BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kegiatan Pembelajaran Pembelajaran berkenaan dengan kegiatan guru mengajar serta bagaimana siswa belajar. Kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Apabila guru mengajar dengan pendekatan yang bersifat menyajikan atau ekspositori, maka siswa akan belajar dengan cara menerima, dan apabila guru mengajar dengan menggunakan pendekatan yang lebih mengaktifkan siswa seperti pendekatan inkuiri, maka siswa akan belajar dengan cara yang aktif pula. Kegiatan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang disadari dan direncanakan. Menurut Ibrahim (2010), suatu kegiatan berencana atau kegiatan yang direncanakan menyangkut tiga hal, yaitu: perencanaan/persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. Perencanaan Pembelajaran Apabila seorang guru akan mengajarkan bahan pengajaran mengenai setiap pokok/satuan bahasan kepada siswa, terlebih dahulu guru harus mengadakan persiapan. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan proses belajar, antara lain : a) Merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran dari proses belajar mengajar. Tujuan pembelajaran diartikan sebagai perilaku hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mereka menempuh proses belajar mengajar. Misalnya, siswa memiliki kemampuan berhitung yang lebih baik. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran dewasa ini selalu berpusat pada siswa. Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran lebih banyak dinilai dari seberapa jauh perubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa. Menurut Wina Sanjaya (2009), terdapat beberapa alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu progam pembelajaran, antara lain: (i) rumusan tujuan yang jelas 5

2 dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas keberhasilan proses pembelajaran, (ii) tujuan pembelajaran dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan kegiatan pembelajaran, (iii) dengan adanya tujuan yang jelas dapat membantu guru dalam menentukan materi pembelajaran, metode, media, dan sumber belajar, serta dalam menentukan dan merancang alat evaluasi untuk melihat keberhasilan siswa. Oleh sebab itu, guru perlu memahami dan terampil dalam merumuskan tujuan pembelajaran. b) Menentukan dan menyusun alat evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya memiliki kegunaan, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah menguasai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan untuk mengetahui bagian dari program pembelajaran yang masih lemah dan perlu diperbaiki. Adapun untuk menilai sejauh mana tujuan pembelajaran telah dikuasai oleh siswa dapat digunakan berbagai cara antara lain tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan/ tindakan. c) Menentukan materi dan kegiatan belajar mengajar Menurut Ibrahim (2010) terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: kesesuaian tujuan instruksional, tingkat pendidikan/perkembangan siswa, terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan, dan mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Selanjutnya menurut Winkel (2004), materi/bahan pelajaran harus disesuaikan dalam taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu (keadaan awal siswa yang aktual). Kriteria pemilihan materi pelajaran berkaitan erat dengan tujuan instruksional, keadaan awal yang aktual dan komponenkomponen lain dalam proses belajar-mengajar. Perlu dipilih materi pelajaran yang paling sesuai, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, sehingga dapat membantu dalam mencapai tujuan instruksional seefektif dan seefisien mungkin. Setelah ditetapkan materi yang akan dibahas, selanjutnya yaitu menentukan metode pembelajaran. Ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, antara 6

3 7 lain yaitu: metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demostrasi, eksperimen, bermain peran, dll. Hal terpenting dalam pemilihan metode yaitu disesuaikan dengan tujuan instruksional, materi yang akan disampaikan, dan waktu dan sarana yang tersedia. Selanjutnya komponen lain yang perlu dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yaitu kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang akan dilaksanakan dirinci menurut kegiatan guru dan kegiatan siswa. Jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa tergantung dari jenis metode pembelajaran yang digunakan. Agar pembelajaran yang direncanakan dapat terselesaikan pada waktunya, dalam merencanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran sebaiknya sekaligus ditetapkan pula alokasi waktu yang disediakan untuk masing-masing kegiatan. d) Memilih media dan alat pembelajaran Berbagai macam media dapat dikategorikan berdasarkan ciri tertentu. Winkel (2004) membuat klasifikasi yaitu (a) media visual yang tidak mengunakan proyeksi, misalnya papan tulis, buku pelajaran, papan yang dapat ditempeli gambaran dan tulisan (display board); (b) media visual menggunakan proyeksi, seperti fil, kaset video, proyektor untuk lembar transparan yang dibuat dari plastik; (c) media auditif, seperti gramofon, kaset yang berisikan ceramah atau wawancara dengan seseorang, kaset musik; (d) media kombinasi visual-auditif yang diciptakan sendiri seperti serangkaian dia (slide) dikombinasikan dengan kaset audio, atau diproduksikan oleh perusahaan seperti disket video dan program komputer yang dapat berbicara. Menurut Wina Sanjaya (2009), prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penggunaan media pada setiap kegiatan pembelajaran adalah bahwa media digunakan dan diarahkan untuk mempermudah siswa belajar dalam memahami materi pelajaran. Media pembelajaran harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kondisi siswa. Siswa yang memiliki kemampuan mendengar yang kurang baik, akan sulit memahami pelajaran manakala digunakan media yang bersifat auditif. Demikian juga sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan penglihatan yang

4 8 kurang, akan sulit menangkap bahan pelajaran yang disajikan melalui media visual. Selain menentukan media yang akan digunakan, dalam merencanakan pembelajaran guru perlu menetapkan alat-alat pengajaran yang akan dipakai. Alat pembelajaran mempunyai peran sangat penting sebagai alat bantu untuk memperjelas dan mempermudah penerimaan materi pelajaran oleh siswa dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Sebagai contoh dalam pembelajaran geometri, penggaris berfungsi sebagai alat pembelajaran yang sering diperlukan. Guru yang efektif menggunakan beragam strategi untuk menerapkan standar-standar dan memenuhi tujuan-tujuan pembelajaran mereka. Strategi pembelajaran itu berbeda-beda, mulai dari strategi-strategi pembelajaran yang berpusat pada guru, dimana guru memikul tanggung jawab utama dalam mencapai tujuan pembelajaran, hingga strategi-strategi dimana guru berperan sebagai fasilitator, dengan memperkenankan siswa untuk mengambil bagian yang lebih aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada guru mencakup strategi pembelajaran dimana peran guru adalah menghadirkan pengetahuan untuk dipelajari dan mengarahkan proses pembelajaran siswa dengan cara yang lebih eksplisit (Shuell dalam David A. Jacobsen, 2009) Strategi-strategi yang berpusat pada guru meliputi pengajaran langsung (direct instruction), diskusi-ceramah (lecture-discussion), dan diskoveri terpimpin (guided discovery). Sedangkan dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, yaitu siswa-siswa berada dalam pusat proses pembelajaran sedangkan guru sebagai fasilitator lebih banyak memandu siswa dari pada mengajar mereka secara langsung. Strategi-strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa meliputi pembelajaran kooperatif (cooperative learning), diskusi (discussion), dan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). 2. Pelaksanaan Pembelajaran Setelah tahap perencanaan pembelajaran selesai dipersiapkan, langkah berikutnya yaitu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah/kegiatan belajar mengajar yang telah direncanakan. Selama langkah ini berlangsung, kegiatan evaluasi dilakukan oleh guru

5 9 antara lain dalam bentuk kuis, tugas-tugas, observasi, dan bertanya langsung kepada siswa tentang pembelajaran yang sedang disajikan, apakah cukup jelas dan sebagainya. Dari kegiatan evaluasi ini, guru dapat mengetahui bagian-bagian mana dari materi yang belum begitu dipahami oleh siswa, dan bagian-bagian mana yang nampaknya kurang efektif atau sulit dilaksanakan dengan baik. Atas dasar evaluasi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru dapat melakukan perbaikan/penyesuaian seperti menjelaskan kembali materi yang belum sepenuhnya dipahami oleh siswa, dengan cara yang berbeda sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. 3. Evaluasi Pembelajaran Dalam pengembangan program pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang bersifat berkelanjutan dan mendasari seluruh proses belajar mengajar yang baik. Fungsi adanya evaluasi yaitu untuk mengetahui tingkat efektivitas program dalam mencapai tujuan-tujuannya dan mengidentifikasi bagian-bagian dari program yang perlu diperbaiki. Cara-cara evaluasi yang dapat dilakukan yaitu melalui tes maupun nontes seperti tugas-tugas, observasi dan jika perlu dapat pula berupa angket atau wawancara dengan siswa. Dari gabungan hasil evaluasi tersebut, diharapkan guru dapat mengidentifikasi bagian-bagian mana dari program pembelajaran yang perlu diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya. B. Karakteristik dan Masalah Psikologis Siswa Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra Siswa dengan gangguan penglihatan, dalam bidang pendidikan luar biasa lebih akrab disebut siswa tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar. Jadi siswa dengan kondisi penglihatan yang termasuk setengah melihat, low vision atau rabun adalah bagian dari kelompok siswa tunanetra. (T.Sutjihati S.,2005) Secara etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki. Netra berarti mata atau penglihatan. Jadi tunanetra

6 10 berarti kondisi luka atau rusaknya mata, sehingga mengakibatkan kurang atau tiada memiliki kemampuan persepsi penglihatan. Seseorang dikatakan tunanetra jika ia memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu. Atau, setelah dikoreksi secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh siswa normal/ orang awas (Efendi, 2006) Definisi tunanetra (kebutaan) menurut Koestler adalah sebagai berikut: Ketajaman penglihatan pusat 20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengan kaca mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika terjadi penurunan ruang penglihatan di mana terjadi pengerutan suatu bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar dari ruang penglihatan membentuk sudut yang besarnya tidak lebih dari 20 derajad pada bagian mata yang lebih baik. (David Smith, 1998) Bila seseorang dapat membedakan dari jarak 20 kaki huruf atau simbol di mana penglihatan normal dapat melakukannya dari jarak 200 kaki, orang tersebut dikategorikan mempunyai tingkat ketajaman penglihatan 20/200 sehingga dapat dikatakan buta secara hukum. Definisi ini juga menunjuk orang yang menunjukkan luas ruang penglihatan 20 derajat atau kurang dianggap buta secara hukum. Hal ini mengacu pada keadaan, seperti retinitis pigmentosa, dimana ketajaman penglihatan tetap di dalam batas normal namun bidang penglihatan telah mengalami pengurangan sebagai akibat kelainan yang serius (Smith, 1998). 2. Faktor Penyebab Tunanetra Faktor-faktor penyebab seseorang menjadi tunanetra sebenarnya banyak sekali kemungkinannya. Begitu pula dalam hal waktu terjadi ketunanetraannya, dapat terjadi pada waktu dalam kandungan, waktu dilahirkan, setelah dilahirkan atau setelah dewasa. Namun pada dasarnya faktor penyebab tersebut menurut Rusli Ibrahim (2005) dapat dikelompokkan menjadi lima penyebab, yaitu: Pertama, faktor penyakit; penyakit yang dialami oleh seorang ibu yang sedang mengandung atau penyakit yang dialami seseorang sesudah lahir. Penyakit tersebut misalnya: Trachoma, Syphylis, Cataract, Onccerciacis, Glukoma, Radang kornea, dsb. Kedua, faktor kecelakaan;

7 11 kecelakaan ini dapat terjadi pada waktu dilahirkan. Misalnya karena seorang ibu kesulitan dalam melahirkan, sehingga biasanya sering menggunakan alat-alat sehingga mengganggu organ-organ mata atau syaraf-syaraf mata yang menyebabkan ketunanetraan. Kemungkinan lain kecelakaan ini terjadi setelah lahir, misalnya akibat jatuh, sehingga organ-organ mata atau syaraf-syaraf mata menjadi terganggu. Ketiga, deficiency vitamin A (aseroftol); merupakan salah satu penyebab ketunanetraan secara tidak langsung. Seperti kita ketahui bahwa vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel epitel dan proses oksidasi dalam tubuh, serta mengatur kepekaan rangsangan sinar pada syaraf mata. Kekurangan vitamin A pada seseorang akan didahului dengan adanya gejala-gejala kurang jelas dalam penglihatan pada waktu senja hari yang disebut rabun ayam atau Hemeralopia. Kemudian diikuti dengan kerusakan-kerusakan pada sel-sel epitel dan kulit. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka akan menimbulkan kelainan dalam penglihatan. Keempat, faktor genetik; yaitu faktor penyebab dari keturunan yang berasal dari salah satu atau kedua orang tua. Misalnya, gangguan penglihatan presbiopia, myopia, dan hipermetropia. Selanjutnya yang terakhir yaitu faktor yang belum diketahui penyebabnya, seperti degenerasi, yaitu penurunan ketajaman penglihatan. 3. Klasifikasi Tunanetra Menurut Tramton dalam Frieda (1998), pengklasifikasian siswa tunanetra dapat dikelompokkan berdasarkan berat ringan dari ketajaman penglihatannya yaitu: Kelompok 0, Absolut Blindness; yaitu mereka yang tidak dapat melihat cahaya sedikitpun, dimana tidak dapat membedakan antara siang dan malam melalui penglihatannya. Kelompok 1, Light Perception (projection only); yaitu mereka yang hanya melihat cahaya sedikit saja, yakni hanya dapat membedakan gelap dan terang serta membedakan siang dan malam melalui penglihatannya. Kelompok 2, Motion perception and from perception uo to 5/200 (or up to counts fingers at 3 feet); yaitu mereka yang selain dapat membedakan siang dan malam juga dapat melihat bentuk dan gerak benda pada jarak 5 kaki (±1,5m). Benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Mereka juga dapat menghitung jari-jari tangan pada jarak maksimal 3 kaki (±1,0m).

8 Kelompok 3, They could counts finger at 3 feet but not 10 feet (or 5/200 but not 10/200); yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan untuk melihat benda pada jarak 5 kaki (±1,5m). Apabila benda tersebut terletak pada jarak 10 kaki (±3m), maka tidak dapat dilihat lagi. Benda tersebut dapat dilihat oleh orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Atau ia dapat menghitung jari-jari tangannya pada jarak 3 kaki (±1,0m), tetapi ia tidak dapat menghitung jari-jari tersebut pada jarak 10 kaki atau kira-kira 3 meter. Kelompok 4, 10/200 but not 20/200, yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan untuk melihat benda yang jaraknya lebih dari 10 kaki (±3m), tetapi tidak dapat melihatnya sejauh 20 kaki (±6m), benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Kelompok 5, disebut 20/200; yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan yang dapat melihat benda sejauh 20 kaki (±6m), dimana benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Kelompok 6, Better than 20/200, but having periphal vision limited to 20 degress or less in the widest diameter; yaitu mereka yang memiliki ketajaman penglihatan lebih baik dari orang yang hanya dapat melihat benda pada jarak 20 kaki (±6m), tetapi kekurangan mereka hanya mempunyai daerah penglihatan seluas 20 derajad atau kurang. Sedangkan bagi orang yang normal memiliki daerah penglihtan seluas 180 derajad. Sementara itu, T. Sutjihati S.,(2005) mengelompokkan tunanetra ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) Kelompok buta; yaitu jika siswa sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visus=0); dan (2) Kelompok low vision ; yaitu jika siswa masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika siswa hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Derajat tunanetra berdasarkan distribusinya berada dalam rentangan yang berjenjang, dari yang ringan sampai yang berat. Menurut Efendi (2006), berat ringannya jenjang ketunanetraan didasarkan kemampuannya untuk melihat bayangan benda. Jenjang kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: Pertama, siswa yang mengalami kelainan penglihatan yang mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optic tertentu. 12

9 13 Siswa yang termasuk dalam kelompok ini tidak dikategorikan dalam kelompok tunanetra sebab ia dapat menggunakan fungsi penglihatan dengan baik untuk kegiatan belajar. Kedua, siswa yang mengalami kelainan penglihatan, meskipun dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami kesulitan mengikuti kelas regular sehingga diperlukan kompensasi pengajaran untuk mengganti kekurangannya. Siswa yang memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai siswa tunanetra ringan sebab ia masih bisa membedakan bayangan. Pada praktik percakapan sehari-hari siswa yang masuk dalam kelompok kedua ini lazim disebut siswa tunanetra sebagian (partially seeing-children). Ketiga, siswa yang mengalami kelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena siswa tidak mampu lagi memanfaatkan indera penglihatannya. Ia hanya dapat dididik melalui saluran lain selain mata. Pada percakapan sehari-hari, siswa yang mengalami kelainan penglihatan dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan buta (tunanetra berat). Termologi buta berdasarkan rekomendasi dari The White House Conference on Child Health and Education di Amerika (1930), Seseorang dikatakan buta jika tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk kepentingan pendidikannya (Patton dalam Efendi, 2006) 4. Karakteristik Psikologis Siswa Tunanetra Menurut Rusli Ibrahim (2005), masalah-masalah psikologis yang diakibatkan oleh ketunanetraan itu meliputi : a) Aspek Kognitif Karena kurang atau tidak adanya ketajaman penglihatan, maka siswa tunanetra tidak dapat mengamati sesuatu dengan penglihatannya seperti orang awas. Dengan demikian, mereka berusaha mengatasi kekurangannya itu dengan menggunakan indera lain seperti, indera perabaan, pendengaran, pengecap, pembau dan pengalaman kinestetis. Aktivitas keindraan siswa tunanetra terbatas dalam ruang lingkup dan keanekaan, sehingga diperlukan langkah-langkah pendidikan untuk dapat mengatasi kekurangan tersebut sejauh mungkin. Kekurangan ini dapat diatasi dengan jalan meningkatkan ketajaman indera yang masih berfungsi, yaitu

10 14 dengan latihan dan memberikan motivasi pada siswa tersebut. Seperti menggunakan huruf Braille merupakan pemanfaatan fungsi perabaan. b) Inteligensi dan prestasi belajar Intelegensi siswa tunanetra pada prinsipnya sama dengan siswa normal lain pada umumnya. Perubahan intelegensi adalah karena faktor-faktor yang menyertai ketunanetraannya. Jadi intelegensi yang langsung menurun akibat ketunanetraan itu tidak ada. Intelegensi yang rendah dapat dihubungkan dengan sebab ketunanetraannya, misalnya yang disebabkan oleh radang otak (meningitis) Prestasi akademik siswa tunanetra di sekolah lebih lambat bila dibandingkan dengan siswa normal. Keterlambatan itu disebabkan keterbatasan penglihatannya ditambah lagi dengan kurangnya sarana yang menunjang dalam proses belajarnya. Keterlambatan dalam memasuki sekolah dan dalam pengalaman belajar hanya terbatas pada pendengaran dan perabaan. c) Perkembangan motorik dan faktor mobilitas (kemampuan berpindah tempat) Perkembangan motorik siswa tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan siswa normal pada umumnya. Hal ini sebagai akibat dari ketidakserasian koordinasi fungsional antara fungsi psikis (kognitif, afektif, konagtif) yang kurang mendukung dengan system persyarafan dan otot (neuromuscular system), termasuk keterbatasan kesempatan yang diberikan lingkungan. Bagi siswa tunanetra, penguasaan perilaku psikomotor dasar, seperti berjalan dan memegang benda, sudah menjadi masalah besar yang tidak mudah dikuasainya dengan baik. Siswa tunanetra mengalami hambatan dalam kemampuan berpindah tempat. Hilang atau terganggunya penglihatan menjadikan mereka tergantung pada indera lain yang masih berfungsi. Keterbatasan mobilitas menghasilkan keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap dua aspek dalam kehidupan siswa tunanetra, yaitu : aspek kesempatan pengalaman dan hubungan sosial.

11 15 d) Perkembangan faktor emosional Perkembangan emosi siswa tunanetra biasanya akan sedikit terhambat dibandingkan dengan siswa yang normal. Hal ini disebabkan siswa tunanetra memiliki kemampuan penglihatan yang terbatas, terutama dalam proses belajarnya. Bagi siswa tunanetra tentu mengalami kesulitan dalam belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus direspons secara emosional. Karena itu bagi siswa tunanetra bentuk respons emosional lebih banyak diekspresikan secara verbal ketimbang non-verbal. Ada masalah-masalah emosional lain yang dihadapi oleh siswa tunanetra, yaitu ada gejala-gejala emosi yang kurang seimbang, atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan, seperti: terbentuknya perasaan takut, malu, khawatir/cemas, mudah tersinggung, gampang marah, iri hati, mudah curiga, dan rasa sedih yang berlebihan. Semua itu akibat dari ketidak mampuan atau keterbatasan penglihatan yang dimiliki, sehingga ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan bahaya misalnya, reaksi orang lain atau lingkungan terhadap dirinya, atau kurang kasih sayang lingkungan terhadap dirinya, atau mungkin ada perlakuan lingkungan masyarakat yang kurang adil terhadap dirinya, dan sebagainya. e) Faktor-faktor sosial dan kepribadian Di dalam kehidupan sosial, ketunanetraan pada dasarnya tidak mengganggu komunikasi, tetapi akan menghambat gerak ekspresif. Sebab gerak-gerik muka maupun gerak isyarat sebagian besar diperoleh dengan menirukan berdasarkan penglihatan. Siswa tunanetra akan merasa terasing dari lingkungannya. Perasaan ini akan menimbulkan perasaan tidak aman, dan perasaan inilah yang menyebabkan timbulnya masalah pribadi. Faktor-faktor yang memungkinkan siswa tunanetra mengalami masalah dalam kepribadian, biasanya disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor terjadinya ketunanetraan, kesehatan fisik, dan usia mentalnya. Beberapa ciri yang sering tampak pada siswa tunanetra, antara lain: mudah putus asa, terlalu sensitive, kurang inisiatif, dll.

12 16 C. Tinjauan Tentang Geometri 1. Pengertian Geometri Geometri merupakan cabang matematika mengenai bangun, bentuk, dan ukuran benda-benda, dan telaah atau sifat-sifat tetap (invatian) dari elemen-elemen yang diketahui, dibawah pengaruh grup-grup transformasi khusus (Djati Kerami, 2003). Selanjutnya, Reys (1998) mengatakan bahwa geometri adalah studi tentang bidang datar dan bangun ruang dan berbagai bentuk dalam ruang. Jadi, geometri adalah bagian dari matematika yang merupakan pengetahuan tentang hubungan dan pemahaman secara mendalam tentang bangun ruang dan bidang datar serta sifat-sifatnya yang berguna dalam berbagai situasi dan berkaitan dengan topik matematika dan pelajaran lainnya. Geometri sudah dipelajari sejak sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi antara lain geometri bidang, geometri ruang, geometri analistik, dsb. Pada geometri bidang (dimensi dua) dan geometri ruang (dimensi tiga) di sekolah menengah telah dipelajari bangun-bangun titik, garis, bidang datar, dsb dengan sifat-sifatnya yang sederhana. Bangun-bangun atau benda-benda perlu didefinisikan, untuk mendefinisikan sesuatu perlu diketahui pengertian-pengertian sebelumnya. 2. Pembelajaran Geometri Van Hiele mengemukakan 5 (lima) tahapan siswa dalam belajar geometri, yaitu (a) tahap pengenalan, yaitu tahap ketika siswa mulai mengenal bentuk geometri secara keseluruhan, tetapi ia belum mengetahui sifat-sifat dari bentuk geometri tersebut, (b) tahap analisis, yaitu tahap ketika siswa mulai mengenal sifat-sifat dari bentuk geometri yang diamati, (c) tahap pengurutan, yaitu tahap ketika siswa mulai dapat membuat kesimpulan, mengaitkan, dan mengurutkan, (d) tahap deduksi, yaitu tahap ketika siswa dapat menarik kesimpulan secara deduktif, mulai dapat memahami dan menggunakan teorema atau dalil dan aksioma atau postulat dalam pembuktian, (e) tahap akurasi, yaitu tahap yang termasuk kategori tinggi karena kompleks, pada tahap ini siswa mulai mengetahui pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang mendasari sebuah pembuktian. Di dalam proses pembelajarannya, pendekatan dan strategi pembelajaran bersandar pada pendapat yang menyatakan bahwa

13 17 pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri (dikonstruksi) oleh siswa. Ini berarti, suatu rumusan, konsep atau prinsip dalam geometri ruang, seyogyanya ditemukan kembali oleh siswa dengan bimbingan guru (guided reinvention). Pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali, membuat siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, dan hal ini akan sangat bermanfaat pada bidang lainnya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran geometri ruang untuk siswa harus dimulai dari benda-benda konkret seperti tempat kapur, kerangka kubus, dadu dan benda-benda lainnya diubah ke bentuk semi konkret yang berupa gambar kubus sehingga pada akhirnya siswa tersebut akan dapat memiliki pengetahuan tentang kubus tersebut yang sudah bersifat abstrak yang ada didalam pikiran tiap-tiap siswa. D. Pembelajaran Matematika Siswa Tunanetra 1. Pembelajaran Siswa Tunanetra Menurut pandangan behavioral menegaskan bahwa pembelajaran merupakan perubahan perilaku, yang dengannya seseorang bertindak dalam satu situasi tertentu. Pembelajaran selalu menghasilkan satu perubahan pada seseorang yang belajar (Anita E. Woolfolk,2004). Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik (Mulyana 2003). Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2009) Pembelajaran mempunyai arti sebagai penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung, dan memungkinkan terjadinya belajar. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, pembelajaran siswa tunanetra adalah proses interaksi antara siswa yang menyandang tunanetra dengan lingkungannya, dan proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya siswa tunanetra belajar, sehingga terjadi perubahan perilaku siswa tunanetra kearah yang lebih baik.

14 18 2. Pembelajaran Matematika Siswa Tunanetra Pengertian pembelajaran matematika menurut beberapa ahli adalah suatu aktivitas yang disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapai tujuan melalui kegiatan penalaran. Pembelajaran matematika siswa tunanetra merupakan proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya siswa tunanetra belajar matematika, sehingga terjadi perubahan perilaku atau keterampilan matematika siswa tunanetra kearah yang lebih baik. Pada prinsipnya, pembelajaran matematika siswa tunanetra sama dengan pembelajaran matematika siswa normal di sekolah formal pada umumnya. Hanya saja pada pembelajaran matematika siswa tunanetra dibutuhkan beberapa pra syarat yaitu antara lain, penggunaan huruf Braille ataupun gambar timbul untuk siswa tunanetra dengan kategori buta dan pembesaran huruf atau tulisan untuk siswa tunanetra dengan kategori low vision. 3. Alat Pembelajaran untuk Siswa Tunanetra Untuk pembelajaran berhitung atau matematika siswa tunanetra perlu dilatih untuk menggunakan salah satu alat bantu matematika sampai benar-benar lancar menggunakannya. Baru setelah itu guru dapat memperkenalkan penggunaan jenis alat bantu matematika yang lain kepada siswa tunanetra. Menurut Smith (1998), alat-alat bantu yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika bagi siswa tunanetra antara lain sebagai berikut : a) Bacaan dan Tulisan Braille (Braille Reading and Writing) Siswa dianggap tunanetra (buta total) jika mereka tidak dapat membaca huruf bahkan dalam keadaan khusus sekalipun. Bagi siswa tunanetra, kemampuan membaca dan menulis melalui huruf Braille menjadi penting untuk komunikasi dan pembelajaran. Huruf Braille adalah suatu sistem yang menggunakan kode berupa titik-titik yang ditonjolkan untuk menunjukkan huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya. Sistem ini berdasarkan pada susunan enam titik (six-dot cell) dengan dua titik horisontal dan tiga titik vertikal.

15 19 b) Keyboarding Kemampuan menggunakan keyboarding standar merupakan suatu cara agar penyandang tunanetra dapat berkomunikasi dalam bentuk tulisan dengan orang lain. Ini dapat menjadi faktor penting bagi kemampuan siswa agar dapat mengikuti pendidikan di dalam kelas dengan guru dan siswa yang dapat melihat. Siswa penyandang tunanetra biasanya diberi pengajaran dalam menggunakan keyboard sedini mungkin. Sistem keyboard digunakan sebagai model respon utama untuk tes, pekerjaan rumah, dan tugas sekolah lainnya, ketika huruf Braille tidak dapat digunakan dengan tepat. Hanya satu kemampuan tulis tangan yang ditekankan pada siswa penyandang tunanetra yaitu dalam membuat tanda tangan. c) Alat Bantu Menghitung (Calculation Aids) Di dalam pelajaran matematika, cipoa (sempoa) telah menjadi suatu alat bantu yang penting bagi siswa tunanetra. Penghitungan matematika dasar dapat dilakukan dengan memainkan biji cipoa (sempoa) dan hasilnya terdapat dalam bentuk taktil, yang dapat diraba dengan jari tangan. Kini yang telah umum digunakan adalah kalkulator elektronik kecil baik masukan maupun hasil keluarannya selain dinyatakan dalam bentuk tulisan yang dapat diamati secara visual, juga dinyatakan secara verbal sehingga dapat didengarkan atau diamati secara auditif. Adanya kalkulator bersuara ini sangat membantu penyandang tunanetra untuk melakukan hitung-menghitung. d) Optacon Optical-to-Tactile Converter (Optacon) dikembangkan oleh Laboratorium Elektronika Universitas Stanford. Mesin ini seukuran dengan tape recorder kecil, bekerja mengubah materi yang dicetak kedalam pola-pola getaran pada ujung jari pemakai. Optacon terdiri dari satu kamera dengan elemen photosensitive yang dihubungkan ke susunan sandi raba (tactile pin) yang sesuai dengan huruf tertentu, satu huruf yang dipindahkan oleh kamera akan menghasilkan pola getaran tertentu yang bisa dirasakan dengan meraba. Pemakai meletakkan ujung jarinya pada pin dan

16 20 akan merasakan getaran yang berbeda saat kamera bergerak diatas tiap huruf dan kata. Kamera ini dapat melihat bidang sekitar ukuran tunggal pada satu waktu. Untuk menggunakan Optacon diperlukan persyaratan dan latihan yang intensif. e) Mesin Baca Kurzweil (Kurzweil Reading Machine) Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak, hasil huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara. Bila materi yang dicetak diletakkan pada suatu lembaran kaca pemindah elektronik (scanner) dan mesin dihidupkan dengan menekan sebuah tombol, maka akan terdengar suara buatan yang membacakannya. Bila tombol ini ditekan, akan terdengan suara yang dengan sabar terus-menerus akan mengulang kata, kalimat, paragraf beberapa kali, atau mengeja kata tertentu yang diminta. f) Buku Bersuara (Talking Books) Talking books telah menjadi alat pendidikan bagi siswa tunanetra. Program Talking Books ini disponsori oleh Library or Congress. Buku dan majalah direkam dalam disket atau kaset dan dibagikan kepada siswa yang mengalami hambatan penglihatan secara gratis. Buku-buku ini dibaca oleh pembaca sukarela dan dapat didengar dalam rata-rata kata per menit untuk fiksi, dan sekitar 150 kata per menit untuk nonfiksi. Salah satu kekurangan dalam mendengarkan buku teks atau materi lainnya adalah prosesnya lebih lambat dibanding bacaan normal. Biasanya siswa tunanetra memerlukan waktu lebih lama dalam mendengarkan satu bab dibanding siswa lain yang membacanya. Salah satu solusi bagi pemecahan masalah ini yang telah dikembangkan adalah compressed speech devices. Alat ini dapat mengurangi/menghilangkan unsur-unsur yang tidak perlu dari suara yang direkam. Ini dapat mengurangi distorsi yang cukup besar. Proses ini menghasilkan tingkat pendengaran yang semakin meningkat. g) Rangka Taylor atau Taylor Frame. Rangka Taylor dibuat dari bahan dan logam yang mempunyai lubang-lubang yang setiap lubang memiliki delapan segi. Pada

17 21 lubang tersebut dapat dimasukan batangan logam yang dapat dirubah-rubah letaknya dalam delapan posisi. Batang yang dimasukan dalam lubang, bagian atasnya dapat diraba. Pada setiap batang logam kedua ujungnya dapat menunjukan suatu angka, huruf dan tanda lainnya. Selain untuk mengerjakan matematika atau berhitung, rangka Taylor juga memiliki fungsi untuk membuat soal dimana pengerjaannya dapat dilakukan dengan cara mendatar atau horizontal maupun vertikal. h) Sempoa atau Abakus Sempoa atau abakus biasanya terbuat dari kayu atau plastik dengan ukuran yang bervariasi. Pada dasarnya sempoa merupakan sebuah papan bingkai yang dibagian tengah terdapat palang pemisah yang dari kanan ke kiri terdapat kisi-kisi/jari-jari. Pada setiap jari-jari terdapat semacam butir-butir kelereng yang dapat digeser ke atas dan atau ke bawah. Palang pemisah ini berfungsi untuk membatasi kelereng yang ada di atas palang dan di bawah palang. Sempoa atau abakus digunakan untuk mengerjakan hitungan, yaitu penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian yang meliputi bilangan bulat maupun pecahan. E. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran Geometri Siswa Tunanetra 1. Faktor Pendukung Pembelajaran Geometri Siswa Tunanetra Siswa tunanetra memiliki kemampuan intelegensi yang cukup baik dan daya ingat yang kuat. Selain itu juga memiliki kemampuan taktil (synthetic touch dan analytic touch) yaitu kemampuan merasakan objek melalui ujung-ujung jarinya sebagai indera penglihatan (Delphie, 2006). Siswa tunanetra dapat memaksimalkan kemampuan yang ada pada dirinya saat belajar geometri. Untuk mendeskripsikan suatu benda siswa tunanetra menggunakan indera raba dengan jari-jarinya. Siswa tunanetra memiliki daya ingat yang kuat untuk mengingat materi pelajaran matematika sehingga konsep yang diberikan oleh guru akan tertanam dipikiran siswa tunanetra.

18 2. Faktor Penghambat Pembelajaran Geometri Siswa Tunanetra Faktor penghambat pengajaran geometri bagi siswa tunanetra adalah keterbatasan pada indera penglihatannya sedangkan untuk materi geometri diperlukan indera penglihatan karena adanya kegiatan pengamatan pada benda-benda yang bersifat abstrak. Guru merasa kesulitan dalam menyampaikan materi yang bersifat visual terhadap siswa tunanetra dikarenakan kurangnya media atau alat peraga sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar. Jika pun ada media atau alat peraga, beberapa diantaranya penggunaan media atau alat peraga kurang dapat dimaksimalkan karena dalam pembuatannya tidak memperhatikan hambatan yang ada pada siswa tunanetra. 22

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Prestasi Belajar Matematika a. Pengertian Prestasi Pengertian prestasi yang disampaikan oleh para ahli sangatlah bermacammacam dan bervariasi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

2015 MODIFIKASI PERMAINAN SCRABBLE UNTUK MENAMBAH PERBENDAHARAAN PERMAINAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SLB AYPLB MAJALENGKA

2015 MODIFIKASI PERMAINAN SCRABBLE UNTUK MENAMBAH PERBENDAHARAAN PERMAINAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SLB AYPLB MAJALENGKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran yang tidak hanya mentransformasi ilmu pengetahuan saja, melainkan proses transformasi nilai, sikap, keterampilan,

Lebih terperinci

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI)

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI) BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI) Nandiyah Abdullah* Abstrak : Anak tunanetra cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan pendidikan, sosial, emosi, kesehatan,

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA A. Jarimatika Ama (2010) dalam http://amapintar.wordpress.com/jarimatika/ mengemukakan bahwa jarimatika merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingka laku, baik yang menyangkut pengetahuan,

BAB II LANDASAN TEORITIS. tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingka laku, baik yang menyangkut pengetahuan, BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pengertian Belajar Matematika Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingka laku, baik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ialah salah satu hal penting bagi manusia, karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensinya melalui pembelajaran. Melalui pendidikan

Lebih terperinci

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra I. Pendahuluan Benarkah?: 1) Bila orang kehilangan penglihatannya, maka hilang pulalah semua persepsinya. 2) Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggarannya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Prestasi Belajar 2.1.1.1 Pengertian Belajar Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman/

Lebih terperinci

Memilih Metode Pembelajaran Matematika

Memilih Metode Pembelajaran Matematika Kegiatan Belajar 1 Memilih Metode Pembelajaran Matematika A. Pengantar Apabila kita ingin mengajarkan matematika kepada anak / peserta didik dengan baik dan berhasil pertam-tama yang harus diperhatikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 1.1 Kajian Teoritik 2.1.1 Hasil Belajar Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan hasil belajar ditunjukkan dalam bentuk berubah pengetahuannya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENGEMBANGAN. Sugiono ( 2009 ) penelitian pengembangan adalah penelitian yang digunakan

BAB III METODE PENGEMBANGAN. Sugiono ( 2009 ) penelitian pengembangan adalah penelitian yang digunakan BAB III METODE PENGEMBANGAN 3.1. Jenis Pengembangan Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan. Menurut Sugiono ( 2009 ) penelitian pengembangan adalah penelitian yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan fisik tidak lepas dari otot-otot yang mempengaruhi kemampuan motorik. Namun tidak cukup hanya otot yang dapat mempengaruhi kemampuan motorik. Kematangan

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN DAN OBJEK PEMBELAJARAN MATEMATIKA

MODEL PEMBELAJARAN DAN OBJEK PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL PEMBELAJARAN DAN OBJEK PEMBELAJARAN MATEMATIKA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika Dosen Pengampu: Dra. MM. Endang Susetyawati, M.Pd Disusun Oleh: Nikmahtun

Lebih terperinci

Kegiatan Belajar 2 HAKIKAT ANAK DIDIK

Kegiatan Belajar 2 HAKIKAT ANAK DIDIK Kegiatan Belajar 2 HAKIKAT ANAK DIDIK A. Pengantar Kita mengetahui bahwa dalam perkembangannya seorang anak berbeda dengan orang dewasa. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas baik itu dalam bentuk fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG POLA INTERAKSI URU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUN Rany Widyastuti IAIN Raden Intan, Lampung, Indonesia Email: rany_2302@yahoo.com Abstrak Siswa tunanetra merupakan siswa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesulitan Belajar Matematika Pengertian kesulitan dalam kamus umum Bahasa Indonesia menurut Poerwadarminta (2007) adalah suatu keadaan yang sulit. Sedangkan pengertian belajar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hasil Belajar Matematika Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran

Lebih terperinci

Memilih Metode Pembelajaran Matematika

Memilih Metode Pembelajaran Matematika Kegiatan Belajar 1 Memilih Metode Pembelajaran Matematika A. Pengantar Apabila kita ingin mengajarkan matematika kepada anak / peserta didik dengan baik dan berhasil pertam-tama yang harus diperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Kemampuan membaca permulaan mendasari

Lebih terperinci

Pertemuan Ke-4. Oleh: M. Jainuri, S.Pd., M.Pd. Pendidikan Matematika. STKIP YPM Bangko. Teori Belajar Kognitif_M. Jainuri, S.Pd., M.

Pertemuan Ke-4. Oleh: M. Jainuri, S.Pd., M.Pd. Pendidikan Matematika. STKIP YPM Bangko. Teori Belajar Kognitif_M. Jainuri, S.Pd., M. Pertemuan Ke-4 Oleh: M. Jainuri, S.Pd., M.Pd Pendidikan Matematika Teori Belajar Kognitif_M. Jainuri, S.Pd., M.Pd STKIP YPM Bangko 1 Teori Belajar Kognitif Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Tamanwinangun yang beralamat di Jalan Bocor Nomor 54, Kelurahan Tamanwinangun,

Lebih terperinci

HAMBATAN PERKEMBANGAN TERHADAP PEMBELAJARAN

HAMBATAN PERKEMBANGAN TERHADAP PEMBELAJARAN HAMBATAN PERKEMBANGAN TERHADAP PEMBELAJARAN DAMPAK ABK TERHADAP PEMBELAJARAN Keterbatasan Anak Tunanetra 1. Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru 2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai mata pelajaran berisikan konsep pelajaran berhitung amat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, sebab menguasai matematika berarti memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan. permulaan dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan. permulaan dipengaruhi oleh keaktifan dan kreativitas guru yang mengajar di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah luar biasa sangatlah penting artinya dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) sejak dini. Pembelajaran bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Proses pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai lingkungan, baik lembaga formal maupun lembaga informal. Pendidikan di sekolah mengarahkan belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendekatan pengajaran, yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendekatan pengajaran, yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlakunya kurikulum 2004 berbasis kompetensi, yang telah direvisi melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan

Lebih terperinci

A. PENGERTIAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF PICTURE AND PICTURE

A. PENGERTIAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF PICTURE AND PICTURE BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF PICTURE AND PICTURE Bila kita membicarakan pembelajaran, ada beberapa hal yang selalu disinggung, yaitu model, strategi, metode, pendekatan

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Fungsi-Fungsi Psikis. Dosen Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

Pengantar Psikologi Fungsi-Fungsi Psikis. Dosen Meistra Budiasa, S.Ikom, MA Pengantar Psikologi Fungsi-Fungsi Psikis Dosen Meistra Budiasa, S.Ikom, MA Persepsi Objek-objek sekitar kita, kita tangkap melalui alat-alat indra dan diproyeksikan pada bagian tertentu di otak sehingga

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah didapat di lapangan, dan sebagaimana yang sudah diuraikan dalam pembahasan BAB IV, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD Sufyani Prabawanto Sufyani_prabawanto@yahoo.com 6/3/2010 1 Belajar dan Pembelajaran Belajar? Upaya memperoleh kepandaian, memperoleh perubahan tingkah laku, memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Secara umum pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan ada juga yang masalah pembelajarannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Metode Demonstrasi 2.1.1.1 Hakekat Metode Demonstrasi Metode demonstrasi merupakan metode yang sangat efektif, sebab membantu siswa untuk mencari jawaban

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Email : dikti@dikti.org homepage: www.dikti.org Naskah Soal Ujian Petunjuk: Naskah soal terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa,

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa, mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah bahkan juga perguruan tinggi. Sebagai guru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai perencanaan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai perencanaan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha atau kegiatan yang disengaja untuk membantu, membina, dan mengarahkan manusia mengembangkan segala kemampuannya yang dilaksanakan

Lebih terperinci

MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية)

MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية) MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية) SKS : 2 SKS Dosen : Rovi in, M.Ag Semester : Ganjil Prodi : PBA 1 Guru profesional memiliki empat kompetensi, yaitu: pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MATEMATIKA di SD

PEMBELAJARAN MATEMATIKA di SD Kegiatan Belajar 3 PEMBELAJARAN MATEMATIKA di SD A. Pengantar Seorang guru SD atau calon guru SD perlu mengetahui beberapa karakteristik pembelajaran matematika di SD. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi tersebut sangatlah penting untuk tercapainya tujuan pendidikan. Menurut Ki Hajar

Lebih terperinci

Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika

Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika I. Aliran Psikologi Tingkah Laku Teori Thorndike Teori Skinner Teori Ausubel Teori Gagne Teori Pavlov Teori baruda Teori Thorndike Teori belajar stimulus-respon

Lebih terperinci

BAB II MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MATERI SUMBER DAYA ALAM. 1. Pengertian Model Pembelajaran Talking Stick

BAB II MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MATERI SUMBER DAYA ALAM. 1. Pengertian Model Pembelajaran Talking Stick BAB II MODEL PEMBELAJARAN TALKING STICK DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA MATERI SUMBER DAYA ALAM A. Model Pembelajaran Talking Stick 1. Pengertian Model Pembelajaran Talking Stick Talking stick (tongkat berbicara)

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*) PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*) Abstrak Ketercapaian suatu pembelajaran matematika ditentukan oleh guru dalam menggunakan strategi pembelajaran matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Alat Peraga Alat peraga merupakan alat bantu atau penunjang yang digunakan oleh guru untuk menunjang proses belajar mengajar. Pada siswa SD alat peraga sangat dibutuhkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam kehidupan dan kehadirannya sangat terkait erat dengan dunia pendidikan adalah Matematika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia dini merupakan periode awal yang paling mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi juga semakin mendorong usaha-usaha ke

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi juga semakin mendorong usaha-usaha ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu dan teknologi juga semakin mendorong usaha-usaha ke arah pembaharuan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya, guru diharapkan dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Teori 1. Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika, salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya 4 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Perkembangan Balita Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya mengetahui sekelumit pertumbuhan fisik dan sisi psikologinya. Ada beberapa aspek

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN VISUS MATA

PEMERIKSAAN VISUS MATA PEMERIKSAAN VISUS MATA Tidak semua orang mempunyai visus yang sama. Visus dipergunakan untuk menentukan penggunaan kacamata. Visus penderita bukan saja memberi pengertian tentang optiknya (kaca mata) tetapi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA Veny Sri Astuti, S.Pd. Prodi Pend.Matematika, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal)

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) namun juga menggunakan, isyarat atau bahasa gambar. Peradapan manusia kuno sebelum mengenal

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati, S.

PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati, S. JRR Tahun 23, No. 2, Desember 204 06-2 PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA Oleh: Siti Rachmawati, S.Pd SLB N Semarang ABSTRAK Kemampuan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG MELALUI METODE JARIMATIKA PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati ABSTRAK

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG MELALUI METODE JARIMATIKA PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati ABSTRAK PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG MELALUI METODE JARIMATIKA PADA SISWA TUNANETRA Oleh: Siti Rachmawati seandinda@g.mail.com ABSTRAK Hambatan peningkatan kemampuan berhitung pada siswa tunanetra terjadi karena

Lebih terperinci

HANDOUT MATA KULIAH MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA (MT.../ 2 SKS) PROGRAM DEPAG. Oleh: Dra. Hj. Ade Rohayati, M.Pd. NIP

HANDOUT MATA KULIAH MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA (MT.../ 2 SKS) PROGRAM DEPAG. Oleh: Dra. Hj. Ade Rohayati, M.Pd. NIP HANDOUT MATA KULIAH MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA (MT.../ 2 SKS) PROGRAM DEPAG Oleh: Dra. Hj. Ade Rohayati, M.Pd. NIP. 131473940 JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DI SEKOLAH PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Makalah ini disampaikan dihadapan peserta pelatihan Media Pembelajaran kerjasama antara Dinkes DIY dengan FIP UNY O L E H Drs. Mulyo Prabowo, M.Pd NIP. 131656350

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Kemampuan adalah kecakapan untuk melakukan suatu tugas khusus dalam

BAB II KAJIAN TEORI. Kemampuan adalah kecakapan untuk melakukan suatu tugas khusus dalam BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoretis 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Sebuah soal pemecahan masalah biasanya memuat suatu situasi yang dapat mendorong seseorang untuk menyelesaikanya akan tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pengetahuan dan kecakapan. Menurut Wina Sanjaya (2006:113) belajar. di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pengetahuan dan kecakapan. Menurut Wina Sanjaya (2006:113) belajar. di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Belajar Menurut Witherington dalam Hanafiah dan Suhana (2009:7) belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons baru yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara umum, semua aktivitas yang melibatkan psiko-fisik yang menghasilkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara umum, semua aktivitas yang melibatkan psiko-fisik yang menghasilkan 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Secara umum, semua aktivitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Gaya Belajar 2.1.1 Pengertian Gaya Belajar Gaya belajar menurut Winkel (2005) adalah cara belajar yang khas bagi siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Anak Usia Dini mendasari jenjang pendidikan selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Anak Usia Dini mendasari jenjang pendidikan selanjutnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Anak Usia Dini mendasari jenjang pendidikan selanjutnya. Perkembangan secara optimal selama masa usia dini memiliki dampak terhadap pengembangan kemampuan

Lebih terperinci

Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat. Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY. abstrak

Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat. Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY. abstrak Kode Makalah M-12 Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY abstrak Huruf Braille yang disajikan berupa titik-titik timbul (dot) pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika 4 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Hakekat Pembelajaran Matematika 2.1.1. Pengertian Belajar Belajar adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid

TINJAUAN PUSTAKA. Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar (Learning Styles) Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berfikir dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. tentang pemahaman siswa. Biasanya siswa memahami sesuatu hanya melalui

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. tentang pemahaman siswa. Biasanya siswa memahami sesuatu hanya melalui 1 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakikat Pemahaman Konsep Sudut a. Pengertian Pemahaman Dalam uraian ini penulis akan mengulas pengertian pemahaman dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Metode Demonstrasi 2.1.1 Pengertian Metode Demonstrasi Metode demonstrasi merupakan format belajar mengajar yang secara sengaja mempertunjukkan atau memperagakan tindakan, proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup (Santrock, 2007 : 7). Perkembangan adalah hal yang

Lebih terperinci

Verbal Simbol visual Visual Radio Film Tv Wisata Demonstrasi partisipasi Observasi Pengalaman langsung

Verbal Simbol visual Visual Radio Film Tv Wisata Demonstrasi partisipasi Observasi Pengalaman langsung A. Pengertian Media Hand Out TEP-PLB MEDIA PENDIDIKAN (Ishartiwi-UNY) 1. Kata media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. 2. AECT (1977): Membatasi media sebagai segala

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fifit Triana Dewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fifit Triana Dewi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran membaca, menulis dan berhitung pada anak usia dini merupakan hal yang dianggap lebih penting dan paling utama dalam pendidikan anak usia dini oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Brunner Dalam Romzah (2006:6) menekankan bahwa setiap individu pada waktu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Brunner Dalam Romzah (2006:6) menekankan bahwa setiap individu pada waktu 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Teori Belajar Brunner Dalam Romzah (2006:6) menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan kembali

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Representasi Matematis. a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Representasi Matematis. a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Representasi Matematis a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis Menurut NCTM (2000) representasi adalah konfigurasi atau sejenisnya yang berkorespondensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi

I. PENDAHULUAN. pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan diharapkan dapat membekali seseorang dengan pengetahuan yang memungkinkan baginya untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2014 27 Maret 2014. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. Persepsi dalam arti luas menurut Leavitt (2006:27) dapat diartikan Pandangan

II. KERANGKA TEORETIS. Persepsi dalam arti luas menurut Leavitt (2006:27) dapat diartikan Pandangan 5 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Persepsi dalam arti luas menurut Leavitt (2006:27) dapat diartikan Pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang dan mengartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pendidikan dan kemampuan yang baik. Dengan pendidikan maka

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pendidikan dan kemampuan yang baik. Dengan pendidikan maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan pondasi yang penting bagi setiap individu bahkan Negara. Dalam kehidupan yang penuh persaingan saat ini, seseorang diperhitungkan kedudukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Hal ini sejalan dengan pernyataan

TINJAUAN PUSTAKA. lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Hal ini sejalan dengan pernyataan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Matematika Menurut Hamalik (2008:36) belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Anak berkelainan pendengaran atau tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan pada satu atau lebih organ

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih dari sekedar realisasi satu sasaran, atau bahkan beberapa sasaran. Sasaran itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih dari sekedar realisasi satu sasaran, atau bahkan beberapa sasaran. Sasaran itu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keberhasilan Keberhasilan adalah hasil serangkaian keputusan kecil yang memuncak dalam sebuah tujuan besar dalam sebuah tujuan besar atau pencapaian. keberhasilan adalah lebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pembelajaran Langsung

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pembelajaran Langsung BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kajian Pembelajaran Langsung a. Pengertian Pembelajaran Langsung Menurut Arends (1997) model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Media Maket Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Sebagai suatu disiplin ilmu, matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang memiliki kegunaan besar dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, konsepkonsep dalam

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam Dalam bahasa inggris Ilmu Pengetahuan Alam disebut natural science, natural yang artinya berhubungan dengan alam dan science artinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakikat Matematika Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir pada semua bidang ilmu pengetahuan. Menurut Suherman (2003:15), matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dibekali kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Potensi merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan ide-ide atau informasi

Lebih terperinci

Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract

Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract Pola Interaksi uru dan Siswa Tunanetra Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; rany_2302@yahoo.com Submitted : 18-06-2016, Revised : 21-09-2016, Accepted : 16-12-2016 Abstract This study aims to describe the

Lebih terperinci

Metode Metode Instruksional Dina Amelia/

Metode Metode Instruksional Dina Amelia/ Metode Metode Instruksional Dina Amelia/ 702011094 1. Peer Tutoring Tutor sebaya adalah seorang/ beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa-siswa tertentu yang mengalami kesulitan

Lebih terperinci