DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER) NURHAN TABAU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER) NURHAN TABAU"

Transkripsi

1 DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER) NURHAN TABAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER) adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2011 Nurhan Tabau

3 ABSTRACT NURHAN TABAU. Desentralisation of Coastal Resources Management Area at Cove of Bone, Luwu Regency (Policy Studies and Stakeholder Analysis). Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and ARIF SATRIA. Management of coastal in desentralitation era needs a strong policy by local government. To know preparedness the government this study was aimed to analysis several policy about coastal management area and analysis of stakeholder. Desentralisation coastal management area at cove of Bone Luwu regency. This study purpose to knows policy sides with and stakholder position, part, relation, importance and influences and to sharpen directive policy of coastal resources management at Luwu regency. Stakeholder analysis had done with indepth interview and cosioner. This study has been grouped to economic, ecologic and social factor, after than make a symbol or scoring to know side with of policy with maked the content analysis. Stakeholders analysis has showed of partisipation, realtionship, importance and influences. Perseption responden of coastal damage 53 percent mangrove plant has damaged, and 20 percent very damaged, 39 percent fishermen assumed coral reefs has damaged and 21 percent assumed very damaged. To analysis stakeholder, Key players are department of fishery and marine, regional development planning agency, local legeslatif department and private sector. Department of law is a Context setters. Environmental impact and control agency and fisherman are Subjects. Non government organization, community social organization, university and part of government are Crowd. In this study was aimed a weak relation of fisherman and social community had became a marginal position. Keywords: Desentralisation, policy, stakeholder, coastal resources.

4 RINGKASAN NURHAN TABAU. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi kebijakan dan analisis stakeholder). Di bawah bimbingan HARIADI KARTODIHARDJO dan ARIF SATRIA. Pengelolaan Sumberdaya pesisir di era otonomi daerah mengharuskan Pemerintah Daerah untuk mengelolanya secara berkeadilan dan berkelanjutan. untuk mengetahui kesiapan Pemerintah Daerah maka dilakukan penelitian terhadap kebijakan dan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberpihakan kebijakan dan posisi, peran, pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta mencoba merumuskan arahan atau rekomendasi kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di masa yang akan datang. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi dengan menganalisis peraturan dari tingkat pusat sampai daerah, selanjutnya melakukan analisis isi terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Analisis stakeholder dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dan kuesioner. Dari penilitian ini ditemukan bahwa substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 belum menjamin hak, tanggung jawab masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan dan kawasan perlindungan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa Peraturan Daerah belum berpihak pada pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tingginya tingkatan kerusakan sumberdaya pesisir yang mencapai rata-rata diatas 50.0 persen menandakan pentingnya untuk segera melakukan pembaruan kebijakan. Stakeholders kunci (Key players) adalah DKP, Bappeda, DPRD dan Swasta. Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah (Context setters). Masyarakat atau nelayan dan Bapedalda (Subjects) adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. LSM, BKM, PT dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Sedangkan relasi masyarakat yang lemah dengan hampir seluruh stakeholder menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, posisi masyarakat masih tetap marjinal dalam kebijakan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kata kunci : Desentralisasi, kebijakan, stakeholder, sumberdaya pesisir

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

6 DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER) NURHAN TABAU Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Judul Tesis : Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder) Nama Mahasiswa : Nurhan Tabau N R P : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S K e t u a Dr. Arif Satria SP, M.Si A n g g o t a Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr Tanggal Ujian: 19 September 2011 Tanggal Lulus: 29 Oktober 2011

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, salam dan salawat penulis panjatkan kepada Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder) Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Arif Satria SP, M.Si selaku komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas segala perhatian, kesabaran dalam membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. For selaku penguji luar komisi atas koreksi, kritik dan sarannya. Terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.Si yang telah memberikan perhatian dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan yang telah banyak membantu dalam mengakses data yang penulis butuhkan, penulis mengucapkan terimaksih atas dukungan dan kerjasamanya. Rekan-rekan dan sahabat terbaik yang terus memberikan dukungan dan bantuan dalam seluruh proses penelitian hingga penulisan tesis ini. Ungkapan terimakasih yang tulus penulis persembahkan kepada Ayahanda (almarhum) H. M. Nursyam Taba dan Ibunda Hj. Hanisah Audang, Kakanda Andi Ahmad Jimar, Andi Tenriadi, Muhammad yusuf, Adinda Eddy Hamka, Masluki, Safir, Andi Febiyanti beserta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembacanya. Amin. Bogor, September 2011 Nurhan Tabau

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Larompong Kabupaten Luwu, pada tanggal 26 November 1980 dari Ayah H. M. Nursyam Taba dan Ibu Hj. Hanisah Audang. Penulis merupakan anak putra ke enam dari tujuh bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 9 Makassar dan Lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin (UNHAS) melalui jalur UMPTN dan diterima di Program studi Budidaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Pascasarjan jenjang magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB). Sejak tahun 2008 penulis aktif sebagai tenaga ahli lembaga Konsultan Desain Pemberdayaan Masyarakat (Muara Abadi Konsultan), dan pada tahun 2009 penulis merupakan salah satu staf ahli Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) periode serta pada tahun 2010 penulis merupakan salah satu Dewan Pengurus Pusat (DPP) Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) Bidang Penelitian dan Pengembangan, Biro Pemetaan Politik Nasional dan Daerah.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix xii xiii xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Tahapan Penelitian II. III. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wilayah Pesisir Potensi Sumberdaya Alam Pesisir Pengertian Kelembagaan Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan Desentralisasi Sumberdaya Pesisir Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Analisis Kebijakan Analisis Isi (Content Analysis) Proses Perubahan Kebijakan Analisis Stakeholder... METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Penelitian Metode Pengumpulan Data Tahapan Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis Isi (Content Analysis) Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis) Rekomendasi atau Arahan Kebijakan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1. Kondisi Geografis Kondisi Demografi

11 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pemerintahan Potensi Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Kebijakan Sektor Pesisir... V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir Analisis Stakeholder Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi Stakeholder Arahan Kebijakan VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 92

12 LAMPIRAN... 97

13 DAFTAR TABEL No Halaman 1 Responden dalam penelitian Luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan di Kabupaten Luwu Janji-janji otonomi daerah Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu Tim penyusun naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berbasis masyarakat Relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu Rumusan masalah pengelolan sumberdaya pesisir kawasan teluk bone di Kabupaten Luwu Rekomendasi tindakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu... 86

14 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan Peta lokasi penelitian Diagram persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbu karang, mangrove dan padang lamun kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Persepsi Masyarakat terhadap peraturan daerah Kabupaten Luwu No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Tingkat keterlibatan stakeholder dalam perumusan peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Peta tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir DI Kabupaten Luwu. 78

15 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan (ton) Kabupaten Luwu Tahun Jumlah armada perikanan tangkap Tahun Daftar potensi budidaya perikanan Kabupaten Luwu Potensi luas areal budidaya rumput laut eucheuma Kabupaten Luwu Tahun Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Kuisioner wawancara

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembaruan pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA), yang kemudian mengalami amandemen melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menuntut pemerintah daerah untuk siap menerima delegasi wewenang dari pusat atau pemerintah di atasnya, tidak hanya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dalam hal pemecahan permasalahan dan pendanaan kegiatan pembangunan daerah. Konsekuensinya, memaksa pemerintah daerah melaksanakan manajemen pembangunan daerah yang lebih profesional, bottom-up dan mandiri. Artinya, pemerintah daerah dituntut untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yang lebih komprehensif, yaitu adanya keterkaitan proses antara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan daerah yang berkesinambungan. Tugas pokok pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah adalah menggali dan memanfaatkan sumberdaya (manusia, alam, uang sentra industri dan ekonomi) untuk optimalisasi pembangunan (sektor dan wilayah), mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga (institusi) untuk kegiatan pembangunan. Kegiatan yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan. Pengertian pembangunan yang berkelanjutan pada saat ini (present) dengan tanpa menimbulkan dampak negatif untuk saat yang akan datang (future) (Environmental Energy Study Institute Task Force, 1991). Definisi pembangunan berkelanjutan juga dapat diterjemahkan sebagai suatu kehidupan sosial yang harmonis dengan sistem alam yang sehat (Water Quality 2000 dalam Robert, 2002). Pada saat pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan

17 membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yaitu kesetaraan (equity) dan efisiensi (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup disebabkan perilaku individu maupun organisasi melalui keputusan-keputusan dan tindakannya. Keputusan tersebut ditentukan kelembagaan. Kelembagaan ini mencakup organisasi, hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundangan, struktur pasar, pengetahuan dan informasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Secara substansial dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ostrom, 1985) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Selanjutnya Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) menjelaskan bahwa seluruh rangkaian serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari zaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1) Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam (SDA) yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan SDA oleh berbagai pihak, secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2) Substansi Undang-undang maupun peraturan perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor, cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan SDA bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar lokasi SDA. 4) Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan SDA eksploitatif mobilisasi suara. Pemerintah daerah dibayangi oleh jebakan zero sum game dalam pengelolaan SDA, antara penekanan peningkatan ekonomi dengan mengorbankan fungsi ekologis dan sosial, atau mengutamakan perlindungan atas SDA yang akan mengurangi manfaat ekonomi. Di lema ini semestinya terjawab dengan kebijakan yang mampu memberi solusi dan aturan atau produk Undang-undang yang

18 berjalan. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pemerintahan daerah (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah memberikan porsi pengelolaan sumberdaya alam yang cukup besar termasuk sumberdaya alam pesisir yang sifatnya common-pool resources. Hal ini mensyaratkan adanya peran kelembagaan daerah yang tepat dengan semangat keberlanjutan. Kelembagaan yang di maksudkan dalam penelitian ini mencakup organisasi, peraturan perundang-undangan, struktur pasar, proses-proses politik dalam pemerintahan daerah, serta informasi dan pengetahuan stakeholder dalam pemerintahan daerah. Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan otoritas atau kewenangan dan tanggung jawab fungsi pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lembaga pemerintahan quasi- independen atau pada sektor privat dan komunitas (Cohen & Peterson, 1999; Rondinelli, 1999; Smith, 1985 dalam Satria, 2004). Pengelolaan sumberdaya pesisir dalam era desentralisasi memberikan kewenangan kepada pemerintah propinsi 12 mil wilayah laut dari garis pantai, dan untuk kabupaten 4 (empat) mil dari garis pantai. Pemberian kewenangan ini juga mencakup (a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kelautan, (b) Manajemen administratif, (c) Pengaturan zona, (d) Penegakan hukum dan kebijakan lokal atau kebijakan pusat yang telah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan pemerintahan lokal (Satria, 2004). Untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah ditetapkan peraturan pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun Pemerintah memiliki peran sebagai agen pembangunan sekaligus sebagai agen pelindung sumberdaya alam dan lingkungan (Bryant dan Bailey, 2001 dalam Satria, 2009a). Sebagai agen pembangunan, pemerintah memiliki tujuan pragmatis yaitu menciptakan penerimaan untuk negara. Untuk itu pemerintah menarik investasi melalui kolaborasi dengan para pemilik modal berupa pemberian izin-

19 izin pemanfaatan sumberdaya alam. Kolaborasi tersebut, secara nyata mengangkat status satu pihak yaitu swasta dan disisi lain menurunkan status pihak lain yaitu masyarakat dalam mengakses sumberdaya alam. Izin yang diberikan oleh pemerintah mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses, mengambil (withdrawal), bahkan melarang pihak lain (to exclude) mengambil sumberdaya tersebut, sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam secara politik dan ekonomi (Satria, 2009a). Pada perlindungan sumberdaya alam, seringkali terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah sebagai agen pembangunan. Hal ini tercermin dari sering terjadinyan konflik antar departemen. Satu departemen menghendaki kelestarian lingkungan, sementara itu departemen lainnya menghendaki tujuan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Kasus yang paling hangat adalah konflik antara Departemen Kehutanan dengan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dalam memperebutkan wilayah pertambangan di kawasan hutan lindung. Peran pemerintah sebagai agen dan sekaligus pelindung sumberdaya pesisir tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat. Derajat konflik cukup beragam dan sangat dipengaruhi oleh hak kepemilikan dari sumberdaya alam (property right) tersebut (Satria, 2009a). Pola perilaku aktor-aktor pengelola sumberdaya pesisir (pemerintah, masyarakat dan swasta), sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya pesisir itu sendiri. Dari pengalaman selama ini, negara dan swasta telah banyak memiliki kesempatan untuk menjadi aktor pengelola sumberdaya pesisir namun ternyata banyak pula menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pendistribusian kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir pun perlu mengalami pergeseran dari sentralisasi (governmnent based management) menjadi desentralisasi (community based management) dengan menekankan pendistribusian kewenangan kepada masyarakat (Satria, 2009a). Implementasi hukum pemerintahan daerah, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang disebut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun Kebijakan ini mengatur kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten kota menempatkan persoalan lingkungan hidup sebagai urusan wajib.

20 Selanjutnya Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, mengatur tentang kewenangan pemerintahan daerah meliputi; (1) Mengatur kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, managemen dan kegunaan sumberdaya laut dibawah 12 mil, (2) Mengatur kebijakan dan pengelolaan regulasi dan kegunaan atas barang dan pelayaran di bawah 12 (dua belas) mil wilayah laut, (3) Mengatur kebijakan dan regulasi batas laut termasuk kewenangan batas laut dan batas hukum laut internasional, (4) Mengatur ukuran wilayah pesisir dan pengelolaan pulau-pulau kecil dan, (5) Menegakkan hukum perairan laut sepanjang 12 (dua belas) mil yang berhubungan spesifik dengan hukum laut international. Inisiatif pengelolaan kawasan Teluk Bone Terpadu yang secara administratif melingkupi seluruh kabupaten yang memiliki wilayah pesisir di Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tenggara melalui Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) membutuhkan respon positif dari setiap aktor utama di setiap lokalitas. Respon yang dimaksud tidak hanya menyangkut kesiapan menerima inisiatif ini tetapi kesiapan konstitusioanal di tingkat lokal, kesiapan masyarakat yang diturunkan dalam bentuk kesiapan aksi bersama dalam hal ini kesiapan di tingkat komunitas atau masyarakat pesisir di sepanjang garis pantai Teluk Bone. Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh Teluk Bone potensi wilayah pesisir Kabupaten Luwu semestinya mampu terjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Kinerja kelembagaan daerah terhadap desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu dalam penelitian ini dinilai melalui berbagai produk peraturan daerah, Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah Daerah (RPJMD) dan atau kebijakan yang lain. Analisis stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir juga dinilai dengan melihat kecenderungan para stakeholder memandang kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dalam penelitian ini, analisisi stakeholder dilakukan di Kabupaten Luwu.

21 1.2. Kerangka Pemikiran Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dan berbagai proses yang mengikutinya dikaji dan dinilai dengan melihat kesiapan kelembagaan daerah dalam hal ini dukungan pemerintah dalam hal kesiapan peraturan daerah, yang akan mengatur keterkaitan pengelolaan wilayah pesisir. Keterpaduan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu membutuhkan kerangka kerja bersama yang bukan hanya memerlukan keinginan politik yang kuat dari aktor kunci melainkan keinginan dan kesiapan institusioanal dari segenap stakeholder kabupaten Luwu untuk menjaga sumberdaya pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Aktor, kelembagaan dan sumberdaya merupakan elemen kunci manajemen pembangunan berkelanjutan (Gerber et al, 2009). Kerangka kerja analisis kelembagaan dimulai dari melihat kondisi fisik, sifat komunitas, aturan yang disepakati atau digunakan, arena aksi, situasi aksi, aktor, dan pola interaksi. Pada level analisis dibagi kedalam empat pendekatan yaitu level operasional (operasional choice) dengan melihat perubahan kondisi fisik, pilihan kolektif (collective choice) perubahan atau membuat aturan-aturan untuk situasi level operasional, menjadi pilihan konstitusional (constitucional choice) dengan melihat perubahan atau pembuatan aturan-aturan atas kesepakatan pilihan aksi kolektif dan terakhir adalah Meta-Constitucional menjelaskan bagimana memberikan pengetahuan dan pengertian terhadap pilihan konstitusional (Ostrom and Edella, 1996). Selanjutnya, dalam Laporan penelitian Minus Malum; Analisis Proses perhutanan Multi Pihak Indonesia oleh Fahmi et al. (2003) menjelaskan bahwa secara formal ada tiga jalur formal konsolidasi konstitusional. Tiga jalur aksi (worlds of action), yaitu tingkat pilihan operasional (operational choice), tingkat pilihan kolektif (collective choice) dan tingkat pilihan konstitusional (constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain. Keduanya menjelaskan tiga jalur aksi, yaitu ( 1) Tingkat pilihan operasional adalah pengambilan keputusan di tingkat individu, yang dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu harus meminta persetujuan individu lain. Otoritas

22 pengambilan keputusan ini, dijamin oleh kerangka institusional yang berlaku (baik tertulis, seperti konstitusi dan peraturan-perundangan, maupun tidak tertulis, seperti norma dan nilai-nilai). Aturan (rules) di tingkat pilihan operasional dapat diubah oleh aksi di tingkat pilihan kolektif. (2) Tingkat pilihan kolektif adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya bersifat menentukan dan memaksa individu di dalam jurisdiksi administratif atau hukum maupun sosialnya. Karena itu, pengambilan keputusan di tingkat ini seperti keputusan pemerintah atau lembaga adat, selalu diiringi sanksi bagi individu yang menyimpang. Aturan ditingkat pilihan kolektif dapat diubah oleh aksi ditingkat pilihan konstitusional. (3) Tingkat pilihan konstitusional adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tingkat pilihan kolektif. Pilihan konstitusional, dengan demikian, mengatur keputusan yang dapat diambil ditingkat pilihan kolektif (Fahmi et al. 2003). Alur pikir penelitian dapat di lihat pada Gambar 1 dibawah ini : Undang-undang terkait Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kab. Peraturan Pemerintah Constitusional Collective choice Operational Choice KELEMBAGAAN DAERAH : 1. Peraturan Daerah 2. Organisasi/Lembaga Pengelolaan Sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kab. Luwu Terpadu Infrastruktur, dan perubahan fisik Sumberdaya pesisir Kab. Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder Rekomendasi Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian. Sumber : Fahmi et al. (2003) ; Ostrom dan Edella (1996) ( dimodifikasi)

23 1.3. Perumusan Masalah Pergeseran paradigma pembangunan dari paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik membuka ruang yang baik bagi pembangunan wilayah pesisir. Namun di sisi lain, memberi peluang eksploitasi sumberdaya pesisir yang tidak terkontrol. Dalam penelitian keberpihakan kebijakan terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang dilakukan Adiwibowo et al. (2009) ditemukan bahwa (1) Pada tataran lokal atau kabupaten, pemerintah daerah otonom melalui kebijakan, perijinan, atau lisensi yang diterbitkannya dapat membuka jalan dan memberi legitimasi pada aktor tertentu untuk akses terhadap sumberdaya alam di kawasan konservasi yang secara tradisional atau yuridis formal berada di bawah pengusaan aktor yang lain, (2) Tidak adanya kebijakan di tingkat lokal, kabupaten, propinsi maupun nasional yang mensinergikan kepentingan ekonomi dan konservasi secara komprehensif. (3) Pada tataran makro, pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan nasional. Wilayah pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi. Berlakunya otonomi daerah mengakibatkan pemerintah kabupaten/kota menjadi stakeholder yang mempunyai kewenangan untuk menentukan arah dan model pengelolaan secara penuh dalam pengembangan wilayah pesisir baik dari aspek perencanaan dan pelaksanaan sesuai dengan kemampuan pendanaan yang tersedia. Sekitar lebih dari 50 persen penduduk dunia bertempat tinggal diwilayah pesisir, begitu pula sekitar 2/3 kota-kota besar didunia berlokasi diwilayah pesisir. Walaupun ekosistem pesisir menyediakan berbagai produk dan jasa lingkungan, namun ironisnya sekitar 80 persen dari penduduk diwilayah pesisir di negaranegara sedang berkembang berada dalam kondisi kehidupan yang miskin dengan kualitas lingkungan yang terdegradasi (Kusmana, 2010). Keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir sangat tergantung dari kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan tiga peran yaitu sebagai regulator, eksekutor dan fasilitator. Sebagai regulator pemerintah daerah dituntut dapat mengimplementasikan berbagai aturan dan pedoman yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan

24 sehingga ditaati oleh seluruh pelaku (stakeholder). Kegagalan penanganan pembangunan berkelanjutan selama ini telah membuka ruang untuk koreksi, dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan kearah pendekatan yang mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau melalui kelembagaan. Good governance sebagai paradigma sosial baru yang oleh Capra (2001) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam merealisasikan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini adalah unsur demokrasi (Bengen, 2009). Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi sangat penting, sebab berbagai permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan juga dapat disebabkan oleh lemahnya peran kelembagaan daerah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan dan posisi stakeholder dalam pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu juga menjadi sangat penting untuk dinilai sebagai pendekatan yang memungkinkan keterlibatan semua pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga diharapkan dapat memberi penekanan pada hak atas sumberdaya (property right) dalam hal ini sumberdaya pesisir yang dijamin secara konstitusional bagi semua pihak dan diturunkan dalam aksi kolektif dengan semangat pembangunan berkelanjutan. Keberpihakan kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh peran pemerintah yang begitu besar yang di jamin oleh Undang-undang di era otonomi daerah. Selain itu, dalam pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan faktor posisi dan peran stakeholder menjadi sangat penting pula dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, karena setiap stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang berbeda dan akses yang berbeda. Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini antara lain : 1. Seberapa besar keberpihakan kebijakan pemerintah dalam mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu?

25 2. Bagaimana posisi stakeholder terhadap desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Kabupaten Luwu? 3. Bagaimana masa depan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menilai keberpihakan peraturan daerah pada era otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 2. Mengetahui posisi, dan peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1. Memberikan informasi mendalam tentang kesiapan dan langkah institusional daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 2. Sebagai input informasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 3. Menstimulan terciptanya kebijakan yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji kesiapan institusional daerah kabupaten Luwu. Dengan menilai keberpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, menganalisis persepsi, partispasi, keterlibatan, kepentingan dan pengaruh

26 stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Penelitian ini juga merumuskan rekomendasi kebijakan atau arahan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sebagai input bagi penyelenggaraan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu dimasa datang Tahapan Penelitian Tahapan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan level analisis institusional (Ostrom dan Edella, 1996) yaitu pilihan level operasional (operasioanal choice), pilihan kolektif (collective choice) dan pilihan konstitusional (constitutional choice). Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dinilai dengan melihat kesiapan institusional di kabupaten Luwu dengan melihat kesiapan peraturan daerah yang ada, kesiapan para pihak (stakeholder), dan mengukur posisi komunitas dan masyarakat lokal atau nelayan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004). Persoalan utama yang sedang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam (Ngakan at al. 2005). Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan pembangunan. Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah (Salam 2004). Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal memiliki posisi yang sangat urgen. Pengelolaan Sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal dipegunungan maupun yang berdiam di pesisir semunya menyumbang proses

28 degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah perubahan tataguna lahan pesisir akibat proses kapitalisme sumberdaya alam pesisir seperti tampak pada konversi hutan mangrove ke pertambakan yang mengubah ekosistem pesisir secara radikal (Dharmawan, 2009). Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diatur dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya. Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir, juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota (Bengen, 2009). Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Bengen, 2009). Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas politik yaitu perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah. Selain itu eco-governance

29 pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan (Dharmawan, 2009) Pengertian Wilayah Pesisir Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz 1972; Soegiarto 1976 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil, 2003). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pengertian wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ditegaskan bahwa Perairan pesisir dan laut yang berbatasan dengan daratan melipurti periaran sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. (Beatly 1994 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil 2003). Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah perairan antara daratan dan lautan dimana ke arah darat adalah jarak secara arbiter dan rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu Negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.

30 Menurut Dahuri et al. (1996), dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses oseanografi (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua, kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), dinyatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap) Potensi Sumberdaya Alam Pesisir Kawasan pesisir di Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri et al. (2001), potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok

31 yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan (4) Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal energy convertion), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga dari kewenangan provinsi 12 (dua belas) mil yang meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir Pengertian Kelembagaan Secara umum (Parsons dalam Scott, 1993) mengemukakan bahwa kelembagaan kultural adalah hubungan antara organisasi dan lingkungannya dengan sistem nilai yang terlembagakan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa dimensi kelembagaan oleh individu adalah kesepakatan-kesepakatan norma yang kemudian menjadi dasar untuk setiap tindakan individu. Kelembagaan adalah sebuah sistem norma yang membatasi relasi individu atau organisasi. Pada komunitas-komunitas bahari, di negara-negara berkembang termasuk indonesia,

32 terdapat sekurang-kurangnya empat kelembagaan atau pranata tradisional (traditional institution) yang tetap bertahan, yaitu pranata kekerabatan (kinsip/domestic institution), pranata agama atau kepercayaan (religious institution), pranata ekonomi (economic institution), dan pranata pendidikan (education institution) (Kusnadi, 2002). Ketentuan pokok kelembagaan pemerintah daerah adalah menyangkut mekanisme, bentuk dan susunan kelembagaan daerah beserta perangkatnya. Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun Kelembagaan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun Isu utama dalam penataan kelembagaan di daerah adalah pada jumlah yang diperkenankan bagi setiap daerah untuk membentuk instansi baik berupa dinas, badan, kantor maupun bagian. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 ini, kriteria penataan organisasi perangkat daerah didasarkan atas perhitungan skor penetapan, di mana faktor-faktor umum yang diperhatikan diantaranya luas wilayah, jumlah penduduk, ratio belanja pegawai dalam APBD, jumlah kecamatan dan desa, serta aspek karakteristik daerah pengembangan atau pertumbuhan. Namun demikian, kriteria yang dikembangkan ini tidak mencerminkan realitas teknis yang menjadi tugas dari setiap lembaga yang akan dibentuk sehingga hasil perhitungan yang diperoleh juga sering tidak mendasari perlunya pembentukan suatu satuan birokrasi tertentu (Dwiyanto et al. 2005). Kelembagaan pemerintah daerah adalah kelembagaan yang ada didalam daerah. Sedangkan perangkat daerah adalah organisasi atau lembaga pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perangkat daerah terdidri atas sekertariat daerah, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan desa (Ambordi dan Prihawantoro 2002). Selanjutnya, Dorward et al. (1998) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006) mengatakan bahwa penataan kelembagaan merupakan upaya untuk mengurangi biaya transaksi. Dalam pembangunan ekonomi, biaya transaksi mengakibatkan penyimpangan perilaku yang akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ketidakseimbangan pemilikan hak, dan penguasaan terhadap sumberdaya alam, ketidakseimbangan informasi akan menentukan biaya transaksi,

33 dan ukuran biaya transaksi menentukan perilaku serta pengambilan keputusan individu atau organisasi. Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Pengetahuan tersebut bukan hanya berkaitan dengan keterbatasan daya dukung, melainkan juga sifat-sifatnya yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai private goods, club goods, common pool goods dan public goods (Ostrom 1977) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pengetahuan ini menentukan ketepatan kelembagaan. Misalnya, kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuan oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengetahuan mengenai karakteristik sumberdaya alam dapat diadopsi menjadi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi-transaksi politik yang menentukan peraturan perundangan serta ketepatan kebijakan dalam mengintervensi struktur pasar. Lebih jauh peraturan-perundangan menentukan hak-hak yang diterima masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada saat yang sama pengambilan keputusan mereka dipengaruhi pertimbangan untung-rugi serta kemampuan dan kapasitas untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut. Dalam kondisi demikian dinamika dan transaksi akan tumbuh di dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Salah satu indikator terdapatnya masalah dalam kelembagaan adalah dengan melihat kinerja yang dihasilkan oleh kelembagaan. Apabila hasilnya berupa kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup, maka dapat diduga ada masalah dalam lembaga bersangkutan, informasi antara pelaku tidak seimbang, kapasitas tidak seimbang, masalah dalam hal menetapkan hak atas sumberdaya alam, perilaku menyimpang- rent seeking dan rent seizing (Ross 2001 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Semuanya disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan politik antara pemerintah, pelaku usaha komersial (swasta) dan masyarakat madani. Hubungan Hubungan

34 antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut. Hak atas Sumberdaya Alam PERATURAN PERUNDANGA PENGETAHU Komoditi goods -Private Daya dukung -Common pool goods Bentang -Public goods Alam(stock) Norma, Etika, SIKA KAPASIT PENGAMBIL AN PERTIMBANG AN AN UNTUNG- KINERJA : Kerusakan Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan TATA Yudikatif Eksekutif Legislatif Karakteristik Ekosistem Sumberdaya Alam Modal, Teknologi, Informasi Struktur Pasar PASAR DALAM NEGERI DAN GLOBAL Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin (PETI), pencurian kayu dan penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut. Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan kerusakan sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006) Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan Kinerja pembangunan sumberdaya alam dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari dua kejadian penting, yaitu krisis ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah. Akar krisis ekonomi telah membuka mata mengenai besarnya korupsi dan kolusi yang melingkupi seluruh sendi kehidupan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); sementara (awal) pelaksanaan otonomi daerah menghadirkan persoalan governance, khususnya menyangkut kewenangan pemanfaatan sumberdaya alam, yang masih sulit diprediksi arah penyelesaiannya (Fahmi et al. 2003).

35 Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dengan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infstruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir (Bengen, 2009). Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation) sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran,

36 (5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam (Dahuri, 2001). Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak (public benefit/cost), di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi (private goods) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Karena itu, tersedia pilihan-pilihan bentuk hak-hak (rights) lazim disebut rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumberdaya alam, berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa hak individu (private property) (hanna, dkk dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergantungan antara kelompok masyarakat tertentu dengan lainnya (Bromley 1991 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Kesadaran nilai strategis dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir seperti sasi, mane e, panglima laot dan awig-awig, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaannya belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumberdaya non hayati disubstitusi dengan sumberdaya lain (Kusnadi, 2002). Aspek kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di era otonomi daerah perlu mendapatkan perhatian serius dan pengkajian mendalam. Masalah pengelolaan sumberdaya pesisir mengalami bentuk aktualitas baru dan relevan menjadi objek kajian. Terdapat kerancuan pemahaman bahwa pemerintah daerah seringkali mempunyai persepsi bahwa pelaksanaan otonomi daerah identik dengan kewenangan dan keleluasaan semata. Bahkan terdapat persepsi yang

37 berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya memperoleh dan memperbesar sumber-sumber pendapatannya tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Dharmawan, 2009). Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an. Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang, produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan, dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk Bone Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif;

38 bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal (Satria, 2004). Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan (Satria, 2004). Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Satria, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Balitbangda Sulawesi Selatan maka dapat dirumuskan sembilan program indikatif yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pantai Timur Sulawesi Selatan, yaitu : (1) Program pengembangan lembaga keuangan masyarakat; (2) Program peningkatan keterampilan manajemen usaha dan pemasaran; (3) Program penyehatan lingkungan; (4) Program peningkatan sarana pendukung produksi; (5) Program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; (6)

39 program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya buatan; (7) Program optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan; (8) Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (9) Program peningkatan kualitas kelembagaan (Balitbangda Sulsel 2006). Selanjutnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa : (1) Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan mempunyai prospek pengembangan yang baik, namun hingga saat ini belum memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (3) Infrastruktur wilayah yang ada masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan dukungan penuh bagi upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (4) Kebijakan menyangkut kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup sehingga belum ada instrumen pengelolaan yang memadai; dan (5) Skala usaha dan produk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi masih sangat kecil sehingga belum dapat memberi kontribusi yang basar bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah di Pantai Timur Sulawesi Selatan (Balitbangda Sulsel, 2006). Dari hasil penelitian pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantai Timur Sulawesi Selatan, maka ada lima kebijakan yang direkomendasikan, yaitu : (1) Optimalisasi Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa lingkungan; (2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kondisi sosial ekonomi masyarakat; (3) Peningkatan infrastruktur ekonomi wilayah; (4) Kebijakan pengelolaan pada tingkat kabupaten perlu disempurnakan; dan (5) Penyempurnaan kelembagaan pengelolaan, terutama di tingkat kabupaten (Balitbangda Sulsel, 2006) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun masyarakat sekaligus mempertahankan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir. Program-program pembangunan saat ini sebagian besar bersumber dari wacana pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan

40 kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam (Nasution et al. 2007). Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegaranegara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah (Dahuri et al. 2001). Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya (Bengen, 2009). Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir (Bengen, 2009).

41 Berbagai permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan kawasan dan pengelolaan sumberdaya pesisir perlu untuk segera di atasi. Pada beberapa daerah pengelolaan kawasan pesisir membawa dampak terhadap degradasi kualitas lingkungan pesisir. Disamping itu pengelolaan kawasan pesisir juga membawa dampak terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pedoman umum pengelolaan kawasan pesisir di sangat diperlukan karena beberapa hal antara lain : (1) Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir disebabkan karena belum adanya regulasi yang jelas sebagai pedoman dan panduan dalam pengelolaan kawasan pesisir. (2) Pengelolaan kawasan pesisir selama ini cenderung bersifat sektoral. Misalnya kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan kawasan perumahan atau pelabuhan kadang-kadang kurang memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan. Demikian juga pembangunan kawasan wisata di daerah pesisir kadang-kadang kurang memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. (3) Kawasan pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem tidak dapat dilihat hanya dalam batas wilayah administratif pemerintahan. Sebagai suatu kesatuan ekosistem pengelolaan kawasan pesisir pada Daerah Otonom yang berbatasan perlu dilakukan secara terpadu. (4) Kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah merupakan suatu kebijakan nasional yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kewenangan Daerah dalam mengelola kawasan pesisir perlu ditingkatkan implementasinya (Irwansyah, 2007). Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini akan menjadi kajian dalam penelitian ini dengan melihat kebijakan, respon dan perilaku stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu, yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah

42 makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan (Satria, 2009). Berbagai kajian menunjukkan bahwa institusi komuniti dapat menyediakan common-pool reosurces dengan lebih baik, termasuk jika dibandingkan dengan institusi negara. pemanfaatan institusi komuniti yang telah terbentuk, khususnya komuniti karena kesamaan teritorial, untuk mengelola suatu kawasan tertentu yang langsung berkaitan dengannya, serta mengembangkan aransemen institusional multi-pihak untuk mengelola common-pool resources yang berada di luar kawasan yang disebut sebelumnya. Untuk mengokohkan kedua aransemen institusional dimaksud, dapat dikaji prinsip desain (design principle) institusi yang mampu bertahan lama menyediakan common-pool resources, sebagaimana dirumuskan oleh Ostrom dan Edella (1996) yang mengatakan bahwa prinsip desain tersebut adalah: (1) Adanya batas (boundaries) yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan common-pool resourcesnya sendiri; (2) Kesesuaian antara aturan (rules) pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; (3) Modifikasi susunan pilihan-kolektif (collective-choice arrangements), khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan (dalam pengambilan keputusan) pihak-pihak yang terkena dampaknya; (4) Pemantauan perilaku pengambil manfaat (appropriators) dan kepada siapa pemeriksa kondisi commonpool resources bertanggungjawab; (5) Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; (6) Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan (7) Pengakuan minimal atas hak komuniti untuk mengorganisasikan diri (Fahmi et al. 2003). Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu terpadu berbasis masyarakat, akan melihat kesiapan di tingkat lokal bahwa ketiga jalur aksi (worlds of action), yaitu tingkat pilihan operasional (operational

43 choice), tingkat pilihan kolektif (collective choice) dan tingkat pilihan konstitusional (constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain (Fahmi et al. 2003), semestinya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Analisi Kebijakan Persoalan keadilan selalu mendapatkan tempat yang istemewa di setiap perbincangan intelektual selama ini karena permasalahan karena persoalan keadilan tidak pernah tuntas, selalu saja ada ketidakpuasan terhadap persoalan keadilan. Setiap tercipta suatu keadilan dalam masyarakat, orang akan selalu menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi karena kebijakannya terhadap publik dianggap tidak berpihak terhadap mereka yang merasakan ketidakadilan. Tuduhan tersebut sangat beralasan karena memang inti dari kebijakan adalah studi tentang keputusan (decision) dan tindakan (action) pemerintah dalam fokustrasinya terhadap kebutuhan publik. Apabila pemerintah tidak berpihak atau tidak fokus terhadap publik, maka masyarakat berhak menolaknya (Fermana, 2009). Selanjutnya menurut Fermana (2009) bahwa sejak akhir abad 19 sampai sekarang, pada umumnya analisis kebijakan di ukur lewat ilmu alam (natural sciences) yang beranggapan bahwa persoalan sosial dapat diselesaikan dengan pendekatan saintifik positivistik. Pendekatan ini mengaku dirinya sebagai objektif dan bebas dari nilai sehingga dalam menentukan putusan suatu kebijakan publik membebaskan diri dari nilai-nilai (normativitas). Model kebijakan ini juga akan cenderung pada kebijakan yang otoriter karena hanya di putuskan oleh beberapa orang ahli saja yang disebut teknokrat. Pendekatan positivistik dalam kebijakan juga disebut pendekatan developmentalisme. Di Indonesia pendekatan ini tumbuh berkembang pada masa orde baru dengan jargon trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Demi ketiga hal tersebut pemerintah berhak merekayasa ruang publik dan mengebiri pendapat publik mengikuti tujuan pembangunan yang top down dan otoriter.

44 Pendekatan-pendekatan tersebut gagal mencapai kesuksesan memenuhi rasa keadilan masyarakat karena problem manusia tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang saja dengan cara kerja yang disamakan dengan ilmu alam. Permasalahan analisis kebijakan adalah berhubungan dengan pertanyaan siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan. Hal ini dapat didekati dengan memahami lebih awal makna keadilan yang secara umum dibangun atas lima dasar yaitu (1) Preferensi individu (individual preferences). Preperensi individu penting karena karena menjadi dasar bagi apa yang diinginkan manusia, jika preferensinya terpenuhi maka individu tersebut akan merasakan keadilan. (2) Etika (ethic). Dari etika konsep baik dan buruk berasal, jika sesuatu dianggap baik maka keadilan mengikutinya begitu pula sebaliknya. (3) Kebebasan Individu (individual freedom). Kebebasan individu adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, yang mana manusia menginginkannya untuk terpenuhi, oleh sebabnya jika kebebasan tidak terpenuhi atau terhambat maka rasa keadilan akan dituntut. (4) Hak Individu (individual right). Jika hak individu terpenuhi dan tidak dilanggar, rasa keadilan akan terpenuhi, begitu pula sebaliknya. (5) Distribusi Keadilan (distribution of justice). Tersalurnya distribusi nilai-nilai keadilan seperti persamaan hak, dan kebebasan manusia, akan sangat menentukan nilai keadilan. Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan kedalam beragam program dan proyek. Menurut Dunn (1991), ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan, yaitu Pertama Model Prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Kedua Model Retrospektif yaitu analisis kebijakan yang dilakukan terhadap kebijakansetelah suatu kebijakan di implementasikan. Model ini biasanya disebut model evaluatif. dan yang Ketiga Model Integratif yang merupakan perpaduan antara kedua model diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik

45 karena analisis ini dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah kebijakan diterapkan Analisis isi (Content Analysis) Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel dan Norman. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel dan Norman. 1996). Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial Proses perubahan kebijakan Keputusan dan pembuatan suatu kebijakan publik harus mengakomodasi tuntutan masyarakat, yang tuntutan tersebut didelegasikan kepada seseorang atau kelompok dalam model demokrasi perwakilan. Kebijakan publik yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat tidak mempunyai legitimasi, dan tidak memenuhi rasa keadilan, yang menjadi cita-cita sosial masyarakat. Pada intinya keputusan dan pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah adalah public policy consists of political decisions for implementing program to achieve societal goals kebijakan publik terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat (Fermana, 2009).

46 Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang chaotic. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses pembelajaran bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama. Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model linier. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau commonsense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton 1999) : 1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah. 3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi. 4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan. 6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Menurut (IDS, 2006) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan. 2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuranukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.

47 3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya. 4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama. 5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai). 6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama saling membangun kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan. 7. Co-produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan. 8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan. Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan yaitu : 1. Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan kebijakan naratif, Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya) 2. Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung) dan 3. Politik dan kepentingan (apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan

48 Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan Sumber : Institute of Development Studies (2006). Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan (Gambar 3). Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap kebenaran, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh Analisis stakeholder Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap kebijakan lingkungan, sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya. Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting

49 dalam setiap kegiatan partisipatif. Namun, seringkali stakeholder diidentifikasi dan dipilih secara ad-hoc sehingga berpotensi meminggirkan kelompok-kelompok penting, membuahkan hasil yang bias dan membahayakan kelangsungan jangka panjang proses dan dukungan atas kebijakan. Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam, analisis stakeholder digunakan sebagai suatu pendekatan yang dapat memberdayakan para stakeholder marjinal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder telah dilihat sebagai suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan untuk memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000). Analisis stakeholder menanyakan siapa pihak yang berkepentingan, yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi, bagaimana pihak-pihak ini berinteraksi, dan berdasarkan informasi ini, bagaimana mereka mungkin dapat berkerjasama secara lebih efektif.

50 BAB III METODA PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Agustus Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, di 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Larompong Selatan, Larompong, Suli, Belopa utara, Ponrang, Bua dan Kecamatan Walenrang Timur yang merupakan wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Luwu dan merupakan kawasan Teluk Bone. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini : Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.

51 3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif yang menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan pada fenomena yang kompleks pada hubungan antar faktor yang berpengaruh. Secara keseluruhan validasi penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data atau informasi dari tiga sisi yaitu : pertama, data primer dari hasil perolehan observasi lapangan atau dari obyek penelitian secara langsung; kedua, dari data sekunder yang diperoleh dari studi literatur untuk memperkaya dimensi data; dan ketiga dari analisis data yang dilakukan secara subyektif oleh peneliti berdasarkan metode analisis data yang telah dipilih. Dengan memadukan sedikitnya tiga metode misalnya pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen, maka satu dan lain metode akan saling menutup kelemahan sehingga tangkapan atas realitas sosial menjadi lebih valid (Sitorus 1998 dalam Aprianty, 2008) Metode Pengumpulan Data Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti atau pengukuran langsung di lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden. Sebagian responden dipilih dengan metode snowball, yaitu perolehan responden berikutnya berdasarkan informasi dari responden sebelumnya setelah mendapatkan data yang dianggap cukup beberapa respon kemudian dipilih secara acak di setiap kecamatan dimana penelitian dilakukan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi terkait, misalnya dalam bentuk dokumen dan publikasi. Data sekunder diinventarisasi dan ditelusuri dari Dinas Perikanan Kabupaten Luwu, Bappeda Kabupaten Luwu, Bapedalda Kabupaten Luwu dan dinas atau instansi terkait lainnya, serta hasil penelitian terdahulu. Penelitian ini juga tidak menutup kemungkinan menggunakan beberapa pendekatan lain yang mungkin berkembang dilapangan. Adapun responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

52 Tabel 1. Responden dalam penelitian No Responden Keterangan Jumlah 1. Pemerintah daerah : - Bappeda - Bapedalda - Dinas Perikanan - Bagian Hukum - Bagian Pemerintahan - Bagian kelembagaan masyarakat 1. Kabid Fisik dan Prasarana 2. Kasubid. Tata Ruang 3. Kasubid Lingkungan Hidup 4. Kabid Amdal 5. Kadis Perikanan 6. Kasubag. Peraturan Perundang-undangan 2. DPRD (dewan perwakilan Daerah) 7 3. Swasta 5 4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 2 5. Perguruan Tinggi 2 6. Masyarakat/Nelayan : 1. Kec. Larompong Selatan. 2. Kec. Larompong 3. Kec. Suli 4. Kec. Belopa utara 5. Kec. Ponrang 6. Kec. Bua 7. Kec. Walenrang Timur Jumlah Tahapan Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan pengumpulan data yaitu : Merangkum dan atau mengumpulkan beberapa peraturan pusat maupun daerah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Melakukan observasi dan identifikasi permasalahan yang ada dilapangan, untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai proses pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir. Wawancara mendalam dengan para aktor atau stakeholder utama yang mewakili para pihak pemangku kepentingan dan pembuat

53 kebijakan, dengan pertanyaan-pertanyaan dan kuesioner. Tahap ini untuk analisis stakeholder Metode Analisis Data Berdasarkan kerangka studi yang telah dipaparkan maka akan dilakukan pengkajian terhadap peraturan-peraturan daerah dan aktor atau stakeholder. Adapun metode analisis yang dilakukan, yaitu : Analisis isi (Content Analysis) Analisis Isi (Content Analysis) berupa teknik kuantitatif yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Content analysis dilakukan untuk mengetahui isi dari suatu produk kebijakan dan menganalisis proses serta aktor yang terlibat dalam perumusan. Content analysis merupakan teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Krippendorf 1980). Teknik penelitian ini bisa dilakukan dengan melihat motif produk peraturan-peraturan daerah yang telah ada kemudian ditabulasi dan dikompilasi. Variabel-variabel lain dari kelembagaan lokal yang dianalisis meliputi konfigurasi struktur organisasi, sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah, dan teknologi organisasi. Strata hak, batas yurisdiksi dan aturan representasi yang merupakan ciri dari institusi (aturan main) diketahui dengan menganalisis isi kebijakan. Keberpihakan kebijakan diketahui dengan menganalisis isi kebijakan dan implikasi yang ditimbulkannya dengan melihat variabel-variabel dasar yaitu motif ekologi, sosial dan ekonomi. Dengan melihat kecenderungan motif perundangan dalam setiap peraturan atau produk hukum daerah yang dianalisis kemudian dikelompokkan lalu dibuat presentase dan penilaian terhadap kecenderungan dan substansi dari motif setiap peraturan dan produk hukum daerah (Perda). Selain itu, peraturan perundangan juga di kelompokkan kedalam motif pengusahaan dan tata kelola, izin, iuran, tarif, pajak, dan retribusi dan pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diharapkan dapat menjelaskan

54 kecenderungan peraturan perundangan pusat dan daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Analisis stakeholder (Stakeholder Analysis). Analisis stakeholder menanyakan siapa pihak yang berkepentingan, yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi, bagaimana pihak-pihak ini berinteraksi, dan berdasarkan informasi ini, bagaimana mereka mungkin dapat berkerjasama secara lebih efektif. Dalam analisis stakeholder dilakukan identifikasi stakeholder dengan melakukan wawancara semi terstruktur, snowball sampling dan ajak sampling, kemudian dilakukan analisis terhadap persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Kategorisasi analitik dilakukan dengan melihat tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder selanjutnya menyelidiki hubungan antara stakeholder dengan melihat posisi stakholder dalam pola relasi stakeholder. Data dari hasil wawancara dan kuesioner dianalisis dengan uji statistik sederhana. Data yang didapatkan ditampilkan dalam bentuk grafik atau diagram. Responden-responden dibatasi hanya pada pengambil kebijakan, toko LSM, dan masyarakat atau nelayan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Analisis prospek penerapan dari kebijakan yang ditemukan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir juga dilakukan untuk mempertajam pengetahuan tentang keberpihakan kebijakan terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya pesisir serta masalah-masalah dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Variabel-variabel yang akan dinilai dalam analisis ini terkait dengan posisi stakeholder terhadap sumberdaya pesisir dalam hal ini, pada level pengambil kebijakan, komunitas dan masyarakat, dan aspek integritas lingkungan berkelanjutan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Stakeholder yang akan diidentifikasikan baik dari individu ataupun organisasi sebagai stakeholder dalam penelitian ini terbagi dalam 4 kelompok, yaitu stakeholders kunci (Key players), takeholder yang harus dipersiapkan untuk menjadi aktif, karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi atas fenomena tertentu. stakeholder yang sangat

55 berpengaruh tetapi kepentingannya rendah (Context setters), (Subjects) adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Meskipun mereka mendukung, mereka tidak memiliki kapasitas untuk menimbulkan perubahan, (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh Rekomendasi atau Arahan Kebijakan Sebagai alternatif dalam penyusunan atau perumusun arahan kebijakan selanjutnya, data yang sudah tersedia di kaji dengan melihat prioritas alternatif issu, setelah itu melakukan interpretasi tunggal sehingga menjadi rekomendasi kebijakan dalam penelitian ini.

56 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1. Kondisi Geografis Perairan Teluk Bone Secara administratif terletak di Propinsi Sulawesi Selatan di sebelah barat dan utara, dan Propinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur. Wilayah administratif dari Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Bone, Kab. Wajo, Kab. Luwu, Kodya Polopo, Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur. Sedangkan wilayah administratif di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bombana dan Kab. Kolaka. Laut Flores adalah batas sebelah selatan dari perairan Teluk Bone. Luas wilayah daratan Kabupaten Luwu tercatat ha. Wilayah Kabupaten Luwu terdiri dari 21 (dua puluh satu) kecamatan, 14 kelurahan dan 174 desa (Tabel 3). Kedudukan Kabupaten Luwu secara administratif berbatasan langsung dengan beberapa kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Enrekang dan sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone. Wilayah Kabupaten Luwu yang berbatasan dengan Teluk Bone adalah Kecamatan Larompong, Kecamatan Larompong Selatan, Kecamatan Suli, Kecamatan Belopa Utara, Kecamatan Ponrang, Kecamatan Bua dan Kecamatan Walenrang. Berikut table luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan di Kabupaten Luwu. Teluk Bone dicirikan sebagai tempat bermuaranya Sungai Cenrana. Pada masa lalu, kebijakan pembangunan lebih terkonsentrasi pada wilayah daratan sehingga cenderung mengabaikan pembangunan wilayah pesisir dan laut. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antara wilayah daratan dan laut. Kesenjangan ini terlihat pada tingkat kesejahteraan sosial ekonomi yang rendah dan angka kemiskinan yang tinggi (Balitbangda, 2006). Kabupaten Luwu yang beribu kota di Belopa terletak pada bagian selatan khatulistiwa antara 2 39' 58.55" ' 0.06" Lintang Selatan dan ' 28.70" ' 17.11" Bujur Timur. Jarak Kabupaten Luwu dari Kota Makassar

57 berkisar 400 km dan terletak di sebelah utara dan timur Propinsi Sulawesi Selatan. Derah Kabupaten Luwu terbagi dua wilayah sebagai akibat dari pemekaran Kota Palopo, yaitu wilayah Kabupaten Luwu bagian selatan yang terletak sebelah selatan kota Palopo dan wilayah yang terletak disebelah utara Kota Palopo. Pada Tabel 2 menunjukkan luas setiap kecamatan di Kabupaten Luwu. Tabel 2. Luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan di Kabupaten Luwu. No Kecamatan Luas Daerah (Region Area) Luas (Area) km² Prosentase (Percentage) Kec. Basseang Tempe 40, Kec. Latimojong 34, Kec. Walenrang Barat 24, Kec. Walenrang Utara 23, Kec. Larompong 21, Kec. Suli Barat 19, Kec. Bua 18, Kec. Bua Ponrang 17, Kec. Larompong Selatan 12, Kec. Ponrang 11, Kec. Bajo Barat 10, Kec. Ponrang Selatan 9, Kec. Suli 8, Kec. Walenrang 7, Kec. Lamasi Timur 6, Kec. Bajo 5, Kec. Walenrang Timur 5, Kec. Kamanre 4, Kec. Lamasi 4, Kec. Belopa 3, Kec. Belopa Utara 2, Sumber : Hasil Analisis GIS, 2010 Keadaan topografi Kabupaten Luwu secara umum berada pada ketinggian meter dari permukaan air laut dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen, 2-15 persen, dan persen dan >40 persen. Daerah dataran pegunungan memiliki presentase tertinggi yaitu 53 persen dari luas wilaya Kabupaten Luwu atau sekitar 143,630,49 ha dan terletak di daerah batas Kabupaten Toraja sampai Kabupaten Enrekang memanjang hingga kearah utara. Sepanjang daerah pesisir di Teluk Bone, memiliki karakteristik pantai berbeda diantaranya di Kecamatan Larompong Selatan merupakan pantai berpasir,

58 Kecamatan Larompong kearah utara Kecamatan Suli, Kecamatan Belopa, Ponrang hingga Kecamatan Bua merupakan daerah dominan di tumbuhi mangrove dengan pantai berlumpur dan campuran pasir. Untuk topografi perbukitan dan pegunungan terdapat di daerah bagian barat di Kecamatan Suli Barat, Bajo Barat Latimojong, Basseang Tempe hingga Walenrang Barat yang berbatasan dengan Toraja dan Luwu Utara. Di daerah dataran rendah yang berada di jalur pesisir Kabupaten Luwu, dari Kecamatan Larompong, Suli, Belopa, Ponrang dan Kecamatan Bua serta daerah pesisir sekitarnya, terdiri atas batuan gunung api Baturape cindako (pusat erupsi), Batuan Gunung api Lamasi (lava andesit, basal, breksi gunung api, batu pasir, dan Batu Lanau, setempat mengandung felsdpatoid, umumnya terkrolitkan dan terkersitkan diduga Oligosen karena menindih Formasi Toraja (Tets) yang berumur Eosen, endapan aluvium dan pantai (kerikil, pasir, lempung, lumpur, batu gamping koral). Dari 21 (dua puluh satu) kecamatan di Kabupaten Luwu, 7 (tujuh) kecamatan di antaranya yang memiliki wilayah pesisir yang cukup luas. Selain memiliki garis pantai yang cukup panjang tersebar dibeberapa kecamatan, kabupaten Luwu juga memiliki kawasan pertambakan yang cukup luas yang terdapat di Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Kecamatan Walenrang Timur. Sebaran Mangrove yang luas tersebar dari ketujuh kecamatan ini disepanjang pesisir Teluk Bone yang pada saat ini semakin berkurang akibat pembukaan lahan pertambakan yang cukup massif Kondisi Demografi Pada tahun 2005 jumlah penduduk di Kabupaten Luwu sebanyak jiwa. Tahun 2009 jumlah penduduk di Kabupaten Luwu sebanyak jiwa atau bertambah 2,09 persen dan pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai jiwa. Laju pertambahan penduduk terbesar dalam kurun waktu tersebut ada di wilayah Kecamatan Belopa Utara sebesar 11,88 persen. Hal tersebut terkait dengan pemindahan ibu kota kabupaten di Kecamatan Belopa, sehingga terjadi perpindahan penduduk dari wilayah lainnya. Sedangkan pertambahan penduduk terkecil terjadi pada Kecamatan Latimojong dengan adanya pengurangan

59 penduduk sebesar -7,81 persen yang umumnya disebabkan oleh perpindahan sebagaian masyarakat yang bekerja sebagai buruh tambang dan penduduk yang mencari mata pencaharian yang lebih layak. Pola penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu merata dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Bua dan Kecamatan Ponrang. Sebagai kabupaten hasil pemekaran penyebaran penduduk lebih besar di dua kecamatan tersebut dikarenakan wilayahnya yang lebih dekat dengan Kota Palopo sebagai pusat jasa dan transaksi jual beli. Sementara jika dilihat dari kepadatan per km², kecamatan Lamasi merupakan daerah terpadat yaitu 465,85 penduduk per kilometer persegi (km²) dengan luas wilayah hanya 1,4 persen dari luas Kabupaten Luwu, dan kepadatan paling rendah terdapat pada Kecamatan Latimojong yaitu hanya 14,27 penduduk per kilometer persegi (km²) dengan luas wilayah 15,6 persen dari luas kabupaten Luwu. Struktur umur penduduk pada Kabupaten Luwu terdapat tiga struktur yaitu 0-14 tahun, tahun, dan di atas 64 tahun. Persentase golongan umur 0-14 tahun sebesar 37, 36 persen dengan jumlah penduduk jiwa yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Golongan umur tahun sebesar 57,59 persen dengan jumlah penduduk jiwa yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Pengelompokan yang terakhir yaitu penduduk yang berumur diatas 64 tahun sebesar 5,05 persen dengan jumlah penduduk 16,374 jiwa yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Jumlah rumah tangga dari keseluruhan kecamatan yang ada di Kabupaten Luwu sebanyak Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk periode selanjutnya yaitu tahun 2030 diperkirakan jumlah penduduk akan mencapai jiwa. Berdasarkan data proyeksi yang diperoleh dari hasil analisis kependudukan Kabupaten luwu 2009 maka pada tahun 2010 penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu memiliki rata-rata kepadatan penduduk sebanyak 1 jiwa/hektar dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Belopa Utara mencapai 5 jiwa/hektar. Sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Latimojong dan Bastem dengan rata-rata kepadatan penduduk 1 jiwa/hektar. Tingkatan kepadatan penduduk jika diperkirakan hingga tahun 2030 penyebaran penduduk di Kabupaten Luwu memiliki rata-rata

60 kepadatan penduduk 2 jiwa/hektar dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Belopa Utara yang mencapai 44 jiwa/hektar Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi kabupaten Luwu selain sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Menyikapi pentingnya sektor tersebut, Pemda Kabuten Luwu telah melakukan regulasi kelembagaan dengan membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kelautan dan Perikanan. Terbentuknya Dinas Kelautan dan Perikanan merupakan momentum sekaligus tantangan bagi Pemda Kabupaten Luwu untuk meningkatkan kualitas peran fasilitas dan intermediasi bagi masyarakat dan stakeholder yang bergerak pada sektor ini, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas kinerja SKPD yang bersangkutan akan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan kelautan dan perikanan yang menjadi tanggungjawabnya. Tantangan ini semakin nyata di kawasan pesisir dan laut, dimana dituntut keterpaduan pengelolaan untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan perlindungan kualitas lingkungan. Umumnya nelayan kabupaten Luwu lebih banyak yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tangkap. Sebagaian besar wilayah tambak dimanfaatkan untuk budidaya ikan bandeng, udang windu dan rumput laut. Penangkapan dengan sistem tradisional masih banyak ditemukan di beberapa tempat dengan menggunakan alat tangkap sederhana seperti sampan, jaring, pancing dan bubu serta alat tangkap nelayan lokal yang sangat sederhana. Keberadaan nelayan tradisional di Kabupaten Luwu juga menjadi masalah tersendiri yang dalam kebijakan ditingkat lokal luput dari perhatian Pemerintah Daerah. Umumnya Nelayan yang tidak mampu lagi mememnuhi kebutuhan hidupnya selanjutnya lebih banyak menjadi petani sekaligus buru bangunan atau pekerjaan lainnya. Penguatan ekonomi masyarakat pesisir melalui program dan kegiatan yang mampu meningkatkan pendapatan, memberi hak atas sumberdaya pesisir kepada masyarakat, penguatan komunitas dan jaminan hukum dari pengambil kebijakan melalui regulasi seharusnya diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan semua stakeholder yang berkepentingan. Langkah-langkah

61 Pemda Kabupaten Luwu untuk menyiapkan produk-produk hukum yang menjadi acuan dalam pengeloaan wilayah pesisir termasuk langkah strategis dalam memproteksi perilaku merusak sumberdaya pesisir, namun pada sisi lain juga dapat mempersempit ruang atau akses masyarakat terhadap sumberdaya pesisir sehingga pada sisi lain akan meyebabkan kemiskinan nelayan yang berkepanjangan Pemerintahan Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda termasuk daerah yang berstatus kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56 tahun 1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 (tujuh) daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo. Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain ; Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar, Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4 Tahun 1957, maka daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja. Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3 Tahun 1957 adalah meliputi, Kewedanaan Palopo, Kewedanaan Masamba, dan, Kewedanaan Malili ( Tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu. Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur pemerintahan daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100 Tahun 1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu, Wara, Larompong, Suli, Bajo, Bupon, Bastem, Walenrang, Limbong, Sabbang, Malangke, Masamba, Bone-bone, Wotu, Mangkutana, Malili dan Nuha.

62 Beberapa bulan kemudian, SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067 Tahun 1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan diterbitkan. Dengan berpedoman pada SK tersebut, maka status distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan namanama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No Tahun 1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah km2. Pada tahun 1999, awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya Undang-undang No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah, tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun1999 ( Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kecamatan Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu Kecamatan Lamasi, Walenrang, Pembantu Telluwanua, Warautara, Wara, Pembantu Waraselatan, Bua, Pembantu Ponrang, Bupon, Bastem, Pembantu Latimojong, Bajo, Belopa, Suli, Larompong, Pembantu Larompong Selatan. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kecamatan Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sabbang, Pembantu Baebunta, Limbong, Pembantu Seko, Malangke, Malangke Barat, Masamba, Pembantu Mappedeceng, Pembantu Rampi, Sukamaju, Bonebone, Pembantu Burau, Wotu, Pembantu Tomoni, Mangkutana, Pembantu Angkona, Malili, Nuha, Pembantu Towuti (BPS Luwu Utara, 2002).

63 4.5. Potensi Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Sebagai wilayah yang memiliki garis pantai yang cukup panjang, Kabupaten Luwu merupakan bagian yang sangat strategis bagi pengelolaan kawasan Teluk Bone. Di sepanjang garis pantai terdapat hutan mangrove yang terbentang luas, padang lamun dan beberapa pulau-pulau kecil yang dikelilingi terumbuh karang. Konversi lahan mangrove menjadi pertambakan intensif mendorong degradasi lingkungan pesisir yang cukup cepat. Selain itu pertambahan penduduk dan pemukiman disekitar wilayah pesisir juga menjadi potret yang dapat dilihat saat ini di kawasan pesisir Kabupaten Luwu. Sumberdaya perikanan kabupaten Luwu terdiri atas perikanan laut dan perrikanan darat. Total potensi lahan untuk kegiatan budidaya perikanan seluas ha, terdiri atas lahan tambak seluas ha, lahan mina padi ha, lahan kolam 79 ha, dan perairan pantai ha. Tingkat pemanfaatan lahan mencapai ha, atau sekitar 45 persen dari total potensi budidaya perikanan yang tersedia. Sumberdaya kelautan yang dimiliki Kabupaten Luwu sangat potensial, meliputi wilayah laut seluas ha dengan panjang garis pantai 116,16 km. berdasarkan data yang ada luas tutupan terumbu karang diperkirakan sekitar ha, dengan estimasi persentase tutupan karang 10 persen dalam kondisi baik, 25 persen dalam kondisi sedang dan 65 persen dalam kondisi rusak. Wilayah perairan di Kabupaten Luwu selain dimanfaatkan untuk perikanan tangkap, juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut dan bagan ikan. Total jumlah produksi kegiatan budidaya perikanan pada tahun 2009 sebesar ton atau meningkat sebesar ton (32 persen) dibandingkan tahun 2008 yang hanya mencapai ton. Peningkatan produksi perikanan budidaya disebabkan oleh besarnya pertambahan luasan pemanfaatan lahan budidaya, terutama untuk budidaya rumput laut jenis gracillaria sp dan Eucheuma cottoni serta ikan mas. Pemanfaatan lahan tambak yang lain adalah budidaya udang windu dan ikan bandeng. Secara keseluruhan luas areal tambak yang dikelola oleh masyarakat sampai dengan tahun 2009 adalah ha yang tersebar disepuluh wilayah kecamatan. Masing-masing menurut komoditas yang dibudidayakan, areal budidaya udang windu seluas 180 ha, ikan bandeng seluas ha, dan rumput laut ha.

64 Pada tahun 2008 produksi lahan tambak untuk 3 jenis komoditas utama yakni ikan bandeng (Chanos chanos) sebesar ton, udang windu (Penaeus monodon) sebesar 13 ton, dan rumpu laut (Gracillaria sp) sebesar ton. Apabila dibandingkan dengan produksi budidaya perikanan pada tahun 2009 mengalami peningkatan ton (16,7 persen) untuk budidaya ikan bandeng, 90 ton (85,6 persen) ton udang windu dan rumput laut meningkat menjadi ton atau berkisar 31 persen. Kegiatan pengembangan budidaya air tawar untuk jenis ikan mas (Cipirus carpio) dahulunya banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan persawahan. Namun dalam perkembangannya dan meningkatnya permintaan pasar masyarakat melakukan pengembangan budidaya ikan mas dengan membuka lahan kolam baru dan keramba yang banyak ditemukan pada saluran pengairan sawah. Luas areal budidaya ikan mas yang dikelola oleh masyarakat berkisar ha, terdiri dari lahan mina padi dan kolam. Lahan budidaya ikan mas tersebar di 15 kecamatan. Produksi ikan mas pada tahun 2009 mencapai 380 ton. Di beberapa kecamatan masyarakat melakukan usaha-usaha unit pembenihan rakyat (UPR) yang tersebar di kecamatan Lamasi Timur, Walenrang Timur, Walenrang, Walenrang Barat, Walenrang Utara, Bajo, Suli, dan Kecamatan Larompong. Selain itu terdapat empat unit sarana Balai Benih Ikan (BBI) di Kecamatan Lamasi Timur, Walenrang Timur, Walenrang dan Bajo. Dalam kegiatan budidaya laut yang berkembang pesat di empat kecamatan yakni Kecamatan Bua, Ponrang, Suli dan Kecamatan Larompong komoditas utamanya adalah budidaya rumput laut jenis Euchema cottoni. Total luas pemanfaatan tahun 2009 seluas ha yang juga menyebabkan total produksi yang dihasilkan meningkat dua kali lipat dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun Perairan laut di perairan tropis dicirikan dengan tingginya tingkat keanekaragaman hayati, sehingga jenis peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan pun sangat bervariasi, baik untuk jenis demersal maupun pelagis. Jumlah alat tangkap pada tahun 2009 sebanyak unit yang tersebar di tujuh kecamatan. Jenis alat tangkap tersebut terdri atas jala, jala insang (gili net) dan

65 pancing. Disain khusus dari ketiga jenis alat tangkap ini disesuaikan dengan lokasi penangkapan ikan dan cara pergerakan (ruaya) dari jenis ikan yang ditangkap. Nelayan menggunakan alat tangkap yang bersifat statis, misalnya Sero dan Bagang tancap. Alat tangkap jenis ini bersifat massif dan di gunakan hanya pada musim tertentu. Disamping Bagan Tancap juga terdapat Bagan Perahu yang mampu mendekati fishing ground. Jauhnya operasi nelayan ditentukan oleh kemampuan perahu atau kapal tangkap dan jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebagian besar kegiatan nelayan masih terkonsentrasi pada perairan pantai hingga empat mil laut dari tempat asalnya (fishing base), sesuai dengan kemampuan jelajah perahu motor temple. Fishing ground bagi nelayan dengan kapal motor dan alat tangkap poleline tidak terbatas pada teluk bone saja, tetapi mencapai wilayah perairan Provinsi Sulawesi Tenggara. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2009 sebesar ton, terdiri atas ikan-ikan pelagis ton dan ikan demersal ton. Jika dibandingkan dengan tahun ton, jumlah produksi mengalami peningkatan sebesar 5,59 persen. Jumlah hasil tangkapan ini diperkirakan masih dibawah potensi lestari sumberdaya ikan (maximum sustainable yield) karena sebagian besar armada penangkap ikan hanya mampu beroperasi diperairan pantai dan dengan frekuensi melaut nelayan yang terbatas. Berikut ini data mengenai jumlah produksi dan armada perikanan tangkap dalam kurun tahun Panjang dan luas garis pantai dari Kabupaten Luwu yakni berkisar 116,16 km dan 860,52 km². Sepanjang garis pantai Kabupaten Luwu merupakan wilayah yang dapat dikembangkan pada berbagai bidang utamanya perikanan. Pengembangan usaha perikanan disepanjang garis pantai semestinya juga tetap melindungi kawasan mangrove, yang merupakan ekosistem yang dapat menunjang pelestarian sumberdaya alam utamanya sumberdaya alam perikanan laut. Sebagai wilayah pesisir yang potensial, wisata alam pesisir, pantai dan pelabuhan banyak dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Luwu. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir posisi masyarakat atas akses yang adil terhadap sumberdaya alam pesisir saat ini belum menjadi pertimbangan utama bagi pengelolaan sumberdaya pesisir. Penelitian ini akan melihat keinginan

66 konstitusional pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan berbasis komunitas dan masyarakat dengan melihat peraturan-peraturan daerah dan analisis stakeholder yang menunjukkan peta stakeholder yang dominan mengakses dan memiliki tingkat kepentingan terhadap sumberdaya alam pesisir Kabupaten Luwu Kebijakan Sektor Pesisir Lima belas kabupaten/kota yang berada di kawasan Teluk Bone telah bersepakat mengembangkan sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu berbasis wilayah dengan prinsip kemitraan, yaitu kerja sama antar daerah yang juga merupakan gagasan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI), khususnya yang mewakili Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan telah menjadi salah satu program prioritas Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI). Wilayah pesisir Teluk Bone terbagi atas 15 kabupaten/kota yang meliputi: Kabupaten Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, uwu Utara, Luwu Timur, Kota Palopo, Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Bombana, Muna, Kota Bau Bau dan Kabupaten Buton, di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang membentang sepanjang 1128 km garis pantai dengan luas sekitar km2 dan dihuni oleh jiwa penduduk. Teluk Bone merupakan salah satu kawasan potensial perikanan yang apabila dikelola secara optimal dan terpadu diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata pada program pemerintah dalam revitalisasi perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 pasal 60 tentang Perikanan, dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasioanal (RPJMN) yang meliputi program pengentasan kemiskinan (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), dan percepatan pertumbuhan (pro-growth). Inisiatif pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu dalam penelitian ini dinilai dengan melihat kesiapan pemerintah daerah dalam mempersiapkan prasyarat-prasyarat kebijakan melalui peraturan daerah yang ada, rencana aksi kolektif pemerintah daerah dan sampai pada kesiapan level operasional dengan melakukan studi kebijakan dan analisis stakeholder di Kabupaten Luwu.

67 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.

68 Pengaturan pengelolaan sumberaya pesisir yang diharapkan mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan keberlanjutan sumberdaya pesisir yang tersedia, menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bagi stakeholder di daerah. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa pada saat pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara berkelanjutan dan berkeadilan, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yang dapat kita lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Janji-janji Otonomi Daerah Kesetaraan (equity) Desentralisasi diyakini dapat membantu pengembangan kesetaraan melalui efisiensi penggunaan sumberdaya yang lebih besar dan adil serta distribusi manfaat dari aktivitas lokal secara demokratis Efisiensi Efisiensi ekonomi dan managerial diyakini dapat ditingkat dengan : 1. Dalam setiap pengambilan keputusan dampak terhadap masyarakat lokal senantiasa dapat diperhitungkan 2. Meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengambilan keputusan 3. Mengurangi biaya transaksi 4. Memberikan pelayanan yang berorientasi kebutuhan 5. Memobilisasi pengetahuan lokal 6. Mengembangkan koordinasi 7. Menyediakan sumberdaya Sumber : Ribot (2002) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) Dalam upaya desentralisasi pengelolaan sumberaya pesisir pemerintah Kabupaten Luwu merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Kabupaten Luwu yang memiliki wilayah pesisir yang potensial dan strategis untuk dikelola secara profesional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan mendukung kelestarian lingkungan, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, terencana dan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dengan asas manfaat dan keadilan, merupakan tujuan utama peraturan daerah ini di rumuskan.

69 Ada dua masalah penting yang juga menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu kapasitas lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Dalam hasil wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu 1 ditemukan bahwa dinas perikanan hanya memiliki 3 (tiga) orang tenaga penyuluh lapangan, 1 (satu) orang tenaga pengawas yang masih memiliki skill yang terbatas dan kemampuan teknis serta manajemen yang juga terbatas. Hal ini merupakan gambaran kapasitas lembaga yang mengelola sumberdaya pesisir dan lingkungan di Kabupaten Luwu. Selain itu, hubungan antara lembaga termasuk kolaborasi dan koordinasi antar lembaga sangat penting dalam pengelolaan secara partisipatif, dalam temuan lapangan hal ini masih sangat lemah. Keadaan ini mempengaruhi kinerja dan menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah. Berikut hasil narasi wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dalam memperoleh data dan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan memiliki kesulitan karena petugas pengawas perikanan yang bertugas di Kabupaten luwu hanya terdiri dari 1 (satu) orang, selain itu untuk melakukan penyuluhan pengelolaan sumberdaya pesisir petugas yang kami punya hanya 3 (tiga) orang dan 2 (dua) orang diantaranya hanya tamatan SMA. Dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu 2, ditemukan bahwa lemahnya peran-peran kelembagaan lokal terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu disebabkan oleh lemahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas kelembagaan utamanya masih minimnya peran dan fungsi kelembagaankelembagaan lokal. Berikut kutipan hasil wawancara selanjutnya. 1 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 2 Lanjutan wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

70 Hanya ada beberapa kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya selama ini yang aktif, itu pun banyak diantara mereka yang belum memiliki kesadaran dalam membantu menjaga lingkungan, khususnya pembukaan kawasan mangrove untuk tambak. LSM yang mendampingi masyarakat sebelumnya juga sudah tidak aktif lagi setelah Perda tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut disetujui di DPRD Menurut Wahyudin (2005), ciri pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif adalah (1) transparansi dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti berapa luas area yang dikelola atau dimanfaatkan, untuk kegiatan apa, bagaimana cara dan mekanisme pengelolaan siapa yang mengelola, (2) pertanggung jawaban pengelolaan kepada publik khususnya kepada stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, yang dalam Peraturan Daerah semestinya telah diatur sehingga pembagian kewenangan dan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder jelas dan menjadi hukum yang telah disepakati bersama. Dalam peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat, tidak terdapat pengaturan tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam bab dan pasal peraturan daerah tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang berlebihan sehingga terjadi degradasi terumbuh karang dan hutan mangrove secara massif yang mencapai tingkat kerusakan sampai 65 persen berikut data luas tutupan dan kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu. Adapun gambaran luas tutupan dan kondisi terumbu karang di Kabupaten Luwu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu No Luas Persentase Luas Terumbu Karang (%) Kecamatan Tutupan (di pesisir) Sangat (ha) Baik Sedang Rusak Baik 1 Kabupaten Luwu (10 %) (25 %) (65 %) Keterangan : (-) = Data tidak tersedia Sumber : Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2010

71 Persoalan yang ditemukan dalam analisis substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu yaitu substansi perda yang masih cenderung eksploitatif, proses perumusan Peraturan Daerah yang belum partisipatif serta belum di jaminnya kepastian hak atas kekayaan sumberdaya alam pesisir bagi masyarakat sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa seluruh rangkaian sejarah serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari jaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1. Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam oleh berbagai pihak, baik secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2. Substansi Undang-undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor cenderung bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam. 3. Tindakan eksploitasi sumberdaya alam secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan sumberdaya alam bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan di sekitar lokasi sumberdaya alam. 4. Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan sumberdaya alam eksploitatif melalui mobilisasi suara. Demokratisasi pengambilan keputusan terbukti belum menghasilkan substansi keputusan yang mempertimbangkan arti penting pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan. Sedangkan menurut Rudyanto (2007), bahwa berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan

72 ekonomi lokal atau daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal yang masih perlu disempurnakan antara lain: 1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal. 2. Untuk mencegah disinsentif, pemerintah daerah perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah besarnya dana, tapi seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerahnya). 3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan (stakeholder). 4. Memperbaiki fundamental ekonomi nasional dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada Usaha Kecil-Mikro (UKM) agar lebih berkembang melalui kebijakan ekonomi yang tidak diskriminatif. 5. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional dan arif, agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green economic paradigm). 6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi) daerahnya. 7. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerahnya. 8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, pemerintah daerah tidak harus selalu menambah jenis pungutan. 9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat pemerintah daerah harus mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan Pemerintah Daerah sebagai institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Dengan semangat otonomi daerah umumnya ditemukan dalam wawancara dengan stakeholder bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam

73 implementasi kebijakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu antara lain : (1) Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi daerah, (2) Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman dan acuan implementasi otonomi daerah, (3) Keterbatasan kemampuan aparatur pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, (4) Keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah, (5) Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerah. Substansi regulasi di atas banyak mengkonsentrasikan kewenangan pada pemerintah pusat, sehingga mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal, menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak terkontrol. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pelanggaran yang terjadi, seperti kegiatan penangkapan dengan menggunakan potas maupun pengambilan biota yang dilindungi, kegiatan pembukaan lahan tambak baru atau eksploitasi hutan mangrove yang massif di hampir seluruh kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Luwu. Salah satu temuan penelitian setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu 3, ditemukan bahwa Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu masih memiliki keterbatasan tenaga pengawas dalam melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang hanya terdiri 3 (tiga) orang tenaga pengawas yang sekaligus berfungsi sebagai tenaga penyuluh perikanan. Selain itu, kelemahan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir juga di tunjukkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) khususnya Kepala Bidang Pengendalian AMDAL 4 yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sumberdaya pesisir 3 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 4 Wawancara dilakukan dengan Jahiriah Kepala Bidang Pengendalian AMDAL. Dilakukan pada hari Rabu tanggal 6 Juli 2011 di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda), Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

74 oleh pihak swasta dan masyarakat. Dari wawancara mendalam ditemukan informasi lemahnya penanganan dampak lingkungan yang hanya mengandalkan laporan dari masyarakat. Berikut ini kutipan wawancara dengan pihak Bapedalda. Saat ini terjadi eksploitasi kawasan mangrove akibat pembukaan lahan tambak untuk budidaya tambak rumput laut, tetapi kami tidak bias mengambil tindakan selama belum ada aturan yang mengatur secara rinci batas pemanfaatan hutan mangrove dari pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Selama ini untuk masalah pencemaran lingkungan akibat penambangan atau aktivitas perusahaan kami biasanya menunggu laporan masyarakat. Dalam wawancara dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) 5 ditemukan bahwa tingkat pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan peraturan daerah masih sangat lemah. Selanjutnya secara subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat Kabupaten Luwu akan di kaji dengan melihat persoalan pemberian kesempatan pada masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Selanjutnya kutipan hasil wawancara dengan pihak Bappeda. Perda ini diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan LSM KTNA, namun tidak melibatkan kelompok masyarakat nelayan atau kelompok pembudidaya, selain itu pada prosesnya beberapa instansi terkait seperti Bappedalda tidak terlibat secara aktif. Persoalan yang banyak terjadi saat ini adalah potensi terjadinya abrasi di pemukiman pesisir jika tidak segera di lakukan penguatan aturan perda ini. Terkait juga dengan masalah hulu, karena sisa penebangan yang terbawa ke muara juga menyebabkan terjadi kerusakan tanaman mangrove. Temuan dari wawancara di atas menunjukkan lemahnya koordinasi instansi terkait pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Selain itu, 5 Hasil wawancara dengan Zainal Arifin Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Pesisir (Bappeda) Kabupaten Luwu. Dilakukan pada kamis tanggal 7 Juli 2009 di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

75 saat ini telah terjadi degradasi lingkungan yang sangat tinggi khususnya pada hutan mangrove. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan dan perencanaan Perda tentang pengelolaan pesisir juga tidak dilakukan. Kenyataan ini memerlukan kebijakan baru yang lebih mengedepankan pemberian tanggungjawab kepada masyarakat dalam melakukan perlindungan sumberdaya pesisir yang semestinya dilakukan dengan lebih dahulu memberikan ruang keterlibatan dalam perencanaan, evaluasi dan monitoring sehingga masyarakat lokal selain memiliki kesadaran juga memiliki rasa tanggungjawab Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Penetapan peraturan Daerah (Perda) adalah suatu proses politik yang secara umum melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan semestinya melibatkan multipihak. Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat yang dianalisis dalam penelitian ini diinisiasi oleh pihak eksekutif melalui Dinas Perikanan dan Kelautan 6. Dalam prosesnya sampai di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) peraturan daerah ini hanya melibatkan satu kelompok Tani Nelayan Tambak dan satu Lembaga Swadaya Masyarakat KTNA dari pihak diluar pemerintahan. Peraturan Daerah ini disusun atas dasar bahwa wilayah pesisir dan laut di daerah Kabupaten Luwu merupakan kawasan yang sangat potensial dan strategis untuk dikelola secara professional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir. Selain itu Kabupaten Luwu yang berbatasan langsung dengan Kawasan Teluk Bone penting untuk mendukung kelestarian, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat berlandaskan asas-asas manfaat dan keadilan. Pada Tabel 5 di bawah ini 6 Hasil wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

76 menggambarkan tentang stakeholder yang terlibat dalam penyusunan Perda tersebut. Tabel 5. Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Instansi Pemerintah LSM-ORMAS Dinas Perikanan dan Kelautan LSM KTNA Kelompok Tani Nelayan Tambak Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Bagian Hukum Bagian Pemerintahan Bagian kelembagaan masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabid Fisik dan Prasarana Kasubid. Tata Ruang Kasubid Lingkungan Hidup Kabid Amdal Kadis Perikanan Kasubag. Peraturan Perundang-undangan Lurah Perguruan Tinggi Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat merupakan peraturan yang dibuat sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah ini di sahkan pada bulan Maret 2007, dilakukan perumusan selama 2 (dua) tahun sejak tahun 2005, sedangkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disyahkan pada bulan Juli Secara eksplisit peraturan daerah ini merujuk pada Undang-

77 Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan daerah ini ditemukan bahwa tidak terdapat rujukan terhadap Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang sesungguhnya mengatur secara teknis pedoman untuk perencanaan wilaya pesisir secara terpadu. Peraturan daerah ini terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 24 (dua puluh empat) pasal yang akan di kaji selanjutnya terkait dukungan peraturan daerah terhadap kesempatan masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan pesisir. Proses peraturan daerah No. 02 Tahun 2007 dimulai jauh sebelum kegiatan pengesahan peraturan daerah ini dilakukan yaitu berkisar 2 (dua) tahun dengan melakukan studi terlebih dahulu oleh Dinas Perikanan dan Keluatan yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KTNA. Definisi wilayah pesisir secara umum memberikan gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi pada wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi Menurut Carter (1996), mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu (1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, (2) Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (4) Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis, (5) Responsif dan adaptif

78 terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, (6) Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, serta (7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Namun apakah konsep ini sudah menjiwai peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat selanjutnya dilakukan analisis substansi peraturan tersebut. Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat diharapkan dapat memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Pada pasal 14 (empat belas) tentang Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam peraturan daerah ini terdiri dari 3 (tiga) ayat yang hanya menekankan pada peran dan tanggungjawab pihak swasta, pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta peran pemerintah daerah dalam mendorong kerjasama dengan lembaga keuangan untuk memudahkan masyarakat memperoleh atau mengakses bantuan permodalan atau penguatan modal operasional. Secara substantif peraturan daerah ini belum memberikan tekanan pada upaya mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang lebih spesifik, usaha meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada serta belum menggambarkan secara eksplisit aturan yang mendukung efisiensi secara ekonomis. Selain itu peraturan daerah ini belum memberikan motivasi terhadap masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan pemerataan dan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management) yang menjadi tema utama dalam peraturan daerah ini. Tetapi setelah melakukan pengkajian secara subtantif peraturan ini belum memenuhi semangat yang memberikan pada jaminan terhadap komunitas atau masyarakat yang memiliki adat istiadat, nilainilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hal ini terbukti dengan belum

79 adanya pasal dalam isi peraturan daerah yang menunjukkan keberpihakan terhadap beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan masyarakat secara alami sebagai daerah wisata contohnya di Kecamatan Larompong Selatan yang saat ini di dimanfaatkan sebagai pelubahan angkutan laut dan Buntu Mata bing yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan ikan secara tradisional saat ini menjadi kawasan wisata pesisir Buntu Mata bing. Temuan ini sesuai dengan pendapat Satria (2009b), mengatakan bahwa kebijakan pengembangan taman wisata telah banyak mengubah hak-hak kepemilikan nelayan tradisional. Misalnya sebelumnya masyarakat memiliki hakhak atas sumberdaya itu dari hak akses hingga hak eksklusi, setelah keberdaan taman wisata hak tersebut menjadi hilang. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini merupakan kecenderungan di berbagai Negara bukan hanya di Indonesia Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lebih dikenal dengan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau community based management (CBM). Menurut Carter (1996), Community-Based Resource Management (CBRM) didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Dari hasil analisis keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat kecil hanya mencapai 4.5 persen. Hal ini bertentangan dengan semangat pengelolaan

80 sumberdaya alam berbasis masyarakat yang semestinya diikuti oleh upaya pelibatan dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya alam. Pada Bab VII tentang Partispasi Masyarakat hanya terdiri atas 1 (satu) Pasal dan 6 (enam) ayat yang secara subtantif menekankan pada tanggungjawab masyarakat atas pelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan biota lainnya. Selanjutnya pada ayat lain menekankan pada tanggungjawab badan usaha dalam pelestarian sumberdaya hutan mangrove dan terumbu karang. Peraturan daerah ini belum mengatur definisi batas-batas pemanfataan sumberdaya pesisir, daerah perlindungan sumberdaya pesisir dan belum melibatkan masyarakat dalam dimensi perencanaan tapi lebih menekankan pada bagaimana tanggung jawab masyarakat dalam pelaksanaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada dua argument penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan: (1) Kepastian mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Walaupun ada prosedur normatif untuk merumuskan atau memperbarui kebijakan dengan pertimbangan hasil evaluasi kebijakan yang telah berjalan, namun evaluasi kebijakan itu sendiri jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Selanjutnya dalam peraturan daerah ini juga tidak ditemukan bab atau pasal yang mengatur tentang upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir. Dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya. Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi

81 sinergi dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat menjadi hal penting yang semestinya dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat. Meminjam defenisi COREMAP-LIPI (1997) dalam Wahyudin (2005) menyatakan bahwa tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir berbasis masyarakat adalah mendorong peran serta masyarakat secara aktif dan terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk menjamin dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga dapat menjamin adanya pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dilakukan untuk (1) Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi kerusakan lingkungan, (2) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu yang sudah disetujui bersama, (3) Membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan, dan (4) Memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat. Hal di atas belum ditekankan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat sehingga penting untuk segera dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah atau merumuskan daerah perlindungan sumberdaya pesisir melalui Peraturan Bupati. Selanjutnya dalam melakukan analisis stakeholder ditemukan beberapa hal terkait persepsi, partisipasi masyarakat, relasi, kepentingan, pengaruh dan peta posisi stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu yang bertentang dengan semangat substansi peraturan daerah yang telah dianalisis sebelumnya Analisis Stakeholder Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang

82 dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya, yaitu para stakeholder. Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting dalam setiap kegiatan partisipatif. Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam, analisis stakeholder digunakan sebagai pendekatan yang dapat memberdayakan para stakeholder yang marjinal agar dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan dalam memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000). Analisis stakeholder mencoba melihat persepsi, peran atau partisipasi dan kepentingan masing-masing pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Hasil tanggapan masyarakat yang disampaikan melalui jawaban dari pertanyaan terstruktur dalam kuesioner yang terbagi dalam tujuh kelompok masyarakat yaitu masyarakat Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Walenrang Timur yang masing masing responden berjumlah 30 orang ditiap kecamatan yang didasarkan pada mata pencaharian sebagai nelayan Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, proses internalisasi informasi di otak). Ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi : (1) Pelaku persepsi, bila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif atau kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. (2) Target yang akan

83 diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, (3) Situasi, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir dalam penelitian ini diharapkan dapat memberiakan informasi tambahan dan menilai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Sumberdaya pesisir yang di maksud berbasis ekosistem sehingga digolongkan kedalam tiga sumberdaya yaitu terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Berikut persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbu karang, mangrove dan padang lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Gambar 5. Diagram Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Terumbu Karang, Mangrove dan Padang Lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya. Sumber : Hasil analisis, 2011 Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa 53.0 persen dari jumlah responden mengatakan bahwa tanaman mangrove telah mengalami kerusakan, dan 20.1 persen menyatakan sangat rusak. Umumnya kerusakan ini disebabkan oleh pembukaan lahan tambak rumput laut jenis Glacillaria Sp yang dilakukan dihampir seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Luwu. Selanjutnya 39.3 persen masyarakat menilai bahwa sumberdaya terumbu karang sudah rusak dan 21.2 persen menyatakan sangat rusak, hal ini sesuai dengan data yang ditemukan dari Dinas Kelautan Perikanan yang menunjukkan tingkat kerusakan terumbu karang mencapai 65 persen.

84 Dari wawancara dengan salah satu masyarakat atau nelayan 7 ditemukan informasi bahwa, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap bom di wilayah terumbuh karang dan pemanfaatan terumbuh karang sebagai fondasi bangunan untuk rumah penduduk. Hal ini berbeda dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi padang lamun dimana terdapat 50.0 persen responden menyatakan baik dan 19.8 persen menyatakan sangat baik hal ini disebabkan karena pemanfataan atas sumberdaya ini masih kurang oleh nelayan. Data di atas menunjukkan nilai yang sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu yaitu Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Luwu tahun 2010, yang menunjukkan nilai sumberdaya terumbu karang yang masih baik hanya ha atau 10 persen, sedang ha atau 25 persen dan ha atau 65 persen dinyatakan rusak. Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat secara sadar mengatahui bahwa tingkat sumberdaya pesisir yang selama ini mereka manfaatkan telah mengalami banyak kerusakan. Kesadaran masyarakat ini, pada dasarnya memberikan peluang bagi pelibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan jika dalam proses perencanaan masyarakat dilibatkan secara aktif. Dengan pengetahuan masyarakat tentang kondisi kerusakan sumberdaya pesisir jika dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan perlindungan kawasan atau pengendalian kerusakan akan lingkungan masyarakat akan lebih bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Selain mengukur persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir juga dilakukan analisis terhadap partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu 7 Hasil wawancara dengan Dawalang. Dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 di Dusun Biru, Kelurahan Larompong, Kecamatan Larompong.

85 Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yaitu pemanfaatan terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat yaitu keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum. Menurut Hardjasoemantri (1993) bahwa perlu terpenuhi syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna antara lain: (1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi lintas batas (transfortier information), mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting, (3) Informasi tepat waktu (timely information) suatu proses peran masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum keputusan terakhir diambil. sehingga masih adan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan, (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comphrehensif information) walau isi dari suatu informasi akan berbeda

86 tergantung keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegiatan secara rinci termasuk alternati-alternatif lain yang dapat diambil, (5) Informasi yang dapat dipahami. Seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berikut ini tingkat partispasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu (Gambar 6). Gambar 6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan terumbu karang sangat tinggi dimana ada 49.5 persen responden yang menyatakan tinggi dan 28.1 persen yang menyatakan sangat tinggi, sama halnya dengan pemanfaatan mangrove yang menunjukkan bahwa 46.7 persen yang mengatakan sangat tinggi dan 26.7 persen responden yang menyatakan tinggi. Berbeda dengan sumberdaya padang lamun dimana 53.8 persen responden menyatakan rendah dan 20.0 persen menyatakan sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat tidak cukup memberikan penekanan pada upaya pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum memiliki konstribusi terhadap pengendalian kerusakan lingkungan.

87 Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Dari hasil analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbuh karang ditemukan bahwa tingkat kerusakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu mencapai 73.1 persen untuk terumbu karang dan hutan mangrove mencapai 60.5 persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sangat tinggi mencapai 77.6 persen untuk pemanfaatan terumbuh karang dan 73.4 persen untuk tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan mangrove. Hal ini menimbulkan persoalan bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Dengan tingkat partisipasi yang sangat tinggi, masyarakat dan pihak swasta perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari pihak pemerintah daerah. Penggunaan alat tangkap yang merusak keberlanjutan sumberdaya terumbu karang perlu untuk segera ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan yang lebih intensif. Selain itu dengan berkurangnya area hutan mangrove akibat pembukaan lahan tambak yang sangat massif maka pemerintah daerah seharusnya mampu merumuskan aturan tentang pengendalian kerusakan lingkungan dan penetapan kawasan lindung. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dengan melihat hasil analisis diatas yaitu keberadaan peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu belum terlaksana secara baik dan terdapat kesalahan pada tingkat penerapan Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat maka dilakukan analisis terhadap persepsi masyarakat terhadap perda tersebut. Analisis ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan kuesioner terhadap 210 (dua ratus sepuluh) masyarakat atau nelayan yang berada di 7 (tujuh) kecamatan yang berbeda masing-masing 30 (tiga puluh) orang tiap kecamatan. Dari wawancara mendalam dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga ditemukan bahwa keberdaan peraturan daerah

88 tersebut belum banyak diketahui masyarakat, bahkan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri peraturan ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap penerapan dan pelaksanaannya di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Gambar 7 berikut menunjukkan persepsi masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Gambar 7. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa 77.6 persen responden tidak mengetahui keberadaan peraturan daerah tersebut dan hanya 22.4 persen responden yang mengatakan mengetahui. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum diketahui oleh masyarakat. Dengan tingginya ketidaktahuan masyarakat maka dapat pula diasumsikan bahwa sosialisasi peraturan daerah tersebut tidak berjalan, dan sebelum peraturan ini diterapkan tidak dilakukan penguatan terhadap posisi kelompok kelembagaan masyarakat lokal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak mengtahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Para pembuat kebijakan pada umumnya hanya menggunakan sistem nilai dan

89 keyakinan mereka sendiri, atau mengundang msyarakat dalam proses pembaruan kebijakan sebagai persyaratan partisipasi publik. Mereka memaknai hal itu sebagai cara atau teknologi baru dalam pembuatan kebijakan, tanpa memahami arti penting mengubah cara pandang menuju kesejajaran pemerintah-rakyat dalam pembuatan keputusan sebagai landasan filosofis proses partisipasi tersebut. Dikatakan pula bahwa kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah yang memang mampu melaksanakannya. Birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah memiliki pola modern, dan terdiri dari kumpulan putra-putri terbaik bangsa. Namun, birokrasi yang cenderung mapan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan yang pesat pada berbagai bidang diluar lingkungan mereka. Birokrasi yang di masa lalu paling mengetahui bidangnya (well informed), kini justru jauh tertinggal dari dunia usaha dan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Karena itu timbul kesan bahwa birokrasi berjalan lamban dan cenderung mengutamakan prosedur daripada substansi. Birokrasi tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public services dengan harga dan kualitas bersaing jika dibandingkan dengan apa yang dapat dilakuakan masyarakat (Kartasasmita 1996 dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Dalam beberapa pendekatan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat, (1) Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (2) Mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (3) Berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian sebuah kebijakan. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) bahwa pemerintah pada dasarnya mendapat mandat dari negara untuk mengendalikan pengelolaan sumberdaya alam dan bertanggung jawab atas pelestariannya. Namun mandat itu mendapat pandangan dikalangan birokrasi bahwa kewenangan mereka merupakan hak mutlak. Pandangan seperti ini sering terjadi dalam era otonomi daerah. Akhirnya menyebabkan penyusunan Perda yang seharusnya melibatkan

90 multipihak yang memungkinkan pertukaran informasi yang lebih dalam dan dapat mempengaruhi keputusan tidak terjadi. Sejalan dengan itu menurut Satria (2009b) bahwa salah satu persoalan yang seringkali muncul dari setiap formulasi perundangan adalah siapa yang diuntungkan. Dari sekian stakeholder nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu mengartikulasi aspirasi dan kepentingan sehingga dalam interaksi politik proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup diakibatkan salah satunya oleh adanya kegagalan kebijakan (lack of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lack of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan. Artinya bahwa, pada kebijakan tersebut terjadi kesalahan asumsi yang menyebabkan lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan idealnya harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab dan turut berperan serta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Gambar 8 menunjukkan tingkat keterlibatan

91 stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu. Gambar 8. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam Perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) memiliki tingkat keterlibatan paling tinggi yaitu 57.1 persen sangat aktif, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 50.0 persen sangat aktif, pemerintah daerah 33.3 persen sangat aktif dan 33.3 persen menunjukkan aktif dan perguruan tinggi 50.0 persen. Diagram ini juga memperlihatkan tingkat keterlibatan Masyarakat yang sangat rendah yang hanya mencapai 4.5 persen dan Swasta yang tidak terlibat aktif dalam perumusan perda tersebut. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan daerah tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya pelibatan masyarakat belum dilakukan pada tingkat perumusan kebijakan, dan masyarakat masih diposisiskan sebagai objek kebijakan. Kenyataan ini mengakibatkan secara nyata partisipasi masyarakat terhadap pemahaman peraturan sangat rendah dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pelestarian sumberdaya menjadi sangat kecil. Dari data di atas juga dapat disimpulkan bahwa Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir masih memposisikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi bukan subjek dari pengelolaan sumberdaya pesisir.

92 Hasil analisis ini sejalan dengan pendapat Satria (2009b) yang menyatakan bahwa salah satu cirri nelayan kecil (small scale fisher) adalah tidak adanya kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga masyarakat atau nelayan terus berada dalam posisi dependen dan marjinal. Terlihat bahwa faktor kapital menjadi sangat dominan dalam menentukan posisi nelayan. Semakin besar penguasaan kapital maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengkaji persoalan hukum pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tidak terlepas dari peran stakeholder yang beragam kepentingan, latar belakang sosial, status ekonomi,maupun sosialpolitik selalu menciptakan konflik kepentingan. Dari sekian stakeholder yang beragam tersebut, nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya sehingga dalam interaksi politik proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa Perda sebagaimana juga undang-undang, merupakan produk politik. Dengan demikian aspek baik atau buruk suatu perda mencerminkan kualitas dari suatu proses politik. Kualitas perda ditentukan oleh perimbangan kekuatan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi politik didalamnya. Selanjutnya dikatakan bahwa; (1) Perda sebagai naskah hukum merupakan pengejawantahan dari policy narrative (uraian kebijakan) yang dapat menjadi tidak berarti apabila posisi dan kekuatan pihak-pihak bergeser kea rah yang berlawanan dari tujuan perumusan perda itu sendiri, (2) Perda semestinya dianggap sebagai instrumen kebijakan dan bukan hasil kebijakan. Inisiatif untuk menyusun Perda bukanlah akhir dari suatu tindakan, melainkan proses antara untuk menentukan arah tujuan yang telah ditetapkan, (3) Kegiatan perumusan kebijakan bukanlah penyusunan naskah Perda. Kegiatan penyusunan naskah Perda adalah bagian kecil dari penguatan modal sosial yang tidak senantiasa dapat ditentukan waktunya karena kan berevolusi sesuai dengan factor ekonomi, sosial, budaya, maupun peran lembaga yang sangat kompleks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

93 Dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan salah satu cara untuk menghasilkan informasi tentang aktor yang relevan, memahami perilaku mereka, kepentingan, agenda, dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan (Brugha dan Varvasovsky, 2000). Selain melihat tingkat keterlibatan stakeholder dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir, penelitian ini juga menganalisis tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Gambar 9 berikut ini menunjukkan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Gambar 9. Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Sumber : Hasil analisis, 2011 Diagram ini menunjukkan bahwa stakeholder kunci (Key players) adalah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta, yang merupakan stakeholder yang harus dipersiapkan untuk menjadi aktif, karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi atas fenomena tertentu, Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah (Context setters). Bapedalda dan masyarakat atau nelayan (Subjects) adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Meskipun mereka mendukung, mereka tidak memiliki kapasitas untuk menimbulkan perubahan. Mereka mungkin menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lain. Mereka ini sering merupakan stakeholder marjinal yang perlu diberdayakan. Sedangkan Lembaga Swadaya

94 masyarakat (LSM), Bagian Kelembagaan Masyarakat (BKM), Perguruan Tinggi (PT) dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Selanjutnya peta keterkaitan antara stakeholder ditunjukkan pada Table 7. Dari analisis Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu pada Gambar 9 ditemukan bahwa posisi masyarakat yang sesungguhnya memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir masih dalam posisi subjek yang tidak dapat mempengaruhi kebijakan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat belum mendapat hak dan tanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Masyarakat atau nelayan perlu untuk di posisikan bukan hanya sebagai objek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir melainkan juga menjadi subjek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir baik dari aspek pelibatan dalam perencanaan maupun dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Menurut Robbin 2004 dalam Satria (2009b) bahwa pendekatan yang berpusat pada pelaku (actor oriented) berpijak pada politicised environment memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi sehingga masalah lingkungan bukanlah masalah teknis pengelolaan semata. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor yaitu (1) Biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (2) Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan ekonomi, (3) Dampak sosial-ekonomi yang bebeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungansatu aktor dengan aktor yang lain. Table 6 menunjukkan relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Tabel 6. Relasi antara Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu. Stakeholder Bappeda Bapedalda DKP Bagian Hukum Bag. Pemerintahan Bag.BK M DPRD Swasta LSM PT Bappeda RL RK RL RL RL RK RL RL RK TR Masy /Nelayan

95 Bapedalda RL RK RL RL RL RL RL RL TR Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) RL RL RL RL RL RL RL RL Bagian Hukum RL RK TR TR TR RL RB Bagian Pemerintahan RL TR TR TR TR TR Bagian Kelembangaan Masyarakat (BKM) TR TR RK TR RL DPRD RK RB RL RL Swasta RB RL RL LSM TR RL Perguruan Tinggi (PT) Masyarakat/Nelayan Sumber : Hasil analisis, 2011 Keterangan : RK = Relasi Kuat RL = Relasi Lemah RB = Relasi Berlawanan TL = Tidak ada Relasi RL Table 6 menggambarkan bahwa Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Perguruan Tinggi (PT)memiliki relasi kuat. Selain itu relasi kuat di tunjukkan pula pada hubungan antara DPRD dan pihak Sawasta serta relasi kuat juga dapat dilihat pada antara relasi antara Bagian Kelembagaan Masyarakat dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal ini LSM KTNA. Selanjutnya relasi lemah dapat dilihat pada relasi antara BKM dengan nelayan dan DPRD dengan nelayan hal ini menunjukkan bahwa fungsi pemerintah daerah khususnya bagian kelembagaan masyarakat dan pengawasan DPRD belum berjalan sebagaimana mestinya. Peta relasi antar stakeholder ini secara umum menunjukkan bahwa posisi stakeholder dalam hal ini nelayan masih sangat lemah dalam hal akses terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di kabupaten Luwu. Menurut Nurmalasari (2008), bahwa ada dua pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat yaitu pendekatan struktural dan pendekatan subyektif. Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

96 Selain itu, penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus menerus menempatkan masyarakat pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut : 1. Pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumberdaya alam. Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable). 2. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda. Pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan. 3. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi. Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat

97 berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. 4. Pengembangan kapasitas kelembagaan. Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut 5. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai (nelayan). 6. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholder), baik jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Selanjutnya pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya

98 dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu : (1) Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, (2) Pengembangan keterampilan masyarakat, (3) Pengembangan kapasitas masyarakat, (4) Pengembangan kualitas diri, (5) Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta (6) Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi Stakeholder Pada analisis sebelumnya telah di gambarkan stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi dan dibuktikan pada analisis yang lain tentang relasi antara stakeholder memiliki tingkat relasi yang kuat. Tingginya tingkat kepentingan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta, serta tingginya relasi stakeholder ini memunjulkan berbagai permasalahan antara lain semakin lemahnya posisi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Permasalahan lain yang juga ditemukan adalah lemahnya relasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta dengan masyarakat atau nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi nelayan dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir masih sangat marginal sehingga semangat partisipatif dan pelibatan masyarakat sebenarnya belum terlaksana Arahan Kebijakan

99 Uraian analisis diatas menunjukkan bahwa terdapat kegagalan pengelolaan sumberdaya alam pesisir di Kabupaten Luwu, hal ini disebabkan oleh, Pertama adanya kegagalan kebijakan (lack of policy) yang merupakan bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan sumberdaya pesisir yang ada. Kegagalan kebijakan (lack of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberlanjutan sumberdaya alam pesisir dan lingkungannya. Kedua adanya kegagalan masyarakat (lack of community) sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat (lack of community) terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihakpihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk bargaining position masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat sumberdaya alam pesisir dan lingkungan. Ketiga adanya kegagalan pemerintah daerah (lack of local government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan pemerintah daerah (lack of local government) terjadi akibat kurangnya kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap stakeholder. Menurut Khartodiharjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada lima masalah pokok yang menghambat perubahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi pengelolaan yang lebih adil dan berkelanjutan yaitu; Pertama nilai-nilai yang dianut. Perkembangan politik pemerintahan setelah pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2011, juga tidak mengalami perubahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kompromi-kompromi politik yang dilakukan diberbagai tingkatan masih berakhir dengan satu akibat yang pasti, yaitu peningkatan eksploitasi sumberdaya alam.

100 Kedua, masalah argumen dalam pembaruan kebijakan. Ada dua argumen penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan, (1) Kepastian mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya alam lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting dalam mempertahankan daya dukung lingkungan. Ketiga, ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas, terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak mengetahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Keempat, Kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah yang mampu melaksanakannya dan Kelima, bagaimanapun juga kebijakan harus mendapat dukungan politik, yaitu mendapat kesepakatan atau menang dan memperoleh suara berdasarkan aturan-aturan perwakilan yang telah ditetapkan. Namun hal sebaliknya bisa terjadi, kesepakatan yang berjalan berdasarkan aturan perwakilan sering melahirkan kebijakan yang substansinya justru bertentangan dengan tujuan-tujuan konservasi maupun keadilan pemanfaatan sumberdaya alam. Tabel 7 menunjukkan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Tabel 7. Rumusan Masalah Pengelolan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah

101 Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah 1. Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Kekurangan tenaga (SDM) Skill yang terbatas baik kemampuan teknis dan manajemen. Hubungan kerjasama kelembagaan yang masih lemah baik antara pusat-daerah maupun sesama lemabaga pemerintah daerah 2. Peran Kelembagaan Lokal Kelembagaan masyarakat lokal memiliki posisi yang sangat lemah. Pelibatan kelembagaan lokal tidak dilakukan 3. Hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir Belum ada definisi batas- batas yang jelas terhadap SDA Pesisir. Hak dan tanggung jawab masyarakat tidak di atur secara jelas. Masyarakat masih dalam posisi marjinal. 4. Substansi Peratun Daerah (Perda) Proses pelibatan masyarakat dalam perumusan sangat minim. Tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Belum terlaksana di lapangan. Belum terdapat substansi peraturan dan kebijakan yang mengatur perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan 5. Persoalan stakeholder Persepsi kerusakan SDA pesisir sangat tinggi. Partisipasi masyarakat terhadap SDA pesisir tinggi dan cenderung tidak terkontrol. Terjadi konflik Pemanfaatan SDA pesisir khususnya lahan tambak dan konflik pemanfaatan lahan dengan pemerintah. Relasi yang lemah antara stakeholder lain dengan masyarakat menyebabkan masyarakat nelayan tetap marjinal. Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari permasalahan di atas untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang memberikan akses yang lebih luas terkait kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pesisir, terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang berkeadilan dan keberlanjutan, adanya perbaikan peraturan perundangan ditingkat lokal termasuk pembenahan proses-proses administrasi, pelaksanaan program dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu maka berikut ini tabel arahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Tabel 8. Substansi Rekomendasi Tindakan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Luwu. Tingkat Tindakan

102 Kebijakan Hak dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap SDA Pesisir diatur lebih jelas Perda seharusnya memuat secara detail pengaturan kawasan lindung dan pengendalian kerusakan lingkunagn Evaluasi dan Pengawasan kinerja Pengelolaan SDA Pesisir diatur melalui kebijakan Kapasitas Lembaga dan Hubungan antar Lembaga sebaiknya segera ditingkatkan Kebijakan RTRW dan kebijakan pengelolaan SDA pesisir harus sejalan Penyempurnaan Peraturan Daerah Peraturan Daerah secara tegas mengatur tentang distribusi dan kepastian hak dan akses terhadap SDA pesisir secara adil Peraturan Daerah diterjemahkan secara teknis kedalam Peraturan Bupati Sosialisasi Peraturan Daerah sebaiknya dilakukan melalui kelembagaan lokal Penguatan Koordinasi antara Eksekutif dan Legislatif daerah dalam penjabaran Peraturan Daerah Keterbukaan informasi terhadap semua stakeholder dalam proses penyempurnaan Peraturan Daerah Langkah Kolektif Penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pengelolaan SDA Pesisir Koordinasi program antar lembaga Perumusan Kawasan lindung SDA Pesisir Perumusan batasbatas hak dan tanggung jawab stakeholder atas SDA pesisir Perumusan model komunikasi yang efektif lintas institusi Pemerintah Daerah dalam pengendalian dampak kerusakan lingkungan Langkah Operasional Pengawasan terhadap pemanfaatan SDA pesisir Penetapan zona kawasan lindung SDA pesisir Pengendalian kerusakan SDA Pesisir Penetapan daya dukung wilayah pesisir Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari arahan kebijakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa depan pengelolaan sumberdaya Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sangat dipengaruhi oleh kebijakan daerah dan peraturan daerah, serta peran stakeholder dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan multipihak. Pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu semestinya benar-benar mengaflikasikan arti sesungguhnya dari pembangunan dan pengelolaan berbasis masyarakat.

103 Melibatkan lembaga masyarakat, kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya, dari semua tahapan pengelolaan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi memberikan tempat bagi masyarakat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dari hasil analisis isi Peraturan Daerah dan analisis stakeholder menunjukkan bahwa beberapa masalah pengelolaan sumberdaya pesisir diantaranya adalah : 1) Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga yang masih sangat lemah, 2) Peran kelembagaan lokal yang pelibatan dan posisinya dalam analisis stakeholder masih sangat lemah, 3) Substansi Peraturan Daerah yang belum mengatur tentang penetapan kawasan konservasi, pengendalian kerusakan lingkungan, dan tidak melibatkan unsur masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan swasta dalam perencanaan, perumusan dan penetapannya menunjukkan bahwa peraturan daerah ini perlu untuk segera dilakukan pengkajian ulang, dan ke 4) Persoalan Stakeholder yang menunjukkan persepsi kerusakan yang sangat tinggi, partipasi pemanfaatan yang juga tinggi, konflik pemanfaatan lahan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat serta relasi yang lemah antara masyarakat dengan stakeholder lain menunjukkan posisi nelayan masih terpinggirkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Berbagai persoalan yang tergambarkan dari hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini melahirkan arahan kebijakan yang mengedepankan pada penyempurnaan Peraturan Daerah agar secara substantif dapat menjamin kepastian hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir bagi masyarakat, secara teknis mampu diturunkan dalam kebijakan atau peraturan Bupati, hasil dari penyempurnaan peraturan daerah sebaiknya disertai dengan sosialisasi melalui lembaga masyarakat, penguatan koordinasi antara eksekutif, legislatif, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan swasta dalam penyempurnaan Peraturan Daerah. Langkah kolektif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu di masa yang akan datang adalah penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, perumusan batas-batas hak dan tanggungjawab seluruh stakeholder terhadap sumberdaya pesisir, perumusan kawasan lindung sumberdaya pesisir, dan

104 koordinasi program antar lembaga yang terkait langsung pengelolaan sumberdaya pesisir. Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat atau nelayan maka arahan kebijakan merumuskan langkah operasional antara lain: 1) Pemerintah bersama-sama seluruh stakeholder melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir, menetapkan zona kawasan lindung, 2) Penetapan daya dukung wilayah pesisir saat ini yang selanjutnya di sosialisasikan kepada masyarakat, 3) Melakukan upaya pengendalian terhadap kerusakan lingkungan dan 4) Pemerintah melakukan pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan meningkatkan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah. BAB VI

105 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang studi kebijakan dan analisis stakeholders terkait desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil analisis substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 ditemukan bahwa Peraturan Daerah ini belum menjamin hak, tanggung jawab masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan dan kawasan perlindungan sumberdaya pesisir, serta keterlibatan stakeholder khususnya masyarakat atau nelayan yang masih lemah dalam perencanaan, perumusan dan penetapannya, sehingga perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah tersebut. 2. Dalam analisis stakeholder ditemukan bahwa stakeholder kunci (Key players) adalah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta. Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah (Context setters). Masyarakat atau nelayan dan Bapedalda (Subjects) adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Badan Kelembagaan Masyarakat (BKM), Perguruan Tinggi (PT) dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Selain itu, relasi masyarakat yang lemah dengan hampir seluruh stakeholder lain, menunjukkan bahwa di era desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir posisi masyarakat masih tetap marjinal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir. 3. Lemahnya dukungan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkeadilan dan berkelanjutan, tingginya tingkat kerusakan sumberdaya pesisir yang mencapai lebih dari 50.0 persen, dan Lemahnya posisi masyarakat atau nelayan, baik peran serta, hak atas sumberdaya dan keterlibatan dalam perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu menandakan pentingnya untuk melakukan pembaruan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu

106 sesuai dengan arahan kebijakan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini Saran 1. Penting untuk segera melakukan arahan kebijakan yang dirumuskan dalam penilitian ini. 2. Bagi penelitian selanjutnya, agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir khususnya Kawasan Teluk Bone di Kabupaten Luwu dapat di nilai secara komprehensif maka perlu dilakukan penelitian kesiapan Kabupaten lain yang merupakan wilayah dari Kawasan Teluk Bone.

107 DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo, S Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia. SAINS. Bogor. Anonim Identifikasi Potensi/Prospek Penembangan Pesisir dan Pulaupulau Kecil di Pantai Timur Selatan. htp;// Balitbangda Sulsel bekerjasama dengan Univ.Hasanuddin. Makassar. Ambordi, U.M & Prihawantoro, S Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. CV.Cahaya Ibu. Jakarta. Aprianty, H Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BALITBANGDA] Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan, Penelitian Identifikasi Potensi dan Prospek Pengembangan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Pantai Timur. Sulawesi Selatan. (sumber : diakses Juni [BAPEDAL] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Panduan untuk Fasilitator, Kursus Pengantar Pengelolaan Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM dan CEPI UCE. Jakarta. Bengen, D Pentingya Keterpaduan dalam Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan. IPB. Benton, Ted The Greening of Marxism. The Guilford Press, A Division of Guilford Publication, Inc 72 Spring Street. New York. Bragg, E Towards Ecologycal Self: Deep Ecology Meets Constructionis Self-Theory. Journal of Environmental Psychology 16, Department of Psychology and Sociology. James Cook University. Townsville Qld Australia. Brugha, R. Varvasovszky, Z Stakeholder Analysis: a Review. Health Policy and Planning, Vol. 15, No. 3, p Capra, F Jaring-jaring Kehidupan : Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan. PT. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta.

108 Carter, J.A Introduction Course on Integrated Costal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Barat, Medan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhousie University, Environmental Studies Centers Development in Indonesia Project. Cesar, Herman Economic Analysis of Coral Reef. Environmental Departement, World Bank. Washington D.C. Clark, J.R Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca Raton. FL. Dahuri, M. J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta. Danim, S Pengantar Studi Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Profil Penangkapan Ikan yang Merusak (destructive Fishing) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Makassar. Dharmawan, H Krisis Sosio-politiko-Ekologi dan Degradasi Sumberdya Alam; Pulau, Pesisir dan Laut. PSP2P. IPB. Departemen Kelautan dan Perikanan Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. Dun, William Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta. Dwiyanto, Agus, et all Dua Tahun Setelah Otonomi Daerah ; Pengamatan Kritis terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. Eriyanto & Sofyar, F Riset Kebijakan; Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fahmi, E, et all Minus Malum: Analisis Proses Perhutanan Multi Pihak di Indonesia. Insit dan Mitra. Yokyakarta. Fermana, S Kebijakan Publik; Sebuah Tinjauan Filosofis. Ar-russ media. Jogjakarta. Fraenkel, J.R., E. Norman How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill.

109 Fukuyama, F Memperkuat Negara : Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama dan Freedom Institute. Jakarta. Garner, R Environmental Politics. Prentice Hal/Harvester Wheatsheaf Campus 400, Maylands Avenue Hemel Hempstead Hertfordshire. New York. Ghofar, A Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Cipayung-Bogor. Global Environmental Facility GEF Grant TF Agenda 21 dan Pembangunan Berkelanjutan. Hardjasoemantri, K Hukum Perlindungan Alam sekitar: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haris, S Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Partnership Governance Reform in Indonesia. LIPI. Press. Humphrey, M Nature in Deep Ecology and Social Ecology: Contesting the Core. Journal of Politic Ideologis. 5 (2) School of Politics. Academic Research Library. University of Nottingham. University Park Nottingham. [IDS] Intitute of Development Studies, Understanding Policy Process: A Review of IDS Reseach on the Environment. University of Sussex. United Kingdom. Indodov & World Bank Revitalisasi Ekonomi Pedesaan yang di Hadapi Perusahaan di Tingkat Kabupaten. Washington, DC U.S.A. Irwansyah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Perspektif Otonomi Daerah di Kabupaten Agam. Univ. Pascasarjana Bung hatta. Padang. Jason, W Capitalism as World-Ecology : Braudel and Marx on Environmental History. Journal Organization Environmental 16; 514. Sage Publications. Kartodiharjo & Jhamtani Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. Krippendorff, K Analisis Isi; Pengantar Teori dan Metodologi. Citra Niaga Rajawali Pers. Jakarta.

110 Kusmana, C Peran Mangrove Bagi Sistem Penyangga Kehidupan dan Ketahanan Pangan, Energi serta Obat-Obatan bagi Masyarakat Pedesaan di Pesisir. (sumber : Diakses juni Kusnadi Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. LkiS.Yogyakarta. Mitchell, B Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta. Nasution, Z. dkk Sosial Budaya Masyarakat Nelayan; Konsep dan Indikator Pemberdayaan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Ngakan, P.O., A. Achmad, D. William, K. Lahae, and A. Tako The Dynamics of Decentralisation System in the Forestry Sector in South Sulawesi: History, Realities and Challenges towards Autonomous Governance. CIFOR, Bogor. Parson, W Public Policy; Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Edward Elgar Publishing, Ltd. Ostrom, E and Edella S The Formation of Property Right. In Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment,Hanna, Susan, Carl Folke, Karl-Goran Maler (eds). Island Press : Washington DC. pp Radcliffe, J Green Politics; Dictatorship or democrasy. Palgrave Publisher. London. Riffe, Daniel et al Analyzing Media Messages Using Quantitative Content Analysis in Research. Communication Series. Ney Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Riyadi & Bratakusumah, D.S Perencanaan Pembangunan Daerah; Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Robert, dkk Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Otonomi Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi Rootes, C Environmental Movements; Local, National and Global. Frank Cass Publisher. London.

111 Rosylin, L Kebijakan Pembangunan Daerah dan Potensi Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rudyanto, A Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Paper pada Sosialiasi Nasional Program MFCDP. Bappenas. Jakarta. Salam, D.S Otonomi Daerah dalam presfektif Lingkungan, Nilai dan Sumberdaya. Djambatan. Jakarta. Satria, A Decentralization Policy; An Opportunity for Strengthening Fisheries Management System. Journal of Environmental & Development, Vol. 13, No 2, June Satria, A. 2009a. Penguatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Badan Riset dan Kajian IPB. Bogor. Satria, A. 2009b. Ekologi Politik Nelayan. PT. Lkis Printing Cemerlang. Lkis Yogyakarta. Scott, James C Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal. Sitorus, F Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Bogor. Soemarwoto, O Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta. Sodality Jurnal transdisiplin sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. IPB. Bogor. Suharto, E Analisis Kebijakan Publik; Panduan Masalah dan Kebijakan Sosial. CV.Alfabeta. Bandung. Sutton, R Policy Process: An Overview. Working Paper 118. Overseas Development Institute. London SW1E 5 DP: Portland House. Stag Place. Wahyudin Y Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan Pesisir dan Laut. Artikel pada Kolom Pesisir dan Laut WARTA Pesisir dan Laut Edisi Nomor 01/Th.VI/2005, ISSN Widjaja, HAW Otonomi Daerah Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Utuh. PT.Raja Garfindo Persada. Jakarta.

112 LAMPIRAN

113 Lampiran 1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Jenis Ikan (ton) Tahun No. Nama Ikan Produksi Tahun Sebelah Peperek 1, , , , , Manyung Biji Nagka Merah /Bambangan Kerapu Kakap Cucut Pari Bawal Hitam Bawal Putih Alu alu Layang Selar Kuwe Tetengke Daun Bambu / Talangtalang Belanak Julung-Julung Teri 2, , , , , Tembang Lemuru Kembung 1, , , , , Tenggiri Papan Tenggiri Tuna Cakalang 1, , , , , Tongkol Ikan lainnya Rajungan Kepiting Udang Barong Udang Windu Udang Putih/Rebon Udang dogol

114 36 Kerang darah Cumi-cumi Sotong Teripang Rumput Laut Total 13, , , , ,047.2 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Luwu (2009)

115 Lampiran 2. Jumlah Armada Perikanan Tangkap Tahun 2009 No Kecamatan Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor Jumlah Armada (unit) TPI Konsentrasi Nelayan 1 Belopa Belopa Utara Bua Kamanre Larompong Larompong Selatan Ponrang Ponrang Selatan Suli Walenrang Timur Lamasi Timur JUMLAH , Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Luwu, 2009

116 Lampiran 3. Daftar Potensi Budidaya Perikanan Kabupaten Luwu 2010 No. Uraian Jumlah Keterangan 1. Potensi (ha) 1. Lahan Budidaya Laut 15, Luas Lahan Tambak 10, Luas Lahan Mina Padi 2, Luas Lahan budidaya/exinting (ha) 1. Rumput Laut Gracillaria sp 6, Rumput Laut E. Cattonik 6, Ikan Bandeng 2, Udang Windu Udang Vanamae Ikan Mas 1, Ikan Nila Sumberdaya Manusia (RTP) 1. Pembudidaya Tambak 3, Pembudidaya Sawah 1, Pembudidaya Laut 4,485 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Luwu, 2009

117 Lampiran 4. Potensi luas areal budidaya rumput laut eucheuma kab. Luwu Tahun 2009 No Existing Lahan Kecamatan Potensi (ha) Ket (ha) 1 Larompong Selatan 1, Larompong 1, Suli 1, Belopa Belopa Utara 1, Kamanre Ponrang Selatan 2, Ponrang 1, Bua 3,262 1,096.9 JUMLAH 15,000 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Luwu, ,044

118 Lampiran 5. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.

119

120

121

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembaruan pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004). Persoalan utama yang sedang ingin dipahami

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Suatu pemikiran dikaitkan dengan pembangunan daerah di Kepulauan Spermonde Makassar, 30 Agustus 2006 MATSUI Kazuhisa Institute of Developing Economies, JETRO

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian. BAB III METODA PENELITIAN 3.. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Agustus 20. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, di 7 (tujuh) kecamatan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of Idaho, USA, 19

Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of Idaho, USA, 19 PENGERTIAN, PROSES & MANFAAT AMDAL Oleh : Baharuddin Nurkin -Dawn- Baharuddin Nurkin, Ph.D Lahir : 24 Febr. 1946, Bantaeng Pendidikan formal: M.Sc (Washington State Univ. USA, 1983); Ph.D (University of

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu)

INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu) INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu) Oleh: YUDI WAHYUDIN Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL-IPB) PENDAHULUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SUKAMARA TAHUN 2015-2035 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Abstrak Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN DIREKTORAT PENGAWASAN

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi dan segala isinya yang di ciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu karunia yang sangat besar. Bumi diciptakan sangat sempurna diperuntukan untuk semua makhluk baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN Mata Kuliah : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kode MK : M10B.111 SKS : 3 (2-1) DOSEN : Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi.,., MSc. DASAR-DASAR PENGELOLAAN PESISIR UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS

Lebih terperinci

UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016

UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016 UPAYA MEMBERI PAYUNG HUKUM YANG KOMPREHENSIF DI BIDANG KONSERVASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 29 April 2016; disetujui: 10 Mei 2016 Indonesia disebut sebagai negara mega biodiversity karena termasuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON Oleh : H. Mardjoeki, Drs., MM. ABSTRAKSI Pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Kapetakan (Bungko) sampai pesisir pantai Mertasinga

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan C1 Penentuan Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan Dwi Putri Heritasari dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN NATUNA. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci