PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN PADA FORMASI KAIS BEDASARKAN DATA LOG DAN DATA SEISMIK, DI LAPANGAN JULIA, CEKUNGAN BINTUNI SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN PADA FORMASI KAIS BEDASARKAN DATA LOG DAN DATA SEISMIK, DI LAPANGAN JULIA, CEKUNGAN BINTUNI SKRIPSI"

Transkripsi

1 PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN PADA FORMASI KAIS BEDASARKAN DATA LOG DAN DATA SEISMIK, DI LAPANGAN JULIA, CEKUNGAN BINTUNI SKRIPSI Oleh : JULIA TOISUTA JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011 i

2 PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN PADA FORMASI KAIS BEDASARKAN DATA LOG DAN DATA SEISMIK, DI LAPANGAN JULIA, CEKUNGAN BINTUNI SKRIPSI Oleh : JULIA TOISUTA Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi Yogyakarta, Juli 2011 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Ir. Sugeng Widada, M.Sc NIP Ir. H, Salatun said, M.T NIP Mengetahui, Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP ii

3 Laporan ini Penulis Persembahkan Kepada : Allah Bapa di Sorga yang Tidak Pernah sedetikpun Terlelap Meninggalkan UmatNya Yesus Kristus yang telah menjadi Juruslamat dan Kebenaran bagi manusia. Kedua Orang Tua Tercinta atas doa serta kesabaran kalian untuk mendidik anakanak mu Darent exaudia Toisuta, semoga jadi anak yang dengar-dengaran dan patuh terhadap opa, oma, oyang, mama uli, mama ian dan mama eng. Tidak lupa buat Che, semoga sukses selalu baik dalam mencapai cita, cinta dan harapan dimasa depan. iii

4 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat, berkat, serta rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Skripsi yang berjudul Pemetaan Bawah Permukaan dan Perhitungan Cadangan pada Formasi Kais Berdasarkan Data Log dan Data Seismik, di Lapangan JULIA, Cekungan Bintuni sesuai dengan yang diharapkan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah memberikan dukungan berupa dukungan materi, moril, kasih sayang dan do a kepada penulis sehingga penulis dapat meneruskan tingkat pendidikan yang lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan Skripsi di kampus dan juga kepada Pembimbing lapangan yang banyak memberikan ilmu, penjelasan, petunjuk, dan arahan dalam menyelesaikan skripsi di perusahaan. Tidak lupa pula ucapan terimakasih kepeda teman-teman Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Pangea 05 atas bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat membangun untuk penyusunan-penyusunan laporan berikutnya. Penulis berharap laporan Skripsi ini dapat memenuhi harapan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dapat berguna untuk pendidikan bagi semua pihak yang menggunakannya. Amin. Yogyakarta, 22 Agustus 2011 Penulis, Julia Toisuta iv

5 UCAPAN TERIMAKASIH Ungkapan rasa terimakasih selalu penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini yaitu kepada: 1. BP.Indonesia, jakarta yang telah mensponsori skripsi penulis. 2. Bapak Ir. Sugeng Widada, M.Sc sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan, nasehat, bimbingan, ilmu pengetahuan, masukan, hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Bapak, Ir. Salatun Said. MT selaku pembimbing II yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan khususnya dalam pembuatan peta, serta bimbingannya dalam menempuh skripsi. 4. Keluarga tercinta (bapak, mama, oma, ian, eng, ayent dan) terimakasih atas doa dan dukungan baik materi maupun moril. Tuhan Yesus berkati selalu. 5. Che, sebagai belahan jiwa penulis atas kasih sayang, doa, kesabaran, teman curahan hati, support dan penyemangat kehidupan selama hampir 7 tahun ini sehingga semangat selalu mengalir dalam diri penulis untuk menjalani kehidupan ini. 6. Pegawai BP.Indonesia, Bapak Kuntadi sebagai pembimbing penulis selama pengambilan data di perusahaan, kak Dumex Pasaribu, kak Erik, kak Samuk Konyorah, kak Yanto Kambu dll yang telah membantu penulis selama di perusahan, khususnya tim doa sore yang selalu mendoakan dan teman sherring selama di perusahaan. v

6 7. Dosen-dosen Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis yang tiada ternilai harganya. 8. Pegawai Tata Usaha Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dalam urusan administrasi di Jurusan 9. Teman-teman di PANGLIMA khususnya Maria Auresti Kefi yang selalu membantu dan yang selalu saling menyemangati. Tidak lupa teman-teman yang lain Ria, Nita, Puput, Tria, Rima, Laidy, Septi, Lumi, Agnes, Widi, Leni, Dian Ps, Dian insani, Sari (Caie), Yudis, Endah, Ratri, Eli, Triyarso, Jendri, Firman (sotoy), Ade, Nana, Agus, Dany (Curup), Simon, Bima, Rahmat, Ryan, Hasan, Anas, Danny Satrio (ryon), Iqbal (Ogebego), Heru Pratama, Supannoto, Kharisma.W.E (Moyo), Wiwid (Gondes), Mangun, Yanuar A.R (Komting05), Dito, Memet, Yusron, Tomi, Wonkdan, Bimo, Aca, Angga (Bontet), Isa, Jono, Handi, Patrik, Irfan (kepleh), Bagus (kodok), Ayat, Adit, Dany DK, Kusnan, Agung, Rudi, Gilang, Boker, Bokep dan teman-teman TG05 lainnya, dan maaf bagi yang belum disebutkan karena halaman dan tenaga terbatas. 10. Teman-teman di Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta, PANGEAAAAA vi

7 ABSTRAK Lapangan JULIA secara umum termasuk ke dalam Cekungan Bintuni yang merupakan wilayah operasi PT. BP. Tangguh Indonesia dengan daerah lokasi pemboran Liquified Natural Gas (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni Papua Barat. Reservoar yang menjadi target penelitian adalah lapisan batugamping yang termasuk dalam Formasi Kais yang berumur Miosen Tengah. Berdasarkan analisis data log pada kelima sumur, lingkungan pengendapan daerah telitian berupa lingkungan laut dangkal. Formasi Kais ini merupakan zona prospek untuk tempat terakumulasinya hidrokarbon, karena memiliki permeabilitas yang baik dan porositas yang baik (porositas primer yaitu berupa interkristalin maupun porositas sekunder yaitu vuggy porosity). Kandungan hidrokarbon pada lapisan batugamping Formasi Kais berupa gas. Berdasarkan analisis data seismik, struktur yang berkembang pada daerah telitian adalah antiklin serta terdapat struktur sesar normal yang berarah utara-selatan. Hasil analisis kuantitatif diperoleh harga rata-rata porositas (Ф) sebesar (0,072) 7.2%, sedangkan harga rata-rata Saturasi Water (Sw) sebesar (0,64) 64%. Zona Gas Water Contact (GWC) terletak pada interval meter. Hasil dari penelitian ini diperoleh peta bawah permukaan (subsurface mapping) antara lain: Peta Top Struktur, Peta Bottom Struktur, Peta Gas Isopach Outline, Peta Isopach Limestone, Peta Overlay Gas Isopach Outline dan Isopach Limestone dan Peta Net Pay. Berdasarkan hasil perhitungan volume hidrokarbon pada Formasi Kais, dengan metode volumetric diperoleh hasil volume bulk pada Blok I sebesar acre-ft dan volume gas mula-mula (IGIP) adalah 2,2 MMSCF. Sedangakan volume bulk pada Blok II sebesar acre-ft dan gas mula-mula (IGIP) sebesar 0,29 MMSCF. vii

8 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iii iv v vii viii xiii xiv xvi BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rumusan Masalah Maksud dan Tujuan Penelitian Batasan Masalah Waktu dan Lokasi Penelitian Hasil yang diharapkan Manfaat Penelitian BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian Tahap Penelitian. 6 viii

9 2.2.1 Tahap Pendahuluan Tahap Pengumpulan Data Data primer a. Data log b. Data seismik c. Data cutting Data sekunder dan data pendukung lainnya a. Data petrofisik. 7 b. Data pendukung Tahap Analisa dan Interpretasi Data Tahap Evaluasi Tahap Penyusunan Laporan 10 BAB 3. TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL Geologi Regional Papua Barat Kerangka Tektonik Regional Stratigrafi Regional Stratigrafi Daerah Telitian Sistem Petroleum Cekungan Bintuni Batuan Induk (Source Rock) Batuan reservoir (Reservoir Rock) 24 ix

10 3.4.3 Migrasi Perangkap (Trap) Batuan Penutup 25 BAB 4. DASAR TEORI Reservoar Batuan Karbonat Batuan Karbonat Fasies dan Lingkungan Pengendapan Klasifikasi Batuan Karbonat Tinjauan Umum Wireline Log Bagian-Bagian Log Macam-Macam Log Mekanik Analisis Petrofisik Korelasi Log Seismik Pemetaan Bawah Permukaan Prinsip Penggambaran Garis Kontur Pembuatan Peta Bawah Permukaan Perhitungan Cadangan Hidrokarbon.. 49 BAB 5. PENYAJIAN DATA Data Primer x

11 5.1.1 Data Log Data Seismik Data Cutting Data Petrofisik Data Sekunder Jurnal-Jurnal Perusahaan dan Laporan Hasil Produksi Data Bgi. 58 BAB 6. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Data Cutting Analisa Data Log (Wireline Log) Analisis Kualitatif Sumur K Sumur A Sumur W Sumur T Sumur JS Kandungan Fluida Korelasi Sumur Korelasi Struktur Korelasi Stratigrafi Analisis Kuantitatif Analisis dan Interpretasi Data Seismik xi

12 6.3.1 Penarikan Picking Horison Analisis Geologi Bawah Permukaan Peta Top Struktur Formasi Kais Peta Bottom Struktur Formasi Kais Peta Gas Isopach Outline Peta Isopach Limestone Peta Net Pay Perhitungan Cadangan Hidrokarbon BAB 7. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Sistem petroleum Cekungan Bintuni (modifikasi penulis). 25 Tabel 4.1 Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan komposisi (Folk,1959).. 29 Table 4.2 Klasifikasi batuan karbonat Menurut Dunham (1962) Table 4.3 Klasifikasi pemerian porositas (Koesoemadinata, 1980) Tabel 6.1 Data perhitungan petrofisik sumur W-1 dalam menentukan kandungan fluida Table 6.2 Data top Formasi Klasafet (sebagai datum pada korelasi stratigrafi).. 69 Tabel 6.3 Sonic Velocities and interval times (after sclumberger,1972) Table 6.4 Data checkshot sumur MS-1 sebagai pengikat sumur terhadap data seismik. 76 Table 6.5 Data top Formasi Kais setiap sumur.. 82 Table 6.6 Data bottom Formasi Kais setiap sumur.. 84 Table 6.7 Ketebalan batugamping pada Formasi Kais 85 Table 6.8 Perhitungan volume bulk pada Blok I Table 6.9 Perhitungan volume bulk pada Blok II xiii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Lokasi Telitian Lapangan JULIA di Teluk Bintun. 4 Gambar 2.1 Diagram Alir Metode Penelitian. 11 Gambar 3.1 Peta Geologi Regiona Kepala Burung (Dumex, dkk 2007,BP Indonesia) Gambar 3.2 Stratigrafi Regional Papua Barat (Modisfikasi dari Edward Syafron dkk 2008dan Thomas W Perkins & Andrew R.Lvsey 1993). 21 Gambar 3.3 Stratigrafi Daerah Telitian Lapangan JULIA Cekungan Bintuni (Modisfikasi penulis). 23 Gambar 4.1 Contoh Bagian-Bagian dari Log Mekanik Gambar 4.2 Terminasi reflector seismic (Allen,1999).. 46 Gambar 5.1 Basemap sumur lapangan JULIA (BP.Indonesia). 54 Gambar 5.2 Contoh log sumur W-1 54 Gambar 5.3 Basemap line seismic (BP Indonesia) 55 Gambar 5.4 Contoh seismik yang melewati sumur W Gambar 5.5 Data cutting pada sumur JS Gambar 6.1 Interpretasi log pada sumur K Gambar 6.2 Interpretasi log pada sumur A xiv

15 Gambar 6.3 Interpretasi log pada sumur W Gambar 6.4 Interpretasi log pada sumur T Gambar 6.5 Interpretasi log pada sumur JS Gambar 6.6 Korelasi stratigrafi pada lapangan JULIA.. 68 Gambar 6.7 Korelasi stratigrafi pada lapangan JULIA.. 70 Gambar 6.8 Interpretasi picking horizon pada lintasan seismik yang melewati sumur MS-1 76 Gambar 6.9 Interpretasi picking horison pada lintasan seismik yang melewati sumur K-1 dan A Gambar 6.10 Hasil interpretasi seismik secara stratigrafi maupun struktur pada lapangan JULIA 80 Gambar 6.11 Peta struktur waktu (time structure map) lapangan JULIA 81 Gambar 6.12 Peta top struktur Formasi Kais lapangan JULIA 83 Gambar 6.13 Peta Isopach Limestone Formasi Kais lapangan JULIA.. 85 xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Peta Lintasa Seismik dan Sumur..... Peta Top Struktur Formasi Kais..... Peta Bottom Struktur Formasi Kais.... Peta Gas Isopach Outline.... Peta Isopach Limestone Lampiran 6&7. Peta Overlay Gas Isopach dan Isopach Limestone. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16. Peta Net Pay... Peta Struktur Waktu Top Reservoar (Top Formasi Kais)... Korelasi Struktur.... Korelasi Stratigrafi. Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur K-1 dan A-1.. Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur W-1.. Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur MS-1 Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur T-1 Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur JS-1.. Interpretasi Seismik yang Melewati Sumur K-1,A-1,MS-1 & JS-1 Hasil perhitungan petrofisik Sumur A-1 dan W-1. xvi

17 `BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gas bumi sampai saat ini masih merupakan sumber energi utama dan sangat dibutuhkan guna menggerakkan roda pembangunan nasional, Kehadirannya telah membawa kemajuan dan keuntungan yang pesat untuk menunjang kebutuhan industri di Negara kita maupun dunia ini. Oleh karenanya, usaha untuk mengeksplorasi maupun mengeksploitasi gas bumi semakin ditingkatkan sesuai dengan kemajuan teknologi. Puji syukur kepada Tuhan, PT. BP Tangguh Indonesia dengan lokasi pemboran Liquified Natural Gas ( LNG ) Tangguh di Teluk Bintuni Papua Barat merupakan salah satu perusahaan swasta dan pemerintah yang bergerak di bidang pertambangan gas alam cair dan memiliki peran penting dalam memasok kebutuhan gas di wilayah Asia Pasifik. Telah menyediakan fasilitas bagi mahasiswa Teknik Geologi untuk menimba ilmu dan memperluas pengalaman berhubungan dengan bidang yang ditekuni serta memperluas pengalaman dalam mempelajari proses eksplorasi di sekitar daerah operasi LNG Tangguh. Kesempatan baik ini akan digunakan untuk menyelesaikan Tugas Akhir sebagai salah satu persyaratan yang diwajibkan bagi kelulusan sarjana Strata-1 (S-1) di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta. Dalam kesempatan ini mahasiswa Teknik Geologi dapat belajar untuk melakukan pemetaan bawah permukaan dan perhitungan cadangan berdasarkan data log dan data seismik didalam kegiatan eksplorasi gas alam cair. Hal ini dilakukan karena, peta bawah permukaan adalah alat bantu bagi ahli geologi baik pada saat eksplorasi, eksploitasi maupun produksi untuk menghitung cadangan yang lebih terperinci. Tujuan dari pemetaan bawah permukaan ini sendiri yakni untuk melihat kondisi bawah permukaan, sehingga dapat membantu untuk menentukan bentukan lapisan yang prospek di bawah permukaan bumi sehingga dapat ditentukan seberapa besar cadangan hidrokarbon yang dapat dioptimalkan. Disamping itu, diharapkan dengan adanya data log, pola pola atau kurva kurva log dapat mengetahui jenis litologi, lingkungan pengendapan, jenis fluida 1

18 dan nilai petrofisik yang terdiri dari saturasi air dan nilai porositas, yang terpenting dapat mengetahui cadangan hidrokarbon pada Formasi Kais. Hal ini dimaksudkan karena dengan adanya eksplorasi gas alam cair pada Formasi Kais dapat menunjukan bahwa formasi yang diteliti merupakan reservoir yang baik dan sangat prospek hidrokarbon atau tidak. Sehinggga nantinya mahasiswa Teknik Geologi tidak asing dengan pengolahan data bawah permukaan yang digunakan oleh perusahaan pertambangan gas alam cair pada umumnya. Formasi Kais sebagai lapisan telitian dipilih karena lapisan ini disusun oleh litologi batugamping, dimana batugamping ini dianggap baik sebagai reservoar, dilihat dari umurnya yaitu Miosen Tengah. Disamping itu, lapangan JULIA sendiri salah satu lapangan eksporasi gas milik LNG Tangguh yang sampai saat ini beroperasi. Oleh sebab itu, adapun judul dalam penelitian ini yaitu PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN PADA FORMASI KAIS BERDASARKAN DATA LOG DAN DATA SEISMIK, DI LAPANGAN JULIA, CEKUNGAN BINTUNI. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Apa saja litologi penyusun Formasi Kais? 2. Bagaimana penyebaran litologi secara lateral dan vertikal berdasarkan korelasi yang dilakukan? 3. Apa lingkungan pengendapan Formasi Kais? 4. Bagaimana nilai petrofisik yang terdiri dari porositas dan saturasi air berdasarkan pembacaan kurva log pada Formasi Kais? 5. Bagaimana kondisi bawah permukaan berdasarkan peta bawah permukaan (peta top structure, bottom structure, isopach limestone, dan net pay oil/gas)? 6. Berapa hasil perhitungan cadangan hidrokarbon pada Formasi Kais? 2

19 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari dibangku perkuliahan. Mengetahui evaluasi cadangan hidrokarbon pada daerah telitian dengan melakukan pemetaan bawah permukaan di daerah telitian dan disajikan dalam bentuk sebuah laporan penelitian. Disamping itu, memenuhi salah satu persyaratan kurikulum Program Strata 1 (S-1) pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui jenis dan penyebaran litologi Formasi Kais data log. 2. Mengetahui lingkungan pengendapan Formasi Kais 3. Mangetahui kandungan fluida pada setiap sumur. 4. Mengetahui nilai porositas dan saturasi air berdasarkan perhitungan petrofisik pada Formasi Kais 5. Mendapatkan peta Struktur waktu, peta Top struktur,peta bottom struktur, peta Isopach Limestone dan peta Net Pay 6. Mengetahui jumlah cadangan hidrokarbon Formasi Kais. 1.4 Batasan Masalah Pembatasan masalah sangat perlu agar penelitian yang dilakukan tidak melebar serta tidak sistematis, dan dengan adanya keterbatasan waktu, maka perlu adanya batasan batasan tertentu yaitu : 1. Penentuan lapisan telitian atau lokasi area prospek hidrokarbon dibatasi pada litologi batugamping berupa Formasi Kais. 2. Menganalisa pola penyebaran reservoar serta menghubungkan dengan pola lingkungan pengendapan yang berkembang berdasarkan prinsip prinsip stratigrafi dan sedimentologi. 3. Analisis petrofisik dilakukan melalui interpretasi kualitatif dan kuantitatif data wirelline log diikuti dengan pembuatan peta bawah permukaan. 4. Melakukan perhitungan cadangan hidrokarbon 3

20 1..5 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian ini berlangsung selama ± 2 bulan yang dimulai dari januari maret Selama waktu tersebut semua pengumpulan, pengolahan dan interpretasi data dilaksanakan di kantor pusat BP Indonesia yang berlokasi di Perkantoran Hijau Arkadia E-3, Bagian Eksplorasi, Jl. TB. Simatupang Kav 88, Jakartaa Indonesia. Sementara lapangan penelitan yaitu lapangan JULIA berada di lokasi pertambangan LNG TANGGUH di Teluk Bintuni, Papuaa Barat (Gambar 1.1). INDONESIA LAPANGAN JULIA Gambar 1.1 Lokasi telitian lapangan JULIA di Teluk Bintuni 4

21 1.6 Hasil Penelitian Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan saat penelitian yaitu : 1. Memperoleh gambaran terhadap jenis litologi dan penyebaran reservoir berdasarkan data log dan data seismik pada Formasi kais. 2. Mengkorelasikan data sumur sehingga dapat menunjukan kondisi bawah permukaan. 3. Memperoleh gambaran bawah permukaan mengenai distribusi reservoir yang divisualisasikan dalam bentuk peta bawah permukaan berupa peta Struktur waktu, peta Sturktur kedalaman, peta top structure, peta bottom struktur, peta isopach limestone dan peta net pay. 4. Selanjutnya dapat dikembangkan untuk estimasi perhitungan cadangan hidrokarbon yang berada di dalam batuan reservoir secara lebih terperinci. 1.7 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan skripsi ini antara lain adalah: 1. Manfaat Untuk Keilmuan Mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari pada saat kuliah di lapangan, sehingga mahasiswa dapat menerapkan ilmu geologi yang telah dipelajari sehingga memiliki kompetensi ilmu geologi yang maksimal baik secara langsung didunia pekerjaan.memberikan informasi tentang pengolahan dan analisis data dan mengetahui proses pengerjaan dalam kerja yang nyata. 2. Manfaat untuk Perusahaan Dengan dihasil penelitian yang didapatkan seperti distribusi resevoar dan perhitungan cadangan hidrokarbon yang digambarkan dalam peta peta bawah permukaan, diharapakan akan memberikan informasi penting bagi perusahaan untuk pengambilan keputusan mengenai pengembang lapangan tersebut serta mampu meningkatkan hasil produksi pada daerah telitian. 5

22 BAB 2 METODOLOGI DAN TAHAP PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada lapangan JULIA, menggunakan metode pemetaan bawah permukaan yang didukung dengan data log dan data seismik serta data pendukung lainnya. Untuk melakukan penelitian ini ditempuh melalui tahap tahap yang dilakukan secara berkesinambungan. Berikut merupakan tahap metodologi secara umum (Gambar 2.1). 2.1 Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dimana metode deskriptif adalah menjelaskan data data yang digunakan kemudian dilakukan analisis terhadap data data tersebut. Untuk mencapai metode tersebut dilakukan beberapa tahapan. 2.2 Tahap Penelitian Secara umum tahapan penelitian dibagi menjadi empat bagian yaitu tahapan pendahuluan, tahapan pengumpulan data, tahapan analisis dan interpretasi, tahapan penyusunan laporan. Dimana tahapan tahapan tersebut dibagi lagi menjadi beberapa tahap yaitu : Tahap Pendahuluan Tahap pendahuluan adalah tahap persiapan sebelum melakukan analisis data, meliputi : 1. Penyusunan proposal penelitian dan kelengkapan administrasi Tahapan ini dilakukan sebelum berangkat ke kantor pusat BP Tangguh di Jakarta, dimana dilakukan persiapan persiapan yang menunjang penelitian yang meliputi studi pustaka, pembuatan proposal dan menyelesaikan administrasi. 6

23 2. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan bertujuan supaya dapat menunjang penelitian mengenai geologi regioanal cekungan Bintuni dan lingkungan pengendapan daerah telitian, analisis data log dan pemetaan bawah permukaan, maupun dasar dasar geologi lainnya yang mendukung dalam melakukan analisis data Tahap pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pada saat berada di kantor Pusat BP Tangguh di Jakarta, data yang diperoleh berupa : 1. Data primer a. Data log Data log yang digunakan adalah data log sumur Gamma Ray ( GR ), log resisitivity (ILD), log sonic (DT) dari lapangan JULIA. Pada lapangan ini sumur yang digunakan ada 6 sumur dalam analisa data log yaitu K-1, A-1, W-1, MS-1, T-1, JS-1. b. Data seismik Pada data primer, digunakan pula data seismik pada lapangan JULIA. Data seismik ini akan diperoleh peta struktur waktu yang kemudian akan di konversikan ke peta struktur kedalaman. c. Data Cutting Data cutting atau data serbuk bor yang di peroleh terdapat pada satu sumur yaitu sumur JS-1. Data serbuk bor ini nantinya akan dipergunakan dalam menginterpretasikan litologi serta lingkungan pengendapan dari daerah telitian. d. Data Petrofisik Untuk menganalisa petrofisik dari data log menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel Dari data petrofisik akan diketahui nilai porositas (ø) dan kejenuhan air (Sw) yang selanjutnya akan menjadi parameter dalam perhitungan cadangan. 7

24 2. Data Sekunder dan data pendukung lainnya a. Data pendukung Untuk data pendukung lainnya, berupa data well file report (final well report, final geological report, hydrocarbon source profil) dan referensi referensi peneliti terdahulu yang diberikan oleh perusahan. Hal ini dilakukan bertujuan agar dapat memahami dan mengetahui kondisi geologi regional daerah yang ditelitian Tahap Analisis dan Interpretasi Data Tahap analisis dan interpretasi data ini harus melewati beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil berupa cadangan hidrokarbon di daerah telitian. Tahap ini meliputi : 1. Interpretasi log sumur Berdasarkan data log sumur dapat dilakukan analisa kualitatif yang meliputi litologi, interpretasi lingkungan pengendapan dan interpretasi fluida. Umumnya untuk menentukan jenis litologi suatu lapisan dilakukan dengan menggunakan log. Jenis kurva log yang sangat berperan untuk menentukan litogi suatu lapisan biasanya menggunakan log Gamma Ray (GR), log Resistivity dan log Porosity. Hal ini dapat diinterpretasi berdasarkan pola pola deflaksi dan bentukan log. Interpretasi lingkungan pengendapan dilakukan dengan cara melihat polapola umum yang terbentuk oleh kurva GR pada daerah telitian. Log sumur memiliki beberapa bentuk dasar yang bisa mencirikan karakteristik suatu lingkungan pengendapan. 2. Analisis petrofisik Analisa petrofisik dilakukan untuk mengetahui nilai porositas dan saturási air dari reservoar. Nilai porositas dan saturasi air akan menunjukan perkembangan yang berkembang dalam suatu reservoar yang berlainan litologinya. Rumus yang digunakan dalam menghitung nilai saturasi air adalah persamaan Indonesia. Rumus ini digunakan karena cenderung memberikan hasil 8

25 yang optimal. Hasil dari analisa petrofisik ini akan menjadi parameter dalam perhitungan cadangan. 3. Korelasi sumur Korelasi sumur dilakukan dengan menggunakan type log dari 6 (enam) sumur. Type log yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari kurva log Gamma Ray (GR), kurva log Resistivity dan kurva log Sonik. Korelasi sumur yang dilakukan oleh penulis yakni korelasi stratigrafi dan korelasi stuktur. Korelasi stratigrafi ini dilakukan bertujuan guna mengetahui penyebaran batuan secara lateral, dimana datumnya menempatkan posisi secara stratigrafi berdasarkan umur. Korelasi sumur yang dilakukan oleh penulis yakni didasarkan atas kesamaan umur pada top top tiap formasi. Sedangkan untuk korelasi struktur datumnya berdasarkan kedalaman atau sea level. 4. Interpretasi seismik ( Picking Horizon ) Data yang digunakan dalam interpretasi seismik ini adalah data seismik refleksi dengan jumlah lintasan sebanyak 23 line seismik. Sebelum melakukan picking horizon, dilakukan penanda sumur pada top top formasi. Hasil dari penanda sumur ini diplotkan ke data seismik sebagai pengikat sumur terhadap seismik (well to seismic tie). Hasil dari interpretasi ada dua yaitu interpretasi stratigrafi dan struktur. Pada interpretasi stratigrafi, dilakukan penarikan horison. Horison yang dipilih oleh penulis hanya 5 yaitu basement, top Formasi Kais, base Formasi Kais, top Formasi Klasafet, dan horizon yang menampakan adanya Onlap, hal ini bertujuan supaya analisa yang dilakukan nantinya tidak meluas dan hanya terfokus pada kedua formasi yaitu Formasi Kais dan Formasi Klasafet. Dari hasil interpretasi seismik ini, selanjutnya dilakukan pembuatan peta struktur waktu (time structure map). 9

26 5. Pemetaan Bawah Permukaan Tujuan utama pembuatan peta bawah permukaan untuk melihat keadaan bawah permukaan secara lateral. Pemetaan bawah permukaan ini dilakukan berdasarkan hasil dari analisa dan pengolahan data log sumur sebelumnya. Petapeta yang dihasilkan berupa peta top structure, peta bottom structure, peta isopach limestone dan peta net pay. 6. Perhitungan Cadangan Hidrokarbon Perhitungan cadangan hidrokarbon didalam reservoir dihitung menggunakan cara volumetric. Pada metode ini perhitungan didasarkan pada persamaan volume, data data yang menunjang dalam perhitungan cadangan ini adalah porositas dan saturasi hidorkarbon. Untuk menghitung volume bulk (Vb) reservoir dibutuhkan data berupa peta net pay dan alat planimeter, dimana alat planimeter ini akan dapat mengukur luas masing masing kontur ketebalan yang ada pada peta net pay. Untuk menghitung volume reservoir, ditentukan dengan dua cara, yaitu cara pyramidal dan cara trapezoidal. Setelah volume bulk (Vb) diperoleh maka selanjutnya menghitung original oil in place (OOIP) dan original gas in place (OGIP) Tahap Evaluasi Pada tahap ini hasil dan interpretasi data dari setiap tahapan, dievaluasi lagi untuk kemudian direvisikan guna mendapatkan hasil akhir yang maksimal Tahap Penyusunan Laporan Tahap penulisan laporan dilakukan selama penelitian berlangsung. Agar mendapatkan susunan laporan yang sistematis dan mudah dibaca oleh para pembaca, maka penyusunan laporan ini dibagi dalam beberapa bab, yaiut : Bab 1. Pendahuluan, Bab 2. Metodologi, Bab 3. Tinjauan Geologi Regional, Bab 4. Dasar Teori, Bab 5. Penyajian Data, Bab 6. Analisa dan Pembahasan, dan Bab 7. Kesimpulan 10

27 Tahap Pendahuluan Analisa Data Data Seismik Data Log Data Data Sekunder : Cutting - laporan-laporan hasil produksi dan hasil tes Identifikasi litologi lapangan, jurnal jurnal perusahaan Lingkunganpengendapan Well seismic Tie Kandungan Fluida Perhitungan petrofisik Picking horizon Picking fault Korelasi struktur dan stratigrafi Pembuatan peta bawah permukaan (peta struktur waktu. Peta kedalam, peta Top Structure, peta Bottom Structure, peta Isopach Limestone dan peta Net Pay) Perhitungan cadangan Laporan Skripsi Gambar 2.1 Diagram alir metode penilitian 11

28 BAB 3 TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Geologi Regional Papua Barat Secara geografis Papua dibagi menjadi 3 komponen besar yaitu bagian Kepala Burung (KB), Leher Burung dan Badan Burung. Cekungan Bintuni berada di daerah Teluk Bintuni Papua Barat, tepatnya terletak di bagian Kepala-Leher Burung. Fisiografi Papua Barat mengalami deformasi pada umur Tersier Akhir, pada masa ini terjadi proses transgresi yang besar yang berarah Baratdaya dan berakhir pada New Guinea Mobile Belt sehingga berbentuk Kepala dan Leher Burung. Tatanan Geologi daerah KB dibentuk oleh adanya kompresi pada umur Paleogen tepatnya Oligosen Resen. Kompresi ini disebabkan karena adanya oblique convergent antara Lempeng Australia yang bergerak ke arah N-W dan Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah S-E (Dow dan Sukamto, 1984). Struktur elemen penting yang berada di daerah KB (Gambar 3.1), antara lain : 1. Sesar Sorong, terletak di sebelah Utara Sesar Sorong adalah salah satu sesar mayor yang terletak di sebelah utara KB, dengan arah sesar berarah Timur-Barat. Jenis Sesar Sorong ini yakni sesar mendatar kiri (left-lateral strike-slip fault) 2. Sesar Tarera Aiduna, terletak di sebelah Selatan Sesar Tarera Aiduna juga merupakan sesar mayor yang berada di daerah KB dimana sesar ini terletak di sebelah selatan dengan arah sesar Barat- Timur. 3. Lengguru Fold Belt ( LFB ), berada di sebelah Timur LFB merupakan serangkaian antiklin yang mempunyai arah umum NW-SE, yang kemudian terangkat ketika terjadi proses oblique convergen antara Lempeng Pasifik Australia. Di sebelah selatan, LFB ini dipotong oleh Sesar Tarera Aiduna. Pada saat LFB ini terbentuk, mengakibatkan adanya penurunan (subsidance) sehingga mengalami sedimentasi pada cekungan. LFB sebagian 12

29 besar tersusun atas kelompok New Guinea Limestone (NGL) yang mengisi Cekungan Bintuni. 4. Seram Through, berada disebelah barat. Palung Seram berada di sebelah Baratdaya KB. Sesar ini terbentuk akibat adanya konvergen lempeng Australia. Cekungan Bintuni merupakan cekungan dengan luas ± km 2 yang cenderung berarah utara selatan dengan umur Tersier Akhir yang berkembang pesat selama proses pengangkat LFB ke timur dan Blok Kemum dari sebelah utara. Cekungan ini di sebelah timur berbatasan dengan Sesar Arguni, di depannya terdapat LFB yang terdiri dari batuan klastik berumur Mesozoik dan batugamping berumur Tersier yang mengalami perlipatan dan tersesarkan. Di sebelah barat cekungan ini ditandai dengan adanya tinggian struktural, yaitu Pegunungan Sekak yang meluas sampai ke utara, di sebelah utara terdapat Dataran Tinggi Ayamaru yang memisahkan Cekungan Bintuni dengan Cekungan Salawati yang memproduksi minyak bumi. Di sebelah selatan, Cekungan Bintuni dibatasi oleh Sesar Tarera Aiduna, sesar ini paralel dengan Sesar Sorong yang terletak di sebelah utara KB. Kedua sesar ini merupakan sesar utama di daerah Papua Barat. Gambar 3.1 Peta Geologi Regional Kepala Burung (KB). (Dumex, dkk 2007, BP Indonesia) 13

30 3.1.1 Kerangka Tektonik Regional KB dibentuk oleh adanya kompresi pada Paleogen tepatnya kala Oligosen-Resen. Kompresi ini disebabkan karena adanya oblique converent antara Lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan Lempeng Pasifik. Cekungan Bintuni merupakan cekungan berumur Tersier, berkembang pesat selama Plio-Pleistosen yang diikuti dengan pembentukan LFB yang berada di sebelah timur dan Blok Kemum sebelah utara. Berdasarkan stratigrafi Cekungan Bintuni, dapat dibagi dalam beberapa tahapan tektonik yaitu 1. Tahapan pemisahan Gondwana dan Asia 2. Tahapan tumbukan Lempeng Australia dan Pasifik 3. Tahapan pembalikan zona subduksi. 1. Tahapan Pemisahan Gondwana dan Asia Tahapan pemisahan Gondwana dan Asia berlangsung pada umur Paleozoikum Akhir, dibagi menjadi 3 periode pengendapan pre-rift, syn-rift, post-rift. a. Pre- Rift (Paleozoikum) Batuan dasar dari daerah KB terdiri dari sedimen pada umur Silur Devon yang kemudian terlipat dan mengalami metamorfisme. Kegiatan sedimen ini terus berlangsung sampai umur Karbon-Permian diendapkan Kelompok Aifam yang terdiri dari 3 formasi dari tua muda yaitu Formasi Aimau, Aifat dan Ainin. Kelompok ini tersebar luas pada bagian KB, tetapi tidak terlihat dipengaruhi oleh metamorfisme melainkan lebih terdeformasi. Pada bagian Tubuh Burung Kelompok Aifam ini setara dengan Formasi Aiduna yang berumur Karbon Akhir-Permian dan terdiri atas batuan silisiklastik serta batubara, dengan lingkungan pengendapan berupa fluvial hingga delta. Kelompok Aifam ini dapat dikelompokan dalam tahap Pre-rifting yakni proses pengendapan yang tejadi sebelum tahap tektonik (rifting) pada masa Mezosoikum. 14

31 b. Syn-Rift (Mezosoikum) Pada Triasik, di daerah KB ditemukan kejadian yang jarang terjadi yakni ditemukan adanya red beds. Hal ini menandakan sebagian area terekspos atau terangkat ke permukaaan sehingga mengalami oksidasi pada lingkungan yang kering. Sebagian daerah yang terangkat ini mengakibatkan Cekungan Bintuni mengalami ketidakselarasan (unconformity) antara Permian Akhir dengan Jurasik, dengan demikian selama umur Triasik Cekungan Bintuni tidak terjadi proses sedimentasi (Perkins & Livesey, 1993). Sementara pada beberapa bagian KB terendapkan Formasi Tipuma pada umur Triasik Awal Akhir. Sedimen yang diendapkan pada periode rift pada Mezosoikum adalah sedimen Formasi Tipuma. Hal ini ditandai dengan diendapkannya formasi ini pada graben graben yang terbentuk akibat adanya kegiatan tektonik di sepanjang batas utara Lempeng Australia. Namun periode rifting itu sendiri dimulai pada umur Jurasik, sedangkan Formasi Tipuma berumur Triasik Awal Akhir, jadi dapat disimpulkan bahwa endapan ini merupakan endapan pertama pada periode rifting. Setidaknya pada kisaran umur ini terdapat dua komponen utama rifting pada batas Kontinental Australia yaitu pada bagian utara dan bagian baratlaut kontinental Australia. Rifting pada bagian utara diperkirakan dibatasi oleh batas yang kompleks berupa Palung New Guinea, Fold Belt Papua dan Sorong Koor Suture. Sementara rifting yang terjadi pada bagian baratlaut dapat diperkirakan dibatasi oleh Timor Trough hingga Aru Trough. c. Post-Rift / Passive Margin (Mesozoikum) Pada umur Jurasik Tengah-Akhir terjadi suatu proses transgresi. Naiknya muka air laut ini terjadi secara global. Hal ini memberikan dampak lokal bagi kondisi geologi di daerah KB. Batupasir yang diendapkan pada umur Jurasik merupakan unit dari endapan laut dangkal yang diendapkan pada saat proses transgresi. Pada proses ini diendapkan Kelompok Kambelangan Bawah yang berumur Jurasik Awal Akhir. Berdasarkan data Lapangan Wiriagar, Bintuni di atas Kelompok Kembelangan Bawah 15

32 ini dijumpai pengendapan batulempung berwarna coklat gelap sebagai endapan maksimum transgresi laut. Disamping itu, pada umur Jurasik merupakan tahapan post rift / passive margin hal ini ditandai dengan adanya seafloor spreading pada umur Jurasik, hingga terpecahnya Kontinental Australia pada bagian timurlaut menjadi lempeng-lempeng kontinen berukuran kecil (mikro kontinen). Pada masa ini bagian timurlaut Kontinen Australia masih bertindak sebagai passive margin. Kontinental Australia ini diendapkan Kelompok Kambelangan Bawah yang menindih secara tidak selaras sekuen rift (syn-rift) yakni Formasi Tipuma. Kemudian terjadi proses pengangkatan yang terjadi sepanjang zaman Kapur Awal membentuk apa yang dikenal dengan intra cretaceous uncorformity (Perkins dan Livsey,1993) sehingga tidak ada proses sedimen pada Kapur Awal pada Cekungan Bintuni. Ketidakselarasan ini muncul memisahkan Kelompok Kembelangan Bawah dengan Kelompok Kembelangan Atas. Pada umur Kapur Akhir diperkiran terjadi proses extensional rift, sehingga memisahkan KB dengan wilayah Kontinental Australia. Dengan adanya aktivitas ini Formasi Tipuma dan Kelompok Kembelangan mengalami pengangkatan sehingga menghasilkan erosional pada sedimen yang lebih tua atau malah tidak terjadinya proses pengendapan. Kelompok ini diendapakan hingga terjadi pengurangan suplai sedimen pada umur Kapur Akhir sehingga memberikan jalan untuk berkembangnya batuan karbonat (Batugamping New Guinea) pada umur Eosen Miosen Akhir. Catatan Batugamping New Guinea terdiri atas: (1) Formasi Waripi (Paleosen), (2) Formasi Faumai (Eosen-Oligosen), (3) Formasi Sirga (Miosen Awal), (3) Formasi Kais (Miosen Tengah). 2. Tahap Tumbukan Lempeng Australia dengan Pasifik (Kenozoikum) Pada umur Kenozoikum adalah waktu tektonik aktif di daerah KB, sehingga membentuk geografi, struktur geologi dan stratigrafi KB. Pada Kenozoikum Awal (Paleosen Eosen), kemungkinan bahwa Lempeng KB (mungkin bersamaan Misool, 16

33 Sula, Buru) menjadi terlepas dari Lempeng Australia New Guinea. Namun secara umum, daerah KB menjadi lempeng kecil (micro plate), terlepas dari Lempeng Australia New Guinea pada umur Eosen atau paling lambat Oligosen. Pada umur Eosen-Oligosen ditandai oleh kemunculan batuan transgresi karbonat Formasi Faumai. Sebuah ketidakselarasan muncul pada kolom stratigrafi dari lapangan Wariagar, Bintuni yang berumur Oligosen Akhir. Pada kolom stratigrafi ketidakselarasan ini justru terjadi lebih awal yaitu pada umur Oligosen Awal. Ketidakselarasan menandakan terjadinya peristiwa kompresi, yang membagi Formasi Faumai dengan Formasi di atasnya (Formasi Sirga dan Kais). Fase kompresi ini terjadi akibat adanya tumbukan antara Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik pada umur Eosen. Pada umur Eosen Akhir Lempeng Australia bergerak ke arah utara dan menyusup sebagai subduksi terhadap Kerak Samudra dari Lempeng Pasifik dan kemudian membentuk busur-busur kepulauan (island arc). Kompresi ini mengakibatkan pembentukan antiklin yang berarah NW-SE dan merupakan pusat berkembangnya kelompok BNG dalam Cekungan Bintuni. Proses subduksi ini terus berlanjut ke arah utara hingga akhirnya kerak samudera dari Lempeng Australia termakan habis (overriding plate) oleh Lempeng Samudra Pasifik. Proses ini berlanjut terus hingga terjadinya tumbukan (collision) pada umur Oligosen antara Lempeng Australia dan busur kepulauan Samudera Pasifik. 3. Tahap Pembalikan Zona Subduksi (Neogen) Pada Neogen telah terjadi pembalikan arah subduksi. Pada mulanya Lempeng Australia menunjam ke dalam Lempeng Pasifik ke arah utara, tetapi setelah terjadi tumbukan terjadi perubahan arah subduksi, dimana Lempeng Pasifik menunjam ke dalam Lempeng Australia ke arah selatan yang kini dikenal sebagai Palung New Guinea. Berdasarkan tektonik KB, umur penunjaman Palung New Guinea ke arah selatan ini berumur Miosen. Hal ini diperkuat oleh kemunculan pertama sedimen klastik tebal setelah pengendapan BNG Formasi Kais, formasi silisiklastik ini dikenal dengan Formasi Klasafet. Tahap tektonik tumbukan umur ini menghasilkan New Guinea Mobile Belt dan Lengguru Fold Belt, sesar sesar aktif (Sesar Sorong, Terera dan sebagainya) dan 17

34 cekungan cekungan foreland seperti Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni di wilayah KB. Pada Miosen Akhir Pleistosen diendapkan sedimen klastik, disebut dengan Formasi Steenkool. Rangkaian formasi ini merupakan tudung (seal) dari Formasi Kais yang merupakan batugamping reservoir. Kemudian terjadi penurunan cekungan, sedimentasi yang cepat dengan kedalaman yang sangat dalam sehingga baik untuk Kitchen area sebagai syarat pembentukan hidrokarbon dari Permian Akhir Awal Jurasik yang sebelumnya telah terendapkan pada Cekungan Bintuni. 3.2.Stratigrafi Regional Cekungan Bintuni ini merekam semua aspek sejarah stratigrafi dan peristiwa tektonik Papua khususnya KB yang dimulai pada Paleozoikum-Resen (Gambar 3.2). 1. Formasi Kemum Formasi Kemum merupakan batuan dasar sekuen turbidit dari Cekungan Bintuni yang diendapakan pada umur Silur Devon. Formasi ini terangkat di sebelah timurlaut KB dan sepanjang laut timur Leher Burung. Litologi penyusunnya berupa batulempung, graywackes dan klastik kasar. Formasi Kemum mengalami perlipatan dan intrusi batuan granit plutonik selama umur Devon. 2. Kelompok Aifam ( Formasi Aimau, Formasi Aiduna/Aifat, Formasi Ainim ) Kelompok Aifam diendapakan di atas Formasi Kemum secara tidak selaras pada umur Karbon Permian Akhir. merupakan hasil transgresi regresi selama Kapur dengan lingkungan pengendapan berupa fluvial deltaik, paparan hingga laut dangkal. 3 Formasi yang termasuk dalam Kelompok Aifam dari tua muda dan diendapkan secara selaras yaitu: Formasi Aimau, Formasi Aifat, Formasi Ainim. Litologi penyusun kelompok ini berupa batupasir, lempung dan batubara. 18

35 3. Formasi Tipuma Proses regresi yang terjadi selama Permian Akhir terus terjadi sampai Triasik Awal Jurasik Awal, pada umur ini diendapkan Formasi Tipuma yang terendapkan secara selaras di atas Kelompok Aifam. Litologi penyusun berupa batupasir dan serpih dan sedikit lapisan batugamping. lingkungan pengendapan di lingkungan laut dangkal. 4. Kelompok Kembelangan (Kembelangan Bawah dan Kembelangan Atas) Pada umur Jurasik Awal Kapur Akhir diendapkan Kelompok Kembelangan. Kelompok ini di bagi menjadi 2 dari tua muda yaitu : Kembelangan Bawah dan Kembelangan Atas. a. Kembelangan Bawah Kembelangan Bawah diendapkan pada umur Jurasik Awal Kapur Awal yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Tipuma. Litologi penyusun berupa batupasir, batuan karbonat dan batubara dengan lingkungan pengendapan berupa deltaik hingga laut tertutup. Formasi yang termasuk dalam Kembelangan Bawah yaitu Formasi Kopai dan Ayot. b. Kembelangan Atas Kembelangan Atas diendapkan pada umur Kapur Awal Akhir. Diendapkan secara tidak selaras di atas Kembelangan Bawah. Litologi penyusun Kembelangan Atas berupa batupasir dan batulempung. Kembelangan Atas terdiri dari tua-muda yakni batugamping Piniya, batupasir Ekmai dan Formasi Jass. Kembelangan Bawah dan Kembelangan Atas dipisahkan oleh adanya ketidakselarasan yang berumur Kapur Awal atau disebut dengan intra cretaceous unconformity dan juga merupakan awal dari fase rifting. 19

36 5. Formasi Waripi Pada umur Paleosen diendapkan Formasi Waripi yang diendapkan secara selaras di atas Kelompok Kambelangan Atas. Litologi penyusun Formasi ini berupa batupasir, batulempung dan serpih yang merupakan ciri dari endapan lingkungan laut dalam. 6. Kelompok Batu Gamping New Guinea (New Guine Limestone) Pada Kala Tersier tepatnya umur Eosen Miosen Tengah diendapkan Kelompok Batu Gamping New Guinea. Pada Akhir Kapur terjadi penghentian suplai detritus klastik ke utara laut Australia, dan terjadi akumulasi karbonat yang merupakan sekuen batugamping yang tebal. 3 Formasi yang termasuk dalam Kelompok Batugamping New Guinea dari tuamuda yakni : Formasi Faumai yang berumur Eosen-Oligosen, Formasi Sirga berumur Miosen Awal dan Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Lapisan karbonat ini meluas sepanjang Cekungan Bintuni dengan lingkungan pengendapan berupa shallow-shelf. Kelompok Batugamping New Guinea ini diketahui merupakan batas akhir fase kompresi antara Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik. Merupakan source rock dan reservoir dari Cekungan Bintuni. 7. Formasi Klasafet Formasi Klasafet diendapakan pada umur Miosen Akhir Pliosen yang diendapakan secara tidak selaras di atas Formasi Kais. Litologi penyusun dari Formasi Klasafet berupa Serpih. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berupa lingkungan lagoon. Berfungsi sebagai seal pada Cekungan Bintuni. 8. Formasi Steenkool Pada Pliosen Awal-Pleistosen, terjadi tektonik aktif sehingga membentuk Cekungan Bintuni dan Lengguru Fold Belt sehingga diendapkan Formasi Steenkool. Litologi dari Formasi ini berupa batulanau, batupasir serpihan, batulempung, dengan lingkungan pengendapan neritik. Diketahui Formasi ini berperan sebagai tudung (seal). 20

37 Tektonik SEAL SEAL Syn - Orogenic RES SR SR,SE AL SR,SE AL Post - Rift Extensional Rifting SR,RE S Pre - Rift Compressional Gambar 3.2 Stratigrafi Regional Papua Barat (Modifikasi dari Edward Syafron dkk 2008 dan Thomas W Perkins & Andrew R.Livsey 1993 ) 3.3.Stratigrafi Daerah Telitian 21

38 Stratigrafi daerah telitian yaitu pada lapang JULIA Cekungan Bintuni, terdapat 3 formasi dari tua-muda adalah: 1. Formasi Kais Formasi Kais adalah formasi yang prospek hidrokarbon pada daerah telitian. Formasi ini disusun atas batugamping grainstone, packstone dan wackstone serta lapisan tipis dolomit. Umumnya batugamping ini merupakan batugamping terumbu (reefal limestone) serta mempunyai porositas yang baik dan berupa porositas vuggy. Juga mempunyai fragmen berupa koral, alga, bryzoa, foram dan fragmen serpih lainnya. Berdasarkan litologi penyusun serta adanya kandungan fosil formasi ini lingkungan pengendapan berupa laut dangkal, berumur Miosen Tengah. 2. Formasi Klasafet Formasi Klasafet terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kais. Formasi ini berumur Miosen Akhir, dengan litologi penyusun berupa serpih dan batugamping serta sisipan batulempung. Lingkungan pengendapan berupa lingkungan laut dalam. 3. Formasi Steenkool Formasi Steenkool adalah formasi termuda di daerah telitian pada Cekungan Bintuni. Formasi ini berumur Plio-Pleistosen yang terendapakan secara selaras di atas Formasi Klasafet. Dengan litologi penyusun terdiri dari perselangselingan antara batulanau, batupasir dan batulempung juga terdapat sisipan batubara dan batugamping. lingkungan pengendapan berupa lingkungan darat-delta. 22

39 Gambar 3.3 Stratigrafi daerah teilitan lapangan JULIA Cekungan Bintuni (Berdasarkan well repot BP.Indonesia dan dimodifikasi oleh penulis) 3.4 Sistem Petroleum Cekungan Bintuni Cekungan Bintuni, terdapat lima bagian dari system petroleum yang dipengaruhi dengan kondisi geologi regional maupun lokal yang ada pada daerah telitian (Tabel 3.1) Batuan Induk (source rock) Batuan induk, adalah batuan yang banyak mengandung bahan-bahan organik sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang mengalami pematangan sehingga terbentuk minyak dan gas bumi. Pada daerah telitian, batuan induk pada Cekungan Bintuni adalah 23

40 batugamping pada Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Batuan induk ini juga dapat berasal dari batuan yang berumur lebih tua atau Pra-Tersier. Batugamping ini mengandung material organik yang mampu menghasilkan hidrokarbon Batuan Reservoar (Reservoir Rock) Batuan reservoar merupakan batuan yang bersifat porous (berpori-pori) dan kelolosan (permeabilitas) sehingga minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh batuan induk akan disimpan atau diakumulasikan di sini. Batuan reservoar pada Cekungan Bintuni yaitu batugamping pada Formasi Kais berumur Miosen Tengah. Batugamping ini berfungsi sebagai reservoar karena memiliki pori-pori yang baik. Sehingga minyak yg bersumber dari batuan induk dapat terperangkap dab terakumulasi pada batugamping ini Migrasi Migrasi hidrokarbon, merupakan proses perpindahan hidrokarbon dari lapisan induk menuju ke lapisan resevoar untuk dikonsentrasikan didalamnya. Untuk arah migrasi yaitu dari cekungan menuju ke perangkap yaitu suatu perangkap antiklin. Migrasi tersebut melewati suatu adanya sesar normal yang terbentuk pada daerah telitian Perangkap (Trap) Perangkap merupakan bentukan-bentukan yang memungkinkan hidrokarbon terperangkap di dalamnya. Perangkap pada Cekungan Bintuni berupa perangkap struktur yaitu antiklin yang berumur lebih muda dari batuan reservoir diperkirakan berumur Miosen Akhir-pliosen Awal Batuan Penutup Batuan penutup adalah suatu batuan sedimen yang kedap air sehingga hidrokarbon yang ada dalam reservoar tidak dapat keluar lagi. Untuk batuan penutup pada Cekungan Bintuni berupa serpih pada Formasi Klasafet berumur Miosen Akhir 24

41 serta endapan lebih muda yaitu Formasi Steenkool berumur Plio-Pleistosen yang tersusun atas perselang-selingan batulanau, batulempung serta batupasir. Tabel 3.1 Petroleum sisitem Cekungan Bintuni (BP.Indonesia dan dimodifikasi oleh penulis) BAB 4 25

42 DASAR TEORI 4.1 Reservoar Batuan Karbonat Batuan Karbonat Saat ini batugamping merupakan 50% reservoir hidrokarbon dunia. Secara genetis batugamping atau batuan karbonat apapun sangat berbeda dari batuan silisiklastik. Lebih dari 90% sedimen karbonat yg dijumpai terbentuk dengan proses biologis pada lingkungan marine. Distribusi batuan karbonat dikontrol secara langsung oleh kondisi lingkungan yang mendukung perubahan organisme yang mengandung kalsium karbonat. Kondisi lingkungan tersebut meliputi temperature,salinitas,substrat dan kehadiran silisiklastik (Moore,1989). Ukuran sedimen dan pemilahan pada silisiklastik umumnya digunakan sebagai indikator besarnya energi yang bekerja (angin,gelombang,arus) pada sedimen. Ukuran dan pemilahan pada sedimen karbonat lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika populasi organisme pembentuk. Parameter tekstur lain seperti kebundaran (roundness) pada sedimen karbonat tidak menunjukkan jarak transfortasi atau intensitas proses fisik di tempat pengendapan, tetapi lebih dikontrol oleh bentuk asal organisme. Ada beberapa patokan untuk menginterpretasi batugamping berdasrkan log sumur: 1. Log Spontaneous Potential (SP) Mendeteksi lapisan dan perbatasan yang permeable, juga membantu dalam mengestimasi jumlah shale. Perubahan dari shale baseline dalam batuan karbonat menunjukkan pertambahan ukuran butir karbonat. 2. Log Resistivity Membantu dalam identifikasi porositas, permeabilitas dan jenis fluida. 3. Log Gamma Ray (GR) Menunjukkan zona mineral radioaktif dalam batuan karbonat yang berasal dari perubahan mineral, mencakup shales, material organik, zona glaukonit, zone pedogenik dan lapisan keras (hardgrounds). 26

43 4. Log sonic Mengukur porositas matriks, bukan porositas vuggy dan porositas rekahan, membuat kalkulasi kecepatan sonik untuk porositas vuggy dan rekahan menjadi terlalu rendah. Porositas vuggy dan porositas rekahan dapat dihitung dengan mengurangkan porositas sonik dari porositas total yang terukur dari log neutron/density. Perbedaan porositas ini dinamai Indeks Porositas Sekunder (Secondary Porosity Index) dan dapat dipetakan dalam batuan karbonat. 5. Log Neutron Mengukur konsentrasi ion hidrogen. Jika dikalibrasi dengan benar, log ini akan mengukur porositas aktual dalam batuan karbonat Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batuan karbonat diendapkan diberbagai lingkungan marine, mulai dari garis pantai, lagoon, tepi paparan (platform margin), slope hingga lingkungan laut dalam. Pada setiap lingkungan tersebut berbagai proses sedimentasi terjadi, mulai dari pembentukan, transfortasi, pengendapan sedimen. Proses-proses tersebut melibatkan proses kimia (mis. Pembentukan ooids), proses biokimia (mis. Pembentukan cangkang organisme, pembentukan pelt organic, mikritisasi cangkang oleh algae) dan prosen fisika (mis. Pemecahan cangkang, erosi, transfortasi, dan pengendapan) Klasifikasi Batuan Karbonat Klasifikasi batuan karbonat yang dikemukakan oleh antara lain: Folk (1959), Pettijohn (1957), Dunham (1962), dan lain-lain. 1. Klasifikasi yang hanya berdasarkan besar butir, Kalsirudit (besar butir > 2mm), Kalkarenit (besar butir antara 2 mm dan 64 µm) dan Kalsilutit (besar butir < 64 µm). 2. Klasifikasi Folk (1959), didasarkan atas komposisi dari tiga komponen utama (tabel 4.1), yaitu : 27

44 a. Allochems (partikel atau butiran), merupakan butiran yang berukuran pasirkerikil, yang berasal dari sedimen klastik. Termasuk didalamnya adalah oolit, pisolit, onkolit, pellet, fosil dll. b. Microcrystalline calcite ooze atau Micrite (matriks), merupakan agregrat halus yang berukuran 1-4 mikro, sebagai pembentuk mineral kalsit, terjadi secara biokimia ataupun kimiawi dari presipitasi air laut, terbentuk dalam lingkungan pengendapan dan menunjukan sedikit atau tidak adanya transportasi yang berarti. Hal ini dinyatakan bahwa mikrit (menurut Folk) adalah tidak sama dengan lumpur karbonat (menurut Dunham). c. Sparry calcite cements atau Sparite, merupakan semen yang mengisi ruang antar butir dan rekahan, ukuran butir halus (0,02-1 mm). dapat terbentuk langsung dari sedimen secara insitu ataupun dari rekristalisasi mikrit. 3. Klasifikasi Dunham (1962), adalah dengan berdasarkan pada tekstur pengendapan (tabel 4.2). Faktor-faktor penting yang menjadi dasar pembagian batuan karbonat menurut Dunham adalah: a. Butiran didukung oleh lumpur (mud supported) Jika jumlah butiran kurang dari 10%: Mudstone Jika jumlah butiran lebih banyak dari 10%: wackstone b. Butiran saling menyangga (grain supported) Dengan matriks: Packstone Sedikit atau tanpa matriks: Grainstone c. Komponen yang saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan dengan adanya struktur tumbuhan: Boundstone. d. Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas: Batugamping kristalin. 4. Klasifikasi Pettijohn ( ), mengklasifikasi batuan karbonat berdasarkan genesanya, yaitu: 28

45 a. Batugampingg Autocthonous, yaitu batugamping yang terdiri dari unsur kalsium karbonat, terbentuk langsung dari presipitasi air laut akibat proses biokimia. Batugampingg ini merupakan batuan karbonat yang primer, yaitu batuan karbonat yang terbentuk pada tempat asalnya (insitu). b. Batugampingg Allocthonous atau batugamping detritus, yaitu batugamping yang telah mengalami proses transportasi dari tempat lain. Mempunyai kompisisi lebih dari 50% batuan karbonat. Contoh batugamping allocthonous yaitu kasirudit, kalkarenit dan kalsilutit. c. Batugampingg Metasomatik, merupakan batugamping yang terbentuk karena adanya proses diagenesa yang terjadi pada batugamping, sehingga sifat dan karakteristiknya dapat berbeda dengan batuan asalnya. Contoh dolomit dan batugampingg dolomit. Tabel 4.1 Klasifikasi Batuan Karbonat berdasarkan Komposisi (Folk, 1959) Tabel 4.2 Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) 29

46 4..2.Tinjauann Umum Wireline Log Log digunakan untuk melakukan kolerasi zona-zona prospektif, sumber data untuk pembuatan peta kontur stuktur isopach, menentukan karateristik fisik batuan seperti litologi, porositas, geometri pori dan permealibilitas. Data logging juga digunakan untuk mengidentifikasi zona-zona produktif, menentukan ketebalan dan kedalaman zona-zona produktif, menentukan kandungan fluida dalam reservoar (apakah gas, minyak, atau air), serta memperkirakan cadangan hidrokarbon. Log adalah suatu grafik kedalaman (satuan waktu) dari suatu perangkat kurva yang mewakili parameter-parameterr yang diukur secaraa menerus didalam sebuah sumur Bagian-Bagian Log 1. Kepala log Sebuah log umumnya memiliki judul/kepala pada bagian atas yang mencantumkan semua informasi yang berhubungan dengan sumur, misalnya jenis instrumen yang dipakai, kalibrasi instrumentasi, pengukuran, skala kurva dan informasi lain. komentar-komentar mengenai 2. Kolom log (tracks) 30

47 Bentuk umum dari log mempunyai lebar dengan ukuran 11 ", terdiri dari satu kolom kedalaman dan beberapa kolom kurva, dimana angka kedalaman membagi sumbu panjang log dengan pembagian skala tertentu.umumnya terdapat tiga macam kurva, yang dikenal sebagai kolom satu, dua dan tiga dihitung dari kiri kekanan. Kolom kedalaman memisahkan kolom satu dan dua tiap kolom bisa memuat lebih dari satu kurva.penyajian lain bisa saja terisi dari empat kolom kurva ditambah satu kolom kedalaman, bahkan produk dari komputer FLIC bisa memiliki lebih banyak kolom kurva yang terletak diatas kertas berukuran 22". 3. Skala kedalaman Satuan kedalaman Bisa dalam kaki (feet) meter sesuai dengan satuan yang digunakan oleh perusahaan minyak. Log standar memiliki dua skala kedalaman, yang satu digunakan untuk kolerasi yang satu lagi digunakan untuk interpretasi yang rinci, skala 1:1000 atau 1:500 dan skala rinci 1: Macam-macam Gambar log 4.1 mekanik Contoh Bagian-bagian dari Log Mekanik 31

48 Jenis-jenis yang digunakan antara lain : 1. Log spontaneous potential (SP) 2. Log gamma ray (GR) 3. Log resistivity 4. Log densitas 5. Log neutron 6. Log sonik 1. Log Spontaneous Potential (SP) Kurva SP merupakan suatu catatan kedalaman dari perbedaan potensial antara elektroda permukaan dengan elektroda yang dapat bergerak di dalam lubang bor. Pada zona lempung, kurva SP menunjukan garis lurus yang disebut "Shale Base Line". Pada formasi yang permeable kurva SP menjauh dari garis lempung. Pada zona permeable yang cukup tebal, kuva SP mencapai suatu garis konstan. Dalam melakukan evaluasi formasi, log SP digunakan untuk: 1. Menentukan jenis litologi Batuan reservoir yang permeabel dicirikan dengan adanya defleksi dari garis dasar lempung. Defleksi tersebut dapat positif atau negatif tergantung dari harga tahanan jenis lempur (Rmf) dan tahanan jenis formasi (Rw). Bila harga Rw lebih kecil daripada Rmf maka defleksi kurva kearah kiri (negative) dan sebaliknya. 2. Menentukan kandungan lempung Vlp= (sp) / (ssp) Dimana : Vlp : Volume lempung Sp : Harga kurva SP dari formasi (dibaca pada log) Ssp : Statik SP (defleksi maksimum kurva SP) 2. Log Gamma Ray (GR) 32

49 Log gamma ray merupakan suatu rekaman nilai dari radioaktifitas alamiah formasi batuan, terutama radiasi yang dihasilkan oleh keberadaan unsur uranium, thorium dan potasium alami (Asquith dan Gibson, 1982). Sebagian besar batuanbatuan mempunyai radioaktivitas tinggi, baik batuan beku, metamorf dan sedimen. Diantara batuan sedimen-sedimen tersebut, batulempung mempunyai nilai radioaktifitas paling tinggi tetapi tidak semua batulempung mempunyai sifat radioaktif dan tidak semua batuan yang mempunyai sifat radioaktif tinggi adalah batulempung. Sehingga secara umum pada kurva log GR zona lempung akan menunjukkan nilai tinggi. Kuarsa, sebagai komponen dasar penyusun batuan sedimen tidak menunjukkan adanya radioaktivitas dan menyebabkan nilai kurva log GR rendah seperti dijumpai pada batupasir. Prinsip dari penggunaan log ini secara kuantitatif adalah untuk menentukan volume lempung. Secara kualitatif log ini dapat digunakan untuk korelasi, data pendukung identifikasi fasies dan analisa sikuen, serta identifikasi litologi. 3. Log Resistivitas Log resistivitas merupakan log elektrik yang digunakan untuk : Mendeterminasi kandungan fluida dalam bantuan reservoir (hidrokarbon atau air). Mengidentifikasi zona permeable Menentukan porositas Tipe-tipe log resistivitas Ada tipe log yang digunakan untuk mengukur resistivitas formasi yaitu log induksi dan log elektroda. a. Log Induksi Log induksi hanya dapat dioperasi pada sumur yang diisi non-sal-saturated drilling muds (Rmf > 3 rw) untuk mendapatkan harga Rt yang akurat. Tipe-tipe log induksi yakni short normal, log induksi, dual induction focused log. 33

50 b. Log Elektorada Tipe-tipe log elektroda antar lain: Laterlog Laterlog didesain untuk mengukur Rt. Microspherically Focused Log (MSFL) MSFL merupakan log elektroda tipe bantalan yang terfokuskan, digunakan untuk mengukur Rxo (tahanan pada "flushed zone"). Microlog Microlog merupakan log elektroda tipe bantalan yang terutama digunakan untuk mendeteksi kerak lumpur. Adanya kerak lurnpur pemboran menunjukkan adanya invasi pada zona permeabel. Zona permeabel dicirikan oleh adanya separasi positif pada microlog (rxo > Rmc). Microlateral Log (MLL) dan Proximity Log (PL) MLL dan PL merupakan log elektroda tipe bantalan terfokuskan yang didesain untuk mengukur Rxo. 4. Log Densitas Log densitas merupakan suatu tipe log porositas yang mengukur densitas elektron suatu formasi. Karena log densitas dapat mendeterminasi densitas elektron (jumlah elektron per cm 3 ) formasi dihubungkan dengan densitas bulk sesungguhnya (ρb) didalam gr/cc. Harga (ρb) tergantung dari densitas matrik batuan, porositas dan densitas fluida pengisi formasi. Dalam melakukan evaluasi formasi sumur, log densitas berguna untuk : Menentukan porositas Alat-alat pada log densitas dapat mengukur porositas total suatu formasi, baik porositas primer maupun porositas sekunder. Identitas Litologi 34

51 Litologi dapat dideterminasikan dengan penggabungan log densitas, netron, dan sonik dalam "cross plot", M-N (AK) atau M/D. Identifikasi adanya kandungan gas Adanya gas dalam suatu formasi, dapat dideteksi dengan menggunakan gabungan log densitas dan log netron. Adanya sparasi positif (rd > 'rn) yang lebar antara log densitas dan log netron menunjukkan kandungan gas. Mendeterminasi densitas hidrokarbon Dengan menggunakan chart CP-10 maka densitas hidrokarbon formasi dapat ditentukan. Tipe-tipe log densitas antar lain : a. Log Neutron Log netron merupakan tipe log porositas yang mengukur konsentrasi ion hidrogen dalam suatu formasi. Di dalam formasi bersih porositas diisi air atau minyak, log netron mencatat porositas yang diisi cairan. Dalam pekerjaan evaluasi log, log netron berguna untuk : Menetukan porositas Identifikasi litologi Identifikasi adanya gas b. Log Sonik Log Sonik merupakan suatu log yang mengukur interval waktu lewat ( t) dari suatu gelombang suara kompressional untuk melalui satu feet formasi.. Interval waktu lewat ( t) dengan satuan mikrodetik per kaki merupakan kebalikan kecepatan gelombang suara kompressional (satuan feet per detik). Harga ( t) tergantung pada litologi dan porositas. Dalam suatu evaluasi formasi, log sonik berguna untuk : Menentukan porositas 35

52 Log Sonik dapat mengukur harga kesarangan primer namun tidak dapat mengukur porositas sekunder. Identifikasi litologi Litologi dapat dideterminasikan dengan penggabungan log densitas, netron dan sonik dalam "cross plot", M-N (AK) atau M/D Analisis Petrofisik Analisis petrofisika adalah hal terpenting untuk mengetahui karakteristik dari lapisan reservoar A, dengan analisis ini diketahui besarnya Vshale, porositas, saturasi air, dan resistivitas air. 1. Penentuan Volume Shale (Vsh) Untuk mendapatkan volume shale terlebih dahulu harus diketahui Gamma Ray Indeksnya (I GR ) Vsh = 0,33 [2 (2 x I GR ) 1.0] Dimana : IGR = Indeks gamma ray Vsh = Volume shale (lempung) GR log = harga kurva GR formasi (dibaca dari log GR) GR min = harga log GR minimum (zona bersih) GR max = harga log GR maksimum (lempung) 2. Penentuan Harga Porositas (Φ) Porositas dapat didefinisikan sebagai persentase rongga dalam batuan dibandingkan dengan volume batuan (Asquith,1982). 36

53 Dalam penentuan porositas berdasarkan analisis log maka digunakan beberapa jenis log yaitu : a. Berdasarkan log sonic, (menurut Wyllie,1958) Dimana : ФS = Porositas sonik zona yang diteliti tlog = interval transit time of formation (pembacaan kurva DT) tma = Waktu tempuh gelombang suara dalam matriks batuan tf = Waktu tempuh gelombang suara dalam fluida (fresh mud = 189, salt mud = 185) b. Berdasarkan log density Dimana : ρ ma = Densitas matriks batuan 2.65 untuk batupasir 2.71 untuk batugamping 2.87 untuk dolomit ρ b = Densitas bulk batuan (kenampakan RHOB dari log) ρ f = Densitas fluida 1,0 untuk lumpur tawar 1,1 umtuk lumpur garam 37

54 c. Berdasarkan log neutron Dimana : ФNc = Porositas neutron clay terdekat ФN = Porositas neutron tak terkoreksi Vlp = Volume lempung d. Berdasarkan log density dan neutron Dimana : ФNcorr = Porositas neutron terkoreksi ФDcorr = Porositas densitas terkoreksi ФN-D = Porositas density neutron tak terkoreksi ФNclay = Porositas neutron shale terdekat Vsh = Volume shale Tabel 4.3 Klasifikasi pemerian porositas (Koesoemadinata, 1980) Porositas (%) Klasifikasi 0 5 Dapat diabaikan (negligible) 5 10 Buruk (poor) Cukup (fair) Baik (good) Sangat baik (very good) >25 Istimewa (excellent) 38

55 3. Tahanan Jenis air Formasi (Rw) Tahanan jenis air formasi merupakan tahanan jenis air yang terdapat dalam formasi sebelum formasi tersebut ditembus oleh bit pemboran. Tahanan jenis air foramsi (Rw) dapat ditentukan dengan berbagai cara: a. Metode Rwa Dalam suatu zona yang bersih berlaku: Rw = Φ m. Rt a Dimana: Rw = Tahanan jenis air formasi Rt = Tahanan formasi yang sesungguhnya (pembacaan kurva ILD) a = Faktor perbandingan (0,8 untuk batuan lunak dan 1 untuk batuan keras) m = Faktor sementasi: 2 b. Metode SP Dalam suatu zona bersih yang basah berlaku: Sp = - K log Rmfe Rwe Dimana: Sp = Harga kurva Sp dari formasi K = Suhu (faktor dasar) Rmfe = Ekuivalen tahanan jenis cairan lumpur Rwe = Ekuivalen tahnan jenis formasi 4. Penentuan Harga Saturasi Air (Sw) Saturasi air sangat penting dalam proses analisis log, dikarenakan saturasi air tersebut sangat menentukan jumlah hidrokarbon yang terkandung dalam ruang 39

56 Sw= ΦmxR pori batuan. Saturasi hidrokarbon dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan saturasi air menurut a. (Simandoux,1963) b. Rumus Archie, metode pintas Dimana : Sw : saturasi air tak terinvasi pada volume shale terkoreksi Rw : resistivitas air Rt : resistivitas sebenarnya Ф : porositas terkoreksi untuk shale Vsh : volume shale Rsh : resistivitas shale terdekat 4.3 Korelasi Log Korelasi dapat diartikan sebagai unit stratigrafi dan struktur yang mempunyai persamaan waktu, umur dan posisi stratigrafi. Korelasi ini digunakan untuk keperluan dalam pembuatan penampang dan peta bawah permukaan (subsurface map and crosssection). Korelasi melibatkan aspek seni dan ilmu, yaitu memadukan persamaan pola dan prinsip geologi, termasuk dalam proses pengendapannya dan lingkungannnya, pengukuran log, dasar teknik reservoir, serta analisa kuantitatif dan kualitatif. 40

57 Data yang digunakan dalam korelasi sumur adalah berupa wireline log (terutama log spontaneous potensial, log gamma ray, dan log resistivity) dan seismik. Maksud dilakukan korelasi adalah untuk mengetahui dan merekonstruksi kondisi bawah permukaan, baik kondisi struktur maupun stratigrafi. Korelasi sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu korelasi organik dan korelasi anorganik Tujuan korelasi antar sumur adalah untuk : 1. Mengetahui dan merekonstruksi kondisi geologi bawah permukaan (struktur dan stratigrafi) serta mengetahui penyebaran lateral maupun vertikal dari zona hidrokarbon (penentuan cadangan). 2. Merekonstruksi paleografi daerah telitian pada waktu geologi tertentu, yaitu dengan membuat penampang stratigrafi. 3. Menafsirkan kondisi geologi yang mempengaruhi pembentukan hidrokarbon, migrasi dan akumulasinya. 4. Menyusun sejarah geologi. Dalam korelasi dikenal 2 macam metode yaitu organik dan anorganik. Metode organik atau paleontologi adalah metode korelasi dengan menggunakan fosil. Fosil yang digunakan adalah fosil penunjuk yang mempunyai persamaan evolusi. Sedangkan metode anorganik menggunakan kesamaan litologi atau urutan dari stratigrafinya. 1. Korelasi organik Korelasi ini secara umum dilakukan berdasarkan kandungan fosil yang terdapat pada suatu lapisan. Dalam hal ini yang dikorelasikan adalah puncak terdapatnya suatu fosil atau mulai terdapatnya suatu fosil. Berdasarkan fosil yang dipakai dibagi menjadi empat, yaitu : a. Berdasarkan fosil penunjuk (fosil indeks). b. Berdasarkan kesamaan perkembangan fosil yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan hidup. c. Berdasarkan persamaan derajat evolusi. 41

58 d. Berdasarkan derajat kesamaan fosil yang terdapat dalam batuan. Dengan batasan minimal 40% dari jumlah fosil yang ditemukan dalam batuan. 2. Korelasi anorganik Korelasi ini dilakukan dengan membandingkan unsur kesamaan litologi (urutan stratigrafi). Metode ini sering dilakukan, adapun macamnya adalah : a. Memakai lapisan petunjuk ( key bed dan marker bed ). Lapisan ini mempunyai penyebaran lateral yang luas, mudah dikenal baik dari data singkapan, serbuk bor, inti bor pemboran ataupun data log mekanik, penyebaran vertikal dapat tipis ataupun tebal. Lapisan yang bisa dijadikan key bed antara lain : abu vulkanik, lapisan tipis batugamping, lapisan tipis serpih (shale break) dll. b. Horizon dengan karaktersitik tertentu karena perubahan kimiawi dari massa air akibat perubahan pada sirkulasi air samudra seperti zona-zona mineral tertentu c. Korelasi dengan cara meneruskan bidang refleksi pada penampang seismik. d. Korelasi atas dasar persamaan posisi stratigrafi baatuan. e. Korelasi atas dasar aspek fisik/liologis. Metode korelasi ini merupakan metode yang sangat kasar dan hanya akurat diterapkan pada korelasi jarak pendek. f. Korelasi atas dasar horizon siluman (phantom horizon). g. Korelasi atas dasar maksimum flooding surface. Maximum flooding surface merupakan suatu permukaan yang memisahkan lapisan yang lebih tua dari lapisan yang lebih muda yang menunjukan adanya peningkatan kedalaman air secara tiba-tiba. Pemilihan bidang datum dilakukan sebelum pengkorelasian antar sumur. Bidang datum ini akan dipakai untuk menggantungkan seluruh penampang sumur yang diteliti. Bidang datum ini harus merupakan suatu lapisan yang diyakini kebenarannya dan dapat ditemui disetiap sumur, dan tentu saja mudah dikenali dari bentuk konfigurasi loglognya. Untuk mempermudah pengkorelasian efektifitas dan efisiensi kerja, maka 42

59 pemilihan bidang datum sebaiknya berdekatan dengan lapisan ataupun formasi yang akan diteliti yang kemungkinan untuk ditemukannya hidrokarbon relatif besar. Prosedur korelasi : 1. Menentukan horison korelasi dengan cara membandingkan log mekanik dari suatu sumur tertentu terhadap sumur dan mencari bentuk-bentuk atau pola-pola log yang sama atau hampir sama. 2. Selanjutnya dilakukan pekerjaan menghubungkan bentuk-bentuk kurva yang sama/hampir sama dari bagian atas kearah bawah secara kontinyu. Korelasi secara top down dihentikan jika korelasi tidak bisa dilakukan lagi. Kemudian korelasi dilakukan secara bottom up. Adanya zona-zona yang tidak bisa dikorelasikan dapat ditafsirkan karena pengaruh struktur (patahan, ketidakselarasan) atau stratigrafi (pembajian, channel fill, pemancungan, perubahan fasies). 3. Setelah korelasi selesai dilakukan akan didapatkan penampang melintang, baik penampang struktur ataupun penampang stratigrafi. Dalam pembuatan penampang struktur datum diletakkan pada posisi seperti keadaan saat ini (biasanya sea level sebagai datum). 4.4 Seismik Metode seismik merupakan cabang geofisika yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang sifat fisik batuan yang membentuk kulit bumi sampai analisa struktur dan keadaan stratigrafi bawah permukaan. Interpretasi seismik dalam eksplorasi minyak dan gas bumi adalah untuk menentukan ketebalan suatu lapisan batuan, struktur geologi, stratigrafi dan penyebaran lapisan batuan, yang akhirnya dipergunakan untuk menggambarkan struktur bawah permukaan dalam bentuk peta struktur (sturucture map) dan peta ketebalan (isopach map atau isochron map). Energi yang dihasilkan dari sumber dan dipancarkan ke dalam bumi sebagai gelombang seismik, pada saat bertemu dengan bidang perlapisan yang berfungis sebagai 43

60 reflector, akan memantulkan kembali ke permukaan dan kemudian dideteksi oleh geophone yang terekam di permukaan bumi. Pemantulan ke permukaan tergantung pada litologi, umur, kedalaman, densitas, porositas, kandungan fluida, dll. Jenis seismik ada dua macam, yaitu seismik bias (refraction) dan seismik pantul (reflection). 1. Seismik bias (refraction) Seismik refraksi digunakan untuk penelitian geologi atau geofisik yang dangkal (< 30 km). Adapun faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan rambat seismik refraksi adalah : a. Densitas batuan b. Ketebalan elastik media c. Jenis batuan d. Porositas dan permeabilitas e. Fluida yang mengisi pori pori batuan f. Umur batuan 2. Seismik pantul (reflection) Seismik refleksi digunakan untuk penelitian yang dalam (> 30 km). Karena hal ini lebih efektif sehingga seismik refleksi dapat mencapai inti bumi bagian dalam (inner core). Faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan rambat gelombang seismik pantul sama dengan seismik bias. Tujuan terpenting dalam interpretasi seismik adalah mengolah data seismik manjadi informasi geologi sebanyak mungkin, terutama dalam bentuk struktur-struktur geologi. Untuk itu diperlukan pengalaman dalam membaca pola-pola seismik yang menunjukan adanya patahan, lipatan dan kondisi stratigrafi tertentu. Untuk mengungkapkan fenomena data seismik pantul dalam arti geologi, seorang interpreter harus menguasai faktor data dan penguasaan ilmu geologi. Langkah-langkah yang diambil untuk interpretasi penampang seismik pada prisipnya meliputi : 44

61 1. Korelasi dengan sumur pengikat (tie well) adalah untuk membandingkan horizon/garis pada penampang seismik dengan formasi yang telah diketahui kedalamannya dari sumur pemboran. Harga kedalaman yang diukur, dari sea level sebagai datum. 2. Penentuan horison yang dipetakan Horison seismik yang ditentukan, sebaiknya pada atau berdekatan dengan lapisan yang diperkirakan produktif atau mewakili parameter marker stratigrafi, dan horison tersebut menerus sepanjang lintasan. Bila horison hanya bersifat lokal, harus dicarikan horison lainnya, yang penyebaran menerus. 3. Tracing atau mengikuti lapisan yan dipetakan sepanjang penampang seismik dan diberi warna tertentu. Dalam tracing harus dikenali adanya patahan dari gejala-gejala nampak pada penampang seismik, seperti adanya pergeseran horison dan sebagainya. 4. Seluruh garis seismik yang telah di-trace, harga TWT (two way time) yang didapatkan, plot pada peta dasar lintasan seismik. Titik-titik yang sama nilainya dihubungkan dengan membentuk garis kontur. Dari hasil interpretasiyang dibuat, akan menghasilkan peta-peta sebagai berikut: 1. Peta struktur (structure map), contoh : peta struktur top formasi 2. Peta ketebalan (isochrone map atau isopach map) Isochrone map (dalam waktu atau TWT) Isopach map (dalam meter atau feet) seorang interpreter juga harus mengetahui stratigrafi seismik dalam menganalisa data seismik. Stratigrafi seismik adalah cabang dari seismik yang mempelajari pola pengendapan berdasarkan data seismik (Gambar 4.2). Kenampakkan yang dipakai dalam analisa seismik adalah : 1. Terminal yang dipakai dalam analisa seismik stratigrafi adalah : Onlap 45

62 Downlap Toplap Erosionaltruncation dll. 2. Karakter reflektor seismik Kontuinitas Flat Dipping Cliniform dll Gambar 4.2 Terminasi reflector seismic (Allen,1999) 4.5 Pemetaan Bawah Permukaan Pada prinsipnya pemetaan bawah permukaan sama dengan pemetaan pada permukaan, hanya terdapat beberapa perbedaan yang agak mencolok. Pada pemetaan permukaan kita berhadapan dengan satu bidang permukaan dan yang dipetakan adalah sifat sifat/ keadaan geologi/ topografi yang dimanifestasikan pada bidang permukaan tersebut. Suatu hal yang khas dari peta peta bawah permukaan adalah sifat kuantitatif dari peta peta tersebut. Sifat kuantitatif itu dinyatakan dengan apa yang dinamakan garis iso 46

63 atau secara populer disebut garis kontur. Garis ini menyatakan titik titik yang mempunyai nilai sama, terutama nilai kuantitatif dari suatu gejala atau sifat tertentu yang terdapat suatu bidang permukaan (perlapisan) atau dalam interval antar dua bidang permukaan/perlapisan. Nilai dari gejala tersebut dapat berupa : 1. Kedalaman suatu lapisan terhadap permukaan laut (kontur struktur) 2. Kedalaman suatu permukaan (bidang ketidakselarasan, basement (isolath) 3. Ketebalan suatu interval antar dua bidang. 4. Ketebalan total lapisan lapisan batuan tertentu dalam suatu interval (isolith). 5. Persentase ketebalan total lapisan lapisan batuan tertentu dalam suatu interval perlapisan (iso presentase). 6. Perbandingan (ratio) ketebalan total suatu lapisan batuan tertentu terhadap ketebalan lapisan lain (iso ratio). Yang dimaksud dengan pemetaan geologi bawah permukaan adalah peta yang dibuat khusus berdasarkan data hasil pemboran eksplorasi minyak bumi. Namun dewasa ini dengan majunya metode metode processing geofisik terutama metode seismik, banyak pula peta peta bawah permukaan yang dibuat berdasarkan data seismik. Sering peta struktur berkontur dibuat berdasarkan atas hasil refleksi seismik, dan karena kedalaman-kedalaman yang didapatkan masih bersifat interpretatif, berupa kedalaman waktu. Garis-garis demikian dinamakan isochron Prinsip Penggambaran Garis Kontur Penggambaran garis kontur merupakan suatu operasi teknik mekanistik yang harus dibimbing oleh pemikiran geologi dan apresiasi estetika. 1. Prinsip interpolasi/prinsip titik kontrol, garis kontur dengan nilai tertentu digambarkan diantara titik titik kontrol. Nilai garis kontrol harus berada diantara nilai yang tercantum pada kedua titik kontrol. 47

64 2. Prinsip ekstrapolasi atau prinsip keseragaman antara (spacing), penggambaran garis kontur dapat diteruskan diluar titik kontrol dengan memelihara keseragaman spacing dan bentuk. 3. Garis kontur tidak mungkin bercabang, hal ini merupakan prinsip dari segi estetika. Jika keadaan memaksa demikian gambarkan dua garis kontur dengan nilai yang sama sejajar dan berdekatan. 4. Garis kontur tidak mungkin berpotongan (dengan pengecualian), ini adalah akibat pada point Satu garis kontur tidak dapat bertindak sebagai nilai maksimum, dimana dalam kedua belah arah nilai garis kontur bersama sama meningkat atau bersama sama menurun. Dalam keadaan demikian selalu harus digambarkan dua garis kontur dengan nilai sama. 6. Prinsip keseragaman bentuk, dari segi estetika dan geologi penarikan garis kontur dibimbing sedemikian rupa sehingga bentuknya serupa, seragam, atau subpararel. Sesuaikan dengan bentuk geologi (struktur, ketebalan sedimen). 7. Sesuaikan bentuk garis kontur dengan bentuk ideal geologi yang dipetakan. Jika ada yang dipetakan adalah struktur geologi atau bentuk tektonik, maka harus dapat membayangkan bentuk-bentuk lipatan, struktur, antiklin, sumbu-sumbu lipatan, patahan dsb yang akan membimbing kita dalam memberikan bentuk pada garis kontur Pembuatan Peta Bawah Permukaan antara lain 1. Peta Top Struktur Peta ini menunjukkan penyebaran puncak suatu lapisan di bawah permukaan. Peta ini didapatkan dengan mencantumkan meter bawah permukaan laut (mbpl) top lapisan pada setiap sumur. Nilai-nilai sebagai acuan membuat kontur struktur. 48

65 2. Peta Gross Isopach Mekanisme pembuatan peta gross isopach sama dengan pembuatan peta top struktur, namun data yang digunakan dalam pembuatan peta ini adalah ketebalan dari suatu lapisan. Dengan demikian peta gross isopach tidak berhubungan dengan ketinggian atau kedalaman tetapi peta ini menggambarkan penyebaran tebal tipisnya lapisan. 3. Peta Net Isopach Peta ini menggambarkan akumulasi ketebalan batupasir yang ada dalam suatu lapisan. Sama halnya dengan peta gross isopach, peta ini tidak berhubungan dengan ketinggian melainkan menggambarkan ketebalan. 4. Peta Horison Informasi yang dapat dilihat pada peta horison adalah pola penyebaran lapisan yang ditunjukkan oleh kontur struktur, penyebaran ketebalan batupasir yang ditunjukkan dengan kontur net isopach dan batas minyak air/oil water contact (OWC) ataupun oil down to (ODT). Dengan demikian peta horison merupakan gabungan dari peta top struktur dan peta net isopach. 5. Peta Net Pay Peta ini menggambarkan ketebalan batupasir yang mengandung hidrokarbon. Lain halnya dengan peta net isopach yang menginformasikan ketebalan batupasir secara keseluruhan. 4.6 Perhitungan Cadangan Hidrokarbon Metode perhitungan cadangan dalam dunia perminyakan adalah jumlah kandungan hidrokarbon yang terdapat di dalam reservoir. Berdasarkan nilainya, cadangan digolongkan dalam : 49

66 1. Cadangan Minyak mula mula di Reservoir (STOIIP) Adalah jumlah cadangan minyak pada reservoir secara keseluruhan sebelum diproduksikan, biasa ditulis dengan STOIIP. 2. Cadangan Minyak Yang Dapat Terambil (Recoverable Reserve) Cadangan minyak ekonomis adalah jumlah cadangan minyak yang terdapat pada reservoir yang bisa diproduksikan, biasa dinotasikan RR. Perbandingan antara cadangan minyak ekonomis dengan cadangan minyak mula mula disebut sebagai recovery factor, secara matematis adalah : RR RF = STOIIP X 100% Metode Perhitungan Cadangan Secara umum perhitungan cadangan Secara umum perhitungan cadangan dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu : Metode Volumetrik. Metode Material Balance. Metode Decline Curve (Curva penurunan produksi). 1. Penentuan Cadangan Minyak dan Gas dengan Metode Volumetris Pada metode ini perhitungan didasarkan pada persamaan volume, data data yang menunjang dalam perhitungan cadangan ini adalah porositas dan saturasi hidrokarbon, persamaan yang digunakan dalam metode volumetrik adalah : STOIIP = 7758 x V b x ø x S h BOI X (STB) Atau STOIIP = X (STM 3 ) V b x ø x S h BOI 50

67 Dimana : STOIIP = Volume hidrokarbon mula-mula (a) STB atau (b) STM 3 Vb = Volume reservoir, (a) acre-ft atau (b) m 3 Ø = Porositas batuan Sh = Hidrokarbon saturasi Boi = Faktor volume formasi minyak mula mula (a) BBL/STB atau (b) m 3 /STM 7758 = Konstanta konversi, BBL/acre-ft. Sedangkan cadangan minyak yang dapat terambil adalah : RR = STOIIP x RF Dimana : STOIIP = Volume hidrokarbon mula mula, STB atau STM 3 RR = Cadangan hidrokarbon yang dapat diambil, STB atau STM 3 RF = Harga Recovery Factor. Sedangkan untuk Gas yaitu : IGIP = x Vb x x 1-Sw Φ BGI Dimana : IGIP = Volume gas mula mula ( STB ) Vb = Volume reservoir, (a) acre-ft atau (b) m 3 ø = Porositas batuan Sh = Hidrokarbon saturasi BG =Faktor volume formasi gas mula mula (a) BBL/STB atau (b) m 3 /STM = Konstanta konversi, BBL/acre-ft. 51

68 2. Volume Bulk Reservoir Dalam perhitungan volume reservoir dibutuhkan data berupa net pay area dan alat planimeter, dimana alat planimeter akan dapat mengukur luas masing masing kontur ketebalan yang ada pada peta net pay area. Kemudian dari bentuk kontur yang ada pada peta tersebut, dapat digambarkan bentuk reservoir. Untuk menghitung volume reservoir, ditentukan dengan dua cara pryramidal dan cara trapezoidal. a. Cara Pyramidal Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang berurutan kurang atau sama dengan 0,5 atau A n + 1 / A n < 0,5 Dimana persamaan yang digunakan : Vb = h 3 x An + An An x An+1 b. Cara Trapezoidal Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara luas kontur yang berurutan lebih dari 0,5 atau A n + 1 / A n > 0,5 Persamaan yang digunakan : Vb = h 2 x An + An + 1 Dimana : Vb : Volume Bulk (m 3 ) H : Inteval garis garis net pay area (m) A n : Luas daerah yang di batasi oleh net pay terendah (m 2 ) A n+1 : Luas daerah yang dibatasi oleh garis net pay diatasnya (m 2 ) 52

69 BAB 5 PENYAJIAN DATA Studi yang akan dilakukan dalam penelitian merupakan studi analisis obyektif yang diperoleh selama penelitian berlangsung yang akan digunakan sebagai dasar interpretasi. Penyajian data penelitian secara lengkap dan sistematis merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan suatu penelitian. Dalam metode penyajian data sangat membutuhkan kemampuan individu untuk mengolahnya dimana haruslah didukung dengan teknologi dan informasi, dasar teori yang kuat untuk mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan dalam penelitian, serta kelengkapan data yang disajikan dalam penelitian. 5.1.Data Primer Data Log Data log sumur dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui litologi penyusun lapisan, lingkungan pengendapan, sifat-sifat petrofisik dan untuk menentukan karekterisasi suatu lapisan batuan. Data log ini juga nantinya dilakukan korelasi antar sumur baik korelasi stratigrafi serta korelasi struktur yang bertujuan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan. Data sumur berupa nilai log Gamma ray (GR), log Resistivity (log ILD), log Sonic (log DT) (Gambar 5.2). Penelitian ini menggunakan enam data log sumur yaitu : log sumur K-1, A-1, W-1, T-1, MS-1, JS-1 (Gambar 5.1). 53

70 Gambar 5.1 Basemap sumur lapangan JULIA (Bp Indonesia) Gambar 5.2 Contoh log sumur W-1 54

71 5.1.2 Data Seismik Tujuan utama dari data interpretasi seismik untuk mengetahui gambaran lapisanlapisan batuan bawah permukaan dengan melakukan picking horison (Gambar 5.4) yang nantinya akan menghasilkan peta bawah permukaan. Dari data seismik ini dapat diketahui struktur geologi, stratigrafi dan penyebaran lapisan batuan, yang akhirnya untuk menggambarkan struktur bawah permukaan dalam bentuk peta struktur waktu (struktur time map) dan peta ketebalan (isopach map atau isochron map) serta pola pengendapan maupun nilai yang lain khususnya yang berhubungan dengan seismik. Pada daerah telitian, terdapat 23 line seismik yang dapat dianalisis (Gambar 5.3). Gambar 5.3 Basemap line seismic (BP Indonesia) 55

72 N S Top F.Klasafet Onlap Base F.Kais Top F.Kais Basement Gambar 5.4 Contoh data seismik yang melewati sumur W Data Cutting Data cutting digunakan untuk membantu dalam menentukan jenis litologi, dan menentukan lingkungan pengendapan. Data cutting yang digunakan berasal dari satu sumur yaitu, sumur JS-1 dari kedalaman 10,452 14,350 feet (Gambar 5.5). 56

73 Gambar 5.5 Data cutting pada sumur JS Data Petrofisik Berisi data numerik dari nila-nilai log pada tiap-tiap sumur dimana data tersebut digunakan dalam menghitung besarnya harga porositas efektif dan porositas total, harga SW dari zona produktif pada sumur-sumur telitian akhirnya akan menghitung besarnya cadangan hidrokarbon. Selain itu hasil dari perhitungan SW ini digunakan untuk menentukan jenis fluida yang terdapat pada daerah telitian, dimana berpengaruh terhadap perhitungan cadangan hidrokarbon. 57

74 5.2.Data Sekunder Jurnal-Jurnal Perusahan dan Laporan Hasil Produksi Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung data primer, data sekunder yang diperoleh berupa jurnal jurnal atau referensi-referensi perusahaan, yang berfungsi untuk mengetahui geologi regional daerah telitian. Disamping itu, diperoleh laporan-laporan hasil produksi dan hasil tes lapangan yakni berupa data well file report (final well report, final geological report, hydrocarbon source profil). Data ini berfungsi untuk mengetahui stratigrafi daerah telitian yang mencakup formasi, umur formasi, litologi penyusun, lingkungan pengendapan dll Data Bgi Data ini merupakan data penunjang yang digunakan untuk pehitungan cadangan. Data Bgi pada daerah telitian adalah 261 didapat dari dareah Vorwata pada kedalaman ft ft. 58

75 BAB 6 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada lapangan JULIA yang termasuk dalam Cekungan Bintuni daerah Propinsi Papua. Penelitian dilakukan pada 6 sumur yang terdapat pada daerah telitian. Pada analisis dan pembahasan yang dilakukan pada bab ini, peneliti telah melakukan beberapa analisis dan interpretasi antara lain analisis data serbuk bor (cutting), analisis sumur (wireline log), analisis data seismik serta pembuatan peta bawah permukaan. Data log yang digunakan dalam analisis adalah gamma ray (GR), resisitivity (ILD), serta sonik (DT). Data log ini digunakan dalam 2 analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Untuk analisa kualitatif berupa penentuan jenis litologi, kandungan fluida interpretasi lingkungan pengendapan, korelasi. Sedangkan untuk analisis kuntitatif merupakan analisis petrofisik yang meliputi kandungan lempung dalam batuan (Vsh), porositas (Ф), resistivitas air (Rw) dan saturasi water (Sw). 6.1 Analisis Data Cutting Penggunaan data serbuk bor atau cutting untuk menentukkan karekteristik reservoar berupa litologi penyusun serta lingkungan pengendapan. Deskripsi cutting dilakukan dengan mengamati kenampakan serbuk bor, yang meliputi; jenis batuan, warna, tekstur (ukuran butir, sortasi, dan sebagainya), komposisi semen dan matriks, struktur sedimen, kandungan fosil, aksesoris mineral dan fragmen batuan. Pada analisa cutting, yang dilakukan pada sumur JS-1 menunjukan litologi yang dominan pada lapisan telitian yang merupakan Formasi Kais adalah batugamping mudstone hingga grainstone (Gambar 5.5). Interval m, terdapat perselang selingan antara batupasir dengan batulempung. 59

76 Interval m, terdapat serpih, batugamping dan sedikit lapisan dolomit. Interval m, terdapat perselang-selingan antara serpih dengan batugamping. Terdapat foraminífera bentonik. Interval m, terdapat perselang selingan antara batugamping mudstone, batugamping wackstone, batugamping packstone, batugamping grainstone (klasifikasi Dunham,1962). Dari data cutting diatas pada interval m, terdapat perselang selingan antara batupasir dan batulempung. Dari litologi penyusun yang ada dapat dinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapannya berupa lingkungan darat-transisi dimana masih dipengaruhui detritus atau material darat. Pada interval m terdapat litologi berupa serpih dengan fosil berupa foraminifera bentonik, Dimana fosil ini merupakan ciri dari endapan lingkungan laut dalam. Pada interval m dapat diinterpretasikan adanya arus lemah hingga sedang yang ditandai oleh hadirnya batugamping mudstone hingga wackstone. Kemudian adanya fase pendangkalan yang ditunjukan oleh batugamping packstone hingga grainstone yang menunjukan energi pengendapan yang tinggi. Disamping itu, terdapat fosil berupa Foram, algae, coral, bryzoa dll. Dari hasil interpretasi tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapann berupa laut dangkal. 6.2 Analisis Data Log (Wireline Log) Dari data log pada tiap sumur yang ada, dapat dilakukan beberapa analisis berupa analisis kulitatif yang terdiri dari interpretasi litologi, penentuan kandungan fluida serta penentuan lingkungan pengendapan. Analisa yang digunakan sebanyak 5 sumur pada daerah telitian yaitu sumur K-1, A-1, W-1, T-1, JS-1. Dari kelima sumur ini dihubungkan dengan sebuah lintasan korelasi yang berarah Baratlaut-Tenggara (Gambar 5.1).. 60

77 6.2.1 Analisis Kualitatif Sumur K-1 Identifikasi Litologi Sumur K-1 terletak disebelah barat daerah telitian. Formasi Klasafet pada sumur ini berada pada kedalaman m sedangkan Formasi Kais pada kedalaman m. Berdasarkan corak kurva log pada sumur K-1, dapat diintepretasikan terdapat litologi berupa batugamping yang ditandai dengan kenampakan kurva gamma ray yang condong ke kiri dengan nilai GR lebih kecil sedangkan pada kurva resistivity lebih condong ke kanan dengan nilai ILD yang besar. Pada interval m terdapat lapisan serpih, hal ini dapat dilihat dari nilai kurva GR dan ILD relatif sedang dan menunjukan kenampakan yang sama antara log GR dan ILD, sedangkan pada log sonik nilai DT semakin besar atau condong ke kiri. Litologi batugamping merupakan litologi penyusun dari Formasi Kais sedangkan litologi serpih merupakan litologi penyusun dari Formasi Klasafet. (Gambar 6.1) Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan litologi penyusun pada sumur K-1 dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan berupa lingkungan laut dangkal. Hal ini dapat dilihat dengan hadirnya lapisan batugamping yang menunjukan pengendapan pada lingkungan laut dangkal. 61

78 Gambar 6.1 Interpretasi log pada sumur K Sumur A-1 Identifikasi Litologi Sumur A-1 berada di sebelah timur sumur K-1 dari daerah telitian. Pada sumur ini kedalaman dari Formasi Klasafet pada interval m sedangkan Formasi Kais pada kedalaman m. Sama halnya dengan mengidentifikasi litologi pada sumur K-1, dengan pembacaan corak kurva log pada sumur A-1, didapat corak yang hampir sama. Dimana pada m terdapat batugamping dengan nilai GR yang kecil (condong ke kiri) sedangkan pada log resistivitas bernilai besar (condong ke kanan) dan nilai log sonik relatif kecil (condong ke kiri). Disamping itu, pada kedalaman m, mengidentifikasikan litologi berupa serpih yang merupakan penyusun dari Formasi Klasafet. (Gambar 6.2) Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan litologi yang ada pada sumur A-1, dapat diinterpretasi lingkungan pengendapan Formasi Kais berupa lingkungan laut yaitu laut dangkal. 62

79 Identifikasi ini berdasarkan adanya batugamping yang merupakan ciri dari endapan laut dangkal. Gambar 6.2 Interpretasi log pada sumur A Sumur W-1 Identifikasi Litologi Sumur W-1 terletak di sebelah timur dari sumur K-1 dan A-1. Pada sumur ini Formasi Klasafet berada pada kedalaman m sedangkan Formasi Kais pada kedalaman m. Berdasarkan kenampakan corak kurva log pada sumur ini didapat 3 litologi yang diidentifikasi yaitu batulempung pada interval m yang merupakan litologi penyusun dari Formasi Steenkool yang berumur Plio-Pleistosen. Serpih yang merupakan litologi penyusun dari Formasi Klasafet dan lapisan batugamping pada Formasi Kais. Untuk identifikasi serpih dan batugamping, kenampakan log kurva pada sumur bentukannya hampir sama dengan kenampakan log kurva seperti sumur K-1 dan A-1. Sedangkan litologi batulempung kenampakan log kurva sedikit berbeda yaitu pada kurva log GR bernilai besar jika dibandingkan dengan nilai GR pada batugamping dan serpih. 63

80 Hal ini disebabkan karena sifat radioaktif dari batulempung sangat tinggi sehingga menunjukan kurva log yang lebih condong ke kanan (Gambar 6.3). Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan litologi yang telah diidentifikasi, maka dapat diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Kais pada sumur W-1 berupa laut dangkal. Gambar 6.3 Interpretasi log pada sumur W Sumur T-1 Identifikasi Litologi Sumur T-1 berada di sebelah timur daerah telitian. Pada sumur ini Formasi Klasafet berada pada kedalaman m, sedangkan pada Formasi Kais pada kedalaman m. Berdasarkan kurva log dapat diidentifikasi berupa litologi batugamping dan serpih. Lapisan batugamping terdapat pada kedalaman 3841 m. Identifikasi batugamping ini didasari oleh adanya perubahan corak kurva log DT yang lebih condong ke kanan dengan nilai lebih kecil. 64

81 Disamping itu, dilihat dari corak log kurva GR yang nilainya lebih beragam jika dibandingkan dengan kurva log yang mencirikan lapisan serpih.(gambar 6.4). Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan litologi yang telah diidentifikasi, dapat diinterpretasi lingkungan pengendapan Formasi Kais berupa lingkungan laut dangkal, hal ini dapat dilihat dari endapan batugamping. Sedangakan untuk lapisan serpih yang merupakan litologi penyusun Formasi Klasafet diidentifikasi merupakan endapan lingkungan laut dalam. Gambar 6.4 Interpretasi log pada sumur T Sumur JS-1 Identifikasi Litologi Formasi Klasafet pada sumur JS-1 berada pada kedalaman m sedangkan Formasi Kais pada kedalaman m. Corak kurva log pada sumur JS-1 ini hampir sama dengan log kurva pada sumur T-1. Perubahan corak 65

82 kurva yang drastis (lebih condong ke kiri) dengan nilai GR lebih kecil pada kedalaman 4127m, merupakan ciri dari litologi batugamping.. Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan identifikasi litologi, dapat diinterpretasi lingkungan pengendapan Formasi Kais berupa lingkungan dangkal, yang dicirikan dengan adanya lapisan batugamping. Sedangkan lapisan serpih merupakan ciri dari endapan laut yang tenang, jadi lingkungan pengendapan berupa laut dalam. Hal ini, disebabkan karena adanya penurunan cekungan. Sehingga tampak pada log adanya penebalan lapisan serpih. Gambar 6.5 Interpretasi log pada sumur JS Kandungan Fluida Dalam penentuan adanya hidrokarbon dapat dilihat dari pola log resistivitas setelah diketahui lapisan yang memungkinkan sebagai batuan reservoar. Batuan reservoar yang mengandung hidrokarbon akan ditunjukan dengan nilai tahanan jenis yang lebih besar yaitu defleksi ke kanan (defleksi log resistivitas gas lebih besar dari 66

83 minyak) sedangkan pada reservoar yang mengandung air akan menunjukan nilai resistivitas yang lebih kecil. Interpretasi fluida dilakukan pada Formasi Kais yang kemudian akan dihitung cadangan hidrokarbonnya. Untuk menentukan kandungan fluida dalam reservoar apakah berupa minyak, gas atau air yaitu dengan mengamati kombinasi antara log neutron dan densitas. Namun data log yang dimiliki pada daerah telitian sangat minim, dimana kedua log tersebut tidak dimiliki oleh peneliti, sehingga interpretasi kandungan fluida hanya dapat diketahui dari perhitungan petrofisik, yaitu dengan melihat nilai cut off dari ILD. Dimana apabila nilai ILD lebih besar dari 20 ohmm menunjukan fluida berupa minyak atau gas. Sedangkan apabila nilai ILD kurang dari 20 ohmm berupa kandungan air. Berdasarkan cutt off tersebut maka kontak antara gas dan air (GWC) terdapat pada interval m (table 6.1). Kedalaman Mid GR IGR V clay ILD DT Ф S Sw Poin (m) (m) (GAPI) (ohmm) (us/ft) GWC Tabel 6.1 Data perhitungan petrofisik sumur W-1 dalam menentukan kandungan fluida Korelasi Sumur Korelasi merupakan suatu upaya menghubungkan titik-titik kesamaan waktu atau menghubungkan satuan-satuan stratigrafi dengan mempertimbangkan kesamaan waktu (SSI,1996). Korelasi dilakukan dengan menghubungkan data wireline log dengan tujuan untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan baik secara stratigrafi maupun struktur. Korelasi juga dilakukan dalam upaya untuk mengetahui bagaimana kemenerusan dari suatu reservoir dan letak hidrokarbon yang dapat terakumulasi. 67

84 Korelasi yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua korelasi yaitu korelasi stratigrafi dan korelasi struktur pada Formasi Kais sebagai reservoar. Penampang korelasi yang dibuat dengan melalui lintasan korelasi yang berarah Baratlaut-Tenggara dengan melalui lima sumur pada daerah telitian yaitu: sumur K-1, A-1, W-1, JS-1, T-1 (Gambar 5.1) Korelasi Struktur Korelasi struktur dilakukan dengan menghubungkan masing-masing sumur dengan acuan lapisan penunjuk (datum) (Tearpock and Bischke,1991) yaitu berupa kedalaman atau True Vertical Depth Sub Sea (TVDSS). Datum ini berfungsi sebagai marker dalam menginterpretasikan kondisi struktur di bawah permukaan. Datum pada korelasi struktur yang dilakukan yaitu pada kedalaman 2000m. Dari korelasi struktur yang dilakukan, dapat digambarkan bahwa pada Formasi Kais terdapat struktur berupa sesar normal. Dimana sesar tersebut terlihat diantara sumur A-1 dengan W-1 dan antara sumur W-1 dengan T-1 (Gambar 6.6). Disamping itu, dapat digambarkan pada sumur K-1 letaknya lebih tinggi bila dibandingkan dengan sumur yang lain, hal ini dapat dianalisis bahwa daerah ini merupakan suatu bentukan antiklin. GWC Gambar 6.6 Korelasi struktur pada lapangan JULIA 68

85 Korelasi Stratigrafi Korelasi stratigrafi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah lintasan sumur yang berarah Baratlaut-Tenggara, lintasan ini sama halnya dengan lintasan yang dilakukan pada korelasi struktur sebelumnya. Korelasi stratigrafi ini dilakukan bertujuan untuk dapat mengetahui penyebaran litologi secara lateral di bawah permukaan, menempatkan posisi secara stratigrafi berdasarkan umur serta karekteristik litologi. Dari hasil korelasi stratigrafi ini hasilnya selanjutnya akan dilakukan pembuatan peta struktur kedalaman berdasarkan kelurusan peta struktur waktu. Pada korelasi stratigrafi ini, datum atau key bed yang digunakan berupa kesamaan umur top Formasi Klasafet dari setiap sumur (Tabel 6.2). Berdasarkan korelasi stratigrafi yang dilakukan dapat diinterpretasikan bahwa batugamping diendapakan secara luas disemua daerah telitian. Ketebalan batugamping pada tiap sumur sangat beragam, hal ini disebabkan karena sumur yang dilakukan tidak menembusi bottom dari Formasi Kais. Sehingga ketebalan batugamping sesungguhnya tidak dapat diidentifikasi secara akurat. (Gambar 6.7). disamping itu, terdapat lapisan serpih yang merupakan endapan dari Formasi Klasafet. Berdasarkan korelasi stratigrafi, dapat dilihat penebalan lapisan serpih di sebelah tenggara, hal ini menunjukan adanya onlaping terhadap Formasi Kais. Sumur Top Formasi Klasafet K A W T JS 3186 Tabel 6.2 Data top Formasi Klasafet (sebagai datum pada korelasi stratigrafi) 69

86 GWC Gambar 6.7 Korelasi stratigrafi pada Lapangan Julia Analisis Kuantitatif Analisis kuntitatif dilakukan dengan menggunakan persamaan rumus dalam mencari harga-harga dari sifat fisik batuan yang nantinya akan berguna dalam perhitungan cadangan hidrokarbon. Parameter-parameter yang harus diidentifikasikan adalah tahanan jenis air formasi (Rw), porositas (Ф), saturasi water (Sw). Untuk analisis kuntitatif peneliti memilih dua sumur yang memiliki kenampakkan log yang baik yaitu sumur A-1 dan sumur W-1. Pada pembahasan ini, contoh analisis petrofisik dilakukan pada sumur A-1 pada interval m. 70

87 1. Menentukan Harga IGR dan Volume Lempung (Vlp) Dimana rumus yang digunakan adalah : IGR = GR Log GR Min GR Max GR Min (2 IGR) Vlp = 0,33 (2-1,0) Dimana: IGR = indeks gamma ray Vlp = volume lempung GR log = harga kurva GR formasi (dibaca dari log GR) GR min = harga log GR minimum (zona bersih) GR max = harga log GR maksimum (lempung) Contoh perhitungan IGR dan Vlp adalah sebagai berikut: GR Log = 44 GR Min = 12 GR Max = 60 IGR = 145,88 26,5_ 209,37 26,5 = 0,66 (2 0,66) Vlp = 0,33 (2-1,0) = 0,5 2. Menghitung Porositas Sonik (Ф) Dikarenakan data yang dimiliki hanya berupa log sonik (DT), maka perhitungan porositas berupa porositas sonik (Ф). Sehingga rumus yang digunakan berdasarkan Wyllie, 1958 yaitu: ФS = tlog - tma tf - tma 71

88 Dimana ФS : Sonic derived porosity tlog : interval transit time of formation (pembacaan kurva DT) tma : interval transit time of the matrik (tabel 6.3) tf : interval transit time of the fluida in the well born. (fresh mud = 189, salt mud = 185) Litologi Vma (ft/sec) tma (µsec/ft) tma (µsec/ft) (Commonly used) Sandstone Limestone Dolomit Anyhidryt Table 6.3 Sonic Velocities and Interval Times (after Schlumberger,1972) Contoh perhitungan Porositas (Ф) adalah sebagai berikut: tlog = 63 (us/ft) tma = 47.6 (µsec/ft) tf = 189 (fresh mud) ФS = = Tahanan Jenis Air Formasi (Rw) Untuk mencari tahanan jenis air formasi (Rw) dengan meggunakan metode Rwa. Rumus yang digunakan untuk menghitung harga dari Rw berdasarkan data ILD (Asquith and Gibson, 1982) adalah sebagai berikut : 72

89 Metode Rwa : Rw = Rt F = Rt_ a / Φ m Rw = Rt_ Φ m a Dimana: Rw = tahanan jenis air formasi (ohmm) Rt = nilai tahanan jenis ILD pada zona air 100% Ф = nilai porositas sonik (ФS) a = konstanta batuan 1 :batuan karbonat 0,62 : batupasir m = konstanta batuan 2 : batuan karbonat 2,15 : batupasir Contoh perhitungan tahanan jenis air formasi (Rw) adalah sebagai berikut: Rt = 40 ohmm a = 1 (batuan karbonat) m = 2 (batuan karbonat) Ф = 0,1089 Rw = 40 x 0, = 0,47 0hmm 73

90 4. Kejenuhan Air (Sw) Untuk menghitung kejenuhan air (Sw) menggunakan rumus Archie, metode pintas adalah sebagai berikut : Sw = a x Rw 1/n Ф m Rt Dimana: a = 1 (batuan karbonat) Rw = Resistivitas air Ф = Porositas sonik Rt = Nilai tahanan jenis ILD m = n = 2 Contoh perhitungan kejenuhan air (Sw) adalah sebagai berikut: a = 1 (batuan karbonat) Rw = 0,47 ohmm Ф = 0,1089 Rt = 110 ohmm m = n = 2 Sw = 1 x 0,47 ½ (0,1089) 110 = 0,6 74

91 6.3 Analisis dan Interpretasi Data Seismik Dalam analisis dan interpretasi geologi bawah permukaan pada lapangan JULIA digunakan data seismik dengan 23 lintasan seismik. Sebelum dilakukan pemetaan bawah permukaan (subsurface mapping) dilakukan picking horison pada 2 formasi yaitu Formasi Klasafet dan Formasi Kais. Tujuan dari dilakukannya interpretasi seismik ini yaitu untuk menentukan struktur geologi, stratigrafi dan penyebaran lapisan batuan, yang akhirnya dipergunakan untuk menggambarkan struktur bawah permukaan dalam bentuk peta struktur waktu (time structure map) (Gambar 6.11) Penarikan Picking Horison Beberapa tahapan sebelum melakukan interpretasi seismik adalah penentuan puncak masing-masing horison dengan cara melakukan análisis data sumur. Pada setiap sumur ditandai bottom dan top-top tiap formasi yang didukung dengan adanya data checkshot (Tabel 6.4). Penanda bottom dan top formasi ini bertujuan agara pada saat penarikan horison, interpretasi yang dilakukan tidak meluas dan hanya terfokus pada dua formasi saja yaitu Formasi Klasafet dan Formasi Kais. Dari hasil analisis data sumur kemudian diplotkan ke data seismik sebagai pengikat sumur terhadap data seismik (well to seismic tie). Dari data seismik yang dimiliki, langkah berikutnya adalah melakukan penarikan horison pada setiap lintasan seismik yang didasarkan pada kesamaan bentuk dan kemenerusan reflektor seismik. Horison yang dipilih terdiri dari 5 horison yaitu horison basement (kuning), horison base Formasi Kais (orange), top Formasi Kais (biru tua), top Formasi Klasafet (hijau) dan onlap (biru muda) (Gambar 6.8). 75

92 S N Top F.Kais Onlap Top F.Klasafet Basement Base F.Kais Gambar 6.8 Interpretasi picking horizon pada lintasan seismik yang melewati sumur MS-1 MD (meter) TVD (meter) Two Way Time (TWT) X Offset Y Offset TCD BWE Subsea TVD Top F. Klasafet Top F.Kais Tabel 6.4 Data Checkshot sumur MS-1 sebagai pengikat sumur terhadap data seismik 76

93 1. Horizon kuning (basement) Penarikan horizon yang berwarna kuning didasari atas kenampakan reflektor yang sangat kontras atau sangat jelas kemenerusannya jika dibandingkan dengan kenampakan reflektor yang ada disekitarnya. Strong reflector ini dapat dianalisis merupakan ciri dari lapisan batugamping. Lapisan batugamping ini diperkirakan berumur Eosen-Oligosen yang merupakan litologi penyusun dari Formasi Faumai, hal ini didasari oleh stratigrafi regional daerah telitian. Secara stratigrafi horizon ini adalah horizon terbawah yang dapat dianalisis. Jika dibandingkan dengan kontras reflektor yang ada disekitar horizon kuning memperlihatkan pola yang acak atau pecah (brittle). Pola yang acak tersebut diidentifikasi sebagai batuan metasedimen di daerah telitian. 2. Horison orange (base Formasi Kais) Horison yang berwarna orange merupakan horison yang ditandai pada base Formasi Kais yang berumur Miosen Tengah. Penandaan horison ini berdasarkan pengikat sumur terhadap data sesimik. Pada kenampakan pola konfigurasi seismik terlihat bahwa kontras reflektor sangat jelas dan dapat diikuti kemenerusannya, hal ini dapat diinterpretasikan pola tersebut sebagai batugamping didaerah telitian. Lintasan seismik yang melewati sumur MS-1, W-1 dan T-1 mempunyai pola refleksi seismik yang berbentuk oblique, menunjukan bahwa hubungan antara pemasukan sedimen yang cepat dengan dasar cekungan stabil. Turunnya cekungan pada daerah telitian diakibatkan karena adanya tektonik dimana pada analisis struktur data seimik terdapat sesar. 3. Horison biru tua (top Formasi Kais) Berdasarkan pengikat sumur terhadap data seismik dilakukan penarikan horison pada top Formasi Kais yang ditandai dengan horison berwarna biru tua. Formasi ini pada sumur MS-1 berada pada kedalaman 12790m (TVDSS) pada seismik terletak pada TWT (Tabel 6.4). Formasi Kais berumur Miosen Tengah dimana litologi penyusunnya berupa batugamping. Horison biru tua ini dicirikan dengan refleksi kuat dan menerus disetiap lintasan seismik. Formasi Kais merupakan formasi yang menjadi 77

94 bagian untuk diteliti. Bentuk dari refleksi seismik pada top Formasi Kais hampir sama dengan bentuk refleksi seismik pada horison orange (base Formasi Kais) yaitu ditandai dengan adanya refleksi seismik yang berbentuk oblique. Penurunan cekungan ini terjadi disebelah selatan daerah telitian. Hal ini dapat dilihat pada lintasan seismik yang dilewati sumur K-1 dan A-1 yang berada disebelah utara (Gambar 6.9), dimana horison yang berwarna biru tua pada sumur K-1 dan A-1 berada pada interval 1750 TWT. Jika dibandingkan dengan lintasan seismik yang melewati sumur MS-1 disebelah selatan, berada pada interval 2500 TWT. Jadi dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah telitian lingkungan pengendapan yang berada disebelah utara berupa lingkungan darat-laut dangkal sedangkan pada sebelah selatan berupa lingkungan laut dalam. 4. Horison biru muda (onlap) Horison yang berwarna biru muda ini, ditandai berdasarkan identifikasi reflektor seismik yang berbentuk onlaping terhadap Formasi Kais. Hal ini dikarenakan adanya penurunan cekungan yang berada di sebelah selatan daerah telitian, sehingga mengakibatkan adanya lapisan onlap. Horison ini dicirikan dengan tidak menerusnya horison seismik atau dengan kata lain horison biru muda terhenti pada horison yang berwarna biru tua (top Formasi Kais). Dengan hadirnya lapisan onlaping ini dapat diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan berupa laut dalam. 5. Horison hijau (top Formasi Klasafet) Top Formasi Klasafet merupakan formasi yang berumur Miosen Akhir dengan litologi penyusun berupa serpih dan batugamping, formasi ini berada di atas Formasi Kais. Penarikan horison ini berdasarkan atas data sumur atau pengikat sumur terhadap data seismik. Dimana pada sumur MS-1 Formasi Klasafet terdapat pada interval m (TVDSS) yang jika dikonversikan kedata seismik maka terletak pada interval TWT (Tabel 6.4) horison ini disetiap lintasan seismik tidak terdapat perubahan refleksi seismik atau dengan kata lain formasi ini tidak mengalami penurunan cekungan dan tidak terdapat sesar. 78

95 W E TopF.Kais Top F.Klasafet Base F.Kais Basement Gambar 6.9 Interpretasi picking horizon pada lintasan seismik yang melewati sumur K-1 dan A-1 Berdasarkan interpretasi picking horison yang terdiri dari lima horison, serta berdasarkan analisis stratigrafi maupun struktur pada data seismik (Gambar 6.10), dapat disimpulkan bahwa daerah telitian merupakan suatu bentukan antiklin dimana closure dari antiklin ini berada di sebelah utara daerah telitian. Hal ini dapat dilihat dari lintasan seismik yang melewati sumur K-1 dan A-1, dari hasil penarikan horison terlihat berupa suatu tinggian, disamping itu juga pada peta struktur waktu (Gambar 6.9) terdapat sebuah closure pada sumur K-1. Dari hasil interpretasi seismik, dapat diinterpretasikan bahwa 79

96 lingkungan pengendapan daerah telitian berupa lingkungan darat-laut dangkal yang berada disebelah utara sedangkan di sebelah selatan berupa laut dangkal-laut dalam. Hal ini dapat dilihat dari hasil penarikan horison, dimana lintasan seismik yang berada disebelah selatan merupakan sebuah cekungan. Disamping itu dari hasil analisis struktur terdapat sesar mayor yang diinterpretasi berupa sesar normal yang berarah utara-selatan. Karena adanya aktivitas tektonik yang ditandai dengan hadirnya sesar normal, sehingga mengakibatkan adanya penurunan cekungan di sebelah selatan daerah telitian. Akibat adanya penurunan cekungan, sehingga terbentuk onlaping terhadap Formasi Kais. W E N S W E E W Top F.Kais Top F.Klasafet Onlap Basement Base F.Kais Gambar 6.10 Hasil interpretasi seismik secara stratigrafi maupun struktur pada lapangan JULIA 80

97 U = Closure = Cekungan = Sesar Gambar 6.11 Peta struktur waktu (time structure map) lapang JULIA 6.4 Analisis Geologi Bawah Permukaan Setelah dilakukan analisis dan interpretasi seismik, selanjutnya dilakukan analisis geologi bawah permukaan lapangan JULIA. Analisis geologi bawah permukaan ini bertujuan untuk mengetahui arah penyebaran umum dari reservoar yang telah ditentukan, perkembangan struktur bawah permukaan, model perangkap hidrokarbon pada daerah telitian. Peta yang dihasilkan dari hasil interpretasi penarikan horison pada data seismik akan berupa peta struktur waktu (time structure map) (Gambar 6.11), dimana struktur kontur pada peta dibuat berdasarkan atas hasil refleksi seismik, sehingga kedalaman-kedalaman masih berupa kedalaman waktu (TWT). Disamping itu, peta yang dibuat berdasarkan kedalaman sesungguhnya disebut sebagai peta struktur 81

BAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1.

BAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1. 4 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Papua, atau lebih tepatnya di area Teluk Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1. Teluk Bintuni Gambar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih.

Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih. Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih. 27 28 III.2 Stratigrafi Regional Ciri stratigrafi regional diidentifikasikan dari perbandingan stratigrafi kerak Benua Indo-Australia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah Penelitian Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian (Bakosurtanal, 2003) Secara astronomis, Papua atau Irian Jaya terletak antara 00 0 19 10 0

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksplorasi hidrokarbon memerlukan pemahaman mengenai cekungan tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses terbentuknya cekungan, konfigurasi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI GEOLOGI

BAB IV KONDISI GEOLOGI BAB IV KONDISI GEOLOGI 4.1 Geologi Regional Geologi Irian Jaya sangatlah kompleks, merupakan hasil dari pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Australia dan Pasifik ( gambar 4.1 ). Kebanyakan evolusi tektonik

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR Terdapat tiga domain struktur utama yang diinterpretasi berdasarkan data seismik di daerah penelitian, yaitu zona sesar anjakan dan lipatan di daerah utara Seram

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Blok Mambruk merupakan salah satu blok eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang terdapat pada Cekungan Salawati yang pada saat ini dikelola oleh PT. PetroChina

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geologi Regional Pulau Papua 2.1.1 Tatanan Tektonik Regional Lapangan Jefta terletak di bagian Barat Laut Pulau New Guinea yang biasa disebut daerah Kepala Burung (Bird s Head

Lebih terperinci

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih 62 Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih V.1 Restorasi Penampang Rekontruksi penampang seimbang dilakukan untuk merekonstruksi pembentukan suatu deformasi struktur. Prosesnya meliputi menghilangkan bidang-bidang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Papua Pulau Papua secara administratif terletak pada posisi 130 0 19 BT - 150 0 48 BT dan 0 0 19 LS 10 0 43 LS. Pulau ini terletak di bagian paling timur Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Papua Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

Bab III Tatanan Geologi

Bab III Tatanan Geologi 14 Bab III Tatanan Geologi III.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar III.1). Pada saat ini, Lempeng

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract...... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i iii iv v viii xi xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH Cekungan Sumatra Tengah merupakan salah satu cekungan besar di Pulau Sumatra. Cekungan ini merupakan cekungan busur belakang yang berkembang di sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah penelitian terletak diantara pulau Seram dan semenanjung Onin- Kumawa yang termasuk kawasan Indonesia Timur. Pada kawasan Indonesia Timur ini bila dilihat dari

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI LAPANGAN VISIONASC BERDASARKAN INTERPRETASI SEISMIK DARI INTERVAL PALEOSEN KE MIOSEN, DAERAH KEPALA BURUNG (KB), PAPUA BARAT

ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI LAPANGAN VISIONASC BERDASARKAN INTERPRETASI SEISMIK DARI INTERVAL PALEOSEN KE MIOSEN, DAERAH KEPALA BURUNG (KB), PAPUA BARAT ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI LAPANGAN VISIONASC BERDASARKAN INTERPRETASI SEISMIK DARI INTERVAL PALEOSEN KE MIOSEN, DAERAH KEPALA BURUNG (KB), PAPUA BARAT Muh. Altin Massinai *, Sabrianto Aswad *, Naskar*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Dalam mencari cadangan minyak dan gas bumi, diperlukan adanya kegiatan eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas yang sudah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik Indonesia dianggap sebagai hasil pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Tatanan Tektonik Regional

BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Tatanan Tektonik Regional BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Daerah Seram, Misool, dan Salawati merupakan bagian dari Kepala Burung, Papua. Secara stratigrafi dan struktur daerah tersebut memiliki karakter yang serupa dengan tatanan stratigrafi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM Cekungan Asri merupakan bagian dari daerah operasi China National Offshore Oil Company (CNOOC) blok South East Sumatera (SES). Blok Sumatera Tenggara terletak pada

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011 SIKUEN STRATIGRAFI DAN ESTIMASI CADANGAN GAS LAPISAN PS-11 BERDASARKAN DATA WIRELINE LOG, SEISMIK DAN CUTTING, FORMASI EKUIVALEN TALANG AKAR LAPANGAN SETA CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA SKRIPSI Oleh: SATYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya,

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya, merupakan cekungan foreland asimetris yang memiliki arah timur barat dan berlokasi pada batas

Lebih terperinci

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010 PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN HIDROKARBON LAPANGAN KYRANI FORMASI CIBULAKAN ATAS CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA DENGAN METODE VOLUMETRIK Rani Widiastuti 1105 100 034 Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Arafura yang terletak di wilayah perairan Arafura-Irian Jaya merupakan cekungan intra-kratonik benua Australia dan salah satu cekungan dengan paket pengendapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah.

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantara : 1. Komplek Batuan Pra-Tersier Kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1

BAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1 BAB I PENDAHULUAN Karakterisasi reservoar adalah bentuk usaha dalam menentukan kualitas reservoar (Sudomo, 1998). Kualitas reservoar dikontrol oleh faktor pembentukan batuan karbonat, yaitu tekstur dan

Lebih terperinci

II. GEOLOGI REGIONAL

II. GEOLOGI REGIONAL 5 II. GEOLOGI REGIONAL A. Struktur Regional dan Tektonik Cekungan Jawa Timur Lapangan KHARIZMA berada di lepas pantai bagian selatan pulau Madura. Lapangan ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak pada bagian utara-tengah dari Sulawesi Selatan merupakan salah satu subcekungan yang memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantaranya: 1. Komplek Batuan Pra -Tersier Komplek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1. Geologi Regional. Pulau Tarakan, secara geografis terletak sekitar 240 km arah Utara Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku berumur Paleozoic-Mesozoic

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat 41 Bab IV Analisis Data IV.1 Data Gaya Berat Peta gaya berat yang digabungkan dengn penampang-penampang seismik di daerah penelitian (Gambar IV.1) menunjukkan kecenderungan topografi batuan dasar pada

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Topik Kajian Topik yang dikaji yaitu evolusi struktur daerah Betara untuk melakukan evaluasi struktur yang telah terjadi dengan mengunakan restorasi palinspatik untuk mengetahui mekanismenya

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di sepanjang pantai barat dan selatan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL...xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Data seismik dan log sumur merupakan bagian dari data yang diambil di bawah permukaan dan tentunya membawa informasi cukup banyak mengenai kondisi geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia semakin banyak ditemukan minyak dan gas yang terdapat pada reservoir karbonat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Penemuan hidrokarbon dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Area penelitian terletak di area X Malita Graben yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. Area penelitian terletak di area X Malita Graben yang merupakan bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Area penelitian terletak di area X Malita Graben yang merupakan bagian dari Cekungan Bonaparte (di bagian barat laut (NW) shelf Australia). Dalam berbagai publikasi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan cekungan Tersier terbesar dan terdalam di Indonesia bagian barat, dengan luas area 60.000 km 2 dan ketebalan penampang mencapai 14 km. Cekungan

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN...

HALAMAN PENGESAHAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii ABSTRAK... iv PERNYATAAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I. PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori 1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Untuk memenuhi permintaan akan energi yang terus meningkat, maka perusahaan penyedia energi melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Cekungan Kutai (gambar 2.1) di bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah baratlaut - tenggara, di bagian barat dibatasi oleh tinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Kerangka Tektonik (a) 5 (b) Gambar 1. Posisi tektonik Cekungan Sumatera Selatan dan pembagian subcekungan di Cekungan Sumatera Selatan (Laporan Internal PT. PERTAMINA EP Asset

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Tatanan Geologi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan sedimentasi berumur Tersier di Indonesia dan terletak di Kalimantan bagian timur. Fisiografi Cekungan

Lebih terperinci

memiliki hal ini bagian

memiliki hal ini bagian BAB III TATANANN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000 14..000 meter hal ini menyebabakan

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah.

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kondisi perminyakan dunia saat ini sangat memperhatinkan khususnya di Indonesia. Dengan keterbatasan lahan eksplorasi baru dan kondisi sumur-sumur tua yang telah melewati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakan busur yang dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timur laut, ketinggian Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Regional Menurut Heidrick dan Aulia (1993) Cekungan Sumatra Tengah terletak di antara Cekungan Sumatra Utara dan Cekungan Sumatra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar Gambar 5.21. Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar mendatar dengan mekanisme horsetail, dengan struktur sesar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii SARI... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berjalannya waktu jumlah cadangan migas yang ada tentu akan semakin berkurang, oleh sebab itu metoda eksplorasi yang efisien dan efektif perlu dilakukan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang dioperasikan oleh Atlantic Richfield Bali North Inc (ARCO),

Lebih terperinci

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ii PERNYATAAN.. iii KATA PENGANTAR.. iv SARI... v ABSTRACT.. vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Lokasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN 3.1. Pembuatan Model Sejarah Geologi Model sejarah geologi yang dianalisis pada penelitian ini adalah model kurva sejarah pemendaman seperti yang telah dibahas pada bab

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci