BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa"

Transkripsi

1 16 BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa Ruang angkasa telah menjadi subjek dalam banyak karya seni dan literature serta banyak menginspirasi banyak hal hal lain, dan bahkan dijadikan sebagai visual seni, drama seni, puisi, prosa dan musik. Selain literature Jules Verne tentang manusia yang melakukan penerbangan pertama ke bulan dalam From the Earth to the Moon tahun 1865 ada In Les Exilés de la Terre (Exiled from Earth) tahun 1887 oleh Paschal Grousset, perjalanan ke ruang angkasa juga menjadi inspirasi dalam film Le Voyage dans la Lune (1902) yang ditulis dan disutradarai oleh Georges Méliès, sebuah silent film Perancis yang berdasarkan novel Jules Verne From the Earth to the Moon dan the First Men in the Moon, sampai khayalan manusia untuk menjelajahi ruang angkasa pun dapat direalisasikan pada saat ini. Dengan pengaruh literatur dan seni yang mudah menginspirasi manusia untuk mengenal dan mengetahui tentang ruang angkasa walaupun manusia telah mengenal ruang angkasa tetapi tidak semua mengerti tentang pengertian dari ruang angkasa. Untuk mengetahui arti dan letak ruang angkasa harus terlebih dahulu mengetahui arti dari dirgantara atau angkasa. Mengenai dirgantara atau ruang angkasa yang menurut Ruman Sudrajat adalah :

2 17 Menunjuk suatu ruang yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang udara dan antariksa atau ruang angkasa. 13 Dari pengertian Ruman Sudrajat berarti dirgantara atau angkasa adalah merujuk ke bagian yang relatif kosong dan hampa dari jagad raya atau semesta di luar atmosfer dari benda benda angkasa celestial atau suatu ruangan atau wilayah yang terletak dimulai dari ruang udara pada permukaan bumi menuju ke atas langit yang tanpa batas (extraterrestrial). Istilah Luar Angkasa digunakan untuk membedakannya dengan ruang udara dan lokasi "terrestrial". Ruang udara adalah bagian dari atmosfer yang dapat dikontrol oleh suatu negara karena merupakan hak yurisdiksi dimana setiap negara memiliki kedaulatan mutlak atas wilayahnya untuk melakukan suatu perbuatan untuk tujuan tujuan tertentu, termasuk perairan yang teritorial atau, lebih umum, setiap bagian tiga dimensi tertentu dari atmosfer. Hal ini tidak sama dengan kedirgantaraan, yang merupakan istilah umum untuk atmosfer bumi dan luar angkasa di sekitarnya. Ruang udara adalah suatu ruangan yang berisi partikel partikel gas yang disebut udara yang dapat dihiruf untuk bernafas bagi semua makhluk di dunia ini secara alamiah. Ruang udara yang semakin ke atas maka semakin menipis gas udaranya dan sampai pada suatu tempat yang ruang udaranya kosong atau hampa, ruangan yang kosong dan hampa udaranya disebut dengan ruang angkasa. Jadi ruang angkasa adalah suatu ruang yang kosong dan hampa udara yang berada jauh diatas ruang udara permukaan bumi yang bebas 13 Ruman Sudrajat, Masalah Penggunaan Antariksa / Ruang Angkasa untuk Maksud Damai dan Kemanusiaan Ditinjau dari Hukum Dirgantara / Hukum Angkasa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional R.I., 1978, h. 4.

3 18 dari yurisdiksi dan klaim kepemilikan oleh suatu negara dan terdapat bulan dan benda benda angkasa didalamnya. E. Suherman mengartikan ruang angkasa adalah sebagai berikut : Istilah angkasa luar atau ruang angkasa, yang pada sekarang ini telah mendapat suatu arti yang lebih luas dari semula, dan dapat dipergunakan sebagai ekivalen dari istilah bahasa inggris Space atau Outer Space. Dalam pemakaian yang lazim sekarang ini, istilah ruang angkasa tidak lagi berarti ruang udara, akan tetapi mungkin ekivalen dengan istilah antariksa. Malah kalau diberi arti ruang dengan seluruh isinya, yaitu benda benda langit seperti bulan dan planet, lebih jauh lagi dari ruang angkasa dan meliputi juga ruang antar planet. 14 Memperhatikan uraian yang dijelaskan oleh Suherman dapat diartikan bahwa ruang angkasa dahulu memiliki pengertian yang sama dengan ruang udara tetapi dengan perkembangan pengertian ruang angkasa memiliki pengertian yang lebih luas dan memiliki pengertiannya sendiri yaitu suatu ruang yang seluruh isinya, yaitu benda benda langit seperti bulan dan planet dan meliputi juga ruang antar planet. Priyatna mengutip dalam Donald Cox and Michael Stoiko yang menjelaskan bahwa Cooper membagi angkasa dalam tiga bagian yurisdiksi hukum, yakni lapis troposfir yang terdapat dalam ruang udara nasional suatu Negara. Di lapis stratosfir, mesosfir dan termosfir terdapat ruang udara tambahan ( contiguous airspace ). Dan dalam lapis eksosfir terdapat ruang udara bebas. 14 Suherman. E, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Alumni, Bandung, 1984, h. 8 9.

4 19 Yang dimaksud Cooper dengan ruang bebas ini rupanya lingkungan ruang angkasa. 15 Walaupun ada pembagian lapisan lapisan tersebut di atas, pada akhirnya kita akan sampai kepada suatu ruang yang tidak bisa dibagi bagi lagi karena sifat ruangnya itu sendiri. Dan dalam ruang ini mungkin tidak terdapat lagi unsur unsur gas yang disebut udara (kosong udara). Dalam hal ini Priyatna mengkutip Jessup dan Taubenfeld yang menyatakan bahwa : Above the stratosphere is the layer generally called ionosphere, though it is sometime divided into the mesosphere and thermosphere. It extends for several hundred miles, perhaps 400 to 500 miles above the Earth. Next is the exosphere which gradually merges into interplanetary space. It is generally said to extend for to miles beyond the earth, through traces of atmospheric components as far out as miles are reported. For our purposes, it may well be that at least the exosphere should be joined with interplanetary space when speaking of Outer 16 Space. Diatas stratosfir terdapat ionosfir yang terbagi dalam mesosfir dan termosfir yang mempunyai jarak ± 100 mil atau pada ketinggian ± 400 sampai ± 500 mil dari Bumi. Selanjutnya terdapat lapis eksosfir yang dapat dikatakan sebagai ruang antar planet yang mempunyai jarak ± sampai mil dari bumi. Walaupun merupakan bagian dari atmosfir tetapi sudah sangat jauh dan mencapai jarak ± mil, yang tergabung dengan suatu ruang yang adakalanya dinamakan ruang antar planet, secara yuridis wilayah tersebut dinamakan ruang angkasa. Pepin sama sekali tidak dapat menyetujui segala macam pembagian yuridis diangkasa yang dilakukan tersebut. Alasan yang diajukan ialah bahwa 15 Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa Dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hal Supra 9, pembagian ini bertitik tolak pada hukum.

5 20 dipandang dari segi hukum kita sebaiknya memakai dan menerima kenyataan bahwa di sekeliling bumi didapati ruang atmosfir yang berisi gas udara dan di atas atmosfir terdapat ruang ( space ). Oleh karena itu dari segi hukum hanya terdapat dua jalur, pertama ruang udara yang status hukumnya telah ditentukan oleh Konvensi Chicago 1944 dan ruang yang status hukumnya belum tegas kecuali apa yang diatur oleh Space Treaty Maka untuk angkasa terdapat dua pengaturan hukum yang pokok yaitu, untuk ruang udara ialah Konvensi Chicago 1944 dan untuk ruang angkasa Space Treaty Jika kita memperhatikan pernyataan Cooper yang membagi angkasa secara tiga yurisdiksi hukum yaitu lapis troposfir, stratosfir dan eksosfir atau ruang udara, ruang angkasa dan diatas ruang angkasa, dengan pernyataan Jessup dan Taubenfeld yang hanya membagi ruang udara dan ruang angkasa sebagai pembagian secara yuridis, dalam pembagian angkasa secara yuridis saya lebih setuju dengan pendapat Jessup dan Taubenfeld yang membagi angkasa secara yuridis yaitu ruang udara dan ruang angkasa dengan alasan diatas ruang angkasa dari ruang angkasa atau eksosfir masih dalam lingkup ruang angkasa dan didukung juga dengan pendapat Pepin yang tidak menyetujui segala macam pembagian yuridis diangkasa karena itu dari segi hukum hanya terdapat dua jalur, pertama ruang udara yang status hukumnya telah ditentukan oleh Konvensi Chicago 1944 dan untuk ruang angkasa diatur dalam Space Treaty Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas pengertian dirgantara atau angkasa terdiri atas ruang udara dan ruang angkasa dimana ruang udara merupakan ruang yang terletak diatas suatu Negara, ruang daratan dan atau ruang 17 Ibid

6 21 lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi dan kedaulatan yang mutlak. Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah pisahkan dari suatu Negara, sedangkan ruang angkasa adalah ruang yang hampa udara dan teletak diatas ruang udara dimana terdapat bulan, planet dan benda benda angkasa (celestial bodies), ruang angkasa merupakan ruang yang bebas dan tidak satu pun Negara yang berhak mengklaim kepemilikan terhadap ruang angkasa karena ruang angkasa merupakan kepemilikan seluruh umat manusia (province of all mankind). Apa yang dimaksud dengan suatu negara memiliki hak yurisdiksi dan kedaulatan yang mutlak di ruang udara? Prinsip kedaulatan mutlak di ruang udara dan prinsip kebebasan di ruang angkasa E. Suherman mengemukakan : Pertama bahwa kedaulatan di ruang udara bukan berarti kedaulatan atas dasar pemilikan suatu benda secara fisik, karena yang dimiliki dalam ruang udara adalah yurisdiksi dan kontrol atas pemakaian ruang udara untuk tujuan tujuan tertentu. Kedua bahwa konvensi Chicago mengatakan bahwa sovereignty adalah absolute dan exclusive, dalam pasal 5 menentukan bahwa penerbangan berjadwal berhak terbang ke dalam atau melewati wilayah Negara lain tanpa minta izin terlebih dahulu meskipun Negara yang bersangkutan berhak untuk meminta agar pesawat tersebut melakukan pendaratan. 18 Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat kita artikan bahwa prinsip sovereignty atau kedaulatan di ruang udara tidak secara mutlak sampai pada dasar memiliki suatu benda secara fisik tetapi yang dimaksud prinsip kedaulatan di ruang udara adalah hanya kedaulatan mutlak terhadap yurisdiksi dan kontrol oleh Negara yang berdaulat tersebut atas pemakaian ruang udara untuk tujuan tujuan tertentu. 18 Suherman. E, Op.Cit, hal. 20.

7 22 Setelah mengurikan pengertian dari ruang angkasa, Diederiks Verschoor mengartikan hukum ruang angkasa sebagai berikut : Hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan Negara Negara untuk menentukan hak hak dan kewajiban kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa dan aktivitas itu demi kepentingan seluruh manusia untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan terrestrial dan non terrestrial dimanapun aktivitas itu dilakukan. 19 Charles de Visscher mengartikan hukum angkasa merupakan keseluruhan norma norma hukum yang berlaku khusus untuk penerbangan angkasa, pesawat angkasa, dan benda-benda angkasa lainnya dan ruang angkasa dalam peranannya sebagai ruang kegiatan penerbangan (angkasa). 20 Sedangkan menurut E. Suherman hukum angkasa dipakai dalam arti sempit yaitu hanya bidang hukum yang mengatur ruang angkasa dan pemanfaatannya, sebagai ekuivalen dari istilah Space Law atau Outer Space Law. 21 Dalam uraian diatas menunjukkan tujuan dibentuknya hukum angkasa adalah untuk mengatur setiap aktivitas Negara Negara dalam melakukan kegiatan di ruang angkasa maupun yang tertuju ke ruang angkasa termasuk bulan, planet dan benda benda angkasa (celestial bodies), sehingga dapat menimbulkan hak hak dan kewajiban kewajiban dari aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh Negara Negara tersebut di ruang angkasa, setiap kegiatan atau aktivitas tersebut tidak diperkenankan diluar dari upaya untuk mengeksplorasi, melindungi 19 Diederiks Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal Agus Pramono, Op.Cit., hal 65.

8 23 dan memelihara ruang angkasa demi kepentingan seluruh kehidupan umat manusia seperti yang tercantum di dalam The Outer Space Treaty Dengan pesatnya kemajuan dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang antariksa banyak Negara Negara yang telah berhasil menciptakan teknologi ruang angkasa untuk mendukung Negara tersebut dalam melaksanakan upaya eksplorasi ruang angkasa dengan melakukan peluncuran benda benda seperti roket yang dimulai dari tanpa awak sampai memiliki awak dan penempatan satelit satelit pada orbit bumi, antara lain seperti Sputnik dan Eksplorer. Terdapat deretan peristiwa kegiatan di ruang angkasa dan sekian banyak benda benda angkasa buatan manusia yang telah diluncukan ke ruang angkasa seperti satelit satelit dan roket (yang bertenaga nuklir dan non nuklir) oleh berbagai Negara yang dapat menimbulkan permasalahan tentang keberadaan benda benda tersebut di ruang angkasa dengan jumlah yang semakin meningkat tiap tahun, Priyatna dalam bukunya meninjau pengenalan masalah masalah dalam hukum angkasa yaitu bilamana kita persoalkan tata tertib hukumnya yakni sehubungan dengan : 1. Sifat dan luasnya wilayah di angkasa (ruang udara dan ruang angkasa) dimana hukum ruang angkasa berlaku dan di terapkan ; 2. Macam dan bentuk kegiatan manusia yang diatur di wilayah tersebut ;

9 24 3. Peralatan penerbangan bentuk apa ( Flight Instrumentalities ) dan alat alat penunjangnya yang menjadi objek ilmu hukum ruang angkasa. 22 Dapat kita pahami bahwa pengenalan permasalahan dalam hukum angkasa berhubungan dengan bagaimana penerapan hukum angkasa tersebut oleh setiap Negara sesuai dengan sifat dan wilayahnya di angkasa (apakah wilayah ruang udara atau ruang angkasa), permasalahan selanjutnya bagaimana bentuk kegiatan atau aktivitas manusia di wilayah tersebut apakah dapat memberikan dampak bagi ruang udara atau ruang angkasa dan apakah kegiatan yang menggunakan alat alat penunjang buatan manusia tersebut termasuk upaya untuk mengeksplorasi, melindungi dan memelihara ruang angkasa demi kepentingan seluruh kehidupan umat manusia atau sebaliknya bertentangan dengan tujuan tujuan perdamaian. Pengenalan masalah masalah dibidang hukum ini akan mempunyai tempat yang menentukan di dalam rangka penetapan dan tata tertib eksplorasi / eksploitasi (dan penggunaan) ruang angkasa, terutama bagi kepentingan kemanusiaan dan tujuan tujuan perdamaian. Akan tampak misalnya adanya ketidakseimbangan di bumi kita ini dalam hal mengingat adanya Negara Negara yang terdiri dari : 1. Negara Negara teknologi maju dalam soal keruangangkasaan ( Space Powers ) ; 2. Negara Negara berkembang ( non space powers ) letak geografis yang berbeda beda (misalnya Negara Negara khatulistiwa dan 22 Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 14.

10 25 bukan) ; kekayaan alam dan tanah yang tidak merata ; tentunya kemudian perbedaan perbedaan dalam segi lainnya. 23 Perbedaan dari negara negara Space Powers dan Non Space Powers dapat menimbulkan ketidakseimbangan di bumi karena Space Power Nations atau negara negara yang mempunyai sumber daya dengan teknologi yang maju dan modern dalam bidang keruangangkasaan memiliki kemampuan lebih besar dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang angkasa dibanding negara negara berkembang atau Non Space Powers sehingga pada akhirnya aktivitas dan kegiatan dalam penggunaan ruang angkasa mereka hanya dalam rangka memenuhi kepentingan dari Negara Negara yang bersangkutan bukan lagi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Pada abad Space Age ini faktanya hanya beberapa Negara di dunia yang dapat melaksanakan misi investigasi terhadap ruang angkasa sehingga memicu perlombaan di ruang angkasa (space race) bagi negara negara space powers yang bersangkutan untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam penjelajahan dan penyelidikan di ruang angkasa, tidak terkontrolnya kegiatan dan aktivitas di ruang angkasa dimulai dari peluncuran roket roket yang tidak berawak seperti Sputnik sampai yang berawak dan penempatan satelit satelit pada orbit bumi oleh Negara space powers sehingga terjadi penumpukan benda benda angkasa buatan manusia di ruang angkasa dan bahkan dapat menjadi suatu pecahan debris (sampah angkasa). Ruman Sudrajat mengemukakan tentang batas maksimal penempatan satelit satelit di orbit bumi : 23 Ibid, hal. 16.

11 26 Kini Negara Negara sedang memperbincangkan masalah penempatan satelit di orbit bumi, karena orbit bumi dapat ditempati satelit sebanyak 180 buah. Sehingga timbul kekuatiran Negara Negara berkembang dan Negara Negara belum maju tidak dapat menempatkan satelitnya di kemudian hari. 24 dapat kita artikan apabila penempatan satelit di orbit bumi tidak dapat di kontrol maka dapat terjadi penumpukan benda benda buatan manusia di orbit bumi sehingga ditetapkanlah batas maksimal untuk penempatan satelit satelit tersebut, tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang keruangangkasaan yang semakin ultramodern dapat diprediksikan jumlah penambahan satelit satelit dan roket roket tersebut di ruang angkasa akan semakin progresif. Dengan semakin modernnya teknologi di bidang keruangangkasaan diperlukan suatu perangkat dan aturan yang dapat mengontrol dan mengatur Negara Negara space powers dalam penggunaaan ruang angkasa ketika melakukan peluncuran benda benda angkasa buatan manusia tersebut, jika tidak dibatasi dengan aturan atau hukum dapat diprediksikan akan terjadi suatu tragedi yang akan mempengaruhi kehidupan umat manusia, diperlukan suatu peraturan yang menyesuaikan perkembangan teknologi keruangangkasaan, peraturan yang bergerak secara dinamis mengikuti kemajuan teknologi ruang angkasa. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa angkasa atau dirgantara menunjuk pada suatu ruang yang terdiri atas dua ruang yaitu ruang udara dan ruang angkasa atau antariksa, ruang udara merupakan ruang yang memiliki partikel partikel gas atau udara yang dapat dihirup untuk bernafas sedangkan ruang angkasa adalah ruang hampa udara yang bebas dan tidak bertuan dimana 24 Ruman Sudrajat, Op.Cit., hal. 5.

12 27 terdapat bulan, planet dan benda benda angkasa didalamnya, tidak satupun Negara berhak mengklaim terhadap kedaulatan dan kepemilikan ruang angkasa, karena itu seluruh Negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi dan menjaga ruang angkasa karena ruang angkasa adalah wujud dari warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) sehingga seluruh negara dalam pemanfaatan, eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa harus dengan tujuan damai dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Dalam pemanfaatan ruang angkasa dibutuhkan suatu peraturan yang menyesuaikan dengan semakin meningkatnya ilmu pengetahuan di bidang keruangkasaan sehingga dapat mengkontrol benda benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa, yaitu suatu sarana dan prasarana hukum yang dapat mengkontrol segala aktivitas dan kegiatan manusia dalam melakukan pemanfaatan ruang angkasa di zaman yang semakin ultramodern ini. B. Delimitasi Ruang Angkasa Ruang merupakan dasar untuk menentukan sesuatu sistem hukum. Sehubungan dengan ini ruang angkasa merupakan jenis ruang yang baru dikenal dan yang paling menonjol ialah luas yang pada kenyataannya melampaui segala ukuran yang ada di dalam suatu kerangka hukum dan hubungan fisiknya dengan bumi kita. 25 Sehubungan dengan angkasa, dalam hukum Romawi dikenal dalil yang sampai hari ini mempunyai pengaruh yang besar di dalam kehidupan kita, yakni yang berbunyi Cuius est solum eius est uesque ad coelum. Prinsip yang diwariskan oleh hukum Romawi ini telah diterima oleh Hukum Angkasa dan 25 Priyatna Abdurrasyid, supra note 18, hal 30.

13 28 dipakai menurut kebutuhan manusia akan suatu pengaturan di ruang angkasa yang selama ini tidak pernah dihiraukan oleh negara negara, terutama sampai jarak ketinggian berapa negara itu dapat melaksanakan kedaulatannya. 26 Yehuda Abramovitch mengutarakan dalam McGill Law Journal tentang The Maxim 'Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum' is a presumption rebuttable by circumstances : Centuries ago, before mankind thought of the flying machine the Latin maxim was coined, "cujus est solum ejus usque ad coelum". This rule means: "Whose is the soil, his it is up to the sky', or in a more simple explanation "He who possesses the land possesses also that which is above it". Other elucidations are: "He who owns the soil owns everything above (and below) from heaven (to hell)",' and "He who owns the land owns 27 up to the sky ". Berabad yang lalu, sebelum umat manusia berfikir tentang mesin terbang pepatah latin menciptakan "cujus est solum ejus usque ad coelum". Peraturan ini berarti : Siapa yang memiliki tanah, terserahnya sampai ke langit, atau penjelasan lebih mudah Dia yang menguasai tanah menguasai juga yang diatasnya. Penjelasan yang lain : Dia yang memiliki tanah memiliki segalanya diatas (dan dibawah) dari surga ke neraka. dan Dia yang memiliki tanah memiliki sampai ke langit. Dengan semakin meningkatnya peluncuran satelit dan roket roket buatan manusia, sekarang persoalan tentang ketinggian hak negara ini menjadi hangat kembali, apakah suatu negara yang memiliki kedaulautan mutlak atas yurisdiksi hukum dan kontrol atas negara dibawahnya berarti memiliki hak dan kepemilikan di atasnya juga seperti ruang angkasa? Jika benar demikian akan ganjil kedengarannya apabila penguasa pulau Christmas menuntut kekuasaan atas lautan 26 Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal Yehuda Abramovitch, The Maxim Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum as Applied In Aviation, McGill Law Journall, Vol. 8, 1961, hal. 247.

14 29 Hindia misalnya. 28 Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim terhadap batas batas kedaulatan suatu negara atas ruang angkasa, permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca Perang Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih luas, yakni ruang angkasa (outer space). Dalam Article II Space Treaty 1967 ditegaskan bahwa : Outer Space, Including the moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use 29 or occupation, or by any other means. Menetapkan bahwa ruang angkasa, termasuk bulan dan benda benda di langit lainnya tidak boleh dijadikan obyek pemilikan nasional dengan klaim kedaulatan, dengan cara penggunaan atau pendudukan atau dengan cara lain. Demikian negara negara dicegah untuk meluaskan wilayahnya di sana. Pengaturan yang bersangkutan dengan tegas menggunakan dua istilah yakni pemakaian ( Use ) dan pendudukan ( Occupation ). Yang pertama sekali penggunaan atau Use dari ruang angkasa tidak berarti memberikan suatu negara dapat menyatakan kepemilikan terhadap ruang angkasa, penggunaan dari ruang angkasa seperti peluncuran benda benda buatan manusia ke ruang angkasa tersebut hanya bentuk dari pelaksanaan kedaulatan karena penggunaan atau use tersebut dilaksanakan dalam menjalankan kekuasaan dan dilakukan dengan tujuan damai, sehingga peluncuran benda benda buatan ke ruang angkasa yang dilakukan setiap negara jika dilakukan 28 Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal Outer Space Treaty 1967, Treaty on Principles Governing the Activity in the Exploration and Use for Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies.

15 30 dengan tujuan damai maka tidak merupakan bentuk penguasaan ruang angkasa dan merupakan bagian kedaulatannya. 30 Istilah selanjutnya Occupation atau Pendudukan di masa lampau sering dianggap sebagai suatu usaha agresif. Oleh karena itu lebih baik kita tidak lagi mempersoalkan teori mengenai pemakaian dan pendudukan ini, karena tidak dapat dibenarkan untuk menciptakan kedaulatan negara negara dalam soal ruang angkasa, bulan, dan benda benda langit lainnya. Dengan demikian kita sepakati bahwa keadaan yang demikian tidak boleh dan selanjutnya tidak membenarkan juga pemilikan dengan cara cara lain ( any other means ). Apa yang dimaksud dengan cara cara lain ini? Misalnya cara yang paling tua yaitu penemuan yang bersumber kepada res nullius yang oleh Hukum Internasional tidak lagi dianggap mutlak dan telah dikurangi artinya. 31 Hal ini berlaku didalam usaha usaha eksplorasi ruang angkasa, ketika telah berhasil dilakukannya suatu penemuan dalam eksplorasi ruang angkasa yang dilakukan oleh suatu negara tidak berarti benda benda angkasa yang ditemukan menjadi milik negara yang melakukan usaha penemuan tersebut, ruang angkasa tidak bisa dijadikan suatu objek pemilikian merupakan peraturan esensial yang telah ditegaskan didalam Space Treaty 1967 karena ruang angkasa, termasuk bulan dan benda benda langit lainnya bebas untuk dijadikan obyek penyelidikan dan pemakaian hanya untuk tujuan tujuan damai oleh setiap negara tanpa perbedaan dalam bentuk apapun dan berdasarkan persamaan derajat tanpa adanya diskriminasi. 30 Priyatna Abdurrasyid, Loc.Cit. 31 Ibid.

16 31 Kesimpulannya bahwa ruang angkasa, bulan, planet dan benda benda langit didalamnya yang secara eksplisit didalam Space Treaty 1967 tidak dapat menjadi obyek kepemilikan nasional setiap negara karena tuntutan kedaulatan negara dengan cara apapun. Bahwa ditinjau dari susunan hak dan kewajiban negara negara dan masyarakat internasional, baik yang tertulis didalam perjanjian maupun yang tidak, dengan keluar atau tidak ikut sertanya negara dalam suatu perjanjian internasional, ia tidak akan mempunyai kebebasan untuk bertindak ataupun melaksanakan kedaulatannya di ruang angkasa. 32 Pengaturan yang tidak membenarkan melakukan pemilikan nasional ( national appropriation ) terhadap ruang angkasa dan benda benda langit lainnya merupakan perkembangan baru di dalam pengaturan hak milik. Pengaturan Space Treaty 1967 mencegah negara negara untuk menciptakan hubungan hubungan pemilikan dengan ruang ini. Hak punya adalah istilah hukum yang menunjukkan akibat dari pemilikan, dalam mana tercakup pengertian bahwa pemilik mempunyai hak penuh untuk memakai ataupun menyingkirkan sesuatu benda dan selanjutnya meniadakan pihak pihak lain untuk berbuat sesuatu terhadap benda tersebut tanpa hak. Masalah hak milik atas benda benda yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan soal yang berlainan dengan hak milik biasa. Yang kita harus perhatikan disini ialah masalah masalah alamiah. Di ruang angkasa negara negara tidak diperkenankan untuk mempunyai hak hak khusus yang akan mengakibatkan yang lainnya tidak dapat mendapat hak hak yang sama Ibid. 33 Ibid.

17 32 Dari yang diutarakan diatas maka kebebasan yang dimiliki setiap negara dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dengan tujuan damai tidak menjadikan setiap negara dapat melakukan pemilikan nasional terhadap benda benda angkasa yang telah ditegaskan dalam Outer Space Treaty 1967, karena hak milik dalam istilah hukum memiliki arti bahwa suatu negara yang memiliki hak milik terhadap suatu benda benda angkasa tersebut dapat melakukan apapun terhadap benda benda angkasa yang dimilikinya baik menggunakannya ataupun meniadakannya, dan dengan hak milik tersebut negara lain tidak memiliki hak terhadap benda benda angkasa yang dimiliki oleh negara itu. Jika hal tersebut dilakukan oleh suatu negara maka negara tersebut telah melanggar ketentuan yang telah dideklarasikan dalam Outer Space Treaty 1967 seperti ketentuan untuk tidak mengadakan perbedaan karena setiap negara memiliki persamaan hak dan derajat dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dengan tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Walaupun sampai sekarang baru beberapa negara saja yang mampu menjelajahi ruang angkasa dan menciptakan benda benda ruang angkasa buatan yang dapat diluncurkan ke ruang angkasa tetapi dengan adanya ketentuan dari hukum ruang angkasa tersebut adalah berfungsi untuk memberikan batas batas kebebasan negara negara diruang angkasa dan meniadakan hal hal yang akan mempengaruhi persamaan hak dan derajat setiap negara di ruang angkasa yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang karena hak hak negara selain negara yang telah mampu melakukan kegiatan di ruang angkasa dapat terus terjamin.

18 33 Menyinggung apa yang dimaksud dengan other celestial bodies di dalam ( Outer Space Treaty 1967 ) atau benda benda langit lainnya itu? Apakah nama benda benda langit lainnya yang dimaksud dalam hukum ruang angkasa meliputi semua benda benda di ruang angkasa? Priyatna mengutarakan : Pada permulaan pembuatan hukum telah diusulkan agar kepada benda benda tersebut diberikan status yang berlainan dari ruang angkasa itu sendiri, yaitu bahwa mereka dapat memiliki terra nullius dan mengakui kedaulatan atas mereka. 34 Dapat kita artikan bahwa saat awal pembuatan hukum sebelum dinamakan dengan benda benda angkasa terjadi adanya usulan untuk memberikan status kepada benda benda angkasa yang terbagi dengan banyaknya jenis dan ukuran dari terbesar hingga terkecil dari benda benda angkasa tersebut. Priyatna melanjutkan : Tingkat pengetahuan manusia belum sampai pada tingkat yang dapat membedakan besar kecilnya benda tersebut dan mencarikan dasar untuk penyusunan definisi hukum dan teknis. Pada tingkat sekarang istilah benda benda langit sebagaimana yang dipergunakan oleh pengaturan yang bersangkutan sebaiknya dipandang saja sebagai sebutan umum untuk semua isi ruang angkasa. 35 Karena keterbatasan pada masa itu yang berbeda dengan betapa modernnya tingkat imu pengetahuan di bidang keruangangkasaan pada masa ini sehingga kekompleksan yang terjadi dalam membedakan ukuran dan jenis benda benda 34 Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal Ibid., hal. 35.

19 34 ruang angkasa menjadikan istilah benda benda di langit yang secara umum yang merepresentatif benda benda di ruang angkasa yang tidak dapat diketahui. Sebagai masalah yang juga penting artinya bagi adanya sistem hukum ini adalah persoalan perbatasan ruang angkasa. Setelah dijelaskan bahwa ruang angkasa merupakan suatu wilayah yang mempunyai sistem hukum khusus, kini timbul pertanyaan apakah perlu ditetapkan atau dimanakah perbatasan ruang angkasa itu. Lachs mengetengahkan bahwa ada dua jenis perbatasan yang ada, yaitu perbatasan luar dan perbatasan dalam. 36 Yang pertama memang sangatlah sulit untuk ditentukan karena tidak satupun pengetahuan yang mengetahui tentang perbatasan luar ruang angkasa yang begitu luasnya dan tidak berbatas, tetapi bagaimana dengan perbatasan dalam? ternyata masalah ini sudah mulai dipersoalkan pada tahun 1959 pada waktu tahap pertama Hukum Ruang Angkasa mulai akan disusun. Priyatna mengemukakan hukum belum melihat kegunaan adanya perbatasan antara ruang udara dengan ruang angkasa. Dimanapun perbatasan itu kelak ditetapkan, setiap benda yang melakukan perjalanan dari bumi ke ruang angkasa atau sebaliknya perlu melewati ruang udara. Kegiatan ini tidak akan menimbulkan kesulitan untuk penerapan Hukum Angkasa jika penerbangan itu dilakukan hanya di dalam perbatasan negara dari mana pesawat itu diluncurkan atau di atas lautan bebas. Kesulitan kesulitan itu baru akan timbul jika benda ruang angkasa itu memasuki daerah ruang udara negara lain. Dalam hubungan ini kiranya ada gunanya untuk meneliti kembali kejadian kejadian yang lampau yang mungkin dapat ditarik kesimpulan dan memang merupakan kenyataan bahwa negara negara yang 36 Ibid., hal. 37. Priyatna mengutip Sidang ke XV Legal Sub Committee on the Peaceful Uses of Outer Space, Geneve, 3 28 Mei 1976.

20 35 melakukan kegiatan di ruang angkasa hanya memberitahu secara umum tentang peluncuran benda benda ruang angkasa tadi. Dan sama sekali tidak memberitahukan negara negara yang ruang udaranya mungkin akan dilaluinya. 37 Selanjutnya mereka tidak pernah minta izin terlebih dahulu dari negara yang ruang udaranya mungkin dilalui. Negara negara yang dilalui oleh benda benda terbang itu sebegitu jauh tidak pernah mengajukan keberatan terhadap kegiatan itu atau mencoba mencegah atau membatasi penerbangan penerbangan benda benda tadi, atau mempergunakan hak mereka dan menuntut agar di waktu waktu mendatang diperlukan izin terlebih dahulu. 38 Dari yang telah diuraikan Priyatna diatas apabila kegiatan peluncuran benda benda ruang angkasa buatan manusia tersebut dapat dilakukan di wilayah yurisdiksi negara peluncur maka tidak akan timbul permasalahan tetapi apabila peluncuran tersebut mengenai wilayah kedaulatan negara lain negara tersebut tidak mengajukan keberatan terhadap kegiatan peluncuran benda benda angkasa buatan negara peluncur dan telah berlangsung bahkan pada waktu sebelum adanya perangkat hukum untuk ruang angkasa dan sampai pada saat ini dimana telah adanya sistem hukum tertulis tentang ruang angkasa. Negara yang dilewati wilayah kedaulatannya tidak mengajukan keberatan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh negara peluncur dan kegiatan tersebut tetap berlangsung walaupun sudah terjadi banyak benda benda angkasa buatan yang diluncurkan melalui ruang udara negara tersebut. Dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa sebuah persetujuan secara diam diam telah tercipta, dalam arti bahwa negara negara yang meluncurkan 37 Ibid., hal Ibid.

21 36 merasa bahwa kegiatan kegiatan mereka tidak pernah melanggar hak hak kedaulatan negara negara lain dan selanjutnya negara negara yang dilewati itu juga tidak merasa bahwa kedaulatan mereka itu dilanggar. Dalam hubungan ini kiranya kita dapat mulai menarik kesimpulan telah diterimanya sebuah hukum yang tidak tertulis yang telah tercipta secara lambat laun. 39 Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa hak lintas damai yang dimiliki oleh negara peluncur untuk melalui suatu wilayah kedaulatan negara lain harus diterima selama kegiatan itu ditujukan untuk tujuan damai dan tidak bertentangan dengan hak hak negara yang dilalui tersebut dan prinsip prinsip hukum ruang angkasa atau hukum internasional. Hasil dari penyelidikan dan pemakaian ruang angkasa dan benda benda langit oleh negara yang memiliki sumber daya teknologi keruangangkasaan dilaksanakan untuk keuntungan dan kepentingan semua negara, sehingga negara negara yang belum mampu menjelajahi ruang angkasa memberikan hak lintas damai bagi negara negara peluncur untuk dapat melalui wilayah kedaulatan mereka. Kebebasan untuk melintasi dengan maksud damai pada prinsipnya harus diberikan kepada semua negara tanpa diskriminasi tapi tidak tertutup kemungkinan negara yang dilintasi mengajukan keberatan apabila pelintasan benda benda buatan ruang angkasa yang akan diluncurkan ataupun kegiatan ruang angkasa tersebut bertentangan dengan kedaulatan negara yang akan dilalui atau hukum ruang angkasa. 39 Ibid.

22 37 C. Pembentukan The Outer Space Treaty 1967 dan Prinsip Yang Terkandung di Dalamnya. Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan SPUTNIK I pada tanggal 4 Oktober 1957 dan suksesnya Amerika Serikat mendaratkan Apollo 11 di Bulan pada tanggal 20 Juli 1969, manusia telah beralih pada dimensi yang lebih spektakuler yakni dimensi pemanfaatan ruang angkasa. Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa oleh berbagai negara itu, terutama oleh kedua Space Powers yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi penerbangan di ruang angkasa. 40 Penjelajahan ruang angkasa kian hari kian ditingkatkan disebabkan adanya keinginan dan desakan hati manusia untuk meneliti hal hal yang belum diketahui dan mencari jalan untuk lebih meningkatkan martabat nasional dengan cara menyempurnakan ilmu pengetahuan dan teknologi keruangangkasaan (prestise). Segala usaha telah ditujukan kepada pengamatan dan percobaan ilmiah yang dapat memperkaya pengetahuan kita tentang Bumi, Tata Surya dan Alam Semesta. 41 Permasalahan yang muncul berkenaan dengan usaha pemanfaatan ruang angkasa, khususnya di bidang hukum internasional telah disadari secara dini sejak keberhasilan Uni Soviet dalam peluncuran satelit Sputnik I yang sukses itu. Bahwa keberhasilan itu akan menimbulkan berbagai perkembangan di bidang 40 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Sebagai Pengantar), Jakarta, Pradnya Paramita, 1996, hal Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal. 44.

23 38 hukum internasional, akhirnya muncullah suatu bidang hukum internasional yang relatif masih baru yakni Hukum Ruang Angkasa. 42 Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama pada hukum internasional dan kerja sama internasional. Oleh karena itu, peran hukum internasional sangat menentukan, di mana hukum internasional yang telah ada dan yang berlaku dicoba diterapkan pada bagian bagian yang masih kurang atau belum diatur mengenai kepentingan kepentingan pihak pihak yang saling berhubungan. 43 Pembentukan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa pada saat ini dikenal dengan sebutan Hukum Ruang Angkasa ditandai dengan pengajuan serentetan Resolusi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa. Resolusi tersebut meliputi petunjuk petunjuk dan cara cara meningkatkan kerja sama internasional dalam bidang keruangangkasaan serta penerapan prinsip prinsip dasar tentang peraturannya. 44 Pada tanggal 13 Desember 1958 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa melalui resolusi 1348 (XIII) membentuk sebuah Komite sementara yakni Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space. 45 Komite ini mempunyai tugas untuk menyelidiki masalah masalah di bidang hukum yang timbul di dalam usaha penyelidikan ruang angkasa. Ad Hoc Committee sebagai bagian dari Legal Sub Committee, melakukan pertemuan untuk pertama kalianya pada tahun 1959 dan akhirnya menghasilkan sebuah laporan. Ada enam masalah yang diutamakan, yaitu : 42 Juajir Sumardi, Op.Cit., hal Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal Juajir Sumardi, Ibid., hal UNGA Resolution 1348 (XIII) December 13, 1958.

24 39 1. The extent to which there was established a general rule, through the practice of States in the satellite programs of the International Geophysical Year, that within the context of strictly peaceful Uses Outer space is freely available for exploration and use by all in accordance with existing of future international law or agreements ; 2. The problem of liability for injury or damage caused by space vehicles; 3. The problem of allocation of radio frequencies to space vehicles; 4. The avoidance of interference between space vehicles and aircraft; 5. The identifications and registration of space vehicles and the coordination of launching; and 6. The problems associated with the reentry and landing of space vehicles. Jelas dinyatakan bahwa ruang angkasa bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh semua negara. Tercantum didalamnya misalnya masalah kewajiban pertanggungjawab atas kelalaian atau kerusakan kerusakan yang diakibatkan oleh pesawat ruang angkasa dan kendaraan ruang angkasa, masalah alokasi frekuensi radio untuk kendaraan ruang angkasa, juga penghindaran gangguan antara kendaraan ruang angkasa dan pesawat terbang, juga identifikasi, registrasi dan klasifikasi pesawat ruang angkasa dan kordinasi peluncuran kendaraan ruang angkasa dan masalah yang terkait dengan masuk kembali dan pendaratan kendaraan ruang angkasa. 46 Dalam tahun 1959 The American Bar Association mencetuskan sebuah resolusi yang berkata bahwa demi kepentingan bersama umat manusia, benda benda di langit ( celestial bodies ) tidak dapat dijadikan obyek pemilikan. 47 Masalah yang utama dihadapi oleh Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space juga masalah seandainya negara negara melakukan tuntutan ( Claim ) atas seluruh atau sebagian benda benda di langit lainnya. 46 Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit., hal Ibid., hal. 45.

25 40 Pada ketika itu Amerika Serikat mengusulkan agar benda benda di langit lainnya tidak bisa dijadikan obyek pemilikan siapapun (kedaulatan). 48 Beberapa waktu setelah terbentuknya Ad Hoc Committee Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa membentuk suatu Komite yaitu Committee on the Peaceful Uses of Outer Space. 49 Tugas komite ialah mempelajari dan menelaah masalah masalah hukum yang timbul di masa mendatang, sebagai akibat adanya eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa. Kemudian komite telah mengajukan konsep resolusi Amerika Serikat dan yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Desember 1961 dengan suara bulat. Resolusi ini mempersoalkan masalah tentang kerjasama internasional dalam rangka penggunaan ruang angkasa untuk maksud maksud damai ( International cooperation on the Peaceful Uses of Outer Space ). Dikemukakan dua prinsip sebagai pedoman yang dapat dipakai oleh negara negara dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa, yaitu : 1. International law, including the Charter of the United Nations, applies to outer space and celestial bodies ; 2. Outer Space and celestial bodies are free for exploration and use by all states in conformity with international law and are not subject to national appropriation. 50 Kedua prinsip di atas menjadi bahan pembahasan dalam sidang pertama Legal Sub Committee tahun 1962 dan sidang kedua pada tahun Pada sidang pertama di Jenewa telah dibahas masalah usul Amerika Serikat dan usul Uni Soviet. 51 Usul Amerika Serikat tersebut mempersoalkan masalah pertolongan, pengembalian para awak dan pesawat ruang angkasa, serta masalah 48 Ibid. 49 Ibid., hal Ibid. 51 Supra 5

26 41 pertanggunganjawab atas kerugian kerugian yang diakibatkan oleh pesawat ruang angkasa ( subjects of liability for space vehicles accidents ). Usul Uni Soviet adalah Proposed Declaration of Basic Principles Use of Outer Space. Kemudian pada pertemuan di New York bulan September 1962, Komite menyerahkan masalah usul Amerika Serikat dan Uni Soviet tersebut kepada pertimbangan Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dan setelah diberi pertimbangan diserahkan kembali kepada komite pada tanggal 14 Desember 1962, dengan resolusi 1802 (XVII). 52 Sebuah masalah yang penting dan terus diperbincangkan ialah masalah larangan menempatkan senjata senjata yang mempunyai daya rusak masal di orbit, di stasiun dan di benda benda angkasa. 53 Masalah ini dibicarakan sejak tahun 1963 dan akhirnya disetujui dengan aklamasi oleh Majelis Umum pada tanggal 17 Oktober 1963 setelah dijadikan usul gabungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yakni Treaty Banning nuclear weapons Test in atmosphere, in Outer Space and Under Water, dengan resolusi 1884 (XVIII). Dan selanjutnya terhadap ketentuan resolusi 1962 (XVIII) mengenai Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, yang mendapat kata sepakat dengan suara bulat pada tanggal 13 Desember 1963, dengan ketentuan ketentuan utama yang terdapat dalam paragraph 2 dan 3, yakni : Outer space and celestial bodies are free for exploration and use by all States on a basis of equality and in accordance with international law. 52 Ibid., hal Article IV of Outer Space Treaty Ibid., hal. 47

27 42 3. Outer space and celestial bodies are not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any other means. Deklarasi No ini, walaupun merupakan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai suatu Treaty dan hanya mencerminkan adanya pengertian internasional yang sepatutnya dianut oleh negara negara yang menyangkut masalah eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dan benda benda di langit lainnya. 55 Sidang sidang berikutnya dilakukan pada tahun 1964 dan tahun 1965, pada sidang sidang keempat dibicarakan mengenai masalah pertolongan dan pengembalian para astronot dan benda benda buatan di ruang angkasa serta pertanggungjawab terhadap kerusakan kerusakan yang disebabkan oleh pesawat ruang angkasa. Pada sidang kelima tahun 1965 dihasilkan resolusi Majelis Umum tertanggal 21 Desember 1965, yaitu resolusi 2130 (XX) yang menyangkut prinsip prinsip prinsip hukum yang menguasai kegiatan negara di ruang angkasa. 56 Pada sidang kelima ini, Legal Sub Committee mempertimbangkan suatu konsep konvensi mengenai eksplorasi dan pemakaian ruang angkasa dan benda benda di langit lainnya, 57 yang dijadikan masalah untuk segera dijadikan perjanjian internasional. Dinyatakan bahwa ruang angkasa, bulan dan benda benda langit lainnya bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh semua negara. Tidak satupun negara diperbolehkan menuntut kedaulatan terhadapnya. Ruang angkasa, bulan dan benda benda di langit lainnya bebas untuk penelitian ilmu pengetahuan oleh semua negara, sendiri sendiri atau bersama sama dapat 55 Ibid. 56 Ibid., hal Supra 2

28 43 melakukan penelitian ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ruang angkasa. Harus dihindarkan pencemaran lingkungan dan penularan penyakit. Para astronot semua negara harus saling tolong menolong kalau diperlukan. Tidak diperbolehkan menempatkan senjata senjata yang mempunyai daya rusak masal di stasiun ruang angkasa dan di benda benda langit lainnya. Dilarang melakukan segala macam gerakan militer dan percobaan senjata senjata. 58 Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1966, atas usul Amerika Serikat dan Uni Soviet diajukan konsep Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, the moon and other celestial bodies. Maka dengan aklamasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tertanggal 9 Desember 1966 telah menerima sebuah Treaty dalam Resolusi Majelis Umum no. 222 (XXI) dan ditanda tangani di Washington, London, Moskow pada tanggal 27 Januari Sebanyak 60 negara menanda tangani Treaty tersebut termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet dan Kerajaan Inggris. Space Treaty 1967 mengatur status ruang angkasa, bulan dan benda benda di langit lainnya, serta mengatur usaha usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa dan sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban negara negara. 60 Space Treaty 1967 inilah yang merupakan hukum dasar bagi penciptaan hukum hukum dalam masalah aktivitas manusia di ruang angkasa termasuk Bulan dan benda benda langit lainnya, atas dasar prinsip prinsip yang terkandung di dalam Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini Perserikatan Bangsa 58 Priyatna Abdurrasyid, Ibid., hal Ibid. 60 Ibid.

29 44 Bangsa melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Tujuan Damainya (United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space yang disingkat UN-COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa, yaitu : a. Agreement on the Rescue of Astronauts, the return of Astronauts and the return of Objects launched into Outer Space, yang ditanda tangani di London, Moscow dan Washington pada tanggal 22 April b. Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects, yang ditandatangani pada tanggal 28 Maret c. Convention concerning the registration of Objects Launched into Space for Exploration or Use of Outer Space, tahun 1957, dan d. Moon Agreement tahun Keseluruhan dari perjanjian hukum internasional mengenai aktivitas di ruang angkasa tersebut di atas merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip prinsip hukum dan kerja sama internasional dalam rangka melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Dengan lahirnya The Outer Space Treaty, maka turut lahirlah suatu hukum pertama dan satu satunya dimasa itu, yang mengatur mengenai ruang angkasa. kalau dibaca dan diteliti kembali isi dari resolusi resolusi terdahulu yang membahas mengenai ruang angkasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yang mendahului Outer Space Treaty 1967, maka akan jelas bahwa pada hakikatnya isi treaty ini hanya mengukuhkan prinsip prinsip tersebut di dalam suatu perjanjian internasional publik. Namun, terlepas daripada itu, dengan adanya kehadiran Outer Space Treaty 1967 memberikan suatu kekuatan hukum yang lebih kuat apabila dibandingkan dengan resolusi resolusi sebelumnya, mengingat memiliki bentuk sebagai Treaty, terlebih dengan fakta bahwa terdapat 61 Ibid., hal

30 negara yang menandatanganinya dan hanya terdapat 26 negara yang belum melakukan ratifikasi. Space Treaty 1967 yang secara lengkap disebut Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and the other Celestial Bodies, adalah suatu Treaty yang dijadikan dasar utama dalam usaha pemanfaatan sumber daya ruang angkasa. Dengan treaty ini memberikan kesempatan bagi negara negara untuk dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di ruang angkasa, bulan beserta benda benda langit lainnya. 62 Jika dikaji lebih dalam, maka Space Treaty 1967 yang menjadi dasar utama mengenai kegiatan di ruang angkasa itu tampaknya hanya membatasi diri pada prinsip prinsip saja. Namun prinsip prinsip itu merupakan norma umum yang mengatur penggunaan ruang angkasa, Bulan dan benda langit lainnya, terutama penggunaan tersebut adalah penggunaan yang mengarah pada tujuan / maksud damai saja. 63 The Outer Space Treaty 1967 memiliki 27 pasal dimana di dalam tersebar 10 prinsip prinsip yang bersifat umum serta mengikat terhadap segala aktivitas manusia di ruang angkasa dan berintikan pada Peaceful Purposes. Juajir Sumardi mengutip Mieke Komar Kantaatmadja, mayoritas negara negara peserta Outer Space Treaty 1967 menganut basic principles yang mengikat seluruh kegiatan manusia di ruang angkasa dan ada pula yang memberikan penamaan terhadap treaty ini sebagai Mother Treaty. Dengan kesan ikut serta perjanjian dalam perjanjian internasional tentang ruang angkasa, tidak terlepas dari kewajiban turut 62 Ibid., hal Ibid.

31 46 serta dan menerima serta menjunjung semua prinsip prinsip yang termuat dalam Outer Space Treaty Pada kesempatan lain pernah diucapkan oleh ahli ahli hukum internasional yang menamakan prinsip prinsip Outer Space Treaty 1967 sebagai ketentuan ketentuan Jus Cogens yang berlaku untuk ruang angkasa. 64 Almond dalam tulisannya General Principles of Law : An Appraisal of The Correspondence of Principles Relating to The High Seas to Outer Space yang dikutip oleh Juajir Sumardi, mengemukakan apa yang dimaksud dengan prinsip prinsip hukum umum kegiatan di ruang angkasa sebagai berikut : The General Principles of International Law are generally used with respect to the activities of states or their relations wherever they interact with each other (e.g. renunciation of force) or they maybe identified with a given area, such as the high seas, or outer space. They key element in such principles is that they embody the claims process of states, and that this process of claims process this process of claims and counterclaims, of reaching mutual tolerances, turns out to be the process by which states establish that decision flow amongst themselves identified as law. In, short, the principles as mentioned above are policy oriented and they embody the expectation that the processes of developing law, dynamic in nature, will continue among states seeking to establish shared legal orders. Selanjutnya Almond mengadakan beberapa kategori dari prinsip prinsip yang termuat dalam Outer Space Treaty 1967 sebagai berikut : The principles as codified by the drafsmen for outer space include several categories. One major category relates to peaceful activities and peaceful purposes in outer space, and will be fulfilled through mutual respect among states with respect to differing enterprisory objectivies in space. Outer space principles relatingto peaceful activities include those declaring that exploration and use of outer space will be the province of all mankind, that equal access to space will be established ; that reporting about harmful activities and harmful substances be undertaken ; that the environtment of space be protected ; that third parties not be subject to unnecessary harm or injury from space activities, and will be afforded Ibid., hal Ibid.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati. TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN BENDA ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Waode Zessica Harta Setiati Dosen Pembimbing I Agus Pramono, Dosen Pembimbing II Soekotjo

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN. KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN Oleh Dani Adi Wicaksana Ida Bagus Wyasa Putra Made Maharta Yasa Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON THE RESCUE OF ASTRONAUTS, THE RETURN OF ASTRONAUTS AND THE RETURN OF OBJECTS LAUNCHED INTO OUTER SPACE (PERSETUJUAN

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa saja

Lebih terperinci

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum Latar Belakang Hukum hadir tentunya dengan memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori campuran mengemukakan bahwa hukum hadir untuk menemukan suatu keseimbangan antara individu dan masyarakat, kesamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap Negara mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mewujudkan tujuan nasionalnya. Oleh karena itu, dunia kini dihadapkan dengan berbagai pertentangan kepentingan

Lebih terperinci

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21

Lebih terperinci

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 SILABUS Mata Kuliah : Hukum Udara dan Ruang Angkasa Kode Mata Kuliah : HKIn 2086 SKS : 2 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi ruang angkasa pada masa sekarang telah bergerak cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat ruang angkasa

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah. Kedaulatan. Negara. Pengertian Kedaualatan: tertentu dibatasi oleh batas-batas. wilayah. wilayahnya.

Kedaulatan Wilayah. Kedaulatan. Negara. Pengertian Kedaualatan: tertentu dibatasi oleh batas-batas. wilayah. wilayahnya. Kedaulatan Negara Kedaulatan Wilayah Berasal dari kata : souvereignty (Inggris) superanus (Latin) Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). 8 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA E.... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional.

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Kegiatan Pertambangan di Bulan dan Benda Langit Lainnya menurut The Agreement Governing the Activities of States on The Moon and Other Celestial Bodies 1979

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Negara Berasal dari kata : sovereignty (Inggris) superanus (Latin) Berarti : yang teratas kekuasaan tertinggi Pengertian Kedaulatan: Pengertian

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972 1 IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972 Yeremia Anggarianto Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keinginan untuk melampaui langit dan menjelajahi ruang angkasa sudah menjadi bagian dari kesadaran manusia yang dibuktikan dengan banyaknya mitos atau karya seni yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972 OLEH : TANIA GABRIELLA CIUTARNO B111 12 005 BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

PENGATURAN OUTER SPACE TREATY 1967 TERHADAP PENELITIAN YANG DILAKUKAN OLEH AMERIKA SERIKAT DI PLANET MARS

PENGATURAN OUTER SPACE TREATY 1967 TERHADAP PENELITIAN YANG DILAKUKAN OLEH AMERIKA SERIKAT DI PLANET MARS PENGATURAN OUTER SPACE TREATY 1967 TERHADAP PENELITIAN YANG DILAKUKAN OLEH AMERIKA SERIKAT DI PLANET MARS ARTIKEL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA Dony Aditya Prasetyo Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 169 Malang Email: donyaprasetyo@gmail.com Abstract There is an increace

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Tanggungjawab dalam Kegiatan Keruangangkasaan Berdasarkan Space Liability Conventions 1972 dan Implementasinya terhadap Kegagalan Peluncuran Satelit Telkom-3

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1013, 2014 KEMENKOMINFO. Frekuensi Radio. Dinas Satelit. Orbit Satelit. Spektrum. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian dan Fungsi Pengangkutan Istilah pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Oleh : SILWANUS ULI SIMAMORA Pembimbing I: Dr. Mexasasai Indra, SH.,M.H.

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS)

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) (STUDI TERHADAP INSIDEN TABRAKAN SAMPAH ANGKASA MILIK CINA DENGAN SATELIT MILIK RUSIA) TIARA NOOR PRATIWI, SETYO WIDAGDO, S.H.,M.Hum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep dasar laut dalam timbul,disebabkan adanya kecenderungan terhadap eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang terdapat

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Khusus bagi Indonesia sebagai negara kepulauan angkutan udara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angkutan udara baik internasional maupun domestik mempunyai peranan dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kehidupan umat manusia. Khusus bagi Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) Mufti Fathonah Muvariz Prodi Teknik Informatika Konsentrasi Teknik Geomatika Course Outline Perairan Pedalaman Laut Teritorial Zona

Lebih terperinci

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten No.133, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5435) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi antariksa berdampak pada peningkatan peluncuran satelit untuk menjalankan berbagai misi, seperti telekomunikasi, penginderaan jauh, navigasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 14/1999, PENGESAHAN AMENDED CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH)

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

PENGATURAN HAK PENGUASAAN TANAH HAK MILIK PERORANGAN OLEH NEGARA

PENGATURAN HAK PENGUASAAN TANAH HAK MILIK PERORANGAN OLEH NEGARA PENGATURAN HAK PENGUASAAN TANAH HAK MILIK PERORANGAN OLEH NEGARA A. A. Sagung Tri Buana Marwanto Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penguasaan tanah milik perorangan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN OLEH HARMONIKA B111 13 046 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 HALAMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 21, 1999 PERJANJIAN. RATIFIKASI. INMARSAT. SATELIT. KONVENSI. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO UNTUK DINAS SATELIT DAN ORBIT SATELIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara negara dunia pasca perang dunia II gencar melaksanakan pembangunan guna memperbaiki perekonomian negaranya yang hancur serta memajukan kesejahteraan penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN MENGENAI KEGIATAN MILITER DI RUANG ANGKASA. A. Aktivitas Negara Space Powers di Ruang Angkasa

BAB III PERKEMBANGAN MENGENAI KEGIATAN MILITER DI RUANG ANGKASA. A. Aktivitas Negara Space Powers di Ruang Angkasa BAB III PERKEMBANGAN MENGENAI KEGIATAN MILITER DI RUANG ANGKASA A. Aktivitas Negara Space Powers di Ruang Angkasa Dengan semakin modernnya teknologi di bidang keruangangkasaan telah berbagai bentuk pesawat

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci