HUBUNGAN ANTARA TONSILITIS KRONIK DENGAN PENURUNAN KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA TONSILITIS KRONIK DENGAN PENURUNAN KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA TONSILITIS KRONIK DENGAN PENURUNAN KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALIA ADELINA DINA SORAYA G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

2 DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 BAB II. LANDASAN TEORI... 4 A. Tinjauan Pustaka Tonsil Tonsilitis Tonsilektomi Kualitas Hidup Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Kualitas Hidup B. Kerangka Pemikiran C. Hipotesis BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian vii

3 B. Lokasi Penelitian C. Subjek Penelitian D. Identifikasi Variabel E. Definisi Operasional Variabel Penelitian F. Instrumen Penelitian G. Cara Kerja H. Teknik Analisis Data BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Sampel B. Analisis Statistika BAB V. PEMBAHASAN BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

4 DAFTAR TABEL Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Levene s Test Tabel 5. Hasil Uji t-independent ix

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Boxplots Kualitas Hidup x

6 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD dr. Moewardi Lampiran 3. Informed Consent Lampiran 4. Kuesioner PedsQL Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian Lampiran 6. Distribusi Data Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Data Lampiran 8. Hasil Analisis Data Penelitian xi

7 ABSTRAK Alia Adelina Dina Soraya, G , Hubungan antara Tonsilitis Kronik dengan Penurunan Kualitas Hidup di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control yang dilaksanakan di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kualitas Hidup terkait kesehatan diukur menggunakan kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL.) Pengambilan sampel secara Simple Random Sampling. Penelitian ini diperoleh 30 data dan dianalisis menggunakan Uji normalitas data Shapiro-Wilk dan Uji t-independent melalui program SPSS 17.0 for Windows. Signifikansi yang digunakan adalah p < 0,005. Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan (1) rerata skor kualitas hidup pada penderita tonsilitis kronik sebesar 1.615,7 ± 325,6 dan untuk non tonsilitis kronik sebesar 2.532,3 ± 269,9 (2) hasil uji t-independent menunjukkan p = 0,000. Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara gejala klinis tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup penderita tonsilitis kronik lebih rendah dari non tonsilitis kronik. Kata Kunci: kualitas hidup, tonsilitis kronik iv

8 ABSTRACT Alia Adelina Dina Soraya, G , The Correlation between Chronic Tonsillitis with Decrease Quality of Life in Moewardi Local General Hospital Surakarta. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective: Find The Correlation between Chronic Tonsillitis with decrease Quality of Life Method: This analytic qualityative observational study uses case-control method, was held in the Ear Nose Throat (ENT) Clinic of Moewardi Hospital Surakarta. Subjects in this study are people with inclusion and exclusion criteria. Health Related Quality of Life (HR-QoL) was assessed using Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL). The sample data collecting is done by using Simple Random Sampling. This study obtained 30 datas and analyzed using data normality test with Shapiro-Wilk and t-independent test through SPSS for Widows. Significance was set at p < 0,005. Result: This research shows (1) a significant mean difference of Quality of Life for patient of Chronic Tonsillitis is 1.615,7 ± 325,6 and for without Chronic Tonsillitis is 2.532,3 ± 269,9 (2) the result of t-independent test is p = 0,000 Conclusion: There are a correlation between clinical symptoms chronic tonsillitis with a decreased quality of life. Quality of life from patient with chronic tonsillitis is lower than without chronic tonsilitis Keywords: Health Related Quality of Life (HR-QoL), chronic tonsillitis v

9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tonsilitis merupakan penyakit umum. Hampir semua anak di Amerika Serikat setidaknya mengalami satu episode tonsilitis. Antara 2,5% dan 10,9% anak merupakan carrier. Prevalensi rata-rata status anak sekolah carrier untuk Streptococcus group A, penyebab tonsilitis, adalah 15,9%. Anak-anak mencakup sekitar sepertiga dari episode peritonsillar abses diperkirakan di Amerika Serikat pada tahun Tonsilitis yang kambuh dilaporkan pada 11,7% anakanak Norwegia dalam satu penelitian dan diperkirakan dalam penelitian lain mempengaruhi 12,1% dari anak Turki. Riwayat keluarga atopi dan tonsilitis dapat memprediksi terjadinya tonsilitis pada anak-anak mereka (Shan, 2009). Prevalensi tonsilitis di Amerika Serikat adalah 7 per 1000 penduduk dan rata-rata prevalensi masyarakat Amerika Serikat adalah 1 pada 42 penduduk atau 0,70% dari 1,9 juta penduduk (Paradise dan Bluestone, 1995). Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun , prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan ( Farokah, 2007). 1

10 2 Gejala klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang (Soepardi et al., 2009). Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar menurun (Lipton,2002). Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan menelan dapak mengalami penurunan kualitas hidup (Hendradewi, 2006). Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakter fisik, mental, sosial dan emosional yang mencakup komplikasi dan efek terapi terhadap suatu penyakit. Kualitas hidup secara luas dapat menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukan. Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapatkan pengelolaan sesuai dengan penyakit tertentu (Loonen, 2001; Richadson,2001). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup. B. Perumusan Masalah Adakah hubungan tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia?

11 3 C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat berupa : 1. Memberikan informasi tentang bahaya dari tonsilitis kronik. 2. Mendapat gambaran kualitas hidup tonsilitis kronik.

12 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tonsil Tonsil adalah kelenjar getah bening di bagian belakang mulut dan tenggorok bagian atas. Mereka biasanya membantu menyaring bakteri dan kuman lain untuk mencegah infeksi pada tubuh (Kaneshiro, 2010). Massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan kriptus didalamnya (Soepardi et al., 2009). Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila faringal (adenoid), tonsila palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsila tuba termasuk kelompok tonsila keempat terletak di muara tuba auditiva pada faring. Ciri khas tonsil adalah permukaan epitelnya yang tertekan dan dikelilingi kelompok limfonodus (Lesson, 1995; Soepardi et al., 2009). a. Macam macam tonsil 1) Tonsila Palatina Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak pada fossa tonsilaris pada kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Pada bagian permukaan lateral ditutupi oleh kapsul tipis dan permukaan commit medial to user terdapat kripta-kripta(gray, 1992). 4

13 5 Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan median tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina major, arteri palatina asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring asenden dan arteri ligualis dorsal (Soepardi et al., 2009). 2) Tonsila Lingual Tonsila lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepoglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Tonsila lingualis mempunyai kripta kecil-kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina commit (Soepardi to user et al., 2009; Lesson et al., 1995).

14 6 3) Tonsila Faringea Tonsila faringea merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding belakang medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada tonsil palatina epitel permukaan berlipat-lipat akan tetapi tidak sampai membentuk kriptus. Epitel tampak sangat disebuk oleh limfosit. Pembesaran tonsil faringea, yang berakibat menyumbat ke jalur hidung, sering kali terjadi, yang dikenal sebagai adenoid(lesson et al., 1995). 4) Tonsila tuba Kadang-kadang tonsila tuba dianggap kelompok tonsila yang tersendiri. Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal tuba faringo-timpani (auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringea ke lateral. Tonsila tuba dilapisi epitel silindris berambut getar (Lesson et al., 1995). b. Respon imun tonsil Sebagian besar tonsil adalah organ sel ß dengan ß limfosit yang terdiri dari 50% - 65% semua limfosit tonsil. Sel T limfosit terdiri dari sekitar 40% dari limfosit tonsil dan 3% adalah sel plasma matang. Tonsil terlibat dalam menginduksi kekebalan dan mengatur produksi sekresi imunoglobulin. Tonsil yang baik berfungsi untuk perlindungan kekebalan saluran aerodigestive. Selain itu, terdapat kriptus dalam setiap tonsil yang ideal untuk mencegah benda asing dan membawanya ke folikel limfoid. Perkembangbiakan sel ß di commit pusat germinal to user tonsil sebagai respons terhadap

15 7 sinyal antigenik adalah salah satu fungsi tonsil paling penting. Kekebalan tonsil paling aktif antara usia 4 sampai 10 tahun. Involusi tonsil dimulai setelah pubertas, mengakibatkan penurunan populasi sel ß dan peningkatan relatif. Meskipun secara keseluruhan produksi imunoglobulin berkurang, tetapi masih cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis tonsil yang sehat. (Campisi dan Tewfik, 2003). Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu : 1) Respon imun tahap I 2) Respon imun tahap II 3) Migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin berbeda. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan stimulasi antigen lokal oleh limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL 2, IL-4, IL-6, TNFα, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β. Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang memungkinkan

16 8 terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA. IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripte. Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel T kemudian FH menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.

17 9 Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte (Nave et al., 2001). c. Fungsi tonsil Pembuluh darah memasok simpai dan septa tonsila, serta mendarahi jaringan limfoid. Tonsila tidak mempunyai pembuluh darah limfe aferen. Pleksus kapiler limfe terdapat di sekitar jaringan limfoid dan bermuara ke pembuluh darah limfe eferen. Tonsila yang mencapai perkembangan maksimum pada masa kanak-kanak dan kemudian menyusut, membentuk lingkaran jaringan limfosid yang terputus-puts di sekeliling faring. Tonsil turut serta dalam pembentukan limfosit dan membantu melindungi tubuh terhadap serangan bakteri, virus, dan protein asing lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya, protein asing (antigen) merangsang pembentukan zat anti dalam sel plasma, yang berasal dari limfosit. Di samping itu, kerusakan epitel tampak memudahkan masuknya mikroorganisme dan sering kali tonsila diketahui sebagai tempat masuknya (pintu gerbang) infeksi (Lesson et al., 1995).

18 10 2. Tonsilitis Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/gerlach s tonsil). Radang tenggorok merupakan salah satu penyebab tonsilitis (Soepardi et al., 2009). Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau bekerja. Definisi berulang mungkin agak berbeda, tetapi kriteria yang digunakan baru-baru ini sebagai ukuran keparahan adalah 5 atau lebih dari episode yang cocok dari gejala tonsilitis per tahun, gejala berulang setidaknya satu tahun, dan episode yang menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi normal (Kvestad, 2011). Tonsil bisa menjadi sangat menghawatirkan oleh karena infeksi bakteri atau virus sehingga dapat membengkak dan menjadi radang, sehingga dapat menyebabkan tonsilitis. Infeksi terjadi di tenggorokan dan daerah sekitarnya, menyebabkan radang di faring (Kaneshiro, 2010). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus B hemolitikus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyrogen sebagai penyebab

19 11 terbanyak, selain itu dapat juga disesbabkan oleh Corybacterium diphteriae, namun dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer et al., 2001). Tonsilitis dapat diklasifikasikan dalam komplikasi supuratif dan non supuratif. Komplikasi non supuratif termasuk demam berdarah, demam rematik akut, dan pasca-streptokokus glomerulonefritis. Komplikasi supuratif termasuk peritonsillar, retropharyngeal parapharyngeal dan pembentukan abses. Demam scarlet adalah tonsilitis akut sekunder atau Streptococcus faringitis dengan produksi endotoksin oleh bakteri. Tanda-tanda klinis termasuk ruam eritematosa, limfadenopati parah, demam, takikardia, dan eksudat kuning diatas eritematosa tonsil. Demam reumatik akut adalah sindrom yang terdapat Streptococcus group A. Faringitis selama satu sampai empat minggu. Abses peritonsillar paling sering terjadi pada pasien dengan tonsillitis berulang atau tonsilitis kronik yang tidak diobati. Penyebaran infeksi dari superior pole dari tonsil dengan nanah antara dasar tonsil dan kapsul ( Campisi dan Tewfik, 2003). a. Tonsilitis Akut Tonsilitis bakterialis supuratif akut paling sering disebabkan oleh Streptococcus B hemolitikus group A, meskipun Pneumococcus, Staphylococcus, dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan(adams et al., 1997). Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, commit sel-sel to user epitel yang telah mati, dan bakteri

20 12 patogen dalam kripta (Soepardi et al., 2009). Mungkin adanya perbedaan dalam strain atau virulensi organisme dapat menjelaskan variasi dari fase-fase patologis berikut: 1) Peradangan biasa daerah tonsil saja 2) Pembentukan eksudat 3) Selulitis tonsila dan daerah sekitanya 4) Pembentukan abses peritonsilar 5) Nekrosis jaringan (Adams et al., 1997). Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bentuk detritus ini juga melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo membrane) yang menutupi tonsil. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus dan tampak sebagai bercak kuning (Soepardi et al., 2009). Manisfestasi klinis. Suhu tubuh naik sampai 40 o C. Rasa gatal/kering di tenggorok, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila laring terkena suara akan menjadi serak (Mansjoer et al., 2001). Pada pemeriksaan tonsil dalam keadaan dini menunjukkan pembesaran, hipervasikularisasi, dan sebagian tertutup oleh eksudat putih keabu-abuan yang mudah diangkat (Ballenger, 1994). Masa inkubasi 2-4 hari.

21 13 Terapi pengobatan tonsilitis ini adalah antibiotika spektrum lebar, penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan (Soepardi et al., 2009). Pada anak sering menimbulkan kompilkasi otitis media akut, sinusitis abses peritonsil, abses para faring, bronkitis, glomerulonefritis, miokardiatis, artritis serta septikemia akibat infeksi vena jugularis interna. Akibat hipertrofi akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) (Soepardi et al., 2009). b. Tonsilitis Kronik Tonsilitis kronik umumnya merupakan penyakit pada orang dewasa. Mungkin terdapat atrofi fisiologis dari tonsil tanpa gejala (Ballenger,1994) Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, berbagai jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al., 2009). Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat, mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti commit dengan to user pengobatan dan serangan yang

22 14 berulang setiap enam minggu hingga 3 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Kuman penyebab tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus viridans. Streptococcus B hemolitikus group A merupakan kuman patogen yang sering dijumpai dan berhubungan dengan risiko demam rematik dan glumerulonefritis. Insidensi dari tonsilitis oleh karena Streptococcus B hemolitikus group A paling tinggi pada umur 6-12 tahun (Shields dan Deskin, 2002; Amarudin dan Christanto, 2007). Patologi terjadi karena proses peradangan berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi et al., 2009). Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya tidak berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan (Ballenger,1994). Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering dari semua radang tenggorok. Gejala klinis :

23 15 1) Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan 2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas badan subfebris, sakit pada otot dan persendian. 3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Soepardi et al., 2009). Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi. Menurut Brodsky diklasifikasikan menggunakan perbandingan lebar tonsil dengan lebar orofaring sebagai berikut : (Shields dan Deskin, 2002). 1) Tonsil T1 : kurang dari 25% menempati orofaring 2) Tonsil T2 : 25-50% 3) Tonsil T3 : 50-75% 4) Tonsil T4 : lebih dari 75% Menurut Mac Kenzy tonsil dapat dukualifikasikan sebagai berikut : (Prijanto, 1997) 1) Tonsil T1 : pembesaran ¼ jarak arkus anterior uvula 2) Tonsil T2 : pembesaran ½ jarak arkus anterior uvula 3) Tonsil T3 : pembesaran ¾ jarak arkus anterior uvula Jika gejala mengganggu pasien dan berulang dengan selang waktu yang sering walaupun terapi commit sudah to user adekuat, atau pasien mempunyai

24 16 tanda infeksi pada daerah yang jauh dalam tubuh yang disebabkan oleh fokal infeksi di tonsil, untuk itu dapat dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi (Ballenger,1994). Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorok 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut (Hatmansjah, 1993). Penatalaksanan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorok sehari-hari, dan usaha membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronik atau berulang (Adams et al., 1997). 3. Tonsilektomi. Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina. Tonsilektomi tindakan operasi yang sering dilakukan pada anak-anak (Shields dan Deskin, 2002). Tonsilektomi salah satu prosedur paling umum dilakukan pembedahan di Amerika Serikat. Tonsilektomi pada orang dewasa telah direkomendasikan untuk tonsilitis berulang, tonsilitis kronik, atau dengan keadaan Streptokokus carrier. Selain itu, berbagai kriteria untuk diagnosis tonsilitis kronik telah digunakan, tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan (Bhattacharyya et al., 2001). Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan,

25 17 baik awam maupun profesi. Bagi yang kontra, tonsilektomi dianggap dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh (Sakka et al., 2011). Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang pasti untuk tonsilektomi pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan pendapat tentang indikasi prosedur ini pada orang dewasa. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode tonsilitis berulang, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronik atau abses peritonsil. Indikasi absolut dari tonsilektomi adalah : a. Timbulnya cor pulmunale b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan sekitarnya Indikasi relatif merupakan seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus B hemolitikus grup A. Menurut The American Academy of Ortolaringology Head and Neck Surgery Clinical indicators Compendium tahun 1995 : a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapat terapi adekuat

26 18 b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan angguan pertumbuhan orofasial c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale d. Rinitis adn sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang berhasil hilang dengan pengobatan. e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan f. Tonsilitis berulang yang di sebabkan streptokokus B hemolitikus grup A. g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan h. Otitis media efusa/otitis media supuratif (Soepardi et al., 1997). Tonsilektomi secara umum merupakan operasi yang aman, namun dokter bedah harus mengenali potensi komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi tonsilektomi : a. Mortalitas. Pratt melaporkan bahwa mortalitas dari tonsilektomi, jika dilakukan ahli bedah dan anestesiolog yang berpengalaman adalah 0,006%. Penyebab kematian sama banyak di antara anestesi, henti jantung dan perdarahan. b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien bahwa kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan pada waktu operasi. Jika timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam

27 19 setelah operasi. Juga terdapat peningkatan insiden kira-kira pada hari 5-7 pasca operasi karena mengendurnya ikatan. c. Abses paru merupakan komplikasi dari tonsilektomi yang jarang terjadi yang disebabkan oleh apirasi darah dan debris atau infeksi yang sudah ada sebelumnya dan manifestasi pasca operasi (Ballenger, 1994). d. Komplikasi lainya adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia. (Hermani et al., 2004). 4. Kualitas Hidup Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang mempengaruhinya seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah di bidang kedokteran digunakan istilah kualitas hidup terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) (Fayers and Machin, 2007). Dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, konsep yang berhubungan dengan kualitas hidup terkait kesehatan mengacu pada orang atau kelompok dengan kesehatan fisik dan mental yang dinamis dari waktu ke waktu. Dokter sering melakukan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur dampak penyakit kronis serta commit pengobatannya to user pada kondisi psikologis serta

28 20 integritas biologis pasiennya untuk lebih memahami bagaimana dampak suatu penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Demikian pula, lembaga kesehatan masyarakat profesional, menggunakan kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur efek dari berbagai gangguan, cacat jangka pendek dan jangka panjang, dan penyakit pada populasi yang berbeda. Pelacakan kualitas hidup terkait kesehatan di populasi yang berbeda dapat mengidentifikasi kelompok dengan kesehatan fisik atau mental untuk kemudian dapat membantu kebijakan panduan atau intervensi untuk meningkatkan kesehatan (CDC, 2010; Fallowfield, 2009). Kualitas hidup merupakan suatu pengertian multidimensional yang sampai saat ini belum ada definisi yang secara universal diterima. Definisi kualitas hidup diambil dari definisi sehat menurut WHO. Sehat adalah keadaan baik atau sejahtera secara fisik, mental, sosial dan bukan sematamata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sehat menurut Undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992 adalah kesejahteraan baik badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi ( Depkes RI, 1992). Tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Silitonga, 2007). Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional. Kualitas hidup terkait kesehatan mencakup evaluasi subyektif tentang

29 21 dampak dari penyakit beserta pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan yang hendak dicapai seseorang. Sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian objektif dari kemampuan fisik dan emosional seseorang (Haan, 1993). Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut : a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat. b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi. c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari, komunikasi, kemampuan kerja. d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja (Hermann, 1993). Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subjektif, multidimensional dan dinamis. Subjektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh penderitanya, berarti berasal dari sudut pandang penderitanya. Bersifat

30 22 multidimensional karena kualitas mencakupi berbagai aspek kehidupan penderita secara fisik, kemampuan fungsional, keadaan emosi dan sosial. Bersifat dinamis, hal ini disebabkan sering terjadinya perubahan dalam perjalanan waktu dan situasi (Eiser, 1997; Kaplan, 2002 ). Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: a. Kondisi global, berupa kebijakan pemerintah dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan perlindungan pada anakanak. b. Kondisi eksternal, meliputi tempat tinggal, status ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang tua. c. Kondisi interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga, teman sebaya d. Kondisi personal, meliputi dimensi fisik, mental, dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan anak. Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) merupakan salah satu instrument untuk mengukur kualitas hidup anak. PedsQL mempunyai 2 model: generik dan spesifik PedsQL generik didesain untuk digunakan pada berbagai penyakit anak, instrumen ini dapat membedakan kualitas hidup anak sehat dengan anak yang menderita suatu penyakit kronik. PedsQL spesifik dikembangkan untuk mengukur kualitas hidup secara spesifik suatu penyakit (Varni, 1999).

31 23 Konsep PedsQL generik adalah menilai kualitas hidup sesuai dengan persepsi penderita terhadap dampak penyakit dan pengelolaan pada berbagai bidang penting kualitas hidup anak, terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8 pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan), kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara menyeluruh (1 pertanyaan). Sedangkan konsep PedsQL spesifik terdiri atas 37 pertanyaan: fisik (5 pertanyaan), emosi (4 pertanyaan), sosial (3 pertanyaan), sekolah (3 pertanyaan) dan 22 pertanyaan pendek tentang spesifik penyakit (Varni, 1999). Kehandalan masing-masing instrument ini ditunjukkan dengan konsistensi internal yang baik, dengan koefisien alpha secara umum antara 0,70-0,92. PedsQL genrik dan spesifik praktis digunakan pengisian pertanyaan memerlukan waktu 10 menit, rasio kesalahan data kira-kira 001, penilaian sangat mudah memberi nilai 0-4 pada setiap pertanyaan dan di konversikan dalam skala untuk interprestasi standar (Varni, 1999). 5. Hubungan tonsilitis kronik dengan kualitas hidup Pada tonsilitis kronik telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL- 1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4 (Agren et al., 1995). Kualitas hidup pasien dewasa terhadap tonsilitis kronik adalah multidimensi. Tonsilitis kronik merupakan salah satu penyakit

32 24 otorhinolaryngological yang paling umum dan tonsilektomi merupakan tindakan operasi tersering dalam mengobati tonsilitis. Faktor penentu kualitas hidup pasien dengan tonsilitis kronik multidimensi terutama setelah hasil terapi bedah dari intervensi terapeutik merupakan faktor utama yang terkait dengan perubahan kualitas hidup dalam pasien. Tidak ada definisi standar kualitas hidup, tetapi pelayanan kesehatan sepakat bahwa kualitas hidup harus diukur dari perspektif pasien. Sebuah hasil yang positif untuk peningkatan kualitas hidup pasien terutama tergantung pada pengurangan jumlah dan frekuensi gejala, kunjungan dokter, penggunaan antibiotik dan juga, secara tidak langsung, pada penghematan keuangan jangka panjang (Skevas et al., 2010). Di luar negeri penelitian kualitas hidup anak untuk tonsilitis kronik telah dipublikasikan antara lain oleh Howel et al.(2002), menganalisa 1190 orang tua yang anaknya menderita tonsilitis kronik, dengan hasil seorang anak yang menderita penyakit ini akan berdampak pada seluruh keluarganya. Anak yang mengalami gangguan tidur dan sekolah yang akhirnya memberikan dampak sosial, emosional dan keluarga. Status kesehatan dan kualitas hidup anak yang menderita tonsilitis kronik telah di teliti memakai Child Health Questionaire version PF 28, secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan anak sehat (Stewart et al., 2000). Kualitas hidup penderita adenotonsilitis kronik oleh karena Obstructive Sleep Disorder hampir 90% mengalami peningkatan 4 sampai 5 minggu setelah tonsilektomi (de Serres, 2000).

33 25 Di samping tonsilitis kronik menurunkan kualitas hidup penderitanya, rangsangan bakteri yang terus-menerus terhadap tonsil menyebabkan imunitas tertekan karena menurunnya respon imunologis limfosit darah tepi dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen (Mubarika,1995). Gangguan fungsi normal pada pasien penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan menelan dapat mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan dan kehilangan waktu belajar atau bekerja (Hendradewi, 2006).

34 26 B. Kerangka Pemikiran Tonsil Tonsilitis Penyebab tonslitis Tonsilitis kronik Komplikasi Gejala dan tanda Terapi Kualitas hidup C. Hipotesis Terdapat hubungan antara gejala dari tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup.

35 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan yang paling sering digunakan karena secara metodelogik paling mudah dilakukan dan hanya diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurrahman, 2004). B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta C. Subjek Penelitian 1. Populasi Sumber Pasien yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta. 2. Besar Sampel Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan patokan umum rule of thumb. Yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak minimum 30 pasien setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya 30 sampel tersebut akan dibagi menurut jumlah kelompok penelitian, sehingga masing-masing kelompok terdiri atas 15 sampel (Murti, 2010). 27

36 28 3. Kriteria Inklusi a. Penderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun. b. Memenuhi diagnosis tonsilitis kronik. 1) Gejala lokal : rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan. 2) Gejala sistemik : perasaan tidak enak badan, malaise, sakit kepala, panas subfebris. 3) Tanda klinis : tonsil hipertropi atau atrofi, pembengkakan kelenjar limfe regional, kriptus membesar dan terisi detritus, hiperemis. c. Bersedia mengikuti penelitian. 4. Kriteria eksklusi Penderita mempunyai penyakit sinusitis kronik, rhinitis alergi dan otitis media kronik. 5. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah berdasarkan peluang (Simple Random Sampling). Dengan cara mengurutkan data berdasarkan urutan registrasi. Kemudian diambil sebanyak Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian cross sectional bersifat analitis dilakukan dengan menggunakan kuesioner/angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna dengan tujuan mencari informasi yang lengkap mengenai suatu maslah dari responden tanpa merasa

37 29 khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan, selain itu responden mengetahui informasi tertentu yang diminta (Riduwan, 2003). 7. Rancangan Penelitian Populasi Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Sampel Tonsilitis kronik ( + ) Tonsilitis kronik ( - ) kualitas hidup kualitas hidup Analisis data

38 30 D. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas: Frekuensi penderita tonsilitis kronik 2. Variabel terikat: Kualitas hidup 3. Variabel luar: a. Dapat dikendalikan : usia b. Tidak dapat dikendalikan dan tidak diteliti : ekonomi orang tua E. Definisi Operasional Variabel 1. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila palatina yang berlangsung setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan yang dirasakan penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala, pembesaran kelenjar leher di submandibula yang menetap dan sakit. 2. Kualitas hidup untuk mengukur kualitas hidup penderita. Menggunakan PedsQL generik terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8 pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan), kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara menyeluruh (1 pertanyaan). Penilaian : a. 0 : tidak ada masalah b. 1 : hampir tidak ada masalah c. 2 : kadang-kadang ada masalah d. 3 : sering ada masalah e. 4 : selalu ada masalah

39 31 Interprestasi standart : a. 0 : 100 b. 1 : 75 c. 2 : 50 d. 3 : 25 e. 4 : 0 Nilai total dihitung dengan menjumlahkan nilai pertanyaan yang mendapat jawaban dibagi dengan jumlah pertanyaan pada semua bidang. Untuk menyamakan persepsi ditentukan: a. Hampir selalu : lebih dari 3 kali dalam seminggu b. Sering : 1 kali dalam seminggu c. Kadang-kadang : 1 kali dalam 2 minggu d. Hampir tidak pernah : 1 kali dalam 3 minggu e. Tidak pernah : dalam satu bulan terakhir tidak pernah Skala yang digunakan adalah variabel berskala numerik. F. Instrumen Penelitian Alat dan bahan 1. Lembar persetujuan mengikuti penelitian. 2. Peralatan. 3. Kuesioner PedsQL Generic Core Scale versi 4.0 Kuesioner ini digunakan untuk anak umur 2-4, 5 7, 8 12 dan tahun. Kuesioner untuk commit anak to 2-12 user tahun merupakan assisted delivery

40 32 questionnaire dimana jawaban diberikan didampingi oleh orang tua atau wali. Kuesioner untuk anak usia tahun merupakan assisted delivery questionnaire yang dijawab langsung oleh anak. 4. Kuesioner gejala tonsilitis kronik pada anak. G. Cara Kerja 1. Mendata penderita umur 5-15 tahun 2. Memilih subjek berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi melakukan random untuk mendapatkan sampel selama bulan Mei-Juni. 3. Melakukan informed consent kepada subjek yang akan diteliti, menjelaskan tentang tata laksana penelitian dan meminta izin. 4. Meminta orang tua penderita menjawab kuesioner PedsQL generik dan kuesioner karakteristik umum untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup 5. Menganalisis data. H. Teknik Analisis Data Statistik Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan teknik analisis statistik dengan uji t-independent.

41 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Sampel Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah pasien yang menderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun, bersedia menjadi responden penelitian kriteria kasus. Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang terdiri dari 15 responden dari kelompok pasien yang menderita tonsilitis kronik dan 15 responden dari kelompok yang tidak menderita tonsillitis kronik. Setelah melalui proses berdasarkan kriteria inklusi dan esklusi, didapatkan 30 responden. Selanjutnya dilakukan simple random sampling pada kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik. Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan No Kelompok Jumlah 1 Tonsilitis Kronik 15 Persentase (%) 50 2 Non Tonsilitis Kronik Total Sumber : Data primer,

42 34 Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin No Kelompok Jenis Kelamin Total Persentase (%) L P L P Total (%) 1 Tonsilitis Kronik ,3 46, Non Tonsilitis ,7 53,3 100 Kronik Sumber : Data primer, 2011 Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 anak (53,3%) dari 15 anak. Pada kelompok non tonsiliitis kronik memiliki jumlah sampel perempuan sebanyak 8 anak (53,3%) dari 15 anak. B. Analisis Statistika Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji t- independent yang merupakan uji parametrik dengan program SPSS Uji ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu sama lain. Adapun syarat uji t-independent adalah data berskala numerik, terdistribusi secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2 kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal jika didapatkan nilai p > 0,05 pada masing-masing kelompok tersebut.

43 35 Uji normalitas yang dilakukan pada masing-masing sebaran data dapat dilakukan dengan cara deskriptif ataupun analitik. Cara analitik memiliki tingkat objektivitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan deskriptif sehingga dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk (Dahlan, 2005). Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk Data Nilai p Keterangan Tonsilitis Kronik 0,595 Distribusi normal Non Tonsilitis Kronik 0,348 Distribusi normal Sumber : Data primer, 2011 Tabel di atas menunjukkan sebaran data yang di uji normalitas datanya dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test, dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut terdistribusi secara normal, demikian sebaliknya bila nilai signifikan hitung < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Karena nilai p untuk nilai tonsilitis kronik adalah 0,595 (p > 0,05) dan non tonsilitis kronik adalah 0,348 (p > 0,05) maka sebaran data kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik tersebut normal.

44 36 Tabel. 4. Hasil Uji Homogenitas Data Uji Homogenitas Levene s Test F P Keterangan Tonsilitis Kronik 0,802 0,378 Data homogeny Sumber: Data primer 2011 Hasil uji homogenitas dengan Levene s Test dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut diasumsikan homogen, demikian sebaliknya bila signifikan < 0,05 data diasumsikan tidak homogen atau mempunyai perbedaan varians. Berdasarkan uji tersebut dapat diketahui bahwa F = 0,802 (p = 0,108). Karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara skor kualitas hidup antara penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata kualitas hidup penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik.

45 37 Gambar 1. Boxplots Skor Kualitas Hidup Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa rerata kualitas hidup tonsilitis kronik adalah 1.615,7 ± 325,6, sedangkan pada non tonsilitis kronik adalah 2.532,3 ± 269,9. Tabel 5. Hasil Uji t-independent Kelompok Mean Skor Kualitas Hidup STD Analisis Uji t- independent Tonsilitis Kronik Non Tonsilitis Kronik 1.615, ,3 325,6 269,9 p = 0,000 Sumber: Data primer 2011

46 38 Tabel di atas menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan rerata skor kualitas hidup yang jelas dari penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik. Di mana hasil uji t-independent p = 0,000. Jadi dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata nilai kualitas hidup penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis (Dahlan, 2005). Selain itu juga dapat dilihat bahwa rerata skor kualitas hidup penderita tonsilitis kronik lebih rendah dibandingkan dengan non tonsilitis kronik. Selain itu, karena p < 0,05 juga dapat diintepretasikan bahwa ada perbedaan pada taraf signifikasi 5%.

47 BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunana kualitas hidup. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila palatina yang berlangsung setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan yang dirasakan penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala. Berdasarkan data hasil penelitian pada Tabel 1 diketahui jumlah sampel yang dapat dianalisis dalam penelitian ini adalah 30 anak. Didapatkan dari anak usia antara 5-15 tahun yang terdiri dari 15 anak penderita tonsilitis kronik dan 15 anak non tonsilitis kronik. Penentuan batas usia antara 5-15 tahun dikarenakan periode tersering pada anak yang mengalami tonilitis kronik, selain itu anak juga mengalami masa pertumbuhan sehingga kondisi fisik, emosi dan psikologi secara umum hampir sama, rntang umur cukup lebar ini tidak mempengaruhi kualitas hidup. Pada tabel 2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin,. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 (53,3%) anak dan perempuan sebanyak 7 anak (46,7%) anak dari 15 anak. Pada kelompok non tonsiliitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 7 anak (46,7%) anak dan perempuan sebanyak 8 39

48 40 (53,3%) anak dari 15 anak. Pada penelitian ini tidak mengkategorikan jenis kelamin ke dalam variabel luar yang dapat dikendalikan. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Karena nilai p untuk nilai tonsilitis kronik adalah 0,595 (p > 0,05) dan non tonsilitis kronik adalah 0,348 (p > 0,05) maka sebaran data kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik tersebut normal. Sebaran yang di uji normalitas datanya dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test, dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut terdistribusi secara normal, demikian sebaliknya bila nilai signifikan hitung < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Pada uji homogenitas yang ditunjukkan hasilnya pada tabel 4, berdasarkan uji tersebut dapat diketahui bahwa F = 0,802 (p = 0,108). Karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara skor kualitas hidup antara penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik. Kualitas hidup berdasarkan yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), terdapat 5 bidang (domains) yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan Kualitas hidup pada anak secara umum meliputi beberapa faktor seperti kondisi global, kondisi eksternal, kondisi interpersonal dan kondisi personal. Berdasarkan Australian Centre for Asthma Monitoring (ACAM) faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah kondisi fisik, psikologi, sosial, ekonomi dan spiritual (ACAM, 2004). Untuk mengukur kualitas hidup pada anak menggunakan PedsQL. Penggunanan Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) pada penelitian ini dikarenakan sesuai dengan usia penderita yang akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Tonsil Tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. (Pearce, 2006). Tonsil berbentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tonsillitis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan amandel sering diderita anakanak. Kejadian tersebut sering membuat ibu-ibu merasa khawatir, karena banyak berita

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Metode ini merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua penyakit tenggorokan berulang. Kegagalan atau ketidaksesuaian terapi antibiotik pada penderita tonsilitis

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG LAPORAN PENDAHULUAN TONSILITIS - RUANG BAITUNNISA 1 RSI SULTAN AGUNG SEMARANG Disusun Oleh : AHMAD IKHLASUL AMAL 092110004 STASE KEPERAWATAN ANAK PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

Lebih terperinci

Tonsilitis. No. Documen : No. Revisi : Tgl. Terbit :

Tonsilitis. No. Documen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Pengertian Kode Penyakit SOP Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO 42 ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan ( Di Susun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EMBRIOLOGI TONSIL Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga sampai dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima pasang kantong

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, sekarang ini juga banyak sekali masalah-masalah kesehatan yang bermunculan di masyarakat. Dari hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 1 Andre Ch. T. Palandeng 2 R. E. C. Tumbel 2 Julied Dehoop 1 Kandidat Skrispi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN Steve Kojongian, Olivia Pelealu, Ronaldy Tumbel Bagian SMF Telinga Hidung

Lebih terperinci

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007 Oleh Departemen Kesehatan RI

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007 Oleh Departemen Kesehatan RI PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007 Oleh Departemen Kesehatan RI FARINGITIS AKUT Laporan Penyakit : 1302 ICD X : J.00-J.01 Faringitis adalah Inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring (dapat

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Keilmuan Disiplin Ilmu THT (Telinga Hidung Tenggoroan) 2. Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2012 sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Fisiologi Tonsil Untuk kepentingan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring dan laringofaring atau hipofaring 9. Nasofaring, bagian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga

Lebih terperinci

Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi

Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi ARTIKEL ILMIAH Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi disusun oleh: Rts. Vivit Sapitri G1A109040 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tonsil merupakan organ tubuh yang berfungsi mencegah masuknya antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang masuk akan dihancurkan

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI RONGGA MULUT Tonsil adalah satu struktur yang sangat penting dalam sistem pertahanan tubuh terutama pada protein asing yang dimakan atau dihirup. Sifat mekanisme pertahanan

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masa anak-anak (Vernacchio et al, 2004). Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa sekitar 9,3 juta

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Respirologi, Alergi dan Imunologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh memiliki kurang lebih 600 kelenjar getah bening, namun pada orang sehat yang normal

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Dan Fisiologi Tonsil Gambar 2.1 Anatomi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. ISPA a. Definisi ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar

Lebih terperinci

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8

Anatomi dan fisiologi tenggorokan Anatomi Tenggorokan 8 Anatomi dan fisiologi tenggorokan 2.3.1 Anatomi Tenggorokan 8 Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep DIABETES MELITUS TIPE 2 KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL Indeks CPITN Kadar Gula Darah Oral Higiene Lama menderita diabetes melitus tipe 2 3.2 Hipotesis

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PROLANIS 1. Pengertian Prolanis PROLANIS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegratif yang melibatkan peserta, Fasilitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut merupakan gambaran dari kesehatan seluruh tubuh, karena beberapa penyakit sistemik dapat bermanifestasi ke rongga mulut (Mays dkk., 2012). Stomatitis aftosa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang terletak pada kerongkongan dibelakang kedua ujung lipatan belakang mulut.tonsil berfungsi sebagai mencegah

Lebih terperinci

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI TIDUR Tidur suatu periode istirahat bagi tubuh dan jiwa Tidur dibagi menjadi 2 fase : 1. Active sleep / rapid eye movement (REM) 2. Quid

Lebih terperinci

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan

B A B 1 PENDAHULUAN. menginfeksi manusia. Menurut Tuula (2009), bakteri ini berada di kulit (lapisan B A B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Streptococcus β hemolyticus Grup A atau yang disebut juga dengan Streptococcus pyogenes merupakan salah satu bakteri patogen yang banyak menginfeksi manusia. Menurut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variabel Bebas Variabel Terikat Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Kejadian TBC Usia Produktif Kepadatan Hunian Riwayat Imunisasi BCG Sikap Pencegahan

Lebih terperinci

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik Jangan Sembarangan Minum Antibiotik Beragamnya penyakit infeksi membuat kebanyakan orang segera berobat ke dokter meski hanya penyakit ringan. Rasanya tidak puas jika dokter tidak memberi obat apapun dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien rawat jalan yang memiliki penyakit infeksi bakteri pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular. Penyakit asma telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan beberapa indicator telah menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menyusui atau dalam bahasa asing disebut breasting adalah pemberian air

BAB I PENDAHULUAN. Menyusui atau dalam bahasa asing disebut breasting adalah pemberian air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menyusui atau dalam bahasa asing disebut breasting adalah pemberian air susu ibu sebagai makanan alami yang disediakan untuk bayi. Menyusui banyak manfaatnya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A.

BAB II KONSEP DASAR A. BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Tonsillitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel (Reeves, 2001). Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil yang terjadi karena virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan. secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan. secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Embriologi Tonsil Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris di antara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016

ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI JUNI 2016 ABSTRAK PROFIL PIODERMA PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI 2015- JUNI 2016 Pioderma merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman staphylococcus, streptococcus,

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1 Mengapa Kita Batuk? Batuk adalah refleks fisiologis. Artinya, ini adalah refleks yang normal. Sebenarnya batuk ini berfungsi untuk membersihkan tenggorokan dan saluran napas. Atau dengan kata lain refleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang bersifat akut, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

Lebih terperinci

Tonsilofaringitis Akut

Tonsilofaringitis Akut Tonsilofaringitis Akut Faringitis merupaka salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan derajat beratnya penyakit. Tonsilofaringitis

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan tidur (Kryger, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan tidur (Kryger, 2005). BAB 1 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa hidup kita dihabiskan dengan tidur (Kryger, 2005). Tidur diperlukan untuk memulihkan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif.

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh (Nugroho, 2007). Semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016

ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016 Prevalensi kanker kepala dan leher (KKL) di Indonesia cukup tinggi. Kanker kepala dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan bidang kesehatan menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

ABSTRAK ANALISIS KADAR INTERFERON GAMMA PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN BUKAN PENDERITA TUBERKULOSIS

ABSTRAK ANALISIS KADAR INTERFERON GAMMA PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN BUKAN PENDERITA TUBERKULOSIS ABSTRAK ANALISIS KADAR INTERFERON GAMMA PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN BUKAN PENDERITA TUBERKULOSIS Rina Lizza Roostati, 2008, Pembimbing I : Diana K. Jasaputra, dr., M.Kes. Pembimbing II : J. Teguh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telinga adalah organ penginderaan yang berfungsi ganda untuk pendengaran dan keseimbangan dengan anatomi yang kompleks. Indera pendengaran berperan penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand

FARINGITIS AKUT. Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand FARINGITIS AKUT Finny Fitry Yani Sub Bagian Respirologi Anak Bagian IKA RS M Djamil- FK Unand 1 PENDAHULUAN 2 1.DEFINISI Peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Jarang terjadi

Lebih terperinci