ABSTRAK ZALZILATUL HIKMIA SUPRAMANA GEDE SUASTIKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ABSTRAK ZALZILATUL HIKMIA SUPRAMANA GEDE SUASTIKA"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASII SPESIES Meloidogyne spp. PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA TANAMANN WORTEL (Daucus carotaa L.) DI JAWA TIMUR ZALZILATULL HIKMIA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMANN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR 20122

2 ABSTRAK ZALZILATUL HIKMIA. Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Penyebab Umbi Bercabang pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) di Jawa Timur. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA. Umbi bercabang merupakan penyakit baru dalam budidaya tanaman wortel di Indonesia dan telah menimbulkan kerugian yang besar bagi petani. Pada tahun 2010, beberapa spesies nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne spp., dilaporkan sebagai penyebab utama penyakit umbi bercabang pada wortel di wilayah Agropolitan - Cianjur, Jawa Barat. Kerugian yang ditimbulkan berkisar antara 15% - 95%. Gejala umbi bercabang juga telah dilaporkan pada salah satu sentra produksi sayuran di Jawa Timur, yaitu di wilayah Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Penelitian bertujuan mengidentifikasi spesies Meloidogyne spp. pada umbi wortel bercabang dan mengetahui prevalensi sebaran Meloidogyne spp. berdasarkan ketinggian tempat. Penelitian dilaksanakan pada pertanaman wortel di wilayah Kota Batu serta Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Mei hingga November Penelitian terdiri dari dua kegiatan yaitu survei dan identifikasi. Survei dilakukan di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu pada tiga ketinggian/elevasi, yaitu 1600 m, 1700 m, dan 1800 m di atas permukaan laut (dpl). Identifikasi dilakukan dengan pengamatan ciri morfologi pola perineal (sidik pantat) nematoda betina dan identifikasi PCR ITS r-dna. Identifikasi sidik pantat nematoda dilakukan terhadap 150 ekor betina dewasa, 50 ekor mewakili setiap ketinggian. Identifikasi PCR ITS r-dna menggunakan primer multipleks untuk mengidentifikasi campuran spesies M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi, serta 3 primer spesifik untuk mengidentifikasi spesies M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica. Berdasarkan identifikasi pola sidik pantat diketahui empat spesies Meloidogyne spp., antara lain M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan M. javanica. Data tersebut diperkuat dengan hasil identifikasi PCR ITS r-dna. Data hasil PCR menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan keempat spesies tersebut. Kata kunci: Daucus carota, penyakit umbi bercabang spesies Meloidogyne,

3 IDENTIFIKASII SPESIES Meloidogyne spp. PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA TANAMANN WORTEL (Daucus carotaa L.) DI JAWA TIMUR ZALZILATULL HIKMIA A Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMANN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR 20122

4 Judul : Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Penyebab Umbi Bercabang pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) di Jawa Timur Nama Mahasiswa : Zalzilatul Hikmia NIM : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Supramana, M.Si. NIP Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP Tanggal lulus:

5 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Zalzilatul Hikmia, dilahirkan di Sidoarjo, Jawa Timur 11 Desember Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mokh. Sam un Hadi, Spd. dan Ibu Ir. Mu alifah. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat SMA pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Mojosari - Mojokerto dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dengan program studi Proteksi Tanaman. Selama kuliah, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Futsal (UKM) IPB sebagai pengurus dan pemain di tim futsal putri UKM Futsal IPB (2008/2011), Anggota Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) IPB (2008/2011), Pengurus UKM Organisasi mahasiswa daerah Himpunan Mahasiswa Surabaya dan Sekitarnya (HIMASURYA) IPB ( ), Anggota divisi Publikasi dekorasi dokumentasi kegiatan Olimpiade Mahasiswa IPB (2009), Penyaji dalam International Seminar and The 21 st National Congress of The Indonesian Phytopathological Society di Solo (2011). Penulis juga pernah magang di Balai Penelitian Kacang dan Umbi-umbian (BALITKABI) Malang pada tahun 2009.

6 PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta alah atas segala rahmat dan karunia yang dicurahkan tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Penyebab Umbi Bercabang pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) di Jawa Timur sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si. dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan arahan kepada penulis selama mengerjakan penelitian hingga penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. atas kesediaannya menjadi dosen penguji tamu, baik dalam menghadiri seminar hasil penelitian maupun pelaksanaan ujian akhir skripsi. Rasa terima kasih dari lubuk hati terdalam disampaikan kepada Bapak Mokh. Sam un Hadi, Spd. dan Ibu Ir. Mu alifah, adikku Firda, dan Bojes yang telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan moral maupun materil selama studi berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Gatut di Laboratorium Nematologi, Ibu Tuti dan Bapak Wawan di Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah membantu pelaksanaan penelitian, juga kepada Nisa, Ika, Ndun, Alifah atas dukungan kalian selama ini. Semua teman-taman angkatan 44 Proteksi Tanaman, Taher, Nope, Eter, Dika, Harwan, Br, Momon; teman-teman di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, serta temanteman UKM Futsal IPB, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Juni 2012 Zalzilatul Hikmia

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Tanaman Wortel (Daucus carota L.)... 3 Sistematika dan Biologi... 3 Manfaat Wortel... 3 Persyaratan Tumbuh... 4 Hama Penyakit pada Wortel... 5 Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)... 5 Sistematika... 5 Morfologi... 5 Siklus Hidup... 6 Mekanisme Infeksi NPA... 7 Gejala Penyakit... 8 Kisaran Inang... 9 Identifikasi NPA... 9 Identifikasi NPA dengan Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal) Identifikasi NPA Berdasarkan PCR Gen ITS r-dna BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Survei Identifikasi Nematoda Deskripsi Lokasi Gejala Penyakit di Lahan Identifikasi Nematoda Pengamatan Keberadaan NPA di dalam Jaringan Identifikasi NPA dengan Pola Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal) 22 Identifikasi Uji Biologi Molekuler KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran... 27

8 DAFTAR PUSTAKA vii

9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tipe gejala pada umbi wortel yang terinfeksi NPA di Desa Sumber Brantas pada ketinggian 1800 m, 1700 m, dan 1600 m dpl Tipe puru pada umbi di Desa Sumber Brantas pada ketinggian 1800 m, 1700 m, dan 1600 m dpl Prevalensi spesies Meloidogyne pada wortel di Desa Sumber Brantas, pada ketinggian 1800 m, 1700 m, dan 1600 m dpl Spesies NPA pada tanaman wortel di Desa Sumber Brantas berdasarkan hasil uji biologi molekuler... 26

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Siklus hidup NPA Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan M. javanica Gejala pertanaman wortel terinfeksi NPA pada ketinggian 1800 m, 1700 m, dan 1600 m dpl Gejala umbi tanaman wortel terinfeksi NPA. Gejala umbi berambut, gejala umbi bercabang, dan gejala umbi bercabang dan berambut Lokasi terbentuknya puru pada akar rambut (hairy root), pada akar, dan pada umbi wortel Tipe puru pada perakaran wortel: puru bulat pada akar rambut (hairy root), puru seperti kudis, puru seperti akar gada, puru meman jang, dan puru bulat berukuran besar (>0.5 cm) Nematoda betina dewasa dalam jaringan Hasil identifikasi pola sidik pantat NPA. M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan M. javanica Hasil amplifikasi DNA pada 1% agarose gel elektroforesis M. arenaria 420 bp, M. hapla 440 bp, M. incognita 1000 bp, dan M. javanica 720 bp... 25

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Wortel (Daucus carota L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mengandung banyak vitamin A. Vitamin A merupakan jenis vitamin yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh manusia sehingga hanya dapat diperoleh dengan mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin A. Menurut Pitojo (2006) setiap 100 g umbi wortel mengandung S.I vitamin A. Pada tahun 2004 pemerintah mencanangkan peningkatan produksi tanaman hortikultura dalam program pembangunan pertanian tahun (Deptan 2004). Menurut Badan Pusat Statistik (2009), produksi wortel di Indonesia pada tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar ton. Sejalan dengan berkembangnya tingkat konsumsi, produktifitas wortel sering dicekam oleh infeksi patogen yang dapat mengurangi hasil panen, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan produksi. Puskara (1994, 2000 dalam Mustika 2010) menyebutkan bahwa nematoda merupakan salah satu jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) penting yang menginfeksi berbagai jenis tanaman pertanian, baik pangan, hortikultura maupun perkebunan di Indonesia dan negara-negara tropis lainnya. Gejala dan infeksi nematoda pada wortel yang berupa malformasi umbi, mulai dilaporkan keberadaannya di Indonesia pada tahun 2010 di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur (Kurniawan 2010). Gejala malformasi umbi dapat berupa umbi bercabang (forking) dan adanya puru (galling) (Tanaka et al. 1997). Kurniawan (2010) menyebutkan bahwa beberapa spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) merupakan penyebab dari penyakit umbi bercabang pada wortel. Kehilangan hasil akibat infeksi dilaporkan sebesar 15% - 95%. Penyakit ini menjadi salah satu masalah terbesar dalam budidaya wortel. Gejala serupa telah dilaporkan pula di sentra produksi sayuran di Jawa Timur, yaitu di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Walaupun telah menjadi OPT utama namun belum dilakukan identifikasi spesies dari nematoda puru akar (NPA) tersebut. Oleh karena itu, dilakukan identifikasi spesies nematoda untuk dasar pengendalian yang efektif dan efisien di lapangan.

12 2 Tujuan Penelitian Melakukan identifikasi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada umbi wortel bercabang di wilayah Jawa Timur dan mengetahui prevalensi sebaran Meloidogyne spp. berdasarkan ketinggian tempat. Manfaat Penelitian Memberikan informasi keberadaan spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) yang dapat dijadikan dasar untuk menyusun strategi pengendalian penyakit umbi bercabang wortel di lapangan yang efektif, efesien, dan ramah lingkungan.

13 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Sistematika dan Biologi Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, ordo Umbelliferales, famili Umbelliferae (Pitojo 2006). Bagian tubuh wortel terdiri atas daun, batang, dan akar. Daun wortel adalah daun majemuk ganda dengan anak daun terletak beraturan dan berbentuk lanset. Daun tidak berbulu dengan bagian tepi bercangap. Kedudukan daun pada batang berselang-seling. Daun ditopang oleh pelepah daun yang berukuran besar dan berbentuk pipih (perikladium), yang tidak membalut batang. Pelepah berlekuk memanjang dan dapat berukuran hingga 30 cm di bagian bawah (Pitojo 2006). Batang wortel beruas-ruas hingga delapan ruas. Cabang tanaman wortel muncul dari ruas batang kedua yang berada dekat dengan permukaan tanah. Umumnya ruas pada batang utama bagian bawah berjarak lebih pendek jika dibandingkan dengan ruas batang bagian atas yang relatif lebih panjang. Cabang tanaman berwarna hijau, keras namun tidak berkayu, dan di dalamnya terdapat jaringan gabus (Pitojo 2006). Akar tunggang muncul dari biji yang tumbuh tegak lurus ke dalam tanah. Dalam perkembangannya, akar berubah bentuk serta fungsi menjadi umbi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Umbi berbentuk bulat dan memanjang dengan memiliki beberapa warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, dan ungu (Pitojo 2006). Manfaat Wortel Wortel berasal dari Asia Selatan dengan penyebaran luas pada daerah tropis dan subtropis (Pitojo 2006). Budidaya wortel di Indonesia awalnya hanya terkonsentrasi di daerah Lembang dan Cipanas, Jawa Barat, selanjutnya wortel berkembang dan menyebar ke berbagai daerah penghasil sayuran di Jawa dan luar Jawa (Rukmana 1995). Wortel sering dimanfaatkan sebagai bahan pangan sayur, pewarna makanan dan minuman, serta bahan ramuan obat tradisional. Umbi wortel mengandung

14 4 tiga elemen penting, yaitu betakaroten, vitamin A, dan fitokemikalia. Betakaroten dapat digunakan sebagai pewarna makanan, selain itu dapat mengurangi kerusakan kulit akibat sinar matahari. Kandungan vitamin A selain berguna untuk kesehatan mata juga dapat memperkuat membran sel sehinga lebih kuat melawan penyakit yang diakibatkan mikroorganisme. Sedangkan fitokemikalia dapat mengurangi resiko stroke, menghindari proses penuaan dini, menjaga keseimbangan metabolisme hormonal, dan berperan sebagai anti virus serta anti bakteri (Pitojo 2006). Wortel juga mengandung mineral Ca, P, K, dan serat yang baik bagi tubuh (Novary 1997). Persyaratan Tumbuh Wortel merupakan sayuran dataran tinggi pada kisaran 1200 m dpl dengan iklim subtropis. Tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan lembab dengan kisaran suhu 15.6 o C 21.1 o C. Suhu udara yang terlalu tinggi sering kali menyebabkan umbi menjadi kecil, terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten dan berwarna pucat (kusam) (Pitojo 2006). Pracaya (2002) menambahkan jika suhu udara terlalu rendah (sangat dingin) juga tidak baik bagi wortel karena umbi yang terbentuk menjadi panjang dan kecil. Wortel dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia (Pracaya 2002). Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah gembur, remah, poros, serta memiliki aerasi udara yang bagus seperti tanah andosol (Pitojo 2006). Tanah andosol banyak dijumpai di daerah dengan curah hujan 2000 mm setahun tanpa bulan kering yang pasti. Andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu volkan yang berada di sekitar puncak gunung berapi atau dataran tinggi. Solum tanah andosol agak tebal, berwarna hitam agak kuning, konsistensi gembur, kadang-kadang membentuk pasir palsu dan fragipan, dan tekstur kaya debu. Reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kaya bahan organik pada permukaan, kerapatan isi <0.85 g/cm 3, kejenuhan basa sedang dengan KTK liat >24 me/100 g, fiksasi P tinggi, miskin N, P, dan K, mineral liat dominan alofan, permeabilitas sedang, dan peka erosi air dan angin (Supardi 1983). Keasaman tanah andosol sangat cocok dengan sifat wortel yang tumbuh dengan baik pada ph (Pitojo 2006).

15 5 Hama Penyakit pada Wortel Rukmana (1995) menjelaskan bahwa dalam penanaman wortel sering terjadi banyak gangguan terutama gangguan biotik yaitu gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa spesies hama yang umum dijumpai dan menyerang tanaman wortel antara lain: Hyposidra sp. (Lepidoptera: Geometridae), Heliothis assula (Lepidoptera: Noctuidae), Agrotis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae), Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), dan Coccinella spp. (Coleoptera: Coccinellidae). Penyakit yang sering dijumpai pada pertanaman wortel antara lain busuk pangkal batang (Sclerotinia slerotiorum), bercak daun Cercosprora (Cercospora carotae), hawar daun (Alternaria dauci), dan nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) (Pitojo 2006). Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) Sistematika Nematoda berasal dari bahasa Yunani/ Greek nematos yang artinya benang dan eidos yang berarti menyerupai. Secara harfiah nematoda merupakan binatang yang bentuk tubuhnya menyerupai benang (Dropkin 1991). Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Nematoda, ordo Tylenchida, famili Heteroderidae, genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Menurut Kurniawan (2010), terdapat lima spesies NPA yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman wortel di Indonesia, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, dan M. chitwoodi. Morfologi Meloidogyne spp. tidak berwarna seperti halnya dengan jenis nematoda parasit tumbuhan lainnya. Meloidogyne jantan dewasa, betina dewasa dan juvenil mudah dibedakan berdasarkan morfologi tubuhnya (Eisenback et al. 2003). Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dengan panjang ± 450 µm. Stilet dan kerangka kepala J2 mengalami sklerotinasi yang tipis dengan ekor berbentuk kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al. 2005). Tubuh nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher yang pendek dan posterior membulat. Betina dewasa memiliki ukuran panjang 921 µm

16 6 yang diukur dari leher hingga posterior (Eisenback et al. 2003). Stilet berukuran pendek dan mengalami sklerotinasi sedang. Nematoda betina memiliki kerangka kepala lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada lempeng klep median bulbs dan sering terlihat pada dekat basal stilet. Vulva terletak subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis dan beranulasi jelas (Luc et al. 2005). Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dengan panjang 1873 µm (Eisenback et al. 2003). Stilet jantan lebih panjang dibandingkan dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan lebih kuat, dengan ekor pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang kuat dan tidak mempunyai bursa (Luc et al. 2005). Siklus Hidup Siklus hidup nematoda terdiri dari 3 stadia, dimulai dari telur, juvenil, dan dewasa. Stadia juvenil dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2), Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4) (Dropkin 1991). Setiap stadia dalam siklus hidup nematoda berada di tempat yang berbeda-beda. Siklus hidup nematoda dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Siklus hidup NPA (sumber: Mitkowski & Abawi 2003) Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan

17 7 jasad renik (Roberts & Mullens 2002). Telur yang baru diletakan mengandung zigot set tunggal. Embrio berkembang menjadi Juvenil 1 (J1) dan mengalami pergantian kulit pertama menjadi Juvenil 2 (J2) (Dropkin 1991). J1 mengalami perubahan menjadi Juvenil 2 (J2) saat telur menetas. J2 keluar dari cangkang telur dan masuk ke dalam tanah sebagai stadium infektif. Setelah menemukan tempat infeksi yang cocok, J2 mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit tiga kali berturut-turut menjadi Juvenil 3 (J3), Juvenil 4 (J4), dan dewasa di dalam jaringan inang (Dropkin 1991). Nematoda jantan meninggalkan akar setelah dewasa sedangkan nematoda betina hidup menetap pada jaringan tanaman inang (Roberts & Mullens 2002). Sistem reproduksi betina terbentuk setelah fase dewasa, setelah itu pola sidik pantat akan tampak (Eisenback & Trpiantaphyllou 1991). Betina mengalami beberapa pergantian bentuk selama masa perkembangannya, setelah ganti kulit terakhir betina tumbuh dengan cepat dan bentuknya menjadi seperti buah pir (Franklin 1995). Siklus hidup nematoda bergantung pada spesies nematoda dan temperatur musim. Satu sampai tiga generasi dapat terjadi dalam satu musim. Temperatur optimum untuk M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi antara 15 ºC 25 ºC, sedangkan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica antara 25 ºC 30 ºC. Sangat sedikit aktivitas nematoda pada suhu di atas 38 ºC dan di bawah 5 ºC (Roberts & Mullens 2002). Mekanisme Infeksi NPA Tahap J2 adalah tahap satu-satunya yang dapat melakukan infeksi. J2 bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. J2 menginfeksi tanaman dimulai dengan melakukan penetrasi ke dalam akar tumbuhan melalui epidermis akar yang terletak di sekitar tudung akar. J2 bergerak di antara sel-sel menuju sel dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. J2 merusak sel-sel akar dengan menginjeksikan hasil sekresi kelenjar esofagus (elisitor) menggunakan stilet ke dalam jaringan inang. Sekresi nematoda ini menyebabkan perubahan fisiologis dalam sel-sel inang, yang mengubah sel inang menjadi sel raksasa (giant cells) (Mitkowski & Abawi 2003). Giant cells merupakan bentuk respon inang terhadap infeksi nematoda, yang selanjutnya

18 8 digunakan sebagai sumber nutrisi bagi nematoda (Vrain 1999; Williamson & Richard 1996). Nematoda memerlukan bantuan enzim untuk bergerak dan berkembang biak di dalam sel inang. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase, enzim endopektin metal transeliminase, dan enzim proteolitik. Enzim-enzim tersebut dapat menguraikan dinding sel tumbuhan yang mengandung protein dan polisakarida (pektin selulose, hemiselulose, pektin sukrosa, dan glikosid) menjadi bahan-bahan lain. Enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa, enzim endopektin metal transeliminase dapat menguraikan pektin, dan enzim proteolitik dapat mengurai protein. Nematoda mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam indol asetat yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka (Lamberti & Taylor 1979). Gejala Penyakit Gejala infeksi NPA pada tajuk tanaman wortel dicirikan dengan tanaman yang mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya vigor tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada masa pembibitan, maka produksi umbi akan sangat sedikit (Roberts & Mullens 2002). Infeksi nematoda juga menyebabkan kerusakan pada akar tanaman karena nematoda mengisap sel-sel pada akar, jaringan pembuluh terganggu sehingga translokasi air dan hara terhambat. Kerusakan akar tanaman juga akan menyebabkan pasokan air ke daun menjadi berkurang sehingga stomata menutup dan laju fotosintesis menurun (Wallace 1987 dalam Mustika 2010). Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitas tanaman menurun (Melakeberhan et al dalam Mustika 2010). Puru merupakan gejala khas dari infeksi NPA. Puru muncul sebagai tanda awal terjadinya asosiasi antara tanaman wortel dan betina NPA. Puru terjadi akibat pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada perisikel, serta perubahan bentuk jaringan pengangkut. Tanaman yang mengalami infeksi berat oleh NPA sistem perakarannya mengalami pengurangan jumlah akar. Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi, sehingga fungsi perakaran dalam

19 9 menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman terhambat (Kurniawan 2010). Bentuk puru akibat infeksi NPA berbeda-beda tergantung dari spesies nematoda, misalnya M. hapla menyebabkan timbulnya puru seperti manik-manik dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts & Mullens 2002). Puru bergabung dan berjajar di sepanjang perakaran. Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan akar rambut (hairy root) (Agrios 2005). Malformasi merupakan salah satu gejala infeksi NPA selain adanya puru. Infeksi NPA menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking) (Nunez et al. 2008), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982). Infeksi NPA mengakibatkan tanaman semakin rentan terhadap infeksi OPT lain. Infeksi cendawan patogen meningkat apabila kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya lebih banyak, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005). Kisaran Inang NPA punya kisaran inang yang luas. Lebih dari 700 spesies tanaman menjadi inang Meloidogyne spp., diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel, waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006). M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, M. fallax, dan M. chitwoodi telah dilaporkan menjadi parasit wortel di Amerika (Roberts dan Mullens 2002). M. hapla dan M. chitwoodi dilaporkan menginfeksi kentang, bit, kacang polong dan wortel di Eropa, selain itu M. chitwoodi juga menginfeksi tanaman jagung, gandum, barley, dan oat (Zijlstra et al.1995). Identifikasi NPA Identifikasi nematoda diperlukan untuk mengetahui spesies penyebab penyakit tanaman. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara identifikasi konvensional dan pendekatan biologi molekuler.

20 10 Identifikasi NPA dengan Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal) Identifikasi konvensional memerlukan pengetahuan tentang struktur tubuh dan ciri-ciri dari nematoda antara lain: bentuk bibir, kerangka kepala, rongga mulut, stilet, tipe esophagus, tipe vulva, ekor, dan anulasi. Hasil penggolongan dibandingkan dengan panduan identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback et al. 1981). Identifikasi dapat dilakukan terhadap juvenile 2, jantan, dan betina dewasa. Identifikasi morfologi sidik pantat (perineal patterns) dilakukan terhadap betina dewasa NPA. Setiap spesies memiliki pola sidik pantat berbeda-beda yang dicirikan oleh tanda yang khas pada area yang mengelilingi vulva dan anus (perineum). M. arenaria dicirikan oleh lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 2A). M. hapla dicirikan oleh lengkung dorsal yang rendah dengan bagian ujung membentuk sayap ke bagian lateral baik pada satu ujung atau pada kedua ujungnya. Pada zona ujung ekor terdapat tonjolan-tonjolan seperti duri (Gambar 2B). M. incognita dicirikan dengan adanya lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas (Gambar 2C). M. javanica dicirikan oleh dua garis lateral yang memisahkan stria bagian dorsal dan ventral yang sangat jelas (Gambar 2D) (Eisenback et al. 1981). A B C D Gambar 2 Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria (A), M. hapla (B), M. incognita (C), dan M. javanica (D) (sumber: Eisenback et al. 1981)

21 11 Identifikasi NPA Berdasarkan PCR Gen ITS r-dna Identifikasi dengan pendekatan biomolekuler memiliki tingkat kecepatan, akurasi, dan sensitifitas terpercaya dibandingkan dengan identifikasi konvensional. Terdapat dua basis metode dalam identifikasi biomolekuler, yaitu metode berbasis protein dan metode berbasis DNA. Teknik yang digunakan dalam metode berbasis protein yaitu serologi (monoklonal/poliklonal), dan elektroforesis enzim spesifik dalam tubuh nematoda. Teknik yang digunakan pada metode berbasis DNA antara lain: RFLP (Restiction Fragment Length Polymorphism), DNA probes, PCR dan PCR - RFLP (Power 1993, Zijlstra et al. 1995, Orui 1998), dan RAPD (Random amplified polymorphic DNA) (Cenis 1993). Polymerase Chain Reaction (PCR). Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode mengamplifikasi DNA secara in vitro untuk mensintesis asam nukleat dengan menggandakan satu bagian DNA (Blackburn et al. 2006). Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu sekuen nukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis antai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dntp), terdiri dari datp, dctp, dgtp, dan dttp, serta (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006; Muladno 2010). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan berpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan pada suhu 95 o C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 o C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Proses annealing biasa dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 o C selama 3 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen

22 12 dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 o C. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006). Darmono (2001 dalam Rahmawati 2010) menyatakan bahwa DNA digunakan sebagai objek eksploitasi karena spesifitasnya tinggi dan tidak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan cara efektif untuk karakterisasi dan identifikasi nematoda. Power dan Haris (1993) melakukan pemisahan spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) dengan mengamplifikasi gen DNA ribosomal. DNA ribosomal (rdna) mengkode RNA ribosomal. Ribosom adalah makromolekul intraseluler yang menghasilkan protein atau rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari gabungan protein dan RNA (Richard et al. 2008). DNA ribosomal merupakan bagian genom paling informatif dan bagian paling sering digunakan pada studi filogenik. Setiap unit rdna dalam satu rangkaian kromosom mengkode gen dengan urutan 5-18S, 5.8S, 28S -3 subunit rrna. Diantara daerah 18S dan 5.8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang disebut internal transcribed spacer 1 (ITS 1), dan diantara 5.8S dan 28S adalah ITS2 (Powers et al. 1997), daerah ini secara khusus digunakan untuk menentukan sistematika molekuler dan tingkat variasinya tinggi (Jusuf 2001). Menurut Odorico dan Miller (1997 dalam Rahmawati 2010) analisis filogenik dengan penanda ITS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar spesies. Beberapa populasi nematoda puru akar dapat dibedakan dengan membandingkan urutan parsial ITS yang diperoleh dengan PCR. Teknik amplifikasi dengan menggunakan daerah ITS dapat mempermudah pendeteksian karena sekuens ITS lebih terkonservasi dibandingkan dengan menggunakan yang lain. Satu juvenil sudah cukup digunakan untuk PCR, akan tetapi amplifikasi ITS menjadi lebih pendek (Zijlstra et al. 1995).

23 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun petani wortel Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, serta di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga November Metode Penelitian Survei Survei dilakukan pada beberapa kebun wortel di Desa Sumber Brantas yang terletak pada ketinggian 1600 m, 1700 m, dan 1800 m dpl. Wortel yang digunakan sebagai sampel adalah umbi wortel yang menunjukkan gejala umbi bercabang. Sampel diletakkan dalam cooling box yang telah diberi es batu dan dililit kertas koran untuk menjaga suhu nematoda agar tetap stabil (Trigiano et al. 2004). Pengamatan pertanaman dilakukan untuk mendapatkan informasi terhadap lokasi kebun, varietas wortel yang ditanam, dan tipe gejala penyakit. Berdasarkan hasil survei diharapkan dapat diketahui prevalensi sebaran Meloidogyne spp. berdasarkan ketinggian tempat. Pengamatan gejala penyakit dilakukan pada bagian tajuk (di atas permukaan tanah) dan perakaran tanaman sakit. Gejala pada tajuk yang diamati adalah tinggi tanaman, warna daun, dan klorosis, sedangkan gejala pada perakaran berupa bentuk umbi, letak dan ukuran puru, dan keberadaan akar rambut (hairy root). Identifikasi Nematoda Pengamatan Keberadaan NPA di Dalam Jaringan. Akar rambut (hairy root) berpuru direndam dalam klorox 5% selama 10 menit dan dibilas dengan air hingga tak berbau. Akar rambut berpuru kemudian direndam dalam acid fuchsin dan dipanaskan hingga mendidih. Akar rambut berpuru dibilas dengan air,

24 14 kemudian direndam dengan glyserin dicampur dengan dua tetes HCl dan dipanaskan sampai warna merah pudar. Akar rambut berpuru diletakkan di gelas preparat cekung, dilem, kemudian diamati stadia nematoda yang ada dengan menggunakan mikroskop. Hal ini digunakan untuk melihat siklus hidup nematoda yang berada di dalam akar. Identifikasi NPA Dengan Pola Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal). Identifikasi sidik pantat dilakukan terhadap 150 nematoda betina. Setiap 50 ekor nematoda betina mewakili satu ketinggian tempat/ elevasi. Akar dan umbi sakit dicuci untuk membersihkan tanah yang menempel. Puru kemudian dipisahkan dari akar dan umbi. Puru direndam selama kurang lebih 24 jam. Setelah puru melunak, nematoda betina dicongkel perlahan dari puru dan dipindahkan ke dalam cawan sirakus yang telah berisi asam cuka. Asam cuka berguna untuk menghilangkan lemak yang berada dalam tubuh nematoda betina. Setelah itu, nematoda betina dipindahkan ke gelas objek. Bagian anterior dipotong dengan pisau khusus kemudian bagian posterior ditekan agar sisa kotoran dan lemak dalam tubuh nematoda keluar. Potongan dipindahkan dalam laktophenol blue 0.03% dan dibiarkan sebentar. Bagian posterior disayat dan jaringan di dalam dibuang secara hati-hati. Sidik pantat kemudian dipindahkan ke gelas objek lain dengan ditetesi setetes laktophenol blue. Gelas penutup direkat kutek kuku kemudian diamati lebih lanjut di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Selanjutnya preparat dicocokkan dengan panduan A guide to the four most common species of root knot nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback et al. 1981; Shurtleff & Averre 2005). Identifikasi NPA Berdasarkan PCR Gen ITS r-dna. Ekstraksi Total DNA Nematoda. Ekstraksi DNA nematoda dilakukan dengan mengekstraksi puru yang berada pada akar dan umbi terinfeksi NPA (Zouhar et al. 2001). Puru digerus dengan mortar dan pistil, kemudian ditambahakan buffer ekstrak (50 mm Tris HCl ph 8.0, 0.7 M NaCl, 10 mm EDTA, 1% CTAB) dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 60 o C. Setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Tabung mikro kemudian diambil dari waterbath dan didinginkan sekitar 3-5 menit pada suhu ruangan. Chloroform Isoamilalcohol ditambahkan dengan perbandingan 1:1 terhadap buffer ekstrak. Suspensi

25 15 disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan rpm. Supernatan yang terbentuk diambil secara hati-hati sebanyak 500 µl dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru. Natrium asetat (CH 3 COONa 3M; ph 5.2) ditambahkan dengan perbandingan 1:10 dengan supernatan yang diambil, kemudian dicampur sampai homogen. Sebanyak 1 ml etanol ditambahkan dan dicampur hingga homogen untuk presipitasi DNA. Tabung diinkubasi pada suhu -20 o C selama 1 jam atau dibiarkan semalaman. Selain ekstraksi DNA NPA menggunakan puru, dilakukan pula ekstraksi terhadap nematoda betina dari NPA (Cenis 1993). Sekitar nematoda betina yang telah dipisahkan dari akar dan puru dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml. Buffer ekstrak (200 mm Tris-HCl: ph 8.5, 250 mm NaCl, 25 mm EDTA dan 0.5% SDS) sebanyak 150 µl DNA kemudian ditambahkan ke dalam tabung mikro dan digerus dengan cornical grinder steril. Setelah homogen ditambahkan larutan sodium asetat (CH 3 COONa 3M; ph 5.2) 0.5 volume dan disimpan dalam ruangan bertemperatur -20 o C selama 10 menit. Kedua suspensi yang didapat masing-masing disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 10 menit. Cairan suspensi dibuang dan ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 ml untuk mencuci pelet (endapan DNA), kemudian cairan pelet disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 5 menit. Lalu cairan etanol dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Buffer TE (10 mm Tris-HCl: ph 8.0, 1 mm EDTA) ditambahkan pada tabung mikro sesuai dengan ketebalan endapan DNA. Pada endapan yang tipis, cukup ditambahkan 30 µl - 40 µl dan untuk endapan yang tebal ditambahkan 50 µl -100 µl. Deteksi Gen ITS r-dna Dengan PCR. Amplifikasi DNA dengan menggunakan primer spesifik untuk (1) M. incognita, yaitu MI-F (primer forward) dengan susunan nukleotida 5 -GTG AGG ATT CAG TCT CCCAG-3 dan MI-R (primer reverse) dengan susunan nukleotida 5 -ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-3 yang telah berhasil digunakan oleh Meng et al. (2004 dalam Kurniawan 2010), (2) M. arenaria, dengan primer forward Far 5 -TCG GCG ATA GAG GTA AAT GAC-3 dan primer reverse Rar 5 -TCG GCG ATA GAC ACT ACA AAC T-3, dan (3) M. javanica, menggunakan primer Fjav (primer forward) 5 -GGT GCG CGA TTG AAC TGA GC-3 dan Rjav (primer

26 16 reverse) 5 -CAG GCC CTT CAG TGG AAC TAT AC-3 (Zijlstra et al. 2000). Sedangkan deteksi M. hapla, M. falax, dan M. chitwoodi menggunakan primer multiplex, yaitu JMV1 5 -GGA TGG CGT GCT TTC AAC-3, JMV2 5 -TTT CCC CTT ATG ATG TTT ACC C-3, dan JMV-hapla 5 AAA AAT CC CTC GAA AAA TCC ACC-3 (Wishart et al. 2002). PCR reagen yang digunakan untuk setiap reaksi PCR yaitu µl ddh 2 O, 2.5 µl Taq buffer 10x Mg 2+, 2.5 µl sukrosa, 0.5 µl dntp 10 mm, 1 µl primer Forward 10 µm, 1 µl primer Reverse 10 µm, 1 µl DNA, dan 0.25 µl Taq DNA polimerase sehingga total volume reaksi PCR menjadi 25 µl (Hyman et al. 1997). Selanjutnya dilakukan PCR pada mesin PCR (thermo cycler) dengan program denaturasi awal pada suhu 94 o C selama 4 menit, diikuti dengan 35 siklus yang meliputi: denaturasi pada suhu 94 o C selama 30 detik, annealing pada suhu 57 o C selama 45 detik, ekstensi/ pemanjangan pertama pada suhu 72 o C selama 1 menit, kemudian ekstensi akhir pada suhu 72 o C selama 7 menit, dan diakhiri dengan final hold pada suhu 4 o C selama 5 menit. DNA hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat visualisasi DNA melalui elektroforesis menggunakan gel agarose 1%, dari besar jumlah buffer yang digunakan (sebanyak g), dalam 40 ml buffer TBE (Tris HCl 45mM, asam borat 45 mm, dan EDTA 1 mm) dan air ml. Agarose dipanaskan selama 2 menit dan setelah agarose agak dingin, larutan tersebut ditambahkan dengan ethidium bromide sebanyak 0.5 µl untuk setiap 10 ml bahan (sebanyak 2 ml untuk 40 ml larutan). Agarose dingin kemudian dituangkan ke dalam wadah cetakan. Pengukuran fragmen DNA menggunakan penanda 1 kb DNA ladder buatan fermentas, United States of America. Sampel disiapkan dengan mencampur 8 µl DNA dan 10 µl loading buffer, kemudian sampel diisikan dalam sumuran gel sebesar 5 µl dengan mikro pipet. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 50 Volt DC selama 60 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transiluminator UV dan foto dengan kamera digital.

27 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Desa Sumber Brantas berada di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Desa ini terletak di sebelah utara Kota Batu dengan posisi ketinggian 1400 m m dpl. Suhu rata-rata wilayah Desa Sumber Brantas adalah 12 o C - 24 o C dengan kisaran curah hujan tertinggi sebesar 2471 mm dan hari hujan 134 hari (Anonim 2010). Luas wilayah Desa Sumber Brantas kurang lebih ha dengan hampir 75% berupa lahan pertanian (BPS Jatim 2010). Wilayah desa memiliki letak yang diapit oleh beberapa gunung sehingga menjadikan Desa Sumber Brantas memiliki lahan yang subur. Jenis tanah yang terdapat di daerah ini adalah jenis tanah andosol yang berasal dari letusan gunung berapi dan mengandung banyak mineral (Anonim 2010). Penduduk Desa Sumber Brantas berjumlah 3991 jiwa, sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Potensi utama pertanian Desa Sumber Brantas adalah sayur-mayur dengan luas lahan sekitar 387 ha. Tiga jenis sayuran yang menjadi komoditas utama adalah tanaman kentang, wortel, dan kubis (BPS Jatim 2010). Wortel merupakan salah satu komoditas yang memiliki potensi cukup besar selain kentang, dengan luas panen 25 ha dan produktivitas sebesar 1.5 ton/ha (BPS Jatim 2010). Penanaman wortel merupakan pengalihan budidaya tanaman yang dilakukan sejak terjadinya penyebaran infeksi Nematoda Sista Kentang (NSK). Petani mulai menanam tanaman selingan seperti wortel, brokoli, kubis, krisan, dan sebagainya, namun untuk tanaman wortel pada beberapa tahun terakhir sudah menjadi tanaman intensif yang terus ditanam. Gejala Penyakit di Lahan Gejala infeksi nematoda pada bagian tajuk berupa ukuran tajuk yang kerdil dan rumpun tanaman sangat jarang (botak) (Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman yang melambat dan tingkat infeksi yang tinggi. Daun tanaman wortel yang terinfeksi NPA menguning dan mengalami kelayuan pada siang hari. Roberts dan Mullens (2002) mengungkapkan gejala yang sama akibat

28 infeksi nematoda selain puru, yaitu rumpun tanaman yang jarang, tanaman kerdil, daun menguning, dan rata-rata menjadi layu akibat kehilangan vigor. 18 A B C Gambar 3 Gejala pertanaman wortel terinfeksi NPA pada ketinggian 1800 m (A), 1700 m (B), dan 1600 m (C) dpl Gejala pada bagian perakaran (umbi) yang terinfeksi nematoda dapat berupa akar rambut (hairy root), puru, dan umbi bercabang. Gejala serupa telah dilaporkan oleh Kurniawan (2010) di daerah Jawa Barat, yakni terdapat tanaman wortel dengan gejala kerdil dan ketika dicabut umbi wortel bercabang dengan jumlah puru yang cukup banyak. NPA merupakan nematoda primer pada tanaman wortel yang mampu menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi, umbi menjadi membulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008). Beberapa gejala pada umbi wortel yang ditemukan di lapang antara lain: gejala umbi berambut, gejala umbi bercabang, dan gejala umbi bercabang berambut (Gambar 4). A B C Gambar 4 Gejala umbi tanaman wortel terinfeksi NPA. Gejala umbi berambut (A), gejala umbi bercabang (B), dan gejala umbi bercabang dan berambut (C) Pada gejala umbi berambut, umbi wortel tampak besar, panjang dengan akar rambut menjuntai lebat disertai dengan puru akar. Puru akar kecil membulat seperti manik-manik pada sepanjang akar rambut. Puru yang terbentuk sama

29 19 dengan puru akibat infeksi M. hapla yang lebih kecil dan lebih membulat dibandingkan dengan puru yang disebabkan spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts & Mullens 2002) (Gambar 4A). Pada gejala umbi bercabang, umbi wortel membentuk percabangan tanpa akar rambut. Percabangan umbi wortel tumbuh memanjang dengan 2-3 cabang (Gambar 4B). Pada gejala umbi bercabang dan berambut, umbi bercabang dengan banyak akar rambut (hairy root) dan percabangan terjadi lebih dari 2 cabang. Pada akar rambut terdapat puru, berbentuk kecil seperti manik-manik, berderet sepanjang perakaran. Umbi lebih pendek dan membengkak dibandingkan dengan umbi sakit pada dua gejala sebelumnya (Gambar 4C). Infeksi NPA menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982). Gejala yang sama dilaporkan Kurniawan (2010) dan Taher (2012), umbi wortel yang terinfeksi nematoda di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga mengalami malformasi umbi. Gejala malformasi di kedua daerah tersebut dikelompokan menjadi empat bentuk malformasi umbi yakni umbi bercabang, umbi pendek membulat, umbi pecah, dan umbi berambut (hairiness). Berdasarkan hasil pengambilan sampel umbi wortel sakit pada ketinggian 1600 m m dpl, ditemukan ketiga tipe umbi tersebut (Tabel 1). Lokasi pengambilan sampel pertama pada ketinggian 1800 m dpl dengan suhu tanah 15 o C, didominasi oleh gejala umbi berambut (Gambar 4A). Gejala umbi bercabang paling dominan pada lokasi kedua, yaitu pada ketinggian 1700 m dpl dengan suhu tanah 18 o C (Gambar 4B). Sedangkan pada lokasi ketiga berada pada ketinggian 1600 m dpl dengan suhu tanah 19 o C, gejala yang mendominasi adalah gejala umbi bercabang dan berambut (Gambar 4C). Pada ketinggian ini, intensitas penyakit dirasa paling besar dibandingkan dengan dua ketinggian lain. Kondisi lahan lebih botak di setiap gundukan dan kondisi tanaman lebih banyak yang kerdil dengan daun menguning. Hal tersebut dikarenakan tingkat infeksi NPA lebih tinggi pada lokasi ketiga dibandingkan dengan lokasi pertama dan kedua.

30 20 Tabel 1 Tipe gejalaa pada umbi wortel yang terinfeksi NPA di Desa Sumber Brantas pada ketinggian m, m, dan m dpl Bentuk Umbi Ketinggian (m dpl) Umbi berambut (hairy root) Ada Ada Ada Umbi bercabang Ada Ada Ada Umbi bercabang berambut Ada Ada Ada Tanaman bergejala terkonsentrasi pada titik-titik tertentu dan tidak dijumpai pada titik lainnya. Pada lahan dengan tingkat infeksi rendah pola penyebaran penyakit terjadi pada beberapaa titik dan mengelompok pada guludan tertentu. Pola sebaran inilah yang dikenal sebagai pola penyebaran spasial (Barker & Campbell 1981). Setelah diamati lebih rinci, diketahui bahwa puru yang ditemukan pada tanaman wortel sakit terbentuk pada akar rambut (hairy root), akar, dan umbi (Gambar 5). Gejala puru ini dapat dijumpaii pada akar yang umbinya tidak normal atau mengalami malformasi (Kurniawan 2010). A Gambar 5 B C Lokasi terbentuknya puru pada akar rambut (hairy root) (A), padaa akar (B), dan pada umbi wortel (C) Hasil pengamatan umbi wortel ditemukan lima tipe puru yaitu tipe bulat pada akar rambut (hairy root), puru seperti kudis, puru seperti akar gada, puru memanjang, dan puruu bulat berukuran besar (>0.5 cm) (Gambar 6). Keberadaan kelima tipe puru pada tiap ketinggian memiliki jumlah yang berbeda-beda berdasarkan hasil pengamatan.

31 21 A B C D E Gambar 6 Tipe puru pada perakaran wortel: puru bulat pada akar rambut (hairy root) (A), puru seperti kudis (B), puru seperti akar gada (C), puru memanjang (D), dan puru bulat berukuran besar (>0.5 cm) (E) Kelima tipe puru tersebut menurut Kurniawan (2010) dideskripsikan sebagai berikut: (1) puru tipe bulat pada akar rambut (hairy root) berupa puru berbentuk bulat, kecil sempurna dengan warna krem yang berada di sepanjang akar rambut yang tumbuh di permukaan umbi wortel (Gambar 6A), (2) puru seperti kudis ditandai dengan adanya bagian perakaran yang terlihat seperti kudis (Gambar 6B), (3) puru seperti akar gada berbentuk menyerupai akar gada yang terdapat pada famili kubis-kubisan (Gambar 6C), (4) puru tipe memanjang terbentuk pada akar dan berada di sepanjang perakaran, biasanya tidak terlalu banyak jumlahnya dalam satu akar memanjang (Gambar 6D), dan (5) puru tipe bulat berukuran besar (>0.5 cm) banyak terdapat pada umbi wortel yang kerdil, agak membesar dan pada umbi bercabang. Puru berukuran lebih besar dari 0.5 cm, berwarna orange putih (Gambar 6E). Semua tipe puru dapat ditemukan pada setiap ketinggian kecuali puru yang berbentuk akar gada. Puru tipe tersebut hanya dapat ditemukan pada ketinggian 1600 m dpl (Tabel 2). Tabel 2 Tipe puru pada umbi di Desa Sumber Brantas pada ketinggian m, m, dan m dpl Tipe Puru Ketinggian (m dpl) Bulat pada akar rambut (hairy root) Ada Ada Ada Bulat berukuran besar (>0.5 cm) Ada Ada Ada Memanjang Ada Ada Ada Seperti kudis Ada Ada Ada Seperti akar gada Tidak ada Tidak ada Ada

32 22 Identifikasi Nematoda Pengamatan Keberadaan NPA di dalam Jaringan Pengamatan keberadaan NPA di dalam jaringan dilakukan untuk mengetahui posisi dan stadia nematoda tanaman wortel, juga sebagai bukti bahwa nematoda memang penyebab dari penyakit umbi bercabang ini. NPA betina dewasa berhasil ditemukan di dalam jaringan akar wortel (Gambar 7). A B C Gambar 7 Nematoda betina dewasa dalam jaringan (A), (B), dan (C) Identifikasi NPA dengan Pola Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal) Hasil indentifikasi pola sidik pantat nematoda betina dewasa menunjukan adanya 4 spesies NPA di semua lokasi pengambilan sampel. Keempat spesies tersebut adalah M. arenaria, M. hapla, M. incognita, dan M. javanica. Masingmasing spesies dapat dikenali berdasarkan ciri khas dari pola sidik pantat yang dimiliki. Perbedaan pola sidik pantat dari setiap spesies dapat dilihat pada Gambar 8. M. arenaria memiliki lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 8A). M. hapla dicirikan oleh lengkung dorsal yang rendah dengan bagian ujung sering membentuk sayap ke bagian lateral baik pada satu ujung atau kedua ujungnya. Pada zona ujung ekor terdapat tonjolan-tonjolan seperti duri (Gambar 8B). M. incognita memiliki ciri khas lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas (Gambar 8C). M. javanica dicirikan oleh dua garis lateral yang sangat jelas memisahkan bagian dorsal dan ventral (Gambar 8D) (Eisenback et al. 1981).

33 23 A B C D h Gambar 8 Hasil ideentifikasi poola sidik paantat NPA. M. arenariia (A), M. hapla (B), M. inncognita (C C), dan M. ja avanica (D)) Prevvalensi spesies Meloiddogyne spp.. berdasarkaan ketinggiaan menunju ukkan spesies M. M hapla meerupakan sppesies yang g dominan pada p setiapp elevasi di Desa Sumber Brantas. B P Prevalensi M. hapla berkisar antara a 64% % sampai 90%, sedangkann prevalensii paling rendah adalah M. arenariaa dengan kiisaran prevaalensi sebesar 0% % sampai 2%. 2 M. inccognita dan n M javanicca ditemukkan lebih baanyak pada ketinnggian m dpl, sebbesar 6% dan n 16% (Tabbel 3). Tabel 3 Prevalensi spesies Meeloidogyne pada p worteel di Desa S Sumber Braantas, pada ketingggian 1800 m, 1700 m,, dan 1600 m dpl S Spesies Prevalenssi pada ketinnggian temppat (%) m dpl m dpl m dp pl M. arenaaria M. haplaa M. incoggnita M. javanica

34 24 Keempat spesies yang ditemukan pada penelitian ini juga ditemukan di daerah Jawa Tengah (Taher 2012) dan Jawa Barat (Kurniawan 2010). Di daerah Jawa Barat, Kurniawan (2010) juga menemukan keberadaan spesies selain keempat spesies tersebut yaitu M. fallax. M. hapla termasuk ke dalam organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) A2, yang artinya keberadannya telah terdeteksi di Indonesia namun daerah penyebarannya masih terbatas pada daerah endemik penyakit. Daerah endemik M. hapla adalah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan 2010), akan tetapi dari dua penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa timur, M. hapla telah teridentifikasi menginfeksi tanaman di dua daerah tersebut. Pada tabel prevalensi (Tabel 3), diketahui M. hapla merupakan spesies yang paling banyak ditemukan pada setiap ketinggian. M. hapla memiliki suhu optimum pada suhu 15 o C 25 o C sedangkan suhu di Desa Sumber Brantas berkisar antara 15 o C hingga 19 o C. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu alasan mengapa M. hapla dapat berkembang biak dengan baik dibandingkan dengan spesies yang lain di daerah ini. Selain itu, jenis tanah andosol Desa Sumber Brantas yang memiliki konsintensi gembur, kadang tekstur membentuk pasir palsu, kaya akan debu (Supardi 1983) memudahkan M. hapla dalam berpindah dan menginfeksi tanaman. NPA lebih bertahan di tanah bertekstur pasir dan kotor dibandingkan dengan tanah liat, hal itu berhubungan dengan ukuran pori dan kecepatan pergerakan nematoda pada lapisan air dan ruang udara antar pori (Roberts & Mullens 2002). Identifikasi Uji Biologi Molekuler Identifikasi PCR dilakukan untuk memperkuat data dan memberikan konfirmasi kebenaran hasil identifikasi sidik pantat. Identifikasi dengan teknik PCR menggunakan tiga pasang primer spesifik yaitu primer Far dan Rar yang berhasil mengamplifikasi wilayah ITS dari M. arenaria dengan pita DNA berukuran 420 bp (Gambar 9A), primer MI-F dan MI-R juga berhasil mengamplifikasi wilayah ITS dari M. incognita dengan pita DNA berukuran 1000 bp (Gambar 9C), serta primer Fjav dan Rjav yang berhasil mengamplifikasi wilayah ITS dari M. javanica dengan pita DNA berukuran 720 bp (Gambar 9D). Primer multiplex hanya berhasil mendeteksi satu spesies, yaitu M. hapla dengan

35 25 menggunakan primer JMV1 dan JMV-hapla yang berhasil mengamplifikasi wilayah ITS dari M. hapla dengan pita DNA berukuran 440 bp (Gambar 9B). M. falax (670 bp) dan M. chitwood bernilai negatif, pita DNA pita kedua spesies ini tidak munculnya pada hasil elektroforesis. M M bp 440 bp A M B M bp 720 bp C D Gambar 9 Hasil amplifikasi DNA pada 1% agarose gel elektroforesis M. arenaria 420 bp (A), M. hapla 440 bp (B), M. incognita 1000 bp (C), dan M. javanica 720 bp (D). M: DNA ladder; 1: ketinggian 1800 m, 2: ketinggian 1700 m, 3: ketinggian 1600 m dpl; panah menunjukkan ukuran DNA hasil amplifikasi Hasil PCR positif menunjukan keberadaan empat spesiess NPA yaitu M. hapla, M. incognita, M. arenaria, dan M. javanica (Tabel 4). Hal ini memperkuat hasil identifikasi pola sidik pantat yang dilakukan sebelumnya. Pengujian dengan pendekatan biologi molekuler diyakini lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi karakter morfologi dan pola sidik pantat (Esbenshade & Triantaphyllou 1990) ).

METODE PENELITIAN. Survei dan Pendataan

METODE PENELITIAN. Survei dan Pendataan METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan identifikasi penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Wortel (Daucus carota L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Wortel (Daucus carota L.) TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Sistematika dan Biologi Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, ordo Umbelliferales, famili Umbelliferae

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda, yaitu: Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang pada ketinggian 1200-1400

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) Klasifikasi Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut (Dropkin, 1991) : Filum Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Nematoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian penampang wortel (Makmum 2007)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian penampang wortel (Makmum 2007) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Wortel Tanaman Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam Kelas Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Umbeliferae, Genus Daucus, dan Spesies Daucus carota (L.) (Cahyono

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp., PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH MUHAMAD TAHER

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp., PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH MUHAMAD TAHER IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp., PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH MUHAMAD TAHER DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA) 5 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA) Nematoda puru akar adalah nama umum untuk spesies Meloidogyne. Kata Meloidogyne berasal dari bahasa Yunani melon (apel atau labu) + oides, oid (menyerupai)

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kentang

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kentang 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Sejarah Awal mulanya kentang diintroduksi dari Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun 1570. Penerimaan masyarakat Spanyol menyebabkan penanaman dan distribusi kentang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala Penyakit. (a) Gambar 7 Tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng tahun 2012 (a) terinfeksi NSK, (b) sehat. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala pada tajuk (bagian di atas permukaan tanah) Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh NSK sangat khas. Tanaman akan mengalami kerusakan akar yang menyebabkan berkurangnya

Lebih terperinci

Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) yang Berasosiasi dengan Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel: Penyakit Baru di Indonesia

Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) yang Berasosiasi dengan Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel: Penyakit Baru di Indonesia Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Agustus 2012 Vol. 17 (2): 108 112 ISSN 0853 4217 Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) yang Berasosiasi dengan Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel: Penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Pisang Sistem Perakaran Tanaman Pisang Sistem Bercocok Tanam Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Pisang Sistem Perakaran Tanaman Pisang Sistem Bercocok Tanam Pisang 3 TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Pisang Tanaman pisang tumbuh subur di daerah tropis dataran rendah yang curah hujannya lebih dari 1250 mm per tahun dan rata-rata suhu minimum 15 0 C (Simmonds

Lebih terperinci

Identifikasi Meloidogyne Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng

Identifikasi Meloidogyne Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng ISSN: 0215-7950 Volume 8, Nomor 1, Feb 2012 Halaman 16-21 DOI: 10.14692/jfi.8.1.16 Identifikasi Meloidogyne Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng Species Identification of

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, beaker glass, cool box, labu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juli 2012, yang bertempat di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler Jurusan Biologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah 3 TINJAUAN PUSTAKA Pemadatan Tanah Hillel (1998) menyatakan bahwa tanah yang padat memiliki ruang pori yang rendah sehingga menghambat aerasi, penetrasi akar, dan drainase. Menurut Maryamah (2010) pemadatan

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kentang (Solanum tuberosum)

TINJAUAN PUSTAKA. Kentang (Solanum tuberosum) TINJAUAN PUSTAKA Kentang (Solanum tuberosum) Kentang (Solanum tuberosum) awalnya didomestifikasi di Pegunungan Andes Amerika Selatan sekitar 8000 tahun yang lalu. Beberapa jenis tanaman di Andes yang memiliki

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Bahan

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif molekuler potong lintang untuk mengetahui dan membandingkan kekerapan mikrodelesi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang. Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang. Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut: Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Radish Radish (Raphanus sativus L.) merupakan tanaman semusim atau setahun (annual) yang termasuk dalam famili Cruciferae dan berasal dari Cina bagian tengah. Di Indonesia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan survei dan pengambilan sampel kutukebul dilakukan di sentra produksi tomat di Kecamatan Cikajang (kabupaten Garut), Kecamatan Pacet (Kabupaten Cianjur), Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian ini, terbukti bahwa pada akar tomat memang benar terdapat nematoda setelah dilakukan ekstraksi pertama kali untuk mengambil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

UNIVERSITAS SEBELAS MARET Pengaruh populasi awal Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) varietas hot beauty dan tm-888 UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh : Febriana

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit oleh B. theobromae Penyakit yang disebabkan oleh B. theobromae pada lima tanaman inang menunjukkan gejala yang beragam dan bagian yang terinfeksi berbeda-beda (Gambar

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama

TINJAUAN PUSTAKA. (brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi Tanaman sawi (Brassica juncea L.) masih satu keluarga dengan kubis-krop, kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae (brassicaceae) olek karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sekunder, cabang kipas, cabang pecut, cabang balik, dan cabang air

TINJAUAN PUSTAKA. sekunder, cabang kipas, cabang pecut, cabang balik, dan cabang air TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kopi (Coffea sp.) Adapun klasifikasi tanaman kopi (Coffea sp.) dari literatur Hasbi (2009) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seledri Kedudukan tanaman seledri dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub-Divisi Kelas Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

III. Bahan dan Metode

III. Bahan dan Metode III. Bahan dan Metode A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Mei-Juli 2011 yang dilakukan di LPPT UGM Yogyakarta. B. Bahan Penelitian Sampel yang digunakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L.

HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L. HUBUNGAN NEMATODA PARASIT DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT LAYU MWP (Mealybug wilt of pineapple) PADA NANAS (Ananas comosus L. Merr) ISMAWARDANI NURMAHAYU PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang mempunyai jenis 180 jenis. Tanaman gladiol ditemukan di Afrika, Mediterania, dan paling banyak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kedelai Suprapto (1999) mennyatakan tanaman kedelai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Kelas: Dicotyledone, Ordo:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika dan Botani Tanaman Jagung Manis Tanaman jagung manis termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays saccharata Sturt. Dalam Rukmana (2010), secara

Lebih terperinci

BABn TINJAUAN PUSTAKA

BABn TINJAUAN PUSTAKA BABn TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kedelai {Glycine max L. Merril) Kedelai merupakan salah satu tanaman yang banyak ditanam di Indonesia walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Secara sistematika tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

II. TINJAUAN PUSTAKA. daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah Kacang tanah tumbuh secara perdu setinggi 30 hingga 50 cm dan mengeluarkan daun-daun kecil. Kacang tanah kaya dengan lemak, protein, zat besi, vitamin E

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. 19 TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Bawang merah merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi antara 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU AKAR PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN MAGELANG, JAWA TENGAH

IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU AKAR PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN MAGELANG, JAWA TENGAH IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU AKAR PENYEBAB UMBI BERCABANG PADA WORTEL (Daucus carota L.) DI WILAYAH KABUPATEN SEMARANG DAN MAGELANG, JAWA TENGAH RESTU GILANG PRADIKA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pada saat jagung berkecambah, akar tumbuh dari calon akar yang berada dekat ujung biji yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar samping.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea mays saccarata L. Menurut Rukmana ( 2009), secara sistematika para ahli botani mengklasifikasikan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR Tujuan: i) Mengerti metode umum mengisolasi DNA ii) Mengisolasi DNA dari buah dan sel-sel epithelial mulut iii) Mengerti dan mempraktek teknik PCR dengan sempel DNA

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, khususnya dari daerah Brizilia (Amerika Selatan). Awalnya kacang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci