BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi

1 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian mengenai fenomena pergeseran konsepsi masyarakat terhadap Tugu Yogyakarta dari tetenger menjadi public place maka didapatkan bahwa terjadi perubahan-perubahan pandangan dan tindakan masyarakat terhadap Tugu Yogyakarta. Tugu dalam bentuk Golong Gilig dan Pal Putih merupakan sosok suci, lalu mulai terpudar kesakralannya seiring dengan banyaknya kegiatan tak terorganisir yang terjadi di area Tugu Yogyakarta. Di sini Pemerintah mengambil tindakan-tindakan untuk sakralisasi kembali Tugu Yogyakarta melalui beberapa modifikasi-modifikasi area tersebut. Terdapat pula aturan sosial dan etika-etika yang berlaku di masyarakat mengenai Tugu tersebut yang menjadi batasan. Ditemukan pula bentuk pergeseran konsepsi yang terbagi menjadi tiga, yaitu pergeseran konsepsi yang memandang Tugu Yogyakarta secara ragawi, pergeseran dalam kultural, dan pergeseran spasial oleh kegiatankegiatan penunjang. Bentuk-bentuk pergeseran tersebut dipengaruhi oleh konsep-konsep berikut: 1. Faktor Lokasi dan Fisik 2. Tugu Sebagai Bangunan Cagar Budaya 3. Tugu Sebagai Sarana Edukasi Bersejarah 4. Tugu Sebagai Ruang Publik 5. Faktor Eksternal Masyarakat mengunjungi area Tugu Yogyakarta terpicu akan khasnya bangunan Tugu Pal Putih yang ikonik, strategis lokasi, ketersediaan ruang parkir, mudah diakses, dan tanpa pungutan. Pergeseran tersebut terjadi 111

2 dikarenakan adanya faktor eksternal yaitu intervensi Pemerintah dan peran media informasi. Selama ini masyarakat sudah memiliki pandangan magis akan Tugu Yogyakarta, dan beberapa intervensi dari Pemerintah dalam upaya menjaga kesakralan bangunan cagar budaya tersebut juga disambut baik oleh masyarakat. Hingga akhirnya area Tugu Yogyakarta tetap ramai dikunjungi sampai sekarang. Pergeseran yang terjadi sebagai suatu fenomena menjadi hal yang positif dalam sudut pandang pemenuhan ketersediaan ruang publik di Kota Yogyakarta. Fenomena ini juga membawa efek pengganda karena dapat membawa keberuntungan bagi pihak masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi, pembukaan kesempatan/peluang kerja bagi warga sekitar, pengenalan budaya dan kepuasan masyarakat yang akhirnya mendapatkan ruang publik. Multiplier effect yang timbul ini memunculkan indikasi menjadi destinasi wisata. Namun akan sulit untuk diterapkan, mengingat lokasi persimpangan sebagai salah satu gerbang menuju Stasiun Tugu dan Jalan Malioboro, dan kebutuhan masyarakat Kota Yogyakarta akan adanya ruang publik. Dilihat secara ekonomi sangat menguntungkan, namun untuk pemenuhan fasilitas dan penunjang lainnya beserta aspek-aspek lain seperti keamanan dan keramahan area tersebut belum terorganisasi. Melihat lokasi area sendiri yang unik (berada di persimpangan yang lalu lintasnya selalu padat) dan keinginan pengunjung untuk berkegiatan di dekat bangunan Tugu Yogyakarta, menyebabkan beberapa permasalahan seperti membahayakan pengunjung dan mengganggu kegiatan lalu lintas. Maka perlu batasan agar perkembangan kegiatan ini tidak menuju arah yang salah, tetap dapat diatur dan dapat mencapai kondisi sebuah ruang publik yang baik. 112

3 6.2. Rekomendasi 1. Penegakan hukum Keberadaan ruang publik harus memiliki hukum yang menaungi untuk mengantisipasi adanya tabrakan kepentingan pribadi saat komunitas-komunitas saling berjumpa, sehingga akan lebih mengutamakan dan menyesuaikan kepentingan bersama. Hukum mengenai ruang publik perlu diperjelas dan sikap yang lebih tegas dalam penerapan hukum di seluruh wilayah. Misalkan, kewajiban 30% Ruang Terbuka Hijau dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan perlu diutamakan dalam pembangunan kota, karena akan membentuk ruang publik juga yang dibutuhkan masyarakat. Tak hanya hukum tertulis, hukum adat dan sosial juga perlu ditertibkan untuk menjaga sakralitas Tugu Yogyakarta. Pembangunan perlu diikuti perawatan berkala, agar tidak hanya dianggap sebagai pemenuhan kuota saja sehingga terbengkalai dan justru menjadi ruang negatif (remang-remang, kotor, tidak teratur). Penetapan Tugu Yogyakarta sebagai Bangunan Cagar Budaya membutuhkan perawatan khusus, termasuk juga bagi bangunan-bangunan bersejarah dan berkarakter di sekitar area Tugu Yogyakarta dalam rangka perencanaan Kota Pusaka. Perlakuan khusus terhadap Bangunan Cagar Budaya akan mencegah terjadinya tindakan vandalisme yang merusak citra pandangan di area sekitar Tugu. Dalam hal infrastruktur perlu perawatan baik oleh pengunjung maupun pemerintah. Perlu pula ditambah keamanannya, misal petugas yang membantu menyeberang dan mengondisikan lapangan tidak hanya pada saat digunakan sebagai panggung demokrasi. 2. Konsistensi Pemerintah Butuh konsistensi pemerintah dan pihak terkait dalam perawatan area Tugu Yogyakarta saat proses perencanaan hingga implementasi 113

4 supaya dapat tercapai realisasinya. Sebagai contoh adalah Toko Gunung Agung, yang dalam rumornya hendak dijadikan ruang publik namun pada kenyataannya masih terbengkalai sampai sekarang. Tentunya pula dengan lebih mendengarkan aspirasi berkomunikasi langsung dengan masyarakat supaya tidak salah sasaran.. 3. Kesadaran pengguna ruang Ruang publik adalah kepemilikan publik, sehingga hukum adat, moral, dan etika perlu dijunjung tinggi. Ruang publik harus dapat diakses seluruh kalangan dalam segala kesengajaan penggunaannya Sudah selayaknya untuk tidak menggunakan ruang sebagai kepentingan pribadi karena berpotensi mengganggu orang lain. Kesadaran pengunjung dibutuhkan, khususnya bagi mereka yang suka berfoto atau sekadar nongkrong di area buffer space dan pelataran Tugu Pal Putih. Keunikan Tugu berlokasi di tengah persimpangan jalan kolektor yang hampir selalu dalam keadaan ramai. Jalan raya juga merupakan ruang publik dikhususkan kepada pengendara. 4. Solusi untuk kondisi lalu lintas Perkembangan pola pikir masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Sikap apatis, tidak hormat, dan melupakan sejarah bisa menjadi penyebab mengapa banyak fenomena desakralisasi terhadap figur-figur zaman Keraton di Yogyakarta. Hal ini tidak bisa dihindari, melainkan perlu dicari tindakan kuratif akan efek perubahan dan tindakan preventif dari efek tersebut. Salah satu rekomendasi penulis adalah dengan membersihkan area Tugu Yogyakarta dari kendaraan pada masa kunjungan ramai ( ). Area ini (Vehicle Clear Area) adalah area bangunan Tugu Pal Putih, Pelataran sisi selatan, dan sebagian Jalan Margo Utomo sebelum persimpangan Jalan Gowongan Kidul. Sementara sisi samping Jalan Margo Utomo tersebut dapat dipergunakan sebagai ruang parkir, sehingga pedestrian akan menjadi lebih ramah dan walkable. Pengalihan arus lalu lintas baru dilakukan pada malam hari, sehingga tidak akan mengganggu 114

5 mobilitas masyarakat menuju Stasiun Tugu dan tujuan lainnya. Pengalihan arus lalu lintas digambarkan dalam ilustrasi berikut: Gambar 6.1. Ilustrasi Pengalihan Arus Area Tugu Yogyakarta Sumber : Analisis Penulis, 2016 Apabila beberapa rekomendasi tersebut dapat terealisasikan, maka diharapkan dapat mencapai ruang publik yang sesuai dengan kriteria. Ruang publik adalah kepemilikan bersama sehingga pada selayaknya harus bisa digunakan bagi seluruh masyarakat dari segala latar belakang. 115