I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
|
|
- Ida Hadiman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nilai yang terkandung pada ekologi satwaliar adalah pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas. Teori relung menyatakan bahwa spesies yang berkohabitasi beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan interspesifik dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Akan tetapi hal tersebut masih sulit dipelajari, misalnya mekanisme pembagian sumberdaya dan bagaimana pengaruh persaingan interspesifik terhadap relung suatu spesies (Walter 1991). Meskipun sulit, ketertarikan pada teori relung mendorong banyaknya penelitian tentang bagaimana perbedaan eksploitasi sumberdaya dalam suatu komunitas oleh spesies-spesies berkohabitasi. Spesies-spesies yang berkohabitasi membagi sumberdaya seperti dalam bentuk perbedaan pemanfaatan ruang dalam habitat (Vrcibradic & Rocha 1996), metode pencarian pakan (Slater 1994), pemilihan pakan (Luiselli et al. 1998), dan pola aktivitas (Wright 1989). Primata adalah subyek penting dalam mempelajari relung karena kemudahan dalam mengumpulkan data perilaku makan dan strategi pencarian pakan secara detail dan lama. Studi tentang primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung (Ungar 1995). Spesies primata membedakan pakannya seperti frugifory dan folyvory (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun sering juga perbedaan pakan karena alasan lainnya. Sebagai contoh, buah-buahan dipilih primata berdasarkan kemasakannya, ukuran, keasaman dan komposisi kimiawinya (Ungar 1995). Selain itu ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam pemilihan pakan (Kay 1984) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) adalah spesies yang berkohabitasi di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran (CA TWAP). Pada primata yang berkohabitasi, persaingan intraspesifik pencarian pakan berkembang seiring dengan semakin besarnya koloni melalui persaingan interferensi (Isbell 1991). Namun data tentang pengaruh eksploitasi pada persaingan spesies yang berkohabitasi masih sangat
2 2 sedikit (Connell 1983). Oleh karena itu penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung di CAP sangat penting dilakukan. Data dan informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar (Singh et al. 2000) dan pengelolaan kawasan konservasi secara menyeluruh (integrated). Pengelolaan kawasan konservasi secara menyeluruh lebih menguntungkan daripada pengelolaan secara parsial, diantaranya yaitu keuntungan secara ekologi, ekonomi dan manajemen (Forsyth et al. 2000). B. Tujuan Penelitian tentang kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP, Jawa Barat bertujuan untuk: a) Menduga besarnya tumpang tindih penggunaan ruang antara monyet ekor panjang dengan lutung, b) Menduga tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi CA TWA Pangandaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk : a). Pembinaan habitat monyet ekor panjang dan lutung, b). Perancangan pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA Pangandaran untuk melestarikan spesies dan populasi berbagai jenis satwaliar. D. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengkaji kohabitasi monyet ekor panjang dengan lutung. Kajian ini penting karena di kawasan CAP kedua primata ini secara umum mempunyai kesamaan sumber pakan dan penggunaan habitat secara bersama yang berimbas pada konservasi sumberdaya. Interaksi interspesifik diantara keduanya seperti persaingan dalam memanfaatkan sumber pakan dan pembagian sumberdaya menjadi salah satu isu perdebatan tentang teori ekologi dan praktek pengelolaan satwaliar.
3 3 Kohabitasi yang berlangsung lama akan menimbulkan terjadinya proses seleksi alami yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung (Pianka 1988). Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban, ph, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi (Odum 1971). Grinnell (1928) menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup bersama pada suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam waktu yang lama. Fleagle (1978) menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan merupakan pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung ruang (spatial niche). Studi tentang ekologi satwaliar dipandang penting karena membandingkan segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku spesies yang berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip (Porter 2001). Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara monyet ekor panjang dengan lutung. Kohabitasi menyebabkan kedua primata ini akan menghindari persaingan atau meningkatkan efisiensi pada area tumpang tindih penggunaan ruang dan kesamaan tumbuhan sumber pakan dengan cara segregasi relung. Pada kasus ini, pemisahan relung dapat menurunkan tingkat kompetisi dan meningkatkan kesempatan kedua primata yang berkohabitasi ini untuk memanfaatkan area tumpang tindih wilayah jelajah tersebut (Garcia & Arroyo 2005). Sumberdaya yang terbatas mendorong kedua primata yang berkohabitasi ini bergantian untuk memanfaatkannya secara efektif dan efisien. Oleh karena itu untuk pemanfaatan sumberdaya oleh kedua primata ini maka dilakukan pengamatan langsung dengan metode focal animal sampling. Metode ini diterapkan pada kedua primata ini dengan melakukan penandaan pada sumberdaya yang dimanfaatkannya. Penandaan ini bertujuan untuk mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang, lutung atau dimanfaatkan oleh keduanya. Sumberdaya atau unit contoh yang diamati dalam
4 4 penelitian ini adalah pohon. Pohon dimanfaatkan oleh kedua primata ini sebagai sarana penggunaan ruang baik secara horizontal maupun vertikal dan juga sebagai tumbuhan sumber pakan. Data tentang jenis-jenis pohon yang digunakan oleh monyet ekor panjang, lutung atau digunakan secara bersama berguna bagi pengelolaan kawasan konservasi CAP beserta isinya.
5 13 Taman Nasional Alas Purwo pada Resor Rowobendo adalah 27,71 ha, Trianggulasi 23,64 ha dan Pura Giri Salaka 20,84 ha. Hal ini menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di CAP relatif lebih kecil. 2. Lutung Luas wilayah jelajah lutung di TWAP adalah 4,7 8,8 ha (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002), luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2,78 6,67 ha atau rata-rata 3,46 ha. Berdasarkan hal tersebut maka luas wilayah jelajah lutung di TWAP mengalami penurunan. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah jelajah lutung di kawasan hutan jati Jawa Tengah sebesar ha (Djuwantoko 1994) maka luas wilayah jelajah lutung tersebut sangatlah kecil. E. Pakan Primata membedakan pakannya dalam secara luas seperti frugivory dan folivory (Cluton Brock & Harvey 1977) namun sering kali lebih detil. Sebagai contoh buah-buahan mungkin dipilih sebagai pakan karena tingkat kemasakkannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi (Ungar 1995), ukuran butiran dan penyebarannya (Peres 1996). Ukuran tubuh juga menjadi faktor utama dalam pemilihan pakan. Satwa bertubuh kecil yang membutuhkan pakan berenergi tinggi cenderung lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa yang bertubuh besar yang memerlukan pakan berenergi rendah cenderung memakan dedaunan (Kay 1984). 1. Monyet Ekor Panjang Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivora daripada lutung. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977). Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa yang bersifat frugivore omnivore karena memakan buah Sonneratia spp. dan Nypa fruticans serta kepiting (Crockett & Wilson 1977).
6 14 Menurut Lucas & Corlett (1998), monyet ekor panjang dapat membantu penyebaran biji tumbuhan tetapi tergantung dari morfologi biji dan buah itu sendiri. Buah yang berdaging dengan lebar biji sekitar 3-4 mm akan tertelan, karena mulutnya tidak dapat merasakan biji tersebut. Biji yang tercampur dengan dagingnya akan dikunyah dan dimuntahkan setelah bersih. Daun yang umum dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah Singapura adalah Moraceae (Artocarpus elasticus, Ficus spp. dan Streblus elongatus), Anacardiaceae (Gluta walichii), Polygalaceae (Xantophyllum maingayi), Rubiaceae (Urophyllum spp.) dan Symplococaceae (Symplocos fasciculata). Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu klampok (Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus ampelas), kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica), sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996). Menurut Yeager (1976), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga. Jenis pohon yang sering dimakan buahnya oleh monyet ekor panjang adalah Ganua molucana, Diospyros maingayi, Licania splendes, Eugenia sp. dan Lophopetalum javanicum dengan total konsumsi sekitar 86%, kemudian sebagai pelengkapnya yaitu daun, bunga, insekta, jamur dan lumpur (Wheatley 1974). Menurut Hadinoto (1993), kebutuhan pakan monyet ekor panjang setiap ekor perhari sebanyak 4% dari bobot tubuhnya, serta memerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya. Lawrence (1989) menemukan bahwa buah yang besar oleh monyet akan dimakan langsung tanpa dipetik terlebih dahulu dengan tujuan efisiensi energi. Untuk memperoleh air dalam memenuhi kebutuhannya, selain minum dari sumber air, primata dan burung juga memanfaatkan embun yang menempel pada dedaunan dan air yang menggenang pada batang-batang pohon (Alikodra 1990).
7 15 2. Lutung Jenis pakan lutung terdiri dari 66 jenis tumbuhan, 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga (Supriatna & Hendras 2000). Pakan lutung di CAP 27 37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5 27% buah mentah dan 10 12% buah masak. Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993). Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan sub spesies T. auratus sondaicus terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka. Bebuahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Kool (1993), spesies tumbuhan penting sumber pakan lutung di CAP adalah Ficus sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata. Namun demikian di CAP wisatawan sering memberikan pakan yang tidak semestinya pada lutung (Watanabe et al. 1996). Pada komunitas dimana terdapat spesies yang berkohabitasi, seperti monyet ekor panjang dan lutung di CAP, maka terjadi persaingan yang intensif untuk mendapatkan pakan. Seleksi alami mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas dan pada akhirnya terjadi pemisahan relung (Pianka 1988) Pada beberapa primata, persaingan intraspesifik dalam mencari pakan berkembang dengan bertambahnya ukuran kelompok melalui persaingan campur tangan/gangguan (Isbell 1991). Terdapat sedikit data yang tersedia tentang pengaruh persaingan eksploitasi pada spesies yang berkohabitasi (Connell 1981). Teori relung memprediksi bahwa persaingan makan akan mencapai titik tertinggi pada saat makanan kurang dan spesies primata juga akan menunjukkan banyaknya jenis pakan yang berbeda selama periode ini (Schoener 1974). Meskipun kedekatan hubungan spesies dalam pakan dan pemilihan habitat terbentuk karena ukuran tubuh, morfologi pencernaan/usus dan kemampuan organ
8 16 gerak (Clutton-Brock & Harvey 1977), namun pada Callimico goeldii, Saguinus fuscicollis dan S. labiatus mengungkapkan bahwa perbedaan anatomi menyebabkan perbedaan dalam adaptasi pencarian makan yang ditunjukkan dalam jenis pakannya (Fleagle et al. 1997). Perbedaan morfologis tangan diantara spesies callitrichine direfleksikan dalam bentuk perbedaan strategi dalam pencarian pakan (Bicca-Marques 1999). F. Perilaku dan Kohabitasi Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978). Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdayahabitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Lutung dan monyet ekor panjang adalah primata yang hidup berkelompok. Lutung adalah satwa arboreal yang beraktivitas pada siang hari (Lekagul & McNeely 1977) dan quadropedal yaitu berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (Fleagle 1978). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa lutung hidup berkelompok yang beranggotakan sekitar 10 ekor, yaitu 1 ekor jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi serta poligami. Menurut Medway (1970) lutung budeng berkelompok dengan anggota 6 23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin
9 17 kelompok. Aldrich-Blake (1980) menyatakan bahwa monyet ekor panjang adalah primata pemakan buah, sering berada di tajuk pohon, hidup berkelompok dan menguasai suatu daerah kecil dekat sungai pada ketinggian kurang dari 300 mdpl. Jumlah individu dalam koloni monyet ekor panjang yaitu 29 ekor (Rowe 1996) sedangkan menurut Sularso (2004) yaitu 39 ekor. Sistem perkawinan/kekerabatan pada primata berpengaruh pada perbedaan area pencarian pakan yang dimonopoli dengan perilaku teritorial sebagai salah satu bentuk persaingan interfensi, dan juga memungkinkan terjadinya pemisahan area pencarian pakan (Schoener 1993). Membandingkan dua spesies yang secara ekologi mirip namun berbeda ukuran tubuh dan perilaku sosialnya sangat membantu untuk mengetahui pengaruh kebutuhan energi atau dominasi dalam strategi pencarian dan pembagian pakan (Fedriani et al. 2000). Sistem hierarki dan teritorialisme pada primata menyebabkan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). Pada komunitas dimana satwa berkohabitasi maka terjadi interaksi diantaranya (sympatric). Sympatric adalah keadaan dimana suatu populasi spesies bertemu dan mengalami tumpang tindih (overlap) daerah jelajahnya (Caughley 1984). Tumpang tindih dapat terjadi interaksi ruang, waktu dan sumberdaya dalam suatu habitat. Sebagai contoh adalah interaksi monyet ekor panjang dengan lutung di CAP. Mekanisme koeksistensi spesies menjadi isu utama dalam ekologi komunitas (Begon et al. 1990). Koeksistensi spesies ini diharapkan dapat memberikan strategi pembedaan relung, terutama ketika sumberdaya langka. Perbedaan pemilihan sumberdaya merupakan proses dasar peran bersama spesies untuk tetap berkoeksistensi. Pada dekade ini perhatian peneliti terfokus pada interaksi biotik khususnya menerangkan perbedaan penggunaan habitat diantara spesies yang berkoeksistensi (Rosenzweig 1981). Berkurangnya kesamaan relung pakan dapat terjadi karena pembagian pakan menurut tipe suatu ukuran mangsa dan pemisahan area pencarian pakan (Chesson & Huntly 1997). Koeksistensi spesies tergantung pada pembagian sumberdaya sebagai upaya setiap spesies dalam menjamin kelangsungan hidup dan reproduksinya. Koeksistensi atau hidup bersama pada suatu habitat mungkin saja terjadi dimana spesies memanfaatkan
10 18 sumberdaya yang sama dan terbatas (Basset 1995). Berdasarkan teori pencarian pakan optimal, Brown (1989) melakukan pendekatan dengan menguji dua spesies yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dan terbatas akhirnya mengetahui bagaimana mekanisme koeksistensi terjadi. Hal tersebut memperkuat pendapat Martin (1986) yang menyatakan bahwa perbedaan pemanfaatan sumberdayaoleh spesies yang berkoeksistensi merupakan refleksi yang berbeda dalam sejarah evolusi. Pada spesies yang berkohabitasi mungkin juga tidak terjadi asosiasi pada skala temporal sehingga tidak terjadi koeksistensi (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Pemisahan relung secara temporal terjadi pada skala diurnal dimana pemisahan puncak aktivitas spesies pesaing pada waktu yang berbeda dalam satu hari (Gutman & Dayan 2005). Pemisahan relung temporal tersebut dapat menyebabkan pemisahan relung antar spesies yang membutuhkan habitat mirip, meskipun hal tersebut secara sejarah kurang mendapat perhatian daripada pemisahan habitat atau preferensi pakan (Schoener 1974). Salah satu teori relung menyatakan bahwa ketika dua atau lebih spesies yang berkohabitasi, dalam memanfaatkan habitat dan pakan serta mempengaruhi struktur komunitas tidak akan mutlak mirip/sama (Diamond 1978). Pemilihan relung adalah pemanfaatan suatu habitat yang tidak dikuasai oleh pesaing interspesiknya (Boughman et al. 2005). Misalnya, penggunaan ruang secara vertikal pada satwa yang berkohabitasi berupa pembagian strata tajuk dalam beraktivitas disebabkan karena agresivitas salah satu atau lebih spesies tersebut (Johns 1986, Peres 1993, Lopes 1993, Walker 1996, Singh et al. 2000). Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut pada kohabitasi monyet ekor panjang dan lutung pada kawasan konservasi CAP. Pada hakekatnya makluk hidup di muka bumi ini tidak hidup sendirian atau hanya hidup bersama individu dalam masyarakatnya sendiri, namun selalu berasosiasi dengan spesies lain. Ukuran sejauh mana tingkat seringnya dua spesies ditemukan secara bersama-sama dalam lokasi yang sama disebut asosiasi interspesifik (Odum 1971). Asosiasi interspesifik terjadi karena: a) kedua spesies memilih atau menghindari habitat atau faktor habitat yang sama, b) kedua spesies pada umumnya mempunyai kebutuhan dan persyaratan lingkungan abiotik dan
11 19 biotik yang sama, dan c). salah satu atau kedua spesies memiliki afinitas terhadap yang lainnya, baik atraksi maupun repulsi (Ludwig & Reynold 1988). Asosiasi tersebut bisa bersifat menguntungkan, merugikan atau tidak berpengaruh bagi anggotanya. Keeratan hubungan spesies yang terdapat secara bersama-sama dalam suatu komunitas disebut kohabitasi spesies. Kohabitasi spesies dalam suatu habitat menggunakan sumberdayayang ada secara bersama dan terdapat beberapa kesamaan. Nilai ukuran kesamaan penggunaan sumberdayaoleh pasangan spesies berdasarkan data ekologis disebut afinitas spesies yang biasanya diukur dalam fungsi kesamaan. Fungsi kesamaan (resemblance function) adalah ukuran kesamaan atau ketidaksamaan antar unit contoh dalam kaitannya dengan komposisi spesies atau antar spesies dalam penggunaan sumberdaya (Krebs 1989). Faktor utama yang dapat mempengaruhi hubungan tropis interspesifik spesies dan potensi pembagian sumberdayapakan antara lain kelimpahan pakan, ukuran tubuh, dan sistem perkawinan/kekerabatannya (misalnya pada perilaku teritorial). Kelimpahan pakan berkaitan langsung dengan kemampuan menghabiskan dan tingkat persaingan eksploitasi antar individu. Kemudian berkurangnya kesamaan relung pakan terjadi apabila sumberdaya berkurang dan dibutuhkan pengorbanan yang lebih besar (May 1973). Ukuran tubuh berpengaruh pada kekuatan masing-masing spesies. Ukuran tubuh yang besar bermanfaat dalam melawan pesaing interspesifiknya (Shelley et al. 2004) tetapi juga menjadi kelemahan ketika sumberdaya pakan terpatas, karena tubuh yang besar memerlukan pakan yang lebih banyak (Julien-Laferriere 1999). Oleh karena itu maka pembagian pakan berdasarkan ukuran tubuh mangsa mungkin saja terjadi pada spesies yang berbeda ukuran tubuh, dimana diharapkan semakin besar ukuran pakan semakin besar pula ukuran tubuh predatornya (Marti et al. 1993). Nilai penting informasi perilaku spesies yang berkohabitasi yaitu pertama, spesies dapat membentuk asosiasi interspesifik dalam menyelingi/mengisi kokosongan asosiasi spesies dalam sebuah komunitas tanpa terjadi interaksi secara fisik atau asosiasi polyspesifik antar dua spesies yang berinteraksi sosial (Burton & Chan 1996). Apabila dua spesies bersaing dalam memanfaatkan sumberdayayang terbatas, maka studi tentang spesies yang berkohabitasi akan
12 20 memberikan informasi tentang proses penyesuaian yang menunjukkan seleksi relung (niche) dimana iklim, hutan, dan spesies yang bersaing tetap (Fleagle 1978). Kedua, pada kasus kohabitasi spesies yang terancam, informasi tentang substrata pemanfaatan pakan, jenis pakan, aktivitas dan lain-lain dapat membantu dalam membuat rancangan ilmiah yang memperhatikan aspek konservasi dan strategi pengelolaan (Singh et al. 2000).
STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN JAWA BARAT YOHAN HENDRATMOKO
STUDI KOHABITASI MONYET EKOR PANJANG DENGAN LUTUNG DI CAGAR ALAM PANGANDARAN JAWA BARAT YOHAN HENDRATMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penggunaan Ruang Aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini mobilitas dan luas serta komposisi daerah jelajah merupakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Lekagul & McNeely (1977), secara taksonomi monyet ekor panjang diklasifikasilan ke dalam phylum Chordata,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan oleh Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang ketersediaannya paling tinggi. Teori mencari makan optimal atau Optimal Foraging Theory (Schoener, 1986;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut
8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung
Lebih terperinciSTUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG
STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat
17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. spesies dilindungi atau untuk mendukung biodiversitas, tidak terlepas dari
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manajemen populasi satwaliar, untuk mendukung pemanenan, konservasi spesies dilindungi atau untuk mendukung biodiversitas, tidak terlepas dari manajemen habitat.
Lebih terperinciPola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi
Subagyo et.al., Pola aktivitas Harian Lutung... Pola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi Daily Activiy of Silvered Leaf Monkey
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik wilayah jelajah mencakup dua aspek, yaitu tipe ekosistem beserta kondisi habitatnya dan populasi monyet ekor panjang di Pulau Tinjil. Berikut ini merupakan penguraian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Menurut Napier and Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah sebagai berikut: Phyllum Sub Phyllum Class Ordo Sub
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Distribusi Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki karakteristik yang berbeda, karena komposisi spesies, komunitas dan distribusi organismenya. Distribusi dalam
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I.
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Macaca fascicularis Raffles merupakan salah satu jenis primata dari famili Cercopithecidae yang dikenal dengan nama monyet atau monyet ekor panjang (long tailed macaque)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki
Lebih terperinciMONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL
LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I.
Lebih terperinciDISTRIBUSI DAN POPULASI LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus, Geoffroy 1812) DI DAERAH CETUT, CIKABODAS DAN CIKOLOMBERAN CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG
DISTRIBUSI DAN POPULASI LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus, Geoffroy 1812) DI DAERAH CETUT, CIKABODAS DAN CIKOLOMBERAN CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG Adistya Oktaviani P. Utami 1, Risya P. N. Lathifah 1,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kondisi Penangkaran Penangkaran Mamalia, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor terletak di Jalan Raya Bogor-Jakarta KM 46, Desa Sampora, Kecamatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari
Lebih terperinciBAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK
BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencernaan dan dapat mencegah kanker. Salah satu jenis sayuran daun yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sayuran daun merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral essensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, selain itu sayuran daun banyak mengandung serat. Serat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (FAO, 1991). Hutan tropis ini merupakan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara tropis dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk
Lebih terperinciII.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun
II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
Lebih terperinciMENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono
MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati
Lebih terperinciLampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi
106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi
Lebih terperinciSUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR
SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh
Lebih terperinciBAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan
Lebih terperinciBAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur
Lebih terperinciBUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU
BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli
` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara-negara yang kaya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman burung yang sangat tinggi. Sukmantoro et al. (2007), menjelaskan bahwa terdapat 1.598 jenis burung yang dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan
I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai
Lebih terperinciDAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3.Tujuan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman
Lebih terperinciIndividu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer
Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang
Lebih terperinciIII. KONDISI UMUM WILAYAH
III. KONDISI UMUM WILAYAH A. Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak dipantai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Siamang merupakan satwa liar yang termasuk dalam ordo Primata dari famili Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes
Lebih terperincikeadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berada pada puncak rantai makanan atau top predator yang oportunis. Hal ini memiliki
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Salah satunya adalah ekosistem sawah. Ekosistem sawah kaya akan unsur-unsur penyusun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta
Lebih terperinciV. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat
Lebih terperinciBentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya. Oleh : Oki Hidayat
Bentuk Interaksi Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya Oleh : Oki Hidayat Setiap satwaliar tidak dapat lepas dari habitatnya. Keduanya berkaitan erat dan saling membutuhkan satu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial
TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial Apis cerana merupakan serangga sosial yang termasuk dalam Ordo Hymenoptera, Famili Apidae hidup berkelompok membentuk koloni. Setiap koloni terdiri
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat
Lebih terperinci