VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 111 VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6.1 Analisis Prioritas Kebijakan Semenjak waduk serbaguna Jatiluhur selesai dibangun pada tahun 1967, pengelolaan waduk berikut PLTA Ir. H. Juanda telah diserahkan oleh Pemerintah kepada PN Jatiluhur melalui PP Nomor 8 Tahun 1967, yang kemudian terakhir menjadi Perum Jasa Tirta II (PJTII) melalui PP Nomor7 Tahun Melalui PP tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan pengelolaan aset Pemerintah kepada PJTII atas Waduk Jatiluhur beserta keseluruhan jaringan infrastrukturnya dengan cakupan wilayah antara lainmeliputi wilayah DAS Citarum. Sementara itu,untuk mengatasi kebutuhan air jangka panjang yang diproyeksi semakin kritis,sungai Citarum dinilai sebagai sumber pemasok air utama untuk kawasan Jawa Barat.Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dapat dipahami apabila baik Pemda Propinsi Jawa Barat maupun Pemda Kabupaten/Kota, dalam upaya untuk mengantisipasi kebutuhan air jangka panjang ini, ingin memanfaatkan secara optimal kendali mereka dalam pengelolaan SDA.Kecenderungan ini mempertajam potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan DAS Citarum. Perspektif Pusat. Perspektif yang berkembang di Pusat menyimpulkan bahwa sungai Citarum dianggap sebagai strategis nasional oleh karena itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam pengelolaan SDA dengan kewenangan pusat dikenal dua tipe kelembagaan pengelola (operator) SDA.Pertama, Balai Besar Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS) yang belum dapat dikelola secara korporasi dimana fungsi pelayanan publiknya masih sangat kuat dan masih menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Kedua, BUMN untuk sungai yang telah dapat dikelola dengan prinsip korporasi. Tidak seperti BBWS/BWS, korporasi ini dapat memperoleh revenue dari para pemakai air (dengan prinsip user pays sesuai kemampuannya) dan dari pencemar (dengan prinsip polluter pays ). Dengan demikian pengelola sungai diharapkan dapat membiayai dirinya sendiri dan meningkatkan pelayanan air. Pada DAS Citarum disamping PJT II yang sudah beroperasi sejak lama sebagai korporasi, kementerian Pekerjaan Umum juga membentuk BBWS Citarum yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.

2 112 Perspektif Propinsi. Dalam pandangan pemda propinsi Jawa Barat, kewenangan pengelolaan sungai Citarum dianggap menjadi kewenangan propinsi karena sungai Citarum mengalir sepenuhnya di propinsi Jawa Barat.Rencana pengembangan dan pengelolaan SDA Jawa Barat termasuk Sungai Citarum dituangkan dalam Pola Induk yang telah dikukuhkan dalam Perda Nomor 3 Tahun Program-program yang diusulkan merupakan wujud nyata dari keinginan masyarakat dan Pemda Jawa Barat dalam proses pengalihan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi dalam kerangka desentralisasi. Pengelolaan S. Citarum dikembangkan dengan membentuk institusi pengelola SDA yaitu Balai PSDA Citarum, yang merupakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) di bawah Dinas PSDA. Disamping itu, Pemda Jawa Barat telah membentuk Perusahaan Air Jawa Barat (PAJB) dengan kewajiban operasional untuk pelayanan air bersih seluruh Jawa Barat. Untuk menjamin optimalisasi kinerja PAJB Pemda Jawa Barat berencana untuk mengkaji pembentukan badan regulator air yang akan mempertimbangkan kepentingan stakeholders kunci di Propinsi Jawa Barat. Sampai sejauh ini aspirasi tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Perspektif Kabupaten. Ada euphoria otonomi yang ditunjukan dari sikap Pemda Kabupaten dalam menyikapi Pemda Propinsi sebagai referensi untuk menuntut kesetaraan.pemda Kabupaten juga berkeinginan untuk mengusahakan air untuk kepentingan daerah (PAD) melalui PDAM yang independen. PDAM Kabupaten/Kota pada umumnya belum dapat menerima jika harus berada dalam payung PAJB. Secaraumum perhatian Pemda Kabupaten lebih memprioritaskan pada masalah pengelolaan jaringan irigasi yang dianggap dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat. Disamping itu, dalam konteks kontribusi PAD pemerintah Kabupaten merasa sangat berkepentingan dengan pengelolaan galian C pada badan sungai. Dari uraian diatas jelas bahwa masing-masing stakeholders utama memiliki prioritas kepentingan yang berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan analisis prioritas secara objektif. Analisis prioritas dilakukan dengan teknik AHP, berdasarkan pengumpulan kuesioner dari instansi/pakar yang dianggap mewakili stakeholders DAS Citarum secara menyeluruh. Penyusunan struktur hirarki

3 113 keputusan dirumuskan melalui FGD yang dihadiri oleh beberapa pakar. Struktur hirarki terdiri atas lima tingkatan kriteria sebagai berikut: (i) tingkatan pertama adalah fokus: pengelolaan SDA pada DAS Citarum, (ii) kriteria keduayaitu tujuan yaitu peningkatan nilai manfaat ekonomis, peningkatan kesejahteran, pemulihan ekosistem, minimalisasi bencana, dan minimalisasi konflik, (iii) kriteria ketiga adalah faktor yaitu kebijakan pemerintah, penegakan hukum, hubungan stakeholders, ketersediaan pendanaan, kelestarian sumber air, dan partisipasi masyarakat, (iv) kriteria keempatadalah kinerja yaitu kesesuaian mandat, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, pendanaan dan SDM, dan yang terakhir kriteria kelima adalah alternatiflembaga pengelola yaitu alternatif BBWS, PJT atau Balai PSDA. Hasil kuesioner yang terdiri dari 12 instansi/pakar dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil AHP menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0,00 hingga 0,096 pada semua elemennya, sehingga memenuhi batas CR maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,1. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut (Gambar 47). Gambar 47 Prioritas kebijakan pengelolaan SDA

4 114 Berdasarkan hasil analisis prioritas jenjang keputusan seperti pada Gambar 47 diatas, pada level tujuan yang menempati prioritas tertinggi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu sebesar 0,372. Kemudian secara berturut-turut prioritasnya turun sampai terkecil adalah: (1) Peningkatan Kesejahteraan (2) Pemulihan Ekosistem; (3) Minimalisasi Bencana; (4) Minimalisasi Konflik dan (5) Peningkatan Nilai Manfaat Ekonomi (lihat Gambar 48). 0,093 0,372 0,222 0,135 0,178 Gambar 48 Grafikkriteria level tujuan Pada level faktor, yang memiliki bobot terbesar adalah kelestarian sumber daya air yaitu sebesar 0,244. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Kelestarian Sumberdaya Air; (2) Partisipasi Masyarakat; (3) Penegakan Hukum; (4) Kebijakan Pemerintah; (5) Hubungan Stakeholders; (6) Ketersediaan Wadah Organisasi (lihat Gambar 49). 0,114 0,184 0,114 0,110 0,244 0,233 Gambar 49 Grafik kriteria level faktor

5 115 Pada level kinerja, yang memiliki bobot terbesar adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu sebesar 0,236. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Transparansi dan Akuntabilitas; (2) SDM; (3) Pendanaan; (4) Efektivitas; (5) Kesesuaian Mandat (lihat Gambar 50). 0,161 0,193 0,236 0,194 0,216 Gambar 50 Grafik kriteria level kinerja. Sedangkan pada level alternatif model lembaga pengelola yang memiliki bobot terbesar adalah model Perum jasa Tirta (PJT) yaitu sebesar 0,565. Kemudian secara berturut-turut prioritas berikutnya adalah: (1) Model PJT; (2) Model Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan (3) Model Balai Besar Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) (lihat Gambar 51). 0,243 0,565 0,192 Gambar 51 Grafiklevel alternative Hasil diatas menunjukan bahwa alternatif lembaga pengelola yang dianggap paling tepat untuk menjalankan fungsi RBO adalah PJT II.Tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah kesejahteraan masyarakat.sedangkan faktor yang

6 116 memilki prioritas paling tinggi adalah kelestarian sumber air dan kinerja yang paling utama adalah akuntabilitas dan transparansi. Elemen-elemen ini akan menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan model kebijakan. 6.2 Perumusan Model Dinamik Sebagai salah satu sumber daya air yang vital bagi wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, DAS Citarum memiliki interaksi sistem sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ketiga sistem dan interaksinya tersebut disimplifikasi menjadi model pengelolaan sumber daya air Citarum yang mencakup sub-model sosial kependudukan, sub-model lingkungan, dan sub-model nilai ekonomi. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti disajikan pada Gambar 52. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model memiliki keterkaitan sebabakibat. Sub-model sosial kependudukan direpresentasikan oleh elemen penduduk, kebutuhan air, prilaku, dan kesejahteraan masyarakat, serta PJT II sebagai institusi pengelola. Sub-model lingkungan direpresentasikan oleh elemen limbah, ipal, kualitas air, kuantitas air, lingkungan air, lingkungan, dan konservasi. + ipal lingkungan air + - limbah kualitas air + kuantitas air lingkungan penduduk ketersediaan air OPR + - biaya kebutuhan air + - revenue kinerja prasarana + + pengendalian PJT II prilaku + - cost recovery kesejahteraan masyarakat + konservasi Gambar 52 Causal loop model pengelolaan sumber daya air Sementara sub-model nilai ekonomi direpresentasikan oleh elemen ketersediaan air, revenue, biaya, cost recovery, operasi dan pemeliharaan, serta rehabilitasi (OPR), kinerja prasarana, dan pengendalian.

7 117 Sistem dinamik yang dibangun merepresentasikan hubungan saling bergantung (dipengaruhi dan mempengaruhi); atau umpan balik (feedback). Hubungan saling mempengaruhi ini menunjukkan tiga aspek utama dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu: kondisi kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan indeks pemenuhan kebutuhan air masyarakat; lingkungan yang dicerminkan indeks perbaikan lingkungan; dan nilai ekonomi yang dicerminkan oleh cost recovery, yang secara langsung dan tidak langsung saling mempengaruhi. Pemicu permasalahan ini adalah bertambahnya jumlah penduduk, yang selain menurunkan kondisi lingkungan, juga meningkatkan kebutuhan air dan kebutuhan lain yang terkait dengan air, sehingga menimbulkan kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan air (kondisi yang diharapkan). Untuk mencapai kondisi yang diharapkan ini, dapat dilakukan peningkatan operasi dan pemeliharaan untuk meningkatkan kinerja infrastruktur; melaksanakan pengembangan untuk menambah ketersediaan prasarana sumber daya air dan pengembangan. Adanya ketersediaan dana yang berasal dari biaya jasa pemeliharaan pengelolaan sumber daya air (BJ-PSDA) merupakan revenueyang akan digunakan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air, melalui operasi dan pemeliharaan dan peningkatan sumber daya manusia. Untuk pengembangan prasarana sumber daya air yang membutuhkan biaya besar, maka peran pemerintah melalui pendanaan DIPA masih diperlukan. Ketersediaan dana tersebut secara langsung akan meningkatkan kondisi ekosistemdan peningkatan sumber daya manusia, antara lain dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahap pengelolaan sumber daya air dan memupuk budaya cinta air dan lingkungan dan kebiasaan hemat air. Sistem yang dibangun menunjukkan adanya suatu putaran umpan balik yang positif (positive feedback loop) yang saling menguatkan, yaitu: cost-recovery ketersediaan dana operasi dan pemeliharaan kinerja infrastruktur pengelolaan sumber daya air. Putaran yang saling menguatkan ini sangat strategis, dan perlu dipelihara keberlangsungannya. Putaran umpan balik penting lainnya adalah yang dimulai dengan adanya kesenjangan pelayanan (gap of services), meningkatkan pengembangan serta operasi dan pemeliharaan, meningkatkan kinerja infrastruktur dan meningkatkan

8 118 pengelolaan sumber daya air, sehingga kesenjangan akan berkurang. Putaran umpan balik ini merupakan putaran yang mencari kestabilan, yaitu titik optimal pengelolaan sumber daya air yang dapat dilaksanakan dengan ketersediaan dana, teknologi, dan sumber daya manusia yang ada. Gambaran di atas menunjukkan pentingnya peran lembaga Perum Jasa Tirta yang mampu mendanai operasi dan pemeliharaan melalui biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagai suatu cost recovery, disamping masih diperlukannya peran pemerintah dalam melaksanakan pengembangan prasarana sumber daya air. Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD) sebagai penjabaran causal loop diatas disajikan dalam Lampiran 5. Perilaku sub-model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Powersim Studio 2005E. Tampilan menu model pengelolaan sumber daya air Citarum secara berkelanjutan dibuat guna memudahkan alur simulasi yang akan dilakukan (lihat lampiran 5). Menu model menampilkan judul dengan hyperlink pada setiap submenu yang akan ditampilkan dalam simulasi. Sub-sub menu tersebut adalah causal loop; SFD; grafik dan tabel terkait penduduk; grafik dan tabel terkait lingkungan; grafik dan tabel terkait ketersediaan air; serta grafik dan tabel terkait nilai ekonomi.selain itu, tampilan menu juga mengakomodasi grafik dan tabel validasi, serta persamaan yang digunakan dalam model tersebut Perumusan Rancang Bangun Sub Model a) Sub-Model Sosial Kependudukan Sub-sistem sosial kependudukan terdiri dari parameter utama berupa jumlah penduduk dan indeks pemenuhan kebutuhan air. Parameter turunan pertambahan jumlah penduduk merupakan agregat dari adanya pertumbuhan penduduk berupa kelahiran dan imigrasi, serta pengurangan jumlah penduduk yang terdiri dari kematian dan emigrasi. Penduduk dibedakan berdasarkan lokasi service area dari Waduk Jatiluhur sebagai penghasil sumber daya air yang dikelola PJT II. Penduduk diklasifikasi menjadi penduduk yang berdomisili di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta (non-dki). Stock flow diagram sub-model sosial kependudukan disajikan dalam Gambar 53.

9 119 Gambar 53 Stock-flow diagram sub-model sosial kependudukan b) Sub-Model Lingkungan Sub-sistem lingkungan berupa akumulasi beban pencemar ke dalam badan sungai.stock flow diagram sub-model lingkungan disajikan dalam Gambar 54. Gambar 54 Stock-flow diagram sub-model lingkungan Peningkatan penduduk akan mendorong peningkatan limbah domestik yang masuk ke badan sungai. Limbah tersebut bisa berupa beban pencemar yang secara terus menerus terakumulasi pada badan sungai. Diasumsikan penduduk di DKI

10 120 Jakarta pada awal simulasi adalah 8,84juta orang dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,06% per tahun. Sementara penduduk non-dki berjumlah 12,39 juta orang pada awal tahun simulasi dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,75% per tahun. Beban emisi limbah penduduk yang tidak diolah mengandung beban pencemar sebesar 53 gram BOD/kapita per hari. Beban pencemar lainnya berasal dari kegiatan non-domestik lainnya, seperti kegiatan industri, kegiatan pertanian dan kegiatan peternakan. Beban pencemar akibat kegiatan industri berasal dari limbah yang diolah (treated) dan yang tidak diolah (un-treated). Beban pencemar dari kegiatan pertanian berasal dari lahan perkebunan dan lahan sawah. Sementara beban pencemar kegiatan peternakan berasal dari berbagai jenis ternak yang dipelihara masyarakat dan limbahnya masuk ke dalam badan air pada DAS Citarum. c) Sub-Model Nilai Ekonomi Sub-sistem perekonomian daerah dicerminkan oleh parameter utama berupa nilai keuntungan ekonomis dalam bentuk revenue dan biaya pengelolaan yang harus dikeluarkan. Keuntungan yang dihasilkan berasal dari penjualan sumber daya air berupa air baku (PDAM), hasil penjualan listrik (PLN), dan beban jasa sumber daya air (BJ-SDA) lainnya. Beban jasa SDA lainnya terdiri dari penggunaan badan air untuk wisata, iuran keramba jaring apung (KJA), sarana penunjang air minum (SPAM), dan lain-lain. Stock flow diagram sub-model nilai ekonomi disajikan dalam Gambar 55. Gambar 55 Stock-flow diagram sub-model nilai ekonomi

11 Penduduk (jiwa) Simulasi Model a) Sub-Model Sosial Kependudukan Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2010 sampai Hal ini disebabkan secara kumulatif laju tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengurangan penduduk. Laju pertambahan penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting ditambah dengan jumlah kelahiran dan jumlah imigrasi yang masuk ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Jumlah petumbuhan penduduk di DKI Jakarta sebesar 1,06% (BPS DKI Jakarta, 2010). Sementara jumlahpetumbuhan penduduk di wilayah non-dki Jakarta sebesar 1,75%. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Gambar 56 dan Tabel 24. Grafik jumlah penduduk memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sebanyak 21,2 juta jiwa sampai menjadi 32,9 jutajiwa pada tahun Jumlah Penduduk Penduduk DKI Penduduk Non-DKI Penduduk Total Jan Jan Jan Jan 2040 Gambar 56 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk Tabel 24 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk Waktu Time Penduduk DKI Penduduk Non-DKI Penduduk Total Indeks Pemenuhan Kebutuhan Air 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan , , , , , , , ,6961 0,7635 0,8579 0,9272 0,9527 0,9348 0,8537

12 Indeks Pemenuhan Kebutuhan Air 122 Indeks pemenuhan kebutuhan air baku adalah perbandingan antara kebutuhan air baku terhadap ketersediaannya. Berdasarkan hasil simulasi di atas, diketahui bahwa indeks pemenuhan air baku baru berkisar sebesar 0,69 pada tahun2010 dan mencapai 0,95 pada sekitar tahun 2030 (Gambar 57), namun menurun lagi seiring pesatnya peningkatan kebutuhan air menjadi 0,85 pada tahun Hal ini terjadi karena sampai saat ini masih terdapat kesenjangan antara faktor-faktor yang mendukung ketersediaan air baku dengan kebutuhan yang terus meningkat, artinya rata-rata fraksi peningkatan kebutuhan melebihi rata-rata fraksi peningkatan ketersediaan. Dampak dari adanya kesenjangan ini, menyebabkan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat tidak pernah terpenuhi secara optimal (indeks < 1). 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan 2040 Time Gambar 57 Hasil simulasi pemenuhan kebutuhan b) Sub-Model Lingkungan Hasil simulasi disajikan pada Gambar 58 dan Tabel 25 menunjukkan bahwa jumlah beban pencemar (BP) yang berasal dari kegiatan domestik, industri, pertanian dan peternakan. Beban pencemar domestik menyumbang limbah terbesar diikuti BP industri, BP pertanian dan BP ternak. Pertumbuhan beban pencemar domestik sangat pesat seiring dengan pertambahan penduduk rata-rata 1,75% per tahun, sementara pertumbuhan industri sangat dipengaruhi tren jenis industri tekstil yang masih dominan di DAS Citarum dengan pertumbuhan 1,4% per tahun. Berikutnya sumber pencemar pertanian dan peternakan diasumsikan tetap.

13 Beban Pencemaran (ton/hari) CO D 1000 B P - B OD B P - COD B P - Cr 500 B O D Cr Ja n Ja n Ja n Ja n Time Gambar58 Hasil simulasi peningkatan beban pencemar Pada kondisi eksisting (tahun 2010) BP sebesar 673,80 ton BOD/hari, 1.184,84 ton COD/hari dan 24,52 kgcr/hari dan diprediksikan akan meningkat menjadi1.033,67 ton BOD/hari, 1.886,93 ton COD/hari dan 43,03 kg Cr/hari pada tahun 2040 seperti pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 Hasil simulasi peningkatan beban pencemar Waktu Time BP BOD BP COD BP Cr 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan ,80 722,38 775,03 832,09 893,94 960, , , , , , , , ,93 24,52 27,12 29,89 32,85 36,02 39,41 43,03 c) Sub-sistem Nilai Ekonomi Gambar 59 dan Tabel 26 menunjukkan hasil simulasi ketersediaan air dan kebutuhan air di wilayah DKI Jakarta. Ketersediaan air direpresentasikan dengan banyaknya distribusi air yang bisa dilakukan oleh operator penyalur, seperti PDAM. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebutuhan air penduduk DKI Jakarta akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduknya. Pada tahun 2010 setidaknya diperlukan debit air sebesar 17,9 m 3 /detik dan meningkat terus hingga sebesar 24,6 m 3 /detik pada tahun 2040 untuk memenuhi kebutuhan air penduduk DKI Jakarta.

14 Debit Air (m3/detik) Kebutuhan Air Penduduk DKI Debit Distribusi Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan 2040 Time Gambar 59 Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta Guna memenuhi kebutuhan tersebut, sejak tahun 2010 debit air distribusi ditingkatkan terus dari 10,5 m 3 /detik menjadi sebesar 22,6 m 3 /detik pada tahun Hal ini dimungkinkan dengan selesai dibangunnya saluran syphon Bekasi pada tahun 2013 yang bisa meningkatkan kapasitas penyaluran air dari 21,1 m 3 /detik menjadi 31,1 m 3 /detik hingga 5 tahun setelah pembangunannya (tahun 2018). Hal ini tentunya akan meningkatkan kapasitas produksi di hilirnya yang mengarah ke wilayah DKI Jakarta, yaitu IPA Pulo Gadung dan IPA Buaran. Namun jika tidak dilakukan pemeliharaan yang optimal dan pembangunan infrastruktur baru, maka setelah 5 tahun syphon Bekasi beroperasi diprediksikan akan terjadi penurunan kapasitas penyaluran yang berakibat turunnya produksi air. Hal ini ditunjukkan dari hasil simulasi yang memperlihatkan penurunan distribusi air sejak tahun 2018 hingga mencapai 14,5m 3 /detik pada tahun Tabel 26 Hasil simulasi ketersediaan air DKI Jakarta Waktu Time 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan 2040 Debit Distribusi Aktual Kebutuhan Air Penduduk DKI Aktual 10,54 17,91 16,97 18,88 21,70 19,90 19,61 20,98 17,73 22,11 16,03 23,31 14,49 24,57 Adanya dinamika distribusi dan kebutuhan air ini akan menimbulkan kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan ketersediaan air baku. Dinamika distribusi air yang bisa disalurkan akan secara langsung mempengaruhi pemasukkan dan keuntungan (revenue) yang bisa diperoleh operator. Hal ini akan

15 Cost Recovery 125 pencapaian cost recovery (CR) yang meningkat pada awal tahun simulasi dan cenderung kembali menurun seiring distribusi air yang bisa disalurkan (Gambar 60 dan Tabel 27). Cost recovery yang bisa dicapai hanya berkisar 0,85 pada awal tahun simulasi dan terus meningkat menjadi 1,16 pada tahun 2018, namun terus menurun hingga mencapai 0,87 pada tahun Hal ini disebabkan kurang terkelolanya sumber daya air secara optimal. Kurang optimalnya pengelolaan disebabkan pengelola tidak mampu meningkatkan revenue dan menekan biaya pengelolaan, yang direpresentasikan oleh rendahnya pencapaian cost recovery. 1,5 1,0 0,5 0,0 01 Jan Jan Jan Jan 2040 Gambar 60 Hasil simulasi cost recovery Tabel 27 Hasil simulasi revenue dan cost recovery Time Waktu Revenue Aktual Biaya Pengelolaan Kondisi CR Aktual 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan ,85 1,09 1,13 1,05 0,99 0,93 0,87 Hasil simulasi (lihat Gambar 61 dan Tabel 28) menunjukkan pencapaian revenue total saat ini sekitar Rp 336,0 milyar pada tahun 2010 dan Rp 449,9 milyar pada tahun Pada awalnya revenue masih lebih rendah dari pada biaya pengelolaan yang harus dikeluarkan, hingga bisa didorong dengan peningkatan produksi air hingga bisa diseimbangkan pada tahun 2017 (CR =1), bahkan terlampaui hingga dicapai CR maksimum pada tahun Tetapi pesatnya peningkatan biaya pengelolaan dan menurunnya distribusi air menyebabkan hal ini menjadi sebaliknya, hingga mulai terjadi defisit kembali (CR

16 (Rp) 126 <1) pada sekitar tahun Sehingga sejak saat itu, cost recovery menjadi kurang dari satu yang menyebabkan efektivitas pengelolaan menjadi menurun akibat beban biaya yang terus meningkat. Beban biaya ini terdiri dari kegiatan operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi (OPR) irigasi, badan sungai, waduk, dan prasarana lainnya. Semua biaya tersebut digabungkan menjadi beban biaya pengelolaan Revenue Biaya Pengelolaan Jan Jan Jan Jan 2040 Time Gambar 61 Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan sumber daya air Tabel 28 Hasil simulasi revenue dan biaya pengelolaan sumber daya air Waktu Time Revenue Aktual Biaya Pengelolaan Kondisi CR Aktual 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan ,85 1,09 1,13 1,05 0,99 0,93 0,87 Berdasarkan proyeksi diatas maka terlihat kualitas air (nilai BOD) semakin memburuk yang mengancam kesehatan ekosistem. Disamping itu, secara finansial PJT II sudah tidak sehat untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga dapat dipastikan sebagian tanggungjawab pengelolaan terabaikan atau PJT II sebagai Perum akan kolaps. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang komprehensif guna mencegah degradasi kondisi lingkungan dan memburuknya kinerja PJT II. Dilain pihak, jumlah masyarakat yang terlayani air bersih yang meningkat pada tahun 2018 perlu dipertahankan dengan pemeliharaan prasarana yang baik sejalan dengan meningkatnya kinerja PJT II.

17 ValidasiModel Guna mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan perlu dilakukan validasi (Hartrisari, 2007) terhadap model pengelolaan sumber daya air Citarum. Validasi struktur model dilakukan untuk melihat sejauh mana kesesuaian struktur model dengan struktur nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur dilakukan dengan dua bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji kestabilan struktur. Sementara validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta.hal ini dilakukan melalui perbandingan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al. 2001). Uji Kesesuaian Struktur Uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Model pengelolaan sumber daya air DAS Citarum menunjukkan pertambahan penduduk yang menjadi pemicu kebutuhan air masyarakat yang cenderung menurunkan indeks pemenuhan kebutuhan air. Secara teoritis model dinamis yang dibangun memiliki validitas terhadap kondisi nyata di lapangan. Validasi Kinerja Model Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1-10%. Adapun validasi yang digunakan adalah AME dengan persamaan seperti di bawah ini.

18 Penduduk (jiwa) 128 S A AME = x100% ; A S Si N A Ai N S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan.berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model pengelolaan sumber daya air dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan padatabel 29 dan Gambar 62 untuk penduduk DKI, Gambar 63 untuk revenue, Tabel 30 dan Gambar 64 untuk beban pencemaran. Tabel 29 Data validasipenduduk DKI Time Waktu Penduduk DKI Penduduk Aktual DKI 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan , , , , , , , , , , , , Penduduk DKI Simulasi Penduduk DKI Aktual Time Gambar 62 Perbandingan jumlah penduduk DKI Jakarta aktual dan simulasi

19 Beban Pencemar (ton/hari) Revenue (Rp) Revenue Aktual Revenue Sim ulasi Time Gambar 63 Perbandingan revenue aktual dan simulasi Tabel 30 Data validasi parameter beban pencemaran Waktu Time BP Domestik BP Domestik Data 01 Jan Jan Jan Jan Jan Jan ,77 341,65 347,63 353,71 359,90 366,20 317,14 321,22 325,35 329,53 333,77 333, BP Domestik Aktual BP Domestik Simulasi Time Gambar 64 Perbandingan beban pencemar aktual dan simulasi

20 130 Validasi dilakukan terhadap tiga parameter yang mewakili sub-model sosial, ekonomi dan lingkungan, yaitu validasi jumlah penduduk, revenue dan beban pencemaran. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,4% untuk pertambahan penduduk DKI Jakarta dari data aktual. Hasil validasi terhadap revenue menunjukkan nilai AME sebesar 9% dan validasi terhadap beban pencemar domestik menunjukkan nilai AME sebesar 7%. Batas penyimpangan pada parameter AME adalah <10%, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan. 6.3 Konsep Kebijakan Pengelolaan SDA Dasar bagi pengelolaan sumber daya air dengan tepat dirumuskan dalam ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian secara konstitusional landasan pengelolaan sumber daya air memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air. Oleh karena itu, meskipun negara mempunyai hak penguasaan atas air, namum karena air menyangkut aspek hak asasi, maka pengelolaan sumber daya air harus dilaksanakan secara transparan yaitu dengan mengikutsertakan peran masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini sangat sejalan dengan hasil analisis prioritas kebijakan dengan teknik AHP pada level kriteria kinerja yang menghendaki transparansi dan akuntabilitas sebagai prioritas paling tinggi. Berdasarkan hasil analisis MDS, pada dimensi kelembagaan menunjukan perlunya hubungan kerja yang baik antara satu instansi dengan instansi lainnya.sedangkan pada dimensi lingkungan masalah kekeringan menjadi isu utama. Hal ini menunjukan bahwa pada bagian hilir Sungai Citarum masih mengalami kekurangan air yang serius. Kondisi ini, sangat ironis karena DAS Citarum memiliki tiga waduk besar yang mestinya dapat melakukan pengaturan air secara optimal.hal-hal diatas menunjukan betapa pentingnya mekanisme dalam pelaksanaan koordinasi. Dimensi kebijakan yang menghasilkan leverage factor: perlunya sosialisasi peraturan yang ada, bahkan memperkuat mendesaknya tuntutan akan koordinasi. Oleh karena itu, sejalan dengan Undang-undang Nomor

21 131 7 Tahun 2004 makakonsep kebijakan dalam pengelolaan DAS Citarum perlu mempertimbangkan dibentuknya wadah koordinasi pada tingkat DAS yaitu dengan pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TK- PSDA). Sebagai wadah koordinasi TK-PSDA juga bertugas untuk merumuskan kebijakan operasional pengelolaan sumber daya air serta penyelesaian konflik terutama dalam pembagian alokasi air.keanggotaan TK PSDA jumlahnya seimbang antara pemerintah dan non pemerintah, sehingga diharapkan dapat mewakili aspirasi masyarakat. Selain prinsip-prinsip diatas, konsep kebijakan pengelolaan SDA tetap harus memperhatikan sifat universal air yang mensyaratkan perlunya menerapkan pandangan holistik air sebagai bagian dari ekosistem. Oleh karena itu konsep kebijakan perlu berpegang pada prinsip keterpaduan, terutama mengintegrasikan kepentingan hulu vs hilir (upstream vs downstream), kesimbangan air permukaan vs air tanah (surface water vs ground water) dan kuantitas vs kualitas air (quantity vs quality) Pemisahan fungsi publik dan fungsi ekonomi Berdasarkan hasil analisis AHP, model pengelola utama yang dipilih adalah model PJT. Sehingga PJT II perlu dikukuhkan sebagai pengelola utama (RBO). Namun demikian, secara finansial PJT II sangat berat untuk memikul tanggung jawab pengelolaan secara keseluruhan.sebagaimana hasil focus group discussion (FDG), ternyata di negara yang sudah majupun seperti Korea dan Jepang ternyata bantuan pemerintah tetap diperlukan dalam pengelolaan SDA. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa air memiliki nilai ekonomi, namun tetap berfungsi sosial. Oleh karena itu perlu ada pemisahan yang jelas antara fungsi publik dan fungsi ekonomi dalam pengelolaan SDA.Komponen publik harus tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan komponen ekonomi yang memiliki potensi pendapatan (revenue) dapat ditangani oleh RBO yang berbentuk korporasi, seperti PJT II. Namun demikian pengelolaan kedua komponen ini mutlak memerlukan keterpaduan (integrasi). Untuk lebih memastikan komponen apa saja yang dapat dikelola oleh PJT II sebagai RBO utama, maka dilakukan simulasi dengan beberapa skenario dalam pengaturan beban tanggung jawab PJT II yang berbeda (lihat Tabel

22 132 31).Pembagian ini didasarkan pada prinsip akuntabilitas yaitu keutuhan tanggung jawab pengelolaan pada suatu komponen yang meliputi operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi (OPR). Pemisahan tanggung jawab atas tiga kegiatan itu akan menjadi disinsentif bagi kinerja pengelolaan. Tabel 31 Skenario Pengelolaan Prasarana DAS Citarum Skenario Badan Sungai Waduk Prasarana Utama Irigasi S 0 OP OP O S 1 OPR OPR OPR OPR S 2 OPR OPR OPR S 3 OPR OPR Simulasi dilakukan dengan mengintervensi berbagai kebijakan terkait, guna mencapai model optimasi dengan fokus pada sub-model nilai ekonomi yang terkait dengan kinerja cost recovery PJT II. Penentuan kebijakan disusun dalam beberapa skenario (kondisi aktual dan tiga skenario) dengan mengintervensi pengelolaan biaya. Skenario satu (S1) dilakukan dengan membebankan seluruh pembiayaan OPRmenjadi tanggung jawab PJT II.Skenario dua (S2) dengan melanjutkan S1 ditambah dengan mengeluarkan OPR irigasi dari tanggung jawab PJT. Skenario tiga (S3) dengan melanjutkan S2 ditambah dengan mengeluarkan OPR badan sungai dari tanggung jawab PJT II. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 65. Gambar 65 Hasil simulasi cost recovery Perubahan signifikan bisa dicapai pada skenario tiga yang bisa memenuhi kebutuhan air sekitar tahun Secara umum, skenario tiga (S3) merupakan

23 133 skenario paling optimal dengan indeks pemenuhan kebutuhan air dan cost recovery terbesar. Skenario satu memiliki kinerja paling rendah, karena semua beban pembiayaan operasional ditanggung PJT.Hal ini bahkan menunjukkan kinerja yang tidak lebih baik dari kondisi aktual (S0). Skenario dua memiliki kinerja lebih baik dari skenario satu, perbedaannya hanya pada pengurangan beban biaya OPR irigasi. Skenario tiga merupakan skenario terbaik yang mampu mempertahankan cost recovery di atas satu sejak diberlakukan hingga akhir simulasi pada tahun 2040, sementara S0 sempat mencapai CR>1 dan menurun hingga di bawah satu pada tahun Sementara skenario lainnya (S1 dan S2) tidak pernah mencapai cost recovery lebih besar dari satu. Dengan demikian skenario tiga merupakan satu-satunya pilihan yang memberikan cost recovery diatas satu, artinya secara finansial PJT II sebagai koorporasi bisa tetap sehat bilamana cakupan tanggung jawabnya dibatasi pada pengelolaan waduk dan prasarana utama.selanjutnya komponen-komponen ini dianggap sebagai komponen fungsi ekonomi, sedangkan komponen sisanya dianggap merupakan komponen publik yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah Pembagian Kewenangan pemerintah pusat-daerah Meskipun DAS Citarum merupakan kewenangan pusat, namun konsep kebijakan perlu mempertimbangkan semangat otonomi daerah.pengelolaan komponen publik perlu dibagi atas strata pemerintah dengan memperhatikan keseimbangan beban tanggung jawab serta kapasitas pada instansi-instansi tersebut. Sesuai dengan prinsip akuntabilitas, maka dalam pengaturan tersebut peran pemerintah pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota haruslah jelas batas-batasnya sehingga terlihat siapa berbuat apa, demikian pula dunia usaha dan masyarakat juga harus jelas kewajiban dan haknya.namun demikian, prinsip dasar kewenangan yang melekat didalamnya dengan tanggung jawab, maka pemerintah pusat pada dasarnya bertanggung jawab atas seluruh pembebanan biaya komponen publik, termasuk pembangunan dan pengeloaan.pelimpahan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten dapat dilakukan dengan mekanisme tugas pembantuan (TP).

24 134 Pengaturan yang diusulkan dalam konsep kebijakan ini antara lain meliputi tanggung jawab pembangunan yang harus tetap menjadi beban Pemerintah Pusat, yang pelaksanaannya ditangani oleh BBWS. Pengelolaan irigasi yang merupakan fungsi publik, pengelolaannya bisa dilakukan secara tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten.namun demikian, sekiranya diperlukan dapat diatur masa transisi dimana pengelolaan irigasi dapat dilakukan melalui contract service dengan PJT II.Demikian juga dengan pengelolaan badan sungai.pada dasarnya badan sungai terutama terkait dengan pengendalian banjir, oleh karena itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (BBWS). Sementara itu, pemerintah propinsi Jawa Barat (Balai PSDA) dapat dilimpahi tanggung jawab atas pengelolaan sungai orde dua dan tiga.mekanisme pelaksanaannya dapat dilakukan melalui mekanisme tugas pembantuan dari BBWS ke Balai PSDA.Penanganan konservasi hulu tetap dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan melalui BPPAS bersama dengan pemerintah propinsi/kabupaten dan masyarakat. Memperhatikan pembagian tanggungjawab diatas, maka jelas bahwa meskipun DAS Citarum terletak pada wilayah sungai yang merupakan kewenangan pusat, namun pengembangan model harus mempertimbangkan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Pembagian kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dalam konsep kebijakan ini memiliki efektifitas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh instansi pada masing-masing strata pemerintah. Secara garis besar, pembagian kewenangan masing-masing strata pemerintahan dalam konsep kebijakan ini berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 32. Selanjutnya pengaturan pembagian tanggung jawab dalam fungsi operator secara menyeluruh dibagi habis sampai pada tingkat paling hilir sampai dengan pelibatan peran serta masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 33.

25 135 Tabel 32 Pembagian Kewenangan antar Strata Pemerintah Menurut Fungsi Fungsi Stakeholders Operator Regulator Developer PUBLIK EKONOMI PEMERINTAH PUSAT (BBWS) (BP-DAS) PEMERINTAH PROPINSI (BALAI PSDA) PEMERINTAH KABUPATEN (Dinas Terkait) KORPORASI ( PJT II) - Badan Sungai Utama (Main river) - Sungai orde 2 dan 3 (tugas pembantuan) - Jaringan Irigasi ha - Jaringan Irigasi < 1000 ha - Penetapan Ijin Alokasi Air - Penetapan Pola dan Rencana - Penetapan tarif: air baku, tenaga listrik, pollution fee dan BJ- PSDA lainnya - Ijin galian golongan C (di badan sungai) - Penetapan Rencana Tanam - Penetapan RTRW Propinsi - Ijin pengambilan air tanah - Pembangunan prasarana pada sungai utama - Reboisasi kawasan hulu - Pembangunan prasarana pada sungai orde 2 dan 3 (tugas pembantuan) - Reboisasi Kawasan Hulu - TP-OP jaringan irigasi > 3000 ha - Waduk - CSR: Reboisasi Kawasan Hulu - Prasarana utama pembagi alokasi air

26 136 Tabel 33 Pengaturan tanggungjawab pengelolaan SDA pada DAS Citarum

27 Aplikasi Model Kebijakan Memperhatikan hal-hal diatas, dapat dipahami bahwa dalam operasionalisasinya ada tiga pilar penting yang sangat mempengaruhi kinerja pengelolaan SDA, yaitu: (i) tata kelola SDA (water Governance), (ii) kapasitas kelembagaan, (iii) sistem pembiayaan investasi dan operasi pemeliharaan. Water Governance yang efektif mencakup rangkaian sistem hukum, politik,sosial dan administratif yang disusun dalam rangka mengembangkan dan mengelola SDA agar dapat berkelanjutan. Sebagaimana diuraikan pada butir 6.3, model kebijakan yang diusulkan ini menegaskan penerapan konsep corporate sebagai RBO utama.dalam perkembangannya tanggung jawab PJT II (corporate) pada pengelolaan SDA dapat meningkat sejalan dengan tumbuhnya kemampuan finansial. Oleh karena itu dalam masa transisi perlu didukung oleh kondisi water govermance yang kondusif serta terjaminnya dana pemerintah untuk penyelenggaraan komponen publik.di tingkatwilayah sungai, water governance berarti mempraktekkan pengelolaan sumber daya air terpadu dengan keterpaduan antar sektor dan antar daerah serta partisipasi publik dan pemberdayaan komunitas sebagai faktor-faktor keberhasilan kritikal. Penerapan tiga pilar utama diatas, pada DAS Citarum dirumuskan dalam tiga model yaitu model kelembagaan, model manajemen dan model pendanaan Model Kelembagaan Model kelembagaan harus mengatur dengan jelas peran dan fungsi instansi yang ada serta bagaimana mekanisme koordinasinya, kerjasama dan kewenangan masing-masing instansi dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip dasar model kelembagaan yang diusulkan adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu pembagian fungsi yang jelas dan terpisah antara koordinator, regulator, developer, operator dan user. Pembagian fungsi ini harus terinci pada setiap strata wilayah kewenangan yang dibagi dalam tingkat nasional, antar wilayah sungai, tingkat propinsi, tingkat daerah aliran sungai dan tingkat kabupaten.dengan demikian, ruang lingkup kewenangan masing-masing instansi serta bagaimana satu instansi dan instansi lainya saling berhubungan baik secara struktural atau koordinasi, serta jalus pembinaan menjadi jelas.keterkaitan antara masing-masing fungsi dari kelembagaan yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 66.

28 138 REGULATOR Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas DEVELOPER Proyek Pemerintah, Investasi Swasta WADAH KOORDINASI OPERATOR BPDAS, PJT, BPSDA USER/PUBLIC Pertanian, Perkotaan, Energi, Industri, Perkebunan, Pakar, LSM Gambar 66 Kerangka Interaksi Kelembagaan Pengelola SDA Berdasarkan tanggung jawab masing-masing institusi sebagaimana diuraikan pada butir 6.3, secara visual dapat dilihat posisi masing-masing instansi serta bagaimana hubungan satu instansi dengan instansi lainnya baik secara struktural, koordinasi maupun jalur pembinaan diilustrasikan pada Gambar 67. Fungsi Koordinasi Dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum yang bersifat multi institusi serta latar belakang yang sarat dengan konfik kepentingan, maka fungsi koordinasi ini berperan sangat penting dan merupakan conditio sine qua non untuk pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.melengkapi Dewan Sumberdaya air Nasional dan TK-PSDA 6 Cis yang sudah terbentuk, diusulkan pembentukan TK-PSDA DAS Citarum.Institusi ini secara struktural berada langsung dibawah Dewan SDA-Nas, sedangkan dengan Dewan SDA-Prov memiliki hubungan pembinaan. Fungsi Regulasi Pada tingkat nasional terdapat beberapa kementerian yang berwenang dalam menetapkan kebijakan dan peraturan pelaksanaannya antara lain Kementerian Pekerjaan Umum, Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Sebagai kepanjangan tangan Pemerintah pusat pada wilayah sungai, BBWS Citarum memiliki peran utama dalam menjalankan fungsiregulator. Beberapa hal penting terkait dengan fungsi ini antara lain perijinan alokasi air, penetapan pola dan rencana pengelolaan SDA dan pengaturan rencana tanam. Lembaga regulator yang berada di tingkat propinsi yaitu Dinas PSDA Propinsi, sedangkan untuk

29 139 tingkat Kabupaten adalah Dinas yang membidangi sumber daya air di Kabupaten/Kota. Penegakan hukum untuk menjamin terlaksananya peraturan yang telah ditetapkan dilakukan oleh Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota terkait dengan pengendalian pencemaran, penertiban sempadan, penertiban penambangan pasir liar, dan lain-lain.dalam hal ini, PJT II memberikan dukungan berupa back up data serta membantu sosialisasi peraturandan penegakan hukum. Fungsi Developer (Planning) Pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab Pemerintah (cq. Kementerian Pekerjaan Umum). Dalam pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan oleh BBWS berdasarkan pola dan rencana pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan oleh menteri berdasarkan rekomendasi teknis dari TK PSDA. Dalam tingkat Kabupaten/Kota, dinas yang membidangi sumber daya air di Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas pembangunan irigasi baru sesuai dengan kewenangannya. Dalam melaksanakan Public Private Partnership (PPP) dibidang pengembangan SDA untuk pengusahaan, PJT II mempunyai peran strategis yaitu menjadi katalisator dan wakil Pemerintah dalam kerjasama Pemerintah dengan swasta melalui hubungan Business to Business (B to B). Dalam hal rencana bisnis layak secara ekonomis namun tidak layak secara finansial, maka government sharedapat diperhitungkan sebagai penyertaan modal pemerintah (PMP) sehingga PJT II menjadi majority shareholders. Fungsi Operator PJT II sebagai korporasi profesional merupakan operator utama yang bertanggung jawab atas pengelolaan waduk Jatiluhur, prasarana utama serta pengendalian kualitas air. Untuk menjamin keterpaduan operasi kaskade tiga waduk, maka waduk Saguling dan waduk Cirata diusulkan agar dikelola oleh unit baru yaitu operation center citarum (OCC). Pengendalian OCC ini dilakukan oleh PJT II dengan koordinasi dengan PLN. Pengelolaan irigasi di tangani melalui tugas pembantuan kepada dinas Kabupaten, namun untuk tahap transisi pelaksanaannya bisa dilakukan oleh PJT II melalui service contract. BBWS juga bertanggung jawab untuk mengelola badan sungai utama. Balai PSDA bertanggung jawab atas pengelolaan sungai orde 2 dan 3 melalui mekanisme tugas pembantuan dari BBWS, BP-DAS bertanggung jawab mengelola konservasi kawasan hulu.

30 140 Gambar 67 Model kelembagaan

31 141 Fungsi User Berbagai institusi yang berfungsi sebagai user antara lain kementerian Pertanian, BUMN di tingkat pusat, sedangkan pada tingkat DAS user utama antara lain PLN, PDAM, industri dan Petani/P3A. User tersebut berhak memperoleh pelayanan yang baik dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.selain haknya tersebut, user diharapkan dapat menggunakan air secara efisien dan ikut menjaga kelestarian lingkungan,userwajib memberi kontribusi pembiayaan baik langsung maupun tak langsung, kecuali pertanian rakyat dan pemakaian air untuk keperluan hidup sehari-hari. User juga wajib memberi kontrol sosial yang positif atas pengelolaan SDA Model Manajemen Model manajemen berkaitan dengan perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan yang diusulkan dalam konsep kebijakan ini dapat dilihat pada Gambar 68. Pola dan Rencana Pengembangan DAS Dalam tingkat perencanaan, pemerintah pusat melalui kementerian Pekerjaan Umum merumuskan rencana tata ruang wilayah nasional yang selanjutnya menjadi dasar dalam penyusunan RTRW Propinsi.Sejalan dengan itu Kementerian PU menyusun rencana kerja pemerintah (RKP) sebagai dasar penyusunan program pembangunan.kegiatan ini menjadi tanggung jawab BBWS. Berdasarkan RTRW Propinsi dan RKP tersebut, BBWS menyusun konsep pola dan rencana DAS yang disampaikan ke TK PSDA untuk dapat dibahas oleh seluruh anggota TK PSDA. Pola-rencana DAS dan RTRW harus sinkron agar dapat: i) menghasilkan koefisien run-offyang minimal dan ii) memenuhi proyeksi kebutuhan air baku untuk berbagai rencana pengembangan wilayah kedepan. Selanjutnya setelah dibahas di TK PSDA, rencana tersebut diusulkan ke Menteri PU untuk ditetapkan.atas dasar pola dan rencana yang telah diputuskan oleh Menteri PU tersebut maka BBWS dapat melaksanakan pembangunan konstruksi infrastruktur, serta menjadi pedoman bagi PJT II untuk melakukan pengoperasian tugasnya sebagai operator. Setelah melaksanakan pembangunan prasarana, BBWS menyerahkan aset tersebut ke PJT II untuk dioperasikan.

32 142 Gambar 68 Model Manajemen

33 143 Operation Center kaskade tiga waduk Mempertimbangkan adanya tiga buah waduk seri yang pengelolaannya oleh instansi yang berbeda maka diusulkan untuk dibentuk pusat pengoperasian tiga waduk dibawah pengelolaan PJT II. Pusat operasi tiga waduk ini akan melakukan pengelolaan untuk mengintegrasikan dan mengsinkronkan pengoperasian Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Pelaksanaan pengelolaan pembangkitan listrik tenaga air dan pendistribusiannya tetap oleh PLN yang dalam hal ini dilakukan oleh Indonesia Power dan PJB. Pada kondisi ekstrim, OCC mempunyai wewenang untuk mengambil langkah-langkah pengamanan terhadap bencana yang mungkin terjadi. Alokasi Air Pada dasarnya perijinan merupakan kewenangan pemerintah cq. Menteri Pekerjaan Umum (PU). Berdasarkan pola dan rencana yang telah ditetapkan, user dapat mengajukan usulan alokasi air kepada BBWS. Kemudian setelah dianalisis kesesuaian dan ketersediaan air, BBWS mengajukan rekomendasi teknis ke kementerian PU. Setelah mempertimbangkan dan mendiskusikannya maka menteri PU menetapkan ijin alokasi air yang selanjutnya disampaikan ke PJT II untuk dapat dilaksanakan. Pelaksanaan distribusi air oleh PJT II harus efisien dengan mengadopsi teknologi yang berkembang. Hal ini penting untuk menekan operation loss yang selama ini dinilai masih tinggi. Rencana Tanam Tahunan Di dalam pelaksanaan OP irigasi, petani/p 3 A mengajukan rencana tanam tahunan melalui dinas kabupaten terkait yang selanjutnya diusulkan ke Gubernur melalui dinas propinsi. Setelah ditetapkan eloh Gubernur melalui koordinasi oleh TK- PSDA kemudian disampaikan ke PJT II untuk dilaksanakan. Untuk meningkatkan efisiensi pemakaian air untuk tanaman, rencana tanam harus sudah memasukan pembagian golongan, jenis tanaman serta sejauh dimungkinkan termasuk pola budi dayanya, khususnya budi daya hemat air. Konservasi Hulu Kegiatan konservasi hulu ini sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sumber air. Pelaksanaan konservasi di hulu pada dasarnya merupakan kewajiban

INDONESIA WATER LEARNING WEEK WATER SECURITY FOR INDONESIA WATER ENERGY ENERGY FOOD NEXUS INSTITUTIONAL ASPECTS OF WRM

INDONESIA WATER LEARNING WEEK WATER SECURITY FOR INDONESIA WATER ENERGY ENERGY FOOD NEXUS INSTITUTIONAL ASPECTS OF WRM INDONESIA WATER LEARNING WEEK WATER SECURITY FOR INDONESIA WATER ENERGY ENERGY FOOD NEXUS INSTITUTIONAL ASPECTS OF WRM MASALAH KELEMBAGAAN Tingkat DAS Tingkat Pusat Dewan SDA Nasional Presiden Kem. PU

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 55 III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara dengan ketersediaan air yang cukup, namun secara alamiah Indonesia menghadapi krisis dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik bagi

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik bagi BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan Perum Jasa Tirta II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

-1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI

-1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI -1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN KABUPATEN BANYUWANGI \ DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I SUMBER DAYA AIR. Air Minum. Penyediaan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 345 Tahun 2015) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PEMUTAKHIRAN SSK LAMPUNG TIMUR Tahun 2016

PEMUTAKHIRAN SSK LAMPUNG TIMUR Tahun 2016 Created on 10/3/2016 at 9:8:38 Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Untuk memenuhi target pembangunan sektor sanitasi, yang meliputi pengelolaan air limbah domestik, pengelolaan persampahan, dan

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air permukaan mempunyai peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG POLA INDUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Simulasi Dan Analisis Kebijakan Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PASAR KOTA MADIUN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PASAR KOTA MADIUN BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PASAR KOTA MADIUN I. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN DINAS PASAR KOTA MADIUN Isu-isu strategis berdasarkan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii

Lebih terperinci

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG Abstrak Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat menyebabkan kebutuhan infrastruktur juga meningkat. Perkiraan pemerintah pada 5 (lima) tahun yaitu pada tahun 2010-2014

Lebih terperinci

Konsep Kebijakan Tata Air Sebagai Jasa Lingkungan

Konsep Kebijakan Tata Air Sebagai Jasa Lingkungan KONSEP TATA AIR SEBAGAI JASA LINGKUNGAN Oleh : Dra. Sylviani Isu Kawasan Lindung Sebagai Penyedia Air Peningkatan kebutuhan air baik untuk publik, dunia usaha Banyak para pihak yg terlibat : pengelola

Lebih terperinci

[LAPORAN SIDANG PLENO KESATU TKPSDA WS BELAWAN ULAR PADANG] 2016 KATA PENGANTAR

[LAPORAN SIDANG PLENO KESATU TKPSDA WS BELAWAN ULAR PADANG] 2016 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Laporan Sidang Pleno Kesatu Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) Wilayah Sungai Belawan Ular - Padang ini disusun sebagai bentuk realisasi fasilitasi kegiatan Sidang Kesatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. KEBIJAKAN PERIZINAN BIDANG SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 85/PUU-XI/2013 ATAS UJI MATERI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (Bagian 1) Oleh: R.D Ambarwati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Irigasi Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian dengan makanan pokoknya bersumber dari beras, sagu, serta ubi hasil pertanian.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem sesuai dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem sesuai dengan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metoda System Dynamics yaitu sebuah simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem

Lebih terperinci

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT

SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

Strategi dan Kebijakan Provinsi Maluku Untuk Mencapai Target Penurunan Emisi:

Strategi dan Kebijakan Provinsi Maluku Untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Strategi dan Kebijakan Provinsi Maluku Untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Bappeda Provinsi Maluku Background KOMITMEN PEMERINTAH PUSAT PENURUNAN

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR Ir. Saroni Soegiarto, ME Kasubdit Pemanfaatan SDA Makassar, 23 Maret 2016 Subdit Pemanfaatan SDA Direktorat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN 5.. Rencana Program dan Kegiatan Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan Rencana Kerja (Renja) merupakan bagian dari Rencana Strategis dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres VIII MKTI Di Palembang 5-7 November 2013 Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Permasalahan Pengelolaan SDA Sampah Pencemaran Banjir Kependudukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI Tanggal : 26 Nopember 2010 Nomor : 6 Tahun 2010 Tentang : TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN

Lebih terperinci

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2007-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan irigasi merupakan salah satu faktor pendukung bagi

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN ALOKASI AIR BAB I PENDAHULUAN Dengan semakin berkembangnya seluruh aspek kehidupan sebagai dampak meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUIBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal 43 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa agar kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bentuk common pool resources

Lebih terperinci

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA)

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA) Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA) Oleh : Benny Gunawan Ardiansyah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal 1. Pendahuluan Pasal 33 Undang- undang Dasar 1945

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl.

TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl. TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl. HE 1 A. KONDISI KETAHANAN AIR DI SULAWESI Pulau Sulawesi memiliki luas

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci