pada tanggal 12 Juli 2014

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "pada tanggal 12 Juli 2014"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Disahkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 diharapkan akan sedikit menguntungkan Indonesia. Pasalnya, sebelum UU ini disahkan yang menjadi acuan dalam pertambangan adalah Kontrak Karya yang dinilai oleh banyak pihak sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) sementara Indonesia banyak dirugikan. Kerugian itu terjadi karena bagi hasil (dividen) dan royalti yang sangat tidak adil. Royalti yang didapatkan Indonesia hanya 1% 1 dari jumlah penjualan bersih perusahaan tambang 2. Selain itu, beberapa poin lainnya juga dinilai sangat pro MNCs 3. Padahal sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang sangat strategis bagi perekonomian Indonesia 4. Untuk itu, penulis sangat menyayangkan jika sampai sekarang sektor ini masih saja dikendalikan oleh MNCs bukan oleh pemerintah Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam. Salah satu amanat Undang-Undang Minerba tersebut pada intinya adalah mulai 12 Januari 2014 perusahaan tambang (asing dan domestik) wajib mengolah dan memurnikan mineral mentah hasil tambangnya dalam negeri sebelum melakukan ekspor ke luar negeri. Artinya sejak awal tahun ini, tidak boleh lagi ada kegiatan penjualan mineral mentah langsung. Hal ini dinyatakan dalam pasal 103 dan 170 UU Minerba 5 yang kembali dipertegas dalam PP No.23/2010 dan Permen ESDM No.7/2012. Namun, kedua peraturan tersebut beberapa kali 1 Royalti Pertambangan Rendah dan Birokrasi yang Lemah. Diakses dari pada tanggal 12 Juli Bandingkan dengan royalti MNCs di negara-negara lain, Australia; 3%-8%, Afrika; 3%-12%, Amerika latin; 3%-7% dalam James Otto, et.al Mining Royalties : A Global Study of Their Impact on Investors, Government and Civil Society. Washington DC: The World Bank. Hal Amien Rais Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta:PPSK Press. Hal Tahun 2011 sektor pertambangan menyumbang 94,7 triliun bagi pendapatan negara; 70,5 triliun dari pajak dan 24,2 triliun bukan pajak (Kementerian ESDM) 5 Untuk lebih jelasnya lihat Blueprint UU Minerba 17

2 direvisi oleh pemerintah. 6 Klausul yang melarang ekspor langsung material mentah diubah sedemikian rupa sehingga pada intinya memberikan kelonggaran kepada perusahaan tambang tertentu untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat (belum dimurnikan). 7 Implikasi dari tindakan pelonggaran ekspor mineral tersebut adalah pemerintah kelabakan mengeluarkan sejumlah regulasi penyesuaian yang sebenarnya kontraproduktif dengan UU Minerba itu sendiri. Hal yang cukup menuai kontroversi dari sejumlah kalangan adalah pemberian izin melalui Surat Persetujuan Ekspor (SPE) oleh Kementerian Perdagangan kepada tiga perusahaan tambang untuk mengekspor mineral ke luar negeri setelah menyetor sejumlah uang sebagai jaminan pembangunan smelter. Ketiga perusahaan tambang itu adalah PT. Freeport, PT. Silo dan PT. Lumbung Mineral Sentosa 8. Masing-masing perusahaan ini menyetor US $ 115 juta 9, US $ 12 juta dan US $ Dengan dikeluarkannya sejumlah regulasi penyesuaian termasuk SPE yang dinilai bertentangan dengan UU Minerba tersebut, penulis berasumsi bahwa; Pertama pemerintah Indonesia telah inkonsisten dalam mengimplementasikan amanat UU Minerba. Kedua, PT. Freeport sepertinya sering mendapat privilege dari pemerintah Indonesia. Demi fokusnya penelitian ini menjadi alasan penulis memilih PT. Freeport 11 sebagai objek penelitian. 6 Hal ini terbukti dengan diterbitkannya PP No. 24/2012 yang direvisi dengan PP No.1/2014 dan Permen ESDM No. 11/2012 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 20/2013, direvisi lagi dengan Permen ESDM No.1/ Sekedar menjadi pembanding, di sektor kehutanan, pemerintah tetap bersikukuh atau konsisten melarang ekspor langsung kayu gelondongan (Wiji Nurhayat. Tanggapi Pengusaha, Wamendag Keberatan Ekspor Kayu Gelondongan Dibuka. Diakses dari pada tanggal 1 September 2014) 8 Rangga Prakoso. SILO dan Lumbung Energi Sedikit Lagi Mendapatkan Izin Ekspor. Diakses dari pada tanggal 2 Juli Rangga Prakoso. Lengkapi Syarat, Freeport Bayarkan Jaminan Kesungguhan US$ 115 Juta. Diakses dari pada tanggal 1 Juli Pemerintah Telah Terbitkan Rekomendasi SPE Untuk Silo dan Lumbung Mineral. Diakses dari pada tanggal 20 Juni PT. Freeport Indonesia dalam bahasan ini selanjutnya disebut Freeport sedangkan Freeport McMoran Copper and Gold selaku induk Freeport disebut Freeport McMoran. 18

3 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, muncul sebuah pertanyaan yang perlu dielaborasi lebih lanjut, yakni ; Mengapa Pemerintah Indonesia tidak konsisten mengimplementasikan UU Minerba No.4 Tahun 2009 dengan memberikan Surat Persetujuan Ekspor kepada Freeport? 1.3 STUDI LITERATUR Setelah melakukan studi literatur terkait topik yang dibahas dalam tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa ada 3 tema penting yang relevan dan perlu dibahas demi pemahaman yang mendalam terhadap kasus ini. Pertama, perdebatan tentang peran dan arti perusahaan multinasional bagi negara penerima. Kedua, sumber daya alam sebagai sumber berkah atau membawa kutukan. Ketiga, nasionalisme sumber daya. Dari ketiga tema penting tersebut, sebenarnya sudah terlihat solusi terhadap permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang khususnya Indonesia dalam mengatur operasi MNCs agar tidak merugikan. Lebih lengkapnya seperti uraian berikut. a. Perdebatan tentang Peran dan Arti Penting Perusahaan Multinasional (MNC) bagi Negara Penerima (Host Country) Relasi antara perusahaan multinasional dengan negara penerima sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan besar, khususnya di kalangan ekonom. Hal ini berangkat dari fakta bahwa MNCs berkontribusi cukup signifikan bagi kemajuan perekonomian negara host countries. Namun, tidak sedikit juga fakta yang menunjukkan bahwa keberadaan MNCs malah banyak menimbulkan kerugian bagi host countries khususnya di negara Dunia Ketiga. Di samping itu, ada juga fakta lain bahwa MNCs dan host countries mendapat keuntungan yang setara. Pihak yang beranggapan bahwa kehadiran MNCs merugikan host countries dikategorikan ke dalam pihak yang kontra terhadap MNCs atau disebut juga Kelompok Marxist. Salah satu bagian dari Kelompok Marxist adalah Neoimperialis. Golongan ini berpendapat bahwa kehadiran MNCs di negara-negara 19

4 Dunia Ketiga tidak lain merupakan penjajahan bentuk baru dari negara-negara maju. Di dalamnya akan terjadi hubungan dependensia dimana negara Dunia Ketiga akan selalu bergantung kepada negara-negara maju sebagai pemilik MNCs (home countries) misalnya dalam hal modal (pinjaman), ilmu pengetahuan dan teknologi. Tokoh-tokoh Neo-imperialis seperti Baran, Sweezy, Magdoff, Girvan, Sunkel, dan Frank. 12 Untuk itu, sejalan dengan pihak yang kontra MNCs ini, sebagian orang tidak menyukai MNCs, khususnya MNCs asal Amerika karena dipandang sebagai lembaga yang berusaha mendominasi dunia. Sejak tahun an dan 1970-an sikap apatis sebagian orang terhadap perusahaan multinasional telah terjadi. 13 Sedangkan pihak yang beranggapan bahwa kehadiran MNCs menguntungkan host countries dikategorikan ke dalam pihak yang pro MNCs atau dikenal dengan sebutan Kelompok Non-Marxist. Salah satu bagian dari Kelompok Non-Marxist adalah Neo-klasik. Golongan ini pada umumnya mendukung keberadaan MNCs tetapi sumber ilmiah lain juga menyatakan bahwa sebagian dari kelompok tersebut ada yang kontra dengan MNCs. Menurut Gilpin terdapat kelompok ekonomi mainstream yang intinya sepakat tentang peran MNCs dalam menyumbang pendapatan negara, tetapi ketika difungsikan secara global, perusahaan multinasional pasti akan mengorbankan suatu wilayah ekonomi tertentu. Oleh karena itu, kesepakatan mereka mengenai MNCs hanya terbatas pada domain aktivitas di suatu negara. 14 Tokoh-tokoh aliran Neo-klasik seperti Reuber, Meier, Vermon, Rugman, dan Balasubramanyam. 15 Sementara yang beranggapan bahwa MNCs dan host countries sama-sama mendapatkan keuntungan terdiri dari para ekonom bisnis (business economist). 16 Kelompok ini berkeyakinan bahwa terus berkembangnya MNCs akan berkorelasi 12 Ibid 13 Paul De Grauwe and Filip Camerman. How Big Are The Big Multinational Companies?. Diakses dalam anies.pdf, pada tanggal 5 Juni Robert Gilpin Global Political Economy : Understanding the International Economic Order. Princeton University Press. New Jersey. Hal Dalam Ahmad Erani Yustika Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal Rhys Jenkins Theoretical Perspectives on the Transnational Corporations. Hal Dalam Ahmad Erani Yustika Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal Robert Gilpin. Hal.281. Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal

5 setara. 17 Namun, ada hal yang menarik dari kedua kelompok aliran tersebut. positif dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat host countries. Hal itu bisa terjadi karena kehadiran MNCs membuka lapangan pekerjaan dan juga MNCs merupakan salah satu sumber pendapatan bagi host countries melalui royalti dan dividen. Sementara MNCs mendapat keuntungan dari proses produksinya lewat pendapatan (net income). Pada titik inilah mereka percaya kedua belah pihak (MNCs dan host countries) mendapatkan keuntungan yang Jenkins mengemukakan bahwa terdapat kelompok yang menamakan dirinya Kelompok Marxist namun sepakat dengan konsep MNCs. Kelompok ini dinamakan Neo-fundamentalis. 18 Akan tetapi, keyakinan penganut aliran ini hanya terbatas pada MNCs yang melakukan investasi langsung dengan segmen usaha yang sebelumnya tidak ada. Mereka beranggapan bahwa investasi asing langsung oleh MNCs tidak menggusur sektor usaha yang sebelumnya telah mapan. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan bahwa negara Dunia Ketiga mendapatkan banyak manfaat dari terjadinya aktivitas MNCs karena dapat menstimulus aktivitas ekonomi riil lainnya dan juga memunculkan setoran pajak baru. Singkatnya, potensi yang sebelumnya tidak tergali dapat terwujud ketika MNCs diberikan kesempatan menjalankan aktivitasnya di negara berkembang. Tokohtokoh aliran Neo-fundamentalis seperti Warren, Emmanuel, dan Schiffer. 19 Di sisi lain, ada juga yang menamakan dirinya Kelompok Non-Marxist tetapi menentang eksistensi MNCs. Golongan ini bernama Global Reach. 20 Mereka menentang MNCs karena perusahaan lintas negara tersebut sangat erat dengan investasi asing yang merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi menjadikan pasar yang oligopolistik. Caranya dengan mengakuisisi perusahaan asing sejenis yang ada di negara-negara miskin atau dengan melakukan greenfield investment yang perlahan tapi pasti akan mendominasi pasar di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, dalam pandangan kelompok ekonom tersebut, menerima konsep MNCs sama saja melegitimasi sistem pasar oligopolistik yang 17 Ibid 18 Rhys Jenkins. Hal Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal Ibid 20 Rhys Jenkins. Hal Dalam Ahmad Erani Yustika. Hal

6 secara langsung atau tidak langsung merugikan para konsumen. Tokoh-tokoh Global Reach seperti Barnet, Muller, Streeten, Lall, Vaitsos, Helleiner, serta Newfarmer. 21 Secara singkat perspektif tentang perusahaan multinasional dapat dilihat dalam tabel seperti di bawah ini; Tabel 1.1: Perspektif Perusahaan Multinasional Aliran Pemikiran Pro-MNCs Kontra-MNCs Marxist Non-Marxist Neo-fundamentalis (Warren, Emmanuel dan Schiffer) Neo-klasik (Reuber, Meier, Vermon, Rugman dan Balasubramanyam) Neo-imperialis (Baran,Sweezy, Magdoff, Girvan, Sunkel dan Frank) Global Reach (Barnet, Muller, Streeten, Lall, Vaitsos, Helleiner serta Newfarmer) Sumber : Jenkins, 2003:416 dalam Ahmad Erani Yustika. Hal.86 b. Sumber Daya Alam sebagai Sumber Berkah atau Membawa Kutukan (Natural Resources as Resource of Blessing or Curse)? Pada umumnya, MNCs dalam ekspansinya ke negara-negara berkembang sebagian besar bertujuan untuk mencari sumber daya alam (resourcse-seeking). Namun, tidak sedikit juga yang bertujuan untuk mencari pasar (market-seeking) dan untuk tujuan efisiensi produksi (efficiency-seeking) karena upah buruh yang rendah di negara berkembang. Berbicara mengenai sumber daya alam (SDA) bagi suatu negara selaku pemilik, ada dua cara pandang atas hal ini. Sebagian besar orang meyakini SDA sebagai sumber berkah (membawa kemakmuran) namun tidak sedikit juga yang menganalogikannya sebagai sumber kutukan (curse). Pada hakekatnya SDA bisa menjadi berkah jika dikelola dengan baik oleh negara yang bersangkutan (beserta perusahaan-perusahaan multinasional selaku operatorship) dan difungsikan untuk kemajuan bangsa khususnya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, di negara-negara berkembang yang berlimpah 21 Ibid 22

7 SDA seperti minyak, gas, mineral dan non mineral lainnya, SDA lebih menjadi kutukan daripada menjadi berkah. Hal ini bisa terjadi karena pada tataran pengelolaan terjadi kesalahan khususnya dalam hal regulasi 22. Akibat dari kesalahan ini muncullah beberapa istilah seperti resource curse hypothesis 23 dan paradox of plenty. 24 Resource curse merujuk kepada kelimpahan SDA suatu negara namun SDA tersebut malah menjerumuskan negara pemiliknya ke dalam jurang kemiskinan sehingga dianalogikan sebagai sebuah kutukan. Artinya, terjadi paradoksal antara SDA yang melimpah dengan terjadinya kemelaratan di dalam tubuh bangsa yang bersangkutan. Itulah yang disebut paradox of plenty. Paradox of plenty terjadi karena dua alasan, yakni; Pertama, biasanya negara yang dikarunia SDA, pemerintahnya terlambat memulai proses industrialisasi. Padahal industrialisasi dalam pengertian yang betul akan menyelamatkan suatu bangsa dalam dua hal, yaitu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah dari barang atau jasa yang dihasilkan. Jadi, SDA tersebut tidak dijual dalam bentuk mentah tetapi diolah terlebih dahulu sehingga menghasilkan kualitas produk yang lebih baik dan mahal dan kedua adalah mengurangi eksploitasi SDA karena konsentrasi industrialisasi bukanlah mengeksploitasi melainkan mengolah. Proses inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Australia dan Selandia Baru. Sebaliknya, langkah itu tidak (belum) diikuti oleh negara-negara berkembang yang memiliki potensi SDA jauh lebih melimpah, seperti Indonesia. Kedua, pemerintah suatu negara yang kaya SDA cenderung terjerumus dalam formulasi kebijakan yang buruk (bad policies). Kebijakan yang tidak berkualitas itu bersumber dari realitas bahwa kekayaan alam dengan mudah bisa diperoleh dengan jalan menguras SDA. Akhirnya, kebijakan ekonomi yang diproduksi fokus pada eksploitasi SDA untuk dijual, baik dalam pasar domestik 22 Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal Frasa resource curse pertama kali diperkenalkan oleh Richard M.Auty dalam Sustaining Development in Mineral Economies : The Resource Curse Thesis (London and New York: Routledge, 1993) seperti disebutkan dalam Stiglitz Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. W.W.Norton & Company, Inc. New York, hal Terry Lynn Karl The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-States, Studies in International Political Economy 26 (Barkeley: University of California Press,) seperti disebutkan dalam Stiglitz Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. W.W.Norton & Company, Inc. New York, hal

8 maupun internasional, tanpa memperhitungkan kelayakan daya dukung lingkungan. Atas hal ini, Stiglitz menegaskan bahwa kutukan kekayaan alam itu sesungguhnya bukanlah sebuah takdir, melainkan sebuah pilihan 25. Dengan kekayaan alamnya yang melimpah, negara berkembang seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Artinya bahwa semua kembali kepada negara pemilik SDA itu sendiri, dalam hal ini pemerintah untuk memperjuangkan kepentingannya melalui regulasi investasi yang tegas dan cepat. MNCs hanya mengetahui bahwa mereka membutuhkan SDA dari negara-negara berkembang dan tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat host countries. Untuk itu, Stiglitz menyatakan bahwa kutukan sumber daya alam harus dihilangkan dari negara-negara berkembang. Sumber daya alam yang melimpah itu harus diubah sesuai dengan hakekatnya yakni sebuah berkah 26. c. Nasionalisme Sumber Daya (Resource Nationalism) Entah baru sadar dengan pembagian hasil pengelolaan SDA yang tidak proporsional dengan hasil yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional selama ini, beberapa tahun belakangan terjadi sebuah fenomena menarik di negara-negara penerima. Fenomena itu dikenal dengan nama nasionalisme sumber daya (resource nationalism). Hal ini telah dibuktikan oleh kajian Ernst & Young bahwa nasionalisme sumber daya di negara-negara penerima cenderung meningkat beberapa tahun belakangan ini. Hal ini paling dikhawatirkan oleh para pelaku usaha tambang internasional khususnya di tahun karena akan menjadi resiko bagi usaha pertambangannya. 27 Menurut Hill, secara prinsip resource nationalism adalah upaya atau metode yang dilakukan oleh suatu negara untuk mendapatkan kendali lebih atas SDA yang dimiliki serta mendapatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumber 25 Joseph Stiglitz Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. New York: W.W. Norton & Company, Inc. Hal Ibid Hal Ernst & Young Business Risks Facing Mining and Metals Diakses dari , pada tanggal 27 Juni

9 daya-nya. 28 Ada dua hal krusial dari prinsip ini yakni kendali dan manfaat ekonomi. Masih berdasarkan kajian Ernst & Young, setidaknya ada tiga tren utama resource nationalism yang mengemuka beberapa tahun belakangan ini, yaitu; 1. Meningkatkan Royalti dan atau Pajak Tambang. Hal ini telah dilakukan oleh Australia pada tahun Australia sebagai negara dengan tradisi tambang yang kuat membuat kejutan dengan mengumumkan aturan baru mengenai pajak tambang. Hal ini mendorong banyak negara eksportir komoditas tambang turut meningkatkan pendapatannya dari sektor pertambangan. 2. Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah (Added Value) dan atau Pembatasan Ekspor. Hal ini telah terjadi di negara-negara seperti Zimbabwe, Brasil dan Vietnam sebagai negara eksportir komoditas tambang. Negara negara ini mengimplementasikan kebijakan peningkatan nilai tambah dengan menerapkan pembatasan jumlah ekspor atas bahan mentah komoditas tambangnya. Merujuk ke amanat UU Minerba, kebijakan ini pula yang seharusnya diterapkan Indonesia lewat proses pemurnian mineral mentah sebelum diekspor. Namun dalam realitasnya, ketersediaan smelter yang belum memadai menyebabkan proses pemurnian belum juga terlaksana. 3. Upaya Mempertahankan Kepemilikan Negara (Nasional) atas Sumber Daya yang Dimiliki. Hal ini lebih spesifik ke soal divestasi saham. Hal ini telah diterapkan oleh Mongolia pada tahun 2012 dengan membatasi kepemilikan saham asing pada perusahaan pengelola SDA-nya hingga 49% 29. Di waktu yang bersamaan (tahun 2012), hal serupa juga dilakukan oleh Indonesia. Melalui instrumen PP No.24/2012, Indonesia mewajibkan perusahaan tambang asing untuk melakukan divestasi saham sebesar 51%. Namun, dalam hasil renegosiasinya, 28 Hill et al., Resource Nationalism : A Return to the Bad Old Days?. Diakses dari _A_Return_to_the_Bad_Old_Days.pdf, pada tanggal 27 Juni Ibid 25

10 perusahaan tambang khususnya Freeport hanya bersedia mendivestasikan sahamnya sebanyak 30% 30. Selain menaikkan pajak dan royalti, meningkatkan nilai tambah, membatasi ekspor dan divestasi saham, wujud lain dari resource nationalism adalah mengubah jangka waktu kontrak atau menasionalisasi perusahaan asing. 31 Dari ketiga literatur di atas, penulis berkesimpulan bahwa memang tidak sedikit host countries (khususnya negara berkembang) merugi karena kehadiran MNCs. Hal itu nampak dalam hal bagi hasil yang tidak seimbang dan inilah yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, bisa dikatakan bahwa munculnya gelombang resource nationalism di berbagai negara turut mengilhami pemerintah Indonesia sehingga mengesahkan UU Minerba No. 4 Tahun Hal ini menjadi sebuah manifestasi dari apa yang dikatakan oleh Stigliz bahwa kutukan sumber daya alam harus dihilangkan dari negara-negara berkembang. Artinya bahwa lewat undang-undang ini diharapkan pengelolaan sumber daya mineral Indonesia oleh MNCs sesuai dengan prinsip saling menguntungkan, tidak mengacuhkan daya dukung lingkungan demi pembangunan berkelanjutan (sustainability development), sehingga SDA yang dimilikinya tidak menjadi kutukan tetapi menjadi berkah bagi masyarakat Indonesia. Namun sangat disayangkan, dalam proses pelaksanaannya pemerintah Indonesia sendiri yang terkesan tidak serius dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut. Mencoba mengkritisi (menyatakan kesetujuan ataupun ketidaksetujuan) terhadap studi literatur di atas, pertama, dari segi relasi host countries dengan MNCs yang berkaitan dengan eksplorasi SDA, penulis cenderung setuju dengan para ekonom bisnis bahwa sebenarnya kedua belah pihak akan sama-sama mendapat keuntungan jika relasi di antara keduanya jelas. Bukan hanya satu pihak yang diuntungkan sementara pihak lain (pada umumnya negara penerima) 30 Muhammad Yazid. Freeport Akhirnya Setuju Melepas 30 Persen Saham. Diakses dari 0.Persen.Saham, pada tanggal 7 Juni Hadi Soesatro. The Rise of Resource Nationalism in Indonesia. The Jakarta Post (Online). Edition : 13 September Diakses dari pada tanggal 30 Juni

11 dirugikan. Inilah yang dimaksud oleh Stiglitz bahwa kutukan sumber daya itu bukanlah takdir tetapi pilihan. Kutukan hanya bisa hilang dari negara berkembang atau berubah menjadi berkah jika pemerintah negara yang bersangkutan tegas terhadap MNCs. Caranya adalah membentuk dan memberlakukan regulasi yang jelas sebagai instrumen hukum yang mengatur dan mengendalikan operasi MNCs, bukan malah dikendalikan oleh MNCs. Kedua, dari segi nasionalisme sumber daya, penulis juga sepakat bahwa hal tersebut mutlak dilakukan oleh pemerintah host countries agar kekayaan sumber daya yang dimilikinya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tidak dikontrol oleh MNCs tetapi oleh pemerintah sebagai pemilik sumber daya maka nasionalisme sumber daya merupakan suatu keharusan. Berdasarkan riset-riset sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan munculnya resource nationalism di beberapa negara, baik negara maju maupun negara berkembang dan telah penulis paparkan di atas, kecenderungannya adalah nasionalisme sumber daya mereka berhasil seperti yang telah ditunjukkan oleh Australia, Brazil, Zimbabwe, Vietnam dan Mongolia. Sementara resource nationalism Indonesia yang termanifestasi dalam UU Minerba gagal diimplementasikan secara penuh oleh pemerintah Indonesia. Ini pertanda bahwa belum ada (atau masih terbatas) riset yang membahas faktor-faktor yang menyebabkan pemerintah host countries gagal dalam nasionalisme sumber daya-nya. Entah karena nasionalisme sumber daya oleh pemerintah host countries di negara-negara lain pada umumnya berhasil atau karena memang belum ditemukan kasus serupa seperti yang sedang terjadi di Indonesia. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji bagaimana Freeport dengan bargaining powers yang ia miliki bisa mempengaruhi kebijakan nasional yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA sehingga terkesan kebijakan tersebut mampu ditawar. Dengan mengangkat kasus ini, penulis berharap dapat berkonstribusi terhadap kajian ekonomi politik global khususnya mengenai relasi antara MNCs dengan host countries. 27

12 Secara konseptual dan faktual, selama ini diyakini bahwa sumber daya alam akan selalu menjadi bargaining power yang lebih kuat bagi pemerintah host countries jika dibandingkan dengan bargaining power MNCs (khususnya yang berbasis ekstraksi). Implikasinya, MNCs akan selalu tunduk terhadap setiap regulasi dari pemerintah host countries namun beda halnya dengan fakta yang penulis temukan dalam kasus ini. Bargaining power pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA yang seharusnya kuat dan berkorelasi positif terhadap bargaining position-nya malah lebih lemah dibandingkan dengan bargaining power dan bargaining position dari Freeport. 1.4 KERANGKA KONSEPTUAL Untuk menjawab pokok permasalahan dalam tulisan ini, ada dua konsep yang penulis gunakan sebagai guideline, yaitu konsep Bargaining Power oleh Lairson and Skidmore dan konsep Policy Implementation oleh George C. Edwards III. Penulis menganggap kedua konsep ini relevan digunakan sebagai pisau analisis dalam mengelaborasi pokok permasalahan tersebut. 1. Bargaining Power Dalam konsepnya, Lairson and Skidmore mengemukakan bahwa faktor yang menentukan daya tawar suatu negara (host country) dan perusahaan multinasional dapat dilihat dari masing-masing karakteristik yang dimiliki. Karakteristik host country, di antaranya; pertama, skala pasar domestik (besar vs kecil). Apabila skala pasar domestik besar maka posisi tawar (bargaining power) negara tuan rumah akan lebih besar, begitupun sebaliknya. Kedua, angkatan kerja (terampil dan disiplin vs tidak terampil). Apabila tenaga kerja terampil dan disiplin maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Ketiga, sumber daya alam (melimpah atau terbatas). Apabila sumber daya alam melimpah maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Keempat, infrastruktur (baik vs buruk). Apabila infrastruktur baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Kelima, ketersediaan alternatif bagi investasi asing (struktur industri, modal domestik, tabungan domestik). Apabila struktur industri, modal (tabungan) domestik tersedia maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Keenam, birokrasi. Apabila kualitas 28

13 birokrasi host country baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. Ketujuh, tingkat keahlian host country. Apabila tingkat keahlian baik maka bargaining power ada pada host country begitupun sebaliknya. 32 Sedangkan fakor yang menentukan daya tawar perusahaan multinasional dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu; pertama, jenis produk (berbasis sumber daya alam vs manufaktur). Apabila jenis produksi dari perusahaan multinasional berbasis pada sumber daya alam, maka bargaining power-nya akan cenderung lebih rendah namun apabila jenis produksi dari perusahaan multinasional berbasis manufaktur maka bargaining power-nya akan cenderung lebih tinggi. Seperti yang sudah dikemukakan oleh Vernon, hal ini terjadi karena perusahaan multinasional yang berbasis pada sumber daya akan bergantung pada keberadaan sumber daya alam di negara berkembang. Berbeda halnya dengan perusahaan manufaktur yang lebih dinamis (fleksibel) dapat memindahkan perusahaannya ke negara lain jika tidak sesuai dengan yang diinginkan. Hal inilah yang membuat bargain power-nya lebih tinggi. Kedua, kompleksitas teknologi (tinggi vs rendah). Semakin tinggi kompleksitas teknologi suatu perusahaan maka semakin tinggi pula bargain power-nya, begitupun sebaliknya. Ketiga, tingkat kompleksitas pasar (domestik vs internasional). Konsep ini penting bagi penelitian ini karena yang menjadi objek penelitian adalah pemerintah Indonesia selaku host country dan Freeport selaku perusahaan multinasional. Melalui konsep Bargaining Power tersebut akan diketahui bagaimana kualitas daya tawar masing-masing pihak serta bagaimana kedua belah pihak memainkan daya tawar yang ia miliki tersebut. Lewat konsep ini juga akan diketahui bagaimana bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport dan sebaliknya. Dari fakta-fakta tersebutlah pada akhirnya akan 32 Lairson and T.D. Skidmore International Political Economy the Struggle for Power and Wealth. Harcourt Brace College Publishers dalam Dinamika Renegosiasi Negara dengan Perusahaan Multinasional:Studi Kasus; Pemerintah Indonesia-PT.Vale Indonesia dalam Renegosiasi Kontrak Karya Naota A.Parongko. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak Dipublikasikan 29

14 diketahui penyebab pemerintah Indonesia tidak konsisten mengimplementasikan UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport. 2. Fragmentasi Birokrasi Fragmentasi birokrasi merupakan salah satu variabel 33 dari konsep implementasi kebijakan (Policy Implementation) yang dikemukakan oleh George C.Edwards III. 34 Menurut Edwards salah satu karakteristik utama dari birokrasi, yakni adanya fragmentasi. Edwards menjelaskan bahwa fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units, and this makes coordination of policies difficult. The resources and authority necessary to attack a problem comprehensively are often distributed among many bureaucratic units. 35 Artinya bahwa tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering terfragmentasi (tersebar) di antara beberapa organisasi. Adanya fragmentasi tersebut menghambat koordinasi. Hal ini sudah sering terjadi bahwa karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, para birokrat biasanya menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil 36. Hal ini terlihat dalam struktur birokrasi pemerintahan Indonesia. Pada umumnya suatu kebijakan (regulasi) ditangani oleh beberapa instansi dan tidak tertutup kemungkinan, koordinasi antar instansi tidak maksimal ditambah regulasi yang tidak tegas. Padahal selain sumber daya alam, regulasi yang jelas dan tegas serta birokrasi yang solid akan menjadi daya tawar yang kuat bagi pemerintah host countries dalam menghadapi MNCs. Untuk itu, ketika birokrasi dalam keadaan terfragmentasi dan tidak solid maka daya tawar pemerintah host 33 Tiga variabel lainnya adalah communication (komunikasi), resources (sumber-sumber), dispositions (kecenderungan-kecenderungan) 34 George C. Edwards III Implementing Public Policy. Washington D.C.:Congressional Quarterly Press. Hal Ibid. Hal.134 and Budi Winarno Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta Meddpress. Hal

15 countries selaku pemilik SDA akan mudah dilemahkan oleh daya tawar dari MNCs. Contohnya adalah implementasi UU Minerba yang ditangani oleh setidaknya empat kementerian, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan. Selain itu, adanya sistem otonomi daerah nampaknya juga berpengaruh terhadap implementasi UU Minerba. Koordinasi yang lemah seringkali terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tempat MNC yang bersangkutan beroperasi sehingga menyebabkan terjadinya konflik kepentingan di antara kedua belah pihak. Dalam kasus ini, Freeport dengan sejumlah daya tawar yang dimilikinya seperti kekuatan negosiasi, kekuatan finansial selalu berusaha untuk menghambat implementasi UU tersebut dengan melobi pemerintah Indonesia dari satu instansi ke instansi lainnya. Konsep implementasi kebijakan ini pada umumnya digunakan dalam menganalisis proses implementasi kebijakan-kebijakan publik. Namun, penulis sengaja memilih konsep tersebut setidaknya karena dua alasan. Pertama, pada kenyaataannya, UU Minerba sendiri merupakan sebuah kebijakan yang mempengaruhi hubungan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport. Kedua, pada umumnya proses implementasi suatu kebijakan tidak hanya sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor eksternal, yang dalam kasus ini berasal dari Freeport, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal yakni dari pemerintah Indonesia itu sendiri. Dengan menggunakan konsep ini, akan diketahui bagaimana faktor eksternal dan faktor internal tersebut saling mempengaruhi dalam proses implementasi kebijakan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setelah problematika tersebut terjawab, pada akhirnya akan diketahui faktor mana yang cenderung dominan menghambat proses implementasi UU Minerba. 31

16 1.5 ARGUMEN UTAMA 1.) Berdasarkan konsep Bargaining Power dari Lairson dan Skidmore, penulis berargumen bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba karena bargaining power yang dimilikinya selaku pemilik sumber daya alam lebih lemah daripada bargaining power Freeport selaku pemilik modal besar dan teknologi canggih (eksklusif). Dengan kata lain, bargaining power pemerintah Indonesia kalah dari bargaining power Freeport sehingga pada akhirnya membuat pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba. 2.) Merujuk pada kerangka konseptual tentang Fragmentasi Birokrasi dari George C. Edwards III, penulis berargumen bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba karena adanya fragmentasi birokrasi. Ada beberapa instansi yang menangani pelaksanaan UU Minerba. Dalam kasus ini, besar kemungkinan garis koordinasi antar lembaga kurang jelas. Fragmentasi birokrasi tersebut juga menyebabkan adanya fragmentasi kebijakan yang memuat kepentingan masing-masing instansi. Di samping itu, fragmentasi birokrasi juga menjadi celah bagi Freeport untuk mengintervensi kebijakan pemerintah Indonesia lewat lobi di sejumlah kementerian terkait sehingga pada akhirnya membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang membuat mereka inkonsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba. 1.6 METODE PENELITIAN Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe eksploratif dengan mengandalkan data-data primer dari hasil wawancara dan data sekunder dari library research baik lewat buku, jurnal, koran, majalah, internet, dan media lainnya. Penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat yang diyakini memiliki literatur-literatur yang relevan dan dapat mendukung penelitian ini, di antaranya; 1. Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. 32

17 2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. 3. Perpustakaan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia di Jakarta. Sedangkan wawancara dilaksanakan di beberapa instansi yang terkait dengan kasus ini, di antaranya; 1. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta. 2. Direktorat Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kementerian Perdagangan di Jakarta. 3. Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian di Jakarta. 1.7 JANGKAUAN PENELITIAN Data-data untuk penelitian ini akan penulis mulai dari data tahun 2009 dimana UU Minerba resmi diundangkan sampai data-data tahun ini. Namun, penelitian ini juga tidak akan mengabaikan data atau dokumen sebelum periode penelitian ini yang sifatnya urgen dibutuhkan bagi penelitian ini. 1.8 SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut; BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan delapan hal yakni; Pertama, latar belakang masalah, di dalamnya mengandung akar permasalahan, signifikansi masalah tersebut dibahas dan alasan pribadi penulis meneliti topik tersebut. Kedua, rumusan masalah yang menjadi titik tolak penelitian ini. Rumusan masalah tersebut memungkinkan pembaca untuk mengetahui fokus penelitian. Ketiga, studi literatur, berisi literatur-literatur untuk memperkaya khazanah referensi topik penelitian yang terkait berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Keempat, kerangka konseptual, berisi konsep yang akan penulis gunakan sebagai acuan untuk membedah kasus ini. Kelima, argumen utama, merupakan jawaban sementara penulis terhadap pertanyaan penelitian. Keenam, metode penelitian, mengenai metode yang akan penulis 33

18 gunakan untuk mengelaborasi pokok permasalahan dalam kasus ini khususnya menyangkut cara pengumpulan data dan informasi. Ketujuh, jangkauan penelitian, tentang rentang waktu data-data yang terkait dengan penelitian ini. Kedelapan, sistematika penulisan, mengenai urutan penulisan dan topik-topik terkait yang akan penulis elaborasi lebih lanjut. BAB II Polemik UU Minerba. Pada bab ini dijelaskan mengenai penyebab UU Minerba sehingga mengundang kontroversi bagi banyak kalangan, mulai dari pelaku usaha tambang (perusahaan tambang domestik dan MNCs asing), pemerhati pertambangan, para akademisi yang concern pada hukum internasional atau hukum perdagangan internasional dan kelompok-kelompok lain. Salah satu contohnya adalah dikemukakan oleh akademisi (Dosen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada), Rangga Aditya Dachlan bahwa substansi UU Minerba menyalahi aturan World Trade Organization (WTO) dimana Indonesia menjadi salah satu bagian di dalamnya. Hal itu nampak dalam hal pembatasan jumlah ekspor padahal dalam Artikel 11 General Agreement Trade on Tariff (GATT) atau WTO telah diatur bahwa negara anggota WTO sama sekali tidak boleh melakukan pembatasan numerik maupun secara menyeluruh 37. BAB III Bargaining Power Pemerintah Indonesia dan Freeport. Pada bab ini penulis membahas bagaimana kondisi bargaining power antara pemerintah Indonesia terhadap Freeport dan sebaliknya. Pada bagian ini juga akan dijelaskan bagaimana kedua belah pihak saling mempengaruhi dalam relasinya dengan bargaining power masing-masing. BAB IV Fragmentasi Birokrasi dan Kebijakan. Pada bab ini penulis menjelaskan bagaimana fragmentasi birokrasi dan kebijakan berpengaruh terhadap UU Minerba sehingga pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat UU Minerba No.4/2009 dengan memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada Freeport. Secara singkat, jawaban sementara atas hal ini telah penulis paparkan sebelumnya di bagian argumen utama. 37 Lukman Haqim. Akademisi Usulkan UU Minerba Perlu Diamandemen. Diakses dari pada tanggal 13 Mei

19 BAB V Penutup. Pada bab ini penulis akan memaparkan kesimpulan, saran atas kasus tersebut dan juga rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik ini. Sejauh ini, penulis berkesimpulan bahwa faktor yang membuat pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam mengimplementasikan UU Minerba ada dua; Pertama, bargaining power pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA yang seharusnya kuat dan berkorelasi positif terhadap bargaining position-nya malah lemah. Hal ini disebabkan oleh buruknya sejumlah aspek yang menjadi penopang SDA sebagai bargaining power yang kuat bagi pemerintah Indonesia sementara bargaining power Freeport sangat kuat dalam hal teknologi dan modal (uang). Kedua, tanggung jawab terhadap implementasi kebijakan ini terfragmentasi di beberapa instansi pemerintahan dan besar kemungkinan koordinasi di antara instansi tersebut kurang maksimal. 35

BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban

BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban perusahaan tambang seperti Freeport untuk mengolah dan memurnikan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 LEMBAR PENGESAHAN 2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.. 3 KATA PENGANTAR. 4 ABSTRACK... 7 INTISARI 8 DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 LEMBAR PENGESAHAN 2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.. 3 KATA PENGANTAR. 4 ABSTRACK... 7 INTISARI 8 DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 LEMBAR PENGESAHAN 2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.. 3 KATA PENGANTAR. 4 ABSTRACK... 7 INTISARI 8 DAFTAR ISI... 9 DAFTAR TABEL... 12 DAFTAR GRAFIK... 13 DAFTAR DIAGRAM...

Lebih terperinci

Oleh Rangga Prakoso dan Iwan Subarkah

Oleh Rangga Prakoso dan Iwan Subarkah Oleh Rangga Prakoso dan Iwan Subarkah JAKARTA. PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) bersedia mencabut gugatan ke mahkamah arbitrase internasional jika pemerintah memberikan keringanan bea keluar. Kebijakan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel,

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, timah hitam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT mengkaruniai Indonesia kekayaan alam yang sangat berlimpah dan

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT mengkaruniai Indonesia kekayaan alam yang sangat berlimpah dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah SWT mengkaruniai Indonesia kekayaan alam yang sangat berlimpah dan kekayaan tersebut harus dikelola sebaik mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi tidaklah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi ( Migas ), batubara,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA

KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA Jakarta, 25 Januari 2017 DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERI DAN SUMBER DAYA MINERAL DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN II. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN

Lebih terperinci

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL Oleh: NANI TUARSIH 0810512064 Mahasiswa Program Strata

Lebih terperinci

Pemerintah Memastikan Larangan Ekspor Mineral Mentah

Pemerintah Memastikan Larangan Ekspor Mineral Mentah JAKARTA, KOMPAS. Pemerintah memastikan tetap konsisten melarang ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Pelarangan itu merupakan langkah untuk meningkatkan nilai tambah mineral. Wakil Menteri Energi

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah sebuah program pemberian pinjaman yang dicanangkan oleh IMF. SAPs pada mulanya dirumuskan untuk membendung bencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya

Lebih terperinci

A. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA (KK) / PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA (PKP2B)

A. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA (KK) / PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA (PKP2B) Kepada Rekan-Rekan Media Untuk mendapatkan kesamaan persepsi di antara kita tentang Pertambangan Indonesia, bersama ini saya sampaikan Press Release API IMA, tentang : A. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA (KK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perekonomian global persaingan ekonomi semakin kompetitif. Semua

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perekonomian global persaingan ekonomi semakin kompetitif. Semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam perekonomian global persaingan ekonomi semakin kompetitif. Semua negara mulai melakukan reformasi di bidang ekonomi dengan mulai membuka diri terhadap

Lebih terperinci

penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yang kemudian menimbulkan masalah yang harus dihadapi pemerintah yaitu permasalahan gizi. Permasalahan

penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yang kemudian menimbulkan masalah yang harus dihadapi pemerintah yaitu permasalahan gizi. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era global saat ini, sistem internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Era globalisasi yang muncul bukan hanya memudarkan batas-batas negara

Lebih terperinci

Pertumbuhan Ekonomi Dunia, (dalam persen)

Pertumbuhan Ekonomi Dunia, (dalam persen) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini pertumbuhan ekonomi dunia mengalami

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Semenjak berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) Pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Di era globalisasi ini, industri menjadi penopang dan tolak ukur kesejahteraan suatu negara. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

Divestasi Minerba tak Kunjung Pasti, Pengaturan tak Tegas? Oleh : Olsen Peranto *

Divestasi Minerba tak Kunjung Pasti, Pengaturan tak Tegas? Oleh : Olsen Peranto * Divestasi Minerba tak Kunjung Pasti, Pengaturan tak Tegas? Oleh : Olsen Peranto * Naskah diterima: 21 Oktober 2015; disetujui: 29 Oktober 2015 Pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi pengingat ketika berbicara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

n.a n.a

n.a n.a 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa memerlukan aspek pokok yang disebut dengan sumberdaya (resources) baik sumberdaya alam atau natural resources maupun sumberdaya manusia atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Fenomena internasional yang menjadi tren perdagangan dewasa ini adalah perdagangan bebas yang meliputi ekspor-impor barang dari suatu negara ke negara lain.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN

KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN Kementerian Perdagangan Januari 2017 1 Dasar Hukum Peningkatan Nilai Tambah UU 4/2009 Pasal 103: Kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kemampuan manajemen dalam meningkatkan kinerja dan perbaikan. demi keberhasilan perusahaan (Riyanto, 2001: ).

BAB I PENDAHULUAN. dari kemampuan manajemen dalam meningkatkan kinerja dan perbaikan. demi keberhasilan perusahaan (Riyanto, 2001: ). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan ekonomi dalam suatu perusahaan salah satunya adalah bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang optimal, agar tujuan tersebut dapat tercapai

Lebih terperinci

Apa alasan Freeport inengajukan perpanjangan kontrak karya di Papua hingga 2041?

Apa alasan Freeport inengajukan perpanjangan kontrak karya di Papua hingga 2041? Rozik Boedioro Soetjipto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Kontrak karya kedua PT Freeport Indonesia, perusahaan yang menambang emas dan tembaga di Papua, yang berlaku 30 tahun, akan berakhir pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 2. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

ARTI PENTING MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL

ARTI PENTING MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL MATERI 1 ARTI PENTING MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL by Prof. Dr. Deden Mulyana, SE., M.Si. http://www.deden08m.com 1 Maximazing Profit Introduction Tujuan Perusahaan Optimizing shareholders wealth Optimizing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan negara dibiayai dari penerimaan negara yang berasal dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1

BAB I PENDAHULUAN. oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada negara untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

BAB I PENDAHULUAN. Diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi awal tonggak reformasi kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. Salah satu

Lebih terperinci

Ditulis oleh David Dwiarto Senin, 05 November :53 - Terakhir Diperbaharui Senin, 05 November :13

Ditulis oleh David Dwiarto Senin, 05 November :53 - Terakhir Diperbaharui Senin, 05 November :13 Meskipun berabad-abad menjajah Indonesia, penguasaan terhadap sumber-sumber minyak bumi, gas alam, dan mineral, tak bisa dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Para investor asal Belanda baru benar-benar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan menuju negara maju, Indonesia memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar disebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendapatan negara memiliki dua komponen yakni penerimaan dalam negeri dan hibah. Sebagaimana tercantum di dalam Nota Keuangan 0 pendapatan negara selain menjadi sumber pembiayaan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

Perlukah Nasionalisasi Freeport Indonesia? Luqmannul Hakim

Perlukah Nasionalisasi Freeport Indonesia? Luqmannul Hakim Perlukah Nasionalisasi Freeport Indonesia? Luqmannul Hakim Disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menciptakan tatanan baru dalam sektor pertambangan Indonesia. UU ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Temuan lembaga riset "The Indonesian Institute" tahun 2014 mencatat, ada tiga hal besar yang masih menjadi persoalan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Pertama,

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stabil. Situasi tersebut berdampak pula pada industri pertambangan. Sektor

BAB I PENDAHULUAN. stabil. Situasi tersebut berdampak pula pada industri pertambangan. Sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini perekonomian di Indonesia sedang mengalami situasi yang tidak stabil. Situasi tersebut berdampak pula pada industri pertambangan. Sektor pertambangan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak Belanda ini mendorong diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. minyak Belanda ini mendorong diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era industri migas dikelompokkan menjadi tiga era yaitu era kolonial belanda, era awal kemerdekaan, dan era industri migas modern. Era kolonial Belanda ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur. Industri manufaktur dipandang sebagai pendorong atau penggerak perekonomian daerah. Seperti umumnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum. pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum. pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi secara terus menerus dan bersifat dinamis. Sasaran pembangunan yang dilakukan oleh negara sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuntungan dari kenaikan harga saham atau pembayaran sejumlah dividen oleh

BAB I PENDAHULUAN. keuntungan dari kenaikan harga saham atau pembayaran sejumlah dividen oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama investor berinvestasi di pasar modal adalah untuk mendapatkan keuntungan. Investor membeli sejumlah saham dengan harapan mereka memperoleh keuntungan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Demi mencapai tujuan tersebut, ini adalah kegiatan investasi (penanaman modal).

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Demi mencapai tujuan tersebut, ini adalah kegiatan investasi (penanaman modal). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan umum merupakan cita-cita luhur yang ingin dicapai setelah lahirnya bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep pembangunan seringkali dianggap sama dengan proses industrialisasi. Proses industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan salah satu jalur

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. menjadikan Migas merupakan bagian dari sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya

RechtsVinding Online. menjadikan Migas merupakan bagian dari sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya Kaji Ulang Penawaran Participating Interest Bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Dalam Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Oleh: Muhammad Yusuf Sihite * Naskah diterima: 20 Januari 2016; disetujui:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tentang Minyak dan Gas Bumi, industri migas terdiri dari usaha inti (core business)

BAB I PENDAHULUAN. Tentang Minyak dan Gas Bumi, industri migas terdiri dari usaha inti (core business) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, industri migas terdiri dari usaha inti (core business) minyak dan gas serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari

BAB I PENDAHULUAN. terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang yang mendasari penyusunan penelitian yaitu dasar pertimbangan pentingnya melakukan perencanaan strategis sistem informasi di institusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA DIVESTASI SAHAM DAN MEKANISME PENETAPAN HARGA SAHAM DIVESTASI PADA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kontrak Karya merupakan kontrak yang dikenal di dalam pertambangan

BAB I PENDAHULUAN. Kontrak Karya merupakan kontrak yang dikenal di dalam pertambangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kontrak Karya merupakan kontrak yang dikenal di dalam pertambangan umum. Istilah Kontrak Karya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu kata work of contract.

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

Bab 12 MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL

Bab 12 MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL Bab 12 MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL I. PERANAN MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL PENDAHULUAN KEKUATAN PENGUBAH LINGKUNGAN PERSAINGAN GLOBAL GLOBALISASI EKONOMI DUNIA PERUSAHAAN MULTINASIONAL SISTEM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perekonomian dunia dimana batasan penghambat menjadi semakin berkurang

BAB 1 PENDAHULUAN. perekonomian dunia dimana batasan penghambat menjadi semakin berkurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Era globalisasi telah membuat sebuah dampak dramatis dalam perekonomian dunia dimana batasan penghambat menjadi semakin berkurang dan meningkatnya kerjasama

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perusahaan energi berkelas dunia yang berbentuk Perseroan, yang mengikuti

1. PENDAHULUAN. perusahaan energi berkelas dunia yang berbentuk Perseroan, yang mengikuti 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan visi menjadi perusahaan energi berkelas dunia yang berbentuk Perseroan, yang mengikuti Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari kegiatan perdagangan antar negara. Perdagangan antar negara

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari kegiatan perdagangan antar negara. Perdagangan antar negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini interaksi antar negara merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan hampir dilakukan oleh setiap negara di dunia, interaksi tersebut biasanya tercermin dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagus untuk memperoleh keuntungan. kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. bagus untuk memperoleh keuntungan. kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. (pembelian barang-barang modal) meliputi penambahan stok modal atau barang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. (pembelian barang-barang modal) meliputi penambahan stok modal atau barang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian dan Teori Investasi Asing Menurut Samuelson dan Nordhaus (1996:89), menyatakan bahwa investasi (pembelian barang-barang modal)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertambangan 1 merupakan industri yang dapat memberikan manfaat ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa mineral 2 dan batubara 3 mampu memberikan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PRODUKTIVITAS MELALUI PEKERJAAN YANG LAYAK. Oleh : 9 Juli 2015 DPN APINDO

MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PRODUKTIVITAS MELALUI PEKERJAAN YANG LAYAK. Oleh : 9 Juli 2015 DPN APINDO MENINGKATKAN DAYA SAING DAN PRODUKTIVITAS MELALUI PEKERJAAN YANG LAYAK 9 Juli 2015 Oleh : DPN APINDO Intervensi khusus diperlukan untuk mengatasi masalah tingginya insiden pekerjaan berupah rendah, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan suatu negara, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Terlebih dalam proses pembangunan, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi pemahaman yang sama dengan pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1988:4-5). Pertumbuhan ekonomi adalah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini ditunjukkan dengan hubungan multilateral dengan beberapa negara lain di dunia. Realisasi dari

Lebih terperinci

Dilema Ancaman PHK dan UU Minerba. Ditulis oleh David Dwiarto Rabu, 08 Januari :27 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 08 Januari :29

Dilema Ancaman PHK dan UU Minerba. Ditulis oleh David Dwiarto Rabu, 08 Januari :27 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 08 Januari :29 Implementasi UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang disertai larangan ekspor bijih mineral tambang (ore) pada 12 Januari 2014 mendatang bakal menjadi tantangan tersendiri bagi sektor

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA) INDONESIA SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA

KERANGKA ACUAN KERJA GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA) INDONESIA SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA KERANGKA ACUAN KERJA GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA) INDONESIA SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA I. Latar Belakang Sumberdaya mineral dan batubara merupakan salah satu sumber daya alam (natural

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS PELUANG INTERNASIONAL

ANALISIS PELUANG INTERNASIONAL ANALISIS PELUANG INTERNASIONAL SELEKSI PASAR DAN LOKASI BISNIS INTERNASIONAL Terdapat dua tujuan penting, konsentrasi para manajer dalam proses penyeleksian pasar dan lokasi, yaitu: - Menjaga biaya-biaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun tidak, komunikasi telah menjadi bagian dan kebutuhan hidup manusia.

BAB I PENDAHULUAN. ataupun tidak, komunikasi telah menjadi bagian dan kebutuhan hidup manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial, baik sebagai individu ataupun kelompok akan selalu berkomunikasi. Sehingga disadari ataupun tidak,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI PERTAMBANGAN

BAB II DESKRIPSI INDUSTRI PERTAMBANGAN BAB II DESKRIPSI INDUSTRI PERTAMBANGAN 2.1. Gambaran Umum Sektor Pertambangan Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam dan mineral sehingga cukup layak apabila sebagaian pengamat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perdagangan internasional penting dalam ekonomi terutama sebagai sumber devisa negara. Keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional salah satu

Lebih terperinci