KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE"

Transkripsi

1 KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE RIKKY J. SIMANJUNTAK SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i

2 PERYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan skripsi yang berjudul : Keterkaitan Laju Eksploitasi Dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Rikky J. Simanjuntak C i

3 ii RINGKASAN Rikky J. Simanjuntak. C Keterkaitan Laju Eksploitasi Dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae. Dibimbing oleh M. Mukhlis Kamal dan Yunizar Ernawati. Ikan petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) merupakan salah satu sumberdaya ikan yang menjadi target eksploitasi penting karena bernilai ekonomis. Akibat penangkapan, populasi akan didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil dan berumur muda yang selanjutnya berpengaruh terhadap keragaan reproduksinya. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat eksploitasi ikan petek, mengetahui keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek serta mengeksplorasi keterkaitan tingkat eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek. Pengambilan sampel dilakukan dari bulan Mei-Juli 2009 di tiga tempat pendaratan ikan (TPI), yaitu TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan-Subang; TPI Labuan, Pandeglang-Banten; dan TPI Palabuhanratu, Sukabumi. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari hasil tangkapan nelayan. Data primer yang diperoleh meliputi panjang total, berat tubuh, dan gonad. Sementara data sekunder meliputi data-data hasil tangkapan, upaya penangkapan (perahu motor tempel) dan beberapa parameter lingkungan. Pengukuran panjang dan berat ikan sampel dilakukan di TPI dan juga di laboratorium. Pengukuran dan pengamatan aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kadar protein telur dilakukan di laboratorium. Aspek pertumbuhan dan laju eksploitasi dianalisis berdasarkan frekuensi panjang. Pendugaan koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L inf ) menggunakan program ELEFAN I. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan rumus Beverthon dan Holt berbasis data panjang, sedangkan laju mortalitas penangkapan diduga dengan rumus F =Z-M dan laju eksploitasi diduga dengan rumus E =F/Z. Untuk pendugaan potensi lestari (MSY) digunakan model surplus produksi Schaefer dan Fox. Ikan yang tertangkap selama penelitian berjumlah 652 ekor yang terdiri atas 264 ekor di Blanakan, 280 ekor di Palabuhanratu dan 108 ekor di Labuan. Kisaran panjang ikan petek yang tertangkap di Blanakan adalah mm, Labuan dengan kisaran mm dan di Palabuhanratu dengan kisaran mm. Laju eksploitasi di stasiun Blanakan 0,4802. Stasiun Labuan laju eksploitasinya adalah 0,5774 dan di stasiun Palabuhanratu 0,5695, serta nilai laju eksploitasi ini telah melebihi eksploitasi optimum 0,50. Pendugaan nilai MSY di stasiun Blanakan menggunakan model Schaefer dengan nilai MSY sebesar 753 ton/tahun. Di stasiun ii

4 iii Labuan dan Palabuhanratu menggunakan model Fox dengan nilai dugaan MSY sebesar 2245 ton/tahun dan 342 ton/tahun untuk masing-masing. Koefisien pertumbuhan (K) di stasiun Blanakan 0,72 pertahun, Labuan 0,59 pertahun, dan di Palabuhanratu 1,40 pertahun. Sementara panjang asimtotik (L inf ) di stasiun Blanakan adalah 222,08 mm, di Labuan 211,58 mm, dan di Palabuhanratu 190,58 mm. Pola pertumbuhan ikan L. equulus di stasiun Blanakan dan Labuan adalah allometrik positif dengan persamaan W = 1,175X10-5 L 3,0888 dan W = 1,049X10-5 L 3,1171 untuk masing-masingnya sedangkan di stasiun Palabuhanratu allometrik negatif dengan persamaan W = 5,841X10-5 L 2,7433. Faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ditemukan di stasiun Blanakan dan Labuan dan kondisi yang sebaliknya ditemukan di stasiun Palabuhanratu. Nisbah kelamin secara keseluruhan dan yang matang gonad tidak seimbang di tiga lokasi penelitian. Berdasarkan bulan nisbah kelamin berfluktuatif. Ikan L. equulus yang matang gonad lebih awal ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu dengan kisaran panjang mm, sedangkan di stasiun Blanakan ditemukan pada kisaran panjang yang lebih panjang yakni mm. Perkembangan gonad ikan L. equulus dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu awal pertumbuhan (TKG I), berkembang (TKG II), dewasa (TKG III) dan matang (TKG IV). Pola perkembangan oosit ikan L. equulus adalah synchronous dan pola pemijahannya termasuk total spawner. Nilai IKG tertinggi ikan jantan dan betina di stasiun Blanakan masing-masing ditemukan pada bulan Juli (0,78±0,26) dan bulan Juni (3,37±1,27). Di stasiun Labuan dan Palabuhanratu, IKG jantan tertinggi ditemukan pada bulan Juni masing-masing (0,64±0,37) dan (0,50±0,27) dan ikan betina pada bulan Juli dengan nilai IKG masing-masing (2,21±1,17) dan (1,59±0,43). Ikan L. equulus memijah berkali-kali dalam setahun dan diduga puncak pemijahan terjadi pada bulan Juni-Juli. Fekunditas ikan L. equulus ditemukan di stasiun Blanakan dengan jumlah ± butir, di stasiun Labuan ± butir dan di stasiun Palabuhanratu ± butir. Ukuran diameter telur terbesar ditemukan di stasiun Blanakan baik TKG III dan IV dengan ukuran masing-masing 0,31±0,077 mm dan 0,32±0,074 mm. Di stasiun Labuan berukuran 0,27±0,070 mm dan 0,30±0,074 mm untuk masing-masing TKG III dan IV sementara pada stasiun Palabuhanratu berukuran 0,27±0,072 mm dan 0,28±0,066 mm. Kadar protein telur di stasiun Labuan adalah 21,79% per/berat basah, di stasiun Blanakan 21,19% per berat basah dan di stasiun Palabuhanratu 19,70% per berat basah dan tidak terdapat hubungan antara ukuran induk dengan kadar protein telur. Berdasarkan hasil penelitian ini, keterkaitan eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi adalah eksploitasi yang tinggi menyebabkan ukuran ikan lebih kecil, kematangan gonad yang lebih awal, fekunditas yang lebih sedikit serta diameter telur yang lebih kecil. iii

5 iv KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE RIKKY J. SIMANJUNTAK C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 iv

6 v PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa NIM Program Studi : Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae : Rikky J. Simanjuntak : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 28 Desember 2009 v

7 vi PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih karunia, berkat dan penyertaaan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei- Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna perlu banyak masukan serta saran. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Januari 2010 Penulis vi

8 vii UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS, masingmasing selaku ketua dan anggota pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dana dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ridwan Affandi selaku dosen penguji dan Ir. Zairion, M.Sc selaku wakil komisi pendidikan program S1 atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan 3. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, dan masukan serta kesabarannya yang membimbing penulis selama kuliah 4. Pak Ruslan selaku staf Lab. Biologi Makro I (BIMA-I) yang telah banyak membantu selama analisis laboratorium. 5. Para staff Tata usaha MSP terutama Mba Widar atas arahan dan kesabarannya 6. Keluarga tercinta, Bapak, Mama, Kak Martha dan Bang Roy, abang-abangku Erickson dan Martin, adik-adikku Vera, Retno dan Eko atas segala doa, kasih sayang, dan motivasinya. 7. Natalina hasianku atas doa, cinta kasih dan ketulusan hatinya yang telah banyak mendukung dan menyemangati penulis. 8. Egg Team (Anhar, Ega dan Sade) atas suka duka, perjuangan, kerjasama dan semangatnya. 9. Teman-teman MSP 41, 42, 43, 44, tim asisten Fisiologi Hewan air, penghuni kosan Perwira 10 (P10), serta pihak -pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. vii

9 viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Pura, pada tanggal 19 Juli Penulis adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga Bapak Drs. Aminton Simanjuntak dan Ibu Dameria Br Sinaga. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 03 Tanjung Pura, Kabupaten Langkat (SUMUT) pada tahun , dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 3 Pematang Siantar, serta SMUN 1 Pematang Siantar pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK- IPB). Selama Mengikuti Perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air ( dan ) dan Ekologi Perairan ( ). Dalam kegiatan non akademik, penulis pernah aktif di Divisi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun , Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB tahun 2006 serta ikatan mahasiswa daerah Siantar tahun Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Keterkaitan Laju Eksploitasi dengan Keragaan Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Petek Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Famili Leiognathidae. viii

10 ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Aspek Biologi Ikan Petek Aspek Eksploitasi Sumberdaya Ikan Petek Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Aspek pertumbuhan (panjang-berat dan faktor kondisi) Aspek reproduksi Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad (TKG) Indeks kematangan gonad (IKG) Fekunditas Diameter telur Kualitas telur Aspek Eksploitasi dan Reproduksi METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Kerja Prosedur kerja di lapangan Prosedur kerja di laboratorium Identifikasi ikan contoh Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG Penentuan fekunditas dan diameter telur Pembuatan preparat histologis gonad Uji kadar protein Analisis Data Sebaran frekuensi panjang Analisis laju mortalitas dan potensi lestari (MSY) Laju mortalitas Potensi lestari (MSY) Aspek pertumbuhan dan reproduksi Hubungan panjang berat Faktor kondisi ix

11 x Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad (TKG) Indeks kematangan gonad (IKG) Fekunditas Kadar protein HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Blanakan Labuan Palabuhanratu Sebaran Kelompok Ukuran Hasil Tangkapan Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Hubungan Panjang-Berat Faktor Kondisi Nisbah Kelamin Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) betina Indeks Kematangan Gonad (IKG) Fekunditas Diameter Telur Kadar protein telur Alternatif pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

12 xi DAFTAR TABEL Halaman 1. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan L. equulus berdasarkan keadaan morfologi menurut Novitriana (2004) modifikasi Cassie in Effendie (1997) Komposisi tangkapan ikan petek (L. equulus) berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Hasil analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas ikan L. equulus dengan menggunakan program FISAT II di tiap lokasi penelitian Hasil analisis potensi lestari ikan petek di tiga lokasi penelitian berdasarkan model surplus produksi (Schaefer dan Fox) Hasil analisis hubungan panjang-berat ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian Faktor kondisi ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian Nisbah kelamin ikan petek (L. equulus) jantan dan betina secara keseluruhan dan yang matang gonad di tiap lokasi penelitian Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Kisaran panjang total, berat tubuh dan fekunditas ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian Kisaran nilai diameter telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian Nilai rata-rata kadar protein dalam gonad ikan petek (L. equulus) berdasarkan rata-rata panjang total, berat tubuh, berat gonad, fekunditas, diameter telur ditiap lokasi penelitian Nilai koefisien determinasi (r 2 ) kadar protein telur dengan berbagai parameter pada ikan petek (L. equulus) di tiap lokasi penelitian xi

13 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek (L. equulus) Ikan petek (L. equulus) Lokasi penelitian Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) yang tertangkap berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) jantan dan betina yang tertangkap berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli Sebaran nilai faktor kondisi (K) ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad (a) dan waktu penelitian (b) Nisbah kelamin ikan L. equulus secara keseluruhan (a) dan yang matang gonad (b) berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Struktur histologis gonad TKG I, II, dan III ikan L. equulus betina pada stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c) Struktur histologis gonad TKG IV pada bagian anterior, medium dan posterior pada stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c) Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan selang kelas panjang ditiap lokasi penelitian dari bulan Mei Juli Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Grafik indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan (a) tingkat kematangan gonad dan (b) waktu penelitian Ukuran panjang dan berat (a) dan fekunditas (b) ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli Hubungan fekunditas ikan petek (L. equulus) dengan panjang total (a) dan hubungan fekunditas dengan bobot tubuh (b) Grafik sebaran diameter telur ikan petek (L. equulus) pada tingkat kematangan gonad Sebaran kadar protein telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan panjang total (a), berat tubuh (b), berat gonad (c) dan diameter telur (d) di tiap lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli xii

14 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan petek di tiga lokasi penelitian Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Blanakan selama penelitian Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Labuan selama penelitian Panjang dan berat ikan L equulus di stasiun Palabuahanratu selama Penelitian Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Blanakan selama penelitian Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Palabuhanratu selama penelitian Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Labuan selama penelitian Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Blanakan selama penelitian Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Labuan selama penelitian Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Palabuhanratu selama penelitian Contoh perhitungan dalam penentuan sebaran ukuran panjang Sebaran frekuensi panjang ikan petek setiap bulan pengamatan di tiap lokasi penelitian Uji kehomogenan dua regresi bebas dengan analisis kovarian di tiap lokasi penelitian Grafik hubungan panjang-berat ikan L. equulus total dan berdasarkan lokasi penelitian Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan L. equulus berdasarkan lokasi penelitian Faktor kondisi ikan L. equulus jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan L. equulus berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Metode pembuatan preparat histologis gonad ikan L. equulus berdasarkan Angka et al. (1990) Gambar pengukuran panjang, berat tubuh, pembedahan dan Penimbangan gonad ikan L equulus xiii

15 xiv 20. Gambar alat-alat yang digunakan dalam analisis kadar protein telur Nilai kadar protein telur ikan petek berdasarkan panjang total, berat tubuh, berat gonad, fekunditas, dan diameter telur di tiga lokasi penelitian dari bulan Mei-Juli Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek di tiga lokasi xiv

16 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan petek merupakan sumberdaya ikan demersal yang hidup di perairan pantai sampai kedalaman 30 m dan biasanya tertangkap dengan alat tangkap trawl (pukat dasar), cantrang, dan pukat tepi (Genisa 1999). Ikan ini merupakan salah satu ikan yang banyak tertangkap dan telah banyak dikonsumsi serta harganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya (Bukhari 1996). Pada tahun 1979 setahun sebelum dihapusnya penggunaan trawl, ikan petek menempati urutan pertama dalam komposisi hasil tangkapan yaitu 30% dari total hasil tangkapan ikan demersal. Selanjutnya pada tahun 1986, persentasenya meningkat hingga 60% (Dwiponggo dan Badrudin 1980; Badrudin 1988 in Wejadmiko 2007). Berdasarkan data statistik perikanan, hasil tangkapan ikan petek tahun di Provinsi Banten pada Perairan Selatan Jawa lebih tinggi dari hasil tangkapan ikan demersal lainnya yakni antara ton/tahun dengan rata-rata hasil tangkapan ton/tahun. Berdasarkan data tersebut, ikan petek merupakan salah satu target eksploitasi penting. Penangkapan yang tidak terkendali dan berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur populasi, penurunan stok bahkan menyebabkan kepunahan. Pada kondisi perikanan yang masih belum dieksploitasi, komposisi populasi masih menyediakan secara proporsional ikan-ikan yang berukuran besar dan berumur tua. Akibat penangkapan, ikan-ikan kelompok ini berkurang dan populasi akan didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil dan berumur muda (Ricker 1975 in Widodo dan Suadi 2006). Bagenal (1971) menyatakan bahwa ikan-ikan yang berukuran besar dan tua akan menghasilkan telur-telur berukuran besar yang mengandung kuning telur yang lebih banyak dari telur-telur yang berasal dari induk yang berukuran kecil dan muda yang akan menyebabkan pertumbuhan larva lebih cepat dan lebih lama bertahan. Hal ini telah dikaji terhadap ikan trout (Salmo trutta) dan herring (Clupea harengus) serta mungkin terjadi pada spesies ikan lainnya. Keragaan reproduktif (reproductive performance) merupakan penampilan reproduksi yang ditunjukkan oleh suatu individu pada saat melakukan pemijahan.

17 2 Parameter seperti fekunditas, frekuensi pemijahan, berat gonad merupakan pertimbangan untuk mengkaji keragaan reproduktif (Babu et al. 2008). Penelitian mengenai dampak eksploitasi terhadap pertumbuhan dan keragaan reproduktif sangat jarang dilakukan di Indonesia akan tetapi di negara-negara Eropa sering dilakukan seperti pada penelitian Stevens et al. (2000) terhadap ikan hiu (Shark), pari (Ray), dan Chimareas. Di Indonesia, penelitian tentang sumberdaya ikan petek telah banyak dilakukan, seperti potensi penangkapan (Dwiponggo dan Badrudin 1980), aspek reproduksi (Novitriana 2004), kebiasaaan makan (Dewi 2005), serta komposisinya di berbagai Perairan Indonesia (Wejadmiko 2007). Penelitian ini mencoba mengkaji keterkaitan antara tingkat eksploitasi yang berbeda terhadap sumberdaya ikan L. equulus dan pengaruhnya terhadap keragaan pertumbuhan dan reproduksi. Untuk menunjukkan gambaran tingkat eksploitasi yang berbeda, lokasi penelitian dibagi tiga yaitu; Blanakan yang mewakili perairan Utara Jawa, Labuan yang mewakili perairan Barat Jawa (Selat Sunda) dan Palabuhanratu yang mewakili perairan Selatan Jawa. Dikarenakan aspek pertumbuhan dan reproduksi berperan dalam proses rekruitmen yang selanjutnya berpengaruh terhadap stok ikan maka studi ini perlu dilakukan. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya ikan petek yang berkelanjutan Perumusan Masalah Ikan petek merupakan salah satu sumberdaya ikan yang telah dieksploitasi dan menjadi target tangkapan nelayan. Eksploitasi yang berlebihan (overfishing) menyebabkan terjadinya perubahan struktur populasi, pengurangan biomassa, penurunan jumlah kelimpahan, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini selanjutnya akan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan. Penelitian mengenai keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi seperti perkembangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan kualitas telur masih sangat jarang dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbeda dan menggunakan spesies ikan petek yang sama. Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai tingkat eksploitasi, keragaan reproduktif dan pendugaan secara empiris terhadap

18 3 keberhasilan rekruitmen yang diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan ikan petek yang berkelanjutan. Sumberdaya ikan petek Tingkat eksploitasi Struktur populasi Keragaan pertumbuhan dan reproduksi Ukuran (panjang dan berat) Ukuran pertama memijah IKG dan TKG Fekunditas Diameter telur Kandungan nutrisi telur Pengelolaan sumberdaya ikan petek Gambar 1. Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek (L. equulus) 1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian adalah : 1. Mengetahui tingkat eksploitasi ikan petek. 2. Mengetahui pertumbuhan dan keragaan reproduksi ikan petek. 3. Mengeksplorasi keterkaitan antara laju ekploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya ikan petek yang berkelanjutan.

19 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Aspek Biologi Ikan Petek Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan petek adalah : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perciformes Famili : Leiognathidae Genus : Leiognathus Spesies : Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) Nama umum : Common ponyfish Nama sinonim : Scomber equula (Forsskal, 1775), Scomber edentulous (Bloch, 1785), Leiognathus argentus (Lacepede, 1803), Equula ensifera (Cuvier, 1835), equula caballa (Valenciennes, 1835), Equula edentula (Macley, 1881), Leiognathus obscura (Seale, 1901), Leiognathus edentulum (Jordan, 1903), Leignathus caballa (Jordan, 1908) (Weber dan de Beaufort 1931 in Dewi 2005). Nama Indonesia : Peperek Topang Nama lokal : Petek (Mayangan), dodok (Jawa), Papera (Ambon), bebete (Sulawesi Selatan), Petek kuning (Kalimantan Selatan), loba (Pulau Buton), peperek tjina (Jawa Barat, Jakarta), molokmolok atau lokmolok (madura) (Schuster dan Djadjadireja 1952; Pauly et al in Lisnawati 2004). Ikan petek (L. equulus) memiliki mulut yang kecil, miring ke bawah jika seluruhnya disembulkan akan membentuk tabung yang mengarah ke bawah. Jika mulut dalam keadaan terkatup, tulang rahang bawah miring membentuk sudut Kepala tidak memiliki sisik. Panjang tubuh kurang dari tiga kali tinggi. Ujung hidung tegak, penampang atas dari hidung hingga cekungan antara mata

20 5 melengkung, dan terdapat duri di bagian tengkuknya. Dada memiliki sisik sangat tipis dan cerah sehingga terlihat seperti tidak bersisik, kulit memiliki banyak lendir yang menyebabkan sulit untuk di pegang (Saanin 1984). Gambar 2. Ikan petek (L. equulus) (dokumentasi pribadi) Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa ikan L. equulus memiliki duri di kepala lebih panjang dari pada panjang diameter mata, lebar badan 1,7-1,9 kali lebih pendek daripada panjang baku, sembulan mulut mengarah ke bawah, duri di sirip punggung kedua lebih besar dari setengah lebar badan. Sirip anal berwarna kekuningan, sirip dorsal transparan, punggung sangat melengkung dan memiliki satu linea latelaris (LL). Selanjutnya James (1984) in Lisnawati (2004) menambahkan ikan ini memiliki ciri-ciri yaitu; sirip punggung memiliki delapan jari-jari keras diikuti oleh jari-jari lemah (D.VIII ), sirip ekor memiliki tiga jari-jari keras diikuti oleh jari-jari lemah (A III, 14-15). Panjang ikan ini dapat mencapai 22 cm umumnya cm (Genisa 1999). Ikan L. equulus seperti anggota famili Leiognathidae lainnya dapat memancarkan cahaya berwarna putih keperakan (Bioluminescence) yang dihasilkan oleh bakteri yang hidup bersimbiosis. Pada siang hari ikan ini mengeluarkan cahaya baur ke bawah yang dapat mengaburkan bentuk bayangan tubuhnya. Besarnya cahaya yang dipancarkan umumnya setara dengan intensitas cahaya di kedalaman

21 6 tempat ikan petek berada. Dengan adanya tingkah laku ini mengakibatkan ikan ini lebih terhindar dari pemangsanya (Pauly 1977 in Nontji 1987). Menurut Pauly (1977) in Wejadmiko (2007) ikan petek termasuk dalam famili Leiognathidae dan di Indonesia famili ini terdapat tiga genera, yaitu Leiognathus (terdiri dari 17 spesies), Secutor (dua spesies, yaitu S. ruconis dan S. insidiator) serta Gazza (satu spesies yaitu G. minuta). Sementara Widodo (1976) in Wejadmiko (2007) menyatakan bahwa di Indonesia ditemukan 12 spesies ikan petek yang tersebar di perairan dangkal, atau kurang dari 40 m. Ikan petek dari famili Leiognathidae hidup di perairan pantai sampai kedalaman 30 m, dekat permukaan (benthopelagic). Hidup pada wilayah tropis 30 0 LU LS yang memiliki kisaran suhu C. Ikan petek ditemukan di sekitar mulut sungai dan wilayah pesisir pantai berlumpur, sering di wilayah mangrove. Saat dewasa ditemukan di wilayah di dasar pantai biasanya pada kedalaman antara m. Juvenil-juvenilnya sering ditemukan di wilayah estuari dan terkadang memasuki daerah sungai saat terjadi pasang. Saat dewasa bersifat bergerombol dan aktif bergerak setiap hari. Makanan ikan petek umumnya berupa organisme bentik yang terdiri atas hewan invertebrata dan tumbuhan. Organisme-organisme tersebut meliputi polychaeta, crustacea kecil, ikan-ikan kecil, foraminifera, diatom, zooplankton seperti copepoda dan telur-telur ikan (Pauly 1977 in Saadah 2000). Ikan petek bersifat amphidromus, yaitu beruaya tidak untuk memijah tetapi untuk mencari makan (Nontji 1987; Genisa 1999). Penyebaran ikan famili Leiognathidae di dunia sangat luas meliputi kawasan Indo Pasifik Barat, Timur London, Laut Merah, Afrika Selatan, Teluk Benggala, Sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, Philipina, Taiwan, Pantai Utara Australia, ke Barat sampai Pantai Afrika Timur (Comoros, Seychelles, Madagaskar dan Mauritus), Teluk Persia, Fiji, Utara ke Pulau Ryukyu, Selatan Australia. Sementara itu, di Indonesia distribusi ikan petek tersebar hampir di semua wilayah perairan Indonesia meliputi Nias, Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Buton, Ambon, Ternate, Halmahera, selat Tiworo dan Arafuru. Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi ikan petek di Indonesia tersebar di pesisir Barat Daya Sumatera sampai ke Laut Timor (James 1984 dan Pauly et al in Lisnawati 2004; Genisa 1999).

22 Aspek Eksploitasi Sumberdaya Ikan Petek Luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta km 2 dengan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun dan total tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/tac) adalah 5,12 juta ton/tahun (80% dari MSY). Pada tahun 2006 produksi perikanan Indonesia mencapai 4,51 juta ton (70,469% dari MSY) yang masih memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan hingga mencapai TAC (MMAF dan JICA 2008). Namun, pada kenyataannya kondisi stok di berbagai wilayah perairan telah mengalami penangkapan berlebih (overfishing) seperti perairan Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan (Dahuri 2003). Menurut Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa gejala yang menandakan suatu perairan telah mengalami tekanan tangkap yang berlebih yaitu; terjadinya penurunan produksi perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort, CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, semakin jauhnya wilayah penangkapan, penurunan berat rata-rata ikan, semakin sedikitnya jumlah nelayan yang melaut, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap. Pada tahun 1993 untuk jenis ikan seperti tuna, cakalang, udang dan ikan demersal produksinya sudah melampaui TAC. Pada ikan demersal nilai MSY adalah ton/tahun dan TAC sebesar ton/tahun serta penangkapannya telah melebihi nilai TAC dan MSY yakni sebesar ton (Monintja et al in Dahuri 2003). Ikan petek merupakan salah satu jenis ikan demersal yang penangkapannya menggunakan alat tangkap seperti trawl (pukat dasar), cantrang dan sejenisnya serta berbagai macam pukat tepi. Ikan ini cukup digemari terutama di Pulau Jawa. Ikan ini dipasarkan dalam bentuk asin-kering dan segar (Genisa 1999). Menurut Nontji (1987) di Thailand ikan petek yang berukuran kecil lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat tepung ikan, pupuk, dan pakan ternak/bebek. Dikarenakan ikan petek bernilai ekonomis maka ikan ini telah menjadi target tangkapan nelayan. Pada tahun 1979 setahun sebelum dihapusnya trawl, pada usaha penangkapan ikan komersial ikan petek menempati urutan pertama dalam komposisi hasil tangkapan ikan demersal yaitu 30% dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 60% (Dwiponggo dan Badrudin 1980; Badrudin 1988 in Wejadmiko 2007).

23 8 Informasi mengenai berapa besar nilai MSY dan TAC dari ikan petek tersebut belum diketahui dengan pasti. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan informasi mengenai data ikan petek. Selain itu yang dimaksud dengan ikan petek terdiri dari beberapa jenis yang merupakan anggota dari famili Leiognathidae. Berdasarkan hasil penelitian Wejadmiko terhadap hasil tangkapan trawl berdasarkan kelompok komoditas di perairan Barat Sumatera menunjukan bahwa famili Leiognathidae merupakan famili paling dominan (urutan pertama) tertangkap yaitu 24,32% (2005) dan 32,54% (2006). Sementara komposisi jenis ikan petek yang tertangkap di perairan Barat Sumatera, pada tahun 2005 tercatat ada delapan jenis dan pada tahun 2006 tertangkap lebih banyak yaitu 13 spesies dan spesies L. bindus merupakan spesies paling dominan baik pada tahun 2005 (59,85%) maupun 2006 (49,74%). Laju penangkapan ikan petek di perairan Barat Sumatra pada tahun 2005 adalah 0,631 kg/jam dan dominan tertangkap pada kedalaman < 20 m. Pada tahun 2006 laju penangkapannya 2,745 kg/jam dan dominan tertangkap pada kedalaman m. Panjang rata-rata ikan petek (L. equulus) yang tertangkap adalah 15 cm dengan kisaran panjang 9,5-20,5 cm. Di perairan Tanjung Selatan (Kalimantan Selatan) ikan petek mendominasi hasil tangkapan nelayan selama musim muson tenggara dan menurun pada musim muson barat laut (Bianchi et al. 1996). Di perairan Selat Malaka, ikan-ikan dari famili Leiognathidae termasuk ikan petek (L. equulus) tertangkap dalam jumlah yang besar pada kedalaman m. Jumlah tersebut akan menurun seiring dengan menurunnya kedalaman (Pauly et al in Wejadmiko 2007). Widodo (1970) in Bukhari (1996) menyatakan sebaran ikan petek pada berbagai kedalaman Laut Jawa menunjukan bahwa ikan ini mempunyai nilai tangkapan tertinggi diantara jenis-jenis ikan demersal lainnya Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Aspek pertumbuhan (panjang-berat dan faktor kondisi) Pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu proses biologis yang dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat tubuh dalam periode waktu tertentu. Proses pertumbuhan di pengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor dalam (internal factor) dan faktor luar (external factor ). Dari kedua faktor tersebut faktor dalam sulit dikontrol seperti keturunan, umur, jenis kelamin, parasit, hormon, dan

24 9 penyakit sedangkan faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu perairan dan makanan. Di wilayah tropis, makanan merupakan faktor yang terpenting dari pada suhu perairan. Menurut Moyle dan Cech (1988) pertumbuhan terjadi karena adanya energi yang berlebih dari hasil metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme ini dikontrol oleh hormon pertumbuhan dan hormon steroid. Selain itu, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur air, tingkat oksigen terlarut dan ammonia, salinitas, dan periode sinar yang saling berinteraksi dengan faktor lainnya seperti derajat kompetisi, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan. Hubungan panjang-berat ikan didasarkan hukum kubik (berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya) dan disertai anggapan bentuk dan berat ikan tetap sepanjang hidupnya. Namun hubungan yang terjadi tidak demikian karena bentuk dan berat ikan berbeda-beda diakibatkan oleh banyak faktor. Berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = al b maka pertumbuhan memiliki dua pola yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik. Pertumbuhan isometrik (b=3) berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat sedangkan pertumbuhan allometrik (b 3) berarti pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik positif jika b > 3 yang berarti pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik negatif jika b < 3 yang berarti pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Nilai a dan b dari merupakan konstanta hasil regresi, sedangkan W adalah berat total ikan dan L adalah panjang total ikan. Untuk mendapatkan hubungan antara panjang dan berat ikan tersebut digunakan nilai koefisien korelasi jika mendekati 1 maka terdapat hubungan yang erat antara kedua variabel (Walpole 1992). Menurut Pauly et al. (1996) in Novitriana (2004) pola pertumbuhan ikan petek di Indonesia bersifat allometrik positif dengan nilai b = 3,6738. Pola pertumbuhan ikan L. equulus di perairan Pantai Mayangan bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari panjang) dengan rata-rata panjang tubuh mm (Novitriana 2004). Sementara itu di perairan Barat Sumatra kisaran

25 10 panjang ikan L. equulus adalah 9,5 20,5 cm dengan rata-rata 15 cm (Wejadmiko 2007), di perairan Selat Malaka pola pertumbuhan ikan L. splendens memperlihatkan pola pertumbuhan allometrik dan mencapai ukuran dewasa untuk pertama kali pada panjang 9 cm. Berdasarkan hasil penelitian di lokasi lain ikan L. splendens baik jantan maupun betina memiliki pola pertumbuhan isometrik. Pada panjang total yang sama berat ikan betina lebih besar dari pada ikan jantan dan panjang tubuh berkisar antara mm. Faktor kondisi Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan yang dinyatakan dengan angka-angka berdasarkan data panjang dan berat (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin mempengaruhi nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, hal ini memperlihatkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang baik dengan mengisi sel kelamin (cell sex) untuk proses reproduksinya dibandingkan dengan ikan jantan. Nilai faktor kondisi antara 1-3 menunjukkan bahwa tubuh ikan berbentuk kurang pipih (Effendie 1979). Faktor kondisi dapat dijadikan indikator kondisi pertumbuhan ikan dan dapat menentukan kecocokan lingkungan serta membandingkan berbagai tempat hidup. Variasi faktor kondisi tergantung pada kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, makanan, jenis kelamin, dan umur (Le Cren 1951 in Lumbanbatu 1979; Effendie 1979). Sementara itu, Lagler (1972) menyatakan bahwa dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi. Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1988 in Saadah 2000). Berdasarkan hasil penelitian Saadah (2000) di perairan Teluk Labuan bahwa faktor kondisi ikan L. splendens betina lebih besar dari ikan jantan. Sementara di perairan Pantai Mayangan, faktor kondisi ikan L. equulus jantan lebih besar daripada ikan betina dan berfluktuatif berdasarkan bulan, ukuran panjang, dan tingkat kematangan gonad (Novitriana 2004).

26 Aspek reproduksi Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina di dalam suatu populasi, dimana perbandingan 1: 1 (50% jantan dan 50 %) betina merupakan kondisi yang ideal (Bal dan Rao 1984). Namun pada kenyataannya terjadi penyimpangan dari pola 1:1 yang disebabkan olah pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, dan keseimbangan rantai makanan (Bal dan Rao 1984; Effendi 1997). Perbandingan jumlah jenis kelamin dapat dipakai dalam menduga keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat proporsi ikan jantan dan ikan betina. Charnov 1982 in Proestou et al. (2008) menyatakan keberhasilan reproduksi ikan betina dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan sedangkan keberhasilan reproduksi jantan dilihat dari jumlah telur yang dibuahi. Perbandingan jenis kelamin juga dapat mempelajari struktur populasi di dalam menduga kesimbangannya. Menurut Purwanto et al. (1986) in Novitriana (2004) menyatakan bahwa untuk mempertahankan populasi ikan diharapkan memiliki perbandingan ikan jantan dan ikan betina berada dalam kondisi seimbang atau ikan betina lebih banyak. Berdasarkan penelitian Novitriana (2004) bahwa Ikan L. equulus memiliki rasio kelamin yang berbeda antara jantan dan betinanya. Selanjutnya Saadah (2000) menyatakan bahwa ikan L. splendens di Teluk Labuan memiliki rasio kelamin tidak seimbang secara keseluruhan sedangkan rasio kelamin ikan jantan dan betina yang telah matang gonad adalah seimbang Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad adalah tahapan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara histologis dan morfologi. Dengan cara histologi, anatomi perkembangan gonad dapat terlihat lebih jelas dan akurat sedangkan dengan cara morfologi tidak akan sedetail cara histologi akan tetapi cara morfologi banyak dan mudah dilakukan dengan dasar mengamati morfologi gonad antara lain ukuran panjang gonad, bentuk gonad, berat gonad, dan perkembangan isi gonad (Effendie 1997). Syandri (1996)

27 12 menyatakan bahwa selama perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat kematangan gonad (TKG). Perkembangan gonad dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan hormon (Affandi dan Tang 2000). Marza (1938) dan Wallace dan Selman (1981) in Murua dan Saborido-Rey (2003) membagi tiga tipe perkembangan oosit, yaitu : (a) Synchronous, yaitu semua oosit yang ada di dalam ovarium mengalami tingkat kematangan yang sama. (b) Group-synchronos, yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan tingkat kematangan yang berbeda. (c) Asynchronous, yaitu ovarium yang mengandung oosit yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda dan proses oogenesis berlangsung setiap saat. Informasi mengenai tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan yang matang gonad dengan ikan yang belum matang gonad dari stok ikan di perairan, selain itu dapat mengetahui waktu pemijahan, lama pemijahan dalam setahun, frekuensi pemijahan dan umur atau ukuran ikan pertama kali matang gonad (Effendie 1979). Tingkat kematangan gonad dapat memberikan informasi atau keterangan apakah ikan akan memijah, baru memijah atau telah selesai memijah. Ukuran ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan. Kualitas makanan tergantung pada komposisi nutrisinya seperti lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin dan secara kuantitas ditunjukan ketersediaannya yang melimpah di alam. Ketersedian makanan yang banyak akan mengurangi persaingan mendapatkan makanan dalam populasi ikan (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang 2000). Ukuran matang gonad tiap spesies ikan berbeda-beda dan juga pada spesies yang sama jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad (Effendie 1997). Faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu, dan arus. serta faktor dalam seperti umur jenis kelamin,

28 13 perbedaan spesies, ukuran dan sifat-sifat fisiologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Umumnya, ikan dengan ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dan masa hidup yang lebih singkat akan mengalami kematangan gonad yang pertama dan umur yang lebih muda (Lagler et al. 1977). Berdasarkan penelitian Novitriana (2004) menyatakan bahwa ovarium ikan L. equulus mulai berkembang pada saat ikan berukuran 50 mm. Pada ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran panjang minimal 88 mm sedangkan pada ikan betina ukuran pertama kali matang gonad adalah 95 mm. Ikan jantan memiliki ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dari ikan betina. Selanjutnya Saadah (2000) menyatakan bahwa ikan L. splendens di Teluk Labuan ikan betina pertama kali matang gonad (TKG III) pada ukuran 79 mm dan ikan jantan (TKG III) pada ukuran 86 mm. Sementara di perairan Barat Daya Taiwan ikan L. equulus betina matang gonad pada saat panjang cagaknya 162 mm dan ikan jantan pada panjang cagak 158 mm (Fang Lee et al. 2005) Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad dapat menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan. Perubahan IKG erat kaitannya dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 1997). Pada saat belum terjadi pemijahan, sebagian besar energi hasil metabolisme digunakan untuk perkembangan gonad sehingga berat gonad bertambah dengan semakin matangnya gonad (Soenanthi 2006). Ikan yang mempunyai IKG kurang dari 20% dapat memijah berkali-kali dalam setahun (Bagenal 1978 in Sumassetiyadi 2003). Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan bahwa ukuran ikan mulai memijah dapat dilihat dengan perubahan IKG dari waktu ke waktu. Berdasarkan Penelitian Novitriana (2004) terhadap ikan L. equulus bahwa ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina dan pola pemijahan ikan petek tersebut adalah total spawner (melepaskan semua telur pada saat memijah).

29 Fekunditas Fekunditas merupakan jumlah telur masak ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah, fekunditas demikian dinamakan fekunditas mutlak atau fekunditas individu (Effendie 1997). Pengertian fekunditas lainnya adalah fekunditas relatif yang berarti jumlah telur persatuan panjang atau berat ikan yang umumnya digunakan sebagai indeks fekunditas (Royce 1972). Selain itu dikenal juga istilah fekunditas total yang artinya jumlah telur ikan yang dihasilkan selama hidupnya. Pada umumnya fekunditas dinyatakan sebagai jumlah telur di dalam ovarium sebelum pemijahan dengan asumsi bahwa hanya sejumlah kecil telur yang tidak diovulasikan. Menurut Wootton (1979) in Syandri (1996) berpendapat cara ini memberikan estimasi yang rendah, karena pada ikan yang memijah beberapa kali dalam setahun, perkembangan oosit dari stadium sebelumnya terjadi lebih cepat daripada stadium oosit yang akan dipijahkan. Oleh karena itu Hunter et al. (1992) in Syandri (1996) mengemukakan bahwa fekunditas adalah jumlah telur matang dalam ovarium yang akan dikeluarkan pada waktu memijah. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai fekunditas besar pada umumnya memijah di daerah permukaan sedangkan ikan yang memiliki fekunditas kecil biasanya melindungi telurnya dari pemangsa atau menempelkan telurnya pada tanaman atau substrat lainnya. Umumnya ikan yang menjaga telur (parental care) mempunyai fekunditas yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang melepaskan telurnya ke perairan dan tidak menjaganya (non parental care). Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungannya, dimana fekunditas ikan akan meningkat bila keadaan lingkungannya baik. Jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, umumnya ikan betina yang siap memijah akan menunda pengeluaran telurnya atau mengeluarkan telurnya dalam jumlah yang sedikit daripada biasanya (Sjafei et al. 1993). Perubahan fekunditas juga dipengaruhi ketersediaan makanan. Fekunditas mempunyai hubungan dengan umur, panjang atau bobot individu, dan spesies ikan. Pada umumnya individu yang pertumbuhannya cepat fekunditasnya juga lebih tinggi dibandingkan yang lambat pertumbuhannya pada ukuran yang sama (Effendie 1997). Selanjutnya ikan-ikan yang tua dan berukuran besar mempunyai fekunditas relatif yang lebih kecil dimana ikan-ikan berukuran besar dan berumur tua pertumbuhan tubuhnya lambat sehingga

30 15 proses perkembangan gonad juga cenderung lambat sehingga berpengaruh terhadap fekunditas. Oleh karena itu fekunditas maksimum terjadi pada golongan ikan-ikan yang masih muda (Effendie 1979). Bagenal (1978) in Syandri (1996) menyatakan bahwa pertambahan bobot dan panjang ikan meningkatkan fekunditas secara linear. Sebagai contoh pada ikan mas dengan panjang 15 cm memiliki fekunditas butir dan pada panjang 60 cm mempunyai fekunditas butir (Bardach et al in Syandri 1996). Secara tidak langsung suhu air dapat mempengaruhi fekunditas begitu juga dengan kedalaman air dan oksigen terlarut (Effendie 1997). Dari ketiga faktor tersebut suhu memiliki pengaruh yang lebih besar. Pada suhu yang rendah, terjadi penurunan konsumsi makanan sehingga fekunditas menjadi berkurang. Ikan L. splendens dengan panjang total mm dan berat 20,65-57,88 gram memiliki fekunditas berkisar antara butir (Saadah 2000). Selanjutnya Novitriana (2004) menyatakan bahwa ikan L. equulus di perairan Mayangan memiliki fekunditas berkisar butir dan dijumpai hubungan yang erat terhadap panjang total dan berat tubuh serta hubungan yang sangat erat terhadap berat gonadnya. Sementara di perairan Barat Daya Taiwan rata-rata fekunditas ikan L. equulus adalah ± ( Fang Lee et al. 2005) Diameter telur Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya dikarenakan terjadinya akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis yang menyebabkan telur dari ukurannya kecil menjadi besar (Utiah 2006). Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin besar dan bertambah berat, begitu pula dengan butir-butir yang ada di dalamnya. Menurut Effendie (1997), sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme ikan dimanfaatkan bagi keperluan perkembangan gonad dan gonadnya akan semakin besar baik ukuran maupun diameter telurnya. Semakin meningkat tingkat kematangan gonad maka diameter telur yang ada di dalam ovarium semakin besar pula. Diameter telur akan semakin besar pada waktu mendekati pemijahan yang seiring dengan meningkatnya TKG dan mencapai maksimum, setelah itu cenderung menurun (Solihatin 2007). Frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya (Prabu 1956

31 16 in Liana 2003) sedangkan larva pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semuanya (rata) menunjukan waktu pemijahan yang pendek, dan sebaliknya ukuran telur yang berbeda-beda di dalam ovarium menunjukkan pemijahan yang panjang dan terus menerus. Sebaran diameter telur pada tiap kematangan gonad akan mencerminkan pola pemijahan (Lumbanbatu 1979 in Liana 2003). Ikan laut memiliki ukuran telur lebih kecil dibandingkan dengan ikan air tawar. Ukuran telur dapat mempengaruhi ukuran larva yang dihasilkan dan juga berhubungan dengan kelangsungan hidup larva. Pada populasi ikan laut terdapat hubungan antara ukuran telur dengan ukuran ikan selama siklus hidupnya, hal ini didukung oleh proses rekruitmen (Chambers dan Leggett 1996). Diameter sel telur untuk setiap spesies ikan beragam. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chambers dan Leggett 1996; Scott 1979 in Syandri 1996). Telur-telur pelagis pada sebagian besar spesies memiliki ukuran diameter yang kecil biasanya diantara 0,7 mm dan 1,5 mm sedangkan ukuran telur yang lebih besar memiliki diameter antara 1,6 dan 2,6 mm (Russell 1976). Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva yang berukuran kecil yang dihasilkan dari telur yang berukuran kecil (Syandri 1996). Selanjutnya Nontji (1987) menyatakan kecepatan perkembangan embrio dipengaruhi oleh banyaknya kuning telur Kualitas telur Kualitas telur merupakan kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Faktor yang mempengaruhi kualitas telur adalah faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika salah satu faktor ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia dan akan menghasilkan telur yang tidak baik (abnormal). Adapun indikator-indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran telur dan kandungan kimia (Utiah 2006). Kualitas telur berhubungan dengan rekrutmen, dimana proses rekrutmen merupakan penambahan individu baru sehingga mempengaruhi jumlah stok di perairan. Proses rekrutmen merupakan imbangan dari adanya proses kematian alami dan kematian akibat penangkapan. Telur yang kualitasnya baik akan menghasilkan

32 17 larva yang baik dan sebaliknya larva yang buruk berasal dari telur dengan kualitas buruk. Perkembangan awal larva sangatlah dipengaruhi oleh keadaan telur. Larva yang baru menetas akan kesulitan menemukan makanannya di alam. Hal ini dikarenakan daya gerak larva yang lambat serta lebar bukaan mulut yang sangat kecil sehingga makanan sulit didapat sehingga larva ikan akan memanfaatkan komponen-kompenen yang ada dalam telur khususnya kuning telur sebagai makanannya. Fase ini merupakan fase kristis bagi kelangsungan hidup ikan (Effendi 2004). Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi (1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan (2) digunakan untuk energi metabolisme (Affandi dan Tang 2000). Jumlah total dan relatif berbagai nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung kepada faktor seperti ukuran ikan pada waktu menetas, lama pengeraman, dan lamanya anak-anak ikan memerlukan persediaan bahan endogen sebelum mendapatkan dari sumber lain (Utiah 2006). Menurut Riis-Vestergaard (2002) ada empat komponen dominan pada telur yaitu chorion, ruang perivetelin (perivetelliene space/pvs), lemak (lipid) dan OML (ovoplasm minus lipid). Menurut Woynavovich dan Horvath (1980) in Syandri (1996) faktor yang menentukan ukuran sel telur adalah ukuran inti, ketebalan selaput telur dan ukuran ruang perivitellin. Ukuran inti dan ketebalan selaput telur menentukan sel telur sebelum kontak dengan air, sedangkan ruang periviteline menentukan ukuran sel telur setelah kontak dengan air. Menurut Hibiya (1982) in Fujaya (2004) kuning telur terdiri atas tiga bentuk, yaitu kantung kuning telur (yolk vesicle), butiran kuning telur (yolk globule) dan tetesan minyak (oil droplet). Kantung kuning telur berisi glikoprotein, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi kortikal alveoli. Butir-butir kuning telur terdiri atas lipoprotein, karbohidrat dan karoten. Tetesan minyak (oil droplet) secara umum terdiri atas gliserol dan sejumlah kecil kolesterol. Lebih dari setengah telur ikan pelagis mengandung butiran minyak (oil globule) yang mempengaruhi daya apung telur tersebut di perairan. Namun tidak ada perbedaan secara umum dalam daya apung telur diantara telur ikan pelagis dengan dan tanpa butiran minyak (oil

33 18 globule). Hal ini dikarenakan butiran minyak mengalami hidrolisis protein selama proses pematangan (Russell 1976). Kamler (1992) in Utiah (2006) menyatakan bahwa kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur. Pada ikan guppy (Poicellia reticulate) peningkatan jumlah kandungan protein menghasilkan peningkatan ukuran ovarium dan berat gonad (Adewumi et al. 2005). Selain protein, komposisi lemak dan asam lemak dalam telur berhubungan erat dengan kelangsungan hidup larva. Rata-rata ukuran telur ikan capelin dan kemampuan larva untuk tetap bertahan dari kelaparan berhubungan langsung dengan kondisi dan kandungan lemak induk betina (Chambers dan Leggett 1996). Watanabe (2009) menyatakan bahwa kegagalan rekrutmen disebabkan tingginya laju kematian (mortalitas) setelah tahap awal memakan. Selain itu, tingkat mortalitas larva disebabkan oleh adanya predator dan kondisi lingkungan yang buruk Aspek Eksploitasi dan Reproduksi Di dalam suatu habitat populasi ikan yang tidak ditangkap, biomasa atau berat total ikan akan tumbuh mendekati daya dukung (carrying capacity). Populasi ikan akan terdiri atas lebih banyak ikan-ikan yang berumur lebih tua dan lebih besar dari pada ikan-ikan kecil jika dibandingkan dengan keadaan populasi di habitat yang ada kegiatan penangkapan. Ketika terjadi penangkapan maka sebagian besar ikan-ikan dewasa dan berukuran besar tertangkap. Pengurangan ikan-ikan akibat penangkapan ini mengakibatkan turunnya biomasa dibawah daya dukung habitat dan meningkatkan kesempatan bertumbuh bagi ikan-ikan kecil (Murdiyanto 2004). Selanjutnya Widodo dan Suadi (2006) mengenalkan istilah rekruitment overfishing yang berarti pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur-telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Salah satu ciri populasi ikan yang telah mengalami eksplotasi adalah perubahan komposisi ukuran menjadi lebih kecil. Hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil reproduksi. Fekunditas cenderung meningkat

34 19 dengan ukuran tubuh yang besar, sehingga populasi dengan proporsi ikan berukuran besar memiliki potensi reproduksi yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dengan proporsi ikan yang berukuran kecil (Walker et al in Stevens et al. 2000). Selanjutnya Bagenal (1971) menyatakan bahwa ikan-ikan yang berukuran besar dan tua akan menghasilkan telur-telur berukuran besar yang mengandung kuning telur yang lebih banyak dari telur-telur yang berasal dari induk yang berukuran kecil dan muda yang akan menyebabkan pertumbuhan larva lebih cepat dan lebih lama bertahan hidup. Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur populasi ikan. Nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar dari pada ikan yang berukuran kecil. Konsekuensinya, populasi didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan kematangan gonad yang lebih awal. Sebagian besar ciri variasi sejarah-hidup yang didasarkan pertumbuhan, umur saat matang gonad, ukuran keturunan dan fekunditas berkorelasi dengan ukuran tubuh (Stevens et al. 2000). Menurut Triple et al. (1997) in Sinclair dan Valdirmarsson (2003), mayoritas ikan cod di perairan Barat Laut Atlantik, stok pollock dan haddock menunjukkan penurunan umur dan panjang saat matang seksual sejak tahun 1970-an. Penurunan terbesar terlihat pada stok ikan cod di perairan Atlantik Utara dengan penurunan 20% ukuran tubuh saat matang seksual yang terjadi sejak awal tahun 1990-an. Secara umum dengan perpindahan ikan besar dari populasi secara konsisten sepanjang waktu (30 tahun atau lebih bagi beberapa ikan), ikan yang tersisa mengalami laju pertumbuhan yang cepat dan kematangan yang lebih awal. Observasi ini mungkin berkenaan dengan perubahan genetik yang disebabkan oleh penangkapan, perubahan lingkungan atau faktor keduanya (Smith 1999 in Sinclair dan Valdirmarsson 2003).

35 20 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 sampai dengan bulan Juli 2009 di tiga tempat pendaratan ikan (TPI) yaitu di TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan, Subang yang mewakili perairan Utara Jawa; TPI Labuan, Banten yang mewakili perairan Selat Sunda dan TPI Palabuhanratu, Sukabumi yang mewakili perairan Selatan Jawa. Pengambilan ikan contoh dilakukan sekali tiap bulan pada masingmasing TPI. Ikan contoh yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Ekobiologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Labuan Blanakan Palabuhanratu Gambar 3. Lokasi penelitian

36 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi buku identifikasi Kottelat et al. (1993) untuk mengidentifikasi ikan sampel, mistar dengan ketelitian 0,5 mm untuk mengukur panjang total, timbangan digital dengan ketelitian 0,5 g untuk mengukur bobot tubuh dan 0,005 gr untuk mengukur bobot gonad, alat pendingin (freezer) dengan suhu C untuk mengawetkan ikan, alat bedah, cawan Petri, gelas ukur, gelas objek, kertas label, botol sampel, pipet tetes, hand tally counter untuk menghitung telur; mikroskop binokuler, mikrometer okuler, mikrometer obyektif dan gelas objek untuk mengukur diameter telur; mikrotom dan mikroskop untuk pembuatan dan pemotretan preparat histologi. Sementara alat-alat yang digunakan dalam analisis kandungan protein telur (analisis proksimat) meliputi timbangan digital dengan ketelitian 0,00005 gr, labu destruksi, pembakar bunsen, labu penling, alat penyuling, labu erlenmeyer, buret sebagai alat titrasi. Bahan-bahan yang digunakan meliputi ikan L. equulus, formalin 4% untuk mengawetkan gonad, akuades. Bahan-bahan yang digunakan dalam histologi gonad meliputi alkohol %, xylol, parafin, pewarna haematoxylin-eosin, larutan Buoin s dan perekat entelan atau Canada balsam. Sementara bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kandungan protein meliputi aquades, Katalisator, H 2 SO 4, asam borat, indikator (Blue Metilen red) dan HCl (0, N) Metode Kerja Prosedur kerja di lapangan Pengambilan sampel dilakukan satu kali per bulan selama bulan Mei-Juli Pengambilan sampel dilakukan menurut banyaknya keranjang (bakul) yang berisi ikan petek yang didaratkan. Jika jumlah bakulnya banyak maka sampel ikan diambil secara acak tiap bakul dan di ukur panjang dan beratnya sebanyak mungkin lalu diambil minimal 30 sampel untuk dianalis aspek reproduksinya di laboratorium. Jika jumlah bakul yang didaratkan sedikit atau hanya satu maka sampel diambil secara acak hanya dari bakul tersebut. Sampel ikan merupakan hasil tangkapan nelayan yang stasiun pengambilan contohnya berdasarkan dengan lokasi penangkapan dan alat tangkap yang digunakan ialah alat tangkap yang digunakan nelayan. Ikan yang telah didaratkan TPI kemudian diambil dan diidentifikasi sesuai dengan ciri-cirinya serta diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang dan

37 22 berat di tempat pelelangan ikan dilakukan bagi ikan-ikan yang tidak dibawa ke laboratorium. Sampel ikan yang segar dipisahkan dan dimasukan ke dalam cold box yang berisi es kemudian dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam freezer bersuhu C sebelum diukur panjang, berat, dibedah dan diambil gonadnya. Selain itu dilakukan pengambilan data sekunder yang meliputi data statistik perikanan (hasil tangkapan, upaya penangkapan) serta keadaan lokasi penelitian. Data-data statistik tersebut digunakan dalam pendugaan potensi lestari (MSY) sedangkan keadaan lokasi penelitian seperti suhu digunakan dalam menduga koefisien mortalitas alami (M) Prosedur kerja di laboratorium Identifikasi ikan contoh Ikan contoh yang telah dibawa ke laboratorim diidentifikasi mengacu kepada Kottelat et al. (1993). Bagian utama tubuh yang diamati dalam pengidentifikasian meliputi bentuk tubuh, kepala, mulut, dada, panjang total tubuh, diameter mata, lebar badan, sirip anal, sirip dorsal, jari-jari sirip dorsal, jari-jari sirip anal Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG Ikan-ikan contoh yang telah diidentifikasi di ambil lagi secara acak minimal 30 ekor dan disesuaikan juga dengan total sampel yang diperoleh untuk dibedah. Sebelum dibedah sampel ikan di ukur panjang dan ditimbang bobot tubuhnya. Semua sampel diukur panjang dengan menggunakan mistar dengan ketelitian 0,5 mm, sedangkan berat tubuh menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,5 gr. Tingkat kematangan gonad ditentukan berdasarkan ciri morfologi (Tabel 1). Selanjutnya gonad dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diberi label kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4%. Khusus gonad betina TKG IV dipisahkan sebanyak tiga sampel terlebih dahulu dan dimasukan ke dalam freezer untuk analisis proksimat dan gonad betina TKG I, II, III, dan IV juga dipisahkan untuk analisis histologis. Gonad ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,005 gr. Setelah itu Indeks kematangan gonad (IKG/GSI) dapat ditentukan (Effendie 1979) dan gonad diamati tingkat kematangannya berdasarkan ciri-ciri morfologi dan anatomi histologi.

38 23 Tabel 1. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan L. equulus berdasarkan keadaan morfologi menurut Novitriana (2004) modifikasi Cassie in Effendi (1997) TKG BETINA JANTAN I Awal pertumbuhan Ovarium berwarna putih kekuningan dan permukaan licin. Ukuran ovarium relatif kecil dan berbentuk bulat oval dan tunggal. Butir telur belum terlihat oleh mata biasa. Ovarium berada di ujung posterior di dekat anus Awal pertumbuhan Testis terdiri dari dua lembar menyerupai kipas, satu lembar belum tumbuh sempurna dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari pada lembaran lainnya, berada di ujung rongga tubuh dekat anus, berwarna putih kecoklatan dengan permukaan licin. II Berkembang Ukuran ovarium lebih besar dan berwarna kekningan. Ovarium berbentuk bulat oval. Di Berkembang Ukuran testis lebih besar, sepasang organ tumbuh sempurna dan berukuran sama besar. Testis bagian anterior ovarium berbentuk lekukan berwarna putih dengan permukaan sedikit pendek. Telur belum terlihat jelas oleh mata biasa. Diameter telur berkisar antara µm. di bagian tengah dari kedua sisi lateral terdapat titik merah bakal pembuluh darah. bergerigi. III Dewasa Ovarium berwarna kuning terang. Butir telur mulai terlihat oleh mata biasa dengan diameter berkisar antara µm. pembuluh darah sudah tampak jelas di kedua sisi lateral Dewasa Warna testis makin putih dan permukaan testis yang bergerigi terlihat jelas. Testis menempati kurang dari seperlima rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus. ovarium. Ovarium menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus. IV Matang Ovarium bertambah besar ukurannya dan Matang Ukuran testis lebih besar dan lebih pejal. Testis berwarna kuning kemerahan. Jumlah berwarna putih susu dan menempati hampir pembuluh darah lebih banyak dari pada ovarium pada TKG III. Butir telur terlihat seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus. Pada tingkat kematangan yang sama, jelas karena selaput gonad transparan, umumnya ukuran testis lebih kecil dari pada diameternya berkisar antara µm. ovarium. ovarium menutupi hampir sepertiga rongga perut dan mendesak usus ke bagian depan. Bentuk ovarium bulat oval dengan lekukan yang jelas di bagian anterior, menandakan bahwa pasangan organ menyatu. V Salin Ovarium mengempis di bagian posteriornya, Salin Testis kempis pada bagian ujung posterior terdapat pada ikan yang sudah selesai memijah.

39 Penentuan fekunditas dan diameter telur Perhitungan fekunditas dilakukan pada gonad ikan betina yang memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) III dan IV dengan jumlah total sampel sebanyak 118. Perhitungan fekunditas dengan menggunakan metode gabungan (Effendie 1979). Berat gonad contoh diambil 0,1 gram yakni dari bagian posterior, median dan anterior. Selanjutnya dienceran dengan 5 ml akuades dan dihitung fekunditas pada 1 ml contoh gonad dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Setelah penghitungan fekunditas dilanjutkan dengan pengukuran diameter telur dengan mikrometer okuler dan mikroskop binokuler pada perbesaran 100 kali. Diameter telur ikan yang diukur merupakan telur yang memiliki bentuk yang teratur dan diambil secara acak sebanyak 100 butir tiap gonadnya Pembuatan preparat histologis gonad Metode pembuatan preparat histologi gonad ikan petek (L. equulus) berdasarkan Angka et al. (1990) (Lampiran 18) Uji kadar protein Untuk mengetahui kandungan protein telur ikan petek dilakukan uji protein dengan cara Kjeldahl (Sudarmadji et al in Simamora 2000). Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut : berat gram sampel (X) ditimbang, dimasukan ke dalam labu destruksi, ditambahkan tiga gram katalis (campuran selen) serta H 2 SO 4, lalu dipanaskan diatas pembakar bunsen. Sampel terus didetruksi, hingga larutan jernih dan berwarna hijau. Didinginkan dan larutan dimasukkan ke dalam labu penling. Diencerkan dengan akuades yang bebas N ditambahkan 100 ml NaOH 33%, lalu labu dipasang dengan cepat ke alat penyuling. Hasil sulingan (NH 3 dan air) ditangkap dalam suatu labu erlenmeyer yang telah diberi 25 ml H 2 SO 4 dan dua tetes indikator campuran. Penyulingan diteruskan, hingga semua N dari cairan tertangkap oleh H 2 SO 4 yang ada dalam labu Erlenmeyer (bila 2/3 dari cairan dalam labu penyuling telah menguap). Labu Erlenmeyer yang berisi sulingan diambil dan dititrasi dengan HCL. Perubahan warna dari jernih menjadi biru kehijauan menandakan titik akhir, lalu di bandingkan dengan titer Blanko = Y ml. Selain kadar protein direncanakan untuk uji kadar lemak dan minyak akan tetapi dikarenakan berat total gonad tidak mencukupi batas minimal berat untuk

40 25 analisis maka uji kadar lemak dan minyak tidak dilakukan. Dalam pengujian kadar lemak dan minyak digunakan berat kering sampel minimal 5 gram dan untuk mendapatkan berat kering tersebut dibutuhkan berat gonad basah yang jauh lebih berat. Berbeda dengan analisis kadar protein yang dapat dilakukan dengan berat basah minimal 0,02 gram dengan satuan per berat basah (wawancara pribadi) Analisis Data Sebaran frekuensi panjang Di dalam membuat sebaran frekuensi panjang dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Walpole 1992) : 1. menentukan wilayah kelas (WK) = max min, max = data terbesar; min = data terkecil. 2. menentukan jumlah kelas (JK) = 1 + 3,32 log N; N = jumlah data 3. menghitung lebar kelas ( L) = WK/JK 4. memilih ujung kelas interval pertama 5. tentukan frekuensi panjang untuk masing-masing selang kelas Analisis laju mortalitas dan potensi lestari (MSY) Laju mortalitas Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan di mana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Sementara parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas ini meliputi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Pendugaaan parameter pertumbuhan (L inf dan K) dan laju mortalitas digunakan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi Analisis parameter pertumbuhan digunakan metode ELEFAN I (Electronic Length- Frequency Analysis). Sementara parameter-parameter laju mortalitas yang meliputi laju mortalitas total (Z) digunakan model Beverton dan Holt berbasis data panjang dengan model sebagai berikut : K (Linf - L") Z (L"-L')

41 26 Keterangan : K = koefisien pertumbuhan (per tahun); Linf = Panjang asimtotik (mm); L = Panjang rata-rata ikan yang tertangkap (mm); L = batas bawah dari interval kelas panjang yang memiliki tangkapan terbanyak (mm); Z = Laju mortalitas total (pertahun) Selajutnya laju mortalitas alami (M) digunakan rumus empiris Pauly yaitu : log(m) -0,0066-0,279log(Linf) 0,6543log(K) 0,4634log(T) Keterangan : M = Laju mortalitas alami (per tahun); Linf = panjang asimtotik; K=koefisien pertumbuhan (per tahun); T = suhu rata-rata perairan ( 0 C) Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui rumus : F Z M Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) F E Z Keterangan : F = laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z = laju mortalitas total (per tahun), M = laju mortalitas alami (per tahun), E = tingkat eksploitasi Potensi lestari (MSY) Dalam mengestimasi nilai hasil tangkapan maksimum lestari digunakan model produksi surplus yaitu model Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Adapun model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh nilai hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) dalam beberapa tahun serta upaya penangkapan harus mengalami perubahan selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (f msy ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schafer (1954) in Sparre dan Venema (1999) dapat diketahui melalui persamaan berikut : (1) Hubungan antara hasil tangkpan (Y) dengan upaya penangkapan (f) Y = af + bf 2

42 27 (2) kemudian tentukan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol (dy/df) = 0 sehingga didapat upaya penangkapan optimum (f msy ). Maka f msy = -a/2b (3) kemudian nilai f msy = -a/2b disubstitusi ke dalam persamaan butir 1 sehingga diperoleh MSY = -a 2 /4b Untuk mendapatkan nilai a dan b maka digunakan analisis regresi dengan melinearkan model Schaefer seperti berikut : Y = af + bf 2 Y/f = a+bf Keterangan : Y/f adalah hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Pada model Fox tingkat upaya penangkapan optimum (f msy ) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diketahui melalui persamaan berikut : Yi fi Yi exp f ( (exp a bf a bf ) f msy dicapai pada saat turunan pertama sama dengan nol (dy/df) = 0, sehingga Y' exp a bf fbexp a bf (1+fb) (exp a+bf ) = 0 Jadi, f msy = -1/b 0 Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MSY maka nilai fmsy dimasukkan ( ) kedalam persamaan awal yakni (exp a Yi f bf sehingga : MSY = (-1/b) (exp a-1 ) Upaya penangkapan digunakan jumlah armada yakni perahu motor tempel. Dikarenakan alat tangkap ikan petek beragam dan data hasil tangkapan tiap alat tangkap tidak tersedia maka standarisasi hasil tangkapan per upaya (CPUE) tidak dapat dilakukan. Selain itu perahu motor tempel merupakan armada dominan dalam penangkapan ikan petek dan daerah operasinya hanya sekitar daerah pantai dan teluk. Oleh karena itu jumlah perahu motor tempel digunakan sebagai upaya dalam

43 28 analisis potensi lestari. Pada stasiun Blanakan dan Palabuhanratu digunakan data hasil tangkapan dan jumlah motor tempel selama 5 tahun ( ), dan stasiun Labuan selama 7 tahun ( ). Selanjutnya untuk menentukan model mana yang lebih mewakili model sebenarnya digunakan perbandingan terhadap nilai koefisien determinasinya (r 2 ). Nilai koefisien determinasi yang lebih besar menunjukkan menunjukan hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Walpole (1992) menyatakan bahwa koefisien determinasi adalah bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linear Aspek pertumbuhan dan reproduksi Hubungan panjang-berat Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hubungan panjang berat digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler 1972) : W = al b Keterangan : W = berat total ikan (gr), L = panjang total ikan (mm), a dan b = konstanta hasil regresi Untuk mempermudah perhitungan maka persamaan di atas dilogaritmakan sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut : log W = log a + b log L Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, bila b = 3 maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat). Bila n 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, jika b > 3 maka hubungannya bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya), sedangkan bila b < 3 maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya).

44 29 Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau tidak sama dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole 1992) : T hit = 3 Sb Hipotesa : Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik H1 : b 3 pola pertumbuhan allometrik Selanjutnya T hit yang didapat dibandingkan dengan T tabel pada selang kepercayaan 95%. Jika T hit > T tabel maka tolak Ho, dan sebaliknya jika T hit < T tabel maka terima Ho Faktor kondisi Menurut Effendi (1997) faktor kondisi dapat ditentukan berdasarkan panjang dan berat ikan contoh. Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor kondisi dibedakan berdasarkan pola pertumbuhan. Apabila ikan memiliki pola pertumbuhan allometrik (b 3), maka rumus yang digunakan adalah : W K b al Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b = 3), maka rumus yang digunakan adalah : 10 L 5 K 3 Keterangan : K = faktor kondisi, W = berat ikan (gram), L = panjang ikan (mm), a dan b = konstanta hasil regresi Nisbah kelamin Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina. J Rasio Kelamin = B W

45 30 Keterangan : J = jumlah ikan jantan (ekor), B = jumlah ikan betina (ekor) Selanjutnya untuk menentukan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jantan dan kelamin betina dilakukan uji Chi-Square (Steel dan Torrie 1980) dengan hipotesa : Dengan rumus perhitungan : Ho : J B Ho : J = B X 2 n i = ( O e e i 1 1 Keterangan : X 2 = nilai bagi peubah acak X 2 yang mempunyai sebaran penarikan contoh yang mendekati Chi-Kuadrat ) 2 1 O i e i = frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati = frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina Nilai X 2 tabel diperoleh dari tabel nilai kritik sebaran khi-kuadrat. Untuk penarikan keputusan dengan membandingkan X 2 hitung dengan X 2 tabel pada selang kepercayaan 95%. Jika nilai X 2 hitung > X 2 tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho) dan jika nilai X 2 hitung < X 2 tabel maka keputusannya adalah terima hipotesa nol (Ho) (Walpole 1992) Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan dengan acuan tingkat kematangan gonad secara morfologi ikan L. equulus dari hasil penelitian Novitriana (2004) dan secara histologi berdasarkan Angka et al. (1990). Penentuan Tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan terhadap semua ikan contoh yang diambil. sementara untuk menduga ukuran pertama kali ikan matang gonad berdasarkan selang kelas dimana terdapat ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad yang matang yakni gonad TKG IV.

46 Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) disebut juga gonadosomatic index (GSI) ditentukan dengan menggunakan rumus (Effendie 1979) : BG GSI (%) = x100 BT Keterangan : BG = berat gonad (gram), BT = berat tubuh (gram) Fekunditas Fekunditas ditentukan dengan metode gabungan dengan menggunakan rumus (Effendie 1979) : GxVxf F = Q Keterangan : F = fekunditas total (butir), f = fekunditas dari subgonad (butir), G = berat gonad total (gram), Q = berat subgonad, V = volume pengenceran Selanjutnya Effendie (1997) menyatakan hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot melalui persamaan berikut : Hubungan Fekunditas dengan Panjang total : F = a L b atau log F = log a + b log L Hubungan Fekunditas dengan Bobot tubuh : F = a + bw Keterangan : F = fekunditas (butir), L = panjang total ikan (mm), W = berat tubuh ikan (gram), a dan b = konstanta hasil regresi Kadar protein Untuk menghitung kadar protein (Sudarmadji et al in Simamora 2000) digunakan persamaan berikut ini : % Protein = (T B)x 0,014x N HClx 6,25 x 100 bobot sampel Keterangan : T = ml titran, B = ml blanko, N = Normalitas HCl yang digunakan (0, N)

47 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Blanakan Desa Blanakan merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Blanakan dan berada di wilayah administrasi Kabupaten Subang. Secara administrasi batas wilayah Kabupaten Subang adalah sebagai berikut; sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sumedang dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Wilayah Kabupaten Subang memiliki wilayah pesisir dan laut dengan panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi empat wilayah pesisir yaitu Kecamamatan Blanakan, Kecamatan Pemanukan, Kecamatan Legunkulon dan Kecamatan Pusakanagara (Windarti 2008). Secara geografis, Desa Blanakan terletak di LS dan BT dengan luas wilayah ha. Pada wilayah kecamatan terdapat Teluk Blanakan. Ada empat sungai yang bermuara ke Teluk Blanakan yaitu Sungai Cilamaya, Sungai Pepetan, Sungai Blanakan dan Sungai Ciasem. Sungai-sungai ini membawa buangan yang berasal dari pemukiman, persawahan dan pertambangan. sepanjang pantai dari Sungai Cilamaya sampai ke Sungai Ciasem tumbuh pohonpohon bakau kecuali beberapa tempat yang telah dijadikan pertambakkan (Mubarak 1987). Perairan Subang merupakan wilayah penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan Desa Blanakan. Perairan ini merupakan bagian dari sistem Laut Jawa yang dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan Desember Februari merupakan periode musim Barat yang diikuti adanya musim hujan. Sementara musim Timur terjadi pada bulan Juni-Agustus dengan adanya musim kemarau. Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (< 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Suhu dan salinitas perairan Subang berfluktuatif secara musiman. Rerata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 0 C sampai dengan 28,7 0 C. Suhu bulanan Laut Jawa menunjukkan adanya dua puncak maksimum (28,7 0 C) yang terjadi pada periode

48 33 musim peralihan (bulan Mei dan November) dan dua puncak minimum (sekitar 27,5 0 C) yang terjadi pada bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rerata kadar salinitas diperairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 0 / 00 33,7 0 / 00. Salinitas maksimum pertama (33,7 0 / 00 ) dan kedua (33,3 0 / 00 ) terjadi pada bulan September dan November, sedangkan salinitas minimum pertama (31,8 0 / 00 ) dan kedua (31,3 0 / 00 ) terjadi sekitar bulan Februari dan Mei. Alat tangkap ikan petek yang digunakan oleh nelayan di desa Blanakan adalah jaring rampus dengan ukuran mata jaring 2-2,5 inchi, jaring udang dengan ukuran mata jaring pada bagian kantong 0,5-1 inchi, cantrang dengan ukuran mata jaring 1-1,5 inchi, bondet dan tegur. Namun ikan petek dominan tertangkap oleh jaring rampus, jaring udang dan cantrang. Daerah penangkapan ikan petek yang dilakukan oleh nelayan adalah di sekitar perairan Blanakan, Sungai buntu (Karawang), Muara Ciasem, Cilamaya sampai dengan wilayah Eretan. Ikan petek hampir setiap hari didaratkan di TPI Mina Fajar Sidik, Blanakan. Hal ini dikarenakan permintaan akan ikan petek cukup tinggi. Ikan petek biasanya dimanfaatkan sebagai ikan asin serta bahan baku untuk pembuatan pakan ternak. Selain itu ikan petek juga dijual dalam bentuk segar apalagi bila ukurannya relatif besar. Harga ikan petek yang dijual berkisar antara Rp.2000-Rp.4000 per kg. Harga ikan petek dapat saja berubah tergantung ukuran dan jumlah yang didaratkan. Ikan petek yang berukuran besar relatif lebih mahal. Harganya dapat mencapai Rp.6000/kg dan bila ikan petek yang didaratkan melimpah maka harganya lebih murah dibandingkan dengan harga normal (wawancara pribadi) Labuan Pangkalan pendaratan ikan Labuan berlokasi di Desa Teluk, Kecamatan Labuan yang berada di bawah naungan Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. Secara geografis wilayah Kabupaten Pandeglang terletak antara LS dan BB dengan Luas daerah km 2. Batas administrasi Kabupaten ini adalah; sebelah Utara berbatasan dengan ibukota Propinsi Serang, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lebak. Panjang pantai Kabupaten ini mencapai 230 km (Anonymous 2005 in Rakhmania 2008).

49 34 Wilayah Kabupaten Pandeglang mengalami dua musim yaitu musim kemarau pada bulan April Oktober dan musim penghujan pada bulan November Maret. Curah hujan rata-rata mm/tahun dengan rata-rata hari hujan 84 hari pertahun. Suhu udara minimum dan maksimum berkisar antara 23,78 0 C 31,98 0 C dengan suhu rata-rata 27,88 0 C. Berdasarkan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat (1999) karakteristik fisika-kimia perairan Serang, Banten adalah sebagai berikut; suhu perairan 28,5 0 C, kecerahan 2,5 m, kecepatan arus 14,00 km/jam, pasang surut 1,25 m, salinitas 30,40 0 / 00, kadar Oksigen 4,1 mg/l serta ph 7,1. Musim penangkapan ikan di wilayah ini terbagi dalam tiga musim yaitu musim Timur dimana aktivitas penangkapan tertinggi karena cuaca yang mendukung dalam proses penangkapan; musim Barat dimana aktivitas penangkapan sangat jarang umumnya nelayan tidak melaut karena adanya cuaca buruk yang tidak menguntungkan bagi usaha penangkapan misalnya terjadi hujan dan disertai badai di tengah laut; serta musim peralihan dimana aktivitas penangkapan yang normal. Adapun daerah penangkapan ikan (DPI) oleh nelayan Desa Teluk Labuan ialah sekitar Selat Sunda, Selatan Jawa hingga Samudera Hindia dan Laut Jawa. Ikan petek di perairan Labuan biasanya ditangkap dengan alat tangkap bagan perahu dengan ukuran mata jaring 1-2 inchi, bagan rakit dengan ukuran mata jaring 1-2 inchi, payang dengan ukuran 2-3 inchi, jaring arad dan jaring rampus dengan masing-masing ukuran mata jaring 1-2,5 inchi. Sementara untuk daerah penangkapan ikan petek pada umumnya di daerah perairan teluk dan sekitar perairan Selat Sunda yang dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam (Wawancara pribadi). Ikan petek hasil tangkapan nelayan didaratkan dan dilelang di tempat pelelangan ikan (TPI) I Labuan berbeda untuk ikan-ikan pelagis seperti tembang dan tongkol yang biasanya didaratkan di TPI II dan TPI III. Ikan petek biasanya dijadikan ikan asin dan dijual ke pasar dalam bentuk segar. Harga ikan petek segar yang dijual dipasar jauh lebih mahal dibandingkan dengan ikan yang dibeli langsung dari nelayan. Harga ikan petek yang dijual nelayan berkisar antara Rp Rp.3000/kg sementara harga jual dipasar dapat mencapai Rp.7000/kg (wawancara pribadi).

50 Palabuhanratu Perairan Palabuhanratu merupakan perairan berbentuk teluk yang terletak di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis berada pada LS dan BT. Panjang garis pantai pada perairan ini adalah ± 105 km. Berdasarkan topografi dasar laut, kedalaman 200 m dapat dijumpai hingga jarak sekitar 300 m dari garis pantai setelah itu dasar pantai menurun dengan tajam mencapai kedalaman > 600 m (Nurhayati 2006). Perairan Palabuhanratu bermuara beberapa sungai yaitu Sungai Cisolok, Cimanja, Cipalabuhan, Cipangairan, Cimandiri, Citepus dan Cibareno (Anita 2003). Karakteristik oseanografi Teluk Palabuhanratu hampir sama dengan Samudera Hindia yang dicirikan dengan ombak besar, tinggi gelombang dapat mencapai 3 meter dan batimetri laut dalam. Arus bergerak ke arah Timur pada bulan Februari sampai Juni dan bergerak ke arah Barat pada bulan Juli hingga Januari. Keadaan arus dipengaruhi oleh pasang surut, angin, densitas dan pengaruh masukan air sungai. Kecepatan arus pantai mencapai 75 cm/detik pada bulan Februari kemudian melemah hingga 50 cm/detik dari bulan April hingga Juni. Kemudian arus berganti arah ke Barat pada bulan Agustus dengan kecepatan 75 cm/detik dan menurun pada bulan Oktober dengan kecepatan 50 cm/detik. Kondisi iklim di Palabuhanratu dipengaruhi oleh angin muson Barat (Desember-Maret) dan angin muson timur (Juni-September). Curah hujan berkisar antara mm/tahun dan hari hujan antara hari/tahun. Suhu udara di wilayah ini berkisar antara 18 0 C C dan memiliki kelembapan berkisar antara 70-90%. Adapun karakteristik fisikakimia perairan Palabuhanratu adalah tinggi gelombang berkisar 1-3 meter, suhu berkisar antara C, dan salinitas 32,33 0 / 00 35,96 0 / 00 (PPN Palabuhanratu 2007). Pada musim Timur merupakan musim puncak ikan karena pada musim ini keadaan perairan relatif tenang, jarang terjadi hujan dan ombak relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan. Ikan petek merupakan ikan yang dominan yang tertangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dengan produksi total tahun 2008 sebesar 44,484 ton (PPN Palabuhanratu 2008). Pada umumnya ikan ini ditangkap dengan alat tangkap payang dan bagan. Ukuran mata jaring alat tangkap payang yang biasanya digunakan oleh nelayan berkisar antara 2,5-3 inchi serta ukuran mata jaring pada alat

51 36 tangkap bagan berkisar 1-1,5 inchi. Adapun daerah penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap payang meliputi Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Bayah dan Binuageun dan alat tangkap bagan biasanya beroperasi disekitar Teluk Palabuhanratu. Ikan petek yang tertangkap kemudian didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI) Palabuhanratu untuk dijual. Berdasarkan hasil wawancara biasanya harga ikan petek berkisar antara Rp Rp.5000/kg. Pemanfaatan ikan petek di daerah ini biasanya dijadikan sebagai komoditas ikan asin. Selain itu ikan petek juga dijual dalam bentuk segar Sebaran Kelompok Ukuran Hasil Tangkapan Ikan petek yang tertangkap selama penelitian berjumlah 652 ekor yang terdiri dari 264 ekor di Blanakan, 280 ekor di Palabuhanratu dan 108 ekor di Labuan dengan kisaran panjang mm dan kisaran berat gram. Kisaran panjang dan berat ikan petek yang tertangkap di stasiun Blanakan adalah mm dan gram; stasiun Labuan dengan kisaran mm dan gram; dan stasiun Palabuhanratu dengan kisaran mm dan gram. Data ratarata dan bias dari hasil tangkapan panjang dan berat disajikan pada Tabel 4. Selama penelitian ditemukan pada bulan Juni ikan petek yang tertangkap memiliki nilai rata-rata panjang dan berat yang terbesar pada stasiun Blanakan. Sementara pada stasiun Labuan terjadi pada bulan Juli dan stasiun Palabuhanratu terjadi pada bulan Mei. Hasil tangkapan total yang memiliki rata-rata panjang dan berat terbesar ditemukan pada stasiun Labuan selanjutnya ditemukan pada stasiun Blanakan dan terkecil ditemukan pada stasiun Palabuhanratu. Tabel 2. Komposisi tangkapan ikan petek (L. equulus) berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Stasiun Blanakan Labuan Pel.Ratu Bulan N Panjang (mm) Berat (gr) N Panjang (mm) Berat (gr) N Panjang (mm) Berat (gr) Mei ± ± ± 9 59 ± ± ± 21 Juni ± ± ± 7 42 ± ± ± 11 Juli ± ± ± ± ± ± 10 Total ± ± ± ± ± ± 12 Kisaran selang panjang, ikan petek yang dominan tertangkap pada stasiun Blanakan terdapat pada kelompok ukuran mm dan mm masing-

52 37 masing 53 ekor, pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu ikan petek yang dominan tertangkap terdapat pada kelompok ukuran mm masing-masing 33 dan 100 ekor. Pada kelompok ukuran panjang mm tidak ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu sedangkan di stasiun Blanakan ditemukan sebanyak 11 ekor (Gambar 4). Ikan petek jantan di stasiun Blanakan ditemukan pada kelompok ukuran yang lebih kecil dari ikan betina yakni mm sampai mm sementara ikan betina ditemukan pada kelompok ukuran mm sampai mm. Berbeda di stasiun Labuan dan Palabuhanratu baik ikan petek jantan dan betina ditemukan pada kelompok ukuran yang sama akan tetapi dstasiun Palabuhanratu kelompok ukuran ikan petek hanya ditemukan sampai pada kelompok ukuran mm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan petek baik jantan maupun betina di stasiun Palabuhanratu ukurannya lebih kecil daripada di stasiun Blanakan dan Labuan. Ukuran ikan petek yang terbesar ditemukan di stasiun Blanakan kemudian diikuti oleh stasiun Labuan dan stasiun Palabuhanratu (Gambar 4). Panjang maksimum ikan petek yang tertangkap baik di stasiun Blanakan, Labuan dan Palabuhanratu selama penelitian tidak melebihi dengan panjang maksimum ikan petek yang dapat mencapai panjang maksimum 22 cm Genisa (1999). Panjang maksimum ikan petek yang tertangkap di Stasiun Labuan dan Palabuhanratu lebih pendek dari panjang maksimum ikan petek yang tertangkap di perairan barat Sumatera (Wejadmiko 2007) dan ikan petek yang tertangkap di perairan Pantai Mayangan (Novitriana 2004) akan tetapi di stasiun Blanakan panjang maksimum ikan petek yang tertangkap lebih panjang. Adanya perbedaan jumlah maupun ukuran hasil tangkapan ikan petek diduga dikarenakan adanya perbedaan lokasi penangkapan baik secara horizontal maupun secara vertikal (perbedaan kedalaman), perbedaan alat tangkap (jenis, jumlah, ukuran maupun selektivitas) yang digunakan. Adapun penyebab lainnya diduga karena adanya perbedaan tingkat eksploitasi disetiap stasiun penelitian. Semakin tinggi tingkat eksploitasi maka ukuran ikan akan didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran kecil. Fenomena ini telah dilaporkan oleh Triple et al. (1997) in Sinclair dan Valdirmarsson (2003) pada stok ikan Pollock dan haddock di perairan Barat Laut Atlantik.

53 38 Blanakan N = Labuan N = Jumlah Ikan (ekor) Pel.Ratu N = Selang Kelas Gambar 4. Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) yang tertangkap berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009

54 39 Hal serupa juga terjadi pada ikan terbang di perairan Binuangen ikan terbang di perairan Sulawesi Selatan. Dimana di perairan Binuangen ukurannya relatif lebih besar dari pada ikan terbang di perairan Sulawesi Selatan. Hal ini adanya perbedaan tingkat eksploitasi dimana tingkat eksploitasi ikan terbang di Sulawesi Selatan tinggi dan sudah berlangsung lama (Ali 2005 in Hermawati 2006). Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.Ratu Blanakan Labuan Pel.Ratu Jumlah ikan (ekor) Jumlah ikan (ekor) Selang kelas panjang Selang kelas panjang Gambar 5. Distribusi ukuran ikan petek (L. equulus) jantan dan betina yang tertangkap berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009 Di stasiun Blanakan ditemukan bahwa ukuran ikan betina lebih besar dari ikan jantan hal ini diduga adanya perbedaan lama hidup. Umumnya ikan dengan ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dan masa hidup yang lebih singkat akan mengalami kematangan gonad yang pertama pada umur yang lebih muda dimana umur diasumsikan sebagai ukuran panjang (Lagler et al. 1977). Hal ini didukung dari hasil yang didapat pada sub-bab tingkat kematangan gonad selanjutnya Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Laju mortalitas alami dengan menggunakan rumus empiris Pauly dengan suhu perairan Blanakan 28,1 0 C, Labuan dan Palabuhanratu masing-masing 28,5 0 C sedangkan laju mortalitas total dengan menggunakan model Beverton dan Holt berbasis data panjang. Adapun hasil analisis parameter pertumbuhan dan parameter mortalitas disajikan pada Tabel 2. Pada lokasi Blanakan ditemukan laju mortalitas alami (M) sedikit lebih tinggi dari laju mortalitas penangkapan (F). Hal ini berarti bahwa laju mortalitas ikan L. equulus di perairan Blanakan lebih dominan disebabkan oleh faktor alami dibandingkan akibat penangkapan. Sparre dan Venema (1999) mengatakan bahwa

55 40 laju mortalitas alami yang tinggi akibat adanya beberapa hal diantaranya adanya predator, penyakit, stres pemijahan, usia tua dan kelaparan. Tabel 3. Hasil analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas ikan L. equulus dengan menggunakan program FISAT II ditiap lokasi penelitian Parameter Pertumbuhan Parameter Mortalitas Lokasi L inf K M Z F E Blanakan 222,08 0,7200 1,5670 3,0150 1,4480 0,4802 Labuan 211,58 0,5900 0,7380 1,7470 1,0090 0,5774 Pel.ratu 190,58 1,4000 2,5440 5,9080 3,3640 0,5695 Keterangan : L inf = panjang yang tidak dapat dicapai ikan (mm); K = koefisien pertumbuhan (per tahun); M = laju mortalitas alami (pertahun); Z = laju mortalitas total (per tahun); F = laju mortalitas penangkapan (per tahun); E = laju eksploitasi Hal sebaliknya ditemukan pada lokasi Labuan dan Palabuhanratu dimana laju mortalitas penangkapan lebih tinggi dari pada laju mortalitas alami. Laju eksploitasi sebesar 0,5774 ditemukan pada stasiun Labuan yang berarti 57,74% kematian ikan L. equulus di Perairan Labuan disebabkan oleh aktifitas penangkapan sedangkan pada stasiun Palabuhanratu 56,95%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu laju eksploitasinya telah melebihi batas laju eksploitasi yang dikemukan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu 0,50 sedangkan pada stasiun Blanakan belum melebihi. Tingkat eksploitasi yang melampaui batas optimum menyebabkan ukuran panjang maksimum ikan menjadi lebih kecil. Hal ini terlihat pada stasiun Blanakan dengan panjang asimtot (L inf ) yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Labuan dan Palabuhanratu yang telah melebihi laju eksploitasi optimum. Selain itu nilai koefisien pertumbuhan (K) tertinggi ditemukan di stasiun Palabuhanratu dengan nilai 1,4000 pertahun yang berarti pertumbuhan ikan petak lebih cepat di Palabuhanratu dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Stevens et al. (2000) eksploitasi dengan skala besar menyebabkan populasi didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan kematangan gonad yang lebih awal. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor dalam seperti keturunan (genetik), umur, jenis kelamin,

56 41 hormon dan penyakit; serta faktor luar seperti suhu perairan dan makanan (Effendie 1997). Di stasiun Labuan yang memiliki laju eksploitasi sedikit lebih lebih tinggi dibandingkan Palabuhanratu ditemukan panjang asimtotnya (L inf ) sedikit lebih panjang dari pada stasiun Palabuhanratu. Hal ini diduga bahwa penangkapan secara intensif ikan L. equulus belum berlangsung lama di perairan Labuan sedangkan di perairan Palabuhanratu penangkapan dilakukan secara intensif dan telah berlangsung lama. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Smith (1999) in Sinclair dan Valdirmarsson (2003) dengan perpindahan ikan besar dari populasi secara konsisten sepanjang waktu (30 tahun atau lebih) yang diakibatkan oleh penangkapan dan perubahan lingkungan sehingga terjadi perubahan genetik maka ikan yang tersisa mengalami laju pertumbuhan yang cepat dan kematangan yang lebih awal. Pendugaan potensi lestasi ikan petek di tiga lokasi penelitian menggunakan model surplus produksi yaitu model Schaefer dan Fox. Model ini menggunakan data hasil tangkapan ikan petek dan upaya penangkapan menggunakan perahu motor tempel yang merupakan armada utama dalam penangkapan ikan tersebut. Adapun hasil yang diperoleh dari analisa hasil tangkapan dari kedua model tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 4. Hasil analisis potensi lestari ikan petek ditiga lokasi penelitian berdasarkan model surplus produksi (Schaefer dan Fox) Model surplus produksi Schafer Fox Lokasi r 2 Fmsy MSY TAC r 2 Fmsy MSY TAC Blanakan 0, , Labuan 0, , Pal.ratu 0, , Keterangan : r 2 = koefisian determinasi; Fmsy = upaya maksimum untuk mencapi tingkat MSY (unit); MSY = Hasil tangkapan maksimum lestari (ton/tahun); TAC = jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80% MSY). Di stasiun Labuan digunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dari Kabupaten Pandeglang karena keterbatasan data di stasiun Labuan. Pengambilan data dari Kabupaten Pandeglang dengan mempertimbangkan bahwa

57 42 Labuan merupakan salah satu wilayah yang berada di naungan pemerintahan Pandeglang serta Perairan Labuan juga merupakan bagian dari Perairan Pandeglang. Untuk menentukan model yang digunakan dalam pendugaaan potensi lestari dilihat besarnya nilai koefisien determinasi (r 2 ). Jika nilai koefisien determinasi yang dihasilkan lebih tinggi maka model tersebut digunakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada stasiun Blanakan digunakan model Schafer (r 2 = 0,50) yang berarti model tersebut hanya mampu menduga model sebenarnya sebesar 50%. Sementara pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu digunakan model Fox dengan koefisien determinasi (r 2 ) 0,86 dan 0,69 untuk masing-masingnya. Pada stasiun Blanakan diperoleh nilai MSY sebesar 753 ton/tahun dengan upaya optimum sebesar 340 unit serta nilai tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 602 ton/tahun. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pada stasiun Blanakan dari tahun hasil tangkapan belum melebihi nilai potensi lestari (MSY) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi kondisi tangkap lebih (overfishing) di Blanakan yang didukung oleh hasil sebelumnya yang menyatakan bahwa laju eksploitasi belum melampaui laju eksploitasi optimum. Hal yang berbeda ditemukan pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu. Pada stasiun Labuan ditemukan nilai MSY sebesar 2245 ton/tahun dengan upaya optimum sebesar 278 unit serta TAC sebesar 1796 ton/tahun. Sementara di stasiun Palabuhanratu ditemukan nilai MSY 342 ton/tahun, Fmsy 130 dan TAC sebesar 274 ton/tahun. Dari hasil ini menunjukkan bahwa pada stasiun Labuan telah terjadi kondisi tangkap lebih pada tahun 2002 dengan produksi 2338 ton/tahun sedangkan pada stasiun Palabuhanratu dengan menggunakan model Fox tidak ditemukan telah terjadi kondisi lebih tangkap pada dari tahun (Lampiran 1) namun bila digunakan model Schaefer dengan nilai koefisien determinasi (r 2 = 0,63) maka perairan Palabuhanratu telah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) yang lebih awal dari pada stasiun Labuan yakni pada tahun 1999 dengan hasil tangkapan 314 ton/tahun yang melebihi nilai MSY sebesar 266 ton/tahun. Kondisi tangkap lebih pada perairan Labuan dan Palabuhanratu disebabkan adanya tingkat eksploitasi yang tinggi. Hal ini didukung dengan hasil sebelumnya yang menunjukkan laju eksploitasi telah melebihi laju eksploitasi optimum.

58 Hubungan Panjang Berat Model hubungan panjang berat ikan petek pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5. Besarnya nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang diperoleh menunjukkan bahwa variasi berat tubuh dapat dijelaskan oleh dimensi panjang. Di stasiun Blanakan dan Labuan variasi berat tubuh dijelaskan sebesar 98% oleh dimensi panjang sedangkan di stasiun Palabuhanratu dijelaskan sebesar 88%. Selain itu diperoleh hubungan yang erat antara panjang-berat melalui nilai koefisien korelasi (r) dengan mengakarkan nilai koefisien determinasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya. Berdasarkan pengujian terhadap nilai b dengan uji-t diperoleh bahwa nilai b di semua stasiun penelitian berbeda nyata dengan nilai 3 sehingga pola pertumbuhan ikan L. equulus bersifat allometrik (b 3). Pola pertumbuhan ikan petek pada stasiun Blanakan dan Labuan bersifat allometrik positif (b >3) yaitu pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang sedangkan pada stasiun Palabuhanratu pola pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik negatif (b < 3) yaitu, pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat. Secara keseluruhan (total) pola pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik positif. Tabel 5. Hasil analisis hubungan panjang-berat ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian Lokasi N Persamaan a b r 2 Pola Pertumbuhan Blanakan 264 W = 1,175X10-5 L 3,0888 1,175X10-5 3,0888 0,98 Allometrik positif Labuan 108 W = 1,049X10-5 L 3,1171 1,049X10-5 3,1171 0,98 Allometrik positif Pel.Ratu Total W = 5,841X10-5 L 2,7433 W = 1,076X10-5 L 3,0988 5,841X10-5 1,076X10-5 2,7433 3,0988 0,88 0,95 Allometrik negatif Allometrik positif Pola pertumbuhan ikan L. equulus yang bersifat allometrik positif didukung dengan pernyatan Pauly et al. (1996) in Novitriana (2004) yang menyatakan pola pertumbuhan ikan petek di Indonesia bersifat allometrik positif (b = 3,6738) dan Novitriana (2004) di perairan Pantai Mayangan. Sementara di stasiun Palabuhanratu ditemukan pola pertumbuhan allometrik negatif. Perbedaan pola pertumbuhan ikan L. equulus pada penelitian ini hampir

59 44 sama ditemukan pada pola pertumbuhan ikan L. splendens. Di perairan Selat Malaka pola pertumbuhan ikan L. splendens bersifat allometrik sementara di perairan Teluk Labuan memiliki pola pertumbuhan isometrik (Pauly 1977 in Saadah 2000; Saadah 2000). Perbedaan pola pertumbuhan tersebut terkait erat dengan faktor lingkungan seperti suhu, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur (Moyle dan Cech 1998). Sementara Effendie (1997) menyatakan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam seperti keturunan (genetik), umur, jenis kelamin, hormon dan penyakit; serta faktor luar seperti suhu perairan dan makanan Faktor Kondisi Penentuan nilai faktor kondisi didasarkan pada pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan ikan petek yang ditemukan pada semua stasiun penelitian bersifat allometrik. Kisaran nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina ikan petek di tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan jantan dan betina masing-masing terjadi pada stasiun Palabuhanratu dan Labuan. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina pada stasiun Blanakan dan Labuan lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan petek betina di kedua lokasi tersebut lebih montok dari pada ikan jantan. Sementara pada Palabuhanratu ditemukan hal yang sebaliknya. Tabel 6. Faktor kondisi ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian Jantan Betina Lokasi N Kisaran rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb Blanakan 52 0,78-1,13 0,96 0, ,84-1,36 1,00 0,08 Labuan 51 0,83-1,43 0,98 0, ,90-1,13 1,02 0,06 Pel.ratu 63 0,90-1,21 1,04 0, ,77-1,21 1,01 0,10 Ket : Sb = simpangan baku Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina berfluktuatif berdasarkan tingkat kematangan gonad kecuali pada ikan jantan pada stasiun Palabuhanratu. Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina pada stasiun Blanakan dan Labuan meningkat setiap

60 45 bulannya. Sementara pada stasiun Palabuhanratu nilai faktor kondisi ikan jantan menurun pada bulan Juli dan ikan betina menurun setiap bulannya (Gambar 6). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan jantan pada stasiun Blanakan dan Labuan lebih kecil dari ikan betina. Hal ini dapat dipahami karena bobot gonad ikan betina cenderung lebih berat dari pada gonad ikan jantan akibatnya bobot ikan betina lebih besar dari bobot ikan jantan dan selanjutnya berpengaruh terhadap nilai faktor kondisi. Selain itu, diduga ketersediaan makanan di perairan Blanakan dan Labuan lebih melimpah sehingga menyebabkan ukuran ikan betina yang tertangkap pada kedua stasiun lebih besar dari pada stasiun Palabuhanratu. Menurut Lagler (1972) dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah. Kondisi dimana faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ini dijumpai pada ikan L. splendens di perairan Teluk Labuan (Saadah 2000), ikan tunisi Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830 di Teluk Palabuhanratu (Susanto 2006). Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.ratu Blanakan Labuan Pel.ratu Faktor Kondisi (K) 1,20 1,10 1,00 0,90 0,80 I II III IV Faktor Kondisi (K) 1,20 1,10 1,00 0,90 0,80 I II III IV Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (a) Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.ratu Blanakan Labuan Pel.ratu Faktor Kondisi (K) 1,20 1,10 1,00 0,90 0,80 Mei Juni Juli Faktor Kondisi (K) 1,20 1,10 1,00 0,90 0,80 Mei Juni Juli Bulan Penelitian Bulan Penelitian (b) Gambar 6. Sebaran nilai faktor kondisi (K) ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad (a) dan waktu penelitian (b)

61 46 Hal yang berbeda ditemukan pada stasiun Palabuhanratu di mana faktor kondisi ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Hal ini diduga karena ikan yang matang gonad lebih banyak ditemukan pada jantan daripada betina (47,8%;28,7%). Selain itu diduga pada saat ikan betina matang gonad tidak melakukan aktivitas makan sehingga asupan energi yang dibutuhkan berasal dari cadangan lemak dalam tubuh serta ketersediaan makanan di alam tidak melimpah sehingga perkembangan gonad menjadi lambat dan ukuran gonad menjadi kecil. Kondisi ini telah ditemukan pada ikan L. equulus di perairan pantai Mayangan Novitriana (2004). Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina yang bervariasi dan berfluktuasi yang ditemukan sesuai dengan pernyataan (Effendie 1979; Le Cren 1951 in Lumbanbatu 1979) yang menyatakan nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina yang bervariasi dan berfluktuasi tergantung pada kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, jenis kelamin dan umur. Kondisi yang sama dijumpai pada ikan selais Ompok hypophthalmus (Simanjuntak 2007), ikan L. equulus (Novitriana 2004), ikan kakap laut dalam Aprion virescens Valenciennes, 1830 (Andesti 2006) Nisbah Kelamin Secara keseluruhan dari 302 ikan petek yang dibedah selama 3 bulan komposisinya terdiri dari 166 ikan jantan dan 136 ikan betina (1,2:1) sedangkan ikan yang matang gonad ditemukan 107 ikan jantan dan 118 ikan betina (1:1,1). Nisbah kelamin ikan L. equulus secara keseluruhan dan yang matang gonad disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nisbah kelamin ikan petek (L. equulus) jantan dan betina secara keseluruhan dan yang matang gonad di tiap lokasi penelitian Ikan keseluruhan Nisbah kelamin Ikan matang gonad Nisbah kelamin Lokasi Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Blanakan ,0 1, ,0 2,9 Labuan ,6 1, ,6 1,0 Pel.ratu ,0 1, ,7 1,0 Berdasarkan uji Khi Kuadrat untuk total ikan baik secara keseluruhan (TKG I, II, III, dan IV) dan yang matang gonad (TKG III dan IV) rasio kelamin tidak berbeda nyata pada taraf 95% (X 2 hit < X 2 tab (db -1)) dari pola 1:1 atau rasio kelamin

62 47 seimbang. Sementara berdasarkan tempat baik keseluruhan maupun yang matang gonad rasio kelamin tidak seimbang (X 2 hit > X 2 tab (db -1)) pada taraf 95%. Jumlah ikan jantan secara keseluruhan maupun yang matang gonad pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu setiap bulannya lebih dominan dari pada ikan betina sedangkan pada stasiun Blanakan jumlah ikan betina lebih dominan kecuali pada bulan Mei (Gambar 7). Berdasarkan uji Khi Kuadrat secara keseluruhan dan matang gonad rasio kelamin ikan petek tidak seimbang berdasarkan bulan penelitian (X 2 hit > X 2 tab (db -1)) pada taraf 95%. Sementara ikan petek yang matang gonad pada stasiun Labuan rasio kelamin seimbang (X 2 hit < X 2 tab (db -1)) atau (50%:50%). Blanakan Blanakan Jantan Betina Jantan Betina Nisbah kelamin 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Mei Juni Juli Nisbah kelamin 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Mei Juni Juli Bulan Penelitian Bulan penelitian Labuan Labuan Jantan Betina Jantan Betina Nisbah kelamin 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Mei Juni Juli Nisbah kelamin 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Mei Juni Juli Bulan penelitian Bulan penelitian Pel.Ratu Pel.Ratu Jantan Betina Jantan Betina Nisbah kelamin 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Mei Juni Juli Nisbah kelamin 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Mei Juni Juli Bulan penelitian Bulan penelitian (a) (b)

63 48 Gambar 7. Nisbah kelamin ikan L. equulus secara keseluruhan (a) dan yang matang gonad (b) berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Penyimpangan rasio kelamin ikan petek (L. equulus) jantan dan betina juga pernah dinyatakan oleh Novitriana (2004). Selain itu penyimpangan rasio kelamin ditemukan juga pada ikan kresek Thryssa mystax (Fatimah 2006), ikan tajuk emas Pristipomoides multidens, Day 1871 (Angelika 2006). Selanjutnya Saadah (2000) menyatakan rasio kelamin ikan L. splendens tidak seimbang secara keseluruhan sedangkan ikan yang matang gonad adalah seimbang. Hermawan (2007) menyatakan nisbah kelamin ikan Glossogobius giuris tidak seimbang tiap bulannya namun secara menyeluruh ikan jantan dan betina dalam keadaan seimbang. Penyimpangan yang terjadi dari pola 1:1 disebabkan oleh pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, dan keseimbangan rantai makanan (Bal dan Rao 1984; Effendie 1997). Selanjutnya Brule et al. (1999) in Trippel (2003) menyatakan penyimpangan rasio kelamin dari 50:50 sebagai akibat upaya penangkapan yang tidak seimbang terhadap jenis kelamin Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Menurut Affandi dan Tang (2000) perkembangan gonad dipengaruhi oleh dua faktor yaitu lingkungan dan hormon. Selama perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat kematangan gonad (Syandri 1996). Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan dua cara yaitu cara morfologi dan cara histologis. Pada ikan jantan pengamatan hanya dilakukan dengan cara morfologi saja yaitu dengan melihat perkembangan gonad dari penampakan luarnya seperti warna, bentuk dan ukuran sementara gonad ikan betina betina dilakukan dengan kedua cara tersebut. Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih difokuskan terhadap ikan betina. Kebanyakan penulis (Cassie 1956 in Effendie 1997; Novitriana 2004; Simanjuntak 2007) membagi tahap perkembangan gonad ke dalam lima tahap yaitu TKG I (awal pertumbuhan), TKG II (berkembang), TKG III ( matang), TKG IV (Matang) dan TKG V (salin). Namun pada penelitian ini penulis hanya membagi ke

64 49 dalam empat tahap perkembangan saja. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya gonad-gonad ikan petek yang memiliki ciri-ciri TKG V (salin). Pengamatan tingkat kematangan gonad dibedakan berdasarkan lokasi penelitian yang dilakukan. Adapun tahap perkembangan kematangan gonad ikan jantan secara morfologi dapat dijelaskan sebagai berikut : Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan Awal pertumbuhan (TKG I) Testis berukuran relatif kecil dengan berat berkisar antara 0,01 0,07 gram. Terletak di ujung rongga tubuh dekat anus, berwarna putih kecoklatan, jumlahnya sepasang yang bentuknya menyerupai kipas (tidak memanjang) dan permukaannya licin. Secara morfologi tidak ada perbedaan yang terlihat jelas antara setiap lokasi penelitian seperti bentuk dan warna akan tetapi dari segi ukuran yakni berat testis ditemukan adanya perbedaan. Pada stasiun Blanakan berat testis ikan petek berkisar antara 0,01-0,04 gram dengan berat rata-rata 0,02 gram. Pada stasiun Labuan ditemukan berat testisnya lebih besar yaitu berkisar antara 0,03-0,07 gram dengan berat rata-rata 0,06. Sementara pada stasiun Palabuhanratu berat testisnya berkisar antara 0,04-0,07 gram dengan berat rata-rata 0,06 gram. Berkembang (TKG II) Testis mulai berkembang dengan ukuran yang lebih besar dari TKG I. Berat testis berkisar antara 0,05-0,18 gram. Warna testis putih dan permukaannya agak bergerigi. Bentuk testisnya menyerupai kipas (tidak memanjang). Perbedaan yang terlihat dari setiap lokasi penelitian adalah berat testisnya. Di stasiun Blanakan berat testis ikan petek berkisar antara 0,05-0,10 gram dengan berat rata-rata 0,07 gram. Di stasiun Labuan ditemukan berat testisnya lebih besar yaitu berkisar antara 0,08-0,18 gram dengan berat rata-rata 0,13 gram sementara di stasiun Palabuhanratu berat testisnya berkisar antara 0,06-0,12 gram dengan berat rata-rata 0,10 gram. Dewasa (TKG III) Testis semakin besar dengan kisaran berat antara 0,09-0,32 gram. Warna testis semakin putih dan permukaannya yang bergerigi jelas terlihat. Adapun perbedaan yang terlihat dari tiap stasiun penelitian adalah dari ukuran testisnya. Di stasiun Blanakan berat testis berkisar antara 0,09-0,28 gram dengan berat rata-rata 0,15

65 50 gram, stasiun Labuan ditemukan berat testisnya lebih besar yaitu berkisar antara 0,10-0,32 gram dengan berat rata-rata 0,18 gram sementara di stasiun Palabuhanratu berat testisnya berkisar antara 0,14-0,28 gram dengan berat rata-rata 0,17 gram. Matang (TKG IV) Warna testis putih susu dengan ukuran yang lebih besar dari TKG III yakni berkisar antara 0,19-0,84 gram dan hampir mengisi seperempat rongga tubuh dan permukaan testis masih bergerigi. Adapun perbedaan yang terlihat antar stasiun penelitian ialah berat testisnya. Ukuran testis pada stasiun Blanakan berkisar antara 0,29-0,84 gram dengan berat rata-rata 0,50 gram. Di stasiun Labuan berkisar antara 0,19-0,60 gram dengan berat rata-rata 0,39 gram sedangkan di stasiun Palabuhanratu berat testisnya berkisar antara 0,23-0,64 dengan berat rata-rata 0,37 gram Perkembangan gonad ikan petek (L. equulus) betina Pada ikan betina penentuan perkembangan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara yaitu secara morfologis dan histologis serta dibedakan tiap lokasi penelitian. Sementara gonad betina yang memiliki TKG IV (matang) dibedakan pengamatan secara histologis yakni pada bagian anterior, medium dan posterior untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar sub-gonad tersebut. Adapun tahap perkembangan kematangan gonad ikan betina baik secara morfologis maupun histologis (Gambar 8 dan 9) dapat dijelaskan sebagai berikut : Awal Pertumbuhan (TKG I) Secara morfologi ovarium berbentuk bulat oval dan terletak di ujung posterior rongga tubuh dekat anus. Ukuran sel telur relatif kecil dan belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Berat ovarium berkisar antara 0,11-0,30 gram dan berwarna agak putih kekuningan. Permukaan halus tidak ditemukan adanya pembuluh darah. Adapun perbedaan yang terlihat antar stasiun penelitian adalah berat ovariumnya. Di stasiun Palabuhanratu berat rata-rata ovarium adalah 0,11 gram, stasiun Blanakan berat rata-rata ovarium adalah 0,19 gram serta stasiun Labuan berat rata-ratanya lebih tinggi yaitu 0,20 gram. Secara histologis, ovarium didominasi oleh oogonium dan dijumpai telah adanya oosit primer hasil dari perkembangan oogonium. Belum dilapisi selaput folikel. Inti sel (nukleus) terletak di tengah dan bentuknya bulat serta dikelilingi oleh sitoplasma. Diameter sel telur yang teramati berkisar antara 22,2-66,7 μm.

66 51 Perbedaan TKG I antar stasiun terlihat pada ukuran diameter sel telurnya. Di stasiun Blanakan relatif lebih besar dari pada stasiun Labuan dan terkecil ditemukan pada stasiun Palabuhanratu. Berkembang (TKG II) Secara morfologi ukuran ovarium lebih besar dari pada TKG I dimana beratnya berkisar antara 0,18-0,65 gram. Pembuluh darah masih belum terlihat jelas. Ovarium berwarna lebih kuning dari pada TKG I. Sel telur masih belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Adapun perbedaan yang terlihat antar stasiun penelitian adalah berat ovariumnya. Di stasiun Blanakan ditemukan berat ovarium tertinggi dengan berat rata-rata adalah 0,39 gram, di stasiun Palabuhanratu berat rata-ratanya adalah 0,24 gram serta di stasiun Labuan berat rata-ratanya yaitu 0,23 gram. Secara histologi diameter telur lebih besar dari TKG I yang berkisar antara 22,2-100 μm. Ovarium didominasi oleh oosit primer namun masih ditemukan adanya oogonium serta dijumpai adanya oosit sekunder. Terlihat adanya lapisan folikel. Telah terjadi tahap awal pembentukan kuning telur (vitellogenesis) yang ditandai mulai terbentuknya kantung kuning telur pada lapisan perifer sitoplasma. Perbedaan antara stasiun penelitian terlihat dari ukuran diameter sel telurnya dimana pada stasiun Blanakan dan Labuan cenderung lebih besar dibandingkan dengan stasiun Palabuhanratu. Dewasa (TKG III) Secara morfologi mulai terlihat adanya pembuluh darah pada ovarium. Butir telur dapat terlihat dengan mata telanjang dengan diameter berkisar antara 0,08-0,49 mm. Ovarium berkisar antara 0,30-1,85 gram. Ovarium berwarna kuning terang dan berbentuk bulat oval serta mengisi rongga tubuh hampir seperempatnya di ujung posterior dekat anus. Di stasiun Blanakan diameter sel telur lebih besar dengan ratarata 0,31 mm sedangkan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu berukuran rata-rata sama yaitu 0,27 mm. Sementara itu berat rata-rata ovarium pada stasiun Blanakan adalah 1,85 gram, stasiun Labuan 1,16 gram dan di stasiun Palabuhanratu paling kecil yaitu 0,54 gram. Secara histologis oogonium dan oosit sekunder masih ditemukan dan oosit sekunder berkembang menjadi oosit. Diameter telur yang teramati berkisar antara

67 52 55,5-222,2 μm dan inti sel lebih besar dari sel telur TKG II. Butir kuning telur (yolk egg) dan vakuola minyak terlihat jelas yang menyebar dari sekitar nukleus yang mengarah ke tepi. Matang (TKG IV) Secara morfologi ovarium bertambah besar dengan ukuran diameter sel telur berkisar antara 0,12-0,52 mm. Berwarna kuning kemerahan dengan pembuluh darah yang terlihat jelas di permukaan ovarium. Butir telur jelas kelihatan oleh mata telanjang. Berat ovarium berkisar antara 0,31-6,88 gram. Ovarium mendesak usus ke arah depan dan mengisi hampir sepertiga rongga tubuh. Perbedaan yang terlihat secara morfologi antar stasiun penelitian terlihat dari ukuran diameter sel telur dan berat ovarium. Di stasiun Blanakan diameter sel telur memiliki rata-rata 0,32 mm, stasiun Labuan 0,30 mm serta di stasiun Palabuhanratu sebesar 0,28 mm. Secara histologis diameter sel telur berkisar antara 66,6-322,2 μm. Ovarium didominasi oleh ovum, inti sel bergerak ke tepi mendekati mikropil dan melebur ke dinding sel. Terlihat dinding folikel telah pecah. Pada bagian posterior ditemukan oosit dan ootid inti sel masih berada di tengah, butir minyak tersebar di sekitar inti sel dengan diameter sel telur berkisar antara 122,2-255,6 μm. Pada bagian medium (tengah) masih ditemukan oosit dan ootid inti mulai bergerak ke dinding sel dengan diameter sel telur yang lebih besar daripada bagian posterior yakni berkisar antara 155,6-266,7 μm. Pada bagian anterior inti sel selanjutnya mendekati mikropil dan melebur ke dinding sel. Pada bagian ini juga ditemukan adanya oosit. Diameter sel telur lebih besar dari pada bagian posterior maupun medium yakni berkisar antara 166,7-322,2 μm. Berdasarkan perkembangan gonad betina secara histologis terlihat bahwa ikan L. equulus memiliki tipe perkembangan oosit synchronous yaitu semua oosit yang ada di dalam ovarium mengalami tingkat kematangan yang sama (Murua dan Saborido-Rey 2003). Selain itu ikan L. equulus diduga mengeluarkan telur serentak (total spawner) sewaktu memijah dan setelah pemijahan selesai sisa-sisa telur yang tidak dikeluarkan akan diserap kembali oleh tubuh (atresia) melalui proses autolisis.

68 53 TKG I TKG I TKG I si Og N 100X 100X 100X TKG II TKG II TKG II Os df N 100X 100X 100X TKG III TKG III TKG III Yg Ot Bk 100X 100X 100X Bm (a) (b) (c) Keterangan : N = Nukleus; Si = Sitoplasma; Og = Oogonium; Os = oosit; df = dinding folikel; Ot = Ootid; Ov = Ovum; Yg = granula kuning telur; Bm = Butir minyak; Bk = butir kuning telur Gambar 8. Struktur histologis gonad TKG I, II,dan III ikan L. equulus betina pada stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c) N

69 54 TKG IV Anterior TKG IV Anterior TKG IV Anterior Og Ov Bk N 100X Os Bm 100X 100X TKG IV Medium TKG IV Medium TKG IV Medium Bm Os Bk N Ov 100X 100X 100X TKG IV Posterior TKG IV Posterior TKG IV Posterior Os Bk Ot N 100X Bm 100X 100X (a) (b) (c) Keterangan : N = Nukleus; Og = Oogonium; Os = oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; Bm = Butir minyak; Bk = butir kuning telur Gambar 9. Struktur histologis gonad TKG IV pada bagian anterior, medium dan posterior ikan L. equulus betina pada stasiun Blanakan (a), Labuan (b) dan Palabuhanratu (c)

70 55 Selama penelitian baik ikan jantan dan ikan betina ditemukan tingkat kematangan gonad (TKG) yang berbeda di semua lokasi penelitian dengan proporsi yang berbeda. Di stasiun Blanakan ikan jantan didominasi oleh ikan yang memiliki TKG I sedangkan pada ikan betina didominasi oleh TKG IV. Di stasiun Labuan dan Palabuhanratu baik ikan jantan maupun betina didominasi oleh ikan TKG IV (matang). Namun secara keseluruhan ditemukan bahwa ikan yang matang gonad (TKG III dan IV) mendominasi hasil tangkapan selama penelitian. Dari hasil ini menunjukkan bahwa selama bulan penelitian ikan petek sedang dalam musim pemijahan (Gambar 10). Di stasiun Blanakan ikan jantan TKG I ditemukan pada selang mm, di stasiun Labuan ditemukan pada selang mm, dan di stasiun Palabuhanratu ditemukan pada selang mm. Ikan betina di stasiun Blanakan ditemukan pada selang mm, di stasiun Labuan ditemukan pada selang mm dan di stasiun Palabuhanratu ditemukan pada selang mm. Ikan L. equulus yang matang gonad (TKG IV) lebih awal ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu yakni pada kisaran panjang mm sedangkan stasiun Blanakan ditemukan pada selang yang lebih panjang yakni mm. Perbedaan ini diduga karena adanya tingkat eksploitasi. Di stasiun Labuan dan Palabuhanratu tingkat eksploitasinya telah melebihi batas optimal sehingga diduga kematangan gonadnya menjadi lebih awal daripada stasiun Blanakan. Hasil ini diperkuat oleh Stevens et al. (2000) yang menyatakan eksploitasi dengan skala besar menyebabkan populasi didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil dan kematangan gonad yang lebih awal. Berdasarkan jenis kelamin, ikan jantan di Blanakan lebih awal matang gonad (136 mm) dari pada ikan betina (140 mm). Hal yang sama juga terjadi di stasiun Labuan dimana jantan matang gonad dengan panjang 126 mm dan betina 129 mm. Sementara di stasiun Palabuhanratu ditemukan ikan betina lebih awal matang gonad (123 mm) dari pada jantan (132 mm). Perbedaan ukuran ikan pertama kali matang gonad yang ditemukan dikarenakan adanya perbedaan lama hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler et al. (1977) menyatakan umumnya ikan dengan ukuran panjang maksimum yang lebih kecil dan lama hidup yang lebih singkat akan mengalami kematangan gonad yang pertama dan umur yang lebih muda.

71 56 Perbedaan ukuran matang gonad ikan jantan dan betina ikan L. equulus telah dilaporkan oleh Novitriana (2004) dan Fang Lee et al. (2005) dimana ukuran ikan jantan matang gonad lebih kecil dibandingkan dengan ikan betina. Sementara itu, Saadah (2000) menyatakan ikan L. splendens betina matang gonad lebih awal dari pada ikan jantan. Selain itu kematangan gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik secara kualitas maupun kuantitas (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang 2000). Effendie (1997) menyatakan faktor yang mempengaruhi pertama kali ikan matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jenis kelamin, sifat-sifat fisologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta ukuran. Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.Ratu Blanakan Labuan Pel.Ratu Frekuensi (%) 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 TKG I TKG II TKG III TKG IV Frekuensi (%) 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 TKG I TKG II TKG III TKG IV Gambar 10. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009 Pada Gambar 12 ikan L. equulus yang matang gonad baik ikan jantan maupun ikan betina ditemukan setiap bulan pada semua stasiun penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa selama bulan Mei sampai Juli merupakan musim pemijahan ikan petek. Hasil ini didukung oleh Novitriana (2004) yang menyatakan musim pemijahan ikan L. equulus di perairan pantai Mayangan berlangsung pada bulan Mei-November. Selanjutnya Fang Lee et al. (2005) menyatakan pada bulan Mei- Agustus merupakan musim pemijahan ikan L. equulus di perairan Barat Daya Taiwan. Pada stasiun Blanakan di bulan Juli ditemukan bahwa ikan L. equulus baik ikan jantan maupun betina yang matang gonad mendominasi hasil tangkapan selama penelitian yaitu 100%. Hal ini diduga bahwa pada bulan tersebut merupakan puncak

72 57 Blanakan Jantan Blanakan Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Selang Kelas Panjang Selang Kelas Panjang Labuan Jantan Labuan Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Selang Kelas Panjang Selang Kelas Panjang Pel.Ratu Jantan Pel.Ratu Jantan TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Selang Kelas Panjang Selang Kelas Panjang (a) (b) Gambar 11. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan (a) dan betina (b) berdasarkan selang kelas panjang ditiap lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009 pemijahan. Berbeda dengan stasiun Labuan dan Palabuhanratu dimana ikan jantan yang matang gonad mendominasi pada bulan Juni sedangkan ikan betina mendominasi pada bulan Mei dan Juli. Oleh karena, jumlah tangkapan pada bulan Mei hanya 8 sampel dan ikan betina yang matang gonad hanya 1 sampel pada

73 58 stasiun Labuan dan 3 sampel pada stasiun Palabuhanratu maka bulan tersebut bukan merupakan puncak musim pemijahan ikan. Sehingga dapat diduga puncak pemijahan ikan petek terjadi pada bulan Juni-Juli di kedua stasiun tersebut. Blanakan Jantan TKG I TKG II TKG III TKG IV Blanakan Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Mei Juni Juli 0 Mei Juni Juli Bulan Penelitian Bulan Penelitian Labuan Jantan Labuan Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Mei Juni Juli Bulan Penelitian 0 Mei Juni Juli Bulan Penelitian Pel.Ratu Jantan Pel.Ratu Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG (%) TKG (%) Mei Juni Juli 0 Mei Juni Juli Bulan Penelitian Bulan Penelitian (a) (b) Gambar 12. Persentase tingkat kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian

74 Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad ikan petek pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8. Indeks kematangan gonad ikan jantan di setiap stasiun penelitian selalu lebih kecil dibandingkan ikan betina. Berdasarkan lokasi penelitian bahwa ikan betina di stasiun Blanakan lebih besar dari pada stasiun lain sementara nilai IKG rata-rata ikan jantan yang tertinggi ditemukan pada stasiun Labuan. Pada stasiun Blanakan nilai IKG tertinggi ikan jantan ditemukan pada bulan Juli (0,78%) dan ikan betina ditemukan pada bulan Juni (3,37%). Nilai IKG ikan jantan tertinggi di stasiun Labuan dan Palabuhanratu ditemukan pada bulan Juni (0,64% dan 0,50%) dan ikan betina ditemukan pada bulan Juli (2,21% dan 1,59%) (Tabel 8). Nilai IKG baik pada ikan jantan dan betina di setiap stasiun penelitian mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad (Gambar 13). Tabel 8. Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan lokasi penelitian Jantan Betina Lokasi N Kisaran Rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb Blanakan 52 0,03 1,17 0,29 0, ,38 5,85 2,85 1,33 Labuan 51 0,07 1,46 0,46 0, ,33 4, ,12 Pel.Ratu 63 0,10 1,19 0,45 0, ,28 3,40 1,44 0,69 Total 166 0,03 1,46 0,40 0, ,28 5,85 2,32 1,31 Ket : Sb = simpangan baku Indeks kematangan gonad dapat menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Perubahan IKG erat kaitannya dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa IKG ikan betina selalu lebih besar dari pada ikan jantan pada setiap stasiun penelitian. Hal ini dikarenakan bahwa berat gonad ikan betina cenderung lebih berat dibandingkan dengan gonad ikan jantan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Effendie (1997). Peningkatan nilai IKG seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad merupakan hal yang lazim terjadi. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad menyebabkan ukuran diameter telur dan menyebabkan berat gonad juga meningkat. Dengan meningkatnya berat gonad menyebabkan nilai IKG meningkat.

75 60 Hal ini didukung oleh pernyatan Effendie (1997) yang menyatakan berat gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut. Selain itu, Soenanthi (2006) menyatakan pada saat belum terjadi pemijahan sebagian besar energi hasil metabolisme digunakan untuk perkembangan gonad sehingga berat gonad bertambah dengan semakin matangnya gonad. Tabel 9. Indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Jantan Betina Lokasi Bulan N Kisaran Rata-rata Sb N kisaran Rata-rata Sb Mei 37 0,03 0,44 0,16 0, ,38 3,02 1,28 0,85 Blanakan Juni 7 0,05 1,01 0,37 0, ,64 5,85 3,37 1,27 Juli 8 0,46 1,17 0,78 0, ,57 5,81 2,99 1,01 Mei 7 0,09 0,62 0,23 0,18 1 1,05 1,05 - Labuan Juni 27 0,07 1,46 0,64 0,37 8 0,33 3,84 1,83 1,10 Juli 17 0,11 0,55 0,28 0, ,33 4,34 2,21 1,17 Mei 5 0,14 0,55 0,29 0,16 3 0,99 1,89 1,42 0,45 Pel.ratu Juni 30 0,14 1,19 0,50 0, ,28 3,40 1,39 0,79 Juli 28 0,10 1,02 0,43 0,23 7 0,87 2,20 1,59 0,43 Keterangan : Sb = Simpangan baku Nilai IKG ikan betina tertinggi ditemukan pada stasiun Blanakan sedangkan pada ikan jantan ditemukan pada stasiun Labuan. Hal ini diduga karena di stasiun Blanakan ukuran ikan betina yang tertangkap lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya sementara di stasiun Labuan ukuran ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan ukuran ikan jantan pada stasiun lain. Selain itu, di stasiun Blanakan selama penelitian didominasi oleh ikan-ikan betina yang matang gonad demikian juga halnya dengan ikan-ikan jantan yang ditemukan di stasiun Labuan. Di stasiun Blanakan IKG rata-rata ikan jantan tertinggi ditemukan pada bulan Juli sedangkan pada ikan betina ditemukan pada bulan Juni. Hal ini menunjukkan bahwa ikan jantan diduga lebih awal tiba di tempat pemijahan (spawning ground) dibandingkan dengan ikan betina. Hal ini diduga merupakan strategi pemijahan ikan L. equulus di kedua lokasi tersebut. Keadaan ini juga ditemukan pada L. equulus di perairan Barat Daya Taiwan dimana ikan jantan lebih awal tiba (Maret-Mei) ditempat pemijahan (Spawning ground) dari pada ikan betina (Juni-Agustus). Hal demikian juga terjadi pada ikan Ethmalosa fimbriata dan Physiculus maximowiczi (Fang Lee et al. 2005).

76 61 Berdasarkan nilai-nilai indeks kematangan gonad yang ditemukan di semua lokasi penelitian terlihat nilainya lebih kecil dari 20% maka ikan L. equulus memijah berkali-kali dalam setahun (Bagenal 1978 in Sumassetiyadi 2003). Puncak pemijahan Ikan L. equulus diduga terjadi pada bulan Juni-Juli. Hasil ini di dukung oleh Fang Lee et al. (2005) yang menyatakan ikan tersebut memijah pada bulan Mei-Agustus. Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.Ratu Blanakan Labuan Pel.Ratu IKG (%) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 I II III IV IKG (%) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 I II III IV Tingkat Kematangan gonad Tingkat kematangan gonad (a) Jantan Betina Blanakan Labuan Pel.Ratu Blanakan Labuan Pel.Ratu IKG (%) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Mei Juni Juli IKG (%) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Mei Juni Juli Bulan penelitian Bulan penelitian (b) Gambar 13. Grafik indeks kematangan gonad ikan petek (L. equulus) jantan dan betina berdasarkan (a) tingkat kematangan gonad dan (b) waktu penelitian

77 Fekunditas Fekunditas ikan L. equulus di stasiun Blanakan berkisar antara butir dengan rata-rata (±53.447). Fekunditas ini ditemukan pada kisaran panjang mm dan kisaran berat tubuh gram. Di stasiun Labuan fekunditas berkisar antara butir dengan rata-rata (±50.950) yang ditemukan pada kisaran panjang mm dan di kisaran berat gram. Sementara itu, di stasiun Palabuhanratu fekunditas ikan L. equulus berkisar antara butir dengan rata-rata (±15.510) yang ditemukan pada kisaran panjang dan pada kisaran berat tubuh gram (Tabel 10). Hubungan fekunditas dengan panjang total ditunjukan oleh persamaan F = 2x10-6 L 4,7482 (r = 0,76) dan hubungan fekunditas dengan berat tubuh F = 1400,5W (r = 0,86) (Gambar 14). Nilai korelasi (r) yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara fekunditas dengan panjang total maupun antara fekunditas dengan berat tubuh. Hal ini umumnya terjadi dengan meningkatnya ukuran panjang dan berat akan meningkatkan ukuran gonad dan akhirnya meningkatkan fekunditas. Tabel 10. Kisaran panjang total, berat tubuh dan fekunditas ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian Lokasi N Panjang total (mm) Berat tubuh (gram) Fekunditas total (butir) Kisaran μ Sb Kisaran μ Sb Kisaran μ Sb Blanakan Labuan Pel.ratu Ket : μ = rata-rata; Sb = simpangan baku Hal ini didukung oleh Walker et al. (1998) in Stevens et al. (2000) yang menyatakan fekunditas cenderung meningkat dengan ukuran tubuh yang besar sehingga potensi reproduksi ikan berukuran besar lebih besar dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Selanjutnya Novitriana (2004) menyatakan terdapat hubungan yang erat antara fekunditas ikan L. equulus dengan berat tubuh dan panjang total serta terdapat hubungan yang sangat erat terhadap berat gonad. Fekunditas total ikan L. equulus pada stasiun Blanakan jauh lebih banyak dari pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu. Selain itu fekunditas total ini juga lebih banyak dari ikan petek yang ditemukan oleh Novitriana (2004) di perairan

78 63 Mayangan dan Fang Lee et al. (2005) di perairan Barat Daya Taiwan. Hal ini dikarenakan oleh nilai rata-rata panjang dan berat ikan L. equulus di stasiun Blanakan lebih besar karena tingkat eksploitasinya lebih kecil dibandingkan dengan stasiun Labuan dan Palabuhanratu. Selanjutnya Bagenal (1978) in Syandri (1996) yang menyatakan bahwa pertambahan berat tubuh dan panjang ikan meningkatkan fekunditas secara linear. Panjang total (mm) Berat total (gr) Nilai panjang (mm) / berat tubuh (gr) Blanakan Labuan Pel.Ratu Fekunditas total (mm) Blanakan Labuan Pel.Ratu Lokasi penelitian Lokasi penelitian (a) (b) Gambar 14. Ukuran panjang dan berat (a) dan fekunditas (b) ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009 Ricker (1975) in Widodo dan Suadi (2006) menyatakan semakin tinggi tingkat eksploitasi atau mendekati tingkat eksploitasi yang berlebihan (overfishing) populasi akan didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran kecil karena ikan ikan yang berukuran besar tertangkap. Selain itu ukuran ikan dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam seperti keturunan, umur, parasit dan penyakit sedangkan faktor luar seperti suhu perairan dan makanan dan pada wilayah tropis makanan merupakan faktor yang terpenting dari pada suhu perairan (Effendie 1997). Ikan L. equulus memiliki fekunditas yang banyak sehingga dapat diduga memijah dengan melepaskan telurnya begitu saja dan tidak menjaganya (non parental care) serta merupakan strategi reproduksi untuk mempertahankan stoknya di perairan. Hal ini didasarkan oleh pernyataan Nikolsky (1963) yang menyatakan bahwa ikan yang mempunyai fekunditas besar pada umumnya memijah di daerah permukaan dan tidak menjaga telurnya, sedangkan ikan yang memiliki fekunditas

79 64 yang kecil biasanya melindungi telurnya dari pemangsa atau menempelkan telurnya pada tanaman atau substrat lain F = 2E-06L 4,7482 R 2 = 0, F = 1400,5W R 2 = 0,7406 Fekunditas (butir) Panjang total (mm) Berat tubuh (gram) (a) (b) Gambar 15. Hubungan fekunditas ikan petek (L. equulus) dengan panjang total (a) dan hubungan fekunditas dengan bobot tubuh (b) Diameter Telur Kisaran dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus di tiga stasiun penelitian disajikan pada Tabel 11. Nilai rata-rata terbesar diameter telur TKG III dan TKG IV ditemukan di stasiun Blanakan sedangkan nilai terkecil TKG III ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu sedangkan pada TKG IV ditemukan di stasiun Palabuhanratu. Tabel 11. Kisaran nilai diameter telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan lokasi penelitian TKG III TKG IV Lokasi Kisaran Rata-rata Sb Kisaran Rata-rata Sb Blanakan 0,08 0,49 0,31 0,077 0,12 0,52 0,32 0,074 Labuan 0,13 0,42 0,27 0,070 0,13 0,48 0,30 0,074 Pel.Ratu 0,12 0,44 0,27 0,072 0,13 0,45 0,28 0,066 Ket: Sb = simpangan baku Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa diameter telur TKG III dan IV di stasiun Blanakan lebih besar daripada stasiun lainnya. Selain itu, terlihat adanya satu puncak pada grafik sebaran diameter sehingga dapat diduga bahwa ikan petek mengeluarkan telur secara serentak sewaktu memijah (total spawner) dengan waktu

80 65 pemijahan yang panjang dan terus menerus. Hal ini didasarkan oleh ukuran telur yang berbeda-beda di dalam ovarium (Prabu 1956 in Liana 2003). Perkembangan diameter telur umumnya dikarenakan terjadinya akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis yang menyebabkan telur dari ukuran kecil menjadi besar (Utiah 2006). Dari hasil yang diperoleh bahwa diameter telur TKG III lebih kecil dari diameter telur TKG IV. Hal ini dikarenakan dengan semakin matangnya gonad maka ukuran diameter telurnya juga semakin besar. Pernyataan ini didukung oleh Effendie (1997) yang menyatakan sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme dimanfaatkan bagi perkembangan gonad dan gonadnya akan semakin besar baik ukuran maupun diameter telurnya. Sementara itu, Solihatin (2007) menyatakan diameter telur akan semakin besar pada waktu mendekati pemijahan seiring dengan meningkatnya TKG. Sebaran diameter telur TKG III Sebaran diameter telur TKG IV 30,00 Blanakan Labuan Pel.Ratu 30,00 Blanakan Labuan Pel.Ratu 25,00 25,00 Frekuensi (%) 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0,08-0,12 0,13-0,17 0,18-0,22 0,23-0,27 0,28-0,32 0,33-0,38-0,37 0,42 0,43-0,48-0,47 0,52 Kelompok ukuran diameter telur (mm) Frekuensi (%) 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0,08-0,13-0,18-0,23-0,28-0,33-0,38-0,43-0,48-0,12 0,17 0,22 0,27 0,32 0,37 0,42 0,47 0,52 Kelompok ukuran diameter telur (mm) Gambar 16. Grafik sebaran diameter telur ikan petek (L. equulus) pada tingkat kematangan gonad Pada stasiun Blanakan ditemukan bahwa diameter telur ikan petek lebih besar dari pada stasiun lainnya. Hal ini diduga terkait dengan ukuran ikan yang matang gonad. Di stasiun Blanakan ikan yang matang gonad ditemukan pada selang kelas yang lebih panjang. Ukuran ikan yang panjang akan menyebabkan rongga perut lebih lebar untuk perkembangan gonad sehingga gonad semakin besar dan berat, begitu juga dengan butir-butir telur yang ada didalamnya (Utiah 2006). Ukuran ikan yang matang gonad ini diduga karena tingkat eksploitasi di stasiun Blanakan lebih kecil dibandingkan dangan Labuan dan Palabuhanratu. Selain itu, adanya ukuran

81 66 diameter telur yang beragam setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chambers dan Leggett 1996; Scott 1979 in Syandri 1996). Stasiun Blanakan memiliki ukuran diameter telur yang lebih besar maka akan lebih dapat mempertahankan populasinya dibandingkan dengan stasiun Labuan dan Palabuhanratu. Hal ini dikarenakan ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Syandri (1996) menyatakan larva yang besar lebih tahan dibandingkan dengan dengan larva yang berukuran kecil yang dihasilkan dari telur yang berukuran kecil Kadar Protein Rata-rata kadar protein telur ikan petek (L. equulus) diperoleh dari rata-rata panjang, berat tubuh, berat gonad, fekunditas dan diameter telur di tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 12. Kadar protein tertinggi ditemukan di stasiun Labuan (21,79%) kemudian stasiun Blanakan (21,19 %) dan terendah ditemukan pada stasiun Palabuhanatu (19,70 %). Di stasiun Blanakan ukuran panjang, berat tubuh, berat gonad, dan diameter telur lebih besar dari pada stasiun lainnya akan tetapi kadar protein telurnya lebih rendah daripada stasiun Labuan. Sebaran kadar protein telur berdasarkan panjang total, berat tubuh, diameter telur serta berat gonad dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 12. Nilai rata-rata kadar protein telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan ratarata panjang total, berat tubuh, berat gonad, fekunditas, diameter telur ditiap lokasi penelitian Rata-rata nilai parameter Lokasi N Kadar protein telur (% L W BG F ø per berat basah) Blanakan , ,30 21,19 Labuan , ,29 21,79 Pel.ratu , ,26 19,70 Total , ,28 20,82 Keterangan : L = panjang total (mm); W= berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram) F= fekunditas (butir); ø = rata-rata diameter telur (mm) Hibiya (1982) in Fujaya (2004) menyatakan kuning telur terdiri atas tiga bentuk, yaitu kantung kuning telur (yolk vesicle), butiran kuning telur (yolk globule) dan tetesan minyak (oil droplet). Kantung kuning telur berisi glikoprotein, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi kortikal alveoli. Butir-butir kuning telur terdiri

82 67 atas lipoprotein, karbohidrat dan karoten. Tetesan minyak (oil droplet) secara umum terdiri atas gliserol dan sejumlah kecil kolesterol maka kandungan protein dalam telur berada pada bagian kantung kuning telur dan butir-butir kuning telur. Blanakan Labuan Palabuhanratu Blanakan Labuan Palabuhanratu 27,00 27,00 Kadar Protein (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 Kadar protein telur (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 15,00 15, Panjang total (mm) Berat tubuh (gram) (a) (b) Blanakan Labuan Palabuhanratu Blanakan Labuan Palabuhanratu 27,00 27,00 Kadar protein telur (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 Kadar protein telur (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 15,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 15,00 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 Berat gonad (gram) Diameter telur (mm) (c) (d) Gambar 17. Sebaran kadar protein telur ikan petek (L. equulus) berdasarkan panjang total (a), berat tubuh (b), berat gonad (c) dan diameter telur (d) ditiap lokasi penelitian dari bulan Mei Juli 2009 Akibat penangkapan, populasi akan didominasi oleh ikan-ikan berukuran kecil dan berumur muda (Ricker 1975 in Widodo dan Suadi 2006). Selanjutnya Bagenal (1971) yang menyatakan ikan-ikan yang berukuran besar dan tua akan menghasilkan telur-telur berukuran besar yang mengandung kuning telur yang lebih banyak dari telur-telur yang dihasilkan induk yang berukuran kecil dan muda. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh eksploitasi terhadap kadar protein telur. Hal ini terlihat dari ikan-ikan yang berukuran besar di stasiun Blanakan seharusnya memiliki kadar protein telur yang tinggi dari pada stasiun lainnya akan tetapi memiliki kadar protein yang lebih kecil dari stasiun Labuan dimana memiliki ukuran induk yang lebih kecil.

83 68 Perbedaan kadar protein ikan petek ditiap lokasi penelitian tersebut diduga karena adanya komposisi yang ada dalam makanan yang dimakan oleh induk. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Castel dan Kean (1994) in Trijoko (1998) menyatakan bahwa pada induk ikan Homarus americanus yang diambil dari beberapa daerah yang berbeda letak geografisnya menghasilkan telur dengan komposisi nutrisi yang berbeda. Penyebab terjadinya perbedaan komposisi tersebut dikarenakan perbedaan jenis dan jumlah pakan alami yang dimakan oleh induk dari lingkungan yang berbeda tersebut. Selanjutnya Toelihere (1985) in Affandi dan Tang (2000) menyatakan bahwa kualitas makanan tergantung pada komposisi nutrisinya seperti lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Berdasarkan hasil analisis regresi linear sederhana pada Tabel 13 diperoleh nilai koefisien determinasi yang kecil pada parameter panjang total, berat tubuh dan berat gonad terhadap kadar protein telur ditiap lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa variasi nilai kadar protein dalam telur tidak dapat dijelaskan secara nyata oleh panjang total, berat total, dan berat gonad. Oleh karena itu model tersebut tidak dapat digunakan sebagai suatu model prediksi. Tabel 13. Nilai koefisien deteminasi (r 2 ) kadar protein telur dengan berbagai parameter pada ikan petek (L. equulus) ditiap lokasi penelitian Parameter Lokasi N L W BG ø Blanakan 9 0,57 0,58 0,33 0,70 Labuan 7 0,17 0,19 0,22 0,76 Pel.ratu 9 0,05 0,26 0,13 0,76 Keterangan : N= jumlah sampel; L= panjang total (mm); W= berat tubuh (gram); BG = berat gonad; ø = rata-rata diameter telur (mm) Hasil yang sama diperoleh pada penelitian udang barong (Panulirus homarus L) bahwa pada ukuran induk yang lebih besar bobot telur yang dihasilkan mengecil (Trijoko 1998). Hal tersebut dikarenakan adanya fase hidup yang selanjutnya berpengaruh terhadap kadar protein, lemak dan karbohidrat di dalam tubuh induk (Shaerer et al in Trijoko 1998). Hal ini dapat dipahami dalam pemanfaatan energi pada fase pertumbuhan dan reproduksi. Pada fase pertumbuhan sebagian besar energi digunakan untuk pertumbuhan somatik hingga pertumbuhan optimal dan sebagian kecil digunakan

84 69 untuk reproduksi. Pada pertumbuhan optimal kebanyakan energi digunakan untuk reproduksi dan pada fase tua energi banyak digunakan untuk perbaikan somatik dan hanya sedikit digunakan untuk reproduksi. Sementara itu, untuk parameter diameter telur diperoleh nilai koefisien determinasi yang tinggi di setiap lokasi penelitian. Pada stasiun Blanakan variasi diameter telur dapat dijelaskan oleh kadar protein telur sebesar 70%, pada stasiun Labuan dan Palabuhanratu masing-masing sebesar 76%. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan pernyataan Kamler (1992) in Utiah (2006) yang menyatakan jumlah dan komposisi protein menentukan besar kecilnya ukuran telur. Selain protein komponen lain yang menentukan kelangsungan hidup larva adalah kandungan asam lemak. Chambers dan Leggett (1996) menyatakan ukuran telur ikan capelin (Malotus villosus) dan kemampuan larva untuk tetap bertahan dari kelaparan berhubungan langsung dengan kondisi dan kandungan lemak induk ikan betina. Selanjutnya Xu et al. (1994) in Trijoko (1998) menyatakan dalam hubungan dengan daya hidup larva asam lemak dalam telur merupakan cadangan makanan dengan konversi energi yang paling tinggi bila dibandingkan dengan protein maupun karbohidrat sehingga dipercayai merupakan salah satu faktor nutrisi yang sangat penting bagi daya tetas telur dan daya hidup larva. Nilai gross energi dari lemak adalah 8-9 kkal/g dan lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan energi dari protein dan karbohidrat yaitu 4,5 dan 4,0 kkal/g untuk masing-masingnya (Smith 1989 in Lestari 2005). Oleh karena itu kandungan protein bukanlah merupakan faktor utama dalam kelangsungan hidup larva sehingga tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam keberhasilan proses rekrutmen Alternatif Pengelolaan Ikan petek merupakan salah satu sumberdaya hayati ikan yang telah dimanfaatkan hingga saat ini. Namun apabila sumberdaya ikan ini dimanfaatkan secara menerus tanpa memperhatikan daya regenerasinya maka sumberdaya ikan ini bisa saja menuju kepunahan meskipun ikan ini termasuk sumberdaya yang dapat pulih. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan suatu pengelolaan untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya ikan petek yang berkesinambungan.

85 70 Adapun upaya pengelolan ikan L. equulus yang disarankan meliputi pengaturan (regulasi) penangkapan seperti pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan jumlah hasil tangkapan, pengurangan intensitas penangkapan pada musim pemijahan ikan, penentuan ukuran ikan yang dapat ditangkap serta perlindungan habitat. Pengelolaan sumberdaya ikan petek di perairan Blanakan ialah sebagai berikut tidak meningkatkan intensitas penangkapan. Ukuran ikan yang boleh ditangkap setelah ikan berukuran lebih besar dari mm. Hal ini bertujuan memberikan kesempatan ikan petek untuk memijah terlebih dahulu. Selanjutnya pada bulan Juni- Juli sebaiknya tidak melakukan aktivitas penangkapan karena pada bulan tersebut merupakan puncak pemijahan ikan petek. Di perairan Teluk Labuan pengelolaan ikan petek adalah sebagai berikut; pengurangan intensitas penangkapan sehingga mengurangi laju mortalitas, tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan petek pada bulan Juni-Juli karena pada bulan tersebut merupakan puncak musim pemijahan. Ukuran ikan petek yang boleh ditangkap ialah ikan yang berukuran lebih mm. Di perairan Teluk Palabuhanratu pengelolaan sumberdaya ikan petek dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut; pengurangan intensitas penangkapan sehingga mengurangi laju mortalitas, tidak melakukan penangkapan pada bulan Juni-Juli karena merupakan puncak pemijahan ikan. Ikan yang ditangkap hendaklah melebihi ukuran panjang mm.

86 71 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Aspek Eksploitasi Laju eksploitasi ikan L. equulus di perairan Blanakan adalah 0,4802 (48,02%) pertahun, perairan Labuan sebesar 0,5774 (57,74%) pertahun dan perairan Palabuhanratu sebesar 0,5695 (56,95%). Di perairan Blanakan sumberdaya ikan L. equulus diduga belum dalam kondisi tangkap lebih (overfishing), sedangkan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu telah mengalami tangkap lebih. 2. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi (a) Pola pertumbuhan ikan L. equulus di perairan Blanakan dan Labuan adalah allometrik positif sedangkan di perairan Palabuhanratu adalah allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K) di stasiun Blanakan 0,72 pertahun, Labuan 0,59 pertahun, dan di Palabuhanratu 1,40 pertahun. Sementara panjang asimtotik (L inf ) di stasiun Blanakan adalah 222,08 mm, di Labuan 211,58 mm, dan di Palabuhanratu 190,58 mm. Faktor kondisi ikan betina lebih besar dari jantan ditemukan di perairan Blanakan dan Labuan sedangkan kondisi sebaliknya ditemukan di perairan Palabuhanratu. Faktor kondisi berfluktuatif berdasarkan waktu dan tingkat kematangan gonad (b) Nisbah kelamin tidak seimbang di semua lokasi penelitian (c) Ikan L. equulus yang kematangan gonadnya lebih awal ditemukan di stasiun Labuan dan Palabuhanratu. (d) Di perairan Labuan dan Palabuhanratu IKG ikan jantan tertinggi di bulan Juni dan ikan betina terjadi di bulan Juli sedangkan di perairan Blanakan ditemukan kondisi yang sebaliknya. Ikan L. equulus memijah berkali-kali dalam setahun dan diduga puncak pemijahannya terjadi pada bulan Juni-Juli. (e) Fekunditas ikan L. equulus tertinggi ditemukan di perairan Blanakan sedangkan yang terendah ditemukan di perairan Palabuhanratu (f) Diameter telur ikan L. equulus terbesar ditemukan di perairan Blanakan. Pola pemijahan ikan adalah total spawner dengan tipe perkembangan oosit synchronous.

87 72 (g) Kadar protein telur ikan L. equulus tertinggi ditemukan di stasiun Labuan. Tidak terdapat hubungan antara kadar protein telur terhadap panjang tubuh, berat tubuh, fekunditas dan berat gonad akan tetapi terdapat hubungan erat dengan diameter telur. 3. Tingkat eksploitasi yang tinggi menyebabkan ukuran ikan menjadi kecil, kematangan gonad yang lebih awal, ukuran gonad yang kecil, fekunditas yang lebih sedikit serta diameter telur yang lebih kecil Saran Untuk mendapatkan informasi menyeluruh perlu dilakukan penelitian tentang aspek lingkungan, genetik, kebiasaan makanan ikan L. equulus di tiga lokasi penelitian tersebut.

88 73 DAFTAR PUSTAKA Adewumi AA, Olaleye VF, & Adesulu EA Egg and sperm quality of the African Catfish, Clarias gariepinus (Burchell) brodstock fed differently heated saybean-based diets. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences 1(1) : Affandi R & Tang MU Fisiologi hewan air. Pekan Baru. Unri Press. 215 hlm. Andesti M Biologi reproduksi ikan kakap laut dalam bedug (Aprion viresans Valenciennes 1830) di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm. Angelika Biologi reproduksi ikan tajuk emas (Pristipomoides multidens, Day 1871) di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm. Angka SL. Mokoginta, I. Hamid, H Anatomi dan histologi banding beberapa ikan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Anita Pengendalian mutu produksi layur (Trichiurus sp.) di pelabuhan perikanan nusantara Palabuhanratu untuk tujuan ekspor [skripsi]. Program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83 hlm. Babu MM, Sivaram V, Immanuel G, Citarasu T, & Punika SMJ Effect of herbal enriched artemia suplementation over the reproductive performance and larval quality in spent spawners of tiger shrimp (Penaeus monodon). Turkish Journal of fisheries and Aquatic Science 8 : Bagenal TB The interrelation of size of fish eggs, the date of spawning and the production cycle. Journal Fish Biology 3: Bal DV & Rao KV Marine fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 250 p. Bianchi G, Badrudin M, & Budiharjdo S Demersal assemblages of Java Sea : A study based on the trawl surveys of the HV Mutiara 4. p In Pauly D and Martosubroto P (eds), base line studies of biodiversity : The Fish resources of Western Indonesia. ICLARM Stud. 312 p.

89 74 Bukhari Studi eksplorasi sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung dengan K.M. Stella Maris [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 125 hlm. Chamber RC & Leggett WC Maternal influences on variation in eggs sizes in temperate marine fishes. Journal American Zoology 36 : Dahuri R Keanekaragaman hayati laut: Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 hlm. Dewi LP Kebiasaan makanan ikan petek (Leiognathus equulus Forsskal, 1775) pada musim penghujan di perairan pantai Mayangan Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang Laporan statistik perikanan tangkap Pandeglang. Dinas Perikanan Kabupaten Subang Pemetaan potensi kelautan dan perikanan Kabupaten Subang [atlas]. Subang. Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat Studi komoditas unggulan perikanan laut di Propinsi Jawa Barat [Laporan akhir]. Kerja Sama Dinas Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dwiponggo A & Badruddin M Result of the Java Sea inshore monitoring survey Contribution of Demersal Fish Project. No. 7, RIMF. Jakarta. Effendi I Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. 188 hlm. Effendie MI Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm. Effendie MI Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. Fang Lee, Liu CK, Cheng W, & Chi C Reproductive biologi of the common pony fish Leiognathus equulus in South-Western waters of Taiwan. Journal Fisheries Science 71 : Fatimah Beberapa aspek reproduksi ikan kresek (Thryssa mystax) pada bulan Januari-Juni di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hlm. Fujaya Y Fisiologi ikan; Dasar pengembangan teknik perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. 179 hlm.

90 75 Genisa AS Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomi penting di Indonesia. Majalah ilmiah semi populer. Oseana. Volume XXIV, Nomor 1 : Hermawan S Aspek reproduksi ikan beloso (Glossogobius giurus) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hlm. Hermawati L Studi biologi reproduksi ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) di peraian Binuangen, Kecamatan Malimping, Kabupaten Lebak, Banten [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm. Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, & Wirjaotmojo, S Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi (edisi dwi bahasa). Barkeley books. Pte ltd, Terrer rond Singapore. 293 p. Lagler KF Freshwater fishery biology. WM. C. Brown Company Publisher. Dubqe, Iowa. 421 p. Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, & Passino D Ichtyology: John Wiley and Sons inc. New York, USA. 506 p. Lestari A Pengaruh kadar vitamin E (α-tocopherol) yang berbeda pada asam lemak (n-3/n-6) tetap dalam pakan induk terhadap penampilan reproduksi ikan zebra Brachydanio rerio [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 36 hlm. Liana V Studi biologi reproduksi ikan tigawaja (Otolithes ruber, Bloch and Schneider) di perairan Mayangan, Subang, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hlm. Lisnawati S Kebiasaan makanan ikan petek (Leiognathus equulus, Forsskal 1775) di perairan pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 hlm. Lumbanbatu DTF Aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan di Waduk Lahor, Jawa Timur [Karya Ilmiah]. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [MMAF] Ministry of Marine Affairs and Fisheries & [JICA] Japan International Cooperation Indonesian fisheries book. Jakarta. 76 p.

91 76 Moyle PB & Cech JJJR Fishes: An introduction to ichthyology. Prentice Hall, Englewood. New Jersey. 559 p. Mubarak H Distribusi Anadara spp. (PELECYPODA, ARCIDAE) dalam hubungannya dengan karakteristik lingkungan perairan dan asosiasinya dengan jenis moluska bentik lain di Teluk Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [tesis]. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 92 hlm. Murdiyanto B Pengelolaan sumber daya perikanan pantai. CoFish Project. Jakarta. 197 hlm. Murua H & Saborido-Rey F Female reproductive strategies of marine fish species of the North Atlantic. Journal Northwest Atlantic Fish Science 33 : Nikolsky GV The ecology of fishes. Academic Press. New York. 325 p. Nontji A Laut nusantara. Edisi Revisi, Cetakan ke-5. Djambatan. Jakarta. 368 hlm. Novitriana R Aspek biologi reproduksi ikan petek (Leiognathus equulus, Forsskal 1775) di perairan pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm. Nurhayati Pengaruh kedalaman terhadap komposisi hasil tangkapan pancing ulur (Handline) pada perikanan layur di perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Pemanfaatan sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hlm. Pauly D Fish population dynamics in tropical waters : A manual for use with programmable calculators. ICLARM. Manila, Filipina. 325 p. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Data statistik perikanan tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Data statistik perikanan tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. Proestou DA. Goldsmith MR. & Twombly, S Patterns of male reproductive success in Crepidula fornicata provide new in sight for sex allocation and optimal sex change. Biol. Bull. 214 :

92 77 Rakhmania F Prospek pendaratan hasil tangkapan di PPI Labuan Kabupaten Pandeglang-Banten [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 120 hlm. Riis-Vestergaard J Energy density of marine pelagic fish eggs. Journal of Fish Biology 60 : Royce WF Introduction to the fishery science. Academic Press. New York. 351 p. Russell FS The eggs and planktonic stages of british marine fishes. London: Academic Press. 524 p. Saanin H Taksonomi dan kunci identifikasi ikan, jilid I dan II. Binacipta. Bandung. 508 hlm. Saadah Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm. Schuster WH & Djajadiredja BR Local name of Indonesian fishes. Published for The Ministry of Agriculture of Indonesia. W. van Ineve. Bandung. Simamora D Kajian morfologi, perilaku, habitat dan analisis proksimat anjing tanah (Gryllotalpa sp.) dari Balige Sumatera Utara [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm. Simanjuntak CPH Reproduksi ikan selais, Ompok hypophthalmus (Bleeker) berkaitan dengan perubahan hidromorfologi perairan di rawa banjiran sungai Kampar Kiri [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hlm. Sinclair M & Valdimarsoon G Responsible fisheries in the marine ecosystem. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) and CABI. Rome, Italy. 413 p. Sjafei DS, Rahardjo MF, Affandi R, Brojo M, & Sulistiono Fisiologi ikan II : Reproduksi ikan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 213 hlm. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1 Manual Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 hlm. Soenanthi KD Studi reproduksi ikan lidah (Cynoglossus lingua Hamilton- Buchanan) di perairan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hlm.

93 78 Solihatin A Biologi reproduksi dan studi kebiasaan makanan ikan sebarau (Hampala macrolepidota) di sungai Musi [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hlm. Steel RGD & Torrie JH Prinsip dan prosedur stasistika. [Terjemahan dari Principles and procedures of statistics]. Sumantri B (penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 772 hlm. Stevens JD, Bonfil R, Dulvy NK, & Walker PA The effect of fishing on shark, rays, and chimaeras (Chondrichthyans), an the implications for marine ecosystems. ICES, Journal of Marine Science 57 : Susanto Biologi reproduksi ikan tunisi (Pristipomoides filamentosus Valenciennes 1830) di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 58 hlm. Sumassetiyadi MA Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmatherina antoniae) di danau Mantano, Sulawesi Selatan [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm. Syandri H Aspek reproduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) Bleeker dan kemungkinan pembenihannya di danau Singkarak [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 121 hlm. Trijoko Hubungan ukuran induk udang barong (Panulirus homarus L.) dengan kualitas telur (bobot kering telur, kadar asam lemak telur, daya tetas telur) dan daya hidup larva [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 36 hlm. Trippel EA Estimation of male reproductive success of marine fishes. Journal Northwest Atlantic Fish Science 33 : Utiah A Penampilan reproduksi induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan pemberian pakan buatan yang ditambahkan asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan implementasi estradiol-17β dan tiroksin [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 104 hlm Walpole RE Pengantar statistik, edisi ke-3. [Terjemahan dari Introduction to statistic 3 rd edition]. Sumantri B (penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hlm. Watanabe Y Recruitment variability of small pelagic fish populations in the Kuroshio-Oyashio transition region of Western North Pasific. Journal North West Atlantic Fish Science 41 :

94 79 Wedjatmiko Komposisi ikan petek (Leiognathidae) di perairan Barat Sumatra (Composition of Pony Fish (Leiognathidae) in West of Sumatra Waters). Jurnal Iktiologi Indonesia 7 (1) : Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Windarti TS Analisis hasil tangkapan jaring arad di Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm.

95 LAMPIRAN 80

96 81 Lampiran 1. Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan petek di tiga stasiun penelitian A. Blanakan Tahun Produksi (ton) Effort CPUE (ton/unit) ln CPUE , ,0672 0, , ,8594-0, , ,1970 0, , ,2222 0, , ,9456-0,0560 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Subang B. Labuan Tahun Produksi (ton) Effort (unit) CPUE (ton/unit) Ln CPUE , ,5244 2, , ,5589 2, , ,6273 2, , ,3959 2, , ,4904 2, , ,2878 2, , ,0078 2,4856 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Pandeglang 2007 C. Palabuhanratu Tahun Produksi (ton) Effort (unit) CPUE(ton/unit) Ln CPUE , ,4218-0, , ,8339-0, , ,5901-0, , ,1312 0, , ,1856 0, , ,7757-0, , ,2816-1, , ,3305-1, , ,2450 0, , ,6198-0,4784 Sumber : PPN Palabuhanratu 2008 Contoh perhitungan: Pada stasiun Palabuhanratu Model Schaefer Dari hasil analisis regresi terhadap upaya (x) dengan CPUE (Y) diperoleh nilai a dan b masing-masing 2,43 dan -0,066 sehingga : Fmsy = - a/2b = 218 unit MSY = -a 2 /4b = 266 ton/tahun TAC = 80% MSY = 213 ton/tahun

97 Lampiran 2. Panjang dan berat ikan L. equulus di stasiun Blanakan selama penelitian Bulan Mei P B P B P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram) 82

98 83 Lampiran 2 (lanjutan) Bulan Juni P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

99 84 Lampiran 2 (lanjutan) Bulan Juli P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

100 85 Lampiran 3. Panjang dan berat ikan L. equulus di stasiun Labuan selama penelitian Bulan Mei P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram) Bulan Juni P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

101 86 Lampiran 3 (lanjutan) Bulan Juli P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

102 87 Lampiran 4. Panjang dan berat ikan L. equulus di stasiun Palabuhanratu selama penelitian P Bulan Mei Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram) B Bulan Juni P B P B P B P B P B P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

103 88 Lampiran 4 (lanjutan) Bulan Juli P B P B Keterangan : P = panjang total (mm); B = berat tubuh (gram)

104 89 Lampiran 5. Hasil tangkapan ikan L. equulus yang dibedah pada stasiun Blanakan selama penelitian Bulan Mei P B BG JK TKG IKG P B BG JK TKG IKG P B BG JK TKG IKG ,01 J 1 0, ,61 B 3 1, ,2 B 2 0, ,02 J 1 0, ,33 B 4 1, ,1 B 4 5, ,04 J 1 0, ,11 B 4 2, ,1 B 3 2, ,03 J 1 0, ,00 B 4 1, ,7 B 2 0, ,02 J 1 0, ,30 B 4 3, ,1 B 4 5, ,03 J 1 0, ,79 B 4 1,47 Bulan Juli ,01 J 1 0, ,77 B 3 1, ,96 B 4 3, ,03 J 1 0,09 Bulan Juni ,77 B 3 2, ,02 J 1 0, ,9 B 4 2, ,52 B 4 0, ,02 J 1 0, ,2 B 4 3, ,84 B 4 2, ,04 J 1 0, ,8 J 4 1, ,87 B 4 2, ,03 J 1 0, ,02 J 1 0, ,67 B 3 2, ,02 J 1 0, ,8 B 3 3, ,01 B 4 3, ,01 J 1 0, ,88 B 4 5, ,38 B 4 4, ,01 J 1 0, ,4 B 4 2, ,15 B 4 1, ,05 J 2 0, ,1 B 4 3, ,33 B 4 2, ,03 J 1 0, ,2 B 3 3, ,81 B 3 4, ,03 J 1 0, ,7 B 4 4, ,23 J 3 0, ,05 J 2 0, ,9 B 3 1, ,85 B 3 2, ,03 J 1 0, ,1 B 4 3, ,72 J 4 0, ,05 J 2 0, ,9 B 3 2, ,94 B 4 2, ,09 J 2 0, ,9 B 4 4, ,35 B 4 2, ,05 J 2 0, ,3 B 4 3, ,55 B 4 2, ,07 J 2 0, ,2 B 4 4, ,25 B 4 3, ,06 J 2 0, ,3 B 4 3, ,16 B 4 4, ,13 J 3 0, ,3 J 4 0, ,28 B 4 3, ,09 J 3 0, J 1 0, ,44 B 3 2, ,10 J 3 0, ,8 B 3 1, ,91 B 4 1, ,11 J 3 0, ,2 B 4 4, ,47 B 4 2, ,12 J 3 0, ,4 B 3 3, ,03 B 4 2, ,13 J 3 0, ,2 B 4 3, ,00 B 4 2, ,06 J 3 0, ,2 J 3 0, ,44 J 4 0, ,11 J 3 0, ,3 J 4 0, ,76 J 4 1, ,31 J 4 0, ,6 B 4 5, ,27 B 4 3, ,33 J 4 0, B 3 1, ,28 J 3 0, ,17 J 4 0, ,9 B 4 3, ,70 B 4 2, ,12 J 4 0, B 4 3, ,00 B 4 2, ,29 B 2 0, ,1 J 2 0, ,75 B 4 3, ,17 B 1 0, B 3 2, ,59 B 4 5, ,20 B 1 0, ,4 B 4 5, ,30 J 4 0, ,18 B 1 0, B 4 4, ,72 J 4 1, ,19 B 1 0, ,3 B 3 2, ,84 B 3 1, ,5 B 4 4,39 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); JK = jenis kelamin; TKG = tingkat kematangan gonad ; IKG = indeks kematangan gonad (%).

105 90 Lampiran 6. Hasil tangkapan ikan L. equulus Palabuhanratu selama penelitian yang dibedah pada stasiun Bulan Mei P B BG JK TKG IKG P B BG JK TKG IKG P B BG JK TKG IKG ,06 J 2 0, ,37 J 3 0, ,23 J 4 0, ,50 B 4 1, ,31 B 4 2, ,25 J 4 0, ,74 B 4 0, ,11 J 2 0, ,14 J 3 0, ,18 J 3 0, ,27 J 4 0, ,11 J 2 0, ,14 J 3 0, ,33 J 4 0, ,93 B 4 1, ,15 J 4 0, ,51 B 2 2, ,08 J 2 0, ,31 J 3 0, ,46 J 4 0, ,46 J 4 0, ,83 B 4 1, ,84 B 4 1, ,15 J 3 0,25 Bulan Juni ,49 B 4 2, ,09 B 4 1, ,07 J 2 0, ,39 B 3 0, ,75 B 4 1, ,27 J 4 0, ,78 B 4 1, ,21 B 2 0, ,67 B 4 1, ,25 J 4 0, ,30 B 3 0, ,11 B 1 0, ,63 B 4 2, ,15 J 3 0, ,55 B 3 1, ,12 J 2 0, ,59 B 4 1, ,79 B 3 1, ,64 B 3 1, ,33 J 4 0,65 Bulan Juli ,22 J 3 0, ,04 J 2 0, ,46 J 4 0, ,11 J 3 0, ,39 J 4 0, ,90 B 4 1, ,70 B 4 1, ,45 J 4 1, ,06 J 2 0, ,18 J 4 0, ,39 J 4 0, ,11 J 3 0, ,54 B 4 1, ,11 J 3 0, ,26 B 2 0, ,16 J 4 0, ,40 J 3 0, ,15 J 3 0, ,76 B 4 1, ,33 J 4 0, ,20 J 3 0, ,18 J 4 0, ,07 J 2 0, ,36 J 4 0, ,15 J 3 0, ,72 B 4 1, ,29 J 4 0, ,25 J 4 0, ,18 J 3 0, ,17 J 3 0, ,31 J 4 0, ,35 J 4 0, ,08 J 2 0, ,10 J 3 0, ,04 B 4 2, ,28 J 3 0, ,09 J 2 0, ,55 B 4 0, ,42 J 4 0, ,15 J 3 0, ,64 J 4 1, ,11 J 2 0, ,16 J 3 0, ,01 B 4 2, ,42 J 4 0, ,32 J 4 0, ,08 J 2 0, ,60 J 4 1, ,19 B 4 3, ,08 J 2 0,18 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); JK = jenis kelamin; TKG = tingkat kematangan gonad ; IKG = indeks kematangan gonad (%)

106 91 Lampiran 7. Hasil tangkapan ikan L equulus yang dibedah pada stasiun Labuan selama penelitian Bulan Mei P B BG JK TKG IKG P B BG JK TKG IKG ,11 J 3 0, ,14 B 2 0, ,11 J 3 0, ,18 B 2 0, ,58 B 4 1, ,12 J 3 0, ,10 J 3 0, ,18 J 3 0, ,10 J 3 0, ,30 J 4 0, ,06 J 2 0, ,57 J 4 1, ,38 J 4 0, ,51 B 3 1, ,07 J 3 0, ,38 B 3 1,09 Bulan Juni ,48 J 4 1, ,15 B 4 3, ,14 J 3 0, ,60 B 4 1, ,15 J 3 0, ,27 B 2 0,71 Bulan Juli ,14 J 3 0, ,29 B 4 4, ,48 J 4 0, ,13 J 2 0, ,36 J 4 0, ,19 J 3 0, ,19 J 4 0, ,31 B 4 0, ,14 B 1 0, ,21 B 1 0, ,18 J 2 0, ,49 J 4 0, ,00 B 4 2, ,24 J 3 0, ,22 J 4 0, ,31 J 4 0, ,15 J 3 0, ,23 J 3 0, ,07 J 2 0, ,19 J 3 0, ,32 J 3 0, ,04 B 4 2, ,31 B 4 2, ,16 B 4 3, ,09 J 2 0, ,28 J 3 0, ,52 J 4 1, ,90 B 4 2, ,21 J 3 0, ,15 J 2 0, ,87 B 4 1, ,61 B 4 2, ,03 J 1 0, ,51 J 4 0, ,55 B 4 3, ,11 J 2 0, ,26 J 3 0, ,64 B 4 2, ,65 B 4 3, ,24 J 3 0, ,24 B 2 0, ,49 B 4 2, ,24 J 4 0, ,53 B 3 2, ,17 B 4 2, ,34 J 4 0, ,21 B 3 2, ,13 J 3 0, ,24 J 3 0, ,60 J 4 0, ,95 B 4 2, ,98 B 4 2, ,37 J 4 0, ,30 B 1 0, ,38 J 4 0, ,46 B 4 2, ,49 J 4 1, ,14 J 3 0, ,23 B 4 1, ,25 J 3 0, ,08 J 2 0,19 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); JK = jenis kelamin; TKG = tingkat kematangan gonad ; IKG = indeks kematangan gonad (%)

107 92 Lampiran 8. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Blanakan selama penelitian Bulan Mei Bulan Juli P B BG TKG F ø P B BG TKG F ø , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,35 Bulan Juni , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,013 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,35 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); TKG = tingkat kematangan gonad; F = fekunditas (butir); ø = rata-rata diameter telur (mm)

108 93 Lampiran 9. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Labuan selama penelitian Bulan Mei P B B,G TKG F ø , ,28 Bulan Juni , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,33 Bulan Juli , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,27 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); TKG = tingkat kematangan gonad; F = fekunditas (butir); ø = rata-rata diameter telur (mm)

109 94 Lampiran 10. Fekunditas dan rata-rata diameter telur ikan L. equulus betina pada stasiun Palabuhanratu selama penelitian Bulan Mei P B BG TKG F D , , , , , ,28 Bulan Juni , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,30 Bulan Juli , , , , , , , , , , , , , ,28 Keterangan : P = panjang (mm); B = berat tubuh (gram); BG = berat gonad (gram); TKG = tingkat kematangan gonad; F = fekunditas (butir); ø = rata-rata diameter telur (mm)

110 95 Lampiran 11. Contoh perhitungan dalam penentuan sebaran ukuran panjang N = 264 ; Panjang terkecil (min) = 97 mm; panjang terbesar (max) = 210 mm, Jumlah kelas = 1 + (3,32xlog(N)) = 1 + (3,32xlog(264)) = 9,04 ~ 10 Lebar Kelas = (max min)/ jumlah Kelas = (210 mm 97 mm)/10 = 11,3 ~ 12 Lampiran 12. Sebaran frekuensi panjang ikan petek setiap bulan pengamatan ditiap lokasi penelitian Lokasi Penelitian Blanakan Labuan Palabuhanratu selang kelas Mei Juni Juli Mei Juni Juli Mei Juni Juli Jumlah

111 96 Lampiran 13. Uji kehomogenan dua regresi bebas dengan analisis kovarian ditiap lokasi penelitian I. Blanakan Sex N Σ X ΣY Σ X 2 Σ Y 2 Σ XY Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK Jantan ,607 84, , , ,602 0,143 1,474 0,447 0,075 Betina , , , , ,310 0,203 1,819 0,594 0,083 Σ , , , , ,912 0,346 3,292 1,041 0,158 Keterangan : JK = jumlah kuadrat Σx 2 (total) = Σ X 2 ((Σ X) 2 /N)) = 591,121 ((271,703) 2 /125) = 0,539 Σ y 2 (total) = Σ Y 2 ((ΣY) 2 /N)) = 399,188 ((221,854) 2 /125) = 5,434 Σ xy (total) = Σ XY ((Σ X) (ΣY)/N)) = 483,912 ((271,703) ( 221,854)/ 125)) = 1,684 JK = Σ y 2 ((Σ xy) 2 / Σx 2 ) = 5,434 ((1,684) 2 /0,539) = 0,174 sumber keragaman db Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK db KT F hit F tab Total 124 0,539 5,434 1,684 0, Di dalam 123 0,346 3,292 1,041 0, ,0013 uji untuk nilai tengah yang disesuaikan 0, ,0130 Penyimpangan dari nilai tengah individu 0, ,0013 2,6195 3,9195 Perbedaan antara regresi 0, ,0034 Keterangan : db = derajat bebas; KT = kuadrat tengah H 0 : b jantan = b betina H 1 : b jantan b betina F hit = 0,0034/0,0013 = 2,6195 F tab = 3,9195 F hit < F tab, artinya gagal tolak H 0, dengan demikian sudut yang dihasilkan oleh kedua regresi tersebut tidak berbeda nyata,

112 97 Lampiran 13 (lanjutan) II. Labuan Sex N Σ X ΣY Σ X 2 Σ Y 2 Σ XY Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK Jantan ,088 88, , , ,145 0,158 1,578 0,492 0,046 Betina 32 69,516 57, , , ,554 0,148 1,443 0,458 0,018 Σ , , , , ,699 0,306 3,021 0,951 0,064 Keterangan : JK = jumlah kuadrat Σx 2 (total) = Σ X 2 ((Σ X) 2 /N)) = 388,958 ((179,605) 2 /83) = 0,309 Σ y 2 (total) = Σ Y 2 ((ΣY) 2 /N)) = 261,212 ((146,370) 2 /83) = 3,089 Σ xy (total) = Σ XY ((Σ X) (ΣY)/N)) = 317,699 ((179,605) (146,370))/ 83)) = 0,967 JK = Σ y 2 ((Σ xy) 2 / Σx 2 ) = 3,089 ((0,967) 2 /0,308) = 0, sumber keragaman db Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK db KT F hit F tab Total 82 0,309 3,089 0,967 0, di dalam 81 0,306 3,021 0,951 0, , uji untuk nilai tengah yang disesuaikan 0, , Penyimpangan dari nilai tengah individu 0, , , ,96189 Perbedaan antara regresi 0, , Keterangan : db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah H 0 : b jantan = b betina H 1 : b jantan b betina F hit = 0, /0, = 0,00146 F tab = 3,96189 F hit < F tab, artinya gagal tolak H 0, dengan demikian sudut yang dihasilkan oleh kedua regresi tersebut tidak berbeda nyata,

113 98 Lampiran 13 (lanjutan) III. Palabuhanratu Sex N Σ X ΣY Σ X 2 Σ Y 2 Σ XY Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK Jantan , , , , ,932 0,047 0,422 0,132 0,051 Betina 31 67,271 53, ,027 92, ,955 0,044 0,315 0,107 0,054 Σ , , , , ,888 0,091 0,737 0,239 0,105 Keterangan : JK = jumlah kuadrat Σx 2 (total) = Σ X 2 ((Σ X) 2 /N)) = 439,026 ((203,125) 2 /94) = 0,0948 Σ y 2 (total) = Σ Y 2 ((ΣY) 2 /N)) = 274,505 ((160,416) 2 /94) = 0,7478 Σ xy (total) = Σ XY ((Σ X) (ΣY)/N)) = 346,888 ((203,125)(160,416)/ 83)) = 0,2456 JK = Σ y 2 ((Σ xy) 2 / Σx 2 ) = 3,089 ((0,967) 2 /0,308) = 0,111 sumber keragaman db Σ x 2 Σ y 2 Σ xy JK db KT F hit F tab Total 93 0,0948 0,7478 0,2456 0, Di dalam 92 0,0910 0,7366 0,2391 0, ,0012 uji untuk nilai tengah yang disesuaikan 0, ,0032 Penyimpangan dari nilai tengah individu 0, ,0012 2,9551 3,9469 Perbedaan antara regresi 0, ,0034 Keterangan : db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah H 0 : b jantan = b betina H 1 : b jantan b betina F hit = 0,0034/0,0012 = 2,9551 F tab = 3,9469 F hit < F tab, artinya gagal tolak H 0, dengan demikian sudut yang dihasilkan oleh kedua regresi tersebut tidak berbeda nyata,

114 99 Lampiran 14. Grafik hubungan panjang-berat ikan L. equulus total dan berdasarkan lokasi penelitian Total Blanakan Berat tubuh (gr) W = 1,0762E-05L 3,0988E+00 R 2 = 9,4474E Panjang Total (mm) Berat tubuh (gr) 180 W = 1,1752E-05L 3,0888E R 2 = 9,7450E Panjang (mm) Berat (gr) W = 1,0490E-05L 3,1171E+00 R 2 = 9,7736E Panjang Total (mm) P.Ratu W = 5,8412E-05L 2,7433E R 2 = E P a nj a ng ( mm )

115 100 Lampiran 15. Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan L equulus berdasarkan lokasi penelitian 1. Total Hipotesis : H 0 : b = 3, pertumbuhan isometrik H 1 : b 3, pertumbuhan allometrik N = 652 a = 1,076X10-5 b = 3,0988 W = 1,076X10-5 L 3,0888 Sb = 0,0438 T hit = b-3 / Sb = 3, / 0,0438 = 2,2551 T tab = t (0,05; db) = 1,9636 T hit > T tab, artinya tolak H0 Karena b > 3 maka pola pertumbuhan allometrik positif 2. Blanakan Hipotesis : H 0 : b = 3, pertumbuhan isometrik H 1 : b 3, pertumbuhan allometrik N = 264 a = 1,175X10-5 b = 3,0888 W = 1,175X10-5 L 3,0888 Sb = 0,031 T hit = b-3 / sb = 3, / 0,031 = 2,865 T tab = t (0,05; db) = 1,9690 T hit > T tab, artinya tolak H0 Karena b > 3 maka pola pertumbuhan allometrik positif

116 101 Lampiran 15 (lanjutan) 3. Labuan Hipotesis : H 0 : b = 3, pertumbuhan isometrik H 1 : b 3, pertumbuhan allometrik N = 108 a = 1,049X10-5 b = 3,1171 W = 1,009X10-5 L 3,1238 Sb = 0,046 T hit = b-3 / Sb = 3, / 0,046 = 2,546 T tab = t (0,05; db) = 1,9823 T hit > T tab, artinya tolak H0 Karena b > 3 maka pola pertumbuhan allometrik positif 4. Palabuhanratu Hipotesis : H 0 : b = 3, pertumbuhan isometrik H 1 : b 3, pertumbuhan allometrik N = 280 a = 5,841X10-5 b = 2,7433 W = 5,841X10-5 L 2,7433 Sb = 0,061 T hit = b-3 / Sb = 2, / 0,061 = 4,208 T tab = t (0,05; db) = 1,9685 T hit > T tab, artinya tolak H0 Karena b < 3 maka pola pertumbuhan allometrik negatif

117 102 Lampiran 16. Faktor kondisi ikan L. equulus jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Jantan Betina Lokasi Bulan N Kisaran Rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb Mei 37 0,78-1,13 0,95 0, ,86-1,03 0,96 0,06 Blanakan Juni 7 0,81-1,02 0,95 0, ,84-1,36 0,97 0,09 Juli 8 0,89-1,11 1,00 0, ,94-1,18 1,06 0,04 Mei 7 0,83-0,93 0,9 0,04 1 0,96 0,96 Labuan Juni 27 0,88-1,09 0,98 0, ,90-1,13 1,02 0,06 Juli 17 0,92-1,14 1,03 0, ,94-1,10 1,03 0,06 Mei 5 0,97-1,09 1,05 0,05 3 1,00-1,08 1,04 0,04 pal,ratu Juni 30 0,90-1,21 1,06 0, ,77-1,21 1,02 0,10 Juli 28 0,91-1,15 1,02 0,06 7 0,84-1,08 0,97 0,10 Contoh perhitungan : Blanakan a = 0, b = 3,0888 W = 40 gram L FK = 130 mm = W/aL b = 1,0057 Labuan a = 0, b = 3,1171 W = 42 gram L FK = 127 mm = W/aL b = 1,1084 Palabuhanratu a = 1,284X10-4 b = 2,5906 W = 36 gram L = 129 mm FK = W/aL b = 36/(1,284X10-4 *129 2,5906 ) = 0,95494

118 103 Lampiran 17. Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan L. equulus berdasarkan waktu dan lokasi penelitian Hipotesis : H0 : Jantan : Betina = 1 : 1 (rasio kelamin seimbang) H1 : Jantan : Betina = 1 1 (rasio kelamin tidak seimbang) Jumlah Ikan (ekor) Nisbah Kelamin Lokasi Bulan Jantan Betina Total Harapan Jantan Betina Mei ,8 1,0 Blanakan Juni ,0 4,7 Juli ,5 1,0 3,4 Mei ,0 1,0 Labuan Juni ,5 1,5 1,0 Juli ,3 1,0 Mei ,7 1,0 Pel.ratu Juni ,5 1,4 1,0 Juli ,5 4,0 1,0 Contoh perhitungan Blanakan X 2 hit (37 25) (13 25) (8 17.5) ( ) = = 38,734 X 2 tab =X 0,05(db= (3-1) (2-1)) = 5,991 Keputusan : X 2 hit > X 2 tab maka tolak H0 Kesimpulan : Rasio kelamin ikan petek distasiun Blanakan selama bulan penelitian tidak seimbang, Labuan X 2 hit (7 4) (1 4) (17 15) (13 15) = = 6,833 X 2 tab = X 0,05(db= (3-1) (2-1)) = 5,991 Keputusan : X 2 hit > X 2 tab maka tolak H0 Kesimpulan : Rasio kelamin ikan petek distasiun Blanakan selama bulan penelitian tidak seimbang. Palabuhanratu X (5 4) (3 4) ( ) (7 17.5) hit = = 14,688 X 2 tab = X 0,05(db= (3-1) (2-1)) = 5,991 Keputusan : X 2 hit > X 2 tab maka tolak H0 Kesimpulan : Rasio kelamin ikan petek distasiun Blanakan selama bulan penelitian tidak seimbang.

119 104 Lampiran 18. Metode pembuatan preparat histologis gonad ikan petek (L. equulus) berdasarkan Angka et al. (1990) Fiksasi gonad : Fiksasi Larutan Bouin s selama 24 jam Alkohol 70% selama 24 jam Dehidrasi Gonad direndam dalam : alkohol 80% selama 2 jam alkohol 90% selama 2 jam alkohol 95% selama 2 jam alkohol 95% selama 2 jam Clearing (penjernihan ) Gonad direndam dalam : alkohol 100% selama 1 jam alkohol 100% + xylol (1:1) selama ½ jam xylol I selama ½ jam xylol II selama ½ jam Impregnasi (Penyusupan) Gonad direndam dalam : parafin + xylol (1:1) selama ¾ jam pada oven bersuhu C. parafin I selama ¾ jam pada oven bersuhu C parafin II selama ¾ jam pada oven bersuhu C parafin III selama ¾ jam pada oven bersuhu C Selanjutnya jaringan dicetak dalam cetakan selama (blocking) Pemotongan Spesimen dipotong dengan ketebalan 5 µ dengan microtom, diapungkan dalam air suam kukuh dan diletakkan di atas hot plate 40 0 C sampai kering. Hidrasi Spesimen direndam dalam : xylol I dan xylol II selama 3 menit Alkohol 100% I selama 3 menit Alkohol 100% II selama 3 menit Alkohol 95% selama 3 menit Alkohol 90% selama 3 menit Alkohol 80% selama 3 menit Alkohol 70% selama 3 menit Alkohol 50% selama 3 menit Dicuci 2 kali

120 105 Lampiran 18 (lanjutan) Pewarnaan Preparat : direndam dalam larutan hematoxylin selama 7 menit cuci dengan air 3 detik direndam dalam larutan eosin selama 3 detik dicuci dengan air Dehidrasi Preparat direndam dalam : alkohol 50% selama 2 menit alkohol 70% selama 2 menit alkohol 85% selama 2 menit alkohol 90% selama 2 menit alkohol 100% I selama 2 menit alkohol 100% II selama 2 menit xylol I selama 2 menit xylol II selama 2 menit Penempelan Preparat diberi zat perekat entelan/canada balsam kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dibiarkan selama semalam

121 106 Lampiran 19. Pengukuran panjang, berat tubuh, pembedahan dan penimbangan gonad ikan L. equulus a. Pengukuran panjang b. Pengukuran berat tubuh c. Pembedahan ikan d. Penimbangan gonad

122 107 Lampiran 20. Gambar alat-alat yang digunakan dalam analisis kadar protein telur a. Alat penyuling b. Pembakar bunsen c. timbangan digital d. Tempat pendingin f. Buret f. Akuades

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber :  dkp.co.id 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tetet (Johnius belangerii) 2.1.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Klasifikasi ikan tetet menurut Bleeker (1853) in www.fishbase.org adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi 4 2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan bilis (Thryssa hamiltonii) berdasarkan tingkat sistematikanya menurut Gray (1835): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Berdasarkan Allen (2000) dan www.fishbase.org (2010) Klasifikasi ikan pepetek (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA

POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis Bleeker, 1855) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, JAKARTA UTARA NANI TRIANA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tiga, yaitu Laut Jawa dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Desember

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(1):75-84, 29 ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT [Reproductive aspect of silver biddy (Gerres kapas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 meter dengan lebarnya 35 kilometer, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 meter sebelum continental

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi ikan belida (Chitala lopis) berdasarkan tingkat sistematikanya menurut Hamilton (1822) in www.fishbase.org (2009): Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU Alsade Santoso Sihotang SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI KEBIASAAN MAKANAN IKAN BETOK (Anabas testudineus) DI DAERAH RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KEC. KOTA BANGUN, KAB. KUTAI KERTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LIRENTA MASARI BR HALOHO C24104034 SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN PEPETEK (Leiognathus equulus Forskal, 1874) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA EKA PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA ADISTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus Klasifikasi dan tata nama 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Swanggi Priacanthus tayenus 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut Richardson (1846) in Starnes (1988) taksonomi ikan swanggi Priacanthus tayenus (Gambar 1) dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b) 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro Ikan kuro diklasifikasikan dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 2 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu teluk yang terdapat di utara pulau Jawa. Secara geografis, teluk ini mempunyai panjang pantai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci