PRODUKTIVITAS TELUR DAN DAYA TETAS INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) ASAL ACEH DAN TAKALAR

Transkripsi

1 701 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 PRODUKTIVITAS TELUR DAN DAYA TETAS INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) ASAL ACEH DAN TAKALAR ABSTRAK Agus Nawang, Ike Trismawanti, dan Andi Parenrengi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros Sulawesi Selatan Kegiatan perbenihan udang windu memegang peranan sangat besar menentukan peningkatan produksi perikanan khususnya perikanan budidaya, namun yang menjadi persoalan yang dihadapi untuk menghasilkan benih udang windu salah satunya adalah kualitas dan jumlah induk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas jumlah telur dan daya tetas induk asal Aceh dan Takalar. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Pembenihan Udang Windu (IPUW) Barru, BPPBAP periode siklus bulan Mei dan bulan September Induk yang digunakan adalah induk asal Aceh sebanyak 50 pasang dan Induk Asal Takalar sebanyak 75 pasang. Hasil penelitian didapatkan jumlah telur induk Aceh rata-rata butir setiap peneluran. Jumlah Induk yang bertelur sebanyak 70% dari 50 pasang induk, produksi naupli setiap peneluran rata-rata mencapai ekor atau dengan tingkat hatcing rate sebesar 51,58%. Sedangkan Induk asal Takalar dihasilkan jumlah telur setiap peneluran rata-rata butir. Induk yang bertelur sebanyak 57,33% dari 75 pasang induk dengan produksi naupli setiap peneluran rata-rata mencapai ekor naupli atau dengan tingkat hatcing rate sebesar 35,05%. Hasil tersebut menunjukkan produktivitas jumlah telur induk udang windu asal Aceh dan Takalar hampir sama hanya selisih 4% induk udang windu asal Takalar lebih tinggi dari pada induk udang windu asal Aceh. Tetapi daya tetas telur induk udang windu asal Aceh 47,16% lebih tinggi dari pada induk udang windu asal Takalar. KATA KUNCI: udang windu, telur, naupli, Aceh, Takalar PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir produktivitas budidaya udang windu menunjukkan kecenderungan penurunan. Penurunan ini diakibatkan antara lain oleh serangan penyakit terutama virus WSSV (White Spot Syndrome Virus), buruknya manajemen budidaya (Haryanti et al.,1993; Haryanti et al., 2003), penurunan kualitas air (Chanratchakool, 2003; Leophairatana, 2003; Deviana, 2004) dan rendahnya keragaman genetik baik pada induk maupun pada benih udang windu yang dihasilkan (Moria et al., 2003). Penurunan mutu lingkungan dan ketersediaan benih yang tidak bermutu sering memicu munculnya penyakit udang yang menyebabkan kegagalan dalam usaha budidaya di tambak. Kegiatan perbenihan memegang peranan sangat besar menentukan peningkatan produksi perikanan khususnya perikanan budidaya, namun yang menjadi persoalan banyaknya kendalan yang dihadapi untuk menghasilkan benih udang windu salah satunya adalah sumber induk. Dari segi pengadaan benih udang berkualitas dituntut adanya ketersediaan induk udang yang syarat dengan kualitas prima. Domestikasi kualitas induk udang selain ditentukan oleh perbaikan genetiknya yang menghasilkan turunan bebas penyakit dan tahan penyakit. Penggunaan benih yang bermutu akan menghasilkan pertumbuhan yang baik dan pada akhirnya akan menghasikan tingkat kelangsungan hidup dan produksi yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk memproduksi larva udang windu yang berkualitas terus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan benih di tambak. Penyediaan induk merupakan bagian dari kesinambungan produksi perbenihan udang secara keseluruhan. Beberapa hal yang umum dihadapi oleh pelaku pembenihan udang selamai ini kaitannya dengan penyediaan induk matang gonad, rendahnya jumlah telur yang dihasilkan oleh induk udang windu betina dan rendahnya tingkat hatcing rate atau derajat penetasan telur. Menurut Soetomo (2000) bahwa kabupaten Aceh besar dan beberapa derah lainnya di wilayah Aceh memiliki habitat induk udang windu terkenal berkualitas terbaik di dunia. Namun yang menjadi persoalan yang dihadapi khususnya kegiatan pembenihan yang berlokasi di wilayah Indonesia bagian tengah sampai Page 717 of 1000 Page 1 of 7

2 Produktivitas telur dan daya tetas induk udang windu... (Agus Nawang) 702 Indonesia bagian Timur, jika menggunakan sumber induk dari Aceh menjadi suatu pertimbangan kerana proses pengiriman induk membutuhkan waktu yang sangat lama yaitu lebih dari dua puluh jam khusus untuk daerah Sulawesi Selatan. Tidak jarang induk yang sampai kelokasi unit pembenihan ada yang mati dan tingkat stressnya tinggi sekali ditandai dengan warnahnya yang cendrung selalu merah. Selain itu harganya juga yang cukup mahal yaitu mencapai Rp ,-/pasang, jika dibandingkan dengan induk lokal hanya berkisar Rp ,-/pasang. Sehingga sebagian besar unit pembenihan udang windu yang ada di Sulawesi Selatan menggunakan induk lokal sebagai alternatif menjadi sumber induk diantaranya adalah yang berasal dari Takalar. Di Indonesia ada beberapa daerah yang berpotensi sebagai daerah sumber induk udang penaeid yaitu Samudra Hindia, laut Arafura, Selat Malaka, laut Cina Selatan, Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, (Sumiono & Priono, 1999). Menurut Dahuri (2004) secara umum habitat udang windu terdapat di beberapa daerah seperti pesisir timur Pulau Sumatera (Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Lampung), pesisir utara Pulau Jawa (pantura), pesisir Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi serta Papua. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui produktifitas fekunditas dan derajat penetasan telur induk asal Aceh dan asal Takalar. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Instalasi Pembenihan Udang Windu (IPUW) Barru, Balai Penelitian Budidaya Air Payau (PPBAP) berlokasi di Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru Sulawesi-Selatan pada periode siklus bulan Mei dan bulan September Induk yang digunakan adalah induk asal Aceh sebanyak 50 pasang dan Induk Asal Takalar sebanyak 75 pasang rasio 1:1. Setelah melalui proses karantina di IPUW selanjutnya induk betina diablasi dengan memotong tangakai mata menggunakan gunting disertai pengeluaran kelenjar X yang terdapat pada tangkai mata. Selanjutnya induk dipelihara masing-masing menggunakan dua bak bulat berukuran diameter 5 meter tinggi 1 meter dengan pergantian air secara sirkulasi % perhari. Pakan yang diberikan berupa cacing laut, cumi-cumi dan kerang darah dengan dosis sebanyak 10-15% dari total biomass perhari dan frekuensi pemberian 3 kali perhari. Dua hari setelah setelah ablasi mulai dilakukan sampling kematangan gonad setiap sore hari. Induk yang sudah mencapai tingkat kematangan gonad (TKG) IV dipindahkan ke bak pemijahan berbentuk kerucut volume 250 liter diberi aerasi, selanjutnya setelah memijah, induk dikembalikan ke bak pemeliharaan dan telur dipanen kemudian dipindahkan kebak penetasan berbentuk kerucut volume 250 liter dilanjutkan sampling perhitungan jumlah telur. telur yang menetas dilanjutkan dengan sampling penghitungan jumlah naupli untuk mengetahui tingkat daya tetasnya atau hatching ratenya. Penentuan jumlah telur dan jumlah naupli dilakukan selama 20 hari pengamatan dengan metode sampling yang dilakukan menggunakan wadah volume 60 ml, dengan cara mengambil 60 ml media air yang berisi sampel telur atau naupli sebanyak 3 kali pengambilan setiap bak penyimpanan telur dan naupli. Telur dan naupli dihitung untuk mengetahui jumlah rata-rata tiap 1 ml air untuk menentukan jumlah total telur dan naupli yang ada didalam bak. Fekunditas dihitung berdasarkan jumlah rata-rata telur yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan. Derajat penetasan telur dihitung dengan membandingkan jumlah naupli yang menetas dengan jumlah telur yang ditetaskan. HASIL DAN BAHASAN Induk udang windu umumnya memijah pada malam hari. Berdasarkan hasil pengamatan induk mulai memijah berkisar antara pukul 22:00 sampai dengan pukul 04:00. Sesuai yang dikemukanan oleh hasil penelitian Primavera et al. (1981), Liao & Chen (1983) pada udang windu. Induk udang windu yang akan memijah tidak memerlukan udang jantan, karena induk udang tersebut telah melakukan perkawinan dan pada telikumnya terdapat spermatofor. Saat memijah maka spermatofor tersebut pecah sehinggah terjadi fertilisasi diluar tubuh udang. Jumlah induk Aceh yang dipelihara sebanyak 50 pasang berdasarkan pengamatan induk yang bertelur sebanyak 35 ekor atau sebesar 70% dari total induk dengan total frekuensi peneluran sebanyak 95 kali atau rata-rata 2-3 kali tiap induk. Sementara induk asal Takalar dari jumlah induk yang digunakan sebanyak 75 pasang yang bertelur sebanyak 43 ekor atau sebesar 57,33% dengan total Page 718 of 1000 Page 2 of 7

3 703 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 frekuensi peneluran sebanyak 113 kali atau rata-rata hampir sama dengan induk Aceh yaitu 2-3 kali tiap induk. Adapun hasil jumlah telur yang dihasilkan induk Aceh dan Takalar selama 20 hari yaitu seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Data jumlah telur dan naupli induk asal Aceh Hari ke Jumlah induk Jumlah telur Naupli Hatcing rate ,93% ,90% ,56% ,53% ,20% ,65% ,56% ,26% ,88% ,77% ,52% ,29% ,66% ,46% ,03% ,83% ,09% ,30% ,44% ,63% ,58% Berdasarkan tabel diatas fekunditas rata-rata induk asal Aceh yang didapatkan sebanyak butir telur tiap peneluran, dan induk asal Takalar didapatkan butir telur. Sedangkan menurut Beard dan Wickins (1979) fekunditas telur induk udang windu yang sudah diablasi rata-rata berjumlah butir, menurut Santiago (1977), butir, Primaverea et al. (1981) sebanyak butir dan Anonymous (1983) sebanyak butir. Fekunditas yang dihasilkan induk udang windu yang tidak diablasi menurut Platon (1978) rata-rata menghasilkan telur sebanyak butir setiap pemijahan. Hasil penelitian menunjukkan fekunditas dari induk udang windu asal Aceh dan Takalar tidak jauh berbeda seperti pada gambar 1. Hasil tersebut diduga karena bobot induk betina yang digunakan relatif sama yaitu antara gram perekor. Menurut Villegas et al. (1986) mengemukakan bahwa jumlah telur yang dilepaskan dipengaruhi oleh ukuran induk. Berbagai faktor yang menentukan jumlah fekunditas induk udang windu selain ukuran induk juga umur dan kematangan gonadnya. Derajat penetasan telur (Hatcing rate) adalah perbandingan jumlah total naupli dengan jumlah total telur yang dihasilkan oleh seekor induk udang betina dalam satu kali pemijahan dan dinyatakan dalam persen (Primavera, 1980; Emmerson, 1983; Anonymous, 1983; Liao & Chen, 1983). Telur udang yang dibuahi menetas berkisar antara 12 sampai dengan 20 jam setelah pemijahan, sesuai yang dikemukakan oleh Villaluz et al. (1971) dan Soegiarto et al. (1979) serta Emmerson (1983) bahwa telur udang windu yang dibuahi akan menetas menjadi stadia nauplius pada umumnya masa inkubasi udang penaid relatif sama yaitu 12 sampai 16 jam setelah telur tersebut dikeluarkan oleh induk udang. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah rata-rata produksi naupli setiap satu kali Page 719 of 1000 Page 3 of 7

4 Produktivitas telur dan daya tetas induk udang windu... (Agus Nawang) 704 Tabel 2. Data jumlah telur dan naupli induk asal Takalar Hari ke Jumlah Induk Jumlah telur Naupli Hatcing rate ,99% ,08% ,25% ,67% ,52% ,37% ,74% ,67% ,87% ,23% ,68% ,00% ,50% ,00% ,26% ,35% ,02% ,03% ,05% ,80% ,05% Fekunditas Induk Aceh Induk Takalar Gambar 1. Rata-rata Fekunditas induk Aceh dan Takalar pemijahan induk Aceh dan Takalar masing-masing ekor dan ekor seperti pada Gambar 2. Berdasarkan hasil yang diperoleh derajat penetasan telur induk Aceh dan Takalar yang dihasilkan yaitu masing-masing 51,58% dan 35,05% seperti pada Gambar 3. Hasil ini termasuk rendah karena sesuai yang dikemukakan oleh Platon (1978) bahwa derajat penetasan telur dari hasil pemijahan induk yang baik berkisar antara 60% sampai 98%, sedangkan Page 720 of 1000 Page 4 of 7

5 705 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 Jumlah Naupli Induk Aceh Induk Takalar Gambar 2. Derajat penetasan induk Aceh dan Takalar Derajat Penetasan 60,00% 50,00% 51,58% 40,00% 35,05% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Gambar.3. Induk Aceh Induk Takalar Derajat penetasan induk Aceh dan Takalar Liao & Huang (1972) menyatakan bahwa derajat penetasan telur untuk setiap jenis udang penaeid berkisar antara 40% sampai 80%. Sementara hasil yang diperoleh Balitbangda dan Lembaga penelitian UNHAS (2005) berkisar antara 72,48 sampai 87,86%. Hal ini diduga karena tangkapan induk yang berasal dari alam kualitasnya sudah menurunan yang dipepengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sumber makanannya. KESIMPULAN Produktivitas jumlah telur induk udang windu asal Aceh dan Takalar hampir sama yaitu butir dan butir, hanya selisih 4 % induk udang windu asal Takalar lebih tinggi dari pada induk udang windu asal Aceh. Tetapi daya tetas telur induk udang windu asal Aceh 47,16% lebih tinggi dari pada induk udang windu asal Takalar. DAFTAR ACUAN Anonymous, Constitution of Broodstock, Maturation, Spawning and hatching system for penaeid Shrim in the Centre Oceanoligique du Pacifique. CRC Press, Inc. Florida. Hal Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Prop. Sulsel. dan Lembaga Penelitian UNHAS Identifikasi sumber-sumber induk udang windu (Penaeus monodon) dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 58 hal. Page 721 of 1000 Page 5 of 7

6 Produktivitas telur dan daya tetas induk udang windu... (Agus Nawang) 706 Beard, T. W. and J.F. Wickins Breeding of Penaeus monodon Fabricus in laboratory Recirculation Systems. Aquacultur 20: Chanratchakool, P., Problems in shrimp culture during the Wet Season. Journal Aquaculture Asia 8 (2): Dahuri, R Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan. dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia Deviana I, Laporan Tahunan 2003-Divisi Technical Service. Surabaya: PT. CP Prima, Jawa Timur. Emmerson, W.D Manuration and Growth of Ablated and unablated Penaeus monodon Fabricus. Elsevier Sciense Publisher B.V. Amsterdam. Aquaculture 32: Haryanti, S.B. Moria, K. Mahardika, dan I.G.Ng. Permana Standart Mutu Benih Udang Penaeus monodon Dan Lithopenaeus vannamei melalui Analisis Morfologi dan Rasio RNA/DNA. [Laporan Teknis]. Gondol Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Lau. Haryanti, S. Ismi, A. Khalik, dan M. Takano Penggunaan beberapa jenis saringan air dan sinar ultraviolet ntuk pemeliharaan udang windu. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 9 (2): Leophairatana A., The Controversies of Thailand s Large Shrimp Exports, February 28: shrinfo/documents/thailandshrimp.pdf. Liao, I. C. And Y.P. Chen Manuration and Spawing of Penaeid Shrimps in Tungkag Marine Laboratory. CRC Press, Inc. Florida. Hal Moria, S.B., Haryanti, K. Mahardika, dan I.G.Ng. Permana Selective Breeding pada Udang Lithopenaeus vannamei dan Penaeus monodon [Laporan Teknis]. Gondol Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Platon, R. R Design, Operation and Economics off Small Scale Hatcing for the Larva Rearing of Sugo, Penaeus monodon Fabricus. Seafdec. Aquaculture. Extens. Mann. I. : Primavera, J.H Broodstock of Sugfo (Penaeus monodon Fabricus) and other Penaeid Prawns. Aquaculture Department Tigbauan, Iloilo. Phillipines. 23 Hal. Primavera, J.H. and R.A. Posadas Studies on the eggs Quality of Penaeus monodon Fab. Based on Morphology and Hatching Rate. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. Aquacultur 22: Santiago Jr, A.C Successful Spawning of Culture Penaeus monodon Fab. After Eyestalk Ablation. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. Aquacultur 11: Soetomo, M.J.A., Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Kansiua. Yogyakarta. Sumiono & Priono, Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Villaluz, D.K. and A. Villalusz Reproduction, larvae Development and Cultivation of Sugvo, Penaeus monodon Fabricus. Paper Read at Marine Science Seminar, Xavier Univ, Cagayan de Oro City, Philliphines, June 17 20, Hal. Villegas, C.T., A. Trino & R. Travina Spawner size and the biological components of the reproduction process in the P. monodon Fab. In:. J.L. Maclean, L.B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds.). The First Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Soc. Manila, Phillipine, p: Page 722 of 1000 Page 6 of 7

7 707 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 DISKUSI Nama Penanya: Ibnu Rusdi \ Pertanyaan: Induk Aceh yang digunakan apakah asli atau turunan? Alam atau budidaya? Tanggapan: Induk yang digunakan berasal dari alam. Nama Penanya: Ngurah Permana Pertanyaan: Data-data pembanding harus ada. Judulnya tidak mengenai sasaran. Tanggapan: Nanti coba ditampilkan dengan mencari referensi yang ada. Page 723 of 1000 Page 7 of 7