DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI-Escherichia coli DI DALAM SERUM SAPI NEONATUS YANG DIBERI KOLOSTRUM DENGAN METODE ELISA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI-Escherichia coli DI DALAM SERUM SAPI NEONATUS YANG DIBERI KOLOSTRUM DENGAN METODE ELISA"

Transkripsi

1 DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI-Escherichia coli DI DALAM SERUM SAPI NEONATUS YANG DIBERI KOLOSTRUM DENGAN METODE ELISA FERANI WIDYANINGTYAS ANGGRAENI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Keberadaan Antibodi Anti- Escherichia coli di Dalam Serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrun dengan Metode ELISA adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2010 Ferani Widyaningtyas Anggraeni B

3 ABSTRACT FERANI WIDYANINGTYAS ANGGRAENI. B Detection of Antibody Anti-Escherichia coli in the Sera of Neonatus Calf which Colostrum using Enzyme- Linked Immunosorbent Assay Method. Under recommendation ANITA ESFANDIARI and SRI MURTINI. The aim of this research is to study the present of antibody against E. coli in the sera of neonates calf which given colostrum and challenged by enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) K99. Eleven neonates calves were clinically healthy kept since birth until the age of one week.this neonates calves are divided into two groups, first group is colostrums group (8 calves) and the other is non-colostrum group (3 calves). Colostrum group were given colostrum on age 0-72 hours with 12 hours interval, whereas non-colostrum group are given cow milk at the same time. Each group were challenge by ETEC K99 5X10 10 CFU emulsion it in alhydrogel peroral at the 12 hours of age. Blood sample were taken from jugularis vein on age 0 th, 12 th, 24 th, 48 th, 72 th, and 168 th hours. The present of antibody in the sera detecting by indirect ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Method). The result showed of the highest concentration of antibody in the sera at 24 hours of age for colostrums group, whereas no antibody against E. coli were detected for non-colostrums group. Based on the results, we concluded the concentration of antibody in colostrum can detection at 24 hours until one week after given colostrum. The highest concentration of antibody anti- E. coli in 24 hours after given colostrum. Keywords: colostrum, neonates calf, antibody anti-e. coli.

4 ABSTRAK FERANI WIDYANINGTYAS ANGGRAENI. B Deteksi Keberadaan Antibodi Anti-Escherichia coli di Dalam Serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrum dengan Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dibawah bimbingan ANITA ESFANDIARI dan SRI MURTINI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran antibodi di dalam serum sapi neonatus yang ditantang dengan Escherichia coli enterotoksigenik (ETEC) K99 sebelum dan setelah pemberian kolostrum. Sebelas ekor sapi neonatus jenis Friesian Holstein (FH) yang sehat secara klinis dipelihara sejak kelahiran sampai umur satu minggu. Sapi neonatus dikelompokan menjadi dua, yaitu kelompok kolostrum (8 ekor) dan kelompok non-kolostrum (3 ekor). Umur 0-72 jam, kelompok kolostrum diberi kolostrum dengan interval 12 jam, sedangkan kelompok non-kolostrum diberi susu sapi dengan waktu yang sama seperti kelompok kolostrum. Saat berumur 12 jam, semua kelompok perlakuan ditantang dengan ETEC K99 sebanyak 5X10 10 CFU yang diemulsikan di dalam alhidrogel dan diberikan secara peroral. Pengambilan sampel darah dari vena jugularis dilakukan pada umur ke-0 (kontrol), 12, 24, 48, 72, dan 168 jam untuk mengetahui keberadaan antibodi di dalam serum dengan menggunakan uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kolostrum, antibodi terdeteksi sejak 12 jam pemberian dengan konsentrasi tertinggi pada umur 24 jam, sedangkan pada kelompok non-kolostrum tidak terdeteksi adanya antibodi pada semua umur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa antibodi asal kolostrum dapat terdeteksi pada sapi neonatus yang diberi kolostrum sejak 12 jam sampai satu minggu setelah pemberian. Konsentrasi antibodi terhadap E. coli tertinggi adalah pada 24 jam setelah pemberian. Kata kunci: Kolostrum, sapi neonatus, antibodi anti-e. coli.

5 DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI-Escherichia coli DI DALAM SERUM SAPI NEONATUS YANG DIBERI KOLOSTRUM DENGAN METODE ELISA FERANI WIDYANINGTYAS ANGGRAENI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 HALAMAN PENGESAHAN Judul Tugas Akhir : Deteksi Keberadaan Antibodi Anti-Escherichia coli di Dalam Serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrum dengan Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Bentuk Tugas Akhir : Penelitian Nama Mahasiswa : Ferani Widyaningtyas Anggraeni NRP : B Disetujui, Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si Pembimbing I Dr. drh. Sri Murtini, M.Si Pembimbing II Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Tanggal lulus:

7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Deteksi Keberadaan Antibodi Anti- Escherichia coli di Dalam Serum Sapi Neonatus yang Diberi Kolostrum dengan Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) disusun untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada : Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi. dan Dr. Drh. Sri Murtini, MSi selaku pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan serta evaluasi dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, Dr. Drh. Sus Dherti Widhyari, MSi. dan Dr. Drh. Chairun Nisa, MSc, PAVET. selaku Dosen Penilai yang telah memberikan saran, kritikan yang membangun maupun masukan-masukan yang dapat membuat skripsi ini menjadi lebih baik, Dr. Dra. Nastiti Kusumorini selaku Dosen Pembimbing Akademik, Seluruh staf Kandang Ruminansia Besar (Pak Kosasih, Pak Dahlan, dan Mas David), Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik Departemen KRP FKH IPB (Pak Suryono dan Pak Djadjat), Teman sepenelitian (Dinar, Nuri, Mizwar, Ali) atas kerjasama dan kebersamaan serta pengertiannya yang besar selama ini. Serta kakak-kakak penelitian kolostrum 41 atas bantuan selama penelitian, Keluarga tercinta (Mama, Bapak, teh Vittria, Silvia, Lutfi yang selalu memberikan do a, dukungan moril dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini), Seseorang yang selalu membuatku tersenyum, sekaligus menjadi motivator dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala pengertian dan perhatiannya (Ka Muhan), Teman-teman kost di Nusa Indah dan Az-Zahra (terutama Triana, Listia, Dine) atas bantuan dan pengertiannya selama ini,

8 Teman seperjuangan GOBLET 42 (terutama Rezi, Rista, Beta, Sarah, Eci, Riza, Tika, Charles) atas dukungan dan semangat yang diberikan dalam setiap canda tawa dan air mata. Terima kasih telah menggoreskan tinta dalam sebagian lembar hidupku, Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang turut membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap tulisan ini dapat memberi manfaat sebagai sumber informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Bogor, Februari 2010 Ferani Widyaningtyas Anggraeni

9 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ferani Widyaningtyas Anggraeni, dilahirkan pada tanggal 30 Agustus 1988 di Bandung dari pasangan Agus Praptono, SSt. dan Nurul Aini. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Langensari I pada tahun , SLTP Negeri 2 Lembang pada tahun , SMU Negeri I Lembang pada tahun Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Pada tahun 2006 penulis diterima masuk di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berpartisipasi aktif di dalam organisasi mahasiswa, yaitu pengurus Himpunan Profesi Ruminansia dan DKM An-Nahl pada tahun ajaran 2006/2008.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... viii Halaman DAFTAR GAMBAR... ix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Morfologi Escherichia coli Klasifikasi Patogenesa Infeksi ETEC Sapi Friesian Holstein Sistem Pencernaan Sapi Neonatus Kolostrum dan Susu Sapi Kekebalan Humoral Neonatus Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Hewan Percobaan Bahan dan Alat Metode Penelitian Pemeliharaan Hewan Percobaan Perlakuan Hewan Coba Pengambilan dan Penyimpanan Serum Pengujian Serum Menggunakan Metode ELISA Tidak Langsung Analisis Data... 21

11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 30

12 viii DAFTAR TABEL Halaman 1.Kandungan Imunoglobulin dalam Kolostrum dan Susu pada Hewan Domestik Komposisi Kolostrum dan Susu Sapi Nilai Absorbansi Kelompok Background Hasil ELISA Serum Sapi Neonatus Semua Kelompok Perlakuan... 23

13 1 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Morfologi E. coli Struktur Bakteri E. coli E. coli dengan Pili dan Flagella Sapi Perah Jenis Friesian Holstein Hasil Uji ELISA. Warna yang Semakin Pekat Menunjukkan Nilai Absorbansi yang Semakin Besar Konsentrasi Antibodi di Dalam Darah Sapi Neonatus Umur jam pada Kedua Kelompok Perlakuan Sebagai Respon Terhadap ETEC K

14 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bakteri Escherichia coli (E. coli) merupakan agen penyebab kolibasilosis pada unggas dan mamalia (Gross & Barnes 1997). E. coli tersebar di seluruh dunia dan dapat ditularkan melalui air atau pakan yang terkontaminasi oleh tinja. Gejala klinis yang sering ditimbulkan berupa diare yang umumnya terjadi pada hewan muda (Hanif et al. 2003). Berdasarkan virulensinya, strain E. coli patogen penyebab penyakit saluran pencernaan dibedakan menjadi enam golongan, yaitu enterotoksigenik (ETEC), enteroinvasif (EIEC), enteropatogenik (EPEC), enterohemorhagik (EHEC), enteroagregatif (EAEC), nekrotoksigenik (NTEC) (Sommer et al. 1994). Penyebab utama diare pada sapi neonatus adalah E. coli golongan enterotoksigenik (ETEC), terutama yang mempunyai antigen perlekatan K99 sebagai faktor virulensinya. Infeksi sering terjadi pada sapi neonatus umur 1-3 hari dan ditandai dengan diare profus, feses berwarna putih kekuningan, dehidrasi, bahkan dapat menimbulkan kematian sapi neonatus yang rentan (Supar et al. 1998). Menurut Suastawa (1982), kematian anak sapi akibat infeksi ETEC dapat mencapai 50%. Faktor predisposisi terjadinya infeksi E. coli patogen pada hewan neonatus antara lain kepadatan kandang dan sanitasi yang buruk, mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendahnya kekebalan tubuh, dan terjadi stres (Songer & Post 2005). Bakteri E. coli merupakan anggota famili Enterobacteriaceae dan genus Escherichia. Bakteri ini pertama kali diisolasi oleh Theodor Escherich pada tahun Habitat alami E. coli di dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 µm, termasuk Gram negatif, dapat hidup soliter maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, dan fakultatif anaerob (Carter & Wise 2004). Escherichia coli dapat membentuk koloni pada saluran pencernaan beberapa jam setelah hewan dilahirkan. Pada umumnya E. coli memiliki virulensi yang rendah dan menyebabkan infeksi oportunis jika berada di luar saluran

15 3 pencernaan, misalnya di dalam kelenjar ambing dan saluran urin (Quinn et al. 2002). Infeksi E. coli dapat dikurangi melalui tindakan sanitasi, pemberian antibiotika, dan vaksinasi (Tarmudji 2003). Antibiotik harus diberikan dengan dosis yang tepat, dan penggunaan antibiotik secara terus-menerus dalam jangka waktu lama menginduksi terjadinya resistensi dan menimbulkan residu pada produk ternak (Anonim 2007). E. Coli K99 menunjukkan tingkat resistensi terhadap 9-15 macam antibiotika yang sering dipakai di lapangan (Supar 2001). Pengendalian penyakit dengan vaksinasi memiliki kelemahan yaitu kekebalan di dalam tubuh tidak segera terbentuk, menimbulkan virulensi residual dan toksisitas, serta dapat merangsang hipersensitivitas. Vaksin juga dapat mempersulit diagnosa penyakit berdasarkan teknik serologi (Tizard 2004). Imunisasi pasif melalui pemberian kolostrum merupakan alternatif lain untuk mengendalikan kasus infeksi yang disebabkan E. coli. Cara ini lebih efisien dalam pencegahan infeksi E. coli pada anak sapi karena aman, lebih mudah dan murah (Supar 2001). Kolostrum merupakan sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar ambing mamalia pada tahap akhir kebuntingan sampai tiga hari setelah melahirkan, berwarna kekuningan dan kental (Tizard 2004). Kolostrum mulai diproduksi sekitar 3-6 minggu sebelum melahirkan (Lazzaro 2000). Komponen utama yang terkandung di dalam kolostrum adalah faktor pertumbuhan (Transforming Growth Factor, Epidermal and fibroblast Growth Factor, Platelet-derived Growth Factor, Insulin-like Growth Factor) dan faktor imunitas (imunoglobulin, laktoferin, laktalbumin, sitokin, oligosakarida). Selain itu terdapat juga faktor anti peradangan (interleukin-10) (Anonim 2001). Kolostrum dari induk yang telah divaksin dengan E. coli K99 dapat mencegah infeksi E. coli dengan cara menghambat perlekatan bakteri pada membran mukosa usus, mencegah kolonisasi serta pertumbuhan bakteri pada saluran usus (Loucks et al. 1985). Senyawa antimikrobial di dalam kolostrum (lisozim, laktoferin, dan laktoperoksidase) menyediakan perlindungan nonspesifik terhadap infeksi bagi anak neonatus sampai sistem imunnya aktif (Odle et al. 1996). Imunoglobulin A (IgA) di dalam kolostrum akan disekresikan kembali ke dalam lumen usus untuk perlindungan lokal, IgG dapat menetralkan

16 4 toksin E. coli, dan IgM membantu mengontrol respon antibodi tahap awal dan membunuh E. coli. Sapi neonatus yang tidak diberi kolostrum, menunjukan tingkat ketahanan hidup yang lebih rendah pada minggu pertama kelahiran dibandingkan sapi neonatus yang diberi kolostrum (Anonim 2001). Kolostrum yang diberikan pada sapi neonatus merupakan bentuk imunisasi pasif dengan cara mentransfer antibodi yang terkandung di dalam kolostrum ke dalam tubuh sapi neonatus. Keberhasilan transfer kolostrum diindikasikan melalui konsentrasi imunoglobulin di dalam serum darah anak neonatus (Wittum & Perino 1995). Keuntungan penggunaan kolostrum adalah selain sebagai sumber antibodi, juga menyediakan zat gizi untuk metabolisme dan pertumbuhan neonatal (Blum & Hammon 2000). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kolostrum sebagai penyedia antibodi anti-e. coli pada sapi neonatus yang ditantang dengan E. coli K Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran antibodi sebelum dan sesudah uji tantang dengan Escherichia coli enterotoksigenik (ETEC) K99 di dalam serum sapi neonatus setelah pemberian kolostrum dari induk yang divaksin dengan vaksin E. coli polivalen Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi mengenai pentingnya pemberian kolostrum dari induk yang telah divaksin E. coli polivalen kepada sapi neonatus untuk mencegah kolibasilosis.

17 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Morfologi Escherichia coli Bakteri E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi oleh Theodor Escherich dari tinja seorang anak kecil pada tahun Bakteri ini berbentuk batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 µm, termasuk gram negatif, dapat hidup soliter maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, serta fakultatif anaerob (Gambar 1) (Carter & Wise 2004). Gambar 1. Morfologi E. coli (Sumber: Kunkel 2009) Struktur sel E. coli dikelilingi oleh membran sel, terdiri dari sitoplasma yang mengandung nukleoprotein (Gambar 2). Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur dari permukaan sel (Gambar 3) (Tizard 2004). Tiga struktur antigen utama permukaan yang digunakan untuk membedakan serotipe golongan E. coli adalah dinding sel, kapsul dan flagela. Dinding sel E. coli berupa lipopolisakarida yang bersifat pirogen dan menghasilkan endotoksin serta diklasifikasikan sebagai antigen O. Kapsul E. coli berupa polisakarida yang dapat melindungi membran luar dari fagositik dan sistem komplemen, diklasifikasikan sebagai antigen K. Flagela E. coli terdiri dari protein yang bersifat antigenik dan dikenal sebagai antigen H. Faktor virulensi E. coli juga disebabkan oleh enterotoksin, hemolisin, kolisin,

18 6 siderophor, dan molekul pengikat besi (aerobaktin dan entrobaktin) (Quinn et al. 2002). DNA sitoplasma Membran sel Flagella Gambar 2. Struktur bakteri E. coli (Sumber: Anonim 2009) Gambar 3. E. coli dengan pili dan flagella (Sumber: Li A 2009) Bakteri E. coli dapat membentuk koloni pada saluran pencernaan manusia maupun hewan dalam beberapa jam setelah kelahiran. Faktor predisposisi pembentukan koloni ini adalah mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendahnya kekebalan tubuh, faktor stres, pakan, dan infeksi agen patogen lain. Kebanyakan E. coli memiliki virulensi yang rendah dan bersifat oportunis (Songer & Post 2005). Ditjenak (1982) melaporkan bahwa E. coli keluar dari tubuh bersama tinja dalam jumlah besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu. Kelangsungan hidup dan replikasi E. coli di lingkungan membentuk koliform.

19 7 E. coli tidak tahan terhadap keadaan kering atau desinfektan biasa. Bakteri ini akan mati pada suhu 60 0 C selama 30 menit Klasifikasi Klasifikasi E. coli menurut Songer dan Post (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli Berdasarkan perbedaan serotipe dan virulensi, strain E. coli patogen yang menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan dibedakan menjadi enam golongan, yaitu enterotoksigenik (ETEC), enteroinvasif (EIEC), enteropatogenik (EPEC), enterohemorhagik (EHEC), enteroagregatif (EAEC), dan nekrotoksigenik (NTEC) (Sommer et al. 1994). Golongan ETEC merupakan penyebab diare enterotoksigenik pada mamalia, seperti anak sapi, anak babi, dan anak domba. Gejala klinis yang terjadi antara lain diare, dehidrasi, asidosis, bahkan kematian (Hanif et al. 2003). Faktor virulensi yang digunakan untuk identifikasi ETEC adalah enterotoksin dan antigen pili (fimbriae). Enterotoksin ETEC berupa toksin labil panas (heat-labile toxins/ LT) dan toksin stabil panas (heat-stabile toxins/ ST). ETEC dapat menghasilkan satu atau dua enterotoksin tergantung pada plasmid (massa DNA ekstra kromosom). Makhluk hidup yang terinfeksi bakteri mengandung kedua plasmid biasanya mengalami diare yang lebih berat dan lebih lama. Enterotoksin akan diabsorbsi oleh sel epitel yeyunum dan ileum serta dapat merusak motilitas usus sehingga memfasilitasi keberadaan ETEC di dalam lumen usus (Salyers & Whitt 1994). ETEC yang mempunyai antigen perlekatan K99 merupakan penyebab utama diare neonatal dan kematian anak sapi (Supar et al. 1998). ETEC K99

20 8 dapat terdeteksi pada hari kedua sampai hari kelima dari ulas rektal anak sapi yang menderita diare dan tidak ditemukan lagi pada anak sapi yang diare setelah lebih dari lima hari (Supar 1986). Adapun faktor yang mempengaruhi infeksi ETEC pada inang, yaitu umur, ph lambung, dan kehadiran antibodi spesifik terhadap permukaan antigen ETEC (Supar 2001) Patogenesa Infeksi ETEC Mekanisme infeksi ETEC di dalam tubuh, yaitu ETEC menempel pada sel enterosit melalui pili (fimbriae). ETEC kemudian berproliferasi dan berkolonisasi pada mukosa usus sehingga terjadi peningkatan jumlah ETEC di dalam saluran pencernaan dan muncul lesio. Diare terjadi karena dinding usus mengalami kerusakan dan menghalangi reabsorbsi cairan (Biowey & Weaver 2003). ETEC memproduksi enterotoksin heat labile toxin (LT) atau heat stable toxin (ST) (Sommer et al. 1994). Menurut Ganong (2002), toksin akan berikatan dengan reseptor dan masuk ke dalam sel. Toksin stabil bekerja mengaktivasi guanilat siklase sehingga menyebabkan akumulasi cairan dan elektrolit di dalam lumen usus serta memblokade absorbsi. Toksin labil akan mengikat ribose adenosin difosfat (ADP) sehingga menghambat kegiatan GTPase (pemecah protein G). Akibatnya, protein G ini meningkat dan merangsang adenilil siklase sel epitel yang berkepanjangan sehingga menyebabkan peningkatan jumlah adenil monofosfat (AMP). Peningkatan AMP akan menyebabkan peningkatan sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus, yaitu merangsang seksresi Cl - (hipersekresi) dengan membuka saluran klorida pada sel kripta dan menghambat absorbsi Na + dari lumen ke dalam sel epitel usus. Peningkatan kadar elektrolit dan air di dalam lumen usus menyebabkan diare. Diare merupakan gejala gangguan pencernaan yang ditandai dengan pengeluaran feses dalam jumlah melebihi normal, konsistensi cair, dan frekuensi pengeluaran yang melebihi normal. Feses dikeluarkan oleh penderita tanpa kesulitan karena terjadi peningkatan peristaltik usus (Ganong 2002). Frekuensi diare pada anak sapi berhubungan dengan keadaan imunodefisiensi neonatus. Imunodefisiensi pada anak sapi disebabkan oleh kegagalan transfer kekebalan pasif pada neonatus akibat tidak diberi kolostrum atau diberi susu berkualitas

21 9 rendah, belum optimalnya kemampuan absorbsi dari epitel usus, populasi terlalu padat, sanitasi buruk, stres akibat perubahan pakan, higiene pakan, panas, dan perubahan lingkungan (Khan & Khan 1996), serta kurangnya respon imun dan mikroflora intestinal. Anak sapi yang diare terus-menerus akan memperlihatkan gejala klinis berupa lemas, lesu, tidak mau menyusu, daerah di sekitar perineal kotor oleh feses, mukosa mulut kering, pucat, kebiruan, turgor kulit jelek, dan dapat menimbulkan kematian (Setiawan et al. 1983). Cairan yang diseksresikan oleh kelenjar mukosa usus mengandung banyak NaHCO 3 sehingga ion Na + - dan HCO 3 akan ditarik dari darah, akibatnya derajat asam (ph) darah menurun dan terjadi asidosis. Asidosis yang ditimbulkan oleh keadaan ini akan menyebabkan kolapsnya sistem peredaran darah yang segera diikuti shock dan kematian (Subronto 1985) Sapi Friesian Holstein Sapi merupakan hewan ternak sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya (misalnya upacara agama). Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia (Ismail 2008). Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda Utara dan Friesland Barat. Bangsa sapi ini dikembangkan dari sapi liar Bos taurus. Sapi FH murni mempunyai ciri-ciri berwarna belang hitam putih, ada juga berwarna merah putih dengan batas warna yang jelas. Sapi FH merupakan sapi perah dengan produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya dengan kadar lemak susu rendah (3-7%). Dewasa kelamin sapi ini lambat, umur pertama kali dikawinkan berkisar antara bulan. Anak sapi FH neonatus memiliki berat badan berkisar antara kg (Sudono 1999). Berat badan sapi FH betina dan jantan dewasa masing-masing sekitar 625 kg dan 900 kg. Umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga pada dahi, kaki bagian bawah dan rambut di bagian ekor berwarna putih, bertanduk pendek serta mengarah ke depan (Gambar 4). Sapi FH bersifat jinak dan tenang sehingga mudah untuk ditangani (Anonim 2008).

22 10 Klasifikasi sapi perah menurut Tyler dan Ensminger (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos taurus Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik pada dataran tinggi (sekurang-kurangnya 700 m di atas permukaan laut), pada temperatur berkisar antara C dan curah hujan sekitar 2000 mm/ tahun. Produksi susu sapi FH tidak berselisih jauh dibandingkan dengan negara asalnya bila suhu lingkungan sejuk yaitu pada suhu 18,3 0 C dengan kelembaban udara 55%. Produksi susu ratarata sapi FH dapat mencapai 6360 kg/ tahun (Sutardi 1983). Sapi perah akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas jika berada di lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung (Anonim a 2009). Gambar 4. Sapi perah jenis Friesian Holstein (Sumber : Anonim 2008)

23 Sistem Pencernaan Sapi Neonatus Saat dilahirkan, ruminansia pada umumnya memiliki lambung depan yang kecil dan belum berfungsi. Lambung depan yang terdiri dari rumen, retikulum, dan omasum, hanya menempati 30% dari keseluruhan lambung (Triakoso 2008). Perkembangan lambung pada ruminansia muda dibagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap baru lahir (0-24 jam), tahap pre-ruminan (1 hari-3 minggu), tahap transisi (3-8 minggu), serta tahap sebelum dan sesudah penyapihan (8 minggudewasa) (Leek 1993). Tahap pre-ruminan, pakan cair akan masuk melalui oesophageal groove, yang dapat menutup. Penutupan oesophageal groove merupakan refleks yang diaktifkan oleh adanya gerakan menyusu dari anak neonatus. Makanan dari esofagus langsung masuk ke dalam abomasum tanpa melalui lambung depan (Imran 2010). Abomasum secara fisik dan biokimiawi mampu mencerna bahan pakan utama anak sapi yaitu susu. Abomasum mensekresi renin pada masa pre-ruminan. Renin adalah enzim proteolitik dan berfungsi memecah susu menjadi kasein dan whey. Whey masuk ke dalam duodenum dalam waktu lima menit setelah minum susu, sedangkan kasein akan tetap berada di dalam abomasum. Kasein didegradasi secara bertahap oleh renin atau pepsin serta asam klorida. Pencernaan protein ini akan berlangsung selama 24 jam. Pencernaan dilanjutkan di dalam usus oleh enzim-enzim seperti tripsin, kimotripsin dan karbopeptidase yang disekresikan oleh pankreas serta peptidase lain yang disekresi oleh usus. Asam amino yang terbentuk diabsorbsi di dalam usus halus, terutama pada yeyunum (Ruckebusch et al. 1983). Perubahan renin menjadi pepsin di dalam abomasum dipengaruhi faktor umur. Semakin dewasa anak sapi, maka pepsin yang terbentuk semakin banyak. Aktivitas pepsin masih rendah pada anak sapi yang berumur kurang dari tiga minggu. Peningkatan jumlah pepsin terjadi jika anak sapi mulai mengkonsumsi pakan selain susu dan pepsin bekerja optimal pada cairan abomasum dengan ph 2 (Triakoso 2008). Pakan yang dikonsumsi juga akan menggertak perkembangan populasi mikroba dan fungsi ruminoretikulum. Sistem pencernaan anak sapi sudah berfungsi penuh pada umur lebih dari delapan minggu (Sudono 1999).

24 Kolostrum dan Susu Sapi Kolostrum merupakan sekresi yang dihasilkan kelenjar ambing mamalia pada tahap akhir kebuntingan sampai beberapa hari setelah melahirkan (Tizard 2004). Kolostrum mulai diproduksi sekitar 3-6 minggu sebelum melahirkan (Lazzaro 2000), berwarna kuning, konsistensi kental, dengan komposisi zat nutrisi tinggi (Sutardi 1983). Menurut Parakkasi (1998), komposisi nutrisi dan sifat fisik kolostrum dipengaruhi bangsa, paritas (jumlah kelahiran), ransum prepartum, dan lamanya masa kering kandang. Transfer imunoglobulin dari sirkulasi darah induk ruminansia menuju kelenjar ambing dimulai pada beberapa minggu menjelang induk melahirkan dan berhenti segera menjelang induk melahirkan (Esfandiari 2005). Antibodi di dalam kolostrum melintasi epitel kelenjar ambing secara transitosis dan memasuki sirkulasi anak melalui usus halus dan memberi imunitas pasif terhadap infeksi (Arthington et al. 2000). Imunoglobulin utama yang terkandung di dalam kolostrum sapi meliputi IgG (90%), IgM (7%), dan IgA (5%) (Stott et al. 1979). Fraksi globulin kolostrum disintesa oleh sel-sel plasma di dalam kelenjar ambing dari asam-asam amino bebas di dalam darah (Toelihere 1979). Imunoglobulin utama di dalam kolostrum hewan domestik pada umumnya adalah IgG, yaitu 65-90% dari total antibodi, sedangkan kandungan IgA dan imunoglobulin lainnya hanya sedikit. Namun setelah kolostrum berubah menjadi susu terjadi perubahan konsentrasi imunoglobulin, tergantung spesies. IgG merupakan imunoglobulin paling dominan pada ruminansia baik di dalam kolostrum maupun susu, sedangkan IgA merupakan imunoglobulin yang paling dominan di dalam susu non-ruminansia (Tabel 1) (Tizard 2004).

25 13 Tabel 1. Kandungan imunoglobulin dalam kolostrum dan susu pada hewan domestik (Tizard 2004) Imunoglobulin (mg/dl) Spesies Fluida IgA IgM IgG Kuda Kolostrum Susu Sapi Kolostrum Susu Domba Kolostrum Susu Babi Kolostrum Anjing Kolostrum Susu IgG merupakan antibodi utama yang berperan di dalam pengaturan respon kekebalan sekunder, fiksasi komplemen, bertindak sebagai opsonin oleh makrofag, dan imunoglobulin utama yang berperan dalam transfer kekebalan pasif untuk anak neonatus. IgA berperan dalam melindungi selaput lendir, menetralisir toksin atau virus dan mencegah perlekatan toksin atau virus pada permukaan sel sasaran. IgA juga dapat meningkatkan efek bakteriolitik dengan cara mengaktifkan komplemen. IgM berperan dalam perlindungan primer melawan septikemia, fiksasi komplemen, dan proses agglutinasi (Roitt et al. 1998). Pernyataan ini didukung oleh Subronto (1985) bahwa IgG dan IgM kolostrum diperlukan untuk melindungi hewan neonatus dari penyakit sistemik, sedangkan IgA mempunyai fungsi lokal dalam saluran percernaan. Komponen kekebalan di dalam kolostrum mempunyai dua fungsi. Pertama, antibodi kolostrum diabsorpsi ke dalam sirkulasi untuk mencegah invasi mikroorganisme. Kedua, antibodi kolostrum tidak diabsorpsi karena usus halus tidak lagi permeabel karena sel-sel di dalam usus sudah mature, akibatnya antibodi tetap berada di dalam lumen usus dan berperan sebagai imunitas pasif lokal (Scott et al. 2004). Frandson (1992) melaporkan bahwa kolostrum harus segera diberikan setelah anak lahir karena permeabilitas usus paling tinggi segera setelah lahir dan menurun dengan cepat terutama setelah 24 jam. Lebih dari waktu tersebut usus tidak lagi permeabel menyerap protein antibodi kolostrum.

26 14 Kolostrum mengandung lebih banyak bahan kering, karbohidrat, lemak, protein, vitamin (terutama vitamin A, B, D, dan E), dan mineral, dibandingkan dengan susu (Tabel 2), sedangkan kandungan laktosa di dalam kolostrum lebih sedikit dibandingkan dengan susu. Kolostrum juga terdiri dari asam amino essensial dan non essensial, hormon steroid, growth factor, berfungsi sebagai laksatif (membersihkan mekonium) dan menggertak alat pencernaan anak sapi agar bekerja dengan baik. Oleh karena itu, kolostrum tidak hanya berfungsi sebagai sumber antibodi, tetapi juga menyediakan zat gizi untuk metabolisme dan pertumbuhan neonatal (Blum & Hammon 2000). Kadar vitamin A yang tinggi dalam kolostrum dapat juga sebagai tambahan perlindungan terhadap invasi mikroorganisme ke dalam tubuh karena vitamin A dapat mempertahankan epitel agar tidak cepat rusak akibat adanya perlekatan mikroorganisme pada epitel (Anonim 2001). Tabel 2. Komposisi Kolostrum dan Susu Sapi (Blum dan Hammon 2000) Kriteria Kolostrum sapi Susu sapi Bahan kering (g/l) Abu (g/l) 18 7 Energi (MJ/l) Lemak (g/l) Protein (g/l) Asam amino essensial (mmol/l) 390 ND Asam amino non esensial (mmol/l) 490 ND Imunoglobulin G (g/l) 81 <2 Laktoferin (g/l) 1.84 ND Transferin (g/l) 0.55 ND Insulin (µg/l) 65 1 Glukagon (µg/l) Prolaktin (µg/l) Hormon pertumbuhan (µg/l) 1.4 <1 Insulin-like growth factor-i (µg/l) 310 <2 Insulin-like growth factor-ii (µg/l) 150 ND Keterangan : ND = tidak terukur. Degradasi kolostrum di dalam saluran pencernaan tidak terjadi karena rendahnya aktivitas protease pankreas sapi neonatus, terdapatnya tripsin inhibitor di dalam kolostrum, rendahnya sekresi asam di dalam abomasum pada tiga hari pertama, serta adanya sifat resistensi IgG terhadap proteolisis oleh kimotripsin

27 15 (Stott et al. 1979). Tizard (2004) melaporkan bahwa pada hewan neonatus, kegiatan proteolitik di dalam saluran pencernaan rendah, karena itu protein kolostrum tidak dipecah dan tidak digunakan sebagai sumber makanan, melainkan utuh sampai di usus halus terutama yeyunum. Protein diserap di usus halus oleh sel epitel usus melalui proses pinositosis. Melalui sel ini protein masuk ke dalam saluran limfe dan kapiler usus, kemudian mencapai sirkulasi darah. Usus pada ruminansia bersifat permeabel tapi tidak selektif. Semua imunoglobulin diabsorpsi walaupun IgA berangsur-angsur diseksresi kembali ke dalam lumen usus. Setelah absorbsi berhenti, antibodi yang diperoleh secara pasif ini akan segera menurun konsentrasinya melalui proses katabolisme normal. Tingkat penurunan antibodi tergantung pada kelas imunoglobulin dan konsentrasi awal. Kolostrum penting untuk anak sapi karena adanya imunitas pasif dari induk ke anak melalui pemindahan imunoglobulin asal kolostrum yang diserap di dalam usus halus anak sapi. Kegagalan transfer imunoglobulin menyebabkan anak sapi akan memiliki kadar imunoglobulin yang rendah atau tidak cukup di dalam serumnya sehingga beresiko besar terhadap koliseptikemi, pneumoni, dan infeksi lainnya (Biowey & Weaver 2003). Supar et al. (1998) melaporkan bahwa anak sapi yang lahir dari induk sapi yang divaksin tetapi tidak mendapat kolostrum, dan kemudian ditantang dengan E. coli K99, meskipun tidak mati akan menderita diare dan bobot badan relatif tidak bertambah sampai umur 42 hari Kekebalan Humoral Neonatus Tipe plasenta ruminansia adalah sindesmokhorial. Tipe plasenta tersebut memiliki struktur jaringan pemisah antara sirkulasi darah induk dan fetus, yang terdiri dari beberapa lapis yang tersusun atas endotel kapiler induk, jaringan uterus, epitel uterus, epitel khorion, jaringan ikat fetus, dan endotel kapiler fetus. Transfer imunoglobulin (Ig) transplasenta pada tipe plasenta ini benar-benar terhambat akibatnya tidak memungkinkan terjadinya transfer Ig di dalam uterus (Tizard 2004). Anak sapi lahir dalam keadaan hipogammaglobulinemia, oleh karena itu sapi neonatus sangat tergantung pada antibodi yang diterima melalui kolostrum sampai sistem imun anak sapi aktif (Khan & Khan 1996). Sapi neonatus yang

28 16 belum menyusu mengandung sedikit sekali konsentrasi antibodi di dalam serumnya, sedangkan sapi neonatus yang sudah menyusu mengandung konsentrasi antibodi yang tinggi dalam serumnya (Supar et al. 1998). Rendahnya konsentrasi imunoglobulin berhubungan dengan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas. Sebanyak 53,6% resiko terjadinya mortalitas disebabkan oleh konsentrasi IgG di dalam serum <10 g/l akibat kurangnya transfer IgG dari kolostrum. Konsentrasi IgG normal di dalam serum agar anak sapi sehat adalah sekitar 17,5-18 g/l (Stott et al. 1979). Menurut Loucks et al. (1985), frekuensi kejadian hipo dan agammaglobulinemia diakibatkan oleh kegagalan ingesti kolostrum, rendahnya konsentrasi IgG di dalam kolostrum, keterlambatan pemberian kolostrum, dan kegagalan absorbsi kolostrum. Kekebalan pasif yang rendah pada anak sapi akan menurunkan laju pertumbuhan bobot badan, menurunkan produksi susu pada laktasi pertama, serta meningkatkan angka kesakitan pada enam bulan pertama setelah lahir (Sudono 1999). Antibodi adalah molekul glikoprotein yang bersirkulasi dalam darah, berperan di dalam pencegahan dan pengobatan suatu penyakit karena dapat bereaksi dengan antigen yang merangsang pembentukannya. Antibodi memiliki kemampuan berikatan secara khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan penyingkiran antigen. Molekul ini disintesa oleh sel plasma (sel B) sebagai respon kekebalan terhadap suatu antigen dan bersifat spesifik terhadap antigen tersebut (Tizard 2004). Antibodi di dalam serum memiliki konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan cairan tubuh lainnya (susu, sekresi nasal, saliva, air mata, urin, sekresi vagina, dan cairan broncho-alveolar), namun lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi antibodi di dalam kolostrum. Konsentrasi tertinggi imunoglobulin dalam serum umumnya dicapai antara jam setelah lahir. Imunoglobulin dalam serum merupakan kompleks antibodi yang ditujukan terhadap bermacammacam determinan antigen (Norman et al. 1981). Berdasarkan ukuran molekul, waktu paruh di dalam plasma, kandungan karbohidrat, dan aktivitas biologi, antibodi dikelompokkan menjadi IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD. Antibodi yang paling berlimpah di dalam sirkulasi darah

29 17 adalah imunoglobulin gamma (IgG). Antibodi umumnya hanya berikatan khusus dengan antigen yang merangsang pembentukannya (Kuby 2004). Antibodi yang secara umum meningkat setelah paparan antigen adalah IgM dan IgG. IgM adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi kedua setelah IgG di dalam serum kebanyakan hewan. IgM lebih efisien dibandingkan dengan IgG pada aktivasi komplemen, opsonisasi, netralisasi virus, dan aglutinasi walaupun diproduksi dalam jumlah relatif kecil. IgM akan terbentuk sebagai respon paling awal dan selanjutnya konsentrasi akan menurun dengan cepat. Sementara itu IgG akan terus-menerus meningkat hingga level maksimum dalam periode yang relatif lama. IgG adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah karena lebih mudah berdifusi ke dalam cairan ekstravaskular dibandingkan dengan imunoglobulin lain sehingga berperan utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantai antibodi (Roitt 1991). Respon kekebalan humoral utama terhadap infeksi E. coli bekerja secara langsung melawan bakteri atau produknya, seperti faktor kolonisasi dan toksin. Antibodi terhadap antigen kapsul (K) dapat membantu menetralkan sifat antifagosit dari kapsul (mengopsonisasi organisme) dan menyebabkan penghancuran bakteri oleh sel fagositik. Antibodi juga akan berikatan dengan reseptor sel usus sehingga ETEC tidak dapat melekat pada dinding usus dan tidak patogen (Carter & Wise 2004). Salyers dan Whitt (1994) melaporkan bahwa antibodi dalam usus halus akan melapisi permukaan usus halus sehingga menghambat terjadinya perlekatan antara reseptor pada vili enterosit dengan ETEC, akibatnya bakteri tidak dapat melekat pada dinding usus sehingga kolonisasi E. coli pada vili dan produksi enterotoksin dapat dihindari Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan salah satu jenis uji pengikatan primer. Uji ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur antibodi atau antigen. Prinsip dasar ELISA adalah mengukur langsung interaksi antara antigen dengan antibodi. Adanya antibodi menunjukkan adanya paparan antigen ke dalam tubuh inang yang diperiksa (Tizard 2004). Menurut

30 18 Burgess (1995), teknik ELISA dapat bekerja dengan konsentrasi bahan yang cukup kecil dengan tingkat sensitifitas yang tinggi. Terdapat dua macam teknik ELISA yang merupakan metode dasar ELISA, yaitu ELISA langsung dan ELISA tidak langsung. ELISA langsung maupun tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi dengan syarat salah satunya diketahui. Indikator enzim untuk reaksi imunologi merupakan ciri utama teknik ELISA. ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. ELISA tidak langsung digunakan sebagai uji serologik karena cepat, sederhana dan relatif murah (Parede & Ginting 1996). Ikatan antigen dan antibodi pada ELISA tidak langsung ada dua macam, yaitu ikatan antigen-antibodi primer dan ikatan antibodi primer-antibodi sekunder. Ikatan antigen-antibodi primer bersifat spesifik, terjadi antara epitop antigen dengan paratop pada rantai Fab antibodi. Antibodi primer tidak berlabel dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh lain. Ikatan antibodi primer-antibodi sekunder bersifat tidak spesifik, artinya ikatan antara antibodi dan anti-antibodi dapat terjadi pada semua macam antibodi. Antibodi sekunder (sering disebut juga dengan konjugat) terikat pada enzim (berlabel enzim). Enzim ini dapat menguraikan substrat yang ditambahkan sehingga terjadi perubahan warna larutan. Kekuatan warna ini tergantung dari banyaknya substrat yang terurai. Banyaknya substrat yang terurai tergantung dari banyaknya enzim dalam larutan. Kekuatan ini menunjukkan jumlah ikatan antigen-antibodi primer (Burgess 1995).

31 19 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009, bertempat di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar dan Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah sebelas ekor sapi neonatus jenis Friesian Holstein yang dipelihara sejak kelahiran sampai umur satu minggu. Selama pengamatan, sapi neonatus dipelihara di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar FKH IPB Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, kolostrum dan susu sapi, antigen ETEC K99, alkohol, serum sapi neonatus, larutan buffer karbonat bikarbonat ph 9,6, larutan Phosphate Buffer Saline (PBS), larutan 0,05% Phosphat Buffer Saline Tween-20 (PBST), larutan PBS Skim 5%, konjugat rabbit anti-bovine IgG peroxidase (Cat. No. A-5295, Sigma Chemical Co.), substrat ABTS (2,2 -azinobis[3-ethylbenthiazoline sulphonic acid]), stopping solution (H 2 SO 4 ). Alat-alat yang digunakan antara lain, disposable syringe, tabung gelas, kapas, sentrifus, lemari pendingin, freezer, penangas air, tabung mikro, mikropipet, cawan polysterene 96 sumuran (Nunc (R) ), aluminium foil, inkubator, dan ELISA reader.

32 Metode Penelitian Pemeliharaan Hewan Percobaan Sapi FH neonatus dipelihara sampai berumur satu minggu di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kolostrum atau susu sapi diberikan sebanyak 10% BB dengan menggunakan botol, dua kali sehari selama tiga hari. Setelah itu semua hewan percobaan diberi susu sapi sampai berumur satu minggu Perlakuan Hewan Coba Sapi neonatus dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok kolostrum (8 ekor) dan kelompok non-kolostrum (3 ekor). Kolostrum yang digunakan berasal dari induk sapi yang telah divaksin dengan E. coli polivalen. Kelompok kolostrum diberi kolostrum dengan interval 12 jam pada umur 0-72 jam, sedangkan kelompok non-kolostrum diberi susu sapi dengan waktu yang sama dengan kelompok kolostrum. Setelah itu, semua kelompok perlakuan diberi susu sapi sampai anak sapi berumur satu minggu. Dua belas jam setelah kelahiran, semua kelompok perlakuan ditantang dengan ETEC K99 hidup sebanyak 5X10 10 Colony Forming Unit yang diemulsikan di dalam alhidrogel. Uji tantang dilakukan secara peroral Pengambilan dan Penyimpanan Serum Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan syringe 10 ml tanpa antikoagulan. Pengambilan sampel darah dilakukan pada umur 0 jam (kontrol), 12 jam (sebelum ditantang ETEC K99), 24, 48, 72, dan 168 jam. Sampel darah didiamkan selama beberapa jam pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya matahari sampai keluar cairan bening (serum), kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Serum dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro dan diberi label sesuai dengan kode, umur anak sapi, tanggal dan waktu pengambilan sampel darah. Serum disimpan di dalam freezer (-20 0 C) sampai analisis dilakukan. Serum yang sudah dikoleksi,

33 21 diinaktivasi dalam penangas air bersuhu 56 0 C selama 30 menit, lalu didinginkan dan siap digunakan untuk pemeriksaan ELISA Pengujian Serum Menggunakan Metode ELISA tidak langsung Plate yang digunakan untuk uji ELISA memiliki 96 sumuran, terdiri dari 8 baris dan 12 kolom. Serum yang diuji berjumlah 48 sampel sehingga digunakan satu buah plate ELISA. Sumuran-sumuran cawan ELISA dilapisi dengan antigen E. coli K99 sebanyak 100 µl/ sumur yang diencerkan di dalam larutan buffer karbonat bikarbonat ph 9,6 dengan perbandingan 1:5000 (coating). Cawan ditutup dan dibungkus dengan alumunium foil lalu diinkubasi semalam pada suhu 4 0 C. Setelah inkubasi, isi sumuran-sumuran cawan ELISA dibuang dengan cara ditumpahkan dan sumuran cawan dicuci dengan 250 µl 0,05% PBST sebanyak tiga kali. Cawan selanjutnya diisi 100 µl PBS skim 5% (blocking). Cawan dibungkus seperti sebelumnya dan diinkubasi dalam suhu 37 0 C selama satu jam. Cawan ELISA dicuci kembali seperti prosedur di atas. Sumur cawan nomor 1 dan 2 dari baris A diisi dengan 100 µl PBS sebagai kontrol negatif. Sumur nomor 1 dan 2 baris B sampai F diisi dengan 100 µl serum sapi neonatus yang belum diberi perlakuan (background) untuk menentukan nilai cut off. Sumur lainnya masing-masing diisi 100 µl serum yang akan diuji. Sampel serum tersebut diencerkan 1:200 di dalam PBS dan setiap sampel serum diperiksa dua kali (duplo). Cawan ELISA ditutup kembali dan diinkubasi lagi dalam suhu 37 0 C selama 1 jam lalu dilakukan pencucian seperti di atas. Sebanyak 100 µl suspensi konjugat rabbit anti-bovine Ig-G peroxidase konsentrasi 1:10000 dimasukkan ke dalam setiap sumur sebelum diinkubasi dalam suhu 37 0 C selama satu jam. Cawan ELISA dicuci lagi tiga kali dengan PBST. Kemudian 100 µl substrat ABTS dimasukkan ke dalam setiap sumur. Cawan ELISA kemudian diinkubasi dalam ruangan gelap pada suhu 37 0 C selama 30 menit sampai ada perubahan warna lalu reaksi distop dengan stoping solution. Hasil reaksi diukur dengan alat pembaca ELISA pada panjang gelombang 405 nm berupa angka pembacaan kerapatan optik (optical density) dalam bentuk nilai absorbansi.

34 Analisis Data Nilai absorbansi dari optical density akan sesuai dengan konsentrasi antibodi dalam sampel. Analisis hasil diamati secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan grafik yang menyajikan nilai absorbansi sesungguhnya dari setiap sampel serum yang diperiksa maupun nilai rataannya.

35 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon pemberian kolostrum maupun susu dapat dideteksi dengan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). ELISA merupakan salah satu uji pengikatan primer (Tizard 2004). Keberadaan antibodi yang dideteksi dilihat berdasarkan perubahan warma dari chromogen yang terikat substrat yang bereaksi dengan enzim pada konjugat (Burgess 1995). Menurut Krissanti (2008), nilai absorbansi yang diperoleh merupakan nilai kuantitas dan sebanding dengan konsentrasi antibodi yang terdapat di dalam serum. Semakin pekat warna yang terbentuk, menunjukkan nilai absorbansi yang semakin besar (Gambar 5). Gambar 5. Hasil uji ELISA. Warna yang semakin pekat menunjukan nilai absorbansi yang semakin besar. Nilai absorbansi pada uji ELISA yang menggambarkan keberadaan antibodi serum sapi neonatus tersaji dalam Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan serum sapi neonatus (0 jam) yang dianalisa dengan uji ELISA sebagai background (latar belakang) serum negatif untuk menentukan cut off (Tabel 3). Nilai Cut off merupakan batas absorbansi negatif, dan nilai absorbansi di atas cut off dinyatakan positif mengandung antibodi terhadap E. coli. Hasil uji ELISA terhadap serum awal dan PBS sebagai background negatif menunjukkan nilai absorbansi yang cukup rendah, yaitu 0,167. Nilai cut off yang diperoleh sebesar 0,338 merupakan penjumlahan nilai rata-rata background (0,223) dengan standar deviasi (0,115). Serum dikatakan positif mengandung antibodi terhadap E. coli bila memiliki nilai absorbansi lebih dari 0,338.

36 24 Tabel 3. Nilai absorbansi kelompok background * Anak Sapi Absorbansi 1 0, , , , ,235 Rata-rata (X) 0,223 Standar Deviasi (SD) 0,115 X + SD 0,338 * : kelompok kolostrum maupun non kolostrum yang belum diberi perlakuan. Nilai absorbansi yang menggambarkan keberadaan antibodi sebagai respon pemberian kolostrum atau susu pada sapi neonatus sebelum dan setelah ditantang ETEC K99 disajikan pada Tabel 4. Nilai absorbansi ini memperlihatkan konsentrasi antibodi di dalam serum sapi neonatus kelompok kolostrum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-kolostrum, baik sebelum maupun sesudah penantangan ETEC K99. Tabel 4. Hasil ELISA serum sapi neonatus semua kelompok perlakuan Umur Kolostrum Non kolostrum Absorbansi Interpretasi Absorbansi Interpretasi 0 jam * 0,233±0,136-0,119±0, jam # 0,468±0, ,144±0, jam 1,015±0, ,174±0, jam 0,895±0, ,185±0, jam 0,684±0, ,187±0,025-1 minggu 0,531±0, ,174±0, : positif jika nilai absorbansi 0,338 - : negatif jika nilai absorbansi < 0,338 * : sebelum sapi neonatus diberi kolostrum atau susu # : sebelum sapi neonatus ditantang dengan ETEC K99

37 25 0 jam = sapi neonatus sebelum diberi kolostrum atau susu 12 jam = sapi neonatus setelah diberi kolostrum atau susu, umur saat sapi neonatus ditantang ETEC K jam = sapi neonatus setelah ditantang ETEC K99 pada jam ke-12 Gambar 6.Konsentrasi antibodi di dalam darah sapi neonatus umur jam pada kedua kelompok perlakuan sebagai respon terhadap ETEC K99. Gambar 6 memperlihatkan perbandingan respon antibodi di dalam serum sapi neonatus pada saat lahir sampai dengan umur satu minggu dari kelompok kolostrum dan kelompok non-kolostrum, sebelum dan setelah penantangan ETEC K99. Hasil pengamatan terhadap serum sapi neonatus menunjukkan bahwa pada saat sebelum pemberian kolostrum atau susu, kedua kelompok sapi yang digunakan tidak mengandung antibodi terhadap ETEC di dalam serumnya. Nilai absorbansi serum dari masing-masing kelompok masih di bawah nilai cut off (negatif), yaitu 0,233±0,136 pada kelompok kolostrum dan 0,119±0,000 pada kelompok non-kolostrum. Oleh karena itu, dapat dipastikan tidak terdapat antibodi maternal di dalam darah sapi neonatus sebelum pemberian kolostrum atau susu. Menurut Loucks et al. (1985), anak sapi yang baru lahir dan belum menyusu tidak memiliki antibodi di dalam darahnya akibat dari tipe plasenta sindesmokhorial yang tidak memungkinkan terjadinya pemindahan antibodi induk kepada anak di dalam uterus. Kekebalan maternal pada ruminansia hanya dapat diturunkan dari induk melalui kolostrum. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini. Hal ini terlihat dengan adanya peningkatan nilai absorbansi yang menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi antibodi sapi neonatus kelompok kolostrum pada 12 jam setelah pemberian kolostrum pertama kali. Hal ini tidak dijumpai pada kelompok

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Morfologi Escherichia coli Bakteri E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

Morfologi dan Taksonomi Escherichia coli

Morfologi dan Taksonomi Escherichia coli Morfologi dan Taksonomi Escherichia coli Bakteri ini termasuk flora normal tubuh yang berbentuk batang pendek (kokobasil) berukuran 0,4-0,7 μm x 1,4 μm. Bersifat Gram negatif. E. coli memiliki 150 tipe

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º46 58.7 LS dan 115º05 00-115º10 41.3 BT, berada pada ketinggian

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu awal hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, bakteri, virus, dan parasit. Dari ketiga faktor tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Pakan Bahan pakan sapi perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan adalah bahan pakan yang sangat disukai oleh sapi. Hijauan merupakan pakan yang memiliki serat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup adalah bangsa itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini sering disebut sebagai itik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang bersifat patogen merupakan prioritas utama untuk dilakukan pada bidang kesehatan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air, yaitu jenis unggas yang sebagian besar waktunya dihabiskan di air. Kemampuan termoregulasi itik menjadi rendah karena tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Ayam yang Diinfeksi C. jejuni Asal Kudus dan Demak Bobot badan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Bobot badan ayam yang diinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ternak Kambing Kambing adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh peternakan rakyat dan merupakan salah satu komoditas kekayaan plasma nutfah (Batubara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Familia Genus : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pedet Pedet merupakan ternak replacement stock. Pemberian suplemen pada pedet prasapih pada awal laktasi diharapkan akan dapat mengendalikan penyebab terjadinya penurunan kemampuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Susu Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni

TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni 5 TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni Taksonomi dan nomenklatur dari genus Campylobacter diperbaharui pada tahun 1991. Genus Campylobacter memiliki 16 spesies dan 6 subspesies (Ray & Bhunia 2008). Campylobacter

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pakan Sapi Perah Faktor utama dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu ketersediaan pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi (Firman,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya.

2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. 2.1.Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan membran

Lebih terperinci

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Escherichia coli Escherichia coli ( E. Coli) adalah organisme kelompok Gram negatif (Jawetz 1968). Bakteri ini pertama kali diisolasi oleh Esheric dari feses pada tahun 1885

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan susu hasil sekresi dari payudara setelah ibu melahirkan. ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang diduga memiliki khasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar karena makanan adalah sumber energi manusia. Makanan yang dikonsumsi manusia mempunyai banyak jenis dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Usus Besar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Usus Besar IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Analisis sampel yang pertama diperoleh data berat basah yang menunjukkan berat sel dan air dari usus besar tersebut. Tabel 7. Pengaruh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Itik Bali Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena badannya yang tegak saat berjalan mirip dengan burung penguin (Rasyaf,1992).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstein Sapi merupakan hewan ternak yang penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45%-55%) kebutuhan

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok II. TINJAUAN PUSTAKA A. Usus Itik Semua saluran pencernaan hewan dapat disebut sebagai tabung dari mulut sampai anus, yang memiliki fungsi untuk mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa makanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Escherich 1885) dengan seluruh patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Escherich 1885) dengan seluruh patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Escherichia coli Escherichia coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman, Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Campylobacter spp. pada Ayam Umur Satu Hari Penghitungan jumlahcampylobacter spp. pada ayam dilakukan dengan metode most probable number (MPN). Metode ini digunakan jika

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Sapi Fries Holland (FH) berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Propinsi Friesland Barat. Bulu sapi FH murni umumnya berwarna hitam dan putih, namun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Babi adalah binatang yang dipelihara dari dahulu, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan tertentu utamanya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau

Lebih terperinci

Pseudomonas fluorescence Bacillus cereus Klebsiella cloacae (Enterobacter cloacae) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian

Pseudomonas fluorescence Bacillus cereus Klebsiella cloacae (Enterobacter cloacae) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian 6 mudah pada medium nutrien sederhana (Pelczar dan Chan 1988). Escherichia coli bersifat motil atau non-motil dengan kisaran suhu pertumbuhannya adalah 10-40 o C, dengan suhu pertumbuhan optimum adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode eksperimental karena adanya manipulasi terhadap objek penelitian dan adanya kontrol

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ternak ruminansia khususnya sapi pada umumnya adalah bakteri yang berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ternak ruminansia khususnya sapi pada umumnya adalah bakteri yang berasal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri dalam Saluran Pencernaan Sapi Mikroorganisme yang aktif di dalam saluran pencernaan bagian belakang ternak ruminansia khususnya sapi pada umumnya adalah bakteri yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang berkembang pesat. Pada 2013 populasi broiler di Indonesia mencapai 1.255.288.000 ekor (BPS,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test and controlled group design terhadap hewan uji. Postest untuk menganalisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agustine(2008) kerang hijau (green mussels) diklasifikasikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agustine(2008) kerang hijau (green mussels) diklasifikasikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerang Hijau (Perna viridis) 1. Klasifikasi Menurut Agustine(2008) kerang hijau (green mussels) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Mollusca Class

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci