ANALISIS KESTABILAN GENETIK RAMET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) HASIL EMBRIOGENESIS SOMATIK MENGGUNAKAN SSR IRWAN NIRWANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KESTABILAN GENETIK RAMET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) HASIL EMBRIOGENESIS SOMATIK MENGGUNAKAN SSR IRWAN NIRWANA"

Transkripsi

1 ANALISIS KESTABILAN GENETIK RAMET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) HASIL EMBRIOGENESIS SOMATIK MENGGUNAKAN SSR IRWAN NIRWANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Kestabilan Genetik Ramet Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Embriogenesis Somatik Menggunakan SSR adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2017 Irwan Nirwana NIM A

4 ii

5 i RINGKASAN IRWAN NIRWANA. Analisis Kestabilan Genetik Ramet Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Embriogenesis Somatik Menggunakan SSR. Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI dan NURITA TORUAN-MATHIUS. Perbanyakan klonal kelapa sawit secara in vitro dikembangkan dengan metode embriogenesis tidak langsung melalui pembentukan kalus dan proliferasi embrioid. Proliferasi embrioid diinduksi melalui subkultur berulang. Proses ini berpotensi menimbulkan terjadinya variasi somaklonal pada ramet-ramet yang dihasilkan yang menyebabkan ramet tidak identik secara genetik, sehingga fenotipe beragam dan berpengaruh terhadap produktivitas. Oleh sebab itu, perlu adanya jaminan bahwa ramet-ramet yang dihasilkan identik dengan ortetnya. Variasi somaklonal dapat dideteksi lebih awal melalui analisis kemiripan genetik menggunakan marka Simple Sequence Repeat (SSR). Sampel DNA dari delapan ortet dengan 60 ramet per ortet diekstraksi menggunakan metode Kit Nucleospin Plant II TM. Enam puluh ramet dipilih secara acak untuk mewakili setiap ortet, yang terdiri dari 20 ramet dari setiap periode subkultur embrioid yang dianalisis (subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14). Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan 16 pasang primer SSR melalui 35 siklus reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil amplifikasi diseparasi menggunakan QIAxcel system. Pita-pita DNA hasil separasi kemudian diubah menjadi data kodominan maupun data biner sesuai format perangkat lunak yang digunakan (PowerMarker dan NTSys), untuk menganalisis polimorfisme setiap perimer dan kemiripan genetik ramet-ramet dengan ortetnya. Proliferasi embrioid berhasil diinduksi melalui subkultur berulang sebanyak 18 kali, pada media yang sesuai dengan protokol produksi. Frekuensi proliferasi embrioid selama 18 kali subkultur mengikuti kurva perumbuhan sigmoid yang terdiri dari lima fase, yaitu fase lag (subkultur 1-2), fase exponential (subkultur 2-5), fase linear (subkultur 5-8), fase deceleration (subkultur 8-11) dan fase stationary (subkultur 12-18). Frekuensi proliferasi embrioid tertinggi diperoleh pada akhir fase deceleration atau awal fase stationary (subkultur ke-11). Analisis polimorfisme menunjukkan sembilan dari 16 primer SSR bersifat polimorfik dan informatif, yaitu megcir0059, megcir3869, megcir2387, megcir2414, megcir3639, megcir0192, megcir2569, megcir3683 dan megcir2224. Primer megcir2569 mempunyai nilai PIC tertinggi (0.8), sehingga lokus SSR dari primer ini dapat dijadikan kandidat marka terbaik dalam mendeteksi variasi genetik pada populasi ramet yang diuji. Penelitian ini menunjukkan bahwa kestabilan genetik ramet dipengaruhi oleh genotipe ortet. Analisis kemiripan genetik menunjukkan bahwa ortet 399 dan 412 menghasilkan sebanyak 100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya hingga subkultur ke-14. Ortet 398 dan 367 menghasilkan sebanyak % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 398 dan 367 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik % dengan ortetnya masing-masing. Ortet 340 menghasilkan ramet yang bersifat identik dengan ortetnya sebanyak 95 % ramet dari subkultur ke-8 dan ke-14, dan 0 (nol) % dari subkultur ke-11. Seluruh ramet dari ortet 340 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik 91 % dengan ortetnya. Ortet 356, 369 dan 395

6 ii menghasilkan sebanyak % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 356, 369 dan 395 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik % dengan ortetnya masingmasing. Frekuensi subkultur embrioid memiliki pengaruh yang besar terhadap frekuensi variasi somaklonal pada ramet-ramet dari ortet 356, 369 dan 395, dengan nilai korelasi sebesar 0.69 (p-value: 0.039). Semakin banyak frekuensi subkultur maka semakin bertambah frekuensi variasi somaklonal pada ramet-rametnya yang dihasilkan. Frekuensi variasi somaklonal yang meningkat diduga berhubungan dengan meningkatnya tingkat proliferasi embrioid, yaitu mulai dari fase exponential sampai fase deceleration (subkultur 2-11). Semakin tinggi frekuensi proliferasi embrioid pada periode subkultur ke-2 sampai ke-11, maka semakin bertambah frekuensi variasi somaklonal pada ramet-rametnya, termasuk pada ramet-ramet dari subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14, sebagai hasil perkecambahan embrioid yang berproliferasi diantara subkultur ke-2 sampai ke-11. Selain proliferasi sel embrionik, proliferasi sel pada pembentukan kalus dan perkembangan sel embrionik membentuk embrioid dewasa diduga juga dapat menginduksi variasi somaklonal pada ramet yang dihasilkan. Terbentuknya variasi somaklonal dari tahap pembentukan kalus diduga terjadi pada saat aktivitas pembelahan sel terjadi sangat cepat, yaitu pada fase logarithmic sampai pada awal fase plateau atau stationary. Pada tahapan perkembangan embrioid somatik kelapa sawit Tenera, ditemukan variasi somaklonal yaitu berupa terbentuknya dua embrioid yang menjadi satu pada fase torpedo. Ortet 399 dan 412 menghasilkan sebanyak 100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya hingga subkultur ke-14. Dengan demikian genotipe 399 dan 412 merupakan genotipe dengan tingkat kestabilan genetik tertinggi dan berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai sumber eksplan daun dalam perbanyakan klon kelapa sawit melalui teknik kultur jaringan. Kata kunci : kestabilan genetik, proliferasi embrioid, subkultur embrioid, variasi somaklonal

7 iii SUMMARY IRWAN NIRWANA. Genetic Stability Assessment in Somatic Embryogenesis derived Ramet of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Using SSR. Supervised by NI MADE ARMINI WIENDI and NURITA TORUAN-MATHIUS. Oil palm in vitro propagation developed through indirect embryogenesis by callus formation and embryoid proliferation. Embryoid proliferation was induced through repetitive subcultures. Repetitive subcultures might induce somaclonal variation. Somaclonal variation can pose a serious problem in clonal propagation and preservation of ortet s desirable traits. Therefore, assessment of genetic stability very important to prove that desirable attributes of the ortet were preserved in ramets. Genetic stability level in a ortet determine the similarity degree of ramets to ortet, therefore this information will also be very usefull in selection of ortet as the source of leaf explant, for oil palm in vitro propagation. Genetic stability level could be detected by molecular analysis using Simple Sequence Repeat (SSR). Sample of DNA from eight ortet with 60 ramets each ortet were extracted using Kit Nucleospin Plant II TM method. The 60 ramets was collected by randomly to represent each ortet, which are consisted of 20 ramets from three different time of analyzed embryoid subculture (8 th, 11 th and 14 th ). The DNA amplification was perfomed by 16 SSR primer pairs through 35 cycles of polymerase chain reaction. Amplification product were seperated using QIAxcel system. Bands obtained from the separation were converted into codominant or biner data according with format required of the softwares (NTSYS and PowerMarker) for primers polymorphisms and genetic similarity analysis. The embryoid proliferation rate could be induce through 18 times subcultures. The embryoid proliferation rate followed sigmoid growth curve, which is consists of lag phase (in 1 st -2 nd subculture), logarithmic or exponential phase (in 2 nd 5 th subculture), linear phase (in 5 th 8 th subculture), deceleration phase (in 8 th -11 th subculture) and stationary phase (in 11 th 18 th subculture). The higher embryoid proliferation rate obtained from the late deceleration phase or earlier stationary phase (in 11 th subculture). Polymorphisms analysis across all of genotype revealed that about nine of 16 SSR primer pairs (megcir0059, megcir3869, megcir2387, megcir2414, megcir3639, megcir0192, megcir2569, megcir3683 and megcir2224) were polymorphic and informative. The SSR locus that amplified by Primer megcir2569 is the best canndidat SSR marker in screening the genotypes of all samples studied, with PIC value from it primer was 0.8. Result showed that the genetic stability of ramets was influenced by genotype of ortets. Genetic similarity analysis revealed that ortets 399 and 412 produce 100% ramets that identical to their ortet up to 14 th subculture. The ortets 398 and 367 produce % ramets that identical to their ortet. All the ramets from ortets 398 and 367 that not identical have genetic similarity varied from 71-78% to their ortet. The ortet 340 produce 95% ramets from 8 th and 14 th, and 0 (null) % from 11 th subculture. All the ramets from 340 that not identical have genetic similarity 91% to the ortet. The ortets 356, 369 and 395 produced % ramets that identical to their ortet from each subculture periods. All the ramets from ortets 356, 369 and 395 that not identical have genetic similarity 69-97% to their ortet. The frequency

8 iv of embryoid subcultures have a considerable influence to the frequency of somaclonal variation in ramets of ortets 356, 369 and 395, with the correlation values (r) is 0.69 (p-value: 0.039). The increase of subculture frequency lead to the increase of somaclonal variation frequency, and increase the number of their ramets that no genetically identic to the ortet. The increase of the somaclonal variation frequency in ramets, might be related to the increase of embryoid proliferation rate which start from exponential phase up to late deceleration phase (2 nd -11 th subculture). The increase of embryoid proliferation rate might lead to the increased of somaclonal frequency in the embryoids. Then, it arises in ramets from 3 or 4 periods of next subculture since 2 nd up to 11 th subculture, include in the analyzed ramets from 8 th, 11 th, and 14 th subculture. In addition to embryonic cell proliferation, cell proliferation in callus formation and development of embryonic cells to form mature embrioid allegedly also induce somaclonal variation on the ramets. Somaclonal variation that arise due to callus formation could be occurred when the cells division occurred very rapidly (in logarithmic phase up to early plateau or stationary phase). At the stage of somatic embryoid development of Tenera oil palm, somaclonal variation is found in the form fused embryoid (two embryoid which joined together in torpedo phase). The ortets 399 and 412 were produce 100% ramets that identical to their ortet up to 14 th subculture. Therefore, the ortets 399 and 412 are genotypes with the highest level of genetic stability (100%) and can be considered to be used as the source of leaf explant for oil palm in vitro propagation. Key words : embryoid subculture, embryoid proliferation, genetic stability, somaclonal variation

9 v Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10 vi

11 i ANALISIS KESTABILAN GENETIK RAMET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) HASIL EMBRIOGENESIS SOMATIK MENGGUNAKAN SSR IRWAN NIRWANA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

12 ii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Darda Efendi, MSi

13 iii Judul Nama NIM : Analisis Kestabilan Genetik Ramet Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Embriogenesis Somatik Menggunakan SSR : Irwan Nirwana : A Disetujui Oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS Ketua Dr Nurita Toruan-Mathius, MS Anggota Diketahui Oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr Tanggal Ujian : 09 Februari 2017 Tanggal Lulus :

14 iv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, rahmat, dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal usulan penelitian yang berjudul Analisis Kestabilan Genetik Ramet Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Embriogenesis Somatik Menggunakan SSR. Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak sehingga penelitan ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS dan Dr Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan maupun masukan dalam pembuatan usulan dan pelaksanaan penelitian hingga selesai. Terima kasih kepada Dr Ir Darda Efendi, MSi yang telah bersedia sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis beserta saran dan masukan dalam penyelesaiannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan PT SMART terutama kepada Bapak Jo Daud Dharsono dan Bapak Dr Tony Liwang atas beasiswa dan izin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang S2 di IPB, serta sarana dan prasarana pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Tissue Culture Department Head, Ibu Lisa Muliani dan Biotechnology Department Head Bapak Condro Utomo atas dukungannya untuk melanjutkan studi dan pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada Bapak John Romulo Sitompul dan Bapak Matori atas bantuannya dalam pengambilan sampel penelitian. Penghargaan disampaikan kepada Dr. Roberdi SP MSi, Wulan Artutiningsih SP MSi, Urip Sayekti SP MSi, Yogo Adhi Nugroho SP MSi, Dwi Yono SP MSi, Sigit Dwi Maryanto MSi, dan Hadi Septian Guna Putra SStat beserta seluruh staf Tissue Culture dan Biotechnology atas masukan selama pelaksanaan penelitian. Tidak lupa terima kasih juga disampaikan Nur Afifah, Ricca dan Diana Mekar Jayanti, beserta seluruh teknisi PT. SMART, Tbk yang telah banyak membantu selama penelitian. Terima kasih kepada seluruh sahabat dan rekan-rekan khususnya PBT 2014 atas kebersamaan selama ini. Terima kasih yang tak berhingga juga disampaikan kepada istri tercinta Rahmasyahraini, dan anak papa yang saya banggakan M. Athaya Irhab, ayahanda Iwa Soemantri (Alm), ibunda Anah Juhanah, Adek Budi Susanto, Bapak mertua Syahrial Nasution dan Ibu mertua Syafnimar serta seluruh keluarga cikoko, atas doa, motivasi, dukungan dan kasih sayang yang tak terbalaskan; semoga selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Amin. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan, terutama yang menekuni bidang kultur jaringan tanaman kelapa sawit. Bogor, April 2017 Irwan Nirwana

15 v DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i i 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Hipotesis Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) 3 Kultur Jaringan Kelapa Sawit 4 Variasi Somaklonal 5 Penyebab variasi somaklonal 5 Variasi genetik 6 Variasi epigenetik 7 Variasi somaklonal pada kelapa sawit 8 Simple Sequence Repeat (SSR) 9 3 METODE PENELITIAN 11 Tempat dan Waktu Penelitian 11 Bahan Tanaman 11 Prosedur Penelitian 11 Perbanyakan Bibit Klonal Kelapa Sawit Tenera melalui Kultur Jaringan 11 Analisis Molekuler 13 Pengambilan, Penyimpanan dan Pelabelan Sampel Daun 13 Ekstraksi DNA 13 Pengujian Kualitas dan Kuantitas DNA 14 Amplifikasi DNA dengan Primer SSR 14 Elektroforesis dan Skorring pita DNA Hasil Amplifikasi 16 Analisis Polimorfisme Primer SSR 17 Analisis Kemiripan Genetik 17 Analisis Korelasi 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Perbanyakan Bibit Klonal Kelapa Sawit Tenera melalui Kultur Jaringan 18 Perkembangan Kultur In Vitro Kelapa Sawit Tenera 18 Tingkat Kalogenesis dan Embriogenesis Primer 19 Pembentukan dan Proliferasi Kalus 19 Proliferasi Embrioid Somatik 21 Tahapan Perkembangan Embrioid Somatik Kelapa Sawit Tenera 23

16 vi Analisis Polimorfisme Primer SSR 24 Analisis Jumlah Alel dan Nilai PIC pada Seluruh Sampel Uji 25 Analisis Jumlah Alel dan Nilai PIC per Populasi 26 Analisis Kemiripan Genetik 29 Analisis Korelasi antara Frekuensi Subkultur Embrioid dan Frekuensi Variasi Somaklonal 32 5 SIMPULAN 35 DAFTAR PUSTAKA 36 RIWAYAT HIDUP 42

17 i DAFTAR TABEL 1. Karakteristik buah kelapa sawit Dura, Tenera dan Pisifera 3 2. Delapan ortet kelapa sawit Tenera hasil persilangan Dura dan Pisifera Tahapan dalam protokol produksi perbanyakan kelapa sawit Tenera secara in vitro Perbedaan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada setiap media kultur in vitro kelapa sawit Tenera Enam belas primer SSR kelapa sawit dan QTL yang terpaut Tingkat kalogenesis dan embriogenesis primer hasil kultur jaringan eksplan daun kelapa sawit pada delapan ortet Tenera Motif sekuen, ukuran amplifikasi, jumlah alel total dan nilai PIC setiap primer SSR berdasarkan analisis polimorfisme pada seluruh sampel ortet dan ramet kelapa sawit Tenera Jumlah total alel dari setiap primer SSR pada setiap populasi ramet kelapa sawit Tenera Nilai PIC setiap primer SSR pada masing-masing populasi ramet kelapa sawit Tenera 27 DAFTAR GAMBAR 1. Perbedaan karakteristik buah kelapa sawit antara Dura, Pisifera dan Tenera 3 2. Jembatan kromosom akibat segregasi sister chromatid yang tertunda karena keterlambatan replikasi DNA-nya pada kultur kalus jagung 6 3. Penampang melintang buah klon Tenera kelapa sawit yang N (buah normal) M - (mantel ringan) M + (mantel berat) SC (karpel tambahan) 8 4. Diagram pengambilan sampel ramet kelapa sawit Tenera dari tiga periode subkultur Proses pemisahan fragmen DNA hasil amplifikasi dengan primer SSR pada QIAxcel sytem Perbanyakan bibit kelapa sawit Tenera melalui proses embriogenesis somatik tidak langsung Siklus pembelahan sel yang terdiri dari periode sintesis (S), mitosis (M) dan gap (G1, G2) dan G Pola kurva pertumbuhan sel yang menunjukkan perkembangan jumlah sel dalam kultur kalus Rata-rata frekuensi proliferasi embrioid dan tingkat perkecambahan pada setiap periode subkultur dari delapan ortet kelapa sawit Tenera Tahapan perkembangan embrioid somatik kelapa sawit Tenera hasil embriogenesis tidak langsung membentuk planlet Perkembangan lintasan pembentukan embrio secara uniselular dan multiselular dari embriogenesis tidak langsung Coffea Arabica Profil polimorfisme primer SSR megcir2569 pada populasi ramet kelapa sawit Tenera subkultur ke-8 (A1-A20), ke-11 (B1-B20) dan ke-14 (C1-C20) dari ortet

18 ii 13. Pola pita DNA hasil amplifikasi primer megcir3399 pada kelapa sawit Tenera ortet 412 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-14 (C1-C20) Persentase jumlah ramet kelapa sawit Tenera yang identik dengan ortetnya pada tiga periode subkultur embrioid Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 356 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-11 (a) dan ke-14 (b) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 369 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 395 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 340 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Dendogram kemiripan genetik delapan genotipe ortet kelapa sawit Tenera yang diuji berdasarkan 16 primer pasang SSR menggunakan metode clustering UPGMA 32

19 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar ditingkat dunia dan produksinya terus mengalami peningkatan. Tahun 1990 total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 0.7 juta hektar dan terus bertambah hingga mencapai 6.5 juta hektar pada tahun 2012 (FAO 2014). Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit tersebut dipicu oleh adanya peningkatan permintaan terhadap minyak nabati yang dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk dikomsumsi, maupun sebagai bahan baku kosmetik dan biodisel (USDA 2015). Ketersediaan bibit unggul sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit baik untuk peremajaan maupun ekstensifikasi pada lahan yang semakin terbatas. Penyediaan bibit unggul kelapa sawit (Elaeis guineensis) telah dikembangkan melalui perbanyakan klonal secara in vitro. Bibit atau ramet yang dihasilkan memiliki fenotipe seragam dengan sifat agronomi yang diinginkan, sehingga dapat meningkatkan daya hasil minyak (ton ha -1 th -1 ) mencapai 30 % dibandingkan dengan kecambah hasil hibridisasi Dura dan Pisifera (Rohani et al. 2000). Eksplan daun (spear) yang digunakan dalam perbanyakan in vitro berasal dari tanaman induk kelapa sawit ortet terpilih. Ortet tersebut umumnya dipilih berdasarkan parameter daya hasil minyak. Eksplan daun kemudian dikulturkan dan berkembang melalui tahap pembentukan kalus yang disebut kalogenesis dan pembentukan embrioid pada tahap embriogenesis (Hashim et al. 2011). Selanjutnya embrioid tersebut melewati tahap pendewasaan serta perkecambahan dan berkembang menjadi tanaman lengkap yang disebut ramet. Perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan masih belum optimal, dengan tingkat kalogenesis dari eksplan daun hanya sekitar 20 % (Ho et al. 2008). Tingkat embriogenesis dari eksplan daun berkalus berkisar 3-6 % (Kushairi et al. 2010). Usaha meningkatkan proliferasi kalus maupun embrioid somatik dilakukan melalui subkultur berulang. Subkultur embrioid telah dilakukan secara berulang hingga 18 kali dalam waktu satu hingga tiga tahun (SMART 2010). Proses ini berpotensi menimbulkan terjadinya variasi somaklonal pada ramet-ramet yang dihasilkan (Mgbeze dan Iserhienrhien 2014). Variasi somaklonal menunjukkan perubahan fenotipe maupun genotipe yang dihasilkan oleh sel somatik maupun sel gamet tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro (Larkin dan Scowcroft 1981). Adanya variasi somaklonal dapat menyebabkan ramet-ramet yang dihasilkan tidak identik secara genetik, dengan fenotipe beragam yang berpengaruh terhadap produktivitas. Oleh sebab itu, perlu adanya jaminan bahwa ramet-ramet yang dihasilkan identik dengan ortetnya. Adanya variasi somaklonal dapat dideteksi lebih awal melalui analisis kemiripan genetik menggunakan marka Simple Sequence Repeat (SSR). SSR merupakan sekuen pendek (1-6 pasang basa) dengan motif di-nukleotida, trinukleotida, atau tetra-nuklotida yang berulang secara tandem, dan melimpah tersebar diseluruh genom eukariotik (Tranbarger et al. 2012). Marka SSR juga merupakan alat uji yang memiliki keterulangan hasil yang baik, serta memiliki variabilitas dan sifat polimorfisme yang sangat tinggi, berada pada lokus spesifik

20 2 dan bersifat kodominan (Gupta dan Varshney 2000). Marka SSR sudah pernah digunakan untuk pengendalian mutu dalam memproduksi klon kelapa sawit pada skala komersial (Singh et al. 2007). Zulhermana (2009) dan Nchu (2010) telah berhasil menggunakan marka SSR dalam analisis keragaman genetik dan karakterisasi populasi serta plasma nutfah kelapa sawit. Artutiningsih (2012) dan Cahyono (2015) juga telah menggunakan marka SSR untuk mendeteksi kestabilan genetik klon-klon kelapa sawit (E. guineensis) hasil kultur in vitro. Uji kestabilan genetik juga dapat diaplikasikan untuk menyeleksi genotipe ortet dengan kestabilan genetik tinggi sebagai sumber eksplan daun dalam proses produksi ramet secara in vitro. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Memperoleh informasi kestabilan genetik ramet-ramet dari subkultur embrioid ke-8, ke-11 dan ke-14 pada delapan genotipe ortet. 2. Menetapkan genotipe ortet yang menghasilkan ramet-ramet dengan kestabilan genetik tertinggi. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : 1. Terdapat perbedaan tingkat kestabilan genetik pada : (i) ramet-ramet antar delapan genotipe ortet (ii) ramet-ramet antar tiga periode subkultur embrioid dari masing-masing genotipe otet (iii) setiap individu ramet dari setiap periode subkultur embrioid dan dari masing-masing genotipe ortet 2. Terdapat minimal satu genotipe ortet yang menghasilkan ramet-ramet dengan kestabilan genetik tertinggi

21 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Kelapa sawit merupakan tanaman tingkat tinggi yang termasuk ke dalam golongan Angiospermae, yang berbiji tunggal (monokotil). Tanaman kelapa sawit berasal dari famili Arecaceae, genus Elaeis, dan memiliki perakaran yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Akar kuarter atau akar serabut sebagian besar berada di dekat permukaan tanah pada kedalaman cm. Batang tegak tidak bercabang, tinggi batang dapat mencapai m dan berdiameter cm. Daun berbentuk majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral (Corley dan Tinker 2003). Terdapat dua species penting dalam genus Elaeis, yaitu Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera (Arunachalam 2012). Keduanya merupakan spesies diploid dengan jumlah kromosom sebanyak 32 (2n=2x=32). E. guineensis (kelapa sawit Afrika) telah dibudidayakan secara komersial dengan kemampuan menghasilkan minyak yang lebih tinggi dibandingkan dengan E. oleifera (kelapa sawit Amerika). Meskipun kelapa sawit Amerika tersebut mempunyai kualitas dan komposisi minyak yang lebih baik dibandingkan dengan kelapa sawit Afrika. Kandungan minyak pada kelapa sawit E. guineensis terkonsentrasi pada bagian buahnya. Bagian mesokarp mengandung minyak sekitar % dari berat tandan buah segar (80 % dari berat kering), sedangkan pada bagian kernelnya mengandung 2-3 % dari berat tandan buah segar (Murphy 2009). Secara botani buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drupe, yang terdiri dari eksokarp, mesokarp, dan endokarp (cangkang) yang membungkus biji. Biji buah memiliki testa (kulit), endosperm (kernel) yang padat dan sebuah embrio. Berdasarkan morfologi buahnya, E. guineensis dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu Dura, Pisifera dan Tenera (Arunachalam 2012). Ketiga jenis kelapa sawit tersebut mempunyai karakteristik buah yang berbeda (Tabel 1, Gambar 1). Tabel 1 Karakteristik buah kelapa sawit Dura, Tenera dan Pisifera No. Bentuk karakteristik buah Dura Tenera Pisifera 1 Ketebalan cangkang / endokarp (mm) tidak bercangkang 2 Rasio mesokarp terhadap buah (%) Rasio Kernel terhadap ke buah (%) Rasio minyak terhadap tandan (%) * Bunga betina bersifat steril. Sumber : Hardon et al. (1985) Eks : Eksokarp, En : Endokarp, M : Mesokarp, K : Kernel Gambar 1 Perbedaan karakteristik buah kelapa sawit antara Dura, Pisifera dan Tenera (Hardon et al. 1985)

22 4 Selain ketebalan cangkang pada buah, diantara kelapa sawit Dura, Pisifera dan Tenera juga terdapat keragaman fenotipe pada karakter-karakter agronomi penting, yaitu (1) panjang petiole dan rachis, (2) pertambahan tinggi pohon, (3) jumlah, bobot dan produksi tandan (daya hasil minyak), (4) tandan buah segar dan daya hasil CPO (Crude Palm Oil), (5) produksi bahan kering total, (6) ukuran buah dan kernel (kadungan asam lemak), (7) ketebalan cangkang buah, (8) toleransi terhadap penyakit fusarium, (9) komposisi asam lemak dan nilai Iodine, (10) kandungan karoten dan vitamin E, (11) aktivitas lipase, (12) potensi regenerasi secara in vitro, (13) toleransi terhadap cekaman kekeringan dan suhu dingin (Corley dan Tinker 2003) Kultur Jaringan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil tahunan yang hanya memiliki satu titik tumbuh dan tidak menghasilkan tunas samping. Hal tersebut menyebabkan perbanyakan vegetatif tanaman ini tidak dapat dilakukan secara konvensional seperti stek, grafting maupun perbanyakan tunas batang (Corley dan Tinker 2003). Sampai dengan saat ini perbanyakan kelapa sawit secara vegetatif hanya dapat dilakukan secara in vitro melalui embriogenesis somatik. Perbanyakan bibit kelapa sawit melalui kultur jaringan sudah dimulai sejak 1970-an (Soh et al. 2003) oleh Staritsky (1970). Teknik in vitro dengan sumber eksplan dari genotipe elit mampu menghasilkan bibit kelapa sawit yang seragam dan mempunyai sifat unggul seperti produktivitas tinggi, resisten penyakit, dan toleran kekeringan (Mutert dan Fairhust 1999). Dengan demikian penggunaan bibit klonal kelapa sawit dapat meningkatkan hasil yang signifikan hingga 30 % dibandingkan dengan perbanyakan melalui hibridisasi Dura dan Pisifera (Rohani et al. 2000). Proses kultur in vitro kelapa sawit dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengambilan eksplan dari ortet yang terseleksi, inisiasi pembentukan kalus (kalogenesis), pembentukan embrioid (embriogenesis), proliferasi dan pematangan embrioid, regenerasi planlet, induksi perakaran dan transplanting planlet (ramet) pada kondisi ex vitro (Rohani et al. 2000). Pembentukan embrioid dari sel somatik atau embriogenesis somatik yang melewati tahap pembentukan kalus disebut sebagai metode embriogenesis tidak langsung (Corley dan Tinker 2003). Kalus merupakan sekumpulan sel amorfus (berbentuk tidak beraturan atau belum terdiferensiasi) yang berasal dari pembelahan sel-sel parenkim dan dapat dihasilkan dari potongan organ yang dikulturkan (Wattimena et al. 1992). Menurut Mutert dan Fairhust (1999); San e et al. (2012) kalus terbentuk sebagai respon hormonal eksplan terhadap media yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin, seperti 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Akan tetapi menurut San e et al. (2012) tingkat kalogenesis dipengaruhi oleh genotipe, meskipun dapat diinduksi dengan penambahan 2,4-D dan Benzil adenin atau Adenin sulfat. Terdapat beberapa tipe kalus, seperti bentuk kompak, nodular, lembut (soft), granular dan translucent, yang tumbuh di sepanjang tepi pemotongan eksplan pada bagian jaringan pembuluh (Rohani et al. 2000). Tipe kalus yang berbentuk kompak dan nodular dapat membentuk embrioid atau mengalami proses embriogenesis. Akan tetapi, tipe kalus yang berbentuk jaringan lembut (soft), granular dan translucent tidak memiliki potensi untuk membentuk embrioid (Rohani et al. 2000). Jaringan-jaringan tersebut didefinisikan sebagai kalus non-embriogenik dan hanya

23 5 akan tetap menjadi kalus yang tidak dapat menghasilkan planlet. Embrioid yang terbentuk akan mengalami pematangan embrio somatik, diikuti dengan regenerasi planlet dan induksi perakaran hingga membentuk planlet (ramet). Menurut Mariani et al. (1998) embriogenesis somatik merupakan fase penting dalam perkembangan kultur in vitro, karena pada fase ini terjadi pembentukan struktur bipolar tunas dan akar, seperti pada perkembangan embrio zigotik. Perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan masih belum optimal, dengan tingkat kalogenesis dari eksplan daun hanya sekitar 20 % (Ho et al. 2008). Tingkat embriogenesis dari kalus hanya berkisar 3-6 % (Kushairi et al. 2010). Upaya untuk multiplikasi/proliferasi embrioid dilakukan melalui beberapa kali subkultur dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sekitar satu sampai dengan tiga tahun. Akan tetapi proses ini berpotensi menimbulkan variasi somaklonal (Mgbeze dan Iserhienrhien 2014). Variasi Somaklonal Variasi somaklonal menunjukkan perubahan baik secara genetik maupun fenotipik, yang dihasilkan oleh sel somatik maupun sel gamet tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro (Larkin dan Scowcroft 1981). Variasi somaklonal dapat menghasilkan potensi genetik tertentu yang diperlukan dalam kegiatan perakitan varietas unggul. Meskipun demikian, munculnya variasi somaklonal tidak diinginkan dalam kegiatan produksi dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman klonal yang seragam. Variasi somaklonal dapat terjadi akibat adanya mutasi gen maupun perubahan pola epigenetik (Krishna et al. 2016). Beberapa faktor yang dapat menimbulkan keragaman somaklonal antara lain metode yang digunakan, genotipe dan jenis eksplan, tipe dan konsentrasi ZPT, serta frekuensi dan lama subkultur (Bairu et al. 2011). Menurut Krishna et al. (2016) terjadinya mutasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menyebabkan kondisi stress pada kultur, seperti pelukaan pada jaringan eksplan, ketidakseimbangan komponen media seperti gula atau zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin), lingkungan kultur in vitro (kondisi pencahayaan/fotoperiodisme, kelembaban maupun suhu yang tinggi). Frekuensi subkultur menjadi salah satu faktor yang dapat menginduksi terjadinya variasi somaklonal. Hal itu disebabkan semakin tinggi frekuensi subkultur, maka semakin lama durasi sel terpapar dengan berbagai faktor yang dapat menginduksi terjadinya mutasi selama proses in vitro (Peng et al. 2015). Selain itu, proses kultur jaringan dengan menginduksi proliferasi embrioid yang merupakan disorganized cells juga dapat menyebabkan mutasi. Penyebab Variasi Somaklonal Berdasarkan mekanisme penyebabnya, variasi somaklonal dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu variasi genetik dan epigenetik (Evans et al. 2003; Morcillo et al. 2006). Mutasi atau perubahan lainnya pada DNA seperti perubahan jumlah dan struktur kromosom dapat menyebabkan variasi genetik yang dapat diwariskan. Jika terjadi perubahan di luar struktur kromosom atau DNA maka dapat menyebabkan variasi epigenetik yang umumnya tidak diwariskan.

24 6 Variasi Genetik Variasi genetik dapat dihasilkan dari berbagai macam perubahan, seperti perubahan jumlah maupun struktur kromosom, deamplifikasi maupun amplifikasi gen, perubahan pola metilasi DNA, aktivasi elemen transposons, dan perubahan satu pasang basa atau mutasi titik (Scowcroft 1985; Phillips et al. 1990). Perubahan tersebut secara tidak langsung disebabkan oleh kondisi cekaman pada kultur, yang terjadi akibat proses kultur jaringan, seperti adanya berbagai jenis ZPT dan senyawa toksik yang dieksresikan oleh sel. Menurut Papes et al. (1990) penambahan 1-Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Indole-3-butyric acid (IBA) dalam media kultur in vitro dapat menginduksi kegagalan pembentukan benang gelendong, kegagalan segregasi kromsosom dan ploidisasi atau pembentukan sel dengan jumlah set kromosom lebih dari dua. Bairu et al. (2011) juga melaporkan bahwa penambahan ZPT seperti 2,4-D berhubungan dengan terjadinya perubahan atau ploidisasi jumlah set kromosom dan stimulasi sintesis DNA yang diduga dihasilkan dari siklus endoreduplikasi. Siklus endoreduplikasi merupakan siklus sel dengan duplikasi kromosom tanpa diikuti kariokinesis dan sitokinesis (Schulz-Scaeffer 1980). Kondisi cekaman pada kultur dapat menginduksi hilangnya mekanisme pengendalian berbagai aktivitas selular, sehingga dapat menyebabkan proses pembelahan mitosis tidak berjalan normal (Phillips et al. 1994; Kaeppler et al. 1998). Pengendalian mekanisme seluler pada pembelahan mitosis diperlukan untuk mencegah terjadinya pembelahan sel sebelum replikasi DNA yang tertunda (delayed replication) selesai dengan sempurna. Menurut Kaeppler et al. (1998) replikasi DNA yang tertunda tersebut terjadi pada bagian heterokromatin, yaitu bagian kromosom dengan kandungan adenin (A) dan timin (T) yang melimpah. Oleh sebab itu, tertundanya replikasi DNA pada bagian heterokromatin juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan jumlah nukleotida yang diperlukan pada sel-sel dari kultur. Replikasi DNA yang tertunda pada bagian heterokromatin menginduksi terbentuknya jembatan kromosom (Chromosome bridge) ketika terjadi segregasi kromatid sister pada tahap anafase mitosis. Fluminhan dan Kamya (1996) melaporkan bahwa segregasi kromatid sister yang tertunda, fenomena jembatan kromosom dan perubahan struktur kromosom lebih sering ditemukan pada kultur kalus embrionik jagung. Aguiar-Perecin et al. (2000) pernah menemukan fenomena jembatan kromosom pada kalus jagung hasil kultur in vitro (Gambar 2). Gambar 2 Jembatan kromosom akibat segregasi sister chromatid yang tertunda karena keterlambatan replikasi DNA-nya pada kultur kalus jagung (Aguiar-Perecin et al. 2000)

25 7 Pembentukan jembatan kromosom ini kemudian diikuti dengan kerusakan atau pematahan kromosom (Chromosome breakage). Adanya patahan kromosom tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur kromosom (Phillips et al. 1994). Patahan atau potongan kromosom yang tidak bergabung kembali dengan kromosom asalnya menyebabkan delesi segmen kromosom. Sebaliknya, penggabungan antara potongan kromosom dapat menyebabkan translokasi, inversi, duplikasi dan juga delesi segmen kromosom. Menurut Phillips et al. (1990,1994) kerusakan pada kromosom juga dapat diinduksi oleh perubahan pola metilasi DNA, baik yang bersifat hipermetilasi (tingkat metilasi bertambah) maupun hipometilasi (tingkat metilasi berkurang). Hal ini disebabkan karena adanya hipermetilasi diduga dapat mengakibatkan segmen eukromatin mengalami heterokromatisasi (Ball et al. 1983), yaitu transformasi segmen eukromatin sehingga memiliki sifat seperti segmen heterokromatin. Dengan demikian, keterlambatan replikasi DNA juga dapat terjadi pada segmen eukromatin tersebut. Proses yang terjadi ini dapat menimbulkan perubahan struktur kromosom seperti yang diakibatkan oleh keterlambatan replikasi DNA pada bagian heterokromatin. Berbeda dengan perubahan yang bersifat hipometilasi, menurut Neves et al. (1992) dan Foss et al. (1993) hipometilasi dapat menyebabkan sister chromatid gagal berpisah pada tahap anafase mitosis. Penyimpangan tersebut kemudian menghasilkan sel-sel dengan jumlah kromosom lebih atau kurang dari kelipatan jumlah kromosom haploid atau aneuploidi seperti, monosomik (contoh 2n-1 atau kehilangan 1 kromosom dan trisomik atau tambahan 1 kromosom). Dengan demikian perubahan metilasi yang bersifat hipometilasi dengan adanya penambahan auksin sintetik 2,4-D diduga dapat menghasilkan individu dengan sel-sel yang mempunyai jumlah kromosom berbeda (miksoploidi). Selain itu, penurunan metilasi (yang umumnya terjadi dalam kultur in vitro) dapat mengurangi kemampuan sistem DNA repair untuk memperbaiki kesalahan sintesis DNA (Kaeppler et al. 1998). Aktivasi elemen transposons juga dapat menimbulkan variasi genetik. Menurut Lee dan Phillips, (1988) aktivitas elemen trasnposons pada awal pembelahan pertama setelah kerusakan kromosom diduga merupakan respon genom tanaman terhadap kondisi stres. Selain itu, Phillips et al. (1990) juga bependapat bahwa perubahan metilasi mungkin merupakan sebab dan akibat dari aktivasi elemen transposons, sehingga perubahan metilasi yang diinduksi melalui kultur in vitro mungkin mengaktifkan elemen trasnposons. Kemudian elemen transposons tersebut juga dapat mengaktifkan dan atau mengubah pola metilasi pada segmen kromosom tertentu. Hilangnya pengendalian mekanisme selular juga mengakibatkan perubahan satu pasang basa (Brettell et al.1986) perubahan tersebut disebabkan oleh deaminasi sitosina (C) yang termetilasi menghasilkan perubahan basa nitrogen dari sitosina (C) menjadi timina (T) atau dari guanina (G) menjadi adenina (A). Perubahan satu pasang basa juga dapat disebabkan karena kesalahan pada replikasi DNA atau sistem perbaikan DNA yang menghasilkan transisi atau transversi pasangan basa. Variasi Epigenetik Mekanisme epigenetik diperlukan untuk mengontrol ekspresi gen yang dapat diwariskan baik melalui perbanyakan aseksual maupun seksual. Perubahan mekanisme epigentik menyebabkan ekspresi gen tertentu tidak sesuai seperti yang seharusnya, sehingga dapat menyebabkan gen tertentu menjadi aktif ataupun

26 8 sebaliknya. Oleh Sebab itu perubahan epigenetik dapat menimbulkan variasi somaklonal. Variasi epigenetik tidak disebabkan karena penyimpangan kromosom maupun perubahan sekuen DNA. Variasi epigenetik menyebabkan perubahan fenotipe yang stabil atau selalu muncul pada klon-klon hasil kultur jaringan dan bersifat sementara atau dapat kembali normal. Fenotipe individu yang mengalami perubahan epigenetik relatif mudah kembali normal, tetapi pada beberapa kasus dapat bertahan lebih lama dan bahkan dapat diwariskan selama perbanyakan seksual (Smulders dan De Klerk 2011). Variasi epigenetik dapat terjadi karena adanya perubahan pola metilasi DNA, modifikasi histon, dan aktivitas elemen transposons. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi transkripsi gen dan menghasilkan protetin yang tidak normal dari yang seharunya (Mgbeze dan Iserhienrhien 2014). Pada tanaman kelapa sawit perubahan pola metilasi DNA dapat menyebabkan variasi somaklonal berupa pembentukan buah mantel (Abdullah et al. 2015). Mekanisme pembungaan tanpa proses vernalisasi juga merupakan bentuk variasi epigenetik lainnya yang sering ditemukan pada tanaman (Amasino 2004) Suatu perbedaan karakteristik utama diantara perubahan genetik dan epigenetik, yaitu perubahan genetik terjadi secara acak, sedangkan fenotipe hasil perubahan epigenetik yang sama dapat 'direproduksi' pada kondisi yang sama selama pembentukan populasi lainnya (Smulders dan de Klerk 2011). Variasi Somaklonal pada Kelapa Sawit Variasi somaklonal pada klon kelapa sawit hasil kultur jaringan ditemukan pertama kali pada tahun 1986 berupa munculnya bunga jantan steril dan buah mantel (Corley et al. 1986). Fenotipe akibat keragaman somaklonal yang paling banyak ditemukan adalah buah mantel. Berbeda dengan buah normal, bentuk buah mantel ini ditandai dengan terbentuknya buah yang terbelah-belah atau berlapis-lapis sehingga terlihat bermantel atau bersayap yang berasal dari organ betina (Gambar 3). Menurut Corley et al. (1986) buah mantel terbentuk akibat proses feminisasi androesium bunga jantan maupun betina menjadi struktur menyerupai karpel (carpeloid) dan petal kedua bunga tersebut berkembang menjadi struktur menyerupai sepal (cepaloid). Gambar 3 Penampang melintang buah klon Tenera kelapa sawit yang N (buah normal) M - (mantel ringan) M + (mantel berat) SC (karpel tambahan) (Jaligot et al. 2000)

27 9 Hetharie (2008) menggolongkan tingkat abnormalitas buah bermantel kelapa sawit menjadi 3 kelompok, yaitu (1) abnormalitas ringan (AbR), dicirikan dengan terbentuknya karpel tambahan, batasan antara karpel tambahan tersebut hanya terlihat pada bagian ujung buah, mesokarp berdaging, dan mempunyai biji. (2) abnormalitas berat (AbB), dicirikan dengan adanya karpel tambahan dari bagian ujung ke bagian tengah buah yang terpisah dengan karpel utama, batasan antara karpel tambahan sangat jelas dari ujung ke bagian tengah buah dan selanjutnya menyatu dengan karpel utama, mesokarp berdaging dan mempunyai biji (3) abnormalitas sangat berat (AbSB), dicirikan dengan terbentuk karpel tambahan yang terpisah dari karpel utama mulai dari ujung sampai sepertiga dari pangkal buah demikian juga antar karpel tambahan serta tidak mempunyai biji. Variasi somaklonal pada klon kelapa sawit berupa buah mantel disebabkan perubahan pola metilasi DNA selama proses kultur in vitro (Jaligot et al dan Matthes et al. 2001). Menurut Abdullah et al. (2015) fenomena buah mantel disebabkan oleh hilangnya metilasi DNA pada gen mantled. Hilangnya metilasi atau DNA hypometilation pada gen tersebut menyebabkan proses translasi tidak normal dan menghasilkan protein yang membentuk fenotipe buah mantel. Menurut Rival et al. (1998) individu klon kelapa sawit dengan buah mantel dapat kembali normal setelah ditanam 9 tahun dilapangan. Jaligot et al. (2000) menemukan sekitar 5% dari klon yang diperoleh dari embrio somatik menunjukkan abnormalitas pada perkembangan bunganya. Meskipun individu-individu klon kelapa sawit yang bunganya berfenotipe mantel ringan dapat kembali normal 100%, dan dari individu-individu lainnya yang bunganya berfenotipe mantel berat, juga kembali normal 50% setelah 9 tahun dilapangan. Variasi somaklonal dapat dideteksi melalui beberapa pendekatan, yaitu morfologi, biokimia, dan molecular (Bairu et al. 2011). Deteksi melalui pengamatan morfologi dilakukan dengan mengamati karakter fenotipe setiap bagian tanaman pada fase vegetatif dan generatif. Akan tetapi pengamatan morfologi ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menunggu tanaman kelapa sawit berbunga dan berbuah. Selain itu faktor lingkungan juga akan mempengaruhi hasil pengamtan morfologi. Sedangkan pendekatan biokimia yang menggunakan analisis enzim dan isoenzim terbatas hanya pada waktu dan organ tertentu (Peyvandi et al. 2009). Deteksi melalui penggunaan marka molekuler dirasa lebih dapat diandalkan sebagai metode deteksi variasi somaklonal yang cepat dan akurat serta tidak dibatasi oleh lingkungan, waktu maupun organ tertentu. Marka SSR (Simple Sequence Repeat) dapat dijadikan sebagai salah satu marka molekuler untuk menganalisis variasi genetik. Simple Sequence Repeat (SSR) Simple Sequence Repeat (SSR) merupakan sekuen DNA pendek (1-6 basa nukleotida) yang tersebar dalam genom seluruh organisme eukariotik dan tersusun lebih dari ratusan kali pengulangan (Tranbarger et al. 2012). Menurut Kalia et al. (2011) SSR dapat ditemukan pada genom inti sel, mitokondria, dan kloropas, tersebar secara acak dan pada setiap genom terdapat sekitar SSR. Pada

28 10 tanaman tingkat tinggi terdapat sekitar 40% hingga 60% sekuens berulang (repetitive sequences) dari total genom (Neumann et al. 2009). Terdapat beberapa motif sekuen DNA yang umumnya ada pada genom tanaman seperti bermotif satu basa nukleotida atau Mono: A, T, Di (dua basa nukleotida): AT, GA, Tri (tiga basa nukleotida) AGG, Tetra (empat basa nukleotida): AAAC (Kundan et al. 2014). Pengulangan motif-motif tersebut dilambangkan (AAAC)n, dimana n adalah jumlah pengulangan (tandem). Misalnya, sekuen DNA dengan motif (AGG)8 berarti terdapat sekuen tiga nukleotida AGG yang berulang sebanyak delapan kali sehingga diperoleh sekuen DNA AGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGG. Tanaman monokotil umumnya memiliki lebih banyak SSR tipe trinukleotida, sedangkan tanaman dikotil umumnya memiliki lebih banyak SSR tipe mononukleotida (Lawson dan Zhang 2006). SSR terdapat pada daerah coding sequens maupun non coding sequens dan pada umumnya lebih banyak terdapat di daerah non coding sequens seperti 5' UTR (untraslated region), dan 3' UTR, dan intron (Lawson dan Zhang 2006). Meskipun pada daerah coding sequens jumlah pengulangan SSR relatif lebih sedikit (Li et al. 2004). Menurut Lawson dan Zhang (2006) SSR yang berada di daerah non coding sequens berpengaruh pada transkripsi gen. Sedangkan SSR yang berada di daerah coding sequens berperan dalam aktivasi gen dan ekspresi dari protein (Kalia et al. 2011). Marka SSR telah banyak digunakan sebagai marka molekuler karena mudah dan relatif murah (pada tahapan setelah ditemukan primer spesifiknya), keberadaannya melimpah dan tersebar di seluruh genom tanaman, dan dengan sampel dalam jumlah sedikit, mencukupi untuk amplifikasi dengan PCR (Ribaut et al. 2002). Marka SSR juga merupakan alat uji yang memiliki keterulangan hasil yang baik, variabilitas dan sifat polimorfisme yang sangat tinggi, berada pada lokus spesifik dan bersifat kodominan (Gupta dan Varshney 2000). Analisis molekuler menggunakan marka SSR pernah digunakan untuk klonklon kelapa sawit. Zulhermana (2009) dan Nchu (2010), menggunakan marka SSR dalam menganalisis keragaman genetik dari sembilan aksesi kelapa sawit Pisifera asal Nigeria. SSR juga telah digunakan untuk menganalisis kemiripan genetik pada somaklon E. guineensis hasil in vitro (Artutiningsih 2012; Cahyono 2015).

29 11 3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2015 hingga Juli 2016 di Laboratorium Plant Production and Biotechnology Division, PT SMART Tbk, Sentul, Jawa Barat. Bahan Tanaman Ramet-ramet yang akan diuji berasal dari delapan ortet Tenera hasil persilangan Dura (tetua betina) yang berbeda dan Pisifera (tetua jantan) yang sama (Tabel 2). Ortet-ortet tersebut ditanam di perkebunan SMART-Research Institute, Riau dan telah dijadikan sumber eksplan daun muda dalam perbanyakan bibit klonal kelapa sawit secara in vitro pada tahun 2011 (SMART 2011). Setiap ortet diseleksi berdasarkan daya hasil minyak (8-9 ton ha -1 th -1 ) dan pada saat pemotongan spear umurnya sudah mencapai 10 tahun. Tabel 2 Delapan ortet kelapa sawit Tenera hasil persilangan Dura dan Pisifera No. Ortet Tetua betina (Dura) Tetua jantan (Pisifera) Prosedur Penelitian Penelitian terdiri dari tiga tahapan, yaitu (1) perbanyakan bibit klonal kelapa sawit Tenera melalui kultur jaringan, (2) analisis molekuler untuk analisis polimorfisme primer SSR dan analisis kemiripan genetik ramet dengan ortetnya serta (3) analisis korelasi antara frekuensi variasi somaklonal dan frekuensi subkultur. Perbanyakan Bibit Klonal Kelapa Sawit Tenera melalui Kultur Jaringan Perbanyakan bibit klonal kelapa sawit Tenera melalui kultur jaringan merupakan kegiatan produksi yang telah dilakukan sejak tahun Perkembangan kultur, tingkat kalogenesis dan embriogenesis, frekuensi proliferasi embrioid serta tingkat perkecambahannya menjadi planlet telah diidentifikasi selama proses kultur jaringan. Kultur jaringan dilakukan dengan menggunakan eksplan daun muda dari setiap ortet Tenera. Eksplan daun muda (pinnae) diambil dari pelepah-pelapah daun (rachis) yang belum membuka pada pucuk (tombak) yang disebut spear. Eksplan daun muda (pinnae) tersebut kemudian disterilisasi dalam Laminar Air Flow, dengan cara

30 12 direndam dalam larutan sodium hypochlorite (kandungan Chloride 2.5 %) selama 20 menit. Kemudian eksplan daun muda tersebut dibilas sebanyak 3 kali menggunakan air destiliasi yang steril, dan dipotong dengan ukuran 1x1 cm. Sekitar eksplan daun (ukuran 1x1 cm) per spear dikulturkan mengikuti enam tahap protokol produksi perbanyakan bibit klonal kelapa sawit Tenera secara in vitro (Tabel 3). Tabel 3 Tahapan dalam protokol produksi perbanyakan kelapa sawit Tenera secara in vitro No. Tahapan Tujuan Ruang Frekuensi Durasi Media inkubasi subkultur 1 Inokulasi eksplan daun 2 Subkultur eksplan daun 3 Subkultur kalus 4 Subkultur embrioid 5 Shoot Development 6 Root Induction Induksi kalus Ruang gelap 0 3 bulan M1 Induksi kalus Ruang gelap 3 3 bulan per subkultur Diferensiasi kalus menjadi embrioid Induksi proliferasi dan perkecambahan embrioid Pertumbuhan dan perkembangan planlet Induksi pembentukan akar Ruang gelap 6 2 bulan per subkultur Ruang terang, (intensitas penyinaran 4000 lux; 16 jam/hari) Ruang terang, (intensitas penyinaran 4000 lux; 16 jam/hari) Ruang terang, (intensitas penyinaran 4000 lux; 16 jam/hari) bulan per subkultur bulan M1 M1 M2A (Sub. 1-2), M2B (Sub. 3-4), M2C (Sub. 5-6), M2D (Sub. 7-8), M2E (Sub. 9-10), M2F (Sub ), M2G (Sub ), M2H (Sub ), M2I (Sub ) M3 0 2 bulan M4 Media yang digunakan pada setiap tahap adalah media MS padat dengan penambahan 5 % (bobot/volume) sukrosa dan ZPT pada konsentrasi yang berbedabeda (Tabel 4). Keasaman media kultur diatur pada ph 5.7. Selain itu, suhu pada ruang inkubasi untuk seluruh kultur dijaga pada kisaran o C dengan kelembaban ruangan di bawah 60 %. Tabel 4 Perbedaan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada setiap media kultur in vitro kelapa sawit Tenera ZPT Media kultur (mg L -1 ) M1 M2A M2B M2C M2D M2E M2F M2G M2H M2I M3 M4 2,4-D NAA

31 13 Analisis Molekuler Pengambilan, Penyimpanan dan Pelabelan Sampel Daun Analisis molekuler dilakukan dengan menggunakan DNA genom yang diekstraksi dari daun muda. Daun muda berasal dari delapan genotipe ortet Tenera (umur 10 tahun) dan 60 ramet per ortet yang sudah diaklimatisasi (umur 5-6 bulan). Ramet dipilih secara acak, sehingga sampel ramet yang dianalisis tidak berasal dari satu lini embrioid, tetapi dari beberapa lini embrioid. Enam puluh ramet tersebut berasal dari periode subkultur embrioid ke-8, ke-11 dan ke-14, dan dari masingmasing diambil sebanyak 20 ramet (Gambar 4). sumber sampel daun ramet untuk analisis molekler Gambar 4 Diagram pengambilan sampel ramet kelapa sawit Tenera dari tiga periode subkultur Pada setiap ortet, sampel ramet dari setiap periode subkultur berturut-turut diberi label A, B dan C dengan sebuah nomor yang menunjukan nomor individu ramet (A1-A20, B1-B20, C1-C20). Seluruh sampel yang dianalisis berjumlah 488 sampel, yaitu delapan sampel daun ortet dan 60 sampel daun ramet dari masingmasing ortet. Sampel daun kemudian disimpan pada suhu -20 o C di freezer sebelum digunakan dalam proses ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA DNA genom diekstraksi menggunakan metode Nucleospin Plant II TM (Macherey-Nagel 2014). Sebanyak ±1 mg (bobot basah) daun kelapa sawit muda dari ramet maupun spear ortet digerus dengan penambahan nitrogen cair dalam mortar hingga menjadi bubuk halus. Bubuk sampel hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml yang telah diisi dengan 400 μl bufer PL1. Selanjutnya pada tabung tersebut ditambahkan 10 μl larutan RNAse A, kemudian divorteks dan diinkubasi pada suhu 65 C selama 10 menit. Campuran kemudian disentrifugasi pada kecepatan x g selama 2 menit untuk memperoleh lysate. Filter NucleoSpin TM (cincin ungu) ditempatkan di dalam tabung baru (2 ml) dan masukan lysate ke dalam kolom tersebut. Kemudain disentrifugasi kembali pada kecepatan x g selama 2 menit. Kolom ungu dibuang kemudian supernatan

32 14 atau cairan bening dipindahkan ke 1.5 ml tabung mikrosentrifugasi baru. Apabila tidak semua cairan melewati filter, tahap sentrifugasi dapat diulangi sekali lagi. Pada supernatan tersebut sebanyak 450 μl bufer PC ditambahkan dan dicampur secara menyeluruh dengan dipipet ke atas dan ke bawah atau dengan divorteks. Setelah itu, pengikatan DNA dilakukan dengan menempatkan NucleoSpin Plant II TM Column (cincin hijau) ke dalam tabung baru (2 ml) yang mampu memuat maksimum 700 μl sampel. Sentrifugasi dilakukan selama 1 menit pada kecepatan x g selanjutnya cairan yang tertampung di bawah dibuang. Maksimum kapasitas tabung NucleoSpin Plant II TM Column memuat 700 μl. Sebanyak 400 μl bufer PW1 dimasukan ke dalam NucleoSpin Plant II TM Column untuk pencucian dan pengeringan membran silika (kolom bercincin hijau). Kemudian kolom disentrifugasi selama 1 menit pada x g dan cairan yang tertampung dibuang. Pencucian kedua dilakukan dengan menambahkan 700 μl bufer PW2 ke dalam NucleoSpin Plant II TM Column. Kolom disentrifugasi kembali selama 1 menit pada kecepatan x g dan larutan yang tertampung dibuang kembali. Pencucian ketiga dilakukan dengan menambahkan bufer PW2 sebanyak 200 μl ke dalam NucleoSpin Plant II TM Column. Kemudian kolom disentrifugasi selama 2 menit pada x g untuk membuang bufer pencuci dan mengeringkan membran silika secara menyeluruh. NucleoSpin Plant II TM Column ditempatkan di dalam tabung mikrosentrifugasi baru volume 1.5 ml untuk mengelusi DNA. Kemudian sebanyak 50 μl bufer PE dipipet ke dalam membran. kemudian NucleoSpin Plant II TM Column diinkubasi pada suhu 65 C selama 5 menit. Sentrifugasi dilakukan pada x g selama 1 menit untuk mengelusi DNA. Tahap ini diulangi kembali dengan menggunakan 50 μl bufer PE (65 C) dan elusi dilakukan pada tabung yang sama. Pengujian Kualitas dan Kuantitas DNA Kualitas DNA hasil ekstraksi diuji dengan elektroforesis gel agarosa 0.8 % dalam larutan bufer TAE 1x. Gel agarosa dibuat dengan melarutkan 0,32 g serbuk agarosa di dalam 40 ml TAE 1x. Selanjutnya campuran dipanaskan agar agarosa larut sempurna. Larutan agarosa dituang ke dalam cetakan yang telah dipasangkan sisir. Setelah membeku, gel agarosa dimasukkan ke dalam alat elektroforesis yang telah berisi larutan bufer TAE 1x. Sebanyak 2 μl larutan DNA dicampur dengan 2 μl larutan 6x loading dye dan pewarna gelred, dihomogenkan dengan bantuan mikropipet, kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa. Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 30 menit. Hasil elektoforesis dilihat dan didokumentasikan menggunakan GelDoc Universal Hood (Biorad). Konsentrasi DNA hasil ekstraksi dari setiap sampel diukur dengan menggunakan Nanodrop Spektrofotometer. Larutan yang digunakan sebagai standar untuk mengukur konsentrasi DNA adalah larutan yang sama dengan pelarut DNA, yaitu elute solution (TE) dari Nucleospin Plant Kit TM. Sebanyak 1 µl TE diteteskan pada bagian pedestal (bagian alat untuk meletakkan sampel). Konsentrasi DNA dihitung dalam satuan ng µl -1. Amplifikasi DNA dengan Primer SSR Proses PCR dilakukan pada mesin PCR Thermal Cycler Veriti 96 well, menggunakan 16 pasang primer SSR didesain oleh Billotte et al (Tabel 5).

33 15 Enam belas primer yang digunakan mengamplifikasi lokus SSR yang terkait dengan Quantitative Traits Locus (QTL) (Billotte et al. 2010). Konsentrasi DNA yang digunakan untuk proses amplifikasi, yaitu 10 ng µl -1. Jika DNA sampel memiliki konsentrasi di bawah 10 ng µl -1 maka proses ekstraksi DNA diulang. Jika DNA sampel memiliki konsentrasi di atas 10 ng µl -1 dilakukan pengenceran sampel menggunakan rumus M1V1=M2V2, dimana M1 adalah nilai konstrasi DNA sampel untuk amplifikasi, yaitu 10 ng µl -1. V1 adalah nilai volume DNA, yaitu 50 µl. M2 adalah nilai konsentrasi DNA sampel hasil ekstraksi. V2 adalah nilai volume DNA yang akan digunakan. Tabel 5 Enam belas primer SSR kelapa sawit dan QTL yang terpaut No. SSR (NK) Primer Sequence (5'-3') Kode QTL Keterangan 1 megcir F-TGCAGGGGATGCTTTTATT abwt 1, Lt_n 2 1 Rata-rata bobot tandan yang 0059 (4) R-CCCTTAATTCCTGCCTTATT dianalisis (kg) 2 megcir F-CCAATGCAGGGGACATT Bwt6_9 3 2 Rata-rata jumlah daun 3869 (6) R-GAAGCCAGTGGAAAGATAGT (pinnae) pada pelepah no.17 3 megcir 2387 (7) F-TTG GTG AGC CAT TTG CTA CA R-CCT CCT TCC ACC CCT CTA CT Bwt3_5 4, Fwt 6 4 megcir F-CAATCATTGGCGAGAGA Bn6_ (12) R-CGTCACCTTTCAGGATATG 5 megcir F-ACGTTTTGGCAACTCTC Bwt6_9 3, 3639 (16) R-ACTCCCCTCTTTGACAT PO6_9 5, PF 7, KF 8, P-W 9 6 megcir F-GATCCCATGGTAAAGACT Fwt (3) R-AAGCCTCAAAAGAAGACC 7 megcir F-AAGCTAGCGACCTATGATTTTAGA Ht 14, 0192 (11) R-AAACAAGTAATGTGCATAACCTTTC L17_L 11 8 megcir F-AGCCAATGAAGGATAAAGG Leaf_n 10 9, Rata-rata lebar petiol pada 3399 (13) R-CAAGCTAAAACCCCTAATC L17_L 11, P- pelepah no.17 9 megcir 3555 (13) NK = No. kromosom berdasarkan lingkage group Sumber : Billote et al. (2005, 2010) T 12 3 Rata-rata bobot tandan pada umur 6 9 tahun (kg) 4 Rata-rata bobot tandan pada umur 3 5 tahun (kg) 5 Hasil minyak sawit per palm th -1 pada umur 6 9 tahun (ton -1 ha -1 th) 6 Rata-rata bobot buah (g) 7 Rasio daging buah terhadap buah (%) 8 Rasio kernel terhadap buah (%) F-CATCAGAGCCTTCAAACTAC R-AGCCTGAATTGCCTCTC L17_L 11, PT 12, I 15, Leaf_n Rata-rata jumlah daun pelepah (frond) per tajuk F-AAGGCTTGGAGTTGAGGTAT Lt_n 2 11 Rata-rata panjang pelepah R-CACCATTGCATCATTATTCC no.17 (cm) 10 megcir 3569 (14) 11 megcir 3519 (10) 12 megcir F-CAAAGCAACAAAGCTAGTTAGTA Ht (11) R-CAAGCAACCTCCATTTAGAT 13 megcir F-GTCTCATGTGGCTACCTCTC Ht 14 dan 3711 (8) R-AGGCTCCCTGCTTTTAAGT Lt_n 2 F-CCACTGCTTCAAATTTACTAG Lt_L Rata-rata ketebalan petiol R-GCGTCCAAAACATAAATCAC pada pelepah no.17 (mm) 13 Rata-rata panjang daun (pinnae) dari pelepah no.17 (cm) 14 megcir F-TGGGGATGGGGGAGCAG I Tinggi batang (m) 2224 (9) R-TCGCACCGCCTCCTACC 15 megcir F-TAGCCGCACTCCCACGAAGC I 15, Leaf_n 10, 2569 (13) R-CCAGAATCATCAGACTCGGACAG PT megcir F-GTA GCT TGA ACC TGA AA Bwt6_9 3, 3683 (2) R-AGA ACC ACC GGA GTT AC Lt_n 2 15 Nilai Iodine (proporsi asam lemak tak jenuh)

34 16 Proses amplifikasi DNA dilakukan dengan volume larutan sebanyak 15 µl yang terdiri 3 µl DNA genom sampel (10 ng µl -1 ), 1.5 µl forward primer (1 pmol µl -1 ), 1.5 µl reverse primer (1 pmol µl -1 ), 0.6 µl MgCl2 (25 mm), 1.5 µl Dream Taq buffer (10 x), 1.5 µl dntps (100 µm), 0.12 µl Taq DNA polymerase, dan 4.98 µl ddh2o sebagai penyesuai volume (Hatorangan et al. 2010). Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal 94 C selama 5 menit, suhu denaturasi 94 C selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 51 C selama 45 detik, perpanjangan awal pada suhu 72 C selama 1 menit, dan perpanjangan akhir 72 C selama 10 menit sebelum didinginkan pada suhu 4 o C. Pada tahap denaturasi 94 C selama 30 detik hingga tahap perpanjangan 72 C selama 1 menit diulang sebanyak 35 siklus (Billotte et al. 2005). DNA yang berhasil diamplifikasi kemudian dielektroforesis menggunakan QIAxcel System. Elektroforesis dan Skorring Pita DNA Hasil Amplifikasi Elektroforesis dilakukan menggunakan QIAxcel System (Qiagen 2011). Prinsip pemisahan pada QIAxcel dilakukan dalam kapiler cartridge gel. Setiap sampel otomatis masuk di dalam kapiler. DNA yang bermuatan negatif bermigrasi melalui kapiler ke ujung bermuatan positif melewati detektor yang mendeteksi dan mengukur sinyal serta mengubah sinyal emisi ke data elektronik yang kemudian ditampilkan sebagai gambar gel (Gambar 5). Gambar 5 Proses pemisahan fragmen DNA hasil amplifikasi dengan primer SSR pada QIAxcel sytem (Qiagen (2011) Alat QIAxcel dan komputer yang sudah terhubung dihidupkan, kemudian memasukkan QX alignment marker ke dalam tray alat. Sampel hasil amplifikasi dalam tabung mikro PCR 0.2 ml atau plate 96 well diletakkan dalam sampel tray alat. Pada tampilan Instrumen Control memerlukan beberapa informasi yang perlu diisi. Proses elektroforesis akan dimulai setelah mengklik Run. Hasil dari elektroforesis dengan alat QIAxcel diperoleh elektrogram dan hasil amplifikasi ditampilkan dalam gambar gel. Hasil fragmentasi dari elektroforesis kemudian diskor secara manual sebagai data kodominan (1,2,3 dst) dan data biner (1/0).

35 17 Analisis Polimorfisme Primer SSR Jumlah total alel, rata-rata jumlah alel, dan rata-rata nilai PIC (Polymorphism Information Content) dari setiap primer SSR dianalisis pada seluruh sampel uji maupun pada setiap genotipe (ortet dan rametnya). Analisis jumlah alel dan nilai PIC dilakukan berdasarkan data kodominan (1, 2, 3 dst) menggunakan perangkat lunak PowerMarker (Liu dan Muse 2005) mengikuti rumus Nagy et al. (2012) : PIC = 1 L L - 1 L P i 2 i = 1 i = 1 j= i+1 2P i 2 P j 2 Ket. : PIC : Polymorphism Information Content L : jumlah alel pada satu populasi dari satu lokus Pi : frekuensi alel i pada satu populasi dari satu lokus P j : frekuensi alel j pada satu populasi dari satu lokus Tanaman ramet memiliki kestabilan genetik yang tinggi apabila kesamaan genetik dengan ortetnya apabila mencapai nilai 80% atau lebih (Evans dan Sharp 1983) dan 90% atau lebih (Artutiningsih 2012). Analisis Kemiripan Genetik Analisis kemiripan genetik dilakukan berdasarkan data biner (1/0) dengan menggunakan perangkat lunak NTSys (Rohlf 2000). Matrik kemiripan genetik antara ramet dan ortet dihitung berdasarkan koefisien Simple Matching (SM) (Kosman dan Leonard 2005). Analisis dendogram dilakukan dengan menggunakan metode Unweighted Pair Group Method Arithmetic with Mean (UPGMA). Analisis Korelasi Analisis korelasi dilakukan untuk menentukan besarnya pengaruh frekuensi subkultur embrioid (disubkultur 8, 11 dan 14 kali) terhadap frekuensi variasi somaklonal. Koefisien korelasi antara dua variabel tesebut dihitung dengan metode sperman s correlation, berdasarkan jumlah ramet yang identik terhadap ortetnya dari setiap periode subkultur (subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14).

36 18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan Bibit Klonal Kelapa Sawit Tenera melalui Kultur Jaringan Perbanyakan tanaman klonal kelapa sawit secara in vitro merupakan kegiatan produksi bibit di PT SMART selama 3-4 tahun. Data hasil proses perbanyakan sampai tahap subkultur embrioid ke 18 digunakan sebagai data untuk melengkapi pembahasan yang berkaitan dengan analisis stabilitas genetik ramet yang diuji. Perkembangan Kultur In Vitro Kelapa Sawit Tenera Perkembangan kultur in vitro kelapa sawit Tenera disajikan dalam Gambar 6. Kultur eksplan daun muda dari ortet terseleksi telah dapat membentuk kalus pada media M1 (Gambar 6a-6b). Kalus yang disubkultur pada media yang sama (M1) dapat berkembang menjadi embrioid (Gambar 6c). Embrioid dikulturkan pada media M2 agar dapat berproliferasi (Gambar 6d-6e). Setiap embriod akan mengalami proses pendewasan (Gambar 6f) dan perkecambahan menjadi planlet (ramet) (Gambar 6g-6h). a: Eksplan daun muda (1x1 cm) b: Kalus dari eksplan daun c: Embriod primer d: Kultur embrioid sebelum berproliferasi e: Kultur embrioid setelah berproliferasi f: Embrioid yang berproliferasi dan dewasa g: Embrioid dewasa dan berkecambah h: Planlet dari embrioid yang bekercambah I : Embrioid yang tidak berkembang j : Planlet pada tahap perkembangan k: Planlet yang sudah berakar l : Ramet di pre nurseri (umur 2 bulan) Gambar 6 Perbanyakan bibit klonal kelapa sawit Tenera melalui proses embriogenesis tidak langsung

37 19 Ramet yang sudah mencapai tinggi ± 4 cm dikembangkan pada media M3 (Gambar 6j) tanpa proses proliferasi, sebelum dipindahkan ke media perakaran M4. Ramet yang mempunyai akar dan daun yang cukup (Gambar 6k) dapat diaklimatisasi dan dipelihara di pre-nurseri sampai berumur 5 bulan (Gambar 6l), sebelum ditanam di perkebunan. Tingkat Kalogenesis dan Embriogenesis Primer Persentase kalogenesis dari eksplan daun muda diantara delapan ortet yang dianalisis berkisar % (Tabel 6). Persentase pembentukan embrioid primer diantara delapan ortet berkisar % dari eksplan berkalus (Tabel 6). Kalus yang berkembang dari satu eksplan daun, diidentifikasi sebagai satu lini kalus. Kemudian lini kalus tersebut dapat berkembang menjadi embrioid, yang diidentifikasi sebagai lini embrioid. Tabel 6 Tingkat kalogenesis dan embriogenesis primer hasil kultur jaringan eksplan daun kelapa sawit pada delapan ortet Tenera Ortet Σ Eksplan awal Σ EK* EK (%) Σ Kalus* Σ KEm KEm (%) Rata-rata EK : Eksplan membentuk kalus, KEm : Kalus membentuk embrioid, *kultur bersih / bebas kontaminasi Σ Eksplan awal adalah jumlah eksplan yang dikulturkan pada media M1 Pembentukan dan Proliferasi Kalus Pembentukan kalus dari eksplan daun terjadi melalui proses dediferensiasi sel. Dediferensiasi sel merupakan proses seluler ketika sel yang sudah dewasa atau berdiferensiasi kembali memasuki siklus pembelahan sel, sehingga sel bersifat meristematik (Grafi 2004). Menurut Grafi dan Barak (2015) dediferensiasi sel terjadi sebagai respon sel tanaman terhadap kondisi cekaman selama proses kultur jaringan. Dediferensiasi sel dapat diinduksi melalui pelukaan pada jaringan, kemudian sel-sel tersebut berproliferasi membentuk kalus (Ikeuchi et al. 2013). Proses proliferasi sel pada pembentukan kalus terjadi melalui siklus pembelahan sel (Grafi 2004). Menurut Godbey (2014) siklus pembelahan sel terdiri dari beberapa periode, yaitu sintesis (S), mitosis (M), gap-1 (G1) dan gap-2 (G2) (Gambar 7). G 2 G 0 G 1 Gambar 7 Siklus pembelahan sel yang terdiri dari periode sintesis (S), mitosis (M) dan gap (G1, G2) dan G0 (Gobey 2014)

38 20 Pada umumnya mitosis merupakan priode siklus yang paling pendek. Menurut Syukur et al. (2013) siklus pembelahan sel tanaman berkisar jam. Pada rentang waktu tersebut, seluruh proses mitosis memerlukan waktu setengah hingga beberapa jam. Pada periode G1 terjadi sintesis persenyawaan yang diperlukan untuk replikasi DNA pada periode S. Pada periode S terjadi sintesis DNA atau replikasi kromosom. G2 adalah periode sintesis protein-protein yang diperlukan dalam proses mitosis. Selain proses sintesis, periode G1 dan G2 juga berperan sebagai waktu tambahan bagi sel untuk memonitor kondisi lingkungan internal dan eksternal sebelum masuk ke periode S dan M. Jika lingkungan tidak mendukung, sel berhenti ber-progress pada G1, bahkan memasuki kondisi resting state pada G0 (G zero). G0 merupakan titik pada siklus yang memungkinkan sel berfungsi secara normal tanpa kemajuan siklus. Menurut Neumann et al. (2009) periode G0 dapat berlangsung selama berhari-hari, bertahun-tahun, atau sampai sel mati. Jika kondisi lingkungan mendukung dan terdapat sinyal untuk membelah, maka sel akan memulai proses pada suatu titik akhir G1 yang disebut titik Start. Setelah melalui titik ini, sel akan mulai masuk ke periode S ditandai dengan replikasi DNA yang terus berlangsung. Dengan demikian setelah periode M, sel dapat masuk ke periode G1 untuk persiapan pembelahan sel kembali atau ke luar dari siklus pembelahan sel (G0) yang tergantung pada sinyal dan kondisi lingkungan. Sel dapat masuk ke siklus pembelahan sel (G1) jika ada stimulus, dengan syarat sel tersebut belum berdiferensiasi. Sel yang sudah berdiferensiasi secara permanen berada pada periode G0 dan tidak mempunyai kemampuan untuk membelah. Proliferasi kalus pada umumnya membentuk kurva pertumbuhan sigmoid, seperti yang ditemukan oleh Roper (1978), Neumann et al. (2009) dan Behbahani et al. (2011). Menurut Gobey (2014) kurva pertumbuhan sigmoid terdiri dari beberapa fase, yaitu fase lag, fase logarithmic (log), fase plateau (stationary), dan fase death (Gambar 8). Gambar 8 Pola kurva pertumbuhan sel yang menunjukkan perkembangan jumlah sel dalam kultur kalus (Gobey 2014) Fase lag dimulai dari tahap inokulasi kalus pada media subkultur kalus. Kalus yang diinolukasi pada media tidak langsung mengalami replikasi, tetapi memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi disekitarnya. Fase ini disebut fase lag karena merupakan periode yang harus dilewati sebelum sel mulai melakukan replikasi. Pada fase log (logarithmic) terdiri dari dua periode yang berbeda, yaitu awal

39 21 fase log dan akhir fase log. Pada awal fase log terjadi akselerasi pembelahan sel, sehingga jumlah sel meningkat secara eksponensial. Oleh sebab itu fase ini juga disebut dengan fase exponential yang diikuti oleh fase linear. Pertumbuhan sel pada fase exponential dikaitkan dengan adanya nutrisi yang melimpah dan kondisi ideal, sehingga pembelahan sel terjadi secara cepat. Kemudian pada fase deceleration, laju pembelahan sel menurun karena kandungan nutrisi pada media mulai berkurang. Jika dikaitkan dengan siklus sel, sel berada pada periode sebelum titik Start, pada kondisi dengan ketersediaan hara yang rendah. Pada kondisi ini perkembangan sel tersebut tertunda, dan memungkinkan bagi sel mengakumulasi dan menyimpan energi. Selanjutnya, energi tersebut akan digunakan untuk memulai proses pada titik Start jika kondisi lingkungan mendukung dan terdapat sinyal untuk membelah. Pada fase plateau (stationary) beberapa sel akan mengalami pembelahan, tetapi juga terdapat beberapa sel yang mati. Pada fase ini, jumlah sel pada kultur mendekati konstan. Fase death merupakan fase tanpa adanya pertumbuhan sel. Pada fase ini jumlah sel akan turun secara drastis karena sel mengalami kematian. Hal itu terjadi karena nutrisi dalam media hampir habis, bahkan berisi senyawa exudate yang bersifat toksik atau metabolit sekunder. Pada proses kultur jaringan kelapa sawit, proliferasi kalus diinduksi melalui subkultur berulang. Oleh sebab itu sel-sel kalus tidak mengalami kekurangan nutrisi atau fase death, bahkan mampu berdiferensiasi menjadi embrioid. Proliferasi Embrioid Somatik Proliferasi embrioid ditingkatkan melalui subkultur berulang sebanyak 18 kali. Ratarata frekuensi proliferasi per lini embrioid dan per subkultur telah dihitung berdasarkan frekuensi jumlah vessel kultur hasil proliferasi dari setiap periode subkultur terhadap jumlah vessel kultur awal pada subkultur ke-1 (Gambar 9, grafik merah). Pada setiap vessel berisi ± 15 clump embrioid, dengan ukuran diameter per clump yaitu 3-5 mm. Selain itu, tingkat perkecambahan embrioid menjadi planlet juga telah ditentukan berdasarkan jumlah ramet yang dapat diperoleh dari setiap periode subkultur (Gambar 9, grafik biru). A : Fase Lag B : Fase Logarithmic / exponential C : Fase Linear D : Fase deceleration E : Fase Stationary Gambar 9 Rata-rata frekuensi proliferasi embrioid dan tingkat perkecambahan pada setiap periode subkultur dari delapan ortet kelapa sawit Tenera

40 22 Frekuensi proliferasi embrioid selama subkultur membentuk kurva pertumbuhan sigmoid (Gambar 9, grafik merah) seperti bentuk kurva pertumbuhan kalus yang sudah dibahas sebelumnya. Kurva pertumbuhan tersebut terbagi menjadi lima fase, yaitu fase lag, fase logarithmic atau exponential, fase linear, fase deceleration dan fase stationary (Neumann et al. 2009). Frekuensi proliferasi embrioid yang masih rendah pada subkultur ke-1 sampai ke- 2 mengindikasikan pembelahan sel yang masih lambat seperti pada fase lag (Gambar 9, huruf A). Pada fase lag, setiap sel masih melakukan berbagai sintesis protein yang diperlukan untuk pembelahan sel. Fase ini kemudian diikuti oleh fase exponential. Menurut Neumann et al. (2009) fase exponential merupakan fase ketika aktivitas pembelahan sel terjadi secara dominan dalam kapasitas sel untuk tumbuh (Neumann et al. 2009). Selain itu, menurut Mustafa et al. (2011) pada fase exponential, sebagian besar karbon atau energi dari metobolisme primer telah digunakan untuk pembelahan sel. Hal ini menyebabkan pembelahan sel terjadi sangat cepat, sehingga jumlah sel meningkat secara logaritmik. Oleh sebab itu fase ini juga disebut fase logarithmic. Fase ini terjadi mulai dari subkultur ke-2 sampai ke-5 (Gambar 9, huruf B), yaitu ketika proliferasi embrioid terus mengalami peningkatan. Fase berikutnya adalah fase linear, pada fase ini laju pembelahan sel yang cepat memperlihatkan jumlah sel yang meningkat secara linear. Fase ini terjadi mulai subkultur ke-5 sampai ke-8 (Gambar 9, huruf C), yaitu pada saat frekuensi proliferasi meningkat secara linear. Setelah fase linear, laju pembelahan sel mengalami penurunan pada fase deceleration. Fase deceleration terjadi mulai subkultur ke-8 sampai ke-11 (Gambar 9, huruf D), yaitu pada saat laju proliferasi embrioid mengalami penurunan. Penurunan laju pembelahan sel dapat disebabkan karena kandungan nutrisi yang dibutuhkan pada media kultur mulai berkurang. Pada proses induksi proliferasi embrioid, konsentrasi NAA yang digunakan diturunkan secara bertahap (setiap dua periode subkultur) sebanyak 2.5 % dari konsentrasi sebelumnya (Tabel 4). Penurunan konsentrasi NAA tersebut diduga menyebabkan laju proliferasi embrioid menurun. Selanjutnya pertumbuhan sel-sel embrioid memasuki fase stationary. Fase stationary (dalam konteks frekuensi proliferasi embrioid) terjadi mulai dari subkultur ke-12 sampai ke-18 (Gambar 9, huruf E). Pada periode subkultur ini, grafik memang tidak menunjukkan pertumbuhan yang stabil, bahkan grafik menunjukkan penurunan. Meskipun demikian, periode subkultur ini dapat dikategorikan sebagai fase stationary karena sebagian besar embriod tidak mampu berproliferasi kembali. Pada periode subkultur ini sebagian besar embrioid mengalami pendewasaan dan perkecambahan menjadi planlet. Grafik yang turun pada periode subkultur ini disebabkan frekuensi proliferasi yang dihitung dari frekuensi jumlah vessel kultur embrioid. Jumlah vessel kultur ini menurun, karena embrioid berkecambah menjadi planlet, yang selanjutnya planlet tersebut ditransfer ke media tahap perkembangan. Seiring dengan bertambahnya subkultur, maka semakin sedikit jumlah sisa embrioid yang belum berkecambah, yang berarti semakin sedikit jumlah vessel kulturnya. Ketidakmampuan embrioid untuk berproliferasi diduga juga dipengaruhi oleh adanya senyawa fenolik yang menghambat pertumbuhan embrioid (Gambar 6i). Menurut Abdelwahd et al. (2008) senyawa fenolik keluar dari sel akibat pelukaan pada jaringan kultur. Pada tahap induksi proliferasi, senyawa fenolik diduga berasal dari selsel embrioid yang keluar akibat pemotongan clump-clump embrioid pada saat proses

41 23 subkultur. Senyawa fenolik tersebut kemudian mengalami oksidasi sehingga menghasilkan zat quinon yang bersifat toksik terhadap sel embrioid. Zat quinon ini dapat masuk secara bertahap ke dalam jaringan kultur dan menghambat aktivitas enzim serta menyebabkan pencokelatan (browning) pada kultur dan media (Zang et al. 2007), nekrosis pada jaringan kultur (Krishna et al. 2008), bahkan kematian kultur (Aliyu 2005). Meskipun frekuensi proliferasi embrioid selama 18 kali subkultur memiliki kurva pertumbuhan sigmoid, tetapi hal ini tidak berarti seluruh embrioid baru mulai mengalami pendewasaan pada subkultur ke-12 sampai ke-18. Terdapat beberapa embrioid yang sudah lebih awal mengalami pendewasaan (mencapai tahap kotiledonari) dan perkecambahan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan diperolehnya ramet mulai dari subkultur ke-4 dan jumlahnya terus meningkat sampai subkultur ke-14 (Gambar 9, grafik biru). Kemudian jumlah ramet menurun mulai dari subkultur ke-15 sampai ke-18 seiring dengan turunnya jumlah sisa embrioid yang belum berkecambah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap embrioid mempunyai fase perkembangan yang berbeda (globular, heart, torpedo atau kotiledonari). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa planlet hasil perkecambahan embrioid dapat ditransfer ke dalam media perkembangan planlet (M3) setelah 3-4 kali subkultur (sudah mencapai tinggi ± 4 cm) Tahapan Perkembangan Embrioid Somatik Kelapa Sawit Tenera Tahapan perkembangan embrioid somatik yang terbentuk dari proliferasi embrioid somatik primer memiliki pola seperti yang disajikan pada Gambar 10 (SMART 2013). Tahapan perkembangan embrioid terdiri dari fase globular (Gambar 10a), bentuk hati (Gambar 10b), torpedo (Gambar 10c dan 10d) dan kotiledonari (Gambar 10e dan 10f) hingga akhirnya dapat berkecambah menjadi ramet setelah melewati tahap perakaran (Gambar 10g). a. Kalus yang membentuk embrioid (fase globular) e. Embriod fase kotiledonari b. Embrioid dewasa (fase bentuk hati) f. Embrioid fase kotiledonari lanjut c. Embrioid fase torpedo g. Ramet d. Embrioid abnormal (dua embrio fase torpedo menyatu) Gambar 10 Tahapan perkembangan embrioid somatik kelapa sawit Tenera hasil embriogenesis tidak langsung membentuk planlet

42 24 Terdapat keragaman morfologi embrioid somatik pada kelapa sawit Tenera, yaitu embrioid normal dan abnormal. Embrioid yang diharapkan adalah embrioid dengan pertumbuhan yang normal (Gambar 10c). Embrioid abnormal dapat berbentuk dua embrioid fase torpedo yang menjadi satu (fused embryo) (Gambar 10d). Embrio abnormal pernah ditemukan pada embrio endospermik mangga gedung gincu oleh Hindaningrum (2013), yaitu embrio yang berbentuk embrio dengan satu kotiledon, dua embrio fase kotiledonari yang menjadi satu, embrio dengan kotiledon tidak membuka sempurna dan embrio dengan kotiledon lebih dari dua. Riyadi et al. (2005) juga melaporkan adanya keragaman morfologi pada embrio somatik tanaman sagu meliputi ukuran, bentuk dan warna. Keragaman morfologi embrioid diduga terjadi karena adanya variasi somaklonal akibat dari proses subkultur berulang. Roostika 2012 menemukan keragaman morfologi embrio nanas dari kalus yang disubkultur secara berulang, sehinga dihasilkan tunas regeneran dengan morfologi yang beragam. Keragaman morfologi embrioid diduga terjadi pada saat perkembangan embrioid. Lintasan perkembangan embrio dapat terjadi secara uniselular maupun multiselular seperti yang terjadi pada Coffea arabica (Gambar 11). Embrio yang berkembang secara uniselular mengindikasikan embrio berasal dari pembelaan sel tunggal yang terkoordinasi. Menurut Quiroz-Figueroa et al. (2006) embrio yang berkembang secara uniselular memiliki suatu struktur yang menyerupai suspensor pada bagian basalnya dan sudah ditentukan sejak pembelahan awal. Pada perkembangan secara multiseluler, inisiasi pembentukan embrio dapat teramati berupa tonjolan sebagai hasil pembelahan dari banyak sel yang tidak terkoordinasi. Dengan demikian sel-sel embrio ini menyatu dengan jaringan induknya. Gambar 11 Perkembangan lintasan pembentukan embrio secara uniselular dan multiselular pada proses embriogenesis tidak langsung Coffea Arabica (Quiroz-Figueroa et al. 2006) Perkembangan sel membentuk embrioid somatik pada kelapa sawit diduga terjadi secara uniselulear. Hal itu dapat terjadi karena kalus yang terbentuk bersifat remah, yang memungkinkan setiap individu sel kalus berkembang membentuk proembrio. Analisis histologi selama pembentukan somatik embrioid pada kelapa sawit oleh Thuzar et al. (2012) menunjukkan bahwa perkembangan embrioid terjadi secara uniselular. Analisis Polimorfisme Primer SSR Analisis jumlah alel dan nilai Polymorphisme Information Content (PIC) dilakukan pada seluruh sampel uji dan pada setiap populasi dari ortet dengan tanaman rametnya.

43 25 Analisis Jumlah Alel dan Nilai PIC pada Seluruh Sampel Uji Amplifikasi 16 primer SSR pada seluruh sampel uji (8 ortet dan 480 ramet) menghasilkan 47 alel (Tabel 7). Jumlah alel per primer SSR berkisar dari 1 (megcir3399, megcir3555 dan megcir3711) sampai 8 (megcir2569) dengan rata-rata alel per primer 2.9 alleles (Table 7). Rata-rata nilai PIC dari seluruh primer SSR pada seluruh sampel uji sebesar 0.45 (Tabel 7). Polimorfisme dari setiap primer SSR ditentukan berdasarkan nilai PIC. Menurut Okoye et al. (2016) nilai PIC yang lebih besar dari 0.7 dianggap sangat informatif, sedangkan nilai yang lebih besar dari 0.44 dianggap cukup infomatif. Semakin informatif suatu primer, maka semakin baik primer tersebut dalam mendeteksi keragaman genetik pada populasi yang diuji. Nilai PIC juga menunjukkan terdapat sembilan dari 16 primer SSR (megcir0059, megcir3869, megcir2387, megcir2414, megcir3639, megcir0192, megcir2569, megcir3683 dan megcir2224) yang bersifat informatif dalam membedakan genotipe diantara seluruh sampel uji. Hasil juga menunjukkan bahwa primer megcir2569 mempunyai nilai PIC tertinggi (0.80), sehingga lokus SSR yang diamplifikasi oleh primer ini dapat dijadikan sebagai kandidat marka SSR terbaik dalam menetapkan keragaman antar individu. Tabel 7 Motif sekuen, ukuran fragmen DNA, jumlah alel total dan nilai PIC setiap primer SSR berdasarkan analisis polimorfisme pada seluruh sampel ortet dan ramet kelapa sawit Tenera No. Primer Motif SSR Ukuran amplifikasi (bp) 1 megcir0059 (AG) megcir3869 (AG) megcir2387 (GA) megcir2414 (GA) megcir3639 (GA) megcir2518 (AG)8AC(AG) megcir0192 (AG) megcir3399 (AG) megcir3555 (AG) megcir3569 (GA) megcir3519 (GA)15(GT) megcir0878 (GA) megcir3711 (GA) megcir2569 (GA) megcir3683 (AG) megcir2224 (AG) Total 47 Rata-rata : 0.45 JAT : Jumlah Alel Total, PIC: Polimorphisme Information Content JAT PIC Menurut Nagy et al. (2012) PIC menunjukkan nilai dari suatu primer atau marka dalam mendeteksi polimorfisme pada sebuah populasi, yang ditentukan berdasarkan jumlah alel yang terdeteksi dan distribusi frekuensinya. Jumlah variasi alel dan

44 26 frekuensinya tergantung dari keragaman genetik pada populasi yang dianalisis. Primer dari suatu lokus SSR dengan nilai PIC yang tinggi menunjukkan variasi alel yang tinggi pada lokus SSR tersebut. Variasi alel pada lokus yang terpaut dengan QTL diduga dapat mempengaruhi keragaman fenotipik pada karakter-karakter terkait. Hal ini berkaitan dengan metode statistik dalam menganalisis QTL yang menghubungkan data fenotipik (hasil pengukuran karakter kuantitatif) dengan data genotipik dari marka molekuler (Miles dan Wayne 2008). Terdapat sembilan primer SSR dengan nilai PIC tinggi (> 0.44) dan terpaut dengan karakter kuantitatif (Tabel 5 dan Tabel 7). Primer-primer tersebut, yaitu megcir0059, megcir3869, megcir2387, megcir2414, megcir3639, megcir0192, megcir2569, megcir3683 dan megcir2224. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa diantara seluruh genotipe yang dianalisis terdapat keragaman pada beberapa karakter terkait. Beberapa karakter terkait tersebut, yaitu bobot tandan yang dianalisis (kg), jumlah daun (pinnae) pada pelepah no.17, bobot tandan pada umur 6 9 tahun (kg), bobot tandan pada umur 3 5 tahun (kg), bobot buah (g), hasil minyak sawit pada umur 6 9 tahun (ton ha -1 th -1 ), rasio daging buah terhadap buah (%), rasio kernel terhadap buah (%), lebar petiol pada pelepah no.17, tinggi batang (m), panjang pelepah nomor 17, nilai Iodine (proporsi asam lemak tak jenuh), jumlah daun pelepah (frond) per tajuk dan ketebalan petiol pada pelepah no.17 (mm). Analisis Jumlah Alel dan Nilai PIC per Populasi Analisis polimorfisme per populasi (setiap genotipe ortet dan rametnya) menunjukkan bahwa jumlah total alel berkisar dari 15 (pada populasi 399) sampai 31 (pada populasi 369) (Table 8). Primer SSR megcir2569 menghasilkan jumlah alel terbanyak pada hampir semua genotipe. Tabel 8 Jumlah total alel dari setiap primer SSR pada setiap populasi ramet kelapa sawit Tenera No. Primer Jumlah alel total megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir Total

45 27 Terdapat beberapa primer yang tidak menghasilkan alel seperti megcir3555 (Pada seluruh populasi, kecuali 412), megcir3869 (pada populasi 367), megcir2414 (pada populasi 399), megcir3639 (pada populasi 399, 398 dan 340), megcir0192 (pada populasi 399, 398, 395 dan 340), megcir3399 (pada populasi 367 dan 340), megcir3711 (pada populasi 399, 398 dan 356), megcir3683 (pada populasi 412 dan 399), megcir2224 (pada populasi 399, 398, 369 dan 340). Hal itu terjadi diduga disebabkan adanya perbedaan sekuen antara primer dan DNA target amplifikasi. Hasil analisis polimofisme per populasi menunjukkan bahwa rata-rata nilai PIC primer berkisar dari 0.14 (pada populasi 399) sampai 0.25 (pada populasi 356) (Tabel 9). Selain itu, hasil juga menunjukkan bawa hampir seluruh primer SSR mempunyai nilai PIC yang rendah. Nilai PIC yang rendah pada suatu populasi ramet kelapa sawit, menunjukkan keragaman genetik yang rendah. Hal ini berarti ramet-ramet yang dihasilkan dari embriogenesis somatik mempunyai kestabilan genetik yang tinggi. Tabel 9 Nilai PIC setiap primer SSR pada masing-masing populasi ramet kelapa sawit Tenera No. Primer Nilai PIC megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir megcir Rata-rata PIC: Polimorphisme Information Content Hasil analisis per populasi menunjukkan hanya terdapat dua primer SSR dengan nilai PIC lebih besar dari 0.44, yaitu megcir2569 (pada populasi 369 dan 356) dan megcir2387 (pada populasi 369). Nilai PIC tertinggi dari kedua primer tersebut diperoleh dari populasi 369, yaitu berturut-turut sebesar 0.60 dan Profil polimorfisme dari primer megcir2569 dengan nilai PIC tertinggi pada populasi 369 ditunjukkan pada Gambar 12. Adapun nilai PIC 0 diperoleh dari hasil amplifikasi suatu primer yang hanya menghasilkan satu pita atau alel pada seluruh ramet maupun ortenya, seperti primer megcir3399 pada genotipe ortet 412 (Gambar 13).

46 28 *Tanda panah menunjukkan alel yang berbeda dengan jumlah alel total sebanyak 5 alel Gambar 12 Profil polimorfisme primer SSR megcir2569 pada populasi ramet kelapa sawit Tenera subkultur ke-8 (A1-A20), ke-11 (B1-B20) dan ke-14 (C1-C20) dari ortet 369 Gambar 13 Pola pita DNA hasil amplifikasi primer megcir3399 pada kelapa sawit Tenera ortet 412 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-14 (C1-C20) Selain itu lokus SSR dari kedua primer tersebut terpaut dengan karakter kuantitatif (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan diantara rametramet dan ortet dari genotipe 369, 356 dan 395, terdapat keragaman pada karakterkarakter terkait. Primer megcir2569 berkaitan dengan karakter nilai Iodine (proporsi asam lemak tak jenuh), jumlah daun pelepah (frond) per tajuk dan ketebalan petiol pada pelepah no.17 (mm). Sedangkan primer megcir2387 berkaitan dengan karakter bobot tandan pada umur 3 5 tahun (kg) dan bobot buah (g).

47 29 Analisis Kemiripan Genetik Kestabilan genetik dari setiap genotipe ortet telah ditentukan melalui analisis kemiripan genetik pada ramet-rametnya yang dihasilkan dari subkultur embrioid ke-8, ke-11 dan ke-14. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kestabilan genetik diantara delapan genotipe ortet yang diuji. Seluruh ramet yang dihasilkan sampai subkultur ke-14, dari ortet 399 dan 412 bersifat identik atau memiliki tingkat kemiripan genetik terhadap ortetnya sebesar 100 % (Gambar 14). Oleh sebab itu ramet dari ortet 399 dan 412 merupakan ramet dengan tingkat kestabilan genetik 100 %. Hal ini berarti genotipe 399 dan 412 dapat digunakan sebagai sumber eksplan daun untuk menghasilkan ramet-ramet dengan peluang kejadian variasi somaklonal yang rendah, sehingga dapat meningkatkan produktivitas proses perbanyakan in vitro kelapa sawit. 100 Jumlah ramet identik (%) Ortet-Subkultur Gambar 14 Persentase jumlah ramet kelapa sawit Tenera yang identik dengan ortetnya pada tiga periode subkultur embrioid Selain ortet 399 dan 412, ortet 398 dan 367 juga merupakan genotipe ortet yang menghasilkan ramet dengan tingkat kestabilan genetik lebih tinggi dibandingkan dengan ramet-ramet dari empat genotipe ortet lainnya. Hampir seluruh ramet yang dihasilkan dari kedua ortet ini memiliki kemiripan genetik terhadap ortetnya sebesar 100 %. Ortet 398 hanya menghasilkan 5 % ramet (subkultur ke-8) dengan kemiripan genetik terhadap ortetnya sebesar 71 %. Sedangkan ortet 367 menghasilkan 5 % ramet (subkultur ke-8) dengan kemiripan genetik terhadap ortetnya sebesar 71 % dan sebanyak 5 % (subkultur ke-14) dengan kemiripan genetik terhadap ortetnya sebesar 78 %. Ortet 356, 369, 395 dan 340 merupakan empat genotipe ortet yang menghasilkan ramet dengan tingkat kestabilan genetik rendah. Hasil menunjukkan bahwa pada ortet 356, 369 dan 395 terdapat kecenderungan penurunan jumlah ramet yang identik seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur embrioid. Hal ini diduga disebabkan karena adanya frekuensi variasi somaklonal yang meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur. Frekuensi variasi somaklonal yang meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur juga pernah ditemukan pada tanaman olive (Olea europaea L.) oleh Peyvandi et. al. (2009) dan tanaman hop (Humulus lupulus) oleh Peredo et al. (2006).

48 30 Hasil yang berbeda ditunjukkan dari ortet 340. Pada subkultur ke-8 maupun subkultur ke-14 telah dihasilkan sebanyak 95 % ramet yang identik dengan ortetnya. Meskipun demikian, pada subkultur ke-11 sama sekali tidak dihasilkan ramet yang identik dengan ortetnya. Zucchi et al. (2002) menemukan hal yang sama pada tanaman klonal tebu (Saccharum sp) yang dihasilkan melalui subkultur yang berulang. Hasil penelitiannya telah menunjukkan bahwa perbedaan tingkat variasi somaklonal pada setiap periode subkultur dan frekuensinya tidak meningkat ataupun menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur. Perbedaan frekuensi variasi somaklonal diantara tiga periode subkultur diduga disebabkan adanya perbedaan tingkat variasi somaklonal diantara lini-lini embrioid yang berkembang menjadi ramet-ramet dengan tingkat variasi somaklonal yang berbeda-beda. Penyebab tersebut menjadi alasan yang sama dari adanya beberapa ramet dengan tingkat kemiripan berkisar antara % dengan jumlah yang berbeda-beda dari setiap periode subkultur embrioid pada ortet 356, 369, 395 dan 340 (Gambar 15-18). Gambar 15 Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 356 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-11 (a) dan ke-14 (b) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Gambar 16 Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 369 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA

49 31 Gambar 17 Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 395 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Gambar 18 Dendogram kelapa sawit Tenera ortet 340 dan 20 rametnya dari subkultur embrioid ke-8 (a), ke-11 (b) dan ke-14 (c) berdasarkan 16 primer SSR menggunakan metode clustering UPGMA Perbedaan hasil analisis diantara delapan genotipe ortet, menunjukkan bahwa tingkat kestabilan genetik ramet dipengaruhi oleh genotipe ortet. Artutiningsih (2012) dan Cahyono (2015) maupun Sanputawong dan Te-chato (2011) melaporkan bahwa variasi genetik pada klonal kelapa sawit yang diperbanyak melalui pembentukan kalus embriogenik dapat dipengaruhi oleh genotipe eksplan. Setiap ortet yang dianalisis mempunyai konstitusi genetik yang berbeda. Perbedaan genetik diantara delapan ortet tersebut dapat dibuktikan melalui analisis kemiripan genetik antar ortet dengan menggunakan 16 pasang primer SSR. Hasil analisis menunjukkan bahwa delapan ortet yang diuji tidak identik, dengan kemiripan genetik berkisar % atau keragaman genetik antar ortet berkisar % (Gambar 19). Perbedaan atau keragaman genetik diantara delapan ortet disebabkan setiap ortet Tenera berasal dari persilangan antara tetua betina (Dura) yang berbeda dan tetua jantan (Pisifera) sama. Selain itu, setiap Dura maupun Pisifera yang disilangkan bukan merupakan individu galur murni atau

50 32 tidak 100 % bersifat homozigot, walaupun semua tetua tersebut mempunyai tingkat homozigositas yang tinggi akibat proses seleksi sebelum digunakan sebagai tetua. Dengan demikian setiap tetua Dura maupun Pisifera masih bersifat heterozigot. Gambar 19. Dendogram kemiripan genetik delapan genotipe ortet kelapa sawit Tenera yang diuji berdasarkan 16 primer pasang SSR menggunakan metode clustering UPGMA Proses pembentukan gamet (gametogenesis) pada tanaman heterozigot akan menghasilkan sel-sel gamet dengan berbagai macam kombinasi alel sebanyak 2 n, dengan n merupakan jumlah gen dalam keadaan heterozigot (Poehlman dan Sleper 1995). Sel-sel gamet dengan kombinasi alel yang berbeda-beda dihasilkan melalui proses pembelahan meosis pada setiap tanaman tetua. Selama proses pembelahan meosis, kromosom homolog yang membawa alel-alel gen berpisah secara acak dan terdistribusi ke setiap sel gamet (baik sel telur maupun sel sperma), sehingga setiap sel gamet hanya mengandung satu alel gen (Poehlman dan Sleper 1995). Kemudian melalui proses fertilisasi, kombinasi dari sel telur dan sel sperma tersebut akan menghasilkan tanaman F1 yang heterozigot. Proses gametogenesis pada tetua Dura maupun Pisifera terjadi melalui pembelahan meosis. Kemudian setiap sel gamet yang memiliki kombinasi alel yang berbeda, baik sel telur dari Dura maupun sel sperma dari Pisifera berpadu melalui proses fertilisasi dan menghasilkan individu-individu Tenera yang beragam. Dengan demikian setiap ortet yang diuji merupakan genotipe yang berbeda. Sehingga setiap ortet mempunyai respon berbeda dalam menghasilkan ramet yang identik dengan genotipe ortetnya, meskipun diperbanyak melaui metode in vitro yang sama. Analisis Korelasi antara Frekuensi Subkultur Embrioid dan Frekuensi Variasi Somaklonal Analisis korelasi ini dilakukan untuk mengkonfirmasi pengaruh frekuensi subkultur embrioid terhadap frekuensi variasi somaklonal pada ortet 356, 369 dan 395. Berdasarkan hasil analisis korelasi, nilai korelasi (r) antara kedua variabel tersebut sebesar 0.69 (p-value: 0.039). Menurut Zou et al. (2003) nilai korelasi 0.5 menunjukkan terdapat hubungan yang kuat dan bersifat positif. Hal ini berarti

51 frekuensi subkultur embrioid memiliki pengaruh yang besar terhadap frekuensi variasi somaklonal pada ramet-ramet dari ortet 356, 369 dan 395. Selain itu, nilai positif menunjukan bahwa semakin banyak frekuensi subkultur maka semakin bertambah frekuensi variasi somaklonal, sehingga jumlah ramet yang identik dengan ortetnya semakin berkurang. Hal tersebut mendukung hasil analisis kestabilan genetik pada ortet 356, 369 dan 395 yang menunjukkan terdapat kecendrungan penurunan jumlah ramet yang identik seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur embrioid. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa frekuensi variasi somaklonal yang meningkat pada ramet dari subkultur ke-8, ke- 11 dan ke-14, diduga berkaitan dengan frekuensi proliferasi embrioid yang meningkat mulai dari fase exponential sampai akhir fase decelaration atau awal fase stationary (subkultur ke-2 sampai ke-11). Menurut Burg et al. (2007) variasi somaklonal pada tanaman klonal hasil embriogenesis somatik dapat diakibatkan oleh perubahan sekuen di daerah SSR pada DNA. Perubahan tersebut menyebabkan perbedaan sekuen DNA antara tanaman klonal dan induknya, yang selanjutnya menimbulkan variasi genetik. Menurut Rao et al. (2010) perubahan tersebut dapat disebabkan kesalahan pasangan basa atau slip-mispairing yang terjadi disaat replikasi DNA pada sel-sel yang aktif membelah. Selain itu, menurut Eckert et al. (2002) frekuensi terjadinya slipmispairing pada daerah SSR, 4-72 kali lebih banyak dibandingkan dengan daerah single copy. Pada subkultur ke-2 sampai ke-11, frekuensi proliferasi embrioid terus meningkat akibat laju pembelahan sel yang terjadi sangat cepat (fase logarithmic atau exponential sampai pada awal fase stationary). Pembelahan sel yang sangat cepat berpeluang menimbulkan kesalahan pasangan basa dalam proses replikasi DNA, terutama pada daerah SSR. Kesalahan tersebut menyebabkan perubahan sekuen DNA pada sel-sel embrioid yang berkecambah menjadi planlet, yaitu pada planlet yang dapat diperoleh setelah 3-4 kali subkultur sejak inisiasi perkecambahan. Hal ini berarti perubahan sekuen DNA pada embrioid (dari subkultur ke-2 sampai ke-11) dapat timbul pada ramet hasil perkecambahannya, termasuk pada ramet-ramet yang dianalisis (dari subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14). Selain itu, semakin cepat laju pembelahan sel maka semakin tinggi kesalahan pada proses replikasi DNA, sehingga kemungkinan semakin tinggi frekuensi proliferasi embrioid maka semakin tinggi frekuensi variasi somaklonal. Dengan demikian, frekuensi proliferasi embrioid yang terus meningkat pada subkultur ke-2 sampai subkultur ke-11 diduga menyebabkan variasi somaklonal pada ramet yang frekuensinya meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur. Hal ini dapat ditunjukkan oleh variasi somaklonal pada ramet dari ortet 356, 369 dan 395 yang frekuensinya cenderung meningkat dengan bertambahnya frekuensi subkultur. Soraes et al. (2016) juga pernah menemukan variasi somaklonal yang frekuensinya meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi regenerasi, yaitu pada klon Jatropa curcas yang dikembangkan dengan metode organogenesis tidak langsung melalui pembentukan kalus. Adanya variasi somaklonal pada ramet diduga juga dapat disebabkan oleh proliferasi sel pada saat pembentukan kalus. Hal itu dapat terjadi karena pada saat pembentukan kalus juga terjadi aktivitas pembelahan sel yang sangat cepat, yaitu pada fase logarithmic sampai pada awal fase plateau atau stationary. Pembelahan sel yang sangat cepat berpotensi menyebabkan kesalahan pasangan basa dalam 33

52 34 proses replikasi DNA, seperti pada saat pembelahan sel selama proliferasi sel embrioid. Variasi somaklonal dari tanaman klon yang dihasilkan melalui pembentukan kalus pernah ditemukan pada Jatropa curcas oleh Franco et al. (2014) dan Soares et al. (2016). Poliferasi sel pada perkembangan embrioid diduga juga dapat menimbulkan variasi somaklonal pada ramet yang dihasilkan. Hal ini dapat ditujukkan pada tahapan perkembangan embrioid somatik kelapa sawit Tenera seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Varasi somaklonal yang muncul dari perkembangan embrioid tersebut berupa terbentuknya dua embrioid dengan fase torpedo yang menjadi satu (Gambar 10d). Menurut Wang dan Wang (2012) perubahan sekeun DNA dapat disebabkan oleh adanya translokasi, delesi, insersi, inversi, duplikasi dan perubahan pasangan basa. Perubahan sekuen DNA dapat menghasilkan protein yang berbeda dan menyebabkan perubahan fenotipe. Perubahan fenotipe akibat dari variasi alel pada lokus SSR tergantung posisinya pada suatu gen tertentu yang mengendalikan sifat tertentu. Variasi alel pada lokus SSR yang terkait atau berada pada QTL diduga dapat mengakibatkan variasi fenotipe pada karakter kuantitatif terpaut. Hal itu dapat terjadi karena QTL merupakan lokus yang diduga menjadi lokasi bagi gen-gen pengendali karakter kuantitatif yang terpaut. Oleh sebab itu, jika terdapat perubahan sekuen baik pada daerah SSR maupun daearah single copy pada lokus ini, maka proses ekspresi gen-gennya dapat berlangsung tidak normal. Selanjutnya, proses ekspresi yang tidak normal dapat menghasilkan protein yang berbeda, sehingga dapat menimbulkan fenotipe yang beragam. Pengaruh dari variasi alel pada lokus SSR terhadap perubahan fenotipe ramet dibandingkan dengan ortetnya masih perlu dianalisis lebih lanjut, terutama untuk karakter-karakter yang terkait daya hasil. Penyebab variasi somaklonal masih belum dipahami secara keseluruhan, meskipun zat pengatur tumbuh, frekuensi subkultur dan durasinya, serta cekaman lingkungan selama proses kultur in vitro diduga dapat menyebabkan variasi somaklonal (Bairu et al. 2011). Soares et al. (2016) menduga bahwa ZPT merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menginduksi variasi somaklonal, meskipun pengaruh langsung dari ZPT tersebut masih belum dipahami. Menurut Bairu et al. (2011) secara tidak langsung, ZPT mempengaruhi tingkat variasi somaklonal dengan menstimulasi sel-sel yang belum terdiferensiasi untuk berproliferasi dengan sangat aktif. Bairu et al. (2011) juga melaporkan bahwa penggunaan auksin 2,4-D pada kultur kalus seringkali digunakan untuk menstimulasi sintesis DNA, akan tetapi ZPT ini juga dapat menginduksi abnormalitas genetik dan menginduksi terjadinya poliploid melalui proses endoreduplikasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan proliferasi embrioid yang ditingkatkan melalui subkultur berulang diduga dapat menyebabkan variasi somaklonal. Frekuensi variasi somaklonal diduga akan meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi subkultur, akibat frekuensi proliferasi embrioid yang terus meningkat. Selain itu, proliferasi sel pada pembentukan kalus dan perkembangan embrioid diduga juga dapat menginduksi variasi somaklonal pada ramet yang dihasilkan. Meskipun demikian tingkat variasi somaklonal pada ramet kelapa sawit Tenera dipengaruhi oleh genotipe eksplan yang digunakan. Informasi tersebut bermanfaat dalam memahami hubungan antara respon dari kultur in vitro dan kejadian variasi somaklonal pada ramet E. guineensis. Informasi ini juga dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan metode perbanyakan bibit klonal secara in vitro dan identifikasi perubahan genetik pada tanaman klonal yang dihasilkan.

53 35 5 SIMPULAN Frekuensi proliferasi embrioid selama 18 kali subkultur mengikuti kurva perumbuhan sigmoid yang terdiri dari lima fase, yaitu fase lag (subkultur 1-2), fase exponential (subkultur 2-5), fase linear (subkultur 5-8), fase deceleration (subkultur 8-11) dan fase stationary (sukultur 12-18). Frekuensi proliferasi embrioid tertinggi diperoleh pada akhir fase deceleration atau awal fase stationary (subkultur ke-11). Terdapat sembilan primer SSR yang bersifat polimorfik dan informatif, yaitu megcir : 0059, 3869, 2387, 2414, 3639, 0192, 2569, 3683 dan Primer megcir2569 mempunyai nilai PIC tertinggi (0.8), sehingga lokus SSR dari primer ini dapat dijadikan kandidat marka terbaik dalam mendeteksi variasi genetik pada populasi ramet yang diuji. Ramet-ramet dari delapan genotipe ortet Tenera mempunyai tingkat kestabilan genetik yang berbeda, yaitu : 1. Ortet 399 dan 412 menghasilkan sebanyak 100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya hingga subkultur ke Ortet 398 dan 367 menghasilkan sebanyak % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 398 dan 367 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik % dengan ortetnya masing-masing. 3. Ortet 340 menghasilkan ramet yang bersifat identik dengan ortetnya sebanyak 95 % ramet dari subkultur ke-8 dan ke-14, dan 0 (nol) % dari subkultur ke-11. Seluruh ramet dari ortet 340 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik 91 % dengan ortetnya. 4. Ortet 356, 369 dan 395 menghasilkan sebanyak % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 356, 369 dan 395 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik % dengan ortetnya masing-masing. Semakin tinggi frekuensi subkultur embrioid pada ortet 356, 369 dan 395, maka semakin tinggi frekuensi variasi somaklonal pada ramet-rametnya yang dihasilkan. Frekuensi variasi somaklonal pada ramet-ramet dari ortet 356, 369 dan 395 yang terus meningkat diduga disebabkan oleh frekuensi proliferasi embrioid yang terus meningkat pada fase exponential sampai fase deceleration (subkultur 2-11). Selain proliferasi sel embrioid, proliferasi sel pada pembentukan kalus dan perkembangan sel embrionik membentuk embrioid dewasa diduga juga dapat menginduksi variasi somaklonal pada ramet yang dihasilkan. Ortet 399 dan 412 menghasilkan ramet dengan tingkat kestabilan genetik yang tinggi hingga subkultur ke-14. Dengan demikian, kedua genotipe ini berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai sumber eksplan daun dalam perbanyakan bibit klonal kelapa sawit melalui kultur jaringan.

54 36 DAFTAR PUSTAKA Abdelwhd R, Hakam N, Labhilili M, Udupa SM Use of an adsorbent and antioxidants to reduce the effects of leached phenolics in in vitro xp-plantlet regeneration of faba bean. Afr J Biotechnol. 7(8): Abdullah MO, Ordway JM, Jiang N, Ooi SE, Kok SY, Sarpan N, Azimi N, Hashim AT, Ishak Z, Rosli SK Loss of karma transposons methylation underlies the mantled somaclonal variant of oil palm. Nature. (01):1-18. Aguiar-Perecin MLR. Fluminhan A, Santos-Serejo JA, Gardingo JR, Bertão MR, Decico MJU, Mondin M Heterochromatin of maize chromosomes: structure and genetic effects. Genet Mol Biol. 23(4): Aliyu OM Review: Application of tissue culture to cashew (Anacardium occidentale L.) breeding: An appraisal. Afr J Biotechnol. 4(13): Amasino R Vernalization, Competence, and the epigenetic memory of winter. Plant Cell Rep. 16(10): Artutiningsih W Analisis Kestabilan Genetik Ortet Kelapa Sawit dan Klon Klon Turunannya Menggunakan Penanda Mikrosatelit. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arunachalam V Genomics of Cultivated Palms. London (GB): Elsevier Inc. Bairu MW, Aremu AO, Van Staden J Somaclonal variation in plants: causes and detection methods. Plant Growth Regul. 63(2): Ball DJ, Gross DS, Garrard WT methylcytosine is localized in nucleosomes that contain histone H1. Proc Natl Acad Sci. 80(18): Behbahani M, Shanehsazzadeh M, Hessami MJ Optimization of callus and cell suspension cultures of Barringtonia racemosa (Lecythidaceae family) for lycopene production. Sci Agric. 68(1): Billotte N, Jourjon MF, Marseillac N, Berger A, Flori A, Asmady H, Adon B, Singh R, Nouy B, Potier F et al QTL detection by multi-parent linkage mapping in oil palm (Elaeis guineensis Jacq). Theor Appl Genet. 120(8): Billotte N, Maresillac N, Risterucci AM, Adon B, Brottieer P, Baurens FC, Singh R, Herran A, Asmady H Microsatellite-based high density linkage map in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 110(4): Burg K, Helmersson A, Bozhkov P, Arnold SV Developmental and genetic variation in nuclear microsatellite stability during somatic embryogenesis in pine. J Exp Bot. 58(3): Brettell RIS, Dennis ES, Scowcroft WR, Peacock WJ Molecular analysis of a somaclonal mutant of maize alcohol dehydrogenase. Mol Gen Genet. 202(2): Cahyono YFC Kestabilan Genetik Somaklon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) Hasil Kultur In Vitro Menggunakan Penanda SSR. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Corley RHV, Lee CH, Law LH, Wong CY Abnormal flower development in oil palm Clones. Planter. 62(1): Corley RHV, Tinker PB The Oil Palm. Oxford (UK): Blackwell Science.

55 Eckert KA, Mowery A, Hile SE Misalignment-mediated DNA polymerase beta mutations: comparison of microsatellite and frame-shift error rates using a forward mutation assay. Biochemistry. 41(5): Evans DA, Sharp WR Single gene mutations in tomato plants regenerated from tissue culture. Science. 221(4614): Evans DE, Coleman JOD, Kearns A Plant Cell Culture. London (GB): Bios Scientific Publishers. [FAO] Food and Agricultural Organization of the United Nations FAOSTAT Production Statistics. Rome (IT): FAO. Fluminhan A, Kameya T Behaviour of chromosomes in anaphase cells in embryogenic callus cultures of maize (Zea mays L.). Theor Appl Genet. 92(8): Foss HM, Roberts CJ, Claeys KM, Selker EU Abnormal chromosome behavior in Neurospora mutant defective in DNA methylation. Science. 262(5140): Franco CM, Marques DA, Siqueira WJ, Latado RR Micropropagation of Jatropha curcas superior genotypes and evaluation of clonal fidelity by target region amplification polymorphism (TRAP) molecular marker and flow cytometry. Afr J Biotechnol. 13(38): Godbey WT An Introduction of Biotechnology, The Science, Technology and Medical Applications. Louisiana (US): Elsevier Ltd. Grafi G How cells dedifferentiate: a lesson from plants. Dev Biol. 268(1):1-6. Grafi G, Barak S Stress induce cell dedifferentiation in plants. Biochim Biophys Acta. 1849(4): Gupta PK dan Varshney RK The development and use of microsatellite markers for genetic analysis and plant breeding with emphasis on bread wheat. Euphytica. 113: Hardon JJ, Rao V, Rajanaidu N A review of oil palm breeding. Di dalam: Rusell GE. editor. Progress in Plant Breeding. London (UK). Butterworths. hlm Hashim AT, Ishak Z, Ooi SE, Rosli SK, Chan PL, Rohani O, Ong-Abdullah M Forging ahead with clones. Di dalam: Wahid MB, Choo YM, Chan KW, editors. Further Advances in Oil Palm Research. Volume 2. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Palm Oil Board. hlm Hatorangan MR, Kusnandar AS, Toruan-Mathius N Konstruksi sidik jari DNA kelapa sawit dengan menggunakan penanda mikrosatelit. Technical Annual Report Plant Production and Biotechnology Division. Bogor (ID): PT SMART Tbk. Hetharie, H Abnormalitas bunga dan buah pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berdasarkan analisis morfologi, biokimia dan DNA genom [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Hindaningrum IF Induksi Embrio Endospermik Sekunder Mangga Gedong Gincu Klon 289. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ho YW, Tan CC, Soh AC, Wong G, Chong SP, Choo CN, Norazura A Biotechnological Approaches in Producing Oil Palm Planting Material, A Success Story. AAR News. hlm 1-5. Ikeuchi M, Sugimoto K, Iwase A Plant Callus: Mechanisms of Induction and Repression. Plant Cell. 25(9):

56 38 Jaligot E, Rival E, Beulé T, Dussert S, Verdeil JL Somaclonal variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.): the DNA methylation hypothesis. Plant Cell Rep. 19(7): Kaeppler SM, Phillips RL, Olhoft P Molecular basis of heritable tissue culture-induced variation in plants. In: Jain SM, Brar PS, Ahloowalia DS. editors. Somaclonal Variation and Induced Mutations in Crop Improvement. Dordrecht (NL): Kluwer Academic. hlm Kalia RJ, Rai MJ, Kalia S, Singh R, Dhawan AK Microsatellite markers: an overview of the recent progress in plants [review]. Euphytica. 177: Kosman E, Leonard J Similarity coefficients for molecular markers in studies of genetic relationships between individuals for haploid, diploid, and polyploid species. Mol Ecol. 14(10): Kundan Ki M, Fougat RS, Ballani A, V Thakur, Yachana Jha, Madhumati B Potential and application of molecular markers techniques for plant genome analysis. J Pure App Bioscience. 2(1): Kushairi A, Tarmizi AH, Zamauri I, Ong-Abdullah M, Samsul-Kamal R, Ooi SE, Rajanaidu N Production, performance and advances in oil palm tissue culture. International Seminar on Advances in Oil Palm Tissue Culture May 29; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): International Society of Oil Palm Breeders. hlm Krishna H, Alizadeh M, Singh D, Singh U, Chauhan N, Eftekhari M, Sadh RK Somaclonal variations and their applications in horticultural crops improvement. Biotech. 6 (54):1-18. Krishna H, Sairam RK, Singh SK, Patel VB, Sharma RR, Grover M, Nain L, Sachdev A Mango explant browning: Effect of ontogenic age, mycorrhization and pretreatments. Sci Hort. 118(2): doi: /j.scienta Larkin PJ, Scowcroft WR Somaclonal variation: a new source of variability from cell cultures for plant improvement. Theor Appl Genet. 60: Lawson MJ dan Zhang L Distinct patterns of SSR distribution in the Arabidopsis thaliana and rice genomes. Genome Biol. 7: Lee M, Phillips RL, The chromosomal basis of somaclonal variation. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol Biol. 39(159): Li YC, Korol AB, Fahima T, Nevo E Microsatellites within genes: structure, function, and evolution. Mol Biol Evol. 17: Liu K, Muse SV PowerMarker: intergrated analisis environment for genetic marker data. Bioinformatics. 21(9): Macherey-Nagel Genomic DNA from Plant User Manual Rev.09 Nucleospin Plant II protocols, Standard protocol for genomic DNA from plant. Macherey-Nagel GmbH and Co.KG. [Internet]. (GER). [diunduh 2015Feb28]. Tersedia pada: Mariani TS, Miyake H, Takeoka Y Changes in surface structure during direct somatic embryogenesis in rice scutellum observed by scanning electron microscopy. Plant Prod Sci. 1(3): Matthes M, Singh R, Cheah SC, Karp A Variation in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) tissue culture-derived regenerants revealed by AFLPs with methylation-sensitive enzymes. Theor Appl Genet. 102:

57 Mgbeze GC, Iserhienrhien A A review: Somaclonal variation associated with oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) clonal propagation. Afr J Biotechnol. 13(9): Miles C, Wayne M Quantitative trait locus (QTL) analysis. Nat Educ. 1(1):208 Morcillo F, Gagneur C, Adam H, Richard F, Singh R, Cheah SC, Rival A, Duval Y, Tregear JW Somaclonal variation in micropropagated oil palm: Characterisation two novel genes with enhanced expression in epigenetically abnormal cell lines and in response to auxin. Tree Physiol. 26: Murphy DJ Oil palm: future prospects for yield and quality improvements. Lipid Technol. 21(11): Mustafa NR, Winter W, Iren FV, Verpoorte Initiation, growth and cryopreservation of plant cell suspension cultures. Nat protocol. 6(6): Mutert E, Fairhust TH Oil palm clones: Productivity enhancement for the future. Better crop Int. 13(1): Nagy S, Poczai P, Cernák I, Gorji AM, Hegedűs G, Taller J PICcalc: an online program to calculate polymorphic information content for molecular genetic studies. Biochem Genet. 50(9): Nchu WA Extent and Distribution of Genetic Variation in Cameroon Wild Population the Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) using SSR markers [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Neumann KH, Kumar A, Imani J Plant Cell and Tissue Culture Tool in Biotechnology. Heidelberg (DE): Springer Verlag. Neves N, Barao A, Castilho A, Silva M, Morais L, Carvalho V, Viegas W Influence of DNA methylation on rye B chromosome nondisjunction. Genome. 35(4): Okoye MN, Uguru MI, Bakoumé C, Singh R, Okwuagwu CO Assessment of genetic diversity of NIFOR oil palm main breeding parent genotypes using microsatellite markers. Am J Plant Sci. 7(1): Papes D, Besendorfer V, Pavlica M Nuclear changes in european black pine seedlings caused by growth regulators. Acta Bot Croat. 50(1): Peng Xin, Zhang Teng-teng, Zhang Jian Effect of subculture times on genetic fidelity, endogenous hormone level and pharmaceutical potential of Tetrastigma hemsleyanum callus. Plant Cell Tiss Organ Cult.122(1): Peredo EL, Revilla MA, Arroyo-Garcia R Assessment of genetic and epigenetic variation in hop plants regenerated from sequential subcultures of organogenic calli. J Plant Physiol. 163(10): Peyvandi M, Noormohammadi Z, Banihashemi O, Farahani F, Majd A, Hosseini- Mazinani M, Sheidai M Molecular analysis of genetics stability in long term micropropagated shoots of Olea europaea L. (cv. Dezful). Asian J Plant Sci. 8(2): Phillips RL, Kaeppler SM, Peschke VM Do we understand somaclonal variation? In: Nijkamp HJJ, Vanderplas LHW, Aartrijk JV. editors. Progress in Plant Cellular Molecular Biology. Dordrecht (NL): Kluwer Academic. hlm Phillips RL, Kaeppler SM, Olhoft P Genetic instability of plant tissue cultures: breakdown of normal controls. Proc Natl Acad Sci. 91(12): Poehlman JM, Sleper DA Breeding Field Crops. Fourth edition. Iowa (US): State University Press. 39

58 40 Qiagen QIAxcel DNA Handbook Sample and Assay Technology Fifth Edition. Qiagen. [Internet] [diunduh 2015Feb28]. Tersedia pada: Quiroz-Figueroa FR, Rojas-Herrera R, Galaz-Avalos RM, Loyola-Vargas VM Embryo production through somatic embryogenesis can be used to study cell differentiation in plants. Plant Cell Tiss Organ Cult. 86: Rao SR, Trivedi S, Emmanuel D, Merita K, Hynniewta M DNA repetitive sequences-type, distribution and function. J of Cell and Mol Biol. 8:1-11. Ribaut JM, M Bänzinger, J Betran, C Jiang, GO Edmeades, Dreher K, Hoisington D Use of molecular markers in plant breeding: drought for tolerance improvement in tropical maize. Di dalam: Manjit SK, editor. Quantitative Genetics, Genomics and Plant Breeding. England (UK): CAB International. hlm Rival A, Tregear J, Verdeil JL, Richaud F, Beul T, Hartman C, Rode A, Duval Y Molecular search for mrna and genomic markers of the oil palm mantled somaclonal variation. Acta Hortic. 461(1): Riyadi I, JS Tahardi, Sumaryono The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan. 73(2): Rohani O, Sharifah SA, Mohd Rafii Y, Ong M, Tarmizi AH and Zamzuri I Tissue culture of oil palm. Di dalam: Basiron Y, Jalani BS, Chan KW, editor. Advances in Oil Palm Research. Volume 1. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Palm Oil Board. hlm Rohlf FJ NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) Version 2.0 User Guide. New York (US): Exeter Software Publ. Roostika IT Pengembangan Metode Organogenesis dan Embriogenesis Somatik pada Nanas (Ananas comusus (L.) Merr) serta Deteksi Dini untuk Mereduksi Keragaman Somaklonal. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Roper W Growth and cytology of callus and cell suspension cultures of Vicia faba L. J Plant Physiol. 93(3): San e D, Abrlenc-Bertossi F, Diatta LID, Gu eye, B, Daher A, Sagna M, Duval Y, Borgel A Influence of Growth Regulators on Callogenesis and Somatic Embryo Development in Date Palm (Phoenix dactylifera L.) Sahelian Cultivars. Sci World J. 2012(11):1-8. Sanputawong S, Te-chato S Analysis of somaclonal variation of callus, somatic embryo and plant regeneration of in vitro oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). J Agri Tech. 7(2): Schulz-Scaeffer J Cytogenetic Palnts, Animals, Humas. NewYork (US): Springer Verlag. Scowcroft WR Somaclonal variation: the myth of clonal uniformity. Di dalam: Hohn B, Dennis ES. editors. Genetic Flux in Plants. Berlin (DE): Springer Verlag. hlm Singh R, Nagappan J, Tan SG, Panandam JM, Cheah SC Development of simple sequence repeat (SSR) markers for oil palm and their application in genetic mapping and fingerprinting of tissue culture clones. Asia Pasific J Mol Biol Biotech. 15(3): [SMART; PPB] Sinarmas Agro Resource and Technology, Plant Production and Biotechnology Division Annual Report Plant Production and Biotechnology. Bogor (ID): PT. SMART Tbk.

59 [SMART; PPB] Sinarmas Agro Resource and Technology, Plant Production and Biotechnology Division Annual Report Plant Production and Biotechnology. Bogor (ID): PT. SMART Tbk. [SMART; PPB] Sinarmas Agro Resource and Technology, Plant Production and Biotechnology Division Annual Report Plant Production and Biotechnology. Bogor (ID): PT. SMART Tbk. Smulders MJN, De Klerk GJ Epigenetics in plant tissue culture. Plant Growth Regul. 63: Soares DMM, Sattler MC, Ferreira MFS, Praça-Fontes MM Assessment of genetic stability in three generations of in vitro propagated Jatropha curcas l. plantlets using ISSR markers. Tropical Plant Biol. 9(4): Soh AC, Wong G, Hor TY, Tan CC, Chew PS Oil palm genetic improvement. Di dalam: Janick J. editor. Plant Breeding Reviews. Volume 22. Amerika (US) : J Wiley. hlm Staritsky G Tissue culture of oil palm (Elaies guineensis) as a tool for its vegetative propagation. Ephytica. 19(3): Syukur M, Sastrosumarjo S, Wahyu Y, Aisyah SI, Sujiprihati S, Yunianti R Sitogenetika Tanaman. Bogor (ID): IPB Press. Tranbarger TJ, Kluabmongkol W, Sangsrakru D, Morcillo F, Tregear JW, Tragoonrung S, Billotte N SSR markers in transcripts of genes linked to post-transcriptional and transcriptional regulatory functions during vegetative and reproductive development of Elaeis guineensis. BMC Plant Biol.12(1):1-11. USDA Oilseeds: World Markets and Trade. [Internet].United States Department of Agriculture, Foreign Agricultural Service.[diunduh 2015 Feb 25].Tersedia pada: Wang QM, Wang L An evolutionary view of plant tissue culture: somaclonal variation and selection. Plant Cell Rep. 31(9): Wattimena GA, Gunawan LV, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati A Bioteknologi Tanaman. Bogor (ID): PAU-IPB. Zang Zhi-yi, Tao Feng-jie, Zhou Jun, Yao Na, Wang Dong-mei Contamination and browning in tissue culture of Platanus occidentalis L. For Stud China. 9(4): doi: /s Zucchi MI, Arizono H, Morais VA, Fungaro MHP, Vieira MLC Genetic instability of sugarcane plants derived from meristem cultures. Genet Mol Bio. 25(1): Zulhermana Keragaman Genetik Intra dan Interpopulasi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pisifera Asal Nigeria Berdasarkan Analisis Penanda Simple Sequence Repeats (SSR) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zou KH, Tuncali K, Silverman SG Statistical concepts series, correlation and simple linear regression. Radiol. 227(3):

60 42 RIWAYAT HIDUP Irwan Nirwana dilahirkan di kota Cianjur, pada tanggal 26 Juli Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Iwa Soemantri dan Anah Juhanah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada awal tahun Penulis pernah bekerja sebagai asisten pemuliaan tanaman Jagung dan Padi di PT Syngenta ( ). Setelah itu pada pertengahan 2010 hingga tesis ini dibuat, penulis bekerja menjadi supervisor sekaligus peneliti dalam kegiatan produksi bibit klonal kelapa sawit di Sinarmas (PT SMART Tbk). Pada tahun 2014, penulis diterima di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada awal tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari PT SMART Tbk. Selama mengikuti program pascasarjana, penulis membuat karya ilmiah berupa artikel dengan judul Genetic Stability Assessment in Somatic Embryogenesis Derived Ramets of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Using SSR Markers. Artikel tersebut telah disubmit untuk diterbitkan pada Indian Journal of Science and Technology sebagai bagian dari program pascasarjana penulis.

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 20 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) sebagai penghasil minyak nabati mempunyai kekhasan tersendiri dari tanaman kelapa umumnya. Minyak dapat dihasilkan dari dua bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) bukanlah tanaman asli Indonesia tetapi berasal dari Afrika. Kelapa sawit diintroduksi ke Asia Tenggara pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama 121 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pita DNA Monomorfis Beberapa Tanaman dari Klon yang Sama Tiga tanaman yang digunakan dari klon MK 152 menunjukkan morfologi organ bunga abnormal dengan adanya struktur seperti

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa Sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati terpenting di Indonesia. Ditinjau dari segi ekonomi, kelapa sawit memegang peranan penting untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang dikenal sebagai sumber utama penghasil minyak nabati sesudah kelapa. Minyak sawit kaya akan pro-vitamin

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB VII PEMBAHASAN UMUM 131 BAB VII PEMBAHASAN UMUM Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan merupakan tindakan bijak untuk menanggulangi kekurangan bibit sawit di Indonesia. Namun tanamantanaman hasil kultur jaringan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan. Hampir

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit (E. guineensis Jacq.) berasal dari tiga kata yaitu Elaeis berasal dari Elation berarti minyak dalam bahasa Yunani, Guneensis berasal dari bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Angiospermae, Sub-kelas : Monocotyledonea, Ordo : Arecales, Famili : Arecaeae,

TINJAUAN PUSTAKA. Angiospermae, Sub-kelas : Monocotyledonea, Ordo : Arecales, Famili : Arecaeae, TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Mangoensukarjo dan Semangun (2003) adalah : Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Kelas : Angiospermae, Sub-kelas : Monocotyledonea,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN GENETIK ORTET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DAN KLON-KLON TURUNANNYA MENGGUNAKAN PENANDA MIKROSATELIT

ANALISIS KESTABILAN GENETIK ORTET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DAN KLON-KLON TURUNANNYA MENGGUNAKAN PENANDA MIKROSATELIT ANALISIS KESTABILAN GENETIK ORTET KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DAN KLON-KLON TURUNANNYA MENGGUNAKAN PENANDA MIKROSATELIT WULAN ARTUTININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

TI JAUA PUSTAKA Botani Tanaman Kelapa Sawit

TI JAUA PUSTAKA Botani Tanaman Kelapa Sawit 4 TI JAUA PUSTAKA Botani Tanaman Kelapa Sawit Dalam dunia botani, semua tumbuhan diklasifikasikan untuk memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah. Metode pemberian nama ilmiah (latin) ini dikembangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas

PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas unggulan nasional karena kontribusinya yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Saat ini, Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1) Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta Reny Fauziah Oetami 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118 Perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT

KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PISIFERA ASAL NIGERIA BERDASARKAN ANALISIS MARKA Simple Sequence Repeats (SSR) ZULHERMANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia disamping karet, the, coklat dan lain-lain. Kelapa sawit mempunyai masa depan yang cukup cerah saat ini.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Arecaceae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil perennial dengan periode regenerasi yang panjang sekitar 20 tahun

Lebih terperinci

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc.

PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN. Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PELATIHAN KULTUR JARINGAN ANGGREK TAHUN 2013 MATERI 4 BAHAN TANAM (EKSPLAN) DALAM METODE KULTUR JARINGAN Oleh: Paramita Cahyaningrum Kuswandi, M.Sc. PENDAHULUAN Metode kultur jaringan juga disebut dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu dari beberapa tanaman palma penghasil minyak yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk industri padat karya. Pengusahaan tanaman

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN UMUM

BAB 6 PEMBAHASAN UMUM 82 BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia dan memegang peranan penting untuk memenuhi kebuhan minyak nabati dalam negeri. Untuk meningkatkan peranan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I)

PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I) PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I) Oleh M. TAUFIQUR RAHMAN A01400022 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi 53 PEMBAHASAN UMUM Peningkatan kualitas buah jeruk lokal seperti jeruk siam Pontianak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing buah lokal menghadapi melimpahnya buah impor akibat tidak

Lebih terperinci

PEMBAHASA. Proses Pengadaan Bahan Tanaman

PEMBAHASA. Proses Pengadaan Bahan Tanaman 51 PEMBAHASA Proses Pengadaan Bahan Tanaman Pengadaan Bahan Tanaman Secara Konvensional. Teknik pengadaan bahan tanaman secara konvensional di PPKS melalui penyerbukan bantuan (assisted pollination) oleh

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TANAMAN

KULTUR JARINGAN TANAMAN KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Victoria Henuhili, MSi Jurdik Biologi victoria@uny.ac.id FAKULTAS MATEMATIKA DA/N ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 Kultur Jaringan Tanaman Pengertian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar ke Amerika Selatan dan sampai kesemenanjung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Afrika dan termasuk famili Aracaceae (dahulu: Palmaceae). Tanaman kelapa sawit adalah tanaman monokotil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK MODUL - 3 DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK Oleh: Pangesti Nugrahani Sukendah Makziah RECOGNITION AND MENTORING PROGRAM PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi. Pada tahun 2014, total produksi biji kopi yang dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi. Pada tahun 2014, total produksi biji kopi yang dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Kopi robusta (Coffea canephora piere ex A. Frohner) merupakan salah satu tanaman andalan dari komoditas perkebunan Indonesia karena memiliki nilai ekonomi tinggi.

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Varietas unggul padi telah tersebar di seluruh dunia untuk dijadikan bibit yang digunakan oleh para petani. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260

PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260 PENYISIPAN GEN FITASE PADA TEBU (Saccharum officinarum) VARIETAS PS 851 DAN PA 198 DENGAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens GV 2260 ADE NENA NURHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

LABORATORIUM BIAK SEL DAN MIKROPROPAGASI TANAMAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN BIOINDUSTRI INDONESIA

LABORATORIUM BIAK SEL DAN MIKROPROPAGASI TANAMAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN BIOINDUSTRI INDONESIA LABORATORIUM BIAK SEL DAN MIKROPROPAGASI TANAMAN PUSAT PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN BIOINDUSTRI INDONESIA Lokasi Terletak di dalam Kebun Percobaan Ciomas, Jalan Jabaru II No. 21, Ciomas, Bogor 16119, sekitar

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011 Teknologi Kultur Jaringan Tanaman materi kuliah pertemuan ke 9 Isi Materi Kuliah Kultur Kalus Sri Sumarsih Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta Email: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

Inovasi Kultur Jaringan Kelapa Sawit

Inovasi Kultur Jaringan Kelapa Sawit Inovasi Kultur Jaringan Kelapa Sawit Perluasan lahan kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya, bahkan perusahaan perkebunan negara yaitu PT. Perkebunan Nusantara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Pisang Barangan Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial dengan tinggi 2-9 m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai pucuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae yang berasal dari Afrika. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : HERMANYANTO LAIA / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

SKRIPSI OLEH : HERMANYANTO LAIA / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KLON KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PLASMA NUTFAH PT. SOCFINDO MENGGUNAKAN MARKA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) SKRIPSI OLEH : HERMANYANTO LAIA / 130301234 PEMULIAAN

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN VARIASI SOMAKLONAL TANAMAN KRISANTIMUM MELALUI INDUKSI KALUS. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN VARIASI SOMAKLONAL TANAMAN KRISANTIMUM MELALUI INDUKSI KALUS. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN VARIASI SOMAKLONAL TANAMAN KRISANTIMUM MELALUI INDUKSI KALUS Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah Diusulkan oleh : Vicky Saputra A24050609 (2005) Muhammad Muzahid

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH

PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH PERBANDINGAN POLA PITA AMPLIFIKASI DNA DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT NORMAL DAN ABNORMAL ALFINIA AZIZAH PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kelapa Sawit Pohon kelapa sawit terdiri dari pada dua spesies Arecaceae atau famili palma yang digunakan untuk pertanian komersial dalam pengeluaran minyak kelapa sawit.

Lebih terperinci

Tujuan TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit

Tujuan TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit 2 Pembibitan merupakan kegiatan teknis budidaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh bibit kelapa sawit yang berkualitas. Kegiatan pemeliharaan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan pembibitan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi

Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan mitosis dan meiosis pada tanaman Sub Pokok Bahasan :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Asia Tenggara, dan telah tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Tanaman

I. PENDAHULUAN. Asia Tenggara, dan telah tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang (Musa sp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang berasal dari Asia Tenggara, dan telah tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit diperkirakan berasal dari Afrika Barat dan Amerika Selatan. Tanaman ini lebih berkembang di Asia Tenggara. Bibit kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia

Lebih terperinci

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD)

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil yang secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam ordo Palmales, Famili Palmae, Subfamili Cocoidae,

Lebih terperinci

EFFECTIVENESS OF RAPD AND SSR MARKERS FOR GENETIC ANALYSIS OF NINE PISIFERA OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) ORIGINATED FROM NIGERIA.

EFFECTIVENESS OF RAPD AND SSR MARKERS FOR GENETIC ANALYSIS OF NINE PISIFERA OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) ORIGINATED FROM NIGERIA. 20 EFFECTIVENESS OF RAPD AND SSR MARKERS FOR GENETIC ANALYSIS OF NINE PISIFERA OIL PALM (Elaeis guineensis Jacq.) ORIGINATED FROM NIGERIA Abstract The objectives of this experiment were to compare effectiveness

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis anggrek asli Indonesia yang penyebarannya meliputi daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,

Lebih terperinci

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun 2013-2014] Puslit Bioteknologi LIPI Tahun Anggaran 2013-2014 Sumber Dana DIPA MEATPRO Bidang kegiatan Peternakan Judul kegiatan penelitian

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB VII PEMBAHASAN UMUM BAB VII PEMBAHASAN UMUM Kajian tentang potensi jarak pagar sebagai penghasil bahan bakar nabati telah banyak dilakukan. Sebagai penghasil bahan bakar nabati, secara teknis banyak nilai positif yang dimiliki

Lebih terperinci

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH:

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: LYDIA R SIRINGORINGO 060307026 BDP- PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai manfaat ganda, baik sebagai makanan segar, bahan industri makanan seperti pizza, rempah,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica) 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kopi Liberika (Coffea liberica) Kopi tergolong pohon dan termasuk dalam famili Rubiaceae. Tumbuhan ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan

Lebih terperinci

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK DR. IR. PANGESTI NUGRAHANI, M.SI. MORPHOGENENSIS Proses pembentukan bagian-bagian tanaman (tunas, kalus, akar)

Lebih terperinci

PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN GENETIK PLANLETDARI TUNAS APIKAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.

PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN GENETIK PLANLETDARI TUNAS APIKAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq. PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN GENETIK PLANLETDARI TUNAS APIKAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SKRIPSI DWI FEBRINA 120805060 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.) REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.) Oleh : Toni Herawan disampaikan pada : Seminar Nasional Bioteknologi Hutan YOGYAKARTA, OKTOBER 2012 PENDAHULUAN Cendana tumbuh dan berkembang secara alami

Lebih terperinci

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN MK. BIOTEKNOLOGI (SEM VI) Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2015 16 maret : metode biotek tnmn 23 maret : transgenesis 30 maret

Lebih terperinci

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sains (S.Si) pada Jurusan Biologi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) SKRIPSI OLEH : SRI WILDANI BATUBARA 050307041/PEMULIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai lebih dari 800 juta US$ dan meningkat menjadi lebih dari 1.2 milyar

BAB I PENDAHULUAN. mencapai lebih dari 800 juta US$ dan meningkat menjadi lebih dari 1.2 milyar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa utama di Indonesia setelah kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2010, total eksport kopi Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Delfi Trisnawati 1, Dr. Imam Mahadi M.Sc 2, Dra. Sri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun mencapai US$ 681 juta pada tahun 2011 (FAO, 2013). Kopi memegang

BAB I PENDAHULUAN. tahun mencapai US$ 681 juta pada tahun 2011 (FAO, 2013). Kopi memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas perkebunan terbesar ke empat di Indonesia setelah karet, kelapa sawit dan cokelat (BPS, 2013). Komoditas tersebut mampu menjadi sumber pendapatan

Lebih terperinci