Bab 5. Ringkasan. Di Jepang saat ini sedang populer istilah Jukunen Rikon ( 熟年離婚 ), jukunen

Transkripsi

1 Bab 5 Ringkasan Di Jepang saat ini sedang populer istilah Jukunen Rikon ( 熟年離婚 ), jukunen rikon adalah sebuah istilah perceraian yang terjadi pada pasangan usia lanjut, yaitu diatas usia 55 tahun. Tingginya tingkat perceraian usia lanjut di Jepang terjadi akibat banyaknya baby boomers yang telah memasuki usia pensiun. Menurut Britannica Concise Encyclopedia (2007), fenomena baby boomers terjadi setelah Perang Dunia II oleh karena pada masa perang, terdapat banyak pasangan yang menunda pernikahan mereka dan banyak pasangan menunda untuk mempunyai anak, oleh karena itulah terjadinya baby boomers atau ledakan bayi. Dan dengan diterbitkannya undang undang baru yang diimplementasikan pada bulan April 2007 yaitu kouseinenkin no bunkatsuseido ( 厚生年金の分割制度 ) yaitu undang undang mengenai pembagian uang pension, di dalamnya terdapat kalimat yang mengatakan bahwa mantan istri dari suami yang telah pensiun dapat memperoleh uang pensiun sampai dengan setengah dari uang pensiun suami. Oleh karena adanya undang undang tersebut maka banyak istri yang mengajukan cerai kepada suami mereka sehingga mengakibatkan pada perceraian usia lanjut. Undang undang tersebut dikeluarkan agar walaupun sang istri telah bercerai, dia dapat menghidupi dirinya dan tidak akan kekurangan. Lebih dari kasus perceraian sudah diajukan pada akhir bulan April 2007 dan sekitar 90% yang mengajukannya adalah pihak istri (Taniguchi, 2006).

2 Sebelum Perang Dunia II masyarakat Jepang menganggap wajar bahwa suamilah yang paling berkuasa dalam mengambil keputusan dalam banyak hal yang bersangkutan dengan kehidupan keluarga. Suami mempunyai hak yang dilebihkan karena kedudukan dan peran tradisional mengasumsikan bahwa laki-laki dianggap superior, sehingga pengajuan perceraian oleh pihak wanita merupakan hal yang mustahil (Nasution, 2003: 5). Namun setelah Perang Dunia II, undang undang Jepang mulai memberlakukan kesetaraan antara laki laki dan perempuan. Hubungan suami istri menjadi kemitraan yang sejajar, dan wanita merasa lebih bebas dan mandiri dalam mengambil keputusan, termasuk pengajuan perceraian. Dewasa ini angka perceraian yang diajukan oleh pihak istri meningkat tajam. Menurut laporan statistik perceraian yang dikeluarkan oleh kōseishō ( 厚生省 ) atau Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan yang dikutip oleh Atsumi dalam Nasution (2003: 59) ada sebanyak 75,1 % dari kasus yang terjadi, istri menggugat suami untuk bercerai. Perselingkuhan termasuk penyebab yang umum dari kasus perceraian yang terjadi. Alasan alasan para istri mencari perceraian adalah; masalah keuangan (26,4%), ketidakrukunan keluarga (25,1%), dan perselingkuhan (19,5%). Perselingkuhan adalah perilaku ketidaksetiaan seseorang yang telah menikah berupa hubungan seksual antara dirinya dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya. Hubungan tersebut dilakukan secara sukarela dan tanpa sepengetahuan suami atau istri yang bersangkutan (Goode, 1991: 195). Chris Hogg dari BBC Tokyo (2006) mengatakan bahwa meningkatnya kemarahan istri dikarenakan sedikitnya kontribusi suami di dalam kehidupan rumah tangga mereka. 1

3 Permintaan istri untuk bercerai juga dikarenakan oleh suami yang setelah pensiun tetap tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengubah kebiasaan mereka tersebut. Oleh karena hal tersebut para istri merasa sangat stress atas suaminya. Dan dari kasus yang didapat penulis, terdapat dua faktor yang melatarbelakangi perceraian di usia lanjut, yaitu faktor perselingkuhan dan stress. Dari kasus yang dilatarbelakangi dua faktor tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis latar belakang atau penyebab dari beberapa kasus perceraian usia lanjut di Jepang yang terjadi pada kurun waktu melalui beberapa studi kasus. Tujuannya adalah untuk menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi perceraian usia lanjut dari kasus kasus yang ada. Pada kasus Yuji Tanaka penyebab perceraian kehidupan rumah tangganya adalah karena istrinya yang mengaku telah berselingkuh selama Yuji bekerja di luar kota. Hal itu membuat Yuji merasa sangat depresi selama satu tahun sebelum akhirnya dia bercerai dengan istrinya yang tidak setia tersebut. Keluarga Yuji Tanaka, menerapkan pola hubungan home - centered. Dimana sang suami diharapkan sebisa mungkin memperhatikan keluarganya dan sang istri juga diharapkan untuk menciptakan sebuah lingkungan keluarga yang baik untuk anak anaknya. Tindakan Perselingkuhan istrinya tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan feminisme postmodern. Dia merasa bebas melakukan apa yang terbaik untuknya, seperti melakukan pekerjaan lain dan bersosialisasi dengan teman kerjanya. Feminisme postmodern menerangkan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan hak untuk bebas mengkonstruksi diri sendiri seperti yang dimiliki laki laki dan bebas mendefinisikan dirinya sendiri 2

4 Pada kasus Yamada alasan perceraian mereka adalah karena suami Yamada yang telah sering berselingkuh. Walau Yamada telah mengetahui hal tersebut Yamada lama bersabar dengan ketidaksetiaan sang suami demi anak anaknya. Setelah anak anaknya dewasa dan meninggalkan rumah lalu akhirnya Yamada mengajukan perceraian terhadap suaminya. Keluarga Yamada, menerapkan pola hubungan outer/inner allotment. Sang suami sibuk bekerja mendedikasikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya, dan sang istri juga sepenuhnya mengurus rumah tangga mereka. Sikap Yamada dalam menghadapi perselingkuhan suaminya, mencerminkan seorang feminisme marxis. Pada feminisme marxis, wanita biasanya ditempatkan sebagai properties atau barang kepunyaan laki laki, sementara laki laki dianggap sebagai propertied atau pemilik, dan bukan sebagai ikatan emosional. Dan dengan keluarnya undang-undang perceraian Yamada merasa ini saatnya mengajukan perceraian. Pada kasus Junko Yasukawa, dia merasa suaminya jauh darinya karena suaminya sering berselingkuh sehingga junko selalu mengacuhkan perselingkuhan suaminya tersebut karena dia ingin tetap mempertahankan keutuhan keluarganya. Hingga pada akhirnya dia merasa tidak dapat hidup bahagia sebagai bayangan sang suami lalu dia memutuskan untuk bercerai. Pola hubungan keluarga Junko Yasukawa adalah pola pasangan independen (the independent-partner pattern). Dimana suami dan istri masing masing ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri. Sikap Junko yang meminta perceraian terhadap suaminya mencerminkan sebuah sikap seorang feminis liberal. Karena dia ingin mengubah tradisi yang ada selama ini, sebab ciri khas seorang feminis liberal adalah seseorang yang ingin mengubah hukum, adat kebiasaan, dan nilai nilai sosial masyarakat. 3

5 Pada kasus Yoshiko Yamauchi, alasan Yoshiko mengajukan perceraian karena dia merasa sangat kuatir dan tidak tenang terhadap suaminya yang mungkin akan banyak mengaturnya setelah pensiun. Karena kekuatiran tersebut Yoshiko menjadi sangat stress dan akhirnya suaminya menyetujui untuk bercerai dengan Yoshiko. Pola hubungan suami-istri mereka sesuai dengan pola bagian sebelah luar dan sebelah dalam ( the outer/inner allotment pattern ), dikarenakan istrinya mendedikasikan diri sepenuhnya untuk tugas tugas rumah tangga dan sang suami pada pekerjaannya mencari uang. Yoshiko merasa suaminya akan terlalu ikut campur dan mengaturnya setelah dia pensiun. Sikap yang dirasakan oleh Yoshiko merupakan salah satu gejala stress yang ditimbulkan yaitu rasa takut. Rasa takut akan suami yang akan mengaturnya setelah pensiun. Pengajuan perceraian yang diajukan Yoshiko tersebut merupakan tindakan feminis liberal karena sebagai wanita, dia juga bisa mendapatkan hak yang sama di mata hukum. Pada kasus Tomoko, dia merasa bahwa selama ini pernikahannya tidak bahagia. Karena selama ini mereka salalu sibuk dengan pekerjaan dan kewajibannya masing masing. Oleh karena kurangnya komunikasi tersebut mereka menjadi sering bertengkar. Hal tersebut membuat Tomoko menjadi stress terhadap sikap suaminya yang tidak pernah berubah sejak mereka menikah. Hubungan keluarga yang dimiliki Tomoko dan suaminya sangat sesuai dengan pola pasangan independen (the independent-partner pattern). Pada pola ini ayah dan ibu secara antusias ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri. Pasangan suami istri ini saling mendedikasikan dirinya kepada pekerjaan dan kewajibannya masing masing. Tomoko sebagai seorang wanita telah menunjukkan salah satu tindakan dari seorang feminis liberal. Bahwa seorang 4

6 feminisme liberal, adalah seseorang yang percaya bahwa setiap perempuan berhak untuk mendapat kesamaan hak secara hukum dan sosial dengan laki laki. Perasaan Tomoko yang sudah tidak tahan lagi terhadap sikap suaminya merupakan salah satu gejala stress yang ditunjukkan Tomoko dengan bertengkar dengan suaminya selama mereka menikah. Tiga dari kelima kasus disebabkan oleh perselingkuhan yang masing masing pasangan suami istri menerapkan pola hubungan keluarga yang berbeda beda. Dari kelima kasus perceraian tersebut gejala stress yang paling sering muncul adalah gejala emosi karena depresi atau emotive symptoms, gejala tersebut terdapat pada ketiga kasus dari lima kasus yang ada. 5