BAB I PENDAHULUAN. negara. Upaya terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. negara. Upaya terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. PENGANTAR 1. Latar Belakang Sumber daya manusia memiliki posisi strategis dalam pembangunan suatu negara. Upaya terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, negara berkewajiban mewujudkan layanan pendidikan bermutu kepada seluruh warga negara tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya memperluas kesempatan dan pemerataan pendidikan bagi laki-laki maupun perempuan melalui kebijakan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan (PUG Pendidikan). Pemerataan pendidikan diharapkan membawa implikasi keadilan dan kesetaraan gender, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan. Sumber daya yang berkualitas akan menjadi sumber penggerak (driving force) seluruh sektor pembangunan nasional. Namun demikian, tujuan dan upaya tersebut belum sepenuhnya dapat tercapai. Secara realita kesenjangan gender masih tampak di berbagai aspek bidang pendidikan, mulai dari kebijakan sampai dengan tingkat impelementasinya. Potret kesenjangan gender bidang pendidikan di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada data Angka Partisipasi Sekolah, Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Angka Putus 1

2 Sekolah, Angka Buta Huruf, Jumlah Guru menurut tingkat pendidikan, pengambil kebijakan bidang pendidikan. 2 Data BPS tahun 2007/2008 menunjukkan bahwa dari angka putus sekolah pada jenjang Sekolah Dasar di Provinsi Jawa Tengah sebesar (4,32%) dari siswa, persentase anak laki-laki yang putus sekolah sebesar 60,37%, sementara perempuan sebesar 39,63%. Angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP sebesar siswa (5,73%) dari siswa, 63,63% diantaranya laki-laki, sedangkan anak perempuan sebesar 36,37 %. Angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMA sebesar orang (4,99%) dari siswa, 64,47% diantaranya laki-laki, sementara perempuan sebesar 35,53%. Data tersebut menggambarkan bahwa di semua jenjang pendidikan angka putus sekolah siswa laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Terkait dengan isu gender hal ini disebabkan adanya stigma dalam masyarakat bahwa laki-laki diposisikan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Oleh karenanya siswa laki-laki terpaksa meninggalkan bangku sekolah lebih awal untuk kepentingan pemenuhan ekonomi keluarga. Selain itu, masih ada anggapan dalam masyarakat bahwa prestasi yang rendah bagi siswa laki-laki dianggap sesuatu yang wajar, yang pada gilirannya memberi kontribusi pada tingginya angka putus sekolah siswa laki-laki. Kedua faktor tersebut juga berkorelasi pada tingginya jumlah siswa laki-laki yang mengulang di semua jenjang pendidikan. Data BPS tahun 2007/2008 menunjukkan, pada jenjang SD, dari jumlah total siswa sebesar orang 5,51% siswa mengulang, 64% diantaranya laki-laki sementara perempuan sebesar 36%. Di tingkat SMP, jumlah siswa laki-laki yang mengulang sebesar 892 (80,5%), sementara perempuan216 (19,5%). Di tingkat SMA dari jumlah 700 (1,8%) siswa mengulang,

3 3 jumlah siswa laki-laki yang mengulang sebesar 514 (73,43%), sementara perempuan 186 (26,575). Pada tahun 2007, jumlah penduduk Jawa Tengah usia tahun yang buta huruf sebesar orang, 68,8% di antaranya perempuan. Data ini menunjukkan bahwa meskipun peluang untuk bersekolah terbuka lebar bagi perempuan dan laki-laki, tetapi ternyata perempuan tidak memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut, disebabkan masih kuatnya budaya patriarki maupun kesulitan ekonomi. Tingkat partisipasi peserta didik Keaksaraan Fungsional (KF) pada tahun 2007 di Jawa Tengah menunjukan tingkat partisipasi tinggi pada perempuan sebanyak atau (60%) dan laki-laki (40%). Pada proporsi tingkat partisipasi peserta didik KF tahun 2007 laki-laki dan perempuan dari keseluruhan kota dan kabupaten menunjukan ada perbedaan yang signifikan. Artinya tingkat partisipasi peserta didik perempuan lebih banyak dibanding laki-laki pada semua kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Hal ini menunjukan adanya komitmen pemerintah yang cukup besar untuk memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi perempuan yang masih sangat tertinggal di bidang pendidikan. Namun perlu dicermati, angka ini bias atau jadi bias jika memang jumlah penduduk perempuan lebih banyak, hal ini belum bisa dideteksi (identifiaksi) karena tidak dikomparatifkan dengan jumlah penduduk di Jawa Tengah berdasarkan jenis kelamin. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia tersebut tidak hanya terjadi di sektor regional diuraikan di atas dengan Jawa Tengah sebagai contoh kasus, namun juga di sektor internasional seperti yang disebutkan Jalal 1 dalam Seminar Membangun Masa 1 Jalal, F. Pentingnya Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Membangun Masa Depan Bangsa Yang Berkualitas. Makalah dalam Seminar Membangun Masa Depan Jawa Barat Melalui Peningkatan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di UPI, 16 Oktober 2002

4 4 Depan Jawa Barat melalui Peningkatan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini, bahwa berdasarkan laporan United Nations Development Program (UNDP) tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2001, Indonesia menempati peringkat 102 dari 162 negara yang diteliti, dan berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam, yang berada di peringkat 40an. Pada tahun 2002 peringkat itu menurun menjadi 110 dari 173 negara. Data yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2003 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia menurun lagi menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang diteliti, dan berada di bawah negara Vietnam yang berada di peringkat 109. Indeks pembangunan manusia itu merupakan akumulasi dari ideks kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk angka rata-rata usia harapan hidup; indeks pendidikan yang mencakup angka melek huruf orang dewasa dan angka rata-rata lama pendidikan; dan indeks perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk angka pengeluaran per-kapita (purchasing power parity). Selain itu indikator rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia juga dapat dilihat dari capaian prestasi pada anak-anak sekolah dasar menurut International Educational Achievement (IEA) 2. Hasil kajian IEA menunjukkan bahwa kemampuan siswa sekolah dasar di Indonesia di bidang membaca berada di urutan ke 38 dari 39 negara. Jalal juga menyebutkan bahwa hasil penelitian The Third International Mathematics and Science Study Report tahun 1999 menunjukkan bahwa kemampuan siswa di bidang Ilmu Pengetahuan Alam berada di urutan 32 dari 38 negara, dan di bidang Matematika berada di urutan 34 dari 38 negara. Rendahnya prestasi yang dicapai oleh anak-anak sekolah diduga disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas masukan semenjak sekolah dasar. Salah satu faktor yang 2 Jalal,F.loc.cit.

5 diduga menjadi penyebabnya yaitu karena kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan pentingnya pendidikan anak sejak usia dini. 5 Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan bentuk investasi sumberdaya manusia untuk pembangunan di masa depan. Pendidikan adalah investasi pembangunan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan investasi di bidang lain 3. Anak yang memperoleh pendidikan berkualitas akan mampu mengaktualisasikan seluruh potensinya secara optimal yang pada akhirnya dapat menjadi pelaku ekonomi produktif. Pemberian layanan pendidikan anak yang berkualitas dirasa penting karena dalam skala tertentu, kemajuan suatu bangsa tidak semata-mata ditentukan oleh pertumbuhan ekonominya saja, namun ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas pun terbukti memiliki andil besar. Sumberdaya manusia berkualitas yang dimiliki oleh suatu bangsa, bukan saja menjadi aset yang dapat didayagunakan untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi alam dan lingkungannya secara produktif dan kompetitif, melainkan juga mampu bersaing di dalam percaturan ekonomi dan pasar global. Demikian pula investasi di bidang pendidikan akan memberikan dampak manfaat (benefit impact) lebih besar dibandingkan dengan investasi di bidang ekonomi atau bidang lainnya. Pentingnya pemberian layanan pendidikan anak sejak usia dini telah lama memperoleh perhatian dari para pakar pendidikan di Amerika Serikat. Alasan yang dikemukakan yaitu bahwa pada masa usia dini, anak mengalami perkembangan sangat cepat, dan berada pada masa pembentukan landasan bagi pertumbuhan masa depan anak 4. Di samping itu, pendidikan anak di bawah usia enam tahun dipandang sangat penting peranannya dibandingkan pada masa-masa berikutnya, karena keberhasilan 3 Becker, G.S.Human Capital: A Theoritical and Empirical Analysis with Special Reference to Education. 3 rd. Chicago: the Chicago University Press Young, C.A.D., dan Wynn, R. American Education. New York: McGraw-Hill Book Company.1979.(hal.126)

6 6 kehidupan seseorang di masa depan telah dibentuk sejak mulai usia dini. Berdasarkan konsep inilah maka anak usia dini memiliki peran krusial dalam membentuk karakter masyarakat responsif gender sesuai dengan tujuan dibuatnya kebijakan pengarusutamaan gender dalam Renstra Provinsi Jawa Tengah Untuk mencapai kearah itu diperlukan kader-kader 6 yang berpolapikir pengarusutamaan gender cukup baik, namun mereka juga telah mengenal baik seluk beluk perkembangan pada anak usia dini. Sebagai pengingat, manusia merupakan makhluk hidup tak berdaya karena disaat seorang manusia lahir dia tidak memiliki naluri selengkap makhluk hidup lainnya sehingga manusia tersebut mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian harus dipelajari oleh setiap anggota baru pada suatu masyarakat melalui suatu proses yang bernama sosialisasi 7. Berger dalam Soerjono Soekanto, mendefisinisikan sosialisasi sebagai suatu proses ketika seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat 8. Adapun muatan yang dimasukkan dalam sebuah sosialisasi adalah peran-peran, dan dalam hal ini untuk dapat mewujudkan generasi muda responsif gender maka dibutuhkan terlebih dahulu sebuah pemahaman tentang peran dasar yang membentuk konstruksi gender itu sendiri, yaitu peran gender. Keberadaan Kader PAUD di masyarakat sangatlah potensial sebagai pionir pembentukan generasi muda responsif gender, melihat ruang geraknya di masyarakat. 5 Menurut Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis (Renstra) Provinsi Jawa Tengah , disebutkan bahwa: Kebijakan di bidang sosial Budaya dan Pemerintahan diarahkan pada peningkatan kualitas dan akutanbilitas pelayanan public, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan mempertimbangkan sensitivitas gender dan pranata sosial dalam rangka menciptakan masyarakat yang demokratis dan mandiri dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2003:78) 6 Pendidik pada Pos PAUD dapat disebut Kader atau sebutan lain yang sesuai dengan kebuasaan setempat, seperti yang ditetapkan pada Pedoman Teknis Penyelenggaraan POS PAUD 2010 keluaran Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, Kementrian Pendidikan Nasional (hal.5) 7 Soekanto,Soerjono.Sosiologi, Suatu Pengantar.Jakarta:CV.Rajawali.1992.(ha.23) 8 Soekanto,Soerjono.loc.cit.

7 7 Seorang kader PAUD dengan pemahaman baik tentang peran gender akan dengan sendirinya bertindak sesuai perannya dan peran yang diinginkan oleh masyarakat kemudian menerapkan pola pikir sadar peran berbasis netral gender pada anak didiknya. Namun tidak berhenti pada anak didik saja, perlu diingat bahwa kader ini merupakan bagian dari struktur sosial paling sederhana keluarga, hingga yang paling kompleks masyarakat. Posisi inilah yang akan dengan mudah membuatnya menyentuh tiga elemen sosial sekali merengkuh dayung perahu yang sarat akan muatan pemahaman peran gender sebagai cikal bakal terbentuknya pola pikir netral gender. Selanjutnya sebuah design penelitian sederhana dibuat untuk mengetahui pemahaman yang dimiliki oleh kader-kader PAUD tentang peran gender. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: 2.1. Bagaimana pengaruh latar belakang keluarga kader PAUD dalam pemahaman peran gender? 2.2. Bagaimana kompetensi mengajar yang dimiliki oleh kader PAUD dalam pemahaman peran gender? 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : 3.1. Mendeskripsikan pengaruh latar belakang keluarga kader PAUD dalam pemahaman peran gender Mendeskripsikan kompetensi mengajar yang dimiliki oleh kader PAUD dalam pemahaman peran gender.

8 8 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat dalam pengembangan keilmuan dan mempunyai implikasi terhadap masyarakat, antara lain: 4.1. Manfaat Keilmuan Ide perkawinan dua konsep yang masih cukup hijau ini merupakan sebuah tantangan besar yang diharapkan akan melahirkan konsep baru untuk menambah khasanah pengembangan keilmuan sosiologi, terutama dalam studi pendidikan dan gender. Sebuah paradigma baru sebagai bantuan untuk menelaah fenomena ketidaksetaraan gender yang masih terus berkembang dalam tatanan masyarakat kita dan juga sebagai treatment untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemahaman gender di usia dini melalui metode-metode pendidikan berparadigma sosiologis Manfaat Praktis Dengan dilakukannya penelitian ini manfaat yang akan dirasakan memang tidak terjadi secara langsung sesaat setelah rangkaian penelitian ini selesai, namun esok kader-kader PAUD dengan pemahaman peran gender yang tepat ini diharapkan mampu memberikan pendidikan yang netral gender sehingga selanjutnya keharmonisan hubungan pria dan wanita di dalam keluarga dan masyarakat pun dapat tercipta. Selain itu, anak-anak didik yang telah mendapat pendidikan netral gender dari kader-kader berkaitan ini bertumbuh, diharapkan pemahaman peran feminim-maskulin mereka lebih matang sehingga menciptakan generasigenerasi baru yang netral gender.

9 9 5. Batasan Istilah dan Variabel 5.1. Pemahaman adalah kemampuan seseorang memperoleh makna dari materi pembelajaran yang dapat ditunjukkan melalui penerjemahan materi pembelajaran dan memperhitungkan kecenderungan masa depan Kader PAUD merupakan sebutan bagi pendidik pada Pos Pendidikan Anak Usia Dini, Pos PAUD Feminim adalah sifat dasar manusia yang memiliki karakter kedamaian, keselamatan, kebersamaan, dan kasih Maskulin adalah sifat dasar manusia yang memiliki karakter persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan Peran gender adalah takaran tingkahlaku seseorang di masyarakat berdasar pada hasil olahan diri terhadap feminim dan maskulin Pemahaman kader PAUD terhadap peran gender adalah kemampuan rata-rata kader PAUD untuk memaknai sebuah interaksi dalam berhubungan dengan sesama berdasar status jenis kelamin dan pandangan sosial-kebudayaan yang dimilikinya Latar pendidikan keluarga dimaksudkan sebagai patokan pengukuran awal pemahaman seorang kader PAUD terhadap peran gender Sosialisasi pemahaman gender dimaksudkan sebagai suatu proses pengenalan konsep netral gender kepada setiap anggota (keluarga) yang dalam penelitian ini adalah keluarga tempat kader PAUD bertumbuh Pemahaman peran gender dimaksudkan sebagai kemampuan kader PAUD untuk memperoleh makna dari hasil interaksi dengan lingkungan

10 10 tempat dia hidup untuk mendapatkan kedudukan yang sesuai berdasar dari olahan diri terhadap sifat feminim dan maskulin dalam masyarakat Kompetensi mengajar netral gender (implementasi pemahaman kader PAUD terhadap peran gender) dimaksudkan sebagai kemampuan seorang kader PAUD untuk memberikan pembelajaran yang tidak bias gender dengan memasukkkan konsep-konsep androgini pada metode pengajaran maupun perilaku mengajar kepada anak didiknya. B. LANDASAN TEORI 1. Teori Gender Edward Wilson dari Harvard University (1975) membagi perjuangan kaum perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar, yaitu konsep nurture (konstruksi budaya) dan konsep nature (alamiah). Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium). Paham ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. a. Teori Nurture Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar kesamaan atau fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah

11 11 kesamaan kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut. b. Teori Nature Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas (division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga karena tidaklah mungkin sebuah kapal dikomandani oleh dua nakhoda. Talcott Persons dan Bales (1979) berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal

12 12 dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. c. Teori Equilibrium Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan lakilaki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan tidak bersifat universal. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Sedangkan menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah karena kodrat yang menyebabkan perbedaan biologis yang memberikan implikasi bahwa kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Lalu, teori equilibrium dikenal dengan adanya keseimbangan atau kompromistis yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam bekerjasama/hubungan antara perempuan dan lakilaki. Pada hakikatnya, untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri perempuan dapat memanfaatkan hak dan

13 13 kesempatan yang sama dengan laki-laki sebagai sumber daya pembangunan 9. Namun hingga kini masih dirasakan ada kesenjangan gender atau bias gender dalam berbagai sektor pembangunan sehingga posisi dan kondisi kaum perempuan belum setara dengan kaum laki-laki. 2. Teori Peran Setiap individu memiliki peran, yaitu bagaimana seseorang menempatkan diri dalam sistem sosial dan mengaktualisasikan eksistensinya. Peran merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi. Peran-peran tersebut dipelajari berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam sistem sosial tertentu. Menurut Zulkifli Amsyah 10, peran adalah rangkaian perilaku yang diharapkan. Seseorang memiliki harapan dalam kehidupan sosialnya. Maka dalam proses sosialisasi, seseorang mengarahkan diri dan berperilaku sesuai dengan harapannya. Selain harapan terhadap dirinya, seseorang juga memiliki harapan terhadap liyan. Seseorang berharap kepada liyan untuk berperilaku sesuai dengan harapannya. Sebagai contoh, seseorang tersebut berperan sebagai guru. Seseorang tersebut menempatkan diri sebagai pendidik terhadap para muridnya, berperilaku sesuai dengan status 11 sosialnya sebagai pendidik, yaitu mengajar, memberikan teladan, mendampingi muridnya belajar dan sebagainya. Suatu ketika seseorang yang berperan sebagai guru tersebut sakit, dia pergi kepada liyan yang berperan sebagai dokter. Harapannya, setelah berjumpa dan berkonsultasi dengan liyan yang berperan sebagai dokter, seseorang tersebut mengetahui penyakitnya dan mendapat upaya penyembuhan. 9 Sasongko, Sri Sundari. Konsep dan Teori Gender.Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN (hal.19-22) 10 Amsyah, Zulkifli. Manajemen Sistem Informasi. Jakarta: Gramedia (hal.75) 11 Stolley, Kathy S. The Basic of Sociology. London: Greenwood Press.2005 (hal.45)

14 14 Teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktoraktor yang bermain sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun seseorang dan liyan untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah peran sosial merupakan sebuah rangkaian yang bermotif, saling bergantung satu sama lain, interaksi sosial antara seseorang sosial dengan lingkaran sosial yang mencakup tugas yang dinegosiasikan dan kewajiban, hak dan previlese 12. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu diharapkan berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Misalnya seseorang berperan sebagai perawat. Mengapa seseorang merawat liyan yang sedang sakit, karena dia adalah seorang perawat. Jadi karena statusnya adalah perawat, maka dia harus merawat pasien yang sakit di rumah sakit atau klinik tempat dia bekerja. Menurut George Herbert Mead, seseorang yang baru lahir belum mempunyai diri dan diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain 13. Dalam proses sosialisasi, seseorang harus mempelajari peran-peran yang ada dalam sistem sosialnya, proses ini disebut pengambilan peran (role taking). Ada beberapa tahapan dalam proses sosialisasi yaitu tahap play stage 14, tahap game stage 15, dan tahap generalized others 16. Pada tahapan pertama, yaitu play stage merupakan proses seseorang mengambil peran atau menirukan peran yang dijalankan oleh orang lain tanpa memahami isi peran-peran yang ditirunya. Misalnya, seorang anak kecil menirukan peran seorang dokter, anak kecil itu seolah-olah memeriksa pasien 12 Chafetz, Saltzman. The Handbook of the Sociology of Gender, Texas: Houston University (hal.230) 13 Sunarto, Kamanto. Loc. Cit. (hal.24) 14 Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6. Jakata: Kencana (hal. 282) 15 Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. op.cit. (hal.283) 16 Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. loc.cit.

15 15 namun tidak mengetahui alasan dan makna kegiatan yang dia lakukan. Tahapan kedua, yaitu game stage merupakan proses mengetahui peran yang harus dijalankannya sekaligus mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain. Misalnya, seorang anak bermain dalam sebuah pertandingan sepak bola. Anak tersebut mengetahui perannya dalam kesebelasan dan peran orang-orang yang dijumpainya. Pada tahap kedua ini, seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Pada tahap ketiga, generalized others yaitu proses seseorang mampu mengambil peran-peran orang lain dalam masyarakat sesuai dengan liyan yang berinteraksi dengannya. Misalnya, selaku anak seseorang mengetahui peran orang tuannya, selaku murid seseorang mengetahui peran gurunya, selaku anggota pramuka seseorang mengetahui peran pembinanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial. Selain itu, dalam perkembangan waktu berkembang pendekatan life-course 17, yaitu bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh, kebanyakan orang Indonesia masuk sebagai murid sekolah dasar ketika berusia enam tahun, dapat memiliki kartu identintitas dan menjadi peserta pemilu ketika berumur tujuh belas tahun, dan pegawai negeri sipil mendapatkan hak pensiun ketika berusia lima puluh enam atau enam puluh tahun. Selanjutnya adalah fakta bahwa manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Seseorang memiliki kebutuhan berinteraksi dengan liyan dalam menjalani kehidupan sosialnya. Untuk berinteraksi dengan liyan, seseorang memerlukan pemahaman peran secara tepat. Peran membantu seseorang untuk 17 Turner, Brian S (ed). The Cambridge Dictionary of Sociology, New York: Cambridge University Press (hal.12)

16 16 menempatkan diri dalam kehidupan sosial sesuai dengan status sosialnya, membantu seseorang untuk memenuhi harapan-harapan terhadap sistem sosial, dan membantu seseorang untuk berinteraksi dengan liyan dalam masyarakat Peran Feminin Dalam pengertian masyarakat awam, istilah femininitas dan maskulinitas secara sederhana sering diartikan sebagai keperempuanan dan kelelakian. Femininitas berarti beberapa hal yang dimiliki oleh perempuan dan bersifat perempuan secara alami. Sedangkan maskulinitas berarti beberapa hal yang dimiliki oleh lelaki dan bersifat laki-laki secara alami. Persoalannya, apakah pengertian femininitas dan maskulinitas hanya sebatas pembedaan berdasar sifat jenis kelamin perempuan atau laki-laki? Dikotomi femininitas dan maskulinitas tidak semata-mata berdasarkan sifat biologis, melainkan terjadi secara budaya. Femininitas adalah sebuah kata sifat yang berarti bersifat kewanitaan atau menunjukkan sifat perempuan. Sifat-sifat yang dimaksud biasanya adalah kelembutan, kesabaran, kebaikan, kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan 18. Femininitas adalah konstruksi keperempuanan terhadap perempuan. Perempuan tidak begitu saja dilahirkan begitu saja dengan sifat feminin secara alami, femininitas dibentuk oleh kebudayaan Peran Maskulin Berbicara mengenai maskulinitas akan sama halnya dengan berbicara mengenai femininitas. Secara leksikal, maskulinitas 18 Hollows, Joanne. Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra (hal.14)

17 17 merupakan sebuah kata sifat yang berarti kepriaan atau menunjukkan sifat laki-laki. Secara umum, maskulinitas berhubungan erat dengan nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Dalam nilai-nilai tersebut laki-laki pada umumnya memiliki keunggulan apabila dibandingkan dengan perempuan, namun bukan berarti setiap lelaki memiliki nilai-nilai tersebut secara alami (biologis). Maskulinitas merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan. Dalam kehidupan sosial dengan tradisi patriarki, laki-laki dianggap gagal jika dirinya tidak maskulin. Laki-laki ditekan untuk menjadi maskulin. Maka, laki-laki menghindari berpenampilan lemah, emosional, atau berlaku inefisien secara seksual karena perilaku tersebut merupakan suatu ancaman utama terhadap kepercayaan diri laki-laki. Setiap kebudayaan memiliki kategori sifat kepriaan atau kelelakian yang berbeda-beda. Maskulinitas itu sendiri dikonstruksi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas dalam budaya Timur, seperti di Jawa misalnya, dipengaruhi oleh faktor kebudayaan Jawa. Ketika seorang anak laki-laki lahir ke dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun yang bersumber dari norma-norma budaya telah membentuk suatu pencitraan diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Kondisi

18 18 semacam ini nampak dari selera dan cara berpakaian, penampilan, ragam aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai 19. Laki-laki sejati memiliki citra maskulin. Pencitraan diri tersebut telah diturunkan lintas generasi melalui mekanisme pewarisan budaya. Mekanisme tersebut berlaku dalam berbagai generasi hingga menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani. Aturan umum yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa laki-laki sejati pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot. Dalam fenomena kehidupan sosial, karakteristik laki-laki yang pantang untuk menangis, harus tampak tegar, kuat, pemberani, garang serta berotot sering kali dipahami sebagai keunggulan yang layak ditunjukkan, namun terkadang tidak memperhitungkan akibat yang diderita oleh liyan demi mempertahankan eksistensinya. Sebagai contoh, banyak laki-laki terlibat perkelahian ketika sudah tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, baik secara individu maupun antar kelompok. Biasanya perkelahian tersebut terjadi ketika menyinggung permasalahan harga diri. Hal lain yang sering terjadi adalah kasus kekerasan terhadap perempuan, tindak kriminalitas, dan kerusuhan etnik. Beberapa bentuk perilaku tersebut umum dilakukan oleh kaum laki-laki. Dikatakan umum jika dilihat dari kuantitas para pelakunya. 19 Vigorito Anthony J. & Curry, Timothy J., Marketing Masculinity: Gender Identity and Popular Magazines, Journal of Research, July, 1998.

19 19 Konsep maskulinitas tradisional tersebut cenderung membuat laki-laki enggan membicarakan dirinya sendiri, terutama mengenai perasaannya. Padahal sebenamya perlu ruang-ruang dialog bagi lakilaki untuk mengkritisi konsep kelelakiannya, termasuk membuka ruang bagi laki-laki untuk mendialogkan kecemasan-kecemasannya terhadap konsep kelelakian yang dianggap membebani. Termasuk kecemasankecemasan terhadap situasi yang berubah yang menuntut perubahan konsep tradisional kelelakian. Tuntutan kesetaraan perempuan dengan laki-laki juga menghendaki laki-laki untuk berani berbagi kekuasaan dengan perempuan di berbagi level kehidupan sosial, mulai dari level domestik hingga level negara. Begitu juga dengan penawaran konsep diri baru laki-laki yang penuh cinta kasih, sabar, setia dengan pasangan, suportif, egaliter, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Hal yang sama juga terjadi di dunia barat bahwa konsep maskulinitas juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Konsep maskulinitas pada masyarakat Barat cenderung berasosiasi dengan citra industrialisasi, kekuatan militer, dan peran sosial gender yang konvensional. Misalnya, bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, pintar, logis, individualistik, agresif secara seksual, dan berbakat memimpin. Dengan citra demikian, maka kebudayaan terus menciptakan maskulin-maskulin baru dalam keluarganya sebagai semacam keistimewaan yang seolah-olah dimiliki secara genetis oleh laki-laki.

20 Peran Androgini Pada seorang manusia dibutuhkan sistem keseimbangan untuk menjaga segala sesuatunya berjalan sinkron dan dalam arah yang terkontrol. Seperti halnya tugas otak kecil yang menjaga keseimbangan seluruh organ tubuh manusia sehingga membantu seorang manusia mampu berdiri tegak, di antara feminim dan maskulin terdapat penjaga keseimbangan peran yang disebut dengan androgini. 3. Teori Sosialisasi Dalam pemikiran Peter L. Berger, ada perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk lain ketika terlahir di dunia. Manusia terlahir sebagai makhluk yang tidak berdaya dengan naluri yang relatif tidak lengkap sedangkan makhluk lain seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya 20. Maka, manusia membutuhkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan nalurinya. Dalam memperoleh makanan, hewan tidak perlu menentukan makanan apa yang harus dimakan karena hal itu sudah diatur oleh nalurinya, sedangkan manusia harus berpikir makanan apa yang dapat ia makan dan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya menjadi bagian dari kebudayaannya. Kebiasaan-kebiasaan yang ditemukan dan dipilih oleh manusia berkembang menjadi kebudayaan. Manusia perlu belajar mengenai kebiasaankebiasaan yang telah berkembang dalam masyarakat untuk dapat mempertahankan eksistensinya. Proses belajar tersebut disebut sebagai proses sosialisasi. 20 Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (hal.23)

21 21 Sosialisasi tidak lepas dari proses mengamati, mengetahui, mengalami, dan mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Proses sosialisasi diawali ketika individu mengamati dan mengenali orang-orang terdekat dalam sistem sosial yang paling kecil yaitu keluarga. Setelah mengetahui bahasa dan kebiasaan dalam keluarganya, individu bergerak keluar dari keluarganya dan mengalami kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan terdekatnya. Kemudian, individu berintegrasi dengan masyarakat ketika bahasa dan kebiasaankebiasaan dalam lingkungannya telah menjadi bagian yang mengakar dalam diri individu tersebut. Kamanto Sunarto menyebutkan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh setiap anggota baru dalam suatu masyarakat tentang keseluruhan perbedaan kebiasaan yang dimiliki manusia baik di bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, maupun politik 21. Peter L. Berger (sosiolog kelahiran Trieste, Italia tahun 1929) mendefinisikan socialization is a process by which a child learns to be a participant member of society 22 yang diartikan Sunarto sebagai proses seorang anak belajar menjadi bagian dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi, seorang mengintegrasikan diri dengan sistemsistem sosial. Untuk berintegrasi dengan sistem-sistem sosial, manusia harus belajar tentang peran-peran. Peran-peran itu penting bagi seseorang untuk menempatkan diri dan mengaktualisasikan eksistensinya dalam kehidupan sosial. 21 Sunarto, Kamanto. Loc.cit. 22 Sunarto, Kamanto. Loc.cit.

22 22 3a. Sosialisasi Dalam Keluarga Keluarga 23 merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum. Hal ini dikarenakan sifat dasar keluarga yang terbentuk berdasar dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk kemudian menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Secara umum, keluarga dapat dicirikan 24 sebagai berikut: a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan; b. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara; c. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan; d. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhankebutuhan ekonomi yangberkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak; e. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga. Singkatnya, keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah ataupun juga adopsi dengan intensitas interaksi antar individu yang intim sehingga menimbulkan di 23 Khairuddin, H., H.SS. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty (hal. 4) 24 Khairuddin, H., H.SS. Op.cit. (hal. 6)

23 23 dalamnya peranan-peranan suami-istri, ayah-ibu, orangtua-anak, kakakadik. Sementara itu, Mac Iver dan Charles Page dalam Khairuddin 25 menyebutkan pada awalnya masyarakat adalah union of families kumpulan dari keluarga-keluarga. Maka, keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat karena pada hakekatnya keluarga memiliki hubungan yang menjurus ke segala arah dalam masyarakat baik itu tetangga terdekat, kampong, daerah, negara, dan seterusnya. 4. Konsep Kompetensi Kompetensi adalah perangkat perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis, dan memikirkan serta memberikan perhatian dan untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien (Direktorat PPTK KPT, 2004: 20). Menurut Departemen Pendidikan Nasional, komptensi bukanlah titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses berkembang dan belajar sepanjang hayat 26. Kompetensi menurut Chung dan Meginson(1999) adalah kewenangan, yaitu sifat, pengetahuan dan kemampuan pribadi seseor4ang yang relevan dengan menjalankan tugasnya secara efektif 27. Menurut Conny (2006), kompetensi ialah an ability, skill and appropriate attitude to perform its role more efiesien suatu kemampuan, ketrampilan dan sikap yang tepat dan tuntas untuk menjalankan perannya secara lebih efisien Khairuddin, H., H.SS. Op.cit. (hal. 25) 26 Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidika dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional 27 Chung, K.H dan Megginson, L Organizational Behavior Developing Managerial Skill. New York: Haper dan Row. 28 Cony R.Simiawan Memantapkan Peran LPTK dalam Peningkatan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pidato Dies Natalis ke 42 Universitas Negeri Jakarta

24 24 Sementara itu, Surya Dharma (2005) menyatakan bahwa kompetensi adalah apa yang dibawa seseorang ke dalam pekerjaannya dalam bentuk jenis dan perilaku yang berbeda. Ini harus dibedakan dari atribut tertentu (pengetahuan, keahlian, dan kepiawaian) yang dibutuhkan untuk melaksanakan berbagai tugas yang berhubungan dengan suatu pekerjaan. Kompetensi menentukan aspek aspek proses dari kinerja suatu pekerjaan 29. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan nilainilai dasar untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam konteks otentik. 5. Kader PAUD di Masyarakat Berkaitan dengan topik gender, seorang kader pendidikan anak usia dini perlu memahami pengertian gender secara mendasar, sehingga dalam proses pendidikan anak usia dini tidak terjadi bias gender. Setidaknya seorang kader dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan peran maskulin dan peran feminin. Laki-laki dan perempuan merupakan pembedaan secara biologis, sedangkan maskulin dan feminin bukan sekadar sifat yang mengikuti laki-laki dan perempuan secara biologis, melainkan proses 29 Surya Dharma Manajemen Kinerja Falsafah Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

25 25 konstruksi budaya yang membentuk laki-laki memiliki citra dan peran laki-laki serta membentuk perempuan yang memiliki citra dan peran perempuan sesuai dengan budaya serta situasi sosial tertentu. Seorang kader PAUD dengan pemahaman baik tentang peran feminin dan maskulin akan dengan sendirinya bertindak sesuai perannya dan peran yang diinginkan oleh masyarakat kemudian menerapkan pola pikir sadar peran berbasis netral gender pada anak didiknya. Misalnya, dalam menentukan permaian ataupun dalam memberikan tugas kepada anak didiknya, seorang kader akan memberikan kebebasan kepada anak didiknya untuk memilih jenis permainan yang disukai tanpa membatasi bahwa permainan itu adalah permainan untuk anak lelaki atau pun permainan untuk anak perempuan Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini dewasa ini sering menjadi topik diskusi para pemikir maupun aktivis yang memiliki perhatian terhadap pendidikan anak. Ada beberapa pendapat yang menyatakan batasan pendidikan anak usia dini. Untuk mendefinisikan pendidikan anak usia dini, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa pendapat para ahli mengenai batasan usia dini dan argumentasinya. a. Menurut Young dan Wynn 30, anak usia dini dimulai dari periode kelahiran sampai dengan usia sekolah dasar, yakni antara nol sampai dengan usia enam atau tujuh tahun. Anak pada usia tersebut memerlukan program-program pendidikan yang variatif agar anak berkembang secara optimal. Program-program layanan yang 30 Young, C.A.D., dan Wynn, R. American Education. New York: McGraw-Hill Book Company.1979.(hal )

26 26 dimaksud seperti perawatan dan pengasuhan anak. Kemudian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 memberi batasan bahwa anak usia dini dimulai dari sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Landasan berpikir yang digunakan dalam memberikan batasan itu adalah berkenaan dengan pemberian layanan pendidikan yang dikelola secara formal, nonformal, dan informal. Abdulhak 31 berpendapat bahwa anak usia dini merupakan anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Anak pada usia ini memerlukan upaya sadar untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani melalui penyediaan pengalaman dan stimulasi yang kaya, terpadu, dan menyeluruh, agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. b. Slavin 32 memberikan batasan anak usia dini mulai dari usia 3 sampai dengan 6 tahun. Landasan berpikir yang digunakan dalam memberikan batasan itu adalah: (a) anak yang telah mencapai usia 3 hingga 6 tahun mengalami perubahan yang sangat cepat di segala bidang perkembangan; (b) anak telah menguasai beberapa keterampilan motorik pada akhir periode usia tersebut dan dapat menggunakan keterampilan fisiknya untuk mencapai tujuan; (c) secara kognitif, anak mulai mengembangkan pemahaman tentang kelompok, hubungan antar hal, dan menyerap banyak informasi tentang dunia fisik dan sosial; (d) pada akhir usia 6 tahun, anak 31 Abdulhak, I. Makalah Kebijakan: Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah Dasar dan Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta : Balitbang Depdiknas (hal.2) 32 Slavin, R.E. Educational Psychology: Theory and Practice. 4 th. Boston: Allyn and Bacon (hal.73)

27 27 telah mampu menggunakan kematangan kecakapannya untuk mengungkapkan keinginan dan kebutuhannya, serta berbagi gagasan dan pengalaman; dan (e) secara sosial, anak belajar perilaku dan aturan sederhana, serta semakin mampu berinteraksi dengan anak/orang lain. Kemudian, Direktorat PADU 33 menyatakan bahwa anak usia dini merupakan anak yang berusia lebih dari 3 tahun sampai dengan usia 6 tahun. Batasan ini secara kategorik digunakan untuk membatasi layanan pendidikan yang diberikan oleh penitipan anak dan usia pendidikan sekolah dasar. Kategori usia anak usia dini dalam pengertian ini mencakup usia anak yang mengikuti layanan pendidikan yang diberikan oleh kelompok bermain (play group) atau Taman Kanak-Kanak. c. Balitbang Depdiknas 34 memberikan batasan bahwa apabila disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia, anak usia dini dikelompokkan dalam beberapa tahap, yaitu: (a) usia dari lahir sampai 12 bulan disebut bayi, (b) usia 12 bulan sampai 2-3 tahun disebut toddler, (c) usia 3-4 tahun sampai 6 tahun disebut prasekolah, dan (d) usia 6-8 tahun disebut awal sekolah. Dengan klasifikasi ini maka anak usia dini yaitu anak yang berusia antara 3 atau 4 tahun sampai sebelum memasuki sekolah dasar. Berdasarkan batasan-batasan tersebut, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pendidikan ataupun pembinaan bagi seorang anak sejak ia lahir sampai dengan usia enam tahun. Upaya pendidikan 33 Supriadi, D. (2002). Isu-Isu Pendidikan Anak Usia Dini (Di Indonesia). Makalah dalam seminar Membangun Masa Depan Jawa Barat Melalui Peningkatan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di UPI, 16 Oktober 2002.(hal.2) 34 Abdulhak, I. Loc.cit.

28 28 ataupun pembinaan anak usia dini meliputi pembiasaan yang dilakukan oleh ibu kepada bayinya hingga pelatihan yang berkaitan dengan dengan keterampilan motorik, pemahaman terhadap lingkungannya, dan akhirnya sampai pada pengembangan perilaku dalam berinteraksi sosial. Adapun tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut yang meliputi pertumbuhan serta perkembangan jasmani dan rohani. Pendidikan anak usia dini secara umum menitikberatkan pada : a. Pertumbuhan dan perkembangan fisik 35, yaitu koordinasi motorik halus dan kasar. b. Perkembangan kognitif, 36 yaitu meliputi daya pikir, daya kreasi, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. c. Perkembangan emosional, yaitu pembiasaan sikap dan perilaku. d. Pengetahuan bahasa dan komunikasi Konsep Kader PAUD Istilah kader dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang akan memegang peranan penting di pemerintahan, partai, dan sebagainya. Istilah kader dalam pendidikan anak usia dini berarti orang yang memegang peranan penting dalam proses pendidikan anak usia dini. Kader pendidikan anak usia dini pertama-tama berperan sebagai pendidik yang mengatur terlaksananya proses pendidikan anak usia dini. Di samping itu, kader dapat berperan sebagai fasilitator yang memberikan perangsangan dan peningkatan perkembangan anak, dan 35 Slavin, R.E. Op. cit.(hal.74) 36 Gage, N.L. dan Berliner, D.C. (1984). Educational Psychology. London: Houghton Mifflin Company. (hal )

29 29 sebagai komunikator yang menyadarkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pendidikan anak usia dini. Subyek yang disebut sebagai kader memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya D2 atau S1 bidang Pendidikan Anak Usia Dini, kependidikan lain, atau psikologi; memiliki sertifikasi profesi guru PAUD atau minimal tamat SLTA/sederajat dan telah mendapat pelatihan pendidikan anak usia dini 37. Kualifikasi akademik para kader tersebut penting karena peran utama mereka adalah sebagai pendidik. Pendidik perlu memiliki dasar pendidikan yang memadai agar dapat mengintegrasikan informasi secara mendasar dan dengan terminologi yang tepat, sehingga para anak usia dini yang didampingi memperoleh informasi yang tepat sesuai dengan porsinya Kader Sebagai Pendidik Pos PAUD Peran utama kader PAUD adalah sebagai pendidik anak usia dini. Dalam pos PAUD kader berinteraksi dengan para anak didik, menyampaikan informasi-informasi dan juga mendampingi para peserta didik untuk bersosialisasi sesuai dengan perannya dalam kehidupan sosial. Mendidik anak usia dini membutuhkan bekal yang memadai karena anak usia 3-6 diyakini sedang mengalami perkembangan pesat dalam otaknya. Sebagai pendidik, kader diharapkan memiliki kompetensi pendidik 38 yaitu meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional. 37 Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, Kementrian Pendidikan Nasional.loc.cit. 38 Anni, Catharina Tri. Psikologi Belajar. Semarang: UNNES Press (hal.7)

30 30 Seorang kader diharapkan memiliki kemampuan untuk mengelola pembelajaran anak usia dini yang belajar di pos PAUD. Selain itu, seorang kader diharapkan memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan memiliki intensi yang murni untuk mendidik dan membantu anak bertumbuhkembang dengan baik. Seorang kader diharapkan mempunyai kemampuan berkomunikasi dan bergaul secara efektif sehingga membantu proses belajar dalam pos PAUD. Seorang kader juga harus memiliki kemampuan untuk menguasai materi yang diajarkan secara luas dan mendalam serta dapat menyampaikannya dengan terminologi yang tepat. Kompetensi pendidik tersebut sebaiknya dimiliki oleh kader PAUD karena memang peran utama kader PAUD di pos PAUD adalah sebagai pendidik, bukan sebagai pengasuh anak usia dini yang dititipkan dalam pos PAUD Kader Sebagai Anggota Keluarga Keluarga merupakan suatu sistem sosial terkecil yang terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan secara timbal balik dengan dasar ikatan afeksi, kesetiaan, dan kebersamaan dalam membentuk suatu rumah tangga yang dipertahankan dalam jangka waktu lama. Keluarga juga menjadi sebuah agen yang penting dalam proses sosialisasi 39. Dalam sistem sosial terkecil ini seseorang belajar dan mengawali proses sosialisasi dengan mempelajari kebiasaan-kebiasaan dan bahasa yang berkembang di lingkungan terdekatnya. Seorang kader PAUD adalah individu yang termasuk dalam sistem sosial tersebut. Latar belakang keluarga kader akan 39 Sunarto, Kamanto. Loc. Cit. (hal.26)

31 31 mempengaruhi pengetahuan kader mengenai peran-peran, kebiasaankebiasaan dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat. Semakin tinggi taraf pendidikan dan pengetahuan dari keluarga kader, semakin besar kesempatan untuk mengakses pengetahuan yang menopang perang kader PAUD sebagai pendidik anak usia dini di pos PAUD Kader Sebagai Bagian Masyarakat Seorang kader PAUD hidup dalam lingkup sistem sosial tertentu. Dengan demikian seorang kader PAUD berintaraksi dengan liyan dalam masyarakat. Kader PAUD memiliki peran sebagai fasilitator dan komunikator terhadap liyan yang berada dalam masyarakatnya. Kader PAUD dapat membantu masyarakat sekitar untuk memahami pentingnya pendidikan usia dini, sehingga semakin banyak orang turut ambil bagian dalam proses pendidikan anak usia dini serta turut menanamkan nilai edukatif kepada anak-anak. C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah campuran antara kualitatif dan kuantitatif. Kualitiatif digunakan untuk melakukan wawancara yang lebih mendalam pada responden guna memberikan dukungan pada hasil penelitian survey. Hasil data kuesioner digunakan untuk memberikan gambaran secara luas tentang pemahaman responden terhadap pemahamannya tentang peran gender. Sugiyono (2009:15) mengatakan bahwa metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivism, digunakan

2. Teoretisasi Gender

2. Teoretisasi Gender 2. Teoretisasi Gender Sumber: Dra. Sri Sundari Sasongko, 2009, BKKBN: Jakarta Konsep Perubahan Perilaku dan Bentuk-bentuk Diskriminasi Gender: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku manusia/individu?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya partisipasi aktif segenap komponen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan pembangunan di setiap

Lebih terperinci

PERAN STRATEGIS PEMERINTAH MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS BAGI ANAK USIA DINI NURINTAN SRI UTAMI Abstrak

PERAN STRATEGIS PEMERINTAH MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS BAGI ANAK USIA DINI NURINTAN SRI UTAMI Abstrak PERAN STRATEGIS PEMERINTAH MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS BAGI ANAK USIA DINI NURINTAN SRI UTAMI 125120300111024 Abstrak Pendidikan anak usia dini yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

FENOMENA TAMAN PENITIPAN ANAK BAGI PEREMPUAN YANG BEKERJA. Nur Ita Kusumastuti K Pendidikan Sosiologi Antropologi

FENOMENA TAMAN PENITIPAN ANAK BAGI PEREMPUAN YANG BEKERJA. Nur Ita Kusumastuti K Pendidikan Sosiologi Antropologi FENOMENA TAMAN PENITIPAN ANAK BAGI PEREMPUAN YANG BEKERJA (Studi Kasus TPA Jaya Kartika Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar) Nur Ita Kusumastuti K8409045 Pendidikan Sosiologi Antropologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Pendidikan Nasional adalah upaya mencerdasakan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berahlak mulia

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah yang menjadi dasar pijakan peneliti melakukan penelitian, kemudian tujuan penelitian yang menjadi arah pada penelitian ini, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan baik formal, informal

BAB I PENDAHULUAN. memasuki pendidikan lebih lanjut yang diselenggarakan baik formal, informal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak

Lebih terperinci

KOMITMEN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP PENDIDIKAN KEAKSARAAN

KOMITMEN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP PENDIDIKAN KEAKSARAAN KOMITMEN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP PENDIDIKAN KEAKSARAAN Dasar Hukum Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 : Setiap warga negara mempuyai hak untuk memperoleh pengajaran Undang-Undang Nomor 20 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemandirian 2.1.1. Pengertian Kemandirian Menurut Masrun, dkk (1986), kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga 7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu aspek penting

I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu aspek penting I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam pembangunan bangsa, pendidikan merupakan salah satu aspek penting karena pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa. Jika pendidikan tidak berjalan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perkembangan fase selanjutnya (Dwienda et al, 2014). Peran pengasuhan tersebut

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perkembangan fase selanjutnya (Dwienda et al, 2014). Peran pengasuhan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kualitas kesejahteraan anak menduduki posisi sangat strategis dan sangat penting dalam pembangunan masyarakat Indonesia, sehingga anak prasekolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU (TKIT) ASSALAM JETIS AMBARAWA TESIS

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU (TKIT) ASSALAM JETIS AMBARAWA TESIS MANAJEMEN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU (TKIT) ASSALAM JETIS AMBARAWA TESIS Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang dikenal dan diakui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia. Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI PENDIDIKAN 1

PSIKOLOGI PENDIDIKAN 1 PSIKOLOGI PENDIDIKAN 1 LITERATUR Gage, N.L ; David C Berliner. 1998. EDUCATIONAL PSYCHOLOGY. 6 th Edition. New York : Houghton Mifflin Co. Woolfolk, Anita.2004. Educational Psychology 9 th Edition. Boston:

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis didalam keluarga dan masyarakat. Sayangnya, banyak yang tidak bisa memainkan peran dan fungsinya dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tua, lingkungan masyarakat sekitarnya, dan negara. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiona No 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tua, lingkungan masyarakat sekitarnya, dan negara. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiona No 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) serta penerus cita perjuangan bangsa. Untuk mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut anak perlu mendapatkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KEMATANGAN SOSIAL ANAK DITINJAU DARI KEIKUTSERTAAN PENDIDIKAN PRASEKOLAH (PLAYGROUP)

PERBEDAAN KEMATANGAN SOSIAL ANAK DITINJAU DARI KEIKUTSERTAAN PENDIDIKAN PRASEKOLAH (PLAYGROUP) PERBEDAAN KEMATANGAN SOSIAL ANAK DITINJAU DARI KEIKUTSERTAAN PENDIDIKAN PRASEKOLAH (PLAYGROUP) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : ANIK

Lebih terperinci

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan. Written by Mudjia Rahardjo Wednesday, 14 April :55 - Last Updated Thursday, 15 April :07

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan. Written by Mudjia Rahardjo Wednesday, 14 April :55 - Last Updated Thursday, 15 April :07 (tulisan ini adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul Pengembangan Profesionalisme Guru atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com ) Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembanguan ini ditujukan

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI I. Pengertian Dan Karakteristik Anak Usia Dini Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (baik yang dilahirkan ataupun diadopsi). Menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Negara dapat dikatakan maju apabila memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembangunan sumberdaya manusia sangat penting dan strategis guna menghadapi era persaingan ekonomi

Lebih terperinci

Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender?

Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender? Pertanyaan awal : mengapa pembangunan merupakan isu gender? o o o o o Kesenjangan jender di berbagai bidang pembangunan itu misalnya dapat dilihat dari : Masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. belum menyadari bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai

BAB 1 PENDAHULUAN. belum menyadari bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya organisasi merupakan hal penting ketika dihadapkan pada upaya peningkatan kinerja organisasi dan pegawai didalamnya. Banyak orang belum menyadari bahwa suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini banyak terjadi pergeseran peran atau kedudukan antara lakilaki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi semata-mata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keluarga adalah orang yang bertempat tinggal bersama yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan biologis, perkawinan, adat istiadat, atau dengan adopsi (Sussman & Steinmetz 1987).

Lebih terperinci

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG IMPLEMENTASI FUNGSI EMASLIM KEPALA SEKOLAH, IKLIM ORGANISASI, DAN KOMPETENSI GURU TERHADAP KOMPONEN KUALITAS SEKOLAH DI SMAN KABUPATEN TEMANGGUNG TESIS Diajukan Kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Keluarga Keluarga adalah ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antar suami istri, dengan atau tanpa anak. Sedangkan menurut Sumner dan Keller merumuskan keluarga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI 1 PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI Pendahuluan Guru-guru pendidikan jasmani (penjas) sudah mengetahui dan menyadari sepenuhnya bahwa aktivitas jasmani di samping mengembangkan aspek

Lebih terperinci

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA MASA DEWASA AWAL Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Sosial Pada Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi merupakan aktivitas ilmiah tentang prilaku manusia yang berkaitan dengan proses mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. 1 Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar bisa hidup lebih

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar bisa hidup lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik Remaja

HASIL. Karakteristik Remaja HASIL Karakteristik Remaja Jenis Kelamin dan Usia. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1992) kelompok usia remaja di bagi ke dalam empat kategori, yakni usia pra remaja (10-12 tahun), remaja awal (12-15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa Indonesia kini sedang dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa Indonesia kini sedang dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, masih mengalami permasalahan yang serius. Kunandar (2011:7), menjelaskan bahwa bangsa Indonesia kini

Lebih terperinci

KONSEP, FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

KONSEP, FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK Konsep, Fungsi dan Prinsip Bimbingan di Taman Kanak-kanak 34 KONSEP, FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK Penata Awal Kebutuhan akan layanan bimbingan di taman kanak-kanak muncul dari karakteristik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu penyelenggara pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mengasah keterampilan para siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional negara kita adalah pembangunan di bidang pendidikan. Pendidikan nasional sebagai salah satu sistem dari supra sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut H.R. Otje Salman Soemadingrat (2002:173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai level/jenjang pendidikan. Mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci utama bagi suksesnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci utama bagi suksesnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci utama bagi suksesnya pembangunan bangsa. Untuk itu pengembangan Sumber Daya Manusia hendaknya merupakan suatu proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan saat ini menghadapi tantangan besar sebagai akibat dari arus globalisasi, sehingga berbagai upaya dilakukan agar peserta didik kelak mampu mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi Bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan perlu 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan perlu direspon oleh kinerja pendidikan yang profesional dan bermutu tinggi. Mutu pendidikan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi sumber daya manusia terutama bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga negara harus dan wajib

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : bargaining position, vasektomi.

ABSTRAK. Kata kunci : bargaining position, vasektomi. ABSTRAK Program KB yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini juga disediakan bagi laki-laki, yang salah satunya yaitu vasektomi. Seorang laki-laki sebagai suami juga harus mempunyai tanggung jawab yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga hingga kini kian meluas dan memiliki makna sebagai sebuah fenomena yang bersifat global, mencakup wilayah kajian hampir seluruh sendisendi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap bangsa.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap bangsa. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap bangsa. Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum Sekolah Dasar (SD) yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Fenomena remaja yang terjadi di Indonesia khususnya belakangan ini terjadi penurunan atau degredasi moral. Dalam segala aspek moral, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan dan perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan negara.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana digariskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik. RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas).

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana digariskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik. RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal pokok yang dapat menunjang kecerdasan serta keterampilan anak dalam mengembangkan kemampuannya. Pendidikan merupakan sarana yang paling tepat

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender. Namun kenyataannya, membuka peluang kesetaraan dalam bidang olahraga masih

Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender. Namun kenyataannya, membuka peluang kesetaraan dalam bidang olahraga masih Caly Setiawan PJKR Z/ NIM 132 297 298 Sosiologi Olahraga, IKF 220 Position Paper Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender Pendahuluan Dalam dua dekade belakangan ini, tuntutan kesetaraan mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan kota yang inovatif dan serba maju dalam aspek kehidupan sosial ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan didalamnya seperti, semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah KATA PENGANTAR Pengarusutamaan Gender telah menjadi garis kebijakan pemerintah sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Instruksi tersebut menggariskan: seluruh departemen maupun lembaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Bangsa Indonesia dengan jumlah

I. PENDAHULUAN. baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Bangsa Indonesia dengan jumlah 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan, karena pendidikan memegang peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jakarta, November 2015 Latar Belakang Forum internasional:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Teori Peran (Role Theory) Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN HIV DAN AIDS MELALUI PENDIDIKAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN HIV DAN AIDS MELALUI PENDIDIKAN GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat : a. bahwa menurut hasil STHP 2006, epidemi HIV dan AIDS di Provinsi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK ANAK

PERLINDUNGAN HAK ANAK PERLINDUNGAN HAK ANAK oleh Elfina Lebrine Sahetapy, SH., LLM Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Surabaya Sebelum kita membahas lebih lanjut permasalahan tentang perlindungan anak, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan Tutor Oleh Gugus PAUD Dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Tutor PAUD Di Desa Cangkuang Rancaekek

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan Tutor Oleh Gugus PAUD Dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Tutor PAUD Di Desa Cangkuang Rancaekek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Anak Usia Dini non formal dipandang memiliki peran penting dalam pembentukan sumber daya manusia ke depan. Namun kesiapan tenaga pendidik di lembaga PAUD

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci