Trachymyrmex Monomorium Pyramica Tetraponera Dolychoderus Dorylus Genus Gambar 6 Komposisi semut berdasarkan genus di oil palm plantation. Ekosistem kebun kelapa sawit (oil palm plantation) didominasi oleh 1 genus saja yaitu Pheidole. Bentuk fisik dari genus Pheidole di ekosistem ini sama dengan yang ditemukan di ekosistem hutan sekunder. Jumlah temuan genus Pheidole lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem hutan sekunder yaitu 506 individu. Banyaknya genus ini kemungkinan karena kemampuan Pheidole dalam mencari makan dan membuat sarang di lingkungan yang kurang menguntungkan (Shattuck 2001). Genus ini juga terspesialisasi sebagai scavengers, predator, dan pemakan biji (Hölldobler dan Wilson 1990) sehingga membuat kemampuan untuk hidup dalam habitat yang beragam dan dapat memperluas wilayah pencarian makan. Pola sebaran atau distribusi dari setiap genus di ekosistem kebun sawit (oil palm plantation) yaitu seragam atau uniform. Hasil perhitungan indeks morisita menunjukkan nilai < 1 (Lampiran 4). Pola sebaran seragam menunjukkan bahwa tidak ada koloni semut yang mendominasi di salah satu plot pengamatan. Semua genus tersebar secara merata di dalam ekosistem yang diamati, tidak mengelompok pada titik tertentu. Komposisi Semut di Ekosistem Rubber Plantation Pada ekosistem rubber plantation ditemukan koleksi semut sejumlah 864 individu, 29 morfospesies, 17 genus dari 6 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, Dolichodorinae, dan Dolichorinae. Genus dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah Camponotus sebanyak 166 individu. Pada ekosistem ini morfospesies yang paling jarang ditemukan diantaranya yaitu Anoplolepis sp3. Diacamma, Dorylus sp1. Hypoponera sp3. dan Tetramorium sp3. yang masing-masing hanya ditemukan 1 individu saja. Genus paling dominan di ekosistem ini adalah genus Camponotus seperti terlihat pada Gambar 7.

22 Jumlah individu Camponotus Acropyga Calomyrmex Anoplolepis Formica Echinopla Paratrechina Plagiolepis Polyrachis Amblyopone Diacamma Colobostruma Centromyrmex Emeryopone Gnamptogenys Heteroponera Hypoponera Odontomachus Prystomyrmex Probolomyrmex Pseudolasius Pheidole Mesostruma Oligomyrmex Rhopalothryx Solenopsis Tetramorium Trachymyrmex Monomorium Pyramica Tetraponera Dolychoderus Dorylus 1 Genus Gambar 7 Komposisi semut berdasarkan genus di plantation rubber. Berdasarkan data genus yang paling dominan di ekosistem rubber plantation yaitu genus Camponotus (312 individu). Genus Camponotus termasuk dalam subfamili Formicinae. Menurut Gunsalam (1999) subfamili Formicinae adalah salah satu subfamili yang memiliki penyebaran cukup luas setelah Myrmicinae. Sarang sering ditemukan pada area yang luas termasuk di tanah baik tertutup atau tidak tertutup tanah, antara bebatuan, kayu, diantara akar tanaman dan ranting pada semak-semak atau pohon. Camponotus adalah genus terbesar di dunia dengan spesies dan tersebar di seluruh dunia (Shattuck 2001). Genus ini biasanya berukuran cukup besar antara mm untuk panjang totalnya (Gambar 8). Gambar 8 Semut Camponotus. Pola sebaran dihitung setiap genus setiap plot dan menunjukkan hasil bahwa semut pada ekosistem rubber plantation memiliki pola sebaran seragam (uniform). Nilai perhitungan indeks morisita didapatkan bahwa Id < 1. Angkaangka hasil perhitungan untuk ekosistem ini dapat dilihat pada Lampiran 5.

23 11 Komposisi Semut di Ekosistem Jungle Rubber Pada ekosistem jungle rubber telah ditemukan koleksi semut sejumlah individu, 36 morfospesies, 24 genus dari 6 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, Dolichodorinae, dan Dolichorinae. Morfospesies dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah jenis Camponotus sp1. sebanyak individu. Pada ekosistem ini morfospesies yang paling jarang ditemukan diantaranya yaitu Anoplolepis sp3., Echinopla sp2., Monomorium sp2., dan Pseudolasius yang masing-masing hanya ditemukan 1 individu saja. Genus paling dominan di ekosistem ini adalah genus Camponotus seperti terlihat pada Gambar 9. Jumlah individu Camponotus Acropyga Calomyrmex Anoplolepis Formica Echinopla Paratrechina Plagiolepis Polyrachis Amblyopone Diacamma Colobostruma Centromyrmex Emeryopone Gnamptogenys Heteroponera Hypoponera Odontomachus Prystomyrmex Probolomyrmex Pseudolasius Pheidole Mesostruma Oligomyrmex Rhopalothryx Solenopsis Tetramorium Trachymyrmex Monomorium Pyramica Tetraponera Dolychoderus Dorylus Genus Gambar 9 Komposisi semut berdasarkan genus di jungle rubber. Genus paling dominan di ekosistem jungle rubber sama dengan genus dominan di ekosistem plantation rubber forest yaitu genus Camponotus. Jumlah total dari genus Camponotus yaitu individu. Banyaknya genus ini kemungkinan karena karet (Hevea brasiliensis) yang termasuk famili Moraceae menghasilkan jenis zat tertentu yang disukai oleh Camponotus. Menurut Schultz dan McGlynn (2000) terdapat jenis tumbuhan Cecropia (Moraceae) menghasilkan glikogen yang cukup banyak dari petiole daunnya. Zat tersebut sangat disenangi oleh spesies Azteca termasuk juga Camponotus. Kemungkinan karet yang termasuk dalam famili Moraceae juga menghasilkan zat tersebut sehingga mengundang kehadiran semut Camponotus. Hasil perhitungan indeks morisita di ekosistem jungle rubber menunjukkan bahwa di semua plot memiliki pola sebaran seragam (uniform) dengan nilai Id < 1. Terdapat satu sub plot yang memiliki pola sebaran mengelompok (clumped) untuk genus Camponotus dengan nilai Id > 1 yaitu Kemungkinan pemasangan pitfall trap mendekati sarang atau koloni dari semut. Perhitungan indeks morisita untuk seluruh plot disajikan pada Lampiran 6.

24 12 Perbandingan Jumlah Individu Semut di Setiap Ekosistem Setiap ekosistem yang diamati tentu saja diperoleh jumlah total individu yang tidak sama. Berdasarkan jumlah individu, kelimpahan semut terbanyak di ekosistem jungle rubber, diikuti secondary forest, oil palm plantation, dan rubber plantation. Jumlah total individu ekosistem jungle rubber forest menempati posisi pertama dengan jumlah sebanyak individu (44.70%), sedangkan untuk jumlah morfospesies antara secondary forest dan jungle rubber sama yaitu 36 morfospesies. Secara lebih jelas untuk perbedaan penemuan koleksi semut di setiap ekosistem tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2 Jumlah total individu, morfospesies, dan genus semut yang ditemukan di empat ekosistem yang berbeda di Desa Bungku, Provinsi Jambi Kategori BF BO BR BJ Total Jumlah total individu (21.20%) (18.36%) 864 (15.74%) (44.70%) (100%) Jumlah morfospesies Genus Sub famili BF: secondary forest, BO: oil palm plantation, BR: rubber plantation, BJ: jungle rubber. Ada perbedaan jumlah individu, spesies, dan genus semut dari pengambilan sampel semut pada empat ekosistem yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi keberadaan semut. Faktor tersebut yaitu adanya gangguan. Gangguan yang dimaksud adalah gangguan dari aktifitas manusia. Pernyataan ini sesuai dengan Chung dan Maryati (1996) yang menyatakan bahwa habitat yang terganggu karena kehadiran manusia akan memiliki diversitas semut yang lebih rendah jika dibandingkan dengan habitat yang tidak mengalami gangguan. Kelimpahan semut di ekosistem rubber plantation paling rendah, karena frekuensi pengambilan getah karet oleh pemilik kebun lebih sering dilakukan sehingga aktifitas manusia yang dapat menggangu keberadaan semut menjadi lebih tinggi. Ekosistem oil palm plantation memiliki kelimpahan semut lebih tinggi dibandingkan rubber plantation. Aktifitas manusia di ekosistem oil palm plantation lebih sedikit karena kegiatan perawatan tanaman hanya dilakukan setiap 4 6 bulan sekali, pemangkasan dan pemanenan buah setiap 2 minggu sekali. Selang waktu yang relatif panjang dapat memberi kesempatan kepada komunitas semut yang terganggu untuk memulihkan diri. Aktifitas manusia di ekosistem jungle rubber dan secondary forest tidak terlalu sering sehingga kelimpahan semut masih relatif tinggi. Keragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Semut Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks keragaman atau index of diversity (H ), indeks kekayaan atau richness (DMg), dan indeks kemerataan atau evenness (E). Nilai indeks keanekaragaman untuk setiap ekosistem disajikan dalam Tabel 3.

25 Tabel 3 Biodiversitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Desa Bungku Ekosistem Jumlah morfospesies (S) Indeks keragaman (H ) Indeks Kekayaan (DMg) Indeks Kemerataan (E) BF BO BR BJ BF: secondary forest, BO: oil palm plantation, BR: plantation rubber, BJ: jungle rubber. Pengamatan parameter tersebut sesuai dengan pernyataan Dharmawan (2005) yang menyatakan bahwa keanekaragam spesies merupakan karakter komunitas yang penting dibicarakan secara mendalam baik secara konsep maupun aplikasinya di lapangan. Keanekaragaman merupakan kombinasi dari jumlah spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem atau kekayaan spesies dan jumlah cacah individu pada masing-masing spesies atau kemerataan. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Karmana (2010) yang menyatakan bahwa indeks keanekaragaman spesies tergantung dari kekayaan dan kemerataan spesies. Berdasarkan data pengamatan terlihat bahwa jumlah morfospesies (S) di ekosistem secondary forest dan jungle rubber forest paling banyak (36 morfospesies) dibandingkan dengan kedua ekosistem lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah morfospesies ada kemungkinan semakin baik pula keanekaragamannya. Parameter jumlah morfospesies saja tidak menjamin kemungkinan tersebut, tetapi apabila dilihat dari indeks keanekaragamannya menunjukkan bahwa di ekosistem secondary forest relatif lebih stabil dibandingkan ketiga ekosistem lainnya (H = 2.76, DMg = 4.96, E = 0.70). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Odum (1998) yang menyatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Hasil analisis data untuk indeks kemerataan menunjukkan bahwa ketiga ekosistem tersebut memiliki nilai E berkisar antara Artinya setiap jenis pada ekosistem tersebut memiliki tingkat penyebaran jenis yang hampir merata. 13 Pengaruh Karakteristik Ekosistem Terhadap Keberadaan Semut Spesies semut memiliki tingkat toleransi yang sempit dan respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Ukuran semut yang kecil dan relatif bergantung pada kondisi temperatur, membuat mereka sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan iklim mikro dalam suatu habitat (Kaspari dan Mejer 2000). Menurut Andersen (2000) keberadaan semut sangat terkait dengan kondisi habitat dan beberapa faktor pembatas utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah, habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber makanan yang terbatas serta daerah jelajah yang kurang mendukung. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap beberapa faktor fisik atau lingkungan yang kemungkinan berpengaruh terhadap keberadaan semut (Tabel 4).

26 14 Tabel 4 Perbandingan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi diversitas semut pada empat tipe ekosistem di Desa Bungku Faktor BF BR BO BJ Strata vegetasi III II I III Spesies pohon Ketebalan serasah (cm) Suhu tanah ( C) Suhu udara ( C) Kerapatan tajuk (%) ph tanah Kelembaban udara BF: secondary forest, BR: rubber plantation, BO: oil palm plantation, BJ: jungle rubber, I: sangat rendah; II: rendah; III: sedang; IV: tinggi; V: sangat tinggi (Room PM 1975). Berdasarkan pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya, maka diambil pengamatan terhadap strata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah, suhu tanah, kerapatan tajuk, ph tanah, kelembaban udara. Strata vegatasi meliputi komposisi penyusun suatu ekosistem misalnya pohon, perdu dan semak, serta tumbuhan bawah. Spesies pohon yaitu jenis pohon yang terdapat di setiap ekosistem, apakah hanya tersusun dari satu jenis pohon atau lebih. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap ketersediaan makanan bagi semut. Ekosistem jungle rubber (BJ) memiliki jumlah total individu semut paling banyak yaitu individu, tetapi untuk keanekaragamannya masih lebih stabil ekosistem secondary forest (BF). Kondisi strata vegatasi antara BJ dan BF samasama berada dalam tingkat sedang (III) dominasi pohon karet, perdu dan semak, serta tumbuhan bawah yang cukup padat (Gambar 10). Perbedaan yang menyebabkan kondisi tersebut adalah faktor spesies pohon penyusun ekosistem. Pada ekosistem secondary forest, spesies pohon penyusun ekosistem tidak hanya pohon karet (Hevea brasiliensis) tetapi terdapat juga jenis bambu, bulian dan rambutan hutan (Nephelium mutabile). Sisi lain yang perlu diperhatikan bahwa keanekaragaman dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan abiotik terhadap komunitas. Faktor suhu dan kelembaban udara mikro dalam ekosistem turut mempengaruhi variasi kehidupan semut, karena titik optimum suhu dan kelembaban untuk masinga b Gambar 10 Kondisi strata vegetasi (a) Jungle rubber (b) Secondary forest.

27 masing semut pasti berbeda. Data menunjukkan bahwa suhu tanah pada empat ekosistem berkisar antara 26.1 C 27.8 C sehingga semut masih banyak dijumpai, sedangkan suhu udara berkisar antara 28.0 C 30.0 C. Menurut (Riyanto 2007) kisaran suhu 25 C 32 C merupakan suhu optimal dan toleran bagi aktifitas semut di daerah tropis. Suhu tanah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah. Suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Secara tidak langsung terdapat hubungan kepadatan organisme tanah dan suhu, bila dekomposisi material tanah lebih cepat maka vegetasi lebih subur dan mengundang serangga untuk datang. Suhu tanah yang tidak terlalu dingin disukai oleh arthropoda terutama fauna di permukaan tanah (epifauna), sehingga individu semut masih banyak dijumpai pada masing-masing ekosistem. Perbedaan suhu dan kelembaban udara dari masing-masing ekosistem dapat terjadi karena penyinaran matahari yang berbeda. Penyinaran matahari dipengaruhi oleh kerapatan tajuk, berdasarkan data pengamatan semakin tinggi kerapatan tajuk maka kelembaban udara semakin tinggi pula. Kerapatan tajuk di jungle rubber dan secondary forest hampir sama yaitu 85% dan 84%. Selanjutnya diikuti oleh plantation rubber dan oil palm plantation masing-masing 78% dan 64%. Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation disajikan dalam Gambar Gambar 11 Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation Faktor berikutnya yaitu ph tanah, ketiga ekosistem sama-sama memiliki ph sedikit asam yaitu 4 untuk secondary forest, rubber plantation, oil palm plantation dan 5 (netral) untuk jungle rubber. Kondisi ph tanah ini masih toleran untuk semut, artinya semut masih dapat hidup dengan baik pada ph netral dan sedikit asam. Fauna tanah ada yang senang hidup pada ph asam dan ada pula yang senang pada ph basa tergantung pada jenisnya (Rahmawati 2004). Selanjutnya diukur juga ketebalan serasah di setiap ekosistem. Ketebalan serasah berpengaruh terhadap jumlah serasah yang dapat terdekomposisi, semakin tebal serasah maka akan semakin banyak bahan organik yang dihasilkan (Syaufina et. al. 2007). Mengingat semut sebagai salah satu jenis arthropoda yang keberadaannya sebagai pendekomposisi bahan organik maka adanya serasah dapat dijadikan sebagai sumber makanan dan mengundang kedatangan semut. Selain itu, serasah yang lebih tebal dapat menciptakan iklim mikro yang sesuai dengan keberadaan semut.

28 16 Potensi Semut Sebagai Predator Serangga Hama Hasil identifikasi semut yang dilakukan, telah ditemukan 33 genus semut yang disajikan di Lampiran 7. Peranan dari 33 genus semut yang ditemukan disajikan dalam Tabel 5. Pembagian peranan semut mengacu pada Brown (2000). Tabel 5 Peranan 33 genus semut yang ditemukan di Desa Bungku, Provinsi Jambi No Genus Peranan Semut 1 Acropyga Tend coccids 2 Amblyopone Predator 3 Anoplolepis Pencari makanan (foragers) 4 Calomyrmex Sebagian besar pencari makan (foragers) 5 Camponotus Sebagian besar pencari makan (foragers) 6 Centromyrmex Predator rayap/anai-anai 7 Colobostruma Predator 8 Rhopalothryx Predator 9 Diacamma Predator 10 Dolichoderus Sebagian besar pencari makan (foragers), predator 11 Dorylus Semut tentara 12 Echinopla Predator 13 Emeryopone Predator 14 Formica Sebagian besar pencari makan (foragers) 15 Gnamtogenys Predator, pemakan bangkai (scavengers) 16 Heteroponera Predator 17 Hypoponera Sebagian besar pencari makan (foragers) 18 Mesostruma Predator Collembola 19 Monomorium Sebagian besar pencari makan (foragers), semut pemanen/pemetik (harvester) 20 Odontomachus Predator 21 Oligomyrmex Pemakan rayap, semut pencuri 22 Paratrechina Sebagian besar pencari makan (foragers) 23 Pheidole Pemanen biji, omnivora, predator, pemakan bangkai 24 Plagiolepis Sebagian besar pencari makan (foragers) 25 Polyrachis Sebagian besar pencari makan (foragers) 26 Pristomyrmex Sebagian besar pencari makan (foragers), predator 27 Probolomyrmex Predator 28 Pyramica - 29 Pseudolasius Pencari makan (foragers) 30 Solenopsis Sebagian besar pencari makan (foragers), semut pencuri, predator 31 Tetramorium Sebagian besar pencari makan (foragers) 32 Tetraponera - 33 Trachymyrmex Pengumpul jamur, penjaga pintu masuk Supaya memudahkan pengelompokan peranan semut, maka berdasarkan peranan yang telah disebutkan dalam Tabel 5 akan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu pencari makan (foragers), predator, dan peran lainnya. Peran lainnya yang dimaksudkan di sini seperti pengumpul jamur, penjaga pintu sarang, harvester, dan scavengers. Hasil pengelompokan atau klasifikasi peranan semut tersaji dalam Gambar 12.

29 17 Jumlah genus Foragers Predator Lainnya Peranan semut Gambar 12 Klasifikasi peranan semut dari koleksi yang ditemukan. Berdasarkan temuan genus pada empat ekosistem pengamatan, terdapat 16 genus yang berpotensi sebagai predator. Beberapa diantaranya yaitu dari genus Amblyopone, Centromyrmex, Calomyrmex, Solenopsis, Dolichoderus, Pheidole dan lain-lain. Penggunaan semut sebagai predator telah dilakukan penelitian sebelumnya. Penggunaan semut dari jenis Solenopsis sp. sebagai agen pengontrol kepadatan larva Diatraea saccharalis yang merupakan larva pengebor tanaman tebu (Rossi dan Flower 2002). Hal ini didukung pula oleh Depparaba dan Memesah (2005) yang menyatakan bahwa populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan musuh alami semut hitam (Dolichoderus sp.). Selain sebagai predator, beberapa genus semut lainnya yang berkaitan dengan aktifitas makannya memiliki peranan sebagai semut pencari makan (foragers), pemanen/pemetik biji (harvesters), pengumpul jamur, omnivora dan pemakan bangkai (scavengers). Menurut Borror et al. (1996) kebiasaan makan semut memang agak beragam. Banyak semut yang bersifat karnivor, makan daging hewan-hewan lain (hidup atau mati), beberapa makan tanaman, jamur, cairan tumbuhan, dan madu. Genus Camponotus sebagai genus dominan dalam penelitian ini, menurut Agosti et al. (2000) genus ini mempunyai peran fungsional sebagai general foragers, dan genus Pheidole mempunyai peran sebagai penghancur biji-bijian dan beberapa jenis sebagai omnivora. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Teridentifikasi individu yang tergolong dalam 50 morfospesies, 33 genus dari 6 subfamili pada keempat ekosistem. Pada ekosistem secondary forest didominasi oleh semut dari genus Pheidole dan Heteroponera, ekosistem oil palm plantation didominasi oleh genus Pheidole, sedangkan untuk ekosistem plantation rubber dan jungle rubber didominasi oleh genus Camponotus.

30 18 2. Ekosistem dengan keanekaragaman paling tinggi yaitu secondary forest dengan nilai H = 2.76, DMg = 4.96, E = Pola sebaran secara umum adalah seragam (uniform) dengan nilai Id < Keberadaan semut sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari masing-masing ekosistem seperti strata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah, suhu udara, suhu tanah, ph, dan kelembaban udara. 4. Semut yang berpotensi sebagai predator untuk serangga hama terdapat 16 genus yaitu Amblyopone, Centromyrmex, Colobostruma, Diacamma, Dolichoderus, Echinopla, Emeryopone, Gnamptogenys, Heteroponera, Mesostruma, Odontomachus, Oligomyrmex, Pristomyrmex, Probolomyrmex, Rhopalothryx dan Solenopsis. Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai semut yang berfungsi sebagai predator serangga hama khususnya pada tanaman kehutanan sehingga dapat digunakan sebagai musuh alami untuk pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan. 2. Pengamatan secara kontinu atau secara periodik perlu dilakukan apabila melakukan penelitian sehingga adanya perubahan kualitas biotik maupun abiotik lebih terlihat pengaruhnya terhadap keberadaan makro fauna tanah khususnya semut dalam rangka pengelolaan ekosistem. DAFTAR PUSTAKA Abidin Z Studi dampak kebakaran hutan terhadap biota tanah dengan metode Forest Health Monitoring (FHM) di Taman Buru Masigit Gunung Kareumbi Sumedang. [skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. Alonso LE dan Agosti D Biodivesity studies, monitoring, and ants: an overview. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 1. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm 1-8. Andersen AN Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to environmental stress and disturbance. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 3. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajahmada Univ Pr. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect. Brown JW Diversity of ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and

31 Monitoring Biodiversity. Volume 5. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm Chung, Maryati A comparative study of the ant fauna in primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. Di dalam: Edward DS, Booth WE, Choy SC, editor. Tropical Rainforest Research-Current Issues. Dodrecht (NL): Kluwer Academic. Dharmawan Ekologi Hewan. Malang (ID): UM Press. Depparaba F, Memesah D Populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dan alternatif pengendaliannya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1): Hashimoto Y, Rahman H Inventory Collection: Total Protocol for Understanding of Biodiversity. Sabah (MY): Research and Education Component BBEC Programme. Haneda NF, Supriyanto, Kasno, Putra EI Pemantauan Kesehatan Hutan. Bogor (ID): Laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan IPB. Herwina H, Nakamura K Ant species diversity studied using pitfall traps in a small yard in Bogor Botanical Garden, West Java, Indonesia. Treubia 35: Hölldober B, Wilson EO The Ants. Cambridge (US): Harvard Univ Pr. Ito F, Yamane S, Egucchi K, Noerdjito WA, Kahono S, Tsuji K, Ohkawa K, Yamauchi K, Nishida T Ants species diversity in the Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with description of two new species of the genus Leptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 3: Jurzenski J, Albrecht M, Hoback WW Distribution and diversity of ant genera from selected ecoregions across Nebraska. The Prairie Naturalist 44(1): Karmana IW Analisis keanekaragaman epifauna dengan metode koleksi pitfall trap di kawasan hutan Cangar Malang. GaneÇ Swara 4(1): 1-5. Kaspari M, Majer JD Using ants to monitor environmental change. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 7. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology. Amerika Serikat (US): Wiley-Interscience. Magguran AE Measuring Biological Diversity. Oxford (UK): Blackwell. Odum EP Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke-3. Samingan T, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajahmada Univ Pr. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Plowes NJR, Patrock R A Field Key to The Ants (Hymenoptera, Formicidae) found at Brackenridge Field Laboratories, Austin, Travis County, Texas. Austin (US): Brackenridge Field Laboratories University of Texas. Rahmawati Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit. e-usu Repository [Internet]. [diunduh 2014 Jun 21]; Tersedia pada: 19

32 20 Riyanto Kepadatan, pola distribusi dan peranan semut pada tanaman di sekitar lingkungan tempat tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): Room PM Diversity and organization of the ground foraging ant faunas of forest, grassland, and tree crops in Papua New Guinea. Aust J. Zool. (23): Rossi MN, Fowler HG Manifulation of fire ant density, Solenopsis spp, for short-term reduction of Diatraea saccharalis larva densities in Brazil. Scientia Agricola 59(2): Schultz TR, McGlynn TP The interaction of ants with other organism. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 4. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm Shattuck SS Australian Ant: Their Biology and Identification. Australia (AU): CSIRO. Syaufina L, Haneda NF, Buliyansih A Keanekaragaman arthropoda tanah di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Media Konservasi 7(2): Wang C, Strazanac J, Butler L Abundance, diversity, and activity of ants (Hymenoptera: Formicidae) in oak dominated mixed appalachian forest treated with microbial pesticides. Environmental Ecology 29(3):

33 21 Lampiran 1 Lokasi penelitian di Desa Bungku Provinsi Jambi Peta Lokasi Penelitian LEGENDA : u BJ : jungle rubber BF : secondary forest BR : rubber plantation BO : oil palm plantation

34 22 Lampiran 2 Daftar morfospesies semut yang ditemukan di setiap ekosistem di Desa Bungku No. Nama subfamili Nama genus Morfospesies Secondary forest (BF) (individu) Oil palm plantation (BO) (individu) Rubber plantation (BR) (individu) Jungle rubber (BJ) (individu) 1. Formicinae Camponotus Camponotus sp Camponotus sp Camponotus sp Acropyga Acropyga sp Calomyrmex Calomyrmex sp Anoplolepis Anoplolepis sp Anoplolepis sp Anoplolepis sp Formica Formica sp Echinopla Echinopla sp Echinopla sp Paratrechina Paratrechina sp Plagiolepis Plagiolepis sp Polyrachis Polyrachis sp Ponerinae Amblyopone Amblyopone sp Diacamma Diacamma sp Centromyrmex Centromyrmex sp Emeryopone Emeryopone sp Gnamptogenys Gnamptogenys sp Heteroponera Heteroponera sp Heteroponera sp

35 23 Lampiran 2 Daftar morfospesies semut yang ditemukan di setiap ekosistem di Desa Bungku (lanjutan) No. Nama subfamili Nama genus Morfospesies Secondary forest (BF) (individu) Oil palm plantation (BO) (individu) Rubber plantation (BR) (individu) Jungle rubber (BJ) (individu) Hypoponera Hypoponera sp Hypoponera sp Hypoponera sp Odontomachus Odontomachus sp1. Probolomyrmex Probolomyrmex sp1. Pseudolasius Pseudolasius sp Myrmicinae Pheidole Pheidole sp Mesostruma Mesostruma sp Oligomyrmex Oligomyrmex sp Oligomyrmex sp Oligomyrmex sp Rhopalothryx Rhopalothryx sp Solenopsis Solenopsis sp Tetramorium Tetramorium sp Tetramorium sp Tetramorium sp Tetramorium sp Trachymyrmex Trachymyrmex sp1. Monomorium Monomorium sp Monomorium sp

36 24 Lampiran 2 Daftar morfospesies semut yang ditemukan di setiap ekosistem di Desa Bungku (lanjutan) No. Nama subfamili Nama genus Morfospesies Secondary forest (BF) (individu) Oil palm plantation (BO) (individu) Rubber plantation (BR) (individu) Jungle rubber (BJ) (individu) Pyramica Pyramica sp Prystomyrmex Prystomyrmex sp Colobostruma Colobostruma sp Pseudomyrmicinae Tetraponera Tetraponera sp Tetraponera sp Tetraponera sp Tetraponera sp Dolichodorinae Dolichoderus Dolichoderus sp Dolichorinae Dorylus Dorylus sp

37 25 Lampiran 3 Daftar indeks morisita di ekosistem secondary forest BF1 BF2 BF3 BF4 No. Nama Genus Id Pola distribusi Id Pola distribusi Id Pola distribusi Id Pola distribusi 1. Camponotus Seragam Seragam Seragam Seragam 2. Pheidole Seragam Seragam Seragam Seragam 3. Solenopsis Seragam Seragam Seragam Seragam 4. Odontomachus Seragam Seragam Seragam Seragam 5. Heteroponera Seragam Seragam Seragam Seragam 6. Gnamptogenys Seragam Seragam Seragam 7. Prystomyrmex Seragam x x Acropyga Seragam x x x x Seragam 9. Tetraponera Seragam Seragam Seragam Seragam 10. Echinopla Seragam - - x x x x 11. Anoplolepis Seragam Seragam Seragam x x 12. Calomyrmex Seragam Seragam Seragam 13. Colobostruma Seragam x x x x x x 14. Tetramorium Seragam Seragam x x Seragam 15. Rhopalothryx Seragam x x Seragam x Seragam 16. Diacamma Seragam Seragam Seragam Seragam 17. Formica - - x x Seragam x x 18. Polyrachis Seragam Seragam Seragam 19. Oligomyrmex Seragam Seragam Seragam 20. Paratrechina x x - - x x Seragam 21. Trachymyrmex x x Seragam Seragam x x

38 26 BF1 BF2 BF3 BF4 No. Nama Genus Id Pola distribusi Id Pola distribusi Id Pola distribusi Id Pola distribusi 22. Hypoponera x x Seragam Seragam Seragam 23. Centromyrmex x x Seragam x x x x 24. Amblyopone x x Seragam x x Mesostruma x x Seragam Seragam Dolichoderus x x Seragam Seragam Pseudolasius x x x x Emeryopone x x x x x x Seragam Keterangan: Id = Nilai Indeks Morisita, - = Hanya ditemukan 1 individu sehingga Id tidak bisa dihitung, x = Tidak ditemukan individu pada plot.

39 27 Lampiran 4 Daftar indeks morisita di ekosistem oil palm plantation No. Nama Genus BO1 BO2 BO3 BO4 Id Pola Id Pola Id Pola Id Pola distribusi distribusi distribusi distribusi 1. Camponotus Seragam Seragam Seragam Seragam 2. Pheidole Seragam Seragam Seragam Seragam 3. Solenopsis x x Seragam Seragam Odontomachus Seragam - Seragam Seragam Heteroponera Seragam Seragam x x 6. Gnamptogenys x x x x x x Acropyga - - x x x x Seragam 8. Tetraponera Seragam Seragam Seragam Seragam 9. Echinopla x x x x - - x x 10. Anoplolepis Seragam Seragam Seragam Seragam 11. Calomyrmex - - x x x x x x 12. Tetramorium Seragam Seragam - - x x 13. Diacamma Seragam x x x x x x 14. Formica x x x x Seragam Polyrachis Seragam x x Seragam Oligomyrmex Seragam Seragam Seragam Seragam 17. Paratrechina Seragam Seragam Seragam 18. Trachymyrmex Seragam Seragam Seragam

40 28 No. Nama Genus BO1 BO2 BO3 BO4 Id Pola Id Pola Id Pola Id Pola distribusi distribusi distribusi distribusi 19. Hypoponera x x x x - - x x 20. Amblyopone x x x x x x Seragam 21. Dolichoderus - - x x - - x x 22. Pseudolasius x x x x - - x x 23 Plagiolepis x x x x x x Seragam 24 Dorylus x x - - x x x x Keterangan: Id = Nilai Indeks Morisita, - = Hanya ditemukan 1 individu sehingga Id tidak bisa dihitung, x = Tidak ditemukan individu pada plot.

41 29 Lampiran 5 Daftar indeks morisita di ekosistem rubber plantation BR1 BR2 BR3 BR4 No. Nama Genus Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran 1. Camponotus Seragam Seragam Seragam Seragam 2. Pheidole Seragam Seragam Seragam Seragam 3. Heteroponera Seragam Seragam Seragam Seragam 4. Hypoponera Seragam Seragam Seragam Seragam 5. Dorylus - - x x x x x x 6. Monomorium Seragam Seragam Seragam Seragam 7. Odontomachus Seragam Seragam Seragam 8. Diacamma - - x x x x x x 9. Tetraponera Seragam Seragam Seragam Seragam 10. Echinopla Seragam Seragam Seragam x x 11. Anoplolepis Seragam Seragam Seragam Seragam 12. Tetramorium Seragam Seragam Seragam x x 13. Polyrachis Seragam 14. Oligomyrmex Seragam Seragam Seragam Seragam 15. Formica x x x x Seragam x x 16. Paratrechina x x x x Seragam x x 17. Amblyopone x x x x x x Seragam

42 30 Lampiran 6 Daftar indeks morisita di ekosistem jungle rubber BJ1 BJ2 BJ3 BJ4 No Nama Genus Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran 1. Camponotus Seragam Mengelompok Seragam Seragam 2. Pheidole Seragam Seragam Seragam Solenopsis Seragam Seragam Seragam x x 4. Odontomachus x x x x Seragam 5. Heteroponera Seragam x x Seragam Seragam 6. Gnamptogenys Seragam x x x x - Seragam 7. Prystomyrmex x x x x x x x x 8. Acropyga x x Seragam Seragam - Seragam 9. Tetraponera Seragam Seragam Seragam Seragam 10. Echinopla Seragam Seragam Seragam 11. Anoplolepis Seragam Seragam Seragam Seragam 12. Calomyrmex x Seragam Seragam x x Seragam 13. Tetramorium Seragam Seragam Seragam Seragam 14. Rhopalothryx Seragam Seragam - - x x 15. Diacamma x x x x Seragam 16. Formica x Seragam Seragam x x x x 17. Polyrachis x x x x x x Seragam 18. Oligomyrmex Seragam Seragam Seragam Seragam 19. Paratrechina x x Seragam 20. Trachymyrmex x x Seragam Seragam Seragam 21. Hypoponera Seragam Seragam Seragam

43 31 BJ1 BJ2 BJ3 BJ4 No Nama Genus Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran Id Pola sebaran 22. Pseudolasius - - x x x x x x 23 Monomorium Seragam - - x x x x 24 Dorylus - - x x x x - - Keterangan: Id = Nilai Indeks Morisita, - = Hanya ditemukan 1 individu sehingga Id tidak bisa dihitung, x = Tidak ditemukan individu pada plot.

44 32 Lampiran 7 Genus semut yang ditemukan di empat ekosistem Genus Camponotus Genus Acropyga Genus Calomyrmex Genus Anoplolepis Genus Formica Genus Echinopla Genus Paratrechina Genus Plagiolepis Genus Polyrachis Genus Amblyopone Genus Diacamma Genus Colobostruma

45 33 Lampiran 7 Genus semut yang ditemukan di empat ekosistem (lanjutan) Genus Centromyrmex Genus Emeryopone Genus Gnamptogenys Genus Heteroponera Genus Hypoponera Genus Odontomachus Genus Prystomyrmex Genus Probolomyrmex Genus Pseudolasius Genus Pheidole Genus Mesostruma Genus Oligomyrmex

46 34 Lampiran 7 Genus semut yang ditemukan di empat ekosistem (lanjutan) Genus Rhopalothryx Genus Solenopsis Genus Tetramorium Genus Trachymyrmex Genus Monomorium Genus Pyramica Genus Tetraponera Genus Dolichoderus Genus Dorylus

KOMUNITAS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA DI DESA BUNGKU PROVINSI JAMBI

KOMUNITAS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA DI DESA BUNGKU PROVINSI JAMBI Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 3, Desember 2015, Hal 203-209 ISSN: 2086-8227 KOMUNITAS SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE EKOSISTEM YANG BERBEDA DI DESA BUNGKU PROVINSI JAMBI Ant Community

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN Syukri ( ), Armein Lusi Zeswita (1), Ismed Wahidi (2) Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Analisis Keanekaragaman..I Wayan Karmana 1

Analisis Keanekaragaman..I Wayan Karmana 1 ANALISIS KEANEKARAGAMAN EPIFAUNA DENGAN METODE KOLEKSI PITFALL TRAP DI KAWASAN HUTAN CANGAR MALANG I WAYAN KARMANA FPMIPA IKIP Mataram ABSTRAK Analisis terhadap keanekaragaman ( diversity) merupakan suatu

Lebih terperinci

Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri

Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA:FORMICIDAE) PERMUKAAN TANAH DI KEBUN GAMBIR DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL

KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL YANCE MARIANI 09010117 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda tanah

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN PENYANGGA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KILIRAN JAO KECAMATAN KAMANG BARU KABUPATEN SIJUNJUNG

KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN PENYANGGA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KILIRAN JAO KECAMATAN KAMANG BARU KABUPATEN SIJUNJUNG KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA KAWASAN PENYANGGA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KILIRAN JAO KECAMATAN KAMANG BARU KABUPATEN SIJUNJUNG Nila Suryayulni¹, Henny Herwina², Armein Lusi Zeswita¹

Lebih terperinci

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bolton, B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p.

DAFTAR PUSTAKA. Bolton, B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p. DAFTAR PUSTAKA Bolton, B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p. Crossley, J.R., D.A, Mueller, & K.E Linsenmair. 1992. Biodiversity of Microarthropods

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel langsung dari lokasi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman

Lebih terperinci

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON.

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Fransina S. Latumahina 1 dan Agus Ismanto 2 1 Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan UGM & Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

Pendahuluan. Irfanul Arifin Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia BIOMA 10 (2), 2014 ISSN :

Pendahuluan. Irfanul Arifin Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia BIOMA 10 (2), 2014 ISSN : BIOMA 10 (2), 2014 Biologi UNJ Press ISSN : 0126-3552 KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA BERBAGAI SUBZONA HUTAN PEGUNUNGAN DI SEPANJANG JALUR PENDAKIAN CIBODAS, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-

Lebih terperinci

EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT 12-115 EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT Meiry F. Noor 1, Rika Raffiudin 2 1 UIN Syahid Jakarta, 2 IPB Bogor E-mail : meifnoor@gmail.com

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 2014 di perkebunan kopi rakyat yang menanam spesies Coffea robusta di Pekon Ngarip,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Irfanul Arifin Corresponding author;

Irfanul Arifin Corresponding author; Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Berbagai Subzona Hutan Pegunungan di Sepanjang Jalur Pendakian Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) Diversity of Ants (Hymenoptera:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan Univeritas Gadjah Mada - Yogyakarta ABSTRACT The aims of this study

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan metode deskriptif. Bertujuan untuk membuat deskripsi, atau gambaran mengenai kelimpahan dan keragaman anggrek di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik.

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap serangga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Fauna Tanah dan Peranannya terhadap Laju Dekomposisi Serasah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Keanekaragaman Fauna Tanah dan Peranannya terhadap Laju Dekomposisi Serasah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) JURNAL Vol. 03 Desember SILVIKULTUR 2012 TROPIKA Vol. 03 No. 03 Desember 2012, Hal. 161 167 Keanekaraaman Fauna Tanah dan Peranannya 161 ISSN: 2086-8227 Keanekaragaman Fauna Tanah dan Peranannya terhadap

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI

IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI 15-133 IDENTIFIKASI MAKROFAUNA TANAH DI ZONA PASIF TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR KLOTOK KOTA KEDIRI Identification of Land Macrofauna Place in the Final Disposal Zone Passive Klotok City Kediri Budhi Utami,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

Ragam Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Lahan Ga mbut Alami dan Perkebunan Sawit di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya

Ragam Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Lahan Ga mbut Alami dan Perkebunan Sawit di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 68 74 Ragam Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Lahan Ga mbut Alami dan Perkebunan Sawit di Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya Dita Meilina 1, Tri Rima Setyawati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 50 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi 1.1.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, akuades, dan larutan gliserin. 1.1.2. Alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal Oleh

Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal Oleh Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal Oleh Riyanto* Abstract This research aim to know density, pattern of distribution and role of ant at the crop

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

Oleh: Oki Kobayasi Susanto 1, Henny Herwina 2, Armein Lusi Z. 1

Oleh: Oki Kobayasi Susanto 1, Henny Herwina 2, Armein Lusi Z. 1 Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) yang di Koleksi dengan Metode All Protocol pada Perkebunan Sawit (ElaeisguineensisJacq.) dan Hutan di Kanagarian Kunangan Parik Rantang Kabupaten Sijunjung Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia (Rahmawaty,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Semut Semut memiliki tempat hidup dimana-mana disegala daratan dunia, kecuali diperairan. Semut sangat mempunyai banyak jenisnya, semut ini termasuk serangga sosial, prilaku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci