INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE"

Transkripsi

1 LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI SKENARIO 2 INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE Oleh : KELOMPOK 7 Ensan Galuh Pertiwi Bobbi Juni Saputra Dwi Rachmawati H. Ema Nur Fitriana Farida Nur K. Kristiana Margareta Nimas Ayu Suri P. Nur Zahratul Jannah Putri Dini Azika Raden Artheswara S. Wisnu Yudho Hutomo G G G G G G G G G G G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

2 BAB I PENDAHULUAN Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari hari harus dibantu. Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+). Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.

3 BAB II STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI Jump 1 Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario. 1. Ngompol : Kencing secara tidak sengaja (inkontinensia urine), yaitu keluhan berkemih secara involunter karena lemahnya otot vesica urinaria bagian distal, biasanya karena beberapa penyakit. 2. Indeks Barthel : Pemeriksaan yang berfungsi untuk mengetahui kemampuan fungsional tubuh, biasanya pada pasien dengan kelainan neuromusculer. Pemeriksaan ini juga dapat menilai peningkatan fungsional tubuh dalam evaluasi proses rehabilitasi. 3. Stroke : Tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak secara lokal maupun sistemik, gejala dapat berkembang dalam 24 jam atau lebih tanpa adanya penyebab yang jelas selain vaskuler. 4. Ngobrok : Suatu keadaan dimana penderita tidak dapat menahan Buang Air Besar (BAB). Keadaan ini disebut juga Inkontinensia alvi 5. Rectal Toucher : Pemeriksaan dengan dua jari, jari dimasukkan ke anus. Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai keadaan anus, rectal dan prostat. 6. Pemeriksaan Ekstremitas : Pemeriksaan untuk menilai derajat

4 kekuatan otot, derajat kekuatan otot dinilai dengan skor : 0 = tidak timbul kontraksi 1 = gerakan sedikit dan halus 2 = gerakan tidak dapat melawan gravitasi 3 = gerakan dapat melawan gravitasi tanpa tahanan 4 = gerakan dapat melawan gravitasi dengan tahanan sedang 5 = normal 7. Obat Tidur : Obat yang merangsang Susunan Syaraf Pusat (SSP), mempunyai efek hipnotik sehingga menyebabkan mengantuk, mempermudah tidur dan mempertahankan tidur. Contoh obat tidur seperti Benzodiazepin, Barbitural dan golongan lain. 8. Pemeriksaan Psikiatri : Pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kejiwaan seseorang, pemeriksaan ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu pengambilan raport (anamnesis) dan penilaian status mental (mood, afek, tilikan, dll). Jump 2 Menentukan/mendefinisikan permasalahan. 1. Bagaimana fisiologi dari proses miksi, defekasi dan tidur? 2. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 75 tahun dengan gejala klinis yang dialami pasien? 3. Bagaimana patofisiologi dari ngompol sejak 3 bulan yang lalu pada skenario?

5 4. Bagaimana patofisiologi dari ngobrok yang dialami pasien? 5. Bagaimana patofisiologi dari keadaan emosi yang labil (sering marahmarah) yang dialami pasien? 6. Bagaimana patofisiologi dari insomniayang dialami pasien? 7. Apakah hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien? 8. Apakah hubungan keadaan berkabung yang dialami pasien (istrinya wafat) dengan gejala klinis pada pasien? 9. Apakah hubungan antara kondisi fisik pasien yang dalam melakukan aktifitasnya harus dibantu dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien? 10. Adakah hubungan antara riwayat stroke yang pernah dialami pasien dengan riwayat penyakit sekarang pada pasien? 11. Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan neurologi, rectal toucher dan USG pada pasien? 12. Apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan indeks barthel itu dan mengapa pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus dalam skenario ini? 13. Bagaimanakah cara pemeriksaan psikiatri yang dilakukan pada pasien dalam kasus skenario ini? 14. Apa diagnosis banding dalam kasus pada skenario ini? 15. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario ini? Jump 3 Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai permasalahan tersebut. A. Fisiologi Miksi, Defekasi, dan Tidur 1. Miksi Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas

6 neuronal mulai dari korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan sarafsaraf tepi baik otonom maupun somatik. Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi bulibuli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra uretra yang rendah dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor serta otot lurik periuretra. Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan pada uretra membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di bagian dalam dinding uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti tutup yang kedap air. Semua faktor ini akan menjadi faktor penting terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam keadaan istirahat adalah antara cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat bahwa tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O. Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk mekanisme kontinensia yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator ani mengangkat, memanjangkan dan menekan uretra sehingga berperan penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi stress misalnya pada peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba. Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada leher kandung kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter distal. Tertutupnya leher kandung kemih hanya tergantung fungsi detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher kandung kemih akan tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal yang ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi detrusor terjadi pembukaan leher kandung kemih. Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa diikuti kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat

7 elastisitas otot kandung kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung kemih dalam keadaan kosong bukanlah berupa organ yang berkontraksi, tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh karenanya pengisian urine dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung kemih yang terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk menjamin tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan intervesika. Diluar kedua faktor, elastisitas dan kemampuan merubah bentuk kandung kemih, diduga faktor persarafan juga berperan dalam menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara aktif membuat relaksasi detrusor selama fase pengisian urine. Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada awalnya tanpa adanya sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya jumlah urine dalam kandung kemih akan timbul sensasi samar yang timbul di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama kelamaan sensasi ini makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini saat untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul sensasi regangan daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis ke kolum lateral dan mungkin berasal dari reseptor regangan di trigonum. Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat sensasi miksi yang sulit tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra. Serat aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum dorsal medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda dan dapat terjadi tanpa kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama adalah yang terpenting. Rangsangan untuk ketiga sensasi adalah distensi kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah merupakan rangsangan yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan dengan frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga memegang peranan.

8 a. Fase pengisisan Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine di kandung kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik batasnya. Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns. Penghambatan ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua adalah peranan ganglion parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls preganglion yang rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor terpenting yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner. Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan seperti pengisian buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra abdomen, aktifitas fisik dan kontraksi volunter otot dasar panggul. Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap pengisian buli-buli terjadi melalui refleks eferen dan nervus pelvikus. Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih rendah dari tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan tekanan uretral disebut sebagai urethral closure pressure. Tekanan intra uretral dipertahankan tinggi pada proses pengisian kandung kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral, sedang yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otototot polos dan otot lurik intra uretral. Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan ditransmisikan dan didistribusikan secara sama ke arah kandung kemih dan ke uretral, sehingga pengaruh terhadap urethral closure pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini tergantung pada komponen aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif yaitu posisi intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika 6 otot-otot dan fasia

9 pada dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih dan uretral akan disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal yang tidak sama berakibat timbulnya stress inkontinensia. b. Fase pengosongan Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan tekanan intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong disertai penurunan tekanan intra uretra. Miksi dimulai dengan penurunan tekanan intra uretra yang mendahului kenaikan tekanan intravesika beberapa detik walaupun kadang kadang terjadi bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher buli-buli akan membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai uretra pada daerah sfingter distal akan menutup dan penutupan ini diikuti bagian yang lebih proksimal dan terakhir tertutupnya leher kandung kemih. 2. Defekasi Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009). Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

10 Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair. Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton, 1997). 3. Tidur Berdasarkan proses tidur terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis atau aebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang otaknya sangat lambat atau disebut tidur NREM. Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak

11 meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan jenis tidur paradoks atau tidur REM (rapid eye moverment). a. Tidur gelombang lambat (Slow wave sleep) Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh, dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun. Tahapan tidur jenis NREM 1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran. 2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur. 3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan

12 darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur. 4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata. 5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah b. Tidur paradoks /tidur REM (rapid eye movement) Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5-20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada. Ciri tidur REM adalah sebagai berikut: 1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif. 2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak. 3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis. 4) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur. 5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. 6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat. 7) Tidur ini penting untuk kescimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi

13 B. Inkontinensia 1. Inkontinensia Urin Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).

14 Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calciumchannel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf

15 yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007). Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000): a. Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi. b. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif. Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000): a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya. Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi a. Inkontinensia urin akut Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000): D : Delirium R : Retriksi, mobilitas, retensi I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat

16 mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007). b. Inkontinensia urin persisten Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masingmasing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): 1) Tipe stress Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. 2) Tipe urgensi Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. 3) Tipe luapan (overflow) Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: - Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. - Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus.

17 4) Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini. 2. Inkontinensia Alvi Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000): a. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. b. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur. Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka, 2000): a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi. Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan

18 refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. b. Inkontinensia alvi simtomatik Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti. Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi. c. Inkontinensia alvi neurogenik Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.

19 Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar. d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otototot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya. C. Gangguan Tidur 1. Gangguan Tidur pada Lansia Pada kelompok lanjut usia (40 tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama di jumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul pagi. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam hari. Anka ini ternyata 7x lenih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun. Gangguan tidak saja menunjukan indikasi akan adanya kelainan jiwa yang dini tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang berobat ke dokter, disebabkan oleh : a. Faktor Ekstrinsik (luar) misal: lingkungan yang kurang tenang. b. Faktor intrinsik, mial bisa organik dan psikogenik. 1) Organik, misal: nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang membuat gelisah. 2) Psikogenik, misal: depresi, kecemasan dan iritabilitas.

20 Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Hardiwinoto, 2005). Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia. a. Insomnia primer Ditandai dengan: 1) Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan. 2) Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya. 3) Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental lainnya. 4) Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat. Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap tidak segar

21 meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur, makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan. b. Insomnia kronik Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur. c. Insomnia idiopatik Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir

22 dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan. Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa kasus, penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3 (Hardiwinoto, 2005). 2. Obat Hipnotik Sedatif Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Beberapa obat Hipnotik Sedatif dari golongan Benzodiazepin digunakan juga untuk indikasi lain,

23 yaitu sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas dan sebagai penginduksi anestesis (Ghana, 2009). D. Psikologis pada Lansia 1. Perubahan Psikologis Lansia 2. Pemeriksaan Psikiatri 3. Depresi pada Lansia E. Stroke 1. Pendahuluan Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi. Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid. 2. Epidemiologi Stroke Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan pasien stroke dari 28 rumah sakit di Indonesia Survei Departemen Kesehatan RI pada subjek dari rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%,

24 tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua (RISKESDAS, 2007). 3. Patologi Stroke a. Infark Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak normalnya adalah 58 ml/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 ml/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 ml/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah infark. b. Perdarahan Intraserebral Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid. c. Perdarahan Subaraknoid Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor. 4. Faktor Risiko Stroke Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup. Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat.

25 Tabel 1. Faktor risiko stroke Bisa dikendalikan Potensial bisa dikendalikan - Hipertensi - Diabetes melitus - Penyakit jantung - Hiperhomosisteinemia - Fibrilasi atrium - Endokarditis - Hipertrofi - Stenosis mitralis ventikel kiri - Infark jantung - Merokok - Anemia sel sabit - Transient Ischemic Attack (TIA) - Stenosis karotis asimtomatik Tidak bisa dikendalikan - Umur - Jenis kelamin - Herediter - Ras dan etnis - Geografi 5. Tanda dan Gejala Stroke Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat akut (Tabel 2). Tabel 2. Tanda dan Gejala Stroke Tanda dan Gejala Hemidefisit motorik; Hemidefisit sensorik; Penurunan kesadaran; Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglossus (XII) yang bersifat sentral; Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia), dan gangguan fungsi intelektual (demensia); Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia); Defisit batang otak.

26 6. Penatalaksanaan ( PERDOSSI, 2007 ): a. Stadium hiperakut Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H 2 O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/inr, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang. b. Stadium akut Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga. 1) Stroke Iskemik Terapi umum: Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).

27 Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid ml dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmhg, diastolik 120 mmhg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmhg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmhg, diberi NaCl 0,9% 250 ml selama 1 jam, dilanjutkan 500 ml selama 4 jam dan 500 ml selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmhg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmhg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang

28 muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgbb per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid. Terapi khusus: Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-pa (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia). 2) Stroke Hemoragik Terapi umum Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 ml, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmhg, diastolik >120 mmhg, MAP >130 mmhg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0, mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30, posisi kepala dan dada di satu bidang,

29 pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pco mmhg). Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis H 2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. Terapi khusus Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm 3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 ml dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). c. Stadium subakut Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder. Terapi fase subakut: 1) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya. 2) Penatalaksanaan komplikasi.

30 3) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi. 4) Prevensi sekunder. 5) Edukasi keluarga dan Discharge Planning (Setyopranoto, 2011). F. Indeks Barthel Indeks barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus aktivitas sehari-hari dan mobilitas. Indeks Barthel terdiri dari 10 item yaitu, transfer (tidur ke duduk, bergerak dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali), mobilisasi (berjalan), penggunaan toilet (pergi ke/dari toilet), membersihkan diri, mengontorl BAB, BAK, mandi, berpakaian, makan, naik turun tangga. Penilaian ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat dasar dari fungsi dan dapat digunakan untuk memantau perbaikan dalam aktivitas sehari-hari dari waktu ke waktu. Penilaian indeks barthel didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam meningkatkan aktivitas sehari-hari meliputi sepuluh aktivitas. Apabila seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri maka akan mendapat nilai 15 dan jika membutuhkan bantuan nilai 10 dan jika tidak mampu 5 untuk masing-masing item. Kemudian nilai dari setiap item akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total dengan skor maksimum adalah 100. Namun di Inggris nilai 5, 10 dan 15 cukup sering diganti dengan 1, 2, dan 3 dengan skor maksimum 20 (Sujana, 2000).

31 Tabel 3. Indeks Barthel G. Penatalaksanaan dan Prognosis 1. Asesmen Geriatri Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin untuk menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita usia lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan

32 pemeliharaan kesehatan yang rasional. Asesmen Geriatrik ada 2 macam yaitu : a. Asesmen geriatrik administratif b. Asesmen geriatrik klinik Mengingat sifat dan karakteristik penderita usia lanjut seperti, maka penanganannya harus bersifat holistik, yaitu: b. Penegakan diagnosis: berbeda dengan tata cara diagnosis yang dilaksanakan pada golongan usia lain, penegakan diagnosis pada penderita usia lanjut dilaksanakan dengan tata cara khusus yang disebut dengan asesmen geriatrik. Cara ini merupakan suatu analisis multidimensional dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim geriatrik. c. Penatalaksanaan penderita: penatalaksanaan penderita juga dilaksanakan oleh suatu tim multidisipliner yang bekerja secara interdisipliner dan disebut sebagai "tim geriatri". Hal ini perlu mengingat semua aspek penyakit (fisik-psikis), sosial-ekonomi, dan lingkungan harus mendapat perhatian yang sama. Susunan dan besar tim bisa berbeda-beda tergantung pada tingkatan pelayanan. Di tingkat pelayanan dasar, hanya diperlukan tim "inti" yang terdiri dari dokter, perawat, dan tenaga sosiomedik. d. Pelayanan kesehatan vertikal dan horisontal: aspek holistik dari pelayanan geriatri harus tercermin dari pemberian pelayanan vertikal, yaitu pelayanan yang diberikan dari Puskesmas sampai ke pusat rujukan geriatri tertinggi, yaitu di rumah sakit provinsi. Pelayanan kesehatan horizontal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan menyeluruh. Dengan demikian, ada kerjasama lintas sektoral dengan bidang kesejahteraan lain, misalnya agama, pendidikan/kebudayaan, olah raga, dan sosial. e. Jenis pelayanan kesehatan: sesuai dengan batasan geriatri seperti tersebut di atas, maka pelayanan kesehatan yang diberikan harus meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan memperhatikan aspek psiko-sosial serta lingkungan.

33 Tugas masing-masing anggota tim adalah sebagai berikut: a. Asesmen lingkungan/sosial: petugas sosio-medik b. Asesmen fisik: dokter/perawat. c. Asesmen psikis: dokter/perawat/psikolog-psikogeriatris. d. Asesmen fungsional/disabilitas: dokter/terapis rehabilitasi. e. Asesmen psikologik: dokter-psikolog/psikogeriatri. Dengan tata cara asesmen geriatric yang terarah dan terpola, maka kemungkinan terjadinya "mis/under diagnosis" yang sering didapatkan pada praktik geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin. Pelaksanaan Asesmen Geriatri a. Anamnesis 1) Identitas penderita 2) Anamnesis tentang obat 3) Penilaian sistem Perlu dilakukan juga allo-anamnesis dari orang/keluarga yang merawatnya sehari-hari, meliputi: 1) Ananmnesi tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan 2) Anamnesis tentang berbagai gangguan yang didapat 3) Riwayat tentang problema utama geriatri (sindrom geriatri) b. Pemeriksaan fisik 1) Pemeriksaan vital sign dengan pemeriksaan tekanan darah dalam keadaan tidur, duduk, dan berdiri masing-masing selang 1-2 menit untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik. 2) Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem a) Pemeriksaan saraf kepala b) Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut c) Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis d) Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan seterusnya sampai pada pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, kulitintegumen.

BAB II STROKE HEMORAGIK

BAB II STROKE HEMORAGIK BAB II STROKE HEMORAGIK 2.1 Definisi Stroke (Penyakit Serebrovaskuler) adalah kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Stroke bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TEORI 1. Lanjut Usia (Lansia) Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 yang termuat dalam pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 tahun, tidak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Bladder Retention Training 1.1. Defenisi Bladder Training Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. Aktivitas Fisik a. Definisi Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar dan Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Berkemih Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini

Lebih terperinci

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI TIDUR Tidur suatu periode istirahat bagi tubuh dan jiwa Tidur dibagi menjadi 2 fase : 1. Active sleep / rapid eye movement (REM) 2. Quid

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global,

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat sangat sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, banyak stresor dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun, yakni mencapai 15,9% dan meningkat menjadi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun. Prevalensi

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Berdasarkan data dilapangan, angka kejadian stroke meningkat secara

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang

Lebih terperinci

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA Blok Urinary System Oleh: Kelompok 3 TRIGGER JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 Ny Sophia, usia 34 tahun, datang ke klinik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).

Lebih terperinci

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) Data menunjukkan bahwa ratusan juta orang di seluruh dunia menderita penyakit hipertensi, sementara hampir 50% dari para manula dan 20-30% dari penduduk paruh baya di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lanjut usia merupakan individu yang berada pada tahapan dewasa akhir yang usianya dimulai dari 60 tahun keatas. Setiap individu mengalami proses penuaan terlihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infark miokard akut mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibart suplai darah yang tidak adekuat, sehingga aliran darah koroner

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Remaja WHO mendefinisikan remaja (adolescent) sebagai individu berusia 10 sampai 19 tahun dan dewasa muda (youth) 15 sampai 24 tahun. Dua kelompok usia yang saling

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. NIKEN ANDALASARI KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR Niken Andalasari 1 Kebutuhan Istirahat dan tidur Istirahat sangat luas jika diartikan meliputi kondisi santai, tenang, rileks,

Lebih terperinci

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2. BLADDER TRAINING BLADDER TRAINING Bladder training biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan pola eliminasi urin (inkontinensia) yang berhubungan dengan dysfungsi urologik. Pengkajian : Manifestasi

Lebih terperinci

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke STROKE Penuntun untuk memahami Stroke Apakah stroke itu? Stroke merupakan keadaan darurat medis dan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Terjadi bila pembuluh darah di otak pecah, atau yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena adanya suatu proses ekstrakranium tanpa adanya kecacatan neurologik dan biasanya dialami oleh anak- anak.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai istilah bergesernya umur sebuah populasi menuju usia tua. (1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena penuaan populasi (population aging) merupakan fenomena yang telah terjadi di seluruh dunia, istilah ini digunakan sebagai istilah bergesernya umur

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

Penyakit pada Lansia. Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI

Penyakit pada Lansia. Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI Penyakit pada Lansia Gaya Hidup Aktif dan Proses Penuaan dr. Imas Damayanti, M.Kes FPOK-UPI Semua penyakit ada obatnya kecuali menjadi tua Patofisiologi Penyakit-penyakit yang Berhungan dengan Usia Lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari

KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR. Niken Andalasari KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR Niken Andalasari 1 Kebutuhan Istirahat dan tidur Istirahat sangat luas jika diartikan meliputi kondisi santai, tenang, rileks, tidak stress, menganggur,.. Namun tidak berarti

Lebih terperinci

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN FUNGSI PRIMER SALURAN PENCERNAAN Menyediakan suplay terus menerus pada tubuh akan air, elektrolit dan zat gizi, tetapi sebelum zat-zat ini diperoleh, makanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN TEORETIS BAB II TINJAUAN TEORETIS 2.1 Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke Stroke adalah berhentinya pasokan darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan gangguan pada fungsi otak (Smeltzer dan Bare, 2002). Kurangnya aliran

Lebih terperinci

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked Authors : Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE LEAF Book Bacaan ringkas & terpercaya & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE Oleh: Yudi Garnadi [FamiliaMedika] Hak cipta milik Yudi Garnadi

Lebih terperinci

Gejala Awal Stroke. Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah

Gejala Awal Stroke. Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah Gejala Awal Stroke Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah Bermula dari musibah yang menimpa sahabat saya ketika masih SMA di Yogyakarta, namanya Susiana umur 52 tahun. Dia sudah 4 hari ini dirawat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemasangan Kateter Urin Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman : 1. Pengertian Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam waktu mendatang jumlah golongan usia lanjut akan semakin bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan masalah medis yang serius karena dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat, kecacatan dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Kecacatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar. manusia yang termasuk kedalam kebutuhan dasar dan juga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar. manusia yang termasuk kedalam kebutuhan dasar dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang termasuk kedalam kebutuhan dasar dan juga universal karena umumnya semua individu dimanapun ia berada

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

EATING DISORDERS. Silvia Erfan EATING DISORDERS Silvia Erfan Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi di Indonesia rata-rata meliputi 17% - 21% dari keseluruhan populasi orang dewasa artinya, 1 di antara 5 orang dewasa menderita hipertensi. Penderita hipertensi

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran darah otak. Terdapat dua macam stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi 1. Definisi Hipertensi Menurut WHO menetapkan bahwa tekanan darah seseorang adalah tinggi bila tekanan sistolik (sewaktu bilik jantung mengerut) melewati batas lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologik yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Koroner dan penyakit Valvular ( Smeltzer, et., al. 2010). Gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN. Koroner dan penyakit Valvular ( Smeltzer, et., al. 2010). Gangguan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Gagal Jantung adalah ketidakmampuan Jantung untuk memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh. Kegagalan fungsi pompa Jantung ini disebabkan

Lebih terperinci

Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : A.

Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : A. Topik : Infark Miokard Akut Penyuluh : Rizki Taufikur R Kelompok Sasaran : Lansia Tanggal/Bln/Th : 25/04/2016 W a k t u : 09.30 A. LATAR BELAKANG Dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Asia saat ini terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti peningkatan konsumsi kalori, lemak, garam;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu gangguan disfungsi neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi mendadak akibat proses patofisiologi pembuluh darah. 1 Terdapat dua klasifikasi umum stroke yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebocoran urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk mengatasinya. Pada tahun 2001 Asia Pacific

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (defisit neurologik) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua

Lebih terperinci

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1 Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling

BAB I PENDAHULUAN. Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu penyakit dalam keluarga mempengaruhi jalannya suatu penyakit dan status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cerebrovaskular accident atau yang sering di sebut dengan istilah stroke adalah gangguan peredaran darah di otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak yang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total kematian di dunia. Pada tahun 2010, prevalensi stroke secara

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO PADA FOTO THORAX STANDAR USIA DI BAWAH 60 TAHUN DAN DI ATAS 60 TAHUN PADA PENYAKIT HIPERTENSI DI RS. PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka a. Kardiovaskuler Penyakit kardiovaskular adalah penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Karena sistem kardiovaskular sangat vital, maka penyakit kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa jumlah. jiwa dengan usia rata-rata 60 tahun (Bandiyah, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa jumlah. jiwa dengan usia rata-rata 60 tahun (Bandiyah, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%. Hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer sampai saat ini. Berdasarkan data dari Riskesdas (Pusdatin Kemenkes RI 2013), hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu) 14 (polidipsia), banyak kencing (poliuria). Atau di singkat 3P dalam fase ini biasanya penderita menujukan berat badan yang terus naik, bertambah gemuk karena pada fase ini jumlah insulin masih mencukupi.

Lebih terperinci

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kulia Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita Dosen : Yuliasti Eka Purwaningrum SST, MPH Disusun oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama.

BAB I PENDAHULUAN. dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh sirkulasi darah pada dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama. Peningkatan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. melebihi 140/90 mmhg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. melebihi 140/90 mmhg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Hipertensi adalah peningkatan tekanan diastolik dan sistolik yang melebihi 140/90 mmhg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu masalah kesehatan

Lebih terperinci

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol

OBAT KARDIOVASKULER. Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung. Kadar lemak di plasma, ex : Kolesterol OBAT KARDIOVASKULER Kardio Jantung Vaskuler Pembuluh darah Obat yang bekerja pada pembuluh darah dan jantung Jenis Obat 1. Obat gagal jantung 2. Obat anti aritmia 3. Obat anti hipertensi 4. Obat anti angina

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Obstruksi usus atau ilieus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Rancang Bangun Penelitian Jenis penelitian : observasional Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal Sembuh P N M1 U1n mg I mg II mg III mg IV mg V mg VI Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memompa dengan kuat dan arteriol yang sempit sehinggga darah mengalir

BAB I PENDAHULUAN. yang memompa dengan kuat dan arteriol yang sempit sehinggga darah mengalir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu meningkatnya tekanan darah di dalam arteri. Hipertensi dihasilkan dari dua faktor utama yaitu jantung yang memompa

Lebih terperinci