BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk dan infrastruktur yang ada di wilayah Temanggung dari waktu ke waktu akan mempengaruhi perubahan pola penggunaan dan pemanfaatan tanah serta akan mempengaruhi aspek fisik dan status kepemilikan dari suatu bidang tanah. Penataan ruang dan penatagunaan tanah perlu dilakukan dengan tujuan agar suatu wilayah dapat tertata dengan baik. Konsolidasi Tanah merupakan salah satu cara penatagunaan tanah untuk menyelesaikan masalah dalam suatu pembangunan. Dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan sekaligus menyediakan tanah untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum dilaksanakan pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah dalam bentuk Konsolidasi Tanah di wilayah perkotaan dan di pedesaan. Tujuan dari Konsolidasi Tanah ini adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). Konsolidasi Tanah di Kabupaten Temanggung dilaksanakan di Desa Bejen, Kecamatan Bejen, tepatnya di sebuah dusun baru yang bernama Dusun Sugihwaras. Lokasi ini semula merupakan daerah relokasi yang digunakan untuk pengungsian masyarakat korban bencana alam tanah longsor. Pada tahun 1988 terjadi bencana alam tanah longsor yang mengakibatkan masyarakat Dusun Gemiwang harus berpindah ke daerah yang lebih tinggi. Karena sudah cukup lama, mereka akhirnya menetap di tempat relokasi tersebut dan tidak kembali lagi ke Dusun Gemiwang. Awalnya para korban bencana tanah longsor menempati tanah milik perorangan yang cukup luas. Tahun 1990-an, warga yang sudah menempati dan mendirikan bangunan di atas tanah tersebut akhirnya membeli tanah dari pemiliknya. Meskipun masyarakat sudah lama menguasai tanah dengan membeli, namun mereka kesulitan dalam mengurus sertifikat. Kesulitan dalam sertifikasi ini dikarenakan warga membeli tanah dengan cara dibawah tangan, sehingga mereka kesulitan dalam 1

2 2 menunjukkan alas hak atas tanah. Sudah beberapa kali mereka mengurus melalui perangkat desa atau pemerintah desa bahkan melalui pejabat notaris, tetapi belum ada yang berhasil. Melalui program Konsolidasi Tanah tahun 2014 dengan anggaran dari APBN, sebanyak 200 bidang tanah di Dusun Sugihwaras telah bersertifikat dan telah dilakukan penataan fisik menjadi bidang-bidang tanah yang tertib dan teratur dilengkapi dengan sarana dan prasarana jalan. Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah disebutkan bahwa peserta Konsolidasi Tanah adalah pemegang hak atas tanah atau penggarap tanah Negara obyek Konsolidasi Tanah. Akan tetapi, pada pelaksanaan Konsolidasi Tanah di lokasi penelitian ini pesertanya bukan merupakan pemegang hak atas tanah ataupun penggarap tanah negara. Atas dasar uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi proses pelaksanaan Konsolidasi Tanah dan menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi setelah pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Bejen, Kecamatan Bejen. I.2. Rumusan Masalah Konsolidasi Tanah telah dilaksanakan di Desa Bejen, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung yang areanya merupakan tanah relokasi untuk pengungsian korban tanah longsor. Warga sudah membeli bidang tanah, tetapi masih kesulitan dalam sertifikasi karena mereka tidak bisa menunjukkan alas hak atas tanah. Program Konsolidasi Tanah telah membantu masyarakat dalam memperoleh sertifikat bidang tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan dan perubahan yang terjadi setelah adanya Konsolidasi Tanah di Desa Bejen. I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi proses pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Bejen berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. 2. Menganalisis hasil pelaksanaan Konsolidasi Tanah berdasarkan aspek fisik (jumlah, luas dan bentuk bidang tanah), aspek institusi (Peraturan atau Undang-Undang) dan aspek ekonomi.

3 3 I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis, yaitu dapat diperoleh hasil evaluasi pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Bejen, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. 2. Manfaat praktis, yaitu dapat dijadikan pedoman atau gambaran dalam pelaksanaan Konsolidasi Tanah di daerah-daerah lain. I.5. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Lokasi penelitian adalah di Desa Bejen, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. 2. Hasil evaluasi dan analisis ditinjau berdasarkan aspek fisik (jumlah, luas dan bentuk bidang tanah), aspek institusi (Peraturan atau Undang-Undang) dan aspek ekonomi. I.6. Tinjauan Pustaka Prasetyo (2014), telah melakukan penelitian tentang Evaluasi Hasil Konsolidasi Tanah di Desa Ngadirgo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah adanya kegiatan Konsolidasi Tanah, dilihat dari aspek fisik berupa perubahan luas, bentuk, jumlah dan letak bidang, serta aspek ekonomi berupa perubahan nilai tanah. Perubahan pada aspek fisik ditinjau secara visual dan dari data atribut peta, sedangkan perhitungan luas dan nilai tanah sebelum dan setelah konsolidasi tanah dilakukan pada data atribut peta dengan menggunakan software ArcGIS 10 dan Microsoft Excel Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Ngadirgo sudah sesuai dengan prinsip dasar Konsolidasi Tanah yaitu bidang tanah menjadi teratur dan menghadap ke jalan. Setelah Konsolidasi Tanah terdapat bidang yang mengalami kekurangan luas dan kelebihan luas. Tidak terjadi perubahan jumlah bidang pada pelaksanaan Konsolidasi Tanah ini dan seluruh bidang tanah mengalami peningkatan nilai tanah.

4 4 Kustomo (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pembuatan Peta Kemajuan Pelaksanaan Proyek Konsolidasi Tanah Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan proyek Konsolidasi Tanah Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman sampai bulan Februari Hasil dari penelitian berupa peta kemajuan pelaksanaan Konsolidasi Tanah beserta analisis perubahannya. Peta disajikan dengan visualisasi overlay citra Google Earth. Dari peta tersebut terlihat bahwa pembuatan fasilitas umum belum terlaksana seluruhnya di lapangan dan masih berupa persawahan. Utami (2012), telah melakukan penelitian tentang Evaluasi Desain Konsolidasi Tanah di Dusun Kragilan dan Rogoyudan, Desa Sinduadi, Sleman. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui jumlah bidang tanah yang pengembalian luasnya sesuai dan tidak sesuai setelah Konsolidasi Tanah. Penelitian dilakukan dengan membandingkan peta sebelum dan peta setelah Konsolidasi Tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah Konsolidasi Tanah terdapat bidang yang mengalami kelebihan luas dan perubahan jumlah. Perubahan jumlah bidang terjadi karena adanya proses jual beli dan waris dari sebagian bidang tanah, sehingga mengakibatkan adanya perubahan kepemilikan. Kondatana (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Tinjauan Peta Rencana Konsolidasi Tanah Perkotaan Berdasarkan Peta Dasar Pendaftaran Tanah di Kota Soe, Propinsi Nusa Tenggara Timur, mengevaluasi perubahan bentuk dan luas serta perubahan penggunaan lahan di lokasi Konsolidasi Tanah perkotaan. Dari hasil penelitian diketahui adanya perbedaan antara peta sebelum Konsolidasi Tanah dan setelah Konsolidasi Tanah, yang meliputi perubahan bentuk, perubahan luas, perubahan penggunaan lahan dan tersedianya fasilitas umum. Laksono (2011), dari hasil penelitiannya yang berjudul Evaluasi Konsolidasi Tanah di Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, dapat disimpulkan bahwa mayoritas peserta Konsolidasi Tanah merasa puas dengan hasil Konsolidasi Tanah, beberapa ketidakpuasan terjadi karena beberapa pembangunan fasilitas umum tidak sesuai dengan rencana awal. Perubahan yang diperoleh dengan adanya Konsolidasi Tanah dilihat dari aspek fisik dan ekonomi.

5 5 Sutopo (2004), dalam penelitiannya yang berjudul Tinjauan Peta Pada Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan di Kota Pekanbaru, menyatakan bahwa salah satu usaha mengatasi keterbatasan lahan perkotaan adalah dengan cara Konsolidasi Tanah perkotaan. Penelitian ini melakukan tinjauan terhadap peta sebelum dan sesudah Konsolidasi Tanah dengan skala 1:1000 dan diketahui adanya perbedaan dari peta tersebut, salah satunya adalah perbedaan hitungan luas persil menggunakan Autocad dengan hasil perhitungan luas dari BPN. Penelitian ini secara spesifik akan mengevaluasi kesesuaian proses pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Bejen terhadap Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Data yang digunakan diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Temanggung dan hasil wawancara dengan Kepala Dusun Sugihwaras. Analisis hasil pelaksanaan Konsolidasi Tanah didasarkan pada aspek fisik (perubahan pada jumlah, luas dan bentuk bidang), institusi (peraturan atau undang-undang) dan ekonomi. I.7. Landasan Teori I.7.1. Konsolidasi Tanah I Pengertian Konsolidasi Tanah. Konsolidasi Tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Peserta Konsolidasi Tanah adalah pemegang hak atas tanah atau penggarap tanah Negara obyek Konsolidasi Tanah. Tanah obyek Konsolidasi Tanah adalah tanah Negara non pertanian dan atau tanah hak di wilayah perkotaan atau pedesaan yang ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dikonsolidasi (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). I Prinsip Konsolidasi Tanah. Prinsip Konsolidasi tanah menurut Hasni (2008) adalah sebagai berikut. 1. Kegiatan Konsolidasi Tanah membiayai dirinya sendiri. 2. Adanya land polling yang juga merupakan ciri khas Konsolidasi Tanah.

6 6 3. Hak atas tanah sebelum dan sesudah Konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah. 4. Konsolidasi Tanah melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah. 5. Tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi daripada sebelum Konsolidasi Tanah. Pengaturan bentuk-bentuk tanah yang semula terpecah-pecah dan tidak teratur menjadi bidang tanah yang teratur, baik bentuk maupun tata letaknya, dilakukan dengan cara: a. Penggeseran letak; b. Penggabungan; c. Pemecahan; d. Penukaran; e. Penataan letak; f. Penghapusan letak. Walaupun luas tanah yang diberikan kembali kepada pemilik tanah akan berkurang luasnya daripada sebelum dikonsolidasi, namun nilainya menjadi lebih tinggi karena di wilayah letak tanah tersebut sudah tersedia fasilitas jalan dengan bentuk kapling yang teratur. I Tujuan dan sasaran Konsolidasi Tanah. Tujuan Konsolidasi Tanah adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sasarannya adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). I Aspek Konsolidasi Tanah. Konsolidasi Tanah menurut Hasni (2008) pada hakikatnya meliputi aspek-aspek antara lain: a. Aspek pengaturan penguasaan atas tanah, tidak saja menata dan menertibkan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi juga hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya; b. Aspek penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata guna tanah/tata ruang; c. Aspek penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan dan fasilitas umum lainnya yang diperlukan;

7 7 d. Aspek peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber daya alam. I Dasar hukum. Untuk memenuhi kebutuhan perkembangan pembangunan dalam rangka mengisi Rencana Tata Ruang, sementara peraturan perundangundangan pelaksanaan sedang dalam proses persiapan, peraturan perundangundangan yang mendasari pelaksanaan Konsolidasi Tanah adalah (Hasni, 2008): 1. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA); 2. Undang-Undang No. 56/Prp/1960 tentang Luas Tanah Pertanian; 3. PP No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi; 4. Surat Edaran Mendagri No. 590/5648/Agr tanggal 9 Desember 1985 tentang Peningkatan dan Pemantapan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah; 5. Surat Edaran Mendagri No. 590/5468/Agr tanggal 22 Desember 1985 tentang Peningkatan dan Pemantapan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan; 6. Peraturan Mendagri No. 2/1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota; 7. Peraturan Kepala BPN No. 4/1991 tentang Konsolidasi Tanah. I Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. Dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan sekaligus menyediakan tanah untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum dilaksanakan pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah dalam bentuk Konsolidasi Tanah di wilayah perkotaan dan di pedesaan. Kegiatan Konsolidasi Tanah meliputi penataan kembali bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan atau penggunaan tanahnya dengan dilengkapi prasarana jalan, irigasi, fasilitas lingkungan dan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan, dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah dan atau penggarap tanah. Konsolidasi Tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). Dalam pelaksanaan Konsolidasi Tanah, baik di perkotaan maupun di pedesaan kebutuhan tanah untuk kepentingan prasarana umum di lokasi Konsolidasi dan biaya pelaksanaan pada prinsipnya ditanggung oleh pemilik tanah (Supriadi, 2008).

8 8 Menurut Supriadi (2008), penyelenggaraan Konsolidasi Tanah di pedesaan pada garis besarnya meliputi kegiatan-kegiatan antara lain: 1. Pemilihan lokasi objek Konsolidasi Tanah; 2. Penyuluhan kepada para pemegang hak atas tanah/yang menguasai tanah calon objek Konsolidasi Tanah; 3. Penjajakan kesepakatan; 4. Penetapan lokasi dengan Surat Keputusan bupati/walikota; 5. Identifikasi subjek dan objek; 6. Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan Konsolidasi Tanah; 7. Seleksi calon penerima hak; 8. Pengukuran/pemetaan kapling; 9. Pengukuran/pemetaan rincian; 10. Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah; 11. Pembuatan blok plan/pradesain tata ruang; 12. Pembuatan desain tata ruang; 13. Musyawarah rencana penataan kapling baru; 14. Pelepasan hak oleh pemilik tanah; 15. Penegasan lokasi sebagai tanah objek Konsolidasi Tanah; 16. Staking out/realokasi; 17. Konstruksi/pembentukan prasarana umum dan lain-lain; 18. Redistribusi tanah/penerbitan SK pemberian hak; 19. Sertifikat. I Sumbangan tanah untuk pembangunan. Dalam rangka pelaksanaan penataan penguasaan dan penggunaan tanah obyek Konsolidasi Tanah, para peserta menyerahkan sebagian tanahnya sebagai sumbangan tanah untuk pembangunan yang akan dipergunakan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya serta pembiayaan pelaksanaan Konsolidasi Tanah. Besarnya sumbangan tanah untuk pembangunan ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama peserta Konsolidasi Tanah dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang Daerah. Peserta yang persil tanahnya terlalu kecil sehingga tidak mungkin menyerahkan sebagian tanahnya sebagai sumbangan tanah untuk pembangunan dapat mengganti sumbangan tersebut

9 9 dengan uang atau bentuk lainnya yang disetujui bersama oleh para peserta Konsolidasi Tanah (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). Gambaran singkat tentang pelaksanaan Konsolidasi Tanah seperti ditunjukkan pada gambar I.1 berikut. Gambar I.1. Gambaran singkat Konsolidasi Tanah (Sumber: Secara teoritis, besarnya STUP yang ideal adalah 40% dari luas tanah peserta Konsolidasi Tanah (sebelum dikonsolidasi) (A.P. Parlindungan 1986, dalam Sitorus 1996). Jumlah yang ideal itu diproyeksikan untuk penggunaan sebagai berikut: 25% untuk prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya, sedangkan 15% untuk ongkos pembiayaan Konsolidasi Tanah tersebut, termasuk ongkos yang bersifat administratif. Dengan demikian, hanya tinggal 60% yang akan dikembalikan kepada pemilik tanah (setelah tanahnya dikonsolidasi) (William A. Doebele 1982, dalam Sitorus 1996). Pada azasnya pembiayaan Konsolidasi Tanah ditanggung para peserta Konsolidasi Tanah, melalui sumbangan berupa tanah dan atau berupa uang maupun bentuk sumbangan lainnya. Sumbangan berupa tanah oleh peserta Konsolidasi Tanah dilepaskan hak atas tanahnya atau garapannya kepada Negara dihadapan Kepala

10 10 Kantor Pertanahan setempat (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). Tanah pengganti biaya pelaksanaan, yang merupakan bagian dari sumbangan tanah untuk pembangunan yang diperuntukkan bagi pembiayaan pelaksanaan Konsolidasi Tanah, diserahkan penggunaannya kepada peserta yang memiliki persil tanah terlalu kecil atau kepada pihak lain dengan pembayaran kompensasi berupa uang yang jumlahnya disetujui oleh para peserta Konsolidasi Tanah. Penyerahan penggunaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan menerbitkan Surat Ijin Menggunakan Tanah (SIMT) yang selanjutnya menjadi dasar pemberian hak atas tanah kepada yang bersangkutan (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). I Penyelesaian hak atas tanah. Untuk dapat dilaksanakan pengaturan penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk bidang tanah yang teratur, maka para peserta Konsolidasi Tanah melepaskan hak atas tanahnya untuk selanjutnya ditetapkan sebagai obyek Konsolidasi Tanah oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). Hak atas tanah obyek Konsolidasi Tanah diberikan kepada para peserta Konsolidasi Tanah sesuai dengan rencana penataan kapling yang disetujui oleh para peserta Konsolidasi Tanah. Pemberian hak atas tanah dilaksanakan secara kolektif sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah). I Keuntungan dan kelemahan Konsolidasi Tanah. Jayadinata (1999) mengemukakan bahwa Konsolidasi Tanah dapat memberikan beberapa keuntungan dan kelemahan tertentu bagi penduduknya. Keuntungan yang paling menonjol adalah terciptanya lingkungan yang teratur. 1. Yang mendapat keuntungan dari Konsolidasi Tanah ialah: a. Pemilik tanah asal, yang mendapat keuntungan karena Konsolidasi Tanah dan pengaturan pemetakan kembali dapat meningkatkan harga tanah;

11 11 b. Pemerintah setempat, yang mendapat kontribusi dari sejumlah pemilik tanah untuk biaya kegiatan Konsolidasi Tanah, dalam bentuk tanah atau dalam bentuk uang. Disamping itu terdapat juga peningkatan pajak; c. Masyarakat umum, terutama perusahaan tanah dan bangunan mendapat kesempatan kerja. Masyarakat yang berpendapatan rendah mendapat untung jika diselenggarakan pembangunan rumah secara sosial (rumah murah). 2. Dalam Konsolidasi Tanah terdapat juga beberapa kelemahan seperti: a. Sukarnya mencari tanah bagi penggantian; b. Dalam penjualan tanah secara bertahap yang diwajibkan, terdapat kesukaran dalam menentukan harga tanah untuk menyaring pembeli tanah dalam penjualan kepada umum; c. Kawasan Konsolidasi Tanah harus dipilih sehingga bagi pemukiman dapat dijamin penyediaan minimal bagi prasarana sosial ekonomi, dan luas kawasan proyek harus memungkinkan perkembangan yang sempurna dalam beberapa tahun saja; d. Sebaiknya hal itu mula-mula dicoba di wilayah pinggiran, karena harga tanah tidak banyak berbeda. Di pusat kota atau di bagian kota yang rusak, Konsolidasi Tanah hanya dapat dilakukan oleh pemerintah setempat yang telah mempunyai pengalaman. I.7.2. Analisis Data Dalam penelitian, setelah peneliti selesai mengumpulkan data yang diperlukan maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Proses analisis data melewati tahap pengolahan data terlebih dahulu. Data yang diperoleh, baik itu data kuantitatif maupun kualitatif biasanya masih dalam kondisi tidak beraturan sehingga perlu dikelompokkan dalam tahap pengolahan data. Pada dasarnya penelitian merupakan proses transformasi data ke dalam proses pemahaman lebih lanjut melalui beragam teknik analisis data. Analisis data merupakan tahapan penting dimana data yang telah dikumpulkan bertransformasi, dari tulisan-tulisan, baik berupa transkrip wawancara atau catatan-catatan pengamatan, menjadi data yang mengandung interpretasi dan pemahaman peneliti serta keterkaitan dengan teori dan substansi topik penelitian. Teknik menganalisis data yang dapat digunakan dalam penelitian ini

12 12 bergantung pada data yang diperolehnya. Jika data yang diperoleh merupakan data yang berupa angka maka digunakanlah analisis kuantitatif, namun jika data yang diperoleh berupa kata-kata maka digunakanlah analisis kualitatif. Dalam menganalisis data ini peneliti haruslah cermat dalam memilah-milah data sehingga nantinya kesimpulan yang dibuat akan valid dan sesuai dengan data yang telah diperoleh (Perwira, 2012). I Analisis kualitatif. Analisis dilakukan pada data yang bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan (Sarwono, 2006). Sarwono (2006) menjelaskan bahwa analisis kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsepkonsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisis kualitatif ialah analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, analisis tema kultural dan analisis komparasi konstan (grounded theory research). I Analisis kuantitatif. Analisis dilakukan pada data yang bersifat kuantitatif/angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berupa variabel-variabel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio (Sarwono, 2006). Analisis kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisis varian dan covarian, analisis faktor, regresi linear, dan lain sebagainya (Sarwono, 2006). I.7.3. Evaluasi Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui bagaimana kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Istilah evaluasi sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, akan tetapi kata ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran. Evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, selanjutnya menyajikan informasi dalam rangka

13 13 pengambilan keputusan terhadap implementasi dan efektifitas suatu program (Sari, 2010). Evaluasi meliputi mengukur dan menilai yang digunakan dalam rangka pengambilan keputusan. Hubungan antara pengukuran dan penilaian saling berkaitan. Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran atau kriteria tertentu (meter, kilogram, takaran dan sebagainya). Pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian berarti menilai sesuatu yang mengandung arti, mengambil keputusan terhadap sesuatu yang berdasarkan pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit dan sebagainya. Penilaian bersifat kualitatif. Secara garis besar, evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut (Sari, 2010). Wirawan (2012) membedakan jenis evaluasi menurut objeknya dan menurut fokusnya. 1. Menurut Objeknya a. Evaluasi Kebijakan b. Evaluasi Program c. Evaluasi Proyek d. Evaluasi Material e. Evaluasi Sumber Daya Manusia 2. Menurut Fokusnya a. Asesmen Kebutuhan b. Evaluasi Proses c. Evaluasi Keluaran d. Evaluasi Efisiensi Evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi proses. Evaluasi proses bertujuan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kelancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan faktor penghambat yang muncul dalam proses pelaksanaan dan sejenisnya. Dalam penelitian ini yang dievaluasi adalah kesesuaian proses pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Desa Bejen dengan peraturan atau teori Konsolidasi Tanah menurut peraturan yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumberdaya alam utama yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebagai suatu sumberdaya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagian besar pembangunan di segala bidang memerlukan tanah, baik sebagai tempat untuk membangun maupun sebagai faktor produksi, yang pengadaan dan pemanfaatannya

Lebih terperinci

Jakarta, 7 Desember 1991

Jakarta, 7 Desember 1991 KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Nomor : 410-4245 Lampiran : Perihal : Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Kepada Yth. Jakarta, 7 Desember 1991 Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi di

Lebih terperinci

BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR : 4 TAHUN 1991 TENTANG KONSOLIDASI TANAH KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR : 4 TAHUN 1991 TENTANG KONSOLIDASI TANAH KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR : 4 TAHUN 1991 TENTANG KONSOLIDASI TANAH KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai kekayaan Bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah (Direktorat Pengaturan Penguasaan

Lebih terperinci

Bastary Pandji Indra Asdep Perumahan, Pertanahan dan Pembiayaan Infrastruktur

Bastary Pandji Indra Asdep Perumahan, Pertanahan dan Pembiayaan Infrastruktur KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SEMINAR HASIL KAJIAN Penyiapan Kebijakan Pembangunan Perumahan MBR dan Land Consolidation Perkotaan Bastary Pandji Indra Asdep Perumahan,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. tempat tinggal dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. tempat tinggal dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bagi manusia tanah memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai tempat tinggal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah akan diuraikan secara singkat mengenai dasar pemahaman permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masalah akan diuraikan secara singkat mengenai dasar pemahaman permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan berisi mengenai uraian latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada subbab latar belakang masalah akan diuraikan secara singkat

Lebih terperinci

PERAN KONSOLIDASI TANAH DALAM KETRANSMIGRASIAN

PERAN KONSOLIDASI TANAH DALAM KETRANSMIGRASIAN PERAN KONSOLIDASI TANAH DALAM KETRANSMIGRASIAN RUDI RUBIJAYA, SP, MSc. DIREKTUR KONSOLIDASI TANAH KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL LATAR BELAKANG LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENGATURAN KONSOLIDASI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN MENURUT UU No. 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN 1 Oleh : Scivi Junifer Kapoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : /311/ /2011

WALIKOTA SURABAYA KEPUTUSAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR : /311/ /2011 KEPUTUSAN NOMOR : 188.45/311/436.1.2/2011 TENTANG TIM KOORDINASI DAN SATUAN TUGAS PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH DI KOTA SURABAYA Menimbang : a. bahwa, dalam rangka pemanfaatan tanah secara optimal, di

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional,

Lebih terperinci

MODUL 5 : PENGADAAN TANAH DIBAWAH 5 HA

MODUL 5 : PENGADAAN TANAH DIBAWAH 5 HA MODUL 5 : PENGADAAN TANAH DIBAWAH 5 HA Diklat Perencanaan dan Persiapan Pengadaan Tanah KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Lebih terperinci

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan I. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.9, 2014 KEPENDUDUKAN. Transmigrasi. Wilayah. Kawasan. Lokasi. Pemukiman. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5497) PERATURAN

Lebih terperinci

Jakarta, 27 Nopember 1991

Jakarta, 27 Nopember 1991 KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Nomor : 410-3975 Lampiran : Perihal : Petunjuk Pelaksanaan Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya. Kepada Yth. Jakarta, 27 Nopember 1991 Kepala Kantor

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/INSTANSI

BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/INSTANSI BAB III DESKRIPSI LEMBAGA/INSTANSI A. Sejarah Berdirinya Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional pertama kali dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, telah beberapa kali

Lebih terperinci

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1 APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

G U B E R N U R L A M P U N G

G U B E R N U R L A M P U N G G U B E R N U R L A M P U N G KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN DARI EKS KAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PENERBITAN IZIN LOKASI DAN PERSETUJUAN PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 55 TAHUN 1993 (55/1993) Tanggal : 17 JUNI 1993

Lebih terperinci

BAB III PROFIL PERUSAHAAN

BAB III PROFIL PERUSAHAAN 24 BAB III PROFIL PERUSAHAAN 3.1. Tinjauan Umum Perusahaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) awalnya adalah Akademi Agraria yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1963, kemudian didirikan lagi di Semarang

Lebih terperinci

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. - 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya. 4. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya. 4. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Patut diketahui bahwa, di dalam era pembangunan dewasa ini, khususnya di bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya

Lebih terperinci

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. - 235 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2009

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 44 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Kementrian yang berada di bawah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan. dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan. dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Bagi Rakyat, Bangsa dan Negara Indonesia Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diusahakan, dimanfaatkan dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2009

Lebih terperinci

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN

ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN ABSTRAKSI SKRIPSI PELAKSANAAN LANDREFORM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS

KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS KEPALA DESA SUMBERBERAS KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA SUMBERBERAS NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN TANAH KAS DESA SUMBERBERAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SUMBERBERAS,

Lebih terperinci

Badan Pertanahan Nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono. Pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan karena merupakan awal

Badan Pertanahan Nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono. Pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan karena merupakan awal 16 Badan Pertanahan Nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono. Pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan karena merupakan awal terbentuknya Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 1998 masih

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAN KANTOR PERTANAHAN KEPALA BADAN PERTANAHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA 1 PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a.

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 5 NO NORMA STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KUALITAS PRODUK KUALITAS SDM

RGS Mitra 1 of 5 NO NORMA STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KUALITAS PRODUK KUALITAS SDM RGS Mitra 1 of 5 B. PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN NO NORMA STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KUALITAS PRODUK KUALITAS SDM 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2012 NOMOR 50 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2012 NOMOR 50 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2012 NOMOR 50 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 50 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG PERTANAHAN MELALUI GERAKAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 31/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI MENTERI NEGARA PERUMAH

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pendaftaran Tanah Pasal 19 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

Total Tahun

Total Tahun RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH 2010-2014 KEGIATAN PRIORITAS NASIONAL DAN KEGIATAN PRIORITAS BIDANG REFORMA AGRARIA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (BERDASARKAN PERPRES NO.5 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan. Peningkatan pembangunan tersebut akan meningkatkan

Lebih terperinci

1. Benda tempat tumbuhnya tanaman (soil), ukurannya adalah tingkat kesuburannya,

1. Benda tempat tumbuhnya tanaman (soil), ukurannya adalah tingkat kesuburannya, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia untuk sarana berlindung dan melakukan kegiatannya. Di samping itu, tanah juga sebagai sarana produksi barang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun 1960 menjadi sejarah dalam sistem penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sistem penguasaan tanah oleh Belanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 51 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 51 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 51 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pemilik kewenangan terhadap lahan kawasan Situ Bagendit di bawah pengelolaan Dinas PSDA cukup kesulitan menjalankan fungsi

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya kemakmuran rakyat, sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya kemakmuran rakyat, sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari tanah pertanian sehingga tanah merupakan kebutuhan bagi setiap orang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional (BPN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional (BPN) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badan Pertanahan Nasional (BPN) awalnya adalah Akademi Agraria yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1963, kemudian didirikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah (sebagai

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PEMANFAATAN SERTA PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris, bahwa tanah-tanah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris, bahwa tanah-tanah di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris, bahwa tanah-tanah di Indonesia sangat luas dan subur sehingga memberi banyak manfaat khususnya dibidang pertanian.

Lebih terperinci

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] [ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN] AY 11 LOGO Pendahuluan Perencanaan Tata Guna lahan pada hakekatnya adalah Pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu permukaan tertentu. Permasalahan yang mungkin

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 9 1.3 Tujuan Penelitian 9 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan penunjang kesejahteraan dan kemakmuran diseluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan penunjang kesejahteraan dan kemakmuran diseluruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan penunjang kesejahteraan dan kemakmuran diseluruh masyarakat Indonesia, karena tanah mempunyai peran yang besar baik dalam sektor industri maupun

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 534 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS DINAS KEHUTANAN KABUPATEN GARUT

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 534 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS DINAS KEHUTANAN KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 534 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS DINAS KEHUTANAN KABUPATEN GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PELAKSANAAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG DITERLANTARKAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian 3.1.1. Pendekatan Penelitian Substansi yang diteliti dari penelitian ini ialah pola persebaran permukiman yang terdapat di Kawasan Rawan III dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN menjadikan kota Saumlaki semakin berkembang dengan pesat.

BAB I PENDAHULUAN menjadikan kota Saumlaki semakin berkembang dengan pesat. 16 BAB I PENDAHULUAN 2.1 Latar Belakang Kota Saumlaki, terletak di Propinsi Maluku, Indonesia. Saumlaki dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah Kabupeten Maluku Tenggara, yang kemudian melalui pemekaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah memiliki fungsi sosial, yang berarti bahwa kegunaan tanah diutamakan untuk kepentingan orang banyak/umum daripada untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa penataan desa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI MENTERI NEGARA PERUMAH RAKYAT

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 34 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 34 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DI KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1996 TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN, SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berderet mulai dari Semanggi, Pasar Kliwon, Sangkrah, hingga Gandekan. ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan yang cukup rendah.

BAB I PENDAHULUAN. berderet mulai dari Semanggi, Pasar Kliwon, Sangkrah, hingga Gandekan. ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan yang cukup rendah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Surakarta merupakan kota yang berkembang dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup padat, sehingga luas tanah yang ada semakin sempit. Banyak tanah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era globalisasi seperti sekarang ini, tanah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Tanah sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menunjang berbagai aspek

Lebih terperinci

Desain Model Penelitian Kuantitatif Oleh : Ir. Agus Hasbi Noor, M.M.Pd.

Desain Model Penelitian Kuantitatif Oleh : Ir. Agus Hasbi Noor, M.M.Pd. Desain Model Penelitian Kuantitatif Oleh : Ir. Agus Hasbi Noor, M.M.Pd. 1 Desain Penelitian Desain penelitian merupakan rencana dan prosedur penelitian yang meliputi asumsi-asumsi hingga metode-metode

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. sosial dan dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode

III. METODE PENELITIAN. sosial dan dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti merupakan masalah yang bersifat sosial dan dinamis. Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan metode penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di wilayah Kabupaten Siak Propinsi Riau. Jaringan jalan yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. di wilayah Kabupaten Siak Propinsi Riau. Jaringan jalan yang terdapat di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor prasarana wilayah khususnya prasarana jalan dan jembatan merupakan hal yang sangat menentukan didalam memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Siak Propinsi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, seorang peneliti harus melakukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, seorang peneliti harus melakukan 60 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, seorang peneliti harus melakukan persiapan yang sesuai dengan prosedur penelitian. Persiapan-persiapan ini akan membantu kelancaran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website,  2011) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi secara geografis terletak pada posisi 7º 32.5 Lintang Selatan dan 110º 26.5 Bujur Timur, dan secara administrasi terletak pada 4 (empat) wilayah kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah adalah elemen sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris karena sebagian besar penduduknya adalah petani yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri Primer Tohpati-Kusamba Terhadap Penggunaan Lahan di Desa Gunaksa Kecamatan Dawan

Lebih terperinci