KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA RITA RAHMAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA RITA RAHMAWATI"

Transkripsi

1 KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA RITA RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Rita Rahmawati NIM I

4 RINGKASAN RITA RAHMAWATI. Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS KINSENG dan DUDUNG DARUSMAN. Hutan sebagai basis livelihood manusia sudah lama terjadi sejak sejarah pertanian awal di dunia. Sepanjang sejarah menunjukkan bahwa strategi nafkah penduduk mempunyai pola-pola berbeda dipengaruhi oleh budaya dan perubahan sosial. Namun perubahan terpaksa dilakukan untuk merespon konflik yang terjadi karena masuknya kebijakan Negara mengenai pengelolaan kawasan hutan. Dengan mengambil teladan kasus konflik di dua lokasi yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Jawa Barat dan Banten, dan Hutan Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, melalui metode penelitian konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, penulis dapat mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan ini selalu terjadi melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu Negara dan Masyarakat adat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu Negara (Pemerintah Pusat), Negara (Pemerintah Daerah), Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Pusat dan Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Konflik di TNGHS terjadi karena Negara menerbitkan kebijakan perluasan Taman Nasional, sedangkan konflik di hutan Sungai Utik terjadi karena Negara (Pemerintah Pusat) menerbitkan kebijakan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk Pengusaha, Pemerintah Daerah juga menerbitkan kebijakan Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada kawasan yang sama. Berdasarkan fenomena konflik di TNGHS dan Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan adalah konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Teori Foucault digunakan untuk melihat konflik pemaknaan. Pemaknaan dipengaruhi oleh pengetahuan aktor. Pengetahuan inilah yang memberikan kekuasaan pada aktor untuk mengklaim kawasan tersebut sebagai hak miliknya dan memberikan kekuasaan untuk mengontol dan mengelola sumberdaya hutan tersebut. Untuk menganalisis konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood digunakan teori konflik Dahrendorf. Melalui analisis teori konflik Dahrendorf dapat dikatakan bahwa semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Masyarakat adat adalah pihak yang tersubordinasi, sedangkan Negara adalah pihak yang superordinat. Semakin Masyarakat tersubordinasi, semakin kurang otoritas, dan semakin sulit Masyarakat adat memperoleh kepentingannya atas hak akses kelola hutan maka semakin lenting Masyarakat dalam mencari berbagai dukungan untuk menyelesikan konflik. Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik smberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu Teori kelentingan sosial dalam perebutan sumberdaya hutan. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Setiap Masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog. Kata kunci: Kelentingan, Konflik Sumberdaya Hutan, Masyarakat Adat, Otoritas. Perubahan Kelembagaan

5 SUMMARY RITA RAHMAWATI. Forest Resources Conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS KINSENG and DUDUNG DARUSMAN. The role of forests as a basis of human livelihood has occurred for a long time since the world s early agricultural history. Throughout history, it has shown that the people s living strategy has different patterns, influenced by culture and social changes. However, changes had to be carried out to respond to conflicts that occur due to the entry of state policy on the management of forest areas. By taking the exemplary case of conflicts in two locations, namely Mount Halimun Salak National Park (T.N.G.H.S.) located in the Bogor Regency, Sukabumi Regency and Lebak Regency, West Java and Banten Provinces, and Sungai Utik Forest, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province, through constructivist research methods and qualitative approach, the author can say that these forest resource conflicts always occur involving multiple parties with multiple interests. At least in the case of T.N.G.H.S. there are two parties in conflict, namely the State and the indigenous people of Kasepuhan, whereas in the case of Sungai Utik, it involves many parties, namely the State (Central Government), the State (Local Government), businessmen who are affiliated with the Central Government and businessmen who are affiliated with the Local Government and the indigenous people of Dayak Iban in Sungai Utik. Conflicts at T.N.G.H.S. occur because the state issued a policy on the expansion of the national park, while conflicts at Sungai Utik Forest occur because the state (Central Government) issued the Business License for Timber Management (I.U.P.H.H.K.) policy for businessmen, and the Local Government also issued the Business Licence for Plantation (I.U.P.) policy in the same region. Based on the phenomenon of conflicts in T.N.G.H.S. and Sungai Utik Forest, it can be said that conflicts of forest resources are conflicts of meaning, conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood. Foucault's theory was used to see the conflict of meaning. The meaning is affected by the knowledge of the actor. This knowledge empowers the actors to claim the area as their property and gives them the power to control and to manage the forest resources. To analyze conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood, the Dahrendorf conflict theory was used. Through the analysis of the Dahrendorf conflict theory, it can be said that the sharper the conflict of forest resources, the more visible the presence of the subordinated party and the other party that becomes the super ordinate. The indigenous people are the subordinated party, whereas the state is the super ordinate party. The more subordinated the people, the less the authority they have, and the more difficult the indigenous people obtain their interest on the right of access to forest management; thus the more resilient the people become in finding various supports for conflict resolution. Based on the phenomena found on location, conflicts of forest resources in the Kasepuhan community and the Dayak Iban community of Sungai Utik gave birth to a new theory, namely the theory of social resilience in the fight over forest resources. The resilience is understood as a struggle for survival. Each community has a different level of resilience. Communities with high resilience enable the resolution of conflicts by way of dialogue. Keywords: Resilience, Conflicts of Forest Resources, Indigenous People, Authority, Institutional Changes

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA RITA RAHMAWATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 ii Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo, MS Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

9 iii Judul Disertasi : Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia Nama NIM : Rita Rahmawati : I Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Anggota Prof. Dr. Dudung Darusman, MA Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 26 April 2013 (tanggal pelaksanaan ujian disertasi) Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan disertasi oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)

10 iv

11 v PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah Konflik Sumberdaya Hutan. Ucapan terima kasih yang pertama kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan pendanaan selama proses studi, termasuk pendanaan penelitian, melalui Penelitian Hibah Strategi Nasional. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr, Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan Bapak Prof. Dr. Dudung Darusman, MA selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Didik Suharjito selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup dan terbuka, serta Bapak Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor (Bapak Prof. Dr. Herry Suhardianto, MSc.); Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Arif Satria, MSi); Ketua Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo, MSc.); Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA), dosen-dosen pada Program Studi Sosiologi Pedesaan atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan segala fasilitasnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Djuanda (Bapak Dr. H. Martin Roestamy, SH., MH); Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik, dan Ilmu Komunikasi (FISIKOM) Universitas Djuanda (Bapak Drs. Beddy Iriawan Maksudi, MSi) dan Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Djuanda (Ibu Dra. Euis Salbiah, MSi), atas izin studi, dukungan dan fasilitas yang diberikan. Di samping itu, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Noriyuki TANAKA, Ph.D. dan Bapak Prof. Nobuyuki TSUJI, Ph.D. (Supervisor pada CENSUS Hokkaido University), Bapak Dr. Abdul Malik yang senantiasa memberikan semangat, bimbingan, arahan dan teman diskusi yang baik. Kepada Bapak Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, Abah Asep, Wa Ugis, Pak Ulis, Kepala Badan TNGHS, Mbak Ratih (Staf BTNGHS), Camat Cisolok, Kepala Desa Sirna Resmi, Ape Janggut (Tuai Rumah Sungai Utik), Bapak Remang (Kades Batu Lintang), Bapak Camat Embaloh Hulu, Bang Tomo, Mbak Enno (Pegawai Statistik Kabupaten Kapuas Hulu), Bapak Vincentius Jebang (Tumenggung Dayak Iban Jalai Lintang), Pak Kanyan, LSM AMAN, Muhammad Muzayyin, S.Sos, Dra. Ginung Pratidina, MSi, Ir. Muarif, MSi, Arinda, S.Sos, Mbak Anggra, Pak Subair, Pak Sulthan dan pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses perkuliahan, pengumpulan data dan penulisan disertasi ini. Ungkapan terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada suami (Bapak Firdaus Anjiance, S.Sos, MM); ayah (Bapak MH. Usman Effendi almarhum); ibu (Ibu Hj. Aah Rubaeah); anak (Mochammad Daniel Januar Firdaus) serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2013 Rita Rahmawati

12 RIWAYAT HIDUP Rita Rahmawati (I ) lahir di Cianjur tanggal 12 April 1969 adalah putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. Muhammad Usman (Alm.) dan Hj. A. Rubaeah. Istri dari H. Firdaus Anjiance, S.Sos, MM dan Ibu dari Mochammad Daniel Januar Firdaus. Pendidikan SD, SMP sampai SMA diselesaikan di Kota Cianjur Jawa Barat. Tahun 1992 lulus dari pendidikan S1 di Universitas Padjadjaran dengan mengambil program Studi Administrasi Negara. Tahun 1998 lulus program Magister (S2) di Universitas Indonesia program studi Antropologi. Tahun 2008 mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Sosiologi Pedesaan. Riwayat pekerjaan dimulai sejak bulam Maret 1993 diangkat menjadi dosen Kopertis Wilayah IV. Jawa Barat dengan DPK Universitas Djuanda sampai sekarang, melalui program beasiswa ikatan dinas dari Departemen pendidikan Nasional. Jabatan terakhir dalam karirnya sebagai dosen adalah jabatan akademik Lektor Kepala tahun 2006, dalam kepangkatan IV/b sejak tahun Sepanjang karir menjadi dosen pernah mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan struktural, mulai dari Sekretaris Program Studi, Pembantu Dekan III, Pembantu Dekan I, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Djuanda, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Djuanda ( ) dan Direktur LPPM Universitas Djuanda ( ). Dalam karir penelitian sebagai dosen, pernah beberapa kali mendapatkan hibah dari Dirjen DIKTI, yaitu: untuk penelitian dosen muda sebanyak 2 (dua) kali, kajian wanita sebanyak 1 (satu) kali, hibah bersaing sebanyak 3 (tiga) kali dan hibah Strategis Nasional sebanyak 2 (dua) kali serta hibah Fundamental sebanyak 1 (satu) kali. Termasuk penelitian ini juga menggunakan fasilitas pendanaan dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Program Hibah Strategis Nasional (tahun ). Selama kuliah di IPB mendapat banyak kesempatan dan pengalaman akademik, dimulai sejak tahun 2010 mendapat kesempatan dikirim oleh IPB untuk pengayaan studi pustaka dari penelitian ini melalui program sandwich like di Center for Sustainability (CENSUS) Hokkaido University dengan pendanaan dari Dirjen DIKTI. Pada tahun 2011 memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian dalam seminar internasional Knowledge/Culture/ Social Change International Conference yang diselenggarakan oleh Center for Cultural Research University of Western Sydney 7-9 November 2011 melalui pendanaan DIKTI. Tahun 2012 memperoleh kesempatan kedua untuk mempresentasikan hasil penelitian pada seminar internasional Shanghai International Conference on Social Science (SICSS- yang diselenggarakan oleh Higher Education Forum di the QUBE Hotel PuDong Shanghai, August Tahun 2013 mendapat kesempatan mengikuti shortcourse tentang Local Governance and Rural Decentralization yang diselenggarakan pada tanggal Februari 2013 oleh Centre for development Innovation (CDI) Wageningen University, dengan scholarship dari Nuffic Belanda. Salah satu materi kursus tersebut memberikan pengayaan pada disertasi ini, yaitu tentang konflik sumberdaya alam dan resolusinya.

13 vi DAFTAR ISI RINGKASAN PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR MATRIK DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 14 2 TINJAUAN PUSTAKA Teori Konflik Konflik Pemaknaan Konflik Sumberdaya Hutan Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Penyelesaian Konflik Sumberdaya Alam Dinamika Kelembagaan Dalam Sistem Sosio Ekologi Hutan Otonomi Daerah Dalam Pengaturan Sumberdaya Hutan Adaptasi dan Resiliense 48 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Paradigma Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis Pengarah Strategi Penelitian Langkah Penelitian Teknik Pengumpulan Data Analisis Data 64 4 SISTEM SOSIO EKOLOGI HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK: 65 v vi ix x xi xii xiii xiv

14 4.1.a. Perkembangan Status Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan Implikasinya b. Desa Sirna Resmi dan Masyarakat Kasepuhan c. Sistem Mata Pencaharian dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan d. Pengetahuan Masyarakat Adat Kasepuhan Tentang Tata kelola Hutan HUTAN SUNGAI UTIK: a. Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat b. Kampung Sungai Utik (Sui Utik) c. Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik d. Sejarah Migrasi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik e. Sistem Pertanian Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik f. Pengetahuan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Tentang Tata Kelola Hutan g. Dusun-Dusun Di Sekitar Dusun Sungai Utik: Perbandingan TNGHS Dan Sungai Utik (Analisis Fisik, Sosial, Politik) Multiple Basis of Land Rights danmultiple Basis of Access a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang a.2. Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka b. Sejarah Penguasaan Tanah Masyarakat Adat b.1. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan b.2. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Dayak Iban KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN Penyebab dan Bentuk Konflik a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara Tentang Pemanfaatan Hutan Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood a. Konflik Pemaknaan b. Konflik Tenurial c. Konflik Authority (Konflik Otoritas) d. Konflik Livelihood Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik) Dampak Konflik Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan 165 vii

15 viii 6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Kebijakan Negara Tentang Pengaturan Hutan Yang Mempengaruhi Kelembagaan Masyarakat Adat Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Strategi Adaptasi Ekologi Masyarakat Dalam Rangka Keberlanjutan Sistem Sosioekologi Hutan REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault Fenomena Konflik Di TNGHS dan Sungai Utik Kajian Teoritik Dalam Melihat Berbagai Fenomena di TNGHS dan Sungai Utik Implikasi Teoritis Implikasi Kebijakan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 247 DAFTAR PUSTAKA 251 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

16 ix DAFTAR TABEL Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian 63 Tabel 2. Perkembangan Status Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 66 Tabel 3. Kondisi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak 68 Tabel 4. Aturan Yang Dibolehkan dan Dilarang Pada Masyarakat Kasepuhan 77 Tabel 5. Luas wilayah Kampung Sungai Utik dan pembagian tataguna lahannya 80 Tabel 6. Sejarah Perpindahan Rumah Panjae Masyarakat Dayak Sui Utik 83 Tabel 7. Jumlah KK dan Jiwa di Tujuh Dusun Ketemenggungan Jalai Lintang 92 Tabel 8. Kondisi Masyarakat di Sekitar Hutan Sungai Utik 94 Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun

17 x DAFTAR MATRIK Matrik 1. Matrik Perbandingan Lokasi Studi Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan Hutan Sungai Utik 100 Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik 132 Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan Dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 134 Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan Hutan Sungai Utik 140 Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban 141 Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di TNGHS dan Sungai Utik 148 Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik. 149 Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 166 Matrik 9. Resolusi Konflik Pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik 168 Matrik 10. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Dayak Iban di Hutan Sungai Utik 185 Matrik 11. Analisis Kelembagaan Adat versus Negara (Modern) Pada TNGHS 189 Matrik 12. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada Hutan Sungai Utik 190 Matrik 13. Perubahan Status Taman Nasional dan Dampaknya Pada Masyarakat Sekitar Hutan 192 Matrik 14. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 194 Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik 202 Matrik 16. Bentuk Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Sungai Utik 218 Matrik 17. Perbedaan Karakteristik Lokasi TNGHS dan Sungai Utik dan Bekerjanya Berbagai Fenomena Teoritis 223 Matrik 18. Indikator Kelentingan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik 228 Matrik 19. Asumsi-Asumsi Yang Membedakan Kelentingan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 232

18 xi DAFTAR GAMBAR Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery (Sumber Turner, 1998:168) 20 Gambar 2. Kerangka Penelitian 61 Gambar 3. Sejarah Masyarakat Kasepuhan Dan Penguasaan Lahan 215 Gambar 4. Sejarah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Dan Penguasaan Lahan 217

19 xii DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Kondisi hutan Selama Tahun (Sumber: BTNGHS, 2010) 120

20 xiii DAFTAR LAMPIRAN Pengertian Istilah 261 Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak 271 Peta Kabupaten Kapuas Hulu 272 Peta Kampung Sungai Utik 273

21 xiv DAFTAR SINGKATAN Halaman AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 150,160,161,162,163,168 Amdal Analisa Dampak Lingkungan 126 BPKH Bina Produksi Kehutanan 99 BKSDA Balai Konservasi Sumberdaya Alam 216,238 BPS Badan Pusat Statistik 145 BTNGHS Balai Taman Nasional Gunung 117,120,121,139,142,148, Halimun Salak 149,154,160, 168,169,171,172,174, 175,180 CAGH Cagar Alam Gunung Halimun 65 CSIADCP Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Program DA Demontrative Activity 163 DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 104 DR Dana Reboisasi 125 Ha Hektar 2, 118,119 HPH Hak Pengusahaan Hutan 3,5,8,178,179,180 HTI Hutan Tanaman Industri 2,146 ICA Imperative Coordinated Association 18,20,22 (Asosiasi Imperatif Terkoordinasi) IGO Inlandshe Gemeente Ordonantie 101 IGOB Inlandshe Gemeente Ordonantie 101,102 Biutengewsten IIUPH Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 125,126 IPPA Izin Pengusahaan Pariwisata Alam 170,172 IPH Izin Pemanfaatan Hutan 2 IUP Izin Usaha Perkebunan 117,126 IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 117,122,123,124,126,154, 155,165,168,178,179 Kadat Kepala Adat 82 Kades Kepala Desa 82 Kadus Kepala Dusun 82 Kepmensos Keputusan Menteri Sosial 107 Keppres Keputusan Presiden 4 KUD Koperasi Unit Desa 71 LEI Lembaga Ekolabeling Indonesia 163,168 LSM Lembaga Swadaya Masyarakat 126,153,154,160,161,162, 163,168,169,172,180 mdpl meter di atas permukaan laut 67 Menhut Menteri Kehutanan 123,125,129,160,177 Menhutbun Menteri Kehutanan dan Perkebunan 79 MHA Masyarakat Hukum Adat 5,6,107 1

22 MKK Model Kampung Konservasi 160,172,173,174 MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat 156,157 NIT Negara Indonesia Timur 101 NTB Nilai Tambah Bruto 144 PDB Produk Domestik Bruto 145,146 Pemda Pemerintah Daerah 170 PETI Penambangan Emas Tanpa Izin 170 PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi 98 Alam PP Peraturan Pemerintah 5,7,8,135,144,145,147,158 PSDH Penerimaan Provisi Sumberdaya 125 Hutan RI Republik Indonesia 5 RPTN Rencana Pengelolaan Taman Nasional 172 RPTNGHS Rencana Pengelolaan Taman Nasional 170 Gunung Halimun Salak RTRK Rencana Tata Ruang Kawasan 169 SABAKI Kesatuan Masyarakat Adat Banten 153,160 Kidul SCBFM sustainable community Based Forest 126,163 Management SD Sekolah Dasar 81 SDA Sumberdaya Alam 140,159 SK Surat Keputusan 118,123,125,126,136,160 SMP Sekolah Menengah Pertama 81 SMA Sekolah Menengah Atas 81 SPTNW Seksi Pengelolaan Taman Nasional 66 Wilayah TK Tidak Diketahui 83,94 TNGH Taman Nasional Gunung Halimun 65,66 TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak xv 12,117,118,119,120,121,1 27,130,132,133,134,135,1 37,138,139,140,141,142,1 47,148,149,151,152,153,1 54,157,159,160,168,169,1 70,171,172,173,174,175,1 76 TPTI Tebang Pilih Tanam Indonesia 123 UU Undang-Undang 5,6,7121,129,130,131,132, 142,143,147,155,156,157, 158,159,161,166,176,178 UUPA Undang-Undang Pokok Agraria 5,132,133

23 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dalam beberapa dekade terakhir menjadi salah satu sumber konflik di Indonesia. Konflik sumberdaya hutan tersebut melibatkan berbagai aktor, baik antara masyarakat adat versus negara, masyarakat adat versus pengusaha (swasta), maupun antara negara dengan negara. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang hutan, baik untuk pelestarian maupun pemanfaatan hutan. Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan kebijakan negara tentang pelestarian hutan, antara lain contohnya: penyingkiran rakyat pesisir bukit karena pembangunan Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi; penutupan akses Masyarakat Desa Klakah dan Jurang Ombo di Boyolali Jawa Tengah untuk memanfaatkan Hutan Lindung Gunung Merapi; tersingkirnya kegiatan pertanian ladang oleh warga pedesaan di sekitar Hutan Lindung/ Hutan Wisata Kali Pancur di Salatiga; penyingkiran Masyarakat Suku Amungme karena pembangunan Taman Nasional Lorenz di Irian, konflik tanah Pulo Panggung di Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena lahan mereka dinyatakan sebagai hutan lindung dan suaka marga satwa; pemindahan Masyarakat Adat Katu dari dalam Taman Nasional Lore Lindu melalui proyek the Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project (CSIADCP) (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik akibat kebijakan pelestarian hutan tersebut selalu menghadapkan masyarakat dan negara. Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan karena kebijakan negara dalam pemanfaatan hutan melibatkan aktor pengusaha yang mendapatkan hak pemanfaatan hutan dari negara. Oleh karena itu, dalam kasus pemanfaatan hutan, konflik terjadi dalam dua level. Pada level kebijakan, konflik terjadi antara masyarakat dengan negara. Adapun pada level grassroot, konflik terjadi antara pengusaha dengan masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat non adat. Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat adat, antara lain contohnya: konflik Masyarakat Tabbeyan dan Sentosa serta beberapa desa lain di Kecamatan Demta, Namboran, Bonggo, Urunumguay, dan Kaureh dengan PT. YLS yang memperoleh konsesi di wilayah mereka; tahun , konflik 1

24 terjadi antara masyarakat adat di Dusun Senaru, Desa Senaru Lombok Barat dengan PT. TBA yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan (IPH) dan dilanjutkan dengan izin pengembangan hutan tanaman industri (HTI) seluas 500 hektar (ha); tahun 1992, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Bahau di Mutalibak Kecamatan Long Hubung Kutai Kalimantan Timur dengan PT. LPT yang membangun HTI di wilayah adat; tahun 1993 terjadi 2 (dua) kasus perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap HTI yakni Masyarakat Sugapa di Tapanuli Utara yang tanahnya diserobot oleh PT IIU, serta Masyarakat Jelmusibak di Kalimantan Timur; tahun 1994 terdapat 6 kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Benakat di Muara Enim dan Masyarakat Bayat di Musi Banyuasin, keduanya di Provinsi Sumatera Selatan; kasus Masyarakat Sandai, Empurang dan Semandang Kanan di Ketapang Provinsi Kalimantan Barat serta kasus Masyarakat Dayak Pasir di Kalimantan Timur; tahun 1995, terjadi 3 (tiga) kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Palawe di Musi Rawas, Masyarakat Babat dan Sungai Ibul di Muara Enim, keduanya di Sumatera Selatan serta kasus Kota Baro di Aceh Besar (lihat, Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat non adat, antara lain contohnya: konflik akibat adanya klaim PT. SK terhadap sekitar 100 ha tanah warga di Kecamatan Dampelas Sojol yang telah ditanami coklat oleh masyarakat; konsesi perkebunan PT. H di Dataran Napu, Kabupaten Poso menyebabkan hilangnya tanah warga (masyarakat lokal) beberapa desa di sekitar daerah tersebut; perampasan tanah masyarakat oleh PT. PTPN XIV di Tomata; dan PT. HIP mencaplok lahan penduduk Desa Pomayagon di Kecamatan Momunu untuk dijadikan areal kelapa sawit (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik antara pengusaha dengan masyarakat non adat umumnya terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas tanah yang diperuntukkan bagi perkebunan. Belajar dari pengalaman hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa peneliti menyebutkan, antara lain: 1. Menurut Blaikie (1985) bahwa kebanyakan sistem pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan memperparah kemerosotan hutan 2

25 karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra-produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan oleh negara. 2. Negara kolonial dan negara masa kini sering mengambil alih kawasan hutan yang luas untuk perkebunan, atau untuk proyek pembangunan besar yang merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya. Sering kali pengambil-alihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan itu demi kepentingan bersama bagi kemaslahatan sebesar-besarnya (lihat Peluso, 2006). 3. Menurut Gautam et al (2000) dan Sembiring (2002), bahwa hutan digunakan sebagai kendaraan politik. Konsesi hutan yang diberikan secara tidak transparan kepada sejumlah kecil perseorangan atau perusahaan yang sangat berpengaruh dan memiliki kedekatan dengan kekuasaan. 4. Hutan sebagai instrumen ampuh bertumbuhnya kekuasaan ekonomi dan politik di tangan sejumlah orang. Pada tahun 1998, 12 Perusahaan yang erat terkait dengan elit politik dan militer mengendalikan sekitar 60 juta hektar konsesi hutan di Indonesia (McCarthy, 2000a). 5. Tumpang tindih wilayah kebijakan hak pengusahaan hutan (HPH), dan izin penebangan skala 100 hektar. Tumpang tindih wilayah kebijakan tersebut terjadi karena kawasan hutan yang masih berkayu menjadi incaran para pemilik HPH, dan masuk dalam rencana tebang mereka, sementara izin penebangan skala 100 hektar juga memilih areal yang kayunya banyak, mudah dikeluarkan dan tidak jauh dari kawasan pemilik izin (lihat Contreras- Hermosilla dan Fay, 2006). 6. Tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Contoh konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Di Poso 3

26 Sulawesi Tengah tercatat adanya izin perkebunan seluas 8600 ha dari Pemerintah Daerah Kabupaten bagi PT SK, padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). 7. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di hutan juga melibatkan persoalan overlapingnya tata aturan kelembagaan yang ada dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, antara lain: keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang sekarang sudah diperbaharui menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004) membuat pengelolaan sektor kehutanan menjadi semakin tidak jelas; sebuah keputusan presiden/keppres (Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional) menetapkan bahwa urusan menyangkut penguasaan dan kepemilikan atas tanah berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sementara UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi kepada kabupaten untuk membuat keputusan menyangkut urusan-urusan pertanahan, termasuk penyelesaian konflik (lihat Sembiring, 2002). 8. Memberikan Departemen Kehutanan kewenangan utama menetapkan batas, fungsi dan kawasan hutan. Tetapi, pemerintah daerah tidak selalu menghormati kewenangan tersebut, sebagian karena keputusan menteri tidak memiliki status hukum untuk mengubah keputusan-keputusan tingkat lokal (Effendi, 2002). Berdasarkan kasus-kasus konflik sumberdaya hutan di Indonesia dan pendapat para peneliti sebelumnya, maka penyebab konflik sumberdaya hutan antara lain karena: kebijakan negara dibidang kehutanan telah menegasikan keberadaan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan; tumpang tindih kepemilikan hutan negara dengan masyarakat; dan tumpang tindih kebijakan antar instansi sektoral dan tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konflik tersebut melibatkan banyak pihak dengan bnyak kepentingan Perumusan Masalah Dalam perspektif historis, periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh negara tidaklah sama dengan periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh 4

27 masyarakat. Negara sebagai sebuah entitas sosial politik, keberadaan dan eksistensinya secara resmi baru diakui sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun Penetapan status kawasan hutan negara baru dilakukan pada tahun 1970 sejak diundangkannya secara resmi Undang- Undang (UU) RI Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Sementara itu, keberadaan masyarakat khususnya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun hak penguasaan masyarakat adat atas tanah tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak memiliki surat-surat resmi. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 mengatur bahwa semua tanah harus didaftarkan, dan lahan tanpa judul diasumsikan milik negara. Hal tersebut bermakna bahwa tanah tanpa surat-surat resmi diasumsikan menjadi milik negara. Sementara itu, hak-hak adat tradisional untuk mengontrol sumberdaya hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan hukum nasional. Hak masyarakat hukum adat (MHA) untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 4, bahwa: Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Namun demikian, Pasal 2 Ayat 4 tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari Pasal 2 Ayat 4 UUPA tersebut berakibat pada keterbatasan hak dari MHA. MHA hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal HPH. 5

28 Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, BAB IX tentang Masyarakat Hukum Adat, Pasal 67 bahwa: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak, yaitu: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Namun dalam prakteknya, hak-hak masyarakat adat ini menjadi tidak diakui manakala berbenturan dengan kepentingan negara. Hal ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada suatu kondisi konflik tenurial sumberdaya hutan. Konflik dan sengketa tenurial tersebut berkenaan dengan adanya perjuangan hak MHA dalam mengakses sumberdaya hutan, dan kepemilikan lahan. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Pada saat negara (pemerintah) mengeluarkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, akan berhadapan dengan dilema dimana hutan juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal. Isu-isu penggunaan lahan diantara banyak pihak, termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung dan masyarakat subsisten, selalu berada pada situasi konflik. Banyak masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada hutan, salah satu contohnya masyarakat yang bergantung pada hutan di pedalaman kalimantan secara kolektif disebut sebagai orang-orang Dayak (lihat mackinnon, Hatta, Halim, & Mangahik, 1997; Wadley, Pierce Colfer, & Hood, 1997). Penetapan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya hutan oleh negara (selaku pemegang kuasa hutan secara de jure) selain menegasikan keberadaan masyarakat lokal, juga menghadirkan keberadaan aktor lain (pengusaha), sehingga konflik sumberdaya hutan melibatkan banyak aktor dan kepentingan. Konflik tersebut bukan hanya terjadi karena benturan kekuasaan dan kewenangan atas penguasaan sumberdaya hutan, tetapi juga karena adanya 6

29 perbedaan interpretasi, pemahaman dan pemaknaan mengenai sumberdaya hutan di Indonesia antara berbagai aktor dan kepentingannya. Selanjutnya, perilaku setiap aktor yang berkepentingan terhadap hutan ditentukan oleh pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan yang bersumber dari rasionalitas mereka. pemaknaan hutan oleh negara, berbeda dengan pemaknaan oleh pengusaha dan masyarakat lokal. Dalam memaknai hutan, negara dihadapkan pada dua kepentingan yang kontradiktif. Pertama, kedudukan negara (suatu birokrasi) akan makin canggung ketika ia juga masih dibebani mandat peningkatan kesejahteraan atau pembangunan sosial ekonomi (Bunker, 1985; Peluso, 2006). Kedua, mandat manapun yang dominan, birokrat dan petugas negara berkepentingan memelihara tatanan sosial yang secara ekonomis dan politis menguntungkan mereka (Skocpol, 1979; Robinson, 1986). Bagi Indonesia sendiri, peran negara dalam kehutanan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Indonesia mengatur mengenai pengurusan hutan. Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Berdasarkan UU tersebut, negara memandang hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. 7

30 Selanjutnya menurut Pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 disebutkan bahwa hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi. Selain aktor negara, ada juga kelompok yang melulu berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi, antara lain pengusaha pemegang hak penguasaan hutan (HPH) dan industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, transmigrasi, pemukiman penduduk dan mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu, tanah atau bahan mineral di bawahnya. Kelompok ini memaknai hutan sebagai komoditas ekonomi dan alat perjuangan politik. Beberapa pengusaha memperoleh hak penguasaan hutan karena memiliki keterkaitan politik dengan pemerintah pusat yang berkuasa. Dalam prakteknya, hukum dan peraturan yang berlaku menjadi diabaikan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa 84% konsesi hutan telah melanggar berbagai hukum yang berlaku sepanjang pertengahan 1990-an dan pembalakkan liar secara sistematik terjadi bahkan di kawasan-kawasan Taman Nasional terkemuka Gunung Leuser, Tanjung Puting dan Kerinci Seblat tanpa tindakan hukum yang jelas terhadap pelanggarnya (Environmental Investigation Agency, 1999; Environmental Investigation Agency dan Telapak Indonesia 2001; Barber dan Schweithelm 2000; World Bank 2001). Sepanjang tahun-tahun tersebut, sekitar 70% hasil hutan adalah hasil kegiatan illegal dan deforestasi telah menyapu sekitar 65 juta hektar 2,2 kali luas Italia (World Bank 2001; FAO 2001; FWI/GFW 2002). Dapat dikatakan, perkiraan laju deforestasi sepanjang adalah 1,7 juta hektar per tahun (FWI/GFW 2002). Begitu kayu yang berharga diekspolitasi, tanah yang ditinggalkan berikut sumberdaya hutannya diklasifikasikan sebagai hutan yang telah rusak yang dapat digunakan untuk 8

31 perkebunan skala besar atau tujuan penggunaan lainnya. Fenomena tersebut merupakan senyawa ampuh dalam mendorong deforestasi dan degradasi hutan (Barber, Johnson dan Hafild 1994). Lain lagi dengan kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan. Kelompok tersebut antara lain: para pemeduli keanekaragaman hayati, pengelola jamu dan obat-obatan, pengelola banjir, air tanah dan pencegah erosi, pemeduli ekoturisme, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, para peneliti atau umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan yang utuh. Selanjutnya, ada aktor masyarakat lokal yaitu kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai habitat tempat hidup, tempat berburu, tempat bercocok tanam secara alami dan sumberdaya kehidupan spiritual. Hutan memberi masyarakat lokal makanan alami, lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan. Hutan diolah di bawah ambang batas kemampuan pembaharuan diri hutan sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan umumnya memiliki tradisi dan adat yang khas berkenaan dengan pengaturan hutan. Selanjutnya dalam tulisan ini disebut masyarakat adat. Beberapa studi mengenai masyarakat adat menunjukkan adanya pemaknaan yang khas atas hutan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Pandya dalam Dentan (1994) pada Masyarakat Andaman, bahwa Masyarakat Andaman memaknai lingkungan dan sikap mereka terhadap lingkungan berdasarkan pada keberadaan ritual Ongee, yaitu menghubungkan keberadaan manusia dengan dunia kebaikan dan kejahatan roh leluhur. Roh dan manusia adalah bagian dari sebuah siklus. Orang-orang berkomunikasi dengan roh-roh melalui ritual Ongee Ritual Ongee tersebut menunjukkan adanya pemaknaan budaya atas lingkungan alam, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan harus sejalan dengan nilai budaya yang didasarkan atas keberadaan roh nenek moyang. Selain itu, pada setiap masyarakat adat, memiliki pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berkenaan dengan pelestarian nilai-nilai ekologis. Misalnya Rathakette et al. (1984) dalam penelitiannya di Thailand mengemukakan bahwa masyarakat lokal dan aturan tabu berkenaan dengan hutan keramat yang dipercaya sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung desa (Phipulu), sehingga terlarang untuk dieksploitasi memberikan dampak positif 9

32 pada konservasi dan pelestarian hutan. Atmadja (1993) juga menemukan fenomena yang sama di Bali, di mana desa adat dengan seperangkat kepercayaan masyarakatnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial untuk tetap menjamin kelestarian sumberdaya di kawasan hutan wisata Sangeh. Baik Rathakette et al. (1984) maupun Atmadja (1993) melihat aspek kepercayaan masyarakat sebagai variabel yang determinan terhadap perilaku mereka dalam mengelola dan memanfaatkan hutan (lihat Rahmawati, 2007a). Studi-studi di atas menunjukkan adanya pemaknaan hutan sebagai nilai budaya yang bersifat ekologis. Melalui kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan roh nenek moyang inilah, masyarakat adat melestarikan hutannya. Studi yang dilakukan oleh Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay dalam Mitchell (1996) menunjukkan bahwa penduduk asli (indigineous people) adalah orang-orang yang hanya untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam. Bedoya dan Durham dalam Mitchell (1996) membandingkan tiga kelompok adat dari Peru timur dengan tingkat deforestasi yang bervariasi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun laju kehilangan tanah tradisional untuk pemukiman merupakan faktor penting, masing-masing kelompok juga memiliki sejarah yang berbeda dari keterlibatan dengan uang tunai, upah buruh, dan pembelian komoditas. Reed dalam Mitchell (1996) memberikan contoh yang mencolok tentang keanekaragaman tersebut. Sekalipun masyarakat tersebut sering dipandang sebagai pemburu dan peramu, namun mereka mengambil bagian dari sejarah sebagai petani. Dengan membandingkan keberadaan masyarakat non adat dan adat, baik di Venezuela, Paraguay, sebelum atau dalam penjajaran Indian Maya di Guatemala dengan petani mestizo di Honduras dan Kosta Rika, Mitchell (1996) menunjukkan bahwa masyarakat adat tersebut memandang pentingnya melindungi hutan dan menjamin kelangsungan hidup ekonomi dan budaya kelompok-kelompok adat. Dengan demikian lingkungan (sumberdaya hutan) memiliki makna yang beragam bagi masyarakat (khususnya masyarakat adat) yaitu makna ekonomi, budaya dan ekologis. 10

33 Studi Rathakette et al. (1984) di Thailand, Atmadja (1993) di Bali (hutan Sangeh), Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay menunjukkan bahwa ketika masyarakat adat masih memegang teguh nilai-nilai adat, maka hutan relatif lestari. Kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan sebagai nilai ekonomi masih terbatas hanya sekedar untuk bertahan hidup bukan untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sekalipun hutan dianggap sebagai basis livelihood, namun keberadaan hutan untuk tetap lestari tetap yang utama. Pentingnya hutan bagi masyarakat adat dapat dilihat dari penjelasan mccarthy (2000b) yang menyatakan bahwa pengaturan adat yang berkaitan dengan sumberdaya lokal memberikan kerangka untuk transformasi konversi hutan-hutan asli menjadi kebun bukit di perbatasan hutan. Dengan pentingnya kebun tetap meningkatkan produksi tanaman dari waktu ke waktu, aturan adat telah berfokus pada melindungi hak-hak petani miskin di kebun. Namun pada saat yang sama, hutan di sekitarnya tetap penting untuk mata pencaharian desa, yang merupakan cadangan lahan pertanian yang tersedia untuk generasi masa depan petani dan menyediakan produk-produk hutan yang berharga. Penjelasan ini menunjukkan bahwa fungsi hutan bagi masyarakat adat merupakan basis nafkah (livelihood) mereka dimana hutan dapat dikonversi menjadi kebun, namun hutan juga tetap dijaga kelestariannya untuk digunakan bagi kemanfaatan masyarakatnya. Namun demikian, dalam memanfaatkan hutan, masyarakat adat tidak memandang hutan sebagai komoditas, melainkan hanya digunakan untuk kepentingan sendiri yang kehidupannya serba terbatas. Pemaknaan masyarakat adat atas hutan menunjukkan adanya dua katagori, yaitu masyarakat yang masih memaknai hutan sebagai makna budaya dan ekologis (sekalipun ada juga makna ekonomi tapi sifatnya terbatas) dan masyarakat yang nilai-nilai budaya ekologisnya sudah tergerus digantikan dengan budaya materialis yang memandang hutan sebagai makna ekonomi. Penggerusan nilai-nilai adat masyarakat adat tersebut disebabkan adanya benturan dengan pemaknaan hutan oleh negara dan swasta. Dengan melihat berbagai pandangan peneliti sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hutan hari ini dimaknai dalam beberapa kerangka rasionalitas, yaitu: 11

34 politik, ekonomi, kesehatan/ lingkungan dan sosial budaya oleh para aktor. Masing-masing aktor mempunyai pemaknaan masing-masing, dimana masyarakat mempunyai pemaknaan hutan sebagai nilai-nilai sosial budaya dan sumber ekonomi subsisten dimana keberadaan masyarakat lokal tersebut sangat tergantung dari ketersediaan sumberdaya hutan. Negara memiliki pemaknaan politik dan ekonomi kapitalis yang bermuara pada kepentingan pasar, sedangkan pengusaha memandang hutan sebagai komoditas yang bernilai ekonomis yang berorientasi profit atas desakan pasar kapitalis. Konflik sumberdaya hutan terjadi karena perbedaan pemaknaan atas hutan, baik konflik sumberdaya hutan antara negara dengan masyarakat, atau negara dengan negara yang melibatkan pemerintah daerah atau negara dengan negara yang melibatkan pihak perusahaan swasta atau antara perusahaan swasta yang dibackup oleh negara melawan masyarakat. Konflik tersebut selalu berujung pada pelumpuhan masyarakat yang hidup dan tergantung pada hutan tersebut sejak lama, jauh sebelum ada kebijakan negara tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Kasus-kasus konflik sumberdaya hutan banyak terjadi di Indonesia baik karena kebijakan negara tentang pelestarian hutan, maupun karena kebijakan negara untuk pemanfaatan hutan. Konflik terjadi karena Indonesia sebagai negara yang kaya dengan hutan juga memiliki berbagai macam masyarakat adat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Dari sekian banyak mayarakat adat yang sedang menghadapi konflik sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi salah satu contoh masyarakat adat yang sampai saat ini sedang dalam kondisi konflik tenurial kawasan hutan menghadapi negara dalam konteks pelestarian hutan, sementara itu Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik Putussibau Kapuas Hulu Kalimantan Barat menjadi salah satu contoh konflik masyarakat dengan negara yang melibatkan pengusaha dalam konteks pemanfaatan hutan. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah digambarkan di atas dan dengan mengambil teladan kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) kebijakan pemerintah dibidang kehutanan baik untuk pelestarian hutan 12

35 maupun pemanfaatan hutan telah menegasikan keberadaan hak hidup masyarakat adat, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah, maupun konflik antara masyarakat adat dan pengusaha; (2) konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan pemaknaan atas sumberdaya hutan antara berbagai aktor; (3) konflik yang terjadi antara berbagai pihak (pemerintah, pengusaha dan masyarakat) telah menyebabkan guncangan yang cukup hebat bagi masyarakat terutama mengancam livelihood mereka di satu sisi, dan terjadinya deforestasi di sisi yang lain. sementara itu perubahan nafkah, kelembagaan, norma, pengetahuan dan budaya hingga tatanan kependudukan menyertai terjadinya perubahan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana masyarakat adat tersebut merespon konflik sumberdaya hutan yang menghilangkan akses mereka terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber livelihood mereka dan tetap bertahan dalam kondisi konflik Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis konflik sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat adat, negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dan pengusaha (yang terlibat akibat kebijakan pemerintah pusat maupun kebijakan pemerintah daerah). 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dinamika kelembagaan adat dalam memperjuangkan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu sosiologi, khususnya menyangkut pengayaan teori konflik dalam sistem sosioekologi hutan. Selain kegunaan teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan praktis bagi pemerintah selaku pemegang kebijakan untuk dapat memahami masyarakat adat sekitar hutan dengan berbagai kelembagaan tata kelola hutannya, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dibuat oleh pemerintah dapat sinergis dengan kepentingan dan kelembagaan tata kelola hutan menurut masyarakat adat yang 13

36 sudah ada sejak dulu, sehingga kebijakan pemerintah (kepentingan pemerintah) untuk mengelola dan memanfaatkan hutan tidak bertentangan dengan kepentingan dan kelembagaan Masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan kajian konflik antara kelembagaan adat dan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut: 1. Konflik sumberdaya hutan antara berbagai aktor (masyarakat adat, negara dan pengusaha) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Dinamika kelembagaan adat dalam merespon kebijakan negara tentang pengelolaan dan pemanfatan hutan. Berdasarkan ruang lingkup tersebut maka outline disertasi ini dirancang sebagai berikut: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 2 KERANGKA TEORI BAB 3 METODOLOGI BAB 4 PROFIL SISTEM SOSIAL BAB 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 6 DINAMIKA KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN BAB 7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI 14

37 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Konflik Teori konflik berpandangan bahwa sistem sosial terbentuk sebagai respon atas konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Raho (2007) bahwa teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Kemunculan teori konflik merupakan reaksi atas berbagai kritik terhadap teori struktural fungsional. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), bahwa Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik terhadap fungsionalisme struktural. Oleh karena itu teori konflik dapat dikatakan sebagai antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Selanjutnya Ritzer dan Goodman (2004) mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural melihat harmoni dari norma-norma dan nilai-nilai, teori konflik melihat paksaan, dominasi, dan kekuasaan. Menanggapi kedua teori tersebut, Dahrendorf melihat kedua teori sebagai teori yang menangani situasi yang berbeda, tergantung pada fokus penelitian. Menurut Dahrendorf, fungsionalisme berguna untuk memahami konsensus sementara teori konflik tepat untuk memahami konflik dan pemaksaan. Teori konflik berasal dari berbagai sumber, seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Seperti fungsionalis, ahli teori 15

38 konflik berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan fungsionalis. Antitesis terbaik dari teori konflik ditunjukkan oleh karya Dahrendorf (1958, 1959). Melalui karya Dahrendorf, pendirian teori konflik sejajar dengan teori fungsionalis. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik yang dibedakan dari teori fungsionalis, sebagai berikut: 1. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang, tetapi menurut teori konflik (khususnya Dahrendorf), masyarakat setiap saat tunduk pada perubahan. 2. Fungsionalis menekankan pada keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. 3. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. 4. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Dengan kata lain, teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. 5. Fungsionalisme memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Menurut Turner (1998) Dahrendorf adalah orang pertama yang mengemukakan teori konflik modern yang mendapatkan sambutan dari khalayak luas. Pada akhir 1950-an, Ralf Dahrendorf terus-menerus menyatakan bahwa skema Parsonian, dan fungsionalisme pada umumnya, menyajikan sebuah visi masyarakat yang terlalu konsensual, terpadu, dan statis, dengan istilahnya "utopia". Untuk meninggalkan utopia, Dahrendorf menawarkan saran berikut: Berkonsentrasi pada masa depan tidak hanya pada masalah kongkrit tetapi pada masalah yang melibatkan penjelasan dalam hal kendala, konflik dan perubahan (Concentrate in the future not only on concrete problems but on such problems as 16

39 involve explanations in term of constraint, conflict and change. This second face of society may aesthetically be rather less pleasing than the social system-but, if all sociology had to offer were an easy escape to utopian tranquility, it would hardly be worth our efforts). Untuk menghindari utopia, selanjutnya Dahrendorf (dalam Turner, 1998) menjelskan To escape utopia, therefore, requires that a one-sided conflict model be substituted for the one-sided functional model. Although this conflict perspective was not considered by Dahrendorf to be the only face of society, it was seen as a necessary supplement that will make amends for the past inadequacies of functional theory. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah-satu konsensus, yang lain adalah konflik, tergantung waktu (lihat Turner, 1998; Ritzer dan Goodman, 2004). Oleh karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan kohesi yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa menurut fungsionalisme sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela, atau oleh konsensus bersama, atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor penentu konflik sosial sitematis (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Lebih lanjut Ritzer dan Goodman (2004:154) mengemukakan bahwa Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih besar yang jadi inti tesisnya adalah bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu. Menurut Turner (1998), model yang muncul dari teori Dahrendorf ini disebut sebagai perspektif konflik dialektis, yang masih merupakan salah satu upaya terbaik untuk menggabungkan wawasan dari Marx dan (sampai batas 17

40 tertentu) Weber dan Simmel menjadi seperangkat proposisi teoritis. Dahrendorf percaya bahwa proses pelembagaan melibatkan penciptaan "Imperative Coordinated Association / asosiasi imperatif terkoordinasi" (disingkat ICA) dengan kriteria tidak ditentukan, mewakili peran organisasi yang berbeda. Organisasi ini (ICA) ditandai oleh hubungan kekuasaan, dengan beberapa kelompok peran yang memiliki kekuatan untuk mengekstrak konformitas dari orang lain. Menurut Turner (1998) Dahrendorf agak samar pada titik ini, tapi tampaknya bahwa setiap unit dari kelompok sosial kecil atau organisasi formal untuk sebuah komunitas atau seluruh masyarakat bisa dianggap sebagai ICA untuk tujuan analisis jika sebuah organisasi peran menampilkan perbedaan kekuasaan. Selanjutnya menurut Turner (1998), pada saat yang sama, bagaimanapun, kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang langka dimana sub kelompok dalam ICA menunjukkan persaingan dan bertempur. Mereka dengan demikian merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Meskipun peran dalam ICA memiliki berbagai tingkat kekuasaan, setiap ICA tertentu dapat ditandai sebagai dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa (superordinate) dan yang dikuasai (subordinat). Kelompok (cluster) peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa ICA terpolarisasi ke dalam dua kelompok konflik, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas di ICA, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Polarisasi yang terus menerus ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas ini menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas yang tak berujung. Sebagaimana Merton memandang fungsi laten dan manifest, Dahrendorf mengidentifikasi kepentingan laten dan manifest, atau kepentingan yang disadari dan tidak disadari (unconscious and conscious interests). Menurut Dahrendorf 18

41 kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan laten maka dalam setiap sistem sosial yang terkoordinasi itu terkandung kepentingan laten yang sama, yang disebut kelompok kuasi yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Menurut Ritzer and Goodman (2004), hubungan antara kedua konsep itu merupakan masalah utama bagi teori konflik dalam mengemukakan adanya tiga jenis kelompok: kelompok kuasi, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik. Lebih lanjut Turner (1998) menyebutkan bahwa model Dahrendorf memiliki kesamaan dengan model Marx, dalam mengungkapkan rantai sebabakibat dari peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik dan reorganisasi struktur sosial. Hubungan dominasi dan penaklukan menciptakan suatu oposisi kepentingan "obyektif". Kesadaran atau kesadaran (awareness or consciousness) melalui penundukkan dari kepentingan oposisi terjadi dalam kondisi specifiable tertentu. Dalam kondisi lain kesadaran baru ditemukan mengarah kepada organisasi politik dan kemudian, kelompok tertindas yang terpolarisasi tersebut bergabung dalam menghadapi konflik dengan kelompok dominan, hasil dari konflik akan mengantarkan pada terbentuknya pola baru dari organisasi sosial. Pola baru organisasi sosial ini akan memiliki di dalamnya hubungan dominasi dan penaklukan yang berangkat dari urutan peristiwa yang menyebabkan konflik dan kemudian mengubah pola organisasi sosial. Hubungan dialektik menurut Marx dan Dahrendorf, dapat digambarkan dalam gambar 1. 19

42 Marxian analytical categories Social organization Relations of domination and subjugation Objectives opposition of interest Consciousness of objective opposition of interests by the Subjugated Polarization into dominant and subjugated populations Violent conflict Social reorganization Marxian empirical categories Ownership of property Domination of propertied social classes over other classes Opposition of social classes over distribution of propertiy and power Growing class consciousness or nonpropertied class Politicization of subjugated class and polatization of society into two classes Revoluti onary class conflict Redistribution or property and power Considered nonproblematic Intervening empirical conditions Dahrendo rf s empirical categories Legitimatized role relationship in ICAs Dichotomous authority relations of dominant and subordinate roles Opposed quasi groups Growing awareness of opposed threats Creations of a conflict group conflict Redistribution of authority in ICAs Considered nonproblematic Intervening empirical conditions Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery (Sumber Turner, 1998:168) 20

43 Berdasarkan gambar 1 (lihat Turner, 1998: ) menguraikan gambaran kausal Marx dan Dahrendorf. Baris atas pada gambar berisi kategori-katagori analisis Marx, dinyatakan dalam bentuk yang paling abstrak. Dua baris lainnya masing-masing menentukan kategori empiris dari Marx dan Dahrendorf. Menurut Turner (1998) bahwa The empirical categories of the Dahrendorf scheme differ greatly from those of Marx, but the form of analysis is much the same because each considers as nonproblematic and not in need of causal analysis the empirical conditions of social organization, the transformation of this organization into relations of domination and subjugation, and the creation of opposed interests. Analisis kausal untuk kedua model empiris tersebut (Marx dan Dahrendorf) dimulai dengan mengelaborasi kondisi-kondisi yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran kelas (Marx) atau kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara kelompok kuasi (Dahrendorf), kemudian analisis bergeser ke penciptaan kelas politik "for itself" (Marx) atau "kelompok konflik" yang sesungguhnya (Dahrendorf). Akhirnya, penekanan berfokus pada munculnya konflik diantara kelas yang terpolarisasi dan dipolitisasi (Marx) atau kelompok-kelompok konflik (Dahrendorf). Dahrendrof mendasarkan teorinya pada perspektif Marx modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konskuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Teori konflik Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori Marx. Marx berpendapat bahwa kepemilikan dan kontrol saranasarana berada dalam satu individu-individu yang sama. Namun menurut Dahrendorf bahwa tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol. Dahrendrof berpendapat (lihat Kinseng, 2013) bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor penting, dan bukanya kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, maka mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaanya, tetapi ini tak berarti ada hubungan intristik antara kepimilikan dan pengontrolanya Selanjutnya dengan menyitir pendapat beberapa ahli, Kinseng (2013) menjelaskan bahwa berbeda dengan Marx, Dahrendorf berpendapat bahwa 21

44 kepemilikan alat produksi hanya merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber konflik. Menurut Dahrendorf, sumber konflik yang sesungguhnya adalah kekuasaan atau otoritas. Kepemilikan alat produksi merupakan salah satu bentuk dari faktor determinan kelas dan konflik yang lebih umum, yakni otoritas. Authority is the more general social relation, kata Dahrendorf (1963:137). Selanjutnya dikatakan bahwa The authority structure of entire societies as well as particular institutional orders within societies (such as industry)...is the structural determinant of class formation and class conflict (Dahrendorf, 1963:136). Dahrendorf berpandangan bahwa ada kecenderungan yang melekat pada masyarakat untuk berkonflik; karena mereka yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Oleh sebab itu, bagi Dahrendorf Power is a lasting source of friction (Wallace and Wolf, 2006:122). Bagi Dahrendorf pembagian kewenangan (otoritas) adalah kunci untuk memahami konflik sosial. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas diciptakan oleh harapan beberapa jenis tindakan yang terkait dengan posisi tertentu, termasuk subordinasi orang lain dan subordinasi kepada orang lain. Berbagai posisi kekuasaan ada dalam asosiasi. Garis kesalahan yang bermunculan di sekitar lokus adalah persaingan wewenang menghasilkan kelompok yang saling bertentangan. Konflik antara kelompok-kelompok ini meliputi interaksi mereka, dengan hasil bahwa otoritas sering ditantang dan menjadi renggang (lihat Ritzer and Goodman, 2004). Selanjutnya Turner (1998) membuat abstraksi dari teori konflik Dahrendorf ini dalam bentuk proposisi, sebagai berikut: I. Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota kuasi grup dalam ICA menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan: A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada 1. Pembentukan kepemimpinan di dalam kuasi grup 2. Kodifikasi sistem ide 22

45 B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C. Kondisi sosial, yang tergantung pada 1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2. Kesempatan untuk merekrut anggota II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin intens konflik yang terjadi. III. Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain (superimposed), semakin intens konflik yang terjadi. IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok superordinat dan subordinat, semakin intens konflik yang terjadi. V. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi. VI. Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi. VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi. VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. IX. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi abstrak model Dahrendorf tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan organisasi sosial. Semakin intens atau keras konflik, maka semakin besar perubahan organisasi yang terjadi. Semakin sulit dipertemukannya kondisi-kondisi teknis, politik dan sosial dari kelompok-kelompok konflik maka semakin sulit pula konflik tersebut diselesaikan. Lebih lanjut Turner (1998) menjelaskan bahwa secara formal Dahrendorf menguraikan tiga tipe intervensi kondisi-kondisi empiris: a. Pertama, kondisi organisasi yang mempengaruhi transformasi dari kelompok-kelompok kuasi laten kedalam kelompok konflik yang manifest (nyata); 23

46 b. Kedua, kondisi konflik yang menentukan bentuk dan intensitas konflik; c. Ketiga, kondisi perubahan struktural yang mempengaruhi kecepatan dan kedalaman perubahan dalam struktur sosial. Dengan demikian, variabel-variabel dalam skema teoritis Dahrendorf (Turner, 1998) dapat dikemukakan, sebagai berikut: 1. Tingkat formasi kelompok konflik; 2. Tingkat intensitas konflik; 3. Tingkat kebrutalan dari konflik; 4. Tingkat perubahan struktur sosial, dan 5. Laju perubahan tersebut. Selanjutnya Turner (1998) menyimpulkan bahwa teori konflik Dahrendorf sebenarnya bukanlah teori konflik pertama yang lahir pada pertengahan abad 20, tetapi teori konflik Dahrendorf menjadi teori yang paling berpengaruh. Pendekatan Dahrendorf yang abstrak dan analitis mengkritik Maxists Ortodoks, substansi Dahrendorf telah keluar dari analisis Marx. Teori konflik Dahrendorf telah membebaskan diri dari parokialisme Marxian, sehingga menarik perhatian luas dari khalayak sosiologis. Namun Rodgers (2003) masih melihat adanya tantangan yang dihadapi oleh Pandangan teori konflik modern Dahrendorf yaitu bagaimana masyarakat terus maju secara ekonomi dan masih mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasan. Peningkatan kesejahteraan ekonomi menciptakan kekayaan dan kekuasaan untuk beberapa orang, tetapi meningkatkan kemiskinan dan keputusasaan bagi banyak orang lain. Perjuangan untuk lembaga sosial modern adalah untuk dapat memoderasi konflik yang mungkin timbul dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Konflik Pemaknaan Ketidak sepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan Kawasan Hutan merupakan sumber dari berbagai ketegangan dan konflik sumberdaya hutan. Asal-usul kekacauan dan konflik ini sebagian besar terletak pada perbedaan pemaknaan atas hutan dan perbedaan penafsiran atas definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan. 24

47 Tafsir-tafsir yang berbeda tersebut menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata-guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pasca kolonial (Dove 1983; Lynch 1992). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan atas kawasan hutan termasuk tata kelola hutan oleh berbagai pihak (aktor), khususnya aktor negara dan masyarakat adat. Pemaknaan terhadap hutan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang membentuk rasionalitas dan mempengaruhi tindakan sosial aktor terhadap sumberdaya hutan. Setiap aktor memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan, begitupun masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal sendiri. Pengetahuan lokal tersebut merupakan pengetahuan yang unik dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi masyarakat dalam menentukan pengolahan pertanian, kesehatan, penyiapan makanan, pendidikan, konservasi lingkungan, dan sejumlah kegiatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, melalui media dari mulut ke mulut. Masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang bagaimana hidup selaras dengan ekosistem dan cara-cara untuk memastikan bahwa sumberdaya alam dipergunakan secara lestari. Oleh karena itu, pengetahuan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad memiliki nilai potensial untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga dapat membantu orang lain belajar bagaimana untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan lingkungan secara berkelanjutan. (diadaptasi dari Indigenous Knowledge and Sustainable Development, Sri Lanka Centre for Indigenous Knowledge, University of Sri Jayewardenapura, 1996, p. vii-vii). 25

48 Pengetahuan lokal masyarakat tradisional (adat) tersebut disebut juga pengetahuan tradisional (adat). Anna Hunter (2010) mendefinisikan pengetahuan tradisional (adat) sebagai pengetahuan terpadu yang berasal dari dan merupakan karakteristik dari masyarakat tertentu dan budayanya. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan lokal, yang dibangun oleh kelompok masyarakat melalui generasi ke generasi yang hidup dalam berhubungan dengan alam. Sebagaimana Aggie Brockman menjelaskan, pengetahuan tradisional dibangun berdasarkan sejarah, pengalaman dari orang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, spiritual dan politik (Brockman, 1997: 1). Pengetahuan tradisional digunakan di tingkat lokal sebagai dasar untuk membuat keputusan keputusan penting tentang kegiatan kesehatan keselamatan, lingkungan dan regulasi. Pengetahuan tradisional termasuk persediaan mental lokal tempat, rute, sumber daya hayati, keturunan hewan, dan tanaman lokal, tanaman dan jenis pohon. Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peranan penting dalam mata pencaharian masyarakat, menjaga kesehatan mereka, melindungi dan pengisian lingkungan (Hansen dan VanFleet, 2003: 3). Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat tradisional (adat) memiliki pengetahuan lokal yang dikembangkan dari pengalaman dan sejarah hidup masyarakatnya secara turun temurun baik mengenai alam, tumbuhan, hewan maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Indonesia memiliki banyak masyarakat adat. Setiap masyarakat memiliki tradisi sendiri, budaya, bahasa, agama, berbeda dalam etnis, ras dan anatomi, termasuk pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan. Namun dalam kerangka pembangunan, adakalanya negara mengintroduksi pengetahuan baru yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya pelumpuhan kelembagaan adat dengan pengetahuan adatnya, tergantikan oleh pengetahuan dan kelembagaan modern. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault dapat digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Dalam memahami konsep pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault arkeologi ilmu pengetahuan (Foucault, 1966) dan 26

49 genealogi kekuasaan (Foucault, 1969). Meski ada petunjuk dalam karyanya bahwa ide yang disebut belakangan mendahului yang disebut pertama, Mitchell Dean (1994) memberikan kasus yang meyakinkan bahwa keduanya berdampingan dan saling mendukung. Alan Sheridan (1980) juga berpendapat bahwa arkeologi pengetahuan karya Foucault meliputi upaya penelitian untuk menemukan seperangkat aturan yang menentukan kondisi (kemungkinan keseluruhan) yang dapat dikaitkan dalam diskursus khusus pada waktu tertentu, sebagaimana diungkapkan Foucault (1980:48). Dengan kata lain arkeologi adalah pencarian sistem umum dari formasi dan transformasi pernyataan (ke dalam formasi diskursif) (Dean, 1994: 16). Menurut Foucault, sistem tidak sadar karena sistem mendahulukan makna lantaran makna terletak dalam sistem-sistem yang menjadikan suatu makna efektif. Dengan demikian konsep fungsi menunjukkan bagaimana struktur organis dari hidup dapat diinterpretasi kembali kendati struktur organis itu sifatnya tidak sadar. Selanjutnya Foucault (1976) menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh arkeologi tidak lebih dari sekedar berperan sebagai satu instrumen yang memungkinkannya mengartikulasikan analisa tentang formasi sosial dan deskripsi-deskripsi epistemologis dengan cara yang lebih mengesankan ketimbang cara-cara yang ditempuh orang di masa lalu; atau instrumen yang memungkinkannya mengaitkan analisa tentang posisi satu subyek dengan satu teori sejarah sains; atau instrumen yang dapat menentukan tempat terjadinya persinggungan antara teori umum tentang produksi dengan analisa generatif tentang pernyataan-pernyataan. Dalam menjelaskan arkeologi pengetahuan, Foucault menyebutkan tentang diskursus bahasa. Foucault (1976) mengatakan bahwa: saya berandai-andai, banyak orang yang melabuhkan hasrat yang sama agar bisa bebas dari desakan untuk mengawali, hasrat yang sama untuk menemukan diri mereka sendiri dari luar, dari sisi lain diskursus, tanpa harus melangkah keluar darinya, untuk menimbang-nimbang segi-segi diskursus yang partikular, mengerikan dan jahat. Dalam menanggapi perasaan-perasaan ini, institusi memberikan jawaban-jawaban ironis, karena institusi sangat mengagungkan permulaan-permulaan, mengelilinginya dengan perhatian kosong; agar permulaan-permulaan ini bisa dibedakan dari kelanjutan, maka institusi memberi bentuk-bentuk ritual terhadap permulan tersebut. 27

50 Dalam pernyataannya tersebut, Foucault berusaha menerangkan bahwa adakalanya diskursus institusi berusaha memberikan warna atas diskursus individu. Selanjutnya Foucault menyebutkan bahwa ada juga individu yang berusaha menghindari diskursus karena menganggap diskursus sudah pasti dan final, dan satu persatu muncul dengan membawa kebenaran. Sementara institusi menawarkan diskursus yang sudah established. Menurut Foucault, jika diskursus menyimpan kekuatan tertentu, maka manusia itu sendirilah yang akan memberikan kekuatan itu padanya. Selanjutnya menurut Foucault (1976), dalam masyarakat manapun, proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan berdasarkan prosedur-prosedur tertentu yang perannya untuk menghindari kekuatan dan bahaya diskursus, untuk menangani peristiwaperistiwa, menghindari segi materialnya yang menjemukan. Lebih lanjut Foucault menyebutkan bahwa dalam suatu masyarakat mengenal aturan-aturan pengecualian, termasuk apa-apa yang dilarang. Individu tidak bebas bicara tentang apa saja, tidak bisa berbicara sembarangan, kapan atau dimana kita suka; akirnya, tidak ada orang yang bisa membicarakan apa saja sekehendak perutnya. Ada tiga tipe larangan: obyek yang ditutupi, ritualritualbeserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan eklusif yang dimiliki subyek-subyek tertentu, larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling menguatkan dan saling melengkapi satu sama lain, membentuk jaringan yang sangat kompleks dan sbyek yang tetap untuk merubahnya. Menurut Foucault, kawasan dimana jaringan ini tersebar dengan titik bahaya yang sangat banyak adalah politik dan seksualitas. Selanjutnya menurut Foucault bahwa dalam penampakannya, ucapan barangkali memang tidak ada apa-apa, tapi tiba-tiba larangan-larangan yang mengelilinginya memperlihatkan adanya mata rantai yang menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan. Dari apa yang disampaikan oleh Foucault tersebut menyuratkan bahwa ada relasi antara diskursus dan kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut bersumber dari aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatya yang berupa larangan. Namun dalam masyarakatpun masih mengenal adanya penyisihan lain, bukan hanya larangan, tetapi ada pembagian dan penolakan. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Selanjutnya menurut Ritzer dan Goodman (2004) 28

51 bahwa perhatian untuk mengatakan kebenaran berhubungan langsung dengan geneologi kekuasaan, karena seperti dilihat Foucault, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan pengetahuan saling menyiratkan secara langsung satu sama lain (Foucault, 1979: 27). Menurut Malik (2010), hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitasmodalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Selanjutnya Malik (2010) menjelaskan bahwa kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. Kekuasaan dapat menentukan suatu kebenaran atas tindakan sosial aktor. Seperti dikatakan Foucault (1980:131) bahwa "Kebenaran tidak ada di luar 29

52 kekuasaan. Setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya, politik kebenarannya". Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap tata kelola hutan dipengaruhi oleh pengetahauan aktor. Pengetahuan adalah kekuasaan, kekuasaan menentukan kebenaran, mempengaruhi tindakan sosial aktor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan sosial aktor dipengaruhi pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan Konflik Sumberdaya Hutan Ada banyak definisi mengenai konflik, namun dalam konteks ini, konflik akan didefinisikan sebagaimana dikemukakan oleh Coser dan Larsen (1976) dalam Harskamp (1996), yaitu sebagai salah satu stimulus utama dalam penajaman dan pengembangan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan tindakan sosial. Mengingat konflik yang dimaksud dalam disertasi ini melibatkan antara masyarakat adat dan negara, maka konflik yang dimaksud adalah konflik sosial yaitu sebuah perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status kekuasaan dan sumberdaya yang dapat memenuhi fungsi positif. Konflik dapat meningkatkan adaptasi penyesuaian hubungan sosial atau kelompok-kelompok (lihat Coser, 1964 dan Stefen, 1994 dalam Harskamp, 1996). Berdasarkan definisi konflik tersebut, maka konflik dapat dikatakan sebagai perjuangan atas nilai dan klaim atas kekuasaan (otoritas). Dalam konteks perebutan sumberdaya hutan, konflik dapat didefinisikan sebagai perjuangan atas kontrol terhadap sumberdaya hutan dan klaim atas kepemilikan atau hak penguasaan lahan kawasan hutan. Dalam setiap konflik sosial yang diakibatkan karena perebutan sumberdaya, selalu melibatkan adanya peran aturan kelembagaan sebagai sumberdaya strategis, khususnya terjadi dalam konflik distribusi (lihat Knight, 1992). Dalam konteks ini, dimungkinkan untuk melihat efek dari mekanisme penegakan kelembagaan yang mendasari terjadinya perubahan desain kelembagaan sebagai respon terjadinya konflik. Perubahan kelembagaan tersebut terjadi karena beberapa aktor sosial bergantung pada aturan informal, namun bisa jadi aktor-aktor tersebut berpaling kepada kelembagaan negara untuk memperkuat kepentingan mereka. 30

53 Penyebab konflik sumberdaya antara masyarakat dan negara bisa berasal dari berbagai faktor, salah satunya adalah adanya perubahan kelembagaan yang dibuat negara yang secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kelembagaan adat. Knight (1992) lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah negara menjadi titik fokus untuk konflik atas perubahan kelembagaan, lembaga-lembaga negara menjadi sumber konflik baru. Hal tersebut terjadi karena lembaga-lembaga negara tersebut terlibat dalam persaingan otoritas dalam membuat kelembagaan/ aturan negara, dimana aturan negara disusun berdasarkan atas persaingan politik yang mempengaruhi distribusi otoritas dalam pengambilan keputusan negara. Sumber konflik baru ini secara signifikan dapat menyulitkan tawar menawar yang mendasari atas perubahan kelembagaan. Selanjutnya Knight (1992) menjelaskan bahwa konflik atas perubahan kelembagaan formal sebagian bergantung pada konflik atas lembaga-lembaga politik. Hal tersebut akan menjadi masalah diantara aktor-aktor yang berkonflik karena adanya ketidak-pastian tentang masa depan kelembagaan, yang secara signifikan dapat mempengaruhi keuntungan kelembagaan di arena politik. Jika ketidak-pastian politik tinggi, maka aktor-aktor strategis akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu disatu sisi dituntut untuk merancang pengaturan kelembagaan yang meminimalkan efek distribusi harapan, sementara disisi lain harus dapat merancang kelembagaan yang dapat dengan mudah dirubah. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai definisi konflik dan penyebab konflik dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya benturan kelembagaan hutan yang dirancang oleh negara dengan kelembagaan masyarakat yang sudah ada sejak lama. Benturan terjadi karena kelembagaan negara tidak murni mencerminkan kepentingan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya, melainkan ada kepentingan-kepentingan lain (ekonomi global dan politik), dimana kelembagaan negara merupakan hasil dari perebutan otoritas antara aktor negara dan lembaga-lembaga politik. Dalam pengaturan kelembagaan atas sumberdaya hutan, bukan hanya mencerminkan tarik menarik kepentingan antara berbagai lembaga negara, kepentingan sosial, ekonomi maupun kepentingan politik, tidak jarang juga melibatkan adanya perebutan kepentingan negara dan aktor ekonomi. Analisis 31

54 North (1981) mengenai konflik antara negara dan pemilik sumberdaya ekonomi, menunjukkan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sama terhadap hak milik masyarakat. aktor-aktor ekonomi ingin menetapkan hak-hak yang memberikan keuntungan distribusi dalam interaksi ekonomi. aktor negara ingin menetapkan hak-hak yang memantapkan kepentingan negara, yaitu kepentingan pendapatan ekonomi dan kepentingan politik dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan agregat untuk memuaskan para aktor sosial dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Analisis North lebih lanjut menjelaskan bahwa kepentingan negara dapat meningkatkan inefisiensi lembaga sosial. Pada kenyataannya, ada banyak situasi di mana kepentingan negara akan menciptakan aturan kelembagaan yang lebih efisien dibandingkan yang diinginkan oleh pelaku swasta. Menurut Knight (1992) bahwa ada dua kasus di mana negara dapat memilih sebuah lembaga yang lebih efisien secara sosial. Pertama, aktor negara secara langsung dipengaruhi oleh konsekuensi dari aturan tersebut dan akan mendapatkan keuntungan material dari aturan sosial yang lebih efisien. Kedua, negara dapat memilih sebuah lembaga sosial yang lebih efisien jika aktor negara secara tidak langsung dipengaruhi oleh aturan tersebut yang memberikan efek pada mereka untuk tetap berkuasa dan mereka akan mendapatkan keuntungan politis dari aturan yang lebih menguntungkan secara sosial. Penjelasan Knight tersebut menunjukkan bahwa konflik yang melibatkan negara dan masyarakat setidaknya disebabkan karena adanya perubahan kelembagaan yang secara langsung mempengaruhi distribusi akses sumberdaya masyarakat atau berbenturan dengan kelembagaan masyarakat. Keputusan untuk memilih kelembagaan seperti apa yang akan diputuskan oleh aktor-aktor negara sangat terkait dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik dari aktor-aktor yang berkuasa atau kepentingan ekonomi bagi masuknya pendapatan negara atau aktor-aktor negara. Kentalnya kepentingan politik dan ekonomi global dalam kelembagaan pengaturan hutan telah menyebabkan hutan menjadi sumber konflik. Meskipun pengelolaan hutan selalu mengandung prinsip-prinsip peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, namun fakta sepanjang sejarah pengurusan dan pengelolaannya menunjukkan bahwa hutan hanya meningkatkan kesejahteraan 32

55 sekelompok kecil masyarakat melalui mekanisme politik kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan segelintir elit politik dan komunitas pemilik modal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) bahwa sistem pengelolaan hutan yang hanya bertumpu pada kepentingan politik yang berorientasi pada kekuasaan justru telah menyengsarakan sebagian besar masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan yang sarat praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sekaligus mengabaikan terhadap prinsip kelestarian hutan, sehingga menimbulkan terjadinya berbagai bencana, antara lain: bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan maupun bencana kekeringan di musim kemarau. Apa yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) tersebut juga menunjukkan bahwa konflik sumberdaya hutan membawa dampak pada kerusakan hutan dan terjadinya berbagai bencana. Di beberapa kawasan hutan ditemukan hutan yang mengalami tingkat kerusakan yang sangat tinggi dimana adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa (baik negara maupun pengusaha) yang melibatkan masyarakat lokal (adat) dalam kegiatan ekploitasi hutan. Woodhouse (1972) sudah memperingatkan bahwa ketika manusia mulai menggunakan segala cara untuk mencapai kesejahteraan, dengan alasan untuk kepentingan pembangunan, manusia mulai mengekploitasi sumberdaya alam. Berbagai kekayaan yang terkandung di darat dan di laut diekploitasi sebesarbesarnya untuk kepentingan manusia mencapai kehidupan yang lebih baik sebagai tujuan dari pembangunan. Ketika hutan menjadi sebuah komoditas dimana pengusaha dan negara menjadi aktor utama dalam mengekploitasi hutan, masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja untuk menjaga kelestarian hutan melalui kelembagaan adatnya, mulai berubah dan turut berpartisipasi dalam kerusakan hutan tersebut, dengan menjadi pekerja dari para pengusaha. Seperti yang ditemukan dalam studinya McCarthy bahwa dalam kegiatan pengrusakan hutan tersebut terutama kasus pembalakan liar melibatkan keberadaan masyarakat lokal (indigineous people). Masyarakat lokal terlibat dalam pembalakan liar biasanya dibayar untuk kontribusi kerja mereka dan bukan sebagai fungsi dari nilai pasar kayu (McCarthy, 2000a dalam Yonariza dan Webb, 2007). Berdaasarkan penjelasan 33

56 tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan kelembagaan dalam pengaturan hutan dapat menimbulkan dua sebab, yaitu kerusakan hutan disatu sisi dan perubahan kelembagaan dan organisasi sosial disisi yang lain Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (lihat Fuad dan Maskanah, 2000), diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik sumberdaya hutan adalah adanya kepentingan atas klaim lahan kawasan hutan dari masing-masing pihak yang berkonflik. Selanjutnya menurut barber (1998), baik di kawasan konsesi ataupun konservasi, sejumlah masyarakat lokal mempertahankan hak atas tanah, namun, hak-hak ini jarang ditegakkan dan masyarakat adat sendiri yang harus menegosiasikan lebih konkrit tentang perlindungan atas tanah mereka. Klaim tanah oleh masyarakat adat tanpa bukti surat kepemilikan tidak bisa dibenarkan. Bahkan, masyarakat adat bisa diusir dari tanahnya sendiri yang telah diklaimnya selama puluhan tahun dan menjadi sumber penghidupan mereka apabila negara mengeluarkan kebijakan peruntukkan lain atas tanah tersebut. Oleh karena itu, mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan juga dapat dikatakan sebagai konflik tenurial. Tenurial atau tanah merupakan sumber dari pertentangan antara konsep dan realita diantara persoalan hak penguasaan atas tenurial. Pertentangan konsep tenurial antara masyarakat dan negara menjadi sebuah konflik tenurial ketika pertentangan tersebut telah menghilangkan hak akses atas tenurial tersebut. Iskandar dan nugraha (2004) melihat pertentangan tenurial sebagai konflik laten karena persoalan ini tidak pernah dituntaskan dan menemukan momentumnya meledak menjadi konflik tenurial. Menurut Iskandar dan Nugraha (2004), konflik tenurial adalah muara dari pertentangan antara konsep dan realita diantara persoalan tenurial yang selama ini tidak pernah dituntaskan, dan hanya dianggap sebagai sekedar "potensi konflik yang hersifat laten" justru menemukan momentumnya. Pertentangan konsep tenurial masyarakat dengan pemerintah meledak menjadi konflik tenurial. Persoalan tenurial ini selalu mengemuka sebagai salah satu faktor penyebab utama timbulnya konflik kehutanan dibanding faktor-faktor lainnya. Salah satunya 34

57 adalah aspek historis kultural dimana keberadaan sumberdaya hutan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi masyarakat beserta seluruh sistem dan tata nilai sosial budayanya. Masyarakat secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan. Ketika negara sebagai pemilik hak (property) atas sumberdaya hutan secara formal menerbitkan kelembagaan pengaturan atas akses terhadap pengelolaan dan pemanfaaatan hutan, adakalanya kelembagaan baru tersebut menegasikan kelembagaan yang sudah ada dan tumbuh dari dan dalam kehidupan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Berkenaan dengan hak akses tersebut, Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu termasuk objek material, orang, institusi ataupun simbol-simbol. Akses berbeda dari property. Sekalipun bukan pemilik property tapi jika memiliki akses maka dapat mengambil keuntungan/ manfaat dari sumberdaya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Peluso dan Ribot tersebut seakan-akan mengisyaratkan bahwa akses jauh lebih penting dari right (property). Sekalipun tanpa right tapi kalau memiliki akses, maka masyarakat atau pihak-pihak tertentu dapat memanfaatkan hutan untuk kepentingan mereka para pemilik akses. Dalam menjelaskan mengenai akses ini, Peluso memberikan contoh kasus tentang sejarah Dayak di Sanggau (lihat Peluso, 2005), bahwa masyarakat adat Dayak Sanggau telah menduduki situs Sanggau sejak sekitar Mereka telah "membeli" hak untuk itu dari penghuni sebelumnya. Persyaratan dalam pengalihan hak hunian dan penggunaan telah dinegosiasikan oleh dua pemimpin adat dari masing-masing kelompok. Para pemukim asli setuju untuk mengalihkan hak untuk menempati situs - suatu wilayah - termasuk hak akses terhadap ladang tempat mereka dulu bertani, dan hak untuk memiliki dua tembawang, hutan dan kebun yang penuh dengan pohon buah-buahan, termasuk pohon durian (Durio zibethinus) yang ditanam oleh beberapa generasi nenek moyang mereka. Selanjutnya Peluso (2005) menjelaskan bahwa melalui warisan pohon oleh generasi-generasi keturunan para penanam pohon tersebut seluruh kelompok komunitas dapat mengklaim teritorial dengan tempat-tempat di luar batas-batas pemukiman desa mereka saat ini, karena setiap tembawai memiliki cerita 35

58 tersendiri. Tembawai tersebut merupakan situs hidup bekas dan tanda keluar teritorialitas daerah yang tidak sesuai dengan batas desa. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Peluso (2005) tersebut bahwa masyarakat menandai hak akses mereka atas suatu kawasan berdasarkan adanya pohon yang pernah ditanam oleh nenek moyang mereka atau dalam kasus Masyarakat Dayak Iban ditandai oleh tembawai (bekas rumah panjang). Keberadaan pohon atau tembawai tersebut menandai adanya teritori masyarakat tersebut dan menjadi penanda bahwa kepemilikan akses atas kawasan tersebut. Apa yang terjadi dalam kasus yang diungkapkan Peluso tersebut adalah menunjukkan adanya suatu klaim atas suatu wilayah dimana right dari wilayah tersebut tetap dimiliki oleh orang terdahulu (nenek moyang) yang pertama kali membuka lahan tersebut dan menanam pohon durian sebagai penanda kepemilikan. Transaksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak ada dalam ajaran hukum tanah kolonial ataupun kontemporer, dan mengingat perubahan besar politik yang terjadi sejak generasi sebelumnya mentransfer hak atas lokasi tersebut kepada generasi berikutnya. Mungkin hak atas tegakan dipindahkan kepada penghuni baru namun bukan hak untuk memotong pohonpohon bermakna. Apa yang diklaim oleh masyarakat tersebut tidak ada bukti tertulis yang diakui dan ditanda-tangani secara resmi oleh agen pemerintah, tapi mereka membawa cerita perjanjian tersebut dari generasi ke generasi melalui sejarah lisan. Dengan mengikuti pedoman "adat", teritorialisasi ala adat atau bagaimana cara adat melihat property dalam sebuah kawasan dapat mengacaukan rasionalitas yang dimaksudkan oleh pemerintahan dan praktek property formal (Peluso, 2005). Apa yang dimaksud hak akses dan hak property secara formal berbeda dengan hak property dan hak akses yang dimaknai oleh adat. Menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Dalam mempelajari rezim milik umum (common property regimes). Schlager dan Ostrom (1992) menunjukkan bahwa dalam kasus kepemilikan kolektif atau kontrol atas sumberdaya ada dua hak dasar: akses (you can enter) 36

59 dan penarikan (you can take resources). Ada juga tiga tingkat keputusan yang dapat dibuat secara kolektif: manajemen adalah hak untuk mengatur penggunaan dan mengubah properti, pengecualian adalah hak untuk memutuskan siapa yang mungkin memiliki akses dan bagaimana hal itu dapat ditransfer, dan alienasi adalah hak untuk menyewakan atau menjual dari pilihan atas hak kolektif. Mengingat perbedaan-perbedaan tersebut, Schlager dan Ostrom (1992) kemudian mengidentifikasi empat jenis bundel hak milik (bundles of property rights). Mereka berhipotesis bahwa bundel hak seseorang (the bundle of rights) dapat menentukan berapa banyak mereka bersedia untuk berinvestasi di properti tersebut Mereka menyimpulkan bahwa pembentukan rezim manajemen yang efektif harus memperhitungkan insentif yang memadai (lihat Schlager and Ostrom, 1992). Lebih jelasnya konsep mengenai properti right dengan mengacu pada pendapat Schlager dan Ostrom (1992), dapat dibedakan dalam beberapa tipe hak kepemilikan (property rights), sebagai berikut: 1. Access rights: the right to enter the territory of resources that have clear boundaries and to enjoy the benefits of non extractive 2. Withdrawal right: the right to utilize the resources or the right to produce 3. Management right: the right to determine the operational rules of resource use. 4. Exclusion right: the right to determine who should have the right to access and how access rights are transferred to other parties 5. Alienation right: the right to sell or lease part or all of the collective rights mentioned above. Dalam kontek sumberdaya hutan, hak akses dapat dikatakan sebagai hak untuk memasuki wilayah sumberdaya hutan dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif yaitu manfaat yang tidak bisa dinikmati secara langsung, namun dengan keberadaannya dapat memberikan nilai kepuasan bagi setiap orang. Misalnya manfaat langsung non ekstraktif ini hanya digunakan untuk kegiatan wisata atau upacara ritual budaya didalam kawasan hutan. Sedangkan hak untuk memanfaatkan hutan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan secara langsung dari keberadaan hutan baik kayu maupun non kayu. Hak manajemen (management right) adalah hak untuk mengelola hutan sesuai dengan tata kelola/ 37

60 kelembagaan pengaturan hutan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang memegang hak manajemen. Hak exclusion yaitu hak untuk mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh mendapatkan hak akses terhadap kawasan-kawasan tertentu di dalam hutan. Adapun hak alienasi adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif yang disebutkan di atas. Sebagaimana dikemukakan oleh Ribot dan Peluso (2003), bahwa akses seringkali lebih penting daripada hak formal. Oleh karena itu perlunya mengembangkan definisi "akses", mengingat kecenderungan masa lalu untuk menggabungkan akses dengan properti. Mereka berpendapat bahwa akses lebih seperti seikat kekuasaan (bundle of powers) dan properti lebih seperti seikat hak (bundle of rights). Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa akses adalah "kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari hal-hal", maknanya adalah bahwa akses dapat didefinisikan sebagai hubungan dan proses yang memungkinkan berbagai aktor untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, termasuk benda material, orang, lembaga, dan simbol. Dengan berfokus pada kemampuan daripada hak memungkinkan untuk analisis hubungan sosial yang mengizinkan atau membatasi seseorang mengambil manfaat dari sumberdaya. Tujuannya adalah untuk melihat dengan jelas siapa yang diuntungkan dari hal-hal tersebut, dan siapa yang tidak. Ini membantu orang memahami "mengapa beberapa orang atau lembaga memperoleh keuntungan dari sumberdaya, apakah mereka memiliki atau tidak memiliki hak." (lihat Ribot dan Peluso, 2003: 154). Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003:173) mengemukakan bahwa mekanisme properti hanya salah satu cara orang-orang untuk mendapatkan akses, dan mungkin bukan yang paling penting. Kerangka pemikiran mereka tentang akses tersebut dapat digunakan untuk "menganalisis konflik sumberdaya yang spesifik untuk memahami bagaimana konflik menjadi sangat berarti beberapa aktor memperoleh manfaat atau beberapa aktor lain kehilangan manfaat dari sumberdaya yang berwujud dan tidak berwujud (tangible and intangible resources). Dalam memahami keberadaan sumberdaya kolektif (dalam rezim properti umum) tersebut, McKean membedakannya dari sumberdaya milik umum yang 38

61 memiliki open akses. Sebagaimana yang dikemukakan oleh McKean (2002:29-30), sebagai berikut: these regimes are often incorrectly conflated with common-pool resources, which she defines as open-access resources available to anyone very difficult to protect and very easy to deplete. (p. 29) In contrast, a common property regime is a property-rights arrangement in which a group of resource users share rights and duties toward a resource. (p. 30) McKean notes that when a group of individuals and the property rights they share are well defined, common property should be classified as shared private property a form of ownership; that should be of great interest to anyone who believes that private property rights promote long time horizons and responsible stewardship of resources. (p. 30). Menurut McKean, bahwa sumberdaya yang termasuk dalam kepemilikan umum dengan open akses memungkinkan setiap orang untuk mengaksesnya, sehingga sangat sulit dijaga dan mudah sekali untuk dikuras. Sebaliknya, rezim milik umum adalah pengaturan hak properti di mana sekelompok pengguna sumberdaya berbagi hak dan kewajiban terhadap sumberdaya tersebut. Selanjutnya McKean mengemukakan bahwa "ketika sekelompok individu dan hak properti bersama tersebut didefinisikan dengan baik, maka milik bersama tersebut harus diklasifikasikan sebagai milik pribadi bersama yaitu suatu bentuk kepemilikan, yang harus menjadi perhatian besar bagi siapa saja yang percaya bahwa hak milik pribadi lebih bertahan lama dan bertanggung-jawab dalam pengelolaan sumberdaya Penyelesaian Konflik Sumberdaya Alam Konflik adalah sesuatu yang normal terjadi dalam interaksi antar manusia. Konflik terjadi karena ada ketidak sepakatann antara dua pihak atau lebih dalam mencapai tujuan, memperjuangkan kepentingan maupun karena ada perbedaan nilai dan persepsi atas sumberdaya tersebut. Menurut De Roo dan Klaver (2013), konflik sumberdaya dapat diselesaikan melalui: konflik manajemen; konflik resolusi dan konflik transformasi. Selanjutnya De Roo dan Klaver (2013) menerangkan bahwa: Conflict manajement is variety of ways by which people handle clashes of right and wrong, example: ridicule, lynching, terrorism, warfare, feuding, genocide, law, mediation and avoidance. Which is these forms of conflict management is used depends on the social structure or social geometry- of 39

62 the case. Conflict resolution is developing and offering a range of alternative approaches for handling disputes non violently and effectively.the methods might include customary or traditional methods, join problem solving, negotiation, mediation, arbitration. Conflict transformation is Achieving positive peace: ending violence and change negative relationships between conflicting parties, changing the political, social or economic structures that cause such negative relationships, and empowering people to become involved in non violent change processes themselves, to help build sustainable conditions for peace and justice. Berdasarkan pendapat De Roo dan Klaver (2013) tersebut bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui berbagai cara. Konflik manajemen digunakan untuk menangani konflik tentang benar dan salah. Dalam penyelesaian konflik ini tidak harus selalu mencapai win-win solution, tetapi bagaimana mengendalikan konflik. Jika bisa dimediasi maka dilakukan mediasi tetapi jika tidak bisa maka dilakukan penghindaran agar konflik tidak menjadi brutal. Jika konflik yang terjadi tersebut mencirikan konflik non violent, maka bisa diselesaikan dengan cara resolusi konflik, yaitu melalui jalan mediasi, negosiasi, penyelesaian maslah secara bersama-sama oleh para pihak yang berkonflik. Namun jika konflik tersebut mencirikan adanya kekerasan, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara mengubah hubungan negatif menjadi perdamaian positif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah struktur politik, sosial atau ekonomi yang menyebabkan terjadinya hubungan negatif dan memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam perubahan tanpa kekerasan, membantu membangun kondisi perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan Dinamika Kelembagaan Dalam Sistem Sosio Ekologi Hutan Kelembagaan adalah suatu kumpulan aturan yang membentuk interaksi sosial dengan cara tertentu, sebagaimana Knight (1992) kemukakan bahwa an institution is a set of rules that structure social interactions in particular ways. Agar seperangkat aturan tersebut menjadi kelembagaan, maka pengetahuan mengenai aturan tersebut harus dibagi diantara anggota komunitas atau masyarakat (for a set of rules to be an institution, knowledge of these rules must be shared by the members of the relevant community or society). Kelembagaan dapat dikatakan sebagai sekumpulan aturan yang mengatur hidup manusia mulai 40

63 dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, sebagaimana dikemukakan oleh Knight (1992) bahwa social institutions are prevalent wherever individuals attempt to live and work together. From the simplest to the most complex, we produce them while conducting all aspects of our social life. From political decision making to economic production and exchange to the rules governing personal relationships, institutional arrangements establish the framework in which these social interactions take place. To be a member of a community or society is to live within a set of social institutions. Selanjutnya Knight (1992) menjelaskan bahwa kelembagaan itu bervariasi. Pada tingkat paling dasar dari masyarakat, kelembagaan disebut sebagai sekumpulan konvensi sosial, aturan, dan norma yang mempengaruhi cara bertindak dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pengaruh kelembagaan terhadap kehidupan sosial sangat besar. Kelembagaan membangun hubungan antara jenis kelamin dan urusan yang sedang berlangsung dalam kehidupan keluarga, menetapkan standar perilaku di antara para anggota suatu lingkungan atau masyarakat dan merupakan sumber penting untuk transmisi pengetahuan sosial dan informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan kelembagaan informal bisa menjadi landasan dalam membentuk kelembagaan formal yang mengatur kehidupan ekonomi dan politik. Organisasi ekonomi, dari perusahaan kecil hingga perusahaan multinasional, diatur oleh kerangka kelembagaan. Lebih umum, pasar ekonomi sendiri dibangun oleh kelembagaan-kelembagaan yang mencakup sistem hak milik yang mendefinisikan pertukaran ekonomi. Pembuatan keputusan politik, juga dibingkai oleh aturan kelembagaan dan prosedur. Dalam prakteknya, kelembagaan ekonomi dan politik tersebut ditopang oleh kekuatan hukum. Kelembagaan bukan hanya melibatkan adanya rules, ideologi, norma, dan aktor, tetapi juga perlunya teritori. Teritori atau bisa juga dimaknai sebagai kontrol wilayah merupakan upaya langsung untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan sumberdaya, misalnya dengan menggambar batas-batas dan mencoba untuk mengontrol akses ke sumberdaya alam dalam batas-batas yang dibuat oleh kelembagaan tersebut. Namun ada juga kelembagaan adat yang dianggap tidak memiliki teritori. Seperti yang dikemukakan oleh Vandergeest dan 41

64 Peluso (1995), dalam melihat Masyarakat Adat Sama Dua, bahwa tradisi sistem politik precolonial tidak terikat melakukan strategi dari jenis teritorial. Meskipun demikian, jelas kelompok lokal tidak memiliki konsep adat tingkat wilayah mereka. Secara historis orang-orang Sama Dua menggunakan wilayah jangkauan yang luas melintasi pegunungan di belakang pantai untuk melakukan pengumpulan hasil hutan, memancing di sungai, dan berburu mangsa. Para petani juga membuka plot dalam area ini, dan menanam tanaman pada wilayah tanah yang cocok. Seiring waktu, semua praktek ini menandai keberadaan hutan di belakang Sama Dua dalam arti lokal tempat. Teritori terikat geografis, seperti daerah aliran sungai dan pegunungan, dan keberadaan komunitas tetangga semua membantu mengkonsolidasikan gagasan teritorialitas lokal (lihat, McCarthy, 2005). Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelembagaan pengaturan pemerintah dan kelembagaan adat yang dianut oleh masyarakat yang hidup disekitar hutan sejak lama, jauh sebelum hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara. Negara dalam konteks ini adalah sekumpulan organisasi yang melalui pembuatan peraturan dan pemaksaan hendak menguasai dan mengontrol wilayah tertentu (Hall dan Ickenberry, 1989). Berbagai organisasi negara saling bersaing dan bertentangan dalam memenuhi kepentingan masingmasing. Masyarakat dalam konteks ini adalah sekumpulan manusia yang mengelompok berdasarkan kesamaan identitas dan norma (Migdal, 1994). Seperti halnya negara, unsur-unsur masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan. negara dan masyarakat senantiasa saling membentuk melalui upaya penguasaan dan penolakan di berbagai arena (Migdal dkk., 1994). Arena yang berkaitan dengan hutan mencakup hak kepemilikan, pembagian manfaat dari hutan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, peluang kerja, jaminan politik, infrastruktur, pengetahuan, dan akses terhadap informasi. Negara dan masyarakat memiliki jalur pengaruh yang berbeda (lihat, Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009). Negara dan masyarakat bisa saling bersaing dan bertentangan dalam memperebutkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Dalam perkembangannya 42

65 kelembagaan masyarakat tersebut bisa berubah sejalan dengan adanya perubahan dari kelembagaan lain, misalnya kelembagaan negara atau Internasional. Kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Negara dalam konteks Indonesia (dalam hal ini pemerintah pusat) mengelola sumberdaya wilayah dengan menggunakan berbagai jenis mekanisme hukum. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengelola ruangudara, tanah, dan air untuk mencapai kesejahteraan umum dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Ini adalah dasar hukum untuk semua kegiatan dan perencanaan tata ruang di tingkat yurisdiksi yang berbeda. Menurut hukum ini, ada dua jenis lahan dibedakan menurut fungsi mereka, Kawasan lindung (zona lindung) dan Kawasan budi daya (zona pemanfaatan untuk pertanian atau bidang produksi lainnya). Tujuan utama dari Kawasan lindung adalah untuk menjamin keberlangsungan lingkungan, termasuk sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan Kawasan budi daya memiliki tujuan utama yang memungkinkan pemanfaatan berdasarkan ketersediaan dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan lindung mencakup taman nasional, taman alam, taman ekowisata, hutan lindung, hutan lindung gambut, hutan lindung mangrove, dan cadangan kelautan. Kawasan budi daya meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan yang memenuhi syarat untuk konversi ke penggunaan lain, dan daerah non-hutan. Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009) mengemukakan bahwa pengaruh negara terhadap hutan biasanya berdasarkan penguasaan atas kebijakan, kegiatan kehutanan, atau kepemilikan hutan dan lahan hutan (Finger-Stich dan Finger, 2003). Di negara yang kaya dengan sumberdaya hutan seperti indonesia, penguasaan oleh negara seringkali terpusat pada Departemen Kehutanan di tingkat nasional. Unsur masyarakat dapat mempengaruhi melalui jejaring informal, gerakan sosial, atau pun organisasi-organisasi resmi seperti perusahaan, lembaga keagamaan, kelompok donor dan advokasi. 43

66 Masyarakat yang sebenarnya mempunyai kepentingan langsung dan dampak langsung yang mempengaruhi kehidupan mereka atas keberadaan hutan ini adalah masyarakat lokal (adat). Namun dalam praktiknya masyarakat lokal kurang memiliki pengaruh resmi terhadap sumberdaya hutan yang bernilai tinggi. Moeliono, Wollenberg dan Limberg (2009) menyebutkan bahwa ketika pemerintah dan pihak yang berwenang lemah, kelompok masyarakat menerapkan prinsip, norma, aturan dan praktik mereka sendiri dan secara selektif mematuhi atau mengesampingkan hukum negara. Kelompok demikian bertindak sebagai bidang sosial yang semi-otonom (Moore, 1973). Di Chaggaland, Tanzania, warga desa tidak mengindahkan upaya reformasi untuk mengubah lahan milik perorangan menjadi hak guna milik pemerintah dan tetap membagikan hak atas lahan berdasarkan adat setempat (Moore, 1973). Di Taman Nasional Bosawas, Nikaragua (Kaimowitz dkk., 2003), Sumatra bagian utara (McCarthy, 2000b) dan Kalimantan Timur (Obidzinski, 2004), para pimpinan politik setempat secara terbuka mengatur pembalakan yang dianggap illegal. Meskipun membuka peluang bagi masyarakat hutan untuk mempengaruhi lingkungannya, otonomi demikian tidak memberi peluang keterlibatan masyarakat dalam kerangka politik yang lebih luas. Ketika kehadiran negara dan yang berwenang kuat, masyarakat lokal berupaya mempengaruhi pejabat setempat melalui senjata kaum lemah (Scott, 1998), yaitu mengkooptasi pejabat (Lipsky, 1980) membangun jejaring patronklien pribadi dengan pejabat (Shue, 1994); mengabaikan, melawan, atau melaksanakan kebijakan secara buruk (Manor, 1999). Pada kasus ekstrim, yang digunakan adalah protes dengan membakar, merusak, mengambil, mencabut bibit, dan menyita peralatan (Peluso, 1992). Di Indonesia, semangat reformasi dan munculnya peraturan perundangundangan yang mengatur desentralisasi, telah memicu kebangkitan kelembagaan lokal. Beberapa letusan mengenai perebutan sumberdaya lokal mulai bermunculan. McCarthy (2005) menyebutkan bahwa reformasi dan desentralisasi baru, menumbuhkan minat baru peran pengaturan kelembagaan adat dalam pemerintahan desa, kepemilikan tanah, dan pengelolaan hutan. 44

67 Dalam perkembangannya kelembagaan masyarakat tersebut bisa berubah sejalan dengan adanya perubahan dari kelembagaan lain, misalnya kelembagaan negara atau internasional. Bagaimana kelembagaan tersebut berkembang? atau berubah, kapan dan bagaimana kelembagaan itu berubah? Knight (1992) mengemukakan bahwa banyak jawaban yang bertentangan dari berbagai sumber intelektual telah ditawarkan untuk pertanyaan ini. Implikasi dari bagaimana jawaban tersebut sangat banyak. Dari perspektif explanatory, penjelasan sosial pengembangan kelembagaan dan perubahan membantu kita memahami sejarah masyarakat dan peristiwa kontemporer. Dari perspektif kritis, pemahaman tentang perubahan kelembagaan memungkinkan untuk menentukan apakah kelembagaan yang ada lebih jauh menjadi justifikasi bagi pencapaian tujuan. Dari perspektif normatif, pemahaman tentang bagaimana kelembagaan berkembang mempengaruhi kemampuan untuk mereformasi kelembagaan yang ada. Mengingat karakteristik pluralisme kelembagaan daerah ini, studinya McCarthy (2005) menyimpulkan bahwa, negara dan kelembagaan adat sering bersaing untuk mengontrol arah perubahan sosial, mereka juga selalu membuat akomodasi, tetapi dalam beberapa hal perlu dianggap sebagai saling menyesuaikan. Kelembagaan pengaturan pengelolaan sumberdaya hutan maupun dalam mengontrol perubahan sosial, bukan hanya terbatas pada kelembagaan negara dan kelembagaan adat, namun jauh kompleks dari itu. Negara bisa bermakna berbagai macam organisasi, misalnya pemerintahan tingkat pusat (dalam hal ini Departemen Kehutanan), bisa juga pemerintah daerah (akibat semangat desentralisasi/ otonomi daerah) mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan sampai pada tingkat desa Otonomi Daerah Dalam Pengaturan Sumberdaya Hutan Dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi pemain kunci dalam proses devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat tetapi mereka sendiri mungkin tidak memiliki kekuatan untuk melaksanakan tindakan tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaannya bisa melalui mekanisme kontrol pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Pemerintah daerah melalui kewenangan otonominya bertugas 45

68 menegosiasikan dengan berbagai pihak (pemerintah pusat dan masyarakat) untuk membuat keputusan tentang mekanisme pembagian imbalan. Sebenarnya, dalam sejarah tata pemerintahan di Indonesia otonomi yang asli sesungguhnya berada dan sudah berlangsung sejak lama di aras lokalitas dan bukan di aras kabupaten dan kota karena pengaturan dan pengorganisasian kehidupan sosial kemasyarakatan telah berlangsung di aras lokalitas sejak jauh hari sebelum perangkat organisasi pemerintahan supra lokal dibentuk oleh pusat kekuasaan pemerintah (Anonimous dalam Dharmawan, 2006). Dalam kerangka pengaturan kehidupan sosial yang otonom itu, komunitas lokal membentuk masyarakat hukum adat dengan setting budaya masing-masing. Namun sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh studi terdahulu, kesatuan masyarakat hukum adat telah mengalami peminggiran (marjinalisasi) dan penghancuran kelembagaan yang sistematis sejak diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyeragamkan konsep pemerintahan lokal di seluruh Indonesia dengan konsep desa ala Jawa (Syafaat dalam Dharmawan, 2006). Keberadaan undang-undang otonomi daerah yang memberikan kewenangan desentralisasi kepada daerah telah menimbulkan masalah baru dalam konflik sumberdaya hutan. Desentralisasi cenderung menjadi kendaraan bagi elit politik dan aparat keamanan setempat, yang semuanya bergabung untuk mengeksploitasi hutan secepat mereka mampu (Down to Earth, 2002). Banyak kelompok masyarakat menyaksikan sendiri pelenyapan sumberdaya dengan laju yang luar biasa cepat di wilayah mereka, dan tidak memiliki pilihan selain bergabung dalam lomba menghabiskan sumberdaya yang ada sebelum habis dikuras pelaku-pelaku besar (tragedy of the common). Mengenai desentralisasi yang berakibat pada pembaharuan penguasaan atas hutan dan dampaknya bagi masyarakat dikemukakan oleh Contreras-Hermosilla dan Fay (2006), yang menyebutkan bahwa: Secara keseluruhan, proses desentralisasi yang tengah berlangsung memiliki sejumlah implikasi terhadap pembaruan penguasaan hutan yang meliputi: a. Ketiadaan aturan main yang jelas dan ketidak-mampuan pemerintah pusat untuk memantau dan menegakkan undang-undang yang telah 46

69 diterjemahkan menjadi prakarsa pemerintah daerah yang ternyata melampaui rentang tanggung jawab yang diberikan oleh undangundang dan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat, sehingga menyebabkan hilangnya kesatuan nasional pada administrasi kebijakan publik dari sektor bersangkutan. b. Proses desentralisasi telah menciptakan sebuah gelombang harapan dan meningkatkan tekanan untuk perubahan di tingkat kabupaten hingga mencapai titik dimana pemerintah pusat kehilangan kendalinya terhadap proses tersebut. c. Ketidakpastian ini telah meningkatkan pertikaian antar tingkatan di dalam tubuh pemerintah seiring dengan proses desentralisasi de facto yang dilakukan pemerintah daerah secara cepat mendahului kerangka pelaksanaan formal yang ditetapkan pemerintah pusat. d. Pada tingkat kabupaten perwujudan peluang untuk menetapkan klaim atas sumberdaya menciptakan sejumlah tuntutan yang kuat untuk penyelesaian konflik dimana pemerintah kabupaten tidak siap menghadapinya. e. Pemerintah pusat seringkali memberikan tugas kepada kabupaten dan Provinsi tetapi tidak menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan secara memadai untuk mengelola tanggungjawab yang baru tersebut. Pada situasi ini bahaya yang timbul akibat meningkatnya ketidak teraturan dengan persaingan di antara pemangku kepentingan untuk mengamankan hakhak mereka masing-masing baik yang secara hukum diakui maupun yang tidak khususnya atas sumberdaya hutan yang paling berharga. f. Pemerintah kabupaten berkewenangan untuk menerbitkan perizinan bagi eksploitasi sumberdaya hutan skala kecil sehingga mereka memperoleh insentif untuk mempercepat eksploitasi guna meningkatkan pendapatan daerahnya. g. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dan keuntungan langsung dari eksploitasi yang dipercepat, tetapi dengan biaya kerusakan sumberdaya hutan. Mereka pun berada dalam posisi tawar yang rendah dalam bernegosiasi, dan sering dipermainkan oleh elit lokal, sehingga keuntungannya jauh lebih sedikit dari yang seharusnya. Apa yang dikemukakan oleh Contreras-Hermosilla dan Fay (2006) di atas telah menunjukkan bahwa ada perebutan kekuasaan penguasaan hutan bukan hanya antara negara dan masyarakat, melainkan antara negara tingkat atas (pemerintah pusat) dan pemerintahan daerah. Selanjutnya keberhasilan perjuangan otonomi daerah dalam urusan penguasaan dan pemanfaatan hutan akan sangat tergantung dari kemampuan daerah dalam mengatasi berbagai macam kendala desentralisasi. Menurut Subadi (2010) ada beberapa kendala desentralisasi yaitu adanya ketidak pastian hukum, sikap ragu-ragu, minimnya sumberdaya manusia kehutanan di daerah, sengketa perbatasan tanah kawasan hutan. Implikasi dari 47

70 ketidak jelasan dan ketidak pastian hukum dalam menjalankan otonomi daerah terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan melahirkan konflik. Konflik tersebut dilandasi adanya perebutan otoritas yang ada dan dijalankan oleh berbagai pihak, sampai munculnya konflik kewenangan pusat dan daerah Adaptasi dan Resiliense Keberadaan kelembagaan pengaturan sumberdaya hutan yang dikeluarkan negara telah secara nyata-nyata melumpuhkan kelembagaan adat, yang sebelumnya mempunyai kekuasaan dalam mengatur sumberdaya di kawasan adat mereka. Oleh karena itu, ketika negara selaku pemilik sumberdaya secara yuridis mengeluarkan kebijakan pengaturan hutan, maka konflik antara negara dan masyarakat adat-pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda. Negara berkepentingan atas sumberdaya hutan untuk pengawetan dan pemanfaatan hutan, sedangkan masyarakat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber nafkah (livelihood) bagi anggota keluarga. Adakalanya kelembagaan yang dikeluarkan oleh negara dalam pengaturan hutan tersebut menghilangkan hak akses masyarakat lokal (adat) terhadap hutan, yang menyebabkan masyarakat kehilangan sumber livelihood mereka. Untuk mengatasi tekanan dari shock yang diperoleh masyarakat karena hilangnya akses, maka perlunya kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi sulit untuk keberlangsungan kehidupan mereka. Menurut Widiyanto, Dharmawan dan Prasodjo (2010), kemampuan melakukan adaptasi tersebut sebagai upaya untuk menciptakan sustainable livelihood yang harus mampu: (1) beradaptasi dengan shock dan tekanan, (2) memelihara kapabilitas dan aset-aset yang dimiliki, (3) menjamin kehidupan untuk generasi berikutnya (Chamber dan Conway, 1992). Makna berkelanjutan tidak sekedar secara ekonomi tetapi juga secara ekologi dan sosial. Adaptasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Gerungan (1991:55) bahwa adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan 48

71 lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi. Berdasarkan pendapat Gerungan (1991) tersebut dapat dikatakan bahwa penyesuaian tersebut bisa berarti individu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah atau individu merubah lingkungan. Pada dasarnya penyesuaian tersebut ditujukan untuk mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, menyalurkan ketegangan sosial, mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial dan/atau bertahan hidup (lihat Aminuddin, 2000: 38). Lingkungan yang dimaksud bisa berupa keadaan konflik, adanya berbagai tekanan yang mengancam pada kehidupan dan livelihoodnya. Bagaimana seorang individu atau komunitas dapat mengatasi berbagai tekanan dan tantangan lingkungan tersebut sangat tergantung dari kemampuan adaptasinya. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, maka kemampuan menyesuaian diri tersebut adalah kemampuan untuk tetap bertahan hidup dalam situasi konflik dan mengatasi berbagai rintangan sebagai akibat dari konflik tersebut. Oleh karena itu, adaptasi yang dimaksud adalah adaptasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekanto (2000: 10-11), bahwa adaptasi sosial dimaknai sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan; proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah; mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan; memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem; dan/atau penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, maka adaptasi merupakan suatu proses untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi konflik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparlan (1993), bahwa adapatasi pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Selanjutnya Suparlan (1993:20) mengemukakan syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya). 49

72 2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah). 3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Dengan demikian bahwa dalam situasi konflik sumberdaya hutan, seorang individu atau kelompok dapat dikatakan bahwa proses adaptasinya dianggap berhasil ketika individu atau kelompok tersebut dapat memenuhi syarat alamiahbiologi untuk bertahan hidup, artinya bisa memenuhi kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan dengan kata lain, sumber livelihoodnya tidak terganggu, atau jikapun terganggu, mereka mempunyai cara untuk mengatasi kesulitan livelihood tersebut. Syarat yang kedua menunjukkan bahwa proses adaptasi dianggap berhasil ketika dapat memenuhi syarat dasar kejiwaan, yaitu terlepas dari perasaan takut, gelisah, cemas dan ketidak-amanan terhadap situasi konflik yang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan mereka, hilangnya akses dan hak atas sumberdaya yang mereka kuasai sebelumnya. Syarat yang ketiga yang dikemukakan oleh Suparlan adalah syarat dasar sosial. Dalam konteks konflik sumberdaya hutan, syarat dasar sosial tersebut dapat dimaknai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan-hubungan sosial, dan melalui hubungan-hubungan tersebut individu atau komunitas memperoleh dukungan untuk mempertahankan diri dan tetap bertahan dalam kondisi konflik atau dapat menyelesaikan masalah konflik tersebut. Salah satu cara beradaptasi dengan kondisi konflik dan terjadinya perubahan kelembagaan pengaturan sumberdaya hutan adalah dengan cara menegosiasi ulang kelembagaan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh McCarthy (2005) menemukan bahwa sebagai petani, masyarakat lokal menyesuaikan dengan dinamika perubahan ekonomi, politik dan kelangkaan nilai sumberdaya yang berbeda, sehingga pengaturan adat terus-menerus dinegosiasi ulang. Konflik sumberdaya hutan bukan hanya menempatkan para pihak dalam kondisi konflik, tetapi bisa jadi membuat salah satu pihak (subordinat) 50

73 ternegasikan oleh pihak lain (superordinat) dan kehilangan hak-hak mereka atas sumberdaya hutan tersebut dan atau kehilangan sumber kehidupan (livelihood) mereka. Dalam keadaan seperti ini, maka yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok tersebut bukan hanya sekedar kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tetapi membutuhkan kemampuan untuk keluar dari situasi tersebut dan kembali mengatasi keadaan hidupnya yang sempat terpuruk, dengan kata lain disebut kelentingan. Kelentingan (resiliensi) merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian traumatis (lihat O Leary, 1998; O Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Kelentingan (resilience) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (oxford dictionary). Kelentingan (resilience) bisa juga dimaknai sebagai suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap tekanantekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa (Gibson and Bromley dalam Darusman, 2001). Definisi lain mengenai kelentingan ini disampaikan oleh beberapa ahli, sebagai berikut: 1. Menurut Reivich K. and Shatte A. (2002) resiliensi diartikan sebagai the ability to cope and to adapt of the severe events or problems that occured in life. Surviving in distress, and even dealing with adversity or experienced trauma in their lives (kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya). 2. Grotberg (1999) dalam Masten & Gewirtz (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah the human capacity to face, to overcome, and to be strong for the difficulties experienced. Grotberg said that resilience is not magic and not only found in certain people only and not a gift from an unknown source. Jadi resilience adalah a positive adaptation pattern or it shows progress in difficult situations. Selanjutnya Grotberg mengatakan bahwa resiliensi 51

74 bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. 3. Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memiliki makna yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (lihat Masten & Gewirtz, 2006). 4. Siebert (2005) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelentingan atau resiliensi tersebut maka dalam konteks konflik sumberdaya hutan, kelentingan/ resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan (ability) to face, to cope, to adapt, to overcome, to recover and to be strong of the severe events or problems that occured in life; kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis atau kemampuan untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Selanjutnya berdasarkan definisi tersebut maka seorang individu atau kelompok dikatakan memiliki kelentingan (resiliensi) ketika individu atau komunitas tersebut memiliki kemampuan, sebagai berikut: a. Overcoming (kemampuan untuk menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan). b. Steering through (kemampuan untuk mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya, melalui self-efficacy 52

75 yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul) c. Bouncing back (kemampuan untuk menyembuhkan diri dari trauma dengan cara task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan, keyakinan diri utuk mengontrol hasil dari kehidupan mereka, kemampuan penyembuhan diri dari trauma, kemampuan berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan). d. Reaching out yaitu kemampuan untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, dengan cara mengejar pembelajaran dan pengalaman baru, mampu memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka (lihat dalam Reivich & Shatte, 2002). Selanjutnya Grotberg (1999) menyebutkan beberapa sumber dari resiliensi tersebut, yaitu berasal dari dukungan pihak lain (I Have atau sumber dukungan eksternal atau dukungan yang diperoleh dari sekitar individu); kemampuan dari dalam diri individu tersebut (I Am atau kemampuan individu); atau kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain (I Can atau kemampuan sosial dan interpersonal atau kemampuan untuk mencari dukungan luar). 53

76 3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu: 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pada lokasi ini terdapat Masyarakat Adat Kasepuhan yang sedang berhadapan dengan pihak negara dalam rangka memperjuangkan hak akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Hutan Sungai Utik Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Pada lokasi ini terdapat Masyarakat Adat Dayak Iban yang sedang menghadapi negara (termasuk swasta di dalamnya) dalam memperjuangkan hak atas pengelolaan dan pemanfaatan hutan Penelitian ini dilaksanakan selama 2,5 (dua setengah) tahun, dimulai dari tahap persiapan lapangan pada bulan Mei 2010, hingga pengumpulan, analisis data dan interpretasi data lapangan pada bulan November Selanjutnya dari bulan November 2012 sampai Februari 2013 dilakukan proses bimbingan dan penulisan disertasi. Pada tanggal 7 Februari 2013 dilakukan seminar hasil penelitian, pada tanggal 20 Maret dilakukan sidang tertutup dan pada tanggal 26 April 2013 dilakukan sidang terbuka Paradigma Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada paradigma konstruktivisme. Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor, baik individual maupun institusi, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Ketiga struktur dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap 55

77 identitas dan kepentingan serta pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Secara ontologis, paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karenanya akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelakan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Oleh karena itu, paradigma konstruktivisme menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya. Selanjutnya, secara metodologis, konstruktivisme secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif dari pada metode kuantitatif. Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada. Untuk itu pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeuneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekontruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Menurut Denzin dan Lincoln (2000) dalam menerangkan macam-macam paradigma penelitian bahwa konstruktivisme merupakan paradigma yang bersifat relatif, dan transaksionalis/ subjektif. Dilihat dari aspek ontologism, konstrukstivisme melihat realitas sebagai konstruksi sosial. Kebenaran realitas adalah relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dilihat dari aspek epistemologi, konstruktivisme bersifat Transactionalist/ subjektivist, membuat penemuan dimana pemahaman suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti. Dilihat dari aspek metodologi, paradigma konstruktivisme menggunakan metode dialektik hermeuneutik. Paradigma konstruktivisme pada dasarnya berangkat dari tradisi pemikiran teori kritis, dalam arti para pendukung konstruktivisme melihat potensi teori kritis 56

78 untuk melihat realitas melalui aspek-aspek yang sangat beragam, berhadapan dengan neorealisme dan neoliberalisme. Seperti halnya teori kritis, konstruktivisme menolak posisi ontologis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Konstruktivisme, sejalan dengan teori kritis, sebaliknya, melihat manusia dengan image yang sangat berbeda: sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretatif, diskursif dan historis. Tetapi, keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berjalan lebih jauh daripada aspek-aspek ontologi, epistemologi dan metodologi. Konstruktivisme menjauhkan diri dari teori kritis dengan meninggalkan keasyikan pada tingkat metateori yang mendominasi teori kritis dan lebih menekankan pada analisa empiris, yakni berusaha menemukan pemahaman konseptual dan teoretis dengan menganalisa masalah-masalah empiris. Dalam artian ini, konstruktivisme melihat teori kritis tidak memiliki potensi untuk melakukan inovasi dalam mengelaborasi konsepkonsep yang digunakannya ataupun mengembangkan teori yang didasari oleh empiris. Melemahnya keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berlangsung satu arah. Teori kritis juga sangat kritis terhadap asumsi-asumsi konstruktivisme. Sekalipun memiliki posisi ontologis, empistemologis maupun metodologis yang sama, konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan. 57

79 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus penelitian pada konflik penguasaan sumberdaya hutan. Pendekatan kualitatif menekankan pemaknaan atas temuan atau fakta dikonstruksi berdasarkan perspektif subyektif dari tineliti. Pemaknaan pada penggambaran, pemahaman dan menjelaskan fenomena yang kompleks pada hubungan, pola-pola dan konfigurasi antar faktor dengan menggunakan analisis kesejarahan. Dalam perspektif ini, penyelidikan dan pembuktian terhadap gejala sosial dilakukan lebih banyak secara konstruktif dimana pendekatan reflektif, antar subyek, dan perenungan makna menjadi sangat penting posisinya dalam mendapatkan makna kebenaran atas suatu fakta. Sekalipun demikian, studi ini juga memberikan tempat yang cukup leluasa pada upaya-upaya menginvestigasi penyebab dan konsekuensi yang timbul sebagai hasil dari keputusan politik ekonomi yang diambil oleh otoritas kekuasaan di kawasan studi Kerangka Pemikiran Penelitian ini beranjak dari suatu pemikiran bahwa hutan sebagai basis livelihood masyarakat (lihat Bellwood, 2005), mulai terusik karena keberadaan kelembagaan baru yang dibuat oleh pemerintah dalam pengaturan hutan. Dengan mengambil teladan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban yang berada di dalam dan sekitar hutan, disertasi ini ingin menggambarkan bahwa kebijakan negara (pemerintah) dibidang kehutanan, baik untuk tujuan pelestarian maupun pemanfaatan hutan, menyebabkan masyarakat adat ternegasikan dari tanah yang selama ini diklaimnya, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik dan mengharuskan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika ada dua klaim yang sama terhadap kawasan hutan. Klaim atas kawasan hutan tersebut didasarkan atas pemaknaan hutan yang berbeda. Pemaknaan negara tentang hutan didasarkan pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pemaknaan masyarakat adat tentang hutan didasarkan atas pengetahuan lokal yang dianut masyarakatnya secara turun temurun. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh Foucault bahwa ada relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Selanjutnya kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. 58

80 Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (c), bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjtnya dalam Pasal 4 Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan peraturan tersebut diketahui pemaknaan hutan menurut negara adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dan semua kawasan hutan diklaim sebagai milik negara. Penguasaan hutan oleh negara ini diperkuat berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960, Pasal 19 ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah. Hal ini bermakna bahwa semua tanah harus didaftarkan. Tanah yang tidak didaftarkan dimaknai sebagai tanah tanpa judul dan didefinisikan sebagai tanah negara. Sementara itu, masyarakat adat memiliki pemaknaan atas kawasan hutan didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari pewarisan nenek moyang yang hidup dan tinggal di wilayah tersebut sejak lama secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan miliknya. Klaim atas wilayah tersebut menciptakan otoritas pada masing-masing pihak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sesuai kepentingan (meminjam istilah Dahrendorf) pihakpihak tersebut. Pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, negara mempunyai kepentingan untuk pelestarian hutan sementara Masyarakat Kasepuhan memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Pada hutan Sungai Utik, negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan bagi kelangsungan livelihood mereka dan generasi berikutnya. Kesadaran akan kepentingan bersama ini yang menyebabkan timbulnya kelompok konflik antar kelas, yaitu masyarakat adat selaku kelompok yang subordinat dan negara selaku kelompok superordinat). Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan 59

81 yang bertentangan ini meningkat, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam konflik kelas. Kelas disini dipahami dalam konteks Dahrendorf, yaitu karena adanya perbedaan otoritas (kekuasaan). Dalam konteks hubungan konstelasi kekuasaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dengan negara dapat dipahami dalam konteks hubungan otoritas di mana negara selaku pemegang otoritas formal berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, menempati posisi yang memiliki hak normatif untuk mendominasi masyarakat adat, dengan kata lain negara menempati posisi superordinat (berkuasa) dan masyarakat adat sebagai subordinat (yang dikuasai). Dahrendorf menyebutnya sebagai tatanan sosial yang dikelola oleh proses penciptaan hubungan otoritas dalam berbagai posisi yang ada di seluruh lapisan sistem sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pihak terlibat dalam suatu perebutan otoritas, yang pada gilirannya redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai. Masyarakat adat sebagai pihak yang tersubordinasi mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk berubah sebagai respon atas konflik. Terjadinya dinamika perubahan kelembagaan adat ditandai dengan adanya dinamika perubahan system nafkah, dinamika hubungan-hubungan kekuasaan dan dinamika perubahan pola persebaran penduduk, migrasi desa kota dan sejumlah perubahan tatanan sosial lainnya. Dinamika perubahan kelembagaan tersebut dapat dipandang sebagai respon masyarakat adat dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru atau kemampuan menyembuhkan diri dari kondisi lingkungan yang menyebabkan traumatis (resiliensi). Selanjutnya Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajahsatu konsensus, yang lain adalah konflik. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak akan selamanya masyarakat berada dalam kondisi konflik, suatu ketika setelah konflik menyebabkan terjadinya perubahan sebagai wujud adanya proses adaptasi dan resiliensi, maka konflik akan menemukan konsensus 60

82 ketika distribusi otoritas menemukan dirinya dalam mempertemukan kepentingan masing-masing pihak. Lebih jelasnya kerangka pemikiran dari disertasi ini dapat digambarkan dalam gambar berikut: Gambar 2. Kerangka Pemikiran 3.4. Hipotesis Pengarah Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran teoritis serta tujuan penelitian yang dikemukakan maka disusun hipotesis pengarah. Hipotesis pengarah ini digunakan sebagai penuntun dalam pengumpulan data dan analisis data serta memiliki kemungkinan mengalami perubahan sesuai kondisi di lapangan. Hipotesis Pertama: Konflik sumberdaya hutan akan menyebabkan terjadinya dinamika perubahan kelembagaan dari aktor-aktor yang sedang berkonflik. Aktor yang menempati posisi subordinat mempunyai kemungkinan berubah lebih besar dibandingkan dengan aktor yang menempati posisi superordinat. 61

83 Hipotesis Kedua: Perubahan kelembagaan tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi dan resiliensi. Hipotesis ketiga: Konflik akan menemukan konsensus ketika distribusi otoritas tercapai dan dapat mempertemukan kepentingan berbagai pihak Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian konstruktivisme dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian konstruktivisme mensyaratkan adanya bangunan hermeneutis di dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan secara bersamaan sebagai satu kerangka berpikir ilmiah. Hermeuneutik dengan kata lain adalah interpretatif, sehingga turunan dari teori konstruktivisme ini adalah teori interpretatif atau disebut juga humanisme. Beberapa teknik dasar yang akan digunakan dan menjadi strategi dari penelitian ini, adalah : 1. Langsung, pengamatan dari tangan pertama per hari, ini biasanya menggunakan teknik observasi partisipasi (observasi partisipan); 2. Melakukan pembicaraan dengan tingkatan formalitas yang berbeda. Ini biasanya dilakukan interview dalam waktu cukup lama (indepth interview); 3. Pekerjaan detail bersama orang yang mempunyai pengaruh penting (key informant) pada komunitasnya dalam memetakan berbagai permasalahan; 4. Menemukan persepsi dan sistem kepercayaan masyarakat setempat (belief system) 5. Penelitian yang di fokuskan pada permasalahan (problem oriented research); 6. Studi kasus 3.6. Langkah Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam menghasilkan teori dengan menggunakan paradigm konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, sebagai berikut: 62

84 Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian No Kegiatan Penjelasan 1 disain penelitian Peninjauan ulang literatur teknis dan memetakan kerangka pemikiran penelitian. 2 pengumpulan data Kegiatan pembuatan indikator penelitan, parameter penelitan, penetapan unit analisis penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan terjun ke lapangan untuk pengumpulan data 3 penyajian data Penyusunan data berdasarkan urutan kejadian secara kronologis dan konteks penelitian, yang dibedakan sebagai berikut: a. Konflik sumberdaya hutan b. Dinamika kelembagaan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan c. Konstelasi kekuasaan adat versus negara 4 analisis data Analisis data dilakukan pada level material, yaitu melihat konflik dari kepentingan, klaim atas wilayah dan otoritas yang menyertainya. Selain itu, analisis data dilakukan pada level immaterial dengan melihat pengetahuan dan pemaknaan aktor yang mendasari konflik sumberdaya hutan. 5 Perbandingan Melakukan perbandingan literatur yang muncul literatur mengenai teori yang digunakan sebagai acuan, yaitu teori konflik Dahrendorf 3.7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan datanya yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam dalam jangka waktu yang relatif lama serta diinventarisasi dalam catatan harian. Metode pencarian sumber informasi menggunakan metode snowballing yaitu perolehan sumber berikutnya berdasarkan informasi dari sumber informasi sebelumnya. Setelah melakukan pendeskripsian dari observasi dan wawancara itulah akan ditemukan beberapa ciri khas yang nampak bila kultur tersebut diperbandingkan dengan kultur lain yang juga telah terdeskripsikan. Hal demikian memberi pengertian, bahwa tujuan studi tersebut adalah untuk mengalami pengertian bersama. Wax dalam Maleong (2000) mengatakan hal tersebut sebagai shared meaning (pengertian yang dialami bersama). 63

85 3.8. Analisis Data Analisis data dilakukan terhadap masalah konflik sumberdaya hutan, dan konflik yang menyebabkan terjadinya dinamika kelembagaan adat. Untuk menganalisis rumusan masalah konflik sumberdaya hutan, Teori konflik Dahrendorf akan menjadi acuan utama dalam melihat konflik sumberdaya hutan yang melibatkan adanya dua kelompok, yaitu: kelompok subordinat (masyarakat adat) dan kelompok superordinat (pemerintah yang kemungkinan berafiliasi dengan pengusaha kapitalis). Dalam teori konflik Dahrendorf, konflik dapat menyebabkan terjadinya perubahan. Oleh karena itu, teori konflik Dahrendorf akan digunakan untuk menganalisis masalah konflik dan masaah dinamika perubahan kelembagaan adat (sebagai pihak yang tersubordinasi). Dalam melihat konflik sumberdaya hutan ini, akan dipetakan juga aktoraktor yang berkonflik, kepentingan setiap aktor terhadap sumberdaya hutan, ideologi yang mendasarinya afiliasi yang mungkin terjadi serta perilaku yang ditunjukkan oleh setiap aktor. Dalm konteks ini, Teori Foucault tentang arkeologi pengetahuan dan geneologi kekuasaan akan digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan. Dalam menganalisis dinamika perubahan kelembagaan adat akan melihat rules, ideologi, norma, aktor dan teritori dari kelembagaan adat dan negara, kemudian dianalisis apakah terjadi perubahan kelembagaan sebagai akibat dari konflik sumberdaya hutan tersebut. Selanjutnya akan dibandingkan kelembagaan asli dan adaptasi dari setiap aktor yang berkonflik. 64

86 4 SISTEM SOSIO EKOLOGI HUTAN 4.1. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK: 4.1.a. Perkembangan Status Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan Implikasinya Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang selanjutnya disebut sebagai TNGHS merupakan kawasan hutan konservasi (taman nasional darat) yang terletak di dua Provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dan 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Jumlah desa yang berada di dalam kawasan adalah 114 desa dan 26 kecamatan. Sejarah TNGHS berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) sejak tahun 1935 yang memiliki luas ha. Kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas ha dibawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Perubahan luas dan nama menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan sejak tahun 2003 dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan disekitarnya sebagai kawasan taman nasional (TNGHS), karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik, seperti Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul. Selanjutnya dengan dimasukkannya Gunung Salak sebagai kawasan taman nasional, membuat kawasan ini juga menjadi potensi wisata yang unik yaitu Kawah Ratu. 65

87 Secara administrasi, kawasan taman nasional memiliki sejarah perkembangan tersendiri dengan beberapa perubahan status. Adapun sejarah lahirnya dan perkembangan perubahan status dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dikemukakan sebagai berikut: Tabel 2. Perkembangan Status Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TAHUN PERUBAHAN STATUS Status hutan lindung dibawah Pemerintah Belanda dengan luas mencakup hektar Status cagar alam dibawah Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat Status cagar alam dibawah pengelolaan Perhutani Jawa Barat Status cagar alam dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I Status cagar alam dikelola Taman Nsional Gunung Gede Pangrango Status taman nasional dikelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status taman nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat eselon III Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung sekarang Halimun Salak seluas hektar merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks Hutan Lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya. Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2010 Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan 175/Kpts-II/2003 luas total TNGHS adalah ± hektar, akan tetapi lampiran peta pada surat keputusan tersebut kurang sesuai dengan kondisi dan batas kawasan yang ada di lapangan. Kawasan TNGHS terbagi menjadi 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) yaitu: 1. SPTNW I Lebak terdiri dari 4 resort, yaitu: Resort Gunung Bedil; Resort Cibedug; Resort Gunung Bongkok dan Resort Cisoka; 2. SPTNW II Bogor terdiri dari 6 resort, yaitu: Resort Gunung Talaga; Resort Gunung Kencana; Resort Gunung Botol; Resort Gunung Butak; Resort Gunung Salak II dan Resort Gunung Salak I; 3. SPTNW III Sukabumi terdiri dari 4 resort, yaitu: Resort Kawah Ratu; Resort Gunung Kendeng; Resort Cimantaja dan Resort Gunung Bodas. 66

88 4.1.b. Desa Sirna Resmi dan Masyarakat Kasepuhan Salah satu desa yang paling dekat dan berada dalam kawasan taman nasional adalah Desa Sirna Resmi. Secara administratif, Desa Sirna Resmi berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat yang merupakan wilayah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNHGS). Tipologi desa ini adalah desa di sekitar hutan dan terisolasi. Posisi desa dalam hal jarak ke lokasi ibu kota kecamatan dan kabupaten adalah sebagai berikut: jarak terdekat dari Desa Sirna Resmi ke pusat kecamatan adalah 23 kilometer yang dapat dicapai dalam 1 jam, jarak dari Desa Sirna Resmi ke pusat kabupaten adalah 33 kilometer yang dapat dicapai dalam 1,5 jam. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, yang memiliki 5 bulan hujan. Suhu di setiap desa relatif sejuk dengan suhu rata-rata 20 o C. Desa ini juga tertutup kabut. Kondisi cuaca (sejuk, curah hujan tinggi dan berkabut) disebabkan oleh keberadaan lokasi di dataran tinggi dan di sekitar hutan. Ketinggian desa adalah berkisar dari 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1600 mdpl. Desa Sirna Resmi memiliki luas wilayah 4917 hektar, yang sebagian besar adalah hutan lindung (4000 hektar). Penduduknya berjumlah 4803 orang. Desa Sirna Resmi terdiri atas 23 kampung menurut pembagian adat Kasepuhan. Sementara berdasarkan wilayah pemerintahan, terdapat tujuh dusun, yaitu Sirna Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situ Murni, Cipulus, dan Cipta Gelar. Dari 7 dusun tersebut, 3 dusun berada di dalam kawasan, yaitu Dusun Cipulus, Cipta Gelar, dan Situ Murni. Desa Sirna Resmi dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh perangkat desa yang berfungsi menjalankan administrasi di tingkat desa. Namun dalam kehidupan sehari-hari peran ketua adat lebih dominan dari peran kepala desa. Bahkan dalam hal memerintahkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti. Perintah ketua adat lebih diikuti daripada perintah kepala desa. Desa Sirna Resmi menjadi khas karena dihuni oleh Masyarakat Kasepuhan. Ada banyak faktor yang membedakan Masyarakat Kasepuhan dari masyarakat lokal lainnya yang hidup di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik masyarakat tersebut: 67

89 Tabel 3. Kondisi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Non Kasepuhan Mata Pencaharian (Livelihood) Pertanian padi Pertanian padi Pekerjaan lain Zonasi Ada Tidak Hukum Tradisional/ Adat Ada Tidak Pengelolaan Hutan Ada Tidak Kepala Suku Ada Tidak Modal Sosial Kuat Lemah Sistem Ketahanan Pangan Ada Tidak Ritual Ada Tidak Sumber: Hasil Penelitian, Di Desa Sirna Resmi terdapat 3 (tiga) pusat Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi yang terletak di Dusun Sirna Resmi (Abah Asep), Kasepuhan Cipta Gelar di Dusun Cipta Gelar (Abah Ugi) dan Kasepuhan Cipta Mulya (Abah Hendrik) di Dusun Sirna Resmi. Namun demikian, wilayah adat setiap Kasepuhan tersebut tidak dibatasi oleh kampung. Tidak ada batas teritorial yang jelas untuk setiap Kasepuhan. Sebagai satu kesatuan adat, satu Kasepuhan memiliki anggota yang tersebar di seluruh wilayah di sekitar desa ini, bahkan sampai keluar desa atau keluar pulau Jawa. Ketiga Kasepuhan tersebut memiliki norma dan adat kebiasaan yang sama, baik dalam hal pertanian, institusi sosial, sistem kepercayaan maupun pengetahuan tentang lingkungan termasuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Setiap komunitas memiliki rumah adat sendiri yang disebut Imah Gede. Rumah ini digunakan untuk banyak fungsi, seperti tempat tinggal kepala suku dan istrinya, tempat pertemuan, tempat mempersiapkan ritual, guest house dan lainlain. Rumah ini cukup unik. Semua pilar terbuat dari potongan besar dari bambu, dinding anyaman bambu dan atap dari ijuk memiliki model khas dan berwarna hitam. Setiap komunitas dipimpin oleh abah. Abah menjabat sebagai kepala suku sejak diangkat sampai meninggal. Sebagai pemimpin adat, abah memiliki kekuasaan absolut pada kehidupan rakyatnya atau pengikutnya (disebut incuputu), terutama dalam prosedur mata pencaharian yang bergantung pada pertanian padi. Kasepuhan memiliki jajaran kepengurusan untuk melayani abah dan istrinya dan urusan-urusan Masyarakat Kasepuhan yang disebut tukang. 68

90 Abah merupakan pusat untuk membuat keputusan. Namun dalam pengambilan keputusan, abah mengacu pada "wangsit". Wangsit adalah arahan dari nenek moyang yang datang melalui mimpi. Misalnya ketika mereka akan memilih kepala suku baru. Tidak ada pemilihan umum seperti dalam masyarakat modern. Mereka memilih kepala suku berikutnya berdasarkan wangsit. Wangsit datang kepada abah atau kepada kepala perwakilan (Kokolot-Kampung) di setiap desa, selanjutnya dimusyawarahkan dalam Badan Musyawarah. Kasepuhan memiliki badan musyawarah, seperti badan legislatif dalam masyarakat modern. Badan ini terdiri dari kokolot kampung dan memiliki tugas untuk memberikan pertimbangan kepada abah sebelum mengambil keputusan. 4.1.c. Sistem Mata Pencaharian dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan Mata pencaharian utama Masyarakat Kasepuhan adalah bertani baik di ladang dan sawah. Pertanian pola Kasepuhan didasarkan pada pengetahuan turuntemurun tentang metode pertanian yang mengandalkan keberadaan kepercayaan terhadap alam. Luas penguasaan lahan masyarakat sulit untuk diukur, karena masyarakat setempat memiliki pengukuran sendiri, seperti untuk lahan pertanian mereka menggunakan jumlah benih sebagai pengukuran atau produksi padi. Sementara itu, untuk halaman atau taman, tidak ada pengukuran untuk perbandingan di semua unit. Ada dua jenis petani, sebagai pemilik (petani) dan sebagai pekerja (buruh). Sebenarnya, para buruh memiliki tanah ladang, namun luas tanahnya sangat kecil, maka mereka menjadi pekerja di tanah orang lain setelah mereka selesai mengerjakan tanah mereka sendiri. Gaji sebagai pekerja (buruh tani) diatur oleh sistem 05:01. Ini berarti bahwa pemilik mendapatkan 80% dan pekerja mendapatkan 20% dari hasil padi. sedangkan jika membayar secara tunai, kurang lebih sebesar Rp per hari, sejak jam 08:00 AM sampai 15:00 WIB. Dalam hal bekerja pada pertanian padi, posisi pria dan wanita (suami dan istri) seimbang, mereka bekerja sama, ada bagian yang harus dilakukan oleh lakilaki dan ada bagian yang harus dilakukan oleh perempuan. Sebagai contoh dalam kasus "ngasek" (membuat lubang di tanah), tugas laki-laki adalah untuk membuat lubang di tanah, maka perempuan menempatkan benih padi ke dalam lubang. Masyarakat Kasepuhan menanam padi lokal bernama Pare Ageung. Mereka mengenal lebih dari 100 jenis padi. Namun umumnya orang menggunakan sekitar 50 spesies. Selanjutnya Abah Asep menjelaskan bahwa Padi paling unggul 69

91 adalah Sri Kuning, bijinya banyak, namun rasanya kurang puleun (kurang enak). Jenis padi cere mempunyai biji kecil-kecil tapi rasanya puleun (enak). Berdasarkan penjelasan Abah Asep diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan mengembangkan beragam jenis padi lokal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abah Asep di Kasepuhan Sinar Resmi, bahwa: Pada zaman Aki Harjo, ada 113 jenis padi lokal, namun sejalan dengan perkembangan zaman, sekarang hanya tingal 46 jenis yang dibudidayakan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Adapun jenis-jenis padi tersebut antara lain: (1) Padi Raja Denok, (2) Padi Raja wesi, (3) Padi Sri Kuning, (4) Padi Sri Maki, (5) Padi Nemol, (6) Padi Angsana, (7) PadiTampey, (8) Padi Terong, (9) Padi Jambu, (10)Padi Rogol Beureum, (11) Padi Rogol Bodas, (12) Padi Beureum Beunying, (13) Padi Kewal, (14)Padi Peuteuy, (15) Padi Gadog, (16) Padi Maringgeung, (17) Padi Kadut, (18) Padi Harawa Benter, (19) Padi Hawara Nani, (20) Padi Hawara Jeuni, (21) Padi Cere Geulas, (22) Padi Cere Layaung, (23) Padi Cere Kawat, (24) Padi Cere Marilen, (25) Padi Cere Uni, (26) Padi Cere Murag, (27) Padi Ketan Beledug, (28) Padi Ketan Cikur, (29) Padi Ketan Rante, (30) Padi Ketan Lepo, (31) Padi Ketan Bogor, (32) Padi Ketan Hideung. Di sawah abah sendiri hanya mengembangkan beberapa jenis padi saja, antara lain: (1) Padi Sri Kuning, (2) Padi Raja Denok, (3) Padi Nemol, (4) Padi Angsana, (5) Padi Rogol, (6) Padi Ketan Beledug, (7) Padi Ketan Cikur, (8) Padi Cere Layung, (9) Padi Cere Gelas, (10) Padi Cere Marilen, (11) Padi Cere Uni. 70 Dalam hal pertanian, Masyarakat Kasepuhan memiliki prinsip: saeutik mahi loba nyesa (sedikit cukup banyak bersisa). Hal inilah yang mendasari pola pertanian Kasepuhan yang tidak mengejar produktivitas melainkan keselarasan hidup dengan alam. Sehingga aktivitas pertanian masyarakat diusahakan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, ada banyak larangan yang dibuat oleh Kasepuhan dalam menjalankan usaha pertaniannya, salah satunya adalah dilarang menggunakan pupuk kimia atau pestisida. Konsep pertanian yang dijalankan oleh Masyarakat Kasepuhan, tentu berbeda dengan konsep pertanian modern. Prinsip pertanian modern adalah pada pencapaian produktivitas yang tinggi dari lahan pertanian. Jika memungkinkan untuk menanam padi yang dapat dipanen dalam waktu 3-4 bulan, sehingga lahan sawah dapat ditanami selama 2-3 kali dalam setahun. Konsep ini menjadi kebijakan pertanian Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan produksi pertanian melalui program intensifikasi. Seiring dengan adanya introduksi pertanian modern dari negara, telah terjadi perubahan pola pertanian pada Masyarakat Kasepuhan. Kebijakan negara tentang pertanian pada masa revolusi hijau telah menyebabkan masyarakat melakukan pelanggaran atas tradisi budayanya. Penggunaan jenis padi hibrida, pupuk kimia

92 termasuk menjual hasil padi yang tadinya dilarang oleh Kasepuhan menjadi dilanggar oleh beberapa orang masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Abah Asep bahwa Pada tahun 1977, pada zaman revolusi hijau, pada zaman Kasepuhan masih dipegang oleh Abah Harjo, pemerintah menerapkan program komoditi unggulan, dengan mengarahkan masyarakat untuk menanam padi unggul yaitu PW5, PW8. Padi ini memiliki pola tanam satu tahun 2 (dua) kali. Hal ini bertentangan dengan pola tanam Masyarakat Kasepuhan yang memiliki pola tanam satu tahun satu kali. Masyarakat sebagian ada yang mengikuti anjuran pemerintah, namun sebagian lagi, khususnya dalam lingkaran adat kasepuhan tetap bertahan dengan menanam padi lokal. Abah Harjo bilang ingin tahu ditandingkan antara padi lokal dengan padi pemerintah, mana yang paling bagus. Ternyata padi pemerintah dalam hal produksi lebih unggul, lebih banyak namun tidak tahan lama. Baru 2 (dua) tahun disimpan di lumbung, padi pemerintah sudah lapuk, sementara padi lokal dari jumlah produksi memang lebih sedikit karena hanya panen satu kali dalam satu tahun, namun bijinya lebih berat, nilai kandungan gizinya lebih banyak dan ketahanannya lebih lama, bisa bertahan sampai 5 (lima) tahun. Dari hasil perbandingan antara pengetahuan pertanian yang diintrodusir oleh pemerintah baik dalam hal penggunaan bibit padi maupun pupuk kimia sampai pada pola tanam satu tahun dua kali telah membuktikan bahwa pengetahuan lokal lebih unggul dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Sekalipun jumlah produksi padi hibrida dan penggunaan pupuk kimia membuat produksi lebih banyak dibandingkan dengan padi lokal, namun karena tidak tahan lama dan terpaksa dijual, membuat keberadaan padi tersebut tidak cukup untuk mendukung hidup petani sampai panen berikutnya. Oleh karena itu, masyarakat kembali menggunakan cara-cara lokal. Sebagaimana yang dituturkan oleh Abah Asep lebih lanjut: Dulu pada tahun 1971, awalnya melalui Koperasi Unit Desa (KUD) pemerintah bukan hanya mengarahkan masyarakat menanam jenis padi hibrida, melainkan juga memberikan subsidi pupuk kimia (PSP dan Urea), selanjutnya membuat demplot percobaan. Keberadaan pupuk kimia tersebut jelas bertentangan dengan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan yang mengharuskan penggunaan pupuk organik. Dilihat dari aspek, dulu waktu menggunakan pupuk organik, 1 (satu) hektar sawah menghasilkan 4 ton, sedangkan setelah menggunakan pupuk kimia 1 (satu) hektar menghasilkan 4,5 ton. Namun dari sisi ketahanan, padi yang menggunakan pupuk kimia hanya bertahan 3 tahun, sedangkan padi yang menggunakan pupuk organik bisa bertahan sampai 5 tahun. Karena padi pemerintah tidak tahan lama, sehingga masyarakat terpaksa menjual padi tersebut, melanggar aturan adat yang melarang menjual padi. Akibatnya padi tidak cukup untuk biaya hidup dalam satu tahun sampai panen berikutnya. 71

93 Dalam pengelolaan lahan untuk pertanian, sangat terlihat bagaimana Masyarakat Kasepuhan menghargai alam. Alam ditempatkan sebagai faktor penting dalam kehidupan manusia. Konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa mengajarkan bagaimana Masyarakat Kasepuhan mengerjakan tanah dan mengolah lahan untuk pertanian. Sebagaimana dikemukakan oleh Rahmawati (2012), bahwa: In general, Kasepuhan Community is still maintaining traditional farming methods. They work the land and plant it once a year. They do it for the sake of respect to Mother Earth. "You could not force mother for giving birth twice a year. This earth is an organism. Therefore, the tradition teaches agricultural rites. Prior to cultivate the land, they do a ceremony. According to their beliefs, before they cultivate the land, they need to get permission from the ancestor, because this earth is an organism that has been contaminated. That is what they do. Masyarakat menanam padi hanya satu kali dalam satu tahun. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingan terhadap Ibu bumi. Ibu bumi yaitu Dewi Sri (Dewi padi). Konsep Ibu bumi adalah penghormatan terhadap padi. Padi dalam konsep Kasepuhan dimaknai sebagai Dewi Sri, sehingga mulai dari tanam sampai panen, memasak dan memakannya menggunakan tata cara penghormatan tertentu. Ada banyak upacara adat yang berhubungan dengan pertanian padi. Upacara adat diawali dari pertanian huma baru diikuti oleh pertanian sawah. Misalnya mipit (panen) pertama di huma, melak (menanam) padi pertama di huma, begitupun dengan ngasek (melobangi tanah) dilakukan untuk pertama kalinya di huma, baru diikuti oleh kegiatan pertanian di sawah. Adapun upacara-upacara ritual yang mengiringi sejumlah aktivitas pertanian, sebagai berikut: 1. Ngored (mensiangi rumput) 2. Ngasek (melobangi tanah) dilanjutkan dengan melak (menanam padi) 3. Sapangjadian (1 minggu setelah ngasek) 4. Selametan Pare Nyiram (mulain tumbuh buah) 5. Mipit (panen) 6. Seren Tahun (upacara adat setelah selesai panen) tujuannya adalah untuk ngampihkeun pare ka leuit (menyimpan padi pertama ke lumbung). Seren tahun dilakukan pada hari Jum at, Sabtu dan Minggu tiga hari secara berturutturut. Pada kesempatan ini juga diserahkan secara simbolik seikat padi dari 72

94 incu-putu kepada abah dan uang sebesar Rp. 100,- sebagai simbol kepengikutan incu-putu tersebut. 7. Rosulan (hari Senin) dilakukan setelah seren tahun tujuannya adalah bersyukur karena telah mengalami serangkaian kegiatan pertanian sampai tuntas. Jika seren tahun terbuka untuk umum, maka rosulan hanya dilakukan oleh keluarga dalam Kasepuhan saja. Konsep Bapak langit menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang didasarkan pada peristiwa alam semesta (langit) dalam hal pengolahan lahan pertanian, yaitu dalam menentukan waktu untuk bekerja pada lahan dengan melihat bintang-bintang Kerti dan Kidang. Kerti dan Kidang adalah rasi bintang yang dilihat di langit pada malam hari. Kerti adalah bintang ngaronyok (kumpulan bintang), Kidang adalah bintang waluku/ nu tilu (bintang yang berbentuk seperti layang-layang). Dalam menentukan tanggal untuk kegiatan pertanian, digunakan hukum alam. Ketika sudah timbul kerti maka guru mangsa untuk turun besi (menyiapkan pakarang/ alat-alat pertanian), Ketika timbul kidang guru mangsa untuk turun kujang nibakeun sri ka bumi (waktunya untuk menanam padi), karena dianggap tanah sudah dingin. Penerapan hukum-hukum alam Kerti dan Kidang adalah sebagai berikut: Ketika bintang Kerti terlihat, masyarakat harus turun besi, maka mereka harus sudah mempersiapkan peralatan; ketika Kidang telah muncul, petani diperbolehkan untuk turun ke ladang atau untuk bekerja pada lahan pertanian. Guru Mangsa berarti bahwa mereka mempelajari alam semesta dalam hal menentukan waktu untuk mulai tanam atau tidak. Tujuan dari pengetahuan ini adalah untuk bersaing dengan makhluk lain, untuk ngudag akuan (mengejar hak atas tanah). Bintang Kerti menjadi tanda awal untuk bekerja di darat. Meskipun hujan tidak turun lagi, mereka masih menanam sesuai dengan tradisi. Pada bulan September sampai April, tanah adalah hak petani, sementara itu, pada bulan Mei hingga Agustus, itu adalah hak makhluk lainnya, seperti serangga dan lain-lain (itu tidak boleh disebut). Setelah menanam padi, lahan pertanian dipagar dengan ajian (doa): Ulah arek comokot kana tetendenan aing, ulah herey, ulah bader (jangan mengambil simpanan aku, jangan main-main, jangan nakal). Di 73

95 bulan Mei-Agustus selain menanam padi, masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman yang lain (tumpang sari) seperti tanaman palawija. Sampai saat ini, konsep ibu bumi, bapak langit dan guru mangsa masih digunakan oleh Masyarakat Kasepuhan. Pengetahuan mereka datang dari alam. Kerti dan Kidang adalah jenis bintang. Mereka digunakan sebagai tanda untuk memulai bertani. Tetapi orang yang memutuskan untuk memulai itu adalah abah. Ketika Kerti dan Kidang tidak muncul (tidak terlihat), maka abah akan mengambil keputusan berdasarkan "wangsit". Ukuran produktivitas pertanian dalam Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan ukuran produktivitas menurut negara atau menurut konsep umum. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal adanya konsep hidup: beuteung seubeuh, imah pageuh, baju weuteuh, pamajikan reuneuh (perut kenyang, rumah kokoh, baju baru/ bagus, istri hamil). Hal tersebut bermakna bahwa tujuan hidup Masyarakat Kasepuhan adalah perut kenyang, rumah kokoh, baju baru dan istri hamil. Ini bermakna bahwa produktivitas hanya sebatas perut kenyang. Batasannya adalah bisa makan setiap hari sampai panen berikutnya. Selanjutnya rumah kokoh adalah memiliki rumah yang layak menurut konsep Masyarakat Kasepuhan, rumah yang bisa memberi tempat berteduh dengan atap injuk. Baju baru artinya mereka memiliki uang untuk membeli baju baru dan dapat membeli baju baru untuk setiap perayaan, misalnya ketika lebaran atau pada saat seren tahun. Adapun istri hamil bermakna bahwa Masyarakat Kasepuhan harus mempunyai keturuan dan meneruskan tradisi Kasepuhan. 4.1.d. Pengetahuan Masyarakat Adat Kasepuhan Tentang Tata kelola Hutan Masyarakat Kasepuhan, memiliki pengetahuan tata kelola hutan. Pengetahuan ini bukan hanya sekedar mengatur hutan, tetapi terpadu mengatur hubungan manusia dengan manusia dan mengatur hubungan manusia dengan alam (lingkungan) termasuk dengan hutan, tumbuhan dan hewan di dalamnya, bahkan dengan roh nenek moyang yang dipercayai menempati dan menjaga alam dan hutannya. Dalam memahami hubungan manusia dengan manusia, setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan aturan adat masing-masing. Dalam Masyarakat Kasepuhan misalnya, ada konsep tentang sara, nagara dan mokaha. Konsep 74

96 tersebut mengajarkan bahwa Masyarakat Kasepuhan harus melaksanakan sara, nagara jeung mokaha. Sebagaimana dikemukakan oleh Rahmawati (2012) bahwa: There is a motto of Kasepuhan Community, namely "SARA, NAGARA, and MOKAHA". SARA is acronym from words "Suku (ethnic), Agama (religion), Ras (Race), Anatomi (anatomy). NAGARA is state or government; MOKAHA is custom or tradition. This motto implies that Kasepuhan community appreciate to other ethnic, other religion, other race, and other anatomy or organism (like tall or short, black or white, human or animal). Then They recognize as part of the state and obey to laws of state. But, they have own custom. Because of this motto, SARA (including Religion), NAGARA (law of State) and MOKAHA (traditional value) must run in harmony. Because of this motto, they accept Islam as their religion, but in practice, they believe ancestor religion. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Rahmawati (2012) tersebut, bahwa konsep sara, nagara jeung mokaha pada Masyarakat Kasepuhan mengisyaratkan bahwa dalam hubungan manusia dengan manusia, Masyarakat Kasepuhan menghargai adanya perbedaan dengan berbagai macam suku, ras, agama bahkan bentuk tubuh. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk aturan kepengikutan, dimana Kasepuhan membuka pintu bagi siapa saja dari berbagai ras, agama dan suku bangsa untuk menjadi anggota (incuputu) Kasepuhan. Dibuktikan dengan adanya incuputu Kasepuhan yang berasal dari Perancis. Konsep SARA inilah maka Masyarakat Kasepuhan menerima Islam sebagai agama mereka walaupun dalam prakteknya mereka masih menjalankan agama nenek moyang. Agama Islam ditempatkan sejajar dengan agama nenek moyang dalam tradisi Kasepuhan. Konsep NAGARA terkandung makna bahwa dalam menjalankan kehidupannya, Masyarakat Kasepuhan menghargai dan menghormati negara selaku pemegang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik negara dalam arti pemerintahan pusat dan negara dalam arti pemerintah daerah. Masyarakat Kasepuhan mempunyai kewajiban untuk menghormati seluruh kebijakan negara. Adapun MOKAHA terkandung makna Ksepuhan atau dengan kata lain adat, yaitu Masyarakat Kasepuhan mempunyai kewajiban menjalankan tradisi dan adat istiadat Kasepuhan termasuk didalam pergaulan dengan manusia lainnya. 75

97 Selanjutnya dalam kosmologi Kasepuhan menyebutkan bahwa SARA, NAGARA dan MOKAHA ini harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus mengacu pada prinsip: kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Hal tersebut bermakna bahwa Kasepuhan menghargai pendapat umum dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat, walaupun sebenarnya peran abah dalam Kasepuhan sangat dominan. Dalam Masyarakat Kasepuhan, hubungan manusia dengan alam tergambar dari apa yang dikemukakan oleh Adimihardja (1989) bahwa Masyarakat Kasepuhan juga menyatakan diri mereka sebagai "pancer pangawinan". Pancer berarti asal (lulugu), sedangkan pangawinan berarti sebagai tombak dalam upacara pernikahan. Upacara perkawinan dipandang sebagai penggabungan manusia dengan tanah tempat mereka tinggal. Artinya manusia dengan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus bisa hidup selaras dan menjaga kelestarian alam, menikah dengan alam artinya menjadikan alam sebagai bagian dari hidupnya, termasuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Dalam hal mengelola hutan, Masyarakat Kasepuhan membagi hutan kedalam empat wewengkon (dalam konsep modern disebut zonasi), yaitu leuweung titipan (zona inti), leuweung tutupan (zona rimba), leuweung cawisan (zona cadangan) dan leuweung garapan (zona pemanfaatan). Masing-masing dapat dijelaskan, sebagai berikut: a. Leuweung Titipan adalah hutan yang dianggap titipan nenek moyang untuk dijaga, dimana masyarakat terlarang untuk datang ke tempat ini, baik untuk mengambil kayu maupun hasil hutan lainnya, bahkan untuk menginjak wilayah ini perlu izin dari abah dan melakukan upacara terlebih dahulu sebelum datang ke tempat ini. b. Leuweung Tutupan adalah hutan yang menutupi hutan titipan yaitu hutan cadangan dimana hutan ini terlarang untuk diambil kayunya, tetapi jika di wilayah lain tidak ada, maka dapat mengambil kayu di wilayah ini hanya untuk kepentingan membuat rumah sendiri dan bukan untuk diperjual belikan. Untuk mengambil kayu dari wilayah ini juga butuh izin dari abah selaku ketua adat. 76

98 c. Leuweung Cawisan dengan istilah lain yaitu hutan produksi terbatas, yaitu hutan yang sumberdayanya dapat dimanfaatkan dalam kondisi terbatas, misalnya kayunya bisa digunakan untuk membangun rumah pribadi atau untuk membangun fasilitas sosial. Jika kayu yang dibutuhkan di tempat ini tidak ada, maka dapat mengambilnya di leuweung titipan. Untuk mengambil kayu di tempat ini juga perlu izin atau memberitahu kepada abah selaku ketua adat. Selain kayunya boleh diambil, di wilayah ini juga boleh dilakukan perburuan yang sifatnya terbatas, misalnya berburu kijang pada saat mau melakukan upacara seren tahun. d. Leuweung Garapan yaitu hutan produksi. Di tempat ini adalah lahan garapan/ kawasan pertanian masyarakat dimana masyarakat menanaminya dengan padi. Pada masa lalu (sebelum tahun 2003), Perhutani menanami kawasan ini dengan kayu besar. Ada simbiosis mutualisma antara masyarakat dan Perum Perhutani. Berdasarkan aturan zonasi di atas, Masyarakat Kasepuhan mengelola hutan Gunung Halimun Salak. Dalam mengelola hutan tersebut, Masyarakat Kasepuhan memiliki aturan tentang aktivitas yang dibolehkan atau dilarang untuk dilakukan di kawasan hutan. Tabel 4. Aturan Yang Dibolehkan dan Dilarang Pada Masyarakat Kasepuhan Kegiatan Yang dibolehkan Kegiatan Yang Dilarang Menanam di zona pemanfaatan Masuk ke zona inti Mengambil kayu bakar untuk kebutuhan Mengambil kayu untuk dijual konsumsi sendiri Memotong kayu untuk membangun rumah Menjual beras sendiri Penggunaan pupuk organik Penggunaan pupuk kimia Selain aturan yang dibolehkan dan dilarang dalam mengelola hutan, Masyarakat Kasepuhan juga mengatur mengenai pemanfaatan hutan, khususnya kayu. Jika masyarakat akan menebang pohon (kayu), maka harus menanam terlebih dahulu. Pada Masyarakat Kasepuhan, jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut: 77

99 Bagaimanapun juga masyarakat adat butuh keberadaan hutan, karena itu masyarakat dituntut bukan hanya dapat memanfaatkan hutan tapi harus juga menjaga dan melestarikannya. Melalui hukum adat diatur tatacara pemanfaatan hutan. Kalau mau nebang 1 tangkal (memotong satu pohon kayu), maka sebelum menebang pohon tersebut harus menanam terlebih dahulu 10 sampai 20 tanaman dan itupun baru bisa dilakukan setelah ada izin dari abah. Kalau menebang tanpa izin dari abah maka jatuhnya disebut sebagai pencuri. Denda untuk pencuri menjadi lebih banyak. Kalau mencuri kayu 2 (dua) pohon maka dendanya harus menanam pohon sebanyak 100 pohon. Dua pohon tersebut apabila sudah dipotong-potong, kra-kira akan menghasilkan menjadi 3 kubik (setara dengan 3 kubik kayu). Besarnya denda yang harus dibayar bukan merupakan alasan satu-satunya yang menyebabkan masyarakat menjaga hutannya, ada alasan lain yang lebih ditakuti yaitu keberadaan roh nenek moyang yang menjaga hutan (kekuatan supranatural yang dipercaya oleh Masyarakat Kasepuhan menjaga hutan). Apabila hasil hutan diambil tanpa izin maka akan terkena kualat, sehingga kemungkinan masyarakat adat melakukan pencurian kayu di hutan adat atau menebang kayu melebihi ketentuan sangat kecil karena pertimbangan aspek supranatural tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Sekretaris abah tentang kualat melalui contoh sebagai berikut: Suatu hari ada incuputu abah yang pergi ke hutan titipan tanpa izin dari abah, orang tersebut hilang tiga hari di hutan istilah adat namanya katalimeung. Batas hutan yang boleh maupun yang tidak boleh dimasuki tersebut ditandari oleh adanya batu kembar. Itu juga kata orang tua karena saya sendiri belum pernah masuk ke wilayah tersebut. Katanya ada batu pacakup (batu seperti bentuk pintu gerbang). Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke wilayah tersebut HUTAN SUNGAI UTIK: 4.2.a. Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat Kabupaten Kapuas Hulu adalah kabupaten terujung di wilayah timur Provinsi Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Negara Malaysia. Luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu km2 atau 20,33% dari luas total Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan mencapai km2. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata yang tercatat pada Stasiun Meteorologi Pangsuma tahun 2010 adalah 26,7 C. Tingginya suhu udara di Kapuas Hulu disebabkan antara lain karena letak Kabupaten Kapuas Hulu yang relatif dekat dengan garis khatulistiwa dan struktur geografis Kabupaten Kapuas Hulu yang secara umum berada pada wilayah dataran cukup tinggi. 78

100 Melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 144 Tahun 2003 Kabupaten Kapuas Hulu telah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi. Penetapan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi faktual wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dimana kawasan lindung ha dan taman nasional ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) Nomor 259/Kpts-II/2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat Seluas Hektar. Akan tetapi, walaupun sudah ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi bukan berarti tidak ada ancaman kehancuran ekologis. Faktanya adanya ancaman konversi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan dengan dikeluarkan izin yang sudah mencapai angka ha. Kabupaten Kapuas Hulu terdiri atas 25 kecamatan (tahun 2010). Kecamatan Embaloh Hulu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu yang terluar. Meskipun bukan merupakan kecamatan yang terletak di perbatasan Indonesia-Malaysia, namun suasana kental khas Malaysia sudah terlihat dari berbagai produknya yang banyak digunakan oleh penduduk setempat. Kecamatan Embaloh Hulu ini memiliki setidaknya dua lokasi cagar budaya, yaitu Sui Utik (Sungai Utik) dan Dusun Bukung yang telah ditetapkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Putussibau. Namun cagar budaya Dusun Bukung yang juga memiliki Rumah Betang sedikit berbeda dengan Sui Utik, karena disana atapnya sudah diganti dengan seng. Dusun/ Kampung Sungai Utik dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa alasan, sebagai berikut: Pertama, dusun ini merupakan lokasi cagar budaya, namun disisi lain kawasan ini termasuk kawasan hutan hak pengusahaan hutan (HPH) atau kawasan izin usaha pemenfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Kedua, Dusun ini dihuni oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan yang sudah mendapatkan sertifikat Ecolabeling dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). 4.2.b. Kampung Sungai Utik (Sui Utik) Kampung Sungai Utik dinamai dengan Sungai Utik karena pada kawasan Sungai Utik mengalir sebuah sungai dari arah hulu Hutan Sungai Utik yang airnya sangat jernih. Sungai Utik artinya adalah air bersih. Sungai ini mencerminkan 79

101 ikatan antara masyarakat dengan hutan dan sungai sangatlah erat. Sungai berasal dari mata air Hutan Sungai Utik, dimana pada bagian hulunya sungai tersebut menjadi sumber air bersih, sedangkan pada bagian hilirnya berfungsi sebagai tempat mandi maupun mencuci baju. Sungai juga menjadi salah satu sumber pangan masyarakatnya, karena sungai menyediakan berbagai jenis ikan. Ikan-ikan tersebut menjadi sumber penghidupan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Secara administratif, Kampung/ Dusun Sungai Utik merupakan salah satu Dusun di wilayah Desa Batu Lintang. Desa ini merupakan hasil pemekaran dari Desa Rantau Perapat Kecamatan Embaloh Hulu. Desa Batu Lintang terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Sungai Utik dan Dusun Kulan. Secara administratif berstatus dusun, namun masyarakat lebih suka menyebutnya kampung. Dusun/ Kampung Sungai Utik merupakan dusun yang sangat istimewa karena sebagian besar wilayahnya (72,53%) adalah kawasan rimba (hutan). Hutan di Sungai Utik masih merupakan hutan perawan dimana dalam kawasan tersebut masih ada kawasan yang belum pernah dimanfaatkan kayunya. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif, telah diketahui luas wilayah Sungai Utik termasuk tata guna lahannya, yaitu seluas 9.453,50 ha. Adapun luas kawasan Sungai Utik berdasarkan tataguna lahannya sebagai berikut: Tabel 5. Luas wilayah Kampung Sungai Utik dan pembagian tataguna lahannya TATAGUNA LAHAN LUAS (Hektar) Damun 2,085,21 Danau 0,68 Engkabang 26,25 Kebun Karet 168,56 Keramat 11,76 Payak 284,86 Pemukiman 3,18 Rimba 6.856,77 Tembawai 16,23 JUMLAH 9,453,50 Sumber: Dokumen Tertulis Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, Dilihat dari kemajuan pembangunan, Kampung Sungai Utik masih memiliki fasilitas yang terbatas. Di daerah ini belum ada listrik. Masyarakat menggunakan mesin diesel untuk penerangan. Namun sudah ada fasilitas air bersih yang disalurkan melalui pipa ke setiap rumah. Air bersih tersebut diambil dari hulu

102 Sungai Utik. Fasilitas sosial lainnya yang ada di kampung ini adalah rumah ibadat (gereja Katolik). Namun pendeta tidak setiap minggu datang ke tempat ini. Masyarakat baru beribadah di gereja ketika ada pendeta yang datang. Fasilitas pendidikan yang ada di Dusun Sungai Utik adalah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) satu atap. Apabila penduduk Sungai Utik ingin melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA), maka harus ke Martinus (ibukota Kecamatan Embaloh Hulu) atau ke Putussibau (ibukota Kabupaten Kapuas Hulu). Prestasi pendidikan yang pernah dicapai oleh penduduk Sungai Utik adalah 14 orang penduduk lulusan Sarjana berbagai bidang ilmu, 3 orang Diploma dan 2 orang masih mahasiswa. Fasilitas transportasi juga masih terbatas. Letak Kampung Sungai Utik tidak jauh dari jalan besar (jalan raya) yang menghubungkan Kota Putussibau dan Kota Badau. Namun fasilitas alat transfortasi umum di daerah ini masih terbatas. Satu hari hanya ada satu bis umum yang melewati daerah ini ke arah putussibau maupun ke arah Badau. Keterbatasan alat transportasi tersebut menyebabkan aksesibilitas Masyarakat Sungai Utik ke luar lokasi menjadi terbatas. 4.2.c. Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik Kampung Sungai Utik merupakan wilayah yang didiami oleh Suku Dayak Iban. Satuan pemukiman Masyarakat Sungai Utik disebut rumah panjae (rumah panjang/ rumah betang). Pembangunan rumah panjang Sungai Utik dilakukan untuk pertama kalinya sejak tahun Namun sebelum pembangunan tersebut, persiapan untuk mengumpulkan bahan bangunannya membutuhkan waktu kurang lebih 5 tahun. Tahun 1978 pertama kalinya rumah panjang Sungai Utik ditempati. Rumah tersebut pada saat itu mempunyai panjang 196 meter, dan lebar 12 meter dengan jumlah bilik 28 bilik. Jumlah penduduk Sungai Utik saat ini sebanyak 279 orang. Di rumah panjang Sungai Utik dipimpin oleh seorang tuai rumah (ketua rumah panjang), namanya Apai Janggut. Tuai rumah mempunyai kewenangan mengatur tata tertib rumah panjang dan adat istiadat sehari-hari. Tugas lain yang diatur oleh tuai rumah adalah mempersiapkan gawai (gawak), mengatur adat penti pemali, memimpin musyawarah untuk menghukum masyarakat yang melakukan kesalahan di wilayahnya, seperti mencuri buah/ ternak, memberi izin untuk 81

103 membangun rumah baru, memperbaiki rumah rusak dan memberi izin untuk berladang. Secara administratif Dusun Sungai Utik dipimpin oleh seorang kepala dusun (kadus). Tugas kepala dusun ini merupakan kepanjangan dari tugas kepala desa (kades), sehingga dalam menjalankan tugasnya kepala dusun bertanggung jawab kepada kepala desa. Selain kepala dusun, ada juga yang disebut dengan kepala adat (kadat). Kepala adat ini memiliki tugas untuk memastikan bawa adat di setiap dusun tersebut berjalan. Kepala adat dibutuhkan biasanya pada saat dilakukannya berbagai upacara adat, termasuk gawai sebagai puncak dari upacara adat di setiap rumah panjae (rumah panjang). Kepala adat adalah representasi kepala desa pada setiap rumah panjang yang bertugas membantu tuai rumah dalam penyiapan berbagai upacara adat. Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki aturan sendiri dalam pengurusan wilayah adatnya. Aturan pengurusan wilayah ini merupakan aturan yang telah ada secara turun temurun yang sampai saat ini masih menjadi pegangan mereka dalam melangsungkan kehidupannya, baik dalam mengatur kehidupan sehari-hari, cara berladang maupun dalam mengatur wilayah hutannya. Aturan tersebut diatur dalam hukum adat yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan alam sekitarnya dan dipastikan melalui kepemimpinan tuai rumah. Hukum adat tersebut ada delapan bagian yaitu: Adat Pati Nyawa, Adat Ngangus, Adat Belaki-Bebini, Adat Mencuri, Adat Ngelanggar, Adat Laya, Adat Pemalu dan Adat Penti Pemali. 4.2.d. Sejarah Migrasi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Penghuni Kampung Menua Sungai Utik berasal dari Lanjak kurang lebih 80 km ke arah Malaysia. Perpindahan mereka dari Lanjak disebabkan karena ladang mereka sering terserang hama belalang besi. Pindahlah mereka menuju ke Sungai Abau, tepatnya di Sungai Kersik. Tanpa diketahui alasan yang jelas dari Sungai Kersik mereka pindah ke Lanjak lagi, dan dari Lanjak pindah ke Sungai Abau. Akibat perpindahan ini terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Ijon. Kelompok Ijon pindah ke Palapintas dengan jumlah 6 (enam) buah pintu dan Ijon selaku tuai rumah. Kelompok ini selanjutnya melahirkan Tembawai Palapintas Merundup, yang pada 82

104 akhirnya berpindah ke tembawai pantak. Kelompok kedua adalah kelompok Pateh Judan. Kelompok ini pindah ke Belatong dengan jumlah 7 (tujuh) buah pintu dan Pateh Judan selaku tuai rumah. Selanjutnya melahirkan Tembawai Sungai Belatong. Pindah ke tembawai pinang, dan seterusnya. Lebih jelasnya, sejarah perpindahan masyarakat dari rumah panjang satu ke rumah panjang lainnya, dapat dikemukakan sebagai berikut: Tabel 6. Sejarah Perpindahan Rumah Panjae Masyarakat Dayak Sui Utik Nama Rumah Pintu/ Tahun Asal Pindah Tuai Alasan Panjae Bilek Rumah 1. Palapintas Merundup 6 TK Lanjak Ijon TK 2. Sungai Belatong 7 TK Lanjak Pateh Judan TK 3. Pinang TK TK Sungai Belatong Pateh Judan Banjir 4. Injak Pinang TK TK 5. Sungai Aji Injak TK TK 6. Gerunggang Sungai Aji TK TK 7. Rerak Gerunggang TK TK 8. Mugang Rerak TK TK 9. Pantap Mugang TK TK 10. Kenyalang Pantap TK Penyakit 11. Dampak Sungai Aji Puntul TK Kenyalang TK Penyakit & rumah rusak Rumah rusak 12. Uji Bilik Dampak TK Sungai Aji Puntul 13. Sungai Utik sekarang Uji Bilik Bandi - Keterangan : TK = tidak diketahui (Sumber: Dokumen Tertulis Kampung Sungai Utik, 2012) 4.2.e. Sistem Pertanian Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Sumber penghidupan utama Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik berasal dari pertanian dengan sistem perladangan lahan kering (umai pantai) dan lahan basah (umai payak). Konsep pertanian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga tidak jauh berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan, yaitu satu kali dalam satu tahun dengan pertanian utama adalah padi ladang. Hanya cara-cara bertaninya yang sedikit beda, tetapi prinsip-prinsipnya relatif sama. Dalam berladang tersebut, Masyarakat Dayak Iban menggunakan sistem berladang gilir balik (daur ulang menghindari istilah peladang berpindah karena memiliki konotasi negatif sebagai perusak hutan, sedangkan peladangan daur ulang memiliki konsep yang 83

105 lebih lestari), yang artinya setelah 10 sampai 15 tahun mereka baru boleh menggarap lokasi ladang itu kembali. Disamping menanam padi, mereka juga menanam sayur-sayuran serta umbi-umbian di ladang tersebut. Tempat untuk berkebun sayur-sayuran disebut redas. Adapun berbagai jenis padi yang biasanya ditanam oleh masyarakat, antara lain: Padi Puan (padi tertua dalam Masyarakat Dayak Iban), Padi Sangking, Padi Manjin, Padi Papau dan lain-lain, dan padi jenis pulut seperti: Pulut Besai Leka, Pulut Celum, Pulut Rangkang dan lain-lain. Dalam membuat ladang padi tersebut ada tahapannya, yang selalu dimulai dengan upacara adat pedarak. Tahapan membuat ladang pada suku Iban sebagai berikut: a. Menentukan lokasi (cari mimpi, upacara adat pedarak) b. Nebas (memotong/ membersihkan ladang dari alang-alang dan rumput liar) c. Nebang (memotong kayu-kayu liar) d. Bakar ladang (membakar seluruh tanaman liar yang masih tersisa termasuk kayu, alang-alang dan rumput-rumput liar) e. Nugal (melubangi tanah) f. Mali umai g. Nunu Lilin (mendatangkan induk lebah) h. Ngambil tangkai i. Ngancau penyedai j. Ngetau k. Mungkal kuyan l. Nyimpan di lumbung m. Gawak (tutup tahun) Dalam berbagai aktivitas tradisi mereka, misalnya ketika akan menanam padi atau aktivitas apapun, mereka selalu melakukan persembahan dalam bentuk sesaji yang dipersembahkan kepada Betara. Sesaji-sesaji tersebut dapat ditemui disepanjang jalan menuju sungai, ladang, hutan, maupun jalan yang menuju perkampungan. Sesaji ini dipersiapkan untuk memohon perlindungan dan keselematan. Sesaji juga dipersembahkan untuk menghindari amarah dari para arwah penghuni kawasan. 84

106 Selain ada beberapa keharusan yang dilakukan melalui upacara ritual, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga mengenal adanya berbagai larangan yang tidak boleh dilakukan baik oleh orang Dayak Iban maupun orang luar. Jika larangan ini dilanggar maka akan terjadi malapetaka bagi yang melanggarnya yang disebut sebagai tulah. Larangan-larangan tersebut, antara lain pada waktu sudah mulai mendekati panen (mulai panen) bulan 1 dan 2, tidak boleh menebang kayu di tempat dekat ladang orang, atau kedengaran bunyi kayu sampai ke ladang tersebut. Apabila hal tersebut dilakukan, maka dikenakan denda hukum adat, berupa potong ayam, sesaji pada piring kaca, uang sebesar Rp ,-. Jika tidak dilakukan maka hasil panennya bisa kurang bagus. Larangan lain yaitu tidak boleh menarik rotan dipinggir ladang, tidak boleh makan melewati ladang, makan sambil jalan tidak boleh, kalau duduk boleh. Tidak boleh mengambil buah mentimun sebelum panen, kemudian dimakan sambil jalan melewati ladang. Sementara itu, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa hasil panennya tidak boleh dijual, hanya untuk keperluan sendiri. Selain pemberian sesaji kepada roh nenek moyang dan Betara, ada tradisi besar yang selalu dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban yaitu gawai (gawak). Tradisi ini merupakan pesta panen yang dilakukan setiap tahun sekali setelah panen (panen padi) selesai. Hari gawai sendiri diperingati setiap tanggal 1 Juni sesuai yang ditetapkan oleh Dayak Iban di Malaysia. Namun biasanya setiap koloni Dayak Iban mempunyai kalender sendiri, sehingga jatuh hari gawai bervariasi bisa dimulai pada pertengahan sampai akhir bulan Mei atau justru selama awal sampai pertengahan bulan Juni. Untuk kepentingan gawai ini, penduduk diwajibkan menyiapkan berbagai keperluan, antara lain penyediaan tuak dan penyediaan makanan serta berbagai sesaji. Selain menyiapkan tuak, masyarakat secara bersama sama juga harus menyiapkan makanan baik berupa sayur-sayuran, ikan maupun daging. Sayur yang biasa dimasak untuk hari gawai adalah sayur pulut (yang berasal dari akar/ bagian bawah pohon seperti pohon sawit, sayur terong asam, dan daun singkong. Adapun untuk keperluan ikan biasanya diperoleh dari hasil memancing atau menjaring ikan di Sungai yang dilakukan oleh bapak-bapak secara berkelompok. Untuk mengambil ikan tersebut seringkali mereka menginap sampai dua hari di 85

107 Sungai. Adapun untuk kebutuhan daging, biasanya mereka melakukan perburuan (berburu). Namun sekarang sudah sulit untuk mendapatkan babi hutan, kadangkadang hanya mendapatkan kancil, mencak atau landak. Upacara gawai pada tahun 2012 diadakan pada tanggal 27 mei 2012, dengan upacara nimang cucung tahun. Upacara ini dimulai sejak tanggal 26 Juli 2012 (satu hari sebelumnya) dengan prosesi pengumpulan benih padi di gereja dan di bilik tuai rumah, pemotongan babi 1 ekor dan 1 ekor ayam di salib dan 1 ekor babi dan 1 ekor ayam di tanah keramat. Adapun prosesi acara gawai pada tanggal 27 Mei diawali dengan penyambutan para tamu (istilah Dayak Iban disebut penyambang). Para tamu masuk dari pintu arah hilir yang disambut di atas tangga oleh tuai rumah. Tamu pertama adalah orang yang dianggap dituakan, yaitu Tuai Rumah Dusun Mungguk. Upacara gawai ini ada berbagai macam jenis, ada yang disebut nimang cucung tahun, nimang bunga tahun, ada yang disebut kelingkang, babi lemai. Selain adanya berbagai ritual dalam setiap tahapan kegiatan pertanian, sebagai petani ladang, Suku Dayak Iban juga menggunakan bintang sebagai petunjuk dalam memulai aktivitas pertanian. Ketika rasi bintang tertentu sudah terlihat maka mereka akan memulai untuk melakukan aktivitas membuka ladang. Namun dalam melihat hasil panen pun mereka melakukan peramalan dengan melihat rasi bintang. Rasi bintang yang paling dikhawatirkan oleh mereka adalah jika rasi bintang salib condong kearah Barat atau Timur, karena itu merupakan pertanda bahwa hasil panen padi musim itu akan sedikit. Langit, bumi, dan sungai merupakan tiga unsur penting yang turut menciptakan tradisi Iban sampai sekarang. 4.2.f. Pengetahuan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Tentang Tata Kelola Hutan 86 Pada Masyarakat Dayak Iban, pengetahuan dan pengaturan tata kelola hutan terpadu dengan pengetahuan dan pengaturan tata guna tanah, fungsi tanah, hutan dan alam yang dimaknai sebagai warisan dari nenek moyang untuk anak cucu mereka di masa depan. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mempercayai bahwa manusia tidak hidup sendiri, setiap tempat ada penghuninya. Begitulah yang menjadi dasar filosofi dalam setiap gerak dan laku orang Iban. Meskipun

108 beragama Katholik, namun kepercayaan mereka terhadap arwah nenek moyang tidaklah luntur. Nenek moyang yang selalu mengarahkan mereka dalam mengambil keputusan. Jika dalam kegiatan rohani atau keagamaan mereka percaya kepada Allah, namun dalam tradisi mereka juga percaya kepada roh leluhur atau Betara. Roh leluhur inilah yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu, pemanfaatan alam termasuk kayu, binatang maupun ikan di Sungai harus seizin roh nenek moyang. Ketaatan terhadap adat dan kepercayaan akan adanya roh nenek moyang sebagai pemilik pertama dari sumberdaya alam yang mereka miliki, membuat hidup mereka selaras dan menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Dalam hubungannya dengan sumberdaya hutan, Masyarakat Dayak Iban mempunyai pengetahuan dan pengaturan tata kelola hutan yang berbasis pengalaman dan sejarah yang diwariskan secara turun temurun. Pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan tersebut mengatur pengelolaan hutan dengan membagi hutan Sungai Utik ke dalam 3 (tiga) kawasan yang memiliki fungsi berbeda, yaitu: kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Lebih jelasnya konsep pengelolaan hutan pada Masyarakat Dayak Iban dapat digambarkan, sebagai berikut: 1. Kampong Taroh, merupakan kawasan hutan yang tidak boleh diladangi dan tidak boleh diambil kayunya. Dalam kawasan ini terdapat sumber mata air, tanah berantu dan tempat berkembang biak dan mencari makan binatang. Letaknya agak di perhuluan sungai, disana kita menemukan danau kecil yang rasanya agak asin. Danau ini suku Dayak Iban sebut dengan sepan jelu, tempat binatang hutan minum. Kampong taroh disebut juga hutan simpan, yaitu suatau kawasan hutan yang dilindungi, yang berfungsi sebagai hutan cadangan, dan merupakan milik umum orang sekampung. Kawasan ini tidak boleh diladangi atau secara sengaja ditebang kayunya secara besar-besaran sehingga menjadi gundul. 2. Kampong Galao, merupakan kawasan hutan cadangan produksi terbatas. Masyarakat mengambil tanaman obat-obatan, kayu api atau batang kayu untuk membuat sampan. Pengambilan hasil hutan dalam kawasan ini dilakukan secara terbatas dan diawasi dengan ketat. Tidak seorang pun boleh berladang, 87

109 apalagi merusak hutannya. Sanksi hukum adat bagi pelanggar sudah disiapkan. Orang yang berhak memanfaatkannya hanya penduduk dalam kampung yang berada dalam kawasan tersebut. Dalam kawasan hutan ini juga bisa dijumpai sepan jelu, tanah mali dan tanah berantu. Pada kawasan Kampong galao, ada yang disebut dengan pulau, yaitu suatu kawasan hutan yang berfungsi sebagai hutan cadangan yang penguasaannya secara pribadi yang secara sadar diperuntukan bagi keberlanjutan eksistensi generasi Masyarakat Dayak Iban. Kawasan ini tidak boleh dijadikan areal ladang dan kayu yang ada hanya boleh dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan tidak untuk diperjual belikan, sekalipun itu milik pribadi. 3. Kampong Endor Kerja, merupakan kawasan produksi berkelanjutan yang dikelola secara adil dan lestari. Dalam kawasan ini terdapat tanah mali dan tanah bertuah yang tidak boleh menjadi kawasan produksi. Masyarakat menghindari menebang kayu dalam dua lokasi tersebut. Sehingga keberlanjutan produksi dengan sistem ini sangat dimungkinkan. Sumber bibit kayu atau tumbuhan lainnya masih tersedia cukup dalam dua lokasi ini. Selain itu, Masyarakat membiarkan anakan kayu dengan diameter di bawah 30 cm dan kayu kecil lainnya yang siap menggantikan pohon yang sudah ditebang. Dalam kawasan ini ada yang disebut umai, yaitu suatu kawasan yang secara khusus diperuntukan sebagai areal ladang, yang dalam bahasa lokal disebut umai pantai (ladang lahan kering). Pada Masyarakat Dayak Iban juga terdapat hukum adat yang mengatur pengelolaan sumberdaya hutan. Melalui hukum adat mereka, mereka mengatur pembatasan pengambilan kayu sekalipun kayu yang diambil tersebut berada pada wilayah lahan garapan mereka (hutan produksi) maupun lahan hutan adat (hutan produksi terbatas). Seperti dijelaskan oleh Bapak CB, sebagai berikut: Pada Masyarakat Dayak Iban Sui Utik ada pembatasan menebang kayu. Maksimal satu orang boleh menebang kayu tidak lebih dari 30 pokok. Apabila melebihi maka akan dikenakan sanksi berupa denda yang besarnya disepakati bersama. Dulu pernah ada juga masyarakat yang melanggar ketentuan adat dan terkena sanksi adat berupa denda, namun kejadian ini sudah lama terjadi. Segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran nilai-nilai adat dikenakan denda, yang sekarang 88

110 sebagian besar dendanya sudah dikonversi ke dalam bentuk uang. Semakin besar tingkat pelanggaran maka semakin besar pula denda yang harus dibayarkan. Seperti dijelaskan oleh Bapak CB bahwa ada satu kasus dimana anak TMG dulu pernah menebang pohon dari hutan, lalu kayu-kayunya dihanyutkan ke sungai dengan tujuan akhir di Pontianak. Namun bisnis ini dipandang tidak menguntungkan karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keuntungannya, disamping dia harus mendapatkan hukuman adat ketika diketahui oleh Tuai Rumah selaku penjaga adat Sungai Utik. Karena kapok, semenjak kejadian tersebut dia tidak pernah melakukan hal serupa. Kini ia hanya berladang dan menyadap karet. Besarnya denda yang harus dilakukan bukan merupakan alasan satusatunya, ada alasan lain yang lebih ditakuti yaitu keberadaan roh nenek moyang yang menjaga hutan. Apabila hasil hutan diambil tanpa izin maka akan terkena tulah dalam istilah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tulah memiliki makna yang sama dengan kualat yaitu hukuman supranatural terhadap pelanggaran yang dilakukan Masyarakat. Masyarakat Dayak Iban juga percaya pada kekuatan supranatural. Apabila melanggar aturan adat, termasuk mengambil kayu atau menginjak kawasan yang terlarang oleh adat, seperti berladang atau mengambil kayu pada kawasan hutan kampong taroh atau berladang di tanah mali, maka akan terjadi tulah. Tulah ataupun kualat bisa berupa penyakit yang tidak sembuhsembuh. Selain konsep tentang tata kelola hutan, Masyarakat Dayak Iban juga mengenal konsep tentang tata guna lahan. Konsep tata guna lahan tersebut digunakan oleh Masyarakat Dayak Iban dalam mengatur hubungan manusia dengan alam, sebagai berikut: 1. Damun: suatu kawasan bekas ladang a. Temuda : bekas ladang tahun ini b. Krukoh : bekas ladang 2 tahun lalu c. Damun : bekas ladang lebih dari 3 tahun 2. Danau: Kawasan air yang tergenang (Danau). 3. Engkabang:Kebun engkabang 4. Kebun karet, yaitu kawasan perkebunan karet milik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun sebenarnya pada kebun karet ini juga terdapat tanaman-tanaman lainnya yang lebih kecil dari pohon karet. 89

111 5. Keramat: keramat adalah daerah yang tidak boleh dibuka sebagai areal rumah panjae maupun sebagai kawasan ladang. Keramat ini terdiri atas tanah mali dan pendam. a. Tanah Mali: suatu kawasan hutan/tanah pantang, tidak boleh dibuka sebagai areal ladang dan kayu/tanahnya tidak boleh diambil dari tempat ini. Biasanya tanah mali digunakan sebagai tempat untuk menyembelih babi/ayam yang digunakan sebagai bahan pada saat upacara adat mali yang dalam bahasa lokal disebut pase menua. b. Pendam; suatu tempat yang digunakan sebagai tempat perkuburan. Kawasan ini tidak boleh diladangi. Dalam kehidupan Masyarakat Dayak Iban ada beberapa jenis pendam : i. Pendam biasa; kuburan yang dapat digunakan secara umum oleh semua warga kampung. ii. Rarong; kuburan yang secara khusus diperuntukan bagi orangorang yang usianya tua/berjasa/pahlawan dalam Masyarakat Dayak Iban. Rarong merupakan suatu bentuk kuburan yang tidak dimasukan kedalam tanah (Rarong Terantar), tetapi untuk rarong biasa di masukkan kedalam tanah. iii. Pendam anak, kuburan yang dgunakan untuk menguburkan bayi yang belum putus tali pusatnya 6. Payak, disebut juga tanah kerapa, merupakan kawasan lahan basah atau yang biasa dikenal sebagai tanah rawa yang digunakan sebagai areal perladangan, dalam bahasa lokal disebut umai payak (ladang lahan basah). 7. Pemukiman: Kawasan yang diperuntukkan untuk tempat tinggal. Pada kawasan pemukimn ini termasuk taba dan kampong puang. a. Taba merupakan suatu tempat/ kawasan yang akan didirikan rumah panjae untuk menentukan taba ini tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, hal dilakukan harus melalui upacara adat. b. Kampong puang/ tanah adat, yaitu suatu tanah/hutan yang dimiliki secara kolektif/ bersama-sama oleh orang keturunan subsuku Dayak Iban didalam suatu perkampungan tempat didiaminya. Setiap orang 90

112 Iban yang tinggal dikawasan tersebut berhak atas tanah/ hutan tersebut. 8. Rimba, yaitu kawasan hutan 9. Tembawai (Temawai): Tembawai, adalah suatu kawasan bekas mendirikan rumah panjae atau langkau (pondok). Dalam mempertahankan lahan/ tanah dan sumberdaya alam yang dimilikinya, Masyarakat Dayak Iban memiliki kosmologi: tanah adalah darah ngau seput kitae, yaitu tanah adalah nafas. Hal tersebut bermakna bahwa penguasaan masyarakat atas tanah dan kawasan hutan Sungai Utik tersebut bersifat otonom. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memberi ruang untuk keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan. 4.2.g. Dusun-Dusun Di Sekitar Dusun Sungai Utik Di sekitar kawasan hutan Sungai Utik terdapat Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang, yang terdiri atas: Dusun Sui Utik dan Dusun Kulan yang termasuk wilayah Desa Batu Lintang, Dusun Ungak, Dusun Sungai Teblian dan Dusun Apan yang termasuk dalam wilayah Desa Langen Baru dan Dusun Mungguk dan Dusun Laok Rugun yang masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Rantau Perapat. Secara administratif, Dusun Sungai Utik, Kulan, Ungak, Apan, Sungai Teblian, Mungguk dan Laok Rugun masuk kedalam wilayah Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Ketujuh dusun di Jalai Lintang tersebut berada di bawah satu Ketemenggungan Jalai Lintang. Setelah ketemenggungan yang dipimpin oleh orang Sui Utik berakhir, kini jabatannya beralih ke Bapak Vincensius Jebang (VJ) yang bertempat tinggal di Dusun Kulan. Temenggung tersebut sebelumnya merupakan Tuai Rumah Dusun Kulan. Seorang temenggung dipilih berdasarkan cara-cara demokratis oleh seluruh warga Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang. Seseorang dapat diajukan untuk menjadi seorang temenggung dan diakui sebagai pemimpin apabila mereka mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang adat dan tradisi, dan biasanya usianya lebih tua daripada warga lainnya. Seorang temenggung, kekuasaannya mencakup 7 kampung di Jalai Lintang. Selain mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi, temenggung juga mempunyai wewenang yang lebih luas. Seorang 91

113 temenggung dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh dua orang pateh. Pateh memiliki kekuasaannya setingkat di bawah temenggung. Kewenangan temenggung adalah menyelesaikan perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh pateh dan tuai rumah. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh tuai rumah maka ditangani oleh pateh. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh pateh maka diselesaikan oleh Temenggung. Seorang temenggung juga dituntut bersikap jujur, bijaksana dan tegas, hal serupa juga berlaku bagi pateh dan tuai rumah. Temenggung adalah kepala suku yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun, sedangkan yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di masingmasing dusun adalah tuai rumah. Tuai rumah adalah penguasa di rumah panjang. Tuai rumah inilah yang mengatur dan memimpin masyarakat secara adat tradisi Dayak Iban yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun. Keadaan jumlah Penduduk saat ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 7. Jumlah KK dan Jiwa di Tujuh Dusun Ketemenggungan Jalai Lintang No Nama Kampung Jumlah KK Jumlah Jiwa 1 Sungai utik Kulan, Ungak Apan, Sungai Teblian Mungguk TK TK 7 Lao Rugun TK TK (Sumber: Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun, 2012) Dalam memandang hutan, masyarakat di ketujuh Dusun tersebut relatif mempunyai pengetahuan lokal yang hampir sama tentang konservasi hutan. Ada beberapa wilayah dengan sebutan khas untuk mendefinisikan setiap kawasan pada Dusun-Dusun tersebut, yaitu: hutan simpan atau rimba galau; tanah mali; pulau pendam; tembawai; damun. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar (kumpang), masyarakat kebanyakan mengambilnya dari tepi Sungai. Selain itu ada juga yang mengambil dari rimba galau. Sekalipun konsep konservasi pada ketujuh Kampung tersebut hampir sama, namun tindakan yang dilakukan oleh ketujuh Kampung terhadap hutan mereka berbeda-beda. Dari tujuh komunitas Dayak Iban, ada beberapa komunitas/ Kampung yang terlibat dalam praktik illegal logging secara langsung, yaitu: Dusun Sungai Teblian, Ungak, Kulan, dan 92

114 Mungguk. Adapun Dusun Apan, Laok Ruggun dan Sungai Utik tidak pernah melakukan kegiatan sawmill (illegal logging). Ada berbagai perbedaan dan kesamaan dalam karakteristik, persepsi, sikap dan kejadian pada ketujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Perbedaan dan kesamaan ini yang menjadi pembeda karakteristik Dusun Sungai Utik dengan dusun-dusun lainnya. Kesamaannya adalah sama-sama sebagai satu kesatuan Masyarakat Dayak Iban yang memiliki tradisi dan pengetahuan yang sama tentang hidup selaras dengan alam. Kesamaan lain adalah memiliki masalah yang sama yaitu masalah perebutan penguasaan atas sumberdaya hutan baik dengan negara pusat (pemerintah pusat), maupun dengan negara lokal (pemerintah daerah atau pemda); gempuran pengaruh dari pengusaha/ cukong kayu dari Malaysia yang datang menawarkan dollar dan ringgit untuk ditukar dengan kayu. Lebih jelasnya perbedaan dan persamaan kondisi diketujuh Dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang dapat dikemukakan dalam tabel berikut: 93

115 Tabel 8. Kondisi Masyarakat di Sekitar Hutan Sungai Utik DAYAK IBAN KULAN/ SUNGAI APAN UNGAK MUNGGUK LAO SUNGAI UTIK PULAN TEBLIAN RUGUN Mata Pencaharian Pertanian padi Pertanian Pertanian padi Pertanian Pertanian Pertanian padi Pertanian (Livelihood) Utama Perkebunan karet padi Perkebunan karet Perkebunan karet padi Perkebunan karet padi Perkebunan karet Perkebunan karet padi Perkebunan karet Merantau Ke Malaysia Sedikit Banyak Banyak Banyak Banyak Sedikit Sedikit Zonasi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Hukum Adat Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Pengelolaan Hutan Lestari Pernah Illegal logging Pernah Illegal logging Pernah Illegal logging Pernah Illegal logging Pernah Illegal logging Luas Hutan 6.856,77 ha 6, ha 2, ha ha 1, ha Tk Tk Luas Kerusakan Hutan ha 100 ha 100 ha 100 ha 6000 ha - Lahan Kritis/ Damon/ 2, ha 1, ha 1, ha ha 1, ha Tk Tk Damun Kepala Suku Ada Ada Merantau Ada Ada Ada Ada Modal Sosial Kuat Lemah Lemah Lemah Lemah Kuat Kuat Sistem Ketahanan Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Pangan Ritual Adat bercampur Adat Adat tidak Agama lebih Adat lebih agama bercampur agama kental dominan dominan Lestari Adat murni Adat lebih dominan Sumber: Dokumentasi Tertulis Desa Batu Lintang, Desa Langen Baru, Desa Rantau Prapat, Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun dan hasil wawancara Tahun Keterangan; TK = tidak diketahui 94

116 Masalah terkini yang sedang dihadapi oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan dusun-dusun lainnya dalam Ketemenggungan Jalai Lintang adalah menghaddapi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu yang menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) untuk PT. RU berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 januari Keberadaan kebijakan pemerintah tersebut telah memberi tekanan (konflik) pada Masyarakat Dayak Iban Jalai Lintang dan Dayak Embaloh Hulu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kapuas Hulu, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau) melihat wilayah Sungai Utik dan Kecamatan Embaloh Hulu sebagai suatu peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam pertimbangannya, apabila wilayah tersebut dibangun melalui dana pemerintah maka pemerintah tidak akan sanggup. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu mencoba mendatangkan investor untuk memanfaatkan kawasan di wilayahnya dengan harapan adanya keuntungan berlipat, seperti dibangunnya infrastruktur jalan, masuknya pendapatan ke kas daerah, tersedianya lapangan pekerjaan, tumbuhnya ekonomi lokal di sekitar kawasan. Atas dasar pertimbangan tersebut, dikeluarkan kebijakan pemberian izin (IUP) untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kebun karet dan kebun sawit. Pemikiran Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu tersebut tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh masyarakatnya. Ada kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa jika lahan ladang masyarakat digunakan sebagai kebun sawit, maka masyarakat akan kehilangan lahan garapannya, dan terjadinya perubahan mata pencaharian dari petani karet menjadi buruh kasar di kebun sawit. Sementara itu, bekerja di kebun sawit membutuhkan intensitas kerja tinggi, padahal pengalaman kerja di kebun karet itu sangat santai, sehingga mereka khawatir tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Hal tersebut menjadi salah satu pemikiran masyarakat untuk menolak kebijakan perkebunan sawit yang 95

117 direncanakan oleh pemerintah daerah. Pemikiran masyarakat tersebut menjadi sangat beralasan, manakala pengusaha hanya menawarkan harga tanah yang sangat rendah untuk mengganti lahan kebun karet milik masyarakat yang akan dijadikan sebagai kebun sawit. Tanah kebun karet warga dihargai Rp ,- per hektar, sedangkan tanah ladang padi dihargai Rp per ha. Rendahnya penggantian tanah tersebut tentu saja menimbulkan reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Masyarakat yang tergabung dalam Ketemenggungan Jalai Lintang bersatu dan mengadakan sumpah beras kuning untuk melakukan penolakan terhadap perkebunan sawit. Selain kekhawatiran karena kehilangan lahan garapan, juga ada kekhawatiran kehilangan sumber pendapatan. Jika kawasan karet masyarakat tersebut dirubah menjadi kawasan sawit, ada kekhawatiran dari masyarakat mengenai kehidupan mereka kelak. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada hasil tani dan hasil karet. Hasil pertanian padi baik sawah maupun ladang yang mereka peroleh hanya cukup untuk kebutuhan makan/ beras bagi keluarga mereka sendiri. Sedangkan kebutuhan lain-lainnya bertumpu pada hasil perkebunan karet. Dari hasil menoreh 100 batang pohon karet per hari dapat menghasilkan 3-5 kg karet, dengan harga karet paling murah Rp ,- dan paling mahal bisa sampai Rp per kg, sehingga rata-rata per hari pendapatan masyarakat yang hanya mampu menoreh karet 100 pohon per hari paling rendah akan memperoleh pendapatan sebesar Rp ,- dan paling tinggi akan memperoleh pendapatan Rp ,-.sebagai contoh keluarga Pak RM memiliki 5000 pohon karet, namun kemampuan menyadap karet perorang per hari sangat terbatas, paling banyak hanya bisa mencapai angka 500 pohon perhari. Keluarga rm pernah menyadap karet selama satu minggu (6 hari) mendapat 6 karung 50 kg, sehingga hasilnya sekitar 300 kg. Pada waktu itu harganya Rp per kg, sehingga dalam seminggu dapat hampir Rp ,-. Berkenaan dengan kebijakan pemerintah daerah tentang penerbitan IUP untuk perkebunan sawit terssebut telah menimbulkan reaksi yang beragam dikalangan Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Sekalipun menurut keterangan 96

118 beberapa pihak, Hutan Sungai Utik akan dikecualikan/ dikeluarkan dari kawasan rencana perkebunan sawit, karena Sungai Utik sudah memiliki sertifikat ekolabeling dan penerima penghargaan sebagai desa teladan perduli hutan. Namun kondisi hutan yang berdekatan, setidaknya akan mendapat pengaruh langsung dari keberadaan perkebunan sawit bagi kebun karet milik warga. Oleh karena kebijakan pemerintah daerah tersebut menjadi sumber masalah baru dalam konflik sumberdaya hutan. Adapun sikap masyarakat dalam menanggapi permasalahan sawit ini terbagi dalam tiga sikap, yaitu: 1. Kekhawatiran Masyarakat Dayak Iban lebih didominasi karena faktor ekonomi, yaitu untuk keberlanjutan kehidupan mata pencaharian dan pendapatan mereka, sehingga keberadaan sawit dipandang merugikan untuk daerah-daerah yang kebetulan masyarakatnya memiliki pohon karet paling sedikit 500 pohon setiap rumahnya, seperti di Dusun Mungguk, Laok Rugun dan Sungai Teblian. Namun ketika sawit dipandang lebih menguntungkan, masyarakat memilih untuk menerima sawit karena sawit dapat memberikan alternatif mata pencaharian, disamping keberadaan sawit akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dengan dibangunnya berbagai infrastruktur termasuk jalan. Sikap ini ditunjukkan oleh Masyarakat Dusun Ungak. Adapun dusun apan masih bersikap menunggu contoh keberhasilan sawit di tempat lain. Jika menguntungkan, masyarakat bersedia merubah lahannya menjadi perkebunan sawit. 2. Sikap masyarakat yang kedua adalah dilandasi karena pertimbangan ekonomi dan lingkungan, dimana selain pertimbangan faktor mata pencaharian dan terambilnya lahan, juga mereka sudah mulai memikirkan lingkungan. Berdasarkan pengetahuan masyarakat bahwa tanaman sawit dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, karena sawit tidak memberi peluang untuk hidup tanaman lain, disamping berbagai zat kimia yang digunakan baik dari penggunaan pupuk atau obat-obatan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dari limbah buangannya. 3. Sikap yang ketiga ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik dimana pertimbangan utama yang mereka kemukakan untuk menerima dan menolak sawit adalah karena faktor bahaya lingkungan. Seringnya Masyarakat 97

119 Sungai Utik mengikuti berbagai macam lokakarya yang terkait dengan lingkungan membuat pemahaman mereka tentang pentingnya lingkungan jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat dusun lain. Sekalipun Ketemenggungan Jalai Lintang sudah menolak perkebunan sawit dengan sumpah beras kuning, namun beberapa masyarakat memutuskan untuk menerima rencana pemerintah untuk membangun perkebunan sawit seperti yang terjadi di Dusun Ungak. Karena suara terbanyak memutuskan menerima perkebunan sawit, maka tuai rumah mengikuti keputusan masyarakat. Suara masyarakat mayoritas akhirnya yang menentukan. Namun demikian, keputusan ini bertentangan dengan keputusan ketemenggungan, sehingga di kalangan Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang telah terjadi saling mencurigai (konflik laten antar dusun). Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat dapat diketahui bahwa ada kesamaan dan perbedaan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan Masyarakat Dayak Iban di dusun-dusun lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Berdasarkan perbandingan dengan Dusun-Dusun lain dapat dikatakan bahwa Sungai Utik mempunyai kekhasan yaitu sekalipun mengalami masalah yang sama, namun sikap yang ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik berbeda. Masyarakat tetap berusaha mempertahankan hutannya sekalipun sikapnya tersebut membawa Sungai Utik berkonflik dengan berbagai pihak Perbandingan TNGHS dan Sungai Utik (Analisis Fisik, Sosial, Politik) Studi ini mengenai konflik sumberdaya hutan pada dua lokasi yang berbeda yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) di Provinsi Jawa Barat- Banten dan hutan Sungai Utik Provinsi Kalimantan Barat. Pada wilayah TNGHS, ada konflik antara negara dengan masyarakat adat. Negara dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedangkan masyarakat dalam konteks ini adalah Masyarakat Kasepuhan. Di tingkat grassroot, konflik menghadapkan Masyarakat Kasepuhan dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) selaku pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk kepentingan penelitian ini akan difokuskan pada Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna 98

120 Resmi di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Adapun di Hutan Sungai Utik ada konflik antara negara pusat dengan masyarakat lokal. Negara pusat dalam konteks ini adalah Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPKH). Adapun masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam konflik ini, melibatkan pengusaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Konflik di lapangan menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha pemegang IUPHHK (PT. BRW). Di kawasan Sungai Utik juga terdapat konflik negara lokal dengan masyarakat lokal. Negara lokal adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan masyarakat lokal adalah Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Untuk kepentingan studi ini akan dibatasi fokus perhatian pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun demikian keduanya memiliki kesamaan, yaitu lahan hutan tersebut diklaim sebagai lahan masyarakat adat. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ada Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan di Sungai Utik ada Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Perbandingan dua lokasi studi tersebut lebih jelasnya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: 99

121 Matrik 1. Perbandingan Lokasi Studi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik TAMAN NASIONAL GUNUNG HUTAN SUNGAI UTIK HALIMUN SALAK (TNGHS) Jenis Hutan Konservasi Produksi Wilayah Studi Desa Sirna Resmi Dusun Sungai Utik Desa batu Lintang Luas Wilayah 4917 hektar, yang sebagian besar adalah taman nasional (4000 hektar) ,50 Hektar, dengan luas wilayah hutan 6.856,77 hektar Masyarakat Adat Sekitar Hutan Masyarakat yang menjadi Wilayah Studi Masyarakat Kasepuhan yang terdiri atas 22 Kasepuhan, yaitu Di Banten ada 19 Kasepuhan, di Sukabumi 3 Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya, dan Cipta Gelar. Selain itu, masih ada beberapa Kasepuhan di Daerah Gunung Salak. Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi (Abah Asep), yang berada di Desa Sirna Resmi. Jumlah 4803 orang, (penduduk Desa Sirna Penduduk Resmi) Sumber: Data Hasil Penelitian Lapangan, Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang yang terdiri dari 7 sub suku: Dayak Iban Sungai Utik dan Dayak Iban Kulan (di Desa Batu lintang) Dayak Iban Apan, Dayak Iban Sungai Teblian, dan Dayak Iban Ungak (di Desa langen Baru) Dayak Iban Lauk Rugun dan Dayak Iban Mungguk (di Desa Rantau Prapat) Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik dalam Ketemenggungan Jalai Lintang yang berada di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang 279 orang (penduduk Dusun Sungai Utik) 4.4. Multiple Basis of Land Rights danmultiple Basis of Access: Dalam memahami penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam, ada beberapa konsep yang berlaku di Indonesia. Ada tanah yang dimaknai sebagai hak milik (land right), tetapi ada juga penguasaan tanah yang hanya dimaknai sebagai hak akses. Selanjutnya hak milik dan hak akses ini ada yang didefinisikan oleh negara, ada juga yang didefinisikan berdasarkan adat budaya masyarakat setempat. Adanya definisi hak yang berbeda antara negara dan masyarakat adat inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pengakuan hak oleh negara dan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara negara dan masyarakat adat. Konflik dalam pengakuan hak atas tanah dan sistem pengelolaan dan penguasaan sumberdaya alam antara negara dan masyarakat adat juga diakui 100

122 oleh negara dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana konflik terjadi akibat penetapan kawasan hutan secara sepihak dari zaman Hindia Belanda sampai era Pemerintah Orde Baru dan masih dipertahankan sampai sekarang. 4.4.a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara 4.4.a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, persoalan masyarakat adat sudah menjadi persoalan tersendiri untuk Pemerintah Belanda, dan Belanda mengakomodasinya dalam peraturan perundang-undangan saat itu. Melalui IGO (Inlandshe Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 No 83, Pemerintah Belanda mengakui pemerintahan desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, No 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa-Madura. Oleh karena itu, di era Kolonial Belanda, pemerintah tidak berusaha menciptakan struktur baru bagi masyarakat desa, tetapi memberikan pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan adat di pedesaan (Zakaria, 2000). Dengan keberadaan IGOB tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda seakanakan memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, namun ketika dihadapkan dengan penguasaan tanah dan sumberdaya, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang lain yang disebut domeinverklaring. Kebijakan ini sudah dimulai sejak zaman Raffles tahun Ketika itu, Raffles mendeklarasikan bahwa hak penguasaan atas lahan di Jawa disatukan dalam kepentingan kedaulatan Eropa sebagai pewaris kedaulatan Jawa. Untuk menjamin penafsiran ekspansif Deklarasi Raffles, setiap lahan yang tidak digarap atau telah dibiarkan selama lebih dari 3 tahun, dianggap sebagai lahan sisa yang tidak ada pemiliknya. Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kembali Deklarasi Raffles dengan menyatakan bahwa lahan sisa di kawasan Jawa dan Madura merupakan milik negara. Belakangan, konsep ini juga diterapkan di wilayah kekuasaan tidak langsung Belanda, seperti Domeinverklaring untuk Sumatera (Pasal 1, Staatsblad 101

123 f), Domeinverklaring untuk Manado (Pasal 1, Staatsblad ), Domeinverklaring untuk Borneo/ Kalimantan (Pasal 1 Staatsblad ). (Lihat Lynch dan Harwell, 2002 dalam Steni, 2008). Selanjutnya, dalam pelaksanaan Domeinverklaring tersebut, negara kolonial mempromosikan sertifikat-sertifikat tanah. Tanah yang bersertifikat ini dikeluarkan dari Domeinverklering. Hal ini tentu saja tidak terjangkau oleh hukum-hukum adat. Domeinverklaring atau pernyataan tanah negara lewat Agrarische Besluit yang melaksanakan Agrariche Wet tahun 1870 dan Bosch Ordonantie (Peraturan Pelaksana Tentang Kehutanan) tahun 1920, sekalipun IGOB mengakui keberadaan masyarakat adat, namun melalui Domeinverklaring ini, negara menggusur penguasaaan sumberdaya oleh masyarakat adat yang tidak memiliki bukti formal. Dengan begitu, pengakuan atas hukum adat adalah bagian dari upaya preservasi agar masyarakat adat tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk mengklaim hak-hak yang setara, sebagaimana tertuang dalam semangat hukum liberal. Dengan demikian, di atas tanah-tanah masyarakat adat, hukum Barat secara bebas diterapkan karena kawasan-kawasan tersebut sudah sejak dini ditetapkan sebagai kawasan negara. Struktur-struktur adat pun diakui tetapi sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, dimana menunjuk struktur pribumi adalah kecerdikan politik yang canggih karena kekuatan kontrol kolonial melebur masuk jauh ke relung-relung ketaatan tradisional warga adat kepada tetua mereka (Zakaria, 2000, McCarthy, 2001, dalam Steni, 2008). Pada masa pendudukan Jepang ( ), pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini tertuang dalam Osamu Seirei No. 27 (2602 atau 1942), kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 30 tahun Berdasarkan UU Osamu Senrei No.1 Tahun 1942, UU dari pemerintah terdahulu tetap diakui selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Dengan demikian kebijakan negara pada saat itu sama dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. 4.4.a.2. Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka Setelah Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar Dalam konsep Negara Republik Indonesia, bahwa hak tanah seutuhnya merupakan hak negara, sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal

124 Ayat (3), yaitu Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tersebut mengisyaratkan bahwa tanah termasuk sumberdaya hutan adalah milik negara, artinya rightnya ada pada negara. Sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, telah diatur mengenai hak masyarakat adat, yaitu pada pasal 18B(2), bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 28I (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan demikian, UUD 1945 mengakui adanya kesatuan masyarakat adat dan hak-haknya dengan syarat bahwa masyarakat hukum adat tersebut sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang-undang. Selanjutnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1948, Peraturan tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Dalam penjelasan pasal 18 UU ini disebutkan bahwa menurut undang-undang pokok ini, daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18 UU tersebut disebutkan bahwa untuk memenuhi Pasal 33 UUD 1945, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu desa harus dibuat dalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern). Untuk mengatur daerah di bagian Timur Indonesia UU Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, telah diterbitkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur. Menurut Ayat 5 Pasal 17 Undang-Undang tersebut, Kepala 103

125 Daerah Swapraja diangkat oleh pemerintah pusat dari keturunan keluarga Swapraja dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah atas pencalonan dari D.P.R.D. (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Swapraja yang bersangkutan. Pada undang-undang inipun tersurat adanya pengakuan atas adat istiadat. Undang-Undang Negara Indonesia Timur (NIT) No.44/1950 adalah satu-satunya undang-undang dari Pemerintahan N.I.T. dahulu yang berlaku di Indonesia Timur dan yang mengatur pokok-pokok tentang pemerintahan daerah. Namun kemudian UU No. 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 ini dibatalkan dengan pemberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1957 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang dilengkapi dengan UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tonggak penting pengakuan atas tanah dan sumberdaya alam negara maupun masyarakat hukum adat ada pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebut UUPA. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan didalamnya. UUPA juga mengakui adanya hak ulayat (pada Pasal 3 Undang-Undang tersebut), sebagai berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum 104

126 adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 tersebut menentukan, bahwa: "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan yang lebih tinggi". Pengaturan mengenai hak masyarakat dan hukum adat ini juga termuat dalam Pasal 5, Pasal 16 UUPA ini. Hukum adat dan hak ulayat mendapat perhatian dalam UU Pokok Agraria ini, bahkan disebutkan dalam Pasal 22, bahwa (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 50, bahwa (1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang. Pasal 56 menyebutkan bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Namun dalam penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut diterangkan sebagai berikut: karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada 105

127 hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat. Agar tidak terjadi dualisme hukum yaitu antara hukum adat dan hukum Barat, maka dalam batang tubuh UUPA disebutkan bahwa sebagai acuan utama adalah hukum adat. Namun dalam penjelasan disebutkan bahwa Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Dengan demikian UUPA hanya menegaskan bahwa negara menguasai tanah dan kekayaan di dalamnya termasuk seluruh sumberdaya alam. Sekalipun ada pengakuan atas hukum adat dan tanah ulayat namun ketika dianggap bertentangan dengan kepentingan negara/ nasional, maka hukum adat dengan tanah ulayatnya harus direlakan untuk kepentingan negara. Pada tahun berikutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negara melakukan penyeragaman desa, dan masih mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Undang-undang ini tidak memberi ruang bagi masyarakat adat menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan konsep adatnya, sehingga di beberapa tempat terjadi dualisme kepemimpinan yaitu pemimpin adat dan kepala desa. Selanjutnya, dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, juga ada pengakuan negara terhadap hak ulayat yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun pengakuan ini hanya bersifat retorika, karena dalam prakteknya ada aturan lain dari negara dimana demi kepentingan orang banyak atau demi kepentingan negara, maka klaim atas tanah hak ulayat oleh komunitas adat tersebut bisa digugurkan. Pengakuan terhadap masyarakat adat ini juga disebutkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengakui kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan asal usul. Selain itu, ada juga pengakuan terhadap masyarakat adat terpencil di dalam Keppres No. 111/

128 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, dan dalam Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) RI No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Dalam hubungannya dengan pengaturan hubungan pemerintahan pusat dan daerah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) juga disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebutkan pula dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat Pasal 2 Ayat 9 UU Nomor 32 Tahun 2004). Begitupun dengan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa salah satu kewajiban kepala desa dalam Pasal 15 Ayat 1 Huruf m, yaitu membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan desa, maka sebetulnya undang-undang ini telah menempatkan masyarakat hukum adat dan adatnya sebagai bagian dari hukum negara yang harus diakui dan dihormati keberadaannya, artinya seluruh peraturan daerah yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum masyarakat adat dan adat istiadat masyarakatnya. Lebih lanjut kebijakan mengenai kelola adat atas hutan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, mengakui hutan adat dan hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan secara terbatas sekali. Namun UU tersebut belum ditindak lanjuti dengan peraturan pemerintah (PP). Sederet peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut hanya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, hukum adat dan hak ulayat, namun dalam prakteknya masih setengah hati, dimana hukum adat atau hak masyarakat adat diakui ketika tidak bertentangan dengan hak dan hukum negara. 107

129 4.4..b. Sejarah Penguasaan Tanah Masyarakat Adat Berikut ini akan digambarkan bagaimana masyarakat memaknai hak dan akses terhadap sumberdaya alam. Adapun pemaknaan hak dan akses menurut Mayarakat Adat berbeda-beda. Hak milik dan akses setiap masyarakat memiliki karakteristik berbeda-beda untuk setiap masyarakat/ suku bangsa. Dalam tulisan ini akan ditampilkan dua kasus hak penguasaan dan hak akses pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kedua masyarakat ini mengenal dua sistem penguasaan tanah, yaitu sistem penguasaan komunal dan sistem penguasaan individu. Sekalipun sistem penguasaannya sama, namun penanda atas kekuasaan tersebut dan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. 4.4.b.1. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan Sejarah keberadaan Masyarakat Kasepuhan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sudah sejak 634 tahun yang lalu. Menurut Abah Asep bahwa dari cerita turun-temurun, diketahui Masyarakat Kasepuhan adalah sisa-sisa kerajaan Pakuan Padjadjaran. Masyarakat Kasepuhan menandai wilayahnya dengan makam keramat. Makam keramat itulah yang menjadi simbol keberadaan Masyarakat Kasepuhan sejak dulu dan menjadi tonggak penguasaan adat atas teritori tersebut. Menurut Abah Asep bahwa klaim atas wilayah Gunung Halimun Salak oleh Masyarakat Kasepuhan sudah sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak sebelum Indonesia dijajah. Penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan sudah dimulai sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama dari Jasinga ke Bogor Secara komunal seluruh Masyarakat Kasepuhan mengakui bahwa Kawasan Halimun Salak adalah kawasan adat. Pada kawasan komunal ini dibagi lagi sesuai peruntukkan, ada kawasan hutan, ada kawasan lahan pertanian dan pemukiman. Pada kawasan hutan, penguasaan hutan diakui sebagai penguasaan bersama seluruh Masyarakat Kasepuhan, tidak ada batas yang terpisah untuk masingmasing Kasepuhan. Pengaturannya didasarkan atas tradisi nenek moyang yang dijaga secara turun temurun. 108

130 Wilayah Kasepuhan, sejak tahun 1932 berpusat di Cicemet, kemudian tahun 1941 meluas ke wilayah Lebak Salak, Cijaha, Jeruk Nipis, Sodong/ Lebak Nangka, Cisuren. Dalam kawasan tersebut, hak akses masyarakat dibatasi berdasarkan adat aturan nenek moyang, yang dipercaya oleh masyarakat masih mengatur dan mengontrol kawasan tersebut sekalipun mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Berdasarkan tanda leluhur yang ditinggalkan, wilayah adat (batas tanah adat) yang diklaim oleh Masyarakat Kasepuhan, sebagai berikut: 1. Sebelah Selatan adalah Wilayah Jampang (Pandai Domas) 2. Laut sampai ke Puseran Agung 3. Timur di Gunung Sumping 4. Barat di Ujung Kulon 5. Utara di Baduy/ Bogor. Dalam konteks di atas bisa dikatakan bahwa penguasaan lahan atau kawasan tidak pernah berpindah tangan melainkan masih menjadi hak dari para pionir pembuka kawasan yang pertama kali yaitu nenek moyang. Konsep ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Li (1996) bahwa hak properti berasal dari pembukaan lahan awal menjadi hak tak terbantahkan untuk menanam pohon komersial dan mengklaim penguasaan sepenuhnya. Kondisi ini masih dipraktekkan di sejumlah kawasan adat di Indonesia termasuk di kawasan Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Penghormatan terhadap nenek moyang dalam bentuk ritual pemberian sesajen dan sejumlah doa dipanjatkan kepada roh nenek moyang untuk meminta izin manakala mereka mau memasuki kawasan atau untuk mengambil manfaat dari kawasan tersebut termasuk untuk memotong kayu maupun mengolah lahan pertanian, bahkan untuk kawasan tertentu memasukinya saja harus melakukan ritual untuk meminta izin mereka. Mekanisme permintaan izin ini dipimpin oleh abah selaku ketua adat Kasepuhan atau tuai rumah selaku penguasa rumah panjang di Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Pada kawasan lahan pertanian, setiap komunitas Kasepuhan mempunyai klaim penguasaan atas kawasan yang berbeda-beda, dengan batas dan luasan yang sangat jelas. Penguasaan tanah tersebut ada yang bersifat komunal (tanah adat) ada yang bersifat individual. Tanah adat biasanya dikerjakan secara bersama-sama 109

131 oleh incuputu (warga Masyarakat Kasepuhan), selanjutnya hasilnya akan disimpan di lumbung adat yang pemanfaatannya diatur oleh abah selaku ketua adat (kepala suku). Tanah komunal ini dalam istilah adat disebut tanah ulayat atau tanah adat. Dalam persepsi masyarakat bahwa hak ulayat ini adalah hak milik adat dan dikuasai oleh abah selaku ketua adat. Hak yang dimiliki oleh abah ini adalah hak pakai bukan hak milik. Namun menurut Li (1996), pengakuan atas hak ulayat ini lemah dan tunduk pada kepentingan nasional. Akibatnya, seringkali negara dengan mudah mengambil tanah tersebut. Hak ulayat dimaknai oleh negara sebagai tanah negara (lihat juga Moniaga, 1993). Dalam Masyarakat Kasepuhan, selain penguasaan secara komunal, ada juga penguasaan yang diakui secara individual. Luasan penguasaan individual ini pada masa lalu diperoleh dari hasil kerja individu tersebut, yaitu seberapa jauh dan seberapa luas tanah yang dapat digarap oleh individu tersebut. Dimasa lalu, masyarakat melakukan praktek perladangan berpindah. Kawasan yang pernah dibuka sebagai ladang atau lahan pertanian menjadi hak milik dari orang yang membuka lahan tersebut. Setelah ladang tersebut ditinggalkan, penguasaan lahan tersebut masih menjadi penguasaan pelopor (orang yang pertama membuka ladang) dan diwariskan kepada keturunannya. Jadi orang-orang Kasepuhan sekarang hanya meneruskan apa yang diperoleh nenek moyangnya di masa lalu. Ketika ladang ditinggalkan oleh pemiliknya, karena pemilik ladang tersebut berpindah ke tempat lain yang lebih subur, maka ladang tersebut bisa digarap oleh orang lain melalui hak pinjam. Artinya, orang lain bisa meminjam lahan tersebut untuk digarap sebagai lahan pertaniannya, namun status penguasaannya tetap ada pada orang yang pertama (pioner) dan keturunannya, namun perjanjian peminjaman inipun harus melalui dan seizin dari abah selaku ketua adat. Selain ada hak pinjam, ada juga hak akses yang bisa diperoleh orang lain tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, apabila kawasan tersebut memang tidak digarap atau lahan kosong. Akses tersebut berupa mengambil manfaat dari kawasan tersebut, seperti pengambilan kayu bakar, atau tanaman-tanaman yang masih tersisa di lahan tersebut. Namun apabila dilahan tersebut ada pohon kayu komersial atau tanaman komersial lainnya seperti kapolaga, maka akses untuk orang lain tersebut menjadi hilang. Artinya lahan tersebut tidak kosong atau 110

132 ditinggalkan, melainkan ada pengalihan peruntukan dari ladang pertanian menjadi perkebunan kayu atau tanaman komersial lain. Seperti yang diungkapkan oleh Li (1996), bahwa dalam konsep perladangan berpindah gagasan warisan budaya tidak diuraikan. Tanah terus menjadi milik nenek moyang yang pertama kali membersihkan lahan tersebut, dan semua generasi muda secara efektif meminjam dari mereka. Apa yang dikemukakan Li tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dimana generasi sekarang ketika akan menggarap lahan harus mengadakan upacara ritual terlebih dahulu, meminta izin kepada roh nenek moyang untuk menggarap lahan. Dengan demikian, masyarakat generasi sekarang mengerjakan lahan yang dipinjam dari nenek moyang mereka. Lahan tersebut secara adat tidak dapat diperjual-belikan, mereka hanya boleh menggarap lahan tersebut. Jika lahan tersebut penguasaannya akan dialihkan kepada orang lain, maka harus melalui izin nenek moyang melalui upacara ritual yang dipimpin oleh abah. Apabila dilihat dari konteks negara, tanah-tanah penguasaan individu dalam adat Kasepuhan tersebut adalah juga tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah hak guna usaha (HGU) yang dikuasai oleh Perum Perhutani dulunya. Secara formal Perum Perhutani memiliki hak property di kawasan tersebut berupa HGU, Masyarakat Kasepuhan memiliki hak tersebut berdasarkan persepsi adat budaya dan tradisi mereka, namun secara formal mereka tidak memiliki hak. Baik Perhutani maupun Masyarakat Kasepuhan keduanya memiliki akses yang sama pada kawasan yang sama. Tumpang tindih klaim penguasaan tersebut di masa lalu tidak menyebabkan konflik, karena ada pengaturan yang disepakati bersama antara Masyarakat Kasepuhan dan Perum Perhutani dalam memanfaatkan kawasan. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan lahan tersebut untuk kawasan pertanian padi, palawija dan pohon-pohon kayu yang tidak komersial, sedangkan Perhutani memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon-pohon kayu komersial. Sebagian hasil pertanian masyarakat diberikan kepada Perhutani sebesar 15-25% dari hasil tani tergantung besarnya jumlah hasil tani (istilah mereka cukai Perhutani), sesuai kesepakatan. 111

133 Konflik antara negara dan masyarakat terjadi setelah tahun 2003, dimana status HGU Perum Perhutani dicabut dan dialihkan menjadi kawasan taman nasional. Ketika status kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional, maka negara tidak lagi memberi ruang yang bebas termasuk tidak ada pengakuan atas penguasaan masyarakat adat. Masyarakat harus keluar dari wilayah lahan garapan mereka. Ketika lahan garapan yang menjadi livelihood mereka terancam maka konflik masyarakat dan negara menjadi tidak terelakkan. 4.4.b.2. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Dayak Iban Adapun sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih baru. Sungai Utik juga berfungsi sebagai bukti penguasaan wilayah sebagaimana perjanjian dengan suku Embaloh. Wilayah adat yang didiami oleh Masyarakat Dayak Iban sekarang ini dulunya merupakan wilayah penguasaan suku Dayak Embaloh. Dayak Iban sendiri dulunya berasal dari Lanjak. Suatu hari beberapa orang Dayak Iban pergi untuk menentukan kawasan yang cocok dan subur bagi lahan pertanian, maka pergilah beberapa orang Iban yaitu Ijon, Tapao, Erman, Kumok, Nawan bersama dengan Unyob dari suku Embaloh, sambil mereka mencari rotan, nyatu, dan kubal. Akhirnya mereka menemukan wilayah baru yang subur. Sepulang dari kerja mereka pergi ke Lanjak dan melaporkan kepada Pateh Judan bahwa mereka menemukan daerah baru yang cocok, namun wilayah tersebut adalah wilayah Suku Dayak Embaloh. Oleh Pateh Judan, kemudian meminta wilayah baru tersebut kepada pemiliknya yaitu Malin Apai Melunsa suku Dayak Embaloh, untuk ditempati. Melunsa setuju daerah tersebut ditempati oleh suku Iban. Apalagi suku Iban dianggap sebagai pelindung bagi suku Embaloh dari serangan musuh. 112

134 Perjanjian antara Suku Dayak Iban dengan suku Dayak Embaloh, sebagai berikut: 1. Kalau suku Iban menempati daerah suku Embaloh (Mbaloh), maka harus mengikuti kebiasaan suku Embaloh dan tidak boleh menggangu orang Embaloh atau orang lain. Dengan bahasa lain yaitu bedilang besai, bejabung panjai, bedok betalaga darah. 2. Daerah yang diserahkan Malin Apai Melunsa adalah dari muara sampai uncak Sungai Utik. 3. Apa yang ada di wilayah Sungai Utik, adalah milik orang Sungai Utik, hantu sekalipun. 4. Selama ada orang Iban di Sungai Utik walaupun satu orang saja, apa yang ada masih milik orang tersebut, kecuali orang Iban Sungai Utik pindah semua, baru wilayah kembali ke suku Embaloh. 5. Orang suku Mbaloh Ulak Paoh tidak boleh mengganggu wilayah yang sudah diserahkan kepada orang Iban di Sungai Utik. Untuk mengukuhkan perjanjian tersebut, diadakan sumpah dengan beras kuning, 2 ekor babi, 2 ekor ayam, disertai dengan berkempit darah satu sama lain, juga memakai kujur. Dengan diangkatnya sumpah, baru suku Iban pindah ke wilayah yang diserahkan oleh suku Mbaloh Ulak Paoh tersebut. Ada satu tanda mata dari suku Embaloh yang diberikan dengan suku Iban yaitu tembawang Embaloh.. Sejarah asal usul Dayak Iban Sungai Utik menempati daerah baru ini hampir sama dengan sejarah Dayak di Sanggau (lihat Peluso, 2005). Sekalipun alasan kepindahan dua adat tersebut sedikit berbeda, dimana Dayak Iban pindah ke Sungai Utik dengan suatu konpensasi bahwa mereka harus menjadi pelindung Dayak Embaloh dari serangan musuh dan penguasaan seluruh kawasan Sungai Utik menjadi hak milik Dayak Iban bahkan digambarkan dengan hantu sekalipun yang ada didalamnya diberikan kepada orang Dayak Iban. Sementara Dayak Salako pindah ke Sanggau dengan transaksi jual beli dengan penghuni sebelumnya. Namun demikian, ada suatu kesamaan yang menandai pertukaran tersebut yaitu tembawang (bekas rumah panjang). Hal tersebut bermakna bahwa dalam pertukaran tersebut juga dimaksudkan untuk mengakui tenaga kerja dan klaim dari para leluhur yang telah menciptakan sumberdaya yang berharga yaitu hutan ditebang untuk ladang dan tembawang tersebut. Dalam Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dikenal tiga jenis tembawai: a. Tembawai Rumah Panjae, suatu perkampungan yang dihuni selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan, karena pindah ke pemukiman yang baru. Tembawai biasanya ditumbuhi beragam jenis tanaman buah-buahan seperti durian, rambutan, langsat, asam, pinang, cempedak, rambai dan lain-lainnya. Selain ditumbuhi oleh tanaman buah-buahan juga ditumbuhi oleh tanaman 113

135 lain seperti rotan, tengkawang, dan bermacam jenis tanaman bumbubumbuan. b. Tembawai Dampa (sementara), suatu lokasi bekas perkampungan rumah panjae namun sifatnya sementara karena masyarakat lari dari sesuatu perkampungan, maka mereka membuat dampa. Tembawai ini biasanya ditempati 1-2 tahun, tidak ditanami tanaman buah-buahan, tetapi biasa ditanami pinang. c. Tembawai Langkao Umai, suatu tempat bekas mendirikan pondok ladang. Disekitar pondok ladang biasanya ditanami tanaman sayur-sayuran, bumbubumbuan, pisang, dan lain-lain. Dalam kasus pemindah-tanganan penguasaan tersebut juga diperlukan praktek ritual tertentu untuk menenangkan para leluhur sehingga menerima keberadaan komunitas baru yang akan menempati wilayah tersebut. Dalam menentukan hal pertukaran, para pemimpin adat pada saat itu melakukan pertukaran dengan suatu perjanjian, apa saja yang dipertukarkan termasuk menghitung jumlah pohon berdiri, luas bentang bidang tanah dan jumlah tembawang dalam wilayah yang dipertukarkan. Dalam kasus Sungai Utik, kawasan Sungai Utik dari muara sampai uncak Sungai Utik diserahkan oleh Suku Embaloh Ulak Paoh kepada orang Dayak Iban termasuk seluruh kekayaan yang ada didalamnya. Tiang pancang Tembawang (Tembawai) peninggalan Suku Embaloh masih dipelihara sampai sekarang sebagai tanda pengingat perjanjian di masa lalu. Selama masih ada orang Sungai Utik yang tinggal di daerah ini, kawasan ini masih menjadi milik orang Dayak Iban Sungai Utik, maka keturunan Suku Embaloh tidak boleh mengganggu hak penguasaan orang Dayak Iban di Sungai Utik, namun apabila sudah tidak ada seorangpun dari Suku Dayak Iban yang mau tinggal di daerah ini, maka wilayah tersebut kembali menjadi hak Dayak Embaloh Ulak Paoh. Dalam kasus Sungai Utik, hak yang diperoleh Dayak Iban adalah hak penguasaan total atas lokasi tersebut, sehingga apapun yang akan dilakukan oleh orang Dayak Sungai Utik terhadap kawasan tersebut, suku Embaloh tidak akan menggugat apapun. Hal ini berbeda dengan suku Dayak yang diceritakan oleh Peluso (2005), ketika sekitar tahun 1977, lebih dari 50 tahun setelah ritual 114

136 transfer, warga desa "baru" memutuskan untuk memindahkan rumah panjang ke sebuah lokasi di hutan di mana sekelompok pohon durian harus dipotong. Berita dari rencana untuk memotong pohon-pohon durian tersebut tersebar dengan cepat. Pemimpin adat saat itu dari desa pertama yang sudah pindah ke arah hilir, menuntut kompensasi tambahan adat, bukan hanya untuk keturunan langsung dari penanam pohon durian tersebut tetapi juga untuk seluruh desa. Pembayaran itu dimaksudkan untuk membiayai pesta dan upacara untuk menenangkan arwah para leluhur yang telah menanam pohon-pohon tersebut. Selain itu, warga "baru" tidak keberatan, mereka membayar denda terkait dengan menebang pohon durian dan memberikan makanan yang diperlukan untuk upacara ritual. Baik dalam kasus Sungai Utik maupun kasus Sanggau (dalam Peluso, 2005), penduduk desa saat ini bersedia untuk mengakui klaim penghuni lama (roh nenek moyang). Pengakuan atas hak pelopor tersebut dilakukan melalui upacara ritual, dimana apapun yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap tanah dan hutan serta pepohonan di atasnya, baik untuk menebang pohon karena alasan berladang ataupun untuk memindahkan rumah panjang baru, maka upacara ritual harus dilakukan untuk meminta izin dari roh nenek moyang, sekalipun roh nenek moyang tersebut bukan nenek moyang dari keturunan komunitas baru. Mungkin mereka takut pembalasan spiritual jika nenek moyang dari penanam pohon-pohon tersebut tidak diakui secara ritual. Apapun alasannya, insiden ganti rugi atas pemotongan pohon durian itu mengungkapkan bahwa baik sistem hukum maupun pengertian teritorial masyarakat selalu dan selamanya menentukan apa yang sebenarnya akan terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, hak penguasaan tanah selain ada yang bersifat komunal ada juga hak penguasaan pribadi. Hak pribadi ini didasarkan atas kemampuan setiap individu atau keluarga dalam membuka hutan untuk berladang. Selanjutnya mereka akan berpindah ke tempat yang baru untuk berladang di tempat yang lebih subur. Namun setiap bekas ladang yang mereka buka sekalipun sudah mereka tinggalkan, penguasaannya melekat pada orang pertama yang membuka ladang tersebut. Sampai saat ini Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih menjalankan pola pertanian ladang berpindah, namun masyarakat sendiri menolak dikatakan 115

137 seperti itu karena terkesan merusak lingkungan. Mereka lebih suka disebut sebagai pertanian bergulir (gilir balik). Karena menurut mereka, pola pertanian yang mereka lakukan tersebut akan membuat mereka kembali menggarap lahan yang sama setelah jangka waktu sekian tahun, paling cepat setelah 5 (lima) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun. Semua lahan bekas ladang yang pernah mereka buka tersebut yang disebut damun (bekas ladang) menjadi hak penguasaan mereka. Bekas ladang ini jumlahnya cukup luas seluas 2, hektar yang dikatagorikan oleh negara sebagai lahan kritis. Pada lahan bekas ladang menjadi hak penguasaan mereka yang pernah menggarap lahan tersebut. Mereka akan kembali menggarap lahannya apabila dipandang bahwa lahan tersebut sudah subur, biasanya ditandai dengan tumbuh suburnya pohon kayu di lahan tersebut tanpa mereka tanam. Lahan tersebut juga boleh dipinjamkan kepada tetangganya apabila tetangganya kehabisan lahan subur. Menurut mereka, sekarang ini sudah tidak bisa membuka lahan baru, jadi pertanian bergulir mereka hanya diseputar lahan yang ada. Perpindahan dari satu lahan ke lahan yang lain untuk pertanian tersebut tentu harus seizin roh nenek moyang yang akan ditenangkan melalui upacara ritual yang dipimpin oleh tuai rumah. Tuai rumah akan membekali mereka dengan berbagai upacara ritual. Pada kasus Dayak Iban Sungai Utik, maka hak property suatu kawasan melekat pada pelopor pertama (nenek moyang), sedangkan manusia masa kini (termasuk keturunannya) hanya memiliki hak akses. Hak akses masyarakat meliputi hak untuk menggarap lahan pertanian dan hak untuk menanami ladang dengan berbagai komoditas komersial pada kawasan kampong endor kerja (kawasan yang diperuntukkan bagi lahan pertanian), hak untuk memotong kayu untuk kebutuhan membangun rumah pada kawasan kampong galou. Namun mereka memiliki beberapa batasan atas hak, ada exclusion dari lokasi, yaitu ada tanah mali dimana mereka sama sekali tidak boleh memasuki wilayah tersebut sekalipun tanah tersebut berada pada kawasan kampong endor kerja. 116

138 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS, negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan. Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dari pemerintah pusat maupun pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah. Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik 117

139 termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana. 5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun- Salak seluas hektar (ha). Penggabungan kedua kawasan ini mencakup pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani. Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property right dari ostrom dan schlager (1990), dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut: Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003 Tipe hak (right) Sebelum tahun 2003 Sesudah tahun 2003 Access right Ya Tidak (ya tapi terbatas) Withdrawal right Ya Tidak Management right Ya Tidak Exclusion right Ya Tidak Alienation/ diversion right Tidak Tidak Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak (property right) membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat 118

140 Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut. Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun , hutan alam berkurang 25% atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semaksemak termasuk lahan terbangun. Pada tahun terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari ha menjadi 7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan ladang sebesar ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun , luas hutan alam di kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06% atau berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas kebun teh sebesar 1,4%. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun campuran sebesar 1,5% dan lahan kosong sebesar 1,32%. Selain itu, luas lahan terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41%. Lebih jelasnya lihat gambar berikut: 119

141 90, LUAS TUTUPAN (HA) 80, , , , , , , , Hutan Hutan tanaman Kebun campuran Kebun karet Kebun teh Semak Rumput Sawah Ladang Lahan kosong Lahan terbangun Badan air TAHUN Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun (Sumber: BTNGHS, 2010) Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara Masyarakat Kasepuhan (kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf). Masyarakat Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi "kelompok konflik" yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara (BTNGHS) pun menjadi tidak terhindarkan. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. (2008) menyebutkan bahwa penolakan masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang terjadi pada tahun Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan (BTNGHS). Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di 120

142 dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat dengan pihak BTNGHS pada tahun Konflik ini bermula dari penangkapan terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS. Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang (SIT), sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi, namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara. Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut. Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat (BTNGHS) sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman nasional atas nama pelestarian lingkungan inilah negara menguasai (menundukkan) Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan (biodiversity). Sekarang ini, konflik di TNGHS memasuki babak konflik laten di ruang wacana, dimana proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja konsensus tersebut belum dicapai. 121

143 5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang Pemanfaatan Hutan Konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak. Ada konflik antara negara (pemerintah pusat) dengan masyarakat adat, konflik ini terjadi karena adanya kebijakan negara dalam pemanfaatan kawasan hutan. Negara dengan kebijakannya telah memberikan izin IUPHHK kepada pengusaha untuk memanfaatkan hutan. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang IUPHHK tersebut telah mengabaikan status kepemilikan hutan adat yang diklaim oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tahun 1984 pertama kalinya negara menerbitkan IUPHHK pada kawasan Sungai Utik. Dalam konflik antara Masyarakat Dayak Iban dan negara, ada masamasa dimana konflik sangat memanas menjadi konflik terbuka, tetapi ada masamasa dimana konflik tidak kentara seakan-akan tidak pernah ada konflik. Konflik pada Masyarakat Dayak Iban datang dan timbul, memanas kemudian mengalami fase dingin (seperti virus dorman yang tidur menunggu waktu yang tepat untuk bangun), suatu hari kembali bangun dan memanas. Sebagai bukti, tahun 1984 negara mengeluarkan IUPHHK untuk PT. BI, masyarakat melawan kebijakan negara tersebut dengan cara memerangi perusahaan yang datang ke lokasi. Negara dan perusahaan pergi dari lokasi, suasana kembali tenang, tidak ada aktivitas perusahaan di lokasi tetapi izin tidak pernah dicabut. Konflik kembali muncul ketika di tahun 1997 negara mengeluarkan kembali IUPHHK untuk PT. BRU. Akibat dari aksi negara tersebut, PT. BRU sempat beroperasi selama 1 (satu) tahun di kawasan Mungguk. Konflik terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan PT. BRU terjadi pada tahun , dipicu ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu (menurut versi Masyarakat Dayak Iban) di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT kawasan hutan Dusun Mungguk. Pihak perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga aktivitas penebangan tersebut tidak diketahui oleh Departemen Kehutanan dan masyarakat adat. Saat mengetahui hal itu, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Masyarakat Mungguk memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan 122

144 tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5 KVA serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp /bulan, sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp /bulan selama perusahaan bekerja (berlaku surut). Setelah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Masyarakat Mungguk serta Ketemenggungan Jalai Lintang berhasil mengusir PT. BRU, menyita alat-alat berat dan menghukum denda PT. BRU, konflik ditingkat grassrootpun mereda. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah kehilangan kayu mencapai batang terdiri dari; Meranti, Jelutung, Merebang, Sempetir, Bantas dan Temau. Konflik muncul kembali di tahun 2004 ketika negara menerbitkan IUPHHK bagi PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 jangka waktu 45 tahun pola tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dengan luas areal ha. Menanggapi keputusan negara masyarakatpun tidak tinggal diam, mengusir PT. BRW dari lokasi, menyita alat-alat berat milik PT. BRW dan menjaga kawasan hutan sehingga PT. BRW tidak pernah aktif untuk menjalankan izin usahanya. Dalam perjuangannya mempertahankan hak penguasaan atas kawasan Hutan Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban menggunakan kekuatan fisik untuk mengusir pengusaha dan mempertahankan otoritasnya atas pengelolaan kawasan Hutan Sungai Utik. Dalam konflik fisik tersebut masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari lokasi kawasan hutan. Sementara negara selaku pemegang legalitas atas kawasan hutan tersebut juga tidak melakukan usaha represif untuk menunjukkan kekuasaannya, namun negara juga tidak pernah mencabut IUPHHKnya. Kekuasaan negara seakan-akan tidur, potensi konflik melemah, masyarakat dibiarkan mendapatkan hak akses atas hutannya, namun tidak pernah ada pengakuan dari negara atas hak kelola adat, izin IUPHHK juga tidak dicabut. Konflik memasuki babak baru sebagai konflik laten di ruang wacana. Jika melihat kasus Sungai Utik, maka sekalipun secara formal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memiliki property right menurut konsep negara, namun mereka memiliki akses terhadap kawasan tersebut termasuk mempunyai semua hak: akses, withdrawal, management, exclusion dan hak alienasi. Sebelum 123

145 maupun sesudah terbitnya kebijakan negara, baik kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap kawasan tersebut, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tetap memiliki hak dan akses yang sama. Sekalipun dalam prakteknya mereka memiliki akses terhadap sumberdaya hutan, artinya mereka mempunyai kemampan untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya Hutan Sungai Utik, ketiadaan pengakuan negara atas hak masyarakat tersebut tidak membuat masyarakat hidup tenang. Masyarakat masih diliputi kecemasan, apalagi izin IUPHHK untuk PT. BRW belum dicabut sampai saat ini, bahkan jikapun suatu hari dicabut, masyarakat tetap belum bisa hidup tenang, karena ada ketakutan di kalangan masyarakat bahwa negara akan kembali menerbitkan izin IUPHHK untuk perusahaan lain. Seperti yang dikemukakan oleh Apai janggut (Tuai Rumah Sungai Utik): Sekalipun suatu hari izin tersebut dicabut, namun dikawatirkan pemerintah pusat akan selalu mengeluarkan izin baru bagi perusahaan baru. Buktinya waktu tahun 1984 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BI, kemudian kami mengusirnya, PT BI keluar dari lokasi, kemudian setelah sekian lama izinnya dicabut tapi di tahun 1997 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BRU, dan di tahun 2004, pemerintah mengeluarkan izin lagi buat PT BRW. Selama hutan ini belum diakui sebagai hutan adat, maka selama itu pula percobaan untuk mengambil alih hutan oleh negara akan selalu dilakukan. Oleh karena itu tuntutan kami adalah mendapat pengakuan sebagai hutan adat Berdasarkan apa yang disampaikan oleh tuai rumah tersebut, maka sekalipun menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Apa yang diperjuangakan oleh Masyarakat Dayak Iban adalah hak (right), bukan hanya akses. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa right itu lebih penting daripada akses, karena right dapat menjamin kelangsungan akses. Sejarah membuktikan konflik selalu berulang menjadi konflik terbuka, kemudian padam, menjadi konflik laten sampai suasana menjadi dingin dan terlupakan, pada saat itulah kembali negara mengeluarkan kebijakannya, konflik berulang dan seterusnya. Konflik mereda namun bersifat laten, seperti orang yang sedang tidur, namun suatu ketika konflik akan muncul kembali. Jika mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf, bahwa konflik pada kawasan Sungai Utik ini merupakan konflik otoritas, dimana polarisasi yang terus menerus 124

146 ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas atas penguasaan sumberdaya Hutan Sungai Utik menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas di Hutan Sungai Utik. Dalam vis a vis dengan negara, negara memegang otoritas secara formal, sementara masyarakat mempunyai otoritas kewenangan tradisional. Masyarakat sebetulnya tidak punya otoritas dan berjuang untuk memperoleh otoritas. Dalam perjuangan untuk mendapatkan otoritas pengelolaan sumberdaya hutan ini, masyarakat bisa dikatakan menang sementara karena tetap memegang otoritas mengelola secara adat, meskipun secara formal belum menang karena belum ada pengakuan formal. Konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat tersebut masih akan terus berlangsung, mengingat Hutan Kalimantan Barat masih menjadi incaran sebagai pendapatan negara disektor kehutanan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.266/Menhut-II/2012 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam Sektor Kehutanan Untuk Tahun 2012 disebutkan bahwa daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan ditetapkan kembali berdasarkan rencana produksi hasil hutan di daerah yang bersangkutan dengan perhitungan penerimaan provisi sumberdaya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH) tahun Selanjutnya disebutkan penghitungan penerimaan daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan adalah: a. Perkiraan penerimaan PSDH, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu dikalikan tarif PSDH yang berlaku dikalikan harga patokan. b. Perkiraan penerimaan DR, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dikalikan tarif DR yang berlaku. c. Efektivitas penerimaan PSDH dan DR diasumsikan sebesar 95 % (sembilan puluh lima) perseratus. Penyaluran dana bagi hasil bagi daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan berdasarkan realisasi setoran penerimaan PSDH dan DR dari masing-masing daerah penghasil ke pemerintah u.p. Kementerian Kehutanan yang selanjutnya disetor ke kas negara. Dalam lampiran Keputusan tersebut diperoleh angka target pendapatan untuk Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, bahwa pendapatan dari PSDH sebesar Rp ,13; pendapatan dari DR sebesar Rp ,52 dan 125

147 pendapatan dari IIUPH sebesar Rp ,00. Keberadaan SK Menteri Kehutanan tersebut memberi makna bahwa konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat masih akan terjadi dan terus berlangsung, menempatkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam kondisi cemas sebagai kelompok konflik yang subordinat. Ancaman lain atas keberadaan Hutan Sungai Utik ini, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan (IUP). IUP tersebut diterbitkan untuk PT. MKA, PT. BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK PT. BRW. Penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/Bpt-A tentang Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tertanggal 10 januari PT. RU telah melakukan analisa dampak lingkungan (amdal) dan mencoba sosialisasi pada Masyarakat Embaloh Hulu, namun masyarakat menolak sawit. Perjuangan penolakan sawit ini masih terus dilakukan. Sungai Utik kemungkinan dikeluarkan dari sasaran sebagai lokasi perkebunan sawit karena memiliki sertifikat ekolabel dari lembaga ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae Menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae Menua Sungai Utik), dalam lingkup Sustainable Community Based Forest Management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares ; dan termasuk desa yang mendapat penghargaan sebagai Desa Perduli Hutan, walaupun sebenarnya secara kebijakan, Hutan Sungai Utik masuk dalam peta kawasan IUP tersebut. Dari fakta di atas terlihat bahwa konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak, yaitu: negara pusat (pemerintah pusat/ Departemen Kehutanan), Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, negara lokal (pemerintah daerah), pengusaha yang berafiliasi dengan pemerintah pusat dan pengusaha yang berafiliasi dengan pemerintah daerah. Selain itu, diluar lingkaran konflik ada LSM yang membantu Masyarakat Dayak Iban dalam menghadapi negara, memperjuangkan kepentingan 126

148 dan hak masyarakat. Konflik sumberdaya hutan tersebut terjadi karena perbedaan pemaknaan terhadap hutan dan tumpang tindih kebijakan dan klaim penguasaan atas kawasan hutan Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood 5.2.a. Konflik Pemaknaan Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik dapat dipahami sebagai konflik pemaknaan. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap fungsi hutan antara masyarakat adat dan negara. Perbedaan pemaknaan tersebut dilatar-belakangi adanya perbedaan pengetahuan tentang tata kelola hutan, relasi manusia dengan alam (hutan) dan bagaimana manusia memperlakukan alam, baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfatan hutan. Pengetahuan masyarakat adat, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun berbenturan dengan konsep pengetahuan ilmiah negara yang mendasari kebijakan negara dalam pengelolaan hutan. Masyarakat Kasepuhan memaknai hutan sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi juga ada banyak binatang, tumbuhan dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Hutan bagi Masyarakat Kasepuhan memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti bagi seluruh makhluk hidup. Keberadaanya harus dapat menjamin keteraturan dan keseimbangan kehidupan seluruh makhluk hidup. Pemaknaan tersebut ditopang dengan adanya sejumlah aturan untuk tidak menggunakan zat-zat kimia yang dapat membunuh keberadaan makhluk lain (binatang), sekalipun binatang tersebut merupakan hama perusak bagi tanaman mereka. Oleh karena itu dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan hutan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kusnaka Adimiharja (1989), bahwa di kalangan warga Kasepuhan, terdapat pandangan bahwa alam semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memandang hutan memiliki banyak makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan 127

149 dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya. Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa untuk mendekatkan diri pada betara sang penguasa hutan dan alam semesta. Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa: Meskipun tidak mempunyai harta/ materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin kelak anak-cucu kami tidak tahu apa-apa. Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tentang tata kelola hutan yang mereka bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4 wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan, sebagai wilayah lindung (keramat); bertani (ladang); berkebun, dan berdasarkan pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obatobatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah. Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan 128

150 ilmiah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sementara itu, berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 28 bahwa (1) pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. (2) pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1, bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan eksport. Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004 disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan produksi adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Lebih lanjut, untuk memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem perlu adanya kriteria kawasan hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi, sementara itu masyarakat memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, 129

151 karena negara memainkan UU sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Baik tentang konservasi hutan maupun pemanfaatan hutan, pengetahuan negara didukung oleh kekuatan kekuasaan politik dan kelembagaan yang secara legitimasi memberikan kekuatan kepada negara untuk mempengaruhi bahkan mendominasi sistem pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat. Dominasi sistem pengetahuan negara atas masyarakat adat melahirkan perilaku perlawanan dari masyarakat melalui perjuangan di ruang pengetahuan, antara lain pada arena seminar, pertemuan ilmiah, negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Melalui politik mikro kekuasaan, dapat dilihat bagaimana negara dengan pengetahuan modern berusaha mengkooptasi pengetahuan masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa pengetahuan negara mampu menjawab berbagai permasalahan di sekitar hutan, melalui kelembagaan negara dan berbagai ruang komunikasi yang telah diintroduksir kepada masyarakat adat. 5.2.b. Konflik Tenurial Pengetahuan dan pemaknaan atas tata kelola hutan di dua kawasan hutan (TNGHS dan Hutan Sungai Utik) melahirkan klaim penguasaan atas hutan. Klaim atas penguasaan lahan inilah yang melahirkan konflik tenurial, yaitu konflik atas tanah, dimana tanah (termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung, kawasan masyarakat subsisten) selalu menemukan diri mereka dalam situasi konflik atas penguasaan tanah dan sumberdaya hutan. Konflik tenurial dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat adanya klaim penguasaan lahan oleh negara dan masyarakat. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan, sedangkan masyarakat adat mengklaim penguasaan lahan/ hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat. Dalam konsep negara, adanya dualisme system pertanahan yaitu system pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan. Tanah dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 130

152 33 Ayat (3) bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa tanah dan kekayaan di dalamnya adalah dalam penguasaan negara. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 4 Ayat (1) bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sementara itu, dalalm UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4 Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (3), bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat, dimana hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang 131

153 bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Dualisme system pertanahan menurut UUPA dan menurut UU Kehutanan ini memberikan hak penguasaan atas tanah kawasan hutan pada sistem penguasaan lahan menurut negara (pemerintah) dan masyarakat adat. Namun demikian disebutkan bahwa hak penguasaan oleh masyarakat adat tersebut diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dan selama masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya Faktanya, pada kawasan hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, berlaku dua sistem penguasaan lahan, yaitu sistem penguasaan lahan menurut negara dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto dikuasai oleh masyarakat yang secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Klaim wilayah menurut masyarakat adat ditentukan berdasarkan aspek historis, sebagai berikut: Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Aktor lokal Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Lamanya tinggal di Sejak 634 tahun yang Sejak 1972 kawasan lalu Penanda klaim atas wilayah adat Makam keramat nenek moyang Tembawai (bekas rumah panjang) Penanda klaim atas Ladang dan bekas Ladang dan bekas bukaan ladang/ kepemilikan individual bukaan ladang ladang yang ditinggalkan (damun) Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan sudah ada di lokasi sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama komunitas Kasepuhan dari jasinga ke bogor. Adapun sejarah penguasaan wilayah Sungai Utik oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif masih baru sejak Sebelumnya suku Dayak Iban tersebut berasal dari Lanjak tahun 1800-an, tercatat ada 12 tembawai (bekas rumah panjang) sebelum sampai di Dusun Sungai Utik. Sebelum tahun 1972, wilayah Sungai Utik dikuasai oleh Dayak Embaloh, selanjutnya wilayah tersebut diberikan dari Suku Embaloh kepada Dayak Iban dengan sebuah perjanjian adat (lihat bab 4). 132

154 Dalam kepemilikan tanah menurut adat, ada yang disebut kepemilikan kolektif, ada kepemilikan individu. Kepemilikan kolektif adalah kepemilikan adat, yaitu apa yang disebut sebagai kepemilikan adat atau tanah ulayat. Adapun kepemilikan individu ini baik di Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditandai dengan bekas ladang. Orang yang pertama kali membuka ladang, maka dialah yang akan menjadi pemilik lahan tersebut. Bekas ladang dalam istilah Dayak Iban disebut damun. Baik kepemilikan kolektif maupun kepemilikan individu, tanah tersebut disebut tanah adat atau tanah dalam penguasaan adat. Masalahnya klaim tanah oleh masyarakat adat tersebut tidak memiliki bukti hitam diatas putih (sertifikat), melainkan hanya aspek kesejarahan. Klaim tersebut akan berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Berdasarkan UUPA Pasal 19 Ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut bermakna bahwa semua tanah harus terdaftar. Tanah tanpa judul diasumsikan milik negara (MacAndrews, 1986). Artinya bahwa tanah tanpa sertifikat diakui sebagai tanah negara. Dengan demikian, konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan Sungai Utik menunjukkan adanya konflik atas tanah dan sumberdaya hutan dimana masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah dan sumberdaya hutan tersebut merupakan miliknya. Negara mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut sebagai hutan negara, TNGHS sebagai hutan konservasi sedangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan produksi. Adapun masyarakat adat juga mengklaim bahwa kawasan tersebut sebagai kawasan hutan adat. Oleh karena itu, konflik pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat disebut juga sebagai konflik tenurial. Konflik tenurial ini terjadi berawal dari adanya politik teritorialisasi. Melalui perspektif historis dapat dijelaskan teritorialisasi kawasan hutan yang bermula dari sistem lokal yang dijalankan masyarakat hingga masuknya politik teritorialisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia 133

155 merdeka. Realitas konflik sumberdaya hutan sebagai politik teritorialisasi pernah dikemukakan juga oleh Maring (2010) dalam melihat masyarakat sekitar Gunung Noge. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Masyarakat Lerokloang Flores NTT (Maring, 2010), bahwa sistem teritorialisasi yang dijalankan Masyarakat Kasepuhan di TNGHS dan Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bisa dilihat dalam dua hal, yaitu sejarah teritorialisasi sistem penguasaan tanah dan teritorialisasi penguasaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Sistem penguasaan tanah Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan Pemanfaatan sumberdaya alam individu. Melalui konsep zonasi menurut adat individu. Melalui konsep zonasi menurut adat Berdasarkan tabel di atas, bahwa sistem penguasaan tanah pada Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas dua sistem penguasaan tanah yaitu penguasaan tanah adat dan penguasaan tanah individu. Adapun sistem pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan melalui konsep zonasi menurut adat. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan ke dalam 4 wewengkon (zonasi) yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan, sedangkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi hutan kedalam 3 kawasan yaitu kampong taroh, kampong galao dan kampong endor kerja. Setiap zona tersebut mencerminkan adanya hak, kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Adapun hak yang dimiliki masyarakat dapat didentifikasi sebagai berikut: hak penggunaan kawasan baik untuk nilai ekonomi langsung maupun tidak langsung; hak meminjamkan atau mengalihkan kepemilikan; mekanisme kontrol atas penggunaan hak; kewajiban dan larangan bagi setiap individu yang terikat atas hak tersebut; dan simbol-simbol adat yang menandai adanya kepemilikan atas sumberdaya hutan. Dikedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik memperlihatkan bahwa hak kepemilikan tidak didasarkan atas pemberian negara atau dokumentasi formal, namun lebih memperlihatkan suatu perkembangan dinamis di tingkat lokal. Bagaimana masyarakat sepanjang sejarah 134

156 penguasaan atas tanah dan sumberdaya hutan tersebut mengembangkan pengetahuan dan norma-norma yang memberi hak, kewajiban dan larangan bagi masyarakatnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, dapat dikemukakan bahwa dalam sejarah TNGHS, terjadi beberapa kali tumpang tindih klaim pengusaan tanah oleh pemerintah dari mulai Zaman Hindia Belanda sampai masa Indonesia merdeka, dengan klaim oleh Masyarakat Adat Kasepuhan. Pengalaman pada Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa sejak masa penjajahan telah terjadi perampasan tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan negara. Selanjutnya negara membatasi ruang gerak masyarakat dengan menyediakan tanah-tanah yang diperuntukkan untuk huma, namun dalam statusnya tanah tersebut merupakan tanah negara. (lihat Zwart, 1924: 33, Thieme, 1920 dalam Galudra et al., 2005). Beberapa kali Masyarakat Kasepuhan kehilangan hak atas tanah. Sampai pada akhirnya di tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra. Selanjutnya dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh penduduk termaksud. Berdasarkan PP tersebut, maka pada masa ini negara (pemerintah daerah) mengizinkan masyarakat lokal melakukan aktivitas di kawasan Gunung Halimun Salak, dengan mewajibkan masyarakat tersebut memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah. Keputusan pemerintah daerah tersebut menandai adanya kesepakatan antara pemerintah (negara) dengan masyarakat, dimana masyarakat mengakui adanya right negara di kawasan tersebut, namun mereka pun memiliki akses terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood, maupun untuk tradisi budaya adat Kasepuhan yang mengelola hutan melalui konsep pengetahuan lokal tentang wewengkon. 135

157 Ketika di tahun 1992, negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992, merubah status hutan cagar alam (Gunung Halimun) Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun seluas hektar. Di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani dan berstatus sebagai hutan produksi. Pada masa ini, masyarakat masih diizinkan untuk melalukan aktivitas didalam kawasan hutan, mengelola hutan bersama-sama dengan Perum Perhutani, dengan memberikan sebagian hasil panen 15-25% kepada Perum Perhutani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui right negara, selama mereka memiliki akses terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood maupun untuk tradisi budaya dalam pengelolaan kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal. Pada tahun 2003 negara menerbitkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts- II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas Hektar Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun- Salak. Berdasarkan SK tersebut, semua kawasan Gunung Halimun Salak menjadi taman nasional. Dasar pertimbangan diterbitkannya SK ini adalah kerusakan hutan pada kawasan pengelolaan oleh Perum Perhutani dan masyarakat adat. Sejak saat itu Masyarakat Kasepuhan bukan hanya kehilangan right, melainkan juga kehilangan akses. Kondisi ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada situasi konflik. Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat dalam konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan kepemilikan yang diklaim oleh negara. Ribot dan peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu, dalam hal ini sesuatu tersebut adalah sumberdaya hutan. Namun ketika aksespun tidak ada maka konflik menjadi tidak terelakkan. 136

158 Sejarah penguasaan kawasan Hutan Sungai Utik berbeda dengan TNGHS. Penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik baru dimulai sejak tahun Masyarakat Dayak Iban mewarisi kawasan tersebut dari Suku Dayak Embaloh. Tahun 1984, tahun 1997, tahun 2004 menjadi momentum penting dalam sejarah penguasaan kawasan hutan oleh negara. Pada tahun-tahun tersebut terjadi konflik fisik secara terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha (yang mengantongi izin IUPHHK dari negara) sebagai reaksi masyarakat atas kebijakan negara. Sekalipun masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari lokasi, namun konflik tenurial tidak pernah reda. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan right tidak pernah berhenti. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sekalipun jangka waktu penguasaan atas tanah dan Hutan Sungai Utik belum lama (sejak tahun 1972), namun sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan. Bahkan keberadaan kebijakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses. Mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Menurut ribot dan peluso (2003), dengan memfokuskan pada kemampuan (ability) dari pada right sebagaimana dalam theory property, formulasi ini membawa perhatian pada berbagai hubungan sosial yang dapat memaksa atau memungkinkan masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa memfokuskan pada hubungan property saja. Artinya sekalipun Masyarakat Dayak Iban tidak memiliki property right (dalam konsep negara) tetapi mereka mempunyai akses terhadap hutan. Akses adalah lebih mirip dengan bundle power (ikatan kekuasaan) ketimbang property yang merupakan suatu ikatan right (bundle of right). Sehingga bagaimanapun juga hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses. Sebagaimana diakui oleh Bromley (1998; 200), McCay dan Acheson (1987), Lynch & Harwell (2006) bahwa hak kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. 137

159 5.2.c. Konflik Authority (Konflik Otoritas) Klaim atas penguasaan kawasan memberi otoritas kepada masing-masing aktor untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Keberadaan tumpang-tindih klaim atas kawasan hutan oleh masing-masing aktor menunjukkan adanya otoritas aktor yang saling berhadapan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik otoritas. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-masing pihak yang saling berhadapan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor. Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Masyarakat mengklaim memiliki otoritas atas kawasan hutan, dimana dengan pengetahuan lokalnya selama turun temurun masyarakat telah hidup bersama hutan. Hutan menjadi ciri penanda dari teritori masyarakat adat. Dengan kata lain hutan adalah bagian dari ciri kekuasaan masyarakat adat atas kawasan tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa hutan menjadi penanda otoritas masyarakat adat atas kawasan tersebut. Ketika negara menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan negara melalui kebijakan konservasi ataupun kebijakan IUPHHK, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara yang bekerja pada kawasan tersebut. Otoritas negara atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara, berupa kebijakan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, maka konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik terjadi karena adanya perebutan otoritas antara pihak negara selaku pemilik formal otoritas atas sumberdaya hutan dengan masyarakat adat. Otoritas negara diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan otoritas masyarakat diperoleh berdasarkan tradisi budaya dan historis yang diwariskan secara turun temurun. Pada kasus Hutan Sungai Utik, aktor negara dengan otoritas yang formal yang dimilikinya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada pengusaha, 138

160 sehingga pada kasus Sungai Utik konflik otoritas tersebut berada pada dua level, yaitu level grassroot menghadapkan masyarakat dan pengusaha, sedangkan pada level kebijakan menghadirkan pertentangan otoritas antara masyarakat dan negara. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan IUPHHK, dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) yang mengeluarkan IUP. Semakin tajam konflik sumberdaya alam (hutan) maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat yang mengendalikan subordinat. Menurut Dahrendorf bahwa dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan otoritas di antara kelompok yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Dengan demikian konflik terjadi karena adanya pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam kasus TNGHS, jelas terlihat hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok konflik yaitu Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi dan BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Sebagai pihak yang subordinat, Masyarakat Kasepuhan melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, kesadaran akan adanya masalah dan musuh bersama membuat Masyarakat Dayak Iban sangat solid untuk berjuang mempertahankan otoritasnya, perjuangan yang terus menerus ini melahirkan formasi baru dimana Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik. 139

161 Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan Hutan Sungai Utik No Indikator Kasepuhan Dayak Iban Sungai Utik 1 Otoritas Abah Tuai Rumah dan musyawarah tertinggi 2 Kewenangan dalam SDH/ SDA 3 Basis legitimasi kekuasaan 4 Potensi konflik otoritas yang terjadi Abah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan Adat melalui wangsit yang dikukuhkan oleh musyawarah adat yang diwakili oleh setiap kolot lembur (perwakilan kampung). Konflik memungkinkan terjadi didalam Kasepuhan itu sendiri, karena adanya strata dalam kelembagaan Kasepuhan. Konflik antara Kasepuhan yang satu dengan Kasepuhan yang lain dalam angka perebutan pengaruh di kalangan warganya. Konflik dengan negara dimana kelembagaan negara telah menegasikan hak akses Masyarakat Kasepuhan atas kelola hutan adat mereka yang berubah menjadi taman nasional adat Tuai Rumah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan Adat melalui sejarah pertama kali yang menancapkan tiang di rumah panjae atau kepemilikan tanah yang paling banyak selanjutnya otomatis diwariskan kepada keturunannya. Konflik memungkinkan terjadi di dalam rumah panjae, manakala ada persaingan antara tuai rumah dan kepala desa dalam rangka perebutan pengaruh atas warganya. Konflik dengan sesama Masyarakat Dayak Iban di dusun lain juga terjadi akibat perbedaan pandangan dalam memperlakukan sumberdaya hutan/ alam lainnya. Konflik dengan negara terjadi karena pengakuan negara atas hutan adat mereka sebagai hutan negara yang dilegitimsi dengan keluarnya izin IUPHHK dari pemerintah pusat dan IUP dari pemerintah daerah Berdasarkan matrik di atas, diketahui bahwa otoritas tertinggi pada Masyarakat Kasepuhan berada pada tangan abah (kepala suku Masyarakat Kasepuhan). Kedudukan abah lebih tinggi dari kedudukan masyarakat biasa. Hal inilah yang membuat abah memiliki otoritas dominan dibandingkan anggota masyarakat lainnya. Basis legitimasi otoritas adat Masyarakat Kasepuhan adalah wangsit melalui abah yang dikukuhkan dengan musyawarah adat. Adapun pada 140

162 Masyarakat Dayak Iban, otoritas tertinggi ada pada tuai rumah dan musyawarah adat. Artinya kedudukan tuai rumah setingkat dengan masyarakat lainnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh tuai rumah didasarkan atas musyawarah adat. Basis legitimasi Masyarakat Dayak Iban adalah sejarah pertama kali penancapan tiang atau kepemilikan tanah. Otoritas masyarakat adat dalam penguasaan sumberdaya hutan tersebut menjadi potensi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan negara, maupun konflik didalam kelembagaan adat tersebut. Selanjutnya bukti adanya otoritas Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dapat dibedakan berdasarkan nilai-nilai budaya, boundary, rules, dan territory. Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban TNGHS Sungai Utik Nilai-nilai budaya Boundary Rules Territori (klaim atas wilayah) Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Tidak ada batas yang jelas mengenai wilayah kekuasaan Sanksi hukum lebih banyak berupa sanksi hukum yang abstrak berupa kualat dan kabendon (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara, maka yang digunakan adalah sanksi hukum negara. Klaim atas wilayah pada Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu kuat, belum ada kesepakan yang jelas antara masing-masing Kasepuhan maupun dengan taman nasional. Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Ada batas yang jelas yang membedakan kawasan kekuasaan hukum dan nilai-nilai adat Sanksi hukum memiliki dua tipe. Pertama sanksi hukum adat yang nyata yang dibukukan dalam sebuah buku peraturan hukum adat dan sanksi abstrak tulah (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara pun, masyarakat lebih mendahulukan hukum adat. Klaim atas wilayah (batas wilayah) sangat jelas disepakati berdasarkan masing-masing subsuku yang saling berbatasan, sudah memiliki peta partisipatif walaupun belum diregistrasi oleh negara. Dengan membanding dua lokasi TNGHS dan Hutan Sungai Utik, diketahui bahwa otoritas masyarakat adat Kasepuhan tidak terlalu kuat dibandingkan dengan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Kuatnya otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tersebut ditunjang oleh adanya territori yang jelas dan disepakati oleh masing-masing suku yang saling berbatasan. 141

163 5.2.d. Konflik Livelihood Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi, negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut. Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian, pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan, sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan (kawasan hutan yang kayunya boleh diambil), ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil. Dalam kasus TNGHS, negara (BTNGHS) memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai hutan konservasi (taman nasional). Kepentingan negara terhadap hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 33 bahwa (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, 142

164 menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan bahwa (1) pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah; (2) di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; (3) untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka. Konsep hutan menurut taman nasional (negara) jelas berbeda dengan konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona pemanfaaan (leuweung garapan) memperkenankan adanya kegiatan ekonomi livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. leuweung hejo masyarakat ngejo adalah simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara (Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha (PT BRW yang mengantongi IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP) dan Masyarakat Dayak Iban 143

165 Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya. Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan (livelihood)-nya terhadap hutan. Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep hutan produksi. Dalam konteks ini, negara (Departemen Kehutanan) memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara 144

166 untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto (NTB) yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto (PDB). Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer. Berdasarkan data BPS (2012), bahwa jika dilihat dari data PDB tahun , PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97% (persen) setiap tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar ,1 milyar rupiah, namun jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu ,1 milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB hanya 0,70%, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut: 145

167 Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun No Tahun/ Year Produk Domestik Bruto (PDB)/ Gross Domestic Product (Miliar Rupiah/ Billion Rupiahs) Kehutanan/ Total PDB/ GDP Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap PDB Contribution of Forestry Sub Sector To GDP (%) Forestry Total , ,9 1, , ,0 1, , ,0 0, , ,6 0, , ,2 0, , ,1 0, , ,8 0, , ,2 0, , ,7 0, , ,7 0, , ,2 0, , ,1 0,70 Sumber: Badan Pusat Statistik, Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah IUPHHK-HA (Hutan Alam) sebanyak 299 unit dengan luasan ha; jumlah IUPHHK-HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 211 unit dengan luasan ha; dan jumlah IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) sebanyak 9 unit dengan luas ,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. (Departemen Kehutanan, 2009). Salah satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan (pemerintaah pusat) untuk dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk dijadikan kawasan IUP. 146

168 Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua, tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik, konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan 147

169 melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan Sungai Utik sebagai berikut: Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di TNGHS dan Sungai Utik TNGHS Hutan Sungai Utik Aktor BTNGHS Masyarakat Menteri Masyarakat Pengusaha Kasepuhan Kehutanan Dayak Iban Kepentingan Kelestarian Kelestarian Kelestarian hutan (konservasi) hutan dan hutan dan basis livelihood Potensi ekonomi nasional yang bernilai ekspor (ekonomi kapitalis) basis livelihood Keuntungan ekonomi (ekonomi kapitalis) Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng exclude masyarakat adat dari tanah/ kawasan/ hutan yang selama ini diklaimnya. Bila melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu menegasikan kelembagaan masyarakat adat Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik) Konflik antara negara dan masyarakat di TNGHS dan Hutan Sungai Utik mempunyai banyak bentuk, mulai dari konflik laten sampai konflik terbuka. Konflik mencapai puncaknya (kedalaman konflik) pada saat terjadinya konflik terbuka. Kedalaman konflik di TNGHS dengan di Hutan Sungai Utik berbeda. 148

170 Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Derajat kedalaman Puncak konflik Lempar isu Bersitegang Memenjarakan Pencabutan kualat Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik. Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya konsep taman nasional. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya ketika ada 5 (lima) orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional. Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran ketentuan/ pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat tidak dapat menerima kalau warganya dihukum. Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa kejadian, antara lain: 1. Tahun 1984, ketika negara (Menteri Kehutanan) mengeluarkan IUPHHK untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi. 149

171 2. Tahun 1997, ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan tuntutan ganti kerugian. Konflik mereda setelah perusahaan memenuhi tuntutan ganti rugi masyarakat dan pergi dari lokasi. 3. Tahun 2004, konflik terjadi lagi ketika pemerintah pusat menerbitkan IUPHHK untuk PT. BRW. Masyarakat mengusir PT. BRW dari lokasi. Sejak kebijakan tersebut dikeluarkan, PT. BRW belum pernah beroperasi. 4. Konflik antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW terjadi kembali pada saat ada korban kecelakaan di lokasi IUPHHK Dusun Ungak yang menimpa warga Sungai Utik. Di Dusun Ungak, PT. BRW pernah beroperasi selama dua tahun, sampai ada suatu kejadian, ibunya Mbak Lidia (orang Sungai Utik) berjualan sayuran di lokasi tempat PT BRW beroperasi, tiba-tiba kereta pengangkut kayu gelondongan tersebut terlepas, sehingga kayu kayu tersebut menimpa ibunya Mbak Lidia dan menyebabkan kematian. Masyarakat Sungai Utik menjadi marah terhadap PT. BRW dan bersamasama Masyarakat Dusun Ungak mengusir PT. BRW dari lokasi proyek Dusun Ungak. Sejak saat itu, proyek tersebut kemudian diambil alih oleh Masyarakat Dusun Ungak. 5. Konflik dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan kembali mencuat ketika Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik meminta Menteri Kehutanan datang ke lokasi rumah panjae Sungai Utik. Seperti yang dikisahkan oleh Pak RM Kepala Desa Batu Lintang bahwa: Masyarakat Sungai Utik pernah menahan dan menjatuhkan denda sebesar Rp. 1, 2 juta kepada Ajudan Menteri Kehutanan yang mengabarkan bahwa menteri tidak bisa datang. Setelah denda dibayar, Ajudan tersebut pun dilepaskan diperbolehkan pulang tetapi dengan membawa pesan bahwa Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban dikenakan sanksi Adat bahwa jika Beliau tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik, maka Menteri Kehutanan harus membayar denda Rp. 1 Milyar kepada Masyarakat Sungai Utik. Namun denda tersebut tidak pernah dilakukan karena Bapak MS Kaban akhirnya di tahun 2010 datang ke Sungai Utik. Cerita tersebut juga dilengkapi oleh Kakek Cb bahwa di awal tahun 2010 tersebut, dia dan dua orang warga Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik lainnya dengan diantar oleh AMAN datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Pada 150

172 saat itu Kakek Cb mengatakan kepada Pak Kaban, seperti yang diceritakannya, sebagai berikut: Bapak, kami menunggu Bapak, kami rakyat Sungai Utik akan tetap menjaga hutan kami dan kami menginginkan penjelasan langsung dari Bapak, bagaimana hutan tersebut harus dijaga. Jika Bapak tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik sesuai janji Bapak, maka kami terpaksa akan menjatuhkan sanksi hukum Adat dengan mendenda Bapak Rp. 1 milyar. Begitu yang saya katakan pada Menteri Kehutanan saat itu, dan pada waktu itu Pak Kaban bilang bahwa dia memang sudah berjanji untuk datang ke Sungai Utik. Pada tahun 2009 sebetulnya Beliau sudah berangkat ke Sungai Utik namun pesawat yang mengantar Beliau tidak bisa menemukan lokasi Sungai Utik. Setelah setengah jam berputar putar di udara akhirnya pesawat tersebut kembali lagi ke Pontianak, disamping karena cuaca saat itu tidak memungkinkan mendarat di Putussibau. Tapi saya berjanji jika sudah tidak sibuk dengan berbagai pekerjaan, akan mengunjungi rumah panjae Sungai Utik. Janji itu sudah Beliau tepati. Beliau sudah datang ke Sungai Utik walaupun kedatangannya tidak juga memberikan titik terang kejelasan mengenai pencabutan izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT. BRW. Fakta di atas menunjukkan konflik di Hutan Sungai Utik lebih banyak momen yang menunjukkan kebrutalan konflik, dimana perlawanan masyarakat adat sampai pada destruction and bloodshed. Hal tersebut berbeda dengan kasus TNGHS, konflik mencapai puncaknya ketika negara memenjarakan Masyarakat Kasepuhan yang mengambil kayu di kawasan hutan. Sebenarnya ada kasus lain yang terjadi di Kasepuhan, yaitu ada beberapa orang warga mengambil kayu di hutan, namun dalam kasus ini Kasepuhan tidak terlalu ikut campur karena hasil evaluasi adat, kayu-kayu tersebut diambil dikawasan yang dilarang adat dan ukuran kayu melebihi ketentuan adat. Kayu tersebut diidentifikasi sebagai kayu yang akan dijual. Oleh karena itu Kasepuhan tidak turut campur dalam kasus yang satu ini, dan membiarkan warganya dipenjara. Perbedaan sikap dari masingmasing masyarakat tersebut tidak lepas dari pengaruh kosmologi masyarakatnya, serta sejarah penguasaan lahan pada kawasan tersebut Dampak Konflik Konflik sumberdaya hutan memberi dampak kepada masyarakat adat terjadinya perubahan kelembagaan adat dan peningkatan ability masyarakat adat dalam beradaptasi dengan konflik. Konflik yang menyebabkan terjadinya perubahan sejalan dengan konflik otoritas Dahrendorf, adapun konflik yang 151

173 menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori konflik Lewis Coser. Menurut proposisi Dahrendorf (dalam Turner, 1998), bahwa semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan. Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan perubahan kelembagaan (lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6). Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser (dalam Kinseng, 2013) bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik. Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi (kelentingan). Konflik 152

174 menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan (resiliensi) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (kamus oxford), maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan (resiliensi). Dalam kasus TNGHS, ketika kelembagaan negara mendominasi kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), kemampuan mengulur waktu dengan cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi, dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah daerah. Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan terjadinya perubahan dan perubahan tersebut merupakan bukti bahwa kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan (resiliensi) dengan cara mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat lokal. 153

175 Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan. Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK untuk PT. BRW. Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung, pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional. 154

176 Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT. RU untuk usaha perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari Pemerintah daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat Dayak Iban. Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan (selanjutnya disebut UU otonomi daerah) Pasal 10 menyebutkan bahwa (1) pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang 155

177 oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud disebutkan dalam Aayat (3) yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa. Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah provinsi (Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004) dan pemerintah daerah kabupaten/ kota (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU otonomi daerah tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya. Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan bahwa: mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga...dan seterusnya. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan 156

178 Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa...mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab..., termasuk di dalamnya pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan dalam Huruf H angka 4 yaitu: mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang. Berdasarkan TAP MPR tersebut, semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara (pemerintah pusat). Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidakpastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat. Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi 157

179 daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam yang melibatkan negara dan masyarakat adat Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II, Pasal 5 bahwa: kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah, termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak diatur dalam PP tersebut. Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka penyelenggaraan 158

180 kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (2) pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah. Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) bahwa dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan (policy maker) menjadi lebih dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembuatan kebijakan. Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) tidak sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka. 159

181 5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik bukan hanya melibatkan masyarakat adat dan negara yang saling berhadapan, tetapi juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berusaha membantu kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan konflik. Pada kasus TNGHS, LSM-LSM tersebut ada yang mendukung program BTNGHS, ada juga yang mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh hak akses kelola hutan. Salah satu LSM yang mendukung program negara (BTNGHS) adalah JICA. JICA berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep model kampung konservasi (MKK), JICA mencoba membantu TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di dalam kawasan. Adapun LSM-LSM yang pernah datang dan mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan adalah SABAKI, SKEPI, PERAN, PUSAKA, LATIN, RMI, AMAN, RESPEK. Namun yang secara kontinyu dan terus menerus melakukan pendampingan terhadap masayarakat adalah LSM SABAKI dan AMAN. LSM SABAKI merupakan organisasi paguyuban masyarakat adat Banten Kidul dimana seluruh Kasepuhan menjadi anggotanya. Melalui SABAKI inilah Masyarakat Kasepuhan bekerjasama dengan pemerintah daerah, bukan hanya Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga Pemerintah Kabupaten Lebak untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia terkait usulan revisi SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Adapun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) adalah organisasi yang memayungi masyarakat adat di seluruh nusantara. Masyarakat Kasepuhan selalu dilibatkan dalam kongres AMAN. Abah Asep turut hadir di beberapa kongres AMAN, antara lain tahun 2007 mengikuti rapat kerja (raker) AMAN di Sasana Langgeng Budaya TMII, tahun 2009 bulan Agustus abah juga hadir dalam kongres AMAN di Halmahera. Networking Masyarakat Kasepuhan dengan AMAN terbentuk karena kesamaan ideologi (pembelaan terhadap masyarakat adat) dan kesamaan nasib sesama masyarakat adat yang umumnya memiliki 160

182 masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat grassroot. LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam membuatkan naskah akademik mengenai pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada dibawah Yayasan Pancur Kasih. Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA (undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat). Beberapa pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup, AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), AMAN-Badan Pertanahan Nasional (BPN). MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundangundangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan 161

183 mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan di wilayah masyarakat adat; pengembangan model-model reforma agraria di wilayah adat (sumber: AMAN, 2012). Adapun LSM-LSM yang berkiprah di dusun Sungai Utik yang berada dalam satu wadah Yayasan Pancur Kasih membina Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dari berbagai aspek termasuk ekonomi dengan didirikannya cu pancur kasih yang kemudian berubah menjadi CU Keling Kumang setelah mengalami merger dengan yayasan lain. Salah satu peran penting lainnya yang dilakukan oleh LSM PPSDAK dalam mendampingi masyarakat tersebut adalah dengan melakukan pemetaan tata batas wilayah Sungai Utik, yaitu pemetaan partisipatif tahun Peta ini menjadi modal bagi masyarakat adat dalam klaim atas wilayah adatnya. Namun peta yang dibuat oleh masyarakat dan LSM tersebut belum diregistrasi, sehingga tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah maupun pemerintah daerah mengenai klaim wilayah yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, melalui LSM-LSM dibawah yayasan tersebut (LBBT), masyarakat juga mendapat pendidikan dan penyadaran hukum. Sekarang ini, beberapa LSM mulai melakukan pembinaan bagaimana mereka dapat mengelola hutan, memanfaatkan hutan menjadi bernilai ekonomi dengan cara pemberian pengetahuan tentang permebelan, yaitu mengolah kayu yang selama ini dibakar di hutan garapan masyarakat untuk dimanfaatkan menjadi barang-barang mebeler. Namun pembinaan tersebut belum berjalan lancar. Pembinaan yang sedang berjalan adalah yang dilakukan oleh cu keling kumang yaitu menampung kerajinan masyarakat dari rotan baik berupa tikar maupun tembikar dan alat-alat pertanian lainnya yang menggunakan rotan. Rencananya kerajinan tersebut akan dijual ke luar negeri oleh cu keling kumang. Selain bantuan LSM dalam bentuk peningkatan kapasitas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, bantuan LSM juga berada pada ranah konflik wacana untuk memperjuangkan hak kelola adat. Perjuangan ini dilakukan melalui arena seminar-seminar. Contoh kasus pada seminar dan lokakarya yang difasilitasi oleh LSM Lanting Borneo, dengan tema Mendorong pendekatan multi pihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi yang diselenggarakan 162

184 di Deo Soli Kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu, pada tanggal Mei Hasil yang diharapkan dari seminar tersebut adalah: adanya kesepahaman dan komitmen bersama guna membangun pendekatan multi pihak dalam pengelolaan hutan yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu; dan terbentuknya forum multipihak yang menjadi wahana bagi para pemangku kepentingan untuk membangun kerangka kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam seminar tersebut, pembicaranya adalah dari pihak cendekiawan dan negara, adapun masyarakat adat hanya sebagai peserta. Kalaupun ada masyarakat adat yang berbicara (contoh Pak Kanyan) hanya satu orang dari 11 pembicara, namun walaupun satu orang tetapi web of powernya adalah LSM (AMAN dan LSM yang berada dalam pembinaan Pancur Kasih serta LSM internasional). Dukungan LSM nasional dan internasional ini memberikan pengaruh pada pergeseran pengetahuan lokal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. LSM-LSM tersebut mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai pengetahuan tentang hutan. Masyarakat digiring oleh LSM pada pemahaman tentang perdagangan karbon, redd maupun demontrative activity (DA). Ada pengalihan wacana dari pertarungan untuk mendapatkan property right bergeser ke arah manfaat global bagi semua pihak, masyarakat, negara maupun dunia. Selanjutnya, pencapaian penting dari bantuan LSM terhadap Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah memfasilitasi masyarakat adat untuk memperoleh sertifikat ekolabeling, yaitu penghargaan dari lembaga ekolabel Indonesia dengan Nomor Certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae menua Sungai Utik), dalam lingkup sustainable community based forest management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares. Melalui sertifikat ini memungkinkan LEI untuk melakukan uji lapangan dan memperbaharui standar pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Sertifikasi tersebut meliputi 9.453,40 ha. Sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lestari. Dengan 163

185 adanya sertifikat tersebut, setidaknya untuk sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merasa lega, namun kecemasan tetap ada. Sekalipun adanya Instruksi Presiden No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, atau yang lebih dikenal dengan nama Inpres Moratorium, yang mengintruksikan penundaan izin baru, namun ada pengecualiaan bagi izin yang sedang berjalan. Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, disebutkan bahwa dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan ini menginstruksikan: kepada : 1. Menteri Kehutanan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Lingkungan Hidup; 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Dan Pengendalian Pembangunan; 5. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 6. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 7. Ketua Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan Nasional; 8. Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan Redd+ Atau Ketua Lembaga Yang Dibentuk Untuk Melaksanakan Tugas Khusus Dibidang Redd+; 9. Para Gubernur; 10. Para Bupati/Walikota untuk: 1. Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru yang menjadi lampiran instruksi presiden. 2. Kedua: penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian diberikan kepada: a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; 164

186 b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan d. Restorasi ekosistem. 3. Ketiga : khusus kepada: 1. Menteri Kehutanan, untuk: a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. Inpres tersebut memberikan pengecualian bagi perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku. Hal ini memberi makna bahwa IUPHHK PT. BRW masih tetap berlaku sampai jangka waktu izin tersebut habis Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan Dengan mengambil teladan kasus dari Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dijelaskan bahwa konflik sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat adat dan negara termasuk perusahaan didalamnya, merupakan konflik pemaknaan, tenurial, otoritas dan konflik livelihood. Adapun isu sentralnya adalah adanya perbedaan pemaknaan dan tumpang tindih klaim atas hak penguasaan sumberdaya hutan. Adapun karakteristik konflik dikedua lokasi dapat digambarkan, sebagai berikut: 165

187 Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun Hutan Sungai Utik Salak Masyarakat Negara Masyarakat Negara Penyebab Sistem nilai, Status wilayah masyarakat, Ketidak jelasan tata batas Pembatasan akses Status tanah Sistem nilai, Status wilayah masyarakat Ketidak pastian Status tanah Proses rekonsiliasi Bentuk konflik Aliansi Regulasi lokal Pemetaan wilayah adat MoU Lokakarya Program kampung konservasi Ecotourism Transmigrasi Laten- manifest; aliansi; konfrontasi Aliansi Regulasi lokal Pendokumentasian hukum adat Pemetaan wilayah adat Menghentikan kegiatan Membiarkan konflik mengambang Sebetulnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pada Bab X tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 68 menyebutkan bahwa: (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, bahkan jika ada kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara atas hutan tersebut dimana 166

188 masyarakat ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut, maka masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, maupun berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya kemudian berkenaan dengan hak milik atas tanah. Semua masyarakat adat di Indonesia hidup atas keberadaan lingkungan alam disekitaranya termasuk hutan dan mereka tidak memiliki surat apapun yang menerangkan kepemilikan mereka atas tanah dan hutan yang selama ini dijaganya. Selama undang-undang dan peraturan pemerintah mensyaratkan keberadaan kepemilikan atas tanah untuk membenarkan masyarakat adat memperoleh hak akses untuk pemanfaatan hutan, maka selama itu pula konflik sumberdaya hutan tidak akan pernah diselesaikan. Idealnya adalah baik negara maupun masyarakat dapat menjalankan fungsi dan peran sertanya masing-masing sesuai apa yang diamanatkan oleh Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa; masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, sementara pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian konflik sumberdaya alam tidaklah mudah, karena harus dapat menyelesaikan berbagai penyebab konflik dan mempertemukan kepentingan, penyelesaian tenurial maupun redistribusi otoritas. 167

189 Matrik 9. Resolusi Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Kondisi terkini Upaya konsensus Unsur kekuatan/ kelemahan Wilayah TNGHS diakui sebagai wilayah taman nasional, masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan garapannya selama tidak menambah lokasi baru, menanam pohon kayu dan tidak boleh memotong pohon kayu sekalipun berada di lahan garapannya. Ada upaya konsensus yang dilakukan melalui pertemuanpertemuan, kesepakatankesepakatan, pembuatan peta tata batas bersama masyarakat, pelaksanaan program bersama program kampung konservasi Tidak memiliki peta wilayah adat Hukum adat bersifat lisan dan bertumpu pada peran abah Dalam proses kesepakatan (MoU belum tuntas) Memiliki dukungan dari pemerintah daerah Mendapat dukungan dari LSM Wilayah ini masih berstatus hutan produksi (diatas kertas) namun tidak aktif. Secara nyata masih menjadi wilayah kelola adat Dayak Iban Sungai Utik dan dijalankan berdasarkan aturan adat. Masyarakat masih menggarap lahan pada miliknya dan boleh berpindah tempat (pertanian bergulir) dalam wilayah kuasa adat selama ada izin dari tuai rumah selaku ketua adat Ada upaya perjuangan untuk pencabutan izin IUPHHK dan IUP dan diterbitkannya keputusan bahwa hutan tersebut sebagai hutan kelola adat melalui mediasi yang dilakukan oleh LSM, namun Masyarakat Dayak Iban sendiri belum pernah bernegosiasi dengan pemerintah secara langsung. Memiliki peta wilayah adat (belum diregistrasi); hukum adat yang dibukukan dan ditanda tangani oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban dan Dayak Embaloh; memiliki sertifikat ekolabel dari LEI; memiliki sertifikat sebagai masyarakat teladan perduli hutan Mendapat dukungan dari LSM Bertentangan dengan pemerintah daerah Pada kasus TNGHS, dalam mencoba menyelesaikan konflik penguasaan sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan menempuh jalur negosiasi sejak awal. Sebenarnya upaya penyelesaian konflik antara BTNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sudah dilakukan sejak tahun Di tahun 2006 sudah dilakukan dua kali pertemuan untuk membahas masalah kawasan. Kedua pertemuan tersebut diadakan di Pelabuhanratu dan dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara), pihak pemerintah daerah. Namun kedua pertemuan tersebut gagal membangun kesepakatan dan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, tahun 2008 pihak BTNGHS menginisiasi pertemuan sosialisasi rencana strategis pengelolaan kawasan lima tahun ke depan yang akan diterapkan mulai pada tahun 2009 yang diselenggarakan di Bogor. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN, dan pihak BTNGHS. Salah satu yang menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah rancangan pembagian zonasi yang kemudian ditolak oleh pemerintah 168

190 daerah dan Masyarakat Kasepuhan karena dianggap tidak memberikan solusi terhadap sengketa kawasan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan. Menurut keterangan yang diperoleh, warga sudah menyatakan perang jika Renstra 5 tahun TNGHS diterapkan. Hal senada juga sudah dikemukakan oleh perangkat Desa Sirna Resmi dan pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi (lihat Rahmawati et al., 2008). Kekalahan Masyarakat Kasepuhan dalam mendialogkan penyelesaian konflik di kawasan taman nasional telah membuat Masyarakat Kasepuhan mengembangkan networking yang lebih luas baik dengan pihak LSM, pemerintah daerah maupun elit-elit politik. Dasar dari networking tersebut ada yang bersifat aliansi politik ada juga yang disebabkan karena kesamaan ideologi. Melalui bantuan LSM dan pemerintah daerah tersebut, Masyarakat Kasepuhan berdialog kembali dengan BTNGHS untuk menegosiasikan beberapa hal yang masih belum dapat disetujui oleh Masyarakat Kasepuhan: a. menegosiasikan ulang tentang hak akses masyarakat terhadap hutan dan lahan garapannya, b. melakukan pemetaan ulang berdasarkan tata batas hutan adat menurut masyarakat kasepuhan, c. menegosiasikan zonasi dalam kawasan taman nasional dengan memasukkan kawasan Masyarakat Kasepuhan sebagai zona khusus dan lahan garapan masuk kedalam zona pemanfaatan dengan pendefinisian baru yaitu memanfaatkan lahan untuk kepentingan livelihood masyarakatnya. Menurut keterangan pegawai BTNGHS, telah dijalin berbagai pertemuan untuk memperoleh kata sepakat dengan Masyarakat Kasepuhan maupun masyarakat lokal lainnya. Bunyi kesepakatan tersebut tertuang dalam rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang disusun melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana tata ruang kawasan (RTRK/ zonasi) TNGHS. Isi kesepakatan tersebut antara lain mengenai penetapan zona inti dan rimba. Dasar dalam penetapan zona inti ini adalah peraturan perundang-undangan dan tradisi budaya/ kelembagaan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan negara digunakan untuk melihat hutan berdasarkan kajian ekosistem, dan habitat 169

191 spesies penting serta hutan yang masih tersisa, sementara kelembagaan lokal Masyarakat Kasepuhan digunakan untuk mengkatagorikan hutan inti berdasarkan daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem yang bukan hanya melestarikan hutan tapi mensejahterakan masyarakatnya. Kesepakatan tersebut berusaha mencapai jalan tengah bertemunya dua kepentingan. Berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) yang disusun melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana tata ruang kawasan TNGHS sebagai berikut: A. Penetapan zona inti dan rimba Dasar penetapan melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting. Daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh. Difokuskan pada hutan-hutan alam yang masih tersisa. B. Penetapan zona pemanfaatan Kawasan TNGHS yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsifungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun penelitian cikaniki, cangkuang, gunung bunder dan lokasi lainnya. Khusus pada zona pemanfaatan yang masih dikelola perum perhutani dan pemerintah daerah (Pemda) akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA. Khusus zona pemanfaatan yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayahwilayah rawan terhadap keselamatan pengunjung tetap dikelola TNGHS. C. Penetapan zona rehabilitasi Kawasan yang merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi, seperti areal bekas penambangan emas tanpa izin (PETI), Koridor Halimun - Salak. Zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. D. Penetapan zona khusus 170

192 Wilayah yang telah dikembangkan sebagai fungsi utama ekonomi wilayah seperti sarana sutet, pembangkit listrik panas bumi (PT. Chevron), aktivitas pertambangan emas (PT. Aneka Tambang) Pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS. E. Penyusunan regulasi zonasi, mencakup aktivitas-aktivitas : Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria. Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas masyarakat desa di dalam dan sekitar TNGHS dalam hal akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria. Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan TNGHS perihal kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi. Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi. Memantau penegakan kontrak sosial (MoU dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Kesepakatan Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS mengenai penetapan zona pemanfaatan. Dalam menetapkan zona pemanfaatan ini terkait dengan definisi pemanfaatan itu sendiri, dimana BTNGHS melihat fungsi-fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun penelitian Cikaniki, Cangkuang, Gunung Bunder dan lokasi lainnya. Dalam konsep tersebut sama sekali tidak ada ruang pemanfaatan untuk livelihood masyarakat lokal yang basisnya adalah petani, sehingga tidak ada ruang lahan pertanian dalam konsep kehutanan, khususnnya taman nasional. Namun 171

193 demikian, BTNGHS masih menyisakan kesepakatan pada zona pemanfaatan yang masih dikelola Perum Perhutani dan pemerintah daerah akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA (izin pengusahaan pariwisata alam). Model kesepakatan seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat ternegasikan. Sama sekali tidak ada ruang zona pemanfaatan hutan TNGHS untuk lahan garapan dan pemukiman masyarakat, sekalipun dalam kenyataannya hal tersebut ada. Hal ini bisa jadi bermakna bahwa masyarakat harus keluar dari pemukiman dan lahan garapan yang selama ini digarap bersama Perum Perhutani maupun pemerintah daerah. Pada tataran negosiasi ini, kepentingan masyarakat betul-betul tersubordinasi bahkan tidak diberi ruang untuk ada, seakan-akan masyarakat dengan sistem pertaniannya menjadi penyebab dari semua kerusakan hutan yang ada di TNGHS. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan taman nasional (RPTN) Gunung Halimun Salak maka stop deforestasi menurut RPTN tersebut harus terjadi pada tahun Melihat data penurunan tutupan hutan , stop deforestasi akan terwujud apabila semua pihak berperan aktif sesuai tugas dan fungsinya dalam menjalankan pengelolaan di TNGHS. Peran aktif dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci utama dalam menjaga dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa. Sikap TNGHS yang sangat pro terhadap konservasi untuk penyelamatan habitat ini sangat kentara manakala merencanakan penetapan zona rehabilitasi, dimana tanah-tanah lahan kritis bekas garapan masyarakat akan direhabilitasi dan zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, atau pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. Isu yang diusung oleh BTNGHS untuk penyelamatan lingkungan di kawasan ini adalah biodiversity. Selanjutnya isu biodiversity ini telah melibatkan LSM internasional dalam konflik antara BTNGHS dan Masyarakat Kasepuhan, yaitu JICA. JICA berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep model kampung konservasi (MKK), JICA mencoba membantu TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di dalam kawasan. Melalui MKK, pengelola kawasan TNGHS 172

194 mencoba membina kelompok-kelompok masyarakat yang dihimpun melalui wadah MKK (model kampung konservasi) yang didukung oleh pendanaan dari JICA. Pilot project MKK tahun ini dilakukan oleh JICA di empat kampung yaitu: Kampung Sukagalih, Kampung Cimapag, Kampung Cisalimar dan Kampung Sirnaresmi. Namun konsep ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat mengingat pelarangan akses terhadap sumberdaya hutan (menggarap lahan di ex Perhutani) tetap diberlakukan sehingga kecurigaan terhadap konsep JICA dalam upaya membodohi masyarakat disadari oleh beberapa masyarakat, sehingga dari 9 kelompok bentukan JICA di tahun 2004, yang masih terbentuk di tahun 2008 tinggal 3 kelompok. Menyadari kesulitan untuk mengamankan hutan TNGHS, BTNGHS mulai mengembangkan konsep MKK di seluruh kawasan, baik di wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Sukabumi, dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah terkait maupun pihak perusahaan swasta yang berada di kawasan dan sekitar kawasan taman nasional, antara lain melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, PLN, ANTAM, CIFOR, TNGHS. Di Kabupaten Lebak, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Bedil, Resort Cisoka dan Resort Cibedug, dengan melibatkan pembinaan dan pendanaan dari JEES dan DIPA-TNGHS. Di kabupaten bogor, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Talaga, terdiri atas: Resort Gunung Kencana, Resort Gunung Butak, Resort Gunung Botol, Resort Gunung Salak 1, dan Resort Gunung Salak 2. Kegiatan MKK di Kabupaten Bogor menggandeng pendanaan dan pembinaan dari CIFOR dan ANTAM. Di Kabupaten Sukabumi kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Kendeng, Resort Cimanjaya, Resort Gunung Bodas, dan Resort Kawaah Ratu. Kegiatan MKK di Kabupaten Sukabumi dilakukan oleh TNGHS- JICA dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Total MKK di seluruh kawasan TNGHS sampai tahun 2012 adalah 39 buah. Fakta berkembangnya program MKK dengan melibatkan kolaborasi antara instansi pemerintah dengan perusahaan swasta menunjukkan bahwa adanya afilisi antara negara dan perusahaan swasta. Dukungan pendanaan dari perusahaan swasta tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan 173

195 ada keuntungan ekonomi yang diperoleh perusahaan atas kebijakan pemerintah yang mengizinkan aktivitas perusahaan di kawasan TNGHS melalui penjanjian pinjam pakai. Afiliasi antara negara dan perusahaan swasta tersebut telah memantapkan otoritas negara selaku pemilik dan pengontrol sumberdaya hutan. Otoritas negara selaku pihak yang berkuasa telah memarginalkan otoritas masyarakat dan kepentingannya terhadap hutan. Berkembangnya konsep MKK tersebut menunjukkan kemenangan otoritas negara melawan otoritas Masyarakat Kasepuhan, dan menunjukkan adanya dominasi otoritas negara atas otoritas masyarakat lokal dimana masyarakat dipaksa untuk menerima konsep pengelolaan kawasan ala taman nasional untuk pelestarian lingkungan. Sebetulnya ada peluang kesepakatan negara dan masyarakat adat yang dapat menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat bersama dengan hutannya, melalui penetapan zona khusus, yaitu zona pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS. Dalam penyusunan regulasi zonasi, ada beberapa aktivitas yang harus dilakukan antara masyarakat adat dan negara yaitu membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam hal akses pemanfaatan dan kontrol atas sumberdaya hutan dan kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi, membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi, memantau penegakan kontrak sosial dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Proses kesepakatan (MoU) dengan Masyarakat Kasepuhan tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Sampai saat ini, BTNGHS masih melakukan proses pemetaan untuk hutan adat menurut versi masyarakat yang akan disesuaikan dengan zonasi menurut taman nasional. Masih adanya tarik ulur kepentingan antara negara dan masyarakat, dimana kesepakatan tersebut masih dinilai kurang adil oleh masyarakat karena membatasi masyarakat pada zona khusus yang 174

196 merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan yang aktif pada saat ini, sementara dalam konsepsi masyarakat, lahan garapan juga termasuk lahan yang tidak dalam kondisi aktif, yaitu seperti ladang-ladang yang ditinggalkan sementara yang menurut TNGHS dikatagorikan sebagai lahan kritis. Dalam persepsi mayarakat Kasepuhan, ada beberapa kesepakatan penting yang harus dibangun antara TNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sebagaimana dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut: 1. pertama, perlu dilakukannya pemetaan tata batas hutan dalam konsep zonasi masyarakat dan dalam konsep zonasi taman nasional. Adapun data yang ada dari taman nasional tumpang tindih dan tidak jelas serta tidak nyata. Ada perbedaan antara peta menurut badan koordinasi survei dan pemetaan nasional (BAKOSURTANAL) dan peta taman nasional. 2. Kedua, pendefinisian zona pemanfaatan harus selaras dengan zona garapan adat, pemukiman dan garapan masyarakat, karena masyarakat adat juga mengetahui bahwa hutan inti (leuweung hideung) tidak akan diganggu. 3. Ketiga, mengenai aturan enclave. Taman nasional hanya mengakui adanya enclave perkebunan PT. Nirmala Agung, mengapa tidak mengakui adanya enclave masyarakat adat, padahal keberadaan masyarakat adat di kawasan ini sudah sejak abad ke 14 sebelum adanya Belanda, masyarakat sudah tinggal disini, dekat Perkebunan Nirmala Agung yaitu Kampung Urug Kecamatan Jasinga. Dari sejak saat itu sampai sekarang sudah ada 10 keturunan. Bukti adanya keturunan pertama bisa dipertanggungjawabkan di Cipatat Urug, buktinya adalah adanya kuburan nenek moyang. Jika perkebunan bisa diberlakukan enclave, mestinya juga dapat diberikan enclave untuk lahan garapan masyarakat, yang sebenarnya lahan garapan masyarakat di kawasan taman nasional ini sudah dibuka sejak tahun Ucapan Abah Asep tersebut merupakan harapan kesepakatan yang ingin dibangun oleh masyarakat dengan BTNGHS. Masyarakat Kasepuhan tidak ingin menguasai kawasan hutan secara keseluruhan, karena dalam konsep pengelolaan hutan Kasepuhan juga mengajarkan adanya beberapa kawasan yang harus tetap dijaga kelestariannya. Namun Kasepuhan menginginkan adanya hak akses pada 175

197 hutan garapan mereka sebagai sumber livelihood masyarakatnya. Oleh karena itu memang perlu adanya pendefinisian ulang mengenai zona pemanfaatan TNGHS, sehingga memungkinkan zona pemanfaatan tersebut berada pada peta leuweung garapan masyarakat. Upaya penyelesaian konflik Sungai Utik relatif lebih sulit karena perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif stagnan, karena sejak konflik pertama berlangsung di tahun 1984 sampai sekarang, tidak ada upaya yang nyata dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mengajukan kawasan Hutan Sungai Utik sebagai wilayah kawasan hutan kelola adat secara formal melalui surat formal, kajian naskah akademik maupun dengan dialog secara langsung. Bahkan peta sebagai bukti teritori wilayah kuasa Sungai Utik yang dimiliki oleh Sungai Utik sejak lama (tahun 1987) melalui bantuan dari PPSDAK (pembinaan pengelolaan sumberdaya alam kemasyarakatan) sampai sekarang belum pernah diajukan untuk dilegalisasi. Usaha yang sudah dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam rangka memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, dapat dikemukakan, sebagai berikut: (1) Pemetaan wilayah adat (difasilitasi oleh PPSDAK) yang bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta; (2) Penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan orang iban dengan struktur yang mereka miliki dari dulu yaitu temenggung (istilah temenggung merupakan kooptasi dari pemerintah Belanda), pateh dan tuai rumah yang nyaris hilang sebagai akibat kooptasi pemerintah melalui UU No. 5/1979 (difasilitasi oleh LBBT); (3) Inventarisasi hutan (difasilitasi oleh PPSDAK) untuk mengetahui potensi/ kekayaan hutan; (4) Identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan eksistensi tanah ulayat tersebut. (sumber data: Kanyan-LBBT) Penyelesaian konflik Sungai Utik dilihat dari konsep negara diatur dalam aturan negara sebagai penjelasan tambahan dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang 176

198 Kehutanan, yaitu Surat Edaran dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75/Menhut- II/2004 Tanggal 12 Maret 2004, perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/ Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat. Dalam surat edaran tersebut menegaskan bahwa hutan dapat terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara bisa berupa hutan adat. Artinya bahwa ketika masyarakat adat mengklaim sebagai hutan adat maka sesungguhnya hutan tersebut adalah hutan negara. Namun masyarakat adat diberi hak untuk memanfaatkan hutan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat tersebut masih ada dan diakui keberadaannya, maka berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jadi jika masyarakat hukum adat ingin diakui keberadaanya dan memperoleh hak-haknya terhadap hutan, maka harus ada pengakuan yang ditetapkan melalui peraturan daerah. Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada gubernur/ bupati/ walikota di seluruh Indonesia tersebut disebutkan bahwa...dalam rangka mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka kami minta kepada 177

199 saudara untuk dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Apabila di wilayah saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan hak pengusahaan hutan/izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) UU Nomor 41 Tahun Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat, bupati/walikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada saudara, maka kami minta bantuan saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum adat (yang telah ditetapkan) dengan pemegang HPH/IUPHHK.. Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus 178

200 berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/sosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat. Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, gubernur atau bupati/walikota dapat memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara perdata melalui peradilan umum. Mengacu pada surat edaran tersebut maka solusinya adalah penetapan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, namun hutan adat adalah hutan negara, sekalipun pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat, namun tetap mengakomodir keberadaan IUPHHK, sementara masyarakat memperoleh ganti rugi dari keberadaan IUPHHK tersebut. Apa yang ditawarkan oleh surat edaran tersebut tentu saja bertentangan dengan keinginan masyarakat, karena saat ini sekalipun hutan Masyarakat Dayak Iban tidak berstatus sebagai hutan adat, namun masyarakat mempunyai akses mutlak untuk mengelola hutan. Masyarakat mampu menjaga hutan dari masuknya perusahaan IUPHHK. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan, disebutkan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, dalam konsep negara, hutan yang dijadikan lahan IUPHHK tersebut juga harus memberi manfaat bagi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Namun sekalipun masyarakat diberi ruang untuk memanfaatkan kayu maupun non kayu pada areal hutan yang telah diberi status hutan HPH, namun keinginan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik hanyalah ingin hutan mereka tetap lestari dalam penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. 179

201 Keinginan Masyarakat Sungai Utik adalah bahwa hutan itu tetap lestari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut, sebagai berikut: Kami bukannya tidak mau mendukung program pemerintah yang menjadikan hutan ini sebagai kawasan HPH dan diberikan pada pengusaha, namun hutan ini adalah hutan kami, hutan titipan dari anak cucu kami generasi masa datang. Apa yang akan kami katakan pada mereka jika hutan tersebut rusak. Kami menjaganya untuk mereka kelak, bukan hanya untuk mewariskan kayu pada mereka, tapi yang ingin kami wariskan adalah hutan yang masih lestari, agar mereka masih tetap memiliki sumber mata air yang bersih, mereka masih bisa lihat keaneka ragaman jenis kayu dan jenis-jenis tanaman lain, serta memberi tempat pada makhluk-makhluk lain seperti hewan untuk hidup. Untuk kepentingan kami sendiri saat ini sudah cukup dengan memanfaatkan wilayah garapan kami baik untuk menanam padi, kebun karet maupun menanam jenis-jenis pohon kayu yang lain. Perbedaan sikap kedua masyarakat tersebut dilandasi karena adanya perbedaan nilai-nilai budaya (state of believe). Nilai-nilai budaya mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat Kasepuhan menempuh jalan dialog dengan bantuan dari LSM dan pemerintah daerah selaku mediator dalam penyelesaian konflik dengan BTNGHS. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dilakukan dengan jalan meningkatkan kemampuan kelembaaan Dayak Iban Sungai Utik melalui bantuan dari LSM sehingga mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik layak untuk melakukan pengelolan hutan berbasis masyarakat, yang dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ekolabeling. Sertifikat ini menjadi modal dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat. 180

202 6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN 6.1. Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelembagaan pengaturan pemerintah dan kelembagaan adat yang dianut oleh masyarakat yang hidup di sekitar hutan sejak lama, jauh sebelum hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara. Evaluasi kondisi hutan dan lembaga pengelola hutan memberikan wawasan tentang fungsi hutan sebagai sebuah milik bersama antara masyarakat yang hidup dari hutan dan negara sebagai pemilik hutan secara yuridis. perbedaan pemaknaan, tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan ini makin terasa dan menjadi persoalan ketika kelembagaan yang satu menegasikan keberadaan kelembagaan yang lain. Dalam konteks Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), atas nama ideologi konservasi, maka masyarakat harus keluar dari pemukiman yang sudah lama mereka tempati. Begitupun pada Masyarakat Adat Dayak Iban, ideologi pembangunan yang diusung negara telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan untuk pemanfaatan hutan dengan menegasikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik hutan yang sudah turun temurun. Perbedaan pemaknaan atas hutan dan tumpang tindihnya klaim atas kawasan hutan tersebut menyebabkan terjadi konflik. Masing-masing pihak dengan kelembagaannya berusaha untuk menunjukkan kekuasaan otoritasnya atas penguasaan sumberdaya hutan. Kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang mengarahkan kelompok- kelompok pada persaingan dan pertempuran. Dengan demikian otoritas merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Menurut Dahrendorf dalam Turner (1998), Konflik ini pada akhirnya merupakan refleksi dari kelompok peran dalam kaitannya dengan otoritas, karena "kepentingan obyektif" yang melekat dalam peran apapun adalah fungsi langsung dari peran yang memiliki otoritas dan kekuasaan atas peran lain. Setidaknya ada dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa (superordinate) dan yang dikuasai (subordinate). Kelompok peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam 183

203 mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa kelompok kepentingan tersebut menjadi terpolarisasi dalam dua kelompok konflik, masingmasing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam rangka memperjuangkan otoritas. Hal tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Beberapa unsur kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban berubah sebagai respon atas konflik sumberdaya hutan dengan negara selaku pemilik otoritas resmi terhadap hutan. Kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001). Dengan mengambil kasus di dua lokasi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan hutan Sungai Utik, ada kecenderungan yang berbeda di kedua lokasi. Pada kawasan TNGHS bahwa peran lembaga adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan mulai didominasi oleh kekuatan lembaga negara. Dalam konteks seperti itu, dimana terjadi dominasi negara dan pelumpuhan kelembagaan adat, konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dan negara menjadi tidak seimbang. Negara lebih banyak mendominasi masyarakat adat. Dalam konteks ini, dapat dikatakan ada hegemoni negara terhadap masyarakat adat. Hegemoni tidak hanya telah menciptakan perlawanan dari komunitas tradisional tetapi juga transformasi dalam berbagai faktor. Kondisi berbeda terjadi di kawasan Sungai Utik, dimana posisi negara dan masyarakat adat sama-sama kuat. Negara tidak mampu melaksanakan kebijakannya, sehingga tetap membiarkan masyarakat adat dan kelembagaan lokalnya yang bekerja dalam tata kelola hutan Sungai Utik. Namun negara juga tidak mengeluarkan surat pengakuan atas hak kelola adat tersebut. Dengan kata 184

204 lain pada kawasan Sungai Utik peran kelompok yang berkuasa dan dikuasai menjadi tidak jelas. Dalam konteks kelembagaan, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merupakan suatu komunitas yang memiliki kelembagaan adat tentang pengaturan tatanan hidup masyarakatnya dan tata kelola hutan yang melibatkan norma adat dan keagamaan. Untuk memahami kondisi kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dan hutan yang dalam penguasaannya, berikut ini akan digambarkan kesamaan dan perbedaan karakteristik dari kedua masyarakat adat tersebut. Matrik 10. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Dayak Iban di Hutan Sungai Utik TNGHS SUNGAI UTIK Aktor Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik Pimpinan Adat Abah Tuai rumah panjang Struktur Masyarakat Berstrata dimana abah menempati strata tertinggi dalam struktur Tidak ada struktur (tinggi-rendah) melainkan pelimpahan kekuasaan Pertimbangan keputusan teertinggi adat Hukuman/ sanksi supranatural Hukum Adat Anggota Masyarakat Adat Mata pencaharian Utama Sumber ekonomi (yang dapat dijual) Wilayah Adat masyarakatnya Wangsit (petunjuk nenek moyang) melalui abah Kualat atau kabendon (hukuman dari roh nenek moyang) Terdapat hukum adat, namun tidak jelas, bersifat lisan. Hukum adat sangat tergantung dari keputusan abah dan Kabendon Masyarakat Kasepuhan dan masyarakat luar Kasepuhan yang menyatakan diri sebagai pengikut. Kepengikutan dinyatakan dengan iuran sebagai pengakuan atas ketaatan terhadap Kasepuhan (terbuka untuk siapa saja) Pertanian padi huma dan padi sawah (hasilnya tidak boleh dijual), dengan sistem organik Kebun/ ladang: palawija, kapolaga, cengkeh, rotan, bambu Dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan. memutuskan dalam ukuran hukuman Musyawarah adat selanjutnya diputuskan oleh tuai rumah Tulah (hukuman dari roh nenek moyang) Terdapat hukum adat yang jelas diberlakukan selain Tulah. Hukum adat sudah dibukukan Semua anggota suku Dayak Iban secara turun temurun (tertutup) dan orang luar yang menikah dengan orang Dayak Iban, atau suku lain yang telah lama tinggal di Dayak Iban dan menjadi bagian dari rumah panjang Dayak Iban Sungai Utik Pertanian padi huma (hasilnya tidak boleh dijual), boleh menggunakan pupuk kimia Kebun/ ladang: karet, durian, tengkawang Dimiliki secara otonom oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan dan kesamaan karakteristik yang sangat nyata antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. 185

205 Perbedaan pertama adalah mengenai pimpinan adat. Masyarakat Kasepuhan dipimpin oleh seorang abah (kepala suku). Sekalipun Kasepuhan ada 3 (tiga) di kawasan Desa Sirna Resmi, namun masing masing Kasepuhan secara otonom memiliki kepemimpinan sendiri-sendiri. Abah memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengurusi segala urusan kehidupan masyarakatnya, khususnya dibidang pertanian (livelihood), mempunyai hak untuk memberi izin atau melarang masyarakatnya mengambil manfaat dari hutan, memimpin upacara adat, sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan masyarakat. Namun dalam hal kepemilikan sumberdaya alam dimiliki secara bersama dengan seluruh masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pemimpin yang bertingkat. Di Rumah Panjae Sungai Utik ada pemimpin yang disebut tuai rumah. Tuai rumah adalah orang yang menancapkan tiang pertama, mengurusi adat, musim bertani, keluarga, menyatakan pantang/ mali, dan lain-lain. Apabila terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tuai rumah maka diselesaikan di Ketemenggungan. Dari 7 (tujuh) dusun dalam ketemenggungan Dayak Iban Jalai Lintang dipimpin oleh seorang Tumenggung (kepala suku). Namun demikian sekalipun ada dibawah Ketemenggungan Jalai Lintang, Masyarakat Dusun Utik memiliki kepemilikan sendiri (otonom) dalam hal sumberdaya. Kepemilikan sumberdaya dikuasai sepenuhnya oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melalui pengaturan oleh tuai rumah. Perbedaan yang kedua mengenai struktur lembaga Kasepuhan. Masyarakat Kasepuhan berstrata, dimana menempatkan abah dalam strata tertinggi, kemudian ada kolot lembur yang menjadi perwakilan abah di tiap kampung. Dalam struktur adat Kasepuhan juga ada berbagai jabatan yang mewakili urusan Kasepuhan yang disebut tukang. Pada struktur yang paling rendah adalah masyarakat biasa (incu putu). Abah selaku pimpinan adat mempunyai kewenangan sentral dalam pengambilan keputusan sebagai representasi dari wangsit roh nenek moyang, melalui mekanisme Badan Musyawarah Kasepuhan. Dalam Masyarakat Dayak Iban, tuai rumah selaku pemimpin rumah panjang tidak memiliki strata yang jauh lebih tinggi dari Masyarakat Dayak Iban lainnya. Tidak ada struktur (tinggirendah) melainkan pelimpahan kekuasaan memutuskan dalam ukuran hukuman. 186

206 Sekalipun sebagai pemimpin adat, namun dalam pengambilan keputusan tuai rumah tidak memiliki kewenangan mutlak, masih ada mekanisme musyawarah yang menjadi landasan keputusan tertinggi adat. Perbedaan ketiga adalah mengenai penerapan sanksi dan hukuman. Ada dua macam jenis sanksi yang ada di Kasepuhan maupun Dayak Iban. Sanksi/ hukuman yang pertama berupa sanksi supranatural berupa hukuman dari nenek moyang apabila melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang atau diperintahkan oleh nenek moyang, seperti mengambil kayu pada hutan titipan maka akan berhadapan dengan sanksi/ hukuman yang berasal dari roh nenek moyang. Dalam kebudayaan Kasepuhan disebut kabendon/ kualat, sementara dalam Masyarakat Dayak Iban disebut tulah. Jenis hukuman tersebut bisa berupa penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai meminta maaf terhadap roh nenek moyang. Selain hukuman yang berasal dari roh nenek moyang, ada juga hukuman yang disebut hukum adat. Disinilah terdapat perbedaannya. Hukum adat pada Masyarakat Kasepuhan tidak dibukukan dan bersifat lisan hanya mengandalkan saja pada keputusan/ kebijakan abah. Abah menjadi sumber hukum bagi Masyarakat Kasepuhan. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hukum adat sudah dibukukan dan disepakati oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban. Perbedaan keempat adalah aspek sejarah penguasaan lahan dari zaman sebelum Indonesia merdeka sampai terbentuknya kelembagaan kehutanan. Sejarah membuktikan bahwa Masyarakat Kasepuhan sangat permisif terhadap keberadaan negara atau pihak lain yang mengklaim tanah dan hutannya, selama mereka masih diberi ruang (akses) untuk livelihood mereka dan pengaturan atas hutan mereka. Sepanjang sejarah, klaim masyarakat adat atas tanah dan hutannya silih berganti dengan klaim oleh negara. Namun kondisi tersebut tidak banyak mempengaruhi sikap masyarakat selama mereka masih memiliki akses. Untuk Masyarakat Kasepuhan akses sangat penting dibandingkan right (hak properti). Namun bagi Masyarakat Dayak Iban, hutan dan tanah adalah urat nadi sehingga mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan hutan dan tanah tersebut berada dalam penguasaannya. Bagi Masyarakat Dayak Iban hak sangat penting, karena saat ini mereka sudah memiliki akses. Hanya saja hak (right) dibutuhkan untuk keberlangsungan akses. 187

207 Dalam hal penguasaan lahan juga menunjukkan adanya perbedaan, dimana klaim wilayah adat Kasepuhan dimiliki bersama oleh masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan, disamping adanya klaim oleh negara sebagai kawasan taman nasional. Adapun kawasan Sungai Utik dimiliki secara otonom oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, disamping adanya klaim dari negara pusat sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi kawasan IUPHHK dan klaim dari negara lokal sebagai kawasan IUP untuk usaha perkebunan karet dan sawit. Berbagai perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan perkembangan kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun ada juga persamaannya yaitu sama-sama memiliki hukum adat sebagai acuan pengaturan tatanan sosial masyarakatnya, memiliki kepercayaan terhadap roh nenek moyang sekalipun agama sudah mulai masuk dan mempengaruhi kebudayaan mereka. Masyarakat Kasepuhan dipengaruhi oleh agama Islam sedangkan Masyarakat Dayak dipengaruhi oleh agama Katolik. Selanjutnya mata pencaharian utamanya sama-sama berbasis pertanian padi huma dengan tradisi menyimpan padi di leuit (lumbung) dan tidak boleh dijual, memiliki kelembagaan lokal yang mengatur tata cara pertanian dan pengelolaan hutan. Kelembagaan ini bersumber dari pengetahuan lokal mereka yang diwariskan secara turun temurun. Adapun sumber ekonomi yang dapat dijual dan menjadi sumber pendapatan masyarakat dapat dibedakan, jika pada Masyarakat Kasepuhan lebih bertumpu pada hasil kebun/ ladang dengan tanaman utama palawija, kapolaga, cengkeh, rotan dan bambu. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mengandalkan hasil kebun karet, durian dan tengkawang. Dalam konsep kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, mengajarkan masyarakatnya untuk melakukan mata pencaharian pertanian dengan menanam padi huma. Setiap segmen kegiatan usaha tani padi baik sawah maupun ladang pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban selalu disertai ritual tertentu sebagai bagian dari norma sosial dan adat. Termasuk ada banyak aturan dalam pertanian Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, antara lain: menanam jenis padi lokal (lihat bab 4); menanam padi satu tahun sekali; tidak boleh menggunakan pupuk kimia dan pestisida; melakukan berbagai upacara ritual dalam setiap proses tahapan pertanian (penjelasan rinci lihat bab 4). 188

208 Dalam pengaturan tata kelola hutan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik mengatur aktivitas pertanian sebagai bagian dari aktivitas hutan. Dalam sistem zonasi yang diatur oleh konsep adat, hanya satu bagian yang diperkenankan untuk aktivitas pertanian yaitu pada kawasan leuweung garapan di Kasepuhan atau kampong endor kerja di Dayak Iban Sungai Utik. Artinya kegiatan pertanian tidak terlepas dari kegiatan kehutanan. Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal yang menunjukkan kesamaan dan beberapa hal yang menunjukkan perbedaan di kedua masyarakat. Baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik samasama memiliki kelembagaan pengaturan terhadap tata kelola hutan, sama-sama mengklaim memiliki right terhadap kawasan hutan yang juga diklaim sebagai right dari hutan negara. Hanya bedanya Masyarakat Kasepuhan berhadapan dengan hutan konservasi sedangkan Masyarakat Dayak Iban berhadapan dengan hutan produksi. Dalam penguasaan sumberdaya hutan, tidak hanya melibatkan kelembagaan adat yang mengklaim sebagai penguasa hutan, namun ada kelembagaan negara selaku penguasa hutan secara de jure. Kelembagaan adat dan negara tersebut dapat dibedakan berdasarkan aspek rules, ideologi, norma, aktor, serta teritori. Matrik 11. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada TNGHS STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI RULES IDEOLOGI NORMA AKTOR Aturan zonasi hutan; Aturan mata pencaharian pertanian Aturan kehidupan Pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Hukum adat dalam bentuk lisan dan keputusan abah Ketua adat dan masyarakat adat Aturan mata pencaharian pertanian, seperti intensifikasi, penggunaan pupuk kimia dan menjual hasil pertanian Pelestarian lingkungan yang dapat menjamin livelihood masyarakatnya Hukum adat masih beresifat lisan, musyawarah adat Ketua Adat Sekretaris Adat Aturan Zonasi Kebijakan Kehutanan Pelestarian Lingkungan Hukum negara UU Kehutanan Menteri Kehutanan, Kepala daerah Membiarkan masyarakat tetap memperoleh hak akses untuk lahan garapan pada lahan hutan Pelestarian Lingkungan Hukum negara yang dinegosiasikan dengan masyarakat Dinas Kehutanan Pemerintah daerah Perusahaan TERITORI Ditandai dengan Proses negosiasi Ditandai Dilakukan pemetaan 189

209 STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI wilayah garapan pertanian. Semua kawasan bekas ladang menjadi wilayah teritori adat. untuk memperoleh akses dengan SK Menteri Kehutanan ulang peta kawasan adat maupun hutan negara Adapun analisis kelembagaan antara kelembagaan adat dan negara dalam kasus Sungai Utik dapat dikemukakan sebagai berikut: Matrik 12. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada Hutan Sungai Utik STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI RULES IDEOLOGI NORMA AKTOR TERITORI Aturan zonasi hutan; Aturan mata pencaharian pertanian Aturan kehidupan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Hukum adat dalam bentuk lisan dan keputusan tuai rumah Ketua adat dan masyarakat adat Ditandai dengan wilayah garapan pertanian. Semua kawasan bekas ladang menjadi wilayah teritori adat. Aturan Mata Pencaharian Pertanian, seperti intensifikasi, penggunaan pupuk kimia dan menjual hasil pertanian pelestarian lingkungan yang dapat menjamin livelihood masyarakatnya Pembukuan hukum adat, musyawarah adat Kepala desa, Tumenggung Proses perjuangan untuk pengakuan dari pemerintah sebagai kawasan kelola adat Kawasan IUPHHK-HA dengan Pola TPTI Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Hukum negara UU Kehutanan Menteri Kehutanan Kepala daerah Ditandai dengan SK Menteri Kehutanan Membiarkan masyarakat tetap memperoleh hak akses (menidurkan masalah) Pembangunan yang dapat menjamin kelestaraian lingkungan Hukum negara yang dinegosiasikan dengan masyarakat Kepala daerah Kepala desa Setelah perusahaan keluar dari lokasi, sama sekali tidak ada aktivitas. negara menidurkan masalah Dalam melihat aspek kelembagaan tersebut, teritori tidak bisa dilepaskan dari aspek kelembagaan. Teritori dimaknai sebagai kontrol wilayah yang merupakan upaya langsung untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan sumberdaya, misalnya dengan menggambar batas-batas dan mencoba untuk mengontrol akses ke sumberdaya alam dalam batas-batas yang dibuat oleh 190

210 kelembagaan tersebut. Pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, secara historis masyarakat tersebut menggunakan wilayah jangkauan yang luas melintasi pegunungan dan sungai melakukan pemanfaatan hasil hutan dan menggarap lahan pertanian termasuk memancing di sungai, dan berburu mangsa atau mengadakan ritual pada hutan tersebut. Bekas ladang (damun), wilayah perburuan, sungai serta wilayah hutan yang dijadikan upacara ritual masyarakat menandai keberadaan hutan milik mereka. Berdasarkan rules, ideologi, norma, aktor dan teritori, tergambar adanya dinamika kelembagaan adat versus negara. Diketahui perlahan tapi pasti telah terjadi pelumpuhan kelembagaan adat oleh kelembagaan negara atau kelembagaan lain, seperti masuknya pengetahuan modern, infiltrasi kelembagaan pemerintah dalam bentuk perubahan kebijakan pengelolaan hutan maupun kebijakan pembangunan lainnya, sedikitnya telah merubah pola pikir masyarakat adat dan terjadi pergeseran dalam tata cara adat atau bagaimana adat dimainkan dalam merespon berbagai perubahan tersebut Kebijakan Negara Tentang Pengaturan Hutan Yang Mempengaruhi Kelembagaan Masyarakat Adat Kelembagaan Masyarakat dalam pengaturan hutan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh adanya berbagai goncangan/ gangguan. Baik hutan TNGHS dan hutan Sungai Utik memiliki gangguan yang hampir sama, yaitu adanya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh negara dalam tata kelola hutan. Gangguan utama pada hutan TNGHS adalah adanya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan pemerintah pusat tentang perubahan status hutan dari hutan yang terfragmentasi ke dalam berbagai fungsi menjadi hutan konservasi dalam bentuk Taman Nasional (SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003). Kebijakan ini tentu saja mengganggu sistem sosial Masyarakat hutan. Gangguan pada sistem sosial akan berdampak pada perubahan sistem ekologi. Kebijakan pemerintah tentang perubahan luas taman nasional tersebut membawa konsekuensi pada beberapa hal: 191

211 Matrik 13. Perubahan Status Taman Nasional dan Dampaknya Pada Masyarakat Sekitar Hutan SEBELUM TAHUN 2003 SETELAH TAHUN 2003 Nama Taman Nasional Gunung Halimun Taman Nasional Gunung Halimun Salak Luas Ha Ha Pemukiman Pertambangan Perubahan Fungsi Hutan Ada 314 Desa dengan jumlah Penduduk orang yang masuk dalam kawasan TNGHS. Masyarakat tersebut memanfaatkan hutan untuk pertanian Ada beberapa pertambangan (emas dan geothermal) Hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas yang sebelumnya dikelola oleh Perhutani Pelarangan untuk pemukiman, maupun pertanian di kawasan hutan Terlarang untuk aktivitas pertambangan Semua wilayah menjadi taman nasional berdasarkan sk menteri kehutanan nomor 175/kpts-ii/2003 yang dikelola oleh balai taman nasional gunung halimun salak Bagi Masyarakat Kasepuhan sendiri, dampak paling nyata adalah pelarangan masyarakat untuk menggarap lahan pertaniannya yang dalam konsep masyarakat adat berada di kawasan hutan garapan namun dalam konsep negara masuk ke dalam wilayah taman nasional. Perubahan status hutan menjadi taman nasional memberikan efek terhadap kehidupan Masyarakat Kasepuhan, terutama karena mereka kehilangan akses untuk pemanfaatan hutan. Ini berarti bahwa mereka kehilangan sumber livelihood mereka. Dalam rangka mengatasi kesulitan livelihood inilah maka kelembagaan Masyarakat Kasepuhan berubah. Pada kasus hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga memperoleh tantangan yang berasal dari adanya intervensi kelembagaan baru dalam bentuk kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan pemerintah pusat mengenai izin IUPHHK atas nama PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 jangka waktu 45 tahun pola TPTI dengan luas areal Ha. Selain ancaman dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan yang membuat masyarakat menjadi tidak tenang, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan untuk PT. MKA, PT. BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK dari PT. BRW. Intervensi kebijakan negara lokal (pemerintah daerah) berupa penerbitan izin usaha (IUP) kepada PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 yaitu tentang izin lokasi untuk perkebunan karet 192

212 seluas Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan surat bupati nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang persetujuan IUP Perubahan dari karet menjadi kelapa sawit tanggal 10 Januari Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan kecemasan kepada Masyarakat Adat Sungai Utik, ketakutan kalau kebijakan itu juga akan mengambil kawasan Sungai Utik. Kebijakan negara tersebut telah membuat kondisi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik resah, terlibat dalam konflik, baik konflik antara Masyarakat dengan pemerintah, yang melibatkan pengusaha maupun masyarakat dengan masyarakat. Perubahan kebijakan pemerintah atau intervensi kebijakan tersebut berpengaruh terhadap sistem nilai masyarakat lokal. Ketika sistem nilai berubah, gaya hidup masyarakat berubah, seperti meningkatnya kebutuhan uang tunai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intervensi kebijakan negara membawa konsekuensi pada terjadinya perubahan kelembagaan masyarakat adat, baik pada Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pengalaman kehidupan, bahwa pengetahuan masyarakat adat tersebut mengalami berbagai pengaruh dan perubahan. Perubahan pengetahuan menyebabkan terjadinya perubahan kelembagaan dan perubahan kelembagaan tersebut juga mempengaruhi struktur masyarakat tersebut dalam konteks masyarakat adat dipandang sebagai suatu komunitas atau organisasi sosial. 193

213 Matrik 14. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik TNGHS SUNGAI UTIK Perubahan Struktur Ada perubahan struktur dengan penambahan posisi sekretaris abah, ajudan abah dan penasehat Kasepuhan (Ua Ugis). Namun tidak semua Kasepuhan mengakui adanya jabatan Penasehat Tidak ada Perubahan struktur Perubahan Pengetahuan dan Kelembagaan Tingkat Perubahan Alasan Perubahan Substansi Perubahan Kasepuhan. Beberapa aturan adat tidak lagi dijalankan: konsep sara, nagara dan mokaha tidak sepenuhnya dijalankan. masyarakat mulai menentang kebijakan negara yang dianggap menegasikan kelembagaan Kasepuhan Perubahan dalam tatacara pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada masyarakat yang menggunakan pupuk kimia, pola tanam dua kali dalam satu tahun dan ada juga yang menjual padi. Konsep kualat tidak lagi dijalankan Terjadinya pelumpuhan kelembagaan lokal dimana pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan sudah tidak bisa dijalankan. Ketaatan masyarakat terhadap kelembagaan lokal sudah mulai luntur dimana pengetahuan lokal tentang kearifan dalam pengelolaan hutan tidak lagi dijalankan. Pengetahuan tentang perlunya ketaatan atas budaya lokal yang memerintahkan bahwa segala aturan budaya tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Proses adaptasi livelihood Pengetahuan Sikap Tindakan Sosial Perubahan dalam tatacara pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada masyarakat yang menggunakan pupuk kimia, dan ada juga yang menjual padi. Konsep kualat tidak lagi dijalankan Dalam pengetahuan tata kelola hutan masih belum terjadi perubahan secara signifikan. namun telah terjadi perubahan proses berfikir masyarakat dimana konsep-konsep ilmiah seperti REDD, perubahan iklim serta kontribusi untuk kesejahteraan masyarakat sudah mulai menjadi wacana dikalangan anggota masyarakat Perubahan pemikiran masyarakat yang mengarah pada pertimbangan ekonomi kapitalis dan sistem pemikiran intelektual Barat Pengetahuan Sikap Tindakan Sosial Seiring dengan perkembangan zaman, masuknya pengetahuan modern yang dikemas melalui program dan proyek pemerintah, serta perubahan kebijakan negara tentang tata kelola hutan, perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan adat dan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. 194

214 Perubahan struktur pada Masyarakat Kasepuhan ditandai dengan adanya struktur baru Lembaga Kasepuhan yang menambahkan adanya posisi sekretaris abah. Sekretaris inilah yang berfungsi untuk mencatat dan mendokumentasikan pengadministrasian Kasepuhan termasuk mencatat jumlah dan keanggotaan dari para pengikut (incu putu). Sementara pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak ditemukan adanya perubahan struktur. Perubahan kelembagaan pada Masyarakat Kasepuhan ditandai oleh banyak hal. Pertama, perubahan dalam hal praktek pertanian misalnya penggunaan pupuk non organik dan pestisida. Kedua, perubahan gaya hidup misalnya penggunaan kompor gas yang sebelumnya dilarang. Perubahan tersebut menunjukkan fakta bahwa telah terjadi perubahan kelembagaan Kasepuhan, atau sekurang kurangnya telah terjadi perubahan pandangan atau konsep hidup. Ketika, perubahan pandangan dalam menempatkan peran-peran kepengurusan adat. Seperti yang diungkapkan oleh Ambu bahwa dalam konsep Kasepuhan, seluruh tukang harus mengabdi pada Kasepuhan tanpa dibayar dan jabatan tukang diperoleh secara turun temurun. Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat dan kebutuhan cash meningkat, maka konsep Tukang tersebut mulai tergantikan dengan konsep pembantu yang dibayar untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya. Meskipun pada Kasepuhan tertentu masih menggunakan kata tukang namun ternyata, tukang tersebut sudah tidak lagi mengabdi secara ikhlas. Ada konflik kelembagaan yang bersifat laten. Apalagi sejak perubahan status Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kekuasaan Kasepuhan tidak lagi mutlak. Kualat tidak lagi berlaku bagi masyarakat Kasepuhan. Pada tahun 2010 awal penelitian ini dilakukan, masih ditemui kondisi bahwa semua tukang bekerja melalui mekanisme adat tanpa dibayar. Namun penelitian di tahun sudah menunjukkan perbedaan kondisi. Di dua Kasepuhan (Cipta Mulya dan Cipta Gelar), istilah Tukang sudah tergantikan dengan konsep pembantu yang bekerja untuk abah atau Kasepuhan dengan memperoleh imbalan. Ketika di Abah Asep masih menggunakan konsep Tukang menurut budaya. Tukangnya sendiri sudah tidak begitu rela mengabdikan dirinya bagi kepentingan Kasepuhan. Sebagaimana diterangkan oleh Ibu Ami (Tukang sisiuk) bahwa: Hanya di Kasepuhan ini saja yang masih menggunakan Tukang untuk membantu Ambu dalam menyediakan makanan bagi tamu-tamu abah, kami masih mendapatkan jadwal untuk melayani tamu-tamu abah, tapi di Kasepuhan yang lain sudah tidak ada lagi bantuan tukang, melainkan diganti oleh Pembantu yang dibayar. Sementara para Tukang ini tidak dibayar.. 195

215 Ucapan Ibu Ami tersebut menjadi tanda bahwa ada konflik internal di dalam Kasepuhan itu sendiri dan menunjukkan telah lunturnya kepercayaan terhadap nilai-nilai Kasepuhan. Di masa lalu masyarakat percaya bahwa kepengurusan Kasepuhan diwariskan secara turun temurun. Artinya jika orang tuanya menjadi tukang maka setelah orang tuanya meninggal anaknya harus menjadi tukang dan mengabdi kepada Kasepuhan tanpa ada bayaran. Jika tidak mau maka akan terjai kualat/ kabendon. Namun sekarang telah berubah, bahkan konsep tukang telah tergantikan dengan konsep pembantu yang diberi upah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan kelembagaan dalam Masyarakat Kasepuhan. Keempat, perlahan tapi pasti, pengetahuan modern termasuk program program yang dibuat pemerintah telah mengikis kekuasaan kelembagaan Kasepuhan. Misalnya Program Kampong Konservasi yang dibentuk oleh Taman Nasional tanpa melibatkan kelembagaan Kasepuhan telah membuat jarak antara Kasepuhan dan incu putunya. Beberapa incu putu mulai berani berbeda pendapat dengan abah. Kelima, perubahan kelembagaan juga terlihat dalam penerapan konsep leuit (social security system ala Kasepuhan). Dalam kelembagaan Kasepuhan, ada konsep yang mengatur dukungan sosial untuk seluruh warganya, namun sekarang telah terjadi pergeseran konsep. Di Tahun 2010, masih dikenal adanya konsep social security system ala Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat yang hasil panennya tidak cukup sampai pada tahun berikutnya dibolehkan mengambil padi dari leuit (lumbung) adat, dimana dengan mengambil hari lahir istri atau suaminya, seorang istri boleh mengambil padi sebanyak (ikatan/ pocongan) yang diperkirakan cukup untuk memberi makan keluarganya selama satu minggu. Misalnya kalau istrinya lahir pada hari selasa dan jumlah keluarga sebanyak 5 orang. Dalam satu minggu keluarga tersebut butuh 7 kg beras atau katakanlah setara dengan 10 kg padi. Jika satu ikat padi beratnya 5kg, maka keluarga tersebut membutuhkan 2 ikat padi untuk makan keluarganya selama satu minggu. Atas dasar perhitungan tersebut maka setiap hari Selasa, istrinya boleh mengambil sebanyak 2 ikat padi untuk kebutuhan keluarganya. Suatu hari apabila keluarga tersebut memperoleh panen yang cukup, boleh membayarnya ke lumbung adat. Namun kondisi saat ini, pengambilan padi dari lumbung adat tersebut bermakna hutang yang harus dibayar dikemudian hari, dan pengambilan hutang tersebut harus seizin abah. Perubahan konsep dan sejumlah aturan kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sulitnya kehidupan akibat berkurangnya mata pencaharian menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat adat terhadap makna dukungan 196

216 sosial. Tidak ada dukungan yang sifatnya gratis diberikan oleh pihak Kasepuhan terhadap incu putunya, begitupun sebaliknya tidak ada bakti yang gratis yang diperoleh abah dari incu putunya. Jika di masa lalu, sawah abah digarap bersamasama oleh seluruh warganya secara gratis. Sekarang sawah abah digarap oleh orang-orang yang bekerja di sawah dan dibayar berdasarkan standar upah di desa. Kesulitan ekonomi akibat hilangnya akses terhadap hutan menyebabkan perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Sekarang ini, sistem dukungan sosial bagi warga Kasepuhan tidak sepenuhnya berjalan atas dasar adat, namun unsur ekonomi mulai mempengaruhi. Kedudukan sebagai abah, tidak lagi menempatkan abah dalam struktur sosial yang memberikan abah hak istimewa untuk memperoleh pelayanan apapun dari incu putu secara gratis. Berjalannya konsep tukang saat ini sama seperti mekanisme seorang pegawai yang melayani abah dan adat Kasepuhan dengan sistem upah dan penggajian. Sekalipun Kasepuhan Sinar Resmi mencoba mempertahakan adat Kasepuhan, namun menimbulkan konflik internal di kalangan para pengurus Kasepuhan. Kebijakan yang dibuat oleh setiap Kasepuhan pun sudah mulai berbeda, misalnya pada Kasepuhan Cipta Gelar masih memberlakukan pelarangan penggunaan pupuk kimia dalam hal pertanian. Pada Kasepuhan Abah Asep juga masih memberlakukan penggunaan pupuk organik untuk pertanian, namun apabila ada warga yang ingin menggunakan pupuk kimia, Abah Asep tidak melarang. Pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah menggunakan pupuk kimia. Dalam beberapa hal, aturan-aturan adat Kasepuhan pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah mulai mengendor. Hal ini terlihat dari cara berpakaian ketua adatnya, sikap ketua adat dalam menerima tamu, maupun dari mekanisme kerja adat dalam keseharian. Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan yang mengacu pada kosmologi sara, nagara dan mokaha dimana mengajarkan Masyarakat Kasepuhan untuk senantiasa kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Konsep tersebut merupakan pengakuan adat terhadap keberadaan dan kekuasaan negara. Namun fakta dilapangan dimana Masyarakat Kasepuhan mulai melawan negara menunjukkan bahwa kelembagaan (aturan/ kosmologi adat) tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan. 197

217 Ketika pengetahuan anggota masyarakatnya berubah maka dimungkinkan terjadinya perubahan kelembagaan. Perubahan yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai ada yang menjual padi hasil pertaniannya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip masyarakat tentang hidup bahwa saeutik mahi loba nyesa (beras sedikit harus cukup, beras banyak akan bersisa), tidak sepenuhnya dijalankan oleh seluruh Masyarakat Kasepuhan. Dalam hal tata kelola hutan, juga terjadi perubahan konsep. Sebelum tahun 2003, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil kayu jenis tertentu pada hutan cawisan untuk kepentingan membangun rumah tidak untuk diperjual belikan. Namun dari setiap kayu yang dipotong tersebut harus diganti dengan menanam pohon. Apabila dilakukan pelanggaran, maka ada sangki adat kualat yang akan menghukum Masyarakat Kasepuhan. Namun setelah konflik dengan TNGHS (tahun 2003), kualat pun dicabut oleh abah, sehingga tidak ada hukuman adat yang bersumber dari roh nenek moyang apabila melanggar, melainkan menggunakan hukum TNGHS, yaitu penjara. Beberapa perubahan pengetahuan tersebut menjadi bukti terjadinya proses perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Perubahan tersebut menyangkut perubahan berbagai aturan, ada aturan-aturan lama yang tadinya dijalankan dengan ketat, mulai longgar, misalnya aturan tentang pelarangan penggunaan pupuk kimia dan padi hibrida. Sekarang ini, aturan tersebut sudah berubah, sekarang masyarakat dibolehkan untuk memilih dengan menggunakan pupuk kimia, atau penggunaan bibit padi hibrida yang panennya 2 (dua) kali setahun. Perubahan juga menyangkut tata kelola tanah adat, sistem pengamanan pangan dalam konsep leuit, sampai pada perubahan aturan kepengikutan dengan membuka peluang bagi orang luar untuk masuk menjadi incu putu. Misalnya abah akan memberikan restu atau doa dengan kekuatan spiritual terhadap calon kepala daerah atau calon legislatif dengan syarat mereka harus diangkat dulu menjadi incu putu. Ikatan inilah yang akhirnya menjadi akses bagi abah untuk mempengaruhi kebijakan diranah politik lokal (pemerintah daerah) dan mendapat berbagai dukungan dari elit di tingkat nasional. Perubahan kelembagaan yang terjadi tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang merupakan respon atas konflik sumberdaya hutan 198

218 dengan negara. Ketika keadaan menjadi sangat sulit dan masyarakat kehilangan akses karena adanya kelembagan negara dalam pengaturan hutan, kelembagaan Kasepuhan tidak menjadi hancur melainkan dia mempunyai kelentingan yang tinggi dan mulai mencari jalan keluar dengan mengembangkan web of powernya pada politik lokal, dengan cara mencari dukungan dari pemerintah daerah atau bahkan mulai menjalin hubungan dengan para elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik dengan negara tersebut direspon dengan terjadinya perubahan kelembagaan Kasepuhan. Perubahan tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang mulai menyesuaikan dengan keadaan. Perubahan kelembagaan Kasepuhan menunjukkan adanya dinamika kelembagaan yang bersifat intrusif, sejalan dengan tradisi pertanian Masyarakat Kasepuhan yang bersifat survival agriculture atau land-to-mouth agriculture. Perkembangan kelembagaan adat Kasepuhan pun berjalan ke arah social survivability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani, dengan penguatan pada ability lembaga Kasepuhan dalam jejaring politik lokal dan mulai merambah untuk membuka jaringan dengan elit-elit politik tingkat nasional. Dalam kasus Sungai Utik, masuknya pengetahuan modern yang dibawa oleh LSM telah membuat sejumlah perubahan. Kegiatan pertanian yang dilandasi oleh norma-norma budaya dan agama telah meningkatkan kohesi sosial di lingkungan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sehingga upaya diseminasi inovasi dapat dilaksanakan secara lebih lancar. Dalam perjalanan konflik dan seiring modernisasi yang dialami oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, kelembagaan Sungai Utik pun mengalami perubahan. Perubahan yang paling mencolok adalah dalam tata cara adat gawai dimana unsur agama mulai dimasukkan sebagai bagian dari upacara. Masuknya agama Katolik dalam adat Dayak Iban telah merubah kelembagaan adat Dayak Iban. Hal ini terlihat dari susunan acara gawai dimana sebagian upacara mulai dilaksanakan di Gereja. Perubahan lain yang juga cukup sinifikan adalah dibukukannya hukum adat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang yang disepakati bersama ketemenggungan Dayak Embaloh, dengan mengkonversi hukuman atau denda adat ke dalam bentuk rupiah. 199

219 Masuknya agama Katolik, telah mengikis nilai budaya Dayak digantikan dengan nilai-nilai Agama. Peran Ape janggut selaku tuai rumah juga perlahan mulai tergeser bukan lagi sebagai pemimpin yang dominan apalagi dalam konsepnya Dayak Iban lebih mengutamakan suara/ pendapat umum (orang banyak) yang dilandaskan pada musyawarah dan mufakat. Terlebih lagi sekarang ini posisi Ape Janggut adalah posisi minoritas. Dari 28 pintu yang ada di rumah panjang, hanya tinggal 3 pintu yang belum masuk agama Katolik. Ape Janggut akan menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam agama Katolik, istilah mereka adalah tutup pintu. Jika semuanya sudah menjadi Katolik termasuk Ape Janggut, maka akhir dari tradisi nilai-nilai budaya Dayak Iban digantikan dengan nilai budaya baru agama Katolik. Selama Ape Janggut masih beragama nenek moyang, maka selama itu pula tradisi masih dijalankan. Kelembagaan dalam arti aturan-aturan yang berkenaan dengan pengelolaan hutan Sungai Utik, sampai saat ini belum terjadi perubahan, hanya saja kekhawatiran akan berubahnya kelembagaan tata kelola hutan mulai dikeluhkan oleh Ape janggut selaku tuai rumah. Sebagaimana yang dikatakan Ape janggut, bahwa Sekarang ini, pemuda Sungai Utik sudah mulai mempunyai kebiasaan baru yaitu minum tuak setiap malam. Ape khawatir itu akan membuat mereka menjadi malas bekerja, kehilangan mata pencaharian dan tidak lagi mau bekerja sebagai petani. Kalau itu terjadi, ada kemungkinan hutan kami akan terancam di masa depan. Jika pandangan masyarakat berubah karena kebutuhan akan uang yang mendesak, bisa-bisa di masa depan mereka akan tergoda untuk mengambil kayu dari hutan. Kekhawatiran Ape Janggut tersebut cukup beralasan. Belum lagi tuntutan masyarakat saat ini terhadap negara adalah mendapatkan pengakuan sebagai hutan adat dan mendapatkan hutan sebagai hak kelola adat. Kekhawatiran Ape Janggut lebih kepada bagaimana Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di masa depan akan mengelola hutan tersebut. Dalam hal pengetahuan tata kelola hutan sudah terjadi perubahan pengetahuan. Masyarakat memahami hutan sudah bukan lagi sebagai sumber kehidupan yang merupakan pewarisan dari nenek moyang secara turun temurun tapi sudah mulai melihat hutan dari aspek global. Masyarakat sudah mulai menyadari apa yang mereka lakukan untuk hutan tersebut juga memiliki pengaruh 200

220 global terhadap penyerapan karbon. Bahkan sekarang beberapa masyarakat sudah mulai bicara tentang REDD, perdagangan karbon bahkan mulai berpikir tentang sebagai langkah perjuangan untuk memperoleh keuntungan atas hutan. Fenomena yang terjadi pada Masyarakat Dayak Iban ini menunjukkan bahwa tingkat kohesi sosial dan social interplay pada Masyarakat Dayak Iban sangat tinggi. Kohesi sosial dan social interplay (hubungan sosial) merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Akibat kontak sosial yang tinggi dengan pengaruh luar secara langsung dengan anggota masyarakat menyebabkan perubahan pengetahuan terjadi dengan cepat. Dinamika kelembagaan pun berjalan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakatnya. Kompleksitas interaksi biofisik, teknologi dan budaya lokal di dua komunitas (Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik) telah menghasilkan polapola fenomenal dan spesifik adat dan lokasi. Kelembagaan Kasepuhan berkembang ke arah peningkatan kemampuan di ranah politik, sedangkan kelembagaan Masyarakat Dayak Iban berkembang dengan cepat ke arah peningkatan ekonomi rakyat, namun masih bersifat substantif, karena belum sepenuhnya berorientasi komersial, walaupun sudah mulai mempertimbangkan pasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi dinamika kelembagaan masyarakat Adat sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan negara dalam tata kelola hutan di kawasannya dan konflik perebutan penguasaan sumberdaya hutan Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik Kuatnya dominasi negara atas kelembagaan masyarakat Adat ditentukan oleh banyak faktor. Ada faktor-faktor yang menyebabkan sebuah kelembagaan masyarakat adat menjadi kuat atau lemah ketika berhadapan dengan negara. Faktor faktor tersebut dipetakan dalam matrik, sebagai berikut: 201

221 Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat Di Kasepuhan Dan Dayak Iban Sungai Utik TNGHS SUNGAI UTIK Konflik Internal Terdapat konflik antar Kasepuhan Tidak ada konflik internal dan Konflik di dalam Kasepuhan Kosmologi Pancer Pangawinan yaitu melaksanakan Sara, Nagara Jeung Mokaha. Sara adalah agama, Nagara adalah pemerintahan dan Mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Tanah Adalah Darah Ngau Seput Kitae Hutan bukan kumpulan tegakan pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan. Unsur Perekat Masyarakat Soliditas Dukungan Pihak Luar Ada satu pusat adat yaitu imah gede (rumah tempat tinggal abah selaku ketua Adat). Masyarakat tinggal dirumah masing-masing. Keseragaman keanggotaan sebagai warga Kasepuhan dicirikan oleh atap rumah yang terbuat dari ijuk. Keanggotaan adat tidak ketat, boleh bergabung atau keluar kapan saja, ditandai dengan penyerahan dana keanggotaan yaitu sebesar Rp per orang per tahun. Tidak terlalu solid. Di lokasi TNGHS wilayah Sukabumi (Desa Sirna Resmi) ada tiga Kasepuhan, diantara Kasepuhan tersebut juga terdapat konflik antar group, dimana masing-masing Kasepuhan saling bersaing untuk memperoleh dukungan dari incu putu (pengikut), saling bersaing untuk memperoleh dukungan pendanaan dari pemerintah daerah setempat baik untuk pembangunan kampung maupun dalam pendanaan upacara adat seren tahun. Tradisi Gotong royong yang tergantung pada perintah abah Ada dukungan LSM dan pemerintah daerah Masyarakat tinggal dalam satu rumah betang. Hanya beberapa rumah yang berada diluar rumah betang, namun segala aturan diatur oleh tuai rumah di rumah betang. Keanggotaan sangat ketat dicirikan oleh keturunan dan hubungan darah atau keterikatan terhadap lokasi dan jasa yang diberikan terhadap suku Dayak Iban. Sangat solid. Masyarakat bersatu dalam satu komando tuai rumah untuk urusan-urusan yang bersifat adat dan menyangkut mata pencaharian sebagai petani serta tata kelola hutan. Dalam prakteknya kekuasaan tuai rumah tersebut juga dilegitimasi oleh musyawarah dan mufakat diantara warga. Tradisi gotong royog yang dibangun bersama seluruh warga, dengan beban dan keuntungan dibagi rata diantara anggota masyarakat. Dukungan LSM dan Internasional sangat tinggi Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya kesamaan dan perbedaan faktorfaktor Kekuatan eksternal pengukuh legitimasi kuasa adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Perbedaan dan kesamaan tersebut yang membedakan keberadaan dan posisi masyarakat adatnya dalam hubungan relasi kuasa dengan negara. 202

222 Pertama, konflik internal di dalam kelembagaan adat. Pada Masyarakat Sungai Utik, konflik internal relatif hampir tidak ada sehingga perjuangan masyarakat adat melawan negara menjadi kesatuan yang utuh. Hal ini berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan, terjadi konflik antar kelembagaan Kasepuhan yang membuat perjuangan mendapatkan hak akses kelola hutan menjadi terpolarisasi. Kedua, Kosmologi Masyarakat. Pada Masyarakat Kasepuhan dikenal adanya Konsep konsmologi (state of belief) pancer pangawinan yaitu melaksanakan sara, nagara jeung mokaha. Sara adalah agama, nagara adalah pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus mengacu pada prinsip: kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Konsep ini merupakan pengakuan adat terhadap keberadaan dan kekuasaan negara. Kosmologi ini pulalah yang membedakan sikap Masyarakat Kasepuhan dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Adapun kosmologi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yaitu: darah ngau seput kitae (darah dan nafas). Hutan bukan kumpulan tegakan pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan, Dayak Iban menyebutnya darah ngau seput kitae (darah dan nafas). Konsep inilah yang membuat Dayak Iban mati-matian mempertahankan tanah dan hutannya, karena tanah dan hutan adalah urat nadinya artinya nyawanya, sehingga harus tetap dipertahankan sebagaimana mereka menjaga nyawanya. Kosmologi ini telah membuat sikap Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sangat keras, tidak memberi ruang kepada negara untuk berbagi klaim atas wilayah. Ketiga, Figur Pimpinan. Pimpinan Kasepuhan adalah abah. Figur abah sangat mutlak sebagai pemegang keputusan tertinggi. Dalam Masyarakat Dayak Iban, Musyawarah adat menjadi pusat pengambilan keputusan tertinggi. Namun dalam tata kelola hutan, figur Ape Janggut selaku tuai rumah sangat terkenal sebagai penjaga hutan yang diciptakan oleh sistem dan situasi internasional, sebagai bagian dari perjuangan atas pengakuan hutan kelola adat. 203

223 Keempat, Unsur Perekat Masyarakat. Masyarakat Kasepuhan memiliki imah gede sebagai pusat kegiatan masyarakat. Adapun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki rumah panjang, dimana seluruh anggota masyarakat hidup bersama dalam satu rumah. intensitas komunikasi dan interaksi dalam rumah panjang jauh lebih efektif dibandingkan dengan imah gede di Kasepuhan. Kelima, Soliditas. Tingkat soliditas Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu besar seperti yang ditunjukkan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Hal tersebut karena perbedaan strata dalam struktur kelembagaan Kasepuhan dan Dayak Iban, maupun karena pemusatan tempat tinggal. Soliditas ini juga dipengaruhi oleh adanya tradisi gotong royong yang masih kental pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Pada Masyarakat Kasepuhan, kepentingan abah atau adat adalah segalanya, sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban, kepentingan umum adalah segalanya. itulah yang membedakan tradisi gotong royong dikedua masyarakat adat. Tingkat soliditas kelembagaan adat juga menenntukan kuat lemahnya posisi relasi kuasa antara kelembagaan adat dengan negara. Pada wilayah TNGHS Daerah Sukabumi (Desa Sirna Resmi), terdapat 3 (tiga) Kasepuhan, masingmasing Kasepuhan memiliki kepentingan sendiri terhadap warganya dan pemerintah. Karena keanggotaan sifatnya bebas, masyarakat boleh keluar atau masuk menjadi warga Kasepuhan kapan saja mereka mau, tanpa ada perekat yang kuat, menyebabkan masing-masing kelembagaan Kasepuhan bersaing untuk memperoleh dukungan dari pengikut (incu putu) atau mempertahankan incu putu agar tidak keluar dari kelembagaan Kasepuhannya. Begitupun dalam hubungannya dengan pemerintah. Kepentingan masyarakat terhadap dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah menyebabkan sikap masyarakat menjadi longgar terhadap pemerintah. Begitupun dengan pemerintah daerah, politik lokal regional bermain disitu, Masyarakat Kasepuhan merupakan aset terbaik untuk melanggengkan kekuasaan aktor pemerintah (bupati/ wakil bupati), baik secara perhitungan suara maupun kekuatan mistis yang dipercaya dapat memuluskan jalannya para aktor tersebut dalam menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan. Para aktor yang meminta dukungan warga Kasepuhan 204

224 tersebut bukan hanya berasal dari aktor daerah tetapi juga berasal dari aktor pemerintah pusat. Konflik yang terjadi antar lembaga Kasepuhan tersebut menjadikan Lembaga Kasepuhan tidak satu unit kesatuan yang utuh, sehingga ketika berhadapan dengan tantangan luar (negara), mereka menjadi lemah, mudah dipecah belah. Mengapa kekuatan di Sungai Utik lebih solid dibandingkan dengan kelembagaan Kasepuhan, tentunya tidak terlepas dari soliditas yang dibangun secara adat dan teritorial, dimana Masyarakat Dayak Iban tinggal dalam satu rumah betang yang sama, sehingga interaksi antar warga menjadi lebih intens. Keenam, dukungan pihak luar. Isu perjuangan Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha lebih menguntungkan dibandingkan dengan isu Masyarakat Kasepuhan melawan taman nasional. Perbedaan jenis hutan yang dihadapi membuat perbedaan dukungan luar yang didapat. Ketika kelembagaan masyarakat adat berhadapan dengan kelembagaan negara (hutan produksi) maka dukungan kelembagaan dan dukungan lainnya baik dari tingkat nasional dan internasional menjadi banyak karena isu yang diusung adalah isu pelestarian hutan yang dijalankan oleh masyarakat adat yang sedang berhadapan dengan ekonomi kapitalisnya negara. Lain halnya dengan ketika masyarakat adat berhadapan dengan hutan konservasi, maka menempatkan masyarakat sebagai tertuduh kerusakan hutan, maka dukungan dari pihak luarpun mejadi terbatas. Posisi masyarakat Dayak Iban menjadi semakin kuat ketika dukungan pihak luar tersebut mampu mendorong Masyarakat Dayak Iban memperoleh sertifikat ekolabeling untuk tata kelola hutan berbasis masyarakat, yaitu penghargaan dari Lembaga Ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk Pengelolaan hutan oleh Rumah Panjae Menua Sungai Utik (forest management unit of Rumah Panjae Menua Sungai Utik), dalam lingkup sustainable community Based Forest Management (SCBFM) Unit with an area of 9.453,40 hectares. 205

225 Sejumlah prestasi pembuktian kuatnya pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan pada hutan Sungai Utik: Rumah panjang Sungai Utik diakui sebagai situs budaya Kabupaten Putussibau, Mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Kalimantantan Barat, bidang pelestarian lingkungan dengan kategori penyelamatan lingkungan, tahun 2005; mendapat sertifikat ekolabel dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia), yang di serahkan langsung oleh Menteri Kehutanan di Sungai Utik tahun 2008; mendapat piagam penghargaan dari Badan Registrasi Wilayah Adat tahun 2010, seluruh Indonesia baru 5(lima) wilayah adat yang telah di registrasi; Juara I lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2011; Juara I lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat provinsi Kalimantan Barat tahun 2011; Mendapat penghargaan nasional sebagai Desa Perduli Hutan dalam lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat nasional tahun 2011 Dari penjelasan di atas diketahui bahwa posisi kelembagaan adat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih kuat dan diterapkan, sedangkan pada Masyarakat Kasepuhan, kelembagaan adat sudah mulai melemah. Nilai-nilai adat Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tidak lagi dijalankan secara penuh. Hanya pegetahuan tentang pertanian saja yang masih secara utuh dijalankan. Lemahnya kelembagaan adat Kasepuhan tersebut menunjukkan bahwa posisi negara sebagai superordinat sangat kuat dan menundukkan aktor Masyarakat Kasepuhan sebagai kelompok yang dikuasai (subordinat). Sementara itu, kuatnya legitimasi kuasa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik jika dibandingkan dengan Masyarakat Kasepuhan dalam pengaturan tata kelola hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, soliditas, jenis hutan yang diperjuangkan serta dukungan pihak luar Strategi Adaptasi Ekologi Masyarakat Dalam Rangka Keberlanjutan Sistem Sosioekologi Hutan Meskipun berbagai persoalan sudah menyerang mereka, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih memiliki loyalitas terhadap tradisi mereka. Mereka memiliki peraturan sendiri untuk mengelola dan memanfaatkan lahan, terutama untuk pengelolaan hutan dan penanaman padi. Kesetiaan dalam menjalankan tradisi budaya tersebut merupakan strategi adaptasi ekologi mereka. Dari sudut perspektif ekologi fungsional, adaptasi yang dilakukan individu dapat dilihat sebagai suatu respon individu atau sistem respon (human response) dengan tujuan untuk memelihara homeostasis. Sebaliknya, dari sudut perspektif ekologi prosessual, sistem adaptasi dilihat sebagai suatu sistem perilaku yang dibentuk 206

226 sebagai hasil proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Vayda and McCay, 1975 : ; Vayda and Rappaport, 1968 : 477:497). Dalam kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban, adaptasi dilihat lebih sebagai suatu proses sebagaimana yang diacu oleh perspektif yang kedua, dimana terjadinya perubahan sosial yang diakibatkan oleh adanya intervensi kebijakan negara atas suatu kawasan yang tadinya dikuasai oleh masyarakat adat berdasarkan right yang dimaknai budaya masyarakatnya. Namun seiring dengan perubahan kelembagaan hutan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi terhadap perubahan kelembagaan hutan dan dalam rangka memperoleh sumber livelihood baru. Mengacu pada apa yang dikemukakan Vayda and McCay (1975) bahwa Proses adaptasi sebagai suatu respon terhadap perubahan fisik sumberdaya hutan atau perubahan sosial bersifat temporer. Pola adaptasi ditunjukkan melalui pola perilaku tertentu seperti perubahan dalam mata pencaharian. Dalam pengelolaan hutan, mereka memiliki kearifan lokal yang membagi hutan dalam beberapa zonasi. Salah satu zona dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai lahan garapan. Di wilayah lahan garapan inilah, Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban melakukan budidaya tanaman padi dengan pola tertentu. Pada Masyarakat Dayak Iban, pola ini mirip dengan petani ladang berpindah (namun masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai pola gilir balik), di mana penduduk desa akan kembali melakukan penanaman pada wilayah yang sama setelah interval tahun kemudian. Setelah 10 atau 15 tahun ditinggalkan, tanah tersebut akan memiliki kesuburan yang sama. Sebenarnya, pola tanam di Masyarakat Kasepuhan juga hampir sama dengan Masyarakat Dayak Iban, namun karena perubahan status wilayah lahan garapan menjadi taman nasional, Masyarakat Kasepuhan tidak lagi memiliki akses untuk membuka lahan baru di wilayah tersebut. Baik dalam Masyarakat Dayak Iban maupun Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki konsep kearifan lokal dalam penanaman padi. Misalnya dalam Masyarakat Kasepuhan, dikenal adanya kearifan lokal tentang tindakan melarang masyarakat untuk menjual beras, pemilihan lahan pertanian sampai pada perintah untuk pindah ke tempat baru. Kearifan lokal tersebut masih dilakukan secara terus 207

227 menerus sampai sekarang. Semua tradisi ini selalu dikaitkan dengan kehadiran perintah leluhur (wangsit), yang terus dipertahankan oleh kepala suku dan para pengikutnya. Penolakan wangsit akan memberikan dampak dalam bentuk hukuman, baik hukuman yang bersifat gaib maupun sanksi hukum adat. Hukuman yang bersifat gaib tersebut disebut Kabendon (pada Masyarakat Kasepuhan) atau Tulah (pada Masyarakat Dayak Iban). Masyarakat masih percaya bahwa pelanggaran hukum adat akan dikenakan sanksi adat yang disebut Kabendon/ Tulah, seperti bentuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Pada dasarnya, meskipun kondisi ekologi dan kebijakan lokal berubah, namun tidak terlalu banyak mempengaruhi mata pencaharian penduduknya. Misalnya pada Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki keterlibatan dengan sejarah perkembangan hutan. Komunitas ini memiliki mata pencaharian utama sebagai petani padi. Umumnya masyarakat memiliki areal pertanian mereka di taman nasional. Ketika perubahan status hutan (menjadi taman nasional) pada tahun 2003, beberapa orang telah kehilangan hak akses terhadap tanah. Tetapi beberapa dari mereka masih tetap bekerja di kawasan taman nasional. Sebagai hasil negosiasi, Taman Nasional masih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan untuk menanam padi di tempat yang sama, tetapi ada beberapa larangan: menebang pohon, meskipun di tanah lahan garapan mereka sendiri dan pembukaan lahan baru. Perubahan ini tentu saja merubah kehidupan mata pencaharian masyarakatnya. Namun demikian, masyarakat harus tetap bertahan dengan kondisi lingkungan yang baru. Dalam mengatasi berbagai kesulitan tersebut, masyarakat melakukan strategi adaptasi. Umumnya Masyarakat Kasepuhan masih tetap menjadi petani, menggarap lahan garapan ditempat yang sama, hanya saja kalau dulu, matapencaharian ini aman, nyaman dan pasti karena ada perlindungan dari abah. Namun sekarang menggarap lahan di lahan garapan menjadi tidak aman, tidak nyaman dan tidak pasti, karena harus kucing-kucingan dengan polisi hutan, karena sekarang tidak ada perlindungan dan legitimasi dari abah. Selain menanam padi, masyarakat mulai menanam tanaman komersial seperti kapolaga 208

228 atau tanaman rempah lainnya. Hal ini ditujukan untuk mengatasi kesulitan keuangan karena hasil dari panen padi menjadi tidak pasti. Adaptasi lainnya ditunjukkan dengan memberdayakan anggota keluarga (istri dan anak) bekerja untuk menghasilkan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan total keluarga masyarakat sekitar TNGHS berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- (pendapatan tersebut termasuk pendapatan kepala keluarga, pendapatan ibu rumah-tangga, dan pendapatan anggota keluarga lainnya). Namun demikian pekerjaan sebagai petani di lahan garapan mereka (setelah perluasan Taman Nasional) tidak lagi memberikan rasa aman, nyaman dan pasti. Mereka harus kucing-kucingan dengan polisi hutan dalam menggarap lahannya. Kelembagaan adat dengan hukum adat dan kekuasaan abah tidak lagi dapat melindungi dan melegitimasi mereka dalam menggarap lahannya. Keputusan Menteri Kehutanan untuk perluasan taman nasional telah menegasikan otoritas kelembagaan adat Kasepuhan. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, pendapatan masyarakat jauh lebih besar dari masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sumber utama pendapatan mereka adalah padi ladang dan perkebunan karet. Apalagi musim panen tahun ini memperoleh hasil yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Pak RM, sebagai berikut: Musim tanam kali ini di Sungai Utik terbilang cukup bagus. Padi yang dihasilkan sekarang tidak serta merta dihabiskan untuk tahun sekarang, namun disimpan pula sebagai cadangan manakala tahun depan dikahwatirkan gagal panen. Hasil pertanian padi Masyarakat Dayak Iban tidak dijual, melainkan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tahun ini lahan pertanian saya menghasilkan 100 karung gabah kering dalam satu kali panen, dalam sekarung ada 50 kg, berarti tahun ini saya mendapatkan 5000 kg atau 5 ton. Hasil panen tersebut tidak dijual, karena adat disini tidak mengenal jual beli gabah atau beras. Begitu pak RM menjelaskan bahwa dalam adat Dayak Iban Sungai Utik tidak mengenal jual beli gabah. Adapun apabila ada tetangga atau saudara yang kekurangan maka diberikannya dengan sukarela. Jika mereka memberikan beras, kemudian orang yang diberi beras tersebut memberi uang, maka itu boleh dilakukan, karena maknanya bukan makna jual beli, melainkan saling memberi. Mereka menolak ketika apa yang mereka lakukan itu disebut transaksi jual beli, namun hanya sebatas barter saja. Sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan tata kelola hutan, Masyarakat Dayak Iban mulai mengembangkan tanaman komersial karet. Pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang berwujud uang cash dapat 209

229 diperoleh dari hasil menoreh karet. Paling sedikit masyarakat memiliki pohon karet sebanyak 500 pohon, paling banyak pohon. Dengan rataan kepemilikan dan kemampuan menoreh karet per hari sebanyak 500 pohon. Jika dari satu pohon karet paling sedikit 3 kg dan paling banyak 5 kg getah maka pendapatan terkecil masyarakat per hari sekitar Rp per hari atau Rp ,- per bulan. Rata-rata penghasilan masyarakat dari karet tersebut sebesar 15 kg x Rp ,- = Rp ,- atau Rp ,- per bulan. Pendapatan tersebut merupakan pendapatan utama yang berasal dari kebun karet, Pendapatan tersebut digunakan sepenuhnya untuk konsumsi membeli berbagai macam lauk pauk, membeli bensin atau solar untuk kebutuhan penerangan (diesel). Jika satu hari menyalakan listrik selama 2 jam, menghabiskan bensin sekitar 2 liter dengan harga bensin Rp ,- per liternya. Artinya pengeluaran untuk diesel selama satu bulan sebesar Rp x 30 hari = Rp ,-. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penerangan selama dua jam per hari harus mengeluarkan uang sebesar Rp ,- per bulan. Sekalipun pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif besar, namun biaya hidup di daerah ini juga cukup mahal. Berbagai macam barang kebutuhan pokok harganya 2 (dua) kali lipat lebih mahal daripada di Pulau Jawa, sehingga ada kalanya uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi jika memiliki anak yang sekolah di SMA karena harus pergi ke Benua Martinus atau Putussibau. Beberapa kebiasaan lain yang merogoh penghasilan cukup besar adalah kebiasan merokok dan minum minuman keras yang dibeli dari warung. Ada beberapa situasi yang menempatkan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban dalam kondisi sulit, tetapi karena dukungan kelembagaan dan sosial, mereka bisa mengatasi kesulitan tersebut. Pola adaptasi ekologi dan strategi nafkah Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih di sekitar pertanian. Tapi perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan hak ulayat/ hak akses terhadap sumberdaya hutan tidak pernah berhenti. 210

230 7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN 7.1. Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault Teori yang digunakan dalam analisis konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Sungai Utik adalah Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault. Teori Foucault digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan. Pendekatan teori konflik Dahrendorf menekankan pada bagaimana memahami masyarakat dan bagaimana mereka berfungsi pada dua pusat perhatian utama (lihat Rodgers, 2003). Pertama adalah kekuasaan merupakan penentu utama dalam memahami bagaimana struktur sosial ada dan dalam pemahaman bahwa keutamaan kekuasaan menyebabkan konflik tak terelakkan dimana individu akan sejajar dengan kelompok-kelompok yang berbeda untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Perhatian kedua, adalah bagaimana lembaga-lembaga sosial yang sistematis menghasilkan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan dan bagaimana konflik itu menjadi aktif (Wallace dan Wolf, 1995). Pendekatan Dahrendorf (dalam Turner, 1998) berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai dasar dari semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Adapun proposisi model teori konflik dialektiknya Dahrendorf (lihat Turner, 1998; Kinseng, 2013), dapat dikemukakan sebagai berikut: 211

231 I. Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota kuasi grup dalam ICA menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan: A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada: 1. Pembentukan kepemimpinan di dalam kuasi grup 2. Kodifikasi sistem ide B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya C. Kondisi sosial, yang tergantung pada: 1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi 2. Kesempatan untuk merekrut anggota II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin intens konflik yang terjadi. III. Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain (superimposed), semakin intens konflik yang terjadi. IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok super ordinat dan subordinat, semakin intens konflik yang terjadi. V. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal konflik yang terjadi. VI. Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi. VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi. VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. IX. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Selain teori Dahrendorf, teori pengetahuan dan kekuasaannya Foucault digunakan untuk menganalisis konflik pemaknaan terhadap sumberdaya hutan. Teori Foucault yang digunakan untuk analisis dalam peneltian ini adalah karyanya yang menelaah pengetahuan dan kekuasaan. Dalam memahami konsep pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault arkeologi 212

232 ilmu pengetahuan (Foucault, 1966) dan genealogi kekuasaan (Foucault, 1969). Pengetahuan adalah wilayah koordinasi dan subordinasi pernyataan-pernyataan dimana konsep tampak didefinisikan, diaplikasikan dan ditransformasikan. Pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Menurut Foucault dalam geneologi kekuasaan menyatakan bahwa ada hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Genealogi memperhatikan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam ilmu kemanusiaan dan praktik- praktiknya yang berhubungan dengan regulasi tubuh, pengaturan perilaku dan pembentukan diri. Kebenaran berhubungan langsung dengan geneologi kekuasaan. Kebenaran diproduksi oleh setiap kekuasaan, kekuasaan menghasilkan pengetahuan, sementara pengetahuan memberikan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling memperngaruhi. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya. Relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Kekuasaan selalu terakumulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan Fenomena Konflik Di TNGHS dan Sungai Utik Konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya melibatkan dua aktor utama yaitu masyarakat adat dan negara. Pada Kasus Sungai Utik melibatkan pengusaha yang beraliansi dengan negara. Akar masalah konflik tersebut adalah adanya perbedaan pemaknaan atas hutan dan tumpang tindih klaim kepemilikan hak atas tanah dan sumberdaya hutan pada satu kawasan yang sama. Perbedaan pemaknaan atas hutan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan pengetahuan tentang tata kelola hutan antara aktor yang berkonflik. Pengetahuan masyarakat adat berdasarkan aspek historis atas tradisi budaya yang diwariskan secara turun temurun, sedangkan pengetahuan negara berdasarkan atas peraturan perundang-undangan. Landasan pengetahuan ini pulalah yang memberi kuasa pada masing-masing pihak untuk mengklaim kawasan tersebut dan mengelola hutan. Pengakuan negara sebagai penguasa tanah dan seluruh isi yang terkandung didalamnya disebutkan secara tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 213

233 33 Ayat (3). Namun UUD ini juga menyebutkan adanya pengakuan masyarakat adat dan mengakui keberadaan hak masyarakat adat, sebagaimana tertuang dalam Perubahan II 18 Agustus 2000, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2). Selanjutnya, tonggak penting pengakuan atas tanah dan sumberdaya alam negara maupun masyarakat hukum adat ada pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan Pasal 16 UUPA bahwa hak atas tanah dibedakan sebagai berikut: hak milik; hak guna-usaha; hak guna-bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; hak memungut-hasil hutan; dan hak-hak lain yang disebutkan dalam pasal 53, yaitu hak-hak yang sifatnya sementara (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Berdasarkan hak-hak tersebut, bila diklasifikasikan dalam penguasaan tanah bahwa berdasarkan peraturan Perundang-Undangan Indonesia yang masih mewarisi peraturan Perundang-Undangan zaman Belanda, mengakui penguasaan atas tanah di Indonesia dalam dua bentuk yaitu tanah negara dan tanah individu yang dinyatakan dengan sertifikat. Tanah-tanah yang tidak bersertifikat adalah tanah negara. Dalam UUPA tersebut juga diakui adanya hak masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Namun dalam Penjelasan UUPA juga disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Hal ini bermakna bahwa sekalipun ada pengakuan undang-undang, namun ketika berhadapan dengan kepentingan negara/ kepentingan nasional atau kepentingan umum, maka kepentingan negara yang harus diutamakan. Masalahnya, masyarakat adat sudah sejak lama hidup dan tergantung pada hutan. Dalam kasus TNGHS, Masyarakat Kasepuhan mengaku bahwa mereka adalah sisa-sisa Kerajaan Pakuan Padjadjaran yang sudah hidup di kawasan tersebut sejak 634 tahun yang lalu. Bukti kepemilikan kawasan tersebut sebagai kawasan adat ditandai dengan adanya makam keramat. Adapun sejarah penguasaan tanah adat pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih baru sejak 214

234 tahun Wilayah adat yang didiami oleh Masyarakat Dayak Iban sekarang ini sebelumnya merupakan wilayah penguasaan suku Dayak Embaloh kemudian diserahkan kepada Dayak Iban dengan sebuah perjanjian. Melalui perjanjian tersebut, penguasaan tanah kawasan Sungai Utik berpindah dari suku Dayak Embaloh menjadi milik Dayak Iban Sungai Utik. Ada satu tanda mata dari suku Embaloh yang diberikan kepada suku Iban yaitu Tembawang Embaloh. Tembawang/ tembawai adalah bekas rumah panjang yang menandai penguasaan atas suatu kawasan. Sepanjang sejarah penguasaan tanah oleh negara dan masyarakat adat konflik muncul dan mereda. Berikut digambarkan peristiwa penting sepanjang sejarah penguasaan lahan TNGHS oleh Masyarakat Kasepuhan dan negara: Gambar 3. Sejarah Masyarakat Kasepuhan dan Penguasaan Lahan (Sumber: Data hasil olahan lapangan, 2012 dan Galudra et al., 2005). Dalam konflik di TNGHS, ditandai dengan beberapa tonggak sejarah, antara lain: pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64/1957 yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra tingkat I, kecuali cagar alam dan suaka alam yang tetap menjadi urusan 215

235 pemerintah pusat. Pasal 11 PP No. 64 Tahun 1957 menyebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh penduduk termaksud. Pada masa itu, petugas pemerintah daerah memberikan izin kepada masyarakat setempat yang telanjur menggarap kawasan hutan ini dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah. Selanjutnya Pemerintah Indonesia mendirikan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) pada tahun 1976, dan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada tahun BKSDA bertanggung jawab mengelola hutan konservasi, sedangkan Perum Perhutani bertanggung jawab mengelola hutan lindung dan hutan produksi. Selanjutnya Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 40/Kpts/Um/1/1979, beberapa kelompok hutan rimba di kawasan Halimun-Salak, yaitu Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea ditunjuk sebagai Cagar Alam Halimun dengan luas ha di bawah pengelolaan BKSDA, sedangkan sisa hutan di Halimun- Salak seluas ha berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Perhutanipun mengizinkan masyarakat untuk tetap tinggal dan menggarap lahan pertaniannya. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan lahan tersebut untuk kawasan pertanian padi, palawija dan pohon-pohon kayu yang tidak komersial. Sedangkan Perhutani memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon-pohon kayu komersial. Sebesar 15-25% dari hasil pertanian masyarakat diberikan kepada Perhutani sebagai konsekuensi dari kesepakatan. Sikap yang diambil oleh pemerintah daerah ( ) dan Perum Perhutani ( ) yang mengizinkan masyarakat yang sudah terlanjur ada hidup dan menggarap kawasan tersebut sebagai lahan livelihood mereka dipandang oleh masyarakat sebagai bentuk pengakuan negara atas hak masyarakat, dengan memberikan akses pada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Fakta tersebut memberi bukti bahwa sekalipun masyarakat adat mengklaim kawasan tersebut sebagai wilayah kepemilikan adat, namun ketika negara mengklaim itu sebagai hak property negara, Masyarakat Kasepuhan tidak keberatan selama mereka diberi hak akses untuk mengelola dan 216

236 memanfaatkan hutan berdasarkan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang dianutnya secara turun temurun. Ketika Masyarakat Kasepuhan kehilangan otoritas terhadap hutan bahkan hak aksespun menjadi terbatas, konflik menjadi tidak terhindarkan. Ketiadaan hak dan otoritas membuat akses juga terbatas. Akses menjadi tertutup karena tidak ada right. Right sangat penting untuk menjamin akses. Apa yang terjadi dengan Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan apa yang terjadi dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Sejarah kepemilikan kawasan Sungai Utik juga ditandai dengan konflik dengan negara sejak tahun Berikut digambarkan peristiwa penting sepanjang sejarah penguasaan kawasan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan negara: Gambar 4. Sejarah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Penguasaan Lahan (Sumber: Data olahan hasil lapangan, 2012) Dari gambar di atas dapat terlihat momen penting yang menjadi tonggak kapan terjadinya konflik. Dimulai dari tahun 1984 pertamakalinya negara menerbitkan izin IUPHHK pada kawasan Sungai Utik, selanjutnya di tahun 1997 dan di tahun 2004 (lebih jelasnya bentuk konflik dapat dilihat pada Bab 5). Adapun bentuk konflik yang terjadi di dua lokasi tersebut menunjukkan konflik 217

237 terbuka dan konflik laten. Sementara itu jenis konflik dari kedua lokasi diidentifikasi sebagai konflik kepentingan, konflik tenurial dan konflik otoritas. Matrik 16. Bentuk Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Sungai Utik Bentuk TNGHS Hutan Sungai Utik Konflik Pemaknaan Konflik Tenurial Konflik Otoritas Konflik Livelihood Negara (BTNGHS) mempunyai pemaknaan terhadap hutan berdasarkan peraturan perundangundangan melawan masyarakat mempunyai pemaknaan atas hutan berdasarkan pengetahuan lokal, nilai-nilain tradisional dan aspek historis. Hak negara atas tanah didasarkan pada peraturan perundangundangan: Pasal 33 UUD 1945, UUPA. Hak masyarakat atas tanah didasarkan atas basis historis bahwa mereka sudah ada dikawasan sekitar 634 tahun yang lalu. Otoritas yang dimiliki oleh negara untuk pengelolaan kawasan sebagai Taman Nasional didasarkan pada SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 dan pelaksanaannya diatur dalam Pasal 24 UU Nomor 41 Tahun 1999, melawan otoritas masyarakat yang didasarkan atas tradisi budaya (kelembagaan lokal) Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang subordinat dan negara sebagai pihak superordinat. Keduanya sama-sama mengejar kepentingan. Kepentingan negara untuk tujuan konservasi, sedangkan masyarakat untuk konservasi dan basis livelihood Negara mempunyai pemaknaan terhadap hutan berdasarkan peraturan perundang-undangan melawan masyarakat mempunyai pemaknaan atas hutan berdasarkan pengetahuan lokal, nilai-nilain tradisional dan aspek historis. Hak negara atas tanah didasarkan pada peraturan perundangundangan: Pasal 33 UUD 1945; UUPA; Pasal 28 UU Nomor 41 Tahun 1999; Pasal 133, PP Nomor 3 Tahun Hak masyarakat atas tanah didasarkan atas basis sejarah, karena adanya perjanjian dengan Suku Embaloh. Otoritas negara yang menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan produksi dengan mengeluarkan IUPHHK didasarkan pada SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 untuk PT. BRW, melawan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang didasarkan atas tradisi budaya (kelembagaan lokal). Masyarakat Dayak Iban sebagai pihak yang subordinat dan negara sebagai pihak superordinat. Keduanya sama-sama mengejar kepentingan. Kepentingan negara untuk tujuan pemanfaatan hutan, sedangkan masyarakat untuk konservasi dan basis livelihood Dari matrik di atas diketahui bahwa konflik pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik disebabkan karena adanya perbedaan pemaknaan atas hutan dan tumpang tindih klaim atas kepemilikan hak atas tanah. Hutan bagi masyarakat adat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik memiliki 218

238 banyak makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemaknaan tempat di dalam hutan sesuai dengan fungsinya. Masyarakat memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana bersemayamnya roh nenek moyang dan basis nafkah (livelihood) mereka. Adapun negara memaknai hutan sebagai kawasan hutan yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan. Kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Perbedaan pemaknaan atas hutan dipengaruhi oleh pengetahuan yang mendasari masing-masing pihak dalam melihat hutan. Masyarakat adat mendasarkan pada pengetahuan lokal yang bersumber dari tradisi budaya dan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun, sedangkan pengetahuan negara didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pengetahuan dan pemaknaan terhadap hutan memberikan kekuasaan pada masing-masing pihak untuk mengklaim kawasan tersebut sebagai hak miliknya dan menjadi sebab terjadinya konflik sumberdaya hutan. Semakin tajam konflik sumberdaya alam (hutan) maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus TNGHS, Masyarakat Kasepuhan adalah pihak yang tersubordinasi, sedangkan BTNGHS adalah pihak yang superordinat. Ketika kondisi ekonomi masyarakat terganggu, hal mendasar yang pasti dilakukan masyarakat untuk bertahan hidup adalah mendapatkan sarana untuk bertahan hidup, apapun yang bisa menghasilkan pangan, sandang dan papan serta memenuhi keinginankeinginan dasarnya. Kondisi inilah yang justru meningkatkan ability dari Masyarakat Kasepuhan. Ketika mereka kehilangan akses terhadap hutan, mereka mulai memiliki akses baru terhadap kebijakan politik pada pemerintahan tingkat lokal (daerah) dan dukungan politik dari elit-elit di tingkat nasional. Konflik telah membuat Masyarakat Kasepuhan mempunyai kelentingan, salah satunya yaitu meningkatnya kemampuan mencari dukungan kekuasaan dari pihak lain (web of power). Ketika Mayarakat Kasepuhan berkonflik dengan pemerintah pusat (negara/ BTNGHS) dan menyebabkan mereka kehilangan hak akses atas hutan, 219

239 masyarakat mulai mengembangkan web of powernya dengan merangkul pemerintah daerah. Melalui afiliasi dengan pemerintah daerah (negara lokal) tersebut, masyarakat melawan negara pusat (BTNGHS). Dalam kasus Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sebagai pihak yang tersubordinasi menjadi menguat dan membentuk perjuangan bersama untuk mengusir negara (termasuk pengusaha) dari kawasan Sungai Utik. Contoh kasus, tahun 1997, PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT. Namun konflik pada kawasan Sungai Utik ini tidak menyebabkan masyarakat kehilangan akses. Masyarakat masih memiliki seluruh akses terhadap kawasan, sehingga baik kesejahteraan masyarakat maupun kelestarian hutannya relatif tidak terganggu. Dalam konflik di Sungai Utik juga diramaikan dengan peran aktor pemerintah daerah. melalui kewenangan yang diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 ini, maka daerah berpandangan bahwa daerah mempunyai kewenangan untuk pengelolaan lingkungan, termasuk sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tanggal 10 Januari Keberadaan kebijakan pemerintah tersebut telah memberi tekanan (konflik) pada Masyarakat Dayak Iban Jalai Lintang dan Dayak Embaloh Hulu. Apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga mencerminkan bagaimana daerah mengintrodusir kekuasaannya atas nama otonomi daerah. Kebijakan daerah tersebut juga sarat dengan kepentingan kapitalis. Dalam konteks ekonomi, kepentingan pemerintah daerah pada dasarnya adalah motif ekonomi, karena ujung dari kekuasaan politik adalah kesejahteraan ekonomi. Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Sungai Utik dapat juga dikatakan sebagai konflik otoritas. Ketika negara menetapkan kawasan tersebut sebagai 220

240 kawasan hutan negara, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara yang bekerja pada kawasan tersebut. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor. Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Setiap otoritas berusaha untuk menyingkirkan otoritas lain dan menjadi otoritas satu-satunya di kawasan tersebut. Otoritas bekerja dilatar-belakangi oleh kepentingan objektif aktor. Pada kasus TNGHS, otoritas negara dalam bentuk kebijakan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak bertentangan dengan otoritas Masyarakat Kasepuhan bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat. Kuatnya otoritas negara memaksa masyarakat adat mematuhi keputusan negara. Sebenarnya masyarakat adat menolak keputusan tersebut namun tidak berdaya untuk melawan negara. Bukan karena negara dilengkapi dengan alat represif yang membuat otoritas negara menjadi sangat kuat, namun unsur pemaksa dari otoritas negara adalah juga berasal dari otoritas adat. Dalam adat Kasepuhan diajarkan adanya konsep (state of belief) sara, nagara dan mokaha, dimana masyarakat adat harus dapat hidup selaras mengacu pada nilai-nilai agama (Islam wiwitan yaitu Islam yang dicampur dengan sinkretisme agama Hindu), mengikuti aturan negara dan menjunjung nilai-nilai budaya/ adat Kasepuhan. Konsep itulah yang menyebabkan dalam kesadarannya Masyarakat Kasepuhan terpaksa mengakui otoritas negara, sekalipun otoritas tersebut bertentangan dengan otoritas adat. Oleh karena itulah dalam konflik Kasepuhan melawan negara tidak selalu diwarnai konflik, tetapi sedang menuju pada konsensus bersama. Konflik yang terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga merupakan konflik otoritas, dimana merupakan konflik atas klaim penguasaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat dengan kelembagaan adatnya dan negara dengan kelembagaan modernnya. Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara mengenai IUPHHK, maka negara mencoba mengalihkan otoritas suatu kawasan yang tadinya secara yuridis milik negara kepada pengusaha. 221

241 Sayangnya otoritas tersebut berbenturan dengan otoritas masyarakat adat yang mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan adat. Pada level grassroot konflik terjadi antara pengusaha dan Masyarakat Dayak Iban, namun pada level kebijkan bahwa kebijakan IUPPK yang dikeluarkan oleh negara tersebut menjadi sumber pemicu konflik. Menurut Dahrendorf bahwa otoritas selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Dalam kajian di TNGHS ditemukan bahwa negara yang menduduki posisi otoritas mengendalikan subordinat, negara mendominasi. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang dapat digeneralisasi, mereka yang dikendalikan, maupun ranah kontrol yang diizinkan ditentukan ditengah-tengah masyarakat. Akhirnya karena otoritas bersifat legitim, maka sanksi dapat diberikan kepada mereka yang tidak mematuhinya. Persoalannya, pada kasus Hutan Sungai Utik, otoritas negara sekarang ini dalam posisi tidur (tidak terlihat), sehingga tidak ada sanksi yang diberlakukan untuk mendisiplinkan masyarakat atas klaimnya terhadap hutan. Namun demikian, sebagai pihak yang tersubordinasi, masyarakat tidak pernah tenang dan selalu ada dalam kecemasan bahwa sewaktu-waktu rezim negara akan mengambil alih tanah yang dikuasainya Kajian Teoritik Dalam Melihat Berbagai Fenomena di TNGHS dan Sungai Utik Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Sungai Utik yang melibatkan konflik masyarakat adat dan negara (termasuk perusahaan didalamnya) dilihat melalui perbedaan setting lokasi TNGHS sebagai kawasan konservasi dan Hutan Sungai Utik sebagai kawasan hutan produksi dengan melibatkan dua macam masyarakat adat yaitu Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Secara garis besar perbedaan kedua lokasi tersebut dapat digambarkan, sebagai berikut: 222

242 Matrik 17. Perbedaan Karakteristik Lokasi TNGHS dan Sungai Utik dan Bekerjanya Berbagai Fenomena Teoritis INDIKATOR TNGHS SUNGAI UTIK Jenis hutan Konservasi Produksi Aktor masyarakat Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Aktor yang berkonflik Nilai budaya lokal (state of belief) Sumber kekuasaan tertinggi Kepentingan terhadap hutan Kepemilikan wilayah ditandai oleh Pandangan masyarakat terhadap hak kepemilikan Masyarakat adat berafiliasi dengan pemerintah daerah melawan negara pusat (BTNGHS) Pancer pangawinan (sara, nagara jeung mokaha) Permisif terhadap keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan Supranatural (roh nenek moyang/ pelopor) yang diwujudkan dalam kepemimpinan abah selaku pengambil keputusan tertinggi Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat (ekonomi subsisten) melawan negara dengan ideologi preservasi Makam keramat dan bekas ladang Akses lebih penting daripada right Sungai Utik Masyarakat adat melawan negara, perusahaan dan pemerintah daerah tanah adalah darah ngau seput kitae. Kepemilikan otonom, tidak memberi ruang untuk keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan Supranatural (roh nenek moyang/ pelopor) yang diwujudkan dalam musyawarah adat selaku pengambil keputusan tertinggi Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat (ekonomi subsisten) melawan negara dengan kepentingan ekonomi kapitalis Tembawai dan damun Right sangat penting untuk menjamin keberlangsungan akses Berdasarkan tabel di atas dapat dibedakan fenomena apa yang terjadi pada kedua lokasi. Sebenarnya ada banyak fenomena yang terjadi pada konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik yang melibatkan dua karakteristik masyarakat adat. Namun untuk kepentingan disertasi ini hanya akan memfokuskan analisis berdasarkan teori konfliknya Dahrendorf dan teori pengetahuan dan kekuasaannya Foucault. Teori Foucault digunakan untuk melihat perbedaan pemaknaan atas hutan oleh berbagai pihak. Pemaknaan atas hutan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang mendasari masing-masing pihak dalam melihat hutan. Pengetahuan inilah yang memberikan kekuasaan pada masing-masing pihak untuk mengklaim kawasan tersebut sebagai hak miliknya dan memberikan kekuasaan untuk 223

243 mengontol dan mengelola sumberdaya hutan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Foucault bahwa kekuasaan selalu terakumulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Ketika ada dua kelompok yang mengklaim memiliki kekuasaan atas suatu kawasan yang sama, maka konflikpun menjadi tidak terhindarkan. Konflik menjadi semakin besar ketika masing-masing kelompok menyadari kepentingannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Dahrendorf bahwa konflik terjadi ketika masing-masing kelompok (kelompok kuasi) menyadari kepentingan obyektif mereka dan membentuk kelompok konflik. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dipandang sebagai kelompok kuasi karena mempunyai pemimpin dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan anggota kelompoknya. Kelompok kuasi ini akan menjadi kelompok konflik ketika menyadari kepentingan objektifnya dan beberapa kondisi teknis, politis dan sosial terpenuhi. Kondisi teknis menyangkut keberadaan pemimpin kelompok dan aturan-aturan dalam kelompok. Ketika aturan-aturan tersebut terganggu oleh keberadaan aturan/ kebijakan negara yang menyebabkan aturan/ kelembagaan masyarakat adat menjadi tidak berjalan maka semakin mendorong terjadinya konflik. Kondisi politik berkaitan dengan situasi politik Negara Republik Indonesia dimana diera reformasi sekarang ini memungkinkan masyarakat mengemukakan ketidak setujuannya terhadap kebijakan negara. Kondisi sosial berkaitan dengan adanya komunikasi dan interaksi diantara anggota kelompok. Menurut Dahrendorf, semakin kurang kondisi teknis, politik dan sosial terpenuhi maka konflik akan semakin intens. Pada Dayak Iban komunikasi dan interaksi antara anggota kelompok masyarakat sangat kuat karena mereka tinggal disatu rumah yang sama yaitu rumah panjang. Setiap pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan hidup dan kehidupan mereka baik dalam kelangsungan mata pencaharian sebagai petani, pengelolaan hutan maupun keputusan-keputusan lainnya termasuk rencana kerja bakti atau kegiatan pembangunan di wilayahnya selalu dilakukan secara musyawarah. Sementara pada Masyarakat Kasepuhan, komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dan antara anggota masyarakat dengan abah dan jajaran kepengurusan Kasepuhan tidaklah seintens 224

244 seperti Masyarakat Dayak Iban, hal ini disebabkan keanggotaan Masyarakat Kasepuhan yang tersebar luas, mekanisme perwakilan abah ditiap kampung melalui Kokolot Lembur, sehingga interaksi dan komunikasi incu putu (anggota) tidak selalu langsung terhadap abah, melainkan melalui kokolot lembur. Tetapi minimal satu tahun satu kali Masyarakat Kasepuhan bertemu dan berinteraksi melakukan aktivitas bersama dalam upacara adat seren tahun. Fakta tersebut menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi diantara anggota kelompok Masyarakat Dayak Iban jauh lebih intens dibandingkan dengan pada Masyarakat Kasepuhan. Menurut proposisinya Dahrendorf, mestinya konflik pada Masyarakat Kasepuhan jauh lebih intens dibandingkan konflik pada Masyarakat Dayak Iban. Seharusnya komunikasi yang intens tersebut menyebabkan peluang untuk bernegosiasi dan terbentuknya konsensus dengan kelompok konflik (negara) menjadi lebih mudah dan memungkinkan. Namun apa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, konflik pada Masyarakat Dayak Iban jauh lebih intens dibandingkan dengan konflik pada Masyarakat Kasepuhan. Justru Masyarakat Kasepuhanlah yang lebih mudah untuk bernegosiasi dan menyelesaikan konflik dengan cara konsensus. Untuk kasus konflik di Masyarakat Dayak Iban dan Masyarakat Kasepuhan dapat dikatakan bahwa semakin intens komunikasi dan interaksi antar anggota kelompok kuasi maka semakin intens (kuat) terjadinya konflik. Konflik pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban mencapai puncaknya ketika konflik tersebut menunjukkan tingkat kebrutalannya (violent). Tercatat dalam sejarah konflik Masyarakat Kasepuhan, ada dua moment penting yang menunjukkan tingkat kebrutalan masyarakat Kasepuhan dalam berkonflik dengan BTNGHS yaitu di tahun 2003 dan 2005 sampai pada perusakan fasilitas taman nasional. Konflik tersebut dapat diselesaikan ketika dicapai konsensus dan didamaikan oleh camat dan kepala desa. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, konflik mencapai kebrutalannya ketika negara mengeluarkan kebijakan IUPHHK yang memberikan otoritas penguasaan kawasan hutan kepada pengusaha. pengusaha merupakan representasi negara karena menjalankan kebijakan negara. pengusaha berafiliasi dengan negara melawan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tercatat beberapa kali moment penting kebrutalan 225

245 konflik pada Masyarakat Dayak Iban, yaitu di tahun 1984, 1997, 2004 dan Kebrutalan yang ditunjukkan Masyarakat Dayak Iban tersebut perupa pengusiran, penyitaan alat-alat berat milik pengusaha sampai pada penyanderaan Menteri Kehutanan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa konflik pada Masyarakat Dayak Iban lebih keras (brutal) dibandingkan dengan konflik pada Masyarakat Kasepuhan. Hal ini bermakna bahwa semakin kondisi sosial terpenuhi artinya komunikasi dan interaksi semakin intens, maka konflik semakin brutal. Fakta ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Dahrendorf, bahwa semakin kurang kondisi teknis, politk dan sosial terpenuhi, maka konflik semakin brutal/ keras. Selanjutnya disebutkan oleh Dahrendorf bahwa semakin kurangnya kemampuan dari kelompok-kelompok konflik untuk mengembangkan kesepakatan, maka konflik akan semakin keras. Apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf tersebut terjadi dalam konflik yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Fakta menunjukkan bahwa Masyarakat Kasepuhan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengembangkan kesepakatan-kesepakatan dengan kelompok konflik lain (BTNGHS) dibandingkan dengan Masyarakat Dayak Iban. Sejak tahun 1984 pertama kalinya konflik terjadi, belum pernah secara langsung Masyarakat Dayak Iban melakukan berbagai kesepakatan dengan negara (Departemen Kehutanan maupun pemerintah daerah) dalam menyelesaikan konflik otoritas penguasaan sumberdaya hutan. Fakta tersebut mendukung proposisi yang disampaikan oleh Dahrendorf bahwa semakin kurang kemampuan mengembangkan kesepakatan maka konflik semakin keras/ brutal. Selanjutnya proposisi penting Dahrendorf lainnya adalah menghubungkan konflik dengan perubahan. Menurut Dahrendorf bahwa semakin intens konflik, maka semakin meningkat perubahan struktural dan reorganisasi, semakin keras konflik, maka semakin besar pula tingkat perubahan struktural dan reorganisasi. Dengan demikian seharusnya semakin intens dan brutal konflik maka semakin besar perubahan struktural dan reorganisasi. Jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan 226

246 fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Perubahan paling mendasar pada Masyarakat Kasepuhan adalah peningkatan kemampuan Masyarakat Kasepuhan dalam mengatasi kesulitan akibat hilangnya akses terhadap sumberdaya dan terjadinya konflik dengan BTNGHS. Dalam keterpurukannya karena kehilangan lahan untuk livelihood mereka, Masyarakat Kasepuhan memiliki kelentingan (resiliensi) untuk keluar dari permasalahan konflik dan memperoleh dukungan untuk mendapatkan kembali akses terhadap sumber livelihood mereka. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan Masyarakat menghindari serangan dengan cara menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), kemampuan mengulur waktu dengan cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi, dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah daerah dan elitelit politik lokal dan nasional. Dukungan dari pemerintah daerah dan elit-elit politik membantu Masyarakat Kasepuhan dalam bernegosiasi dengan negara untuk penyelesaian konflik, setidaknya mengulur waktu untuk tetap menggarap lahan garapan mereka sambil tetap berusaha untuk mencapai kesepakatan yang memungkinkan Masyarakat Kasepuhan tetap dapat memperoleh hak akses terhadap hutan demi untuk kelangsungan livelihood mereka. Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan masyarakat Kasepuhan. Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan LSM. 227

247 Lebih jelasnya indikator kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sebagai berikut: Matrik 18. Indikator Kelentingan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik INDIKATOR MASYARAKAT MASYARAKAT DAYAK KELENTINGAN KASEPUHAN IBAN SUNGAI UTIK Kemampuan Bertahan (Survival) Kemampuan Konsolidasi Kemampuan Mengulur Waktu Kemampuan memeluk pihak lain Dengan cara menghindari serangan, menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; Menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), menggalang bantuan dari pihak lain Dengan cara bernegosiasi mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi Dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan lsm tetapi dengan pemerintah daerah Dengan cara melawan dan konflik terbuka, mempertahankan hak akses atas hutan dan mengusir lawan dari kawasan Meningkatkan soliditas dengan seluruh anggota masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan sesama suku Dayak Iban dalam ketemenggungan Jalai Lintang. Dengan pemetaan, meraih sertifikat ekolabeling, propaganda mengenai pengelolaan hutan lestari berbasis pengetahuan masyarakat adat Dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul lsm baik nasional maupun internasional 7.4. Implikasi Teoritis Fenomena yang terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban menunjukkan adanya fenomena yang mendukung teori pengetahuan dan kekuasaan Foucault serta fenomena Dahrendorf. Fenomena Foucault ditunjukkan dengan keberadaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban yang memiliki pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan. Pengetahuan lokal tersebut 228

248 mempengaruhi Masyarakat dalam memberi makna terhadap hutan. Selanjutnya, pengetahuan lokal tersebut memberi kuasa pada masyarakat adat untuk mengelola hutan dan mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut adalah miliknya. Perbedaan pemaknaan antara berbagai pihak tersebut menjadi alasan adanya konflik pemaknaan. Konflik ini menjadi awal pemicu konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Fenomena Dahrendorf terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, ditunjukkan dengan adanya fenomena yang mendukung proposisi Dahrendorf dan menentang proposisi Dahrendorf. Fenomena pertama menunjukkan bahwa kurangnya kondisi sosial terpenuhi tidak menyebabkan konflik semakin intens dan brutal, justru semakin intens komunikasi dan interaksi diantara anggota Masyarakat Dayak Iban, konflik semakin intens dan keras. Sekalipun komunikasi dan interaksi antara anggota Masyarakat Kasepuhan lebih kurang namun tidak mendorong konflik pada Masyarakat Kasepuhan menjadi lebih intens dan keras. Fakta tersebut bertentangan dengan proposisinya Dahrendorf. Hal tersebut terjadi karena ada faktor lain yaitu state of belief dari kedua masyarakat tersebut yang mempengaruhi sikap dan tindakan sosial Masyarakat dalam berkonflik. Dalam state of belief Masyarakat Kasepuhan yaitu sara nagara jeung mokaha mengajarkan adanya penghormatan kepada negara. Setiap kebijakan negara harus diikuti. State of belief inilah yang menyebabkan Masyarakat Kasepuhan relatif menerima kebijakan negara dalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Namun ketika kebijakan tersebut membuat Masyarakat kehilangan livelihood mereka, Masyarakat melakukan perlawanan, namun tidak brutal. Perlawanan yang dilakukan oleh Masyarakat Kasepuhan lebih banyak dilakukan dengan jalan dialog. Adapun state of belief Masyarakat Dayak Iban yaitu tanah adalah darah ngau seput kitae membuat Masyarakat Dayak Iban berada pada posisi stand still. State of belief masyarakat tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan sosial masyarakat dalam berkonflik. Konflik menemukan dirinya dalam kondisi brutal (keras) dimana masyarakat dengan kekuasaan adatnya berhasil mengusir negara 229

249 dan pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat berat milik pengusaha bahkan sampai pada penyanderaan Menteri Kehutanan. Ketika masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari kawasan, konflik selanjutnya berada pada posisi stag, artinya negara tidak mampu mengalahkan masyarakat adat dan mengambil kawasan tersebut dalam kekuasaan negara. Adapun masyarakat sekalipun berhasil mempertahankan kawasan adatnya namun tidak berhasil memaksa negara untuk mengeluarkan pengakuan atas kawasan tersebut sebagai hak kelola adat. Konflik berubah menjadi konflik laten. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, melahirkan tesis baru dalam teori konflik bahwa state of belief kelompok yang berkonflik mempengaruhi intensitas dan kebrutalan (violent) konflik. Semakin state of belief-nya terpusat kedalam maka konflik akan semakin keras dan intens. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa state of belief juga mempengaruhi masyarakat mengembangkan abilitynya dalam mencari penyelesaian konflik. Pada Masyarakat Kasepuhan pernah mengalami kondisi traumatik dimana pada tahun 2003 kebijakan perluasan taman nasional pertama kalinya diterbitkan yang berkonsekuensi pada pelarangan aktivitas masyarakat di lahan garapan milik mereka sendiri yang berada di dalam kawasan taman nasional. Pelarangan ini menyebabkan masyarakat kehilangan sumber livelihood mereka. Ancaman pelanggaran atas pelarangan tersebut dibuktikan oleh negara dengan memasukkan masyarakat yang melanggar kedalam penjara. Kondisi tersebut semakin membuat masyarakat terpuruk. Namun dalam keterpurukannya tersebut Masyarakat Kasepuhan berhasil mengatasi masalah dengan jalan meningkatkan ability mereka untuk membangun web of power mereka dengan berbagai pihak, yaitu dengan pemerintah daerah, LSM dan elit-elit politik lokal dan nasional. Masyarakat Kasepuhan berafiliasi dengan pemerintah daerah melawan negara (BTNGHS). Negara lokal menjadi teman, sementara negara pusat menjadi lawan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa state of belief Masyarakat Kasepuhan mendorong masyarakat memiliki kelentingan. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Masyarakat Dayak Iban, sekalipun Masyarakat Dayak Iban berhasil mengusir pengusaha dari kawasan hutan, namun tidak membuat masyarakat menjadi tenang, karena IUPHHKnya tidak pernah dicabut oleh negara, sejarah membuktikan bahwa setelah konflik mereda negara 230

250 selalu mengeluarkan IUPHHK baru dan memicu konflik baru. Sekalipun Masyarakat Dayak Iban memiliki hak akses dalam penguasaan sumberdaya Hutan Sungai Utik, namun right-nya masih dipegang oleh negara. Untuk mengatasi kondisi seperti ini Masyarakat Dayak Iban dibantu oleh Dukungan dari luar baik dari pihak LSM Nasional maupun Internasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan Masyarakat Dayak Iban dalam rangka memperkuat posisi Masyarakat dalam berkonflik dengan negara. Pengembangan kapasitas kelembagaan tersebut berupa: peningkatan keterampilan masyarakat dalam menunjang usaha ekonomi keluarga, membuat pemetaan partisipatif, pembukuan hukum adat, terbentuknya lembaga keuangan (CU), peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bidang hukum dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bidang pengelolaan lingkungan, termasuk pembuktian tata kelola hutan berbasis masyarakat dengan diperolehnya sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia dengan Nomor Certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae Menua Sungai Utik (forest management unit of Rumah Panjae Menua Sungai Utik), dalam lingkup sustainable community Based Forest Management (SCBFM) Unit with an area of 9.453,40 hectares yang diakreditasi oleh LEI dengan Nomor 022/DE-LEI/XII/2006. Akreditasi ini dikeluarkan sejak tanggal 22 maret 2008 dan berakhir tanggal 21 maret Apabila kelentingan (resiliensi) didefinisikan sebagai gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres tinggi, maka apa yang tergambar pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merupakan bentuk kelentingan yang berbeda. Kedua masyarakat mengalami kejadian sangat menantang dengan tingkat stress tinggi, mengancam hilangnya akses atas penguasaan sumberdaya yang merupakan sumber livelihood mereka. Selanjutnya jika merujuk pada pendapatnya Grotberg (1999), dapat dikatakan bahwa sumber resiliensi Masyarakat Dayak Iban berasal dari dukungan pihak lain (I Have atau sumber dukungan eksternal atau dukungan yang diperoleh dari sekitar individu), sedangkan sumber resiliensi dari Masyarakat Kasepuhan berasal dari kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain (I 231

251 Can atau kemampuan sosial dan interpersonal atau kemampuan untuk mencari dukungan luar). Matrik 19. Asumsi-Asumsi Yang Membedakan Kelentingan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Asumsi Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Jenis hutan Otoritas lokal Ngo Tekanan yang diderita Nature of enemies Respon masyarakat lokal Ruang perlawanan Dampak konflik terhadap masyarakat lokal Readiness to dialogue Konservasi (SKMenteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 Dilegitimasi oleh pemerintah NGO dibangun oleh masyarakat sendiri (SABAKI) dan NGO yang datang kemudian dari luas (AMAN, PUSAKA, RMI, dan lain-lain) Tekanan oleh negara (BTNGHS) Kehilangan akses terhadap tata kelola hutan, kehilangan livelihood, terancam harus keluar dari kawasan tersebut sehingga bukan hanya kehilangan lahan garapan tapi juga akan kehilangan rumah. Ketakutan dipenjara jika mengambil kayu sekalipun di pekarangan rumah atau dilahan garapan miliknya. Negara pusat (Kementrian Kehutanan yang diwakili oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak) Web of power kuat, melawan dengan berkolaborasi dan berkawan dengan pemerintah daerah Kawasan; Kebijakan Kerjasama dengan LSM, pemerintah daerah dan elit-elit politik nasional menguat. Integrasi dan polarisasi antar Kasepuhan. Perubahan kelembagaan Militansi rendah, elit saja yang terlibat karena rasionalitas individual lebih kuat Hutan Produksi: Hutan Alam yang dijadikan kawasan IUPHHK (SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 Tidak dilegitimasi oleh pemerintah NGO datang dari luar, tidak mengakar dari masyarakat secara langsung (AMAN, Yayasan Pancur Kasih, PPSDAK, Lanting Borneo, dan lainlain) Tekanan oleh Swasta (pada level grassroot); Ketakutan bahwa negara akan menerbitkan IUPHHK baru; Sekalipun akses terhadap tata kelola hutan dipegang oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, namun karena rightnya ada pada negara, ada kekhawatiran pada masyarakat sewaktuwaktu pengusaha melalui bantuan negara akan mengambil akses tersebut dengan kekuatan keamanan (represif), walaupun negara belum pernah melakukan itu. Swasta (perusahaan pemegang IUPHHK- PT. BRW). Negara pusat (Kementrian Kehutanan) Web of power kuat, melawan dengan berkolaborasi dan berkawan dengan LSM Kawasan; Kebijakan Kerjasama dengan LSM menguat. Beradaptasi terhadap alam lokal. Business as usual. Soliditas internal. Militansi tinggi, seluruh warga harus terlibat, karena rasionalitas kolektif/ moral 232

252 Berdasarkan fakta-fakta dan asumsi-asumsi di atas, maka temuan data dilapangan melahirkan TEORI KELENTINGAN SOSIAL DALAM PEREBUTAN SUMBERDAYA ALAM. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Dengan kata lain bahwa complex social conflict menghadirkan kelentingan sosial. Setiap Masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog. Adapun proposisi dari teori tersebut adalah: 1. Hilangnya akses dalam penguasaan sumberdaya alam membuat kelentingan masyarakat meningkat. Hal tersebut terjadi pada kasus Masyarakat Kasepuhan, dimana dapat dikatakan bahwa hilangnya akses terhadap penguasaan sumberdaya alam yang berpengaruh langsung pada hilangnya sumber livelihood mereka menyebabkan kelentingan Masyarakat meningkat, yaitu: a. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk mengatasi kesulitan dalam memperoleh sumber livelihood dengan mengembangkan system of livelihood baru yang diliputi insecurity [ketidakamanan], discomfort [tidak nyaman] dan uncertainty [tidak pasti]. Dulu Masyarakat Kasepuhan bertani dilahan garapannya. Lahan ini mempunyai legitimasi di bawah perlindungan hukum adat Kasepuhan. Masyarakat bertani di lahan tersebut dengan perasaan aman, nyaman dan mempunyai kepastian masa depan akan hasil panen yang baik. Namun ketika negara mengeluarkan kebijakan perluasan taman nasional melalui surat keputusan Menteri Kehutanan di tahun 2003 yang secara nyata menegasikan kelembagaan adat Kasepuhan dari penguasaan lahan dan tata kelola hutan, hukum adat tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk melindungi dan meligitimasi lahan-lahan garapan masyarakat di kawasan tersebut. Masyarakat Kasepuhan masih menjadi petani dan bertani di tempat yang sama, tetapi dengan perasaan tidak aman, tidak nyaman dan tidak pasti, karena dia harus bertani dan mengambil hasil taninya secara diam-diam dan kucingkucingan, menghindari polisi hutan, karena resikonya adalah hukuman 233

253 penjara seperti yang pernah dialami oleh beberapa orang anggota Masyarakat Kasepuhan ditahun b. Meningkatnya kemampuan untuk membangun social-networking relationship melalui simbol-simbol kekuasaan, dalam upaya mendapatkan kembali akses terhadap sumberdaya hutan, antara lain melalui hubungan baik yang dibangun dengan LSM, pemerintah daerah dan elit-elit politik lokal maupun nasional. Kemampuan membangun jaringan kekuasaan ini telah setidaknya mengulur waktu bagi masyarakat agar tidak di excluded dari kawasan taman nasional. c. Kelentingan Masyarakat Kasepuhan memungkinkan menggeser konflik pada posisi win- win solution. 2. Perjuangan untuk memperoleh kembali otoritas dalam penguasaan sumberdaya alam membuat kelentingan masyarakat meningkat. Hal tersebut terjadi dalam kasus Masyarakat Dayak Iban, dimana keberadaan kebijakan negara tentang IUPHHK yang diberlakukan pada kawasan Hutan Sungai Utik, membuat otoritas penguasaan sumberdaya alam yang tadinya dipegang secara penuh oleh Masyarakat Dayak Iban menjadi tercerabut. Secara de jure otoritas penguasaan sumberdaya alam tersebut dipegang oleh negara, dan melalui otoritasnya, negara berhak melakukan pengalihan hak akses penguasaan sumberdaya kepada pihak lain (pengusaha). Hal ini sudah dilakukan oleh negara pada tahun 1984, 1997 dan Perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya alam inilah yang membuat kelentingan Masyarakat Dayak Iban meningkat. Masyarakat Dayak Iban menggunakan perlawanan fisik dalam rangka mempertahankan otoritas mereka terhadap sumberdaya alam dari upaya pengambil alihan oleh pengusaha IUPHHK yang berafiliasi dengan negara. Perlawanan tersebut berupa pengusiran pengusaha dari lokasi, penyitaan alat-alat berat milik pengusaha, menghukum denda pengusaha, sampai pada penyanderaan Asisten Menteri Kehutanan dan memaksa Menteri Kehutanan untuk datang ke lokasi dengan jalan menghukum adat sampai Menteri Kehutanan akhirnya datang ke Sungai Utik di tahun 2010 memenuhi permintaan Masyarakat Dayak Iban. Dalam upaya mempertahankan otoritasnya tersebut Masyarakat 234

254 Dayak Iban menang sementara karena masih mempunyai akses untuk mengelola hutannya. Namun, tidak berarti setelah itu masyarakat menjadi hidup tenang, karena tiga kali terlibat dalam konflik terbuka dengan pengusaha telah menyisakan pengalaman traumatik pada Masyarakat Dayak Iban. Selain itu, secara de jure hak penguasaan Hutan Sungai Utik masih dipegang oleh pengusaha yang memeperoleh IUPHHK. 3. Masyarakat dengan bentuk kelentingan yang berbeda akan menghasilkan hubungan-hubungan web of power yang berbeda. Web of power yang dimaksud adalah web of power yang melanggengkan knowledge tentang konservasi, preservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Masyarakat Kasepuhan membangun hubungan web of power dengan pemerintah daerah, LSM dan elit-elit politik baik tingkat lokal maupun nasional. Melalui dialog yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dan LSM, Masyarakat Kasepuhan menerima pengelolaan kawasan Hutan Gunung Halimun Salak secara bersama-sama dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, selama Taman Nasional tersebut memberi akses pada Masyarakat Kasepuhan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep pengetahuan adat, memberi ruang bagi penyediaan lahan garapan untuk livelihood mereka dan memberi ruang bagi keberadaan zona khusus untuk fungsi pemukiman Masyarakat Kasepuhan. Sementara itu, dalam upaya mempertahankan otoritasnya, Masyarakat Dayak Iban kemudian mengembangkan web of power-nya dengan LSM, melalui bantuan LSM inilah Masyarakat Dayak Iban melakukan pengembangan kelembagaan (capacity building) baik berupa peningkatan keterampilan individu dalam mewujudkan sumber livelihood baru dengan cara menanam karet, atau keterampilan membuat sarana-sarana pertanian termasuk peningkatan kemampuan dan pencitraan sebagai Masyarakat perduli Hutan yang keberadaaannya sudah diakui LEI dengan pemberian sertifikat ekolabeling. 4. Perbedaan kelentingan setiap masyarakat dipengaruhi oleh state of belief (kosmologi) masing-masing masyarakat. Masyarakat Kasepuhan memiliki state of belief: pancer pangawinan (sara, 235

255 nagara jeung mokaha). Sara adalah agama. Nagara adalah pemerintahan. Mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus mengacu pada prinsip: kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan orang banyak). Hal ini bermakna bahwa ada kewajiban yang diamanatkan melalui tradisi Masyarakat Kasepuhan yaitu harus taat pada hukum baik hukum negara maupun hukum agama, mendukung setiap kebijakan negara dan menjungjung tinggi musyawarah dan mufakat dengan seluruh anggota Kasepuhan, walaupun dalam prakteknya cukup diwakili oleh abah selaku representasi incu putu (anggota Masyarakat Kasepuhan) dan pendapat roh nenek moyang (wangsit). State of belief tersebut membuat Masyarakat Kasepuhan lebih permisif terhadap keberadaan negara dan berusaha menerima kebijakan negara sedemikian rupa. Sekalipun kebijakan tersebut mengancam livelihood mereka. Masyarakat masih berusaha berdialog dengan negara (BTNGHS) untuk memperoleh hak akses dan pengelolaan hutan secara kolaboratif bersama-sama dengan negara. Adapun state of belief Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah: tanah adalah darah ngau seput kitae, yaitu tanah adalah nafas. Artinya bahwa penguasaan Masyarakat atas tanah dan kawasan Hutan Sungai Utik tersebut bersifat otonom. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memberi ruang untuk keberadaan negara atau pihak lain dalam penguasaan hutan. State of belief inilah yang menyebabkan Masyarakat Dayak Iban tidak menerima opsi lain selain pengakuan atas Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat. 5. State of belief kelompok yang berkonflik mempengaruhi intensitas dan kebrutalan (violent) konflik. Semakin state of beliefnya terpusat kedalam maka konflik akan semakin keras dan intens. State of belief Masyarakat Dayak Iban bersifat terpusat pada dirinya dimana melihat sumberdaya hutan sebagai bagian dari dirinya yang disebut darah dan nafas, menyebabkan Masyarakat dayak Iban sulit untuk berdialog dengan pihak lain (kelompok konflik) dan mendorong konflik kearah yang lebih intens dan violent (ditunjukkan melalui kejadian-kejadian di tahun 1984,

256 dan 2004 sebagi bukti kebrutalan konflik). Sedangkan state of belief Masyarakat Kasepuhan lebih melihat hubungan dirinya dengan dunia luar yang disimbolkan dengan konsep sara, nagara jeung mokaha, artinya ada pertimbangan agama, negara dan adat diselaraskan dan disejajarkan dalam tempat yang setara untuk menjalankan otoritas dalam pengaturan kehidupan Masyarakat Kasepuhan. State of belief yang demikian membuat konflik relatif tidak intens dan violent. 6. Perbedaan state of belief dan jenis hutan menyebabkan perbedaan readiness to dialogue State of belief Masyarakat Kasepuhan dan jenis hutan taman nasional (konservasi) memungkinkan penyelesaian konflik dengan cara dialog. Dialog dengan Masyarakat Kasepuhan cukup dilakukan dengan pimpinan adatnya (abah). Masyarakat Kasepuhan menerima keberadaan otoritas negara sebagai kawasan dengan menegosiasikan beberapa hal yaitu: tata batas hutan adat, akses terhadap hutan dan pendefinisian zonasi menurut negara disesuaikan dengan wewengkon adat. State of belief Masyarakat Dayak Iban dan jenis hutan Sungai Utik yang diperuntukkan sebagai kawasan IUPHHK, tidak memberi ruang pada negara untuk melakukan dialog dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dialog dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik harus dilakukan di tingkat warga, dengan semua orang (semua warga masyarakat). Sampai saat ini tuntutan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah diperolehnya right dan pengakuan negara atas hutan tersebut sebagai hutan adat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa resiliensi pada Masyarakat Kasepuhan ditandai dengan ciri: adu kuat, stand still (masing-maing pihak bertahan dalam posisinya), defensif (bertahan dalam situasi konflik), non violence (tanpa kekerasan). Sementara pada Masyarakat Dayak Iban ditandai dengan cara: offensif (menyerang), resistensi (melawan), menyerang dan violence (dengan kekerasan). Masyarakat Dayak Iban selain memiliki resiliensi juga memiliki resistensi. Apabila meminjam istilah Grotberg (1999), sumber resiliensi Masyarakat Dayak Iban berasal dari dukungan pihak lain (I Have), sedangkan 237

257 sumber resiliensi Masyarakat Kasepuhan berasal dari kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan pihak lain (I Can) Implikasi Kebijakan Pengalaman historis yang terjadi di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik memberi bukti bahwa konflik sumberdaya hutan di kawasan tersebut selalu berulang, mengalami pasang surut. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan tumpang tindih klaim atas otoritas suatu kawasan. Setidaknya dua kelompok konflik yaitu masyarakat adat dan negara, dimana masyarakat adat menempati posisi peran sebagai kelompok subordinat dan negara memiliki posisi peran sebagai superordinat. Pengalaman menunjukkan bahwa di TNGHS, ada dimana konflik mereda dan menemukan konsensus bersama antara kelompok konflik, yaitu ketika pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra tingkat I. Pada masa tersebut baik kepentingan negara dan kepentingan masyarakat bertemu. Masyarakat Kasepuhan diizinkan untuk menggarap kawasan hutan dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah. Pemberian kabubusuk tersebut sebagai wujud pengakuan Masyarakat Kasepuhan atas right yang dimiliki negara, sedangkan izin menggarap lahan menjadi bukti bahwa negara mengakui otoritas adat. Begitupun sewaktu pemerintah mengeluarkan kebijakan membagi dua kawasan Gunung Halimun Salak, sebagai kawasan lindung dibawah pengelolaan BKSDA ( hektar) dan kawasan hutan produksi dibawah tanggung jawab Perum Perhutani ( hektar) di tahun Pada masa tersebut Perhutanipun mengizinkan masyarakat untuk tetap tinggal dan menggarap lahan pertaniannya, sekalipun harus membayar 15-25% dari hasil pertanian mereka kepada Perhutani. Kebijakan tersebut disepakati bersama dan dianggap sebagai bagian dari pengakuan otoritas masing-masing. Dalam konteks Hutan Sungai Utik, konflik belum pernah sampai pada konsensus, yang terjadi bahwa konflik menemukan momentum kebrutalannya 238

258 selanjutnya ketika dimenangkan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, pengusaha terusir, negara sementara mendiamkan konflik, tidak ada pengakuan atas otoritas masyarakat adat, namun membiarkan masyarakat menguasai sumberdaya dan tetap memiliki akses mereka terhadap hutan dalam kondisi cemas dan ketidak pastian, kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu negara akan kembali mengambil otoritasnya. Belajar dari teladan kasus dikedua lokasi dapat disimpulkan bahwa berdasarkan aspek historis, secara presisten terbukti bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak dapat meminggirkan kepentingan masyarakat adat/ lokal yang sudah hidup lama di kawasaan tersebut dan bergantung dari keberadaan hutan. Jika kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan meminggirkan keberadaan masyarakat lokal, maka konflik akan terjadi dan tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, implikasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus memperhatikan, hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak boleh meminggirkan keberadaan masyarakat lokal dengan segala kepentingannya dan otoritas yang diklaim dimiliki oleh masyarakat lokal tersebut. 2. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan kedepan harus memasukkan pertimbangan mengenai konflik manajemen (bagaimana mengatasi konflik melalui mediasi); konflik resolusi (mengembangkan dan mengusahakan berbagai pendekatan alternatif untuk memecahkan konflik dengan cara negosiasi atau memecahkan masalah bersama oleh kelompok yang berkonflik); dan konflik transformasi (mencapai hasil perdamaian positif antara kelompok konflik dengan cara mengakhiri kebrutalan, merubah hubungan negatif menjadi hubungan positif dengan cara merubah struktur politik, sosial dan ekonomi yang menyebabkan hubungan kekuasaan antar kelompok tersebut menjadi negatif, selanjutnya memberdayakan masyarakat agar terlibat dalam proses perubahan tersebut tanpa kekerasan untuk membangun kondisi perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan). Penyelesaian konflik penguasaan sumberdaya hutan, bukan hanya menempatkan siapa pemilik hutan tapi bagaimana hutan tersebut dapat memberi manfaat untuk manusia dan makhluk lain. Hutan merupakan kesatuan antara 239

259 manusia, tumbuhan, hewan dan juga adanya makhluk supranatural. Oleh karena itu keberlanjutan sistem sosioekologi hutan harus menjadi pertimbangan dalam penyelesaian konflik sumberdaya hutan. Menciptakan masa depan yang berkelanjutan merupakan tantangan terbesar dalam mengatasi konflik sumberdaya hutan yang tidak berkesudahan. Dalam kasus konflik di TNGH, penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui resolusi konflik, mendialogkan kepentingan dan otoritas kedua kelompok konflik. Adapun dalam kasus konflik di Sungai Utik, konflik dapat diselesaikan melalui transformasi konflik, yaitu merubah konflik dari yang brutal pada perdamaian positif, dengan sarat kondisi ekonomi, sosial dan politik terpenuhi atau dirubah. Penyelesaian konflik Sungai Utik menjadi lebih rumit karena bertemunya antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Sebenarnya, tujuan kelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi tidak selalu bertentangan tetapi dapat saling menguatkan. misalnya, konsep pembangunan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan telah memberikan solusi untuk membuat kesesuaian antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Idealnya masyarakat yang berkelanjutan memungkinkan setiap orang untuk mencapai fisik, mental, dan kesejahteraan sosial untuk memiliki kualitas hidup yang tinggi. Untuk mewujudkan hal ini, mereka yang mendapat keuntungan terbesar dari sumberdaya alam harus menjadi kekuatan pendorong di belakang gerakan keberlanjutan dan membawanya lebih dekat ke keadaan yang ideal. Namun dalam kenyataannya, aktivitas manusia didorong oleh kepentingan pribadi, dan keinginan telah menyebabkan kerusakan yang cepat dari lingkungan alam, termasuk kerusakan hutan dan berkurangnya keanekaragaman hayati. Sementara itu, ketidakseimbangan sosial seperti kemiskinan dan alienasi masyarakat adat dari sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya terus dilakukan oleh negara dan para pengusaha yang mengatas namakan otoritas legal. Konflik karena perbedaan kepentingan terhadap sumberdaya alam ini akhirnya akan mengarah pada kehancuran kesejahteraan umum dan mengancam kelangsungan hidup umat manusia, yang pada gilirannya akan menghancurkan kelestarian lingkungan 240

260 Oleh karena itu, keberlanjutan sistem sosioekologi hutan dapat terwujud apabila terbentuk masyarakat yang berkelanjutan. Dalam mempelajari dunia yang berkelanjutan, kita perlu memahami tentang sistem interaksi yang kompleks. Sistem ini merupakan sistem yang kompleks antara sistem manusia dan sistem alam. Sistem manusia termasuk ekonomi, politik, teknologi dan ketersediaan pangan global. Sementara itu, sistem alam termasuk hutan, laut dan atmosfer dan biodiversitas dan keanekaragaman hayati. Sistem yang kompleks ini tidak dapat dikendalikan, tetapi mereka dapat dipahami. Memahami ini penting untuk keberlanjutan, dimana semua pihak harus memastikan bahwa setiap aktor memainkan peran yang tepat untuk keberlanjutan. Konsep pembangunan lingkungan yang berkelanjutan ini harus menjadi solusi global, tetapi didasarkan pada budaya lokal, sehingga hal tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkenaan dengan konflik sumberdaya alam. Selanjutnya, intervensi kelembagaan negara dan introduksi teknologi harus layak dan berlaku untuk kondisi setempat. Artinya harus mengadopsi budaya lokal. Masalah lingkungan adalah masalah manusia tidak hanya masalah teknologi. Oleh karena itu, pendidikan tentang lingkungan harus dilaksanakan dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal. Pendidikan, kesadaran dan kemauan adalah hal penting untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, dan keberlanjutan. 241

261 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat di sekitar hutan dengan lembaga-lembaga tradisionalnya yang telah mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan jauh sebelum diklaim sebagai hutan negara. Perbedaan pemaknaan dan tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan akan lebih jelas dan menjadi masalah ketika keberadaan institusi/ kelembagaan baru melemahkan atau bahkan meniadakan keberadaan kelembagaan lain. Konflik sumberdaya hutan selalu melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu negara dan Masyarakat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu negara (pemerintah pusat) yang kemudian melibatkan perusahaan (swasta), negara (pemerintah daerah) yang juga melibatkan perusahaan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan hutan Sungai Utik, konflik sumberdaya hutan secara ringkas dapat dikatakan sebagai konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang hutan, tumpang tindih kelembagaan hutan, perebutan otoritas atas teritori hutan yang melibatkan adanya dua kelembagaan dengan klaim penguasaan atas sumberdaya hutan yang sama serta perbedaan perlakuan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Konflik pemaknaan terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap fungsi hutan. Perbedaan pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pengetahuan. Pengetahuan masyarakat bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun, sedangkan pengetahun negara bersumber dari peraturan perundang-undangan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi sementara masyarakat 243

262 memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, karena negara memainkan peraturan perundang-undangan sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Konflik tenurial terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas penguasaan lahan/ tanah. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, antara lain: Pasal 33 UUD 1945, UUPA dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyiratkan bahwa negara menjadi penguasa atas seluruh tanah/ hutan dan kekayaan alam didalamnya. Sedangkan masyarakat adat mengklaim kepemilikan lahan/ hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat. Klaim masyarakat adat atas tanah berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun, konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan penguasaan tanah yang diklaim oleh negara. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan, bahkan keberadaan kebijakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses, mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Namun demikian, mereka tetap hidup dalam kecemasan karena klaim penguasaan negara atas kawasan tersebut tidak pernah dicabut. Oleh karena itu, hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 244

263 Konflik otoritas adalah konflik yang timbul karena pertentangan kekuasaan/ kewenangan diantara dua kelembagaan. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masingmasing pihak yang saling berhadapan. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Otoritas negara bersumber dari peraturan perundang-undangan (kebijakan negara), sedangkan. otoritas masyarakat adat bersumber dari tradisi budaya (kelembagaan lokal). Dalam kasus Sungai Utik, negara dengan otoritas formalnya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada aktor pengusaha, sehingga konflik otoritas di Hutan Sungai Utik pada level grassroot menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha selaku pemegang otoritas IUPHHK dan pengusaha pemegang IUP. Setiap otoritas berusaha untuk menyingkirkan otoritas lain dan menjadi otoritas satu-satunya di kawasan tersebut. Semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat sedangkan masyarakat menjadi pihak yang subordinat. Sebagai pihak yang subordinat, masyarakat adat melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Dalam kasus TNGHS, distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, soliditas kelembagaan membuat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik. Konflik livelihood terjadi ketika ada perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda. Kepentingan masyarakat adat berhadapan dengan keberadaan kepentingan negara. Dalam kasus di TNGHS, Konflik menghadapkan kepentingan negara (BTNGHS) dengan Masyarakat Kasepuhan. Sebenarnya baik BTNGHS (negara) maupun Masyarakat 245

264 Kasepuhan sama-sama berkepentingan terhadap hutan untuk konservasi, hanya saja model konservasi yang dikembangkan kedua belah pihak berbeda. Dalam konsepnya Masyarakat Kasepuhan, hutan disamping untuk konservasi juga merupakan basis livelihood mereka. Pada kasus Sungai Utik, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha. Masyarakat adat mempertahankan sumberdaya hutan karena alasan konservasi dan ekonomi livelihood, sementara negara dan pengusaha menginginkan sumberdaya hutan atas alasan ekonomi komersial pasar global (kapitalis). Basis konflik pada level grassroot ini adalah akuisisi materi, dimana ada tarik menarik kepentingan ekonomi. Perbedaan kepentingan membuat perbedaan perlakuan terhadap hutan. Dalam konsep masyarakat adat hutan bukan hanya sebagai kumpulan vegetasi melainkan sumber livelihood masyarakatnya. Namun demikian, pemanfaatan hutan menurut masyarakat adat tersebut diatur dengan tradisi budaya, dimana tidak setiap tempat boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan, begitupun dengan pengambilan manfaat dari kayu mensyaratkan adanya pembatasan pengambilan dan tindakan penanaman sebelum pengambilan. Masyarakat memanfaatkan hutan dengan mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan kehidupan makhlukmakhluk lain yang hidupnya bergantung pada hutan. Hal ini berbeda dengan konsep hutan dalam kepentingan negara. Negara (dalam kasus hutan produksi) boleh memanfaatkan hutan baik kayu maupun non kayu dalam jumlah sesuai dengan kepentingan pasar, tanpa memperhitungkan terganggunya ekosistem hutan. Dampak dari konflik sumberdaya hutan tersebut pada level kelompok menyebabkan kelentingan masyarakat meningkat. Kelentingan tersebut dinilai berdasarkan kemampuan bertahan (survival), kemampuan konsolidasi, kemampuan mengulur waktu dan kemampuan memeluk pihak lain. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan, menghindari konflik terbuka, menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), menggalang bantuan dari pihak lain, kemampuan mengembangkan web of powernya dengan cara merangkul LSM dan pemerintah 246

265 daerah untuk bernegosiasi dengan BTNGHS mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi Kelentingan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditunjukkan dengan cara melawan dan konflik terbuka, mempertahankan hak akses atas hutan dan mengusir lawan dari kawasan, meningkatkan soliditas dengan seluruh anggota Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan sesama suku Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, mengembangkan web of powernya dengan merangkul LSM baik nasional maupun internasional, yang membantu masyarakat dalam hal pemetaan, meraih sertifikat ekolabeling, propaganda mengenai pengelolaan hutan lestari berbasis pengetahuan masyarakat adat dalam rangka perjuangannya memperoleh pengakuan sebagai hutan adat. Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik sumberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu Teori Kelentingan Sosial Dalam Perebutan Sumberdaya Hutan. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Dengan kata lain bahwa complex social conflict menghadirkan kelentingan sosial. Setiap masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog Saran Konflik penguasaan sumberdaya hutan merupakan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan, perebutan tenurial, perebutan otoritas dan perbedaan kepentingan livelihood,. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika kebijakan negara menegasikan hak dan akses masyarakat adat yang sudah lama tinggal di lokasi dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah miliknya yang diperoleh secara turun temurun. Hilangnya hak dan akses terhadap sumberdaya hutan menyebabkan masyarakat juga kehilangan otoritas dalam pengaturan tata kelola sumberdaya hutan. Oleh karena itu penyelesaian konflik pada konflik penguasaan sumberdaya hutan harus dapat menyelesaikan fenomena konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. 247

266 Konflik sumberdaya hutan tersebut tidak dapat hanya diselesaikan melalui pendekatan yuridis formal, namun juga harus mempertimbangkan perspektif kesejarahannya. Dalam konteks tersebut, konflik tidak semata-mata terletak pada legitimasi hukum dan perundang-undangan yang menetapkan sebuah status kawasan hutan sebagai hutan negara, namun penetapan status sebuah kawasan hutan juga harus mengakomodir keberadaan kawasan lahan serta hutan adat sebagai hak masyarakat adat. Hutan bukan hanya dipandang dari aspek aturan namun juga harus mempertimbangkan aspek kultural masyarakat yang hidup dari dan berada di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Penyelesaian konflik sumberdaya hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tipe masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut dan jenis hutan menurut kebijakan negara. Pada Masyarakat Kasepuhan, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict resolution, yaitu penyelesaian konflik yang memungkinkan hasil positif bagi kedua belah pihak (win-win solution). Dalam penyelesaian konflik di TNGHS, pemerintah daerah merupakan kolaborator masyarakat adat, karena berani berhadap-hadapan dengan negara (Kementerian Kehutanan) dalam rangka menyelesaikan konflik dan memperjuangkan hak akses Masyarakat Kasepuhan. Persoalan konflik pada kawasan TNGHS adalah persoalan ketidak-merataan distribusi penguasaan sumberdaya. Oleh karena itu penyelesaian konflik Masyarakat Kasepuhan dapat dilakukan melalui pendekatan kekuasaan, yaitu pendistribusian kekuasaan negara kepada Masyarakat Kasepuhan yang dapat menjamin kelangsungan Masyarakat Kasepuhan untuk memiliki akses (bundle of power) terhadap hutan, termasuk menjamin kelangsungan livelihood mereka di kawasan hutan. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict transformation yaitu merubah konflik yang tadinya negatif kearah penyelesaian yang positif. Dalam penyelesaian konflik di Sungai Utik, pemerintah daerah bukan kolaborator masyarakat adat karena dengan otoritas otonomi daerahnya, pemerintah daerah malah menyebabkan konflik semakin kompleks dengan menerbitkan IUP untuk pengusaha. Oleh karena itu, penyelesaian konflik pada kawasan hutan Sungai Utik harus bersifat kelembagaan/ institusi, melalui penerbitan kebijakan negara yang memberikan 248

267 hak pengelolaan kawasan hutan Sungai Utik pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang nyata-nyata diakui melalui sertifikat ekolabeling mempunyai pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan yang lestari. Persolannya konflik sumberdaya hutan pada kawasan TNGHS dan hutan Sungai Utik terjadi juga karena adanya pemaknaan atas hutan yang didasarkan karena adanya perbedaan pengetahuan dalam tata kelola hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan dengan penguasaan hutan berdasarkan tata kelola negara, karena bagaimanapun juga tindakan negara didasarkan atas dualisme kepentingan, yaitu kelestarian hutan dan pemanfaatan hutan sesuai mekanisme pasar. Sementara itu diketahui bahwa mekanisme pasar telah gagal mendorong keberlanjutan dan kesetaraan dalam manajemen SDA. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya hutan lebih baik diserahkan kepada masyarakat, karena masyarakat lokal lebih berkepentingan terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan dibanding siapapun. Kolaborasi manajemen bisa dilakukan antara negara dan masyarakat, dimana negara memegang kontrol atas sumber daya hutan tersebut sementara pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat. Keterlibatan pengusaha dimungkinkan selama tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Salah satu pemicu konflik juga karena ada campur tangan pemerintah daerah yang membuat konflik semakin kompleks. Hal ini terjadi karena otonomi daerah masih dijalankan setengah hati. Selama pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka. Oleh karena itu perlu adanya kepastian hukum dan peningkatan kemampuan daerah dalam mengatasi berbagai macam kendala desentralisasi, sehingga daerah mampu mengelola sumberdaya alam. Dengan demikian disarankan bahwa orientasi kebijakan sumberdaya alam kedepan adalah pembangunan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan, yaitu mensinergikan antara pembangunan lingkungan (lingkungan lestari) dan 249

268 keberlanjutan masyarakatnya. Masyarakat yang berkelanjutan memungkinkan setiap orang untuk memiliki kualitas hidup yang tinggi baik secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, intervensi kelembagaan negara dan introduksi teknologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, harus layak dan berlaku untuk kondisi setempat. Artinya harus mengadopsi budaya lokal. Masalah lingkungan adalah masalah manusia tidak hanya masalah teknologi. Pendidikan tentang lingkungan harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum intervensi kebijakan dilakukan, dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal agar terciptanya masyarakat yang berkelanjutan. 250

269 DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K Manusia Sunda Dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya Dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia. Thesis PhD. Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia. Aminuddin Sosiologi: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta, RajaGrafindo Persada. Atmadja NB Pengelolaan hutan wisata Kera Sangeh Oleh Desa Adat Sangeh, dalam Ekonesia 1 : 1-22 Barber CV Food Resource Scarcity & Social Conflict In Indonesia. Environment 40, Barber CV, N Johnson, and E Hafild Breaking The Logjam: Obstacles To Forest Policy Reform In Indonesia. Barber CV, and J Schweithelm Trial By Fire: Forest Fires And Forestry Policy In Indonesia's Era Of Crisis And Reform. Washington DC, USA: World Resources Institute. Bellwood P First Farmers: The origins of agricultural societies. USA, UK, Australia: Blackwell Publishing Blaikie P The Political Economy of Soil Erotion in Developing Countries. London: Longman. Brockman A When All Peoples Have the Same Story, Humans will Cease to Exist : Protecting and Conserving Traditional Knowledge: A Report for Available in Course Content or from the the Biodiversity Convention Office. Dene Cultural Institute, September Aboriginal Mapping Network at Bromley D Tenure Regimes and Sustainable Resource Management in Oglethorpe (1998). Buck LE, Wollenberg E. dan Edmunds D Social learning in the collaborative management of community forests: Lessons from the field, dalam Wollenberg, E., Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. dan Brodt, S. (penyunting) Social Learning in Community Forests. CIFOR. Bogor. Indonesia. Budimantra A Kekuasaan dan Penguasaan Sumber Daya Alam, ICSD. Jakarta. Bunker S Underdeveloping the Amazon: Extraction, Unequal Exchange, and the Failure of the Modern State. Urbana: University of Illinois Press. Centre for Indigenous Knowledge Indigenous Knowledge and Sustainable Development. Sri Lanka University of Sri Jayewardenapura, 1996, p. vii-vii). Chambers R and Conway G Sustainable Rural Livelihoods: Practical concepts for the 21st Century. IDS Discussion Paper 296, IDS, Brighton, UK, February Contreras-Hermosilla A dan Fay C Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan. Bogor: World Agroforestry Centre. 251

270 Darusman D, dkk Resiliensi kehutanan, Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta: Debut press. Dean M Critical And Effective Histories: Foucault s Methods And Historical Sociology. London: Routledge. Dentan RK Book reviews Above the Forest: A Study of Andamanese Ethnoanemology, Cosmology, and the Power of Ritual. Vishvajit Pandya. Delhi: Oxford University Press, pp. American Anthropologist. Dec 1994, 96, 4; ProQuest Sociology pg Denzin NK, Yvonna S Lincoln Handbook Of Qualitative Research. USA: Sage Publications. de Roo N dan Klaver D Conflict Transformation For Natural Resource Management. Manuscrip materi Short course Local Governance and Rural Decentralization. The Netherland: CDI-Wageningen University. Dharmawan AH Konflik-konflik Kekuasaan dan Otoritas Kelembagaan Lokal Dalam Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Desa: Investigasi Teoritik dan Empiris. Project Working Paper Series No. 01. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB bekerja sama dengan Kemitraan Bagi Pembangunan Tata Pemerintahan di Indonesia Dove M Theories Of Swidden Agriculture And The Political Economy Of Ignorance. Agroforestry Systems (1): Down to Earth No Mining In The Forests! No , August Effendi E Rationalizing the facts: Forest Zone rationalization in the context of local spatial planning and development programs. Paper for the World Bank. Jakarta, Indonesia. Environmental Investigation Agency The Final Cut: Illegal Logging In Indonesia's Orangutan Parks. < Environmental Investigation Agency and Telapak Indonesia Timber Trafficking. London, UK and Bogor, Indonesia. FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations) Global Forest Resources Assessment FAO Forestry paper 140. Rome, Italy. Fay C, Michon G Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15. Finger-Stich A, Finger M State versus Participation: Natural Resources Management in Europe. Brighton, London: IIED. Foucault M The Order Of Thinngs: An Archaelogy Of The Human Sciences. New York: Vintage. Foucault M The Archaelogy Of Knowledge And The Discourse On Language. New York: Harper Colophon. Foucault M The Archaelogy Of Knowledge. New York: Harper and Row Publisher. Foucault M Discipline And Punish/ The Birth Of The Prison. New York: Vintage. Foucault M Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writing. Terjemahan C. Gordon et al. New York: Pantheon Random House. Fuad FH dan Maskanah S Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka Latin 252

271 Galudra G, Sirait M, Ramdhaniaty N, Soenarto F, Nurzaman B History Of Land-Use Policies And Designation Of Mount Halimun-Salak National Park (Sejarah Kebijakan Tata Ruang Dan Penetapan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No. 1 : 1-13 (2005). FWI/GFW The state of the forests: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia; and Washington DC, USA: Global Forest Watch. Gautam M, Lele U, Kartodiharjo H, Khan A, Erwinsyah I, Rana S Indonesia. The challenges of Bank involvement in forest. Operations Evaluation Department, Evaluation Country Case Study Series Washington DC, World Bank. USA. Geertz C Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Gerungan Psikologi sosial, Ringkasan. Bandung: Eresco. Grotberg E The lnternational Resilience Project. In R. Roth (ed.), Psychologists Pacing the Challenge ola Global Culture with Human Rights and Mental Health, Pabst: Hall JA, Ikenberry GJ The State. Milton Keynes, UK: Open University Press. Hansen S and Justin VanFleet Traditional Knowledge and Intellectual Property. New York: American Association for the Advancement of Science, Available online at Harskamp AV (ed.) Conflics In Social Science. London: Routledge Hunter A Traditional and Western Systems of Knowledge. Introduction to the Circumpolar World University of the Arctic BCS Iskandar U dan Nuraha A Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan: Issue dan Agenda Mendesak. Jogjakarta: Debut Press. Jackson S Reducing Risk and Promoting Resilience in Vulnerable Children. the I.U.C. Journal of Social Work Theory and Practice.Journal Issue 4. Kaimowitz D, Faune A, Mendoza R Your biosphere is my backyard: The story of Bosawas in Nicaragua. Policy Matters, vol 12, hal Kinseng RA Identifikasi Potensi, Analisis, Dan Resolusi Konflik. Manuscrip merupakan bagian dari buku yang akan diterbitkan. Knight J Institution and Social Conflict. USA: Cambridge University Press. Li Images of Community: Discourse and Strategy Ín Property Relations. Development and Change Vol. 27 (1996), Institute of Social Studies UK: Published by Blackwell Publishers, 108 Cowley Rd, Oxford OX4 tjf, Lipsky M Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. New York, NY: Russell Sage Foundation. Lynch OJ Securing Community based Tenurial Rights in The Tropical Forests of Asia: On Overview of Current and Prospective Strategies, Issues in Development. Washington DC: WRI Publication, November Lynch OJ, Harwell E Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik. (Terjemahan: Studio Kendil). Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 253

272 MacAndrews C Land Policy In Modern Indonesia: A Study Of Land Issues In The New Order Period. Boston, MA: Oelgeschlager, Gunn & Hain. MacKinnon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A The Ecology of Kalimantan. The Ecology of Indonesia Series. Oxford University Press. Maleong LJ Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit: PT Remaja Rosdakarya. Malik A Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat: studi Kasus Tiga Lembaga Zakat Di Provinsi Jambi Dan Sumatera Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manor J The Political Economy of Democratic Decentralization. Washington, DC: World Bank. Maring P Bagaimana Kekuasaan Bekerja: Dibalik Konflik Perlawanan Dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi Tentang Perebutan Sumber Daya Ekologi. Jakarta: Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia. Masten AS, Gewirtz AH Resilience in development: The importance of early childhood. In: Tremblay RE, Barr RG, Peters R (eds). Encyclopedia on Early Childhood Development [online]. Montreal, Quebec: Centre of Excellence for Early Childhood Development; 2006:1-6. Available at: Accessed [ ]. McCarthy JF. 2000a. Wild Logging: The Rise and Fall of Logging Networks and Biodiversity Conservation Projects on Sumatras Rainforest Frontier. CIFOR Occasional Paper, vol 31. CIFOR, Bogor, Indonesia. McCarthy JF. 2000b. The changing regime: Forest property and reforms in Indonesia. Development and Change, vol 31, hal McCarthy JF Tanah Alas: Persekutuan Klien, Konservasi, dan Bentuk- Bentuk Institusi Baru di Perbatasan Hutan Sumatera, dalam Benda- Beckmann, Franz & Keebet von dan Juliette Koning (eds), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. McCarthy JF Between Adat and State: Institutional Arrangements on Sumatra s Forest Frontier. Human Ecology, Vol. 33, No. 1, February 2005 (C 2005) DOI: /s McCay B, Acheson JM (eds.) The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources. University of Arizona Press, Tucson. McKean, M.A Nesting institutions for complex common-pool resource systems. In Proceedings of the 2nd International Symposium on Landscape Futures, December 2001, eds. J. Graham, I.R. Reeve, and D.J. Brunckhorst. Armidale: Institute for Rural Futures and University of New England. Migdal JS The State In Society: An Approach To Struggles For Domination, dalam Migdal, J. S., Kohli, A.dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World. Cambridge: Cambridge University Press. Migdal, J. S., Kohli, A.dan Shue, V. (penyunting) State Power and Social Forces: Domination and Transformation in the Third World. Cambridge: Cambridge University Press. 254

273 Mitchell WE The ethnography of change in New Guinea (Book Reviews Essays). American Anthropologist; Sep 1996; Vol. 98, No. 3; ProQuest Sociology Moeliono M, Wollenberg E dan Limberg G (eds.) Disentralisasi Tata Kelola Hutan: Politik, Ekonomi, dan Perjuangan Untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia Moniaga S Towards Community-Based Forestry And Recognition Of Adat Property Rights In The Outer Islands Of Indonesia, In Jeffe Son Fox (Ed.) Legal Frameworks For Forest Management In Asia. Pp. T3l-50. Honolulu, HI: East-West Cenier. Moore SF Law and social change: The semi-autonomous social field as an appropriate subject of study. Law and Society Review, vol 7, hal North DC Structure And Change In Economic History. New York; Norton. Obidzinski K Illegal Logging And The Fate Of Indonesias Forests In Times Of Regional Autonomy. Makalah dipresentasikan pada the Xth Meeting of the International Association for the Study of Common Property, 9 13 August 2004, Oaxaca, Mexico. O'Leary VE Strength in the face of adversity: Individual and social thriving. Journal of Social Issues, 54, O'Leary VE and Ickovics JR Resilience and thriving in response to challenge: An opportunity for a paradigm shift in women's health. Women's Health: Research on Gender, Behavior, and Policy, 1, Ostrom E Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press. Peluso NL Rich Forests, Poor People: Forest Control and Resistance in Java. Berkeley, CA: University of California Press. Peluso NL Seeing Property In Land Use: Local Territorializations In West Kalimantan, Indonesia. Geografisk Tidsskrift, Danish Journal of Geography 105(1) Peluso NL Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: KOPHALINDO. Rahmawati R. 2007a. Sistem Kepercayaan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Studi Kasus Pada Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun). Buletin Penelitian UNIDA Volume 12, Nomor 1, Bogor. Rahmawati R. Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, dan Usep S Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik Dan Dinamika Sosio Ekologis. Sodality: Journal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi Dan Ekologi Manusia. Agustus Halaman ISSN: , Vol. 02.No. 02. Rahmawati R A Study Of The Kasepuhan (Sundanese) Community. International Journal On Social Science Economic And Art. Vol. 2 (2012) No. 3. ISSN: Malaysia. Raho B Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Rathakette P et al Taboos And Tradition: Their Influence On The Conservation And Exploitation Of Tress In Sosial Forestry Projects In Northem Thailand, Dalam Y.S. Rao et al. (Ed.), Community Forestry: Socio Economic Aspect. FAO-RAPA. 255

274 Reivich K, Shatte A The resilience factor. New York: Broadway Books. Ribot JC, Peluso NL A Theory of Access dalam Rural Sociology 68 (2). The Rural Sociological Society. pp Ritzer G, Goodman DJ Teori Sosiologi: Dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rodgers J Reason, Conflict and Power: Modern Political and Social Thought from 1688 to the present. Oxford-UK: University press of America Inc. Robinson R Indonesia: The Rise of Capital. Canberra: Asian Studies Association Press. Rutter M Psychosocial resilience and protective mechanisms. American Journal of Orthopsychiatry, 57, Schlager E and Ostrom E Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis, Land Economics 68(3):249. Scott J Seeing Like a State. New Haven, CT: Yale University Press, Sembiring S Indonesia: Towards rationalization of State Forest Zone. Policy regulations and institutions. Paper for the World Bank. Jakarta. Indonesia. Sheridan A Mitchel Foucault: The will to truth. USA dan Canada: Routledge. Shue V State Power And Social Organization In China, Dalam Migdal, J. S., Kohli, A. Dan Shue, V. (Penyunting) State Power And Social Forces: Domination And Transformation In The Third World. Cambridge: Cambridge University Press, Siebert A The Resiliency Advantage. Bennett-Koehler Pu.blishers. Skocpol T State and Social Revolutions: A Comparative Analysis of France, Russia, and China. Cambridge: Cambridge University Press. Soekanto S Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Steni B Problematik Pembaruan Hukum dan Persoalan Agraria: Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal dan Agenda Pembaruan Hukum Agraria. Perkumpulan HuMa-Jakarta. Monday, 27 October 2008 Subadi Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Suparlan P (Ed.) Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sutrisno M dan Putranto H Teori-teori kebudayaan. Jakarta: Kanisius Turner JH The Structure of Sociological Theory. USA: Wadsworth Publishing company Vandergeest P dan Peluso NL Territorialization and state power in Thailand. Theory and Society 24(3): Vayda AP, Rappaport R Ecology, Cultural and Non-Cultural. Introduction to Cultural Anthropology. Edited by J. Clifton. Boston: Houghton Mifflin. Vayda AP, McCay B New Directions in Ecology and Ecological Anthropology. Annual Review of Anthropology 4: Wadley RL, Pierce Colfer CJ, Hood IG Hunting primates and managing forests: The case of Iban forest farmers in Indonesian Borneo. Human Ecology 25,

275 Wallace RA, Alison Wolf, Contemporary Sociological Theory. Cram101 Incorporated- Study Aids Weber M Economy and Society Edited by Roth Guenther and Wittich Claus. University of California Press: Barkley, Los Angeles, London. Widiyanto, Dharmawan dan Prasodjo Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung). Sodality: Journal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi Dan Ekologi Manusia. April Halaman ISSN: , Vol. 04.No. 01. Wollenberg E A selective framework and typology for explaining the outcomes of local forest management. Journal of World Forest Resource Management, vol 9, hal Woodhouse EJ Re-Visioning the Future of the Third World: An Ecological Perspektive on Development. World Politics, Volume 25, Issue 1 (Oktober 1972), Johns Hopkins University Press. World Bank Indonesia: Environment and natural resource management in a time of transition. Washington DC, USA: World Bank. Yonariza, Edward L. Webb Rural household participation in illegal timber felling in a protected area of West Sumatra, Indonesia. Environmental Conservation 34(1): Foundation for Environmental Conservation. doi: /s Zakaria RY Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). DOKUMEN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: AMAN MOU AMAN dan BPN. Dokumen pribadi AMAN Provinsi Kalimantan Barat. Departemen Kehutanan Data Dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Wilayah Departemen Pengelolaan Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. DI_Pemanfaatan_Hutan_2009.pdf. Instruksi Presiden No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Keputusan Bupati Nomor 144 Tahun 2003 Tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 Yaitu Tentang Ijin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluar Ha Di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir Dan Embaloh Hilir, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 691/Kpts-II/1991, tentang Peranan Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat Di Dalam Dan Sekitar Hutan. 257

276 Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas ha tersebut di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh masyarakat Hukum Adat atau anggotanya di dalam Areal Hak pengusahaan Hutan. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 259/Kpts-II/2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat Seluas Hektar. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas Hektar Di Provinsi Jawa Barat Dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 268/Menhut-II/2004 yang memberikan ijin IUPHHK(Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu) kepada PT BRW dalam jangka waktu 45 tahun pola TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan luas areal Ha. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK. 266/Menhut- II/2012 Tentang Penetapan Daerah Penghasil Dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan Untuk Tahun Keputusan Menteri Pertanian Nomor 40/Kpts/Um/1/1979 Tentang Beberapa Kelompok Hutan Rimba Di Kawasan Halimun-Salak. Keputusan Menteri sosial Republik Indonesia No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111/1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.18/Menhut-II/2004 Tentang Kriteria hutan produksi Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 Tentang Penyerahan Sebagian Dari Urusan Pemerintah Pusat Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan Dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Swatantra Tingkat I Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Pengusahaan Hutan Dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3802) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan 258

277 Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A Tentang Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit Tanggal 10 Januari Surat Edaran Dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75/Menhut-II/2004 Tanggal 12 Maret 2004, Perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat Dan Tuntutan Kompensasi/Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1948 Tentang Peraturan tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun L992 Nomor 33, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3575). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 259

278 LAMPIRAN PENGERTIAN ISTILAH 1 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat UU Nomor 32 Tahun 2004). 2 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (lihat UU Nomor 32 Tahun 2004). 3 Demonstration activities (DA) are essential in order to establish a basic stock of practical experiences related to 'Reducing Emissions from Deforestation and Degradation' (REDD). DA-REDD ini merupakan program aksi dalam memberikan masukan penyiapan mekanisme baku REDD. Selanjutnya Menteri Kehutanan menerbitkan aturan tentang tata cara permohonan DA untuk keperluan REDD di Indonesia dalam bentuk Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2008. Dasar lahirnya aturan ini adalah karena dalam Convention on Climate Change (COP 13) di Bali, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan tentang REDD. Peraturan ini sendiri dilakukan sebagai pembuka jalan dilaksanakannya REDD yang sebenarnya masih dalam tahap persetujuan di forum kebijakan internasional. 4 Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola 527 unit Kawasan Konservasi di Indonesia. Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi yang saat ini memiliki unit pengelolaan tersendiri, dengan kelebihan tersebut maka peluang taman nasional untuk menjadi barometer keberhasilan konservasi di indonesia sangat tinggi apalagi dengan ditunjang ketersediaan sumber daya yang memadai. Kawasan konservasi dibangun dan dikelola dengan berlandaskan pada tiga pilar yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.13/Menhut-II/2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, bahwa Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam (Pasal 103). Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menyelenggarakan fungsi (Pasal 104): a. penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; b. pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; c. penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam; e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal. 261

279 5 Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.13/Menhut-II/2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, bahwa Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan produksi kehutanan (Pasal 351). Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Ditjen BPKH) menyelenggarakan fungsi (Pasal 352): a. penyiapan perumusan kebijakan departemen di bidang pembinaan rencana pemanfaatan hutan produksi, pembinaan pengembangan hutan alam, pembinaan pengembangan hutan tanaman, pembinaan iuran kehutanan dan peredaran hasil hutan serta pembinaan pengolahan dan pemasaran hasil hutan; b. pelaksanaan kebijakan di bidang pemanfaatan hutan produksi dan industri primer hasil hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang pembinaan rencana pemanfaatan hutan produksi, pembinaan pengembangan hutan alam, pembinaan pengembangan hutan tanaman, pembinaan iuran kehutanan dan peredaran hasil hutan serta pembinaan pengolahan dan pemasaran hasil hutan; d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan, standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang pembinaan rencana pemanfaatan hutan produksi, pembinaan pengembangan hutan alam, pembinaan pengembangan hutan tanaman, pembinaan iuran kehutanan dan peredaran hasil hutan serta pengolahan dan pemasaran hasil hutan; e. pelaksanaan administrasi direktorat jenderal. 6 Hak pemungutan hasil hutan adalah hak untuk menebang menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) ha untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam surat izin yang bersangkutan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. (Bab I pasal 1 ayat 5 PP No. 21 Tahun 1970) 7 Hak pengusahaan hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan rencana karya pengusahaan hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan. (Bab I pasal 1 ayat 1 PP No. 21 Tahun 1970) 8 Hasil hutan" ialah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan..(uu No. 5 Tahun 1967, Pasal 1) 9 Hutan didefinisikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan (Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan). Dalam penjelasan pasal demi pasal undangundang ini dikemukakan bahwa luas minimum lapangan yang bertumbuhan itu seperempat hektar, sebab hutan seluas itu sudah dapat mencapai suatu keseimbangan persekutuan hidup yang diperlukan, sehingga mampu memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan, pengaturan tata air, pengaruh terhadap iklim dan lain sebagainya. Menurut terminologi baku terbaru yang dibuat oleh society of american foresters (SAF) sebagaimana 262

280 dimuat dalam The Dictionary of Forestry (Helms, 1998) hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang cukup rapat dan khas, biasanya terdiri dari tegakan dengan ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan; umumnya di dalamnya tercakup padang rumput, sungai-sungai kecil berikut ikan yang terdapat di dalamnya dan satwa liar. 10 Hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 11 Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 12 Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 13 Hutan lindung ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 3) 14 Hutan milik ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 2) 15 Hutan negara ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik. (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 2) 16 Hutan produksi ialah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor. (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 3) 17 Hutan suaka alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya, yaitu: (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 2). Hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya yang khas termasuk alam hewani dan alam nabati, perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut cagar alam". Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional, disebut "suaka margasatwa". 18 Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 263

281 19 Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan - produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 20 Hutan tanaman hasil rehabilitasi yang selanjutnya disingkat HTHR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 21 Hutan wisata ialah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata dan/atau wisataburu, yaitu: (UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 2). Hutan wisata yang memiliki keindahan alam, baik keindahan nabati, keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan, disebut "taman wisata. Hutan wisata yang di dalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan diselenggarakannya pemburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi, disebut "taman buru. 22 IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan. IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Izin pemungutan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil basil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu. Izin pemungutan basil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah izin untuk mengambil basil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/ atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007). 23 Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu (Bab I Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.50/Menhut-Ii/2010 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi). 264

282 24 Iuran izin usaha pemanfaatan hutan yang selanjutnya disingkat IIUPH adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu. (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007) 25 Izin usaha pemanfaatan kawasan yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan -kawasan pada hutan lindung dan/ atau hutan produksi. 26 Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi. 27 Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran. 28 Kawasan hutan ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap..(UU No. 5 Tahun 1967, Pasal 1) 29 Kegiatan pemanfaatan hutan meliputi kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Sesuai Pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. 30 Kehutanan ialah kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya..(uu No. 5 Tahun 1967, Pasal 1) 31 Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. 265

283 32 Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terkait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto, 2005). 33 Kelembagaan adalah suatu kumpulan aturan yang membentuk interaksi social dengan cara tertentu, sebagaimana Knight (1992) kemukakan bahwa an institution is a set of rules that structure social interactions in particular ways. Agar seperangkat aturan tersebut menjadi kelembagaan, maka pengetahuan mengenai aturan tersebut harus dibagi diantara anggota komunitas atau masyarakat (for a set of rules to be an institution, knowledge of these rules must be shared by the members of the relevant community or society). Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan pengaturan masyarakat dan kelembagaan pengaturan hutan secara keseluruhan. Kelembagaan adat yang mengatur seluruh kehidupan masyarakatnya ternasuk interaksi manusia dengan alam (hutan). Kelembagaan dalam hal ini didefinisikan sebagai kumpulan aturan yang membentuk interaksi sosial dengan cara tertentu, sebagaimana Knight (1992) kemukakan bahwa an institution is a set of rules that structure social interactions in particular ways. 34 Kelentingan (resiliensi) adalah the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (lihat Oxford Dictionary). Kelentingan (resilience) adalah suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap tekanan-tekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa (Gibson and Bromley dalam Darusman, 2001). Adapun menurut Reivich K. and Shatte A. (2002) resilience is the ability to cope and to adapt of the severe events or problems that occured in life. Surviving in distress, and even dealing with adversity or experienced trauma in their lives. Grotberg (1999) menjelaskan bahwa resilience is the human capacity to face, to overcome, and to be strong for the difficulties experienced. Grotberg said that resilience is not magic and not only found in certain people only and not a gift from an unknown source. Jadi resilience adalah a positive adaptation pattern or it shows progress in difficult situations (Masten & Gewirtz, 2006). Berdasarkan berbagai macam definisi tersebut, dan dihubungkan dengan konteks konflik, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan (ability) to face, to cope, to adapt, to overcome, to recover and to be strong of the severe events or problems that occured in life. 266

284 35 Konstelasi (KBBI III): kumpulan orang, sifat atau benda yang berhubungan; keadaan, tatanan: politik di Eropa, bangunan bentuk, susunan, kaitan. Gambaran keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat mungkin mencerminkan kekuatan yang ada dalam masyarakat. 36 Konflik akan didefinisikan sebagai salah satu stimulus utama dalam penajaman dan pengembangan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan tindakan sosial (Coser dan Larsen, 1976 dalam Harskamp (1996). Namun mengingat konflik yang dimaksud dalam tulisan ini melibatkan antara masyarakat adat dan Negara, maka konflik yang dimaksud adalah konflik sosial yaitu sebuah perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status kekuasaan dan sumber daya dapat memenuhi fungsi positif. Konflik dapat meningkatkan adaptasi penyesuaian hubungan sosial atau kelompokkelompok (Coser, 1964, Stefen, 1994 dalam Harskamp, 1996). 37 Conflict manajement (variety of ways by which people handle clashes of right and wrong, example: mediation or avoidance). 38 Conflict resolution (developing and offering a range of alternative approaches for handling disputes non violently and effectively, example: join problem solving or negotiation). 39 Conflict transformation (Achieving positive peace: ending violence and change negative relationships between conflicting parties, changing the political, social or economic structures that cause such negative relationships, and empowering people to become involved in non violent change processes themselves, to help build sustainable conditions for peace and justice). 40 Masyarakat lokal diartikan pula sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. (Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91). Masyarakat lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya hutan terbagi menjadi masyarakat hukum adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yaitu masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan, dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya. Bank Dunia mendefinisikan terminologi indigenous people sebagai social groups with a social and cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantaged in the development process (kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan). Karakteristik Indigenous people antara lain: (1) melekat pada wilayah nenek moyang dan pada sumber daya alam di daerah tersebut; (2) mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota kelompok budaya yang berbeda; (3) memiliki bahasa asli yang seringkali berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa; 267

285 (4) adanya institusi sosial-politik; dan (5) pola hidup yang masih bersifat subsisten dan berorientasi produksi. 41 Masyarakat adat/ masyarakat hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat. Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan, sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang khas, memiliki kekuasaan dan kekayaan sendiri untuk mengatur kehidupan komunitasnya. (lihat Kahn, 1993; Burns, 1999 dalam Mc Carthy, 2000). Masyarakat adat juga bisa diartikan sebagai masyarakat desa yang secara terus menerus memuat dan menegakkan aturan mereka sendiri sesuai dengan praktek-praktek adat lama. Meskipun demikian, tampak bahwa pada tingkat ini, adat bisa terus berkembang dan beradaptasi terhadap perubahan tanpa bantuan dari pengadilan negara atau legislator (Holleman, 1981). 42 Paradigma land-to-mouth existence adalah kegiatan pertanian yang didukung oleh lembaga-lembaga pengaturan bercocok tanam, lembaga mobilisasi tenaga dan massa, serta lembaga pengatur norma dan perilaku sosial sesuai dengan tingkat evolusi sosial setempat 43 Pengelolaan hutan (forest management) menurut terminologi SAF (Helms, 1998) adalah praktek penerapan prinsip-prinsip biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam mempennudakan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan hutan untuk mencapai tujuan dan sasaran-sasaran tertentu dengan tetap mempertahankan produktiviasnya. Pengelolaan hutan mencakup kegiatankegiatan pengelolaan terhadap keindahan, ikan, rekreasi, satwa liar, kayu serta hasil hutan bukan kayu lainnya; dan manfaat lain yang dapat diperoleh dari hutan. 44 Pengurusan hutan bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari, baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, didasarkan atas rencana umum dan rencana karya. Kegiatan pengurusan hutan tersebut pada meliputi: mengatur dan melaksanakan perlindungan, pengukuhan, penataan, pembinaan dan pengusahaan hutan serta penghijauan; mengurus hutan suaka alam dan hutan wisata serta membina margasatwa dan pemburuan; menyelenggarakan inventarisasi hutan; melaksanakan penelitian tentang hutan dan hasil hutan serta guna dan manfaatnya, serta penelitian sosial ekonomi dari rakyat yang hidup di dalam dan sekitar hutan; mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan dalam bidang kehutanan (pasal 9 UU no. 5 Tahun 1967). 45 Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. 268

286 Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan menurut rencana karya atau bagan kerja dan meliputi: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan (Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1967). 46 Perlindungan hutan meliputi usaha-usaha untuk: mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit; mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan; untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaik-baiknya maka rakyat diikutsertakan; pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (Pasal 15 UU no. 5 Tahun 1967) 47 Perilaku sosial menurut Weber (Hindess, 1977), terbagi dalam empat klasifikasi, yaitu: pertama, perilaku sosial yang berorientasi pada tujuan, yang kemudian disebutnya dengan rasionalitas tujuan. Sebuah tindakan dipilih atas pertimbangan tujuan akhir yang ingin dicapai. Kedua, perilaku sosial dipilih atas pertimbangan dan kepercayaan terhadap nilai tertentu secara sadar. Tindakah ini lebih pada orientasi nilai (etika, estetika atau agama), oleh Weber ini disebut dengan perilaku sosial berdasarkan rasionalitas nilai. Ketiga, perilaku sosial yang bersifat afektif atau emosional, yang merupakan hasil dari konfigurasi khusus dari perasaan pribadi, yang kemudian disebutnya dengan rasionalitas afective. Keempat, adalah perilaku sosial yang merupakan reaksi serta merta yang merupakan perilaku rutin dari tradisi, atau adat istiadat, yang oleh Weber disebut dengan tindakan tradisional. Habermas (1989), membedakan dua jenis rasionalisasi. Pertama, rasionalisasi dari bawah (from below), yaitu rasionalisasi yang berkembang secara alamiah di kalangan masyarakat akar rumput, tanpa ada komando dari atas. Kedua, rasionalisasi dari atas (from above), yaitu rasionalisasi yang dikendalikan atau direkayasa dari atas oleh kelompok-kelompok elite dalam konteks politik massa, dimana akan memberikan ruang bagi interpretasi politik (political interpretation), yang di dalamnya sarat dengan kepentingan politik. Rasionalitas politik bisa berasal dari pikiran praktis (empiris), msalnya pengelolalan dan pemanfaatan hutan didasarkan pada pikiran praktis untuk mencapai sebuah kondisi pragmatis kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran umum dengan membuat hutan sebagai arena untuk menciptakan lapangan kerja, investasi, keamanan, dan stabilitas-practical rationality.kedua rasionalitas politik bisa berdasarkan pada pikiran substantif (berdasarkan nurani, tanggung jawab, dan panggilan jiwa) bahwa tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adalah secara substantive untuk memelihara fungsi dan kelestarian hutan (substantive rationality). 48 Rumah panjae (Rumah Panjang/ Rumah betang): merupakan kawasan pemukiman penduduk, yang biasa disebut rumah panjae. Rumah Panjae terdiri dari beberapa keluarga yang tinggal pada tiap-tiap bilik (ruang rumah). Rumah panjae ini menunjukan suatu identitas bagi masyarakat adat subsuku dayak Iban, rumah panjae merupakan salah satu bagian dari budaya mereka karena dalam rumah panjae kehidupan sosial sangat nampak, kehilangan rumah panjae berarti kehilangan budaya. Menurut masyarakat subsuku dayak Iban jika tidak ada rumah panjae sulit 269

287 melakukan aktivitas/kegiatan adat istiadat. Makanya rumah panjae untuk orang Iban tetap dipertahankan, dan ini adalah suatu aset budaya. 49 Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007). 50 Tembawang dalam bahasa Indonesia dan Inggris, "timawokng" di Salako, dan variasi pada nama-nama dalam bahasa Dayak lainnya (Peluso, 2005). Mereka menandai tembawang atau tembawai dalam bahasa Dayak Iban (situs hidup bekas rumah panjang atau gubuk ladang) dengan pohon-pohon buah-buahan. Namun tetap meninggalkan tiang pancang sebagai tanda kalau ditempat tersebut adalah tembawai/ tembawang. 51 Usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. 52 Wangsit adalah petunjuk dari roh-roh leluhur yang diterima melalui mimpi. 270

288 PETA TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK INDONESIA TNGHS P. JAWA Kantor Balai Gambar Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak,

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dalam beberapa dekade terakhir menjadi salah satu sumber konflik di Indonesia. Konflik sumberdaya hutan tersebut melibatkan berbagai aktor, baik antara masyarakat

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik disebabkan

Lebih terperinci

7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN

7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN 7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN SUMBERDAYA HUTAN 7.1. Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault Teori yang digunakan dalam analisis konflik sumberdaya hutan di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP FIRDAUS ALIM DAMOPOLII SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Taman Nasional Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak hutan tropis, dan bahkan hutan tropis di Indonesia merupakan yang terluas ke dua di dunia setelah negara Brazil

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN DIREKTORAT BINA USAHA KEHUTANAN TANAMAN Alamat : Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt.v, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270. Telepon : (021)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian 3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu: 1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak.

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah II) MUHAMMAD YUSUF SULFARANO BARUSMAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan atau hutan tropis yang cukup luas di dunia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai ±137,09 Juta ha

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

2. sar IPB; Lampiran Salinan Keputusan Senat Akademik IPB

2. sar IPB; Lampiran Salinan Keputusan Senat Akademik IPB kan Fakultas Ekologi Manusia IPB 5. bs. Untuk diketahui dan dilaksanakan. SALINAN KEPUTUSAN SENAT AKADEMIK INSTITUT PERTANIAN BOGOR Nomor: 71/SA-IPB/2010 Tentang PEDOMAN PENETAPAN BIDANG-BIDANG ILMU UNTUK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. KARYA WIJAYA SUKSES

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI i TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat AGUSTINA MULTI PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. RIMBA KARYA RAYATAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Oleh: JUANG ABDUL HALIM SIREGAR Manajemen Hutan/121201013 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.428/MENHUT-II/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.428/MENHUT-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.428/MENHUT-II/2004 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. SULWOOD ATAS AREAL HUTAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) 3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. NUSA PADMA CORPORATIAON

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari

Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari Kedaulatan dan Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Pencapaian Pengelolaan Hutan Adat Lestari Forest Forest Concession Area Abdon Nababan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Indigenous Peoples Alliance of

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan

Lebih terperinci

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan PP No. 62 Tahun 1998,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN SENGKARUT TAMBANG MENDULANG MALANG Disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang. Untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten. Jakarta, 22 April 2015 MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN No Daerah Hutan Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 04 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci