MENYUSUN RANSUM. 1. Metode Pearson Square 2. Metode Trial and Error 3. Metode Persamaan Aljabar 4. Metode Linear Programming

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENYUSUN RANSUM. 1. Metode Pearson Square 2. Metode Trial and Error 3. Metode Persamaan Aljabar 4. Metode Linear Programming"

Transkripsi

1 MENYUSUN RANSUM PENDAHULUAN Setelah pemilihan bahan makanan ternak yang akan digunakan untuk menyusun ransum dilakukan, maka beberapa bahan makanan ternak yang telah dipilih tersebut harus ditentukan jumlahnya sebelum dicampur menjadi suatu ransum dengan menggunakan suatu metode tertentu. Prinsipnya ada 4 macam metode yang lazim digunakan secara luas, yaitu: 1. Metode Pearson Square 2. Metode Trial and Error 3. Metode Persamaan Aljabar 4. Metode Linear Programming Walaupun demikian, modifikasi dapat dilakukan untuk mendapatkan kemudahan dan menutupi kelemahan diantara metode-metode diatas (terutama kombinasi antara metode Pearson Square dengan Trial and Error). Untuk praktikum ini hanya akan diperdalam tentang metode Trial and Error, karena metode Paerson Square paling mudah dan banyak dibahas dalam bahan kuliah sedangkan metode Persamaan Aljabar dan Linier Programming akan dibahas dan menjadi porsi mata kuliah Industri Makanan Ternak. Metode Trial and Error dapat hanya merupakan metode yang sederhana jika yang menjadi kriteria hanya satu zat makanan saja (misalnya protein atau energi metabolis) dan bahan makanan ternak yang digunakan tidak terlalu banyak. Tetapi dapat juga menjadi metode yang kompleks artinya memerlukan langkah perhitungan yang panjang jika yang menjadi kriteria lebih dari 5 macam (misalnya protein, energi metabolis, lemak, serat kasar, Ca, P, harga bahan makanan ternak dsb.) dan bahan makanan ternak yang digunakan sangat banyak (misalnya lebih dari bahan pakan ternak). Perhitungan untuk metode Trial and Error yang disebut terakhir memang panjang dan rumit, tetapi masih mudah dilakukan oleh peternak sekalipun. Oleh karena itu, metode ini diterapkan secara luas sampai ke tingkat peternakan menengah bahkan besar yang tidak menggunakan ransum komersiil (pabrik) saja dan menyusun ransumnya sendiri dengan belum mempergunakan komputer. Hanya saja, untuk peternakan menengah atau besar perhitungan dilakukan dengan komputer dan tidak Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 1

2 hanya menggunakan table-tabel yang ada dalam literatur yang kebanyakan berasal dari luar negeri tetapi melakukan analisa sendiri terhadap setiap bahan makanan ternak yang digunakan untuk menyusun ransum. Bahkan lebih dari itu, untuk bahan makanan ternak yang sama (misalnya jagung) tetapi berasal dari daerah yang berbeda (misalnya ada yang berasal dari Pasuruan, Blitar, Tulungagung) dilakukan analisa sendiri-sendiri. Hal ini akan memudahkan jika sewaktu-waktu terjadi perubahan terhadap jagung yang digunakan, yaitu misalnya semula digunakan jagung dari Pasuruan akan diganti dengan jagung dari Blitar karena berbagai alas an, harga yang lebih murah, ketersediaan bahan tersebut dipasaran, dsb. Bahan makanan ternak yang sama tetapi dihasilkan dari daerah sentra produksi yang berbeda akan memiliki kualitas yang berbeda, disebabkan karena perbedaan varietas yang digunakan, pola pemupukan, kondisi hara tanah, umur pemotongan atau pemanenan sehingga perlu dilakukan analisa sendiri-sendiri. Untuk dapat menyusun ransum dengan menggunakan metode Trial and Error ini dengan efektif, diperlukan pengalaman berkali-kali agar dapat melakukan Trial terhadap jumlah bahan makanan ternak yang harus digunakan atau proporsinya dalam ransum dengan jeli sehingga tidak harus berkali-kali melakukan revisi terhadap proporsi bahan makanan ternak dalam ransum karena underestimate atau overestimate dalam menetapkan proporsi tersebut sehingga ransum yang telah disusun tersebut juga akan kelebihan atau kekurangan terhadap satu atau lebih zat makanan. TUJUAN Agar mahasiswa memiliki pengalaman menyusun ransum dengan menggunakan metode Trial and Error yang telah digunakan secara luas dengan baik dan secara ekonomis menguntungkan. PRINSIP Menyusun ransum yang sesuai dengan kriteria yang disyaratkan dan memiliki harga yang serendah mungkin. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 2

3 PROSEDUR 1. Tentukan 10 macam bahan pakan ternak yang hendak digunakan untuk menyusun ransum 2. Carilah table yang memuat kandungan zat-zat makanan dari setiap bahan pakan ternak yang digunakan 3. Carilah pula harga dari setiap bahan pakan ternak di pasaran. 4. Untuk kriteria dari ransum yang hendak disususn ada 7 macam, tetapi setiap mahasiswa hanya diwajibkan menggunakan satu diantara kriteria tersebut seperti yang telah ditetapkan oleh pembimbing praktikum. 5. Tuliskan formula dari ransum yang berhasil saudara susun, untuk ransum sebanyak 100 kg. 6. Berapakah harga ransum per kg yang saudara dapatkan? 7. Berikan komentar tentang kelebihan dan kekurangan ransum yang saudara susun, jika dibandingkan dengan ransum yang sejenis yang berhasil disusun oleh rekan saudara. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 3

4 LEMBARAN KERJA NAMA MAHASISWA : DISETUJUI OLEH :.. NIM : ACARA : MENYUSUN RANSUM TGL : 1. Bahan makanan ternak yang hendak digunakan untuk menyusun ransum dan komposisinya adalah sebagai berikut : NO Nama Bahan Kandungan (%) PK EM* L SK Ca P Harga per kg *Kkal/kg Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 4

5 2. Jenis ransum yang akan dibuat :.. (Petunjuk asisten) dengan kriteria sebagai berikut : Protein : % Energi metabolis : kkal/kg Lemak tidak kurang dari : % Serat kasar tidak lebih :.% Ca :.% P :.% 3. Trial terhadap proporsi bahan yang digunakan. No. Nama bahan makanan Proporsi dalam ransum Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 5

6 4. Contoh perhitungan : Nama bahan makanan ternak : Proporsi : Protein : Energy metabolis : Lemak : Serat kasar : Ca : P : Harga : 5. Tabulasi hasil perhitungan. NO Nama Bahan 1. Kandungan (%) PK EM* L SK Ca P Harga *Kkal/kg Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 6

7 6. Jadi formula ransum yang diperoleh : No. Nama bahan makanan Proporsi dalam ransum Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 7

8 PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN : Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 8

9 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 9

10 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 10

11 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 11

12 LAMPIRAN : Berikut adalah kriteria ransum (3 untuk ayam petelur, 2 untuk ayam pedaging dan 2 untuk babi), asisten memilih untuk praktikan 1 jenis ransum, tetapi karena angkanya (misal protein dalam kisaran) maka asisten yang menentukan : I. Ransum Puyuh Petelur (Laying) berdasarkan SNI , dengan kriteria : Protein 17,0% Energi Metabolis 2700,0 Kkal/kg Lemak kasar maks 7% Serat kasar maks 7% Ca 2.5-3,5% P 0,6 1,0% II. Ransum Itik Petelur (Grower) berdasarkan SNI , dengan kriteria: Protein 14,0% Energi Metabolis 2600,0 Kkal/kg Lemak maks 7% Serat kasar maks 8% Ca 0,9 1,20% P 0,6 1,0% III. Ransum Itik Petelur (Laying) berdasarkan SNI , dengan kriteria: Protein 15,0% Energi Metabolis 2650,0 Kkal/kg Lemak kasar maks 7% Serat kasar maks 8% Ca 3,0 4,0% P 0,6 1,0% IV. Ransum Ayam Pedaging (Starter) berdasarkan SNI , dengan kriteria : Protein 19,0% Energi Metabolis 2900,0 Kkal/kg Lemak kasar maks 7,4% Serat kasar maks 6,0% Ca 0,9 1,20% P 0,60 1,00% Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 12

13 V. Ransum Ayam Pedaging (Finisher) berdasarkan SNI , dengan kriteria : Protein 18,0% Energi Metabolis 2900,0 Kkal/kg Lemak kasar maks 8,0% Serat kasar maks 6,0% Ca 0,9 1,2% P 0,6 1,0% VI. Ransum Ayam Ras Petelur (Starter) berdasarkan SNI , dengan kriteria : Protein 18,0% Energi Metabolis 2700,0 Kkal/kg Lemak kasar maks 7,0% Serat kasar maks 6.5,0% Ca 0,9 1,2% P 0,6 1,0% VII. Ransum Ayam Ras Petelur (Laying) berdasarkan SNI , dengan kriteria Protein 17,0% Energi Metabolis 2650,0 Kkal/kg Lemak kasar min 3,0% Serat kasar maks 10,0% Ca 2,9 4,25% P min 0,45% Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 13

14 EVALUASI BIOLOGIS RANSUM PENDAHULUAN Menyusun ransum ternak bukanlah hal yang teramat sulit untuk dikerjakan, asalkan tersedia tabel-tabel komposisi dari setiap bahan makanan yang digunakan baik yang didapatkan dari sumber kepustakaan luar negeri seperti McDonald (1988), Scott (1982), NRC (1984), ARC (1975) atau table yang merupakan hasil analisis di dalam negeri seperti Lubis (1963) dan Hartadi (1984) maupun menganalisis bahan makanan sendiri, memiliki table kebutuhan zat makanan bagi ternak yang juga banyka didapatkan, serta memiliki pengalaman atau kemauan untuk mempelajarinya. Dari ransum yang telah berhasil dibuat (misalnya ransum untuk ayam pedaging finisher) dengan metode Trial and Error, jika hal itu dilakukan oleh banyak mahasiswa maka akan didapatkan formula sebanyak mahasiswa yang menyusun ransum tersebut. Oleh karena itu, apabila ransum yang memiliki formula yang berbeda tersebut diberikan pada ternak tentunya akan mendapatkan respon biologis yang berbeda pula. Dengan lain perkataan, respon biologis dipengaruhi oleh ransum yang digunakan yang dapat diamati dari pertumbuhan ternak tersebut. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kecepatan pertumbuhan dari ternak adalah melalui pertambahan bobot badan, pada ayam biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot per minggu. Namun demikian, pertumbuhan saja tidak cukup karena itu sebaiknya harus dilakukan perhitungan terhadap efisiensi ransum adalah jumlah bobot badan yang dapat dihasilkan dari satu kilogram ransum, dinyatakan dalam persen. Sedangkan untuk mengetahui nilai ekonomis ransum tersebut dapat digunakan parameter Income Over Feed Cost, yaitu besarnya pendapatan yang didapatkan jika hasil penjualan ternak telah dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk ransum. TUJUAN Agar mahasiswa mengetahui cara melakukan evaluasi biologis terhadap penggunaan ransum yang berbeda. PRINSIP Melakukan evaluasi terhadap penggunaan ransum yang bebeda untuk mengetahui respon biologisnya, dalam hal ini pertambahan bobot badannya. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 14

15 ALAT-ALAT 1. Kandang battery 2. Tempat pakan 3. Tempat minum 4. Timbangan BAHAN-BAHAN 1. Ransum 2. Obat-obatan dan vaksin 3. Ayam Pedaging CARA KERJA 1. Persiapkan kandang yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang telah dicuci bersih dan disanitasi. 2. Timbang setiap ekor ayam yang akan digunakan. 3. Tempatkan ayam sedemikian rupa sesuai dengan perlakuan yang diberikan. 4. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. 5. Timbanglah konsumsi pakan dan bobot badannya setiap minggu. 6. Hitunglah pertumbuhan, efisiensi ransum dan income over feed cost. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 15

16 LEMBARAN KERJA NAMA MAHASISWA : DISETUJUI OLEH :.. NIM : ACARA : EVALUASI BIOLOGIS RANSUM TGL : 1. Praktikum ini dilaksanakan di mulai tanggal s/d. 2. Ayam pedaging yang digunakan strain... umur..minggu ( hari). 3. Ransum yang digunakan adalah sebagai berikut: No. 1. Nama bahan Proporsi bahan dalam ransum (%) P 0 P 1 P II P III Kandungan zat makanan berdasarkan perhitungan. No Kandungan Nutrisi P 0 P I P II P III 1. Protein 2. Energy Metabolis 3. Lemak kasar 4. Serat kasar 5. Ca 6. P Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 16

17 Perhitungan : Diketahui : No Bahan pakan Kandungan Nutrisi (%) Protein EM LK SK Ca P Perhitungan sesuai dengan proporsi penggunaan bahan pakan dalam perlakuan : P 0 = P I = P II = P III = Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 17

18 5. Data hasil pengamatan selama praktikum PBB (gram) KP (gram) EP (%) BB (gram) minggu ke: FCR P U minggu ke: Minggu ke : Minggu ke : Awal I II I II I II I II I II P P I P II P 4 III Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 18

19 Keterangan : EP = (PBB/KP) x 100% FCR = KP / PBB Perhitungan : Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 19

20 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 20

21 6. Ringkasan hasil pengamatan. No Variabel 1 PBB (gr/ekor/hari) 2 KP (gr/ekor/hari) 3 EP (PBB/KP,%) 4 FCR Perlakuan (rata-rata) I II III IV Perhitungan : Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 21

22 PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 22

23 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 23

24 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 24

25 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 25

26 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 26

27 PENENTUAN KADAR ENERGI METABOLIS UNTUK UNGGAS PENDAHULUAN Bahan organik dibutuhkan oleh hewan selain sebagai bahan pembangun jaringan tubuh dan sintesa hasil produksi seperti susu dan telur juga dibutuhkan sebagai sumber energi gerak bagi hewan. Pembagian energi bahan makanan pada hewan dapat digambarkan seperi terlihat pada gambar 1. Gross energy Faecal Energy Digestible energy Urine energy Methane Energy Metabolizable energy Heat increment Net energy Maintenance Production Total heat production Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 27

28 Gambar 1. Skema pembagian energi bahan makanan (McDonald et al., 1988) Unggas cenderung mengatur konsumsi kebutuhan makanan sesuai dengan kebutuhan energi. Dengan demikian kemampuan bahan makanan untuk menyediakan energi bagi hewan merupakan hal yang penting sebagai salah satu penentu nilai nutrisi bahan makanan tersebut. Petunjuk praktikum ini bertujuan untuk mengutarakan beberapa metode penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan bagi ternak unggas. ENERGI METABOLIS Sebeleum mengulas satu per satu mengenai metoda penentuan kandungan energi metabolis, terlebih dahulu ingin dijelaskan akan pengertian akan energi metabolis. Yang dimaksud dengan energi metabolis dalam tulisan ini ialah energi yang dapat dicerna (digestible energy) dikurangi dengan energi yang hilang lewat air kencing (urine) dan gas. Mengingat bahwa pada unggas, urine dan faeces sukar dipisahkan, maka jelaslah mengapa untuk unggas digunakan energi metabolis dan bukan energi dapat dicerna. Sampai saat ini energi metabolis bagi unggas masih menggunakan nilai apparent metabolizable energi (AME) (ARC 1975; AEC 1978; NRC 1984). Sejak dicetuskannya nilai True Metabolizable Energy (TME) untuk unggas (Sibbald, 1976) pada pertengahan dekade tujuh puluhan, sampai saat ini pertikaian ilmiah mengenai ketepatan penggunaan kedua bentuk nilai energi metabolis tersebut masih terus berlangsung. AME adalah energi metabolis yang didapat dengan mengurangi gross energi bahan makanan dengan energi yang terdapat dalam faeces (untuk selanjutnya akan disebut dengan excreta) jika bahan makanan tersebut diberikan pada unggas. Sedangkan TME adalah gross energi bahan makanan dikurangi dengan energi yang terdapat dalam excreta, setelah yang terakhir ini dikurangi dengan energi endogen yang hilang (EEL). Adapun metoda penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan sampai saat ini dikenal ada 3 macam, yaitu : 1. Metoda conventional (total collection) 2. Metoda cepat (Rapid method) Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 28

29 3. Dual semi quick (DSQ) 1. METODE KONVENTIONAL Penentuan energi metabolis pada dasarnya adalah mengukur jumlah energi yang masuk dan yang dibuang lewat excreta. 1.1 Hewan Pada metoda konventional ini digunakan ayam berumur 7 sampai 21 hari. Dapat digunakan ayam-ayam cross-breed atau ayam pedaging. 1.2 Alat dan Bahan Sangkar yang digunakan adalah sangkar battery berukuran panjang 24 cm, lebar 24 cm, dan tinggi 27 cm, terbuat dari bahan kawat. Dibawah tiap battery ditempatkan nampan (tray) yang terbuat dari seng yang dengan mudah dapat dilepas. Tiap battery dilengkapi dengan sebuah tempat makan yang mudah dilepas untuk penimbangan dan dirancang sedemikian rupa untuk mengurangi tertumpahnya makanan sekecil mungkin. Tempat minum disediakan secara kelompok dan ditempatkan secara kelompok dan ditempatkan ditengah diantara deretan dua battery. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 29

30 Gambar 2. Kandang battery untuk penentuan energi metabolis secara conventional. Bentuk kandang battery dan contoh penyusunannya dapat dilihat pada gambar 2. Untuk lebih jelasnya, pada gambar 3. ditunjukkan secara lebih terinci gambar dari sebuah sangkar battery. a b c d e Keterangan : a. Battery individual ukuran 24 x 24 x 27 cm yang dapat dilepas dari rak-nya. b. Tempat makan yang dapat dengan mudah dilepas. c. Nampan (Tray) yang dapat dengan mudah dilepas untuk menampung excreta. d. Tempat minum kelompok. e. Rak tempat battery. Untuk menampung excreta digunakan plastik lembaran dan faeces container yang terbuat dari aluminium foil. Sedang untuk menampung makanan yang kemungkinan tercecer dinampan penampung, dapat digunakan botol plastik. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 30

31 Ransum basal dapat disusun dari bahan makanan sumber energi seperti jagung atau sorghum, dan bahan makanan sumber protein seperti tepung ikan (fish meal) atau tepung daging (meat meal) ditambah dengan campuran vitamin dan mineral. Contoh ransum basal dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Susunan ransum basal (g/kg) Bahan Jumlah Sorghum 800,0 Tepung daging tulang 200,0 Premix 2,0 -. Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan energy metabolisnya. -. Oven, timbangan dan bomb calorimeter. 1.3 Prosedur Sangkar battery diletakkan dalam kandang yang suhunya diatur sesuai dengan kebutuhan ayam dan diberi penerangan siang malam selama penelitian berlangsung. Digunakan dua atau tiga ekor ayam per group dan diulang tiga kali atau lebih. Ayam diberi makan selama empat hari (periode pengumpulan) yang didahului dengan pemberian makanan pendahuluan (periode adaptasi) selama tiga hari. Selama periode adaptasi, jumlah makanan yang diberikan tidak perlu ditimbang. Pada periode pengumpulan (4 hari) konsumsi makanan dicatat dan semua excreta yang dikeluarkan dikumpulkan dan ditimbang. Excreta dikeringkan dalam oven kemudian dibiarkan beradaptasi dengan udara sekeliling. Untuk selanjutnya digiling untuk analisa gross energi. Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan energi metabolisnya dicampur dengan ransum basal dengan perbandingan 50 : 50. Assay dilakukan baik terhadap ransum basal maupun terhadap campuran antara ransum basal dengan bahan makanan yang akan ditest (ransum test). Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 31

32 Energi metabolis dapat dihitung sebagai berikut : ME = ( A x B) (C x D) x 100 ( 1 ) A DM Dimana: A = jumlah makanan yang dikonsumsi B = gross energi makanan C = Jumlah excreta D = gross energi excreta DM = bahan kering (dry matter) ME = energi metabolis pada DM basis Jika bahan makanan yang ditest energi metabolisnya dicampur dengan ransum basal, maka dibutuhkan data tentang : Kandungan ME ransum basal ( DM basis ) DM ransum basal DM bahan makanan yang ditest Perbandingan campuran antara ransum basal dan bahan makanan yang ditest. Adapun rumus perhitungannya menjadi sebagai berikut: ME = A B ( 2 ) C Dimana : ME = energi metabolis bahan makanan (BM) yang ditest, pada DM basis A = ( DM BM x % campuran) + ( DM basal x % campuran ) dikalikan ME ransum test pada DM basis B = DM ransum basal x % campuran x ME ransum basal pada DM basis C = DM BM x % campuran Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 32

33 `Contoh perhitungan Suatu bahan makanan ternak (jagung) akan dianalisa kandungan energi metabolisnya untuk ayam dengna menggunakan metoda konventional. Ransum basal terdiri dari 800g/kg sorghum, 200g/kg meat and bone meal, ditambah dengan campuran vitamin mineral (premix). Jagung yang akan ditest dicampur dengan ransum basal dengan perbandingan 60 : 40 (ransum test). Dari penelitian ini diperoleh data sebagai berikut : DM jagung = 91 % Feed intake ransum test = 430 g DM ransum test = 92 % Gross energi ransum test = 3,9500 kkal/g Jumlah excreta ransum test = 100 g DM excreta = 100% Gross energi excreta = 3,7500 kkal/g DM ransum basal = 92,5% Feed intake ransum basal = 514 g Gross energi ransum basal = 3,8800 kkal/g Jumlah excreta = 110 g DM excreta = 100% Gross energi excreta = 3,4100 kkal/g PERHITUNGAN Dengan menggunakan rumus ( 1 ) maka ME ransum test pada DM basis : = ( 430 x 3,9500 ) ( 100 x 3,7500 ) x = 3,3455 kkal/g ME ransum basal pada DM basis: = ( 514 x 3,8800 ) ( 110 x 3,4100 ) x ,5 = 3,4056 kkal/g Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 33

34 Dengan menggunakan rumus ( 2 ) maka ME jagung dapat dihitumg sebagai berikut : ME = { ( 91 x 60 ) + ( 92,5 x 40 ) x 3,3455 } { ( 92,5 x 40 x 3,4056)} ( 91 x 60 ) = 3,2689 kkal/g pada DM basis, atau : = 3,2689 x = 2,9747 kkal/g pada kering udara (as fed) 2. RAPID METHOD ( METODE CEPAT ) Mengingat bahwa penentuan kandungan energi metabolis dengan menggunakan metoda conventional tidak saja memerlukan waktu cukup lama, melainkan juga menghabiskan makanan cukup banyak, maka pada pertengahan dekade tujuh puluhan muncul dua cara penentuan kandungan energi metabolis bahan makanan. Yang pertama adalah penentuan true metabolizable energy (TME) yang dicetuskan oleh Sibbald (1976) dan yang kedua ialah Apparent Metabolizable Energy (AME) yang dicetuskan oleh Farrell (1978). Penentuan kandungan energi dengan menggunakan kedua metoda ini tidak memerlukan banyak waktu dan makanan. Pada kedua metoda ini digunakan ayam jantan dewasa yang sudah dilatih untuk tujuan ini Metode cepat untuk penentuan AME (Farrell, 1978) Melatih ayam Metode ini tergantung pada latihan ayam jantan dewasa (jago) secara individual dalam suatu sangkar yang sesuai untuk penentuan energy metabolis, yaitu dengan ukuran lebar 35 cm, panjang 45 cm dan tinggi 50 cm dan dilengkapi dengan tempat minum dan tempat makan yang dirancang sedemikian untuk mengurangi tumpahnya makanan sekecil mungkin, untuk dapat menghabiskan makanan dalam waktu satu jam. Dapat digunakan pejantan ayam petelur dengan berat badan 2-2,5 kg. dalam latihan, ayam-ayam yang tidak dapat menghabiskan makanan dalam waktu satu jam dan ayam-ayam yang terlihat mempunyai tabiat tidak baik, dikeluarkan dari latihan dan tidak dapat digunakan untuk penelitian. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 34

35 Prosedur Selama tidak digunakan untuk penelitian ayam diberi makanan standard dalam bentuk pellet yang terdiri dari sorghum (99%), tepung tulang (1%) dan campuran vitamin mineral. Biji-bijian yang lain dapat juga digunakan seperti jagung, beras gandum dan sebagainya. Yang penting ransum harus sederhana dan rendah kandungan serat kasarnya, sehingga mempunyai kecepatan melewati saluran pencernaan (rate of passage) dengan waktu pengosongan (clearance time) kira-kira 24 jam. Jumlah pemberian makan kurang lebih 120 kg. Jika akan digunakan untuk penelitian ayam dipuasakan selama 32 jam. Nampan (tray) penampung excreta dilapisi dengan selembar plastik yang telah diketahui beratnya. Nampan agak sedikit ditarik keluar selama pemberian makan berlangsung, untuk menampung makanan yang kemungkinan tercecer. Makanan diberikan dalam bentuk pellet (dipellet dengan proses dingin) dalam jumlah tertentu ( g). setelah satu jam, tempat makanan diambil. Makanan yang tercecer dikembalikan kedalam tempat makan dan ditimbang, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi dapat dihitung. Nampan didorong kedalam sehingga semua excreta dapat ditampung. Pengumpulan excreta berlangsung selama 42 jam. Bulu-bulu dan sisik-sisik yang masuk dalam nampan dibuang. Jika ada ayam yang muntah (regurgitasi), maka ini tidak dipakai dalam penelitian (ditolak). Setelah 42 jam, plastik penampung beserta excreta dikeringkan dalam oven pada suhu 70 C selama 24 jam. Jika kotoran terlalu basah, maka plastic beserta nampannya dapat langsung dimasukkan dalam oven dan mungkin memerlukan waktu lebih lama, kira-kira 48 jam. Ayam dapat langsung digunakan untuk penelitian berikutnya, atau jika tidak, diberi makana standard seperti biasa. Excreta yang telah kering diambil bersama plastiknya, dibiarkan dalam udara terbuka selama 3 jam, kemudian excreta digiling untuk analisa kandungan gross energi. Analisa gross energy, baik terhadap makanan maupun excreta, dilakukan secara duplo (diulang dua kali) dan hasilnya boleh berbeda tidak lebih dari 3%. Seperti halnya pada metode conventional, pada metode ini juga diperlukan data tentang kandungan DM bahan makanan yang ditest. Adapun cara perhitungan ME, sama dengan perhitungan ME pada metode conventional. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 35

36 2.2. Metode cepat untuk penentuan TME (Sibbald, 1976). Tidak seperti pada kedua metode yang terdahulu, pada metode ini kandungan energy dinyatakan dalam bentuk TME dimana kandungan energy endogen yang hilang (EEL) diperhitungkan Materi Pada metode ini digunakan pejantan ayam petelur. Seperti halnya pada penentuan AME dengan metode cepat, pada metode ini ayam dikandangkan dalam sangkar individual dalam kandang tanpa jendela (windowless system). Suhu ruangan dijaga pada 25 C dan penerangan berlangsung selama 12 jam. Untuk daerah tropis, seperti Indonesia, dimana tidak ada hari panjang (long day length) atau hari pendek (short day length), cukup digunakan penerangan alami. Jadi tidak perlu penambahan penerangan pada malam hari. Setiap sangkar dilengkapi dengan tempat makan dan tempat minum. Menjelang digunakan untuk assay, ayam dipuasakan selama 21 jam untuk mengosongkan saluran pencernaan Prosedur Pada setiap dimulainya assay, ayam ditimbang satu persatu. Selanjutnya diberi makan (ransum test) secara paksa (force feeding) dengan menggunakan pipa gelas berdiameter dalam 5,5 mm. Makanan langsung ditempatkan dalam tembolok (crop) melalui oesophagus. Makanan diberikan dalam bentuk pellet dengan diameter 4,67 mm, yang dibuat dengan cara proses dingin. Setelah pemberian makan, ayam dikembalikan dalam sangkar. Diatas nampan penampung excreta diletakkan swlwmbar plastik yang telah diketahui beratnya. Tepat 24 jam setelah pemberian makan, ayam ditimbang kembali, exkreta dikumpulkan dan dikeringkan dengan cara kering beku. Exkreta kemudian dibiarkan dalam udara terbuka, untuk selanjutnya digiling. Makanan yang ditest dan excreta dianalisa kandungan gross energinya dengan menggunakan bomb calorimeter. Disamping itu juga dibuat control untuk mengukur energy endogen yang hilang (EEL), yaitu dengan cara seperti tersebut diatas tetapi ayam tidak diberi makan. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 36

37 Cara perhitungan Berdasarkan hipotesa bahwa untuk bahan makanan tertentu ada hubungan linier antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan energy yang dikeluarkan lewat excreta, maka jika hipotesa ini benar jumlah makanan yang diberikan pada waktu melakukan penelitian kandungan energy tidaklah menjadi masalah. Dengan demikian jika prosedur assay ini akan digunakan secara berkala, maka dugaan linearitas antara feed intake dan energy yang dikeluarkan melalui excreta adalah sangat penting. Sibbald (1976) dalam percobaannya dengan menggunakan ayam jantan dengan berat badan rata-rata 2,42 ± 0,04 kg mendapatkan energy endogen yang hilang (EEL) pada ayam yang dipuasakan adalah sebesar 9,84 ± 0,28 kcal per ekor per 24 jam. Dari percobaan tersebut didapatkan persamaan regresi antara energy yang dibuang lewat excreta (Ye) dengan feed intake (X) dari beberapa bahan makanan sebagaimana tercantum pada tabel 2. Adapun rumus perhitungan ME atau TME adalah sebagai berikut: ME (kkal/g) = (GEf x X) Ye X TME (kkal/g) = (GEf x X ) (Ye 9,84) X Dimana : GEf = gross energy makanan X = jumlah makanan yang dikonsumsi Ye = gross energy excreta 9,84 = energy endogen yang hilang jika ayam tidak diberi makan. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 37

38 Table 2. Regresi antara energy yang hilang lewat excreta (Ye) dengan feed intake (X) (Sibbald, 1976)* Jenis bahan Ye r df Barley 10,03 + 0,600 X 0, Jagung 9,79 + 0,199 X 0, Tepung ikan 9,89 + 0,867 X 0, Padi 9,81 + 0,685 X 0, Bungkil kedelai 9,93 + 1,290 X 0, Gandum 9,72 + 0,646 X 0, R = koefisien relasi * partial data 3. DUAL SEMI QUICK (DSQ) (du preez,1981) Meskipun kedua metode cepat tersebut diatas mempunyai beberapa keuntungan, antara lain hanya memerlukan waktu ynag singkat untuk menganalisa kandungan ME suatu bahan makanan, du preez melihat bahwa ada kelemahan, teruatama pada metode sibbald. Pemberian makanan yang ahanya berjumlah 30 gr diikuti dengan waktu pengumpulan excreta selama 48 jam tanpa pemberian makanan berarti ayam berada tidak saja dalam keseimbangan energy yang negative, melainkan juga ada kemungkinan ayam berada pada status keseimbangan nitrogen yang negative pula. Dengan metode dual semi quick yang dicetuskan oleh du preez ini, diharapkan kelemahan kelemahan tersebut dapat diatasi Materi Dalam metode ini digunakan auam jantan dewasa yang dilengkapi dengan kantong plastic penampung excreta yang dipasang pada semacam pipa plastic yang ditempel sekeliling cloaca dengan cara dijahit. Bahan makanan yang akan dianalisa kandungan ME-nya dicampur dengan ransum basal dengan perbandingan 29,7 : 70, Prosedur Ayam dikandangkan dalam sangkar battery secara individual dan diberi makan makanan yang ditest secara adlibitum selama 2 hari. Pol akonsumsi makan diamati dan ayam Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 38

39 ayam yang mempunyai konsumsi makan paling banyak diberi makan sebanyak 40 atau 70 % dari kebutuhan ad libitummua. Pemberian makan empat hari pertama merupakan periode adaptasi, sedangkan selama 3 hari berikutnya merupakan periode pengamatan excreta yang dikleuarkan ditampung. Meskipun penampungan excreta secara kwallitatif sebenarnya cukup praktis san representative, dalam metode ini juga ditambahkan indicator warna dalam makanan yang ditest, untuk menyakinkan jumlah makanan yang dikonsumsi. Tempat makanan yang dirancang secara khusus (de haart, 1977) digunakan pada metode ini, untuk mengurangi tumpahnya makanan sesekali mungkin. Untuk menampung excreta, seperti telah disebut dimuka, digunakan kantong plastic (Hayes and Austic, 1992) yang dipasang pada semacam pipa plastic yang ditempel sekeliling cloaca dengan dijahit. Dengan cara ini tidak saja semua exctreta dapat ditampung tanpa ada yang tercecer, tetapi juga excreta tidak tercampur dengan bulu bulu dan sisik sisik ynag tanggal. Sampelexcreta yang dikumpulkan selama 24 jam pada hari kedua dari periode pengamatan digunakan untuk analisa gross energy. Sampel dikeringkan secara beku dan ditimbang. Dalam metode ini hubungan linier antara jumlah makanan yang dikonsumsi dan jumlah excreta yang dikeluarkan juga dianalisa Cara Perhitungan Analisa gross energy dilakaukan baik terhadap makanan yang ditest maupun terhadap excreta. Untuk perhitungan MEN, kandungan nitrogen bahan makanan yang ditest dan excreta dianalisa dengan cara kyeldhal. ME per gr diet = GE per gr diet (BM x R) Dimana : ME = energy metabolis GE = gross energy BM = gross energy per g excreta R = ratio indicator warna pada makanan ; pada excreta MEN dihitung dengan cara mengurangi ME dengan NB x 34,4 KJ/g. Dimana NB adalah nitrogen balance yang dihitung sebagai berikut : NB = NM NE X 100% Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 39

40 NM Dimana : NM = jumlah makanan ; NE = jumlah N dalam excreta PEMBAHASAN Perdebatan mengenai kebaikan akan metode cepat unutk penentuan kandungan energy metabolis bagi unggas, sampai saat ini masih terus berlangsung. Banyak kritik dilontarkan terutama tehadap metode Sibbaid untuk penentuan TME (Farrel 1981, 1987, 1987 ; Sibbald ). Sebagian kritik berdasarkan pada kandungan energy endogen yang hilang (ELL) yang diukur dari ayam yang dipuasakan (du Preeez et al, 1981 ; Farrell 1981). Tidak perlu disangsikan lagi bahwa nitrogen metabolism pada yam yang diberi makan secara penuh akan berbeda dengan ayam yang dipuasakan. Yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada metabolism energy. Ayam jantan dewasa jika diberi makan seara jinventional akan berbeda atau dekat dengan keseimbangan nitrogen yang seimbang (N-equillibrium). Sedangkan ayam yang dipuasakan tidak dapat disangkal lagi tentu akan berada pada keseimbangan nitrogen yang negative. Ini berarti akan berpengaruh secara nyata pada perhitungan TMEN, tetapi tidak begitu nyata pada perhitungan AMEN. Hartel (1986) berkesimpulan bahwa AME dan TME pada ayam yang diberi makan secara continue akan sama. Sibbal (1977) dalam penelitihnannya dengan menggunakan ayam broiler, berkesimpulan bahwa AME dan TME pada ayam yang diberi makan secara continue akan sama. Jika pada akhirnya terbukti bahwa nilai TME lebih tepat digunakan dalam menyusun ransum unggas, maka akan ada pekerjaan besar untuk menentukan kembali nilai kandungan energy metabolis bahan bahan makanan. Perdebatan tidak saja terjadi antar metode, tetapi juga terjadi dalam masing masing metode itu sendiri. Pada metode conventional misalnya, penggunaan ayam yang lebih banyak tiap group dengan jumlah ulangan yang lebih sedikit memberikan hasil yang lebih konsisten dari pada penggunaan ayam yang lebih sedikit pada tiap group dengan jumlah ulangan yang lebih banyak. Disamping itu terbukti bahwa perbandingan antara makanan yang idtest dengan ransum basal berpengaruh pada nilai energy metabolism. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 40

41 Pada penentuan TME, Guillaume dan Summer (1970) berpendapat bahwa perbedaan antara ME dan TME menjadi kecil dengan meningkatnya konsumsi energy oleh ayam. Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa yang mendapat energy kurang dari pada kebutuhan minimalnya akan mengkatabolis energy dari jaringan tubuhnya. Berdaarkan hal ini du Preez et al (1981) berpendapat bahwa penentuan ME dengan menggunakan ayam jantan dewasa, minimal 75 g makanan harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan energy minimal sebesar 1,086 KJ per hari. Disamping itu umur ayam juga berpengaruh pada kandunagn ME. Mollah et al, (1983) dan Johnson (1987) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ayam dewasa pada umumnya memberikan nilai ME yang secara nyata lebih besar daripada ayam muda. Farreall et al, (1988) menganalisa kandungan energy dari 13 jenis gandum dengan menggunakan ayam muda dan ayam dewasa, dan melaporkan bahwa ayam dewasa memberikan nilai MEN 13,92 MJ/Kg, sedangkan ayam nuda hanya MJ/Kg (P<0,05). Hal yang sama dilaporkan juga oleh Pesti et al, (1988) dengan menggunakan sample feather meal. Farrell et al, (1988) menganalisa kandungan ME bahan makanan dengan menggunakan 4 macam metoda yang berbeda yaitu: metoda konvensional, DSQ, metoda Sibbald dan metoda Farrell. Lima ekor ayam, sebagai ulangan, diberi makan salah satu dari ransum dimana 0, 20, 40 atau 60% dedak padi ditambahkan pada ransum basal yang terdiri dari 98%jagung dan 2% campuran vitamin dan mineral, dengan level pemberian 75, 35 atau 10 g per ekor. Hasilnya dapat dilihat pada table 3. Baik metoda, jenis ransum maupun level pemberian makan memberikan hasil ME yang berbeda sangat nyata (p<0,01). Juga ada interaksi (p<0,01) antara metoda x ransum, metode x level pemberian makan dan antara ramsum x level pemberian makan. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 41

42 Tabel 3. Kandungan energy rata2 (MJ/Kg) dari suatu bahan makanan yang ditest dengan 4 macam metoda, 4 jenis ransum dan 3 level pemberian makan (Farrell et al, 1988). Energy rata rata AME AMEN TME TMEN Metode : DSQ 11,64 a* 12,16 a 13,86 ab 13,28 a konventional 11,37a 12,05 ab 13,66 a 13,21 a Sibbald 9,06 b 10,48 b 14,17 b 13,06 a Farrel 11,49 a 11,78 b 15,97 c 14,06 b LSD (0,05) 0,338 0,282 0,340 0,279 Ransum : 1 12,44 a 13,13 a 15,90 a 14,88 a 2 11,18 b 11,89 b 14,72 b 13,68 b 3 10,57 c 11,25 c 14,09 c 13,04 c 4 9,39 a 10,20 d 12,97 d 12,02 d LSD (0,050 0,338 0,282 0,340 0,270 Feed intake : 75 12,24 a 12,19 a 15,93 a 14,21 a 35 11,73 b 12,11 a 14,05 b 13,20 b 10 8,71 c 10,56 b 13,27 c 12,72 c LSD (0,050 0,267 0,223 0,268 0,220 *)Nilai dalam kolom dengan tanda yang sama tidak berbeda secara nyata. Dari table 3. Dapat dilihat bahwa, seperti diharapkan, nilai energy akan menurun dengan meningkatnya jumlah dedak padi yang ditambahkan. Hasil selengkapnnya dari penelitian Farrell tersebut dapat dilihat pada table 4. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 42

43 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 43

44 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 44

45 Untuk AME pada umumnya tidak ada perbedaan yang nyata antara metoda conventional, metoda DSQ dan metoda Farrell (P<0,05). Pada ransum 2-4 pada semua level pemberian makan, metode Sibbald memberikan nilai ME yang secara nyata menurun dengan menurunnya level pemberian makan. Hal ini hanya terjadi pada rannsum 4 denang metoda Farrell. Pada semua metoda, nilai ME secara konsisten menurun pada level pemberian makan 10 g/hari. Dilaporkan juga bahwa variasi diantara ulangan cenderung meningkat dengan meningkatnya penambahan dedak padi dan menurunnya level pemberian makan. Yang menaraik dari hasil penelitian Farrell tersebut adalah, terlepas dari jenis ransum maupun level pemberian makan, nilai AME dan AMEN yang ditest dengan menggunakan metoda DSQ, metoda conventional, ataupun metoda Farrell adalah konsisten. Hal ini berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh Johnson dan McNab (1983), Sibbald (1985), dimana pada umumnya dengan metoda Farrell mereka mendapatkan nilai ME yang lebih rendah. Hasil lain yang menarik dari penelitian tersebut adalalh, nilai AME dan AMEN pada level pemberian makan 75 dan 35 g/hari adalah sama. Hal ini bertentangan dengan konsep yang diajukan oleh Guillaume dan Summer (1970) dimana pada tingkat intake 35 g/hari nilai ME diharapkan menurun. Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa penentuan AME dengan menggunakan metoda conventional, DSQ dan Farrell pada umumnya memberikan hasil yang tidak berbeda secara nyata. Usulan untuk menggunakan nilai TME pada bidang makanan unggas saat ini masih terlalu pagi. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 45

46 DAFTAR PUSTAKA AEC (1978) Animal Feeding : Energi, Amino Acids, Vitamins, Minerals. Document no.4 aec, Commentry Franc. ARC (1975) The Nutrient Requirement of Farm Livestock. No.1 Poultry. 2 nd Ed. HMSO London. de Haart,N (1977) Rapport 182,77 Spelderholt Institute for Poultry Research. du Preez,J.J., du Minnaar,A and Duckitt,J.S (1984). World Poult.Sci.J., 40: du Preez,J.J., Hayes,J.P and Duckitt,J/S (1981). S.Afr.J.Anim.Sci., 11: Farrell,D.J (1978). Brit.Poult.Sci., 19:303 Farrell,D.J (1981). World Poult.Sci.j., 37:72-82 Farrell,D.J (1982). Proc.Maryland Nutr. Conf. pp Farrell,D.J (1987). Proc.3 rd.conf.wpsa.far East & S.Pacific Fdn. P14. Hamilton, New Zealand. Feb.87 Farrell,D.J., Surisdiarto and Thomson,E (1988). Proc.Poult.Res.Fdn. D3. University of Sydney Guillaume,J and Summer,J.D (1970). Can.J.Anim.Sci. 50: Hartel,H (1986). Brit.Poult.Sci., 27:11-39 Haynes,J.P and Austic,R.E (1982). Poult.Sci., 61:2294 Hill,F.W and Anderson,D.L (1958). J.Nutr., 64: Johnson,G and McNab,J.M (1983). Brit.Poult.Sci., 24: McDonald,P., Edwards,R.A and Greenhalgh,J.F.D (1988). Animal nutrition. 4 th.ed. Jon Wiley Sons.Inc. New York NRC (1984). Nutrient Requirements of Farm Livestock. No.1. Poultry. 2 nd.ed.london Pesti,G.M., Dale,N.M and Farrell,D.J (1988). Polut S.ci., in press. Sibbald,I.R (1976). Poult.S.ci., 55:303 Sibbald,I.R (1977). Peedstuffs. 49:21 Sibbald,I.R (1985). World Poult.Sci.J., 41: Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 46

47 LEMBARAN KERJA NAMA MAHASISWA : DISETUJUI OLEH :.. NIM : TGL : ACARA : PENENTUAN KANDUNGAN ENERGI METABOLIS DENGAN MENGGUNAKAN METODE KONVENSIONAL 1. Ayam Jenis :.. umur:. 2. Bahan makanan yang ditest :.. 3. Susunan ransum basal : Bahan makanan jumlah 4. Perbandingan antara bahan makanan yang ditest dengan ransum basal :.. ransum ini selanjutnya disebut dengan ransum test. 5. Kandungan bahan kering (BK) dari : Bahan makanan = % Ransum basal = % Ransum test = % Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 47

48 6. Data penelitian : Ulangan Variable I II III IV V VI VII P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P3 Konsumsi pakan (g) Jumlah excreta (g) Energy bruto (kkal/g) Ransum basal Ransum test Energy metabolis

49 PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 48

50 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 49

51 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 50

52 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 51

53 METODE UNTUK MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS 1. Pendahuluan Pengetahuan mengenai availabilitas biologis dari asam amino dalam bahan makanan adalah kunci yang penting dalam menyusun formula pakan untuk hewan monogastrik (misal ayam) untuk menjamin bahwa kebutuhan akan asam amino dapat dipenuhi untuk penampilan produksi yang optimum. Beberapa metode penentuan nilai nutrisi dari protein dan asam amino telah banyak dipelajari. Metode-metode tersebut dapat dikelompokkan kedalam metode in vivo dan in vitro. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari beberapa metode penentuan availabilitas asam amino untuk unggas. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan daya cerna semu (apparent digestibility) adalah perbedaan antara jumlah asam amino yang terdapat dalam pakan yang dikonsumsi dengan jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces, dibagi dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Sedangkan daya cerna sejati (true digestibility) adalah sama seperti daya cerna semu, tetapi asam amino yang terdapat dalam faeces yang berasal dari tubuh (endogenous amino acid) dperhitumgkan. Jadi jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces dikurangi dulu dengan jumlah asam amino endogen. Yang dimaksud dengan daya serap adalah tingkat dimana asam amino melewati dinding usus kecil. Adapun yang dimaksud dengan availability adalah tingkat dimana asam amino terdapat dalam bentuk yang serasi untuk pencernaan, penyerapan dan proses metabolism. 2. Metode penentuan availabilitay asam amino 2.1. In Vivo Growth assay (uji pertumbuhan). Parameter global dalam percobaan ini adalah tingkat penggunaan asam amino yang berasal dari pakan (dietary amino acid) untuk pertumbuhan. Prinsip dari percobaan uji pertumbuhan ini adalah mengukkur kemampuan protein (yang diteliti availabilitasnya) untuk mengganti fungsi asam amino tertentu pada pertumbuhan. Laju pertumbuhan ayam yang Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 52

54 diberi pakan yang kekurangan (defisien) akan asam amino yang duikur availabilitasnya dibandingkan dengan laju pertumbuhan dari ayam yang diberi pakan dimana asam amino yang kekurangan sudah dipenuhi dengan penambahan asam amino sintesis, dengan asumsi bahwa availabilitas dari asam amino sintesis tersebut adalah 100%. Perhitungan availabilitas berdasarkan hubungan antara laju pertumbuhan dengan kandungan asam amino dalam pakan percobaan. Metode ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain bahwa pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain tingkat konsumsi, kandungan protein dalam pakan dan interaksi antar asam amino. Disamping itu kriteria yang digunakan untuk menentukan availabilitas, apakah laju pertumbuhan, konversi pakan, kenaikan protein dalam karkas atau jumlah nitrogen yang diretensi masih membuka peluang untuk diskusi lebih jauh. Selanjutnya percobaan dengan menggunakan metode ini sangat mahal dan menghabiskan waktu, karena hanya dapat diterapkan untuk menentukan satu jenis asam amino setiap percobaan. Bahkan kadang-kadang tidak mungkin membuat suatu formula (dari bahan-bahan makanan yang umum digunakan) yang benar-benar defisien akan asam amino yang akan diteliti. Seringkali penggantian bahan makanan yang ditest menimbulkan penurunan kandungan energi. Penambahan asam amino melebihi kebutuhan untuk simulasi protein yang ditest telah dibuktikan menghasilkan depresi pertumbuhan dan pada akhirnya menghasilkan tingkat availabilitas yang tinggi, yang kadang-kadang mencapai angka diatas 100%. Koefisien availabilitas yang diperoleh bervariasi tergantung dari cara menentukan availabilitas tersebut. estimasi menggunakan parameter laju pertumbuhan akan berbeda dengan estimasi menggunakan parameter konversi pakan. Juga dibuktikan bahwa laju pertumbuhan adalah berkorelasi lebih baik dengan konsumsi asam amino daripada kandungan asam amino dalam pakan. Beberapa factor lain yang mempengaruhi hasil availabilitas dengan metode uji pertumbuhan ini adalah tempertaur llingkungan, kandungan energi dalam pakan dan interaksi antara asam amino dengan beberapa mineral seperti natrium, kalium, chlor Kandungan asam amino bebas dalam darah. Asam amino yang dihasilkan dari proses pencernaan akan diserap oleh dinding usus dan dikirim ke jaringan-jaringan mealui aliran darah. Oleh karena itu jumlah asam amino Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 53

55 dalam darah dapat dipakai sebagai indikator availabilitasnya.namun demikian, seperti diketahui, jumlah asam amino dalam darah tidak hanya tergantung dari jumlah asam amino dalam makanan tetapi juga dipengaruhi status nutrisi dari hewan. Pembentukan protein jaringan (anabolisme) akan menghasilkan pengambilan asam amino dari aliran darah, sedangkan katabolisme protein akan meningkatkan kandungan asam amio dalam darah Daya cerna (digestibility method) Prinsip dari metode ini adalah availabilitas dapat ditentukan dari daya cerna (digestibility). Yang dimaksud dengan daya cerna dalam hal ini adalah perbedaan antara jumlah asam amino yang dikonsumsi dengan jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces. Metode ini mempunyai beberapa kelemahan. Dua diantaranya yang menonjol ialah: asam amino endogen (endogenous amino acid) dan mikroorganisme. Jika akan menentukan daya cerna asam amino maka kontribusi asam amino endogen harus diperhatikan. Sumber asam amino endogen adalah sel-sel yang telah mati dan sekresi dari saluran gastro intestinal. Sekresi dari glandula salivaris, perut, hati, pancreas, dan mukosa sel yang berguna dalam proses pencernaan adalah pada umumnya berupa enzyme. Enzyme ini sebenarnya adalah berbentuk protein atau mucoprotein. Efek mikroorganisme pada pencernaan protein. Enzyme dari mokroorganisme mungkin akan dicerna dan diserap sehingga dapat digunakan oleh hewan. Tetapi mikroorganisme juga mempunyai kemampuan memecah protein dan menggunakan asam amino untuk kehidupannya. Sebagai tambahan mikroorganisme bukan saja sebagai konsumen asam amino, tetapi mikroorganisme dapat juga bertindak sebagai produsen asam amino. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian asam amino dalam faeces adalah berasal dari bakteri. Kontribusi asam amino oleh mikroorganisme dalam faeces kira-kira sebesar 25%. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan nilai daya cerna asam amino yang ditentukan dengan menganalisa faeces yang diambil dari ileum dan dari seluruh saluran pencernaan. Pada hampir semua kasus perbedaan ini besarnya dapat mencapai 10%. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 54

56 2.2.In Vitro Uji Kimia ( chemical assay) Carpenter (1960) mengukur availabilitas asam amino secara kimia berdasarkan pengukuran presentase gugus amino epsilon beas daro lysine yang dapat diikat oleh flurodinitribenzene (FDHB). Availabilitas lysine dapat juga diukur dengan dye binding atau dengan reaksi quanidin. Untuk availabilitas methionine dapat ditentukan dengan gas chromatography Metode Enzimatis Beberapa usaha telah dilakukan untuk membuat simulasi pencernaan secara in vitro. Dengan metode ini lysine dapat diisolasi dari bahan makanan setelah dicerna dengan pronase dan lysine decarboxylase dan cystine digunakan pancreatin Metode Mikrobiologis Penentuan availabilitas asam amino secara mikrobiologis adalah berdasarkan kenyataan bahwa beberapa mikroorganosme mempunyai kemampuan proteolitik. Mikroorganisme yang sudah biasa digunakan untuk test adalah Streptococcus zymogenes, Tetrahymena pyriformis, streptococcus faecalis, streptococcus durens, Lactobacillus arabinosus, dan Eschirichia coli. 3.Faktor factor yang mempengaruhi availabilitas asa, amino dari bahan makanan protease in hibitor Protease in hibitor adalah protein dalam tumbuh tumbuhan yang mempengaruhi kerja enzim proteolitik pada hewan. Protease inhibitor yang telah umum dikenal adalah yang terdapat dalam biji kedelai. Protease in hibitor akan bergabung dengan enzim pencernaan, sehingga enzim ini tidak dapat berfungsi. Dengan demikian protein makanan, protein enzim dan protein ini hibitor akan melewati saja saluran gastrointestinal dan keluar lewat feses. Protease in hibitor dalam biji kedelai akan mengurangi availabilitas methionine dan cystin lebi daripada asam amino yang lain. Dengan demikian hewan yang diberi makan kedelai yang mengandung protease in hibitor maka pancreas akan bekerja lebih berat untuk memproduksi enzim pencernaan lebih banyak. Kita tahu bahwa enzim pencernaan itu sendiri Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 55

57 adalah kaya akan cystine. Dengan demikian hewan tidak saja kehilangan cystine dari protein makanan melainkan juga kehilangan cystine dari tubuhnya lewat enzim pencernaan. Selanjutnya methionine dari makanan akan dengan cepat diubah menjadi cystine untuk memenuhi kebutuhan cystine untuk produksi enzim pencernaan. Dengan demikian jumlah metionin yang dapat dipakai oleh hewan juga menjadi berkurang. Bahan makanan lain seperti jagung, padi, gandum, dan barley juga mengadung protease in hibitor, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga keberadaannya tidak menimbulkan gangguan pada pencernaan lectin Lectin adalah suatu glucoprotein yang mempunyai berat molekul antara lectin juga biasa disebut phytohaemaglutinin dan mempunyai kemampuan untuk menggumpalkan butir darah merah. Lectin menempel pada mukosa sel pada usus kecil dan menyebabkan kerusakan sel. Dengan demikian kemampuan dinding usus untuk menyerap zat makanan menjadi berkurang atau hilang sama sekali, sehingga asam amino hasil digesti protein tidak dapat diserap. Disamping itu lecin juga menyebabkan peningkatan katabolisme protein jaringan. Sebagai konsekuensi penggunaan seluruh asam amino akan menurun. Lectin terdapat banyak dalam biji biji leguminosa,tetapi dalam jumlah kecil juga terdapat pada butir butiran seperti padi, jagung dan sebagainya. Aktivitas lectin akan rusak oleh pengaruh panas letak protein dalam biji bijian Availabilitas asam amino dari biji bijian dipengaruhi oleh letak protein didalam biji tersebut. protein dari barley dan gandum yang terletak pada endosperm lebih mudah dicerna daripada protein yang terletak pada lapisan aleuron. Ini disebabkan karena protein dalam lapisan aleuron terletak berdekatan dengan kulit biji dan bertaut erat pada matriks selulosa. Oleh karena itu pada barley dan gandum lysine merupakan asam amino yang tingkat availabilitasnya paling rendah, karena protein yang kaya akan lysine (yaitu albumin dan globulin) pada barley dan gandum terletak pada lapisan aleuron. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 56

58 3.4. serat kasar Pada penentuan nilai availabilitas asam amino, serat kasar dalam bahan makanan ternyata mengurangi availabilitas asam amino dan mempertinggi kehilangan asam amino endogen. Diduga serat kasar mempertinggi produksi mucus. Adapun mekanisme penurunan availabilitas asam amino, diduga serat kasar membentuk semacam gel disekitar asam amino atau dengan jalan menyerap enzim pencernaan Daya larut protein Protein diklasifikasikan kedalam beberapa golongan antara lain berdasarkan sifat kelarutannya. Protein yang lebih mudah larut pada umumnya lebih mudah dicerna. Fibrous protein cenderung untuk tidak mudah larut, oleh karena itu sukar dicerna. Contoh protein yang masuk golongan ini adalah collagen, keratin dan elastin. Sedangkan globular protein cenderung untuk mudah larut, oleh karena itu sangat mudah dicerna. Contoh protein yang termasuk dalam golongan ini adalah albumin, globulin, prolamin dan glutenin. Protein dalam kedelai adalah terstruktur sehingga daya cernanya rendah. Pemanasan akan merubah struktur protein, sehingga memperbaiki daya cerna. Protein dengan kandungan cystine dalam jumlah tinggi dan ikatan disulfide biasanya sebagian tahan terhadap enzyme pencernaan. Zein, protein dalam jagung, mempunyai daya cerna rendah karena daya larutnya dalam cairan perut rendah Reaksi mailard Reaksi ini terjadi bila karbohidrat yang mereduksi bergabung dengan gugus amino bebas dari protein. Reaksi ini dipercepat dengan adanya panas. Dengan terjadinya ikatan tersebut maka enzim pencernaan tidak dapat memecah protein. Gugus epsilon amino bebas dari lysine adalah tempat utama dalam protein dimana karbohidrat akan bergabung selama terjadinya reaksi. Dengan terjadinya ikatan tersebut maka daya cerna protein menjadi rendah, karena kemampuan tripsin untuk memecah ikatan peptida terganggu. Kemampuan hewan untuk dapat menyerap ikatan karbohidrat-asam amino dapat diserap oleh hewan tetapi asam aminonya tidak dapat digunakan dan akan hilang lewat urine. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 57

59 3.7. Oksidasi Lemak Oksidasi lemak yang terjadi dalam bahan makanan mungkin akan menghasilkan ikatan carbonyl seperti aldehid dan keton yang dapat bereaksi dengan gugus amino bebas seperti pada Mailard. Oksidasi lemak dan pembentukan ikatan amino-carbonyl dipercepat dengan adanya panas. Problem utama adalah dengan lemak tidak jenuh yang mempunyai kecenderungan untuk dapat mengadakan oksidasi sendiri (auto oksidasi) dan menghasilkan panas. Proses oksidasi ini dapat dihambat dengan menggunakan anti oksidan Gugus karbonyi bebas Gugus carbonyl bebas dari asam aspartat dan asam glutamat dalam protein mungkin bergabung dengan gugus amino bebas dari protein yang sama atau dari protein lain. Reaksi ini juga dipercepat dengan adanya panas dan akan menurunkan daya cerna protein seperti halnya reaksi Millard. Hilangnya availabilitas asam amino dari protein hewani terutama disebabkan karena adanya interaksi antar protein. Oleh karena itu saat ini pada proses pembuatan bahan makanan hewani (misal tepung darah) ditambahkan lemak sebagai protecting agent untuk mengurangi kemungkinan terjadinya interaksi antar protein. 4.Kesimpulan Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa uji pertumbuhan (growth assay) untuk penentuan availabilitas asam amino pada ayam merupakan satu alternatif yang terus digalakkan. Beberapa ahli berpendapat bahwa uji pertumbuhan sebaiknya digunakan sebagai referensi untuk membandingkan dengan uji biologis yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya cerna asam amino yang ditentukan dengan metode total collection adalah sesuai dengan hasil dari uji pertumbuhan. Kontribusi urinary amino acid pada daya cerna protein adalah kecil sekali. Dengan demikian penggunaan ayam yang diambil colonnya untuk penentuan daya cerna kelihatannya tidak perlu. Namun demikian untuk mendapatkan estimasi yang tepat dari asam amino endogen yang hilang lewat urine, ransum percobaan sebaiknya disusun tanpa mengandung nitrogen. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 58

60 LEMBARAN KERJA NAMA MAHASISWA : DISETUJUI OLEH :.. NIM : TGL : ACARA : MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO DENGAN MENGGUNAKAN METODE SLOPE-RATIO 1. Ayam. 2. Asam amino yang ditest : METHIONINE PADA KACANG HIJAU. 3. Susunan ransum basal (defisien akan methionin) Bahan Makanan Jumlah 4. Ransum perlakuan yaitu satu kelompok ransum yang terdiri dari 5 macam ransum yang mengandung methionine yang berbeda yang diperoleh dengan cara menambah methionine sintetis pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda dan satu kelompok ransum (II) terdiri dari 5 macam ransum yang mengandung methionine yang sama dengan kelompok ransum I yang diperoleh dengan cara menambahkan kacang hijau pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda. No. Keterangan Kelompok I Kelompok II Methionine (%) Kacang hijau (%) 1 Basal ditambah 2 Basal ditambah 3 Basal ditambah 4 Basal ditambah 5 Basal ditambah Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 59

61 5. Menentukan Availabilitas Asam Amino dengan Menggunakan Metode Slope-Ratio Jika kebutuhan metionin pada ayam pedaging finisher adalah 0,45 %. Susunlah ransum basal yang mengandung metionin sebesar 0.40 %. Buat 2 kelompok ransum yang pertama mengandung metionin sintetis dan yang kedua mengandung bahan Kacang Hijau dengan presentase metionin 81 % dan 1.5 % (Masing-masing ransum dalam tiap kelompok mengandung metionin secara berjenjang mulai dibawah kebutuhan sampai diatas kebutuhan, yaitu %, %, 0,450 %, 0,475 %, dan 0,500 %). Dengan penambahan metionin sintetis didapatkan data rata-rata konsumsi pakan ransum tes (kelompok metionin) secara berurutan adalah 122, 124, 127, 128, dan 129 dengan penambahan rata-rata bobot badan secara berurutan adalah 98, 99, 102, 105, dan 106. Sedangkan kelompok kacang kedelai secara berurutan rata-rata konsumsi pakan adalah 116, 117, 118, 119, dan 120 dengan ratarata pertambahan bobot badan 98, 99, 101, 102 dan 104. Hitunglah availabilitas metionin dalam kacang hijau! RUMUS REGRESI LINEAR SEDERHANA Y = a + bx a = Y Xb b = Rumus : TB = TA = Table t Df 5% 1% df 5% 1% 1 12,706 53, ,447 3, ,303 9, ,365 3, ,182 5, ,306 3, ,776 1, ,262 3, ,571 4, ,223 3,169 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 60

62 PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 61

63 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 62

64 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 63

65 Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 64

66 MENENTUKAN NILAI KECERNAAN PAKAN PADA TERNAK KELINCI PENDAHULUAN Pakan merupakan faktor yang sangat menentukan produksi ternak menjadi optimal, sehingga pakan yang diberikan harus memiliki kualitas yang baik. Kualitas pakan dapat dilihat dari kandungan zat makanan yang ada pada pakan dan jumlah pemberian pada ternak yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Kualitas pakan tidak hanya ditentukan oleh kandungan zat makanan yang ada pada pakan melainkan juga tingkat kecernaan pakan dalam saluran pencernaan. Kecernaan atau daya cerna pakan adalah kemampuan pakan untuk dicerna di dalam saluran pencernaan. Semakin besar nilai kecernaan pakan dalam saluran pencernaan maka kualitas pakan tersebut semakin baik, karena dengan tingkat kecernaan pakan yang besar maka kemampuan nilai guna zat makanan semakin besar yang mengakibatkan produksi menjadi optimal. Kecernaan pakan sebaiknya di lakukan oleh setiap peternak untuk mengetahui seberapa besar kualitas pakan yang diberikan pada ternak. Melihat pentingnya pakan yang benar-benar berkualitas agar produksi menjadi optimal sehingga perlu dilakukan perhitungan kecernaan pakan yang digunakan. Kelinci merupakan hewan herbivora non ruminansia pemakan tumbuh-tumbuhan, sistem pencernaanya unik karena hanya mempunyai satu lambung/perut (monogastric). Pada proses pencernaanya kelinci memfermentasi bahan makanan (selain serat) pada sekum dan mengeluarkannya pada anus berupa butiran-butiran menyerupai kotoran tapi berwarna pekat dan lembek, butiran ini disebut cecotropes. Kelinci seringkali terlihat memakan cecotropes itu langsung dari anusnya, dan proses ini disebut copraphagy atau cecotrophy. Karena keunikanya tersebut maka pemberian pakan pada kelinci tidak boleh sembarangan, harus diperhatikan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi proses pencernaanya. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan salah satunya adalah kualitas pakan. Salah satu penentu kualitas pakan adalah tingkat kecernaan pakan kelinci. Dalam pratikum ini mahasiswa diharapkan dapat menghitung tingkat kecernaan pakan yang diberikan pada ternak kelinci. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 65

67 Menentukan tingkat kecernaan pakan yang pertama harus dilakukan koleksi pakan dan koleksi ekskreta. Pakan awal dan ekskreta yang sudah terkumpul masing-masing dihitung prosentase bahan keringnya. Dengan mengetahui nilai bahan kering masing-masing sampel maka nilai kecernaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : BK Kecernaan (%) = BK intake BK Ekskreta BK intake Proses simulasi kecernaan pakan dalam tubuh kelinci dapat dilihat pada gambar dibawah ini. TUJUAN Agar mahasiswa memiliki pengalaman dan mengetahui menentukan nilai kecernaan pakan untuk mengetahui kualitas pakan yang digunakan sehingga mampu meningkatkan produksi. PRINSIP Menghitung nilai kecernaan pakan untuk menentukan kualitas pakan. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 66

68 Mouth Food is chopped, ground and mix with saliva. Stomach Food is mixed with acid to sterylise it and enzymes to bigin the proses of digestion. Small Intestines Most nutrients are absorbed here more enzymes are added breaking down the food so that nutrient can pass through the lining and be absorbed in to the blood stream 20% 100% 80% Small particles of digestible fibre are temporarily diverted to the caecum. Caecum Here bacteria ferment the fibre breaking it down to digestible nutrients Colon Enzymes can t break down fibre so it continues on to the colon to be sorted. Large particles of digestable fibre are formit in to droppings and excreated Fermented fibre from the caecum is coated in protective mucus than excreated as cicle droppings with are reingested so the nutrients can pass through the small intestine to be absorbed. Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 67

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi 4 : METODE UNTUK MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi 4 : METODE UNTUK MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA Materi 4 : METODE UNTUK MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS Tujuan Untuk mengetahui beberapa metode penentuan availabilitas

Lebih terperinci

NUTRISI UNGGAS 11/8/2016. Catootjie L. Nalle, Ph.D. Jurusan Peternakan Program Study Teknologi Pakan Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang

NUTRISI UNGGAS 11/8/2016. Catootjie L. Nalle, Ph.D. Jurusan Peternakan Program Study Teknologi Pakan Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang 1 NUTRISI UNGGAS 11/8/2016 Catootjie L. Nalle, Ph.D. Jurusan Peternakan Program Study Teknologi Pakan Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang 11/8/2016 POKOK-POKOK BAHASAN 1. JENIS-JENIS NUTRISI UNGGAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian Kandungan Nutrisi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Pakan Penelitian Kandungan nutrisi pakan tergantung pada bahan pakan yang digunakan dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi pakan penelitian dari analisis proksimat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai 19 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai subtitusi jagung dalam ransum terhadap kecernaan PK, SK dan laju digesta ayam broiler dilaksanakan pada tanggal

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus 18 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap persentase potongan komersial karkas, kulit dan meat bone ratio dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk) dalam Ransum sebagai Subtitusi Tepung Ikan Terhadap Konsumsi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di kandang penelitian Fakultas Peternakan Universitas Darul Ulum Islamic Center Sudirman GUPPI (UNDARIS) Ungaran,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Pertanian, Universitas Diponegoro pada tanggal 22 Oktober 31 Desember 2013.

BAB III MATERI DAN METODE. Pertanian, Universitas Diponegoro pada tanggal 22 Oktober 31 Desember 2013. 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 10 minggu di Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro pada tanggal 22 Oktober 31 Desember 2013. Analisis kandungan bahan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher

LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA. Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI TERNAK UNGGAS DAN NON RUMINANSIA Penyusunan Ransum dan Pemberian Pakan Pada Broiler Fase Finisher Disusun oleh : Kelompok 9 Robby Trio Ananda 200110090042 Gilang Dayinta P 200110090071

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda citrifolia) Fermentasi terhadap Penggunaan Protein pada Ayam Kampung Super dilaksanakan pada tanggal 18 November

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Hasil analisa proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrien bahan pakan dan dalam menghitung komponen nutrien karena kualitas nutrien bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak puyuh mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan baik sebagai penghasil telur maupun penghasil daging. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler Tampubolon, Bintang, P.P. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran e-mail : ktgmusical@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pemberian pakan menggunakan bahan pakan sumber protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu 28 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian tentang pengaruh penambahan level protein dan probiotik pada ransum itik magelang jantan periode grower terhadap kecernaan lemak kasar dan energi metabolis dilakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix

BAB III MATERI DAN METODE. Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Teoung Limbah Rumput Laut Laut (Gracilaria verrucosa) terhadapproduksi Karkas Puyuh (Cotunix cotunix japonica) Jantan Umur 10 Minggu.

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. telurnya karena produksi telur burung puyuh dapat mencapai

PENDAHULUAN. telurnya karena produksi telur burung puyuh dapat mencapai 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica) banyak diternakkan untuk diambil telurnya karena produksi telur burung puyuh dapat mencapai 250 300 butir/ekor/tahun. Disamping produksi

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 14 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 September sampai 20 Oktober 2015 di Desa Gledeg, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2010, bertempat di kandang C Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum

III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB. A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum III. KEBUTUHAN ZAT-ZAT GIZI AYAM KUB A. Zat-zat gizi dalam bahan pakan dan ransum Jenis dan fungsi zat-zat gizi yang dibutuhkan ayam telah disampaikan pada Bab II. Ayam memperolah zat-zat gizi dari ransum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27 17 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian dan Peralatan Penelitian 3.1.1. Ternak Percobaan Ayam petelur yang digunakan adalah ayam petelur yang berumur 27 minggu sebanyak 90 ekor dengan

Lebih terperinci

KULIAH ke: 9. POKOK BAHASAN: Zat Makanan Untuk Itik Pedaging. SUB POKOK BAHASAN: 1) Energi, 2)Protein, 3) Mineral, dan 4) Vitamin untuk itik pedaging.

KULIAH ke: 9. POKOK BAHASAN: Zat Makanan Untuk Itik Pedaging. SUB POKOK BAHASAN: 1) Energi, 2)Protein, 3) Mineral, dan 4) Vitamin untuk itik pedaging. KULIAH ke: 9 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti pertemuan ini mahasiswa akan dapat: 1. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat makanan pada ternak itik pedaging meliputi energi,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian 3.1.1. Bahan Penelitian Penelitian menggunakan 30 ekor Itik Rambon dengan jumlah ternak yang hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor

Lebih terperinci

VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM

VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM Teknik Formulasi Ransum VI. TEKNIK FORMULASI RANSUM Setiap ternak yang dipelihara secara intensif, termasuk unggas harus diberi pakan untuk memenuhi semua kebutuhan zat gizinya khususnya untuk keperluan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu unggas yang sangat efisien dalam menghasilkan daging dan digemari oleh masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas 18 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan pada bulan 19 Desember 2016 hingga 26 Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu dari 12 September 2014 sampai

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu dari 12 September 2014 sampai III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu dari 12 September 2014 sampai dengan 20 Oktober 2014 di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Sampel Tabel 8 menyajikan data hasil analisis proksimat semua sampel (Lampiran 1) yang digunakan pada penelitian ini. Data hasil analisis ini selanjutnya

Lebih terperinci

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. Budidaya dan Pakan Ayam Buras Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. PENDAHULUAN Ayam kampung atau ayam bukan ras (BURAS) sudah banyak dipelihara masyarakat khususnya masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum sebagai substitusi bungkil kedelai terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di CV. Mitra Mandiri Sejahtera Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak lokasi kandang penelitian dari tempat pemukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu.

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu. BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh lama periode brooding dan level protein ransum periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan terhadap potongan komersial karkas ayam buras super (persilangan ayam Bangkok dengan ayam ras petelur Lohman)

Lebih terperinci

NILAI ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM BROILER PERIODE FINISHER YANG DISUPLEMENTASI DENGAN DL-METIONIN SKRIPSI JULIAN ADITYA PRATAMA

NILAI ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM BROILER PERIODE FINISHER YANG DISUPLEMENTASI DENGAN DL-METIONIN SKRIPSI JULIAN ADITYA PRATAMA NILAI ENERGI METABOLIS RANSUM AYAM BROILER PERIODE FINISHER YANG DISUPLEMENTASI DENGAN DL-METIONIN SKRIPSI JULIAN ADITYA PRATAMA PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

KULIAH ke: 10. POKOK BAHASAN: Zat Makanan Untuk Itik Peking. SUB POKOK BAHASAN: 1) Energi, 2)Protein, 3) Mineral, dan 4) Vitamin untuk itik peking.

KULIAH ke: 10. POKOK BAHASAN: Zat Makanan Untuk Itik Peking. SUB POKOK BAHASAN: 1) Energi, 2)Protein, 3) Mineral, dan 4) Vitamin untuk itik peking. KULIAH ke: 10 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti pertemuan ini mahasiswa akan dapat: 1. Menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi kebutuhan zat makanan pada ternak itik pedaging meliputi energi,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. starter sampai finisher (1-35 hari) sebanyak 100 ekor dan koefisien variasi kurang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. starter sampai finisher (1-35 hari) sebanyak 100 ekor dan koefisien variasi kurang III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang diamati dalam penelitian ini adalah ayam broiler mulai fase starter sampai finisher (1-35 hari) sebanyak 100 ekor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Puyuh merupakan salahsatu komoditas unggas sebagai penghasil telur. Keberadaan puyuh mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat. Puyuh yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara khusus untuk diambil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara khusus untuk diambil 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam petelur memiliki keunggulan dan kelemahan, keunggulan ayam petelur yaitu memiliki

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi 1 : Formulasi Pakan

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi 1 : Formulasi Pakan PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA Materi 1 : Formulasi Pakan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016 ORGANISASI MATERI MENYUSUN FORMULA PAKAN BERBAGAI METODE

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5 TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berasal dari negara sekitar Laut Mediterania dan dibawa ke Inggris pada awal abad 12 (NRC,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung limbah kecambah kacang hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan dilaksanakan pada tanggal

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juli 2016 di Kandang Domba

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juli 2016 di Kandang Domba 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juli 2016 di Kandang Domba dan Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pakan Penelitian Pakan penelitian terbagi menjadi dua yaitu pakan untuk pengujian kecernaan dan pakan untuk pengujian pertumbuhan. Pakan untuk pengujian kecernaan dibuat berdasarkan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina dalam fase

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina dalam fase 24 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina dalam fase grower berumur 4 bulan dengan simpangan baku bobot badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Aditif Cair Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16-50 Hari dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perunggasan merupakan komoditi yang secara nyata mampu berperan dalam pembangunan nasional, sebagai penyedia protein hewani yang diperlukan dalam pembangunan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2010 hingga April 2011 di peternakan sapi rakyat Desa Tanjung, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, dan di Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Lokal Persilangan Ayam lokal persilangan merupakan ayam lokal yang telah mengalami proses persilangan, ayam ini dapat dipanen lebih cepat yaitu 2 bulan (Munandar dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

PENGARUH METODE DETERMINASI TERHADAP NILAI ENERGI METABOLIS DEDAK PADI

PENGARUH METODE DETERMINASI TERHADAP NILAI ENERGI METABOLIS DEDAK PADI Buana Sains Vol 6 No 1: 1-10, 2006 1 PENGARUH METODE DETERMINASI TERHADAP NILAI ENERGI METABOLIS DEDAK PADI Achmanu Zakaria Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145 Abstract

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi: Formulasi Pakan

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi: Formulasi Pakan PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA Materi: Formulasi Pakan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017 ORGANISASI MATERI MENYUSUN FORMULA PAKAN BERBAGAI METODE

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011) MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) The Effect of Continued Substitution of Tofu on Basal Feed (BR-2) on The

Lebih terperinci

PERTEMUAN/KULIAH KE: 12 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti pertemuan ini Anda akan dapat: 1. Memahami dan menjelaskan interaksi antara

PERTEMUAN/KULIAH KE: 12 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti pertemuan ini Anda akan dapat: 1. Memahami dan menjelaskan interaksi antara PERTEMUAN/KULIAH KE: 12 TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti pertemuan ini Anda akan dapat: 1. Memahami dan menjelaskan interaksi antara energi dan protein dalam kaitannya deposisi protein dan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. ransum terhadap profil kolesterol darah ayam broiler dilaksanakan pada bulan

BAB III MATERI DAN METODE. ransum terhadap profil kolesterol darah ayam broiler dilaksanakan pada bulan 17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Penggunaan tepung buah pare dan rumput laut dalam ransum terhadap profil kolesterol darah ayam broiler dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Februari

Lebih terperinci

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N. EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM S.N. Rumerung* Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115 ABSTRAK

Lebih terperinci

KEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING : SUPRIANTO NIM : I

KEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING : SUPRIANTO NIM : I TUGAS INDIVIDU RANSUM UNGGAS/NON RUMINANSIA KEBUTUHAN NUTRISI ITI PEDAGING NAMA : SUPRIANTO NIM : I111 13 303 KELAS : A GANJIL FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan Ayam

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 28 April 2016 di CV.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 28 April 2016 di CV. 17 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 28 April 2016 di CV. Populer Farm, Boja, Kendal. Pengukuran kualitas telur dilakukan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam Ransum, terhadap Performans Puyuh Jantan (umur 2-8 minggu) telah dilaksanakan pada bulan Juni Juli 2016, di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh masyarakat terutama yang bertempat

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh I. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan banyak diternakkan di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri kepala, punggung dan sayap berwarna coklat

Lebih terperinci

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Seminar Nasional Hasil Penelitian, 2016 KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih, Mardhiyah Hayati Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh pemberian kombinasi tepung keong mas (Pomacea

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh pemberian kombinasi tepung keong mas (Pomacea 44 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pengaruh pemberian kombinasi tepung keong mas (Pomacea canaliculata) dan tepung paku air (Azolla pinnata) terfermentasi terhadap

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. November 2015 di Kandang Ayam Fakultas Peternakan dan Pertanian,

BAB III MATERI DAN METODE. November 2015 di Kandang Ayam Fakultas Peternakan dan Pertanian, 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada tanggal 16 Oktober 2015 sampai dengan 22 November 2015 di Kandang Ayam Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan usaha ternak ayam sangat ditentukan oleh penyediaan pakan yang memadai baik kuantitas maupun kualitas, karena pakan merupakan unsur utama dalam pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan kadar protein dan energi berbeda pada kambing Peranakan Etawa bunting dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober Desember 2011, bertempat di kandang C dan Laboratorium Nutrisi Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2011 di Laboratorium Lapang (Kandang B) Bagian Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

Dasar-Dasar Formulasi Ransum Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM

Dasar-Dasar Formulasi Ransum Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM Dasar-Dasar Formulasi Ransum Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM Faktor-faktor kualitatif yang perlu diperhatikan dalam menyusun ransum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Pellet Kandungan nutrien suatu pakan yang diberikan ke ternak merupakan hal penting untuk diketahui agar dapat ditentukan kebutuhan nutrien seekor ternak sesuai status

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 Januari 2017 di kandang

BAB III MATERI DAN METODE. 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 Januari 2017 di kandang 20 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh pemberian pakan dengan bahan pakan sumber protein yang berbeda terhadap performans ayam lokal persilangan pada umur 2 10 minggu dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower 22 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang digunakan adalah 60 ekor itik Cihateup betina fase grower berumur 4 bulan yang memliki simpangan baku bobot badannya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di Kandang Digesti Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, dan di Laboratorium Teknologi dan Rekayasa Pangan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan 21 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeliharaan Semiorganik Pemeliharaan hewan ternak untuk produksi pangan organik merupakan bagian yang sangat penting dari unit usaha tani organik dan harus dikelola sesuai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai dalam ransum terhadap persentase karkas, kadar lemak daging,

Lebih terperinci

PRAKTIKUM IV MENYUSUN PAKAN

PRAKTIKUM IV MENYUSUN PAKAN PRAKTIKUM IV MENYUSUN PAKAN A. Menyusun Pakan Ternak Unggas Sebagaimana diketahui dalam tata laksana usaha pemeliharaan ternak, pakan merupakan factor penting untuk mencapai hasil yang diharapkan disamping

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci