BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ciri-ciri Narsistik pada Pelaku Selfie. yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amal penting, ada extreme

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ciri-ciri Narsistik pada Pelaku Selfie. yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amal penting, ada extreme"

Transkripsi

1 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Narsistik pada Pelaku Selfie 1. Pengertian Narsistik Kartono (2002) mengartikan istilah narsistik sebagai cinta ekstrim, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amal penting, ada extreme self importancy menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus dan segalanya. Individu yang bersangkutan tidak perlu memikirkan orang lain dan sangat egoistis. Bagi dirinya yang paling penting adalah diri sendiri dan ia tidak peduli pada dunia luar. Narsistik adalah pola kepribadian yang didominasi oleh perasaan dirinya hebat, senang dipuji dan dikagumi serta tidak ada rasa empati. Kepribadian narsistik memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting serta merupakan individu yang unik. Mereka sangat sulit sekali menerima kritik dari orang lain, sering ambisius dan mencari ketenaran. Memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka; mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar (Ardani, 2011). Ciri-ciri narsistik merupakan suatu gambaran individu yang cenderung suka meminta pengaguman, pujian dan pemujaan diri tentang kebutuhan akan keunikan, kelebihan, kesuksesan, kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan

2 16 orang lain, serta meminta perhatian yang lebih dari orang lain sebagai bentuk penilaian atas dirinya (Adi, 2008). Davison, Neale dan Kring (2006) memberikan pandangan bahwa orang orang dengan ciri-ciri narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka dan terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar. Mereka menghendaki perhatian dan pemujaan berlebihan yang hampir tanpa henti dan yakin bahwa mereka hanya dapat dimengerti oleh orang orang yang istimewa atau memiliki status tinggi. Hubungan interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan iri dan arogansi, memanfaatkan orang lain serta perasaan bahwa mereka hendak mendapatkan sesuatu. Sangat sensitif terhadap kritik dan takut terhadap kegagalan terkadang mereka mencari orang yang dapat diidealkan karena mereka merasa kecewa terhadap diri sendiri. Hubungan pribadi orang yang cenderung narsistik hanya sedikit dan dangkal. Bila orang lain tidak memenuhi harapan mereka yang tidak realistis maka mereka akan menjadi marah dan menyingkirkan orang tersebut. Ciri-ciri narsistik menurut psikoanalisa ditandai dengan kecintaan individu pada karakteristik dirinya sendiri atau tubuhnya sendiri, sehingga individu merasa dirinya adalah seorang yang sangat penting dan individu merasa tidak peduli dengan dunia di luar dirinya (Kartono, 2002). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri narsistik merupakan suatu keinginan atau dorongan dari dalam diri individu untuk menjadi pusat perhatian yang ditandai dengan gejala memandang diri sendiri secara berlebihan dimana individu cenderung merasa dirinya spesial dan unik untuk ditunjukkan

3 17 kepada khalayak umum dengan mengharapkan atau meminta pengaguman, pujian dan pemujaan diri dari orang lain, tidak dapat menerima kritik, memanipulasi orang lain dan kurang empati. Dalam penelitian ini kecenderungan narsistik yang akan diteliti adalah pelaku selfie. Seperti yang diutarakan Saputra (dalam Kompasina, 2014) bahwa begitu banyak orang yang tak mau ketinggalan untuk melakukan selfie, dan kini seolah menjadi "rutinitas" bagi sebagian orang tanpa mengenal batasan usia, status, pekerjaan dan lainnya. Selfie adalah memotret diri sendiri atau lebih yang diambil melalui kamera handphone dan kemudian diunggah ke media sosial (Syahbana, 2014). Kegiatan selfie (self portrait) berhubungan atau berkaitan erat dengan self image, yaitu citra yang dipersepsikan seseorang atas dirinya sendiri. Para pelaku selfie (self portrait) akan berlomba-lomba untuk menampilkan sisi terbaiknya kepada orang lain melalui penampilannya dalam foto selfie (self portrait) yang diunggah ke media sosial agar dapat dinilai baik oleh orang lain. Menurut Bawantara (2014) yang pendapatnya merujuk pada beberapa pengamat sosial, mengatakan bahwa aktivitas selfie merupakan satu cara untuk mendapatkan perhatian dari sebanyak mungkin orang. Menurutnya ini adalah cara tercepat dan termudah bagi seseorang untuk mendapat pujian guna meningkatkan kebanggaan dirinya. Juga merupakan cara tergampang untuk memamerkan prestasi diri pada dunia Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie adalah suatu keinginan atau dorongan dari dalam diri individu untuk menjadi pusat perhatian yang mengarah pada gejala-gejala

4 18 memusatkan perhatian pada diri sendiri, cenderung merasa dirinya spesial dan unik untuk ditunjukkan kepada khalayak umum, suka meminta pengaguman, pujian dan pemujaan diri tentang kebutuhan akan keunikan, kelebihan, kesuksesan, kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain, tidak ingin dikritik orang lain, ingin selalu dihargai dan kurang berempati terhadap orang disekitarnya. 2. Ciri ciri Narsistik Maria (2001) menjelaskan bahwa orang narsisitik memiliki tiga ciri utama yang disarikan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV-R (American Psychiatric Assosiation, 2000), yaitu: a. Seseorang dengan kecenderungan narsistik sangat sensitif terhadap kritik atau kegagalan walaupun mereka tidak memperlihatkannya. Mereka sangat sensitif terhadap kritik dan kegagalan karena sebenarnya mereka memiliki harga diri yang rapuh. b. Kebutuhan yang besar untuk dikagumi. Mereka secara konstan akan berusaha mencari perhatian dan rasa kagum dari orang lain serta lebih mementingkan tampilan dibandingkan substansi dari suatu hal. c. Kurangnya kemampuan mereka untuk berempati atau mengenali dan menegerti perasaan orang lain. Hubungan mereka dengan orang lain yang sangat sedikit dan dangkal terjadi karena mereka tidak dapat menjalin hubungan timbal balik yang seimbang dengan orang lain. Mereka butuh kasih

5 19 sayang atau simpati besar dari orang lain tetapi mereka sendiri cenderung tidak menunjukkan empati. Campbell (2000) berpendapat bahwa seseorang dengan narsistik mempunyai ciri-ciri diantaranya yaitu: a. Mempunyai konsep diri yang selalu positif tentang dirirnya, artinya ia berpikir bahwa dirinya baik dalam hampir segala hal dengan memusatkan perhatian pada diri sendiri. b. Egosentrisme, artinya memikirkan dirinya sendiri tanpa mau mendengarkan pandangan orang lain. Ia menganggap dirinya adalah sosok yang penting. c. Merasa dirinya special atau unik, artinya merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki. d. Mempunyai hubungan interpersonal yang kurang baik. karena kurangnya empati, perasaan iri dan arogansi, memanfaatkan orang lain serta perasaan bahwa mereka hendak mendapatkan sesuatu. Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition, 2000) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsistik jika ia sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut : a. Grandiose view of one s importance, arrogance artinya merasa diri paling hebat namun seringkali tidak sesuai dengan potensi atau kompetensi yang dimiliki dan ia senang memamerkan apa yang dimiliki termasuk gelar (prestasi) dan harta benda.

6 20 b. Preoccupation with one s success, beauty, brilliance artinya dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati. c. Extreme need of admiration artinya memiliki kebutuhan yang eksesif untuk dikagumi. d. Strong sense of entitlement artinya merasa layak untuk diperlakukan secara istimewa. e. Lacks of empathy artinya kurang empati. f. Tendency to exploit others artinya mengeksploitasi hubungan interpersonal. g. Envy of others artinya seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya. h. Shows arrogant, haughty behavior or attitudes artinya angkuh, memandang rendah orang lain. i. Believe that she or he is special and unique artinya percaya bahwa dirinya adalah spesial dan unik. Berdasarkan ciri-ciri kecenderungan narsistik di atas dapat disimpulkan, bahwa orang dengan narsistik memiliki ciri-ciri yaitu, sensitif terhadap kritik atau kegagalan, kebutuhan yang besar untuk dikagumi, dan kurangnya kemampuan mereka untuk berempati atau mengenali dan mengerti perasaan orang lain. Selanjutnya dari ketiga teori tersebut ciri ciri narsistik yang digunakan penulis berdasarkan pada ciri-ciri narsistik dari Maria (2001). Pada setiap aspek tersebut telah dikemukakan secara lebih spesifik dalam hal pengertian tiap bentuknya dan hal ini sangat sesuai dengan kriteria atau keadaan subjek sehingga lebih

7 21 memudahkan peneliti dalam membuat aitem dalam skala. Ketiga ciri-ciri tersebut yang nantinya peneliti gunakan menjadi acuan dalam penyusunan alat ukur untuk membuat skala guna mengungkap tingkat kecenderungan narsistik. 3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Ciri-ciri Narsistik Sedikides (2004) memberikan hasil risetnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ciri-ciri narsistik yaitu: a. Self- esteem (harga diri) : bahwa harga dirinya tidak stabil dan terlalu tergantung pada interaksi sosialnya memiliki harga diri yang rapuh, sehingga sangat rentan terhadap kritik. Seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang rendah cenderung lebih sering aktif di media sosial. b. Depresion (depresi) : merupakan suatu pemikiran negative tentang dirinya, dunia, dan masa depan, adanya rasa bersalah dan kurang percaya dalam menjalani hidup. Seseorang yang mengalami depresi hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa dirinya adalah orang yang penting dan terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian, jika tidak mampu mewujudkan harapan-harapannya sendiri maka ia menjadi putus asa dan cenderung menyalahkan orang lain. c. Loneliness (kesepian) : yaitu perasaan tidak menyenangkan yang berhubungan dengan ketidaksesuaian antara kebutuhan untuk akrab dengan orang lain atau keakraban personal. Hubungan interpersonalnya terhambat karena tidak mampu menjalin suatu hubungan yang akrab dengan orang lain sehingga hubungan pribadi mereka hanya sedikit dan dangkal. Bila orang lain sedikit

8 22 saja kurang memenuhi harapannya yang tidak realistis, mereka akan menjadi marah dan menyingkirkan orang tersebut. Hal ini membuat mereka tidak mampu untuk memahami orang lain dan memiliki sedikit empati karena perasaan iri dan arogansi, membuat tuntutan yang tidak realistik bagi orang lain untuk mengikuti keinginannya. d. Subjective Well-being (perasaan subjektif) : yaitu individu merasa bahwa dirinya seakan-akan menjadi pribadi yang sempurna sehingga hal ini membuatnya hidup dalam fantasi keasyikan dengan khayalan akan keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan, atau kecantikan yang tidak terbatas. Menurut Adi (2008) Banyak faktor yang mempengaruhi ciri-ciri narsistik seperti: a. Perasaan kesepian : sebuah kondisi perasaan sepi atau sendiri, dimana individu menemui individu lain tidak sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai bentukan dari tugas-tugas atau kewajiban dalam masyarakat saja. Dalam menjalin suatu hubungan seseorang menuntut adanya perhatian dari orang lain, namun sebaliknya perhatian yang sama tidak ia berikan terhadap orang lain. Mereka cenderung memberikan sedikit ketertarikan kepada orang lain dan menaruh sedikit perhatian yang membuatnya tidak mampu merasakan empati terhadap orang lain. Orang ini bila mendapatkan kritik akan merasa kecewa dan cenderung menyalahkan orang lain. b. Kurangnya sosialisasi dengan lingkungan sekitar : Berdasarkan jenisnya sosialisasi dapat dibedakan menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Dalam hal ini digambarkan

9 23 keadaan dimana seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya tidak dengan keduanya, melainkan lebih kepada dunianya sendiri. Ketika seseorang hidup dalam dunianya sendiri dan lebih banyak menghabiskan waktunya hanya untuk kepentingan diri sendiri hal ini akan membuat seseorang tidak peduli dengan lingkungan sosialnya ia cenderung mementingkan kehidupannya sendiri, ketika mendapatkan kritikan dari lingkungan sosialnya ia tidak memperdulikannya karena baginya yang paling benar adalah dirinya sendiri. c. Faktor keluarga: kurangnya perhatian dari keluarga sehingga membuat seseorang cenderung berperilaku yang dapat mendekatkan pada kecenderungan narsisme. Apabila dalam keluarga tidak tercipta hubungan yang erat, tidak harmonis, tidak saling menghargai satu sama lain dan tidak ada contoh yang baik yang dibina di dalamnya akan membentuk perilaku yang negatif dalam perkembangan individu tersebut. Individu akan mencari perhatian lain yang dianggapnya mampu untuk memenuhi kebutuhan yang tidak ia dapatkan dalam keluarga namun hal ini dilakukan dengan menonjolkan keunggulankeunggulan yang menurutnya dapat membuat orang lain memberikan perhatian lebih kepadanya. Berdasarkan penjelasan di atas faktor yang mempengaruhi ciri-ciri narsistik menurut Sedikides adalah : harga diri (harga diri yang rapuh), depresi (kurang percaya dalam menjalani hidup), kesepian (kurang mempunyai hasrat untuk berhubungan dengan orang lain) dan kurangnya sosialisasi dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya menurut Adi faktor yang mempengaruhi kecenderungan narsistik adalah : perasaan kesepian, kurangnya sosialisasi dengan

10 24 lingkungan sekitar dan faktor keluarga yaitu minimnya perhatian dari keluarga, kesepian, kurangnya sosialisasi dengan lingkungan sekitar Kesepian dipilih sebagai faktor yang mempengaruhi kecenderungan narsistik dalam penelitian ini. Dalam hal ini peneliti memilih kesepian dengan melihat keadaan manusia sebagai makhluk sosial haruslah memiliki hubungan dalam kelompok sosial, menjadi anggota di dalamnya dan juga dapat diterima dalam lingkungan sosialnya guna memenuhi kebutuhannya. Menurut Maslow (dalam. Goble 2002) cinta atau kasih sayang adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, individu memerlukan suatu hubungan akrab dengan individu lain yang didalamnya terdapat kesempatan yang sama besarnya dalam memberi dan menerima cinta. Kegagalan dalam mewujudkan hal tersebut akan menyebabkan kesepian. B. Kesepian 1. Pengertian Kesepian adalah perasaan emosi yang dirasakan ketika individu beranggapan bahwa kehidupan sosialnya lebih kecil daripada apa yang mereka inginkan, atau ketika individu merasa tidak puas dengan kehidupan sosialnya Peplau & Perlman (dalam Oguz & Cakir, 2014). Kesepian didenifisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan yang dimiliki (Perlman & Peplau 1981). Kesepian merupakan hidup tanpa melakukan hubungan (Baron,

11 ), tidak mempunyai keinginan untuk melakukan hubungan interpersonal yang akrab (Peplau & Perlman (1982). Dalam suatu penelitian menemukan bahwa kesepian diasosiasikan dengan perasaan depresi, kecemasan, ketidakpuasaan, tidak bahagia, dan kesedihan (Russel, 1980). Peplau & Perlman (1982) mengatakan kesepian tidak disebabkan karena sendiri tetapi dikarenakan tidak memiliki seseorang yang berarti dalam suatu hubungan. Kesepian nampak sebagai respon dari ketidakhadiran suatu hubungan. Kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan sosial yang ada (Bruno, 2000). Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 2003). Kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Kesepian menurut Fieldman (1985) adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan tingkatan dari keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Sementara itu Baron & Byrne (2004) mengatakan kesepian muncul ketika terjadi kesenjangan antara apa yang diharpkan dengan kenyataan dalam kehidupan interpersonal individu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah salah satu perasaan tidak menyenangkan atau suatu perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang disebabkan oleh berbagai hal, yaitu karena adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dan ketersediaan hubungan yang dimiliki yang dicirikan dengan adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

12 26 2. Aspek-aspek Kesepian Miller dkk (2009) membedakan dua tipe kesepian berdasarkan hilangnya ketetapan sosial tertentu yang dialami oleh seseorang yaitu: a. Kesepian emosional (Emotional loneliness) Emotional loneliness adalah suatu bentuk kesepian yang diakibatkan oleh ketidakhadiran hubungan emosional yang intim. Seperti yang biasa diberikan oleh orangtua kepada anaknya atau yang bisa diberikan tunangan atau teman akrab kepada seseorang. Bogaerts,Vanheule & Desmet (dalam Sharaswati, 2009) mengemukakan bahwa emotinal isolation menunjukkan kurang intimnya dalam berhubungan dengan teman dekat. Untuk mengatasi kesepian emosional, maka individu harus merasa dan memiliki orang lain yang dapat mengerti dirinya secara mendalam (Sharaswati, 2009). b. Kesepian sosial (Social loneliness) Sosial loneliness adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya, tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti, suatu bentuk kesepian yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas. Social loneliness dapat juga disebut social isolation karena adanya perasaan dikucilkan dengan sengaja oleh lingkungan. Social Loneliness disebabkan oleh tidak adanya keterlibatan diri dalam jaringan sosial tertentu.

13 27 Individu akan merasaa tersisihkan tanpa hubungan dengan kelompok tertentu atau individu-individu lain yang dapat membentuk hubungan personal (Middlebrook dalam Sharaswati, 2009). Menurut Bruno (2000) yang menjadi aspek-aspek kesepian, yaitu: a. Isolasi Suatu keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuantujuan dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat kemenangan, agresivitas, manipulasi merupakan faktor-faktor pemicu munculnya keterasingan. b. Penolakan Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir dan dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah keramaian. c. Merasa disalahmengerti Suatu keadaan dimana seseorang merasa seakan-akan dirinya disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalahmengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk bertindak. d. Merasa tidak dicintai Adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mendapatkan kasih sayang, tidak diperlukan secara lembut dan tidak dihormati, merasa tidak dicintai akan jauh dari persahabatan dan kerjasama. Suatu perhatian dalam analisis transaksi adalah suatu unit pengakuan. Unit ini adalah merupakan penghargaan atau bukti utama dari cinta atau kasih sayang. Setiap orang

14 28 membutuhkan perhatian supaya dapat berkembang di setiap tahapan umurnya. Perhatian yang diperoleh secara teratur adalah cara terbaik untuk mengatasi kesepian. Tanpa adanya perhatian seseorang dapat menjadi terasing secara emosional. e. Tidak mempunyai sahabat Tidak ada seseorang yang berada di sampingnya, tidak ada hubungan, tidak dapat berbagi. Orang yang paling tidak berharga adalah orang yang tidak mempunyai sahabat. f. Malas membuka diri Suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut terluka, senantiasa merasa cemas dan takut jangan-jangan orang lain akan melukainya. g. Bosan Suatu perasaan seseorang yang merasa jenuh tidak menyenangkan tidak menarik, merasa lemah, orang-orang yang pembosan biasanya orang-orang yang tidak pernah menikmati keadaankeadaan yang ada. h. Gelisah Suatu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan tentram di dalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan perasaan galau dilanda kecemasan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik kesepian menurut Miller dkk (2009) terbagi dalam dua dimensi yaitu: Emotional Loneliness yaitu suatu bentuk kesepian yang diakibatkan oleh ketidakhadiran

15 29 hubungan emosional yang intim, dan Social Loneliness yaitu adanya perasaan dikucilkan dengan sengaja oleh lingkungan yang disebabkan tidak adanya keterlibatan diri dalam jaringan sosial tertentu. Sedangkan menurut Buno (2000) dapat dilihat dari delapan karakteristik yakni isolasi, penolakan, merasa disalah mengareti, merasa tidak dicintai, tidak mempunyai sahabat, malas membuka diri, bosan dan gelisah. Karakteristik yang digambarkan oleh Miller, dkk (2009) tersebut nantinya akan peneliti gunakan sebagai acuan dalam penyusunan alat ukur guna mengungkap tingkat kesepian karena penjelasan dan contohnya lebih konkrit sehingga memudahkan penulis dalam menyusun skala kesepian. C. Hubungan antara Kesepian dengan Ciri-ciri Narsistik pada Pelaku Selfie Selfie istilah yang mulai populer sejak tahun 2000an ini merujuk pada sebuah kegiatan mengabadikan momen ke dalam sebuah foto dengan diri sendiri sebagai objek fotogarafinya. Selfie bahkan dikukuhkan sebagai kata baku sejak tahun 2013 dalam kamus Oxford dictionary yang diterbitkan di Inggris. Di abad ke 21 ini teknologi digital memudahkan pelaku selfie untuk dapat langsung melihat setiap hasil foto yang baru diambil, serta menyimpan dan menghapusnya dalam waktu sekejap. Media sosial online memfasilitasi para pelaku selfie untuk dapat mengunggah dan saling berbagi hasil foto selfie kepada jauh lebih banyak orang di dunia maya (Mahardini, 2014). Kegiatan selfie berhubungan atau berkaitan erat dengan self image, yaitu citra yang dipersepsikan seseorang atas dirinya sendiri. Menurut Mahardini (2014) perilaku selfie mengindikasikan adanya kebutuhan untuk mengevaluasi diri

16 30 sendiri. Hal ini tampak dari perilaku para pelaku selfie yang senantiasa memperhatikan dan memberikan penilaian pada penampilan mereka di dalam setiap foto yang diambil. Dari hasil evaluasi tersebut pelaku selfie akan memutuskan apakah gambar dirinya disukai atau tidak untuk kemudian dibagikan ke dalam media sosial. Sebagai proses intraindividu, proses evaluasi diri ini terjadi karena ada motivasi yang melatar belakanginya (Sadikides, 2003). Terdapat alasan yang bervariasi ketika seorang pelaku selfie ditanya mengapa mereka melakukan selfie. Misalnya, untuk mengisi waktu luang, mengusir rasa bosan, mengabadikan momen khusus, mencoba hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain, dan ingin menampilkan ekspresi wajah dengan kesan tertentu sebagai sisi terbaiknya untuk ditampilkan kepada khalayak umum (Mahardini, 2014). Selanjutnya dari penelitian yang dilakukan Tanasa (2015) Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang dalam lingkungan media sosial dengan memamerkan bagian wajah, tubuh, karakter, pakaian atau dandanan melalui foto selfie menjadi tujuan yang paling utama yang banyak di inginkan pelaku selfie. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada salah seorang yang sangat gemar melakukan selfie bahwa selfie telah menjadi kebutuhan yang selalu ingin di utamakan karena dengan selfie orang lain akan memberikan perhatian sesuai dengan yang sangat diharapkannya. Cara pelaku selfie menarik perhatian orang lain yaitu dengan memamerkan kelebihan-kelebiahn yang dimilikinya melalui foto selfie yang diunggah di media sosial, mempunyai kebiasaan melakukan selfie berulangkali yang tidak cukup hanya sekali untuk mendapatkan hasil foto selfie yang dianggap paling sempurna

17 31 dan kemudian memposting sebanyak-banyaknya hasil foto selfie dalam waktu yang berdekatan. Pelaku selfie ingin orang lain memperhatikan dirinya dengan memberikan tanda suka pada fitur yang tersedia dalam media sosial akan tetapi mereka tidak ingin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain karena dirinya beranggapan bahwa dirinyalah yang terhebat yang pantas mendapatkan perlakuan istimewa. Perilaku yang dilakukan pelaku selfie tersebut telah mengarah pada ciri-ciri narsistik. Menurut Maria (2001) terdapat tiga ciriciri narsistik yaitu: sensitif terhadap kritik atau kegagalan, memiliki kebutuhan yang besar untuk dikagumi, dan kurangnya kemampuan untuk berempati. Timbulnya ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie salah satunya disebabkan oleh kondisi kesepian seperti yang dijelaskan Kenberg (dalam Elsa, 1998) tipikal orang yang memiliki ciri-ciri narsistik adalah orang yang berada dalam kondisi kesepian dalam kesendirian. Individu menjadi bosan ketika keinginan untuk kekaguman tidak terpenuhi bahkan muncul cara-cara ekstrim hanya untuk memenuhi keinginannya yang tidak relistis. Hal ini seperti yang terjadi pada Seorang remaja laki-laki bernama Danny Bowmen nyaris bunuh diri hanya karena putus asa tidak berhasil menemukan hasil selfie yang bagus menurutnya. Danny bahkan sampai harus dikeluarkan dari sekolahnya karena sering bolos. ( atnarsistikdanbullyhinggakejahatandalambentukbaru, diakses pada tanggal 2 mei 2015). Haditono (1991) menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang beraspek kejiwaan, disamping kebutuhan biologis juga memenuhi kebutuhan

18 32 psikologis. Salah satunya adalah kebutuhan cinta dan kasih sayang seperti yang dijelaskan Menurut Maslow (dalam Goble, 2002) cinta atau kasih sayang adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, individu memerlukan suatu hubungan akrab dengan individu lain yang didalamnya terdapat kesempatan yang sama besarnya dalam memberi dan menerima cinta. Kegagalan dalam mewujudkan hal tersebut akan menyebabkan kesepian. Menurut Chasanah (2003) bahwa semakin terpenuhi kebutuhan psikologi seseorang terutama kebutuhan cinta dan kasih sayang, rasa aman dan harga diri maka semakin baik penyesuaian diri pada individu, unsur-unsur dari kebutuhan tersebut yaitu kasih sayang, ketentraman dan penerimaan dari orang di sekitarnya. Kesepian adalah perasaan emosi yang dirasakan ketika individu beranggapan bahwa kehidupan sosialnya lebih kecil daripada yang diinginkannya, atau ketika individu merasa tidak puas dengan kehidupan sosialnya Peplau & Perlman (dalam Oguz & Cakir, 2014). Menurut Miller dkk (2009) kesepian terbagi dalam dua tipe diantaranya: 1). Emotional Loneliness yaitu suatu bentuk kesepian yang diakibatkan oleh ketidakhadiran hubungan emosional yang intim. dan 2). Social Loneliness yaitu adanya perasaan dikucilkan dengan sengaja oleh lingkungan yang disebabkan tidak adanya keterlibatan diri dalam jaringan sosial tertentu. Dua tipe kesepian menurut Miller dkk (2009) dipilih sebagi faktor yang paling berperan dalam kemunculan ciri-ciri narsistik pelaku selfie karena

19 33 keduanya telah mancakup semua penjelasan dari berbagai ragam aspek-aspek dari kesepian. Individu yang sangat sensitif terhadpap kritik selalu tampil dengan kesombongan, angkuh, atau megah. Sering meremehkan atau memandang rendah orang yang dianggap sebagai inferior. Selalu merasa lebih punya hak, sehingga ketika tidak menerima perlakuan khusus yang menurutnya tidak sesuai dengan haknya, akan menjadi sangat tidak sabar atau marah bahkan melakukan segala cara dengan berusaha keras untuk memiliki yang terbaik dari segala sesuatu. Menurut Fausiah & Widury (2005) menyatakan bahwa individu yang sensitif terhadap kritik selalu menganggap orang lain iri terhadap keberhasilannya dan menjatuhkan orang lain dengan mengejek dan menghina orang yang dianggap telah merendahkan keberhasilannya. Pada pelaku selfie yang memiliki sifat sensitif terhadap kritik ditunjukkan dengan kemarahan melalui komentar dalam media sosial yang berupa ejekan-ejekan terhadap orang yang tidak memberikan pujian mengenai foto selfienya dan selalu berusaha memaksimalkan penilaian orang lain melalui foto selfie yang akan ditampilakan pada akun media sosial dengan memberikan tambahan make-up dan memakai fashion yang mendukung, merasa kecewaan karena tidak mendapatkan tanda suka dari teman-teman dalam lingkungan media sosial lalu kemudian menghapus pertemanannya. Reaksi-reaksi pelaku selfie tersebut dipengaruhi oleh kondisi kesepian emosional yaitu suatu bentuk kesepian yang diakibatkan oleh ketidakhadiran hubungan emosional yang intim. Dalam kondisi tersebut individu hanya mengharapkan seseorang yang lebih tinggi derajatnya dan hanya menuntut adanya perhatian dari orang lain namun

20 34 perhatian yang sama tidak diberikan terhadap orang lain sehingga bila keinginannya tidak dapat terpenuhi cenderung akan menyalahkan orang lain dan meremehkan. Berdasarkan penjelasan di atas sejalan dengan penjelasan Bruno (2000) bahwa individu yang sulit membina hubungan yang akrab dengan orang lain dapat menjadi individu yang sensitif, mudah marah dan sering merasa kecewa terhadap orang lain karena tidak mampu menyesuaikan diri secara emosional sehingga tidak terbentuk sikap untuk saling menerima. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Grant (dalam Mazman & Uzluel, 2011) membuktikan bahwa reaksi individu pecandu selfie sering melakukan perlawanan dengan cara yang kurang tepat terhadap perkataan atau penilain orang lain melalu komentar di media sosial disebabkan oleh tidak adanya jalinan pergaulan yang akrab dengan seseorang di dunia nyatanya sehingga kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain menjadi sulit. Individu yang memiliki kebutuhan yang besar untuk dikagumi secara konstan ingin selalu tampil lebih sesempurna mungkin, yang akhirnya membuatnya cenderung melakukan semua hal untuk tampil lebih sempurna, mulai dari menghamburkan uang untuk memborong baju, membeli seperangkat alat make-up yang menurutnya bisa membuat dirinya cantik secara maksimal. Sejalan dengan hasil penelitian Istiono (2015) terbukti bahwa kebutuhan untuk dikagumi membut individu selalu mengharapkan pujian dan lebih mengutamakan tampilan fisik. Pada pelaku selfie perilaku mengharapkan kekaguman ditunjukkan dengan

21 35 tampilan foto selfie yang lebih menonjolkan sisi terbaik seperti, wajah dengan make-up yang memadai, tampilan fashion yang mendukung ditambahkan dengan caption atau keterangan mengenai foto selfienya dengan pesan-pesan yang membanggakan diri yang hal ini dilakukan untuk memberitahu khalayak umum bahwa dirinya cantik dan menarik. Perilaku-perilaku yang muncul pada pelaku selfie tersebut disebabkan oleh kondisi masa lalu yaitu kesepian sosial yaitu perasaan dikucilkan dengan sengaja oleh lingkungan yang disebabkan tidak adanya keterlibatan diri dalam jaringan sosial teretentu. Seperti yang dikatakan Kartono (2003) bahwa penyebab seseorang yang berprilaku untuk mendapatkan kekaguman dari orang lain adalah kondisi pribadi. Dalam hal ini kondisi pribadi bisa berupa kesepian sosial yang dapat memunculkan perilaku-perilaku ingin mendapatkan kekaguman. Dilanjutkan oleh Solomon (dalam Blossom, 2013) bahwa individu yang diawal kehidupannya sebagai anak-anak yang kurang mendapat dukungan dari teman sebaya, tidak tergabung dalam kelompok apapun, terkucil dan kurang mendapat bantuan dari guru maupun dari orangtua ketika mendapat kesulitan pada akhirnya akan menimbulkan perilaku semaunya sendiri yaitu melakukan segala sesuatu dengan cara-cara yang menurutnya dapat membuat orang lain memperhatikan, memuji dan mengagumi dirinya bahwa dirinya hebat. Kurangnya kemampuan untuk berempati ditunjukkan dengan hubungan sosial yang sedikit dan dangkal, cara memahami situasi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi secara normal, tidak mampu melihat permasalahan dengan lebih jernih dan cenderung melemparkan kesalahan

22 36 pada orang lain. Individu tidak mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain sehingga cenderung menimbulkan reaksi dan penilaian yang keliru (Goleman, 1997). Pelaku selfie yang kemampuan berempatinya rendah ditunjukkan dengan perilaku kurang peduli terhadap orang lain apabila sedang bersama teman atau keluarga dirinya sibuk untuk melakukan selfie, hanya mau berteman dengan orang yang berstatus tinggi atau orang yang memuji kecantikannya, bersikap sombong dengan membangga-banggakan kelebihankelebihan yang ditampilkan dalam foto selfienya. Perilaku yang ditampilakan pelaku selfie tersebut didukung oleh kondisi kesepian emosional dimana pelaku selfie kurang mengalami sejumlah emosi karena tidak mampu menjalin hubungan emosional yang intim dengan seseorang di dunia nyatanya. Menurut Murray (dalam Chaplin, 2000) hubungan emosional yaitu suatu hubungan yang terjalin dalam pertemanan dengan orang lain dan juga persahabatan, didalamnya akan terbentuk sikap saling menerima yang dapat menumbuhkan empati seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahardini (2014) didapatkan bahwa mayoritas (66,88%) responden pelaku selfie melakukan selfie karena mereka tidak mengerti posisi dirinya dalam lingkungan sosialnya akibat dari ketidak mampuan dalam menjalin hubungan emosional dengan orang terdekat, sehingga mereka cenderung melakukan selfie dengan menonjolkan sisi positif yang ada dalam dirinya saja untuk mendapatkan perhatian orang lain selain itu juga mereka cenderung membanding-bandingkan foto selfienya dengan orang lain untuk melihat apakah penampilannya sudah lebih baik dari orang lain atau tidak. Hal ini menandakan bahwa para pelaku selfie

23 37 tersebut adalah orang yang cenderung memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya dan menjadikan orang lain sebagai pembanding atas kualitas yang dimilikinya yang mana perilaku ini muncul akibat tidak terjalinnya hubungan dekat dalam kehidupan sosialnya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesepian dapat mempengaruhi ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Zilborg (dalam Mijuskovic, 2012) menyatakan bahwa orang yang kesepian biasanya akan menjadi seeorang yang narsistik. Selain itu dalam penelitian Sadikides dkk (2004) juga menemukan bahwa kesepian memiliki pengaruh yang positif terhadap kecenderungan narsistik. Orang yang memiliki ciri-ciri narsistik tinggi menunjukkan komitmen untuk membangun suatu hubungan sosial yang rendah (Campbell & Foster, 2002). Rendahnya komitmen dalam membangun hubungan sosial merupakan ciri orang yang kesepian Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara kesepian dengan ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie. Semakin tinggi kesepian maka semakin tinggi kecondongan ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie di media sosial. D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kesepian dengan ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie di media sosial. Hal ini berarti semakin tinggi perasaan kesepian maka akan semakin tinggi ciri-ciri narsistik

24 38 pada pelaku selfie di media sosial. Sebaliknya bila kesepian tergolong rendah maka ciri-ciri narsistik pada pelaku selfie di media sosial tergolong rendah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi di abad modern ini tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi di abad modern ini tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi di abad modern ini tidak dipungkiri memiliki berbagai macam pengaruh terhadap kehidupan manusia, terlebih yang hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

Journal of Social and Industrial Psychology

Journal of Social and Industrial Psychology JSIP 1 (1) (2012) Journal of Social and Industrial Psychology http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sip TINGKAT KECENDERUNGAN NARSISTIK PENGGUNA FACEBOOK Saputra Kristanto Jurusan Psikologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Teknik Pengumpulan Data, (F) Validitas dan Reliabiltas Alat Ukur, (G) A. Tipe Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Teknik Pengumpulan Data, (F) Validitas dan Reliabiltas Alat Ukur, (G) A. Tipe Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam suatu penelitian salah satu unsur yang paling penting adalah metodologi penelitian. Dalam bab ini, akan diuraikan pokok-pokok bahasan sebagai berikut : (A) Tipe Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja sering kali di hubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI DENGAN KESEPIAN PARA ISTRI ANGGOTA TNI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 oleh : DWI BUDI UTAMI F 100 040

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

HUBUNGAN KESEPIAN DENGAN CIRI-CIRI NARSISTIK PADA PELAKU SELFIE DI MEDIA SOSIAL NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN KESEPIAN DENGAN CIRI-CIRI NARSISTIK PADA PELAKU SELFIE DI MEDIA SOSIAL NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN KESEPIAN DENGAN CIRI-CIRI NARSISTIK PADA PELAKU SELFIE DI MEDIA SOSIAL NASKAH PUBLIKASI Oleh : Nasyiatin Jazilah 12081174 FAKULTAS PSIKOLOGI UNVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2017 HUBUNGAN

Lebih terperinci

2 gambar terbaik untuk mengatur kesan yang baik kepada orang lain. Hal ini terlihat, data dari Taylor Nelson Sofres (TNS) tahun 2015 tercatat lebih da

2 gambar terbaik untuk mengatur kesan yang baik kepada orang lain. Hal ini terlihat, data dari Taylor Nelson Sofres (TNS) tahun 2015 tercatat lebih da BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Munculnya media komunikasi internet dalam kehidupan manusia menghadirkan suatu peradaban baru khususnya dalam proses komunikasi dan informasi. Ellison dan Boyd dalam

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DENGAN MOTIVASI MENGIKUTI SENAM PADA REMAJA PUTRI DI SANGGAR SENAM 97 SUKOHARJO.

HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DENGAN MOTIVASI MENGIKUTI SENAM PADA REMAJA PUTRI DI SANGGAR SENAM 97 SUKOHARJO. HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DENGAN MOTIVASI MENGIKUTI SENAM PADA REMAJA PUTRI DI SANGGAR SENAM 97 SUKOHARJO Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional mengharapkan upaya pendidikan formal di sekolah mampu membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang sehat dan produktif. Pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua. Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan saudara kandung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Kesepian II.1.1. Definisi Kesepian Hampir semua orang, tak terkecuali remaja pernah merasa kesepian. Banyak sekali definisi mengenai kesepian yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP

PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP Mariatul Qibtiyah_11410027 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling sering disorot oleh masyarakat. Peran masyarakat dan media membawa

BAB I PENDAHULUAN. paling sering disorot oleh masyarakat. Peran masyarakat dan media membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bentuk tubuh dan berat badan merupakan persoalan perempuan yang paling sering disorot oleh masyarakat. Peran masyarakat dan media membawa pengaruh besar dalam mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan salah satu unsur kepribadian yang memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Banyak ahli mengakui bahwa kepercayaan diri merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya dan tidak mengalami kesepian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya dan tidak mengalami kesepian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial kita memerlukan hubungan interpersonal secara

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini perkembangan teknologi informasi berjalan sangat pesat. Kecanggihan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini perkembangan teknologi informasi berjalan sangat pesat. Kecanggihan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Saat ini perkembangan teknologi informasi berjalan sangat pesat. Kecanggihan teknologi membuat facebook dapat diakses dimana saja, kapan saja dan melalui apa saja. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut Archibald, dkk (dalam Baron, 2005 : 16) berpendapat bahwa kesepian (loneliness) adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pada remaja di panti asuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hubungan interpersonal sangat penting untuk perkembangan perasaan kenyamanan seseorang dalam berbagai lingkup sosial. Hubungan Interpersonal membantu dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah BAB 1 PENDAHULUAN A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah satunya untuk perubahan lingkungan maupun untuk dirinya sendiri yang bertujuan meningkatkan dan merubah kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa di sekolah. Istilah belajar sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat umum, namun barangkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang selalu ingin dicapai oleh semua orang. Baik yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka ingin dirinya

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE Komunikasi menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia, setiap hari manusia menghabiskan sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. terhindarkan dari pengaruh yang diberikan dari paparan media sosial. Boyd dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. terhindarkan dari pengaruh yang diberikan dari paparan media sosial. Boyd dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era perkembangan teknologi informasi saat ini, remaja tidak terhindarkan dari pengaruh yang diberikan dari paparan media sosial. Boyd dan Ellison (2007)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja harus memiliki banyak keterampilan untuk mempersiapkan diri menjadi seseorang yang dewasa terutama keterampilan bersosialisasi dengan lingkungan. Ketika

Lebih terperinci

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI 1 KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI Apakah harga diri atau self esteem itu? Coopersmith (Gilmore, 1974) mengemukakan bahwa:.self esteem is a personal judgement of worthiness that is

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan suatu permasalahan yang dialami oleh seseorang, yang terjadi akibat hubungan interpersonal saat ini tidak sesuai dengan harapan yang telah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam kehidupannya, setiap orang pasti membutuhkan orang lain, entah dalam saat-saat susah, sedih, maupun bahagia. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas X. Hal ini terlihat dari jumlah pendaftar yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan diri dari jalinan sosial, dimana manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan (Kartono, 2007). Pendidikan di Indonesia diatur dengan jelas pada pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perjalanan hidup manusia pasti akan mengalami suatu masa yang disebut dengan masa remaja. Masa remaja merupakan suatu masa dimana individu mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sepanjang hidup, artinya secara fisik individu akan terus tumbuh namun akan berhenti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau selalu membutuhkan orang lain dalam rangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman modern ini muncul berbagai perkembangan teknologi yang telah mengubah cara masyarakat dalam mengakses dan menggunakan berbagai informasi untuk berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

Jangan Jadi Gila Gadget

Jangan Jadi Gila Gadget Jangan Jadi Gila Gadget Belakangan istilah Nomophobia atau no mobile phone phobia begitu popular di telinga kita. Munculnya istilah baru dari peneliti asal Inggris ini seolah menjadi permakluman akan keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupannya senantiasa selalu mendambakan kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak dan dewasa adalah fase pencarian identitas diri bagi remaja. Pada fase ini, remaja mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini pengguna jejaring sosial facebook di Indonesia khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Akhir-akhir ini pengguna jejaring sosial facebook di Indonesia khususnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini pengguna jejaring sosial facebook di Indonesia khususnya pada remaja mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Situs jejaring sosial facebook

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja mencerminkan kondisi manusia yang sehat lahir dan batin, sedangkan tidak bekerja sama sekali, mengindikasikan kondisi macet atau sakit atau adanya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesepian tanpa adanya teman cerita terlebih lagi pada remaja yang cendrung untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesepian tanpa adanya teman cerita terlebih lagi pada remaja yang cendrung untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu tidak akan pernah dapat hidup sendirian, mereka selalu membutuhkan orang lain untuk dapat diajak berteman atau pun bercerita dalam kehidupan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dilindungi dan diperhatikan sebaik mungkin oleh seluruh lapisan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang menginginkan kesejahteraan didalam hidupnya, bahkan Aristoteles (dalam Ningsih, 2013) menyebutkan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan utama dari eksistensi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN NARSISME PADA REMAJA PENGGUNA FACEBOOK NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN NARSISME PADA REMAJA PENGGUNA FACEBOOK NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN NARSISME PADA REMAJA PENGGUNA FACEBOOK NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai persyaratan memperoleh Derajat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komunitas Instagram (Insta Medan) Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komunitas Instagram (Insta Medan) Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komunitas Instagram (Insta Medan) 1. Pengertian Instagram Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital,

Lebih terperinci

Orang lain menganggap dia jauh, menyendiri, dan tidak bisa terikat dengan orang lain

Orang lain menganggap dia jauh, menyendiri, dan tidak bisa terikat dengan orang lain Schizoid Orang dengan gangguan kepribadian Schizoid menghindari hubungan dengan orang lain dan tidak menunjukkan banyak emosi. Tidak seperti avoidants, schizoids benarbenar lebih suka menyendiri dan tidak

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan istilah zoon politicon. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak hanya mengandalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci