SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Transkripsi

1 ANALISIS KEBERLANJUTAN SISTEM PERIKANAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) OLELE DAN PERAIRAN SEKITARNYA KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO MOHAMAD SAYUTI DJAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keberlanjutan Sistem Perikanan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2012 Mohamad Sayuti Djau NRP C

4

5 ABSTRACT MOHAMAD SAYUTI DJAU, Analysis System of Fisheries Sustainability at The Regional Marine Protected Area (KKLD) Olele and Surrounding Waters, Bone Bolango Regency of Gorontalo Province. Under direction of LUKY ADRIANTO and AGUSTINUS M SAMOSIR. The Olele marine protected area can be categorized as an area which needs to be managed properly in order to maintain the sustainability of its available resources, especially fisheries resources. Evaluation of sustainability in the region using the emergy synthesis, ecological footprint approach to fisheries and human appropriation of net primary production (HANPP). The aimed of this research were to analysed the sustainability of space for metabolism of social ecological fishery utilization, utilization of fisheries net primary productivity and efficiency, and the process input-output energy in fish production and economic sustainability. Emergy resulted sustainability index (ESI) at 7.48 sej/yr which means that economic growth in this area is fairly well preserved or developing economy, and do not have a significant environment impact due fishing activity. The sustainability of space for the metabolism of ecological social fishery system in this area is still at 1.96 km 2 /capita or undershoot conditions. The low value of HANPP at 1.79E10 9 kj indicates that fishers dominance for the fishery production activities have not been maximal with great efficiency. Implementation of management strategies about "what" to be performed and management tactics that relate to "how" it's done is considered the most efficient for sustainable fisheries. Keywords : Fisheries sustainability, emergy synthesis, fisheries ecological footprint, human appropriation of net primary production.

6

7 RINGKASAN MOHAMAD SAYUTI DJAU, Analisis Keberlanjutan Sistem Perikanan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO and AGUSTINUS M SAMOSIR. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele dan perairan sekitarnya dapat dikategorikan sebagai kawasan yang perlu dikelola dengan baik sebagai upaya untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya yang dimilikinya, khususnya perikanan. Evaluasi keberlanjutan di kawasan ini menggunakan pendekatan sintesis emergy, ecological footprint perikanan dan human appropriation of net primary production (HANPP). Ketiga pendekatan analisis ini masing-masing untuk melihat proses input-output energi dalam produksi perikanan, dampak terhadap lingkungan, keberlanjutan ekonomi, melihat keberlanjutan metabolisme pemanfaatan ruang sosial ekologi perikanan dan mengetahui pemanfaatan produktivitas primer bersih perikanan serta efisiensinya. Hasil sintesis emergy menunjukkan nilai indeks keberlanjutan emergy (ESI) sebesar 7.48 sej/yr ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah ini cukup lestari dan dianggap baik atau kondisi ekonomi daerah ini sedang berkembang serta tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan akibat aktivitas penangkapan. Keberlanjutan ruang untuk metabolisme sistem sosisal ekologi perikanan di kawasan ini adalah sebesar 1.96 km 2 /kapita atau masih dalam kondisi undershoot. HANPP yang rendah yaitu 1.79E10 9 kj menunjukkan bahwa dominasi nelayan terhadap kegiatan produksi perikanan belum maksimal walaupun dengan efisiensi yang besar. Secara umum permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap nelayan di KKLD Olele bersumber dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, produktivitas, efisiensi usaha, pengawasan, pengendalian sumberdaya ikan, pemodalan, prasarana, sarana, mutu, nilai hasil tangkapan, pemasaran dan kelembagaan nelayan. Penerapan strategi pengelolaan tentang "apa" yang akan dilakukan dan taktik pengelolaan yang behubungan dengan "bagaimana" itu dilakukan adalah dianggap paling efisien untuk perikanan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian diatas untuk memberikan manfaat bagi keberlanjutan perikanan di KKLD Olele dan sekitarnya bagi keberlanjutan perikanan tangkap, maka perlu disarankan bahwa setiap kebijakan dan strategi pengembangan perikanan di KKLD hendaknya melibatkan seluruh stakeholders khususnya masyarakat nelayan mengingat kawasan ini juga dijadikan sebagai objek wisata bawah laut serta perlu adanya evaluasi dan monitoring secara kontinyu terhadap efektifitas dan efisiensi KKLD Olele khusus terkait dengan pengembangan perikanan. Keywords : Keberlanjutan perikanan, sintesis emergy, ecological footprint perikanan, human appropriation of net primary production.

8

9 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepetingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10

11 ANALISIS KEBERLANJUTAN SISTEM PERIKANAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) OLELE DAN PERAIRAN SEKITARNYA KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO MOHAMAD SAYUTI DJAU Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

13 Judul Penelitian : Analisis Keberlanjutan Sistem Perikanan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Nama NRP Program Studi : Mohamad Sayuti Djau : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Luky Adrianto, M. Sc Ketua Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 08 Mei 2012 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Dengan sepenuh hati yang meliputi pengertian syukur dan puji, rasanya tidak ada kata yang paling pantas penulis persembahkan mengawali karya ilmiah ini, selain ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT. Atas sifat Rahman dan Rahim-Nya, penulis merasakan begitu banyak nikmat yang telah dicurahkan diantaranya adalah nikmat kemampuan berfikir dan berbahasa. Dan dengan nikmat itulah penulisan tesis dengan judul Analisis Keberlanjutan Sistem Perikanan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah yang merupakan bagian dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ini, bermaksud memberikan informasi mengenai sejauh mana keberlanjutan sistem perikanan di kawasan konservasi laut Olele dan perairan di sekitarnya. KKLD Olele dan perairan sekitarnya merupakan salah satu wilayah yang potensial khususnya untuk pemanfaatan sumberdaya ikan yang dimiliki Kabupaten Bone Bolango, terletak di pesisir selatan Provinsi Gorontalo. Dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya usaha perikanan tangkap permasalahan yang terjadi adalah tingkat pemanfaatanya telah melebihi potensi lestarinya sehingga terjadi fenomena tangkap lebih. Hal ini yang menjadi dasar keinginan penulis untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan sistem perikanan tangkap di KKLD dan perairan sekitarnya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan kedepannya menjadi arahan kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari di KKLD Olele dan perairan sekitarnya. Dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL atas segala arahannya. 2. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku komisi pembimbing atas semua arahan, bimbingan serta saran yang diberikan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dirampungkan. 3. Seluruh staf pengajar SPL yang telah dengan tulus dan penuh kesabaran telah membagi, menularkan dan mentransfer ilmunya. 4. Seluruh staf pegawai Pak Zainal, Pak Dindin dan yang lainnya yang telah memberikan pelayanan administrasi secara prima. 5. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Program COREMAP II yang telah memberikan beasiswa dalam penyelesaian penulisan tesis. 6. Orang-orang yang penulis cintai, (alm) Bapak Dantje Djau, bapak penulis; Ibu Sartje Mustapa ibunda penulis, Sri Endang Djau, SE dan Ramli Ondang Djau, SIP, kakak penulis atas semua doa, biaya studi dan nasehat serta bimbingan selama pendidikan dan dalam menjalani kehidupan ini. Penulis menyadari bahwa apa yang telah mereka berikan tak akan pernah terbalaskan. 7. Pa Daru, Om-om dan tanteku yang telah memberi motivasi, perhatian dan doa terhadap studiku. 8. Teman-teman SPL S2 dan S3, James, Akbar, Mas Suryo, Mas Puji, Pak Idham, Pak Dirman, Azhar, Fery, Aldino, Ibu Syul, Rieke, Ita, Dijah, Desti, Yofi, Ui, Nico, Ibu Mintje, Pak Roni, Mner Babe, Mner Only, Pak Boli dan

16 vi kawan-kawan yang tidak sempat disebut satu persatu terima kasih atas persahabatan, motivasi semangatnya dalam merajut sukses bersama. 9. Kepada seseorang untuk kisah dan cerita spesialnya yang tak pernah terungkap yang menjadi inspirasi. 10. Teman-teman kosan bata merah Santo, Yaser, Teguh, Abdul, Daus, Uni, Mila, Wardah, Mira, Ayu, yang menjadi teman cerita disaat on line bersama. 11. Semua pihak yang telah memberikan motivasi, bantuan dan andil selama kegiatan selama belajar di pascasarjana IPB yang tidak disebut satu persatu yang berada di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Bogor, Mei 2012 Penulis Mohamad Sayuti Djau vi

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gorontalo, Provinsi Gorontalo tanggal 08 November 1982 dari pasangan Bapak Dantje Djau (alm) dan Ibunda Sartje Mustapa. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus SMA dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi melalui jalur ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, dan lulus pada tahun Selama menempuh pendidikan sarjana penulis aktif berbagai organisasi antara lain HMI Komisariat Perikanan , pegurus Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) Cabang Manado , Ketua Umum lembaga dakwah kampus Badan Tadzkir Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun dan aktif dibeberapa kelompok diskusi. Selesai pendidikan sarjana, penulis bekerja di LSM Lingkungan di Jakarta dan pernah aktif pada organisasi Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO) tahun Pada tahun 2007 penulis aktif dalam kegiatan penyelaman, dan menjadi Sekrtaris Pengurus Provinsi Persatuan Organisasi Selam Seluruh Indonesia (PENGPROV-POSSI) Gorontalo pada tahun Pada tahun yang sama penulis bekerja sebagai tenaga pendamping teknis bidang penangkapan di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo dan menjadi dosen luar biasa pada Universitas Gorontalo. Pada tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Program Pascasarjana IPB. Selama mengikuti program magister, penulis aktif mengikuti seminar nasional maupun internasional. Tahun 2010 penulis berkesempatan mengikuti seminar dengan tema Food, Energy, and Water di Vachiranusorn Building, Faculty of Agriculture, Kasetsart University, Bangkok, Thailand. vii

18 viii viii

19 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Sistem Wilayah Pesisir dan Laut Sistem Perikanan Analisis Keberlanjutan Analisis Sintesis Emergy Energi dan Hirarki Emergy Definisi Emergy Simbol Sistem Energi dan Sistem Diagram Emergy Analisis Jejak Ekologis (Ecological Footprint Analysis) Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Perbandingan antara EFA, HANPP dan Analisis EMERGY Energi Untuk Kegiatan Perikanan Keberlanjutan Pembangunan Perikanan METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Jenis Data Sosial Ekologi Analisis Data Analisis Sintesis Emergy Ecological Footprint (EF) Perikanan Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Batasan Sistem KONDISI SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN Kondisi Iklim Kondisi Hidro-Oseanografi Sistem Ekologi Karakteristik Ekosistem Karakteristik Perikanan Tangkap Karakteristik Kawasan Konservasi Laut Sistem Sosial JumlahPenduduk Tingkat Pendidikan xi xii xiii ix

20 x Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Perikanan Analisis Keberlanjutan Perikanan Analisis Sintesis Emergy Sumberdaya Terbarukan (renewable resources) (R) Sumberdaya yang dibeli (purchased resources) (P) Tenaga Kerja (Labor) (S) Produksi (J) Indeks Emergy Rasio Hasil Emergy (Environmental Yield Ratio/EYR) Rasio Beban Lingkungan (Environmental Loading Ratio/ELR) Indeks Keberlanjutan Emergy (emergy sustainability index/esi) Analisis Ecological Footprint Perikanan Analisis Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Model Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di KKLD Olele Pembahasan Umum KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA x

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran analisis keberlanjutan perikanan di Desa Olele Diagram konseptual dari pembangunan daerah di pesisir tropis sebagai bagian dari interaksi darat dan lautan di zona pesisir (Crossland et al dikutip oleh Dennison 2008) Model sistem perikanan (Garcia et al dimodifikasi oleh Bergofer et al. 2008) Simbol Aliran Energi Definisi dari human appropriation of net primary production (Haberl 2007) Bentuk segitiga pembangunan perikanan berkelanjutan (Charles 2001) Emergy berdasarkan indeks, nilai dari input lokal emergy terbarukan (R), lokal input yang tidak terbarukan (N), dan input yang diperoleh dari luar sistem (F) (Haden 2002; Brown and Ulgiati 2004a.b, Wang 2006) Morfologi dasar laut Olele (Sumber: PPPGL, 2004) Lokasi penelitian Di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Olele Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Sistem aliran emergy pada produksi perikanan di KKLD Olele Ecological footprint perikanan Desa Olele HANPP Perikanan Lokal dan Regional Transformasi atribut kedalam bentuk strategi berdasarkan analisis keberlanjutan dan survei di KKLD Olele xi

22 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Istilah, singkatan, indikator utama dari unit emergy Perbandingan antara EFA, HANPP dan analisis emergy Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian Contoh tabel evaluasi emergy (Brown dan Ulgiati 2004a) Tropik level berbagai kelompok spesies ikan di perairan pesisir Kabupaten Bone Bolango Kondisi klimatologi Provinsi Gorontalo Jumlah kapal/perahu dan alat penangkapan ikan Kecamatan Kabila Bone Tahun Klasifikasi penduduk Desa Olele menurut umur Tahun Klasifikasi tingkat pendidikan penduduk Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan Produksi perikanan laut di Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone Tahun Produksi Ikan Desa Olele Tahun Evaluasi sintesis emergy produksi perikanan di KKLD Olele Indeks emergy dari produksi perikanan di KKLD Olele Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Desa Olele dengan daerah lain Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional Model pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKLD Olele xii

23 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Produksi Ikan Kecamatan Kabila Bone Ecological footprint perikanan dari sistem perairan Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Desa Olele dan Kecamatan Bone Bolango Perhitungan evaluasi sintesis emergy produksi perikanan di KKLD Olele xiii

24

25 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem perikanan merupakan sistem kompleks yang saling berinteraksi, karena itu diperlukan informasi berhubungan dengan semua proses dan pemahaman tentang struktur dan fungsi sistem. Pada dasarnya sistem perikanan berkaitan erat dengan fungsi ekologi, ekonomi, sosial. Selain itu dalam hal menyangkut implementasi dari sistem ini diperlukan sejumlah legislasi baik lokal, nasional dan bentuk-bentuk perjanjian untuk pemanfaatan yang berkelanjutan dan konservasi laut. Keberlanjutan sistem perikanan di kawasan konservasi laut menarik untuk dikaji mengingat di kawasan konservasi terdapat zona pemanfaatan, seperti halnya yang terdapat di kawasan konservasi laut daerah di Desa Olele. Kawasan konservasi laut daerah (KKLD) Olele adalah kawasan yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Bone Bolango No. 13 Tahun 2006 dan merupakan sistem yang sudah dikelola dengan baik, dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya yang dimilikinya, terutama sumberdaya terumbu karang dan perikanan. Namun pertambahan penduduk, perluasan pemukiman, kegiatan wisata alam bawah laut dan kegiatan perikanan pada kawasan ini langsung atau tidak langsung menyebabkan kawasan ini mendapat tekanan ekologis. Pengembangan KKLD Olele mengadopsi dasar dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, yang berisi landasan untuk penyusunan perencanaan yang lebih rinci, seperti rencana zonasi (rencana tata-ruang pesisir), rencana pengelolaan suatu kawasan dan rencana-rencana aksi lintas lembaga untuk pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan di wilayah pesisir. Kawasan ini merupakan kawasan konservasi yang tergolong baru dan pengelolaannya masih menghadapi banyak tantangan terutama dalam pemanfaatannya baik itu untuk kegiatan penangkapan ikan maupun pemanfaatan untuk area wisata. Sehingga untuk keperluan pengembangannya, diperlukan manajemen yang baik. Manajemen yang baik memerlukan data dan informasi tentang potensi sumberdaya terumbu karang dan lebih khusus kegiatan perikanan tangkap, serta memiliki manfaat sosial ekonomi yang bisa diterima oleh masyarakat setempat

26 2 khususnya bagi pengembangan perikanan secara berkelanjutan. Keberlanjutan dalam konteks pembangunan perikanan adalah kunci yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya dapat pulih, namun jika dalam pemanfaatnnya tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri. Dalam prakteknya pengelolaan di KKLD Olele masih menghadapi banyak tantangan terutama dalam pemanfaatannya baik itu untuk kegiatan penangkapan ikan maupun pemanfaatan untuk area wisata Perumusan Masalah Penetapan kawasan lindung haruslah diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir mensyaratkan bahwa sebagian wilayah tersebut dipertahankan kondisinya sealamiah mungkin. Penetapan kawasan lindung dimaksudkan untuk mengamankan habitat kritis untuk produksi ikan, melestarikan sumberdaya genetis, menjaga keindahan alam dan wisata alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana dan pengelolaaannya yang berhati-hati (konservasi) terhadap sumberdaya dan ekosistemnya, sehingga pemanfaatan saat ini tidak mengurangi baik langsung maupun tidak langsung kesempatan pemanfaatan oleh masyarakat penguna generasi mendatang. Perspektif umum tentang pertumbuhan ekonomi mengatakan bahwa kualitas lingkungan yang baik berkorelasi dengan peningkatan pendapatan masyarakat yang bersentuhan secara langsung dengan lingkungan tersebut. Untuk mengukur kualitas lingkungan dan sumberdaya yang berada didalamya dapat ditempuh dengan melihat sistem ekologi berupa daya dukung kawasan konservasi beserta ekosistem pesisir dan lautan yang berada didalamnya. Rusaknya sumber daya pesisir dan laut berdampak kepada menurunnya fungsi ekosistem dan akibatnya berdampak pada masyarakat setempat yang banyak menggantungkan hidupnya dari keberadaaan sumberdaya pesisir dan laut. Setidaknya akan mengalami penurunan kesejahteraan sebagai akibat menurunnya produksi ikan dan hasil laut

27 3 lainnya. Sektor ekonomi perikanan dan pariwisata bahari mampu memberikan manfaat ekonomi lain yang kurang diperoleh dari sektor pertambangan dan energi yaitu selain menciptakan pertumbuhan, pada saat yang sama dapat mendorong pemerataan secara lebih adil. Demikian juga halnya dengan sektor transportasi laut, bangunan kelautan, industri maritim dan jasa-jasa kelautan lainnya belum berkembang secara optimal bahkan tertinggal jauh. Penetapan kawasan konservasi laut daerah secara langsung atau tidak langsung membatasi ruang gerak nelayan tradisional yang selama ini memanfaatkan sumberdaya yang berada di kawasan ini yang akan berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat setempat. Penetapan kawasan lindung seharusnya memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat agar pengelolaan wilayah atau kawasan dapat berjalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Mengingat nelayan KKLD sangat bergantung pada sumberdaya pesisir khususnya ikan, maka dianggap perlu untuk melihat sejauh mana kondisi keberlanjutan sistem perikanan di kawasan ini. Dari uraian diatas, beberapa hal yang merupakan masalah yang dapat diidentifikasi di KKLD Desa Olele diantaranya adalah : a) Belum jelasnya keberlanjutan sistem perikanan dari perspektif pemanfaatan energi, dampak terhadap lingkungan dan perkembangan perekonomian di kawasan ini secara efektif b) Belum jelasnya keberlanjutan interaksi sifat ekologis perairan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan serta berapa besar daya dukung kegiatan perikanan tangkap di KKLD Olele. c) Belum adanya skenario yang lestari dalam pengelolaan yang dapat diaplikasikan dalam upaya pemanfaatan perikanan yang efektif dan berkelanjutan 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi sistem perikanan yang ada di KKLD Olele dan perairan sekitarnya.

28 4 2. Mengevaluasi keberlanjutan emergy, daya dukung ekologis dan metabolisme sosial ekologi perikanan perikanan di KKLD Olele dan perairan sekitarnya. 3. Menyusun rekomendasi model pengelolaan KKLD dan perairan sekitarnya berdasarkan input yang didapat Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat mendiagnosa kondisi ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, untuk menyorot kekuatan dan kelemahan objektif yang ada di kawasan Taman Laut Olele. 2. Sebagai bahan informasi bagi badan instansi pengelola baik pemerintah ataupun swasta dalam rangka pengelolaan kawasan yang berkelanjutan 1.5. Kerangka Pemikiran Perikanan merupakan bagian dari sektor kelautan yang mempunyai arti dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi. Mengetahui seberapa besar pemanfaatan sumberdaya perikanan di KKLD Olele merupakan hal penting di kawasan ini. Pendekatan analisis yang dilakukan di kawasan ini diharapkan dapat dijadikan dasar perencanaan pembangunan perikanan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Suatu pendekatan analisis baik yang bersifat kualitatif maupun yang bersifat kuantitatif sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan di kawasan ini khususnya sistem perikanan. Pendekatan kualitatif terutama ditujukan kepada rujukan-rujukan administratif yang mendukung atau mendasari terbentuknya sistem pengaturan pemanfaatan KKLD beserta ruang lingkup operasionalnya. Sedangkan pendekatan kuantitatif lebih ditujukan dengan menggunakan beberapa parameter untuk mengukur keberlanjutan perikanan. Data yang didapatkan dari penelitian nanti diharapkan bisa bermanfaat terhadap nelayan setempat serta dapat dikomunikasikan serta mudah dimengerti oleh nelayan setempat. Mendeteksi manfaat sosial ekologi kawasan konservasi ini terhadap komunitas nelayan maka perlu dilakukan analisis terhadap beberapa variabel ekologi, sosial dan ekonomi nelayan setelah adanya kawasan konservasi.

29 5 Beberapa variabel sosial dan ekologi masyarakat setempat dapat digunakan sebagai indikator adanya manfaat kawasan lindung tersebut. Variabel-variabel tersebut misalnya tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Secara sistematis kerangka dasar pemikiran penelitian ini dijelaskan melalui Gambar 1, sedangkan untuk pelaksaanaaanya akan dijelaskan pada Bab 3 Metodologi Penelitian. Sistem Keberlanjutan Perikanan KKLD Olele Sistem Ekologi Penopang Sistem Perikanan Sosial Ekologi Sistem Sistem Sosial Penopang Sistem Perikanan Permasalahan: - Belum jelasnya keberlanjutan sistem perikanan dari perspektif pemanfaatan energi - Belum jelasnya kondisi metabolisme sosial ekologi pemanfaatan sumberdaya perikanan - Belum adanya Pengelolaan yang efektif dan lestari Analisis Sintesis Emergy Ecological Footprint Analysis (EFA) HANPP Keberlanjutan Perikanan Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis keberlanjutan perikanan di Desa Olele

30 6

31 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Wilayah Pesisir dan Laut Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan lainnya yang satu sama lain saling terkait (Masalu 2008). Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia langsung atau tidak langsung maupun proses-proses alamiah yang terdapat diatas lahan maupun lautan. Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Scura et al. (1992) yang dikutip oleh Cicin-Sain and Knecht (1998) mengemukakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan daratan dan laut, yang didalamnya terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan lingkungan laut. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuari, terumbu karang, padang lamun) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, meneral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir. 2. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh berbagai stakeholders, sehingga sering terjadi konflik yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya. 3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat menghasilkan GNP (gross national product) dari kegiatan seperti pengembangan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata dan pesisir dan lain-lain.

32 8

33 9 Wilayah pesisir merupakan kawasan dengan konsentarasi penduduk yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat berlangsungnnya berbagai macam kegiatan pembangunan (Dahuri 1998; Masalu 2008). Konsentrasi pembangunan kehidupan manusia dan berbagai pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan serta wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga menjadi rusak (Dahuri 1998). Indonesia dengan mega biodiversitynya merupakan negara dengan potensi wilayah pesisir yang besar; memiliki 75% jenis terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah dengan luasanya mencapai km 2, atau hampir 25% terumbu karang dunia; juga memiliki berbagai jenis mangrove dengan luasan mencapai 4,5 juta Ha; padang lamun dengan luas diperkirakan 12 juta ha dan sumberdaya lainnya (Dahuri 2003). Khususnya untuk SDI, Departemen Kelautan Perikanan melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (2008) menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia telah mengalami overfishing dan dalam kondisi kritis, yang disebabkan karena pengelolaaan SDI yang tidak ramah lingkungan yang menyebabkan stok SDI tidak berkelanjutan. Sehingga terjadi penurunan produksi tersebut sangat merugikan masyarakat dan memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Dahuri (1998) mengemukakan bahwa dengan keanekaragamannya yang tinggi dan intensitas pembangunan diwilayah pesisir, khususnya Indonesia telah mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks baik berupa pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan pengikisan keanekaragaman hayati, degradasi fisik habitat pesisir, maupun konflik pembangunan ruang dan sumberdaya. Pelestarian wilayah yang sangat rentan memerlukan suatu upaya pengelolaan yang terpadu. Keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu pilihan yang tepat demi menjawab permasalahan di wilayah pesisir untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah

34 10 pada peningkatan upaya pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Menurut Dahuri (1998) untuk kepentingan pengelolaan pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan, ada lima karakteristik ekosistem pesisir yang harus dipahami oleh para perencana dan pengelola yaitu; (1) bahwa komponen hayati dan nirhayati dari suatu wilayah pesisir membentuk suatu sistem alam (ekosistem) yang sangat kompleks, (2) dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkam untuk kepentingan pembangunan seperti tambak, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, industri dan pemukiman, (3) dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya, (4) baik secara ekologis maupun ekonomi, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha, (5) kawasan pesisir umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resource) yang dimanfaatkan oleh semua orang (open access) Sistem Perikanan Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan yang bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Kegiatan perikanan secara umum merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan dijelaskan bahwa perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun di perairan umum secara bebas. Kegiatan ini

35 11 dibedakan dengan perikanan budidaya, dimana pada perikanan tangkap binatang atau tanaman air masih belum merupakan milik seseorang sebelum binatang atau tanaman air tersebut ditangkap atau dikumpulkan. Sedangkan pada perikanan budidaya, komuditas tersebut telah merupakan milik seseorang atau kelompok yang melakukan budidaya tersebut. Sehubungan dengan itu pada tanggal 24 November 1993 FAO menetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measure by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993) yang bertujuan menetapkan dasardasar praktek penangkapan ikan laut lepas (high seas) dan menerapkan langkahlangkah konservasi sumberdaya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral. Prinsip-prinsip umum dalam FAO Compliance Agreement 1995, yaitu: (1) Laut lepas terbuka untuk semua negara atau laut lepas bukan merupakan suatu wilayah kedaulatan negara manapun, sehingga setiap negara mempunyai kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan. (2) Kewajiban setiap negara di laut lepas adalah menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan cara melakukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam pelestarian sumberdaya ikan. (3) Konservasi dan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di laut lepas harus berdasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Aktivitas penangkapan ikan merupakan kegiatan penting di seluruh dunia. kegiatan menghasilkan lebih dari 100 juta ton ikan dan produk perikanan setiap tahun dan memberikan kontribusi untuk kesejahteraan manusia dengan menyediakan mata pencaharian bagi sekitar 200 juta orang. Lebih dari satu miliar orang, terutama dimasyarakat miskin negara di dunia tergantung pada produk perikanan untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk protein hewani. Memancing juga memberikan kontribusi untuk kesejahteraan manusia dengan memenuhi kebutuhan budaya dan menyediakan manfaat sosial seperti rekreasi (FAO 1999). Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagaian penduduk yang berorientasi pada jangka panjang (sustainability management).

36 12

37 13 dicirikan oleh topografi, kualitas air dan cuaca lokal/iklim, (3) kompartemen perikanan, dimana panen dan pengolahan kegiatan berlangsung, dengan karakter teknologi yang kuat dan (4) kompartemen kelembagaan, terdiri dari hukum, peraturan dan organisasi diperlukan untuk tata kelola perikanan. Manusia adalah bagian dari komponen biotik ekosistem yang memanfaatkan sumber daya, jasa dan penghidupan serta bagian dari komponen perikanan karena mereka yang mengendalikan. Komponen-komponen ini berinteraksi dan dipengaruhi oleh: (i) kegiatan tidak memancing; (ii) iklim global, (iii) ekosistem lainnya, biasanya ekosistem yang saling berdekatan yang saling bertukar materi dan informasi, dan (iv) lingkungan sosio-ekonomi yang tercermin di pasar, kebijakan yang relevan dan nilai-nilai sosial (Garcia et al. 1999) Analisis Keberlanjutan Analisis Sintesis Emergy Energi dan Hirarki Emergy Emergy merupakan suatu ukuran dari tindakan hasil karya alam dan masyarakat. Hasil karya alam dan masyarakat ini bila dilihat dari jumlah transformasi energi merupakan aliran energi yang saling berhubungan. Semua transformasi energi dari geobiosfer akan membentuk tingkatan energi (Brown and Ulgiati 2004a). Komponen energi sangat penting untuk semua proses aktivitas di alam semesta. Odum dan Odum (1976) menjelaskan bahwa energi datang dari sinar matahari yang diterima oleh bumi, dimana sinar matahari dapat memanaskan air, menghasilkan makanan tanaman dan secara tidak langsung menghasilkan angin, gelombang, batu bara dan minyak bumi di dalam tanah. Semua proses aktivitas memiliki komponen energi. Brown dan Ulgiati (2004a) menjelaskan juga bahwa energi sinar matahari diperlukan untuk mengahasilkan bahan organik, lalu energi bahan organik mengahasilkan bahan bakar, dan energi bahan bakar digunakan untuk menghasilkan energi listrik dan sebagainya. Untuk menyempurnakan hal ini, maka energi yang tersedia dari berbagai bentuk energi dapat dievaluasi dengan menggunakan emergy.

38 Definisi Emergy Emergy adalah energi yang tersedia dari suatu sistem yang digunakan dengan transformasi langsung dan tidak langsung untuk membuat sebuah produk atau jasa (Odum 1996; Brown and Ulgiati 2004a). Analisis emergy adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh Howard Thomas Odum yang memperlajari tentang fungsi sistem ekologi dan lainnya (Hau dan Bakshi 2004). Teori ini menjelaskan bagaimana hirarki suatu sistem bisa bertahan dan dapat diatur dengan menggunakan energi secara efisien sehingga bisa menghasilkan kekuatan yang besar (Odum 2000). Selain itu emergi juga adalah ekspresi dari seluruh energi yang digunakan dalam proses kerja yang menghasilkan produk atau jasa dalam satu satuan energi. Emergy merupakan metode kuantitatif untuk mengevaluasi sistem, baik sistem ekologi dan sistem kemasyarakatan (Voora dan Thrift 2010). Kerangka emergy telah banyak digunakan untuk menganalisis sistem yang berbeda seperti ekosistem, industri, dan ekonomi (Lei dan Wang 2008). Satuan emergy adalah emjoule atau joule emergy (Odum 2000; Brown and Ulgiati 2004a; Wang et al. 2006). Nilai satuan dari unit emergy dihitung berdasarkan nilai emergy yang dihasilkan dari tiap unit emergy. Ada tiga jenis utama dari unit emergy yaitu (Brown and Ulgiati 2004a): a) Transformity, adalah satu contoh satuan nilai emergy dan didefinisikan sebagai emergi per unit dari ketersediaan energi (exergy). Biasanya dinyatakan dengan emjoule surya per joule (sej/j). b) Emergy spesifik, adalah nilai unit materi emergy yang didefinisikan sebagai emergy per massa. Biasanya dinyatakan dengan emergy surya per gram (sej/g). Padatan dapat dievaluasi dengan baik dengan data emergy per satuan massa untuk konsentrasinya. Karena energi dibutuhkan untuk konsentrasi materi, maka nilai satuan emergy zat apapun dapat meningkat sesuai dengan konsentrasinya. c) Emergy uang per unit, adalah nilai unit emergy yang digunakan untuk mengkonversi pembayaran uang ke unit emergy. Biasanya dinyatakan dengan emjoules/$. Rata-rata emergy/rasio uang dalam emjoules/$ dapat dihitung dengan membagi penggunaan emergy total produk ekonomi bruto dari suatu negara atau bangsa. Dalam mendefinisikan konsep-konsep dan untuk menghindari kebingungan dengan bentuk-bentuk analisis dalam evaluasi emergy,

39 15 Odum (1996) telah mengembangkan sebuah nomenklatur emergy yang mendefinisikan sebuah istilah, unit dan rasio seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Istilah, singkatan, indikator utama dari unit emergy ISTILAH DEFINISI SINGKATAN UNIT Ektensif Properti Emergy Jumlah energi yang tersedia dari satu jenis (biasanya solar) yang langsung atau tidak langsung diperlukan untuk menghasilkan aliran ouput tertentu atau penyimpanan energi atau materi. E m sej (solar equivalent Joules) Aliran Emergy Setiap aliran emergy terkait dengan pemasukan energi atau bahan ke sistem / proses. R = aliran terbarukan N = aliran yang tak terbarukan F = aliran yang di impor S = jasa sej*time -1 Produk Emergy Bruto Jumlah emergy setiap tahun yang digunakan untuk menggerakkan ekonomi nasional atau regional. GEP sej*yr -1 Produk-Terkait dengan Intensif Properti Transformity Investasi emergy yang dihasilkan per unit dari ketersediaan energi. Emergy Spesifik Intesitas emergymata uang Investasi emergy yang dihasilkan per unit pada musim kemarau Investasi emergy yang dihasilkan per unit GDP yang dihasilkan disuatu daerah atau negara Ruang- Terkait dengan Intensif Properti Kepadatan Emergy Emergy disimpan dalam suatu volume bahan tertentu Waktu-Terkait dengan Intensif Properti Empower Aliran emergy (dilepas, digunakan) per satuan waktu Intensitas Empower Areal Empower (Emergy yang dilepas per satuan waktu dan daerah) Tr sej*j -1 S p E m sej*g -1 EIC sej*curency -1 E m D sej*volume -1 E m P sej*time -1 E m PI sej*time -1 *area -1 Kepadatan Empower Emergy yang dilepas oleh unit satuan volume (misalnya pembangkit listrik atau mesin) E m Pd sej*time -1 *volume -1 Indikator Kinerja Terpilih Emergy Lepas (digunakan) Total emergy investasi dalam suatu proses (ukuran dari proses footprint) U = N+R+F+S sej Perbandingan Hasil Emergy Rasio Beban Lingkungan Jumlah emergy yang dilepas (habis) per unit emergy yang diinvestasikan Jumlah yang tidak terbarukan dan impor emergy yang dilepas per unit sumberdaya terbarukan setempat EYR = U / (F+S) - ELR = (N+F+S) / R - Indeks Keberlanjutan Emergy Hasil emergy per unit beban lingkungan ESI = EYR / ELR - Renewability (pembaruan) Rasio Investasi Emergy Sumber: Odum (1996) Persenrase jumlah emergy yang dilepas (digunakan) yang terbarukan Investasi yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi emergy satu unit sumberdaya lokal (terbarukan dan tidak terbarukan) %REN = R/U - EIR = (F+S) / (R+N) -

40 Simbol Sistem Energi dan Sistem Diagram Emergy Simbol bahasa dalam sistem energi mengambarkan aliran energi. Sistem dalam energi adalah seperangkat dari bagian-bagian dan mencakup aliran energi yang saling terhubung satu sama lain. Untuk memudahkan analisis, sistem energi digambar dengan menggunakan simbol bahasa energi sistem ekologi untuk memudahkan dalam menilai suatu sistem yang mewakili komponen ekologi/energi, sektor ekonomi, pengguna sumberdaya dan sirkulasi uang (Odum and Odum 1976; Odum 1996; Odum 1983; Odum and Odum 2000) (Gambar 5). Gambar 4. Simbol Aliran Energi. a) Sirkuit energi. Suatu aliran yang berbanding lurus dengan kuantitas dalam simpanan atau dalam sumber hulu (upstream) b). Pembuanagan panas. Dispersi energi potensial menjadi panas yang menyertai semua proses transformasi dan simpanan yang sebenarnya; kehilanagan energi potensial karena pemakaian lebih lanjut oleh sistem c). Transaksi. Suatu unit yang menunjukkan penjualan barang atau jasa (garis utuh) sebagai penukar pembayaran dengan uang (garis terputus). Harga yang ditampilkan sebagai sumber eksternal d). Sumber energi. Sumber energi eksternal dengan ketersediaan konstan yang mengirimkan gaya secara terkontrol e). Sumber energi/sumber terbarukan. Sebuah sumber energi dengan hanya menetapkan jumlah unit waktu yang mengalir dan tersedia per satuan waktu f). Tangki. Suatu ruang penyimpanan energi didalam sistem yang menyimpan suatu kuantitas sebagai hasil keseimbangan aliran masuk dan aliran keluar; suatu variabel kondisi g). Interaksi. Interaksi dua alur berganda menghasilkan suatu aliran keluar yang sebanding dengan fungsi keduanya; gerak/aksi kontrol suatu aliran terhadap aliran energi lainnya; aksi/gerak faktor pembatas; gerbang kerja h). Produsen. Unit yang menerima dan mentranformasikan energi berkualitas rendah dibawah kontrol interaksi aliran berkualitas tinggi i). Konsumen. Unit yang mentransformasikan kualitas energi, menyimpannya dan menyimpan balikkan secara autokatalis untuk memperbaiki aliran masuk j). Gerak peubah. Suatu simbol yang menandakan satu atau lebih gerak peubah k). Kotak. Simbol aneka macam yang digunakan untuk unit atau fungsi apa saja sesuai dengan yang ditulis didalam kotak.

41 Analisis Jejak Ekologis (Ecological Footprint Analysis) Kebutuhan manusia terhadap layanan ekosistem terus meningkat dan ada indikasi bahwa permintaan ini melampaui kapasitas regeneratif lahan bioproduktif. Analisis Jejak Ekologis (ecological footprint analysis/efa) merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk melihat perbandingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari dengan penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong populasi yang dinyatakan dalam satuan hektar. Konsep jejak ekologis diperkenalkan oleh Rees (1992) dan dikembangkan oleh Wackernagel dan Rees (1996). Salah satu karakteristik dari metodology ini adalah istilah biocapacity atau ketersediaan sumberdaya di alam yang mengukur produktifitas biologi di suatu daerah. Produktifitas biologi rata-rata satu hektar luas permukaan bumi disebut hektar global (gha) dan digunakan sebagai unit perbandingan umum. Bioproduktifitas adalah kemampuan bioma (misalnya; tanah yang subur, padang rumput, hutan dan laut produktif) untuk memproduksi biomasa (Siche et al. 2008). Ecological footprint mewakili kebutuhan kapital alam yang sangat diperlukan dari suatu populasi dalam artian luasan lahan yang produktif secara ekologis. Luas lahan footprint tersebut bergantung pada besarnya populasi, standar hidup material, pemanfaatan teknologi, dan produktivitas ekologis (Wackernagel et al. 1999). Untuk sebagian besar wilayah yang telah maju (daerah industri) sebagian lahan footprint ini melebihi yang tersedia di tempat (wialayah lokal) tersebut. Hal ini berarti memerlukan bantuan kecukupan (appropriation) dari daya dukung (carrying capacity) dunia (global). Ditekankan oleh Wackernagel et al. (1999) ecological footprint tidak bisa tumpang tindih (overlap), daya dukung lingkungan yang dialokasikasikan untuk kecukupan (appropriated) seseorang (atau satuan ekonomi) tidak bisa tersedia bagi orang lain. Dengan demikian orang-orang berkompetisi (bersaing) untuk ecological space. Perhitungan ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana: pertama adalah bahwa semua sumberdaya yang dihabiskan (konsumsi) danlimbah yang dihasilkan dapat ditelusuri; dan kedua, kebanyakan aliransumberdaya dan limbah tersebut dapat dikonversi ke luasan lahan yang secarabiologis produktif

42 18 yang diperlukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi (produksidan penyerapan limbah) tersebut. Dengan demikian ecological footprint menunjukkan seberapa besar suatu populasi atau bangsa menggunakan alam Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Kegiatan manusia dalam memanfaatkan jasa ekosistem selamanya membawa dampak yang signifikan terhadap ekosistem itu sendiri. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Dalam rangka lebih memahami skala dan dampak potensial oleh aktivitas manusia pada ekosistem, serta lebih menginformasikan kebijakan dalam pengambilan keputusan banyak indikator telah dirancang, salah satunya dengan menghitung human appropriation of net primary production (HANPP). HANPP merupakan pengunaan manusia dari produktivitas primer bersih yang dimanfaatkan dari pengunaan lahan ataupun ekositem yang ada. Halbertet et al. (2007) mengemukan bahwa HANPP adalah indikator parameter yang mencerminkan penggunaan beberapa wilayah dan intensitas penggunaan lahan oleh manusia. HANPP merupakan indikator yang komprehensif untuk mengukur dampak penggunaan lahan oleh manusia pada ekosistem untuk mengitung: (a) manusia dan perubahan yang terjadi dalam produktivitas biologis, dan (b) panen biomassa (Haberl 2002b; Krausman et al. 2007; Kastner 2009). Mengukur besarnya aktivitas manusia di daerah tertentu yang tersedia berkaitan dengan aliran energi ekologi lebih tepat diukur dengan menggunakan HANPP (Krausman et al. 2007). HANPP (Gambar 4) didefinisikan sebagai perbedaan antara aliran energi produktivitas primer bersih (NPP) dari vegetasi potensial dan jumlah energi (biomassa) yang tersisa dalam siklus ekologi setelah dikurangi dengan pemanfaatan oleh manusia (Haberl 2002).

43 19 Gambar 5. Definisi dari human appropriation of net primary production (Haberl 2007). HANPP merupakan perbedaan antara jumlah NPP yang tersedia dalam ekosistem dengan tidak adanya aktivitas manusia (NPP 0 ) dan jumlah NPP yang sebenarnya masih dalam ekosistem atau dalam ekosistem setelah dimanfaatkan saat ini (NPP t ). NPP t dapat dihitung dengan mengukur NPP vegetasi aktual (NPP act ) dan mengurangkan jumlah NPP yang di manfaatkan oleh manusia (NPP h ). HANPP kemudian didefinisikan sebagai NPP 0 -NPP t dimana NPP t =NPP act -NPP h. Jika terjadi perubahan ekosistem ΔNPP LC (perbedaan antara NPP 0 dan NPP act ), maka HANPP menjadi sama dengan NPP h +ΔNPP LC (Haberl 2007). Dari perspektif sosial, HANPP mengukur efek gabungan dari penggunaan lahan yang disebabkan perubahan NPP (ΔNPP LC ) dan panen biomassa (NPP h ). Dari segi ekologi, HANPP didefinisikan sebagai perbedaan dalam jumlah NPP yang akan tersedia dialam dan tidak adanya campur tangan manusia (NPP 0 ) dan sebagian kecil dari NPP yang tersisa dalam ekosistem setelah panen manusia dalam kondisisaat ini (NPP t ). Perhatikan bahwa NPP act mungkin lebih besar dari NPP 0 akibat pengelolaan lahan intensif, seperti pemupukan atau irigasi, dengan demikian HANPP bahkan bisa negatif (Krausman et al. 2007).

44 Perbandingan antara EFA, HANPP dan Analisis EMERGY Pendekatan analisis ecological footprint analysis (EFA) dan human appropriation of net primary production (HANPP) merupakan analisis yang melihat tentang pemanfaatan dan pengunaan sumberdaya oleh manusia terhadap alam. Kedua pendekatan ini mengakui bahwa pentingnya area permukaan untuk proses ekologi yang berhubungan dengan penggunaan lahan dan metabolisme sosio-ekonomi pada suatu daerah (Harbel et al. 2004). Sintesis emergy didasarkan pada penggunaan energi sebagai denominator umum sehingga aliran dan penyimpanan dari berbagai jenis dapat dinyatakan dan dibandingkan dalam satuan yang sama (Liu et al. 2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa adanya perbedaan secara signifikan antara ketiga analisis tersebut dalam menilai suatu keberlanjutan suatu ekosistem. Tabel 2. Perbandingan antara EFA, HANPP dan analisis emergy. Item EFA Menurut Harbel et al.(2004) HANPP Analisis emergy menurut Odum (1996) Pertanyaan Penelitian Seberapa besar bioproduktifitas suatu daerah untuk mempertahankan metabolisme sosio-ekonomi dari populasi tertentu menggunakan teknologi yang berlaku? Seberapa besar produktifitas primer bersih dari suatu ekosistem atas praktek penggunaan lahan suatu daerah? Bagaimana mengidentifikasi semua bahan dan aliran energi yang berpartisipasi dalam suatu sistem? Unit Hektar global (gha); yaitu hektar lahan bioproduktifitas dan wilayah laut, dengan produktifitas rata-rata global Joule; kilogram kering biomassa atau materi kilogram karbon Transformity; emjoule surya per joule (sej/j). Emergy spesifik; emergy surya per gram (sej/g). Emergy uang per unit; konversi pembayaran uang ke unit emergy (emjoules/$) Asumsi dasar Manusia tergantung pada ketersediaan area bioproduktif dan cenderung menggunakannya melebihi batas kemampuan alam. Persentase produktifitas primer bersih oleh manusia digunakan untuk mengukur seberapa besar dominasi manusia terhadap ekosistem. Tingginya HANPP akan beresiko terhadap potensi keanekaragaman hayati Mengubah setiap massa dan aliran energi ke dasar nilai yang sama. Ini memperhitungkan setiap kontribusi dari alam dan ekonomi manusia untuk mengetahui kepentingan relatif dari setiap sumber daya. Relevansi untuk keberlanjutan Nilai ekologi yang komprehensif untuk membandingkan ukuran ekonomi manusia dengan ukuran ekosistem pendukung. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mendeteksi penilaian ekologi yang overshoot terhadap penggunaan lahan disuatu wilayah. Mengidentifikasi penggunaan lahan ekosistem teresterial suatu wilayah, namun penilaian ini tidak mengidentifkasikan batasan keberlanjutan. Penurunan yang besar dalam produktifitas (NPP act rendah dibandingkan NPP 0 ) menunjukkan pengelolaan yang tidak efisien. Sumber : Harbel et al. (2004), Odum (1996) dan Odum (2000) Penggunaan sumberdaya yang dapat dilanjutkan oleh masyarakat dalam jangka panjang karena tingkat penggunaan dan desain sistem memungkinkan sumberdaya untuk diperbaharui oleh proses alam atau oleh campur tangan manusia (Odum 2000).

45 Energi Untuk Kegiatan Perikanan Konsep energi diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Energi yang bersumber dari alam disebut dengan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi non fosil yang bersumber dari alam. Seluruh energi terbarukan adalah energi sustainable (prosesnya berkelanjutan) yang tersedia dalam kurun waktu yang cukup lama. Odum dan Odum (1976) menjelaskan bahwa energi adalah ukuran dari segala sesuatu di alam. Energi datang dari matahari sebagai cahaya dan diterima bumi, dimana ia memanaskan air, menghasilkan makanan pada tanaman dan secara tidak langsung menghasilkan angin, gelombang, batu bara dan minyak bumi di dalam tanah. Semuanya memiliki komponen energi. Semua energi dapat dirubah kedalam panas dan dapat diukur dengan satuan kalori (calorie). Satu kalori sama dengan 3.97 british thermal units (btu), Joules dan foot-pounds. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa gelombang dan arus laut adalah bentuk lain dari energi. Energi ini sebagian besar dihasilkan dari angin yang pada akhirnya juga dipengaruhi oleh matahari. Kegiatan perikanan secara langsung atau tidak langsung mengeluarkan energi dalam setiap aktivitasnya. Pemakaian energi pada sektor perikanan dilihat dari perspektif penggunaan kapal/perahu penangkapan ikan dalam skala kecil dapat dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu mesin penggerak dan untuk penerangan. Pada mesin penggerak digunakan premium dan minyak solar sebagai bahan bakar sarana penangkapan ikan, sedangkan untuk penerangan pada sarana dan peralatan penangkapan ikan digunakan minyak tanah sebagai bahan bakar (Suharsono 2004). Dari perspektif energi, input energi perikanan yang biasa memediasi dapat dikategorikan kedalam jenis langsung dan tidak langsung. Input tidak langsung secara umum sering disebut sebagai input energi yang diwujudkan, adalah yang terkait dengan membangun, memelihara kapal penangkapan ikan dan menyediakan peralatan memancing, umpan dan es. Sebaliknya disebagian besar perikanan input energi langsung biasanya yang dibutuhkan untuk mendorong kapal penangkap ikan dan menyebarkan alat tangkap. Tiga bentuk yang dominan energi yang hilang saat kegiatan penangkapan ikan meliputi bernyawa, angin dan energi bahan bakar fosil (Tyedmers 2004).

46 Keberlanjutan Pembangunan Perikanan Pembangunan berkelanjutan merupakan pointer yang saat ini menjadi trend global dalam meningkatkan kesejahteraan populasi manusia saat ini tanpa mengorbankan kesejahteraan generasi yang akan datang. FAO (1999) menjelaskan pembangunan berkelanjutan mengakui bahwa kesejahteraan manusia memiliki dimensi ekonomi dan sosial. Tingkat pembangunan berkelanjutan dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya alam (dan tingkat pembaharuannya), ketersediaan teknologi untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien serta efektifitas dari sistem sosial dalam memanfaatkan sumber daya. Selanjutnya diungkapkan bahwa suatu pandangan ekosistem berbasis pembangunan berkelanjutan berfokus pada pemeliharaan stabilitas dan ketahanan ekosistem. Pembangunan berkelanjutan mengakui adanya saling ketergantungan ekonomi manusia dengan lingkungannya dan menyoroti kebutuhan untuk pemahaman ilmiah tentangfungsi dan perubahan ekosistem. Elliot (1999) menjelaskan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah tentang mendamaikan pembangunan dan sumberdaya lingkungan dimana masyarakat itu bergantung. Wacana keberlanjutan perikanan telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu dari dimensi tunggal (ekologis-biologis) hingga multidimensi (ekologisekonomis-sosial). Pada awalnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut berkelanjutan apabila mampu melindungi SDP dari kepunahan. Dari paradigma ini muncul misalnya ikon MSY (maximum sustainable yield) (Adrianto 2001). Keberlanjutan pembangunan perikanan adalah kunci yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Perikanan merupakan salah satu kegiatan manusia yang sangat kompleks yang berdampak terhadap aktifitas ekonomi suatu daerah atau negara tertentu. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya dapat pulih, namun jika dalam pemanfaatnnya tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri. Nikijuluw (2002) menjelaskan

47 23 bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan ikan serta pengelolaan kegiatan manusia. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable) merupakan proses yang menggabungkan beberapa pendekatan aturan main yang praktis seperti mengetahui dinamika populasi perikanan, strategi praktis dalam pengelolaan perikanan seperti menghindari penangkapan yang berlebihan, membatasi praktek penangkapan ikan yang merusak dan ilegal, mendirikan kawasan lindung, memulihkan perikanan yang gagal (collapsed), menggabungkan semua eksternalitas yang terlibat dalam pemanfaatan ekosistem laut dalam konteks ekonomi perikanan, mendidik para pemangku kepentingan dan masyarakat luas dan mengembangkan program sertifikasi independen dalam pemanfaatan ekonomi sumberdaya perikanan. FAO (1997) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta percapaian tujuan pengelolaan. Keberlanjutan Ekologi Keberlanjutan Institusi Keberlanjutan Sosial Ekonomi Keberlanjutan Komunitas Gambar 6. Bentuk segitiga pembangunan perikanan berkelanjutan (Charles 2001).

48 24 Gambar 6 menjelaskan beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan seperti yang dikemukakan oleh Charles (2001) yang seharusnya mengakomodasi aspek diantaranya: Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosioekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam keberlanjutan ini. Community sustainability. Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan periakanan yang berkelanjutan. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Mengandung makna bahwa keberlanjutan kelembagaan yang memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasayaratdari ketiga pembangunan berkelanjutan diatas Khususnya dalam bidang perikanan, konferensi dunia tentang pembangunan berkelanjutan (The World Summit on Sustainable Development) yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan, Agustus 2002 yang juga membahas tentang pembangunan berkelanjutan perikanan yang menargetkan bahwa stok ikan harus dapat dipulihkan ke tingkat yang berkelanjutan pada tahun 2015 untuk mencapai tujuan tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/msy) (Garmendia et al. 2010; Satia 2003). Dalam pelaksanaannya di Indonesia pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 31 tahun Dalam undang-undang tersebut pemerintah diberi mandat dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Nikijuluw (2002) menjelaskan bahwa keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu:

49 25 (1) Fungsi alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah. (3) Fungsi stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat.

50 26

51

52 28 dinas/instansi/lembaga terkait seperti: Dinas Pariwisata Provinsi/Kabupaten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi/Kabupaten, Bappeda Propinsi/Kabupaten, Bakosurtanal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi berupa laporan hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada. Data tersebut meliputi kependudukan (Jumlah, kepadatan, struktur umur, pendidikan, agama, rasio kelamin), mata pencaharian, data penangkapan ikan, daerah penangkapan (fishing ground), biaya operasional dan harga ikan Tabel 3. Tabel 3. Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian Komponen Sosial Ekonomi Metode Pengumpulan Data Sumber Data Komponen Sosial Kependudukan Survey, Wawancara Kantor Desa Olele, Kecamatan dan BPS Kab. Bone Bone Bolango. Mata Pencaharian Wawancara Bappeda dan BPS Kab. Bone Bolango Daerah Penangkapan Ikan Survey, Wawancara Nelayan dan Masyarakat Komponen Ekonomi Biaya Operasional Penangkapan Ikan Wawancara Nelayan, Masyarakat Harga Ikan Survey, wawancara Nelayan Data Produksi Ikan Survey, wawancara Nelayan, TPI, DKP Kab.Bone Bolango 3.3. Analisis Data Analisis Sintesis Emergy Metode evaluasi emergy atau kadang-kadang disebut sintesis emergy, seluruh sistem dianggap melalui diagram, dimana aliran energi sumber daya dan informasi yang mendorong untuk analisis sistem (Gambar 7). Dengan evaluasi sistem yang kompleks menggunakan metode emergy, nilai ekonomi manusia dari lingkungan dan persoalan kebijakan publik serta pengelolaan suatu lingkungan atau kawasan yang terintegrasi dapat dianalisis. Sistem diagram digunakan untuk menunjukkan input yang dievaluasi dan dijumlahkan untuk mendapatkan emergy dari sebuah aliran yang dihasilkan atau yang tersimpan. Tujuan dari sistem

53 29 diagram adalah melakukan inventarisasi dengan benar dari proses penyimpanan dan arus yang penting "driver" dari sistem (semua arus yang masuk melintasi batas sistem) dan karena itu diperlukan untuk mengevaluasi (Brown and Ulgiati 2004b). Gambar 8. Emergy berdasarkan indeks, nilai dari input lokal emergy terbarukan (R), lokal input yang tidak terbarukan (N), dan input yang diperoleh dari luar sistem (F) (Haden 2002; Brown and Ulgiati 2004a.b, Wang 2006). Metodologi umum yang digunakan untuk melakukan analisis emergy terdiri dari mendefinisikan batas sistem dan menggunakan diagram sistem energi untuk menggambarkan fitur sistem, input dan output untuk dianalisis. Langkah berikutnya membuat sebuah tabel yang merangkum nilai-nilai emergy dari stok sistem dan arus. Stok dan arus dikonversi dari unit energi atau massa untuk unit setara dengan menggunakan koefisien emergy transformity. Keberlanjutan sistem ini kemudian dapat dievaluasi dengan menggunakan sejumlah indikator emergy (Voora dan Thrift 2010). Berikut adalah beberapa metode analisis sintesis emergy yang mengikuti format yang diberikan oleh Odum (1996) : a) Batasan sistem spatial yang didefinisikan sebagai daerah yang digunakan untuk produksi secara keseluruhan dan untuk subsitem individu (bidang manajemen). Dimensi dari penelitian ini adalah satu tahun kalender. b) Semua sumber utama energi utama dan sumber daya material yang mengalir dan yang tersimpan didalam diidentifikasi dan ditabelkan menggunakan

54 30 bahasa energi sistem dan kuantitas dicatat dan diubah menjadi unit energi (Joule), unit massa (gram) atau unit moneter. c) Berbagai sumber daya yang mengalir entah itu diukur secara langsung atau diperkirakan dari catatan produksi, catatan keuangan dan data yang tersedia secara lokal. Untuk memperoleh nilai emergy dari arus sumber daya, jumlah ditabulasi dan dikalikan dengan transformasi yang sesuai dipilih dari literatur. Tabel Evaluasi Emergy Hasil analisis emergy disajikan dalam dua bentuk yaitu bentuk diagram dan tabel. Analisis menggunakan tabel merupakan data mentah aliran dan cadangan penyimpanan yang diubah menjadi unit emergy dan kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan aliran emergy total dalam sistem. Brown and Ulgiati (2004a) menjelaskan bahwa tabel evaluasi emergy adalah untuk evaluasi dari sebuah proses yang mewakili aliran energi per satuan waktu (biasanya per tahun). Keterangan dalam evaluasi menggunakan tabel mengikuti aturan format yang dikembangkan oleh Odum (2000) dan Brown dan Ulgiati (2004a) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4 terdiri dari: Kolom 1 merupakan item nomor baris yang menunjukkan catatan yang ditemukan atau merupakan data mentah perhitungan yang akan ditampilkan. Kolom 2 adalah nama dari input yang yang akan ditampilkan yang juga ditunjukkan pada diagram analisis. Kolom3 adalah data mentah dalam joule, gram, dolar atau unit lainnya. Kolom4 adalah tampilan satuan untuk setiap item (g, J, $, dll). Kolom 5 adalah emergy per unit yang digunakan untuk perhitungan, dinyatakan dalam joule emergy surya per unit. Kadang-kadang input dinyatakan dalam gram, jam, atau dolar, karena itu merupakan rasio konversi tepat digunakan (sej/jam;sej/g;sej/$) Kolom 6 adalah emergy surya dari aliran tertentu, dihitung sebagai masukan mentah kali transformity (kolom 3 kali kolom 5). Kolom 7 adalah nilai emdollar (emergy uang) dari barang yang diberikan untuk suatu tahun tertentu. Hal ini diperoleh dengan membagi emergy di Kolom 6 dengan rasio emergy untuk uang (EMR) untuk negara dan tahun

55 31 dipilih dalam evaluasi (unit sej/$). EMR dihitung secara independen. Nilainilai yang dihasilkan dalam kolom ini menyatakan jumlah aktivitas ekonomi yang dapat didukung oleh aliran emergy yang diberikan atau penyimpanan. Tabel 4. Contoh tabel evaluasi emergy (Brown dan Ulgiati 2004a) Catatan Item Data Unit Emergy/ unit (sej/unit) Solar emergy (E+15 sej/year) em$ Value (1998 em$/year) 1. First item xx.x sej/year xxx.x xxx.x xxx.x 2. Second item xx.x g/year xxx.x xxx.x xxx.x Output xx.xx Sej or g/year xxx.x.... n. O. xxx.x Sumber : Brown dan Ulgiati (2004a) Menghitung Nilai Emergy Setelah tabel yang mengevaluasi semua masukan siap, nilai-nilai emergy unit produk dapat dihitung. Output atau produk (baris ''O'' dalam Tabel 4) dievaluasi pertama dalam unit energi, exergy, atau massa; kemudian masukan emergy dijumlahkan dan nilai unit emergy untuk produk dihitung dengan membagi emergy oleh unit output. Nilai-nilai satuan hasil yang berguna untuk evaluasi emergy lainnya. Jadi, adanya evaluasi emergy menghasilkan nilai emergy unit baru (Brown dan Ulgiati 2004a). Beberapa perbedaan yang dibuat untuk membedakan aliran energi sumber daya seperti yang dijelaskan oleh Ulgiati dan Brown (1998) (Lihat Gambar 8) diantaranya: a) Aliran Terbarukan (R) adalah: - aliran yang terbatas (tidak dapat meningkatkan tingkat dimana mereka mengalir melalui sistem) - gratis (mereka yang tersedia tanpa biaya), - tersedia secara lokal. b) Aliran Tak Terbarukan (N) adalah:

56 32 - stok terbatas (dapat ditingkatkan tingkat penarikan, tetapi jumlah yang tersedia adalah terbatas dalam skala waktu sistem tertentu) - tidak selalu tersedia secara gratis terkadang ada biaya yang keluar ekploitasi aliran energi ini - tersedia secara lokal c) Aliran Umpan Balik (F) adalah: - stok terbatas (seperti diatas) - tidak pernah terbatas - tidak pernah tersedia secara lokal selalu impor Data aliran energi setelah ditabulasi dan disesuaikan selanjutnya ditransformasi. Sejumlah emergy berbasis rasio dan indeks dihitung. Hasil agregat dari indikator-indikator yang didapat akan sangat membantu dalam interpretasi dalam analisis. Indikator utama yang digunakan dalam analisis ini didefinisikan sebagai berikut (Ulgiati dan Brown 1998; Odum 1996) (Lihat Tabel 4 dan Gambar 8): a) Perbandingan hasil emergy (EYR) adalah rasio dari emergy output (Y) dibagi dengan emergi input (F). Perbandingan hasil emergy dari setiap output yang dihasilkan adalah ukuran dari berapa banyak proses yang akan memberikan kontribusi terhadap perekonomian.... (1) b) Rasio beban lingkungan (ELR) adalah rasio emergi tidak terbarukan (N) dan emergi impor (F) untuk emergy terbarukan (R). Ini merupakan indikator dari jumlah tekanan dari proses produksi pada lingkungan setempat.... (2) c) Indeks keberlanjutan emergy (ESI) merupakan ukuran hasil dan keberlanjutan yang mengasumsikan bahwa fungsi tujuan untuk keberlanjutan adalah untuk mendapatkan rasio hasil tertinggi pada beban lingkungan terendah.... (3) Ecological Footprint (EF) Perikanan Pendekatan EF perikanan secara statis dengan memperhitungkan kebutuhan produktivitas primer (primary production required/ppr) (Pauly and Christensen

57 ). Secara teroritik Pauly dan Cristensen (1995) membagi sistem perairan menjadi 6 yaitu; 1) sistem perairan terbuka (open ocean system), 2) sistem pertukaran masa air (upwellings system), 3) paparan tropik (tropical shelves), 4) non paparan tropik (non tropical shelves), 5) pesisir/system terumbu (coastal/reef system), 6) sungai dan danau (freshwater system). Selanjutnya untuk produktifitas primer (primary production) dari masing-masing sistem perairan tersebut adalah 1) 103, 2) 973, 3) 310, 4) 310, 5) 890, 6) 290 gc/m 2 /th. Untuk menentukan kebutuhan produktifitas primer tiap jenis ikan dapat dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan dannilai tengah trophic level (TL) serta dengan memperhatikan kode dari group spesies (species group) yang dikeluarkan oleh FAO. Pada perairan pesisir Kabupaten Bone Bolango secara umum ada dua sistem yaitu trophic system dan coastal system. Tropik level untuk kedua sistem tersebut dapa dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tropik level berbagai kelompok spesies ikan di perairan pesisir Kabupaten Bone Bolango Sistem Perairan Kode FAO Kelompok Spesies Trophic Level Tropical shelves 24, 35 Small pelagics 2.8 Coastal and coral systems Sumber : Pauly dan Cristensen (1995) 31, 33, 39 Misc. Teleosteans , 37 Jacks, mackerels Tunas, bonitos, billfishes Squids, cuttlefishes, octopuses Shrimps, prawns , 47, 77 Lobster, crabs and other 2.6 invertebrates 38 Sharks, rays, chimaeras , 58 Bivalves and other molluscs , 39 Miscellaneous marine fishes Herrings, sardines, anchovies Seaweeds , 37 Jacks and mackerels Diadromous fishes , 47 Shrimps, prawns , Crustaceans and other invertebrates Turtles 2.4

58 34 Pendekatan EF perikanan menggunakan formula yang dikembangkan oleh Wada in Adrianto & Matsuda (2004):... (4) EFa adalah ecological footprint sistem perairan spesies a, PPRia adalah produktivitas primer dari spesises a dalam sistem perairan a, PPa adalah produktivitas primer system perairan a. Mengetahui EF total pada sistem perairan dengan melihat jumlah dari EFa. PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Cristensen (1995) yaitu : (5) PPRi merupakan kebutuhan produktifitas primer spesies ikan ke-i, C adalah hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi berat atom C, TL merupakan rata-rata jumlah transfer trophic level produktivitas primer hasil tangkapan ke-i Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik melalui pendekatan HANPP berupa perkembangan ekonomi, kondisi geografi, pertambahan dan kepadatan penduduk, perubahan tata guna lahan, waktu tenaga kerja dan ketersediaan air, tingkat pembangunan, ketersediaan dan perubahan teknologi, kebijakan dan regulasi lingkungan. Analisis metabolisme sosial-ekologis di KKLD Olele dapat dilakukan menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl (2002). HANPP dapat menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di KKLD Olele berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (primary productivity requirements/ppr). Formula HANPP : (6)

59 35 HANPP adalah kebutuhan produktifitas primer untuk perikanan (kj); PPR O adalah potensial kebutuhan produktivitas primer (kj) diperoleh dari PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) dikalikan energi spesies ikan (kj/100 g). PPR h adalah produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan energi spesies ikan (kj/100 g) (Adrianto 2004). Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan HANPP dengan PPR h Batasan Sistem Beberapa batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Penelitian ini menganalisis subsektor perikanan tangkap. 2) Perikanan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan 3) Sektor basis perikanan tangkap adalah perbandingan relatif kemampuan subsektor perikanan tangkap pada wilayah penelitian dibandingkan dengan wilayah administrasi diatasnya (desa dan kecamatan) serta subsektor perikanan tangkap mampu memenuhi kebutuhan komoditas perikanan Desa Olele dan mengekspor keluar kecamatan atau desa. 4) Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam lingkungan perairan 5) Stok ikan merupakan persediaan atau biomas ikan yang terdapat dalam suatu perairan pada periode tertentu dan. 6) Perikanan tangkap adalah produktivitas perikanan tangkap yang terkait dalam unit penangkapan ikan, dimana dalam suatu kegiatan perikanan terdapat perahu, alat tangkap dan nelayan yang menjadi indikator keberhasilan suatu perikanan tangkap layak untuk dikembangkan. Hasil tangkapan ikan dinyatakan dalam satuan berat. 7) Melihat kebutuhan produktifitas primer (PPR) dari berbagai jenis ikan untuk melihat daya dukung (ecological footprint analysis/efa) perikanan.

60 36

61 4. KONDISI SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN Secara geografis Desa Olele terletak di perairan selatan Provinsi Gorontalo dan termasuk pada kawasan Teluk Tomini pada koordinat LU dan BT. Kawasan ini terletak di Desa Olele dengan luas daratan adalah ha. Desa Olele memiliki empat dusun, Dusun I yaitu Dusun Indato, Dusun II yaitu Dusun Olele Tengah dan Dusun III yaitu Dusun Pentadu dan Dusun IV adalah Hungayokiki. Desa ini dapat dijangkau melalui jalan darat, menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua, dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam dari ibukota Provinsi Gorontalo. Topografi berdasarkan ketinggian dari permukaan laut di desa ini 1-3 meter, hanya sebagian kecil yang memiliki ketingian dari permukanan laut yaitu di daerah perkebunan memiliki ketinggian kurang lebih meter dari permukaan laut. Desa Olele memiliki batas-batas sebelah Utara dengan Kecamatan Suwawa, sebelah Timur dengan Desa Tolotio, sebelah Selatan dengan Perairan Teluk Tomini, sebelah Barat dengan Desa Oluhuta. Penduduk asli desa ini berasal dari suku Gorontalo. Pada tahun 2003 Desa Olele resmi menjadi desa yang di kepalai oleh seorang kepala desa yang biasa disebut Ayahanda (DKP Bone Bolango 2006: Profil Desa Olele 2007) Kondisi Iklim Keadaan klimatologi didaerah ini umumnya sebagaimana daerah-daerah lain di pesisir selatan Gorontalo maka Desa Olele memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di daerah ini berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan April, musim kemarau sekitar bulan Juni sampai September. Kondisi angin di daearah ini yaitu angin utara bertiup pada bulan Januari sampai bulan Maret bersamaan dengan datangnya musim kemarau, Angin barat terjadi selama dua bulan yaitu bulan April sampai Mei pada kisaran bulan ini keadaan laut cukup bersahabat. Pada bulan November sampai Desember terjadi angin tenggara pada kondisi ini laut cukup kencang,

62 38 tinggi gelombang berkisar antara 1 sampai 2 meter. Sementara untuk angin selatan bertiup pada bulan juli sampai Agustus (DKP Bone Bolango 2006). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Badan Metreologi dan Geofisika tahun 2010 (Tabel 6), maka kisaran suhu rata-rata di daerah Gorontalo secara umum 24 0 C dan 28 0 C. Rata-rata suhu maksimum C dan rata-rata suhu minimum adalah kisaran suhu maksimum C dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dengan rata-rata 92.17%. Rata-rata curah hujan di daerah ini berkisar antara mm. Sementara untuk kecepatan angin rata-rata sebesar 1.75 m/det. Untuk persentase penyinaran matahari rata-rata sebesar 61.17% dengan persentase terbesar terjadi pada bulan maret yaitu 80.9% (Gorontalo dalam Angka 2011). Tabel 6. Kondisi klimatologi Provinsi Gorontalo No Bulan Suhu Rata- Rata ( 0 C) Curah Hujan (mm) Kecepatan Angin (m/det) Penyinaran Matahari (%) Kelembaban Nisbi (%) 1 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Gorontalo dalam angka, Kondisi Hidro-Oseanografi Pesisir selatan Provinsi Gorontalo termasuk Desa Olele berhadapan langsung dengan perairan Teluk Tomini. Teluk Tomini sendiri adalah perairan semi tertutup, memanjang dari barat ke timur dengan mulut teluk berada di timur berhadapan langsung dengan Laut Maluku. Teluk Tomini merupakan satu-satunya teluk terbesar di dunia yang tepat berada di khatulistiwa.

63 39 Gambaran pola arus di Olele adalah sama dengan gambaran pola arus pesisir selatan Provinsi Gorontalo secara umum. Pola arus di Gorontalo memperlihatkan pola pergerakan arus rata-rata bulanan yang dibangkitkan oleh angin. Perubahan arah arus yang dibangkitkan pasang surut terjadi lebih cepat karena periode pasang surut yang lebih pendek (harian) dibandingkan dengan periode angin (musiman). Arus di perairan Gorontalo mewakili empat musim sebagai berikut (DKP Bone Bolango 2006): 1. Musim Barat Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Februari. Pada saat ini angin bertiup dari Barat ke Timur. Pola arus musim ini diwakili oleh arus bulan Februari. Pergerakan arus di daerah sekitar pantai jelas mengarah ke Timur diakibatkan angin Barat. Pada musim barat (Desember - Februari), arus bergerak ke arah Barat dan arus yang memasuki Teluk Tomini mempunyai kecepatan yang lebih besar, kemudian membelok ke arah Laut Maluku. 2. Musim Peralihan 1 Musim ini terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Pada musim ini mulai terjadi peralihan arah angin yang bergerak dari Timur ke Barat. Arah arus pada musim ini menuju ke Barat walaupun nilainya masih kecil. Kondisi ini diakibatkan oleh kekuatan angin yang relatif masih lemah. 3. Musim Timur Musim ini terjadi dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Kondisi angin bertiup dari Timur ke Barat. Pada musim timur bulan Agustus memperlihatkan bahwa kecepatan arus permukaan di sekitar pantai lebih kuat dibandingkan arus yang terjadi pada bulan Mei dengan arah dari Timur ke Barat. 4. Musim Peralihan 2 Musim ini terjadi pada bulan September sampai dengan bulan November. Kondisi angin mulai membelok ke arah Timur atau mulai terjadi peralihan dari musim timur ke musim barat. Dengan demikian arus permukaan di sekitar pantai yang pada awalnya bergerak ke Barat mulai melemah dan kemudian akan membelok ke arah Timur. Proses perubahan ini akan diikuti oleh pergerakan massa air.

64 40 Pasang surut di perairan Gorontalo, diklasifikasikan sebagai tipe pasang surut ganda (semidiurnal), yaitu mempunyai perioda dua kali pasang dan dua kali surut. Rata-rata tenggang pasang dan surut sekitar 1-2 meter. Pengaruh musim barat dan timur terhadap kondisi gelombang dengan jelas terlihat di perairan Gorontalo. Pola umum arah penjalaran gelombang laut di perairan Gorontalo mengikuti kecenderungan angin musim yang berlaku. Pada musim timur gelombang bergerak bersesuaian dengan pergerakan angin musim timur, yaitu dari Timur menuju Barat dengan kecenderungan untuk bergerak dalam arah tegak lurus pantai ketika gelombang mendekati pantai, dengan tinggi gelombang perairan dalam terletak pada kisaran 0,2-0,5 m. Pada musim barat, karakteristik gelombang perairan dalam di perairan Gorontalo menguat bersesuaian dengan angin musim barat yang cenderung bertiup lebih kencang dibandingkan dengan musim timur. Tinggi gelornbang di perairan Gorontalo pada musim barat berkisar antara 0,5 1 m (DKP Bone Bolango 2006) Sistem Ekologi Karakteristik Ekosistem Secara umum Desa Olele merupakan daratan pada bagian utara dengan keadaan topografinya yang bergelombang dan berbukit-bukit serta merupakan daerah pertanian, perkebunan, hutan desa. Bagian Timur keadaan tanahnya pada umumnya kasar ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan palawija. Pantai Olele merupakan daerah pantai yang langsung dibatasi oleh dinding-dinding bukit terjal (dengan kemiringan >60 0 ). Perbukitan yang sekitar pantai tandus dengan dengan vegetasi semak yang tipis. Dasar perairannya merupakan hamparan rataan terumbu karang dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Terumbu karangnya terhampar dari tepi ke arah laut dengan lebar m pada kedalaman 3-15 m, kecuali di dekat Tanjung Kerbau, yang mencapai kedalaman + 40 meter. Disamping itu, lahan gisik didominasi oleh batuan pantai dan sedikit pasir putih yangmemberikan pemandangan yang cukup indah disekitar wilayah pantai. Kondisi demikian, salah satu yang membuat pantai di lokasi tersebut telah dijadikan salah satu obyek wisata bahari di Provinsi Gorontalo.

65 41 Isu-isu potensial yang sebagai ancaman serius bagi perairan pantai Olele antara lain: (a) pemanfaatan punggung-punggung bukit untuk perkebunan jagung dan palawija lainnya akan merusak permukaan tanah dan menyebabkan terjadinya erosi yang membawa material lumpur ke ekosistem terumbu karang, (b) pertumbuhan pemukiman yang tidak dilengkapi sistem sanitasi lingkungan yang baik (termasuk drainase) yang akan meningkatkan akumulasi sampah organik maupun anorganik ke perairan, (c) tingkat pengetahuan dan keterampilan yang rendah, wawasan lingkungan tidak memadai akan berimplikasi negatif terhadap lingkungan sumberdaya alam karena masyarakat mempergunakan alat-alat destruktif dalam menangkap ikan (seperti penggunaan bom dan racun), dan (d) status kawasan pantai Olele yang belum memiliki bingkai hukum untuk pengelolaan terpadu akan menyebabkan tumpang tindih pemanfaatan ruang yang berujung pada eskalasi kerusakan Karakteristik Perikanan Tangkap Penangkapan ikan sangat bergantung pada daerah terbuka atau dengan kata lain setiap nelayan memiliki hak yang sama terhadap sumber daya. Karena tangkapan mereka bersifat liar bergerak dari satu tempat ke tempat lain akan menciptakan persaingan, sehingga nelayan harus terus bergerak (mobile). Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Desa Olele masih dilakukan dalam skala kecil dan kebanyakan menggunakan alat tangkap tradisional. Umumnya nelayan yang ada di Desa Olele adalah nelayan pancing tuna menggunakan alat tangkap senar, kawat tembaga dan mata pancing. Ukuran tali nilon yang digunakan nomor 70 sampai 100. Melaut menggunakan perahu yang disebut dengan katintin yang berukuran panjang 5 meter, lebar 60 cm dan tinggi 70 cm. Perahu dilengkapi dengan mesin, dayung dan layar sedangkan umpan yang digunakan untuk menangkap tuna adalah cumi-cumi. Beberapa nelayan diantaranya menggunakan pancing dasar untuk menangkap ikan demersal hasilnya bukan untuk dijual tetapi untuk dikonsumsi sendiri, seperti jenis ikan kuwe, cumi-cumi dan kerapu. Tabel 7 menunjukkan unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu serta alat yang digunakan dalam penangkapan ikan yang beroperasi di Kawasan Perairan Kecamatan Kabila Bone termasuk Olele yang

66 42 diklasifikasikan tiga jenis kapal/perahu penangkapan ikan, yaitu jenis Perahu Motor Tempel (PMT), Kapal Motor (KM), Perahu Tanpa Motor (PTM). Tabel 7. Jumlah kapal/perahu dan alat penangkapan ikan Kecamatan Kabila Bone Tahun PMT KM PTM Desa Pukat Cincin Gillnet Pancing Tegak Pancing Ulur Serok Pukat Cincin Pancing Ulur Gillnet Jumlah Huangobotu Botu Barani Biluango Botutonuo Bintalahe Modelomo Molotabu Oluhuta Olele Sumber : DKP Kabupaten Bone Bolango Karakteristik Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) memiliki luasan perairan 321 ha, saat ini oleh pemerintah setempat sedang mengusahakan untuk memperluas kawasan dan diusulkan untuk menjadikan status kawasan sebagai Taman Nasional Laut Olele. Terumbu karang merupakan ekosistem utama yang ada di KKLD Olele. Di dalam ekosistem terumbu karang terdapat biota-biota penyusun terumbu karang yang dominan, seperti karang batu, ikan karang, alga, karang lunak dan fauna lain.desa Olele merupakan kawasan yang memiliki potensi terumbu karang yang baik. Data yang diperoleh menyebutkan bahwasanya pada ekosistem terumbu karang Desa Olele memiliki kurang lebih 16 genus karang batu dan puluhan jenis spesies. Secara keseluruhan, genus karang yang mendominasi sebaran karang, antara lain Montipora, selanjutnya diikuti oleh Acropora, Porites, Fungia dan Pectinia yang menyebar merata. Sementara untuk jenis ikan sebanyak 22 Famili, 55 genus, dan 104 speseis. Seluruh komunitas ikan yang yang ada, dapat dibagi menjadi 3 kelompok populasi, yaitu kelompok populasi spesies indikator (1

67 43 famili, 3 genus, dan 16 spesies); kelompok populasi spesies target (12 famili, 22 genus, dan 40 spesies); serta kelompok populasi spesies mayor (9 famili, 25 genus dan 48 spesies) (DKP Bone Bolango 2006). Untuk morfologi dasar laut KKLD Olele tergolong dalam bentuk morfologi dasar laut lembah (Gambar 9) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan 2004). Gambar 9. Morfologi dasar laut Olele (Sumber: PPPGL, 2004) Morfologi dasar laut lembah merupakan suatu kenampakan morfologi dasar laut yang memiliki kedalaman yang besar. Umumnya lembah ini terdapat di bagian tengah dan tepi Teluk Tomini. Daerah pesisir selatan Gorontalo memiliki morfologi dasar laut yang curam dimana sedalam 200 meter hanya dapat ditemui hingga 10 km dari garis pantai. Keadaan pasang surut (pasut) di daerah ini dipengaruhi oleh rambatan pasut dari Samudra Pasifik yang masuk melalui Laut Sulawesi dan Laut Maluku (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan 2004).

68 Sistem Sosial JumlahPenduduk Salah satu yang mempengaruhi kerentanan suatu ekosistem pesisir salah satunya adalah meningkatnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk Desa Olele tahun 2010 adalah 983 jiwa.laki-laki berjumlah 535 jiwa (54%) dan perempuan 448 jiwa (46%). Penduduk tersebar di desa yang terdiri dari 4 dusun (Tabel 8). Bila dihubungkan dengan luas wilayah (2 540 ha), maka rata-rata penduduk 1 jiwa menghuni lahan seluas 2.58 ha. Tabel 8. Klasifikasi penduduk Desa Olele menurut umur Tahun Tingkat Umur (Tahun) Jumlah Persentase (%) > Total Sumber: Hasil olahan data primer 2010 Berdasarkan tabel diatas penduduk Desa Olele pada tahun 2010 sebagian besar termasuk dalam kelompok umur produtif (16-44) sebesar 45% dan kelompok umur muda (0-15) 34% sementara untuk kelompok umur tua (>45) sebesar 21%. Klasifikasi penduduk berdasarkan kelompok umur memberikan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia non produktif terhadap penduduk usia produktif pada tahun Usia produktif Desa Olele yaitu sejumlah 442 jiwa dan usia non produktif 339 jiwa. Semakin besar penduduk usia non produktif maka akan semakin besar pula tingkat ketergantungan terhadap penduduk produktif dan sebaliknya Tingkat Pendidikan Tabel 9 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk di Desa Olele menurut tingkat pendidikan persentase tertinggi pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 83%. Sedangkan persentase tingkat pendidikan terendah pada tingkat pendidikan D1-S1 (perguruan tinggi) dengan jumlah 13 orang atau sebesar

69 45 3%. Persentase tingkat pendidikan sebesar 9% yang juga persentase pendidikan kedua setelah SD adalah SMP dengan jumlah 42 orang. Penduduk yang melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) harus sekolah di ibukota Kecamatan Kabila Bone yang jaraknya dari Desa Olele di tempuh dengan kendaraan umum kurang lebih 30 menit. Sementara beberapa orang yang sempat melanjutkan studi ke perguruan tinggi umumnya melanjutkan studinya ke ibukota provinsi yang denpgan jarak tempuh kurang lebih satu jam. Tabel 9. Klasifikasi tingkat pendidikan penduduk No Menurut Pendidikan Dusun I (Idanto) Dusun II (Olele Tengah) Dusun III (Pentadu) Dusun IV (Hungayokiki) Jumlah Persentase (%) 1 SD SMP SMA D1-S S Sumber : Hasil olahan data primer Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Olele memiliki jenis pekerjaan yang bervariasi seperti terlihat pada Tabel 10. Jenis pekerjaan di Desa Olele terdiri dari petani, nelayan, pegawai, pedagang dan wiraswasta. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dengan pekerjaan sebagai nelayan asli adalah lebih besar yaitu 43% dengan jumlah nelayan sebesar 139 orang. Tabel 10. Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan No Lokasi Jenis Pekerjaan Petani Nelayan Pegawai Pedagang Wiraswasta 1 Dusun I (Idanto) 2 Dusun II (Olele Tengah) 3 Dusun III (Pentadu) 4 Dusun IV (Hungayokiki) Jumlah Persentase (%) Sumber : Hasil olahan data primer 2010

70 46 Untuk jenis pekerjaan yang menempati urutan kedua terbanyak adalah petani dengan persentase 31% dengan jumlam petani 100 orang. Jumlah nelayan terbesar terdapat pada Dusun IV Hungayokiki dengan jumlah nelayan 57 orang. Jenis pekerjaan yang menempati urutan ketiga adalah wiraswasta dengan persentase 19% atau sekitar 60 orang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa di Desa Olele umumnya menggunakan Perahu Motor Tempel serta menggunakan alat tangkap pancing tegak dan pancing ulur terbanyak yaitu 150 unit. Jumlah kapal atau perahu penangkapan di Kecamatan Kabila Bone didominasi oleh jenis perahu motor tempel. Alat tangkap yang dominan pada tabel diatas umumnya digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil, dengan operasi penangkapan dilakukan pada malam hari. Perahu motor tempel lebih diminati oleh nelayan secara umum karena dapat menempuh fishing ground yang lebih jauh dari pada tanpa motor dan juga harganya lebih murah dibandingkan dengan kapal motor. Nelayan yang menggunakan perahu jenis ini biasanya merupakan nelayan kecil. Seperti halnya masyarakat nelayan pada umumnya, nelayan Desa Olele jarang ada yang mempunyai daerah spesifik untuk menangkap ikan secara individu. Lokasi daerah tersebut sering ditentukan secara visual, sementara pengetahuan tentang ikan diberikan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Selain karakteristik diatas, variabilitas cuaca dan ketidakpastian alam di daerah pinggiran pantai, akan sangat mempengaruhi terhadap hasil tangkapan. Kecamatan Kabila Bone memiliki tempat pendaratan ikan (TPI) untuk membantu mendaratkan ikan dan pemasarannya yaitu TPI Inengo. Jarak TPI Inengo dengan Desa Olele kurang lebih 30 menit melalui perjalanan darat, namun ironisnya nelayan Desa Olele beberapa diantaranya lebih memilih menjual hasil tangkapannya ke TPI Kota Gorontalo melalui perjalanan darat atau laut. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa harga jual di TPI Kota Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual yang ada di TPI Inengo.

71 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Produksi Perikanan Produksi perikanan laut selama periode tahun di Desa Olele terjadi peningkatan pada tahun 2008 dan 2010 dan produksi terendah pada tahun Untuk Kecamatan Kabila Bone produksi tertinggi pada tahun 2007 dengan jumlah produksi kg (Tabel 11). Komposisi data jenis ikan di Desa Olele disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Produksi perikanan laut di Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone Tahun Tahun Desa Olele (Kg)* Kecamatan Kabila Bone (Kg)** Sumber : * Data primer terolah ** Data Sekunder DKP terolah. Produksi biomassa Desa Olele Kecamatan Kabila Bone di dominasi oleh suntung, ikan tuna dan ikan lemadang (dolphin fish) (Tabel 12). Berdasarkan total produksi dapat diketahui bahwa persentase suntung adalah 31.3%. Suntung adalah sebutan lokal untuk cumi-cumi. Selanjutnya disusul oleh ikan tuna 28,9% dan ikan ladama (lemadang) 11.8%. Sementara untuk produktifitas biomassa yang ada di Kecamatan Kabila Bone lebih didominasi oleh ikan tuna, tongkol dan selar dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil produksi perikanan terbesar terjadi pada 2008 dengan jumlah total produksi sebesar kg, selanjutnya terjadi penurunan produksi pada 2009 yaitu dan meningkat lagi pada tahun berikutnya dengan total produksi kg. Produksi hasil tangkapan yang fluktuatif tidak lepas daripada keadaan alam dan musim penangkapan ikan. Nelayan di Desa Olele seperti halnya nelayan pada umumnya yaitu melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dijadikan patokan untuk menemani mereka saat melaut. Nelayan mengetahui pada bulan-bulan tertentu yang baik untuk pergi melaut dan akan mendapatkan ikan banyak. Sebaliknya

72 48 mereka mengetahui saat-saat tidak melaut, berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat itulah mereka menggunakan waktu untuk memperbaiki alat tangkap yang rusak (jaring, perahu), memperbaiki rumah dan pekerjaan selain melaut. Tabel 12. Produksi Ikan Desa Olele Tahun No Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah Produksi (kg) * SP ** TL *** Ambuasi Great trevally, Dusky jack (Bigeye trevally) Caranx sexfasciatus Bubara Cuvier Alepes vari Cakalang Skipjack tuna, Katsuwonus Striped tuna pelamis 4 Suntung (Cumicumi) Squid (Common squid) Loligo spp Deho Frigate tuna Auxis thazard Oci (Kembung) Striped mackerel (Short-bodied mackerel) Restrelliger brachysoma Layang Layang scad Decapterus spp (Shortfin scad) 8 Ladama Dolphin fish Coryphaena hippurus 9 Marlugis Layang scad Decapterus (Shortfin scad) macrosoma 10 Sindaru Swordfish Xiphias spp Tenggiri Spotted spanish mackerel (Indopasific king mackerel) Scomberomorus guttatus Tuna Tunas Thunnus spp Ket : * Data Primer Terolah Desa Olele ** Sistem Perairan : 1) Trophical selve, 2) Coastal and Coral System *** Trophic Level 5.2. Analisis Keberlanjutan Perikanan Analisis Sintesis Emergy Agregasi system diagram (Gambar 10) mengambarkan proses aliran energi yang saling berinteraksi pada produksi perikanan di KKLD Olele. Chen et al. (2009) menjelaskan bahwa system diagram juga menunjukkan bagian utama dari aliran energi dengan menggunakan bahasa system energy. Tampilan aliran energy pada Gambar 10 menggunakan perangkat lunak EmSIM (Emergy Simulator)

73 49 V_ Analisis sintesis emergy produksi perikanan dalam penelitian ini menggunakan data rata-rata Tahun , baik itu untuk sumberdaya terbarukan, sumberdaya yang dibeli, tenaga kerja maupun data produksi perikanan. Tabel 17 menunjukkan aliran energi yang masuk yang terdiri dari sumberdaya terbarukan, sumberdaya yang dibeli, energi tenaga kerja serta aliran energi produksi perikanan di KKLD Olele yang sudah diidentifikasi dan ditampilkan pada Gambar 11. Sebagai contoh sumberdaya yang dibeli adalah bahan bakar berupa premium, minyak tanah serta es curai. Nilai aliran dari setiap energi yang ada dihitung berdasarkan satuan baku (joule, sej/j, sej/yr). Nilai dari aliran ini dikalikan dengan nilai dari koefisien transformasi untuk menghitung kuantitas emjoule surya dari masing-masing aliran energi. Nilai emergy rupiah (EmRupiah) merupakan nilai rasio dari nilai emergy dan rata-rata pendapatan domestik regional bruto (PDRB) selama empat tahun. BBM Es Curai Purchased Resources Renewable Resources Angin 6.71E E E+00 Tenaga Kerja Matahari 1.62E+03 PRODUKSI PERIKANAN 2.33E+10 EYR = 3.03E+00 ELR = 4.92E-01 ESI = 6.16E+00 i Produksi Perikanan Tahun : Rata-rata Kg = 2.91x J Gambar 10. Sistem aliran emergy pada produksi perikanan di KKLD Olele Sumberdaya Terbarukan (renewable resources) (R) Dua input sumberdaya terbarukan yang mempengaruhi dalam produksi perikanan di KKLD Olele yaitu matahari dan angin. Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa data untuk nilai penyinaran matahari adalah 1.62E18 J, nilai transformasi sebesar 1 sej/unit (Odum. 1996; Odum et al. 2000; Brown dan Ulgiati. 2004b)

74 50 dengan nilai emergy yang dihasilkan adalah 1.62E03 sej/th. Nilai aliran energi sinar matahari didapatkan dengan mengalikan beberapa data diantaranya data luasan area, data intensitas radiasi penyinaran matahari (insolation), dan nilai albedo. Data intensitas radiasi penyinaran matahari di Provinsi Gorontalo secara keseluruhan seperti yang dilaporkan oleh Nurdyastuti (2004) adalah kwh/m2/yr setelah dikonversi ke megajoule menjadi 1.77E04 MJ/m2/yr. Untuk nilai albedo permukaan laut secara keseluruhan diperkirakan sebesar 10 % (Geiber et al yang dikutip oleh Prasasti 2004). Input sumberdaya angin yang ada dikawasan ini juga merupakan agregasi dari beberapa data yaitu luasan area, densitas udara dan kecepatan angin rata-rata selama empat tahun secara keseluruhan. Sinar matahari merupakan sumber energi bagi seluruh mahluk hidup. Di perairan laut matahari berperan salah satunya dalam proses fotosintesis fitoplanton. Fitoplankton berperan sebagai produser utama pada rantai makan di perairan sehingga memungkinkan untuk dijadikan indikator kesubururan perairan yang berdampak juga terhadap kelimpahan ikan diperairan. Sementara sumberdaya angin sangat berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan terutama untuk mendorong kapal atau perahu yang menggunakan layar dan mengandalkan energi angin Sumberdaya yang dibeli (Purchased Resources) (P) Input sumberdaya daya yang dibeli yang dianggap sangat berpengaruh dalam kegiatan perikanan di KKLD Olele adalah bahan bakar minyak (BBM) dan es curai. Dalam praktek operasi penangkapan ikan dilapangan BBM dibedakan atas bahan bakar yang digunakan sebagai penerangan yaitu minyak tanah untuk lampu petromak dan premium sebagai penggerak perahu motor tempel. Konsumsi BBM dihitung berdasarkan rumus Hua dan Wu (2011) sebagai berikut:..... (7) dimana F adalah konsumsi BBM tahunan dari kapal, C adalah jumlah kapal dalam setiap kategori, tr adalah rata-rata konsumsi tahunan per tiap bahan bakar setiap kapal, i adalah tipe bahan bakar (bensin/minyak tanah) dan jadalah kategori kapal. Umumnya nelayan di Desa Olele menggunakan perahu motor tempel (Tabel 7).

75 51 Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai energi yang dihasilkan oleh masingmasing bahan bakar premium dan minyak tanah adalah 8.02E12 J dan 2.14E12 J dengan nilai koefisien transformasinya adalah 6.60E04 sej/j (Odum, 1996). Nilai energy bersih dari masing-masing bahan bakar ini adalah premium sebesar MJ/kg dan minyak tanah sebesar MJ/kg (Haberl. 2002a). Nilai energi yang dihasilkan dalam penelitian ini didapatkan berdasarkan konsumsi rata-rata selama empat tahun (Lampiran 4). Asumsi untuk penggunaan es curai adalah 25 kg dan intensitas pemakaian premium adalah 8 liter sedangkan untuk minyak tanah adalah 2 liter per hari dengan waktu pemakaian 20 hari dalam sebulan selama 10 bulan setiap tahunnya. Energi dari es curai adalah 2.44E17 J dengan nilai transformasi sebesar 1.50E-01 sej/j. Tabel 13. Evaluasi sintesis emergy produksi perikanan di KKLD Olele. No Item, Unit Data Aliran Terbarukan (R) Tranformity (sej/unit) Emergy (E+15 sej/year) EmRupiah 1 Matahari E E+10 2 Angin 1.84E E+08 Input yang dibeli (P) 3 Premium 8.02E E+10 4 Minyak Tanah 2.14E E+09 5 Es Curai E E+09 Tenaga Kerja (S) 6 Tenaga Kerja 36.6E E+08 Produksi (J) 7 Ikan 29.1E+12 Sumber referensi transformasi energi: 1) Odum (1996); Odum et al.(2000), 2) Odum et al. (2000), 3) Odum (1996), 4) Odum (1996), 5) nilai transformasi pada studi ini, 6) nilai transformasi pada studi ini Tenaga Kerja (Labor) (S) Aktivitas penangkapan ikan di KKLD Olele umumnya menggunakan perahu motor tempel sendiri dan melakukan aktkvitas penangkapan ikan juga sendiri. Mulai dari penyiapan alat tangkap, bahan bakar, es curai sampai pada saat turun melaut. Nilai energi untuk tenaga kerja dalam operasi penangkapan adalah 3.66E13 J (Tabel 13). Adapun nilai transformasi dalam studi ini adalah sebesar 9.31E01 sej/j. Nilai ini diperoleh dengan mengalikan pengeluaran yang dibutuhkan untuk melaut dengan PDRB perikanan Kabupaten Bone Bolango

76 52 dibahagi dengan metabolisme energi untuk tenaga kerja per tahun (Haden, 2002) (lihat Lampiran 4). Nilai emergy untuk tenaga kerja adalah 3.41E00 sej/th Produksi (J) Hasil rata-rata produksi perikanan Tahun adalah kg sama dengan 2.91E10 J (Tabel 13). Pada Tabel 18 memperlihatkan total aliran emergy (Y) yang diperoleh dengan menjumlahkan input sumberdaya yang berkontribusi terhadap produksi perikanan. Hal ini berarti bahwa jumlah input emergy yang sudah digunakan baik itu nilai sumberdaya terbarukan, sumberdaya yang dibeli, tenaga kerja yang mempengaruhi produksi perikanan adalah sebesar 2.33E03 sej/th. Dari hasil total emergi input (Y), maka dapat diketahui nilai transformasi produksi perikanan di KKLD Olele adalah sebesar 3.35E-01 sej/j Indeks Emergy Indeks emergy digunakan untuk membandingkan hasil evaluasi emergy (Tabel 14). Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa pengelolaan produksi perikanan sangat bergantung pada input sumberdaya baik itu sumberdaya terbarukan, sumberdaya yang dibeli dan tenaga kerja. Tabel 14 adalah tabel ringkasan dari aliran emergy berbasis indeks untuk produksi perikanan. Tabel 14. Indeks emergy dari produksi perikanan di KKLD Olele. Item Nama dari Indeks Ekspresi Jumlah (sej/year) 1 Total Emergy (sej/th) Y= R + P +S Aliran emergy terbarukan (sej ha-1 R year-1) 3 Total yang dibeli F= P + S Rasio hasil emergy (EYR) Y/F Rasio beban lingkungan (ELR) F/R Indeks keberlanjutan emergy (ESI) (EYR/ELR) 7.48 Sumber: Hasil olah data sintesis emergy Rasio Hasil Emergy (Environmental Yield Ratio/EYR) EYR adalah total emergy dibagi dengan emergy tak terbarukan dan total input yang dibeli (economic input). Nilai EYR pada sistem produksi perikanan di

77 53 KKLD Olele sebesar 3.28 sej/yr. Brown and Ulgiati (1997) menjelaskan bahwa EYR merupakan indikator dari proses hasil emergy lokal dan mengukur proses tersebut dalam mengeksploitasi sumberdaya lokal. Nilai terendah dari EYR adalah 1, yang menunjukkan bahwa suatu proses yang sama dengan emergy yang tersedia dan dianggap tidak berkontribusi dalam mengeksploitasi suatu sumberdaya lokal. EYR lebih dari 1 atau kurang dari 2 tidak memberikan emergy bersih yang signifikan bagi perekonomian dan hanya memproses sumberdaya lokal yang tersedia. EYR <5 menunjukkan sumber energi sekunder dan bahan primer misalnya semen dan baja, kisaran nilai EYR antara 2 dan 5 merupakan energi sekunder dan memberikan kontribusi yang seimbang terhadap perekonomian. Nilai EYR >5 menunjukkan sumber energi primer dan memiliki manfaat dan berkontribusi terhadap perekonomian (Brown dan Ulgiati 1997, 2004a; Ulgiati dan Brown 1998; Cao dan Fang 2007 dalam Zhang et al. 2010, 2011). Nilai EYR sebesar 3.28 sej/yr mengindikasikan bahwa kegiatan perikanan di KKLD Olele memberikan kontribusi yang seimbang terhadap perkembangan perekonomian di Desa Olele. Nilai indeks ini menunjukkan seberapa efisien sistem menggunakan sumberdaya lokal yang tersedia. Karena emergy total adalah jumlah dari semua masukan emergy lokal maka terlihat bahwa semakin tinggi emergy sumberdaya lokal akan berdampak terhadap semakin tingginya kontribusi emergy lokal terhadap sistem produksi perikanan. Dengan membandingkan nilai EYR, seseorang dapat memahami kemampuan kompetisi atau manfaat ekonomi dari sumber daya. Nilai rendah EYR menunjukkan kemampuan kompetisi lemah dan manfaat ekonomi yang rendah ketika sumber daya dikembangkan. Pada nilai yang lebih tingi dari nilai EYR menunjukkan kemampuan kompetisi yang kuat dan manfaat ekonomi yang tinggi Rasio Beban Lingkungan (Environmental Loading Ratio/ELR) Daya dukung dapat ditentukan oleh populasi dan intensitas kontribusi emergy terhadap perekonomian. ELR adalah sebuah pendekatan untuk mengakses daya dukung sistem produksi (Brown dan Ulgiati 1997). ELR adalah rasio jumlah emergy sumberdaya tak terbarukan dan sumberdaya yang dibeli dengan emergy

78 54 sumberdaya terbarukan. Dari hasil evaluasi emergy di KKLD Olele dan perairan sekitarnya menunjukkan bahwa hasil ELR sebesar 0.44 sej/yr. Nilai ini termasuk sangat rendah, hal ini berhubungan erat dengan penggunaan alat tangkap yang tergolong masih sangat sederhana dan dampak dari aktivitas ini belum signifikan terhadap lingkungan. Vassalo et al. (2007) menjelaskan bahwa nilai indeks ini tinggi pada sistem dengan tingkat teknologi tinggi atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat teknologi yang digunakan akan berpengaruh terhadap tingginya beban lingkungan. Nilai ELR <2 menunjukkan dampak terhadap lingkungan rendah atau memiliki area yang luas untuk proses mencairkan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Ketika ELR>10 artinya beban atau dampak terhadap lingkungan tinggi dan ketika 3<ELR<10 dampaknya dianggap seimbang. Untuk nilai ELR yang sangat tinggi masukan aliran sumberdaya terbarukan atau input yang dibeli mendominasi, menunjukkan bahwa input terbarukan lokal tidak cukup untuk memasok kebutuhan proses dari suatu sistem. Indeks ini akan tinggi untuk sistem dengan konsumsi sumberdaya tak terbarukan tinggi atau dengan emeisi tinggi (Brown dan Ulgiati a; Cao dan Fang 2007 in Zhang et al. 2010, 2011). Nilai EYR merupakan indikator tekanan suatu proses pada ekosistem lokal dan dapat dianggap sebagai ukuran dari stress ekosistem akibat aktivitas produksi (Brown dan Ulgiati a; Ulgiati dan Brown 1998) Indeks Keberlanjutan Emergy (emergy sustainability index/esi) Indeks keberlanjutan emergy (ESI) merupakan ukuran perbandingan dari hasil emergy (EYR) dan beban lingkungan (ELR). Ukuran ini mengasumsikan bahwa fungsi dari tujuan untuk keberlanjutan adalah mendapatkan perbandingan dengan produksi yang tinggi dan meminimalkan beban terhadap lingkungan (Brown dan Ulgiati 1998; Siche et al. 2008). Dari hasil perbadingan antara nilai hasil emergy dengan beban lingkungan didapatkan nilai sebersar 7.48 sej/yr (Tabel 14). Dengan minimnya dampak yang diakibatkan oleh aktivitas penangkapan ikan terhadap lingkungan sekitar memberikan dampak terhadap keberlanjutan dari sistem produksi perikanan di KKLD Olele dan perairan sekitarnya. Indikator ESI mampu mewujudkan dalam satu kesatuan kemampuan

79 55 untuk mengeksploitasi sumberdaya lokal (F vs N, R; keberlanjutan ekonomi) dengan kualitas sumberdaya (R vs N, F; keberlanjutan ekologi) (Ulgiati dan Brown 1998). ESI<1 menjadi indikasi dari konsumen, produk atau proses, ESI>1 mengindikasikan bahwa produk memiliki kontribusi bersih terhadap masyarakat. Berkaitan dengan ekonomi ESI<1 berindikasi terhadap orientasi konsumen suatu sistem yang sangat berkembang. Sementara untuk ESI>10 berindikasi terhadap perekonomian yang belum berkembang, sedangkan kisaran ESI antara 1 dan 10 merupakan indikasi suatu negara atau sistem sedang berkembang (Brown dan Ulgiati 1997). Dengan nilai ESI 7.48 sej/yr, ini mengindikasikan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempunyai pengaruh nyata terhadap perekonomian yang ada di Desa Olele dan berkelanjutan, tetapi disisi lain dengan meningkatnya nilai ESI belum tentu daerah ini dianggap sebagai daerah berkembang. ESI<1 menjadi indikasi dari konsumen, produk atau proses, ESI>1 mengindikasikan bahwa produk memiliki kontribusi bersih terhadap masyarakat. Berkaitan dengan ekonomi ESI<1 berindikasi terhadap orientasi konsumen suatu sistem yang sangat berkembang. Sementara untuk ESI>10 berindikasi terhadap perekonomian yang belum berkembang, sedangkan kisaran ESI antara 1 dan 10 merupakan indikasi suatu negara atau sistem sedang berkembang. Menurut Cao dan Feng (2007) yang dikutip oleh Zhang et al. (2010, 2011) bahwa nilai ESI<1 menunjukkan bahwa produk dan proses suatu sistem tidak berkelanjutan. Nilai suatu sistem dengan 1<ESI<5 menunjukkan bahwa sistem produksi atau suatu proses memiliki keberlanjutan dan berkontribusi terhadap perekonomian untuk jangka menengah, dan produk atau proses dengan ESI>5 dapat dianggap berkelanjutan jangka panjang Analisis Ecological Footprint Perikanan Kehidupan manusia dan semua kegiatan manusia bergantung pada alam. Implikasi dari hal ini pepatah ekologis menjelaskan bahwa menjadi manusia yang berkelanjutan harus hidup dalam kapasitas daya dukung alam (Wackernagel et al. 1999). Daya dukung akan sangat ditentukan oleh batasan-batasan kawasan yang akan dianalisa misalnya dengan melihat luasan wilayah, kondisi biogeofisik wilayah, serta kebutuhan manusia terhadap sumberdaya untuk memenuhi

80 56 kebutuhannya. Untuk analisis daya dukung perikanan suatu kawasan dapat diketahui dengan melihat seberapa besar konsumsi perikanan dengan luasan lahan atau kawasan tersedia sehingga keberlanjutan ekosistem perikanan itu tetap lestari. Swartz (2010) mengemukakan bahwa dampak global penangkapan ikan pada suatu sistem ekosistem yang meliputi spesies di seluruh rantai makanan dari herbivora sampai ke pemangsa atas tidak dapat sepenuhnya dinilai oleh studi satu jenis spesies ikan saja. EF (km2/kapita Tahun Gambar 11. Ecological footprint perikanan Desa Olele Selanjutnya Swartz (2010) menjelaskan bahwa cara yang lebih tepat dalam mengukur ekspansi dan batasan perikanan adalah dengan melihat kebutuhan produktifitas primer (PPR) dari berbagai jenis ikan untuk melihat daya dukung (ecological footprint analysis/efa) perikanan. Seperti yang didefinisikan oleh Pauly dan Cristensen (1995) bahwa PPR memungkinkan untuk melihat perbandingan langsung dari produktifitas primer yang dibutuhkan berdasarakan trophic level (TL) dalam menghasilkan tangkapan kelompok spesies tertentu dan dalam satu periode waktu tertentu minimal satu tahun. Wackernegel (1996) menjelaskan bahwa indokator ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa besar area produktif dari daratan perairan sebagai sumberdaya bagi keberlanjutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan teknologi. Dong-dong (2010) berpendapat bahwa

81 57 luas lahan yang dibutuhkan untuk dimanfaatkan oleh suatu populasi sangat bergantung pada sistem produksi ekologis dan pola konsumsi sumberdaya. Berdasarkan hasil perhitungan untuk ecological footprint (EF) di Desa Olele yang ditampilkan pada Gambar 11, menunjukkan bahwa EF di Desa Olele dalam empat tahun terakhir setalah pembentukan KKLD Olele memiliki nilai EF yang tidak terlalu jauh berubah. Pada Tahun 2007, estimasi EF sebesar km 2 /kapita dengan luasan area yang dibutuhkan adalah km 2 atau sekitar 53 kali luas daratan Desa Olele. Setelah itu, mengalami peningkatan pada tahun 2008 sebesar dengan luasan area yang dibutuhkan km 2. Pada tahun 2009 dengan estimasi kebutuhan area menjadi km 2. Terakhir pada tahun 2010 terjadi lagi kenaikan kebutuhan luasan sebesar km 2 (lebih lengkapnya pada Lampiran 2). Tabel 15. Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional. Desa Olele Karakteristik PPR Trophic Shelves (Kg) PPR Coastal n and Coral System (Kg) Jumlah Penduduk EF (km 2 /Kapita) Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Kecamatan Kabila Bone PPR Trophic Shelves (Kg) PPR Coastal n and Coral System (Kg) Jumlah Penduduk EF (Km 2 /Kapita) Kebutuhan Ruang (km2) Cakupan (kali) Ket : Luas Desa Olele km 2, Kecamatan Kabila Bone km 2 (BPS Kabupaten Bone Bolango, 2011) Tabel 15 merupakan ringkasan perhitungan EF sistem perikanan di Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone untuk periode tahun Untuk perhitungan yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari Tabel 13 dapat dilihat nilai EF lokal rata-rata adalah km 2 /kapita dan membutuhkan

82 58 rata-rata luasan area km 2 atau sekitar 58.5 kali luas daratan Desa Olele. Sementara untuk EF regional rata-rata sebesar ha/kapita dan membutuhkan area seluas km 2 atau sekitar 9 kali luas daratan Kecamatan Kabila Bone. Semakin kecilnya kebutuhan ruang regional disebabkan besarnya jumlah produksi perikanan, lebih beragamnya alat tangkap yang digunakan serta jumlah nelayan yang lebih banyak, sebaliknya dengan luasan pada Desa Olele karena dengan kondisi alat tangkap, produksi yang kecil dan jumlah nelayan yang sedikit berdampak terhadap kebutuhan ruang ekologis yang besar. Tabel 16. Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Desa Olele dengan daerah lain. Negara/Daerah/Pulau EF Untuk Perikanan Kebutuhan Area Sumberdaya Global (*) x 10 6 Hongkong (*) km 2 Guersney UK (*) km 2 Japan (*) Yoron Islands Japan (*) km 2 Brazil (**) Gugus Pulau Batudaka (***) km 2 Kabupaten Tojo Una-Una (***) km 2 KKLD Olele km 2 Kecamatan Kabila Bone km 2 Sumber : (*) Dikutip dari Adrianto (2004); (**) Pereira dan Ortega (2012); (***) Sulistiawati (2011) Presentase perbandingan EF untuk perikanan lokal dan regional dengan beberapa daerah lain di dunia ditampilkan pada Tabel 16. Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone dengan daerah lain nilai EF Perikanan cukup kecil bila dibandingkan dengan Hongkong (0.2 km 2 /kapita), Guernsey UK (1.41 km 2 /kapita), Japan (1.90 km 2 /kapita), Yoron Island Japan (0.014 km 2 /kapita) maupun Brazil (0.25). Sementara untuk daerah di Gugus Pulau Batudaka dan Kabupaten Tojo Una-Una memiliki nilai estimasi EF Perikanan sedikit lebih besar dibandingkan dengan Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone yaitu ( dan km 2 /kapita). Besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan sangat dipengaruhi oleh produksi perikanan/jumlah tangkapan dan populasi penduduk. Adrianto dan Matsuda (2004) menjelaskan bahwa analisis ruang ekologis,

83 59 merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas lahan yang tersedia/biocapacity (BC). Schaefer et al. (2006) menambahkan bahwa jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dan jika nilai EF < BC maka disebut undershoot. Hasil analisis pada Tabel 15 menunjukkan bahwa nilai EF perikanan ratarata lokal sebesar km 2 /kapita. Jika jumlah penduduk Desa Olele pada tahun 2011 sebanyak 983 jiwa maka luasan EF sebesar 1.96 km 2 /kapita. Bila dibandingkan dengan luasan perairan KKLD Olele dan perairan sekitarnya yakni sebesar 3.21 km 2 /kapita, maka kondisi ini disebut dengan undershoot artinya pemanfaatan EF perikanan lebih kecil dari luasan kategori sesuai untuk penangkapan ikan sehingga ada ruang dan waktu dimana sumberdaya memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan fungsi ekologisnya. Pemanfaatan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian khususnya di kawasan konservasi dianggap perlu yang berfungsi untuk mengelompokkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian ruang laut di KKLD Olele belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan yang ada didasarkan atas aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pada zona pemanfaatan perairan pantai di kawasan ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan karena memiliki kelimpahan makanan untuk ikan. Tetapi terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan pengoperasian alat tangkap, khususnya peralatan jaring karena keberadaan kerumunan bebatuan dan karang. Terkadang tempat tersebut memiliki arus yang menghanyutkan dan perbedaan pasang surut yang besar, sehingga nelayan setempat menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan kondisi daerah penangkapan yang lebih sederhana seperti pancing tegak dan pancing ulur Analisis Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Hasil perhitungan HANPP perikanan yang ditampilkan pada Tabel 17 disebut juga perhitungan exosomatic energi. Ada beberapa langkah perhitungan HANPP di KKLD Olele yaitu: (1) menghitung potensi kebutuhan produktivitas

84 60 primer (Pauly and Christensen 1995), (2) produksi aktual (produksi tiap spesies ikan (volume landing), (3) kandungan energi tiap spesies ikan (Adrianto dan Matsuda, 2004). Hasil analisis dalam bentuk diagram balok ditampilkan pada Gambar 8 dan Lampiran 3. Tabel 17. Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional Tahun Produksi Aktual/NPP PPR (kj) HANPP (kj) Colonizing Efficiency Rasio HANPP NPP Lokal (kj) (kj) (kj) (%) Ratarata Regional (kj) (kj) (kj) (%) Ratarata Sumber : Hasil olahan data Tabel 17 diatas menunjukkan bahwa pada tingkat lokal (Desa Olele) menunjukkan bahwa rata-rata exomatic energy perikanan dari tahun sebesar 1.79x10 9 kj dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.82 dan rasio HANPP-NPP sebesar Bila dibandingkan dengan tingkat lokal nilai dari exomatic energi pada tingkat regional lebih besar yaitu 3.09x10 9 dengan efisiensi 1.64 dengan rasio HANPP-NPP sebesar Hasil analisis menunjukkan pesentase efisiensi koloni pada nelayan lokal lebih besar dibandingkan dengan efisiensi koloni pada nelayan regional. Hal ini berarti bahwa nelayan lokal mengeluarkan energi yang besar dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primernya dibandingkan dengan nelayan regional. Gambar 12 memperlihatkan perbandingan antara HANPP Lokal dan Regional. Besarnya nilai HANPP Perikanan sangat bergantung pada hasil tangkapan tiap jenis ikan dan kandungan energi pada tiap energi ikan. Gambar

85 61 diatas terlihat bahwa perbandingan kebutuhan produktivitas primer potensial (PPR o ) dengan HANPP untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat lokal. kj Lokal kj Regional 2,000,000,000 1,800,000,000 1,600,000,000 1,400,000,000 1,200,000,000 1,000,000, ,000, ,000, ,000, ,000,000 0 PPRo HANPP PPRh 3,500,000,000 3,000,000,000 2,500,000,000 2,000,000,000 1,500,000,000 1,000,000, ,000,000 0 PPRo HANPP PPRh Gambar 12. HANPP Perikanan Lokal dan Regional Analisis HANPP untuk mengukur seberapa besar dominasi manusia atau intensitas kolonisasi sosial ekonomi yang diberikan ekosistem teresterial atau wilayah (Haberl et al. 2004). Tingginya HANPP pada tingkat regional menunjukkan bahwa tingginya intensitas koloni sosial ekonomi dalam memanfaatkan ekosistem, hal ini berhubungan erat dengan jumlah nelayan, tingginya intensitas penangkapan, alat tangkap yang lebih beragam serta luasnya daerah tangkapan, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pada tingkat lokal. Tingginya intensitas penangkapan dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan merunnya rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen. Rendahnya HANPP di Desa Olele atau pada tingkat lokal selain karena alat tangkap yang masih tergolong sederhana juga karena adanya keterbatasan lahan atau area penangkapan. Adanya zonasi perairan di KKLD Olele secara langsung atau tidak langsung disatu sisi memberikan dampak terhadap pergurangan luasan

86 62 daerah penangkapan ikan, yang tadinya nelayan harus menangkap ikan pada perairan pantai dengan adanya keterbatasan zona berdampak terhadap beberapa nelayan yang lebih memilih memperluas daerah penangkapan dengan kondisi peralatan melaut yang sederhana dan secara tidak langsung pula akan menambah energi, waktu dan biaya untuk menuju ketempat yang dianggap sesuai untuk menangkap ikan. Schwarzlmüller (2008) mengemukakan bahwa proses utama yang menentukan tren dari penurunan HANPP yaitu perubahan pola penggunaan lahan, yang paling penting adalah pengurangan wilayah Model Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di KKLD Olele Pengelolaan haruslah berorientasi terhadap masalah dengan menggunakan cara-cara yang ilmiah berdasarkan fisik, biologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan terhadap sumber daya perikanan secara tepat, memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan, penciptaan lapangan kerja dan sebagainya yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan dan diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan Di KKLD Olele terlebih dahulu dengan merumuskan suatu rencana pengelolaan berbasis masyarakat. Perencanaan pengembangan usaha perikanan secara berkelanjutan di KKLD Olele secara strategis harus dapat memenuhi kepentingan nelayan, perekonomian setempat, daerah pada umumnya, kelestarian sumber daya ikan (SDI) serta pengawasan dan perlindungan terhadap SDI. Dalam penelitian ini mencoba merumuskan rencana pengelolaan perikanan di KKLD Olele berdasarkan input dalam kegiatan perikanan secara lestari. Secara umum berdasarkan survey dilapangan bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap nelayan di KKLD Olele bersumber dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, produktivitas, efisiensi usaha, pengawasan, pengendalian sumberdaya ikan, pemodalan, prasarana, sarana, mutu, nilai hasil tangkapan, pemasaran dan kelembagaan nelayan. Pengembangan perikanan berkelanjutan secara garis besar perlu berorientasi pada hal-hal yang tidak semata bersifat pembinaan sebagaimana masa lalu melainkan lebih kepada situasi yang

87 63 mengglobal dan tanpa batas yang jelas akan mempengaruhi kebijakan dan strategi yang akan dirumuskan sebagaimana tersebut dibawah ini : 1. Penyediaan informasi tentang sistem perikanan dan pendekatan yang partisipatif Penyediaan sistem perikanan dan pendekatan ruang dapat diartikan diantaranya : a) setiap orang harus mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan memiliki akses menuju informasi yang lengkap, b) struktur komunitas dalam masyarakat terjadi dalam suatu dialog dua arah dan keinginan berkomunikasi dapat dilakukan dengan bebas, c) terjadinya partisipasi aktif dalam setiap pembentukan keputusan, d) adanya akses dalam menyalurkan informasi, e) keterlibatan pemangku kepentingan dapat dimulai dari munculnya ide atau gagasan pengelolaan, penyusunan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. 2. Penyediaan mata pencaharian sampingan ataupun penganti kepada nelayan Kegiatan penangkapan ikan sangat bergantung pada kondisi alam, kondisi pada saat tidak bisa melaut nelayan mau tidak mau harus memiliki kegiatan sampingan selain memperbaiki kapal dan alat tangkap. Usaha alternatif (diversifikasi usaha) dapat dilakukan. Penyediaan usaha sampingan ini harus dibarengi dengan kemampuan (skill) nelayan antara lain dengan mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan, budidaya perikanan dan pemandu wisata. 3. Menyediaan kelengkapan infrastruktur yang strategis sebagai pendorong bagi pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Kebijakan ini telah menjadi permasalahan klasik. Kelangkaan infrastruktur akan memicu ketidak operasionalan dari suatu pengembangan usaha perikanan. Strategi yang diarahkan adalah dengan menyediakan lembaga keuangan mikro sebagai salah satu lembaga pemodalan bagi nelayan. Modal usaha dapat berupa modal yang difasilitasi oleh pemerintah daerah, swasta maupun oleh masyarakat sendiri.

88 64 Perencanaan pengelolaan perikanan adalah suatu proses hirarki yang menerjemahkan tujuan strategi tentang apa yang akan dilakukan dan strategi taktik bagaimana itu akan dilakukan (Gavaris 2009). Berdasarkan pembahasan diatas dan kebutuhan dalam mengatur sistem pengelolaan perikanan berkelanjutan, beberapa elemen kunci model pengelolaan perikanan di KKLD Olele yang diklasifikasikan kedalam beberapa atribut, srategi dan taktik pengelolaaanya seperti pada Tabel 18. Pada Tabel 18, atribut yang ditampilkan merupakan ciri khas yang dianggap paling mendekati yang diterjemahkan dari beberapa masalah dan kondisi di KKLD Olele. Respon dari semua atribut ditransformasi kedalam bentuk strategi berdasarkan input dari hasil analisis dan kondisi penguatan kelembagaan berdasarkan survei dilapangan (Gambar 13). Strategi dimaksud berhubungan erat dengan tujuan pengelolaan dan meminimalisir dampak negatif terhadap aktivitas penangkapan ikan. Untuk implementasi dari strategi yang ada yaitu melalui taktik pengelolaan. Tabel 18. Model pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKLD Olele Atribut Strategi Taktik pengelolaan - Spesies tangkapan - Sosialisasi penangkapan - Keahlian nelayan - Alat tangkap - Ukuran kapal - Peraturan formal pengelolaan perikanan lokal Sumber : Modifikasi dari Gavaris (2009) Indikator EF, HANPP dan EMERGY : - Memaksimalkan luasan area penangkapan - Efektivitas dan efisiensi nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan lokal - Mengetahui daerah-daerah penangkapan ikan. Ini akan berhubungan dengan input sumberdaya yang di beli (F), lokasi Penangkapan (R), sumberdaya non terbarukan (N) - Kontrol tangkapan - Spesifikasi dan Selektifitas alat tangkap - Perlindungan area - Peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan terhadap nelayan - Ketersediaan aturan formal pengelolaan perikanan lokal dan penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan Gambar 13 memperlihatkan bahwa masing-masing atribut bisa diterjemahkan kedalam bentuk strategi untuk perikanan berkelanjutan di KKLD Olele. Gavaris (2009) menjelaskan bahwa strategi merupakan keputusan tentang acuan yang tepat yang berhubungan dengan apa yang akan dilakukan. Sementara pada keputusan pada tingkat ukuran manajemen yaitu pada taktik pengelolaan yang berhubungan dengan bagaimana itu dilakukan.

89 65 Praktik penangkapan ikan secara langsung atau tidak langsung dapat mengancam keberlanjutan ekologi dan ekonomi perikanan sehingga membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh. Strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan harus dijalankan dalam satu kesatuan dalam pengawasan dan pengendalian para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perikanan tangkap. Strategi dalam produksi atau kegiatan perikanan secara umum diharapkan mampu untuk memperkecil dampak yang timbul. Efisiensi pemanfaatan ruang ekologis dan input sumberdaya dalam pengembangan sistem produksi perikanan akan membantu dalam perikanan berkelanjutan. Atribut - Spesies tangkapan - Sosialisasi penangkapan - Keahlian nelayan - Alat tangkap - Ukuran kapal - Area penangkapan - Peraturan formal pengelolaan perikanan lokal Strategi Indikator EF, HANPP dan EMERGY : - Memaksimalkan luasan area penangkapan - Efektivitas dan efisiensi nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan lokal - Mengetahui daerah-daerah penangkapan ikan. Ini akan berhubungan dengan input sumberdaya yang di beli (F), lokasi penangkapan (R), sumberdaya non terbarukan (N) Gambar 13. Transformasi atribut kedalam bentuk strategi berdasarkan analisis keberlanjutan dan survei di KKLD Olele Pembahasan Umum Efisiensi dari sistem produksi perikanan di KKLD Olele akan sangat ditunjang oleh efisiensi penggunaan faktor produksi. Faktor-faktor produksi antara lain 1) tenaga kerja, 2) BBM, 3) perahu yang meliputi panjang kapal (berhubungan dengan kemampuan perahu dalam menampung ikan) dan kekuatan mesin perahu, 4) alat tangkap yang digunakan meliputi panjang alat tangkap dalam meter, ukuran mesh (lubang jaring) dalam inch, 5) perbekalan yang dibawa nelayan, 6) Pengalaman nelayan yaitu kemampuan nelayan dalam menggunakan alat tangkap perikanan, semakin ahli seorang nelayan akan semakin cepat seorang nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap perikanan tersebut. Kombinasi dari

90 66 keseluruhan faktor produksi tersebut akan sangat mempengaruhi efisiensi terhadap produksi tangkapan. Hasil yang maksimal dalam suatu sistem produksi memerlukan pengeluaran energi yang besar dalam memenuhi kebutuhan produktivitas. Efisiensi koloni usaha penangkapan seperti yang ditampilkan pada Tabel 15 mengambarkan bahwa efisiensi energi hasil tangkapan ikan di KKLD Olele oleh nelayan lebih besar walaupun dengan kondisi alat tangkap yang tergolong sederhana. Menurut Saragih (1980) yang dikutip Suyasa (2007) mengemukakan bahwa terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan didalam mempelajari efisiensi suatu usahap, yaitu melalui pendekatan efisiensi harga (allocative efficiency), pendekatan efisiensi teknik (technical efficiency) dan yang terakhir adalah melalui pendekatan kombinasi antara efisiensi harga dan efisiensi teknik atau yang lebih dikenal dengan efisiensi ekonomi. Sistem pemasaran hasil tangkapan ikan yang ada di Desa Olele dilakukan melalui nelayan pengumpul. Di Desa Olele nelayan pengumpul sebagai koordinator yang mencatat dan mengumpulkan hasil tangkapan beberapa kelompok nelayan untuk dipasarkan ke TPI. Nelayan pengumpul tidak langsung membayar atau membeli ke nelayan melainkan merupakan nelayan yang membantu memasarkan hasil tangkapan dengan pembagian hasil yang sudah disepakati yaitu 20% untuk nelayan pengumpul dan 80% untuk nelayan pemilik hasil tangkapan. Hasil tangkapan ini yang dipasarkan ke TPI yang ada di Kota Gorontalo dengan jarak tempuh satu jam perjalanan darat. Menurut Suyasa (2007) secara empiris hampir seluruh nelayan merupakan penerima harga (price taker), baik dalam pasar masukan (input) maupun pasar keluaran (output), sehingga daya tawar (bergaining position) nelayan di pasar sangat rendah. Dengan kondisi seperti ini, maka para nelayan cenderung mengejar efisiensi teknis didalam upaya memaksimumkan produktivitasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi baik secara internal maupun eksternal akan mempengaruhi efisiensi input-output produktivitas penangkapan. Dari hasil analisis sintesis emergy menunjukkan bahwa kontribusi input energi kegiatan penangkapan ikan terhadap kondisi perekonomian nelayan di Desa Olele berpengaruh nyata dan tergolong dalam perekonomian yang sedang berkembang.

91 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan serangkaian analisis yang dilakukan, maka status keberlanjutan perikanan di KKLD Olele dapat ditelaah. Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Hasil analisis emergy menunjukkan bahwa kegiatan perikanan secara umum dianggap seimbang dengan kondisi ekonomi setempat. Dengan penggunaan alat tangkap yang tergolong sederhana, dampak yang diakibatkan dari kegiatan perikanan di kawasan ini sangat rendah dengan kata lain tidak berdampak pada stressnya ekosistem perairan secara umum. 2. Indeks Keberlanjutan Emergy (ESI) sebesar 7.48 sej/yr menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini tergolong berkelanjutan jangka panjang. Secara umum kegiatan perikanan di kawasan ini masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan dengan tetap mengedepankan fungsi kontrol terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan, sehingga dalam pelaksanaannya nelayan lokal tetap diperhatikan keberlanjutannya. Keberlanjutan ruang untuk metabolisme sistem sosial ekologi perikanan di kawasan ini adalah sebesar 1.96 km 2 /kapita atau masih dalam kondisi undershoot artinya pemanfaatan ruang ecological footprint (EF) perikanan lebih kecil dari luasan kategori sesuai untuk penangkapan ikan sehingga ada ruang dan waktu dimana sumberdaya memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan fungsi ekologisnya. Dengan nilai HANPP yang rendah menunjukkan bahwa dominasi nelayan terhadap kegiatan produksi perikanan belum maksimal hal dipengaruhi oleh kondisi peralatan operasi penangkapan yang relatif sederhana dan pengurangan area penangkapan akibat zonasi. 3. Penerapan model pengelolaan dengan menerjemahkan tujuan strategi tentang apa yang akan dilakukan dan strategi taktik pengelolaan yang berhubungan dengan bagaimana itu dilakukan adalah dianggap paling efisien untuk perikanan berkelanjutan.

92 Saran Saran untuk kebelanjutan perikanan di KKLD Olele: 1. Setiap kebijakan dan strategi pengembangan perikanan di KKLD hendaknya melibatkan seluruh stakeholders khususnya masyarakat nelayan mengingat kawasan ini juga dijadikan sebagai objek wisata bawah laut. 2. Perlu adanya evaluasi dan monitoring secara kontinyu terhadap efektifitas dan efisiensi KKLD Olele khusus terkait dengan pengembangan perikanan.

93 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Menyoal kapasitas dan keberlanjutan perikanan. Working paper. Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan. IPB. Bogor. Adrianto L, Matsuda Y Fishery resources appropriation in Yoron island. Kagoshima prefecture, Japan: A static and dynamic analysis. Kagoshima University. Japan Adrianto L Pengeelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Tantangan riset dan akademik. Disampaikan pada Mukernas Himetekindo Bogor, 16 Januari PKSPL-IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo Gorontalo dalam angka BPS Provinsi Gorontalo. 404 hal. Bergofer A, Wittmer H, Rauschmayer F Stakeholder participation in ecosystem-based approaches to fisheries management: A synthesis from European research projects. Elsevier. Marine policy Brown MT, Ulgiati S Emergy based indices and ratios to evaluate sustainability: monitoring economies and technology toward environmentally sound innovation. Elsevier. Ecological engineering Brown MT, Bardi E Handbook of emergy evaluation. A comparison of data for emergy computation issued in a series of folios. Emergy of ecosystem, folio#3. Center for environmental policy. Environmental engineering science. University of Florida. Gainesville. p 94. Brown MT, Ulgiati S. 2004a. Encyclopedia of energi. A environmental accounting. Emergy and environmental decision making. John Wiley & Sons, New York Brown MT, Ulgiati S. 2004b. Energi quality, emergy, and transformity: H.T. Odum s contributions to quantifying and understanding systems. Ecological Modelling. Elsevier. p Charles AT Sustainable fishery systems. Saint Mary`s University. Canada. Cicin-Sain B, Knecht RW Integrated coastal and management. Concept and practice. Island Press. Washinton DC. USA. Chen H, Chen J, Luo Z, Lv Zhuwu Emergy evaluation of the natural value of water resources in Chinese rivers. Springer science+business Media, LLC. Environmental management. 44:

94 70 Dahuri R Keanekaragaman hayati laut. Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia pustaka utama. Jakarta. Dahuri R Kebutuhan riset untuk mendukung implementasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Jurnal pesisir dan lautan. PKSPL-IPB. Volume 1, No. 2. p Dennison WC Environmental problem solving in coastal ecosystem: A paradigm shift to sustainability. Elsevier. Estuarine coastal and shelf science Departemen Kelautan dan Perikanan Konservasi sumberdaya ikan di Indonesia. Dirjen kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil bekerja sama dengan Japan international cooperation agency. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Bone Bolango Usulan program pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat kawasan konservasi laut daerah Desa Olele Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. DKP Bone Bolango. Suwawa. Dong-dong C. Wang-sheng G. Yuan-quan C. Qiao Z Ecological footprint analysis of food consumption of rural residents in China in the Latest 30 Years. Elsevier. Agriculture and agricultural science procedia. p Elliot JA An Introduction to sustainable development. Second edition. Routledge press. London and New York. Food and Agricultural Organization (FAO) Agreement to promote compliance with international conservation and management measures by fishing vessels on the high seas. Rome. p 75. Food and Agricultural Organization (FAO) Indicator for sustainable development of marine capture fisheries. FAO technical guidelines for reponsible Fisheries. Rome. Italia. Food and Agriculture Organization (FAO) Fisheries management. FAO technical guidelines for responsible fisheries. Rome. No 4. p 82. Garcia SM, Zerbi A, Aliaume C, Do Chi T, Lasserre G The ecosystem approach to fisheries: issues, terminology, principles, institutional foundations, implementation and outlook. FAO Fisheries technical paper, No Rome: FAO; p. Gavaris S Fisheries management planning and support for strategic and tactical decisions in an ecosystem approach context. Elsevier. Fisheries research

95 71 Gramendi E, Prellezo R, Murillas A, Escapa M, Gallastegui M Weak and strong sustainability assessment in Fisheries. Elsevier. Ecological Economics 70. p Haberl H, Erb KH, Krausmann F Human appropriation of net primary production. Institute of Social Ecology Klagenfurt University Vienna. Austria. Haberl H. Wackernagel M. Krausmann F. Erb K H. Monfreda Ecological footprint and human appropriation of net primary production: A comparison. Elsevier. p Haberl H, Erb KH, Krausmann F How to calculate and interpret ecological footprints for long periods of time : The case of Austria Ecological Economics 38 : Haberl H. 2002a. Economi wide energi flow accounting. In: Schandl, H., Grünbühel, C. M., Haberl, H., Weisz, H. (Eds.), Handbook of Physical Accounting. Measuring bio-physical dimensions of socio-economic activities MFA - EFA - HANPP, Version 1.0. Vienna, Federal Ministry of Agriculture and Forestry, Environment and Water Management, Report No. 9/2002, pp Haberl H. 2002b. Human appropriation of net primary production (HANPP): Tools to relate socio-economic metabolism and land use. In: Schandl, H., Grünbühel, C. M., Haberl, H., Weisz, H. (Eds.), Handbook of Physical Accounting. Measuring bio-physical dimensions of socio-economic activities MFA - EFA - HANPP, Version 1.0. Vienna, Federal Ministry of Agriculture and Forestry, Environment and Water Management, Report No. 9/2002, pp Haden AC Emergy Analysis of food production at S&S homestead farm. S&S center for sustainable agriculture 2143 Lopez Sound Rd. Lopez Island. WA USA. Hau JL, Bakshi BR Promise and problems of emergy analysis. Elsevier. Ecological modelling.178: Hua J, Wu Y Implication of energy use for fishing fleet-taiwan example. Elsevier. Energy policy. 39: Krausman K, Haberl H, Erb KH, Wackernagel M Resource flows and land use In Austria : Using MEFA framework to monitor society nature interaction for sustainability. Elsevier. Land Use Policy Lei K, Wang Z Emergy of tourism-based urban ecosystem. Journal of environmental management. Elsevier. p

96 72 Liu J, Matsumoto T, Xue Y Comparison of emergy analysis method with ecological footprint, exergy and LCA methods. ConAccount Faculty of environmental engineering. University of Kitakyushu. Martin JF, Diemont SAW, Powell E, Stanton M, Tacher SL Emergy evaluation of the performance and sustainability of three agricultural system with defferent scales and management. Elsevier. Agriculture ecosystem and environmental. 115 : Masalu DCP Coastal data and information management for integrated coastal management: The Role of IODE. Elsevier. Marine Policy. 32: Nikijuluw VPH Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Nurdyastuti I Analisis potensi sumberdaya energi. Dalam: Nurdyastuti I et al,. Perencanaan energi provinsi Gorontalo Publikasi Ilmiah. Pusat pengkajian dan penerapan teknologi konversi dan konservasi Energi. Badan pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT). Jakarta. 73 hal. Odum HT, Odum EC Energi basis for man and nature. McGraw-Hill. NY. USA. 297 pp. Odum HT System ecology: An introduction. Environmental engineering sciences. University of Florida. Gainesville.USA. Odum HT Environmental accounting: Emergy and environmental policy making. John Wiley and Sons, New York. Odum HT Emergy accounting. Environmental engineering sciences University of Florida, Gainesville, Florida, USA. Odum HT, Odum EC Modelling for all scales: An introduction system simulation. University of Florida. Academic Press, San Diego. California. Odum HT, Brown MT, Brandt-Williams S Handbook of emergy evaluation. A comparison of data for emergy computation issued in a series of folios. Introduction and global budget, folio#1. Center for environmental policy. Environmental engineering science. University of Florida. Gainesville. P 17. Pauly D, V Christensen Primary production required to sustain global fisheries. Nature 374: [Erratum in Nature 376: 279] Pereira L, Ortega E A modified footprint method: The case study of Brazil. Elsevier. Ecological indicator 12. p

97 73 Prasasti I Analisis hubungan penutup lahan dan parameter turunan data penginderaan jauh dengan albedo permukaan. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 83 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Laporan penyelidikan potensi sumberdaya mineral perairan Teluk Tomini, Gorontalo. Bandung. Satia B The world summit on sustainable development and Fisheries. international fisheries law and policy review. OceanLaw & contributors. Siche J R, Agostinho F, Ortega E, Romeiro A Sustainability of nations by indices: comparative study between environmental sustainability index, ecological footprint and the emergy performance indices. Elsevier. Ecology economics. 66: Schaefer F, Luksch U, Steinbach N, Cabeca J, Hanauer J Ecological footprint and biocapacity the world`s ability to regenerate resource and absorb waste in a limited time periode. Working paper and studies. European Communities. Luxembourg. p 5-7. Schwarzlmüller E Human appropriation of net primary production (HANPP) in Spain, : a socio-ecological analysis. Social ecology working paper 99. Institute of Social Ecology. IFF - Faculty for Interdisciplinary Studies (Klagenfurt, Graz, Vienna). Klagenfurt University. Suharsono H Analisis kebutuhan energi untuk sektor perikanan di Provinsi Gorontalo. Dalam: Nurdyastuti I et al,. Perencanaan energi provinsi Gorontalo Publikasi Ilmiah. Pusat pengkajian dan penerapan teknologi konversi dan konservasi Energi. Badan pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT). Jakarta. 73 hal. Sulistiawaty D Model integrasi wisata-perikanan di gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-una Provinsi Sulawesi Tengah. [Disertasi]. Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suyasa I Keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil yang berbasis di Pantai Utara Jawa. Disertasi. Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Swartz W, Sala E, Tracey S, Watson R, Pauly D The spatial expansion and ecological footprint of fisheries (1950 to Present). PlosOne. Volume 5. Issue 12. e Tyedmers P Fisheries and energi use. Encyclopedia of energi. Six Volume. Dalhousie University. Canada.

98 74 Ulgiati S, Brown M T Monitoring patterns of sustainability in natural and man-made ecosystem. Elsevier. Ecological Modelling 108. p Vassalo P, Bastianoni S, Beiso I, Ridolfi R, Fabiano M Emergy analysis for the environmental sustainability of an inshore fish farming system. Elsevier. Ecological indicators. 7: Voora V, Thrift C Using emergy to value ecosystem goods and services. International institute for sustainable development. Winnipeg, Manitoba Canada. Wackernagel M, Rees W Our ecological footprint. Reducing human impact on the earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers. Wackernagel M et al National natural capital with the ecolocical footprint concept. Elsevier. Ecological Economics. P Wang L, Ni Weidou, Li Zheng Emergy evaluation of combined heat and power plant eco-industrial park (CHP plant EIP). Resources, Conservation and Recycling. Elsevier. p Zhang X, Deng S, Wu J, Jiang W A sustainability analysis of a municipal sewage treatment ecosystem based on emergy. Elsevier. Ecological engineering. 36: Zhang X et al, Emergy evaluation of the impact of waste exchanges on the sustainability of industrial systems. Elsevier. Ecological engineering. 37:

99 LAMPIRAN

100

101 77 Lampiran 1. Produksi Ikan Kecamatan Kabila Bone No Nama Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah Produksi (ton) SP ** TL *** 1 Cakalang Skipjack tuna, Striped tuna Katsuwonus pelamis Cumi-Cumi Squid (Common squid) Loligo spp Ikan Terbang Flying fishes Cypselurus spp Kuwe Great trevally, Dusky jack Caranx sexfasciatus (Bigeye trevally) 5 Julung-julung Garfish and Hallfbeaks Thylosurus spp and Kembung Striped mackerel (Shortbodied mackerel) Hemirhamphuss spp Restrelliger brachysoma Layang Layang scad (Shortfin scad) Decapterus spp Madidihang Yellowfin tuna Thunnus albacares Selar Yellowstripe trevally (Yellowstripe scad) 10 Tenggiri Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king mackerel) Selaroides leptolepis Scomberomorus guttatus Tongkol Frigate mackerel Auxis thazard Tuna Tunas Thunnus spp Ket : * ** *** JUMLAH Data SekunderKecamatan Kabila Bone Sistem Perairan : 1) Trophical selve, 2) Coastal and Coral System Trophic Level

102 78 Lampiran 2. Ecological footprint perikanan dari sistem perairan Desa Olele dan Kecamatan Kabila Bone. Desa Olele Tahun 2007 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Tahun 2008 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Catatan : a) EF system perairan = PPR / PP (m 2 /yr), b) Populasi penduduk Tahun 2007 dan 2008 adalah 810 dan 835 jiwa, c) Konversi ke km 2 (1 m 2 = km 2 ), d) Luas area km 2

103 79 Lampiran 2. (Lanjutan) Tahun 2009 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Tahun 2010 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Catatan : a). EF system perairan = PPR / PP (m 2 /yr), b) Populasi penduduk Tahun 2009 dan 2010 adalah 864 dan 983 jiwa, c) Konversi ke km 2 (1 m 2 = km 2 ), d) Luas area km 2

104 80 Lampiran 2. (Lanjutan) Kecamatan Kabila Bone Tahun 2007 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) Tahun 2008 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) 9.86 Catatan : a) EF system perairan = PPR / PP (m 2 /yr), b) Populasi penduduk Tahun 2007 dan 2008 adalah dan jiwa, c) Konversi ke km 2 (1 m 2 = km 2 ), d) Luas area km 2.

105 81 Lampiran 2. (Lanjutan) Tahun 2009 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) 8.59 Tahun 2010 Sistem Perairan PPR (kg) Primary Productivity (kgc/m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /yr) Ecological Footprint (m 2 /kapita) Ecological Footprint (km 2 /kapita) Trophic Shelves Coastal and Coral System E-06 Total Kebutuhan Ruang (km 2 ) Cakupan (kali) 8.22 Catatan : a) EF system perairan = PPR / PP (m 2 /yr), b) Populasi penduduk Tahun 2009 dan 2010 adalah dan jiwa, c) Konversi ke km 2 (1 m 2 = km 2 ), d) Luas area km 2.

106 82 Lampiran 3. Human Appropriation of Net Primary Production (HANPP) Desa Olele dan Kecamatan Bone Bolango. Desa Olele (Lokal) Tahun 2007 Nama Lokal Nama Ilmiah TL Volume PPR Energi (kj/100 gr) PPRh PPR0 HANPP Efisiensi Koloni (%) Ambuasi Caranx sexfasciatus Bubara Alepes vari Cakalang Katsuwonus pelamis Cumi-cumi Loligo spp Deho Auxis thazard Oci Restrelliger brachysoma Layar Decapterus spp Ladama Coryphaena hippurus Marlugis Decapterus macrosoma Sindaru Xiphias spp Tenggiri Scomberomorus guttatus Tuna Thunnus spp JUMLAH

107 83 Lampiran 3. (Lanjutan) Tahun 2008 Nama Lokal Nama Ilmiah TL Volume PPR Energi (kj/100 gr) PPRh PPR0 HANPP Efisiensi Koloni (%) Ambuasi Caranx sexfasciatus Bubara Alepes vari Cakalang Katsuwonus pelamis Cumi-cumi Loligo spp Deho Auxis thazard Oci Restrelliger brachysoma Layar Decapterus spp Ladama Coryphaena hippurus Marlugis Decapterus macrosoma Sindaru Xiphias spp Tenggiri Scomberomorus guttatus Tuna Thunnus spp JUMLAH

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Wilayah Pesisir dan Laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Wilayah Pesisir dan Laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Wilayah Pesisir dan Laut Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai

Lebih terperinci

AKADEMIKA JURNAL ILMIAH Media Publikasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Gorontalo

AKADEMIKA JURNAL ILMIAH Media Publikasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Gorontalo AKADEMIKA JURNAL ILMIAH Media Publikasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Gorontalo Ecological Footprint Sistem Perikanan Di Kawasan Konservasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Tabel 3. Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian

Tabel 3. Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian 28 dinas/instansi/lembaga terkait seperti: Dinas Pariwisata Provinsi/Kabupaten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi/Kabupaten, Bappeda Propinsi/Kabupaten,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi dan segala isinya yang di ciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu karunia yang sangat besar. Bumi diciptakan sangat sempurna diperuntukan untuk semua makhluk baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi

Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi Lampiran 1. Prosedur Penghitungan Nilai Daya Dukung Pemanfaatan Sebagai Pendekatan Nilai Daya Dukung Ekologi 166 Lampiran 2. Hasil analisa kesesuaian kegiatan ekowisata, jenis wisata selam Pulau Pagerungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci